TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Tanaman Sorgum Taksonomi Sorgum Sorgum mempunyai nama umum yang beragam, yaitu sorghum di Amerika Serikat dan Australia, durra di Afrika, jowar di India, bachanta di Ethiopia (FAO, 2007), dan cantel di Jawa (Hoeman, 2007). Dalam sistem taksonomi tumbuhan, sorgum termasuk Divisi Angiospermae yaitu jenis tumbuhan dengan biji tertutup; Kelas Monocotyledoneae yaitu jenis tumbuhan yang mempunyai biji berkeping satu dengan Sub-kelas Liliopsida; Ordo Poales yang dicirikan melalui bentuk tanaman terna dengan siklus hidup bersifat annual atau semusim; Famili Poaceae atau Gramineae yaitu tumbuhan jenis rumput-rumputan dengan karakteristik batang berbentuk silinder dengan buku-buku yang jelas; dan Genus Sorghum (Tjitrosoepomo, 2000). Tanaman sorgum setidaknya memiliki 30 spesies, namun yang sangat umum dibudidayakan meliputi tiga spesies, yaitu Sorghum helepense (L.) Pers., Sorghum propinquum (Kunth) Hitchc., dan Sorghum bicolor (L.) Moench. (De Wet et al., 1970 dalam House, 1985). Dari ketiga spesies tersebut yang sangat populer dan menjadi tanaman komersial di dunia adalah S. bicolor (L.) Moench. Penyebaran spesies ini meliputi seluruh dunia yang dikembangkan sebagai tanaman pangan, pakan ternak, dan bahan baku berbagai industri (House, 1985). Berdasarkan pada tipe spikelet (bentuk bulir), S. bicolor dibagi menjadi 5 ras dasar, yaitu bicolor, guinea, caudatum, kafir, dan durra. Karakteristik ras bicolor yaitu bentuk bulir panjang hampir menyerupai bulir padi, guinea bentuk bulirnya bulat dengan posisi menapak secara dorso-ventral, caudatum bentuk bulir tidak simetris, kafir bentuk bulir mendekati simetris, sedangkan durra bentuk bulirnya bulat pada bagian atas dengan bagian dasar menyempit. Selain lima ras dasar tersebut terdapat 10 ras hibrida hasil persilangan antara dua ras dasar (Harland dan De Wet, 1972 dalam House, 1985). Ras hibrida yang dikembangkan di Amerika Serikat telah menjadikan negara ini sebagai produsen dan eksportir sorgum terbesar di dunia dengan produksi rata-rata 17,50 juta ton/tahun, sedangkan total produksi sorgum dunia berkisar 63,90 juta ton/ tahun (FAO-ICRISAT, 1996).
21
Embed
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Tanaman Sorgum Taksonomi … · berkas yang keduanya dimanfaatkan untuk menambat CO2. ... setelah gandum, padi, jagung, dan ... merupakan serealia yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Tanaman Sorgum
Taksonomi Sorgum
Sorgum mempunyai nama umum yang beragam, yaitu sorghum di Amerika
Serikat dan Australia, durra di Afrika, jowar di India, bachanta di Ethiopia (FAO,
2007), dan cantel di Jawa (Hoeman, 2007). Dalam sistem taksonomi tumbuhan,
sorgum termasuk Divisi Angiospermae yaitu jenis tumbuhan dengan biji tertutup;
Kelas Monocotyledoneae yaitu jenis tumbuhan yang mempunyai biji berkeping
satu dengan Sub-kelas Liliopsida; Ordo Poales yang dicirikan melalui bentuk
tanaman terna dengan siklus hidup bersifat annual atau semusim; Famili Poaceae
atau Gramineae yaitu tumbuhan jenis rumput-rumputan dengan karakteristik
batang berbentuk silinder dengan buku-buku yang jelas; dan Genus Sorghum
(Tjitrosoepomo, 2000).
Tanaman sorgum setidaknya memiliki 30 spesies, namun yang sangat umum
dibudidayakan meliputi tiga spesies, yaitu Sorghum helepense (L.) Pers., Sorghum
propinquum (Kunth) Hitchc., dan Sorghum bicolor (L.) Moench. (De Wet et al.,
1970 dalam House, 1985). Dari ketiga spesies tersebut yang sangat populer dan
menjadi tanaman komersial di dunia adalah S. bicolor (L.) Moench. Penyebaran
spesies ini meliputi seluruh dunia yang dikembangkan sebagai tanaman pangan,
pakan ternak, dan bahan baku berbagai industri (House, 1985).
Berdasarkan pada tipe spikelet (bentuk bulir), S. bicolor dibagi menjadi 5 ras
dasar, yaitu bicolor, guinea, caudatum, kafir, dan durra. Karakteristik ras bicolor
yaitu bentuk bulir panjang hampir menyerupai bulir padi, guinea bentuk bulirnya
bulat dengan posisi menapak secara dorso-ventral, caudatum bentuk bulir tidak
simetris, kafir bentuk bulir mendekati simetris, sedangkan durra bentuk bulirnya
bulat pada bagian atas dengan bagian dasar menyempit. Selain lima ras dasar
tersebut terdapat 10 ras hibrida hasil persilangan antara dua ras dasar (Harland dan
De Wet, 1972 dalam House, 1985). Ras hibrida yang dikembangkan di Amerika
Serikat telah menjadikan negara ini sebagai produsen dan eksportir sorgum
terbesar di dunia dengan produksi rata-rata 17,50 juta ton/tahun, sedangkan total
produksi sorgum dunia berkisar 63,90 juta ton/ tahun (FAO-ICRISAT, 1996).
9
Morfologi Sorgum
Sebagai tanaman yang termasuk kelas monokotiledone, sorgum mempunyai
sistem perakaran serabut. Akar primer tumbuh pada saat proses perkecambahan
berlangsung dan seiring dengan proses pertumbuhan tanaman muncul akar
sekunder pada ruas pertama. Akar sekunder kemudian berkembang secara
ekstensif yang diikuti matinya akar primer. Pada tahap selanjutnya, akar sekunder
inilah yang kemudian berfungsi untuk menyerap air dan unsur hara serta
memperkokoh tegaknya batang. Keunggulan sistem perakaran pada tanaman
sorgum yaitu sanggup menopang pertumbuhan dan perkembangan tanaman ratun
(ratoon) hingga dua atau tiga kali lebih dengan akar yang sama (House, 1985).
Tanaman sorgum mempunyai batang yang merupakan rangkain berseri dari
ruas (internodes) dan buku (nodes). Bentuk batangnya silinder dengan ukuran
diameter batang pada bagian pangkal antara 0,5-5,0 cm. Tinggi batang tanaman
sorgum bervariasi yaitu antara 0,5-4,0 m tergantung pada varietas (House, 1985).
Tinggi batang sorgum manis yang dikembangkan di China dapat mencapai 5 m,
dan struktur tanaman yang tinggi sangat ideal dikembangkan untuk pakan ternak
dan penghasil gula (FAO, 2002). Pada beberapa varietas sorgum batangnya dapat
menghasilkan tunas baru membentuk percabangan atau anakan dan dapat tumbuh
menjadi individu baru selain batang utama (Steenis, 1975 dalam House, 1985).
Sorgum mempunyai daun berbentuk seperti pita sebagaimana jagung atau
padi dengan struktur daun terdiri atas helai daun dan tangkai daun. Posisi daun
terdistribusi secara berlawanan sepanjang batang dengan pangkal daun menempel
pada nodes. Daun sorgum rata-rata panjangnya satu meter dengan penyimpangan
lebih kuran 10-15 cm (House, 1985). Jumlah daun bervariasi antara 13-40 helai
tergantung varietas (Martin, 1970), namun Gardner et al. (1991) menyebutkan
bahwa jumlah daun sorgum berkisar antara 7-14 helai.
Daun sangat penting sebagai organ fotosintesis yang merupakan produsen
utama fotosintat sehingga dapat dijadikan sebagai indikator pertumbuhan terutama
untuk menjelaskan proses pembentukan biomassa (Sitompul dan Guritno, 1995).
Hasil penelitian Bullard dan York (1985) menunjukkan bahwa banyaknya daun
tanaman sorgum berkorelasi tinggi dengan panjang periode vegetatif yang
dibuktikan oleh setiap penambahan satu helai daun memerlukan waktu sekitar 3-4
10
hari. Freeman (1970) menyebutkan bahwa tanaman sorgum juga mempunyai
daun bendera (leaf blades) yang muncul paling akhir, yaitu bersamaan dengan
inisiasi malai. Daun bendera muda bentuknya kaku dan tegak dan sangat penting
artinya sebagai pintu transportasi fotosintat.
Sorgum termasuk tanaman menyerbuk sendiri (self pollination), dimana
pada setiap malai terdapat bunga jantan dan bunga betina yang letaknya terpisah.
Proses penyerbukan dan fertilisasi terjadi apabila glume atau sekam dari masing-
masing bunga membuka. Karena proses membukanya glume antara bunga jantan
dan bunga betina tidak selalu bersamaan, maka pollen dapat viable untuk jangka
waktu 10-15 hari (House, 1985).
Malai tanaman sorgum beragam tergantung varietas dan dapat dibedakan
berdasarkan posisi, kerapatan, dan bentuk. Berdasarkan posisi, malai sorgum ada
yang tegak, miring dan melengkung; berdasarkan kerapatan, malai sorgum ada
yang kompak, longgar, dan intermediate; dan berdasarkan pada bentuk malai ada
yang oval, silinder, elip, seperti seruling, dan kerucut (Martin, 1970).
Fisiologi Sorgum
Sorgum sebagaimana tebu dan jagung digolongkan sebagai tanaman C-4,
yaitu spesies tanaman yang menghasilkan asam empat karbon (asam malat dan
aspartat) sebagai produk utama awal penambatan CO2. Tanaman jenis ini dikenal
sangat efisien dalam fotosintesis karena mempunyai sel mesofil dan sel seludang
berkas yang keduanya dimanfaatkan untuk menambat CO2. Produk metabolisme
hasil penambatan CO2 pada sel mesofil adalah asam malat dan asam aspartat,
sedangkan pada sel seludang berkas adalah 3-phosphoglycerate acid (3-PGA),
sukrosa, dan pati (Salisbury dan Ross, 1995).
Tingginya produktivitas tanaman C-4 dibandingkan tanaman C-3 karena
pada tanaman C-4 kedua sistem penambatan CO2 yaitu melalui mekanisme sel
mesofil dan sel seludang berkas saling bahu membahu untuk menghasilkan
produk akhir fotosintesis. Produk berupa asam malat dan asam aspartat yang
dihasilkan oleh sel mesofil dengan cepat ditransfer ke sel seludang berkas, dan
pada sel ini asam empat karbon tersebut mengalami dekarboksilasi dengan
melepaskan CO2 yang kemudian ditambat oleh Rubisco untuk dirubah menjadi 3-
PGA. Selain mekanisme tersebut, sel seludang berkas tanaman C-4 secara
11
anatomi lebih tebal dibandingkan sel seludang berkas tanaman C-3 sehingga lebih
banyak mengandung kloroplas, mitokondria, dan organel lain yang berperan
sangat penting dalam proses fotosintesis (Salisbury dan Ross, 1995; Orsenigo et
al., 1997; Taiz dan Zeiger, 2002).
Karakteristik tanaman C-4 yaitu pada penyinaran tinggi dan suhu panas
tanaman ini mampu berfotosintesis lebih cepat sehingga menghasilkan biomassa
yang lebih banyak dibandingkan tanaman C-3 (Salisbury dan Ross, 1995). Selain
sebagai tanaman C-4, tingginya produktivitas tanaman sorgum juga didukung oleh
fakta bahwa permukaan daunnya dilapisi oleh lilin yang dapat mengurangi laju
transpirasi dan mempunyai sistem perakaran yang ekstensif. Kedua faktor ini
menjadikan sorgum sangat efisien dan efektif dalam pemanfaatan air (House,
1985), sehingga produktivitas biomassa sorgum lebih tinggi dibandingkan jagung
atau tebu yang sama-sama tanaman C-4 (Hoeman, 2007).
Keunggulan proses fisiologi tanaman sorgum lainnya adalah memiliki gen
pengendali untuk berada dalam kondisi stay-green sejak fase pengisisan biji.
Fenomena stay-green ini berhubungan dengan kandungan nitrogen daun spesifik
(specific leaf nitrogen) yang lebih tinggi sehingga mampu meningkatkan efisiensi
penggunaan radiasi dan transpirasi (Borrel et al., 2005). Fisiologi stay-green pada
akhirnya mampu memperlambat proses senescen pada daun (Mahalakshmi dan
Bidinger, 2002) sehingga tanaman sorgum mampu mengelola batang dan daunnya
tetap hijau walaupun pasokan air sangat terbatas (Borrel et al., 2006).
Kemampuan sorgum beradaptasi pada kondisi kekeringan tidak terlepas dari
karakter morfologi dan fisiologi di atas, sehingga sorgum dikenal sebagai tanaman
yang toleran terhadap kekeringan. Beberapa karakter penting yang terdapat pada
tanaman sorgum menurut SFSA (2003) adalah: (1) menghasilkan akar yang lebih
banyak dibandingkan tanaman serealia lainnya, (2) daun mempunyai lapisan lilin
dan kemampuan menggulung sehingga meningkatkan efisiensi transpirasi, (3)
dapat dorman selama kekeringan dan tumbuh kembali ketika kondisi favorable,
(4) tanaman bagian atas (tajuk) akan tumbuh hanya setelah sistem perakaran
berkembang dengan baik, (5) mampu berkompetisi dengan bermacam-macam
jenis gulma, dan (6) mempunyai laju fotosintesis yang lebih tinggi dibandingkan
tanaman serealia lainnya.
12
Sorgum sebagai Sumber Pangan dan Bahan Baku Bioetanol
Sumber Pangan
Sorgum termasuk tanaman serealia penting di dunia yang ditunjukkan oleh
luas areal tanam, produksi dan kegunaannya yang menduduki peringkat kelima
setelah gandum, padi, jagung, dan barley (Martin, 1970; Doherty et al., 1981;
House, 1985; Tribe 2007). Di negara yang beriklim panas, seperti beberapa
negara Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Tengah, sorgum dijadikan sebagai
bahan pangan utama (House, 1985; Green Car Congress, 2009). Sebagai sumber
pangan di wilayah Afrika, sorgum dikonsumsi lebih dari 300 juta penduduknya
(Mogusu, 2005; Gudu et al., 2009) dan umumnya dikonsumsi dalam bentuk
produk olahan tepung atau pasta (Obilana, 1981). Produk olahan tepung lebih
menguntungkan karena praktis serta mudah diolah menjadi berbagai produk
makanan (Suarni, 2004). Produk olahan sorgum diantaranya adalah roti, bubur,
bahan minuman termasuk sirup dan bir, serta gula atau jaggery (Rajvanshi dan
Nimbkar, 2005).
Banyaknya ragam makanan yang dapat dihasilkan oleh sorgum menjadikan
tanaman ini sebagai serealia penting dan sangat potensial untuk program
diversifikasi pangan, terutama di negara yang mengalami penurunan produksi
bahan pangan utama seperti Indonesia. Menurut data Survei Sosial Ekonomi
Nasional yang dikutip oleh Khomsan (2006), konsumsi beras orang Indonesia
rata-rata 120-130 kg/kapita/tahun. Apabila konsumsi beras ini dapat diturunkan
menjadi 100 kg/kapita/tahun melalui program diversifikasi pangan, maka akan
menurunkan permintaan beras nasional setara dengan 4,3 juta ton/tahun.
Berkaitan dengan program diversifikasi pangan di Indonesia, sorgum
merupakan serealia yang paling potensial digunakan sebagai substitusi beras
karena kandungan gizinya setara (Sirappa, 2003; Suarni, 2004), produktivitas
bijinya tinggi (Dirjen Tanaman Pangan, 2007), dan secara genetik tanaman
sorgum mampu tumbuh pada agroekologi yang panas dan kering dimana tanaman
serealia lain sulit tumbuh (FAO-ICRISAT, 1996). Sorgum sangat berpeluang
untuk dikembangkan menjadi pangan premium karena keunggulannya, seperti
kandungan glutennya yang sangat rendah (glutenous free food) dan indek
13
glikemiknya yang juga rendah (low glicemiks index) sehingga sangat sesuai untuk
konsumen dengan kebutuhan gizi khusus (Sungkono et al., 2009).
Keunggulan sorgum sebagai sumber pangan telah menarik minat Bill and
Melinda Gates Foundation yang dipimpin oleh Bill Gates memberikan hibah
sebesar US$ 16.9 juta kepada Africa Harvest Biotech Foundation di Kenya pada
tahun 2005. Program ini bertujuan mengembangkan varietas sorgum yang
mempunyai level vitamin, mineral, dan protein tinggi dalam rangka perbaikan gizi
masyarakat di negara miskin (Mogusu, 2005). Saat ini di seluruh dunia terdapat
lebih dari 170 juta anak usia prasekolah berada pada status gizi buruk yang
sebarannya terbanyak di negara-negara miskin dan berkembang yang mempunyai
masalah dengan pangannya (Wattimena, 2005). Sorgum dapat menjadi solusi
masalah pangan bagi masyarakat miskin yang kesulitan modal usaha karena
dalam budidayanya hanya membutuhkan sedikit input produksi (Hoeman, 2007).
Bahan Baku Bioetanol
Dunia saat ini sangat tergantung pada minyak bumi sebagai sumber energi,
padahal minyak bumi berbahan baku fosil suatu ketika cadangannya akan habis
dan tidak dapat diperbaharui. Berbagai sumber energi alternatif dicari untuk
menggantikan atau sebagai campuran terhadap energi fosil, dan yang paling
potensial adalah energi yang dihasilkan oleh tanaman yang dapat dikonversi
menjadi bahan bakar nabati (biofuel). Alasan penggunaan bahan bakar nabati
sebagai pengganti atau campuran bahan bakar fosil adalah sumber bahan bakunya
mudah diperoleh, dapat diproduksi secara massal, dan renewable (Grassi-EUBIA,
2005; Widodo, 2006).
Sorgum manis (sweet sorghum) memenuhi persyaratan sebagai bahan baku
bioetanol karena dapat tumbuh dalam berbagai agroekologi, lebih tahan terhadap
hama dan penyakit, dan memerlukan input produksi yang relatif lebih sedikit
dibandingkan tanaman penghasil bioetanol lain (Hoeman, 2007). Sorgum manis
produksi biomassanya tinggi karena mempunyai efisiensi fotosintesis yang tinggi
yaitu 2,5% sama dengan tebu, namun pada beberapa jam tertentu dalam siklus
harian, sorgum manis mempunyai efisiensi fotosintesis maksimum yang mencapai
27% (Grassi-EUBIA, 2005). Efisiensi fotosintesis yang tinggi menjadikan
14
produktivitas bioetanol dari sorgum manis lebih tinggi dibandingkan gula bit,
tebu, ubi kayu dan jagung yang selama ini dijadikan sebagai bahan baku utama
bioetanol (Global Petroleum Club, 2007).
Tingginya produktivitas bioetanol dari sorgum manis setidaknya didukung
oleh dua faktor utama, yaitu 1) produktivitas tanaman (biomassa) di lapang tinggi.
Produktivitas sorgum manis hibrida varietas NTJ-2 yang dibudidayakan di India
mampu menghasilkan batang 53 ton/ha dan nira (juice) sebanyak 28.000 liter/ha;
dan 2) kandungan gula dan efisiensi fermentasi tinggi. Kandungan gula dari nira
batang sorgum manis antara 16-23% Brix (≈ total sugar 14-21%), dengan
efisiensi fermentasi berkisar antara 90-92% (Reddy dan Dar, 2007). Hasil kajian
B2TP, BPPT Lampung yang dikemukakan oleh Abdurrahman (2007, konsultasi
pribadi) menunjukkan bahwa produksi bioetanol dari sorgum manis berbanding
lurus dengan total sugar, sedangkan produksi bioetanol dari ubi kayu berbanding
lurus dengan reducing sugar.
Sebagai bahan baku bioetanol, sorgum manis tidak berkompetisi dengan
tanaman pangan maupun pakan ternak. Beberapa alasan yang mendukung hal ini
diantaranya adalah secara botani sebagian besar bioetanol dihasilkan oleh batang,
sedangkan bijinya dapat diproses menjadi bioetanol atau untuk bahan pangan dan
pakan ternak. Manfaat ganda seperti ini menjadikan sorgum manis sebagai
tanaman yang mampu memenuhi kebutuhan pangan, pakan ternak, dan energi
dalam satu dimensi ruang dan waktu (Rajvanshi, 1989; Yudiarto, 2006).
Keunggulan sorgum manis sebagai bahan baku bioetanol telah menjadikan
beberapa negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Brazil, Afrika, dan Cina
memberikan perhatian yang tinggi dan telah mengembangkannya dalam skala
industri (Grassi, 2001). Di Amerika Serikat sorgum manis sebagai penghasil
bioetanol, diantaranya diteliti dan dikembangkan oleh Universitas Oklahoma
melalui Food and Agriculture Products Center Oklahoma State University. Selain
itu India dan Philipina juga sedang mengembangkan industri bioetanol berbasis
sorgum manis (Reddy dan Dar, 2007).
Industri dan Pasar Bioetanol
Pemanfaatan bioetanol sebagai sumber energi memberikan manfaat yang
besar dari aspek lingkungan. Emisi gas buang dari anhydrous ethanol lebih bersih
15
dibandingkan emisi gas buang energi fosil sehingga bahan bakar ini bersifat
ramah lingkungan (Reddy dan Dar, 2007). Hal ini disebabkan anhydrous ethanol
mempunyai nilai oktan yang lebih tinggi dibandingkan bahan bakar fosil yaitu
sekitar 116-120 sehingga mampu menghasilkan pembakaran yang sempurna dan
mengurangi polusi (Abatiell et al., 2003; ICSC, 2007; American Coalition for
Ethanol, 2007; Biomass Conversion Committe of CAREI, 2006). Penggunaan
bioetanol terbukti mengurangi polusi terhadap lingkungan melalui berkurangnya
emisi gas rumah kaca hingga 12% (Reddy dan Dar, 2007) sehingga permintaan
dunia terhadap sumber energi ini terus meningkat.
Konsumsi bioenergi dunia yang terus meningkat menyebabkan industri
bioetanol berkembang pesat. Uni Eropa pada tahun 2001 mengkonsumsi energi
fosil sebesar 1.486 MTOE (Million of Tonnes Oil Equivalent) dan energi biomass
sebesar 57 MTOE. Konsumsi energi biomass Uni Eropa terus meningkat, yaitu
135 MTOE pada tahun 2010, 200 MTOE pada tahun 2020, dan 500-600 MTOE
pada tahun 2050 (Grassi-EUBIA, 2005). Dimulai tahun 2006/2007, dunia akan
memproduksi bioetanol sebanyak 17 milyar liter (≈ 17 juta ton) yang akan
digunakan untuk bahan bakar kendaraan (http://en.wikipedia.org/wiki/Ethanol-
fuel, 2007). Hal ini membuka peluang untuk berkembangnya industri bioetanol
dalam skala luas yang berarti membutuhkan bahan baku dalam jumlah yang
sangat banyak. Tingginya produktivitas bioetanol dari sorgum manis menjadikan
tanaman ini secara teknis mempunyai peluang paling besar untuk dikembangkan.
Pada skala industri, efisiensi sorgum manis dibandingkan tanaman lain
sebagai bahan baku bioetanol dibuktikan pada biaya produksi dan harga bioetanol
di pasaran dunia. Menurut Grassi-EUBIA (2005), biaya produksi bioetanol di
Eropa dengan bahan baku konvensional seperti gandum, jagung, dan gula bit
mencapai 400-500 €/ton (€=pounsterling), sedangkan jika menggunakan sorgum
manis biaya produksinya hanya berkisar 250 €/ton. Prospek pasar bioetanol
sangat menjanjikan karena harga bioetanol di pasaran dunia pada tahun 2005
mencapai 500 €/ton di Amerika Serikat, dan 590 €/ton di Eropa. Reddy dan Dar
(2007) mengungkapkan bahwa industri bioetanol berbasis sorgum manis sangat
efisien karena perbandingan input energi dan energi yang dihasilkan 1:8 sehingga
sangat visible untuk dikembangkan dalam skala industri.
16
Produksi bioetanol dunia sampai saat ini didominasi oleh Amerika Serikat
dengan produksi sekitar 12 MTOE, kemudian disusul Brazil dengan produksi
sekitar 10 MTOE. Negara ketiga yang potensial sebagai produsen bioetanol dunia
berdasarkan kondisi sumber daya alam adalah Indonesia (Henry, 2009). Indonesia
merupakan negara tropis sehingga tidak terdapat hambatan berarti dari sisi iklim
dan keanekaragaman hayati, serta mempunyai lahan yang luas. Hal ini disebabkan
industri bioetanol sangat tergantung pada efisiensi tanaman mengkonversi energi
sinar matahari menjadi energi biomassa. Selain faktor sumber daya alam, yang
diperlukan Indonesia agar menjadi produsen bioetanol dunia adalah: 1) adanya
dorongan, insentif, dan regulasi dari pemerintah terhadap swasta untuk mengelola
industri bioetanol; 2) riset yang intensif dari hulu sampai hilir; dan 3) penerapan
tataniaga bioetanol yang kreatif, seperti tax insentive untuk konsumen atau
mandatory obligation untuk penjual bahan bakar.
Tanah Masam: Potensi, Masalah dan Peluang
Salah satu bentuk lahan marjinal yang sebarannya paling luas di dunia dan
juga di Indonesia adalah tanah masam. Sanchez dan Salinas (1981) dalam Ma
(2005) mendeskripsikan luas tanah masam di dunia mencapai 1,6 milyar hektar
dan tersebar di berbagai benua, meliputi 55% luas tanah tropis Amerika, 39% luas
tanah tropis Afrika, dan 37% luas tanah tropis Asia. Luas tanah masam di
Indonesia berupa lahan kering mencapai 99,5 juta hektar dan tersebar di Papua,
Kalimantan, dan Sumatera (Hidayat dan Mulyani, 2002). Tanah masam menjadi
faktor pembatas produktivitas tanaman karena adanya cekaman abiotik yang
komplek, seperti toksisitas aluminium, besi dan mangan, serta defisiensi fosfor,
kalsium, dan magnesium (Kochian, 1995; Maschner, 1995; Akhter et al., 2009).
Aluminium, terutama dalam bentuk ion Al+3 dapat menjadi racun bagi
tanaman karena aktivitasnya menyebabkan proses pembelahan dan pemanjangan
sel-sel akar terganggu sehingga pertumbuhan akar menjadi terhambat (Marschner,
1995; Ma, 2000; Kochian et al., 2004). Terhambatnya pertumbuhan akar tersebut
menyebabkan sistem perakaran menjadi pendek dan tidak berkembang yang
menyebabkan tanaman mengalami kesulitan dalam menyerap unsur hara dan air
17
(Kochian et al., 2004; Ma et al., 2005). Kondisi ini menyebabkan tanaman
tumbuh kerdil dan produktivitasnya menurun.
Konsentrasi ion Al yang tinggi pada daerah rizosfir juga menyebabkan
tanaman mengalami defisiensi unsur hara terutama P karena diikat oleh ion Al+3
membentuk senyawa khelat Al-fosfat yang tidak larut dalam air (Ae dan Shen,
2002). Selain itu, mobilitas ion Al yang tinggi pada apoplas sel akar juga menjadi
kompetitor utama bagi beberapa kation polivalen seperti Mg+2, Ca+2, Zn+2, dan
Mn+2 sehingga kandungannya di dalam tanaman menjadi berkurang yang
mengakibatkan tanaman mengalami defisiensi unsur tersebut (Marschner, 1995).
Kemasaman tanah yang berpotensi meningkatkan konsentrasi Al dapat
terjadi secara alamiah maupun akibat praktek budidaya tanaman. Secara alamiah
curah hujan yang tinggi menyebabkan tercucinya kation-kation basa yaitu Ca+2,
Mg+2, K+, dan Na+ dari komplek jerapan tanah. Selanjutnya komplek jerapan
tersebut diisi oleh kation-kation asam yaitu H+ dan Al+3 yang menyebabkan tanah
menjadi bereaksi masam. Proses pemasaman tanah seperti ini banyak terjadi di
daerah tropis yang mempunyai curah hujan dan suhu tinggi. Suhu tinggi dalam
proses ini mempercepat laju pelapukan tanah (Hardjowigeno, 1985).
Proses pemasaman tanah akibat praktek budidaya tanaman terjadi karena
pemupukan yang berlangsung secara intensif seperti yang dilakukan oleh negara-
negara maju sehingga terjadi deposit nitrogen (NO2-) yang kronik (Kelly et al.,
2005) atau akibat pemupukan dengan asam sulfur seperti yang terjadi di China
(Bi, 2003). Tanah yang bereaksi masam banyak didominasi oleh ion-ion Al dan
Fe sehingga berpeluang meracuni tanaman dan menjadi faktor pembatas utama
produktivitas tanaman di daerah tersebut (Kochian, 1995; Ma, 2000).
Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengurangi toksisitas Al sehingga
dapat meningkatkan produktivitas tanaman di tanah masam. Salah satu upaya
yang sering dilakukan adalah memasukkan bahan pembenah tanah (ameliorasi)
berupa teknik pengapuran dan aplikasi pupuk P dosis tinggi. Pendekatan ini
dikenal sebagai pendekatan bermasukan tinggi (high input aproach), dan
kelemahannya adalah hanya berlangsung untuk jangka waktu singkat serta
memerlukan biaya yang tinggi sehingga sistem usahatani tidak sustainable
(Marschner, 1995; Sierra et al., 2005).
18
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari toksisitas Al dan
berlangsung untuk jangka waktu yang lama serta tidak memerlukan biaya tinggi
adalah penggunaan tanaman toleran Al (Goni et al., 1985; Sierra et al., 2005)
yang dikenal sebagai pendekatan bermasukan rendah atau low input aproach
(Marschner, 1995). Penggunaan tanaman toleran Al sangat menguntungkan baik
secara ekologis maupun ekonomis sehingga sistem usahatani dapat sustainable
(Zheng et al., 1998). Namun upaya mendapatkan tanaman toleran Al tidak mudah
karena titik kritis konsentrasi Al yang dapat meracuni tanaman mempunyai
rentang yang sangat lebar yaitu antara 1,8 µM sampai 150 µM tergantung jenis
tanaman dan varietas (Marschner, 1995).
Dalam menghadapi toksisitas Al, tanaman toleran Al dapat menempuh
mekanisme regulated separately yaitu toleransi yang bersifat terpisah dan berdiri
sendiri yang ditunjukkan oleh karakter tanaman yang hanya toleran terhadap Al
saja; atau menempuh mekanisme interrelated, yaitu saling terkait dengan karakter
efisien dalam memanfaatkan unsur P (Marschner, 1995). Hasil-hasil penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa tanaman toleran Al biasanya selalu diikuti
dengan efisiensi yang tinggi dalam memanfaatkan unsur P (Prasetiyono dan
Tasliah, 2003) sehingga mampu tumbuh dan berproduksi lebih baik dibandingkan
tanaman yang kurang efisien dalam memanfaatkan unsur P. Beberapa tanaman
pangan yang telah dilaporkan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap toksisitas
Al dan defisiensi P melalui mekanisme interrelated adalah jagung, sorgum, ubi