Top Banner
TINJAUAN PUSTAKA Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan Berbicara tentang perubahan, kita membayangkan sesuatu yang terjadi setelah jangka waktu tertentu; kita berurusan dengan perbedaan keadaan yang diamati antara sebelum dan sesudah jangka waktu tertentu. Sehingga konsep- konsep perubahan mencakup tiga gagasan yaitu tentang perbedaan, pada waktu yang berbeda, dan diantara keadaan sistem sosial yang sama (Sztompka 1993). Menurut Kasali (2005) bahwa perubahan bisa sebagai akibat dari anggota masyarakat yang gagal melihat, gagal bergerak atau gagal menyelesaikan masalah. Selanjutnya bahwa perubahan dapat dikategorikan dalam dua hal: pertama, perubahan operasional yang merupakan perubahan-perubahan kecil yang bersifat parsial dan umumnya tidak menimbulkan dampak yang luar biasa bagi institusi (misalnya perubahan kemasan produk, perubahan penampilan institusi seperti visi dan misi). Kedua, perubahan strategis (strategic change) yang berdampak luas dan memerlukan koordinasi serta dukungan dari unit-unit terkait atau bahkan seluruh komponen institusi. Perubahan tersebut antara lain perubahan budaya, perubahan untuk meningkatkan efisiensi, perubahan pemakaian sumber daya-sumber daya yang tersedia. Dari pengertian ini maka perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat dikatakan sebagai perubahan sosial (Kasali 2005). Menurut Macionis (1987) dalam Sztompka (1993) bahwa perubahan sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan perilaku pada waktu tertentu. Sehingga jika struktur organisasinya berubah maka unsur lain cenderung berubah pula. Perubahan sosial dapat dibedakan tergantung pada sudut pengamatan dan ini membuktikan bahwa sistem sosial itu tidak sederhana, tidak hanya berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil dari keadaan berbagai komponen seperti: unsur-unsur pokok (misalnya: jumlah dan jenis individu, serta tindakan mereka); hubungan antara unsur (misalnya: ikatan sosial, loyalitas, ketergantungan, hubungan antara individu, integrasi); berfungsinya unsur-unsur di dalam sistem (misalnya: peran pekerjaan yang dimainkan oleh individu atau diperlukannya tindakan tertentu untuk melestarikan ketertiban sosial); lingkungan (lingkungan alam). Sehingga menurut Sztompka (1993) bahwa perubahan sosial itu merupakan perbedaan keadaan dalam masyarakat tertentu dalam jangka waktu berbeda. Perubahan sosial yang terjadi dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang diantaranya perilaku manusia. Menurut Lewin (1943) dalam Notoatmodjo (2010) bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan- kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining forces). Perilaku itu dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut di dalam diri seseorang sehingga ada tiga kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang yaitu: Pertama, kekuatan- kekuatan pendorong meningkat. Ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan-perubahan perilaku. Stimulus ini berupa informasi-informasi yang berhubungan dengan perilaku yang bersangkutan; Kedua, kekuatan penahan menurun, karena adanya stimulus-stimulus yang
31

TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

May 29, 2018

Download

Documents

vodang
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

13

TINJAUAN PUSTAKA

Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan

Berbicara tentang perubahan, kita membayangkan sesuatu yang terjadi

setelah jangka waktu tertentu; kita berurusan dengan perbedaan keadaan yang

diamati antara sebelum dan sesudah jangka waktu tertentu. Sehingga konsep-

konsep perubahan mencakup tiga gagasan yaitu tentang perbedaan, pada waktu

yang berbeda, dan diantara keadaan sistem sosial yang sama (Sztompka 1993).

Menurut Kasali (2005) bahwa perubahan bisa sebagai akibat dari anggota

masyarakat yang gagal melihat, gagal bergerak atau gagal menyelesaikan

masalah. Selanjutnya bahwa perubahan dapat dikategorikan dalam dua hal:

pertama, perubahan operasional yang merupakan perubahan-perubahan kecil yang

bersifat parsial dan umumnya tidak menimbulkan dampak yang luar biasa bagi

institusi (misalnya perubahan kemasan produk, perubahan penampilan institusi

seperti visi dan misi). Kedua, perubahan strategis (strategic change) yang

berdampak luas dan memerlukan koordinasi serta dukungan dari unit-unit terkait

atau bahkan seluruh komponen institusi. Perubahan tersebut antara lain

perubahan budaya, perubahan untuk meningkatkan efisiensi, perubahan

pemakaian sumber daya-sumber daya yang tersedia. Dari pengertian ini maka

perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat dikatakan sebagai

perubahan sosial (Kasali 2005).

Menurut Macionis (1987) dalam Sztompka (1993) bahwa perubahan sosial

adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan

perilaku pada waktu tertentu. Sehingga jika struktur organisasinya berubah maka

unsur lain cenderung berubah pula. Perubahan sosial dapat dibedakan tergantung

pada sudut pengamatan dan ini membuktikan bahwa sistem sosial itu tidak

sederhana, tidak hanya berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau

gabungan hasil dari keadaan berbagai komponen seperti: unsur-unsur pokok

(misalnya: jumlah dan jenis individu, serta tindakan mereka); hubungan antara

unsur (misalnya: ikatan sosial, loyalitas, ketergantungan, hubungan antara

individu, integrasi); berfungsinya unsur-unsur di dalam sistem (misalnya: peran

pekerjaan yang dimainkan oleh individu atau diperlukannya tindakan tertentu

untuk melestarikan ketertiban sosial); lingkungan (lingkungan alam). Sehingga

menurut Sztompka (1993) bahwa perubahan sosial itu merupakan perbedaan

keadaan dalam masyarakat tertentu dalam jangka waktu berbeda.

Perubahan sosial yang terjadi dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang

diantaranya perilaku manusia. Menurut Lewin (1943) dalam Notoatmodjo (2010)

bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-

kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

forces). Perilaku itu dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua

kekuatan tersebut di dalam diri seseorang sehingga ada tiga kemungkinan

terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang yaitu: Pertama, kekuatan-

kekuatan pendorong meningkat. Ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang

mendorong untuk terjadinya perubahan-perubahan perilaku. Stimulus ini berupa

informasi-informasi yang berhubungan dengan perilaku yang bersangkutan;

Kedua, kekuatan penahan menurun, karena adanya stimulus-stimulus yang

Page 2: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

14

memperlemah kekuatan penahan tersebut; dan ketiga, kekuatan pendorong

meningkat, kekuatan penahan menurun.

Menurut Kasali (2005) bahwa berdasarkan adanya driving forces dan

restrining forces maka dirumuskan langkah-langkah yang diambil untuk

mengelola perubahan sebelum dan setelah dilakukan perubahan yaitu: (a).

Unfreezing: yaitu suatu proses penyadaran tentang perlunya atau adanya

kebutuhan untuk berubah. (b). Changing: yaitu langkah berupa tindakan baik

memperkuat maupun yang menahan atau memperlemah. (c). Refreezing:

membawa kembali institusi atau individu kepada keseimbangan yang baru (a new

dynamic equilibrium).

Perubahan perilaku yang diharapkan dapat terjadi dengan menggunakan

beberapa strategi yang dapat dikelompokan menjadi 3 yaitu: Pertama,

menggunakan kekuatan (enforcement). Dalam hal ini perubahan perilaku

dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat sehingga ia mau melakukan

(berperilaku) seperti yang diharapkan. Cara ini dapat ditempuh dengan

menggunakan cara-cara kekuatan baik fisik maupun psikis. Kedua, menggunakan

kekuatan peraturan atau hukum (regulation). Perubahan perilaku masyarakat

melalui peraturan, perundangan, atau peraturan-peraturan tertulis yang sering

disebut ”law enforcement” atau ”regulation”. Artinya masyarakat diharapkan

berperilaku, diatur melalui peraturan atau undang-undang secara tertulis. Ketiga,

pendidikan (education). Perubahan perilaku melalui cara pendidikan yang diawali

dengan cara pemberian informasi-informasi yang dibutuhkan. Dengan

memberikan informasi-informasi maka akan meningkatkan pengetahuan

masyarakat tentang apa yang ingin dicapai. Dengan pengetahuan itu akan

menimbulkan kesadaran dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku

sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Hasil atau perubahan perilaku

dengan cara ini memakan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat

langgeng karena didasari oleh kesadaran mereka sendiri atau bukan karena

paksaan (Notoadmojo 2010).

Konsep dan Pengukuran Perilaku Konsumsi Makanan

Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh manusia, baik yang dapat diamati

secara langsung atau tidak langsung ataupun yang tidak dapat diamati secara

langsung sebagai hasil interaksi antara seseorang atau indvidu dengan

lingkungannya (Thoha 1988). Selain itu menurut Notoatmodjo (2010) bahwa

perilaku merupakan totalitas pemahaman dan aktivitas seseorang yang merupakan

hasil bersama antara faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan

faktor yang datang dari dalam diri sendiri sehingga dia mau berperilaku seperti

perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, sugesti dan lain-lain. Sedangkan

faktor eksternal dapat meliputi faktor lingkungan baik fisik dan non fisik dan yang

paling berperan dalam perilaku adalah faktor sosial dan budaya selain itu

termasuk faktor ekonomi, politik dan sebagainya.

Perilaku merupakan hal yang sangat kompleks dan mempunyai wilayah

bentangan yang sangat luas. Menurut Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2010)

bahwa ada 3 tingkat ranah perilaku yang meliputi pengetahuan (knowledge), sikap

(attitude) dan praktik atau tindakan (practice). Selanjutnya dalam beradaptasi

dengan lingkungannya pengetahuan, sikap dan praktik yang dimiliki seseorang

diperoleh dari proses belajar (Koswana 2011).

Page 3: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

15

Menyimak pengertian perilaku konsumsi makanan yang telah disampaikan

sebelumnya adalah merupakan suatu totalitas pengetahuan, sikap dan praktik atau

tindakan terhadap makanan, maka ini sama halnya dengan pernyataan Zeitlin

(1977) dalam Syarief et al. (1988) bahwa karakteristik penilaian perilaku

konsumsi makanan melalui pendidikan gizi bisa memakai model ”K-A-P”

(Knowledge, Attitude, Practices) dengan asumsi bahwa perubahan dalam

pengetahuan membawa perubahan dalam sikap dan selanjutnya mengakibatkan

perubahan dalam kebiasaan.

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, lidah,

kulit). Dengan sendirinya pada waktu penginderaan menghasilkan pengetahuan

tersebut yang dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.

Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra pendengaran dan

indra penglihatan. Menurut Madanijah (2003) bahwa pengertian pengetahuan

yang lebih mudah adalah semua informasi yang disimpan dalam ingatan sebagai

hasil belajar dan telah terakumulasi dalam pikiran seseorang. Ini merupakan

bagian terpenting dalam proses pembelajaran, sehingga sebagai bukti apabila dia

dapat mengingat kembali apa yang telah dipelajari (Kuswana 2012).

Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai tingkat yang berbeda-

beda. Menurut Notoatmodjo (2010) bahwa secara garis besar pengetahuan dapat

dibagi dalam 6 tingkat yaitu: (a). Tahu (know). Tahu diartikan hanya sebagai

recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati

sesuatu. Untuk mengetahui seseorang tahu sesuatu dapat menggunakan

pertanyaan-pertanyaan. (b). Memahami (comprehension). Memahami suatu objek

bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan,

tetapi orang tersebut dapat mengintepretasikan secara benar tentang objek yang

diketahui tersebut. (c). Aplikasi (application). Aplikasi diartikan apabila orang

yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau

mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. (d).

Analisis (analysis). Analisis merupakan kemampuan seseorang untuk

menjabarkan dan memisahkan kemudian mencari hubungan antara komponen-

komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi

bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah

apabila orang tersebut telah dapat membedakan, memisahkan, mengelompokkan

terhadap pengetahuan atas objek tersebut. (e). Sintesis (synthesis). Sintesis ini

menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan

dalam suatu hubungan logis dari pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki. Dengan

kata lain bahwa sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru

dari formulasi-formulasi yang telah ada. (f). Evaluasi (evaluation). Evaluasi

berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian terhadap

suatu objek tertentu. Penilaian dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria

yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.

2. Sikap

Menurut Winardi (2009) sikap merupakan suatu keadaan mental menurut

pengalaman dan yang menyebabkan timbulnya pengaruh khusus atas reaksi

Page 4: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

16

seseorang terhadap objek-objek. Ini memberikan pengertian bahwa sikap

memberikan landasan emosianal dari hubungan antara pribadi seseorang dengan

objek yang dimaksud.

Menurut Notoatmodjo (2010) bahwa sikap adalah respon tertutup seseorang

terhadap stimulus atau objek tertentu yang melibatkan faktor pendapat dan emosi

yang bersangkutan (Suka - tidak suka, senang- tidak senang, setuju-tidak setuju,

baik-tidak baik, dan sebagainya). Selanjutnya bahwa seperti halnya pengetahuan,

sikap juga mempunyai tingkatannya berdasarkan intensitasnya meliputi 4 yaitu:

(a). Menerima (receiving), diartikan bahwa orang atau subyek mau menerima

stimulus yang diberikan. (b). Menanggapi (responding), diartikan memberikan

jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau obyek yang dihadapi. Misalnya

ibu yang mengikuti penyuluhan tentang makanan ibu hamil, ketika diminta oleh

penyuluh untuk menanggapi, kemudian ia menjawab atau menanggapinya. (c).

Menghargai (valuing), dapat diartikan oleh seseorang memberikan nilai yang

positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahas dengan orang lain

bahkan mengajak atau mempengaruhi dan menganjurkan orang lain merespons.

(d). Bertanggung jawab (responsible), adalah sikap yang paling tinggi

tingkatannya terhadap apa yang diyakininya. Seseorang yang telah mengambil

sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil resiko bila

ada orang lain yang mencemoohkan atau adanya resiko lain.

3. Praktik atau Tindakan

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa sikap adalah kecenderungan

untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab

untuk terwujudkannya tindakan perlu adanya fasilitas atau sarana dan prasarana

(Notoatmodjo 2010). Selanjutnya dikatakannya bahwa praktik dibedakan menjadi

3 tingkatan yakni: (a). Praktik terpimpin (guide response). Apabila seseorang

telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntutan atau menggunakan

panduan. Misalnya seorang ibu memeriksakan kehamilannya tetapi masih

menunggu diingatkan oleh bidan atau tetangganya. Demikian juga seperti seorang

anak kecil menggosok gigi namun masih selalu diingatkan oleh ibunya. Hal ini

disebut sebagai praktik atau tindakan yang terpimpin. (b). Praktik secara

mekanisme (mechanism). Jika seseorang atau subyek telah melakukan atau

mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan

mekanisme. Sebagai contoh misalnya seorang ibu selalu membawa anaknya ke

Posyandu untuk ditimbang, tanpa harus menunggu perintah dari kader atau

petugas kesehatan. Demikian juga contoh lainnya seorang anak secara otomatis

menggosok giginya setelah makan tanpa disuruh oleh ibunya. (c). Adopsi

(adoption). Adopsi merupakan suatu tindakan atau praktik yang sudah

berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekadar rutinitas atau mekanisme

saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang

berkualitas. Misalnya menggosok gigi, bukan sekedar gosok gigi, melainkan

dengan teknik-teknik yang benar. Seorang ibu memasak, memilih bahan masakan

bergizi tinggi meskipun bahan makanan tersebut mahal harganya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumsi Makanan

Menurut Contento (2007) bahwa ada tiga hal yang mempengaruhi perilaku

makan seseorang yaitu makanan (food), orang itu sendiri (person) dan lingkungan

Page 5: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

17

(enviroment). Sebelumnya Krondl (1990) dalam Worobey (2006) mengatakan

bahwa banyak sekali faktor-faktor yang membuat seseorang itu memilih makanan

hal ini terangkum dalam tiga faktor yaitu who, where dan why. (a). Faktor ”who”

menggambarkan tentang karakteristik mengenai individu (seperti umur, jenis

kelamin), biologi (seperti kesehatan dan keturunan) atau keadaan seseorang

(depresi, tingkat aktivitas). (b). Faktor ”where” dihubungkan dengan lingkungan

fisik (seperti waktu dan tempat memilih makanan) dan sosial budaya yang

berpengaruh saat membuat keputusan memilih makanan. (c). Faktor ”why” yang

mengacu pada persepsi individu terhadap makanan seperti keyakinan dan sensori

dasar dalam memilih makanan. Selanjutnya menurut Pieniak et al. (2009) bahwa

berbagai motif orang dalam bersikap memilih makanan yaitu menyangkut tentang

berat badan, harga, kelayakan, kenyamanan, kealamian makanan, kesehatan,

sensorik daya tarik dan kefamilieran makanan itu sendiri.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku konsumsi makanan pada masyarakat dapat

dikelompokkan ke dalam faktor: Individu meliputi keluarga, peer group; faktor

makanan meliputi: keragaan makanan dan citra makanan; dan faktor lingkungan

meliputi: sekolah, iklan dan pasar.

1. Keluarga

Pengertian keluarga berdasarkan UU No 52 tahun 2009 tentang perkem-

bangan kependudukan dan pembangunan keluarga adalah unit terkecil dalam

masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah

dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Menurut Megawangi (1994) dalam

Puspitawati (2012) menjelaskan bahwa keluarga dijabarkan sebagai suatu sistem

yang diartikan sebagai suatu unit sosial dengan keadaan yang menggambarkan

individu secara intim terlibat untuk saling berhubungan timbal balik dan saling

mempengaruhi satu dengan lainnya setiap saat dengan dibatasi oleh aturan-aturan

di dalam keluarga. Pengertian ini menunjukkan bahwa cukup banyak interaksi

yang terjadi dalam keluarga diantaranya tentang konsumsi makanan keluarga

setiap hari.

Menurut Hunt et al. (2011) bahwa dalam rumah tangga pembelian makanan

dan aktivitas konsumsi makanan bervariasi, dan dalam banyak kasus

bergantung pada anggota keluarganya. Ini juga erat kaitannya dengan

pendapatan dalam rumah tangga terhadap konsumsi makan mereka setiap hari.

Selanjutnya dikatakannya bahwa banyak dari perempuan muda memainkan peran

penting dalam pembelian dan persiapan makanan untuk anggota keluarga.

Makan bersama dengan orang lain dalam keluarga merupakan hal yang penting

karena banyak nilai-nilai yang terdapat dalam proses makan bersama tersebut

walaupun ada kendala yang signifikan untuk makan secara teratur dengan seluruh

keluarga inti. Hal ini mencerminkan begitu pentingnya dalam hidup ini makanan

yang dimasak di rumah.

Makin tinggi pendidikan ibu, akan meningkatkan wawasan ibu termasuk

tentang gizi/makanan, kesehatan dan pengasuhan (Madanijah 2003). Lebih lanjut

dikatakannya bahwa ibu dengan pendidikan tinggi maka pendidikan ayahnya juga

tinggi yang memungkinkan memperoleh pandapatan yang tinggi sehingga akan

lebih menunjang pengetahuan dan wawasan ibu karena tersedia sarana bacaan

atau visual lainnya yang mendukung. Ini dapat menunjukkan bahwa tingkat

Page 6: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

18

pendidikan ibu dalam keluarga memang sangat berarti dan memungkinkan dalam

mentransformasi pengetahuannya tersebut pada anak yang setiap saat berinteraksi

dengannya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Harker et al. (2010) menunjukkan

bahwa siswa yang tinggal di rumah keluarga, mengonsumsi lebih baik buah dan

sayuran setiap hari dibandingkan dengan orang dewasa muda yang hidup secara

mandiri. Juga menemukan antara lain adanya perbedaan yang nyata pada sikap

antara siswa yang beusia di bawah 21 tahun dan orang orang-orang di atas 21

tahun terhadap makanan yang sehat. Studi ini menunjukkan implikasi yang jelas

untuk sejumlah orang yang berkepentingan dalam mengembangkan keterampilan

pada pilihan makanan dan manajemen makanan termasuk tentang anggaran dalam

keluarga.

Hasil penelitian Laska (2010) menunjukkan bahwa orang dewasa muda

yang hidup dengan orang tua mereka atau di apartemen yang disewa/rumah sering

konsumsi makanannya kurang, asupan makanan sedikit dan kurang sehat

dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kampus sehingga dibutuhkan

strategi yang efektif dan sehat untuk orang dewasa tersebut. Namun menurut

Dammann et al. (2010) bahwa di keluarga, pemilihan makanan pada anak-anak

sering tidak sehat karena terbatasnya ketersediaan makanan terhadap anak

tersebut dan beberapa keadaan yang dilaporkan bahwa terjadi penurunan perilaku

makan.

Pola konsumsi makanan tradisional menjadi pelengkap makanan pokok

selain beras yang pada sisi lain dapat memberikan kemudahan ekonomis terhadap

kecukupan pangan dan dengan harga rendah sehingga pendapatan ril rumah

tangga bisa meningkat. Makanan Tradisional dapat berperan sebagai suatu

survival strategi untuk orang miskin dengan pendapatan terbatas sehingga mampu

membangun kapasitas membangkitkan kemandirian untuk menolong diri sendiri

dan keluarganya dalam memenuhi kebutuhan pokok yang termurah (Lestari et al.

2007)

Pranadji (1988) mengatakan bahwa pengetahuan, sikap dan keterampilan

gizi cenderung berhubungan dengan perilaku konsumsi makanan keluarga yang

dipengaruhi oleh jenis dan tingkat pendidikan formal, besar keluarga, tingkat

pendapatan keluarga, pengeluaran absolut untuk pangan, mobilitas dan nilai-nilai

tentang makanan yang dianut oleh masyarakat setempat. Selanjutnya menurut

Minarto (2010) bahwa kualitas konsumsi pangan dalam keluarga tersebut

dipengaruhi juga oleh ketersediaan bahan pangan dan daya beli sehingga penting

memanfaatkan bahan pangan lokal untuk kebutuhan sehari-hari.

2. Sekolah

Hasil penelitian Ritchie et al. (2010) tentang dampak pendidikan gizi di

California menyatakan bahwa pendidikan gizi yang terkoordinasi secara

signifikan dapat mempengaruhi konsumsi makanan ke arah yang lebih baik pada

pilihan makanan sehat. Sementara menurut Rovner et al. (2011) menemukan

bahwa sekolah berada dalam posisi yang kuat untuk mempengaruhi pola makan

siswa sehingga perhatian pada makanan yang dijual di sekolah perlu untuk

meningkatkan diet mereka. Selanjutnya Fredman dan Connors (2011)

menyatakan bahwa memberikan informasi gizi di toko atau kedai lokasi

pendidikan dapat mempromosikan pilihan makanan sehat.

Page 7: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

19

Yeung (2010) menyatakan bahwa pendidikan gizi di sekolah di Hongkong

dirancang harus menarik untuk anak laki-laki maupun perempuan dan program

pelaksanaan pendidikan gizi yang efektif harus menanamkan kebiasaan makan

yang sehat dan keterampilan memasak yang sehat serta memenuhi kebutuhan

siswa yang mengacu pada perbedaan jenis kelamin. Pendekatan yang lebih

beragam dapat digunakan melalui kurikulum formal dan informal, memprioritas-

kan keterampilan memasak dan keragaan makanan di kurikulum. Pendidikan

dapat memperbaiki keadaan konsumsi makanan dengan merancang kurikulum

yang menarik dalam pendidikan formal dan memprioritaskan memasak.

Sungkowo (2009) menyatakan bahwa intervensi pengayaan pengetahuan pangan

dan gizi di Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Lampung Barat memberikan

dampak lebih baik dilihat dari kebiasaan, frekuensi dan tatacara makan.

Sebagai bukti positif bahwa pengaruh pendidikan orang dewasa tentang

gizi anak berdampak pada tinggi badan dan berat badan. Temuan ini mendukung

untuk memperluas fokus kebijakan program gizi dari pasangan ibu dan anak

terhadap konteks yang lebih luas dari keluarga dan masyarakat karena banyak ibu

di India dan Vietnam bekerja di luar rumah (Moestue et al. 2008). Selanjutnya

hasil penelitian Shim et al. (2011) menunjukkan keprihatinannya (tidak sesuai

anjuran) dalam penggunaan bahan pengawet, pewarna, dan pemanis

buatan dalam makanan dimana lebih dari dua pertiga contoh menyatakan bahwa

informasi mengenai bahan aditif cukup. Hal ini terkait dengan kurangnya

informasi sehingga subyek sulit memahami bahan tambahan makanan dan juga

pendidikan yang tidak cukup.

Devi (1996) melalui hasil penelitiannya menyatakan bahwa adanya

hubungan makanan jajanan tradisional dengan lingkungan keluarga terutama pada

tingkat pendidikan ibu dan frekuensi makanan di luar rumah. Adanya hubungan

perilaku konsumsi makanan jajanan tradisional murid terutama pada pengetahuan

gizi guru dan kegiatan makan bersama. Sementara itu hasil penelitian Napitu

(1994) bahwa rata-rata frekuensi siswa jajan di perkotaan lebih tinggi dibanding

di pinggiran kota karena sebagian besar tidak sarapan pagi di rumahnya masing-

masing. Siswa cenderung lebih banyak konsumsi jajanan tradisional dibandingkan

dengan makanan asing.

3. Peer Group

Peer group merupakan kelompok sosial informal yang terdiri dari orang-

orang sebaya, mempunyai status yang sama, minat serta terikat oleh premis

kesamaan, berusia sekitar sama, dan saling berinteraksi. Khusus untuk peer group

dalam remaja didorong oleh kebebasan dan jiwa individual yang tinggi yang

membutuhkan suport emosional dan sosial yang tinggi, juga belajar tentang

keterampilan sosial dalam kelompoknya tetapi mereka tidak belajar dari orang tua

atau gurunya (Muus, 1990 dalam Cobb 2001).

Escamilla et al. (2008) melakukan penelitian dengan tujuan untuk menilai

dampak pendidikan gizi pada kelompok sebaya dan mengidentifikasi kebutuhan

penelitian masa depan, diperoleh hasil bahwa pendidikan gizi pada kelompok

sebaya memiliki pengaruh positif terhadap hasil pengelolaan diabetes dan

menyusui, serta pada pengetahuan gizi umum dan perilaku asupan makanan.

Peer group dapat berpengaruh pada kesehatan seseorang. Hal ini ditunjukan

oleh hasil penelitian Salvy et al. (2011) yang melihat efek singkat dikucilkannya

Page 8: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

20

motivasi untuk makan dan asupan makanan pada remaja yang kelebihan berat

badan diperoleh ada bukti yang berkembang bahwa pengalaman dikucilkan

seseorang dapat mengganggu kemampuan individu untuk mengatur diri, yang

pada gilirannya menyebabkan perilaku kesehatan negatif, seperti makan yang

tidak sehat meningkat. Hasil studi ini menunjukkan bahwa kelebihan berat badan

dan obesitas pada remaja mungkin beresiko sebagai pengisolasian secara sosial

dan dapat meningkatkan kesulitan untuk mempromosikan perubahan perilaku

jangka panjang dalam perilaku kesehatan remaja yang kelebihan berat badan. Hal

ini didukung oleh hasil penelitian Wouters et al. (2010) yang menyatakan bahwa

intervensi pada peer group mendukung penurunan tekanan psikologis, khususnya

gejala depresi, kecemasan dan kemarahan. Dengan demikian, penggunaan

intervensi dukungan kelompok sebaya harus dimasukkan ke dalam program

kesehatan sekolah.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pilihan makanan yang

dibuat oleh para pemimpin kelompok di suatu kafetaria sekolah memiliki

pengaruh dalam membuat pilihan makanan sehat di AS (Birnbaum et al. 2002

dalam Bevelander et al. 2011). Hal ini terjadi mungkin karena rekan-

rekannya memfasilitasi pembelian produk makanan yang tidak sehat dan temuan

ini mungkin menjadi nilai berarti bagi kebijakan pemerintah, kesehatan, dan

sekolah (misalnya dengan mengarahkan pendidikan kesehatan pada kelompok

di sekolah). Selanjutnya Bevelander et al. (2011) menyatakan bahwa konsumsi

makanan dan minuman ringan individu terkait dengan ketersediaan

kombinasi konsumsi makanan tertentu dari rekan-rekan mereka di sekolah, dan

karakteristik pribadi mereka.

4. Keragaan Makanan Tradisional

Pola kebiasaan konsumsi makanan dipengaruhi oleh bagaimana seseorang

memberi arti kepada makanan yang biasa dikonsumsi. Pada umumnya penerimaan

dan penolakan terhadap suatu jenis makanan merupakan kebiasaan yang sulit

untuk dirubah karena sifatnya sangat pribadi (Wulan 1997). Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Johnson et al. (2011) dengan tujuan untuk memahami makanan

sehari-hari pada ibu menyatakan bahwa keragaan makanan tradisional

menggarisbawahi bagaimana pentingnya memahami identitas yang berkaitan

dengan makanan serta yang dapat mempengaruhi pilihan makanan.

Lewin (1943) dalam Suhardjo (1989) telah mempelajari apa yang dia

anggap sebagai nilai dasar yang menentukan pilihan makanan agar dapat

menentukan lebih baik apa yang orang makan dan lakukan yang meliputi rasa

(taste), nilai sosial, manfaat bagi kesehatan dan harga.

Menurut Kuhne et al. (2010) bahwa meskipun ada kontroversial dalam

konteks makanan tradisional, tetapi sangat penting untuk mengatasinya melalui

proses inovasi. Selanjutnya bahwa proses ini dapat diterima oleh konsumen

sepanjang melestarikan karakter makanan tradisional yang ditekankan sebagai

prasyarat dalam inovasi produk tersebut.

5. Citra Makanan Tradisional

Berbagai jenis makanan mempunyai citra tersendiri di mata masyarakat. Ini

menyebabkan masyarakat akan mengonsumsi makanan tertentu yang mempunyai

nilai sesuai dengan tingkat naluri pada makanan yang terdapat dalam masyarakat

Page 9: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

21

(Suhardjo 1989). Nilai makanan yang terdapat dalam masyarakat tersebut selalu

tergambarkan dalam pikiran manusia sehingga dapat berakhir dengan keputusan

untuk mengonsumsi makanan tradisional tersebut.

Adapula orang yang mengonsumsi makanan didasari oleh gengsi sosialnya

yang mengikuti perkembangan zaman sehingga akan dianggap mempunyai gaya

hidup yang beda dan bahkan lebih modern jika tidak mengonsumsi makanan

tradisional. Hasil penelitian yang dilakukan Yulianis (2009) ditemukan bahwa

faktor gengsi sosial dan gaya hidup yang mengarah ke nilai-nilai modernisasi

yang menganggap segala sesuatu yang berbau tradisional atau lokal adalah

dianggap tidak mengikuti perkembangan zaman.

Citra makanan tradisional berhubungan dengan berbagai bahan makanan

yang menyusunnya. Ada orang senang mengonsumsi makanan tersebut, tetapi

dapat menjadi pengalaman yang dilematis: mereka butuh untuk mencari beragam

makanan untuk memenuhi kebutuhan gizi, tetapi di sisi lain dapat berpotensi

berbahaya (Rozin 1988 dalam Contento 2007). Sebagai contoh adalah bahan

makanan dari hewani seperti daging yang dapat memenuhi kebutuhan protein

namun dapat pula berpotensi menyebabkan tubuh tidak sehat.

Kemungkinan oleh karena kelangkaan ketersediaan makanan tradisional

maka terjadi berbagai keadaan yang dapat mempengaruhi citra dari makanan

tersebut. Menurut Almli et al. (2011) bahwa makanan tradisional relatif mahal

dan memakan waktu dalam menyiapkannya untuk selera tertentu, kualitas,

penampilan, nilai gizi, kesehatan dan keamanan makanan tersebut.

6. Iklan

Iklan sangat mempengaruhi perilaku konsumsi makanan seseorang sehingga

dapat berubah dari makanan tradisional ke makanan fasf food. Iklan ini dapat

melalui media elektronik (radio, televisi, dll) juga dari media cetak (Koran,

majalah, bulletin, dll). Menurut Bowen dan Devine (2011) bahwa model

multimedia termasuk karakteristik masyarakat dan budaya dapat mempengaruhi

akulturasi makanan di tingkat keluarga dan rumah tangga serta pilihan makanan

pada kalangan remaja wanita.

Goris et al. (2009) menyatakan bahwa kontribusi iklan terhadap terjadinya

obesitas di Amerika Serikat berkisar antara 16%-40%, di Australia 10%-28%, di

Italia dan Inggris berkisar antara 4%-18%, sehingga kontribusi iklan televisi

tentang makanan dan minuman untuk prevalensi obesitas jelas berbeda antara

negara dan mungkin signifikan di beberapa negara. Selanjutnya dalam penelitian

Andreyeva et al. (2011) dengan tujuan menganalisis pengaruh iklan dihubungkan

dengan konsumsi makanan siap saji, minuman ringan dan obesitas, ternyata iklan

televisi dapat meningkatkan penggunaan gula pemanis, soft drink berkarbonasi

pada anak. Akibatnya iklan dikatakan dapat meningkatkan konsumsi keseluruhan

kategori makanan yang tidak sehat.

Anschutz et al. (2011) melakukan penelitian tentang efek langsung dari

menonton iklan di televisi terhadap asupan makanan ringan pada dewasa muda,

dimana hasilnya menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda

terpengaruh oleh iklan makanan. Asupan makanan pada perempuan lebih tinggi

dibandingkan dengan pria ketika mereka melihat iklan makanan. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan untuk makan

makanan ringan bila terkena iklan makanan.

Page 10: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

22

Menurut Wadolowska et al. (2008) bahwa iklan telah menyangkal secara

umum dan merupakan faktor yang penting dalam pemilihan makanan. Perhatian

pada iklan meningkat jika informasi tentang makanan yang diberikan terkait

dengan kesehatan. Motif pemilihan makanan lebih besar tegantung pada jenis

kelamin dan umur, keterjangkauan informasi pada suatu daerah, kondisi ekonomi

dan pendidikan. Ibu-ibu dan remaja wanita dalam memilih makanan lebih sering

ditunjukkan oleh karena perilaku dukungan kesehatan, motif mengonsumsi,

kesukaan dan jumlah makanan yang dikonsumsi. 7. Pasar

Pasar adalah tempat untuk memperoleh makanan yang diproduksi maupun

yang diinginkan oleh setiap individu. Turrell et al. (2007) menguji hubungan

antara social economic status (SES) dan perilaku pembelian makanan dengan

metode survei yang ditunjukkan dengan proporsi rumah tangga pada masing-

masing penghasilan rendah. Penelitian ini diukur melalui pendidikan, pekerjaan

dan pendapatan rumah tangga maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa perilaku

pembelian makanan dapat dibedakan berdasarkan ketersediaan makanan,

kemudahan mengaksesnya, dan keterjangkauannya yang membuat tipe pada

beberapa pembelian makanan lebih sulit dalam daerah tertentu.

Berbeda dengan makanan cepat saji yang saat ini sedang menjamur hampir

di semua negara yang dengan mudah mengusai pemasaran makanan yang ada.

Menurut Dunn et al. (2011) yang melakukan penelitian dengan variabel yang

mempengaruhi konsumsi makanan cepat saji dalam contoh di Australia

menunjukkan bahwa konsumsi makanan cepat saji dipengaruhi oleh kelompok

rujukan tertentu serta permintaan umum untuk makanan yang lezat,

memuaskan, dan nyaman. Selanjutnya Michaelidou dan Hassan (2010) melakukan

penelitian tentang sikap konsumen dan niat membeli produk organik yang

menunjukkan bahwa sikap konsumen dijelaskan oleh karena keprihatinannya pada

keamanan pangan, gaya hidup, etika dan harga.

Meskipun pemahaman gizi tampaknya berada pada tingkat yang baik,

namun pengetahuan itu tidak cukup untuk menghalangi individu dari membeli

dan makan makanan cepat saji. Faktor-faktor yang menghambat konsumsi

makanan cepat saji adalah perasaan yang lahir dari diri sendiri dan kepedulian

tentang isu-isu sosial seperti keluarga kehilangan waktu makan makanan

tradisional, anak-anak tidak belajar tentang makanan dan persiapan makanan,

kebiasaan konsumsi membentuk sifat sering, dan terkait dengan gaya hidup

(Dunn et al. 2011). Oleh karena itu menurut Pieniak et al. (2009) bahwa

dibutuhkan pasar untuk makanan tradisional tersebut.

Makanan Tradisional

Makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan (Kamus Besar Bahasa

Indonesia 2002). Menurut Kittler dan Soucher (2008) makanan didefinisikan

sebagai zat yang menyediakan kebutuhan gizi untuk pemeliharaan dan

pertumbuhan tubuh ketika dimakan. Sementara Menurut Almatsier (2003) bahwa

makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan atau unsur-

unsur kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh yang berguna bila

Page 11: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

23

dimasukan dalam tubuh.

Makanan mempunyai berbagai fungsi di dalam tubuh baik untuk mencegah

terjadinya berbagai penyakit, memelihara tubuh agar tetap sehat dan juga dapat

menyembuhkan berbagai penyakit. Menurut Hipocrates (460-359 SM) bahwa

biarkan makanan menjadi obat-mu dan obat menjadi makanan-mu (Let food be

thy medicine and medicine be thy food) yang dapat difahami bahwa makanan itu

sendiri mempunyai berbagai fungsi yang dapat melawan berbagai penyakit

sehingga dapat memberikan kesehatan pada tubuh atau meningkatkan kekebalan

tubuh sehingga tubuh tetap sehat (Lucock 2004).

Konsep dan Definisi Makanan Tradisional

Menurut Achir dan Wirosuhardjo (1995) bahwa makanan tradisional adalah

bagian dari budaya. Kata budaya tersebut berasal dari bahasa sangsekerta yaitu

buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal. Ada juga

yang mengelompokkan kata budaya menjadi budi-daya yang dapat berarti daya

dari budi berupa cipta, karsa dan rasa. Menurut Jordana (2000) bahwa agar produk

makanan dikatakan tradisional maka harus terkait dengan daerah, menjadi bagian

dari tradisi daerah tersebut serta telah dilakukan dalam waktu yang lama.

Menurut Montanari (2006) bahwa budaya itu telah mengambil tempat

dimana antara tradisi (misalnya konsumsi makanan yang merupakan kebiasaan

turun temurun yang masih dijalankan di masyarakat) dan inovasi yang saling

berhubungan. Lebih lanjut dikatakan bahwa tradisi konsumsi makanan ini

terdiri dari pengetahuan, teknik, nilai, yang secara turun temurun diturunkan

kepada kita, sehingga pada keadaan selanjutnya terdapat pula inovasi yang

sedemikian rupa (pengetahuan, teknik, nilai-nilai) dan memodifikasinya dalam

konteks lingkungan yang membuat manusia mengalami realitas baru.

Menurut Soerjodibroto (1995) bahwa makanan tradisional itu terbentuk

sebagai akibat dari adanya hasil suatu evolusi pengalaman yang sudah turun

temurun selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad yang tersusun dalam

hidangan sehari-hari. Kesanggupan menyusun hidangan ini tidaklah diturunkan

dalam pengertian herediter, tetapi merupakan kepandaian yang diajarkan dari

leluhur melalui orang tua, terus ke generasi yang lebih muda (Suhardjo 1989).

Kemungkinan hal ini yang menyebabkan bahwa karena berdasarkan pengalaman

yang cukup panjang sehingga makanan yang dimasak oleh orang yang tua seperti

nenek-nenek saat ini terasa lebih enak dibandingkan dengan makanan yang

dimasak oleh kita sendiri. Dari pengertian yang ada ini maka dapatlah dikatakan

bahwa makanan tradisional adalah makanan yang dibuat dengan menggunakan

resep khas hasil ciptaan masyarakat daerah tertentu dan sudah ada dari generasi

sebelumnya.

Makanan tradisional mempunyai fungsi yang majemuk yaitu bukan saja

biologis, tetapi juga mempunyai fungsi sosial, budaya dan agama (Winarno 2004).

Menurut Muhilal (1995) bahwa ada empat kelompok makanan Indonesia beserta

fungsinya yaitu pertama, makanan pokok sebagai sumber karbohidrat atau sumber

energi berupa beras, jagung, ubi, sagu, yang fungsinya membuat rasa kenyang dan

diangap baik untuk kesehatan. Kedua, lauk sebagai sumber protein dan lemak

berupa daging, ikan, telur, tempe dan tahu yang membuat hidangan terasa lebih

enak. Dilihat dari kombinasi asam amino, nilai biologi protein hewani lebih baik

dari protein nabati. Namun kombinasi antara beras yang rendah akan lisin, tetapi

Page 12: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

24

tinggi asam amino yang mengandung sulfur, dengan kedelei yang rendah asam

amino yang mengandung sulfur, tetapi tinggi lisin, maka kombinasi keduanya

akan menjadikan susunan asam aminonya saling melengkapi. Ketiga, sayur yang

fungsinya dalam menu memperlancar pengunyahan dan makanan lebih mudah

ditelan. Sayuran merupakan sumber vitamin dan mineral, karena sebagian besar

wilayah Indonesia umumnya sayuran dimasak lebih dahulu sebelum dimakan

maka vitamin C sebagian besar menjadi rusak. Keempat, buah yang fungsinya

untuk menetralkan rasa dari berbagai hidangan dan sering disebut pula pencuci

mulut. Buah merupakan sumber vitamin dan mineral. Karena buah dimakan

mentah maka vitamin yang dikandungnya terutama vitamin C tidak mengalami

kerusakan.

Proses pemasakan makanan tradisional umumnya dilakukan dengan

menggunakan alat-alat tradisional yang banyak terbuat dari tanah, kayu, bambu,

tempurung, dan lain-lain. Pemasakan umumnya menggunakan tungku dengan

bahan bakar kayu, tempurung atau arang seperti merebus, menggoreng, menumis,

mengukus dan memasak dengan cara ditim. Ada proses pemasakan langsung di

atas bara api seperti membakar, ada juga yang dimasak dalam oven yang disebut

dipanggang, ada juga yang dimasak dalam abu tungku yang panas yang biasanya

dimasak adalah jenis umbi-umbian dan ada juga di masak dengan panas batu yang

sebelumnya telah dibakar (bakar batu) seperti di Papua. Seiring terjadinya

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka sekarang pemasakan

makanan sebagian besar sudah dilakukan pada kompor yang terbuat dari baja

dengan bahan bakar minyak tanah, gas atau dengan tenaga listrik (Suhardjo 1989).

Konsumsi makanan tradisional juga dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan

ritual diantaranya dihubungkan dengan kekuatan magis, pada haul orang yang

meninggal; hari-hari besar keagamaan seperti puasa; lebaran, maulid Nabi

Muhammad; selamatan 7 bulan umur kehamilan, kelahiran anak atau pada ibu

menyusui, sunatan atau pada prosesi pernikahan, mau membangun rumah,

menempati rumah baru, upacara penyambutan pemimpin suku dan lain-lain. Pada

upacara-upacara ini makanan tradisionalnya dari kuantitasnya disesuaikan dengan

keadaan sosial ekonomi pembuat hajatan (Suhardjo 1989).

Menurut Muhillal (1995) bahwa sudah terjadi pergeseran makanan pokok

dari yang non beras menjadi beras. Bila dilihat dari pola menu berbagai daerah

tersebut maka sudah terpenuhi adanya 4 kelompok bahan makanan. Namun data-

data survei mengungkapkan bahwa asupan gizi sebagian masyarakat terutama

yang berpenghasilan rendah adalah lebih rendah dari kecukupan gizi yang

dianjurkan. Untuk menuntun masyarakat agar mengonsumsi kombinasi makanan

dan jumlah yang benar membutuhkan pedoman melalui proses pembelajaran yang

disesuaikan dengan daerahnya masing-masing sehingga terjadi keseimbangan

antara jumlah asupan zat gizi dengan aktivitas yang dilakukan.

Zat gizi yang terdapat di dalam makanan secara garis besarnya dapat dibagi

menjadi dua jenis yaitu zat gizi makro dan mikro. Zat gizi makro terdiri dari

karbohidrat, protein, dan lemak. Sementara zat gizi mikro terdiri dari vitamin dan

mineral. Vitamin secara gari besar terdiri dari vitamin yang larut air dan vitamin

larut lemak. Selanjutnya untuk mineral terbagi dalam mineral makro dan mineral

mikro. Menurut Almatsier (2003) bahwa sekarang sudah diketahui sekitar empat

puluh lima zat gizi yang harus tersedia di dalam makanan sehari-hari dan masih

diteliti kemungkinan mikromineral dan unsur-unsur vitamin baru. Adapapun

Page 13: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

25

jenis-jenis zat gizi seperti pada Tabel 1.

Konsumsi makanan yang baik mempunyai proporsinya masing-masing.

Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004) bahwa secara umum pola makan yang

baik adalah bila perbandingan komposisi energi dari karbohidrat, protein dan

lemak adalah 50-65%; 10-20%; dan 20-30%. Selanjutnya, bahwa komposisi ini

tentunya dapat bervariasi tergantung umur, ukuran tubuh, keadaan fisiologis, dan

mutu asupan protein.

Tabel 1 Penggolongan zat gizi

Gizi Makro Gizi Mikro

Vitamin Mineral Karbohidrat

Protein Lemak

Ada juga yang menggolongkan

bahwa air termasuk zat gizi.

Larut lemak: A, D, E, K.

Larut air: B dan C

Makro : Natrium (Na), Klor (Cr), Kalium (K),

Kalsium (Ca), Fosfor (P), Magnesium (Mg), Sulfur (S).

Mikro : Besi (Fe), Seng (Zn), Iodium (I),

Tembaga (Cu), Mangan (Mn), Krom (Cr), Selenium (Se), Molibden (Mo), Fluor (F),

Kobal (Co), dan mineral mikro lainnya yang

kebutuhannya belum ditetapkan.

Sumber : Almatsier (2003)

Aneka Ragam Bahan Makanan Tradisional

Tidak ada satu jenis bahan makanan di dunia ini yang dapat memenuhi

kebutuhan gizi seseorang, kecuali hanya Air Susu Ibu (ASI) yang lengkap zat-zat

gizinya untuk bayi yang berumur 0-6 bulan (Anonim 2007). Akibatnya, untuk

memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas hidup, setiap orang

membutuhkan 5 kelompok zat gizi yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan

mineral dalam jumlah yang cukup, tidak berlebihan, dan tidak juga kekurangan

(Soekirman et al. 2003). Selain itu manusia memerlukan air dan serat untuk

memperlancar berbagai proses faali dalam tubuh.

Secara alami, komposisi zat gizi setiap jenis makanan memiliki keunggulan

dan kelemahan tertentu. Beberapa makanan mengandung tinggi karbohidrat tetapi

kurang vitamin dan mineral, sementara bahan makanan yang lain kaya vitamin C

tetapi kurang vitamin A. Apabila konsumsi makanan sehari-hari kurang beraneka

ragam, maka akan timbul ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan zat

gizi yang diperlukan untuk hidup sehat dan produktif. Dengan mengonsumsi

makanan yang beraneka ragam setiap hari, maka kekurangan zat gizi pada jenis

makanan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan susunan zat gizi makanan

lain sehingga diperoleh masukan zat gizi yang seimbang. Menurut Soekirman et

al. (2010) bahwa gizi seimbang itu merupakan susunan makanan sehari-hari yang

mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh

dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman atau variasi makanan, aktivitas

fisik, kebersihan dan berat badan ideal.

Jadi keanekaragaman bahan makanan dapat menjamin masukan zat gizi

yang seimbang yang tidak hanya dapat dipenuhi oleh satu jenis bahan makanan

saja. Di sini terlihat adanya saling ketergantungan selain bahan itu sendiri, juga

ketergantungan antara zat gizi. Misalnya penyerapan yang optimum dari masukan

vitamin A memerlukan kehadiran lemak sebagai pelarut dan mengangkut vitamin

A ke seluruh bagian tubuh. Selain itu apabila cadangan mangan (Mn) di dalam

tubuh kurang, maka vitamin A juga tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara

Page 14: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

26

optimal. Contoh lainnya, diperlukan vitamin C yang cukup dalam makanan untuk

meningkatkan penyerapan zat besi (Fe) (Soekirman et al. 2003).

Keanekaragaman makanan terdapat pada makanan tradisional di seluruh

Indonesia. Sebagai contoh gado-gado dari Jawa yang merupakan jenis makanan

tradisional yang menggunakan beraneka ragam bahan makanan mengandung

karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang memadai. Sama halnya

dengan tinutuan (bubur Manado) dari Minahasa yang menggunakan beraneka

ragam bahan makanan yang hampir sama dengan gado-gado tetapi yang berbeda

adalah penambahan beberapa bahan makanan lainnya, cara pengolahan dan

penyajiannya (Weichart 2004). Contoh lainnya seperti di Gorontalo binthe

biluhuta yang juga terdiri dari beragam bahan makanan dengan bahan dasarnya

jagung sumber karbohidrat, ikan sumber protein, kelapa sumber lemak, sayur

sebagai sumber vitamin dan mineral serta sumber serat (Napu et al. 2008) yang

tidak dapat diserap dan tidak mempunyai nilai gizi, tetapi mempunyai dampak

positif terhadap peningkatan derajat kesehatan diantaranya mencegah terjadinya

berbagai penyakit degeneratif.

Konsumsi makanan tradisional mendukung penggunaan bahan makanan

yang beraneka ragam sebagai salah satu upaya mengatasi ketergantungan

penduduk pada bahan pokok beras. Salah satu ciri khas makanan tradisional

adalah penggunaan bahan makanan lokal yang beragam seperti penggunaan umbi-

umbian, jagung, pisang, dan sagu, termasuk jenis sayur-sayuran dan buah-buahan

yang beragam. Penggunaan bahan yang sederhana dan alami pada makanan

tradisional mendukung ketersedian bahan makanan di tingkat rumah tangga. Ini

mendukung terciptanya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga yang

dibutuhkan perhatian terutama pada kelompok miskin (Atmarita 2005).

Tabel 2 Klasifikasi kebutuhan dan contoh kebutuhan atas aneka ragam makanan

Klasifikasi kebutuhan Contoh kebutuhan atas aneka ragam makanan

Self actualization Kebutuhan pengetahuan gizi; untuk mengambil keputusan tentang pangan dan gizi yang baik.

Kebutuhan pengetahuan makanan; untuk menyesuaikannya dengan gaya hidup dan

kepuasannya

Esteem Kebutuhan atas makanan dan tatacara makan untuk citra yang diidamkan

Kebutuhan atas makanan dan tata cara makan yang dapat memberikan gengsi,

reputasi, dan status sosial dirinya

Belonging and love Kebutuhan atas kenikmatan makanan

Kebutuhan atas makanan untuk menggambarkan keterterimaannya dalam suatu

kelompok tertentu.

Safety and convenience Kebutuhan makanan yang memberikan perlindungan tubuh

Kebutuhan makanan yang tidak akan membahayakan tubuh

Kebutuhan kemudahan mempersiapkan dan menyajikan makanan.

Physiological Kebutuhan makanan sebagai sumber kalori

Kebutuhan makanan untuk mempertahankan kondisi tubuh

Kebutuhan makanan untuk memerangi kelaparan.

Sumber: modifikasi dari Earle, 1997 dalam Dewanti et al. 2003

Menurut Dewanti et al. (2003) bahwa kebijakan ilmu pengetahuan dan

teknologi (iptek) bahan makanan pokok bersama dengan kebijakan makro lainnya

pada masa lalu telah menyebabkan terjadinya perubahan dan pergeseran

kebiasaan makan (food habit) sebagian besar penduduk Indonesia yang cenderung

tergantung pada beras. Hal ini telah menyebabkan memudarnya atau bahkan

hilangnya pluralisme dalam food habit dan pluralisme dalam diversifikasi pangan

pokok. Sebagai akibat lanjutannya; produksi, mutu dan prestise makanan lokal

Page 15: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

27

non beras secara bertahap terus menurun. Suatu saat, kondisi yang demikian ini

bukannya tidak mungkin akan menyebabkan hilangnya budaya makan dan

makanan tradisional daerah.

Kebutuhan makanan setiap individu berbeda-beda, hal ini dapat ditinjau

berdasarkan stratifikasi konsumen dan kebutuhan aneka ragam makanan

berdasarkan Teori Maslow (modifikasi dari Earle, 1997 dalam Dewanti et al.

2003) seperti pada Tabel 2.

Muatan Lokal Ilmu Gizi Berbasis Makanan Tradisional dalam Kurikulum

Pelestarian Makanan Tradisional

Upaya pelestarian makanan tradisional di Indonesia sudah saatnya harus

dilakukan secara berkesinambungan. Kegiatan tersebut dapat melalui penelusuran

kandungan spesifik yang terdapat dalam makanan tradisional, juga manfaat atau

fungsi dari makanan itu sendiri. Selain itu makanan tradisional mempunyai nilai-

nilai tertentu yang biasanya ditampilkan pada upacara-upacara adat daerah dan

keagamaan di Indonesia. Menurut Weichart (2004) bahwa makanan merupakan

bagian ranah pribadi dan kehidupan sosial, yang dengan demikian memiliki arti

sosial, ekonomis dan politis.

Gagasan untuk kembali ke makanan tradisional Indonesia baru mendapat

perhatian yang serius sejak peringatan hari pangan sedunia ke XIII pada tanggal

12 oktober 1993 yang mana telah diadakan seminar pengembangan makanan

tradisional yang diikuti dengan suatu gerakan masyarakat yang dicanangkan oleh

Ibu Tien Soeharto melalui penanda tanganan prasasti ”Aku Cinta Makanan

Indonesia” (ACMI) tanggal 16 Oktober 1993. Makna ACMI tersebut bukan hanya

sekedar mau membeli dan mengonsumsi makanan tradisional, hendaknya pula

dapat memberikan pola dan kesadaran untuk menumbuhkan rasa menilai,

mencintai dan bangga terhadap kebudayaan sendiri (Departemen P dan K 1999).

Kemudian pada tahun 1996 di tingkat perguruan tinggi telah didirikan Pusat

Kajian Makanan Tradisional (PKMT) bertempat di Institut Pertanian Bogor di

Bogor, Universitas Brawijaya di Malang, dan Universitas Gadjah Mada di

Yogyakarta. Selanjutnya pada tahun 1998 didirikan pula PKMT di enam

perguruan tinggi lainnya yaitu di Institut Teknologi Bandung di Bandung,

Universitas Udayana di Bali, Universitas Airlangga di Surabaya, Universitas

Tanjung Pura di Pontianak, Universitas Hasanudin di Ujung Pandang dan

Universitas Sriwijaya di Palembang. Tujuan PKMT ini adalah untuk menggali

budaya yang terperinci dalam makanan tradisional di suatu daerah untuk

menguraikan khasiat dan makna spritualnya dan pengembangan dari segi

teknologi sehingga memiliki daya simpan dan memiliki nilai tambah yang cukup

tinggi; Ini telah dibuktikan dengan adanya inventarisasi makanan tradisional

Indonesia dengan rincian kandungan gizi yang terhimpun dalam buku Kumpulan

Makanan Tradisional (Departemen P dan K 1999). Tetapi kegiatan PKMT berupa

pelestarian dan pengembangan ini sudah tidak terdengar lagi dan bahkan ada

lembaga yang terbentuk sudah tidak berjalan dengan baik.

Pertanyaan sederhana yang dapat disampaikan adalah bagaimana makanan

tradisional ini menjadi lestari dan dikembangkan? Hal ini selain bermanfaat untuk

individu juga membuat makanan tersebut dapat bersaing di tingkat internasional,

Page 16: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

28

berkembang di restoran-restoran nasional dan internasional, dan memberikan

kesempatan pada investor untuk mengembangkannya. Agar masyarakat Indonesia

merasa memiliki makanan tradisional tersebut maka dibutuhkan upaya-upaya

dalam pelestarian dan pengembangannya, dan akan menjadi kebiasaan yang baik

dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu menurut Wijaya dan Astawan (2001)

bahwa tidak melupakan pula upaya pengembangan dari sisi sosialnya yaitu

menumbuhkan rasa percaya dan cinta masyarakat kita karena ini merupakan

keberhasilan dari pencapaian akhir.

Dalam pelestarian dan pengembangan makanan tradisional dapat ditempuh

dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal sesuai dengan kondisi

agroekosistem masing-masing wilayah, meningkatkan produksi bahan makanan

lokal dan pengembangan konsumsi makanan yang mengarah pada bahan makanan

lokal non beras (Suryana 2001). Secara garis besarnya upaya pengembangan

makanan tradisional dapat dilakukan dengan melaksanakan beberapa kegiatan

yang bersifat strategis diantaranya melakukan inventarisasi, identifikasi dan

pemetaan potensi; sosialisasi promosi dan publikasi tentang pelestarian makanan

tradisional serta pengembangannya; meningkatkan peran Pemerintah Daerah

(Pemda) dalam mempromosikan produk makanan tradisional guna menarik

investor; pendidikan dan penyuluhan bagi tenaga yang berkecimpung dalam

bidang makanan tradisional untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan

dalam berbagai segi pengembangannya. Hal penting lainnya adalah tentang

keberlanjutan ketersediaan pangan yang saat ini sedang dihadapkan pada beberapa

masalah dan tantangan salah satunya adalah kapasitas produksi pangan yang

semakin terbatas karena adanya peningkatan jumlah penduduk beserta aktivitas

ekonominya (Tanziha 2010).

Upaya pelestarian dan pengembangan makanan tradisional dapat dilihat

pula di negeri Jepang yang merupakan salah satu negara yang mampu

mengantisipasi kemajuan zaman tanpa harus kehilangan nilai-nilai tradisionalnya.

Hal ini nampak pada pengembangan produk-produk makanannya. Strategi

pengembangan makanan tradisional yang terpadu secara erat baik oleh pihak

produsen, pemerintah, ilmuan dan masyarakat telah melahirkan keterandalannya

sekaligus produk-produk yang mampu bersaing di tengah maraknya produk-

produk yang datang dari negara lain (Wijaya dan Astawan 2001). Sejak tahun

2005 telah diberlakukan Undang-undang Shokuiku (food and nutrition

education), yang merupakan pendidikan gizi dan makanan kepada masyarakatnya

yang sesungguhnya konsep Shokuiku tersebut telah ada sejak zaman Meiji (1868-

1912) yang mengolah makanan-makanan tradisional Jepang (Anonim 2006).

Menurut Watanabe (2006) bahwa Shokuiku menjadi dasar dalam kehidupan untuk

pendidikan intelektual (chiiku), moral (tokuiku) dan fisik (taiiku). Shokuiku dapat

melatih kebiasaan makan yang sehat pada anak-anak, memberikan pengetahuan

yang berkaitan dengan makanan, kemampuan untuk memilih makanan melalui

berbagai pengalaman. Akibatnya di Jepang Shokuiku ini dianggap penting bagi

semua generasi. Sebagai ilustrasi sederhana bahwa Shokuiku pada anak-anak

memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan mental dan fisik, dan juga pada

pembentukan karakter mereka yang membentuk pembinaan kesehatan mental dan

fisik, serta kemanusiaan sepanjang hidupnya. Pada saat anak-anak tersebut

menjadi dewasa diharapkan akan merefleksikan kebiasaan diet pada keluarga dan

masyarakat. Sehingga dengan peningkatan yang pesat populasi lansia di Jepang

Page 17: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

29

diharapkan pula yang akan memimpin dan memberi semangat tentang hidup sehat

termasuk praktik kebiasaan diet yang sehat pada generasi dibawahnya. Berbagai

dampak yang dapat dilihat dari Shokuiku terjadi di Jepang termasuk pada perilaku

konsumsi makanan tradisional yang dibandingkan dengan cepat saji (fast food).

Penelitian yang dilakukan oleh Goto et al. (2009) untuk mengetahui persfektif

wanita Jepang tentang makanan cepat saji dan Shokuiku. Makanan cepat saji

dengan rentetan proses pengolahan dianggap sebagai makanan tidak sehat,

sementara beberapa makanan tradisional cepat saji seperti soba (mie soba)

dianggap relatif sehat. Selanjutnya sebagian besar contoh menyatakan bahwa

Shokuiku diperlukan mulai dari tingkat rumah tangga dan pada pelestarian

makanan tradisional atau makanan lokal yang dinyatakan lebih bergizi.

Konsep Muatan Lokal

Konsep muatan lokal didasarkan pada surat keputusan Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan No. 0412/U/1987 yang menyatakan bahwa muatan lokal adalah

program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan

lingkungan alam, sosial, budaya serta kebutuhan daerah dan wajib dipelajari di

daerah itu. Ini merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi

yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan

daerah. Oleh karena materi muatan lokal terlalu banyak sehingga harus menjadi

mata pelajaran tersendiri. Selanjutnya substansi pembelajaran muatan lokal

ditentukan oleh satuan pendidikan yang tidak terbatas pada mata pelajaran

keterampilan saja. Materi muatan lokal terdiri atas 3 rumpun yaitu rumpun

budaya, rumpun keterampilan dan rumpun pendidikan lingkungan (BSNP 2006).

Muatan lokal merupakan mata pelajaran, sehingga satuan pendidikan harus

mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar pada mata pelajaran

muatan lokal tersebut. Satuan pendidikan dapat menyelenggarakan satu mata

pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti bahwa dalam satu tahun satuan

pendidikan dapat menyelenggaran dua kali mata pelajaran muatan lokal (BSNP

2006)

Keberadaan mata pelajaran muatan lokal merupakan bentuk

penyelenggaraan yang tidak terpusat. Ini sebagai upaya agar penyelenggaraan

pendidikan di masing-masing daerah lebih meningkat relevansinya dengan

keadaan dan kebutuhan daerah. Menurut Arikunto (1997) bahwa secara umum

tujuan pembelajaran muatan lokal adalah mempersiapkan peserta didik agar

memiliki wawasan yang mantap tentang lingkungannya dalam bentuk sikap dan

perilaku, serta bersedia melestarikan dan mengembangkan sumber daya alam,

kualitas sosial dan kebudayaan yang mendukung pembangunan nasional maupun

pembangunan daerah setempat. Sementara tujuan khususnya adalah:

1). Mengenalkan dan mengakrabkan peserta didik dengan lingkungan alam, sosial

dan budayanya; 2). Membekali peserta didik dengan kemampuan dan

keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya

maupun lingkungan masyarakat pada umumnya; 3). Melestarikan nilai-nilai luhur

budaya setempat dalam rangka menunjang pembangunan nasional; 4). Menyadari

lingkungan dan masalah-masalah yang ada di masyarakat serta membantu

mencari pemecahannya.

Selanjutnya bahwa proses pelaksanaan pembelajaran diatur dalam

kurikulum. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 tahun 2005 tentang

Page 18: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

30

Standar Nasional Pendidikan bahwa yang dimaksud dengan kurikulum adalah

seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran

serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan

pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Penyusunan kurikulum

ini disesuaikan dengan tingkat satuan pendidikan sekolah dasar (SD), sekolah

menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) atau bentuk lain

yang sederajat yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi

daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik.

Oleh karena itu lebih lanjut dalam PP tersebut dikatakan bahwa kerangka dasar

dan struktur kurikulum memuat tentang kelompok mata pelajaran ilmu

pengetahuan dan teknologi yang dilaksanakan diantaranya melalui muatan lokal

yang relevan.

Kebijakan dan Implementasi Muatan Lokal

Pendidikan formal, nonformal maupun informal selain dapat menjadi wadah

untuk melakukan pelestarian dan pengembangan makanan tradisional juga untuk

menumbuhkan sikap mencintai terhadap bangsanya sendiri. Pendidikan non

formal dapat dilakukan melalui penyuluhan tatap muka yang komunikatif dengan

berbagai unsur. Menurut Achir dan Wirosuhardjo (1995) bahwa perlu melakukan

langkah studi awal tentang pengetahuan, sikap dan praktik mengenai makanan

tradisional yang dilihat dari gizi dan kesehatan sebelum melakukan penyuluhan

tersebut. Dari data yang diperoleh maka menjadi dasar penyusunan bahan

penyuluhan tentang makanan tradisional dan gizi guna meningkatkan

pengetahuan, sikap dan praktik keluarga pada makanan tradisional tersebut.

Upaya non formal ini dibutuhkan peran lintas sektor dan lintas program termasuk

peran dari pers dalam pembentukan opini. Secara formal dapat dilakukan melalui

pendidikan formal di sekolah yang dapat berdampak pada aspek ekonomi, gizi

dan kesehatan (Achir dan Wirosuhardjo 1995).

Memang pendidikan merupakan upaya mendasar dalam meningkatkan

pengetahuan masyarakat khususnya dalam pelestarian dan pengembangan

makanan tradisional sebagai budaya bangsa. Selain itu juga melalui pendidikan

tersebut memberikan kesadaran terjadinya perilaku gizi yang diharapkan. Sebagai

contoh konsumsi sayuran yang sekalipun sudah disediakan di dalam keluarga,

tetapi karena tidak mempunyai pengetahuan tentang pentingnya konsumsi sayuran

tersebut maka tetap saja tidak dikonsumsinya. Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian Dweba dan Mearns (2011) yaitu bahwa meskipun sayuran tradisional

tersedia, tetap saja terjadi penurunan dalam penggunaan sayuran karena hilangnya

pengetahuan lokal yang terkait dengan sayuran tradisional tersebut.

Di Gorontalo kebijakan pelestarian dan pengembangan makanan tradisional

lebih dititikberatkan pada pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan

dalam bentuk mata pelajaran muatan lokal (Dinkes Prov. Gorontalo 2007). Mata

pelajaran muatan lokal ini bernama Ilmu Gizi Berbasis MTG yang diterapkan di

pendidikan dasar (SD dan SMP atau sederajat) dan menengah (SMA/SMK atau

sederajat) sejak tahun 2008. Wilayah pembelajarannya mencakup seluruh

kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Gorontalo dan ini merupakan jenis

muatan lokal yang pertama di Indonesia.

Berbagai keadaan yang mendasari dilaksanakannya mulok ilmu gizi

berbasis MTG diantaranya adalah hasil evaluasi pasien yang dirujuk untuk

Page 19: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

31

konsultasi gizi, pengamatan yang disimak melalui pemberitaan media cetak dan

elektronik tentang banyaknya masalah kesehatan yang sesungguhnya dimulai dari

masalah konsumsi makanan yang dianggap sepele tetapi telah meluas menjadi

masalah kesehatan (Napu 2007). Adapun keadaan yang dimaksud diantaranya:

faham masyarakat tentang makanan yang baik, bergizi, dan sehat sangat terbatas;

meningkatnya kejadian penyakit degeneratif (diabetes mellitus, hiperkoles-

trolemia, hipertensi) pada usia muda (di bawah 40 tahun); meningkatnya penderita

gizi lebih (obesitas) baik pada anak-anak, remaja dan dewasa yang berpotensi

dideritanya penyakit degeneratif; tingginya kasus gizi kurang dan gizi buruk di

seluruh Indonesia; tingginya anemia gizi baik pada remaja, ibu hamil dan ibu

menyusui yang dapat menyebabkan kualitas dan produktivitas SDM rendah;

tingginya masalah pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif karena pemahaman

yang rendah dan juga terbuai oleh iklan atau persuasif produk tertentu; masih

terdapatnya kasus Kurang vitamin A yang menyebabkan gangguan penglihatan;

adanya masalah gangguan akibat kekurangan iodium yang menyebabkan retardasi

mental dan kelainan fungsi tubuh lainnya; adanya ketergantungan masyarakat

pada beras sementara daerah kita mempunyai beragam bahan makanan lokal baik

dari umbi-umbian, jagung, sagu, dan bahan makanan lainnya; besarnya potensi

perairan Indonesia sebagai sumber bahan makanan berprotein yang sangat baik

dan aman; beragamnya ritual agama atau adat istiadat yang disertai dengan

beragam makanan tradisional; menurunnya nilai gengsi makanan tradisional

dibandingkan dengan makanan produk luar negeri sehingga sudah mulai

ditinggalkan; keberagaman bahan makanan tradisional yang digunakan untuk

pemeliharaan kesehatan tubuh atau untuk pengobatan; menjamurnya produk-

produk makanan yang rendah kualitasnya dan bahkan merugikan kesehatan;

menjamurnya produk-produk luar negeri yang beredar di Indonesia yang terkesan

baik sementara melalui berbagai penelitian telah dinyatakan kurang baik untuk

kesehatan; tidak terkontrolnya iklan-iklan tentang makanan dan minuman di

media yang membuat masyarakat salah memilih makanan dan minuman yang baik

dikonsumsi; rendahnya perlindungan terhadap konsumen dalam mengonsumsi

produk-produk makanan dan sering terabaikan misalnya pada kasus keracunan

makanan secara masal; dan lain-lain.

Tujuan pelaksanaan Mulok Ilmu Gizi Berbasis MTG adalah: pertama,

meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang MTG, gizi, dan kesehatan;

kedua, upaya memutus mata rantai permasalahan gizi dan kesehatan; ketiga,

upaya pelestarian dan pengembangan budaya daerah yaitu MTG (Dinkes Prov.

Gorontalo 2007). Dalam pembelajarannya, materi muatan lokal mencakup ilmu

gizi dan kesehatan, dan MTG secara teori dan juga praktik memasak. Sebelum

mulok diajarkan, para guru dilatih oleh Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan

Pemuda dan Olahraga Provinsi Gorontalo dengan materi tentang kesehatan dan

gizi serta tentang kurikulum dan unsur perangkat pembelajaran. Saat ini telah ada

2 guru yang tersertifikasi dengan mata pelajaran mulok tersebut. (Dinas

Kesehatan Provinsi Gorontalo 2008).

Penelitian Terkait dengan Muatan Lokal

Menyadari tentang pendidikan gizi yang telah dilakukan melalui berbagai

penelitian yang berkaitan dengan pendidikan gizi dan muatan lokal, tetapi

penelitian yang memfokuskan pada muatan lokal ilmu gizi berbasis makanan

Page 20: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

32

tradisional sampai saat ini belum ada. Selanjutnya telaahan tentang penelitian

tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 yang menunjukkan beberapa hasil penelitian

tentang pendidikan gizi dan muatan lokal.

Syarief et al. (1988) melakukan penelitian yang bertujuan untuk

mengumpulkan data dasar dalam merancang model pendidikan gizi bagi murid

SD dan juga untuk mengetahui pengetahuan gizi murid SD, kebiasaan makan

murid dan keluarga serta mengetahui pelaksanaan pendidikan gizi SD.

Pengumpulan data melalui wawancara dengan guru, orang tua murid dan melalui

pengamatan langsung. Sementara pengujian secara tertulis pada siswa. Hasilnya

adalah bahwa pengetahuan gizi murid SD tentang aspek kegunaan makanan,

aspek cara memilih dan mengolah makanan relatif lebih rendah dibanding aspek

pengetahuan tentang makanan sehat, aspek pengertian tentang gizi dan

kegunaannya.

Tabel 3 Penelitian tentang pendidikan gizi dan muatan lokal

Referensi Metodologi Cara evaluasi Kesimpulan Syarief et al. (1988)

Rancangan Model Pendidikan Gizi Untuk

Sekolah Dasar.

Laboratorium Gizi Masyrakat Pusat Antar

Universitas (PAU) Pangan

dan Gizi IPB. Pebruari

Data yang dikumpulkan

meliputi keadaan umum sekolah, data keluarga murid

dan pengetahuan gizi yang

berlokasi di 6 SD di Jawa Barat dan 6 SD di Sumatera

Barat.

Melalui wawancara

dengan guru, orang tua murid dan melalui

pengamatan langsung.

Pengujian secara tertulis pada siswa.

Pengetahuan gizi murid SD

tentang aspek kegunaan makanan dan aspek cara

memilih dan mengolah

makanan relatif lebih rendah dibanding aspek pengetahuan

tentang makanan sehat, aspek

pengertian tentang gizi dan kegunaannya

Sutardi (1997).

Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal SLTP di

Provinsi Lampung.

Data yang dikumpulkan

adalah tentang informasi pelaksanaan kurikulum

muatan lokal SLTP

Lampung.

Pengumpulan data dengan

menyebarkan kuesioner kepada perwakilan

pemerintahan Tingkat I,

Kakanwil Dikbud Tingkat I, kabid Pendidikan

Menengah Umum, Kasi

Kurikulum dan Pengawas SLPT, Kanwil Dikbud

Tingkat II Bandar

Lampung dan Metro, kepada 17 orang guru,

dan siswa kelas I, II, II

kedua daerah berjumlah 66 orang.

Ada guru mulok yang belum

mendapatkan penataran. Sebagian besar siswa

menyenangi pelajaran mulok,

sementara sarana dan prasarana yang mendukung

pelaksanaan kurikulum masih

kurang memadai.

Merdhana. (2000)

Kurikulum Muatan Lokal pada Sekolah Menengah

Kejuruan Standar di Bali.

Data yang dikumpulkan

kegiatan para guru mulok berdasarkan keahliannya,

data pelaksanaan

pembelajaran, data pengembangan mulok

menghadapi dunia kerja.

Pengumpulan data

menggunakan kuesioner pada guru-guru dan

kepala sekolah di 3 SMK

standar di Bali.

Pentingnya pengembangan

kurikulum nasional dengan kurikulum mulok melalui

kerjasama antara pihak

Kanwil, sekolah dan dunia usaha/industri.

Kurniati dan Utami

(2005). Evaluasi Pelaksanaan Pembelajaran

Bahasa Jawa SMA sebagai

Muatan Lokal di Jawa Tengah.

Data yang dikumpulkan

meliputi kekuatan, kelemahan, dampak dan

sarana pelaksanaan

pembelajaran bahasa Jawa SMA yang bersumber dari

siswa, guru, kepala sekolah,

kepala dinas di Jawa tengah.

Pengambilan data

menggunakan teknik dokumentasi, angket dan

wawancara

Agar siswa tidak

menyepelekan mata pelajaran bahasa Jawa, posisi mata

pelajaran tersebut disamakan

dengan mata pelajaran lain dan dicantumkan dalam

ijazah

Yufiarti (2009).

Pelaksanaan Program

Pendidikan Muatan Lokal

Berorientasi Keterampilan

di SMP Lampung.

Data yang dikumpulkan

meliputi jenis keterampilan,

ketersediaan guru mulok,

minat peserta didik

mengikuti program mulok,

dan sarana prasarana

Pengumpulan data

menggunakan angket

yang tersebar di 36

sekolah pelaksana Block

Grant

Pelaksanaan muatan lokal

yang berorientasi pada

keterampilan tersebar merata

di beberapa kabupaten di

Provinsi Lampung. Sebagian

besar peserta didik berminat mengikuti kegiatan mata

pelajaran muatan lokal

keterampilan.

Page 21: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

33

Lanjutan Tabel 3 Referensi Metodologi Cara evaluasi Kesimpulan

Sungkowo (2009).

Intervensi Pengayaan Pengetahuan Pangan dan

Gizi pada Muatan Lokal

untuk Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten

Lampung Barat.

Studi ini menganalisis

tentang pengaruh intervensi pengayaan pengetahuan

pangan dan gizi melalui

Mulok Pertanian terhadap pengetahuan pangan dan gii

serta perilaku makan siswa

Data yang dikumpulkan meliputi pengetahuan

pangan dan gizi, pola

konsumsi, perilaku makan, sikap siswa terhadap proses

belajar mengajar, dukungan

orang tua, dan status gizi

Pengumpulan data

menggunakan kuesioner pre test dan post test pada

77 orang siswa (38 siswa

kelas kontrol dan 39 siswa kelas perlakuan)

Terdapat perbedaan

signifikan rata-rata skor pangan dan gizi siswa

sesudah pengayaan antara

kelas kontrol dan perlakuan. Terdapat

perbedaan signifikan

perilaku makan siswa sesudah pengayaan antara

kelas kontrol dan

perlakuan. Terdapat perbedaan yang signifikan

pada aspek cara mengolah

dan menyajikan antara kelas kontrol dan

perlakuan.

Pieniak et al. (2009). Association between

traditional food

consumtion and motives for food choice six

European Contries.

Studi ini meneliti hubungan antara konsumsi makanan

tradisional dan motif

memilih makanan di enam negara Eropa. Belgia,

Prancis, Italia, Norwegia,

Polandia dan Spanyol. Motif ini meliputi berat badan,

harga, kelayakan,

kenyamanan, kealamian makanan, kesehatan,

sensorik

daya tarik, dan kefamilieran.

Penelitian ini adalah Cross-sectional, data

dikumpulkan melalui

survei konsumen (n = 4828) dengan perwakilan

contoh untuk usia 20-70

tahun dan setiap negara diwakili oleh 800 contoh.

Pentingnya faktor kefamilieran dan

kealamian makanan

tradisional menjadi pendorong dalam motif

mengonsumsi makanan

tradisional. Sementara faktor kenyamanam dan

kesehatan sebagai

hambatan langsung dalam konsumsi makanan

tradisional, dan faktor

pengendalian berat badan juga sebagai penghalang

langsung dalam

menurunkan sikap secara umum terhadap makanan

tradisional.

Kühne et al. (2010)

Innovation in traditional food products in Europe:

Do sector innovation activities match

consumers’ acceptance?

Untuk memverifikasi sejauh

mana inovasi sesuai penerimaan konsumen

Data kuantitatif dikumpulkan

dari 270 orang yang terdiri

dari 90 produsen, 90 pemasok bahan dan 90

pelanggan dari di tiga

negara Eropa, Belgia, Hungaria dan Italia. Tingkat

penerimaan dengan 2429

contoh dari tiga negara

tersebut.

melalui survei dan

wawancara langsung dengan produsen

makanan tradisional, pemasok makanan

tradisional dan pelanggan

serta dari konsumen.

konsumen menerima

inovasi sepanjang melestarikan karakter

makanan tradisional meliputi kemasan yang

menjaga kualitas sensorik

dan yang meningkatkan umur simpan makanan

tradisional, mengutamakan

kesehatan dan keamanan produk, pemilihan bahan

baku yang lebih baik.

Fokus penelitian tentang muatan lokal lebih berorientasi pada evaluasi

mulok, ada juga yang berorientasi pada mata pelajaran pendidikan yang lebih

bersifat keterampilan apakah dalam bahasa, atau keterampilan dalam membuat

sesuatu. Sutardi (1997) meneliti tentang pelaksanaan kurikulum muatan lokal

SLTP di Provinsi Lampung; Merdhana (2000) meneliti tentang kurikulum muatan

lokal pada Sekolah Menengah Kejuruan Standar di Bali. Khusus untuk

keterampilan bahasa banyak yang berorientasi pada bahasa daerah seperti Kurniati

dan Utami (2005) tentang evaluasi pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa SMA

sebagai muatan lokal di Jawa Tengah. Yufiarti (2009) tentang pelaksanaan

program pendidikan muatan lokal berorientasi keterampilan di SMP Lampung.

Selain itu untuk pendidikan gizi yang berorientasi pada muatan lokal baru

sebatas pengayaaan pengetahuan pangan dan gizi. Ini seperti yang dilakukan oleh

Sungkowo (2009) yaitu tentang intervensi pengayaan pengetahuan pangan dan

Page 22: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

34

gizi pada muatan lokal untuk Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Lampung

Barat. Hasil penelitian ini diantaranya menyatakan bahwa terdapat perbedaan

signifikan rata-rata skor pangan dan gizi siswa sesudah pengayaan antara kelas

kontrol dan perlakuan. Selanjutnya terdapat pula perbedaan signifikan perilaku

makan siswa sesudah pengayaan antara kelas kontrol dan perlakuan. Dan juga

terdapat perbedaan yang signifikan pada aspek cara mengolah dan menyajikan

makanan antara kelas kontrol dan perlakuan.

Selanjutnya penelitian tentang makanan tradisional seperti yang dilakukan

oleh Pieniak et al. (2009) bertujuan untuk meneliti hubungan antara konsumsi

makanan tradisional dan motif memilih makanan di enam negara Eropa.

Ditemukan bahwa faktor kefamilieran dan kealamian makanan tradisional

menjadi pendorong dalam motif mengonsumsi makanan tradisional. Sementara

faktor kenyamanam dan kesehatan sebagai hambatan langsung dalam konsumsi

makanan tradisional (terkesan kurang higienis), dan faktor pengendalian berat

badan juga sebagai penghalang langsung sikap terhadap makanan tradisional

(karena tinggi lemak).

Kühne et al. (2010) melakukan penelitian dengan tujuan untuk

memverifikasi sejauh mana inovasi sesuai penerimaan konsumen melalui survei

dan wawancara langsung dengan produsen makanan tradisional, pemasok

makanan tradisional dan pelanggan serta dari konsumen. Lebih lanjut ditemukan

bahwa konsumen menerima inovasi sepanjang tetap melestarikan karakter

makanan tradisional yang meliputi kemasan yang menjaga kualitas sensorik dan

yang meningkatkan masa simpan makanan tradisional, mengutamakan kesehatan

dan keamanan produk, serta pemilihan bahan baku yang lebih baik.

Analisis Kebijakan

Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan

dasar pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang

pemerintah, organisasi) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002); Menurut

Djogo, et al. (2003) bahwa kebijakan adalah intervensi, cara dan pendekatan

pemerintah untuk mencari solusi atas masalah pembangunan atau untuk mencapai

tujuan pembangunan dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan

maupun implementasinya di lapangan menggunakan instrumen tertentu;

Sebelumnya Carl I. Fredrick (1963) dalam Dwijowijoto (2003) mendefinisikan

bahwa kebijakan sebagai rangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok

atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang

yang ada, di mana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk

memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka

mencapai tujuan tertentu; Sehingga menurut Dwijowijoto (2003) bahwa kebijakan

adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah.

Dijelaskannya bahwa pertanyaan pertama kenapa berkenaan dengan ”segala

sesuatu”? Karena kebijakan berkenaan dengan setiap aturan main dalam

kehidupan bersama, baik yang berkenaan dengan hubungan antara warga, maupun

antara warga dengan pemerintah. Kedua, kenapa istilah yang dipakai

”dikerjakan”? Oleh karena ”kerja” sudah merangkum proses ”pra dan pasca” yaitu

bagaimana pekerjaan tersebut dirumuskan, diterapkan dan dinilai hasilnya.

Page 23: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

35

Ketiga, kenapa ”dikerjakan” dan ”tidak dikerjakan”? Karena ”dikerjakan” dan

”tidak dikerjakan” sama-sama merupakan keputusan; Selanjutnya menurut Hasim

(2011) bahwa kebijakan dikondisikan dan dibentuk oleh dimensi politik, sosial,

ekonomi serta faktor sejarah, sehingga kebijakan merupakan suatu sistem yang

berorientasi pada tujuan untuk menyelesaikan masalah. Dari pengertian yang ada

ini, maka dalam proses berlangsungnya kebijakan dibutuhkan analisis yang

mengkaji sejauh mana kebijakan tersebut bermanfaat.

Menurut Dunn (2003) bahwa analisis kebijakan merupakan aktivitas

intelektual yang ditujukan untuk menciptakan, menilai secara kritis dan

mengkomunikasikan tentang pengetahuan dalam proses kebijakan. Metode

analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai

dalam pemecahan masalah manusia yaitu: definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi

dan evaluasi. (1) definisi: menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang

menimbulkan masalah kebijakan; (2). prediksi: menyediakan informasi mengenai

konsekuensi di masa datang dari penerapan alternatif kebijakan termasuk jika

tidak melakukan sesuatu; (3). preskripsi: menyediakan informasi mengenai nilai

konsekuensi alternatif kebijakan di masa mendatang; (4). deskripsi: menghasilkan

informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya

alternatif kebijakan; (5). evaluasi: kegunaan alternatif kebijakan dalam

memecahkan masalah

Dalam pembuatan analisis kebijakan terdapat tahap-tahapnya yang menurut

Dunn (2003) ada lima fase yang dilakukan yaitu: (1). fase penyusunan agenda;

disini para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah kebijakan

pada agenda publik; (2). fase formulasi kebijakan; para pejabat merumuskan

alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah; (3). adopsi kebijakan: alternatif

kebijakan dipilih dan diadopsi dengan dukungan dari mayoritas dan atau

konsensus kelembagaan; (4). implementasi kebijakan; kebijakan yang telah

diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi dengan memobilisir sumber daya

yang dimilikinya, terutama finansial dan manusia; (5). penilaian kebijakan:

dimana unit-unit pemeriksaan dan akuntasi menilai apakah lembaga pembuat

kebijakan dan pelaksana kebijakan telah memenuhi persyaratan pembuatan

kebijakan dan pelaksanaan kebijakan yang telah ditentukan.

Menurut Dwidjowijoto (2007) bahwa kelima tahap pembuatan kebijakan ini

dinilai paralel dengan tahapan analisis kebijakan yang dapat digambarkan seperti

Tabel 4.

Tabel 4 Analisis kebijakan dan pembuatan kebijakan

Analisis Kebijakan Pembuatan Kebijakan

Perumusan masalah Penyusunan agenda

Peramalan Formulasi kebijakan

Rekomendasi Adopsi kebijakan

Pemantauan Implementasi kebijakan

Penilaian Penilaian kebijakan Sumber: Dunn (2003).

Selanjutnya menurut Dwidjowijoto (2007) bahwa analisis kebijakan diambil dari

berbagai macam disiplin ilmu dengan tujuan memberikan informasi yang bersifat

deskriptif, evaluatif, dan atau preskriptif. Analisis kebijakan dapat menjawab tiga

macam pertanyaan yaitu: Pertama nilai, yang pencapaiannya merupakan tolok

Page 24: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

36

ukur utama untuk menilai apakah suatu masalah sudah teratasi; Kedua fakta,

yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai;

Ketiga tindakan, yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai.

Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disebutkan maka

analisis kebijakan dapat menggunakan salah satu atau kombinasi dari ketiga

pendekatan analisis yang meliputi empiris, valuatif dan normatif. ketiga

pendekatan tersebut sebagaimana pada Tabel 5.

Tabel 5 Pendekatan, pernyataan utama dan tipe informasi

Pendekatan Pernyataan utama Tipe informasi

Empiris Adakah atau akankah ada fakta? Deskriptif dan prespektif

Valuatif Apa manfaatnya (nilai)? Evaluatif

Normatif Apakah yang harus diperbuat (aksi)? Prespektif Sumber: Dunn (2003).

Proses Analisis Kebijakan

Proses analisis kebijakan merupakan aksi yang dilaksanakan dalam analisis

kebijakan yang meliputi 5 yaitu merumuskan masalah, peramalan masa depan

kebijakan, merekomendasikan, pemantauan dan evaluasi kebijakan (Dunn 2003).

Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan Masalah

Masalah kebijakan adalah nilai, kebutuhan atau kesempatan yang belum

terpenuhi yang dapat diidentifikasikan untuk kemudian diperbaiki atau dicapai

melalui tindakan publik. Masalah kebijakan mempunyai ciri-ciri yaitu (a). Saling

ketergantungan antar masalah kebijakan. Masalah-masalah kebijakan di dalam

satu bidang kadang-kadang mempengaruhi masalah-masalah kebijakan di dalam

bidang lainnya misalnya dalam pelayanan kesehatan dan masalah pengangguran.

Dalam kenyataan masalah-masalah kebijakan bukan merupakan kesatuan yang

berdiri sendiri. Sistem masalah yang saling tergantung mengharuskan suatu

pendekatan holistik yaitu suatu pendekatan yang memandang bagian-bagian

sebagai tak terpisahkan dari keseluruhan sistem yang mengikatnya.

(b). Mempunyai subyektivitas masalah kebijakan. Kondisi eksternal yang

menimbulkan suatu permasalahan didefinisikan, diklasifikasikan, dijelaskan, dan

dievaluasi secara selektif, meskipun ada suatu pemikiran bahwa masalah

merupakan suatu hal yang obyektif. Masalah tersebut merupakan elemen dari

suatu situasi masalah yang diabstrasikan dari situasi tersebut oleh analis. Dengan

begitu apa yang dialami sesungguhnya merupakan suatu situasi masalah, bukan

masalah itu sendiri. Dalam analisis kebijakan merupakan hal yang sangat penting

untuk tidak mengacaukan antara situasi masalah dengan masalah kebijakan,

karena masalah adalah barang abstrak yang timbul dengan mentransformasikan

pengalaman ke dalam penilaian manusia. (c). Buatan manusia dan produk

penilaian subyektif dari manusia. Masalah-masalah kebijakan hanya mungkin

ketika manusia membuat penilaian mengenai keinginan untuk mengubah beberapa

situasi masalah. Masalah tidak berada di luar individu dan kelompok-kelompok

yang mendefinisikannya, yang berarti bahwa tidak ada keadaan masyarakat yang

alamiah di mana apa yang ada dalam masyarakat tersebut dengan sendirinya

merupakan masalah kebijakan. (d). Bersifat dinamis. Terdapat banyak solusi

untuk suatu masalah sebagaimana yang terdapat banyak definisi terhadap masalah

Page 25: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

37

tersebut. Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan yang konstan;

dan karenanya masalah tidak secara konstan terpecahkan malahan solusi terhadap

masalah dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum

usang.

2. Peramalan Masa Depan Kebijakan

Peramalan atau forecasting adalah prosedur untuk membuat informasi

aktual tentang situasi sosial di masa depan atas dasar informasi aktual tentang

situasi sosial di masa depan dan atas dasar informasi yang telah ada tentang

masalah kebijakan. Peramalan mengambil tiga bentuk yaitu peramalan proyeksi,

prediksi dan perkiraan. (a). Peramalan proyeksi, yaitu ramalan yang didasarkan

atas ekstrapolasi hari ini ke masa depan, dan produknya disebut proyeksi. Teknik

yang digunakan antara lain analisis antar waktu, estimasi tren linier, dan

transpormasi data. Peramalan ini menggunakan pernyataan yang tegas

berdasarkan argumen dan kasus dimana asumsi mengenai validitas metode

tertentu (misalnya analisis antar waktu) atau kemiripan kasus (misalnya kebijakan

masa lalu dan masa depan) yang digunakan untuk memperkuat suatu pernyataan.

Proyeksi dapat diperkuat dengan argumen dari pemegang otoritas seperti para

pakar dan logika kausal yang menyangkut tentang teori yang digunakan.

(b). Peramalan merupakan sebuah prediksi ádalah ramalan yang didasarkan pada

asumsi teoritik yang tegas. Asumsi ini dapat berbentuk hukum teoritis, proporsi

teoritis (misalnya pecahnya masyarakat sipil diakibatkan kesenjangan antara

harapan dan kemampuan), atau analogi (misalnya analogi antara pertumbuhan

organisasi pemerintah dengan pertumbuhan organisme biologis). Sifat terpenting

dari prediksi adalah bahwa prediksi menspesifikan kekuatan penyebab dan

konsekuensi akibat, atau proses suatu hubungan yang paralel (analog) yang

diyakini mendasari suatu hubungan. Prediksi dapat dilengkapi dengan argumen

dari mereka yang berwenang (misalnya penilaian yang informatif) dan metode.

(c). Suatu perkiraan (conjecture) adalah ramalan yang didasarkan pada penilaian

yang informatif atau penilaian pakar tentang situasi masyarakat masa depan.

Penilaian ini dapat berbentuk penilaian yang intuitif, dimana diasumsikan adanya

kekuatan batin dan kreatifitas dari para intelektual atau pengetahuan terpendam

dari para pelaku kebijakan. Perkiraan dapat diperkuat dengan argumen, metode

dan kausalitas dari pakar.

3. Merekomendasikan Kebijakan

Tugas membuat rekomendasi kebijakan mengharuskan analisis kebijakan

menentukan alternatif yang terbaik. Oleh karena itu prosedur analisis kebijakan

berkaitan dengan masalah etika dan moral. Rekomendasi pada dasarnya adalah

pernyataan advokasi dan advokasi tersebut mempunyai empat pertanyaan yang

harus dijawab yaitu: (a). Apakah pernyataan advokasi dapat ditindaklanjuti

(actionable)? Pernyataan advokasi memusatkan pada tindakan yang dapat diambil

untuk menyelesaikan masalah kebijakan. Meskipun pernyataan advokasi

mensyaratkan informasi sebelumnya mengenai apa yang akan terjadi dan apa

yang benilai, pernyataan seperti ini berada di luar pernyataan-pernyataan fakta

dan nilai serta mengandung argumen mengenai tindakan tertentu yang dapat

memuaskan kebutuhan, nilai-nilai dan kesempatan untuk perbaikan. (b). Apakah

pernyataan advokasi bersifat prosfektif? Pernyataan ini dibuat sebelum

Page 26: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

38

dilakukannya tindakan (ex ante). Jika prosedur analisis kebijakan pemantauan dan

evaluasi bersifat retrosfektif, karena pernyataan ini dibuat setelah tindakan

diambil (ex post), maka peramalan dan rekomendasi keduanya diterapkan secara

prospektif (ex ante dan ex post). (c). Apakah pernyataan advokasi bermuatan nilai

selain fakta? Pernyataan advokatif tergantung pada fakta dan juga pada nilai.

Untuk menyatakan bahwa alternatif kebijakan tertentu harus diadopsi memerlukan

tidak hanya bahwa tindakan yang direkomendasikan akan mempunyai

konsekuensi-konsekuensi yang terprediksi, tetapi juga bahwa konsekuensi-

konsekuensi yang terprediksi tersebut dinilai oleh individu-individu, kelompok-

kelompok atau masyarakat secara keseluruhan. (d). Apakah pernyataan advokasi

bersifat etik? Nilai-nilai yang mendasari pernyataan advokatif secara etika

kompleks. Nilai tertentu (seperti kesehatan) dapat difahami sebagai nilai intrinsik

maupun ekstrinsik. Nilai intrinsik adalah nilai yang dilihat sebagai tujuan di dalam

dirinya sendiri, sedangkan nilai ekstrinsik adalah nilai yang bernilai karena akan

menghasilkan nilai-nilai lain. Kesehatan dapat dilihat sebagai tujuan akhir di

dalam dirinya dan sebagai kondisi yang diperlukan bagi pencapaian nilai-nilai

lain, termasuk keamanan kebebasan, dan aktualisasi diri.

Analisis kebijakan ini memunculkan isu berupa advokasi-multiple, yaitu

banyaknya kepentingan yang harus dipertimbangkan dalam memilih alternatif

kebijakan. Untuk ini dalam memutuskan alternatif kebijakan, salah satu

pendekatan yang paling banyak digunakan adalah rasionalitas, juga berarti

multirasionalitas, yang berarti terdapat dasar-dasar rasionalitas ganda yang

mendasari sebagian besar pilihan-pilihan kebijakan yaitu: (a). Rasionalitas teknis,

berkenaan dengan pilihan efektif. Rasionalitas teknis merupakan karakteristik

pilihan yang meliputi perbandingan berbagai alternatif atas dasar kemampuan

masing-masing memecahkan masalah-masalah publik secara efektif. (b).

Rasionalitas ekonomis, berkenaan dengan efisiensi. Rasionalitas ini merupakan

karakteristik pilihan yang bernalar yang membandingkan berbagai alternatif atas

dasar kemampunannya untuk menemukan pemecahan masalah publik yang

efisien. (c). Rasionalitas legal, berkenaan dengan legalitas. Rasionalis legal

merupakan karakteristik pilihan yang bernalar meliputi perbandingan alternatif

menurut kesesuaian hukumnya terhadap peraturan-peraturan dan kasus-kasus

penyelesaian perkara sebelumnya. (d). Rasionalitas sosial, berkenaan dengan

akseptabilitas. Rasionalitas sosial merupakan karakteristik pilihan yang bernalar

menyangkut perbandingan alternatif menurut kemampuannya dalam memper-

tahankan atau meningkatkan institusi-institusi sosial yang bernilai, yaitu untuk

menyelenggarakan kelembagaan. (e). Rasionalitas substantif, merupakan

karakteristik pilihan yang bernalar menyangkut perbandingan berbagai bentuk

rasionalitas teknis, ekonomis, legal, sosial dengan maksud agar dapat dibuat

pilihan yang paling layak di bawah kondisi yang ada. Akhirnya untuk

rekomendasi kebijakan beberapa tipe pilihan rasionalitas dapat diletakkan sebagai

kriteria keputusan yang digunakan untuk menyarankan pemecahan masalah

kebijakan.

Kriteria keputusan terdiri dari enam tipe utama yaitu efektivitas, efisiensi,

kecukupan, perataan, responsivitas, dan kelayakan. 1). Efektivitas (effectiveness)

berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang

diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Efektivitas, yang

secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit

Page 27: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

39

produk atau layanannya. Sebagai contoh adalah kebijakan kesehatan yang efektif

adalah kebijakan penyediaan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu, dengan

asumsi bahwa kualitas pelayanan kesehatan adalah hasil yang bernilai (tujuan). 2).

Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk

menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari

rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha,

yang terakhir umumnya diukur biaya totalitas. 3). Kecukupan (adequacy)

berkenaan dengan seberapa jauh tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai

atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan

menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang

diharapkan. Kriteria kecukupan dapat dibagi dalam empat tipe masalah seperti

pada Tabel 6.

Tabel 6 Empat tipe masalah

Efektivitas Biaya

Tetap Berubah

Tetap Tipe IV (biaya – sama –

efektivitas – sama) Tipe II (efektivitas-sama)

Berubah Tipe I (biaya- sama) Tipe III ( biaya berubah-

efektivitas berubah) Sumber: Dunn (2003)

(a). Masalah tipe I. Masalah dalam tipe ini meliputi biaya tetap dan

efektivitas yang berubah. Jika pengeluaran biaya maksimum yang dapat diterima

menghasilkan biaya tetap, tujuannya adalah memaksimalkan efektivitas pada

batas sumberdaya yang tersedia. Masalah tipe I ini disebut analisis biaya – sama

(equal-cost analysis), karena analisis membandingkan alternatif efektivitas yang

berubah tetapi biaya tetap. Di sini kebijakan yang paling memadai adalah yang

dapat memaksimalkan pencapaian tujuan dengan biaya tetap yang sama. (b).

Masalah tipe II. Masalah tipe ini menyangkut efektivitas yang sama dan biaya

yang berubah. Jika tingkat hasil yang dihargai sama, tujuannya adalah

meminimalkan biaya. Masalah tipe II disebut analisis efektivitas-sama (equal-

effectiveness analysis), karena analisis membandingkan beberapa alternatif

dengan biaya yang berubah tetapi efektivitasnya tetap. Di sini kebijakan yang

paling memadai adalah yang dapat meminimalkan biaya dalam mencapai tingkat

efektivitas yang tetap. (c). Masalah tipe III. Masalah tipe ini menyangkut biaya

yang berubah dan efektivitas yang berubah. Masalah ini disebut analisis biaya-

berubah-efektivitas berubah (variable-cost- variable- effectiveness analysis),

karena biaya dan efektivitas dapat berbeda. Di sini kebijakan yang paling

memadai adalah yang dapat memaksimalkan rasio efektivitas terhadap biaya. (d).

Masalah tipe IV. Masalah pada tipe ini mengandung biaya sama dan juga

efektivitas tetap. Masalah tipe IV, yang menuntut analisis biaya-sama-efektivitas-

sama, sulit dipecahkan. Analisis tidak hanya dibatasi oleh persyaratan agar biaya

tidak melebihi tingkat tertentu tetapi juga dibatasi oleh kendala bahwa alternatif

harus mencapai tingkat efektivitas tertentu. Misalnya jika fasilitas kesehatan

publik harus melayani minimal 100 000 orang per tahun, sementara biaya telah

dibatasi pada tingkat yang tidak realistis, maka setiap alternatif kebijakan haruslah

memuaskan kedua kendala tersebut atau menolaknya. Dalam hal ini, satu-satunya

alternatif yang tersedia barangkali adalah tidak melakukan sesuatu pun. 4).

Page 28: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

40

Kesamaan (equity) erat hubungannya dengan rasionalitas legal dan sosial dan

menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang

berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada pemerataan adalah

kebijakan yang akibatnya (misalnya unit pelayanan) atau usaha (misalnya biaya)

didistribusikan secara adil. Jadi kebijakan tersebut berkenaan dengan pemerataan

distribusi manfaat kebijakan. Satu program tertentu mungkin dapat efektif,

efisien, dan mencukupi tetapi mungkin ditolak karena menghasilkan distribusi

biaya dan manfaat yang tidak merata. 5). Responsivitas (responsiveness)

berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan,

preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Kriteria

responsivitas penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria

lainnya seperti efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan masih gagal jika belum

menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari

adanya suatu kebijakan. Kriteria ini menanyakan pertanyaan praktis: Apakah

kriteria efektivitas, efisiensi, kecukupan, dan kesamaan secara nyata

mencerminkan kebutuhan, preferensi dan nilai-nilai dari kelompok-kelompok

tertentu? 6). Ketepatan atau kelayakan (appropriateness). Kriteria ketepatan

secara dekat berhubungan dengan rasionalitas substantif, karena pertanyaan

tentang ketepatan kebijakan tidak berkenaan dengan satuan kriteria individu tetapi

dua atau lebih kriteria secara bersama-sama. Ketepatan merujuk pada nilai atau

harga dari tujuan program dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-

tujuan tersebut. Kriteria ketepatan mempertanyakan apakah tujuan yang ingin

dicapai tepat sasaran untuk suatu masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan

tersebut dibutuhkan pertimbangan semua kriteria bersama-sama yaitu kriteria

yang merefleksikan hubungan antara berbagai bentuk rasionalitas dan menerapkan

kriteria memiliki tingkat abstrak lebih tinggi (metakriteria) yang logis sebelum

efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan dan responsivitas.

4. Pemantauan Hasil Kebijakan dan Evaluasi.

Pemantauan atau monitoring merupakan prosedur analisis kebijakan yang

digunakan untuk memberikan informasi tentang sebab dan akibat kebijakan

publik. Pemantauan setidaknya memainkan empat fungsi dalam analisis

kebijakan, yaitu eksplanasi, akuntansi, pemeriksaan dan kepatuhan (compliance).

Hasil kebijakan dibedakan antara keluaran (outputs), yaitu produk layanan yang

diterima kelompok sasaran kebijakan dan impak (impacts), yaitu perubahan

perilaku yang nyata pada kelompok sasaran kebijakan.

Tabel 7 Tipe kriteria dan pertanyaan dalam evaluasi kebijakan

Tipe Kriteria Pertanyaan

Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?

Efisiensi Berapa banyak dipergunakan sumber daya?

Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan telah memecahkan masalah?

Perataan (equity) Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok

target yang berbeda?

Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai

kelompok-kelompok tertentu?

Ketepatan Apakah hasil yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai? Sumber: Dunn (2003).

Page 29: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

41

Jika pemantauan menekankan pada pembentukan premis-premis faktual

mengenai kebijakan publik, maka evaluasi menekankan pada penciptaan premis-

premis nilai dengan kebutuhan untuk menjawab pertanyaan: ” Apakah perbedaan

yang dibuat? Kriteria untuk evaluasi diterapkan secara retrospektif (ex post),

sementara kriteria untuk rekomendasi diterapkan secara prospektif (ex ante).

Kriteria evaluasi kebijakan sama dengan kriteria rekomendasi kebijakan yang

dijabarkan pada Tabel 7.

Analisis SWOT

Menurut Rangkuti (2009) analisis SWOT (strengths, opportunities,

weaknesses, threats) adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk

merumuskan suatu strategi organisasi. Analisis ini didasarkan pada logika yang

dapat memaksimalkan lingkungan internal kekuatan (strengths) dan kelemahan

(weaknesses) serta lingkungan eksternal peluang (opportunities) dan ancaman

(threats).

Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Hamel

dan Prahalad (1995) dalam Rangkuti (2009) bahwa strategi merupakan tindakan

yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus dan

dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para

konsumen di masa yang akan datang. Dengan demikian perencaaan strategi

hampir selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi, bukan dimulai dari apa yang

terjadi. Menurut David (2009) bahwa strategi didefinisikan sebagai seni dan

pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi

keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi lebih mudah mencapai

obyeknya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses strategi dan evaluasi terdiri dari

tiga tahap perumusan strategi yang meliputi pengembangan misi institusi,

mengenali internal dan eksternal institusi.

1. Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal

Organisasi atau institusi sangat dipengaruhi oleh lingkungan internal dan

eksternal (David 2009). Selanjutnya faktor lingkungan ini akan mempengaruhi

kemajuan suatu organisasi dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Untuk

menganalisis kedua lingkungan tersebut pada organisasi atau institusi dapat

digunakan teknik IFE (internal factor evaluation) dan EFE (eksternal factor

evaluation) yang merupakan tahap input (the input stage) perumusan suatu

strategi. Analisis faktor internal dan eksternal dilakukan dengan mengolah data

dan informasi yang diperoleh dengan menggunakan matriks IFE dan EFE. Untuk

mengevaluasi faktor internal organisasi menggunakan matriks IFE yaitu

lingkungan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Untuk mengevaluasi faktor

eksternal menggunakan matriks EFE yaitu lingkungan yang berkaitan dengan

peluang dan ancaman.

2. Perumusan Alternatif Strategi

Menurut David (2009) bahwa setelah melakukan input kemudian

melakukan tahap lanjutan dari perumusan strategi yaitu tahap pencocokan (the

matching stage). Pada tahap ini ada beberapa alat analisis yang dapat digunakan

diantaranya adalah SWOT (strengths, opportunities, weaknesses, threats).

Page 30: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

42

Analisis SWOT merupakan alat pencocokan yang penting untuk membantu

seseorang pimpinan mengembangkan tipe strategi yang meliputi S-O, W-O, S-T,

dan W-T (David 2009). Alat analisa ini lebih fleksibel dalam penggunaan faktor

internal dan eksternal. Tujuan dari alat pencocokan adalah menghasilkan strategi

alternatif yang layak, bukan untuk memilih atau menetapkan strategi mana yang

terbaik. Oleh karena itu tidak semua strategi dapat dikembangkan dalam matriks

SWOT tergantung dari implementasinya.

Strategi S-O atau strategi kekuatan-peluang menggunakan kekuatan internal

organisasi untuk memanfaatkan peluang eksternal. Organisasi pada umumnya

menjalankan W-O, S-T, dan W-T untuk menerapkan S-O. Organisasi yang

mempunyai kelemahan utama akan berusaha keras untuk mengatasinya dan

membuatnya menjadi kekuatan. Tatkala organisasi menghadapi ancaman besar

maka berusaha menghindarinya agar dapat memusatkan perhatian pada peluang.

Strategi W-O atau strategi kelemahan-peluang yang bertujuan untuk

memperbaiki kelemahan dengan memanfaatkan peluang eksternal. Ada banyak

organisasi mempunyai kelemahan internal untuk memanfaatkan peluang, sehingga

strategi W-O perlu diterapkan.

Strategi S-T atau strategi kekuatan-ancaman yang menggunakan kekuatan

internal organisasi untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman

eksternal. Organisasi yang kuat pada umumnya sering menghadapi ancaman yang

besar dalam lingkungan eksternalnya.

Strategi W-T atau strategi kelemahan-ancaman merupakan taktik bertahan

yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman

lingkungan eksternal. Organisasi yang memiliki ancaman eksternal dan

kelemahan internal akan berada pada posisi yang penuh resiko sehingga harus

berjuang untuk tetap dapat bertahan.

Proses Hierarki Analitik

Setelah matching stage, tahap selanjutnya adalah the decision stage (tahap

keputusan). Untuk melakukan analisis guna membuat keputusan berdasarkan

prioritas strategi, alat analisis yang dapat digunakan diantaranya AHP (analitical

hierarchy process atau proses hierarki analitik). Proses hierarki analitik adalah

untuk mengorganisasikan informasi dan pendapat (judgment) dalam memilih

alternatif yang paling disukai (Saaty, 1991). Selanjutnya bahwa dalam

memecahkan persoalan ada tiga prinsip yang dibuat yaitu prinsip menyusun

hierarki, prinsip menetapkan prioritas dan prinsip konsistensi. Dengan

menggunakan AHP, suatu persoalan akan dipecahkan dalam suatu kerangka

berpikir yang terorganisir sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk

mengambil keputusan yang sesuai atas persoalan tersebut. Jadi proses AHP untuk

menyederhanakan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik dan

dinamik menjadi bagian-bagiannya serta tertata dalam suatu hierarki. Metode ini

memasukkan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis. Proses tersebut

tergantung pada imajinasi, pengalaman dan pengetahuan untuk menyusun hierarki

suatu masalah pada logika, intuisi, dan pengalaman untuk memberikan

pertimbangan (Marimin 2004).

Menurut Saaty (1991) bahwa terdapat beberapa prinsip yang perlu dipahami

untuk memecahkan masalah dengan AHP, diantaranya: (a). Decomposition yaitu

memecahkan masalah yang utuh menjadi unsur-unsurnya sampai dengan tidak

Page 31: TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/63663/BAB II... · Perubahan Perilaku Konsumsi Makanan. ... dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining

43

mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut.(b). Comparative Judgement yaitu

proses pemberian penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu

tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. Penyajian ini dalam

bentuk matriks pairwise comparison. (c). Synthesis of priority, dari matriks

pairwise comparison kemudian dicari egen vectornya untuk mendapatkan lokal

priority. Kemudian dilakukan sintesis diantara lokal priority untuk mendapatkan

global priority. (d). Logical Consistency, konsistensi logis dengan dua makna.

Pertama adalah obyek-obyek yang serupa dikelompokkan sesuai dengan

keseragaman dan relevansinya. Kedua, menyangkut tingkat hubungan antara

obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.

Tabel 8 Skala dasar penilaian tingkat kepentingan

Skala Definisi Penjelasan 1. Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen penyumbang sama kuat pada sifatnya

3. Elemen yang satu sedikit lebih penting ketimbang lainnya

Pengalaman dan pertimbangan sedikit lebih menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya

5. Elemen yang satu sangat penting atau esensial

ketimbang lainnya

Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat

menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya

7. satu elemen jelas lebih penting dari elemen

lainnya

Satu elemen dengan kuat disokong dan

dominasinya telah terlihat dalam praktik.

9. Satu elemen mutlak lebih penting ketimbang elemen lainnya

Bukti yang menyokong elemen yang satu memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin

menguatkan

2,4,6,8 Nilai-nilai diantara 2 (dua) pertimbangan Kompromi diperlukan diantara 2 (dua) perimbangan Kebalikan Jika untuk aktivitas i (baris) mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j (kolom), maka j

(kolom) mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan (baris)

Sumber, Saaty (1991)

Pada dasarnya metode AHP merupakan suatu teori umum tentang

pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala rasio dari perbandingan

pasangan yang diskrit maupun kontinyu. Perbandingan-perbandingan dapat

diambil dari ukuran aktual atau skala dasar yang mencerminkan kekuatan

perasaan dan preferensi relatif, menggunakan intuisi sebagai input utamanya yang

harus datang dari pengambil keputusan yang cukup informatif dan memahami

masalah keputusan yang dihadapi (melalui pakar). Menurut Saaty (1991) dalam

penyusunan skala kepentingan digunakan acuan seperti pada Tabel 8.