9 TINJAUAN PUSTAKA Anestesi Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes (1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harfiah berarti ketiadaan rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestetikum dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan pembedahan. Anestetikum yang diberikan pada hewan akan membuat hewan tidak peka terhadap rasa nyeri sehingga hewan menjadi tenang, dengan demikian tindakan diagnostik, terapeutik, atau pembedahan dapat dilaksanakan lebih aman dan lancar (Tranquilli et al. 2007; Miller 2010). Perjalanan waktu sepanjang sejarah menunjukkan bahwa anestesi pada hewan digunakan untuk menghilangkan rasa dan sensasi terhadap suatu rangsangan yang merugikan (nyeri), menginduksi relaksasi otot, dan terutama untuk membantu melakukan diagnosis atau proses pembedahan yang aman. Alasan lain penggunaan anestesi pada hewan adalah untuk melakukan pengendalian hewan (restraint), keperluan penelitian biomedis, pengamanan pemindahan (transportasi) hewan liar, pemotongan hewan yang humanis, dan untuk melakukan ruda paksa (euthanasia). Secara umum tujuan pemberian anestetikum pada hewan adalah mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dengan meminimalkan kerusakan organ tubuh dan membuat hewan tidak terlalu banyak bergerak. Semua tujuan anestesi dapat dicapai dengan pemberian obat anestetikum secara tunggal maupun dalam bentuk balanced anesthesia, yaitu mengkombinasikan beberapa agen anestetikum maupun dengan agen preanestetikum (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007).
48
Embed
TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · umum adalah upaya untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan penekanan refleks yang optimal dan adekuat untuk dilakukan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
9
TINJAUAN PUSTAKA
Anestesi
Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes
(1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti
tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harfiah berarti ketiadaan
rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan
hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestetikum dilakukan untuk
mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan
pembedahan. Anestetikum yang diberikan pada hewan akan membuat hewan tidak
peka terhadap rasa nyeri sehingga hewan menjadi tenang, dengan demikian tindakan
diagnostik, terapeutik, atau pembedahan dapat dilaksanakan lebih aman dan lancar
(Tranquilli et al. 2007; Miller 2010).
Perjalanan waktu sepanjang sejarah menunjukkan bahwa anestesi pada hewan
digunakan untuk menghilangkan rasa dan sensasi terhadap suatu rangsangan yang
merugikan (nyeri), menginduksi relaksasi otot, dan terutama untuk membantu
melakukan diagnosis atau proses pembedahan yang aman. Alasan lain penggunaan
anestesi pada hewan adalah untuk melakukan pengendalian hewan (restraint),
keperluan penelitian biomedis, pengamanan pemindahan (transportasi) hewan liar,
pemotongan hewan yang humanis, dan untuk melakukan ruda paksa (euthanasia).
Secara umum tujuan pemberian anestetikum pada hewan adalah mengurangi atau
menghilangkan rasa nyeri dengan meminimalkan kerusakan organ tubuh dan
membuat hewan tidak terlalu banyak bergerak. Semua tujuan anestesi dapat dicapai
dengan pemberian obat anestetikum secara tunggal maupun dalam bentuk balanced
anesthesia, yaitu mengkombinasikan beberapa agen anestetikum maupun dengan
agen preanestetikum (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007).
10
Preanestesi
Preanestesi adalah pemberian zat kimia sebelum tindakan anestesi umum
dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus,
mengurangi dosis anestetikum, mengurangi atau menghilangkan efek samping
anestetikum, dan mengurangi nyeri selama operasi maupun pasca operasi (Debuf
1991; McKelvey dan Hollingshead 2003). Pemilihan preanestetikum
dipertimbangkan sesuai dengan spesies, status fisik pasien, derajat pengendalian,
jenis operasi, dan kesulitan dalam pemberian anestetikum (Booth dan Branson 1995).
Preanestetikum yang paling umum digunakan pada hewan adalah atropine,
acepromazin, xylazine, diazepam, midazolam, dan opioid atau narkotik. Atropine
digunakan untuk mengurangi salivasi, peristaltik dan mengurangi bradikardia akibat
anestesi. Acepromazin digunakan sebagai penenang atau tranquilizer. Xylazine,
medetomidin, diazepam, dan midazolam digunakan sebagai agen sedatif dan
merelaksasi otot. Opioid atau narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit, seperti
disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Klasifikasi agen preanestesi yang digunakan pada anestesi umum
(Sumber: Warren 1983; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Klasifikasi Anestesi
Keadaan teranestesi dapat dihasilkan secara kimia dengan obat-obatan dan
secara fisik melalui penekanan sensori pada syaraf. Obat-obatan anestetika umumnya
diklasifikasikan berdasarkan rute penggunaannya, yaitu: 1). Topikal misalnya melalui
Ada (patella, telinga, palpebral, kornea), yang lain hilang
Semua minimal, hilang
Tidak ada Tidak ada
Stadiun 1 atau stadium analgesi adalah stadium awal anestesi yang terjadi
segera setelah dilakukan anestesi secara inhalasi atau injeksi. Hewan pada stadium ini
masih sadar tetapi kehilangan orientasi dan menurunnya sensitifitas terhadap rasa
23
nyeri. Respirasi dan denyut jantung masih normal atau meningkat, dan semua refleks
masih ada; Stadium 2 atau stadium delirium atau eksitasi adalah stadium yang
dimulai dari hilangnya kesadaran. Semua refleks masih ada dan bisa muncul
berlebihan. Hewan masih dapat mengunyah, menelan, dan mulut umumnya
menganga. Kondisi pupil yang dilatasi tetapi akan berkontriksi apabila ada
rangsangan sinar. Stadium ini berjalan cepat dan bahkan akan terlewati apabila
diberikan preanestesi yang baik. Stadium 2 akan berakhir apabila hewan
menunjukkan tanda relaksasi otot, respirasi menurun, dan terjadi penurunan refleks;
Stadium 3 atau stadium pembedahan adalah stadium melakukan tindakan bedah dan
dibagi menjadi empat plane, yaitu plane 1 atau anestesi ringan, plane 2 atau anestesi
pembedahan, plane 3 atau anestesi dalam, dan plane 4 atau paralisa; dan Stadium 4
atau stadium terminal (stadium kelebihan dosis).
Sejarah dan Mekanisme Kerja Anestesi Umum
Anestetikum pertama kali ditemukan adalah eter oleh William Thomas Green
Morton pada tahun 1846. Morton memperagakan penggunaan dietil eter untuk
menghilangkan kesadaran dan rasa nyeri pada pasien yang sedang ditangani untuk
pembedahan tumor rahang di Massachusetts General Hospital Boston pada tanggal
16 Oktober 1846 dan berhasil tanpa memperlihatkan gejala kesakitan. Dengan
ditemukannya eter sebagai anestetikum tahun 1846, pembedahan dapat dilakukan
tanpa siksaan dan bebas rasa nyeri sehingga mendorong berkembangnya ilmu bedah
dengan pesat. Kemudian muncul teori mekanisme kerja anestesi oleh Vonbibra dan
Harles tahun 1847 yang menjelaskan bahwa anestetikum bekerja karena larut pada
lipid di otak. Dikemudian hari dipertanyakan kembali oleh karena tidak semua bahan
yang larut pada lemak dapat digunakan sebagai anestetikum. Selanjutnya oleh Hans
Meyer pada tahun 1899 dan Charles Overton tahun 1901 memperkenalkan teori
“Meyer-Overton”. Teori ini menyatakan bahwa potensi anestesi berhubungan dengan
kelarutan bahan anestetikum pada lemak. Anestetikum akan larut pada lipid dan
merusak struktur lipid membran syaraf . Dengan demikian, makin mudah suatu bahan
anestetikum larut dalam lemak, makin kuat daya anestesinya. Namun hal ini hanya
24
berlaku untuk anestetikum inhalasi cair atau volatil sedangkan pada anestetikum
parenteral seperti pentotal pernyataan di atas tidak berlaku. Hipotesis Vonbibra dan
Harles tahun 1847 dan Meyer-Overton tahun 1901 dimentahkan dengan munculnya
hipotesis protein membran yang mempengaruhi ion, bahwa membran sel syaraf
mengandung protein dan anestetikum akan terikat pada protein, selanjutnya akan
mempengaruhi saluran ion. (Mashour 2006; Pretto 2002; Miller 2010).
Dalam perkembangan selanjutnya, pemahaman teori saluran ion yang
dipengaruhi oleh neurostransmiter dan reseptor kini diterima sebagai teori mekanisme
kerja anestesi umum. Anestetikum akan bekerja mempengaruhi dua jenis reseptor
yaitu : 1. Reseptor γ amino butiric acid (GABA) terutama reseptor GABAA
Gamma-amino butiric acid merupakan neurotransmiter inhibitori utama di
otak, disintesis dari glutamat dengan bantuan enzim glutamic acid decarboxylase
(GAD), didegradasi oleh GABA-transaminase. Sekali dilepaskan, GABA berdifusi
menyeberangi celah sinap untuk berinteraksi dengan reseptornya sehingga
menimbulkan aksi penghambatan fungsi SSP. Neurotransmiter GABA lepas dari
ujung syaraf gabanergik, berikatan dengan reseptornya, membuka saluran ion Cl,
ion Cl masuk ke dalam sel, terjadi hiperpolarisasi sel syaraf , terjadi efek
penghambatan transmisi syaraf , dan depresi SSP. Reseptor GABA sebagi tempat
terikatnya GABA terdiri dari dua jenis, yaitu ionotropik (GABA
yang
merupakan reseptor inhibitori, dan 2. Reseptor Glutamat yang merupakan reseptor
eksitatori kususnya pada sub tipe N-methyl D-aspartat (NMDA) (Rudolph dan
Antkowiak 2004; Cameron 2006; Garcia et al. 2010 ) .
A) dan metabotropik
(GABAB). Reseptor GABAA terletak di postsinaptik dan cukup penting karena
merupakan tempat aksi obat-obat benzodiazepin dan golongan barbiturat. Reseptor
GABAA terdiri dari lima subtipe (pentamer) 2α, 2ß, dan 1γ, masing masing subtipe
mempunyai N-terminal binding site, terdiri dari 450 asam amino, dan mempunyai 4-
transmembran (TM) saluran ion. Sampai saat ini telah diketahui ada 19 reseptor
subunit GABAA, yaitu lebih dari 85% konsentrasinya dalam bentuk kombinasi
α1ß2γ2, α2ß3γ2, dan α3ß1 -3γ2. Reseptor GABAA adalah reseptor komfleks yang
memiliki beberapa tempat aksi obat, seperti benzodiazepin (BZ), GABA, barbiturat,
25
dan neurosteroid (Gambar 2) (Rudolph dan Antkowiak 2004; Cameron 2006; Garcia
et al. 2010; Miller 2010) .
Gambar 2. Reseptor GABAA
terdiri dari lima subtipe (pentamer) 2α, 2ß, dan 1γ, m asing masing subtipe mempunyai N-terminal binding site, terdiri dari 450 asam amino, 4-transmembran (TM) sebagai saluran ion dan tempat terikatnya anestetika (Sumber: Cameron J Weir 2006; Miller 2010) .
Glutamat merupakan asam amino yang termasuk neurotransmiter eksitatori
dan berperan penting dalam fungsi sistem syaraf pusat. Reseptor glutamat yang
teridentifikasi secara farmakologi terdiri dari subtipe reseptor N-methyl D-aspartat
(NMDA), 5-hydroxy tryptamine (5HT), dan amino hydroxy methyl
isoxazolepropionate (AMPA). Aktivasi reseptor NMDA akan meningkatkan Ca+ dan
Na+ intrasel dan memicu aksi potensial. Terikatnya neurostransmiter glutamat pada
reseptor NMDA, menyebabkan aliran ion Ca+ dan NA+ ke dalam sel, ion Ca+
intracellular akan meningkat, terjadi depolarisasi, menyebabkan eksitatori, dan
memicu konvulsi (Gambar 3) (Cameron 2006; Garcia et al. 2010).
Gambar 3. Skema reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA) komfleks (Sumber: Uwe Rudolph dan Bernd Antkowiak 2004; Miller 2010) .
Reseptor GABA dan Glutamat adalah reseptor yang sebagaian besar terletak
pada otak khususnya di hipotalamus yang merupakan target kerja anestetikum, yaitu
di daerah tuberomammilary nucleous (TMN). Anestetikum umum akan
terkonsentrasi untuk meningkatkan aktivitas reseptor GABAA (Cameron 2006;
Mashour 2006; Pretto 2002; Miller 2010). Konsentrasi rendah isofluran, enfluran,
halotan, dan propofol mempengaruhi GABA dan induksi Cl-, pada dosis tinggi akan
secara langsung mempengaruhi reseptor GABAA
Secara seluler, anestetika bekerja pada sel neuron melalui interaksi dengan
kanal ion. Membran protein akan diaktivasi oleh rangsangan kimia atau karena
adanya perubahan sebagai sinyal pada membran sel. Dengan adanya sinyal, terjadi
aktivasi membran protein, kanal ion akan mempengaruhi elektrik neuron, terjadi
perpindahan ion pada permukaan membran sel sehingga terjadi perubahan kondisi di
dalam sel yang sangat negatif atau sangat positif. Kondisi di dalam sel yang sangat
negatif menyebabkan hiperpolarisasi sel sehingga terjadi inhibitori, sedangkan
kondisi yang sangat positif menyebabkan depolarisasi sel sehingga terjadi kondisi
menjadi terbuka (Henschel et al.
2008).
Skema subtipe reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA)
ekstraseluler
Sitoplasma
27
eksitatori. Pada umumnya, anestesi umum bekerja dengan cara memperkuat (+)
sinyal inhibitori atau menghambat (-) sinyal eksitatori. Secara klinis, anestetikum
mempengaruhi fungsi kanal ion lebih dari satu pada sistem syaraf dan hal ini
berdampak pada aktivitas neuron dengan drajat berbeda dan daerah berbeda, seperti
disajikan pada Gambar 4 (Cameron 2006; Garcia et al. 2010).
Gambar 4 Anestesi umum bekerja dengan cara mempengaruhi aktivitas transmitter-gate ion channel dengan cara meningkatkan (+) sinyal inhibitori dan/atau menghambat (-) sinyal eksitatori neurotransmiter. GABA= γ amino butiric acid, NMDA= N-methyl D-aspartat, 5HT3 = 5-hydroxy tryptamine, AMPA = amino hydroxy methyl isoxazolepropionate. (sumber: Cameron J Weir 2006).
Anestetika umum yang sering digunakan saat ini sebagai induksi dan
pemeliharaan anestesi ada lima jenis anestetika inhalasi dan lima jenis anestetika
injeksi intravena. Anestetika inhalasi yaitu N2O, isofluran, sevofluran, desfluran, dan
xenon. Anestetika intravena yaitu propofol, etomidat, ketamine, metoheksital, dan
tiopental. Ketamine, N2O, dan xenon bekerja dengan cara menghambat reseptor
glutamat dengan pengaruh yang sangat kuat menghambat reseptor subtipe NMDA
dan berpengaruh sangat lemah pada reseptor lain seperti reseptor GABAA. Anestetika
sisanya bekerja pada reseptor GABAA dengan pengaruh utama meningkatkan fungsi
reseptor GABAA dan berpengaruh juga pada kanal ion lainnya seperti reseptor glisin,
Anestesi Umum
Inhibitori Eksitatori
28
reseptor nikotin, reseptor 5HT3, reseptor glutamat, dan pompa ion kalium. Reseptor
GABAA adalah reseptor inhibitori neurotransmiter yang sebagian besar terletak di
SSP (Garcia et al. 2010). Dengan demikian anestetikum secara umum bertindak
sebagai sinyal yang akan merangsang reseptor GABAA
Anestetika umum injeksi, selain ketamine, bekerja meningkatkan pengaruh
reseptor GABA
, menyebabkan hiperpolarisasi
(inhibitori), mengganggu proses fisiologi dan menimbulkan perubahan klinis seperti
hipnosis, depresi refleks spinal, dan amnesia (Cameron 2006; Garcia et al. 2010).
A pada otak khususnya subtipe ß3 menyebabkan kehilangan
kesadaran dan subtipe ß2 (50% pada SSP) menyebabkan sedasi. Sedangkan
anestetikum ketamine, anestetika gas, N2O, Xenon dan sejenisnya bekerja sedikit
atau lemah pada reseptor GABAA atau Glisin, tetapi sangat kuat menghambat pada
reseptor glutamat subtipe NMDA sehingga akan menutup aliran Ca2+
Reseptor GABA
dan membuka
saluran ion K yang menyebabkan terjadinya analgesik kuat (Miller 2010).
A adalah reseptor yang ditemukan di SSP dan reseptor inilah
merupakan target anestesi. Anestetika umum meningkatkan kerja GABA dan
menginduksi saluran ion Cl. Pada dosis tinggi, anestetika dapat langsung
mengaktivasi reseptor GABAA, tanpa GABA. Sedangkan anestetika apolar seperti
xenon atau cyclopropan mempunyai pengaruh yang sedikit atau tidak berpengaruh
pada reseptor GABAA. Pengaruh fungsional anestetika pada reseptor GABAA
Franks (2008) dan Miller (2010) menerangkan bahwa anestetikum volatil
bekerja pada reseptor GABA
sangat
tergantung pada komposisi reseptor subunitnya, yaitu subunit α, β, atau subunit γ
(Franks 2008; Miller 2010).
A subunit α pada transmembran (TM)2 dan TM3
bagian protein Ser270 (αS270). Propofol sebagai anestetikum intravena bekerja pada
reseptor GABAA subunit ß TM2 dan TM3 bagian N265 (ßN265). Sedangkan
anestetika isofluran dan halotan mempunyai ikatan anestetik pada TM1, TM2, TM3,
dan TM4 bagian M159 yang sangat mempengaruhi tranduksi sinyal. Sedangkan
isofluran dan xenon lebih banyak menghambat reseptor melalui kompetisi dengan
glisin ( Gambar 5).
29
Mascia et al. (2000) menyebutkan bahwa alkohol dan anestetika
mempengaruhi reseptor glisin dan reseptor GABAA melalui asam amino pada TM2
dan TM3 dari α subunit, yaitu pada reseptor glisin pada S267, A288, dan Ser270
sedangkan pada reseptor GABAA subunit β pada S270, A291, Asn 265, dan Met286.
Propofol mirip dengan propanethiol bekerja pada reseptor Glisin TM2 α1 (S267C),
pada reseptor GABAA
TM2 α2 (S270C) ß1, pada TM3 α1 (A288C), pada TM3 α2
(A291C)ß1, pada TM2 β2 (Tyr445). Asam amino pada TM2 adalah tempat terikatnya
anestetika dan alkohol (Gambar 5) (Mascia et al. 2000; Franks 2008; Miller 2010).
Gambar 5. Anestetika volatil (isofluran) bekerja pada reseptor GABAA dan anestetika intravena (propofol) bekerja pada reseptor GABA
subunit α A
(Sumber : Miller 2010). subunit β.
Tinjauan Anestetikum Umum
Ketamine HCl
Ketamine HCl adalah anestetikum golongan phencyclidine (PCP) dengan
rumus 2-(0-chlorophenyl)-2-(methylamino)-cyclohexanone hydrochloride, golongan
nonbarbiturat, dan termasuk dissosiatif anestesi, yaitu pada dosis rendah sebagai
preanestesi dan pada dosis lebih tinggi sebagai anestesi umum. Ketamine HCl
merupakan larutan tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan mempunyai tingkat
intravena (McKelvey dan Hollingshead 2003). Pemakaian atropine sulfas dosis tinggi
berakibat peningkatan frekuensi jantung dan tonus vagal perifer dan sentral. Kejadian
disarithmia jantung dan takhikardi pada pemberian atropine sulfas pernah dilaporkan
pada anjing (Lumb dan Jones 1996).
Perubahan Aspek Fisiologi dalam Anestesi
Pengamatan aspek fisiologi untuk pengawasan suatu anestesi dapat dikatakan
sempurna apabila seluruh perubahan aspek fisiologi dapat diamati, tetapi perubahan
aspek fisiologi pada sistem kardiovaskuler, respirasi dan suhu tubuh merupakan
parameter yang terpenting diamati selama periode anestesi (Adams 2001, Flecknell,
1987). Kunci efektifitas anestesi dan tingkat keamanan selama periode anestesi
adalah dilakukannya pengawasan dan pemantauan (monitoring) anestesi yang baik.
Pemeriksaan cepat dan seksama selama periode anestesi dilakukan terhadap
kedalaman anestesi, kardiovaskuler dan respirasi, oksigenasi, dan variabel yang lain,
seperti disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perubahan fisiologi yang diperiksa selama periode anestesi
• Respirasi : kecepatan, kedalaman, dan sifat (gerak kantong reservoir dan gerakan dada). • Warna membrana mukosa dan capillary refill time (CRT). • Denyut jantung • Pulsus : kecepatan dan kekuatan • Ketegangan rahang, posisi bola mata, dan aktivitas refleks palpebral. • Oksigenasi (kecepatan aliran dan tekanan) • Temperatur tubuh pasien
Sumber: McKelvey dan Hollingshead 2003
Tanda-tanda vital dan refleks harus diperiksa selama hewan teranestesi. Tanda
vital menunjukkan variabel yang mengindikasikan mekanisme respon keseimbangan
(homeostasis) hewan terhadap anestesi, seperti denyut jantung, kecepatan respirasi,
capillary refill time (CRT), dan temperatur. Tanda vital bagi pasien menandakan
kemampuan pasien untuk mempertahankan fungsi respirasi dan sirkulasi selama
teranestesi. Tanda vital dapat diamati dengan indera (sentuhan, pendengaran, atau
41
penglihatan) atau menggunakan alat seperti mesin EKG atau oximeter. Tanda vital
yang harus diperiksa selama teranestesi adalah denyut dan ritme jantung, pulsus,
CRT, warna membrana mukosa, kehilangan darah, kecepatan dan kedalaman
respirasi, dan temperatur. Tanda vital lain yang juga diperiksa adalah oksigenasi,
CO2
, EKG, dan tekanan darah. Sedangkan refleks adalah reaksi tidak sengaja dari
hewan terhadap rangsangan seperti ditusuk atau dipukul. Refleks memberikan
informasi terhadap kedalaman anestesi tetapi tidak berhubungan dengan keamanan
anestesi atau mekanisme homeostasis pasien (McKelvey dan Hollingshead 2003).
Sistem Kardiovaskeler
Sistem kardiovaskuler adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari
jantung, pembuluh darah dan darah. Fungsi utama sistem kardiovaskuler adalah
sebagai sistem sirkulasi atau alat transport. Sirkulasi darah akan mengangkut
substansi penting untuk kesehatan dan kehidupan, seperti oksigen (O2) dan nutrisi
yang diperlukan oleh setiap sel dalam tubuh. Darah juga membawa karbondioksida
(CO2
Denyut jantung adalah hitungan berapa kali jantung berdenyut dalam satu
menit. Pengamatan frekuensi denyut jantung dapat menggambarkan kualitas fungsi
kardiovaskuler yang bertugas mengangkut O
) dan hasil sisa metabolisme tubuh dari tiap-tiap sel dan mengirimnya ke paru-
paru, hati, atau ginjal sebagai tempat untuk pengeluaran (Cunningham 2002). Jantung
berfungsi sebagai pompa yang melakukan tekanan terhadap darah untuk
menimbulkan tekanan yang diperlukan agar darah dapat mengalir ke jaringan.
Pembuluh darah berfungsi sebagai saluran untuk mengarahkan dan mendistribusikan
darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan mengembalikan ke jantung (Sherwood
2001, Cunningham 2002).
2 dan nutrien ke seluruh jaringan tubuh,
membawa limbah metabolisme dan mempertahankan homeostasis seluler.
Pengamatan frekuensi denyut jantung dapat dihitung secara auskultasi dengan
mempergunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas apeks jantung di rongga dada
sebelah kiri, atau dapat pula dengan merasakan pulsus hewan pada pembuluh darah
arteri femoralis atau brachialis. Selain itu, pengukuran frekuensi denyut jantung
42
dapat juga dilakukan dengan elektrokardiogram (EKG) (Cunningham 2002, Nelson
2003).
Denyut jantung minimal yang masih aman pada anjing teranestesi adalah 60
kali/menit. Denyut jantung yang lebih rendah menandakan kedalaman anestesi yang
berlebihan atau ada gangguan. Denyut jantung yang umum pada hewan yang
teranestesi adalah 60-120 kali per menit (anjing sehat 60-180x/menit). Penurunan
denyut jantung pada kondisi teranestesi adalah normal, akibat adanya pengaruh
sebagian besar anestetikum yang dapat menekan denyut jantung dan fungsi
miokardiak. Hanya beberapa atestetika yang dapat meningkatkan denyut jantung
seperti atropine, ketamine, dan tiletamin (McKelvey dan Hollingshead 2003).
Selama dalam keadaan teranestesi, jantung dapat diamati dengan
elektrokardiograf untuk melihat gambaran elektrokardiogram. Elektrokardiogram
(EKG) adalah suatu rekaman keadaan yang menggambarkan konduksi listrik jantung.
Rekaman konduksi listrik jantung sangat umum digunakan secara klinis untuk
mendiagnosa disfungsi listrik jantung. Depolarisasi atrial, depolarisasi ventrikel, dan
repolarisasi ventrikel akan menyebabkan depleksi voltase yang khas dalam bentuk
gelombang pada elektrokardiogram. Alat elektrokardiograf dapat digunakan untuk
melihat gambaran elektrokardiogram dan denyut jantung (Cunningham 2002).
Jantung dibentuk oleh tiga jenis sel yang menyebabkan terjadinya eksitasi,
yaitu sel pacemaker sebagai sumber bioelektrik jantung dan secara dominan berada di
nodus SA (Sino-Atrial node), sel konduksi sebagai kawat penghubung arus
bioelektrik seperti nodus AV (Atrio-Ventricular node), berkas his atau serabut
purkinje, dan sel otot jantung (miokardium) yang berfungsi untuk kontraksi
(Cunningham 2002).
Jantung berdepolarisasi apabila terdapat dua buah kesatuan yang secara
fungsional terisolasi, yaitu atrium kanan dan kiri serta ventrikel kanan dan kiri yang
dijembatani oleh nodus AV. Jalur gelombang depolarisasi dimulai dari nodus SA
pada atrium kanan, kemudian menyeberangi atrium dari nodus SA ke atrium kiri.
Dinding atrium relatif tipis sehingga depolarisasi berjalan terus melalui endokardium
dan epikardium. Kecepatan depolarisasi ini dipengaruhi oleh rangsangan otonom,
43
suhu dan ukuran serabut miokardium. Gelombang depolarisasi menyebabkan atrium
berkontraksi dan darah akan mengalir ke ventrikel. Kemudian gelombang
depolarisasi mengalir melalui berkas his dan serabut purkinje yang menyebabkan
dinding ventrikel berkontraksi dan darah dapat dialirkan keluar ventrikel (Sherwood
2001, Karim dan Kebo 2002).
Gelombang EKG ditandai dengan satu seri defleksi atau gelombang, dengan
perjanjian bahwa suatu potensial positif menghasilkan defleksi ke atas dan suatu
potensial negatif menghasilkan defleksi ke bawah. Gelomgang P, menunjukkan
depolarisasi atrium atau kontraksi atrium. Gelombang untuk repolarisasi atrium tidak
terlihat pada EKG, karena tertutup oleh gelombang Q, R, dan S. Gelombang Q, R,
dan gelombang S, bersama-sama merupakan komplek QRS. Komplek QRS
menunjukkan depolarisasi ventrikel atau kontraksi ventrikel. Ketetapan pada komplek
QRS adalah setiap awal defleksi negatif ditunjukkan oleh Q, setiap defleksi positif
(dengan atau tanpa didahului oleh Q) ditunjukkan oleh R, dan setiap defleksi negatif
yang mengikuti R, ditunjukkan oleh S. Gelombang T menunjukkan repolarisasi
ventrikel. Walaupun depolarisasi dan repolarisasi adalah proses yang bertolak
belakang, gelombang T dan gelombang R biasanya menunjuk kearah yang sama,
yang menunjukkan bahwa penyebab aktivasi dan penurunan mengambil jalur yang
berbeda melalui miokardium. Interval PR atau PQ adalah waktu yang berlalu antara
permulaan eksitasi atrium dan permulaan eksitasi ventrikel atau penjumlahan dari
waktu depolarisasi atrium dan waktu perlambatan simpul AV. Interval QT bervariasi
dengan denyut jantung, segmen ini menunjukkan waktu yang diperlukan untuk
depolarisasi dan repolarisasi ventrikel atau jarak antara permulaan gelombang Q
sampai akhir gelombang T, sedangkan durasi QRS adalah waktu yang diperlukan
untuk depolarisasi atau kontraksi ventrikel, seperti disajikan pada Gambar 11
(Sherwood 2001; Karim dan Kebo 2002; Gay dan Rothenburger 2000).
44
Gambar 11 Diagram gambaran gelombang elektrokardiogram (EKG).
Selain EKG, tekanan darah juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan
pada sistem kardiovaskuler. Tekanan darah arteri sangat dipengaruhi oleh cardiac
output dan tahanan total perifer, denyut jantung, serta stroke volume. Peningkatan
stroke volume atau cardiac output akan meningkatkan tekanan darah. Peningkatan
tahanan perifer juga akan mempengaruhi peningkatan tekanan darah. Jadi penurunan
denyut jantung, stroke volume atau tahanan perifer secara sendiri-sendiri atau
dikombinasikan akan menurunkan tekanan darah arteri (Muir et al. 2000;
Cunningham 2002 ). Nilai normal denyut jantung, elektrokardiogram, dan tekanan
darah arteri pada anjing disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kriteria elektrokardiogram (EKG) dan tekanan darah normal pada anjing
Parameter Kisaran Normal pada Anjing Denyut Jantung (denyut per menit) 70 – 160 Gelombang P (maximum)(detik dan mv) 0,04 dan 0,4 Interval PQ(detik) 0,06 – 0,13 Interval QRS(detik) 0,04 – 0,05 Gelombang R(mv) 3 Segmen ST(mv) 0,2 Gelombang T (maximum) 1/3 R Interval QT(detik) 0,15 – 0,25 Tekanan sistol/diastol (rata-rata)( mmHg) 100/65(90)-160/100(100)
Sumber : Nelson 2003
Denyut jantung, gambaran elektrokardiogram dan tekanan darah arteri adalah
parameter penting pada sistem kardiovaskuler yang harus diperhatikan sebelum dan
Umur dikawinkan (th) 1-2 Blood Urea Nitrogen (mmol/l) 3,-7,5
Bunting (hr) 59-68(63) Kreatinin (µmol/l) <120
Jumlah anak 1-12(4-6) Total billirubin (µmol/l) <5
Berat lahir (gr) 250 Kolesterol (mmol/l) 4-7
Keterangan : += kritis
54
Klasifikasi Status Pasien
Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi telah ditetapkan oleh
American Society of Anesthesiologist (ASA), seperti disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi (Sumber : Lumb dan Jones 1996; Muir et at. 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003)
Katagori Kondisi fisik Contoh kondisi klinik
Klas I Resiko minimal
Hewan normal (sehat klinis) Tidak ada penyakit
Overiohisterektomi, kastrasi, operasi declawing, radiografi, hipdisplasia.
Klas II Resiko ringan, ada penyakit ringan
Hewan dengan gangguan atau penyakit sistem ik ringan, ada kemampuan kompensatoar, tidak ada gejala klinis penyakit.
Hewan neonatal atau geriatrik, obesitas, tumor kulit, hernia tanpa komplikasi, criptorchid, fraktura tanpa shok, diabetes ringan, penyakit jantung dengan kompensatoar, infeksi lokal, infestasi cacing jantung ringan.
Klas III Resiko sedang, ada penyakit yang pasti
Hewan dengan gangguan atau penyakit sistem ik sedang, terdapat gejala klinis ringan.
Anemia, anoreksia, dehidrasi sedang, penyakit ginjal ringan, murmur ringan jantung atau penyakit jantung, demam, hipovolemia sedang.
Kelas IV Resiko tinggi, Sangat berbahaya karena penyakit
Hewan dengan penyakit sistem ik berat tetapi dapat menjalani pengobatan atau gangguan alami yang berat
Dehidrasi berat, shok, uremia, toksemia, demam tinggi, anemia, penyakit jantung tidak terkompensasi, diabetes, gangguan ginjal dan pulmonum, serta kekurusan.
Klas V Resiko sangat berat atau parah
Pasien parah hampir mati, dengan atau tanpa operasi tidak ada harapan hidup dalam 24 jam.
Penyakit jantung, ginjal, hati, paru-paru, atau endokrin yang lanjut; Shok berat dengan disertai dehidrasi berat, luka kepala yang parah, trauma berat, emboli pulmonum, dan tumor maligan stadium akhir.
Evaluasi status pasien dan penentuan status pasien harus dilakukan sebelum
dilakukan anestesi dan pembedahan. Evaluasi meliputi pemeriksaan fisik, sejarah
pasien, dan hasil pemeriksaan tes laboratorium diagnosis. Secara umum, pasien
dengan klasifikasi klas I dan klas II sangat aman untuk dilakukan anestesi dengan
55
protokol dan teknik yang standar (Lumb dan Jones 1996; Muir et at. 2000; McKelvey
dan Hollingshead 2003).
Pada penelitian ini, hewan coba yang digunakan adalah anjing domestik
dengan kriteria memenuhi data fisiologis Tabel 6 dan klasifikasi status pasien Tabel
7.
Pemantauan Anestesi
Pemberian anestetikum yang kurang atau tidak mencukupi menyebabkan
pasien akan tetap merasakan nyeri, masih dalam keadaan sadar, masih adanya refleks
dan masih ada pergerakan. Apabila dosis anestetikum yang diberikan dalam keadaan
cukup atau berlebihan, mengancam terjadinya kematian. Guna mencegah dua
kejadian yang ekstrim tersebut, harus dilakukan pemantauan yang baik selama
teranestesi. Pemantauan dilakukan terhadap fungsi respirasi, fungsi sirkulasi, dan
temperatur tubuh serta tetap mempertahankan kedalaman anestesi (McKelvey dan
Hollingshead 2003).
Kedalaman anestesi tidak dapat diberikan batasan yang tegas seperti terjaga,
tertidur, maupun meninggal. Tetapi secara umum berdasarkan pengalaman, dapat
digambarkan bahwa anestesi mempunyai empat tahap (4 stages) dimana tahap 3
(tahap anestesi untuk pembedahan) dibagi dalam 4 plane. Sedangkan pada binatang
mempunyai banyak spesies, biasanya digunakan balanced anesthetic dengan
kombinasi beberapa obat sehingga tahap-tahap anestesi tidak menjadi jelas. Anestesi
pada hewan memerlukan pengawasan yang lebih sering dan lebih teliti untuk
mengetahui tercapainya kedalaman anestesi, sehingga kedalaman anestesi tetap dapat
diawasi serta dipertahankan, dan tidak berpengaruh buruk terhadap sistem vital.
Lebih dari satu tanda harus digunakan untuk mengetahui kedalaman anestesi, karena
kedalaman anestesi tidak dapat ditentukan hanya dari satu tanda saja. Selama
teranestesi harus tetap terjaga penyediaan oksigen yang cukup ke jaringan dan
terbuangnya karbondioksida hasil respirasi. Jumlah oksigen yang cukup menuju
jaringan sangat tergantung pada beberapa faktor seperti cardiac output, nilai saturasi
aoksigen, dan Hb (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007).
56
Pada kondisi teranestesi, sistem fisiologi hewan akan mengalami penurunan
terutama cardiac output dan penurunan efisiensi paru-paru (saturasi arteri), sehingga
akan menyebabkan penurunan ketersediaaan O2
ke jaringan dan ditambah dengan
kondisi sakit dapat menyebabkan hipoksia serta kematian. Penggunaaan anestesi
harus tetap mempertahankan kedalaman anestesi tetapi tetap juga menjaga agar tidak
terjadi gangguan pada sistem kardiovaskuler dan respirasinya. Dua hal tersebut dapat
dijaga hanya dengan memperhatikan refleks dan mengawasi tanda-tanda vital hewan.
Refleks pedal, menjepit ekor dan telinga dapat digunakan untuk melihat bahwa
anestesi sudah dalam dan anestesi tahap pembedahan sudah tercapai, tetapi tidak
dapat digunakan untuk memantau bahwa anestesi terlalu dalam dan sudah
membahayakan. Pada keadaan tahap anestesi yang terlalu dalam, hewan dapat dalam
keadaan bahaya terhadap gagalnya respirasi dan kardiovaskuler. Tanda-tanda vital
pada aktivitas kardiovaskuler dan respirasi yang menunjukkan kegagalan atau
bahaya harus diamati dengan baik seperti mata terbuka, nafas sangat lambat dan
dangkal, nafas sangat dalam, warna membrana mukosa membiru, dan tekanan darah
yang sangat menurun (Wolfensohn dan Lloyd 2000; McKelvey dan Hollingshead