BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Penelitian Guba dan Lincoln mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma in menggambarkan suatu pandangan dunia (worldview) yang menentukan, bagi penganutnya sifat dari “dunia” sebagai tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta bagian-bagiannya. Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam penegertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukakn suatu kebenaran akhir (Sunarto, 2011:4). Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivism, konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu pengetahuan sosial: positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel membedakan dua macam paradima, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto, 2011:9) Paradigma kritis yang sering menjadi landasan berpikir dalam analisis semiotika berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan struktur sosial. Ragam analisis kritis umumnya menguji kandungan-kandungan makna ideologis media melalui pembongkaran terhadap isi media atau teks. Paradigma kritis mendasarkan penelitian pada penafsiran teks yang menjadi objek penelitian ini yaitu foto-foto pada rubrik Exposure majalah Popular edisi Oktober 2011. Dengan penafsiran tersebut, peneliti menyelami teks dan menyingkap makna yang ada dibaliknya. Ketika menafsirkan teks, pengalaman, latar belakang, keberpihakan bahkan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian. Penelitian paradigma kritis mempunyai beberapa karakteristik, yaitu: meyakini bahwa refleksi dan kritik metode untuk menghasilkan pengetahuan bukan melalui observasi, lebih dari sekedar data kuantitatif dan kualitatif, ideologi Universitas Sumatera Utara
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Penelitian
Guba dan Lincoln mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian
keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan
dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma in menggambarkan suatu pandangan
dunia (worldview) yang menentukan, bagi penganutnya sifat dari “dunia” sebagai
tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta
bagian-bagiannya. Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam penegertian
harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja
disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukakn suatu kebenaran akhir
(Sunarto, 2011:4).
Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln
menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivism,
konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu
pengetahuan sosial: positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel
membedakan dua macam paradima, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto,
2011:9)
Paradigma kritis yang sering menjadi landasan berpikir dalam analisis
semiotika berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan
struktur sosial. Ragam analisis kritis umumnya menguji kandungan-kandungan
makna ideologis media melalui pembongkaran terhadap isi media atau teks.
Paradigma kritis mendasarkan penelitian pada penafsiran teks yang menjadi objek
penelitian ini yaitu foto-foto pada rubrik Exposure majalah Popular edisi Oktober
2011. Dengan penafsiran tersebut, peneliti menyelami teks dan menyingkap
makna yang ada dibaliknya. Ketika menafsirkan teks, pengalaman, latar belakang,
keberpihakan bahkan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian.
Penelitian paradigma kritis mempunyai beberapa karakteristik, yaitu:
meyakini bahwa refleksi dan kritik metode untuk menghasilkan pengetahuan
bukan melalui observasi, lebih dari sekedar data kuantitatif dan kualitatif, ideologi
Universitas Sumatera Utara
dan kekuasaan ada dalam pengalaman sosial dan tujuan penelitian untuk
perubahan sosial (Sunarto, 2011:9).
Dikategorikan ke dalam penelitian kualitatif kritis karena sangat
mengandalkan kemampuan peneliti dalam menafsirkan teks ataupun tanda yang
dikaitkan dengan konteks sosial, budaya, ekonomi dan historis. Selain itu teori
pendukung dalam penelitian ini seperti feminisme eksistensialis merupakan
bagian dari aliran pemikiran kritis.
2.2 Kajian Pustaka
2.2.1 Komunikasi Massa
Salah satu bentuk komunikasi adalah komunikasi massa yang
menyampaikan informasi, ide, gagasan kepada komunikan yang jumlahnya
banyak dan menggunakan media. Aneka pesan melalui sejumlah media massa
dengan menyajikan beragam peristiwa baik itu yang sifatnya sederhana
menunjukkan bahwa komunikasi massa telah menjadi bagian kehidupan manusia.
Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses komunikasi yang
berlangsung di mana pesannya dikirim dari sumber yang melembaga kepada
khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti
radio, televisi dan film (Cangara, 2006: 36).
Komunikasi massa sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
komunikasi manusia. Hampir semua kegiatan manusia berhubungan erat dengan
komuniaksi massa. Salah satu diantaranya yaitu media massa. Media massa kini
telah menjadi salah satu alat yang penting sebagai media penyampai pesan atau
informasi kepada masyarakat. Masyarakat membutuhkan media massa untuk
menunjang kegiatannya seperti ketika akan berpergian keluar rumah , mereka
melihat berita ramalan cuaca terlebih untuk mengetahui apakah cuaca cerah,
mendung atau sedang hujan. Contoh lainnya adalah info lalu lintas. Di kota-kota
besar, info lalu lintas adalah info yang paling banyak dicari masyarakat. Dan
semua itu didapatkan melalui media massa seperti koran, radio dan televisi.
Joseph A. Devito mengemukakan definisi komunikasi massa dalam dua
pengertian (Wiryanto, 2004: 3):
Universitas Sumatera Utara
1. Komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa,
kepada khalayak yang luar biasa banyaknya.
2. Komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-
pemancar audio atau visual, seperti televisi, radio, surat kabar,
majalah, film atau buku.
Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan
inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan
atau sumber daya lainnya. Media massa seringkali berperan sebagai wahana
pengembangan budaya, bukan saja dalam pengertian bentuk seni dan simbol.
Dalam banyak hal, proses komunikasi massa dan jenis komunikasi lain bentuknya
sama yaitu seseorang menyusun sebuah pesan, pada dasarnya itu merupakan
tindakan interpersonal. Pesan tersebut kemudian disandikan (encoding) ke dalam
kode umum misalnya bahasa. Bahasa tersebut ditransmisikan dan orang lain akan
menerima pesan tersebut, menguraikan sandinya (decoding) lalu mendalaminya.
Proses pendalaman pesan tersebut juga merupakan tindakan intrapersonal. Namun
sifat komunikasi massa lebih khusus. Untuk dapat menyampaikan pesan dengan
efektif kepada ribuan orang dengan latar belakang dan ketertarikan yang berbeda
membutuhkan keahlian yang tersendiri dibandingkan hanya bicara dengan teman
di seberang meja. Menyandi pesan jauh lebih kompleks karena selalu
menggunakan alat, contohnya kamera, alat perekam atau media cetak (Vivian,
2008: 368).
Definisi-definisi komunikasi massa secara prinsip mengandung suatu makna
yang sama, bahkan antara satu definisi dengan definisi lainnya dapat saling
melengkapi. Melalui definisi-definisi tersebut, dapat diketahui karakteristik
komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto, 2004: 7)
1. Komunikator Terlembagakan
Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya. Kita sudah
memahami bahwa komunikasi massa itu menggunakan media massa, baik media
cetak maupun elektronik.
Universitas Sumatera Utara
2. Pesan Bersifat Umum
Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu
ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu.
Oleh karenanya, pesan komunikasi massa bersifat umum.
3. Komunikannya Anonim dan Heterogen
Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim),
karena komunikasinya menggunakan media dan tidak berlangsung tatap muka. Di
samping anonim, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari
berbagai lapisan masyarakat yang berbeda.
4. Media Massa Menimbulkan Keserempakan
Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya,
adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan
tidak terbatas. Komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang
bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.
5. Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan
Pada komunikasi massa, yang penting adalah unsur isi. Dalam komunikasi
massa, pesan harus disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan
disesuaikan dengan karakteristik media massa yang akan digunakan.
6. Komunikasi Massa Bersifat Satu Arah
Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan atau melalui
media massa. Karena melalui media massa maka komunikator dan komunikannya
tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan,
dan komunikan aktif menerima pesan, namun di antara keduanya tidak dapat
melakukan dialog. Dengan demikian, komunikasi massa itu bersifat satu arah.
7. Stimulasi Alat Indra Terbatas
Pada komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media
massa yang digunakan. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada
radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media
Universitas Sumatera Utara
televisi dan film, menggunakan indra penglihatan dan pendengaran.
8. Umpan Balik Tertunda
Komponen umpan balik atau feedback merupakan faktor penting dalam
bentuk komunikasi apa pun. Efektivitas komunikasi seringkali dapat dilihat dari
feedback yang disampaikan oleh komunikan. Umpan balik dalam komunikasi massa
tidak terjadi secara langsung karena komunikator tidak dapat melihat reaksi atau
tanggapan dari komunikan secara langsung.
Fungsi komunikasi massa bagi masyarakat menurut Joseph R. Dominick
terdiri atas (Effendy, 2006: 29-31):
1. Pengawasan peringatan (surveillance)
Pengawasan mengacu kepada yang kita kenal sebagai peranan berita dan
informasi dari media massa. Media mengambil tempat para pengawal yang
mempekerjakan pengawasan.
2. Interpretasi (Interpretation)
Media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga informasi
beserta interpretasi mengenai suatu peristiwa tertentu. Contoh yang paling nyata
dari fungsi ini adalah tajuk rencana surat kabar dan komentar radio atau televisi
siaran. Pada kenyataannya fungsi interpretasi ini tidak selalu berbentuk tulisan,
adakalanya juga berbentuk kartun atau gambar lucu yang bersifat sindiran.
3. Hubungan (Linkage)
Media massa mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat di
dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung oleh saluran
perseorangan. Misalnya kegiatan periklanan yang menghubungkan kebutuhan
dengan produk-produk penjual.
4. Sosialisasi
Sosialisasi merupakan transmisi nilai-nilai (transmission of values) yang
mengacu kepada cara-cara dimana seseorang mengadopsi perilaku dan nilai-nilai
dari suatu kelompok. Mediamassa menyajikan penggambaran masyarakat, dan
dengan membaca, mendengarkan dan menonton maka seseorang mempelajari
bagaimana khalayak berperilaku dan nilai-nilai apa yang penting.
Universitas Sumatera Utara
5. Hiburan (Entertainment)
Fungsi ini jelas tampak pada televisi dan radio, dimana sebahagian
besar programnya bersifat menghibur (to entertain).
2.2.2 Iklan
Iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai tiap bentuk komunikasi
nonpersonal mengenai suatu organisasi, produk, servis, atau ide yang dibayar oleh
satu sponsor yang diketahui. Yang dimaksud ‘dibayar’ disini menunjukkan fakta
bahwa ruang atau waktu bagi suatu pesan iklan pada umumnya harus dibeli,
sedangkan maksud kata ‘nonpersonal’ berarti suatu iklan melibatkan media massa
(Morrisan, 2010: 17).
Iklan berasal dari bahasa Arab iqlama, yang dalam bahasa Indonesia
artinya pemberitahuan, dalam bahasa Inggris advertising berasal dari kata Latin
abad pertengahan advertere yang berarti “mengarahkan perhatian kepada”,
sedangkan reklame berasal dari bahasa Perancis “re-klame” yang berarti berulang-
ulang (Danesi, 2010: 362). Sebenarnya semua istilah di atas mempunyai
pengertian yang sama yaitu memberi informasi tentang suatu barang/jasa kepada
khalayak.
Iklan dikategorisasikan sebagai iklan non komersial dan iklan komersial.
Iklan non komersial adalah iklan yang bersifat pelayanan masyarakat. Iklan
komersial ditandai dengan syarat imajinasi dalam proses pencitraan dan
pembentukan nilai-nilai estetika untuk memperkuat citra terhadap objek iklan itu
sendiri sehingga terbentuk image semakin tinggi estetika dan citra objek iklan,
maka semakin komersial objek tersebut (Bungin, 2011: 65).
Sejatinya tugas utama iklan adalah untuk mengubah produk menjadi
sebuah citra. Apapun pencitraannya yang digunakan dalam sebuah iklan, baik itu
citra kelas sosial, citra seksualitas dan sebagainya, yang terpenting pencitraan itu
memiliki efek terhadap produk dan akan menambah nilai ekonomisnya (Bungin,
2011: 126).
Jib Fowles mengatakan, iklan tidak sekedar media komunikasi, namun
terpenting adalah muatan konsep komunikasi yang terkandung di dalamnya,
Universitas Sumatera Utara
terlebih lagi konsep itu harus mampu mewakili maksud produsen untuk
mempublikasikan produk-produknya, serta konsep tersebut harus dipahami oleh
pemirsa sebagaimana yang dimaksud oleh si pencipta iklan ( Bungin, 2011: 81).
Membedah iklan sebagai objek semiotika mengedepankan perlakuan
terhadap keseluruhan tanda-tanda di dalamnya seperti layaknya teks tertulis. John
Fiske (1991) mengajukan tiga level kode yang dapat dimaknai dalam menggali
makna-makna tersembunyi dalam iklan televisi. Level pertama adalah “realitas”,
meliputi tampilan visual semacam penampilan, pakaian, make up, perilaku,
pembicaraan, gesture, ekspresi, suara dan lain-lain. Level yang bersifat
permukaan ini merupakan level kode yang bersifat teknis. Level kedua adalah
“representasi” dimana penggunaan kamera, pencahayaan, editing, musik dan
suara. Anasir-anasir tersebut dapat merepresentasikan makna tentang situasi yang
dibangun seperti konflik, karakter, setting dan sebagainya. Level ketiga adalah
“ideologi”. Sebagai level terdalam, level ini merepresentasikan sejauh mana
ideologi yang dibangun dalam sebuah tayangan iklan (Hermawan, 2011: 248).
Salah satu bagian dari industri periklanan selain pengiklan dan agen
periklanan, adalah media massa. Media berperan sebagai penghubung antara
perusahaan dengan konsumennya. Media untuk pengiklan antara lain adalah radio,
televisi, koran, majalah, internet, direct mail, billboard dan sebagainya. Dari
seluruh media massa yang memungkinkan untuk menjadi media massa
periklanan, televisi seringkali difavoritkan menjadi media periklanan yang utama
karena efektivitas dan efisiensi dalam penyampaian pesan dan pembentukan
citra di dalamnya (V Tarigan, 2011: 21). Televisi menjadi pilihan utama oleh
banyak pemasar karena karakteristiknya yang unik dan mampu menampilkan
imajinasi nyata dari iklan tersebut dalam bentuk gambar dan suara. Iklan televisi
lahir dari proses panjang penggarapan sebuah iklan. Banyak kalangan tidak
mengetahui kalau iklan televisi umumnya berdurasi beberapa detik, membutuhkan
proses kerja yang sangat rumit dan panjang.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Tanda
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha
mencari jalan di dunia ini (Sobur, 2004:15). Tanda ini bisa tampil dalam bentuk
sederhana seperti kata, atau dalam bentuk kompleks seperti novel atau acara
siaran radio (Danesi, 2010:27).
Aristoteles (384-322 SM) telah meletakkan dasar-dasar teori penandaan
yang sampai sekarang masih menjadi dasar. Ia mendefinisikan tanda sebagai yang
tersusun atas tiga dimensi: (1) bagian fisik dari tanda itu sendiri (suara yang
membentuk kata seperti “komputer”); (2) referen yang dipakai untuk menarik
perhatian (satu jenis alat tertentu); (3) pembangkitan makna (yang diisyarakatkan
oleh referen baik secara psikologis maupun sosial. Sebagaimana dalam konteks
semiotika, semua hal ini disebut sebagai (1) ‘penanda’, (2) ‘petanda’, dan (3)
‘signifikasi’ (Danesi, 2010:34).
Terdapat dua pendekatan penting yang berkenaan dengan tanda, yakni
pendekatan yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure dan pendekatan yang
dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce. Menurut Saussure, tanda merupakan
wujud konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi sebagai penanda,
sedangkan konsep-konsep dari bunyi-bunyian atau gambar, disebut sebagai
petanda. Dapat dikatakan, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep
sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda
juga bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan (Sobur,
2004:32). Mengapa suatu objek diberi nama ‘komputer’ untuk
mengidentifikasikan sebuah benda mirip televisi yang memiliki kemampuan
mengolah data, hal ini dapat disebut sebagai sebuah sifat arbitraris.
Danesi (2010:36) menyebutkan bahwa Saussure juga menyatakan bahwa
telaah tanda dapat dibagi menjadi dua–sinkronik dan diakronik. Sinkronik terkait
dengan tanda pada suatu waktu, dan diakronik merupakan telaah bagaaimana
perubahan makna dan bentuk tanda dalam waktu. Selain itu, Saussure juga
melihat tanda sebagai sebuah ‘gejala biner’, yaitu bentuk yang tersusun atas dua
bagian yang saling terkait satu sama lain, yakni penanda (signifier) yang berguna
untuk menjelaskan ‘bentuk’ dan ‘ekspresi’ dan petanda (signified) yang berguna
Universitas Sumatera Utara
untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’. Hubungan antara keberadaan fisik
tanda dan konsep atau makna tersebut dinamakan dengan signification. Dalam
mencermati hubungan pertandaan ini, Saussure menegaskan bahwa diperlukan
semacam konvensi sosial untuk mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya.
Pendekatan yang kedua, yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce,
bermakna kurang lebih sama dimana ia mengartikan tanda sebagai yang terdiri
atas representamen (sesuatu yang melakukan representasi) yang merujuk ke objek
(yang menjadi perhatian representamen), membangkitkan arti yang disebut
sebagai interpretant (apapun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu)
(Danesi, 2010:36). Hubungan antara ketiganya bersifat dinamis, dengan yang satu
menyarankan yang lain dalam pola siklis.
Artinya, tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya ,
keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena
ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.
Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada
pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan
mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua,
menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika
kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti
bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu
kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol (Sobur, 2004:35).
Tanda terdapat di mana-mana, kata, demikian pula gerak isyarat tubuh,
lampu lalu lintas, bendera, warna, dan sebagainya dapat pula menjadi tanda.
Semua hal dapat menjadi tanda, sejauh seseorang menafsirkannya sebagai sesuatu
yang menandai suatu objek yang merujuk pada atau mewakili sesuatu yang lain di
luarnya. Kita menafsirkan sesuatu sebagai tanda umumnya secara tidak sadar
dengan menghubungkannya dengan suatu sistem yang kita kenal hasil konvensi
sosial di sekitar kita. Tidak semua suara, gerakan, kata, isyarat bisa menjadi tanda,
namun hal tersebut bisa menjadi tanda ketika ia diberi makna tertentu.
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Semiotika
Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti ‘tanda’ atau
seme yang berarti ‘penafsir tanda’. Semiotika berakar dari studi klasik dan
skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. ‘Tanda’ pada masa itu masih
bermakna pada suatu hal yang menunjukkan pada adanya hal lain. Jika diterapkan
pada bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri.
Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (signifiant) dalam kaitannya dengan
pembaca. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang
ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang
bersangkutan (Sobur, 2004: 17).
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala
yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-
tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang
menggunakannnya. Menurut Preminger (dalam Kriyantono, 2006: 261), ilmu ini
menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu
merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,
konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Analisis semiotik berupaya menemukan tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi
di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Karena sistem tanda sifatnya amat
kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut. Pemikiran pengguna
tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna
tanda tersebut berada.
Dapat dikatakan, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda,
tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda,
melainkan dunia itu sendiri pun–sejauh terkait dengan pikiran manusia–
seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan
bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Bahasa itu sendiri merupakan sistem
tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal
seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial
konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari
Universitas Sumatera Utara
tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi (Sobur,
2004:13).
Charles Sanders Peirce adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling
orisinal dan multimensional. Menurut Paul Cobley dan Litza Jansz (1999: 20),
Peirce adalah seorang pemikir yang argumentatif. Peirce mengidentisikasi, dari
ilmu logika ke ilmu intelektual, yaitu tindakan komunikatif yang telah
menunjukkan bagaimana ia menggarisbawahi kepentingan teknis ilmu (Sobur,
2004: 40-41).
Pierce menandaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan medium
tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda dalam
kehidupan manusia bisa berarti gerakan ataupun isyarat. Anggukan ataupun
gelengan dapat berati sebagai setuju dan tidak setuju, tanda peluit, genderang,
suara manusia bahkan bunyi telepon merupakan suatu tanda. Tanda dapat berupa
tulisan, angka dan bisa juga berbentuk rambu lalu lintas contohnya merah berati
berhenti (berbahaya jika melewatinya) dan masih banyak ragamnya.
Pierce dalam lingkungan semiotik melihat sebuah tanda, acuan dan
penggunanya sebagai tiga titik dalam segitiga Peirce, yang biasanya dipandang
sebagai pendiri tradisi semiotika Amerika, menjelaskan modelnya secara
sederhana yaitu tanda sebagai sesuatu yang dikaitkan kepada seseorang untuk
sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas dan seringkali mengulang-ulang
pernyataan bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi
seseorang.
Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak seseorang
tersebut suatu tanda yang setara atau barangkali suatu tanda yang lebih
berkembang. Tanda tersebut disebut interpretant dari tanda-tanda pertama.
Perumusan yang terlalu sederhana dari Pierce ini menyalahi kenyataan tentang
adanya suatu fungsi tanda: tanda A menunjukkan suatu fakta (dari objek B),
kepada penafsirnya yaitu C. Oleh karena itu, suatu tanda itu tidak pernah berupa
suatu entitas yang sendirian, tetapi yang memiliki ketiga aspek tersebut (A, B dan
C). Pierce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari
Universitas Sumatera Utara
kepertamaan, objeknya adalah keduaan dan penafsirnya adalah sebagai unsur
pengantara yang berperan sebagai ketigaan.
Ketiga tanda yang ada dalam konteks pembentukkan tanda juga
membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang
membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu
makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya. Penafsir ini adalah
unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya (induksi, deduksi
dan penangkapan (hipotesis) membentuk tiga jenis penafsir yang penting). Agar
bisa ada sebagai suatu tanda maka tanda tersebut harus ditafsirkan (dan berarti
harus memiliki penafsir).
Charles Sanders Peirce mengemukakan gagasannya mengenai model tanda
dan taksonominya. Peirce mengemukakan model triadic tanda, yang terdiri atas
elemen-elemen sebagai berikut:
a. Representamen, adalah bentuk yang diambil sebagai tanda (tidak
senantiasa bersifat material).
b. Interpretant, cenderung bermakna gagasan yang dimunculkan oleh
tanda.
c. Object, adalah hal kemana tanda terkait mengacu.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1
Segitiga Makna Charles S.Peirce
Sense
B
A C
Sign Vehicle Referent
(Sumber : Morissan, 2009: 28)
Hubungan antara ketiga elemen tersebut disebut ‘semiosis’. Untuk lebih
memahaminya, kita bisa ilustrasikan dengan lampu lalu lintas. Dalam model tanda
yang dikemukakan oleh Peirce, lampu tanda berhenti akan diwakili oleh lampu
merah yang ada di persimpangan jalan (sebagai representamen), kendaraan
berhenti (sebagai objek) dan gagasan bahwa lampu merah mengindikasikan
kendaraan harus berhenti (sebagai interpretant) (Morissan, 2009:28).
Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan
mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula
terbuahkan referensi yaitu hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan
simbolik. Dengan demikian referensi merupakan gambaran hubungan antara tanda
kebahasaan berupa kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang
membuahkan satu pengertian tertentu. Simbol berbeda dengan tanda, simbol
mempunyai arti yang lebih mendalam, simbol merupakan sebuah tanda yang
berdasarkan pada konvensi, peraturan atau perjanjian yang disepakati bersama.
Simbol baru dapat dipahami seseorang jika seseorang sudah mengerti arti yang
telah disepakati sebelumnya. Burung Dara adalah simbol perdamaian, angka
adalah simbol, kita tidak tahu mengapa bentuk 2 mengacu pada sepasang objek;
hanya karena konvensi atau peraturan dalam kebudayaanlah yang membuatnya
begitu. Dalam hal ini Peirce justru memberikan penekanan pada gagasan tifologi
Universitas Sumatera Utara
tanda yang disebutnya dengan istilah ‘the most fundamental divisions of signs’.
Pembagian tanda Peirce ini kemudian menjadi rujukan bagi banyak ahli semiotika
di dunia sampai saat ini. Namun demikian, para ahli cenderung tetap
menggunakan istilah signifier dan signified sebagai pengganti istilah sign vehicle
dan object-nya Peirce.
Bagi Pierce, tanda “is something whichstands to somebody for something
in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi,
oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen)
selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni ground, object, dan interpretant.
Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang
dikaitkan dengan ground baginya menjadi qualisign, sinsign dan lesign. Qualisign
adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, lemah, lembut,
merdu. Sinsign adalah eksitensi aktual atau benda atau peristiwa yang ada pada
tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh
yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Lesign adalah norma yang
dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-
hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia (Sobur, 2004: 41).
Ferdinand De Saussure (1857-1913), secara umum diakui sebagai tokoh
yang meletakkan dasar ilmu bahasa modern. Dalam Cours de Linguistque
General yang diterbitkan oleh murid-muridnya (1916) setelah De Saussure
meninggal, diuraikan dengan panjang-lebar bahwa bahasa adalah sistem tanda dan
tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama
lain: signifiant (penanda) dan signifie (petanda).
Ferdinand Saussure yakin bahwa semiotika dapat digunakan untuk
menganalisis sejumlah besar “sistem tanda” dan bahwa tak ada alasan tidak bisa
diterapkan pada bentuk media atau bentuk kultural apa pun. Semiotika adalah
sebentuk hermeneutika–yaitu nama klasik untuk studi mengenai penafsiran sastra.
Ia termasuk salah satu metode yang paling interpretatif dalam menganalisis teks
dan keberhasilan maupun kegagalannya sebagai sebuah metode bersandar pada
seberapa baik peneliti mampu mengartikulasikan kasus yang mereka kaji (Danesi,
2010: 76).
Universitas Sumatera Utara
Ferdinand de Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi
manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda)
dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang
bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau
dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental
dari bahasa. Kedua unsur ini seperti dua sisi dari sekeping mata uang atau
selembar kertas.
Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna,
sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier.
Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan
signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna
terhadap dunia (Fiske dalam Sobur, 2004: 125).
Penerima pesan ataupun pembaca memainkan peranan yang lebih aktif
dalam model teori semiotika dibandingkan model proses lainnya. Semiotika lebih
suka memilih arti ”pembaca” mewakili pernyataan penerima pesan bahkan untuk
sebuah foto ataupun gambar. Karena hal tersebut secara tidak langsung
menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan
sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya; karena itu pembacaan tersebut
ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya.
Pembaca membantu menciptakan makna teks dengan membawa
pengalaman, sikap dan emosinya terhadap teks tersebut. Hubungan antara
signifier dan signified dibagi tiga, yaitu
1. Ikon, yaitu tanda yang memunculkan kembali benda atau
realitas yang ditandainya. Dapat pula dikatakan, ikon adalah tanda
yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan.
Misalnya, foto Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah ikon Sultan. Peta
Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang
digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Sultan adalah ikon
dari ibu jari Sultan.
2. Indeks, yaitu tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya
Universitas Sumatera Utara
hubungan dengan yang ditandai. Dapat pula dikatakan, indeks
merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan apa
yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya:
asap dan api, asap menunjukkan adanya api. Jejak telapak kaki di
tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu.
Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang
yang menorehkan tanda tangan itu.
3. Simbol, yaitu sebuah tanda di mana hubungan antara signifier
dan signified semata-mata adalah masalah konvensi, kesepakatan
atau peraturan. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah
mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya: Garuda
Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki
perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki
latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya, Garuda
Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa (Aart Van
Zoest dalam Sobur, 2004: 126).
2.2.5 Makna
Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah
yang membingungkan (Sobur, 2004:255). Orang-orang sering menggunakan istiah
pesan dan makna secara bergantian. Akan tetapi, ini tidaklah benar jika dilihat
dari sudut semantik. Dapat dikatakan, ‘pesan’ itu tidak sama dengan ‘makna’ –
pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan bisa memiliki satu
makna.
Secara semiotika, pesan adalah penanda; dan maknanya adalah petanda.
Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber ke
penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan hanya bisa
ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi kiranya
dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan pelbagai masalah interpretasi
dan pemahaman (Danesi, 2010:22)
Ada beberapa pandangan mengenai teori dan konsep makna. Seperti yang
diungkapkan oleh Wendell Johnson (Sobur, 2004:258):
Universitas Sumatera Utara
1) Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata. Kita
menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita
komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk
mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada di benak kita. Reproduksi
ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah.
2) Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang kita
gunakan berumur 200 atau 300 tahun. Tapi makna dari kata-kta tersebut
mengalami perubahan yang dinamis, teruatama pada dimensi emosional dari
makna. Seperti kata-kata hubungan di luar nikah, obat, agama, hiburan, dan
perkawinan (Di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara berbeda pada
saat ini dan di masa-masa yang lalu).
3) Makna membutuhkan acuan. komunikasi hanya masuk akal bilamana ia
mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang
paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna
yang tidak mempunyai acuan yang memadai.
4) Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan
gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang
timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan
yang konkret dan dapat diamati. Bila kita berbicara tentang cinta,
persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang
serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan
bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Mengatakan kepada seorang anak
untuk “manis” dapat mempunyai banyak makna. Penyingkatan perlu
dikaitkan dengan objek, kejadian, dan perilaku dalam dunia nyata: “Berlaku
manislah dan bermain sendirilah sementara ayah memasak.” Bila Anda telah
membuat hubungan seperti ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda
maksudkan dan tidak.
5) Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam
suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu, kebanyakan
kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila sebuah
kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi.
Universitas Sumatera Utara
Bila ada keraguan, sebaiknya Anda bertanya dan bukan membuat asumsi;
ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-masing
pihak diketahui.
6) Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu
kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya
sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan.
Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya,
pemahaman yang sebenarnya–pertukaran makna secara sempurna–barangkali
merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi tidak pernah tercapai.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut
signifier atau penanda dan konsep dari bunyi-bunyian atau gambar tersebut,
disebut sebagai signified atau petanda. Hubungan antara gambaran mental atau
konsep tersebut dinamakan dengan signification atau pemaknaan.
2.2.6 Semiotika Komunikasi Visual
Semiotika komunikasi visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul,
subjudul dan teks) dan tanda visual (ilustrasi, logo, tipografi dan tata visual)
desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Dengan analisis
semiotika visual maka akan diperoleh makna yang terkandung di balik tanda
verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual. Dengan pendekatan teori
semiotika, maka karya desain komunikasi visual akan mampu diklasifikasikan
berdasarkan tanda, kode dan makna yang terkandung di dalamnya (Tinarbuko,
2010: 9). Meskipun objek utama dari komunikasi visual adalah elemen-elemen
komunikasi yang bersifat visual, yaitu garis, bidang, ruang, warna, bentuk dan
tekstur, akan tetapi perkembangannya, desain komunikasi visual juga melibatkan
elemen-elemen non visual, seperti tulisan, bunyi atau bahasa verbal.
Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep
komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media
komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri dari gambar
(ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi dan layout. Semua itu dilakukan
guna menyampaikan pesan secara visual, audio atau audio visual kepada target
Universitas Sumatera Utara
sasaran. Jagad desain komunikasi visual senantiasa dinamis, penuh gerak dan
perubahan karena peradaban dan ilmu pengetahuan modern memungkinkan
lahirnya industrialisasi. Sebagai industri fotografi yang terkait dalam sistem
ekonomi dan sosial, desain komunikasi visual juga berhadapan dengan
konsekuensi sebagai produk massa dan konsumsi massa. Terkait dengan fakta
tersebut, desain komunikasi visual senantiasa berhubungan dengan penampilan
rupa yang dapat dikecap orang banyak dengan pikiran maupun perasaan. Rupa
yang mengandung pengertian makna, karakter, serta suasana yang mampu
dipahami (diraba dan dirasakan) oleh khalayak umum atau terbatas.
Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan karya desain
komunikasi, pesan disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara
garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual.
Tanda verbal akan didekati pada aspek ragam bahasa, tema dan pengertian yang
didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya,
apakah secara ikonis, indeksikal atau simbolis dan bagaimana cara
mengungkapkan idiom estetiknya. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari
dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan dan dicari hubungan antara
yang satu dengan yang lainnya.
Untuk mewujudkan suatu tampilan visual, ada beberapa unsur perlu
diperhatikan. Hal tersebut antara lain: garis (line), bentuk (form), ruang (space),
tekstur, keseimbangan, proposisi, keserasian, warna, irama, ukuran serta durasi
(http://dc355.4shared.com).
1. Garis (Line)
Sebuah garis adalah unsur desain yang menghubungkan antara satu titik
poin dengan titik poin yang lain sehingga bisa berbentuk gambar, garis lengkung
(curve) atau garis lurus (straight). Garis adalah unsur dasar untuk membangun
bentuk atau konstruksi desain.
2. Bentuk (Form)
Istilah bentuk (form) digunakan untuk menyatakan suatu bangun atau
shape yang tampak dari suatu benda. Bentuk adalah segala sesuatu hal yang