BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Hakekat Matematika Kata ‘matematika’ berasal dari bahasa Latin manthanein atau mathema yang berarti belajar atau hal yang dipelajari. Matematika dalam bahasa Belanda disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran (Depdiknas 2003: 5). Sedangkan definisi atau ungkapan pengertian matematika sangat banyak dijumpai, bahkan mungkin sebanyak tokoh yang mendefinisikan matematika tersebut. Ada tokoh yang tertarik dengan perilaku bilangan, maka ia melihat matematika dari sudut bilangan. Tokoh lain lebih mencurahkan perhatian pada struktur-struktur, ia melihat matematika dari sudut pandang struktur-struktur itu. Dengan kata lain tidak terdapat satu definisi tentang matematika yang tunggal dan disepakati oleh semua tokoh atau pakar matematika. Namun demikian, menurut Sumardyono (2004: 30) di dalam setiap pandangan terhadap matematika terdapat beberapa ciri matematika yang umum disepakati bersama. 7
40
Embed
tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika
bab 2 dari tesis mengenai pengembangan pendekatan pembelajaran matematika realistik pada konteks sekolah islam
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Hakekat Matematika
Kata ‘matematika’ berasal dari bahasa Latin manthanein atau mathema
yang berarti belajar atau hal yang dipelajari. Matematika dalam bahasa Belanda
disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran
(Depdiknas 2003: 5). Sedangkan definisi atau ungkapan pengertian matematika
sangat banyak dijumpai, bahkan mungkin sebanyak tokoh yang mendefinisikan
matematika tersebut. Ada tokoh yang tertarik dengan perilaku bilangan, maka ia
melihat matematika dari sudut bilangan. Tokoh lain lebih mencurahkan perhatian
pada struktur-struktur, ia melihat matematika dari sudut pandang struktur-struktur
itu. Dengan kata lain tidak terdapat satu definisi tentang matematika yang tunggal
dan disepakati oleh semua tokoh atau pakar matematika.
Namun demikian, menurut Sumardyono (2004: 30) di dalam setiap
pandangan terhadap matematika terdapat beberapa ciri matematika yang umum
disepakati bersama. Di antaranya adalah: memiliki objek kajian yang abstrak
(yaitu fakta, operasi atau relasi, konsep, dan prinsip), bertumpu pada kesepakatan,
berpola pikir deduktif, konsisten dalam sistemnya, memiliki simbol yang kosong
dari arti (sehingga bersifat universal), dan memperhatikan semesta pembicaraan.
Sedangkan proses terjadinya matematisasi pada diri para matematikawan
disimpulkan oleh Fadjar Shadiq (2004: 10) berikut ini.
1. Pada awalnya, proses matematisasi yang dilakukan dan dihasilkan para matematikawan adalah proses induksi atau penalaran induktif. Dimulai dari kasus-kasus khusus yang lalu digeneralisasi menjadi pernyataan umum (general).
2. Proses berikutnya adalah proses formalisasi pengetahuan matematika dengan terlebih dahulu menetapkan sifat pangkal (aksioma) dan
7
8
pengertian pangkal, yang akan menjadi pondasi pengetahuan matematika berikutnya yang harus dibuktikan secara deduktif.
Berkaitan dengan penalaran induktif dan deduktif, Polya dalam Fadjar
Shadiq (2004: 10) berpendapat sebagai berikut.
Ya, matematika mempunyai dua wajah; matematika adalah sains eksak Euclid, tapi juga sekaligus yang lain. Matematika yang ditampilkan dengan cara Euclid adalah sains yang sistemik dan deduktif; akan tetapi matematika adalah sains yang induktif jika ditampilkan sebagai suatu eksperimen.
Pendapat Polya di atas menghapus anggapan bahwa matematika semata-mata
dibangun oleh penalaran deduktif.
Matematika juga tak lepas dari filsafat ilmu, yaitu kelompok ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Ontologi menyangkut masalah mengapa suatu hal
(dalam hal ini matematika) perlu dipelajari atau diteliti. Epistemologi menyangkut
metode suatu ilmu dipelajari, sedangkan aksiologi menyangkut bagaimana suatu
ilmu diterapkan.
Dari ketiga kelompok tersebut, muncullah 3 bagian besar matematika
yang dinyatakan dalam The New Encyclopedia Britannica, yakni: 1) Sejarah dan
Landasan Matematika, 2) Cabang-cabang Matematika yang terdiri dari 6 cabang
besar, 3) Terapan-terapan Matematika yang terdiri dari 7 cabang besar (The Liang
Gie dalam Sumardyono, 2004: 7).
Pembagian di atas salah satunya adalah sebagai akibat bahwa meskipun
bersifat universal dalam semesta pembicaraannya, matematika tidak serta merta
bebas nilai. Sebagai contoh, Sejarah Matematika sebagai sebuah disiplin ilmu
terbagi menjadi dua kubu utama. Yang pertama, kubu eurocentric yang
berpendapat bahwa yang pertama kali menemukan matematika adalah orang
Yunani. Kubu kedua adalah humanocentric dan ethnomathematic yang
beranggapan bahwa matematika ditemukan oleh manusia jauh sebelum zaman
Yunani Kuno. Humanocentric adalah yang dianut oleh para matematikawan
9
Muslim pada masa kejayaan Islam sesuai dengan keyakinan mereka (Adi Setia,
2008: 5).
Pernyataan matematika tidak bebas nilai di atas sesuai dengan pendapat
Kirby dalam Adi Setia (2008: 6) berikut ini.
Matematika di masa mendatang, sebagaimana di masa lalu, tidak dapat bebas nilai. Matematika selalu menjadi sebuah aktivitas manusia. Matematika memenuhi kebutuhan manusia. Matematika bisa jadi akurat, akan tetapi keobjektifannya adalah subjek dari nilai-nilai manusia, termasuk penafsiran ‘objektivitas’ suatu ideologi. Matematika juga merupakan area yang bebas dari kreativitas manusia, sebagaimana yang terlihat dalam cabang matematika seperti analisis vektor, topologi, kalkulus, teori himpunan, dan cabang-cabang yang lain.
Pendapat lain yang sesuai yaitu pendapat Martin dalam Adi Setia (2008:
7) berikut ini. “Konsep Platonik bahwa matematika adalah bebas nilai
sesungguhnya merupakan konsep yang di dalam dirinya sendiri sarat nilai karena
bertujuan untuk menyembunyikan dari sebagian besar orang hubungan yang
sangat erat antara matematika dan sistem kepercayaan yang dianut oleh
praktisinya.”
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika
secara epistemologi berkenaan dengan ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang
tersusun secara hierarkis dan penalarannya menggunakan sistem deduktif serta
konsisten dalam sistemnya. Akan tetapi dalam proses terjadinya matematika pada
diri seseorang, penalaran induktif tetap diperlukan.
Anggapan lain yang keliru adalah bahwa matematika bebas nilai. Padahal
secara filsafat ilmu ontologi dan aksiologi, matematika tidaklah bebas nilai karena
tergantung pada ideologi praktisinya.
2. Pembelajaran Matematika Sekolah
Satu-satunya wadah kegiatan yang dipandang dan sebaiknya berfungsi
untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah pendidikan, melalui
pendidikan jalur sekolah maupun jalur luar sekolah. Matematika sebagai salah
10
satu ilmu dasar, baik aspek terapan maupun aspek penalarannya, mempunyai
peranan yang penting dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi. Matematika
perlu dikuasai dalam penerapan dan pola pikirnya.
Oleh sebab itu matematika dipelajari di sekolah-sekolah baik dari mulai
tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Selama ini matematika
sudah berkembang sedemikian pesatnya, sehingga terlalu sulit untuk dipelajari
seluruhnya oleh peserta didik-peserta didik di sekolah. Matematika yang dipelajari
di jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah
Atas disebut matematika sekolah. Matematika sekolah menurut Soedjadi dalam
Endang Sriningsih (2009: 14) adalah unsur-unsur atau bagian-bagian dari
matematika yang dipilih berdasarkan atau berorientasi kepada kepentingan
kependidikan dan perkembangan IPTEK.
Dari pengertian matematika sekolah di atas dapat disimpulkan bahwa
matematika sekolah tidak sama dengan matematika sebagai ‘ilmu’. Menurut
Sumardyono (2004: 43), yang membedakan matematika sekolah dan matematika
sebagai ‘ilmu’ adalah dalam hal penyajian, pola pikir, keterbatasan semesta, dan
tingkat keabstrakan.
Dalam hal penyajian, matematika sekolah perlu diusahakan sesuai
dengan perkembangan kognitif peserta didik, sehingga tidak harus diawali dengan
teorema atau definisi. Sebagai akibat dipilihnya unsur atau elemen matematika
untuk matematika sekolah dengan memperhatikan aspek pendidikan,
maka terjadi penyederhanaan dari konsep matematika yang kompleks.
Pembelajaran matematika sekolah dapat menggunakan pola pikir induktif
maupun deduktif. Hal ini disesuaikan dengan topik bahasan dan tingkat
pemahaman peserta didik. Secara umum, pada tingkat SD, matematika didekati
secara induktif terlebih dahulu karena hal ini lebih memungkinkan peserta didik
menangkap pengertian yang dimaksud. Sementara untuk SMP dan SMA, pola
pikir deduktif harus semakin ditekankan.
Pengertian semesta pembicaraan tetap diperlukan, namun mungkin sekali
dipersempit. Selanjutnya semakin meningkat usia peserta didik, yang berarti
11
meningkat pula tahap perkembangannya, maka semesta itu berangsur-angsur
diperluas.
Sesuai dengan pola pikir yang dipakai, tingkat keabstrakan matematika
sekolah juga harus bertahap. Di SD, penjumlahan bilangan dapat ‘dikongkretkan’
dengan menghadirkan benda nyata, seperti lidi, untuk dijumlahkan. Namun
semakin tinggi jenjang sekolah, tingkat keabstrakan bilangan sebagai objek
matematika semakin diperjelas.
Pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki pengetahuan
dan pengertian tentang matematika, baik dalam kehidupan sehari-hari, untuk
bekal melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan sebagai penunjang
mempelajari pelajaran-pelajaran yang lain.
Matematika sebagai bidang ilmu atau sebagai mata pelajaran yang
dipelajari di setiap jenjang pendidikan, bahkan tanpa disadari matematika
diperlukan orang dalam kehidupan sehari-hari. Di tingkat pendidikan dasar, mata
pelajaran matematika bertujuan untuk mengembangkan kemampuan
berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol-simbol serta ketajaman
penalaran sehingga dapat membantu memecahkan masalah matematika maupun
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya di SD ditekankan agar
peserta didik mengenal, memahami serta mahir menggunakan bilangan dalam
kaitannya dengan kebutuhan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Di SMP, pada
peserta didik ditekankan proses abstraksi kuantitatif dalam bentuk aljabar dan
geometri sederhana. Sedangkan di SMA ditekankan menggunakan perbandingan,
fungsi, persamaan dan identitas trigonometri dalam pemecahan masalah sehari-
hari (Depdiknas, 2003: 9).
Oleh karena itu pembelajaran matematika sekolah haruslah dapat
membuat peserta didik dapat menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-
hari. Jadi matematika sekolah haruslah aplikatif. Mengikut pendapat Polya pada
sub bab sebelumnya, pengembangan matematika dengan penalaran induktif atau
dimulai dengan hal konkrit adalah diperlukan. Pembelajaran matematika yang
dimulai dengan deduktif aksiomatis menurut Fadjar Shadiq (2004: 10)
sesungguhnya telah mengingkari proses bertumbuh dan berkembangnya
12
matematika. Matematika sekolah seharusnya mengikuti proses didapatkannya
matematika oleh para matematikawan. Peserta didik dituntun atau difasilitasi
untuk belajar sehingga dapat menemukan kembali (reinvent) atau mengkonstruksi
kembali (reconstruct) pengetahuannya. Selain itu, menurut Shultz dalam Lisa
(2007: 5), pembelajaran ide dan konsep matematika berdasarkan kehidupan
sehari-hari dapat merangsang keingintahuan intelektual peserta didik.
Akan tetapi perlu diingat bahwa tidak berarti pembelajaran matematika
direduksi hanya sebatas soal cerita, menafsirkan soal cerita tersebut, kemudian
memodelkannya, sehingga dapat disebut ‘matematika konteks nyata’. Haruslah
tetap ada keseimbangan antar ‘ide’ matematika sebagai pemecah masalah
(masalah di luar matematika) dan sebagai ilmu deduktif yang mempunyai hukum
dan aturannya sendiri (Humenberger, 2000: 1-2).
3. Sekolah Islam
Sekolah Islam merupakan salah satu dari tiga jenis lembaga pendidikan
Islam di Indonesia. Dua yang lain yaitu pesantren dan madrasah adalah jenis
lembaga pendidikan Islam yang berkembang lebih awal.
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia
dan sejarahnya telah mengakar secara berabad-abad. Kata ‘pesantren’
mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren,
sedangkan kata ‘santri’ diduga berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti
“melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti
gurunya kemanapun pergi. Dari sini dapat dipahami bahwa pesantren setidaknya
memiliki tiga unsur, yakni; Santri, Kyai dan Asrama (pondok) (Hamidah dalam
Arief Efendi, 2008: 3).
Madrasah adalah perkembangan dari pesantren. Madrasah mengalami
perubahan tidak menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan pendidikan
Islam pesantren. Karena madrasah mulai memasukkan pelajaran-pelajaran umum
dan metode yang digunakan tidak lagi dengan metode sorogan atau bandongan,
melainkan mengikuti sistem pendidikan modern dengan model klasikal. Dengan
13
demikian, madrasah merupakan sub sistem pendidikan pesantren, semisal yang
dilakukan di Tebu Ireng. Pembaharuan sistem tersebut menyebar ke beberapa
pesantren semisal di Kediri, Demak, Kudus, Cirebon dan Banten. (Muhaimin
dalam Arief Efendi, 2008: 6).
Perkembangan pendidikan Islam yang mencolok terjadi pada tahun 1990-
an. Yaitu dengan munculnya sekolah-sekolah Islam. Sekolah-sekolah itu mulai
menyatakan diri secara formal dan diakui oleh kalangan Muslim sebagai “sekolah
unggulan” atau sekolah Islam unggulan. Sekolah Islam unggulan tersebut seakan
menjawab tuntutan modernisasi sistem pendidikan Islam (Zoher dalam Arief
Efendi. 2008: 8).
Sedangkan pengertian sekolah Islam, termasuk sekolah Islam terpadu, itu
sendiri menurut Alaydroes dalam Arief Efendi (2008: 8) yaitu sekolah yang
memasukkan nilai-nilai Islam dari berbagai saluran. Baik saluran formal dalam
arti pembelajaran agama, dan semua mata pelajaran bernuansa Islami, apakah itu
IPA, Matematika, Geografi, PMP, itu semua harus dikaitkan dengan nilai-nilai
spritual, nilai-nilai Illahiah. Kemudian yang kedua, merekrut guru-guru yang
punya visi dan ideologi yang sama, mereka tidak diperkenankan merokok,
berakhlak karimah, dan bisa menjadi teladan. Selain itu, perilaku ibadah anak-
anak juga dibentuk, lewat sholatnya atau doa-doanya dan diupayakan untuk
mengikuti sunnah.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika tidak dipelajari
di pesantren, akan tetapi dipelajari di madrasah dan sekolah Islam sebagaimana di
sekolah umum. Bedanya bahwa pembelajaran matematika di sekolah umum tidak
memperhatikan nilai-nilai Islam. Sedangkan pembelajaran matematika di
madrasah hanya sedikit diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam dan sistem
pembelajarannya lebih konvensional dibandingkan dengan pembelajaran
matematika di sekolah Islam. Jadi pembelajaran matematika di sekolah Islam
harus mengikuti prinsip-prinsip pembelajaran matematika sekolah, ditambah
mengikuti prinsip-prinsip Islam, serta mengacu pada teori pembelajaran terkini.
14
4. Islamisasi Pembelajaran Matematika Sekolah di Sekolah Islam
Islam sebagai mabda (prinsip ideologis) yang mengatur seluruh aspek
kehidupan (Taqiyyuddin an-Nabhani, 2006: 106) tidak hanya mengatur masalah
ibadah spiritual, tetapi juga mengatur hubungan-hubungan yang terjadi dalam
masyarakat, termasuk pendidikan dan sains.
Karena nilai-nilai Islam yang menyeluruh tersebut sudah tertanam pada
seluruh aspek kehidupan kaum Muslim sejak lama dan semuanya sama di hadapan
agama, maka Taqiyyuddin an-Nabhani (2006: 106) berpendapat bahwa Islam
tidak membedakan istilah rohaniawan ataupun teknokrat. Islam juga tidak
membedakan istilah-istilah keilmuan dengan embel-embel Islam karena ilmu yang
bersifat netral otomatis diislamisasi dalam diri individu kaum Muslimin sendiri.
Karenanya, istilah-istilah seperti sains Islam, islamisasi matematika, dan
matematika Islam baru muncul dewasa ini untuk membedakannya dengan sains
dan matematika yang tidak berdasarkan Islam dan atau sains dan matematika yang
tidak hidup di masa kejayaan Islam.
Istilah sains Islam menurut Osman Bakar (2008) pertama kali
dikemukakan oleh Seyyed Hossein Nasr, dalam tesis doktoralnya dalam bidang
kosmologi Islam Departemen Sejarah Sains, Universitas Harvard, pada tahun
1958. Tesis tersebut dipublikasikan oleh Harvard University Press pada tahun
1960. Nasr menggunakan istilah “Islamic science” (sains Islam) untuk merujuk
pada sains pada masa peradaban Islam. Akan tetapi dia tidak memahaminya hanya
sebagai salah satu sains di masa lalu, suatu realitas dalam sejarah Islam.
Sains Islam menurut Nasr adalah sebuah tradisi yang hidup dan bertahan
dari gempuran sains dan teknologi modern dalam hal pembelajaran dan
praktiknya. Sains Islam ini memiliki aspek sejarah, meliputi pengaruhnya yang
kuat bagi Islam dan Barat. Akan tetapi tidak hanya itu, Sains Islam juga
mempunyai prinsip yang langgeng yang dapat digunakan dalam perkembangan
sains di setiap masa. Dengan kata lain, pada prinsipnya, sangatlah mungkin untuk
menciptakan sains Islam yang baru baik sekarang atau di masa depan (Osman
Bakar: 2008).
15
Dengan semangat serupa, Adi Setia (2008: 8) mendefinisikan istilah
Islamisasi matematika seperti berikut ini.
Islamisasi matematika adalah sebuah “simbiosis” antara matematika dan sistem peraturan dalam Islam. Matematika sebagai suatu hasil yang objektif dan kuantitatif membentuk nilai-nilai kognitif dan etik matematikawan Muslim yang sangat peduli untuk memahamkan dan menghidupkan visi Islam tentang kebenaran dan realitas baik dalam kehidupan pribadi maupun professional mereka.
Sedangkan istilah matematika Islam sendiri telah banyak diartikan
berbeda, akan tetapi sebagian besar merujuk pada matematika yang berkembang
di masa kejayaan Islam. Di dalam artikel yang dikeluarkan oleh Center for South
Asian and Middle Eastern Studies, University of Illinois at Urbana-Champaign
disebutkan bahwa matematika Islam adalah istilah yang digunakan untuk merujuk
pada matematika yang ada di dunia Islam pada abad 8 hingga abad 13