Page 1
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi
Berdasarkan penilaian Birdlife Internasional (2006), Burung Weris
(Galllirallus philippensis), termasuk kedalam least concern (kurang
mengkhawatirkan). Taksonomi burung weris adalah sebagai berikut:
King : Animalia
Phylum : Chordata
Kelas : Aves
Order : Gruiformes
Family : Rallidae
Genus : Gallirallus
Species : Gallirallus philippensis
Burung weris masuk ke dalam famili Rallidae, atau burung rail, yaitu
keluarga burung berukuran kecil hingga menengah. Habitat yang umum adalah
rawa, dekat sungai atau danau, dan hutan lebat. Rallidae umumnya berkembang
biak di daerah yang bervegetasi padat.
Burung air adalah burung yang seluruh hidupnya bergantung pada daerah
perairan. Menurut Rusila (1994), burung air dapat diartikan sebagai kelompok
burung yang secara ekologis bergantung pada lahan basah. Lahan basah yang
dimaksud adalah daerah lahan basah yang alami dan buatan, meliputi daerah
bakau, rawa, dataran berlumpur, danau, tambak, dan sawah.
Pada umumnya, Rallidae adalah omnivora. Banyak spesies dari famili
Rallidae yang memakan invertebrata, buah-buahan, biji-bijian, dan hanya sedikit
yang bersifat herbivor. Perilaku berkembang biak famili ini sulit diketahui apakah
monogami, poligami, atau poliandri. Kebanyakan spesies ini jumlah telurnya 5-
10 butir, namun ada juga burung yang bertelur hanya 1 butir, bahkan ada yang
bertelur sampai 15 butir. Telur dalam satu sarang tidak selamanya menetas dalam
jangka waktu bersamaan dan biasanya anak akan bergantung pada induknya
sampai kurang lebih 1 bulan.
Page 2
8
Morfologi
Sifat kuantitatif adalah ciri-ciri makhluk hidup yang dapat diukur, dihitung
atau diskor. Karakter ini ditentukan oleh banyak pasang gen (poligenik) dan
sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Sifat kualitatif, seperti warna, pola warna,
sifat bertanduk atau tidak bertanduk dapat dibedakan tanpa harus mengukurnya.
Sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh sepasang gen (Noor 2010).
Rail adalah famili yang cenderung bervariasi, berukuran kecil hingga
menengah. Ukuran bervariasi dari 12 cm hingga 63 cm dengan bobot dari 20 g
hingga 3 kg. Spesies Gallirallus torquatus memiliki paruh dan kaki gelap, paruh
atas cokelat gelap, muka dan pipi hitam dengan strip putih dipipi. Burung ini
memiliki panjang sayap 135-156 mm, Tarsus 46-53 mm, ekor 45-62 mm, paruh
41-48 mm. Gallirallus philipensis memiliki panjang sayap 129-144 mm, tarsus
39-46 mm, ekor 65-68 mm, dan panjang paruh 27-33 mm ( Allen et al. 2004).
Ukuran panjang badan Gallirallus phillipensis adalah 28-33 cm, alis abu-abu
pucat panjang, pita karat lebar melalui mata, bagian atas berbintik putih (Coates &
Bishop 1997).
Ozaki (2009) menyatakan bahwa untuk penentuan jenis kelamin pada
Gallirallus okinawae dapat dilakukan melalui ukuran kepala dan tinggi paruh,
sedangkan untuk melihat umur dari Gallirallus okinawae dapat dilakukan melalui
bentuk dan warna bulu primer, paruh, dan mata.
Habitat dan Penyebaran
Famili ini menunjukkan tingkat keragaman habitat yang cukup tinggi yang
meliputi crake, coot, gallinule rail, dan swamphens. Banyak dari famili ini yang
akrab dengan tanah basah, dan juga daratan, kecuali padang tandus, dan wilayah
kutub. Burung ini menyenangi daerah lembap atau lahan basah, seperti daerah
dekat sungai, rawa, atau danau dengan vegetasi lebat. Burung ini biasanya cukup
pemalu, tapi bisa menjadi sangat jinak dan berani dalam beberapa keadaan, seperti
di daerah pulau di Great Barrier Reef. Beberapa spesies dari famili Rallidae hidup
dalam berbagai jenis hutan, dari daerah dataran rendah sampai daerah dataran
tinggi.
Rallidae berkembang biak musiman, selama musim semi dan musim panas
atau memasuki musim hujan di daerah tropis. Fakta-fakta ini tidak sama untuk
Page 3
9
semua spesies, tapi kebanyakan mengikuti pola ini. Rail menampilkan tingkah
laku seksual seperti pacaran dan pada akhirnya terjadi kopulasi. Pada beberapa
spesies, kopulasi terjadi tanpa sebelumnya menampilkan tingkah laku pacaran.
Sebelum kawin, biasanya Rail jantan Afrikan berjalan di sekitar betina dengan
ekor diangkat dalam rangka untuk mengekspos bulu putih di bawah ekor atau Rail
jantan berjalan di sekitar betina dengan sayap terangkat. Jantan dari genus
"Sarothrura" ekornya bergetar dengan cepat dari sisi ke sisi dengan membungkuk
atau sikap tegak.
Burung weris banyak ditemukan di Australia, Asia, dan wilayah
barat Pasifik, termasuk Filipina, Indonesia, New Guinea, Australia, Selandia
Baru - di mana ia dikenal sebagai Buff Banded Rail. Burung weris ini memiliki
26 subspesies yang dua subspesies di antaranya telah punah, yaitu G.p. andrewsi,
endemik di Pulau Chatham dan G.p. macquariensis endemik di Kepulauan
Macquariensis. Ada satu subspesies yang dalam kategori langka, yaitu G.p.
andrewsi diKepulauan Cocos. Coates dan Bishop (1997) menyatakan bahwa
burung weris terdapat di daerah Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.
Habitat adalah bentuk komunitas biotik, atau sekumpulan komunitas biotik
di mana seekor satwa atau populasi hidup (Bailey 1984). Habitat yang sesuai
memenuhi semua syarat-syarat tempat hidup dari suatu spesies untuk suatu musim
(habitat musim dingin, habitat perkembangbiakan) atau sepanjang tahun. Syarat-
syarat habitat adalah bermacam tipe dari makanan, pelindung (cover), dan faktor
lain yang dibutuhkan oleh spesies satwa liar untuk bertahan hidup dan
berkembang biak. Alikodra (2010) menyatakan bahwa habitat adalah kawasan
yang terdiri atas berbagai komponen, baik fisik maupun biologis, yang merupakan
suatu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biak
suatu organisme secara alami. Lebih jauh dijelaskan bahwa habitat mempunyai
fungsi dalam menyediakan makanan, air, dan sebagai pelindung. Komponen fisik
dan komponen biotik membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan
satwa liar.
Semua organisme memiliki kemampuan untuk hidup, tumbuh, dan
berkembang biak pada habitatnya. Habitat satwa terdiri atas dua komponen
penting, yaitu lokasi geografis dan vegetasi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya
Page 4
10
suatu jenis satwa liar mempertahankan kelangsungan hidupnya ditentukan salah
satunya oleh faktor karakteristik vegetasinya (Copperider et al. 1988).
Habitat burung weris adalah padang rumput, subtropis/tropis kering,
perairan, rawa-rawa, lahan gambut, pesisir laut, pesisir danau, dan perkebunan.
Hilangnya habitat (habitat loss) mencakup semua bentuk perubahan struktur
habitat yang mengakibatkan pengurangan luas dan kualitas habitat yang tersedia
bagi spesis tertentu (Dekker dan McGowan 1995). Kerusakan habitat (habitat
degradation) adalah berkurangnya kualitas habitat tanpa kehilangan semua
lindungan vegetasi yang diakibatkan oleh kegiatan tebang pilih dan over grazing
oleh ternak.
Naungan (cover) adalah bagian dari habitat yang berfungsi sebagai tempat
berlindung (terhadap panas matahari, predator, dan gangguan lain), beristirahat
atau berkembang biak dari beberapa jenis satwa. Naungan dapat berfungsi
sebagai tempat mencari makan dan minum.
Tingkah Laku
Tingkah laku satwa dapat diartikan sebagai suatu ekspresi yang disebabkan
oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku satwa dinamakan rangsangan, stimuli atau agents, sedangkan aktivitas
yang ditimbulkan dinamakan respons. Tingkah laku yang dipelajari tidak hanya
apa yang dilakukan oleh hewan itu saja, tetapi juga kapan, dimana, bagaimana,
dan mengapa tingkah laku terjadi.
Macam dan banyaknya rangsangan yang diterima akan menghasilkan
pengalaman hewan dari waktu kewaktu pada masa lalu, yang sangat
mempengaruhi respons hewan (Suratmo 1979). Selanjutnya, rangsangan yang
sama juga dapat mempunyai efek yang berbeda pada individu yang berbeda atau
pada spesies yang berbeda.
Pola perilaku merupakan segmen perilaku yang mempunyai fungsi adaptasi,
untuk menjamin kelangsungan hidup dan keberadaan makhluk hidup pada suatu
kawasan tertentu yang sesuai dengannya (Scott 1969). Tingkah laku terdiri atas
campuran komponen-komponen yang diwariskan, dibawa dari lahir (insting), dan
diperoleh dari lingkungan selama hidup, yaitu berupa pengalaman.
Page 5
11
Respons hewan terhadap semua faktor rangsangan pada prinsipnya berasal
dari suatu dorongan dasar untuk tetap hidup (Survive) dengan melakukan semua
usaha. Survival suatu individu atau spesies bergantung pada kemampuannya
memperoleh pakan, melakukan reproduksi, dan regenerasi. Dorongan dasar ini
akan menentukan beberapa pola yang relatif tetap dalam tingkah laku hewan
(Suratmo 1979).
Perilaku makan adalah penampakan tingkah laku dalam kaitannya dengan
aktivitas makan. Aktivitas makan itu sendiri merupakan bagian dari aktivitas
harian. Pada burung, umumnya aktivitas tersebut dilakukan pada pagi hingga sore
hari, kecuali pada beberapa jenis burung malam (Powel 1986).
Perilaku makan binatang sangat bervariasi, baik lamanya makan maupun
frekuensi tingkah laku pada saat makan. Perilaku makan dari tiap-tiap spesies
hewan memiliki cara-cara yang spesifik. Faktor yang mempengaruhi berbedanya
cara makan antara lain morfologi hewan yang mencari makan, rangsangan dari
makanan itu sendiri, dan faktor dari dalam tubuh hewan yang akan memberikan
urutan gerak tubuh pada binatang tersebut (Suratmo 1979).
Kushlan (1978) mengidentifikasi tiga macam perilaku makan yang tampak
pada famili Ardeidae, yaitu berdiri atau mengikuti mangsa (stand or stalk
feeding), mengganggu dan memburu mangsa (disturb and chase feeding), serta
menangkap mangsa diudara dan dibawah perairan (aerial and deep water
feeding).
Konservasi Satwa Liar
Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya adalah pengelolaan
sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk
menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Kegiatan konservasi
berasaskan pelestarian dan kemampuan serta pemanfaatan sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan dan seimbang. Asas tersebut adalah
landasan dalam mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu mengusahakan
terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta kesinambungan
ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan manusia (Widada et al. 2003).
Page 6
12
Konservasi sumber daya alam adalah kegiatan yang meliputi perlindungan,
pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi, introduksi, pelestarian, pemanfaatan, dan
pengembangan. Sesuai dengan pengertian konservasi sumber daya alam secara
umum, Alikodra (2002) menyatakan bahwa konservasi satwa liar merupakan
kegiatan yang meliputi perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi,
introduksi, pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan satwa liar. Jadi, tujuan
kegiatan konservasi satwa liar adalah terjaminnya kelangsungan hidup satwa liar
dan terjaminnya kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkannya, baik langsung
maupun tidak langsung, berdasarkan prinsip pelestarian.
Konservasi Genetik
Tolok ukur keberhasilan kegiatan konservasi didasarkan pada
keanekaragaman genetiknya sehingga keanekaragaman genetik menjadi indikator
kunci yang penting. Keadaan alam yang berubah dari waktu kewaktu
menyebabkan suatu spesies harus mampu beradaptasi dengan lingkungan yang
berubah, untuk bertahan hidup. Variasi genetik menentukan kemampuan individu
untuk beradaptasi terhadap perubahan (Haig dan Nordtrom 1991).
Suatu organisme dikatakan mirip atau menyerupai induknya karena ada
beberapa persamaan ciri-ciri yang dapat dilihat atau diwariskan. Ciri-ciri yang
diwariskan itu disimpan sebagai informasi genetik dalam gen-gen yang secara
molekuler tersusun atas asam nukleat DNA (Sofro 1994). Bila suatu ciri masih
dinyatakan dalam perangkat genetiknya maka ciri-ciri ini disebut genotipe. Tapi
jika genotipe ini sudah diekspresikan dalam bentuk suatu molekul protein dan
dipengaruhi oleh faktor lingkungan maka ciri-ciri ini menjadi suatu penampilan
atau fenotipe.
Keanekaragaman genetik dari spesies liar Gallirallus okinawae dengan
menganalisis haplotipe pada daerah non coding (Control Region) DNA genome
mitokondria ditemukan keragaman nukleotida Gallirallus okinawae lebih tinggi
daripada yang ditemukan dispesies lain burung langka. Keragaman nukleotida
yang rendah didaerah kontrol (CR mt DNA) mungkin menunjukkan bahwa
Gallirallus okinawae telah mengalami botleneck, atau dapat dikatakan bahwa
program konservasi untuk Gallirallus okinawae sangat perlu karena spesies ini
Page 7
13
dapat dikategorikan spesies yang terancam punah dan mungkin untuk spesies lain
dari famili Rallidae(Ozakiet al. 2010).
Keanekaragaman genetik identik dengan keanekaragaman alela dan
heterozigositas genotipe. Hilangnya keanekaragaman hayati dapat menyebabkan:
penyimpangan genetik secara acak, derajat silang dalam (inbreeding yang tinggi),
dan pengurangan populasi yang efektif dari suatu spesies. Strategi yang dapat
diaplikasikan pada populasi yang kecil ialah dengan memasukkan individu-
individu baru dari populasi lain yang heterogen secara teratur sehingga akan
meningkatkan kualitas genetik (Haig & Nordstrom 1991).
DNA Mitokondria
DNA yang terdapat dalam sel terdiri atas DNA inti dan DNA sitoplasma.
DNA sitoplasma berupa DNA mitokondria dan DNA kloroplast. Genom inti dan
sitoplasmik ini menjadi karakter organisme sehingga dapat dijadikan sebagai
acuan dalam perbandingan ciri, baik kesamaan maupun perbedaannya. Semakin
dekat kekerabatan pada tingkat takson maupun tingkatan keturunan (lineage) dari
organisme tersebut maka semakin besar kesamaan pada tingkatan molekulnya.
Hal ini yang menjadi dasar perunutan hubungan evolusi dan asal usul organisme
(Duryadi 2005).
DNA mitokondria memiliki karakteristik sebagai molekul DNA yang
diturunkan secara utuh tanpa adanya rekombinasi, memiliki molekul dengan
ukuran kecil/pendek yang susunannya berbeda dari DNA inti, dan memiliki
variasi basa nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan dengan DNA inti.
Tingginya variasi basa nukleotida disebabkan DNA mitokondria memiliki laju
perubahan 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan DNA inti (Muladno 2006).
DNA mitokondria (mtDNA) mempunyai beberapa kelebihan yang
menjadikannya banyak digunakan untuk mengidentifikasi keragaman genetik dan
dinamika populasi. Beberapa kelebihan tersebut adalah (1) memiliki ukuran yang
kompak dan relatif kecil (16.000-20.000 pasang basa), tidak sekompleks DNA inti
sehingga dapat dipelajari satu kesatuan yang utuh; (2) berevolusi lebih cepat (3)
hanya sel telur yang menyumbangkan material mitokondria sehingga mitokondria
DNA hanya diturunkan dari induk betina; dan (4) bagian-bagian dari genom
Page 8
14
mitokondria berevolusi dengan laju yang berbeda sehingga dapat berguna untuk
studi sistematika dan penelusuran kesamaan asal usul (Park dan Moran 1995).
DNA mitokondria hewan secara umum memiliki jumlah dan jenis gen yang
sama. Berdasarkan jenis gennya, genom mitokondria dibagi menjadi 2 bagian,
yaitu daerah penyandi (coding region) yang terdiri atas 37 gen, yaitu 13 gen
penyandi protein, 2 gen penyandi rRNA, dan 22 gen penyandi tRNA. Daerah
bukan penyandi terdiri atas daerah kontrol (control region) yang memegang
peranan dalam proses transkripsi dan replikasi genom mitokondria (Anderson et
al. 1981).
Genom mitokondria pada kelompok burung sedikit berbeda dari susunan
gen pada vertebrata lainnya. Perubahan yang terjadi diduga karena adanya
pertambahan dan pengurangan gen pada replikasi mtDNA sehingga menghasilkan
susunan gen yang baru (Quinn & Wilson 1993). Menurut Kvist (2000),
perbedaan susunan genom mitokondria terletak pada urutan sel penyandi protein
ND5 dan daerah D-loop. Menurut Mindell et al. (1998), urutan gen pada genom
mitokondria vertebrata (selain ayam) adalah ND5, ND6, tRNAglu
, Cyt-b, tRNAThr
,
tRNAPro
dan D-loop, sedangkan genom mitokondria ayam mempunyai urutan gen
ND5, Cyt-b, tRNAThr
, tRNAPro
, ND6, tRNAGlu
dan D-loop. Susunan gen pada
Pecidae, Cuculidae, Passeriformes, dan Falconiformes menjadi ND5, Cyt-b,
tRNAThr
, D-loop tRNAPro
, ND6, tRNAGlu
.
Penggunaan gen cyt-b digunakan dalam analisis genetik karena kodon
ketiga mengalami perubahan yang cepat sehingga dapat digunakan untuk
memperkirakan tingkat perbedaan antar subspecies. Gen cyt-b dapat digunakan
untuk menganalisis perubahan pada tingkat populasi dan mengetahui hubungan
filogeni. Penggunaan runutan mtDNA dengan penanda cyt-b untuk studi
keragaman genetik, penyebaran, evolusi, dan hubungan filogeni telah banyak
dilakukan pada burung (Ericson & Johansson 2003; Zhang et al. 2007). Smith &
Filardi (2007) melakukan penelitian pada ordo Passeriformes, Psittaciformes,
Colombiformes, Apodiformes, dan Coraciiformes.
Page 9
ABSTRAK
LUCIA JOHANA LAMBEY. Karakteristik Morfologi, Perbedaan Jantan dan
Betina, dan Pendugaan Umur Burung Weris (Gallirallus philippensis) di
Minahasa Sulawesi Utara. Dibimbing oleh RONNY RACHMAN NOOR,
WASMEN MANALU, dan DEDY DURYADI SOLIHIN.
Tujuan penelitian ini adalah melihat kekerabatan Gallirallus philippensis
antar lokasi di Minahasa, dan membedakan jenis kelamin, serta pendugaan umur
berdasarkan perubahan morfologi Gallirallus philippensis. Tiga puluh lima ekor
Gallirallus philippensis diambil dari empat lokasi, yaitu Tondano, Papontolen,
Ranoyapo, dan Wusa. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa panjang
paruh, panjang sayap, dan panjang shank tidak berbeda di empat lokasi yang
diamati. Analisis PCA dari karakteristik morfometrik menunjukkan bahwa
komponen utama pada burung weris adalah panjang shank dan panjang ekor.
Analisis klaster menunjukkan bahwa Gallirallus philippensis di Minahasa
memiliki tingkat kekerabatan yang tinggi. Analisis deskriptif menunjukkan
bahwa bobot badan, panjang paruh, lebar paruh Gallirallus philippensis jantan
lebih tinggi dibanding betina. Pendugaan umur Gallirallus philippensis dapat
ditentukan berdasarkan warna iris mata, warna paruh, warna bulu bagian leher,
dan pertumbuhan bulu bagian sayap.
Kata kunci : Gallirallus philippensis, morfologi, jenis kelamin, umur
Page 10
16
ABSTRACT
LUCIA JOHANA LAMBEY. Morphological Characteristics, Sex Differences,
and Age Estimation of Weris (Gallirallus philippensis) in Minahasa, North
Sulawesi. Under Supervision of RONNY RACHMAN NOOR, WASMEN
MANALU, and DEDY DURYADI SOLIHIN.
The aims of this study were to study Gallirallus philippensis similarity
intersites in Minahasa, to conduct sex determination, to determine the age of
Gallirallus philippensis using morphological characteristic changes. Thirty five of
weris birds were taken from four locations i.e Tondano, Papontolen, Ranoyapo,
and Wusa in Minahasa, North Sulawesi. The results of descriptive analysis
showed that beak lenght, wing length, and shank length did not differ among the
birds in the four locations. The result of Principle Component Analysis of
morphometric characteristics showed that the main component in the location
were shank length and tail lenght. Based on Cluster Analysis results, the four
populations had high similarity. Descriptive analysis showed that body weight,
beak length, beak width of males weris were larger than those of females weris.
Age of Gallirallus philippensis could be determined by the colors of the iris, beak,
and feather of the neck, and the growth of the wing feathers.
Keywords: Gallirallus philippensis, morphology, sex, age
Page 11
17
Pendahuluan
Burung weris (Gallirallus philippensis; L 1766) dianggap sangat rentan
terhadap kepunahan, karena dari 20 spesies dari genus Galliralus yang masih ada
hanya dua yang dianggap tidak terancam, salah satunya adalah Gallirallus
philippensis (Taylor & van Perlo 1998). Sebagian besar anggota genus Gallirallus
adalah spesies kepulauan, beberapa diantaranya dikategorikan endemik dan masuk
kedalam klasifikasi endangered dan extinct, karena tingginya gangguan dari
predator, seperti ular, kadal, anjing, dan kucing, serta adanya degradasi habitat
akibat aktivitas manusia. Menurut data dari IUCN, Gallirallus philippensis
termasuk ke dalam kriteria LC (least concern) atau belum mengkhawatirkan,
namun di daerah Minahasa jenis ini dijadikan sebagai salah satu makanan sumber
protein hewani, dan dikhawatirkan telah terjadi pemanfaatan yang tidak
terkendali. Hal ini dibuktikan dengan kesulitan dalam memperoleh burung weris
di pasar-pasar tradisional di Minahasa saat ini.
Taylor & van Perlo (1998) melaporkan tentang pengukuran morfologi famili
Rallidae, seperti panjang sayap, ekor, culmen, tarsus, bobot badan, dan total
kepala yang diambil baik dari burung hidup dan spesimen. Kesimpulan yang
didapat adalah bahwa sebagian besar famili Rallidae memiliki ukuran yang sama,
baik jantan dan betina, walaupun jantan sedikit lebih besar dari betina. Lebih
lanjut dikatakan bahwa sesudah bulu tumbuh, sangat sulit dibedakan antara
burung dara atau remaja dari yang sudah dewasa.
Karakterisasi terhadap bangsa hewan atau ternak lokal adalah input yang
sangat berharga dalam pemanfaatan yang berkelanjutan dan pelestarian sumber
daya genetik hewan tersebut (Noor 2010). Permasalahan yang menjadi dasar
sehingga diperlukan suatu karakteristik morfologi adalah belum tersedianya data
yang lengkap perihal karakteristik fenotipik, dan kekerabatan burung weris yang
ada di Minahasa sehingga diperlukan suatu inventarisasi karakteristik morfologi
ukuran-ukuran tubuh (morfometrik) sebagai salah satu kekayaan sumber daya
genetik di Minahasa. Selain itu, burung weris merupakan salah satu burung
monomorfik yang sulit untuk dibedakan antara jantan dan betina dari bentuk dan
warna bulu sehingga informasi tentang ukuran tubuh dan kondisi tubuh yang
berkaitan dengan dimorfisme seksual akan sangat berharga.
Page 12
18
Karakterisasi ini sangat bermanfaat untuk membantu proses penangkaran
dan sebagai dasar penelitian spesies lain dari genus Gallirallus. Data pengukuran
eksternal yang dikumpulkan dalam penelitian ini ialah mengenai umur dan jenis
kelamin yang berguna untuk perbandingan antara spesies dan mempelajari
hubungan perubahan evolusi serta adaptasi burung weris terhadap lingkungan atau
habitatnya.
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari keragamaan fenotipik, mengetahui
kekerabatan beberapa burung weris yang ada di Minahasa, membedakan jenis
kelamin berdasarkan ukuran tubuh, serta pendugaan umur burung weris
berdasarkan perubahan morfologi.
Bahan dan Metode
Burung weris (Gallirallus philippensis; L 1766) yang diperoleh di lapangan
berdasarkan pernyataan Coates & Bishop (1997), Kennedy et al (2004) memiliki
ciri-ciri panjang sayap 129–144 mm, tarsus 39–46 mm, ekor 65–68 mm, dan
panjang paruh 27–33 mm. Ukuran panjang total Gallirallus philippensis adalah
28-33 cm, alis abu-abu pucat panjang, pita karat lebar melalui mata, bagian atas
mata bergaris putih serta bintik-bintik putih dibagian belakang (Gambar 2).
Gambar 2 Burung weris (Gallirallus philippensis)
Penelitian dilaksanakan di Kota Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi
Utara pada bulan Mei 2011 sampai Desember 2011. Pemilihan lokasi didasarkan
atas pertimbangan akses kemudahan untuk memperoleh materi dan tidak berbeda
jauh dari habitat alaminya, yaitu persawahan. Penentuan lokasi pengambilan
Page 13
19
sampel dilakukan secara purposive sampling dengan memilih beberapa lokasi
yang ada di Minahasa, yaitu Tondano, Minahasa (posisi 1º 17’ 31,60” N 124º 54’
03,94” E 681,5 m dpl), Wusa, Minahasa Utara (posisi 1º 34’ 01,24” N 124º 55’
37,97” E 81,82 m dpl), Papontolen, Minahasa Selatan (posisi 1º 16’ 22,17” N
124º 37’ 27,73” E 13,3 m dpl), Ranoyapo , Minahasa Selatan (posisi 0º 54’ 47,95”
N 124º 28’ 22,25” E 346,7 m dpl) (Gambar 3). Jumlah sampel yang dikoleksi
dari Tondano, Wusa, Ranoyapo, dan Papontolen masing-masing sebanyak 9, 9, 7,
dan 10 ekor atau totalnya sebanyak 35 ekor dari burung weris yang telah
mencapai dewasa tubuh.
Sumber : Bakosurtanal
Gambar 3 Sebaran sampel burung weris dari daerah Minahasa.
Data morfologi yang diukur ialah bobot badan yang diukur dengan
menimbang individu burung dengan timbangan digital, panjang paruh yang diukur
dari pangkal sampai ujung paruh, panjang sayap diukur dari ujung scapula
(lipatan sendi sayap) sampai ujung bulu sayap primer terpanjang tanpa penekanan
(alami), panjang ekor yang diukur antara pangkal bulu ekor sampai ujung bulu
ekor terpanjang, dan panjang shank yang diukur dari belakang sendi intertarsal
kearah bawah sampai daerah sole.
Sampel yang diperoleh dari daerah hasil tangkapan dibawa ke Tondano dan
langsung dilakukan pengukuran pada hari itu untuk semua sampel. Panjang sayap
dan ekor diukur dengan menggunakan mistar logam dengan akurasi 1mm,
Page 14
20
panjang paruh, lebar paruh, dan panjang shank diukur dengan menggunakan
jangka sorong dengan akurasi 0.1 mm, dan bobot badan menggunakan timbangan
pesola dengan akurasi 1 g.
Hasil pengukuran beberapa karakter tubuh dalam bentuk data sheet Excel
ditabulasi kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan nilai rataan
dan simpangan baku. Perbedaan rataan ukuran-ukuran tubuh antarlokasi diuji
dengan menggunakan uji Duncan. Analisis morfologi dilakukan dengan analisis
multivariat, yaitu Principle Component Analisis (PCA) dari program minitab 16,
demikian pula dengan analisis klaster.
Karakteristik Morfometri Berdasarkan Jenis Kelamin
Sebanyak 34 ekor dari 35 sampel burung weris yang telah diukur
karakteristik morfometri selanjutnya dibedah untuk melihat organ reproduksi
(testis dan ovarium). Berdasarkan hasil pengamatan organ reproduksi, ke-34
sampel tersebut dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Analisis untuk
mengetahui sebaran data dari jenis kelamin jantan dan betina digunakan grafik
kotak plot (boxplot). Prinsip dari boxplot adalah 50% dari data pengamatan
menyebar dalam kotak (box), dan median adalah 50% dari data pengamatan
menyebar pada nilai median kotak plot (boxplot).
Pendugaan Umur Berdasarkan Karakteristik Morfologi
Selain pengambilan langsung di lapangan, secara paralel dibuat
penangkaran untuk anak burung hasil penetasan telur memakai mesin tetas. Telur
yang diperoleh di habitat alaminya yaitu daerah persawahan di Minahasa. Anak
burung hasil penetasan mulai diamati dari umur 1 hari sampai 60 hari.
Pengambilan data pertumbuhan dan perkembangannya dilakukan dengan
mengamati langsung karakteristik burung tersebut, yaitu mencakup perubahan
warna iris mata, pertumbuhan sayap, warna paruh, dan warna alis mata.
Pengambilan gambar melalui kamera dan rekaman video dilakukan pada hari ke-
1, 10, 20, 30, 40, 50, dan 60.
Page 15
21
Hasil dan Pembahasan
Karakterisasi Gallirallus philippensis Berdasarkan Lokasi
Hasil analisis deskripsi morfometri (Tabel 1) menggambarkan bahwa
burung weris di lokasi Papontolen dan Ranoyapo memiliki rataan bobot tubuh
yang lebih berat dibandingkan dengan bobot tubuh burung weris yang ada
dilokasi Tondano dan Wusa, walaupun sama-sama sudah mencapai dewasa tubuh.
Perbedaan ini diduga dipengaruhi oleh perbedaan umur karena diambil di alam
dan beberapa faktor lingkungan, seperti ketersediaan pakan, suhu, dan posisi
geografis lokasi.
Tabel 1 Perbedaan bobot badan burung weris yang ditangkap di lokasi
Papontolen dan Ranoyapo diduga disebabkan tanaman padi sebagai sumber pakan
memasuki fase berbuah dan proses irigasi di persawahan masih berjalan sehingga
air pada lokasi persawahan dalam jumlah yang banyak menyebabkan ketersediaan
pakan burung weris yang sangat bervariasi dan melimpah. Burung weris sangat
mudah memperoleh makanan, baik sebagai sumber energi maupun sebagai
sumber protein, sedangkan untuk lokasi persawahan di Tondano dan Wusa
tanaman padinya sebagian besar siap untuk dipanen sehingga kondisi persawahan
dikeringkan. Walaupun ketersediaan padi sebagai pakan adalah melimpah, jenis
pakan sebagai sumber protein, yaitu cacing dan moluska, berkurang bila sawah
dikeringkan. Pada saat ditangkap, bobot badan burung weris di daerah Tondano
lebih kecil dibanding dengan yang di Ranoyapo dan Papontolen. Fenomena yang
sama terjadi pula pada burung Robin (Erithacus rubecula) pada daerah
persinggahan, yaitu memiliki bobot tubuh lebih besar karena habitatnya
menyediakan kelimpahan makanan (Gyimothy et al. 2011).
Page 16
22
Tabel 1 Deskripsi morfometri burung weris (Gallirallus philippensis) berdasarkan
lokasi
Peubah
Lokasi
Ranoyapo (n=7)
(rataan ± sd)
Popontolen(n=10)
(rataan ± sd)
Wusa (n=9)
(rataan ± sd)
Tondano (n=9)
(rataan ± sd)
Bobot tubuh (g) 182.21a ± 20.75 196.00
a ± 10.18 158.36
b ± 18.26 158.69
b ± 12.85
Panjang paruh (cm) 2.92 a ± 0.31 2.83
a ± 0.35 2.64
a ± 0.22 2.79
a ± 0.27
Lebar paruh ((cm) 0.98 a ± 0.11 `0.98
a ± 0.17 0.96
a ± 0.08 0.82
b ± 0.10
Panjang ekor (cm) 6.43ab
± 0.81 5.79b ± 1.22 6.79
a ± 0.45 6.17
ab ± 0.86
Panjang sayap (cm) 19.66 a ± 1.28 19.25
a ± 2.76 18.61
a ± 0.98 18.36
a ± 1.41
Panjang shank (cm) 4.44 a ± 0.33 4.33
a ± 0.34 4.06
a ± 0.47 4.10
a ± 0.39
Keterangan : huruf-huruf berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0.05)
Lebar paruh burung weris di 3 lokasi, yaitu Papontolen, Wusa, dan
Ranoyapo tidak berbeda, kecuali lokasi Tondano yang memiliki nilai lebih rendah
dibandingkan dengan 3 lokasi tersebut. Keseluruhan habitat tempat burung weris
ini ditemukan berupa daerah persawahan atau lahan basah buatan yang fungsi
utamanya sebagai tempat menanam padi. Burung weris menjadikan persawahan
sebagai tempat mencari makan karena banyak ditemukan hewan invertebrata,
seperti keong (moluska), krustacea dan ekinodermata. Perbedaan ukuran
morfologi berkaitan dengan perbedaan pakan dan habitat. Seperti burung Robin
(Erithacus rubecula) yang hidup pada 3 tipe habitat yang berbeda mempunyai
ukuran tarsus pendek dan paruh yang panjang karena ukuran pakannya yang
bervariasi (Rosinska 2007). Morfologi paruh dan tarsus merupakan karakter yang
dapat mengalami evolusi karena karakter-karakter tersebut dipengaruhi oleh
adaptasi terhadap perubahan pola dan jenis pakannya (Grenier & Greenberg
2005). Hal ini dapat diamati pada burung pemakan serangga (insectivorous) yang
mencari makan di bagian atas pohon dan dedaunan, pada semak belukar, burung-
burung tersebut mempunyai ukuran paruh dan tarsus yang relatif lebih panjang
(Carrascal et al. 1990). Karakter lain, seperti panjang paruh, panjang sayap, dan
panjang shank, adalah relatif sama, sedangkan panjang ekor dan lebar paruh
berbeda.
Berdasarkan hasil analisis PCA (Principle Component Analysis) didapatkan
Eigen value dan persentase varians (Tabel 2), yang menunjukkan bahwa cukup
Page 17
23
dengan dua sumbu (PC1 dan PC2) sudah dapat menjelaskan komponen utama
dalam pengamatan ini. Hal tersebut terlihat dari Eigen value PC1 sebesar 4,0785
dan PC2 sebesar 1,3101, sedangkan sumbu yang lain memiliki nilai yang sangat
kecil. Demikian juga dengan persentase varians PC1 sebesar 68% dan PC2
sebesar 21% sehingga total 89% kontribusi untuk penentuan komponen utama
dapat dijelaskan oleh sumbu 1 (PC1) dan sumbu 2 (PC2). Observasi, kontribusi
pada sumbu 1 (PC1) diberikan pada panjang shank sedangkan pada sumbu 2
(PC2) diberikan oleh panjang ekor (Gambar 4).
Tabel 2 Eigen value dari empat lokasi burung weris (Gallirallus philippensis)
di Minahasa
PC1 PC2 PC3
Eigen value 4.0785 1.3101 0.6114
%variance 0.680 0.218 0.102
Cumulative 0.680 0.898 1.000
Bobot tubuh (g) 0.465 -0.080 0.425
Panjang paruh (cm) 0.410 -0.301 -0.565
Lebar paruh (cm) 0.314 0.617 0.401
Panjang ekor (cm) -0.252 0.675 -0.485
Panjang sayap (cm) 0.468 0.257 -0.184
Panjang shank (cm) 0.484 0.034 -0.264
Keterangan: Angka dengan cetakan tebal menunjukkan parameter yang
sangat berpengaruh
Page 18
24
210-1-2
1.0
0.5
0.0
-0.5
-1.0
-1.5
First Component
Se
co
nd
Co
mp
on
en
t
p shank
p sayap
p ekorl paruh
p paruh
B tubuh
Biplot of B tubuh, ..., p shank
Gambar 4 Proyeksi dari lokasi dan karakter morfologi dalam bidang dua dimensi
Menggunakan analisis multivariat yang lain, yaitu analisis klaster (Gambar
5), hasilnya menunjukkan pengelompokan sejumlah individu ke dalam kelompok-
kelompok berdasarkan derajat kemiripan yang paling dekat. Secara umum,
berdasarkan parameter ukuran tubuh populasi burung pada empat daerah terbagi
dalam tiga kelompok, yaitu kelompok pertama adalah populasi burung di
Tondano dan Wusa, selanjutnya keduanya tergabung dalam kelompok yang lebih
jauh, yaitu dengan daerah Ranoyapo dan hubungan yang lebih jauh lagi, yaitu
dengan kelompok burung di Papontolen walaupun tingkat perbedaannya sangat
sedikit sekali.
Hal ini menunjukkan bahwa diantara keempat lokasi di Minahasa memiliki
hubungan morfologis yang sangat dekat. Hasil ini ditunjukkan pula pada
konstruksi pohon dendogram (Gambar 5). Penyebaran burung weris yang ada
pada keempat lokasi di Minahasa masih mungkin terjadi walaupun jarak terbang
dari burung weris tidak sejauh jarak antara masing-masing lokasi.
Wusa
Ranoyapo
Papontolen
Tondano
Page 19
25
PapontolenRanoyapoWusaTondano
99.99
100.00
100.00
100.00
Variables
Sim
ila
rit
y
DendrogramAverage Linkage, Correlation Coefficient Distance
Gambar 5 Dendogram tingkat kesamaan ukuran tubuh pada empat populasi
burung weris (Gallirallus philippensis) di Minahasa
Biasanya burung weris hasil tangkapan dipelihara beberapa saat kemudian
baru dipotong sesuai kebutuhan sehingga kemungkinan ada yang terlepas, ataupun
pada proses pengangkutan beberapa burung bisa terlepas sehingga terjadi
perkawinan burung weris pada lokasi yang berbeda. Selain itu, antardaerah di
Minahasa dipisahkan oleh sungai yang satu dengan lainnya dihubungkan oleh
jembatan penyeberangan sehingga perpindahan dari satu lokasi ke lokasi yang lain
bisa terjadi dan tidak menutup kemungkinan terjadi pula perkawinan antara
burung dari satu lokasi dengan lokasi yang lain, yang berakibat burung weris di
empat lokasi yang berbeda memiliki banyak kesamaan.
Hubungan yang sangat erat antara komunitas burung dengan keragaman
habitat menunjukkan bahwa burung sangat bergantung pada keragaman
kompleksitas pohon dan semak (Chettri et al. 2005). Ada perbedaan struktur
komunitas burung pada daerah yang mempunyai struktur vegetasi yang berbeda,
ataupun antara vegetasi alami dengan yang terganggu (Paerman 2002). Struktur
vegetasi mempengaruhi pemilihan habitat oleh burung. Burung weris yang ada di
Minahasa dapat dikatakan diperoleh pada habitat yang sama, yaitu daerah
persawahan sehingga kelimpahan sumber pakan di daerah tersebut cenderung
sama.
Page 20
26
Pada kondisi habitat yang tidak lagi memenuhi kebutuhan hidup, burung
akan berpindah ke wilayah lain. Berbagai tipe habitat menyediakan kelimpahan
sumber pakan untuk berbagai jenis burung (Howes et al. 2003), walaupun
menurut Paerman (2002) hubungan antara struktur vegetasi dan struktur
komunitas burung terkadang sulit untuk diamati.
Perbedaan Jenis Kelamin Berdasarkan Data Morfometri
Secara umum berdasarkan warna bulu yang dimiliki burung weris adalah
jenis burung yang monomorfik, yaitu tidak dapat dibedakan antara jantan dan
betina. Yong (2011) menyatakan bahwa sembilan ukuran parameter pada burung
Swinhoe's Storm Petrels tidak dapat digunakan untuk pembedaan jenis kelamin
walaupun dari warna menunjukkan bahwa burung betina memiliki refleksi warna
pada bulu-bulu di bagian perut yang lebih tinggi, dan pada bagian mahkota
refleksi warna lebih tinggi pada jantan.
Berdasarkan analisis data morfometrik, burung weris jantan memiliki bobot
tubuh, panjang paruh, dan lebar paruh yang berbeda dari burung betina. Bobot
tubuh burung jantan lebih berat dari betina, yang disebabkan burung jantan lebih
agresif untuk berburu dan menangkap mangsa dibanding betina sehingga burung
jantan memiliki kesempatan untuk memperoleh makanan lebih besar
dibandingkan dengan burung betina. Oleh karena itu, tampaknya burung weris
memiliki dimorfisme seksual (Tabel 3). Fenomena yang sama dapat ditemukan
pada burung lain, yaitu bobot badan Blackbird (Turdus merula) jantan lebih berat
dibandingkan betina pada setiap musim (Wysocki 2002).
Tabel 3 Deskripsi morfometri Gallirallus philippensis berdasarkan jenis kelamin
Peubah
Jenis Kelamin
Betina(n=16)
(rataan ± sd)
Jantan(n=18)
(rataan ± sd)
Bobot tubuh 161.80a ± 22.91
185.73
b ± 15.55
Panjang paruh 2.64a ± 0.26
2.92
b ± 0.29
Lebar paruh 0.89a ± 0.12
0.98
b ± 0.14
Panjang ekor 6.29a ± 0.95
6.27
a ± 0.97
Panjang sayap 18.57a ± 1.44
19.25
a ± 2.11
Panjang shank 4.13a ± 0.36
4.34
a ± 041
Keterangan : huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata
Page 21
27
Hasil analisis boxplot terhadap karakter bobot badan menunjukkan bahwa
burung jantan memiliki sebaran nilai lebih kecil dibandingkan dengan burung
betina. Hal ini mencerminkan bahwa keragaman bobot tubuh burung weris jantan
lebih kecil. Nilai median bobot badan burung weris jantan berada pada angka
186,25 g, jika dibandingkan dengan nilai median burung betina yang sebagian
besar data menunjukkan menyebar di atas nilai median. Hal ini sejalan dengan
pendapat Taylor dan van Perlo (1998) bahwa sebagian besar spesies dari genus
Rallidae memiliki ukuran yang sama baik jantan dan betina, walaupun jantan
sedikit lebih besar dari betina. Selanjutnya (Ozaki 2009) menyatakan dari karakter
morfometri Gallirallus okinawae yang diukur menunjukkan nilai rataan jantan
lebih besar dibandingkan betina.
Burung jantan memiliki paruh lebih panjang dan lebih lebar dari betina.
Panjang paruh burung weris jantan mempunyai nilai median 2.92 cm, dan nilai ini
lebih tinggi jika dibandingkan dengan burung weris betina. Diduga hal ini
disebabkan dalam proses mengasuh anak untuk burung weris dilakukan oleh
kedua induknya, induk betina mengasuh anaknya dalam sarang, sedangkan induk
jantan berfungsi untuk mencari makan bagi anak-anaknya sehingga paruh jantan
lebih panjang dari betina. Pada familli Rallidae, burung jantan lebih banyak
menggunakan paruhnya untuk mencari makanan dan memecahkan cangkang
krustasea. Diduga hal ini menyebabkan bagian paruh jantan biasanya lebih
panjang dan sempit dibandingkan dengan betina. Sievwright & Higuchi (2011)
menyatakan bahwa paruh panjang dan tipis pada Oriental Honey Buzzard dengan
ujung bengkok mengalami proses evolusi karena sering digunakan untuk
mengambil larva serta menggali sarang tawon untuk keluar dari tanah. Melalui
pengidentifikasian ciri-ciri morfologi kunci dengan menggunakan pengukuran
morfometrik memungkinkan untuk lebih memahami adaptasi dan proses evolusi
terkait dengan perilaku makan pada burung.
Setiap spesies memiliki ukuran yang optimal. Panjang sayap merupakan
karakter kunci yang berhubungan dengan perilaku burung, seperti migrasi dan
mencari makan (Hall et al.2004). Burung jantan dalam aktivitas mencari makan
maupun dalam mempertahankan daerahnya sangat aktif sehingga sayap burung
jantan lebih panjang dibandingkan dengan burung betina. Hall et al. (2004)
Page 22
28
menyatakan bahwa burung Reed warblers (Acrhocephalus scirpaceous) sebagai
burung yang memiliki daya terbang jarak jauh, mempunyai karakter morfologi
yang sangat berbeda antara burung jantan dan betina. Burung jantan lebih
panjang sayapnya dibandingkan betina sehingga dikatakan faktor morfometri
kunci untuk membedakan jenis kelamin adalah dengan mengukur panjang sayap.
Rosinska (2007) menyatakan bahwa untuk burung migran keberhasilan sexing
dengan menggunakan panjang sayap adalah 80%-81%.
Hal ini tidak terjadi pada burung weris, karena burung weris memiliki
jangkauan terbang yang terbatas, tidak seperti burung migran. Alasan lain yang
dapat mendukung hasil penelitian ini adalah habitat burung weris yang
menyediakan kelimpahan makanan bagi burung weris sehingga tidak
membutuhkan usaha bagi burung weris jantan dalam mencari makanan untuk
burung weris betina maupun anaknya. Selain itu, diduga ukuran sampel yang
kurang sehingga keragaman data kecil. Oleh karena itu, burung weris jantan
memiliki panjang sayap yang hampir sama dengan betina. Dengan kata lain,
panjang sayap jantan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan betina (Tabel 3).
Panjang ekor burung weris jantan tidak berbeda nyata dari betina.
Pengukuran panjang ekor sangat bervariasi sehingga variabel ini tidak dapat
digunakan secara tunggal untuk sexing (Rosinska 2007). Berdasarkan hasil uji t
(Tabel 3) didapat bahwa karakter burung weris jantan, yaitu bobot badan, panjang
paruh, dan lebar paruh, berbeda nyata dari burung weris betina.
Page 23
29
JantanBetina
220
200
180
160
140
120
Bo
bo
t T
ub
uh
(g
ra
m)
150.1
186.25
jantanBetina
3.6
3.4
3.2
3.0
2.8
2.6
2.4
2.2
2.0
Pa
nja
ng
Pa
ru
h (
cm
)
2.59
2.915
Jantan_1Betina_1
1.2
1.1
1.0
0.9
0.8
0.7
Le
ba
r P
aru
h (
cm
)
0.905
0.975
Jantan_2Betina_2
8
7
6
5
4
Pa
nja
ng
Eko
r (
cm
)
6.356.45
JantanBetina
5.25
5.00
4.75
4.50
4.25
4.00
3.75
3.50
Pa
nja
ng
Sh
an
k (
cm
)
4.11
4.245
Jantan_3Betina_3
22
20
18
16
14
12
Pa
nja
ng
Sa
ya
p (
cm
)
18
19.55
Gambar 6 Perbandingan pengukuran enam karakter morfologi burung jantan dan
betina
Page 24
30
Pendugaan Umur
Pendugaan umur dilakukan terhadap burung weris hasil penetasan sebanyak
27 ekor. Selama pengamatan, banyak burung yang mati dan yang berhasil
mencapai umur 60 hari hanya 1 ekor.
Karakter morfologi yang mengalami perubahan setelah penetasan dan
selama pertumbuhan umur burung dipenangkaran adalah warna iris mata, yaitu
pada saat menetas mata anak burung keseluruhannya berwarna hitam, kemudian
perlahan-lahan mulai mengalami perubahan warna pada bagian iris mata dari
warna hitam pada umur 1 hari sampai 20 hari. Selanjutnya, secara perlahan pula
mulai mengalami perubahan warna menjadi kecokelatan dan pada umur 30 hari
secara perlahan-lahan warna berubah dari cokelat agak muda kewarna cokelat tua.
Pada umur 60 hari, warna cokelat mulai berubah menjadi agak kemerahan
dan jika diamati pada sampel-sampel yang ditangkap di habitat alaminya
didapatkan warna iris mata dari warna cokelat tua sampai warna merah agak muda
sampai ke warna merah. Diduga warna iris mata akan mengalami perubahan dari
hitam kemudian kewarna cokelat dan akhirnya semakin bertambah umur maka
akan mengalami perubahan menjadi merah (Gambar 7). Hal ini sejalan dengan
pernyataan (Rosinska 2007), usia burung Robin sesuai dengan perubahan
karakteristik menyangkut bentuk, warna, ukuran bulu, ukuran mandibula, dan
ukuran ekor.
Alis mata burung weris pada saat baru menetas belum tampak garis putih,
namun setelah burung berumur 30 hari mulai nampak warna putih di bagian atas
mata. Sejalan dengan bertambahnya umur, maka warna alis mata yang putih akan
semakin jelas dengan bertambah panjang (Gambar 7).
Warna paruh pada saat telur menetas sampai umur 1 hari berwarna merah
muda dengan warna putih pada ujung paruh. Pada hari ke-2, warna putih pada
ujung paruh mulai hilang dan benar-benar hilang pada hari ke-3. Pada hari ke-10,
warna paruh berubah dari merah muda menjadi warna hitam dimulai dari pangkal
paruh sampai ke ujung paruh. Pada hari ke-30, warna paruh mulai mengalami
perubahan dari hitam dan secara perlahan berubah menjadi merah muda dimulai
pada pangkal paruh sampai akhirnya pada ujung paruh. Selanjutnya, warna paruh
akan mulai berubah kembali menjadi kehitaman yang dimulai dari ujung paruh
Page 25
31
sampai pada pangkal paruh. Burung yang ditangkap biasanya mempunyai paruh
berwarna merah muda sampai warna kehitaman.
Bulu leher mengalami perubahan dari warna hitam secara perlahan-lahan
menjadi warna abu-abu, selanjutnya muncul spot putih bercampur dengan warna
kecokelatan. Sejalan dengan bertambahnya umur pada hari ke-60, warna bulu
leher kembali berubah menjadi warna abu-abu.
Bulu pada bagian sayap mulai bertumbuh pada waktu pengamatan hari ke-
20, dan pada hari ke-60, bulu pada bagian sayap, yaitu bulu primer, sekunder, dan
alula sudah tumbuh sempurna. Pada waktu pengamatan 60 hari, didapatkan bulu
sayap telah bertumbuh sempurna sehingga diduga bahwa burung tersebut telah
memasuki fase pertumbuhan dara (Gambar 8). Ozaki (2009) menyatakan bahwa
pertumbuhan bulu burung sesudah lahir sampai menjadi burung dara, bulu
burungnya hampir sama dengan bulu burung dewasa sehingga pada pengamatan
eksternal sangat sulit membedakan burung dara dari burung dewasa.
Ditambahkan bahwa pengetahuan yang terbatas tentang bulu Gallirallus
okinawae menyebabkan sangat sulit untuk membedakan umur burung melalui
pengamatan bulu burung (Ozaki 2009). Ketersediaan pakan berperan penting
untuk pertumbuhan dan kualitas bulu burung (Desrochers 1992). Secara
keseluruhan, perubahan warna bagian-bagian tubuh burung weris dapat
ditampilkan pada Gambar 9.
.
Page 26
32
Gambar 7 Perubahan warna pada bagian kepala yaitu paruh, iris mata, warna alis
mata sejak umur 1 hari sampai 60 hari.
Gambar 8 Pertumbuhan bulu sayap selama waktu pengamatan 60 hari
1 h 10 h 20 h 30
h
40 h 50 h 60 h
20 hr 30 hr 40 hr
50 hr 60 hr
alula
Page 27
33
Umur Perubahan Karakter Gambar
1 hari Keseluruhan bulu berwarna hitam pekat
Mata hitam, paruh merah muda, dan pada ujung
paruh warna putih pada hari ke 3 warna putih
hilang
Warna shank abu-abu tua
10 hari Keseluruhan bulu berwarna hitam pekat
Mata hitam, keseluruhan paruh berwarna hitam
Warna shank abu-abu tua
20 hari Keseluruhan bulu mulai berubah warna menjadi
abu-abu tua, dan buluh pada sayap mulai
tumbuh dengan bercak-bercak putih
30 hari Alis putih pada bagian mata
Warna iris mata berubah kecokelat muda
Bulu pada bagian belakang dan sayap mulai
berubah warna menjadi kecokelatan
Pada bagian leher berubah menjadi abu-abu
muda
40 hari Sebagian besar belakang berwarna cokelat
Garis cokelat dibawah alis
Bulu sayap primer dan sekunder mulai tumbuh
sempurna
Sebagian paruh berwarna merah muda
Pada bagian leher abu-abu mudah bercampur
cokelat dan spot putih
50 hari Warna iris mata dari cokelat muda kecokelat tua
Warna cokelat dibawah alis putih semakin jelas
Keseluruhan paruh berwarna merah muda
60 hari Iris mata berwarna cokelat tua
Keseluruhan bagian leher berubah menjadi abu-
abu muda
Gambar 9 Perubahan karakter burung weris dari umur 1 hari sampai 60 hari
Page 28
34
Simpulan
Burung weris (Gallirallus philippensis) pada empat lokasi di Minahasa
memiliki tingkat kesamaan morfologi yang tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran
terdapat perbedaan karakter morfometri pada Gallirallus philippensis, yaitu
burung weris jantan lebih besar dibandingkan betina pada karakter bobot tubuh,
panjang paruh, dan lebar paruh. Perubahan karakter morfologi terutama
perubahan warna pada bagian kepala dan pertumbuhan bulu sayap terlihat jelas
berdasarkan perkembangan umur, dengan demikian dapat dijadikan dasar
pendugaan umur burung.
Saran
Penelitian karakter morfologi perlu dikembangkan lebih lanjut dengan
lokasi yang lebih luas atau lebih menyebar terutama untuk daerah Sulawesi
Daftar Pustaka
Carrascal LM, Moreno E, Tellera JL. 1990. Ecomorphological Relationships in a
Group of Insectivorous Bird of Temperate Forest in winter. Holarctic
ecology 13: 105-111
Chettri N, Deb DC, Sharma E, Jackson R. 2005. The reliationship bird
communities and habitat a study along a tracking corridor in the sikkim
Himalaya. Mount Res Develop 25: 235-243.
Coates BJ, Bishop KD. 1997. Panduan Lapangan Burung-burung di Kawasan
Wallacea. Bird Life International
Desrochers A. 1992. Age and foreging success in European Blackbird variation
between and within individuals. Anim Behav 43:885-894.
Gyimóthy Zs, Gyurácz J, Bank L, Bánhidi P, Farkas R, Németh Á, CsörgőT.
2011. Autumn migration of Robins (Erithacus rubecula) in Hungary.
Biologia 66(3): 548–555.
Hall S, Ryttman H, Fransson T, Stolt B. 2004. Stabilising selection on wing
length in reed warblers (Acrocephalus scirpaceus). J Avi Bio 35:7-12.
Howes J, Bakewell D, Rusila-Noor Y. 2003. Panduan Studi Burung Pantai.
Bogor: Wetlands International-Indonesia Programme.
Kennedy RS, Gonsales PC, Dickinson EC, Miranda HC, Fisher TH. 2000. A
Guide to the Birds of the Philippines. Oxford: Oxford University Press.
Page 29
35
Noor RR. 2008. Genetika Ternak. Edisi ke-4. Jakarta: Penebar Swadaya
Ozaki K. 2009. Morphological differences of sex and age in the Okinawa Rail
Gallirallus okinawae. Ornithol Sci 8: 117-124.
Paeman PB. 2002. The scale of community structure: habitat variation and avian
guilds in the tropical forest. Ecologic Monographs 72: 19-39.
Rosiñska K. 2007. Biometrics and morphology variation within sex-age groups of
Robins (Erithacus rubecula) migrating through the Polish Baltic coast.
Ring 29, 1-2: 91-106.
Sievwright H, Higuchi H. 2011. Morphometric analysis of the unusual feeding
morphology of Oriental Honey Buzzards.Ornithologic Sci 10(2):131-144.
Taylor B, van Perlo B. 1998. A guide to the Rails, Crakes, Gallinules and Coots
of the world: Pica Press.
Wiens JA. 1989. The ecology of bird communities 1. Cambridge: Cambridge
University Press.
Wisocki D. 2002. Biometrical analysis of an urban population of the Blackbird
(Turdus merula ) in Szczecin (NW Poland). Ring 24, 2:69-7676.
Yong CC, Young NH, Gil PJ, Gyu LK. 2011. Swinhoe's Storm Petrels
(Oceanodroma monohris) show no apparent sexual dimorphism in size
and color. Ornithologic Sci 10(2):145-149.