Top Banner
TINJAUAN KRIM PIDANA NARK REPUBLIK I Criminology Review to the Law of the R PROGRAM i T E S I S MINOLOGI TERHADAP PELAKU TIN KOTIKA MENURUT UNDANG-UNDA INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 200 TENTANG NARKOTIKA w on Narcotics Crime Perpetrators Ac Republic of Indonesia Number 35 Yea on Narcotics Oleh: RAHMI DWI ASTUTI P0902208006 M PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012 NDAK ANG 09 ccording ar 2009
135

TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

Nov 12, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAPPIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG

REPUBLIK INDONESIA

Criminology Review on Narcotics Crime Perpetrators According

to the Law of the Republic of Indonesia

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM

i

T E S I S

KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Criminology Review on Narcotics Crime Perpetrators According

to the Law of the Republic of Indonesia Number 35 Year 2009

on Narcotics

Oleh:

RAHMI DWI ASTUTI

P0902208006

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2012

PELAKU TINDAK UNDANG

35 TAHUN 2009

Criminology Review on Narcotics Crime Perpetrators According

Number 35 Year 2009

Page 2: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

T E S I S

TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Criminology Review on Narcotics Crime Perpetrators According

to the Law of the Republic of Indonesia Number 35 Year 2009

on Narcotics

Oleh:

RAHMI DWI ASTUTI

P0902208006

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2012

Page 3: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Page 4: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt, raja semesta alam yang atas rahmat

dan berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tesis ini.

Dengan selesainya penulisan tesis ini, tentu merupakan kebahagian dan

kenikmatan tersendiri bagi penulis, oleh karena selama menempuh studi

penulis tidak luput dari berbagai hambatan. Namun berkat kesabaran,

keikhlasan dan bantuan dari berbagai pihak sehingga penulis dapat

menghadirkan karya penulisan yang sederhana ini.

Penulis menyadari kekurangan dan ketidaksempurnaan menjadi

bagian dari karya tesis ini, maka penulis berharap adanya saran dan

masukan yang ilmiah dan konstruktif demi pengembangan karya tesis ini.

Penulis menyadari selama studi hingga penulisan tesis ini merupakan

wujud dari pengorbanan yang tak terhingga batasnya dari kedua orang tua

penulis. Maka dengan ini, karya tesis ini penulis persembahkan kepada

Ayahanda H. M. DARWIS MAS’UD, SH., dan Ibunda HJ. KALMAWATI

DARWIS, S.SIT., serta suami tercinta MUH. GAZALI ARIEF, SH, dan

ananda tersayang HUSNUL ATHIYYAH GAZALI, yang selalu

memberikan dorongan dan doa kepada penulis.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya pula,

penulis haturkan kepada :

1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Aswanto,

SH., MH., DFM beserta seluruh jajarannya, Prof. Dr. Marthen Arie,

SH.,MH., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum;

Page 5: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

2. Prof. Dr. Andi Seri Alam, selaku ketua Komisi Penasihat, dan Prof. Dr.

Muhadar, SH.,M.Si, selaku anggota Komisi penasihat, yang telah

banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan

petunjuk-petunjuk serta bimbingan kepada peneliti dengan penuh

keikhlasan dan kearifan selama proses penelitian;

3. Prof. Dr. M. Syukri Akub, SH., MH., Prof. Dr. Andi Sofyan, SH., MH,

dan Prof. Dr. Aswanto, SH., M.Si., DFM, selaku Tim Penguji yang

memberikan masukan dan penilaian demi kesempurnaan penyusunan

hasil penelitian ini;

4. Ketua Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Makassar beserta jajarannya;

5. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Sungguminasa

beserta jajarannya ;

6. Para dosen dan segenap civitas akademik Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin yang telah berjasa mendidik penulis ;

7. Seluruh rekan kerjaku Cakim Angkatan V dan cakim Angkatan IV pada

Pengadilan Negeri Makassar dan Pengadilan Negeri Maros, terima

kasih atas dukungan serta pengetahuan yang kalian berikan ;

8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu ;

Akhirnya penulis berharap, tesis ini dapat bermanfaat betapapun

kecilnya, baik untuk kepentingan ilmu pengetahuan, maupun untuk

kepentingan praktisi. Amin.

Makassar, Januari 2012

RAHMI DWI ASTUTI

Page 6: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

ABSTRAK

RAHMI DWI ASTUTI. Tinjauan Kriminologi terhadap Pelaku Tindak

Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika (dibimbing oleh Andi Seri Alam dan

Muhadar).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Perbedaan setiap

golongan pelaku tindak pidana narkotika dan untuk mengetahui (2) Faktor-

faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penyalahgunaan

narkotika dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Makassar.

Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Makassar dan

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Makassar. Tipe penelitian ini adalah

penelitian empiris dengan pendekatan sosiologi hukum. Penarikan sample

dilakukan dengan teknik non probability sampling dengan metode

purposive sampling. Jenis data yang terdiri atas data primer dan data

sekunder yang diperoleh melalui wawancara dan kuesioner, dianalisis

dengan menggunakan analisis data kualitatif dan analisis data kuantitatif

yang kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Perbedaan setiap

golongan pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 secara garis besar meliputi

perbuatan menggunakan narkotika tanpa izin dan pengawasan, atau

dikenal sebagai Pengguna, yang meliputi perbuatan

pecandu/penyalahguna bagi diri sendiri; mengedarkan narkotika atau

dikenal sebagai pengedar, yang meliputi perbuatan tanpa hak dan

melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,

menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan/menerima

narkotika, membawa, menguasai, mengirim, mengangkut, mengekspor,

mengimpor, menyalurkan atau mentransito narkotika, memberikan

narkotika untuk digunakan oleh orang lain; serta sebagai produsen, yang

meliputi perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memproduksi,

menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, atau menyediakan

Narkotika atau Prekursor Narkotika. (2) Faktor yang menyebabkan

terjadinya penyalahgunaan narkotika, terdiri atas faktor internal, yaitu hal-

hal yang dari dalam diri pelaku berupa aspek individu, seperti kepribadian

yang ingin tahu, mudah kecewa, jiwa yang tergoncang, rasa putus asa,

dan lain-lain yang menyebabkan pelaku memerlukan rasa ketenangan,

kenyamanan, dan keberanian dengan menggunakan narkotika; serta

faktor eksternal, yaitu hal-hal yang datang dari luar diri pelaku, seperti

sosial budaya, ekonomi, pengaruh lingkungan, dan lain-lain.

Page 7: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

ABSTRACT

RAHMI DWI ASTUTI. Criminology Review on Narcotics Crime

Perpetrators According to the Law of the Republic of Indonesia Number 35

Year 2009 on Narcotics (Supervised by ANDI SERI ALAM and

MUHADAR).

This study aims to determine (1) The differences of each class of

narcotics criminals and to find out (2) The factors that cause the

occurrence of drug abuse and criminal acts in Makassar District Court

jurisdiction.

The research was conducted in the District Court of Makassar and

Makassar Narcotics Correctional Institution. This type of research is

empirical research with sociological approach to law. The withdrawal

sample is done by non-probability sampling technique with the purposive

sampling method. The type of data consists of primary data and secondary

data obtained through interviews and questionnaire, were analyzed using

qualitative data analysis and analysis of quantitative data which is then

presented in descriptive form.

The results showed that (1) The differences of each class of drugs based

on the criminal law of the Republic of Indonesia Number 35 Year 2009 as a

line of action includes the use of narcotics without the permission and

supervision, otherwise known as the User, which includes deed

addicts/abusers for yourself; distribute narcotics, or known as a dealer,

which includes works without rights and unlawfully offering for sale, selling,

buying, receiving, mediating in the sale and purchase, exchange, deliver /

receive narcotics, carry, control, transmit, transport, export , import,

distribute or mentransito narcotics, giving narcotics to others to be used;

as well as manufacturers, which include deeds without rights and

unlawfully manufacture, planting, maintaining, owning, storing, or providing

or Precursor Narcotics. (2) Factors that cause the occurrence of abuse of

narcotics, composed of internal factors, namely the things from the inside

of the perpetrators of the individual aspects, such as personality who

wanted to know, easily upset, shaken soul, despair, and others who cause

the offender requires a sense of tranquility, comfort, and courage to use

narcotics; as well as external factors, namely the things that come from

outside actors, such as socio-cultural, economic, environmental

influences, and others.

Page 8: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

ABSTRAK ........................................................................................................... v

ABSTRACK ....................................................................................................... vi

DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................ 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Kriminologi ..................................................... 11

B. Ruang Lingkup dan Objek Kriminologi ....................................... 13

C. Teori-teori Kriminologi ................................................................ 18

D. Tinjauan tentang Pelaku Tindak Pidana Narkotika ..................... 42

E. Jenis dan Penggolongan Narkotika ……………… ...................... 45

F. Kerangka Pikir ............................................................................ 57

G. Definisi operasional .................................................................... 63

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian ........................................................................... 65

Page 9: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

B. Lokasi Penelitian ........................................................................ 65

C. Populasi dan Sampel .................................................................. 66

D. Jenis dan Sumber Data .............................................................. 67

E. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 67

F. Analisis Data … .......................................................................... 68

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penggolongan Pelaku Tindak Pidana Narkotika ........................ 69

1. Regulasi ........................................................................ 70

2. Peran Pelaku ................................................................ 74

3. Pengetahuan/Pemahaman hukum aparat .................... 83

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Tindak

Pidana Narkotika ....................................................................... 97

1. Faktor Internal ............................................................. 105

2. Faktor Eksternal .......................................................... 109

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................... 122

B. Saran ............................................................................... 123

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 124

LAMPIRAN ..................................................................................................... 126

Page 10: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman

1. Peran pelaku tindak pidana Narkotika dalam wilayah hukum

Pengadilan Negeri Makassar ....................................................... 76

2. Jumlah Perkara Tindak pidana Narkotika dalam wilayah hukum

Pengadilan Negeri Makassar ..................................................... 101

3. Umur Pelaku Penyalahguna Narkotika ....................................... 106

4. Ketaatan beragama pelaku penyalahguna Narkotika ................. 107

5. Pendidikan pelaku penyalahguna narkotika ............................... 108

6. Pekerjaan Pelaku tindak pidana Narkotika ................................. 111

7. Keadaan sosial ekonomi keluarga penyalahguna narkotika ....... 112

8. Penghasilan perbulan pelaku penyalahguna narkotika .............. 113

9. Ruang lingkup pergaulan dalam masyarakat ............................. 114

10. Waktu luang pelaku pada hari kerja ........................................... 115

11. Kegiatan pengisi waktu luang pelaku ......................................... 116

12. Sumber pertama kali pelaku memperoleh narkotika .................. 117

13. Tempat pertama kali pelaku memperoleh narkotika ................... 118

14. Alasan pelaku menyalahgunakan Narkotika .............................. 119

Page 11: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selalu

membawa dampak yang positif bagi masyarakat. Apabila kita

perhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut

seringkali melahirkan polemik yang baru dalam masyarakat, sebagai

contoh adalah narkotika. Narkotika disatu sisi sangat dibutuhkan dalam

bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, namun disisi lain justru dapat

memberi peluang terjadinya penyalahgunakan narkotika.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan. Di satu sisi narkotika merupakan obat

atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan

kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain

dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila

dipergunakan tanpa adanya pengendalian, pengawasan yang ketat

dan seksama.

Masalah penyalahgunaan Narkotika atau istilah yang populer

dikenal masyarakat sebagai Narkoba (Narkotika dan Bahan / Obat

Berbahaya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang

memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan

Page 12: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta

masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan,

konsekuen dan konsisten.

Maraknya penyalahgunaan narkotika tidak hanya di kota-kota

besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil di seluruh wilayah

Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah

bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas.

Dari berbagai informasi maupun data yang berhasil di

Inventarisir terjadi peningkatan pengguna maupun kasus narkotika

diberbagai daerah di Indonesia pada umumnya dan Makassar pada

Khususnya. Bahkan dalam pengamatan tidak ditemukan pemberitaan

akan keberhasilan sebuah daerah tertentu yang berhasil menekan

angka pengguna maupun kasus Narkotika. Jika dikonversikan dengan

beberapa keberhasilan penegak hukum dalam mengungkap peredaran

dan penyalahgunaan narkotika yang pantas diapreasiasi, justru

mengherankan mengapa tidak terjadi penurunan kasus, bahkan

dengan temuan-temuan tersebut justru menambahkan angka tingginya

kasus penyalahgunaan narkotika.

Pengesahan Konvensi Wina Tahun 1971 yang mengatur

kerjasama internasional dalam pengendalian, pengawasan produksi,

peredaran dan penggunaan narkotika dan psikotropika serta

mencegah dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika

dan psikotropika, dengan membatasi penggunaannya hanya bagi

kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan

Page 13: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

upaya pemerintah dengan penyelenggaraan kerjasama antara negara-

negara lain dalam rangka suatu usaha pengawasan, peredaran dan

penyalahgunaan narkotika yang memberikan arahan tentang prinsip-

prinsip yuridis kriminal dan aturan-aturan tentang ekstradisi.

Ditinjau dari aspek kepentingan nasional, konvensi ini dapat

menjamin kepastian dan keadilan hukum dalam upaya penegakan

hukum peredaran gelap narkotika yang melibatkan para pelaku

kejahatan lintas batas teritorial Indonesia. Di samping itu untuk

kepentingan nasional, khususnya untuk kepentingan didalam negeri,

akan diperoleh suatu kepastian dan kemanfaatan dalam rangka

pengaturan peredaran narkotika untuk kepentingan pengobatan dan

ilmu pengetahuan.

Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 2009, pemerintah

Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika yang menggantikan undang-undang

sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika dan Lampiran mengenai Jenis Psikotropika Golongan I dan

Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yang telah dipindahkan

menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, sudah

dinyatakan tidak berlaku lagi atau sudah dicabut melalui Pasal 153 dan

155 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Page 14: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

tertanggal 12 Oktober 2009. Tentu saja terhadap seorang pelaku

tindak pidana Narkotika dan Psikotropika mulai dari penangkapan

sampai dengan penjatuhan sanksi, tidak lagi berpedoman kepada

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1997 tentang Psikotropika, melainkan sebagai dasar hukum

yang dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa adalah Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Salah satu perbedaan yang disebutkan dalam Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut dinyatakan bahwa

shabu-shabu bukan lagi disebut psikotropika. Shabu-shabu sudah

dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagai

Narkotika golongan I. Selain itu, golongan I dan golongan II pada

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika semuanya

sudah dimasukkan ke dalam daftar golongan I dalam Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009.

Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin diperketatnya hukum

dalam pengaturan sanksi terhadap bagi siapa saja yang

menyalahgunakan Narkotika maupun Psikotropika baik sanksi pidana

maupun sanksi denda.

Pada dasarnya peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau

dari aspek yuridis adalah sah keberadaannya, Undang-undang

Narkotika hanya melarang terhadap penggunaan narkotika tanpa izin

oleh undang-undang yang dimaksud. Keadaan yang demikian ini

dalam tataran empirisnya, penggunaan narkotika sering

Page 15: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

disalahgunakan bukan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu

pengetahuan. Akan tetapi jauh dari pada itu, dijadikan ajang bisnis

yang menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana kegiatan ini

berimbas pada rusaknya mental baik fisik maupun psikis pemakai

narkoba khususnya generasi muda.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, telah

banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak

mendapat putusan hakim. Dengan demikian, penegakan hukum ini

diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap merebaknya

perdagangan gelap serta peredaran narkotika, Namun demikian,

dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan

hukum, semakin meningkat pula peredaran serta perdagangan gelap

narkotika tersebut.

Ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah

narkotika telah disusun dan diberlakukan, namun demikian kejahatan

yang menyangkut narkotika ini belum dapat diredakan. Dalam kasus-

kasus terakhir telah banyak bandar-bandar dan pengedar serta

pemakai narkotika yang tertangkap dan mendapat sanksi berat, namun

pelaku yang lain seperti tidak mengacuhkan bahkan lebih cenderung

untuk memperluas daerah operasinya.

Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya

dalam hal pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma

hukum yang bersifat membina penjahat dengan cara melakukan

pembinaan di lembaga pemasyarakatan, dengan demikian dapat

Page 16: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

memberpaiki terpidana di lembaga pemasyarakatan tersebut.

Seharusnya hal ini mampu memberikan wacana kepada para hakim

dalam merumuskan vonis penjatuhan pidana kepada para pelaku

kejahatan agar mampu menangkap aspirasi keadilan masyarakat.

Sementara itu, dalam kenyataan empiris di bidang pemidanaan secara

umum masih menganut konsep hanya menghukum terpidana di

lembaga pemasyarakatan, dengan demikian dapat memberikan

gambaran bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti sesaat dan akan

muncul kembali dalam lingkungan kehidupan sosial masyarakat.

Tindak pidana narkotika yang dimaksud dalam Undang-Undang

No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan sanksi pidana yang

cukup berat, namun demikian dalam kenyataannya para pelaku

kejahatan justru semakin meningkat, dan bagi para terpidana dalam

kenyataannya tidak jera dan justru ada kecenderungan untuk

mengulanginya lagi. Hal ini dapat tidak terlepas oleh adanya faktor

penjatuhan pidana yang tidak memberikan dampak atau deterrent

effect terhadap para pelakunya.

Berbicara mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat

dari cara penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem

penegakan hukum atau criminal law enforcement sebagai bagian dari

criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan. Dalam

penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana yakni

menggunakan penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana

Page 17: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

non penal yaitu penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana

(penal).

Keberadaan Undang-Undang Narkotika merupakan suatu upaya

politik hukum pemerintah Indonesia terhadap penanggulangan tindak

pidana narkotika. Dengan demikian, diharapkan dengan

dirumuskannya undang-undang tersebut dapat menanggulangi

peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika, serta menjadi acuan

dan pedoman kepada pengadilan dan para penyelenggara atau

pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan undang-undang,

khususnya hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap

kejahatan yang terjadi.

Sebagai bentuk komitmen Pemerintah terhadap

penyalahgunaan Narkotika maka adapun beberapa program Nasional

yang telah dilaksanakan diantaranya:

1. Mengesahkan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dengan

menetapkan batas hukuman minimal dan juga mempertegas

ancaman hukuman mati.

2. Menempatkan penguna/pecandu Narkoba sebagai korban

didukung juga dengan Surat Edaran MA terkait penerapan vonis

rehabilitasi.

3. Pemberantasan jaringan Narkoba dan penggerebekan beberapa

Pabrik Narkoba.

4. Terus mengupayakan peningkatan lembaga-lembaga Rehabilitasi

bagi korban Narkoba.

Page 18: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Dari berbagai upaya Pemerintah yang telah diuraikan diatas,

kini menjadi pertanyaan bagi penulis apakah program-program

tersebut telah efektif karena melihat data empiris, statistik kasus

penyalahgunaan narkotika terus meningkat, bahkan para penegak

hukum sendiri ikut memprediksi bahwa akan terjadi peningkatan

jumlah kasus pada tahun 2011 ini. Tentunya hal tersebut membawa

kekhawatiran yang cukup mendasar dimana BNN yang terbentuk

melalui Kepres pada tahun 2002 tersebut belum menunjukan

keberhasilannya (www.hukumonline.com).

Terdapat beragam alasan mengapa terjadi penyalahgunaan

narkotika. Untuk itu penanganannya juga harus multi sektoral karena

telah terbukti bahwa hukum saja yang mengedepankan penal dan

hanya fokus pada repsesi saja tidak dapat membuahkan hasil, kita

ketahui mulai dari UU Narkotika Tahun 1976 kemudian UU Narkotika

22/1997 dan terakhir UU Narkotika 35/2009 hukumannya terus

meningkat secara drastis dan begitu pula dengan kasus narkotika yang

seolah terus meningkat secara beriiringan dengan ancaman

pidananya, fenomena tersebut telah membuktikan bahwa hukum saja

tidak cukup.

Masalah ini cukup aktual mengingat dampak penyalahgunaan

narkotika yang sangat besar yang dapat menimbulkan akibat yang

sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya

generasi muda, yang pada akhirnya akan dapat melemahkan

ketahanan nasional, maka perlu dilakukan upaya penanggulangan

Page 19: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

yang efektif dan tepat sasaran dengan memperhatikan posisi pelaku

dan korban dari penyalahgunaan narkotika tersebut;

Penyalahgunaan narkotika merupakan kejahatan, yang secara

kriminologis dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban (crime

without victim), kejahatan ini tidak diartikan sebagai kejahatan yang

tidak menimbulkan korban tetapi mempunyai makna bahwa korban

dari kejahatan ini adalah dirinya sendiri. Dengan kata lain, si pelaku

sekaligus sebagai korban kejahatan (Made Darma Weda, 1999 : 80).

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis mencoba untuk meneliti

salah satu objek pengkajian dari kriminologi tindak pidana Narkotika,

yaitu perbedaan tiap golongan pelaku tindak pidana narkotika serta

faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana narkotika

khususnya dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Makassar dan

mengetengahkan dalam bentuk tesis dengan judul: “Tinjauan

Kriminologi terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Menurut

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas,

maka yang menjadi inti permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah perbedaan setiap golongan pelaku tindak pidana

narkotika ?

2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana

narkotika dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Makassar ?

Page 20: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan penulisan ini

adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui perbedaan setiap golongan pelaku tindak pidana

narkotika.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

tindak pidana narkotika dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri

Makassar.

Sedangkan manfaat dalam penelitian ini adalah:

1. Secara Teoretis

Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu

hukum pada khususnya, serta sebagai bahan referensi dan

perbandingan bagi peneliti lain yang berminat meneliti lebih lanjut

mengenai tindak pidana narkotika;

2. Secara Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi

masukan bagi penegak hukum untuk lebih mengoptimalkan

penanggulangan tindak pidana narkotika.

Page 21: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Kriminologi

Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari dan

mendalami secara ilmiah mengenai perbuatan yang disebut sebagai

kejahatan, mereka yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan

(pelaku kejahatan), sebab-sebab terjadinya kejahatan, akibat-akibat

yang di timbulkan dari kejahatan untuk menjawab mengapa seseorang

melakukan kejahatan serta reaksi masyarakat yang ditujukan baik

terhadap perbuatan maupun terhadap pelakunya.

Kriminologi merupakan disiplin yang ideografis, artinya

menggambarkan kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam masyarakat,

akan tetapi disamping itu ia merupakan pula disiplin yang nomothetis,

yang berusaha memperoleh kenyataan-kenyataan (dalil) umum

(Sudarto, 1986:149).

Kejahatan bukanlah fenomena alamiah, melainkan fenomena

sosial dan historis, sebab tindakan menjadi kejahatan haruslah dikenal,

diberi cap, dan ditanggapi sebagai kejahatan, disana harus ada

masyarakat yang normanya, aturannya dan hukumnya dilanggar,

disamping adanya lembaga yang tugasnya menegakkan norma-norma

dan menghukum pelanggarnya.

Sutherland (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001:10)

merumuskan kriminologi sebagai:

Page 22: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

“keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial (the body of knowledge regarding crimes as a social phenomenon).” Jika dikaji secara keseluruhan, perkembangan kriminologi untuk

menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, Prof. Romli Atmasasmita

menyimpulkan bahwa (Romli Atmasasmita, 2007:13) :

1. Kriminologi merupakan studi tentang tingkah laku manusia tidaklah

berbeda dengan studi tentang tingkah laku lainnya yang bersifat

nonkriminil.

2. Kriminologi merupakan ilmu yang bersifat inter dan multidisiplin,

bukan ilmu yang bersifat monodisiplin.

3. Kriminologi berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu

pengetahuan lainnya.

4. Perkembangan studi kejahatan telah membedakan antara

kejahatan sebagai suatu tingkah laku dan pelaku kejahatan sebagai

subjek perlakuan sarana peradilan pidana.

5. Kriminologi telah menempatkan dirinya sejajar dengan ilmu

pengetahuan lainnya, tidak lagi merupakan bagian daripadanya.

Istilah kriminologi yang ditemukan oleh P. Topinard (1830-1911)

seorang ahli antropologi Prancis, secara harfiah berasal dari kata

crimen yang berarti kejahatan atau penjahat dan logos yang berarti

ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang

kejahatan atau penjahat (H.A.S. Alam, 2005:1).

Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu

pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-

Page 23: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

luasnya (kriminologi teoretis dan murni). Kriminologi teoretis adalah

ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman yang seperti ilmu

pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala dan

mencoba menyelidiki sebab-sebab dari gejala tersebut (aetiologi)

dengan cara-cara yang ada padanya (Topo Santoso dan Eva Achjani

Zulfa, 2001:9).

Menurut Paul Moedigdo Moeliono, kriminologi bahwa pelaku

kejahatan mempunyai andil atas terjadinya suatu kejahatan, karena

terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang ditentang

oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari si pelaku untuk

melakukan perbuatan yang ditentang oleh masyarakat (Abdussalam,

2007:5).

Tegasnya, kriminologi merupakan sarana untuk mengetahui

sebab kejahatan dan akibatnya, mempelajari cara-cara memperbaiki

penjahat, dan cara-cara mencegah timbulnya kejahatan (H.A.S. Alam,

2005:2).

B. Ruang Lingkup dan Objek Kriminologi

Menurut Bonger, ruang lingkup studi kriminologi dibedakan atas

kriminologi murni dan kriminologi terapan. Kriminologi murni

mencakup:

1. Antropologi kriminil ialah ilmu pengetahuan tentang manusia

yang jahat (somatis);

2. Sosiologi kriminil ialah ilmu pengetahuan tentang kejahatan

sebagai suatu gejala masyarakat;

Page 24: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

3. Psikologi kriminil ialah ilmu pengetahuan tentang penjahat yang

dilihat dari sudut jiwanya;

4. Psikopatologi dan neuropatologi kriminil ialah ilmu tentang

penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf;

5. Penologi ialah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya

hukuman.

Disamping itu terdapat kriminologi terapan yang meliputi :

1. Higiene kriminil

Tujuannya untuk mencegah terjadinya kejahatan, maka usaha-

usaha pemerintah yaitu menerapkan undang-undang secara

konsisten, menerapkan sistem jaminan hidup dan kesejahteraan

yang dilakukan semata-mata untuk mencegah timbulnya

kejahatan;

2. Politik kriminil ialah usaha penanggulangan kejahatan di mana

suatu kejahatan telah terjadi. Disini dilihat sebab-sebab

seseorang melakukan kejahatan. Jika disebabkan oleh faktor

ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan

keterampilan atau membuka lapangan kerja. Jadi, tidak semata-

mata dengan penjatuhan sanksi;

3. Kriminalistik (police scientific) ialah ilmu tentang pelaksanaan

penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan secara

scientific. Dalam mengungkap kejahatan dengan menggunakan

scientific criminalistic antara lain yaitu identifikasi, laboratorium

kriminal, alat mengetes golongan darah (DNA), alat mengetes

Page 25: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

kebohongan, alat penentu keracunan kedokteran kehakiman,

dan lain-lain scientific criminalistic lainnya sesuai dengan

perkembangan teknologi.

Menurut Sutherland, kriminologi mencakup proses-proses

pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelangaran

hukum. Kriminologi olehnya dibagi menjadi tiga cabang ilmu utama

yaitu:

1. Sosiologi hukum, kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh

hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi;

2. Etiologi kejahatan, merupakan cabang ilmu kriminologi yang

mencari sebab musabab dari kejahatan;

3. Penology, ilmu tentang hukuman dan hak-hak yang

berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan baik

represif maupun preventif.

Pengertian dari Sudarto, bahwa politik kriminil adalah suatu

usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.

Politik kriminil merupakan kebijakan rasional yang mempelajari,

meneliti, membahas cara-cara pemberantasan kejahata, meliputi :

a. Pencegahan kejahatan dalam pelaksanaan pencegahan

ditujukan terhadap kecenderungan jahat dan perbuatan jahat.

b. Diagnosa kejahatan, yaitu untuk menentukan apakah suatu

kejahatan telah terjadi dan mengusut siapa pelakunya. Untuk

pelaksanaannya agar berpedoman pada ketentuan serta

peraturan yang berlaku (KUHAP dan KUHP).

Page 26: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa objek studi

kriminologi meliputi perbuatan yang disebut kejahatan, pelaku

kejahatan atau penjahat, dan reaksi masyarakat terhadap kejahatan

dan pelakunya.

1. Kejahatan

Untuk mempelajari dan meneliti tentang kejahatan dibagi atas dua

aliran yaitu aliran hukum (yuridis) dan aliran non yuridis atau aliran

sosiologis.

a. Kejahatan menurut aliran hukum (yuridis).

Sutherland menekankan bahwa dalam pengertian yuridis

membatasi kejahatan sebagai perbuatan yang telah ditetapkan

oleh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan

diancam dengan suatu sanksi. Sementara penjahat merupakan

para pelaku pelanggar hukum pidana tersebut dan telah diputus

oleh pengadilan atas perbuatannya tersebut (Abdussalam,

2007:16).

Bonger menyatakan bahwa kejahatan merupakan

perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari

negara berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi

terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai

kejahatan (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001:14).

b. Kejahatan menurut aliran Non yuridis atau aliran sosiologis

Secara sosiologis, kejahatan merupakan suatu perilaku

manusia yang diciptakan oleh masyarakat. Walaupun masyarakat

Page 27: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

memiliki berbagai macam perilaku yang berbeda-beda, akan

tetapi memiliki pola yang sama.

Gejala kejahatan terjadi dalam proses interaksi antara

bagian-bagian dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan

untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan

kelompok-kelompok masyarakat mana yang memang melakukan

kejahatan. Kejahatan (tindak pidana) tidak semata-mata

dipengaruhi oleh besar kecilnya kerugian yang ditimbulkannya

atau karena bersifat amoral, melainkan lebih dipengaruhi oleh

kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompoknya, sehingga

perbuatan-perbuatan tersebut merugikan kepentingan

masyarakat luas, baik kerugian materi maupun kerugian/ bahaya

terhadap jiwa dan kesehatan manusia, walaupun tidak diatur

dalam undang-undang (Abdussalam, 2007:17).

2. Pelaku Kejahatan

Penjahat atau pelaku kejahatan merupakan para pelaku

pelanggar hukum pidana dan telah diputus oleh pengadilan atas

pelanggarannnya dan dalam hukum pidana dikenal dengan istilah

narapidana. Dalam mencari sebab-sebab kejahatan, kriminologi

positif, dengan asumsi dasar bahwa penjahat berbeda dengan bukan

penjahat, perbedaan mana ada pada aspek biologis, psikologis,

maupun sosio-kultural. Oleh karena itu dalam mencari sebab-sebab

kejahatan dilakukan terhadap narapidana atau bekas narapidana,

Page 28: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

dengan cara mencarinya pada ciri-ciri biologiknya (determinis

biologik) dan aspek kultural (determinis kultural).

3. Reaksi Masyarakat

Dalam hal ini perlu mempelajari dan meneliti serta membahas

pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-

perbuatan atau gejala yang timbul di masyarakat yang dipandang

sebagai merugikan atau membahayakan masyarakat luas.

Reaksi masyarakat terhadap pelaku kejahatan terhadap

semua jenis kejahatan. Reaksi masyarakat terhadap korban

kejahatan baik pada pengamanan diri korban, lingkungan yang

memberikan kesempatan atau peluang pada setiap orang yang

semula tidak memiliki niat untuk melakukan kejahatan, berhubung

adanya kesempatan atau peluang yang diberikan oleh korban

kejahatan, maka kepada orang yang semula tidak ada niat untuk

melakukan kejahatan, akhirnya orang tersebut melakukan kejahatan

karena adanya kesempatan atau peluang dari korban kejahatan.

C. Teori-Teori Kriminologi

Pendekatan yang menjadi landasan lahirnya teori-teori

kriminologi adalah spiritualisme dan naturalisme.

1. Spritualisme

Spiritualisme memfokuskan perhatiannya pada perbedaan

antara kebaikan yang datang dari Tuhan atau Dewa, dan

keburukan yang datang dari setan. Seseorang yang telah

Page 29: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

melakukan suatu kejahatan dipandang sebagai orang yang terkena

bujukan setan (evil/demon).

Landasan pemikiran yang paling rasional dari perkembangan

ini adalah bahwa pada periode sebelumnya kejahatan dianggap

sebagai permasalahan antara korban dan keluarga korban dengan

pelaku dan keluarganya. Akibatnya adalah konflik yang

berkepanjangan antar keluarga yang dapat mengakibatkan

musnahnya keluarga tersebut. Juga menjadi masalah adalah

bahwa pelaku kejahatan yang berasal dari keluarga yang memiliki

posisi kuat dalam masyarakat yang tidak akan dapat dihukum

(H.A.S. Alam, 2005:23).

2. Naturalisme

Lahirnya paham rasionalisme di Eropa menjadikan pendekatan ini

mendominasi pemikiran tentang penyebab kejahatan. Dalam

perkembangan lahirnya teori-teori tentang kejahatan dapat dibagi

beberapa aliran/mazhab :

a. Mashab klasik

Yang ditekankan oleh mazhab ini yaitu manusia

berkehendak bebas dan karena itu melakukan suatu pilihan

yang rasional. Kejahatan dipandang sebagai pelanggaran

terhadap kontrak sosial; jadi suatu pelanggaran moral.

Pemidanaan ditujukan untuk mencegah pelanggaran di

kemudian hari; jadi perlu unsur menakutkan (J.E. Sahetapy,

2005:62).

Page 30: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Dengan kata lain, bahwa pada Mashab ini melihat manusia

sebagai mampunyai kebebasan memilih prilaku (free will) dan

selalu bersikap rasional dan hedonistic (cenderung menghindari

segala sesuatu yang menyakitinya). Menurut pandangan ini

pemidanaan adalah cara untuk menaggulangi kejahatan.

Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu kejahatan dapat di

kurangi/ditiadakan dengan hukuman atau dengan sanksi yang

keras. Contoh: hukuman mati, hukuman seumur hidup,

hukuman gantung dll.

b. Mazhab Positivis dengan pelopornya adalah Cesare Lombroso

(1835-1909) dianggap sebagai awal pemikiran ilmiah

Kriminologi tentang sebab musabab kejahatan.

Mazhab Positivis ini tidak saja menghadirkan teori-teori

biologis yang menyangkut kausalitas kejahatan, ia juga

memperlihatkan teori-teori psikologis, bahkan juga secara

sosiologis (J.E. Sahetapy, 2005:62).

Mazhab ini berkeyakinan bahwa prilaku manusia di

sebabkan/di tentukan sebagian oleh faktor-faktor biologis,

sebagian besar merupakan pencerminan karakteristik dunia

sosial cultural dimana manusia hidup. Dalam teori ini bahwa

kejahatan yang dilakukan oleh seseorang bisa di sebabkan oleh

pengaruh-pengaruh baik dari dalam maupun dari luar sehingga

para pelaku kejahatan tidak dapat hanya di pidana saja, akan

tetapi harus dilakukan dengan menyelesaikan penyebab

Page 31: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

(kausa)nya terlebih dahulu. Jadi dalam teori ini kita harus bisa

mencari mengapa seseorang melakukan kejahatan.

Secara garis besar, aliran positivis membagi dirinya menjadi

dua pandangan, yaitu :

1) Determinasi biologis

Teori-teori yang masuk dalam aliran ini mendasari pemikiran

bahwa perilaku manusia sepenuhnya tergantung pada

pengaruh biologis yang ada dalam dirinya.

2) Determinasi Cultural

Teori-teori yang masuk dalam aliran ini mendasari pemikiran

mereka pada pengaruh sosial, budaya, dan lingkungan

dimana seseorang itu hidup.

c. Mashab Kritikal. Menurut mashab ini tidak penting apakah

manusia itu bebas memilih perilakunya (mashab Klasik) atau

manusia itu terikat biologis (fisik) sosial dan cultural. Menurut

mereka jumlah perbuatan pidana/kejahatan yang terjadi maupun

karakteristik para pelakunya ditentukan terutama oleh

bagaimana hukum pidana itu di rumuskan dan di laksanakan.

Dalam mashab ini yang menentukan baik atau buruk adalah

siapa yang berkuasa pada saat itu. Segala peraturan adalah

dari orang yang berkuasa pada saat itu.

d. Mazhab School Defense

Mazhab yang dipelopori oleh Judge Marc Angel telah

mengembangkan suatu teori yang berlainan dengan aliran

Page 32: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

terdahulu. Munculnya aliran ini disebabkan teori aliran positif

klasik dianggap terlalu statis dan kaku dalam menganalisa

kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Menurut angel,

defense sosial timbul karena adanya revolusi di kalangan

penganut aliran positif. Meskipun demikian, arti sosial defense

berbeda dengan yang dimaksud oleh tokoh aliran positif, yaitu :

1) Social defense tidak bersifat deterministik,

2) Social defense menolak tipologi yang bersifat kaku tentang

penjahat dan menitikberatkan pada keunikan kepribadian

manusia,

3) Social defense meyakini sepenuhnya nilai-nilai moral,

4) Social defense menghargai sepenuhnya kewajiban-

kewajiban masyarakat terhadap penjahat, dan mencoba

menciptakan keseimbangan antara masyarakat dan penjahat

serta menolak mempergunakan pendekatan yang bersifat

security sebagau suatu alat administratif.

5) Sekalipun mempergunakan penemuan-penemuan ilmu

pengetahuan namun social defense menolak dikuasai

olehnya, dan menggantikannya dengan sistem yang modern.

Secara umum motivasi seseorang untuk melakukan kejahatan

sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan dinamika

kehidupan manusia. Sesuai dengan hasil penelitian di bidang

kriminologi telah terungkap beberapa faktor yang berpengaruh

terhadap timbulnya kejahatan. Untuk mengungkap faktor-faktor

Page 33: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

yang menyebabkan seseorang untuk melakukan tindak

pidana narkotika, maka dipilih beberapa teori kriminologi yang

mempunyai relevansi untuk dijadikan dasar pijakan dalam

penulisan yaitu :

1. Teori Penyebab Kejahatan Dari Perspektif Sosiologis

Berbeda dengan teori-teori sebelumnya, teori-teori sosiologis

mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di

dalam limgkungan sosial. Toeri-teori ini dapat dikelompokkan

menjadi tiga kategori umum, yaitu:

1. Strain (Anomi).

2. Differential association

3. Sosial Kontrol.

a. Teori-Teori Anomie

Untuk pertama kalinya, istilah Anomie diperkenalkan

Emile Durkheim yang diartikan sebagai suatu keadaan tanpa

norma (the concept of anomie referred to on absence of social

regulation normlessness). Kemudian dalam buku The Divison of

Labor in Society (1893) Durkheim mempergunakan istilah

anomie untuk mendeskripsikan keadaan “Deregulation” di dalam

masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-

aturan yang terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak

tahu apa yang diharapkan dari orang lain dan keadaan ini

menyebabkan deviasi (Lilik Mulyadi, 2007:92).

Page 34: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Menurut Durkheim, teori anomie terdiri dari tiga

perspektif, yaitu :

1. Manusia adalah makhluk sosial (man is social animal)

2. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial (human being

is a social animal)

3. Manusia cenderung hidup dalam masyarakat dan

keberadaannya sangat tergantung pada masyarakat tersebut

sebagai koloni (tending to live in colonies, and his/her

survival dependent upon moral conextions).

Kemudian istilah Anomie dikemukakan Durkheim dalam

bukunya Suicide (1897) yang mengemukakan asumsi bunuh diri

dalam masyarakat merupakan akhir puncak dari anomie karena

dua keadaan sosial berupa social itegration dan social

regulation.

Lebih lanjut, skema Hipotesis Durkheim terlihat sebagai berikut :

Social Conditions High Low

Social Integration Altruism Egoism

Social Regulation Fatalism Anomie

Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri atau suicide

berasal dari tiga kondisi sosial yang menekankan (stress), yaitu:

1. Deregulasi kebutuhan atau anomie.

2. Regulasi yang keterlaluan atau fatalism.

3. Kurangnya integrasi structural atau egoisme.

Page 35: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Hipotesis keempat dari suicide menunjuk kepada proses

sosialisasi dari seorang individu kepada suatu nilai budaya altruistic

mendorong yang bersangkutan untuk melaksanakan bunuh diri.

Hipotesis keempat ini bukan termasuk teori stress.

Pada tahun 1938, Robert K.Merton mengadopsi konsep

anomie Durkheim untuk menjelaskan deviasi di Amerika. Menurut

Merton, konsep anomalie diredefenisi sebagai ketidaksesuaian atau

timbulnya diskrepansi/perbedaan antara cultural goals dan

institutional means sebagai akibat cara masyarakat diatur (struktur

masyarakat) karena adanya pembagian kelas.

Teori Anomie Merton pada mulanya mendeskripsikan

korelasi antara perilaku delinquent dengan tahapan tertentu pada

struktur sosial akan menimbulkan, melahirkan, dan menumbuhkan

suatu kondisi terhadap pelanggaran norma masyarakat yang

merupakan reaksi normal. Untuk itu, ada dua unsur prilaku

delinquent yaitu unsur dari struktur sosial dan cultural.

Konkretnya, unsur kultur melahirkan goals dan unsur

structural melahirkan means. Secara sederhana, goals diartikan

sebagai tujuan-tujuan dan kepentingan membudaya meliputi

kerangka aspirasi.dasar manusia. Sedangkan means diartikan

aturan dan cara control yang melembaga dan diterima sebagai

sarana mencapai tujuan (Lilik Mulyadi, 2007:93).

b. Differential association.

Page 36: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Untuk pertama kalinya, seorang ahli sosiologi AS bernama

Edwin H.Sutherland tahun 1934, dalam bukunya Principle of

criminology mengemukakan teori Differential Association. Pada

tahun 1947, Edwin H.Sutherland menyajikan teori differential

association yang menekankan bahwa semua tingkah laku itu

dipelajari, tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang

tua. Tegasnya, pola perilaku tidak diwariskan tapi dipelajari melalui

suatu pergaulan yang akrab.

Untuk itu, Edwin H.Sutherland kemudian menjelaskan proses

terjadinya kejahatan melalui 9 (Sembilan) proposisi sebagai berikut:

1. Criminal behavior is learned. Negatively, this means that

criminal behavior is not inherited. (perilaku kejahatan adalah

prilaku yang dipelajari. Secara negative berarti prilaku itu tidak

diwariskan).

2. Criminal behavior is learnedin interection with other person in a

process of communication. This communication is verbal in

many respects but includes also “the communication of gesture”.

(perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain

dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama

dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa tubuh).

3. The principle part of the learning of criminal behavior occurs

within intimate personal groups. Negatively this means that the

interpersonal agencies of communication., such as movie and

newspaper, plays a relatively unimportant part in the genesis of

Page 37: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

criminal behavior. (bagian terpenting dalam proses mempelajari

prilaku kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim.

Secara negative ini berarti bahwa komunikasi interpersonal

seperti melalui bioskop, surat kabar, secara relative tidak

mempunyai peranan penting dalam terjadinya kejahatan).

4. When criminal behavior is learned, the learning includes (a)

techniques of commiting the crime, which are sometimes very

complicated, sometimes very simple. (b) the specific direction of

movies, drives, rationalization and attitudes. (ketika prilaku

kejahatan dipelajari, maka yang dipelajarai termasuk: (a) teknik

melakukan kejahatan, (b) motif-motif, dorongan-dorongan,

alasan-alasan pembenar dan sikap-sikap tertentu).

5. The specific direction of motives and drives is learned from

definitions of the legal codes as favorable on unfavorable. In

some societies and individual is surrounded by persons who

invariably define the legal codes as rules to be observed while in

other he is surrounded by person whose definition are favorable

to the violation of legal codes. (arah dan motif dorongan itu

dipelajarai melalui defenisi-defenisi dari peraturan hukum.

Dalam suatu masyarakat kadang seseorang dikelilingi orang-

orang yang secara bersamaan melihat apa yang diatur dalam

peraturan hukum sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan dan

dipatuhi, namun kadang ia dekelilingi orang-orang yang melihat

Page 38: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

aturan hukum sebagai sesuatu yang memberikan peluang

dilakukannya kejahatan).

6. A person becomes delinquent because of an excess of definition

favorable to violation of law over definitions unfavorable to

violation of law. (seseorang menjadi delinkuen karena ekses

pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai

pemberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukum

sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipenuhi).

7. Differention association may vary in frequency, duration, priority

and intensity. (Asosiasi diferensial bervariasi dalam frekuensi,

durasi, prioritas serta intensitasnya).

8. The process of learning criminal behavior by association with

criminal and anticriminal patterns incloves all of the mechanism

that are involved an any other learning. (proses mempelajari

prilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola

kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap

proses belajar secara umum).

9. While criminal is an expressions of general need and values, it

is not explained by those general needs and values since non

criminal behavior is an expression of the same needs and

values. (sementara prilaku jahat merupakan ekspresi dari

kebutuhan nilai umum, namun tidak dijelaskan bahwa perilaku

yang bukan jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan

nilai-nilai umum yang sama).

Page 39: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Sutherland seorang sosiolog dan kriminolog Amerika

Serikat yang merupakan tokoh pertama teori ini, menolak teori

yang menyatakan bahwa pengaruh faktor biologis atau cacat

mental sebagai penjelasan tentang kejahatan. Ia tidak

membedakan bagaimana seseorang melakukan kejahatan

dengan seseorang yang melakukan aktifitas atau kegiatan yang

non kriminal. Ia berpendapat bahwa semua tingkah laku dipelajari

dengan cara yang sebagian besar sama, sehingga yang

membedakan antara tingkah laku kriminal dan non kriminal

menurut Sutherland adalah terletak pada apa yang dipelajari

seseorang dan bukan pada bagaimana tingkah laku itu dipelajari.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

penekanan teori asosiasi diferensial berkenaan dengan

timbulnya suatu kejahatan itu dipelajari oleh pelaku melalui

pergaulan yang intim yang bervariasi tergantung frekuensi,

durasi, prioritas dan intensitas. Perlu dijelaskan pula bahwa

meskipun teori Sutherland tentang asosiasi diferensial ini

telah menerima dukungan empiris dari para pakar

kriminologi. tetapi juga bukan tanpa problem yang dihadapi,

yakni masih tetap ada kelemahan-kelemahannya.

c. Teori Kontrol Sosial

Teori Kontrol sosial pada asasnya menjelaskan bahwa

manusia adalah makhluk amoral atau setidak-tidaknya beberapa

pertanyaan moral untuk beberapa orang adalah lebih penting

Page 40: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

daripada untuk orang lain. Moralitas dan nilai-nilai susila

merupakan variable yang terbesar secara tidak merata di antara

manusia.

Pemunculan teori Kontrol sosial ini diakibatkan tiga ragam

perkembangan dalam kriminologi. Ketiga ragam perkembangan

dimaksud adalah (H.A.S. Alam, 2005:65) :

1. Adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik dan

kembali kepada penyelidikan tentang tingkah laku criminal.

Kriminologi konservatif sebagaiman teori ini berpijak kurang

menyukai kriminologi baru atau new criminology dan hendak

kembali kepada subyek semula yaitu: penjahat.

2. Munculnya studi tentang criminal justice sebagai suatu ilmu

baru telah membawa pengaruh terhadap kriminologi menjadi

lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem.

3. Teori control sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik riset

baru khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni self

report survey.

Versi control sosial yang paling handal dan sangat

popular telah dikemukakan oleh Travis Hirschi (1969). Hirschi

dengan keahliannya merevisi teori-teori sebelumnya mengenai

control ssosial bonds. Hirschi sependapat dengan Durkheim dan

yakin bahwa tingkah laku seseorang mencerminkan berbagai

ragam pandangan tentang kesusilaan. Hirschi berpendapat

bahwa seseorang bebas untuk melakukan kejahatan atau

Page 41: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

penyimpangan-penyimpangan tingkah lakunya. Selain

menggunakan teknik netralisasi untuk menjelaskan tingkah laku

dimaksud, Hirschi menegaskan bahwa penyimpangan tingkah

laku tersebut diakibatkan oleh tidak adanya keterikatan atau

kurangnya keterikatan (moral) pelaku terhadap masyarakat.

Hirschi kemudian menjelaskan bahwa sosial bonds meliputi

empat unsur, yaitu (J.E. Sahetapy, 2005:4) :

1. Attachment, adalah keterikatan seseorang pada orang lain

(orang tua) atau lembaga (sekolah) yang dapat mencegah atau

menghambat yang bersangkutan untuk melakukan kejahatan.

2. Commitment, element ini, menurut Hirschi adalah komponen

rasional dari perilaku konformistis. Ini berarti bahwa seseorang

dengan “akal sehat” mempertimbangkan untuk rugi dari prilaku

delinkuen. Sekali dikaitkan dalam subsistem konvensioanal

seperti dunia sekolah, pekerjaan, dan organisai di waktu

senggang, maka orang akan memperoleh macam-macam

hadiah dalam bentuk uang, pengakuan, penghargaan, dan

status bila (semua) berfungsi baik, hal mana tidak akan

diperoleh dengan perilaku devian. Juga, nafsu ingin dihormati

dan aspirasi, dalam arti bahwa di masa depan akan

memperoleh lebih banyak hadaih, mengutakan orang dalan

perilaku konformistis dan melakukan kriminalitas selalu lebih

riskan (berbahaya).

Page 42: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

3. Involvement, apabila orang makin aktif dalam berbagai

organisasi konvensional dan makin baik berfungsi di dalam

organisasi-organisasi itu, makin sedikit cenderung untuk

berprilaku devian. Idenya yaitu apabila orang terlibat dalam

aktivitas-aktivitas konformistis dan menghabiskan banyak waktu

dan energy (tenaga), orang begitu disibukkan sehingga hamper

tidak ada waktu untuk mempertimbangkan perilaku devian.

4. Beliefs, Hirschi berpendapat bahwa sistem norma dari

pergaulan hidup dianut oleh semua orang dalam pergaulan

hidup itu. Mendukung norma-norma itu adalah variabel, apabila

orang berpendapat bahwa ia tidak perlu menaati norma-norma

itu, orang itu cenderung akan melanggar norma-norma itu.

2. Teori Penyebab Kejahatan Dari Perspektif Lain

1. Teori Lingkungan

Tokoh terkemukanya ialah A. Lacassagne (1843-1924)

guru besar dalam ilmu kedokteran kehakiman. Lacassagne,

sebagaimana dikutip oleh Bonger, merumuskan ajarannya

sebagai berikut ”Yang terpenting adalah keadaan sosial

sekeliling kita.... Keadaan sosial sekeliling kita adalah suatu

pembenihan untuk kejahatan; kuman adalah si penjahat, suatu

unsur yang baru mempunyai arti apabila menemukan

pembenihan yang membuatnya berkembang.

Tokoh penting lainnya dari mashab Perancis adalah G.

Tarde (1843-1904), seorang ahli hukum dan sosiologi. Menurut

Page 43: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

pendapatnya kejahatan bukan suatu gejala yang antropologis

tapi sosiologis, yang seperti kejadian-kejadian masyarakat

lainnya dikuasai oleh peniruan.

Peniruan dalam masyarakat memang mempunyai

pengaruh yang besar sekali. Biarpun setiap kehidupan manusia

bersifat khas sekali, banyak orang dalam kebiasaan hidupnya

dan pendapatnya sangat mengikuti keadaan lingkungannya,

dimana mereka hidup.

2. Teori Labeling

Pada permulaan tahun enam puluhan, teori labeling mulai

mempersoalkan kejahatan dan penjahat dari suatu perspektif

yang lain, yang berbeda. Jika teori-teori sebelumnya terlalu

menekankan pada soal watak dan perilaku, maka yang ingin

dipersoalkan sekarang ialah bagaimana masyarakat bereaksi

terhadap devian. Tidaklah mengherankan kalau teori labeling ini

lalu dikenal dengan nama “societal reaction school”. Oleh

karena teori labeling ini tidak terlalu menekankan pada penjahat

“an sich”, maka teori ini menjadi dekat dengan mazhab klasik.

Dapatlah dikatakan juga, oleh karena teori labeling ini

merupakan semacam anak (offshot) dari “symbolic

interactionism”, maka apa yang dikemukakan pada dasarnya

bukanlah sesuatu yang baru. Meskipun ada perbedaan nuansa,

acapkali orang seakan-akan sulit membedakan teori labeling dari

teori interaksionis (J.E. Sahetapy, 2005:32).

Page 44: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Dari perspektif Howard S. Becker, kajian terhadap teori

labeling menekankan kepada dua aspek, yaitu :

1. Persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang

memperoleh cap atau label,

2. Pengaruh/efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku

berikutnya.

Dengan demikian, reaksi masyarakat terhadap suatu

perilaku dapat menimbulkan perilaku jahat. Kemudian Lemert,

terkait dengan masalah kejahatan yang dilakukan, membedakan

tiga bentuk penyimpangan, yaitu:

a. Individual deviation, dimana timbulnya penyimpangan

diakibatkan tekanan psikis dari dalam;

b. Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari

keadaan ;

c. Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan

terorganisir dalam sub-sub kultur atau sistem tingkah laku.

Persoalan labeling ini memperlakukan labeling sebagai

dependent variable atau variabel tidak bebas dan keberadaannya

memerlukan penjelasan. Labeling dalam arti ini adalah labeling

sebagai akibat dari reaksi masyarakat. Persoalan labeling kedua

(efek labeling) adalah bagaimana labeling mempengaruhi

seseorang yang terkena cap/label. Persoalan ini memperlakukan

labeling sebagai variabel yang independen atau variabel bebas

mempengaruhi. Dalam kaitan ini terdapat dua proses bagaimana

Page 45: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

labeling mempengaruhi seseorang yang terkena label/cap untuk

melakukan penyimpangan tingkah lakunya, yakni :

1. Cap/label tersebut menarik perhatian pengamat dan

mengakibatkan pengamat selalu memperhatikannya dan

kemudian seterusnya cap/label itu diberikan padanya oleh si

pengamat.

2. Label atau cap tersebut sudah diadopsi oleh seseorang dan

mempengaruhi dirinya sehingga ia mengakui dengan sendirinya

sebagaimana cap/label itu diberikan padanya oleh si pengamat.

Salah satu dari kedua proses diatas dapat memperbesar

penyimpangan tingkah laku (kejahatan) dan membentuk karir

kriminal seseorang. Seorang yang telah memperoleh cap/label

dengan sendirinya akan menjadi perhatian orang-orang di

sekitarnya. Selanjutnya, kewaspadaan atau perhatian orang-orang

di sekitarnya akan mempengaruhi orang dimaksud sehingga

kejahatan kedua dan selanjutnya akan mungkin terjadi lagi.

Dua konsep penting dalam teori labeling adalah Primary

deviance (penyimpangan primer) dan secondary deviance

(penyimpangan sekunder). Primary deviance ditujukan kepada

perbuatan penyimpangan tingkah laku awal, sedangkan secondary

deviance adalah berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari

pengalaman seseorang sebagai akibat dari penangkapan dan cap

sebagai penjahat. Sekali cap atau status ini dilekatkan pada

seseorang, maka sangat sulit orang yang bersangkutan untuk

Page 46: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

selanjutnya melepaskan diri dari cap dimaksud dan kemudian akan

mengidentifikasikan dirinya dengan cap yang telah diberikan

masyarakat terhadap dirinya.

Menurut Becker, harus dibedakan antara pelanggar hukum

dengan pelaku kejahatan. Pelanggaran hukum merupakan perilaku,

sedangkan kejahatan adalah reaksi kepada orang lain terhadap

perilaku itu. Pelabelan terhadap seseorang terjadi pada saat/waktu

ketika melakukan aksi, siapa yang melakukan dan siapa korbannya

serta persepsi masyarakat terhadap konsekuensi aksinya (Lilik

Mulyadi, 2007:103).

Apabila dijabarkan, scara umum asumsi dasar labeling

adalah sebagai berikut :

a. Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat

kriminal.

b. Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok nyang bersifat

dominan atau kelompok berkuasa.

c. Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk

kepentingan pihak yang berkuasa.

d. Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tapi

karena ditetapkan demikian oleh penguasa.

e. Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan,

sehingga tidak patut jika dibuat dua kategori yaitu kelompok

kriminal dan nonkriminal.

f. Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling.

Page 47: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

g. Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam sistem

peradilan pidana adalah fungsi dari pelaku/penjahat sebagai

lawan dari karakteristik pelanggarannya.

h. Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif

kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan

penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat.

Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan

identifikasi dengan citra sebagai deviant dan subkultur serta

menghasilkan rejection of the rejector.

3. Teori Konflik (Conflict Theory)

Teori konflik lebih jauh mempertanyakan proses pembuatan

hukum itu sendiri. Pertarungan (struggle) untuk kekuasaan

merupakan suatu gambaran dasar eksistensi manusia. Dalam arti

pertarungan kekuasaan bahwa berbagai kelompok kepentingan

berusaha mengontrol pembuatan dan penegakan hukum.

Conflict theory, sebagaimana labeling theory memiliki akarnya

dalam memberontak dan mempertanyakan tentang nilai-nilai. Tetapi

berbeda dengan pendekatan labeling maupun tardisional yang

terfokus pada kejahatan dan penjahat (termasuk labeling terhadap

pelaku oleh sistem), teori konflik ini mempertanyakan tradisional dan

labeling di satu sisi dengan teoretisi konflik pada sisi lain menjadi

bersifat ideologis. Para penganut teori konflik menentang pandangan

konsensus tentang asal lahirnya hukum pidana dan penegakannya

(Topo santoso, 2005:105).

Page 48: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Pada hakikatnya, asumsi dasar teori konflik berorientasi pada

aspek-aspek sebagai berikut (Lilik Mulyadi, 2007:105) :

a. Konflik merupakan hal yang bersifat alamiah dalam masyarakat;

b. Pada tiap tingkat, masyarakat cenderung mengalami perubahan

sehingga di setiap perubahab peranan kekuasaan terhadap

kelompok masyarakat lain terus terjadi;

c. Kompetisi untuk terjadinya perubahan selalu eksis;

d. Dalam kompetisi, penggunaan kekuasaan hukum dan

penegakan hukum selalu menjadi alat dan mempunyai peranan

penting dalam masyarakat.

Berdasarkan asumsi diatas, maka bentuk teori konflik dapat

dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

a. Konflik Konservatif

Bahwa konsep dasar dari Teori Konflik adalah kekuasaan

dan penggunaannya. Teori ini beranggapan bahwa konflik

terjadi diantara kelompok-kelompok yang mencoba

menggunakan kontrol atas suatu situasi. Teori konflik

mempunyai asumsi bahwa siapa yang memiliki kekuasaan lebih

tinggi dalam kelas sosial akan memiliki powerful members pada

masyarakat. Dengan kekuasaannya tersebut mereka dapat

mempengaruhi pembuatan keputusan, juga dapat memaksakan

nilai-nilai terhadap kelas sosial yang lebih rendah (Lilik Mulyadi,

2007:105).

Page 49: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

b. Konflik Radikal

Teori ini memposisikan diri dari anarki politik menyambung

Marxisme, dan materialisme ekonomis menuju perbedaan nilai.

Sangat sulit untuk menentukan pendekatan apa yang

digunakan. Para tokoh taeori ini adalah Camblis, Quinney,

Gordon Bohm, dan K. Mark. Marx melihat konflik dalam

masyarakat disebabkan adanya hak manusia atas sumber-

sumber tersebut, khususnya mengenai kekuasaan.

Ketidaksamaan ini tercipta karena konflik kepentingan antara

yang memiliki dan yang tidak memiliki kekuasaan. Menurut

kaum radikal, konflik dalam masyarakat ditentukan oleh

kelompok-kelompok, didasarkan atas kepentingan-kepentingan

mereka dan persepsi terhadap konflik, dan biasanya konflik

kepentingan tercipta dalam proses pembuatan hukum (Lilik

Mulyadi, 2007:109).

4. Konsep Sobural

Istilah sobural adalah akronim dari nilai-nilai sosial, aspek

budaya, dan faktor struktural dari suatu masyarakat tertentu. Untuk

memahami cara pendekatan Sobural perlu diketahui ada tiga

proposisi yang melandasi kerangka dan perspektif berpikir dari

Konsep Sobural. Ketiga proposisi ini tidak bertumpu secara terpisah

pada nilai-nilai sosial atau pada aspek budaya atau pada struktur

sosial suatu masyarakat tertentu. Lagipula ketiga komponen pada

akronim “sobural” tidak berada dalam keadaan kemandirian, tetapi

Page 50: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

mereka saling terkait, saling berinteraksi, sehingga seolah-olah

merupakan suatu keterpaduan secara holistik (J.E. Sahetapy,

2005:82).

Dari pemikiran teoritik kriminologi mengandung pemahaman

kita bahwa kejahatan adalah perilaku manusia dan bahwa norma

yang dilanggar dapat dilihat secara berbeda oleh orang (kelompok

orang) yang berbeda. Atau dapat dikatakan bahwa kejahatan adalah

perilaku penyimpangan sosial. Lalu bagaimana harus kita pahami

perilaku penyimpangan sosial ini. Salah satu faktor yang patut di

perhatikan dalam hal ini adalah masalah urbanisasi yang

perkembanganya banyak di pengaruhi oleh perkembangan industri

dan perdangangan. Kehidupan baru yang terjadi di daerah perkotaan

di bandingkan dengan daerah pedesaan di tandai antara lain dengan

adanya ketegangan dan benturan norma dan nilai yang lebih luas,

perobahan sosial yang cepat, mobilitas penduduk yang meningkat,

adanya penekanan yang lebih besar kepada kepentingan individu

dan penghargaan yang lebih tinggi kapada hal-hal yang bersifat

materi.

Dalam kehidupan sehari-hari memang sering menyatakan

celaan terhadap suatu perbuatan yang dianggap menyimpang dengan

menyatakan bahwa perilaku tersebut melanggar kebiasaan atau

melanggar adat atau malah melanggar peraturan namun apabila dikaji

kembali jarang ada kesepakatan yang jelas tentang norma apa yang

dilanggar, hal ini di sebabkan oleh dua hal yaitu:

Page 51: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

1. Harus disadari bahwa terdapat norma dan aturan yang berbeda

yang mengatur antar manusia dalam berbagai kelompok

masyarakat;

2. Hubungan antara penilai dengan pelanggar menentukan pula

apakah perilaku tersebut dipandang sebagai penyimpangan.

Suatu perbuatan hanya dapat dikatakan menyimpang apabila

dilakukan oleh seorang anggota kelompok melawan aturan dalam

kelompok bersangkutan. Atau dapat dikatakan bahwa hanya ada

penyimpangan bilamana ada norma atau aturan yang menguasai

perbuatan tersebut. Polisi harus mempunyai pengertian yang benar

dalam menghadapi pelanggaran hukum. Perlu disadari adakalanya

perilaku menyimpang mempunyai fungsi untuk perbaikan/

memperbaharui tatanan masyarakat:

a. Sebagai lampu peringatan untuk menunjukan bahwa suatu

kumpulan aturan sudah tidak efektif lagi sekarang.

b. Sebagai katup pengaman untuk mencegah akumulasi yang

berlebih dan perasaan tidak puas dalam masyarakat yang

bersangkutan.

Karena itu perlu kita perhatikan penyimpangan sosial

mempunyai fungsi dalam masyarakat. Bilamana dasar berfikir tentang

ini akan kita temukan bahwa perilaku menyimpang merupakan

perwujudan dari:

Page 52: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

a. Kepatutan dari aturan yang bersangkutan apakah baik (adil) cukup

baik atau tidak baik artinya penilaian terhadap bagaimana

seharusnya aturan yang mengatur perilaku yang bersangkutan.

b. Penilaian terhadap sah atau tidak sahnya aturan itu, artinya apakah

dikeluarakannya aturan yang bersangkutan dilakukan berdasarkan

kewenangan yang ada pada pembuat aturan.

Perkembangan kriminologi modern telah memperhatikan juga

korban kejahatan di samping fokusnya yang pertama adalah pelaku

kejahatan. Perhatian penegak hukum (Polisi dan penuntut umum) di

Indonesia juga mulai diarahkan pada Viktimologi.

D. Tinjauan Tentang Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Pada UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sulit untuk untuk

menemukan apa yang dimaksud dengan “pengguna narkotika”

sebagai subyek (orang), yang banyak ditemukan adalah penggunaan

(kata kerja). Menurut kamus bahasa Indonesia istilah “Pengguna”

adalah orang yang menggunakan, bila dikaitkan dengan pengertian

narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 35 tahun

2009 tentang Narkotika, maka dapat dikaitkan bahwa Pengguna

Narkotika adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal

dari tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-

Page 53: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

golongan sebagaimana terlampir dalam UU No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika.

Penggunaan istilah “pengguna narkotika” digunakan untuk

memudahkan dalam penyebutan bagi orang yang menggunakan

narkotika dan untuk membedakan dengan penanam, produsen,

penyalur, kurir dan pengedar narkotika. Walaupun penanam,

produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika kadang juga

menggunakan narkotika, pengguna narkotika adalah orang yang

menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri, bukan penanam,

produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika.

Bila dikaitkan dengan orang yang menggunakan narkotika,

dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dapat ditemukan

berbagai istilah antara lain:

a. Pecandu Narkotika sebagai orang yang menggunakan atau

menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan

pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis (Pasal 1 angka 13

UU No. 35 tahun 2009 Narkotika);

b. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa

hak atau melawan hukum (Pasal 1 angka 15 UU No. 35 tahun 2009

Narkotika);

c. Korban penyalahguna adalah seseorang yang tidak sengaja

menggunakan narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa,

dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika (Penjelasan Pasal

54 UU No. 35 tahun 2009 Narkotika) ;

Page 54: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

d. Pasien sebagai orang yang berdasarkan indikasi medis dapat

menggunakan, mendapatkan, memiliki, menyimpan dan membawa

narkotika golongan II dan golongan III dalam jumlah terbatas dan

sediaan tertentu;

e. Mantan Pecandu Narkotika adalah orang yang telah sembuh dari

ketergantungan terhadap narkotika secara fisik maupun psikis

(Penjelasan Pasal 58 UU Narkotika).

Keberagaman istilah untuk pengguna narkotika tersebut

berpotensi membingungkan dan dapat menimbulkan ketidakjelasan

baik dalam merumuskan berbagai ketentuan didalam UU Narkotika

maupun pada pelaksanaannya. Salah satu permasalahan akibat

banyaknya istilah adalah kerancuan pengaturan dimana Pasal 4 huruf

d UU Narkotika yang menyatakan “UU tentang Narkotika bertujuan :

Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi

penyalahguna dan pecandu narkotika”, namun dalam Pasal 54 UU

Narkotika menyebutkan “Pecandu Narkotika dan Korban

Penyalahguna Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial” dimana berdasarkan Pasal 54 hak penyalah guna

untuk mendapat rehabilitasi menjadi tidak diakui. Penyalah guna yang

awalnya mendapatkan jaminan rehabilitasi, pada Pasal 127 UU

Narkotika penyalah guna narkotika kemudian juga menjadi subyek

yang dapat dipidana dan kehilangan hak rehabilitasinya, kecuali dapat

dibuktikan atau terbukti sebagai korban narkotika.

Page 55: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Pembuktiaan penyalahguna narkotika merupakan korban

narkotika sebagaimana diatur dalam UU narkotika, merupakan suatu

hal yang sulit, karena harus melihat awal pengguna narkotika

menggunakan narkotika dan diperlukan pembuktiaan bahwa

penggunaan narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi

dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk

menggunakan narkotika.

E. Jenis dan Penggolongan Narkotika

Dari kata penyalahgunaan narkoba menandakan bahwa

narkoba tidak selalu bermakna negatif. Dengan begitu, narkotika dan

psokitropika yang digunakan dengan baik dan benar oleh dokter untuk

mengobati pasiennya tidak termasuk narkoba karena kata narkoba

hanya yang disalahgunakan. Di dalam dunia medis, narkoba diberi

nama NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Aditif Lainnya).

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, ”Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman

atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan”.

Istilah Narkotika yang dipergunakan disini bukanlah “narcotics”

pada Farmasi, melainkan sama artinya dengan “drug” yaitu sejenis zat

yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-

Page 56: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu (Taufik Makaro,

2005:17) :

a. Mempengaruhi kesadaran;

b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap

perilaku manusia;

c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa :

1) Penenang;

2) Perangsang (bukan rangsangan sex);

3) Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu

membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan

kesadaran akan waktu dan tempat).

Narkotika merupakan bagian dari Narkoba. Menurut batasan

WHO tahun 1969 bahwa, yang dimaksud dengan Narkoba adalah zat

kimia yang mampu mengubah pikiran, perasaan, fungsi mental, dan

perilaku seseorang menjadi tidak normal. Sedangkan yang dimaksud

dengan obat (drugs) adalah zat-zat yang apabila dimasukkan ke dalam

tubuh organisme yang hidup, maka akan mengadakan perubahan

pada satu atau lebih fungsi-fungsi organ tubuh.

Awalnya pada waktu dulu, telah disepakati bahwa narkoba

merupakan kependekan dari Narkotika dan Obat-Obat Berbahaya

(dalam penelitian ini, selanjutnya disebut Narkotika dan Psikotropika).

Kemudian disadari bahwa kepanjangan narkoba yang demikian itu

keliru, sebab istilah obat berbahaya dalam ilmu kedokteran adalah

obat-obatan yang tidak boleh diperjual-belikan secara bebas karena

Page 57: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

pemberiannya dapat membahayakan bila tidak melalui pertimbangan

medis, misalnya antibiotik, obat jantung, obat darah tinggi, dan

sebagainya. Semua obat tersebut adalah obat berbahaya tetapi bukan

termasuk narkoba. Jadi, kepanjangan narkoba yang tepat saat ini

adalah Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Adiktif Lainnya (Subagyo

Partodiharjol, 2003 : 10).

Secara etimologis narkotika berasal dari bahasa Inggris narcose

atau narcosis yang berarti menidurkan (John M. Echols dan Hassan

Sadily., 1996 : 390). Sedangkan narkotika dalam bahasa Yunani yaitu

narke atau narkam artinya terbius sehingga tidak merasakan apa-apa

(Sudarto, 2006:36).

Narkotika berasal dari kata narcotic artinya sesuatu yang dapat

menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek stufor

(bingung), bahan-bahan pembius dan obat bius (Jhon M. Echols dan

Hassan Sadily., 1996 : 390). Pengertian narkotika menurut Mardani

adalah obat atau zat yang dapat menenangkan syaraf, mengakibatkan

ketidaksadaran atau pembiusan, menghilangkan rasa sakit dan nyeri,

menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang, dapat menimbulkan

efek stufor, serta dapat menimbulkan adiksi atau kecanduan tanaman,

baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi

sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan

sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.

Page 58: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat.

Narkotika juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual

(kebiasaan) yang sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika ini yang

menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari

cengkeramannya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika, jenis-jenis narkotika dibagi ke dalam 3 (tiga)

kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III.

Narkotika golongan I adalah narkotika yang paling berbahaya,

karena daya adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh

digunakan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk tujuan penelitian

atau ilmu pengetahuan. Contohnya adalah ganja, heroin, kokain,

morfin, opium, dan lain-lain. Narkotika golongan II adalah narkotika

yang memiliki daya adiktif tinggi, berkhasiat pengobatan digunakan

sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau

untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan. Contohnya adalah

petidin, dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain.

Sedangkan narkotika golongan III adalah narkotika yang memiliki daya

adiktif ringan, berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam

terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan.

Contohnya adalah kodein, dan turunannya.

Berdasarkan cara pembuatannya, narkotika dibedakan ke

dalam 3 (tiga) golongan juga, yaitu narkotika alami, narkotika

semisintesis, dan narkotika sintesis. Dijelaskan sebagai berikut :

1. Narkotika alami

Page 59: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Narkotika alami adalah narkotika yang zat aditifnya diambil dari

tumbuh-tumbuhan (alam). Contohnya:

a. Candu

Berasal dari jenis tumbuh-tumbuhan yang dinamakan

Papaver Somniferum, nama lain dari candu selain opium adalah

madat, di Jepang disebut “ikkanshu”, di Cina dinamakan

“Japien”. Banyak ditemukan di negara-negara seperti Turki, Irak,

Iran, India, Mesir, Cina, Thailand, dan beberapa tempat lain.

Bagian yang dapat dipergunakan dari tanaman ini adalah

getahnya yang diambil dari buahnya, narkotika jenis candu atau

opium termasuk jenis depressants yang mempunyai pengaruh

hypnotics dan Tranglizers. Depressants yaitu merangsang

sistem saraf parasimpatis, dalam dunia kedokteran dipakai

sebagai pembunuh rasa sakit yang kuat.

b. Opium

Opium adalah bunga dengan bentuk dan warna yang

indah. Dari getah bunga opium dihasilkan candu (opiat). Di

Mesir dan daratan Cina, opium dahulu digunakan untuk

mengobati beberapa penyakit, memberi kekuatan atau

menghilangkan rasa sakit pada tentara yang terluka sewaktu

berperang atau berburu. Opium banyak tumbuh di ”segitiga

emas” antara Burma, Komboja dan Thailand, atau di daratan

Cina dan ”segitiga emas” Asia Tengah, yaitu daerah antara

Afganistan, Iran, dan Pakistan.

Page 60: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Dalam kalangan perdagangan Internasional, ada

kebiasaan (keliru) menamai daerah tempat penanaman opium

sebagai daerah ”emas”. Diberi nama demikian karena

perdagangan opiat sangat menguntungkan. Karena bahayanya

yang besar, daerah seperti itu keliru jika diberi nama predikat

emas. Daerah sumber produksi opiat sepantasnya disebut

”segitiga setan” atau ”segitiga iblis”.

Opium masak terdiri dari :

1) candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu

rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan,

pemanasan, dan peragian dengan atau tanpa penambahan

bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi

suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

2) Jicing, sisa-sisa dari candu setelah diisap, tanpa

memperhatikan pakah candu itu dicampur dengan daun atau

bahan lain.

3) Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

c. Ganja

Ganja adalah tanaman perdu dengan daun menyerupai

daun singkong yang tepinya bergerigi dan berbulu halus.

Jumlah jari daunnya selalu ganjil yakni 5, 7, 9. Ganja berasal

dari bunga dan daun-daun sejenis tumbuhan rumput bernama

cannabis Sativa. Sebutan lain dari ganja yaitu mariyuana,

sejenis dengan mariyuana adalah hasis yang dibuat dari damar

Page 61: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

daun cannabis sativa. Efek dari hasis lebih kuat daripada ganja.

Tumbuhan ini banyak tumbuh di beberapa daerah di Indonesia

seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Pulau Jawa

dan lain-lain. Daun ganja ini sering digunakan sebagai bumbu

penyedap masakan. Bila digunakan sebagai bumbu masak,

daya adiktifnya rendah. Namun, tidak demikian apabila dibakar

dan asapnya dihirup. Cara penyalahgunaannya adalah

dikeringkan dan dicampur dengan tembakau rokok atau

dijadikan rokok lalu dibakar serta dihisap.

d. Koka

Koka adalah tanaman perdu mirip pohon kopi. Tumbuh

sangat tinggi kira-kira 2 (dua) meter, buahnya berbentuk lonjong

berwarna kuning-merah atau merah saja apabila sudah

dimasak. Tanaman ini di Indonesia tumbuh di daerah Malang

atau Besuki Jawa Timur. Dalam komunitas masyarakat Indian

Kuno, biji koka sering digunakan untuk menambah kekuatan

orang yang berperang atau berburu binatang. Koka kemudian

bisa diolah menjadi kokain.

e. Hashis

Hashis adalah tanaman serupa ganja yang tumbuh di

Amerika Latin dan Eropa. Daun ganja, hasis, dan mariyuana

juga dapat disuling dan diambil sarinya. Dalam bentuk cair,

harganya sangat mahal. Gunanya adalah untuk disalahgunakan

oleh pemadat-pemadat kelas tinggi.

Page 62: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

2. Narkotika semisintesis

Narkotika semisintesis adalah narkotika alami yang diolah

dan diambil zat aktifnya (intisarinya) agar memiliki khasiat yang

lebih kuat sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

kedokteran. Contohnya:

a. Morphine:

Dipakai dalam dunia kedokteran untuk menghilangkan rasa

sakit atau pembiusan pada operasi (pembedahan);

b. codein:

Dipakai untuk obat penghilang batuk;

c. Heroin:

Tidak dipakai dalam pengobatan karena daya aditifnya

sangat besar dan manfaatnya secara medis belum ditemukan.

Dalam perdagangan gelap, heroin diberi nama putaw atau pete

atau pt. Bentuknya seperti tepung terigu yang halus putih, dan

agak kotor.

d. Kokain:

Hasil olahan dari biji koka.

3. Narkotika sintesis

Narkotika sintesis adalah narkotika palsu yang dibuat dari

bahan kimia. Narkotika ini digunakan untuk pembiusan dan

pengobatan bagi orang yang menderita ketergantungan.

Contohnya:

Page 63: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

a. Petidin: untuk obat bius lokal, operasi kecil, sunat dan

sebagainya;

b. Methadon: untuk pengobatan pecandu narkoba; dan

c. Naltrexon: untuk pengobatan pecandu narkoba.

Selain untuk pembiusan, narkotika sintesis biasanya

diberikan oleh dokter kepada penyalahguna narkoba untuk

menghentikan kebiasaannya yang tidak kuat melawan sugesti

(relaps) atau sakaw. Narkotika sintesis berfungsi sebagai

”pengganti sementara”. Bila sudah benar-benar bebas, asupan

narkoba sintesis ini dikurangi sedikit demi sedikit sampai akhirnya

berhenti total.

Pengertian Psikotropika di dalam Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika, tidak ditemukan. Hal tersebut

sehubungan dengan ketentuan di dalam Pasal 153 huruf b, yaitu,

”Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II

sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi

Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku”. Oleh karenanya dalam Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tidak ada lagi di dalam pasal-pasalnya yang

mengatur mengenai Psikotropika karena sudah dimasukkan ke

dalam golongan Narkotika.

Page 64: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

menentukan bahwa Psikotropika adalah zat atau obat bukan

narkotika, baik alamiah maupun sintesis, yang memiliki khasiat

psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat

yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan

perilaku. Psikotropika ini merupakan obat yang digunakan oleh

dokter untuk mengobati gangguan jiwa. Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, psikotropika

dikelompokkan ke dalam 4 (empat) golongan. Golongan I yaitu

psikotropika dengan daya aditif yang sangat kuat, belum diketahui

manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya saat

ini. Contohnya adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan STP. Golongan II

yakni psikotropika dengan daya aditif kuat serta berguna untuk

pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah amfetamin,

metamfetamin, metakualon, dan sebagainya. Golongan III yakni

psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna untuk

pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah lumibal,

buprenorsina, fleenitrazepam, dan sebagainya. Golongan IV yakni

psikotropika yang memiliki daya aditif ringan serta berguna untuk

pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah netrazepam (BK,

Mogadon, Dumolid), diazepam, dan lain-lain.

Psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai

berikut:

Page 65: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

1. Psikotropika golongan I yaitu psikotropika yang hanya dapat

digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak

digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat

mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya ekstasi,

shabu, LSD;

2. Psikotropika golongan II yakni psikotropika yang berkhasiat

pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan/atau tujuan

ilmu pengetahuan serta menpunyai potensi kuat

mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya

amfetamin, metilfenidat atau ritalin;

3. Psikotropika golongan III yaitu psikotropika yang berkhasiat

pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau

untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya

pentobarbital, Flunitrazepam; dan

4. Psikotropika golongan IV yaitu psikotropika yang berkhasiat

pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau

untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan

mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contohnya diazepam,

bromazepam, Fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide,

nitrazepam, seperti pil BK, pil Koplo, Rohip, Dum, MG.

Berdasarkan ilmu farmakologi, psikotropika dikelompokkan ke

dalam 3 (tiga) golongan yakni depresan, stimulan, dan halusinogen

sebagai berikut:

Page 66: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

1. Kelompok depresan/penekan syaraf pusat/penenang/obat tidur.

Contohnya adalah valium, BK, rohipnol, mogadon, dan lain-lain.

Jika diminum, obat ini dapat memberikan rasa tenang, mengantuk,

rasa tenteram, dan damai. Obat ini juga menghilangkan rasa takut

dan gelisah.

2. Kelompok stimulan/perangsang syaraf pusat/anti tidur. Contohnya

adalah amfetamin, ekstasi, dan shabu. Ekstasi berbentuk tablet

beraneka bentuk dan warna. Amfetamin berbentuk tablet berwarna

putih. Bila diminum obat ini mendatangkan rasa gembira, hilangnya

rasa permusuhan, hilangnya rasa marah, ingin selalu aktif, badan

terasa fit, dan tidak merasa lapar. Daya kerja otak menjadi serba

cepat, namun kurang terkendali. Shabu berbentuk tepung kristal

kasar berwarna putih bersih seperti garam.

3. Kelompok halusinogen. Halusinogen adalah obat zat, tanaman,

makanan, yang dapat menimbulkan khayalan contohnya yaitu LSD

(Lysergic Acid Diethyltamide), getah tanaman kaktus, kecubung,

jamur tertentu (misceline), dan ganja. Bila diminum spikotropika

jenis ini dapat menimbulkan khayalan tentang peristiwa-peristiwa

yang mengerikan, khayalan tentang kenikmatan seks, dan

sebagainya. Kenikmatan didapat oleh pemakai setelah pemakai

sadar bahwa peristiwa mengerikan itu bukan kenyataan, atau

karena kenikmatan-kenikmatan yang dialami, walaupun hanya

khayalan.

Page 67: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

F. Kerangka Pikir

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah

memberikan sanksi pidana yang cukup berat terhadap pelaku tidak

pidana narkotika. Namun demikian dalam kenyataannya para pelaku

kejahatan justru semakin meningkat, dan bagi para terpidana dalam

kenyataannya tidak jera dan justru ada kecenderungan untuk

mengulanginya lagi. Hal ini dapat tidak terlepas oleh adanya faktor

penjatuhan pidana yang tidak memberikan dampak atau deterrent

effect terhadap para pelakunya.

Berbicara mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat

dari cara penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem

penegakan hukum atau criminal law enforcement sebagai bagian dari

criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan. Dalam

penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana yakni

menggunakan penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana

non penal yaitu penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana

(penal).

Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran agar orang taat

kepada hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga

hal yakni: (1) takut berbuat dosa; (2) takut karena kekuasaan dari pihak

penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif; (3)

takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana

non penal mempunyai sasaran dan tujuan untuk kepentingan

internalisasi.

Page 68: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Keberadaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika merupakan suatu upaya politik hukum pemerintah Indonesia

terhadap penanggulangan tindak pidana narkotika. Dengan demikian,

diharapkan dengan dirumuskanya undang-undang tersebut dapat

menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika, serta

menjadi acuan dan pedoman kepada pengadilan dan para

penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan

undang-undang, khususnya hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana

terhadap kejahatan yang terjadi.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

menggunakan sarana penal (hukum Pidana) untuk menanggulangi

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dengan demikian,

diharapkan dengan digunakannya sarana penal (hukum pidana) untuk

menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan tindak pidana

narkotika mampu mencegah kejahatan yang terjadi khususnya di

Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Makassar.

Kelemahan atau kesalahan dalam penerapan kebijakan pidana

dapat dipandang sebagai kesalahan yang sangat strategis, karena hal

ini dapat menghambat penaggulangan kejahatan narkotika. Di

samping itu, kebijakan pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian

integral dari usaha perlindungan masyarakat (social defence) dan

usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).

Salah satu hal yang diharapkan dapat tercapai dalam kebijakan

pidana penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana narkotika

Page 69: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

adalah adanya efek jera dari para pelaku sehingga penanggulangan

tindak pidana narkotika dapat berjalan secara optimal. Oleh karena itu,

dalam menganalisis permasalahan tersebut calon peneliti

menggunakan teori criminal policy yang mengabungkan sarana penal

dan non penal dalam penangulangan tindak pidana narkotika, karena

dalam pandangan teori tersebut, bahwa penanggulangan suatu tindak

pidana hanya dapat berjalan secara optimal apabila dilakukan

pendekatan integral dengan menggabungkan antara sarana penal dan

non penal. Kedua sarana ini (penal dan non penal) merupakan suatu

pasangan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan, bahkan dapat

dikatakan keduanya saling melengkapi dalam usaha penanggulangan

kejahatan di masyarakat. Penegakan hukum dengan sarana penal

merupakan salah satu aspek saja dari usaha masyarakat

menanggulangi kejahatan. Disamping itu masih dikenal usaha

masyarakat menanggulangi kejahatan melalui sarana non penal yang

akan sangat menunjang penyelenggaraan peradilan pidana dalam

mencapai tujuannya.

Berdasarkan uraian pemikiran tersebut di atas, maka dalam penelitian ini

ditetapkan 2 (dua) variabel bebas (Independen Variabel) berikut indikatornya,

masing-masing sebagai berikut:

1. Penggolongan pelaku tindak pidana narkotika (X1), dengan indikator variabel:

Regulasi, peran pelaku, pengetahuan/ pemahaman hukum aparat;

Regulasi ditetapkan sebagai indikator variabel dalam mengkaji dan

menganalisis variable penggolongan pelaku, karena peneliti ingin melihat

apakah ketentuan peraturan perundang-undangan sudah memberikan dasar

regulasi yang tegas dan jelas mengenai penggolongan pelaku tindak pidana

narkotika.

Page 70: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Selanjutnya peran pelaku ditetapkan sebagai indikator variabel dalam

mengkaji dan menganalisis variable penggolongan pelaku, karena peneliti ingin

melihat bagaimana peran dan kedudukan pelaku dalam terjadinya suatu tindak

pidana narkotika.

Kemudian pengetahuan/pemahaman hukum aparat ditetapkan sebagai

indikator variabel dalam mengkaji dan menganalisis variable penggolongan

pelaku, karena peneliti ingin mengetahui sejauh mana pengetahuan dan

pemahaman hukum aparat penegak hukum dalam menangani pelaku tindak

pidana narkotika.

2. Faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana narkotika (X2), dengan

indikator variabel sebagai berikut: Aspek individu, Sosial budaya, ekonomi;

Faktor individu, social budaya, serta faktor ekonomi, peneliti jadikan

sebagai indikator variabel dalam mengkaji dan menganalisis variabel faktor yang

menyebabkan terjadinya tindak pidana narkotika, karena peneliti ingin

mengetahui bagaimana pengaruh aspek individu, sosial budaya, serta ekonomi

terhadap terjadinya suatu tindak pidana narkotika.

Apabila kedua variabel bebas tersebut di atas telah berfungsi sebagaimana

mestinya dengan meminimalisir faktor yang menyebabkan, maka akan terwujud

variabel terikat (Dependen Variabel), yaitu: optimalisasi penanggulangan tindak

pidana narkotika.

Untuk memperjelas kerangka pemikiran sebagaimana diuraikan di atas,

maka dapat diperhatikan skema atau bagan kerangka pikir (conceptual framework)

berikut ini:

Page 71: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

BAGAN KERANGKA PIKIR

Keterangan:

: Garis Hubungan;

: Variabel Bebas (Independen Variabel);

: Indikator Variabel;

: Variabel Terikat (Dependen Variabel).

X

Y

UU No. 35 / 2009 Tentang Narkotika

Tindak Pidana

Narkotika

Penggolongan pelaku Tindak Pidana Narkotika

(X1)

Regulasi

Peran pelaku

Pengetahuan/ pemahaman hukum aparat

Faktor yang menyebabkan Tindak Pidana Narkotika

(X2)

Optimalisasi Penangulangan Tindak Pidana Narkotika

(Y)

Aspek individu

Sosial budaya

Ekonomi

Page 72: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

G. DEFINISI OPERASIONAL

Pada penelitian ini, penulis menetapkan definisi operasional

adalah sebagai berikut:

1. Tindak pidana narkotika adalah keseluruhan tindak pidana

sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009

tentang Narkotika;

2. Penggolongan pelaku adalah penggolongan pelaku tindak pidana

narkotika sesuai peran dan perbuatannya yang melanggar

ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang RI

Nomor 35 Tahun 209 tentang Narkotika;

3. Regulasi adalah ketentuan peraturan perundang-undangan yang

mengatur mengenai tindak pidana narkotika;

4. Peran pelaku adalah adalah peran/kedudukan pelaku dalam suatu

tindak pidana narkotika serta dampak yang dapat ditimbulkan dari

peran/kedudukannya tersebut.

5. Pengetahuan/pemahaman hukum aparat adalah kemampuan dan

profesionalitas aparat penegak hukum (polisi, Jaksa, Hakim) dalam

menangani perkara sesuai dengan pengetahuan atau pemahaman

keilmuan yang dimilikinya, sehingga dapat menangani suatu

perkara tindak pidana narkotika secara tepat.

6. Faktor yang menyebabkan adalah faktor-faktor yang dapat

memengaruhi atau menyebabkan terjadinya tindak pidana

narkotika.

Page 73: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

7. Aspek individu adalah suatu aspek kepribadian dari pelaku

termasuk kondisi kejiwaan dari pelaku sehingga melakukan tindak

pidana narkotika.

8. Faktor sosial budaya adalah adalah kondisi social dan budaya serta

lingkungan dari pelaku tindak pidana narkotika;

9. Faktor ekonomi adalah kondisi ekonomi dan keluarga dari pelaku

tindak pidana narkotika;

10. Optimalisasi adalah upaya yang dilakukan sebagai bagian dari

proses untuk menghasilkan nilai tertinggi atau terbaik atau upaya

untuk menjadikan kondisi yang paling baik dalam penanggulangan

tindak pidana narkotika.

Page 74: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini berbentuk penelitian sosio-yuridis, selain

mengkaji hukum secara teoretik dan normatif yang lazim dikenal

dengan law in books, juga akan mengkaji hukum dalam

pelaksanaannya (law in action). Kesesuaian antara hukum dalam

perspektif normatif dan hukum dalam perspektif empiris merupakan

sebuah tuntutan realitas untuk mengefektifkan hukum dalam

kehidupan.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian mengenai Tindak Pidana Narkotika dilaksanakan di

Kota Makassar khususnya pada instansi Kantor Pengadilan Negeri

Makassar dan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa.

Pertimbangan penulis memilih lokasi penelitian tersebut

adalah karena Pengadilan Negeri Makassar merupakan Pengadilan

Negeri klas IA Khusus yang banyak menangani kasus tindak pidana

Narkotika dalam artian bahwa intensitas dan frekuensi penanganan

tindak pidana Narkotika cukup tinggi, dan Kota Makassar sebagai

lokasi penelitian memiliki posisi yang sangat strategis di wilayah

Indonesia Timur.

Sementara Kantor Lembaga Pemasyarakatan narkotika

Sungguminasa dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa narapidana

Narkotika di wilayah hukum Pengadilan Negeri Makassar ditempatkan

Page 75: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

di Lembaga Pemasyarakatan tersebut sehingga penulis dapat

memperoleh tanggapan/reaksi dari para narapidana tersebut

mengenai tindak pidana narkotika yang telah dilakukannya.

C. Populasi dan Sampel

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh

hakim pada Pengadilan Negeri Makassar dan seluruh narapidana

pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa.

Untuk memudahkan pengambilan sampel dari populasi

tersebut, maka dilakukanlah penarikan sampel dengan tekhnik Non

Probability Sampling dengan menggunakan Purposive sampling yaitu

berdasarkan kriteria dan pertimbangan tertentu, sehingga dipilih 113

orang sebagai sampel yang terdiri atas 3 orang hakim pada

Pengadilan Negeri makassar dan 110 orang narapidana pada

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa guna

mendapatkan informasi dan tanggapan mereka dalam penanganan

Tindak pidana narkotika.

Pertimbangan penulis menentukan sampel 3 orang hakim

pada Pengadilan Negeri Makassar dan 110 orang narapidana pada

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa karena penulis

menganggap bahwa sampel tersebut sudah merupakan representasi

dari keseluruhan populasi.

Page 76: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

D. Jenis dan Sumber data

Jenis dan sumber data yang digunakan sebagai dasar untuk

menunjang hasil penelitian ini adalah :

1. Data primer, berupa data yang langsung didapatkan dalam

penelitian dilapangan, yakni data yang diperoleh dari wawancara

dan kuisioner, yang terkait dengan pelaksanaan putusan perkara

tindak pidana narkotika.

2. Data sekunder, data yang diperlukan untuk melengkapi data

primer. Adapun data sekunder tersebut merupakan bahan-bahan

hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas dan juga

mengikat. Bahan hukum primer terdiri dari putusan-putusan

pengadilan, perundang-undangan, catatan-catatan resmi yang

terkait dengan pokok masalah dalam penelitian ini yaitu mengenai

perkara tindak pidana narkotika.

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

sebagai berikut :

1. wawancara dengan melakukan tanya jawab langsung dengan

informan yaitu Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang

diharapkan dapat memberikan penjelasan dan persepsi mengenai

penanganan tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

2. Kuisioner, yaitu pengumpulan data yang dilakukan berdasarkan

daftar pertanyaan secara tertulis yang ditujukan kepada responden

Page 77: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

yakni narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika

Sungguminasa.

3. Studi Dokumentasi yaitu untuk mengumpulkan data-data yang

berkaitan dengan penelitian ini.

F. Analisis Data

Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder

dianalisis dengan menggunakan tehnik analisis data kualitatif dan

tehnik analisis data kuantitatif. Analisis data Kualitatif yaitu

mendeskripsikan data yang diperoleh baik data primer mapun data

sekunder kemudian dianalisis dan diberi kesimpulan atau dengankata

lain disebut syllogisme. Sedangkan analisis data kuantitatif dilakukan

dengan menggunakan analisis statistik deskriptif persentase dengan

rumus :

f P = --------- X 100% N

Keterangan :

P = persentase.

f = frekuensi jawaban responden untuk setiap opsi.

N = jumlah responden.

100% = angka pembulat pengali.

Page 78: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penggolongan Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat segala tingkah

lakunya diatur oleh hukum, baik hukum adat di daerahnya maupun

hukum yang telah diciptakan pemerintah. Sebagai patokan hukum

dapat menciptakan ketertiban dan kedamaian dalam kehidupan

bermasyarakat. Tapi pada kenyataannya masih banyak masyarakat

yang berusaha melanggar hukum. Dalam hal hukum, tentunya kita

semua ingin mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang telah

dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial

maka mutlak diperlukan penegak hukum dan ketertiban secara

konsisten dan berkesinambungan.

Namun demikian, norma dan kaedah yang berlaku di

masyarakat saat ini sudah mulai tidak lagi dipatuhi dan dihormati

sehingga banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan.

Untuk itu masyarakat memerlukan hukum yang berfungsi sebagai

pengatur segala tindak tanduk manusia dalam masyarakat, oleh

karena itu,dalam menjalankan fungsi hukum itu pemerintah dapat

menggunakan menggunakan alat paksa yang lebih keras yaitu berupa

Page 79: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

sanksi. Sanksi merupakan suatu akibat yang timbul diberikan dari

reaksi atas suatu perbuatan, contohnya sanksi pidana yang dapat juga

diberikan terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang saat ini

merupakan hal yang perlu sekali mendapat perhatian khusus

mengingat dampak-dampak yang dapat ditimbulkan dari tindak pidana

narkotika tersebut.

Pelaku tindak pidana narkotika memiliki peran, kedudukan, dan

sanksi yang berbeda, baik berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang mengaturnya maupun berdasarkan peran dan

dampak yang dapat ditimbulkan dari perbutannya.

Penggolongan pelaku tindak pidana narkotika dapat dilihat dari

beberapa aspek, antara lain:

1. Regulasi

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa yang

dimaksudkan sebagai regulasi adalah ketentuan peraturan

perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana

narkotika, yang dalam hal ini adalah Undang-undang RI Nomor 35

Tahun 2009 yang telah diundangkan pada tanggal 12 Oktober

2009 serta ketentuan perundang-undangan lainnya yang berkaitan

dengan tindak pidana narkotika.

Ketentuan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika

dalam undang-undang RI Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 147.

Page 80: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Berdasarkan ketentuan pidana dalam Pasal-pasal tersebut,

maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Undang-undang RI

Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika, pelaku tindak pidana

narkotika secara umum dapat digolongkan atas:

a. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menanam,

memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau

menyediakan Narkotika atau Prekursor Narkotika,

sebagaimana diatur dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 117

dan Pasal 122 serta Pasal 129;

Istilah melawan hukum dalam hukum pidana dikenal

dengan istilah “wederrechtelijk” yang dapat ditafsirkan dalam

dua bentuk yakni “in strijd met het recht” (bertentangan dengan

hukum) dan “niet steuhend op het recht” (tidak berdasarkan

hukum) atau “zonder bevoegdheid” (tanpa hak). Pengertian

melawan hukum adalah juga termasuk di dalamnya pengertian

tanpa hak sehingga mengenai perbuatan tanpa hak dan

melawan hukum dapat ditujukan tidak hanya kepada satu

perbuatan yang bertentangan dengan hukum dalam pengertian

yang umum akan tetapi juga dapat ditujukan kepada adanya

suatu perbuatan yang dilakukan tanpa hak.

Sementara yang dimaksud “memiliki” adalah menguasai

barang dan orang yang menguasai barang tersebut bertindak

seolah-olah sebagai pemilik barang tersebut, kemudian

“menyimpan” maksudnya adalah menempatkan sesuatu

Page 81: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

ditempat yang aman, sedangkan “menyediakan” adalah

mempersiapkan sesuatu agar dapat berjalan dengan lancar;

b. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,

mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika,

sebagaimana diatur dalam Pasal 113, Pasal 118 dan Pasal

123, serta Pasal 129.

Berdasarkan Pasal 1 angka angka (3), (4) da (5),

bahwa yang dimaksud dengan Produksi adalah kegiatan atau

proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan

Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui

ekstraksi atau nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis

kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau

mengubah bentuk Narkotika. Sedangkan yang dimaksud

dengan Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan

Prekursor Narkotika ke dalam Daerah Pabean. Sementara

Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan Prekursor

Narkotika dari Daerah Pabean.

c. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk

dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam

jual beli, menukar, atau menyerahkan atau menerima

Narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 114, Pasal 119 an

Pasal 124, serta Pasal 129;

d. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum membawa,

mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika,

Page 82: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

sebagaimana diatur dalam Pasal 115, Pasal 120 dan Pasal

125, serta Pasal 129.

Berdasarkan Pasal 1 angka (9) da angka (12) bahwa

yang dimaksud dengan pengangkutan adalah setiap kegiatan

atau serangkaian kegiatan memindahkan Narkotika dari satu

tempat ke tempat lain dengan cara, moda, atau sarana

angkutan apapun. Sedangkan Transito Narkotika adalah

pengangkutan Narkotika dari suatu negara ke negara lain

dengan melalui dan singgah di wilayah Negara Republik

Indonesia yang terdapat kantor pabean dengan atau tanpa

berganti sarana angkutan.

e. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menggunakan

Narkotika terhadap orang lain atau memberikan Narkotika

untuk digunakan orang lain, sebagaimana diatur dalam Pasal

116, Pasal 121 dan Pasal 126.

f. Perbuatan penyalahguna narkotika bagi diri sendiri,

sebagaimana diatur dalam Pasal 127, yaitu orang yang

menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum

(Pasal 1 angka (15)). Sedangkan Pecandu Narkotika,

sebagaimana diatur dalam Pasal 128 dan Pasal 134, yaitu

orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika

dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik

secara fisik maupun psikis (Pasal 1 angka (13)).

Page 83: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

g. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak

pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dalam Pasal 111,

Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal

117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122,

Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129,

sebagaimana diatur dalam Pasal 132.

Berdasarkan Pasal 1 angka (18) bahwa yang dimaksud

dengan Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau

lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan,

melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh,

menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi

anggota suatu organisasi kejahatan Narkotika, atau

mengorganisasikan suatu tindak pidana Narkotika.

Penggolongan pelaku tindak pidana narkotika tersebut di

atas menunjukkan bahwa tiap perbuatan dan kedudukan pelaku

tindak pidana narkotika memiliki sanksi yang berbeda. Hal ini tidak

terlepas dari dampak yang dapat ditimbulkan dari perbuatan

pelaku tindak pidana narkotika tersebut.

2. Peran pelaku

Berdasarkan peran/kedudukan pelaku dalam suatu tindak

pidana narkotika serta dampak yang dapat ditimbulkan dari

peran/kedudukannya tersebut, maka pelaku tindak pidana

narkotika secara garis besar diklasifikasikan sebagai berikut:

Page 84: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

a. Sebagai pengguna, yaitu orang yang menggunakan atau

menyalahgunakan narkotika untuk diri sendiri ;

b. Sebagai pengedar, yaitu seseorang atau sekelompok orang

yang menyalurkan atau menyerahkan narkotika baik untuk

diperjualbelikan ataupun untuk pemindahtanganan kepada

orang lain ;

c. Sebagai produsen, yaitu orang atau koorporasi yang

menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika

secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau

nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau

gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk

Narkotika.

Walaupun dalam klasifikasi berdasarkan peran/kedudukan

pelaku tersebut di atas hanya terdiri atas tiga bentuk

penggolongan, namun dalam penerapannya dapat mengalami

perkembangan sesuai dengan unsur-unsur pasal yang terpenuhi

sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis di

lapangan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2008-

September 2011 pelaku tindak pidana narkotika di wilayah Hukum

Pengadilan Negeri Makassar masih di dominasi oleh pengguna,

sebagaimana diuraikan dalam tabel 1 berikut ini:

Page 85: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Tabel 1 Peran Pelaku Tindak Pidana Narkotika dalam wilayah Hukum

Pengadilan Negeri Makassar

Tahun Pengguna Pengedar Produsen Jumlah Kasus

2008 273 76,45% 37 11,94% - - 310

2009 252 76,83% 76 23,17% - - 328

2010 255 65,89% 132 34,11% - - 387

2011 183 50,83% 177 49,17% - - 360

Jumlah 963 69,53% 422 30,47% 0 0 1385

Sumber data : Pengadilan Negeri Makassar, 2011

Tabel 1 tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam kurun

waktu 2008 sampai dengan bulan September 2011 telah terjadi

1385 tindak pidana narkotika yang diproses di Pengadilan Negeri

Makassar, dimana sebanyak 963 atau 69,53 % dalam kedudukan

sebagai pengguna dan 422 atau 30,47 % sebagai

pengedar/perantara.

Pada Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, sulit untuk untuk menemukan apa yang dimaksud

dengan “pengguna narkotika” sebagai subyek (orang), yang banyak

ditemukan adalah penggunaan (kata kerja). Menurut kamus bahasa

Indonesia istilah “Pengguna” adalah orang yang menggunakan, bila

dikaitkan dengan pengertian narkotika sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika maka dapat dikatakan bahwa Pengguna Narkotika

adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari

Page 86: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya

rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-

golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika.

Menurut salah seorang Hakim Pengadilan Negeri Makassar:

Jan Manoppo, SH (wawancara, 18 Oktober 2011) bahwa

Penggunaan istilah “pengguna narkotika” digunakan untuk

memudahkan dalam penyebutan bagi orang yang menggunakan

narkotika dan untuk membedakan dengan penanam, produsen,

penyalur, kurir dan pengedar narkotika. Walaupun penanam,

produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika kadang juga

menggunakan narkotika, namun dalam hal ini yang penulis maksud

pengguna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika

untuk dirinya sendiri, bukan penanam, produsen, penyalur, kurir

dan pengedar narkotika.

Bila dikaitkan dengan dengan orang yang menggunakan

narkotika, dalam Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika dapat ditemukan berbagai istilah antara lain :

- Pecandu Narkotika sebagai orang yang menggunakan atau

menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan

ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis

Page 87: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

(Pasal 1 angka 13 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika);

- Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika

tanpa hak atau melawan hukum (Pasal 1 angka 15 Undang-

Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika);

- Korban penyalahguna adalah seseorang yang tidak sengaja

menggunakan narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu,

dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika

(Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika);

- Pasien sebagai orang yang berdasarkan indikasi medis dapat

menggunakan, mendapatkan, memiliki, menyimpan dan

membawa narkotika golongan II dan golongan III dalam jumlah

terbatas dan sediaan tertentu;

- Mantan Pecandu Narkotika adalah orang yang telah sembuh

dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik maupun

psikis (Penjelasan Pasal 58 Undang-Undang RI Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika)

Keberagaman istilah untuk pengguna narkotika tersebut

berpotensi membingungkan dan dapat menimbulkan ketidakjelasan

baik dalam merumuskan berbagai ketentuan didalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika maupun pada

pelaksanaannya.

Page 88: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Salah satu permasalahan akibat banyaknya istilah adalah

kerancuaan pengaturan dimana Pasal 4 huruf d Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan

“Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

bertujuan : Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan

sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika”, namun dalam

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

menyebutkan “Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna

Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”

dimana berdasarkan Pasal 54 hak penyalah guna untuk mendapat

rehabilitasi menjadi tidak diakui. Penyalah guna yang awalanya

mendapatkan jaminan rehabilitasi, pada Pasal 127 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika penyalah guna narkotika

kemudian juga menjadi subyek yang dapat dipidana dan

kehilangan hak rehabilitasinya, kecuali dapat dibuktikan atau

terbukti sebagai korban narkotika.

Pembuktian penyalahguna narkotika merupakan korban

narkotika sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang narkotika, merupakan suatu hal yang sulit,

karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan

narkotika dan diperlukan pembuktiaan bahwa penggunaan

narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk,

diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan

narkotika. Dalam implementasinya Mahkamah Agung RI

Page 89: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

mengeluarkan SEMA No. 04 Tahun 2010 Jo. SEMA No. 03 Tahun

2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di

dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang

menjadi pegangan Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan

Tinggi dalam memutus perkara narkotika.

Banyaknya istilah tersebut juga membingungkan aparat

penegak hukum dan masyarakat, dilapangan aparat penegak

hukum tidak memberikan hak orang yang positif menggunakan

narkotika untuk melaksanakan rehabilitasi, walaupun dalam UU RI

No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adanya jaminan rehabilitasi

bagi pecandu narkotika. Pengaturan wajib lapor bagi orang tua atau

wali dari pecandu narkotika, juga berimplikasi membingungkan bagi

orang tua atau wali, karena untuk menentukan apakah anaknya

pecandu atau bukan pecandu haruslah ditentukan oleh ahli dan

sangat sulit bila dilihat dari kacamata awam.

Perdebatan yang sering muncul dalam membahas Undang-

Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah

kedudukan Pengguna Narkotika apakah sebagai pelaku atau

sebagai korban, dan apa akibat hukumnya? Bila dilihat alasan yang

mengemuka dilakukannya pergantian Undang-Undang RI Nomor

35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah untuk mencegah dan

memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Antara Penyalahgunaan dan peredaran narkotika memang sulit

dipisahkan namun hal tersebut tidak dapat disamakan dan upaya

Page 90: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

penanggulangannya juga harus dibedakan. Hal tersebut selaras

dengan amanat tujuan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009

tentang narkotika yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan

“Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

bertujuan :

a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan

kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuaan dan

teknologi;

b. Mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia

dari penyalahgunaan narkotika;

c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekusor

narkotika; dan

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi

penyalah guna dan pecandu narkotika

Berdasarkan tujuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika tersebut dan melihat posisi pengguna narkotika

dapat dilihat pemberantasan narkotika ditujukan bagi peredaran

gelap narkotika. Sedangkan upaya pencegahan, perlindungan dan

penyelamatan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika,

sehingga perlu adanya pengaturan upaya rehabilitasi medis dan

sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika (pengguna

narkotika).

Page 91: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Tarik menarik apakah pengguna narkotika merupakan

korban atau pelaku sangat terasa dalam Pasal 127 Undang-

Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang

menyatakan :

(1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana

denganpidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan

pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan

pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Penyalahguna yang pada awalnya mendapatkan jaminan

rehabilitasi, namun, dengan memandang asas legalitas yang

diterapkan di Indonesia, maka dalam pelaksanaanya pengguna

narkotika harus menghadapi resiko ancaman pidana sebagaimana

diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika. Bila pengguna narkotika dianggap pelaku

kejahatan, maka yang menjadi pertanyaan kemudian adalah siapa

yang menjadi korban dari kejahatan yang dilakukan oleh pengguna

narkotika, karena dalam hukum pidana dikenal “tidak ada kejahatan

tanpa korban”, beberapa literature bahwa yang menjadi korban

karena dirinya sendiri (Crime without victims), dari persepektif

tanggung jawab korban, Self-victimizing victims adalah mereka

yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.

Page 92: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

3. Pengetahuan/pemahaman hukum aparat

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa yang

dimaksudkan dengan pengetahuan/pemahaman hukum aparat

dalam hal ini adalah kemampuan dan profesionalitas aparat

penegak hukum (polisi, Jaksa, Hakim) dalam menangani perkara

sesuai dengan pengetahuan atau pemahaman keilmuan yang

dimilikinya, sehingga dapat menangani suatu perkara tindak pidana

narkotika secara tepat.

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di

lapangan menunjukkan bahwa seringkali aparat penegak hukum

(Polisi, Jaksa, Hakim) kurang tepat dalam menerapkan suatu

ketentuan pidana dalam perkara tindak pidana narkotika, dimana

Jaksa Penuntut Umum dalam uraian dakwaannya dan bahkan

tuntutannya kadang menerapkan suatu ketentuan yang tidak sesuai

dengan peran pelaku sebagaimana yang terbukti di persidangan.

Hal ini diperparah lagi dengan tindakan Majelis Hakim yang

mengikuti tuntutan Jaksa penuntut Umum dengan mengabaikan

fakta-fakta yang terbukti di persidangan.

Salah satu perkara tindak pidana narkotika yang menurut

penulis penerapan hukumnya agak melenceng dari fakta hukum

mengenai peran pelaku sebagaimana terungkap di persidangan,

adalah perkara Nomor: 726/Pid.B/2011/PN.Mks, dimana peran

pelaku adalah membawa atau menguasai narkotika golongan I

jenis shabu-shabu, dimana terdakwa pada hari Kamis tanggal 03

Page 93: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Maret 2011 sekitar pukul 23.30 Wita bertempat di Jalan Mesjid

Raya Makassar ditangkap oleh saksi Briptu Feri dan saksi Briptu

Syamjoyo karena membawa narkotika jenis shabu-shabu, namun

Majelis Hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menggunakan

Narkotika” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal

127 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika dan menjatuhkan putusan berupa pidana penjara selam

1 (satu) tahun.

Adapun posisi kasus perkara tersebut adalah bahwa

terdakwa SUWARDIMAN YANTO Bin MANSYUR Als WARDI, pada

hari kamis tanggal 03 maret 2011 sekitar jam 23.30 wita bertempat

di jalan Mesjid Raya Makassar ditemukan membawa narkotika

golongan I, berupa Kristal bening dengan berat 0,1083 gram yang

mengandung metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I

Nomor urut 61 UU. RI. No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Hal

tersebut dilakukan terdakwa dengan cara dan keadaan sebagai

berikut:

- Berawal pada waktu yang disebutkan diatas Lk. ARWIN Bin

PETRUS sedang duduk-duduk dilorong jalan Sembilan sambil

ngobrol-ngobrol bersama teman-temannya.kemudian terdakwa

ditelpon oleh Lk. WARDI dan bertanya ‘lagi dimanako

ini”kemudian di jawab oleh Lk. ARWIN Bin PETRUS “dilorong

jalan Sembilan”, lalu Lk. ARWIN Bin PETRUS disuruh oleh

Page 94: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

terdakwa keluar ke mesjid jalan raya dan pada saat Lk.ARWIN

Bin PETRUS bertemu dengan terdakwa kemudian terdakwa

bertanya “ada kau tau dimana ada orang menjual shabu-shabu”.

Lalu Lk. ARWIN Bin PETRUS jawab “ya saya tau”kemudian

orang yang ingin membeli shabu-shabu tersebut memberikan

uang kepada terdakwa sebesar Rp. 500.000,-(lima ratus ribu

rupiah) kemudian uang tersebut diserahkan kepada Lk. ARWIN

Bin PETRUS, setelah Lk.ARWIN Bin PETRUS menerima uang

dari terdakwa kemudian Lk. ARWIN Bin PETRUS pergi

sendirian membeli shabu-shabu KEPADA Lk.ACO yang terletak

dijalan kerung-kerung Makassar dengan harga Rp. 500.000,-

(lima ratus ribu rupiah) perpaket, setelah Lk ARWIN Bin

PETRUS membeli shabu-shabu dijalan kerung-kerung

kemudian Lk ARWIN Bin PETRUS kembali ke jalan mesjid raya

dan menemui terdakwa kemudian Lk .ARWIN Bin PETRUS

menyuruh terdakwa untuk mengantar kembali Lk ARWIN Bin

PETRUS ke tempat di sebuah lorong yang terletak dijalan

Sembilan, setelah sampai dijalan Sembilan Lk.ARWIN Bin

PETRUS memberikan shabu-shabu kepada terdakwa, dan tidak

lama kemudian Lk.ARWIN Bin PETRUS mengantar terdakwa

kembali kejalan Mesjid Raya untuk menemui orang yang pesan

shabu-shabu tersebut berselang 5 menit datang polisi

menangkap terdakwa.

Page 95: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

- Berdasarkan hasil uji laboratorium Forensik Cabang Makassar

yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan Laboratoris

Krisminalistik No. Lab :248/KNF/III/2011 tanggal 10 maret 2011

dengan hasil pemeriksaan disimpulkan bahwa barang bukti

Kristal bening milik terdakwa adalah benar mengandung

metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I Nomor urut 61

Lampiran UU. RI. No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, urine

milik terdakwa tidak mengandung metamfetamina yang terdaftar

dalam golongan I nomot urut 61 Lampiran UU. RI. NO. 35 tahun

2009 tentang narkotika.

Perbuatan terdakwa tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum

didakwa berdasarkan dakwaan yang disusun secara alternatif yaitu:

- Dakwaan Kesatu : Melanggar Pasal 114 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ;

Atau

- Dakwaan Kedua : Melanggar Pasal 112 ayat (1) huruf a

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ;

Atau

- Dakwaan ketiga : melanggar pasal 127 ayat (1) huruf a

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ;

Atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut, Majelis

Hakim menyatakan bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang

terungkap di persidangan Majelis Hakim akan menilik dakwaan

yang ketiga, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 127 ayat (1)

Page 96: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

huruf a Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

karena pasal tersebut dipandang oleh Majelis Hakim yang paling

mendekati/paling tepat dengan perbuatan Terdakwa, sehingga

terdakwa dinyatakan terbukti sebagai ”menyalahgunakana

narkotika golongan I bagi diri sendiri”.

Padahal berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-

Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa yang

dimaksud sebgai penyalahguna adalah orang yang menggunakan

narkotika tanpa hak dan melawan hukum. Oleh karena itu

seseorang yang dapat dikategorikan sebagai penyalahguna

narkotika adalah orang yang menggunakan secara tanpa hak atau

melawan hukum, dalam arti bahwa narkotika tersebut berada dalam

kekuasaannya adalah sah tetapi kemudian menggunakannya untk

diri sendiri secara melawan hukum. Misalnya seorang Jaksa yang

menyimpan barang bukti narkotika kemudian menggunakan barang

bukti narkotika tersebut atau seorang dokter yang seharusnya

menggunakan narkotika tersebut untuk pasien, tapi ternyata

disalahgunakan untuk diri sendiri.

Apabila seseorang yang kemudian tertangkap beberapa saat

sebelum menggunakan narkotika tersebut, kemudian karena pelaku

tindak pidana tersebut mengaku akan digunakan sendiri dan

berdasarkan hasil laboratorium forensik ternyata pelaku tersebut

adalah positif pernah menggunakan dan selanjutnya Majelis Hakim

menyatakan bahwa pelaku tersebut adalah penyalahguna

Page 97: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 Undang-Undang RI

Nomor 35 Tahun 2009, menurut penulis adalah tidak tepat, karena

pada saat ditemukan tersebut adalah sementara menguasai atau

memiliki sebagaimana diatur dalam Pasal 111, 112, 117, 122 dan

129, yaitu Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memiliki,

menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika atau

Prekursor Narkotika.

Bahkan seseorang yang ditangkap setelah atau pada saat

sedang menggunakan narkotika pun dapat dipidana sebagai

perbuatan memiliki atau menguasai, kecuali apabila pelaku tindak

pidana narkotika tersebut sementara terikat dan orang lain yang

memasukkan dalam mulut pelaku, maka pelaku tidak dapat

dikategorikan sebagai menguasai.

Namun dalam perkara Nomor 726/Pid.B/2011/PN.Mks

tersebut diatas, berdasarkan fakta-fakta hukum yang terbukti di

persidangan yaitu:

- Bahwa pada hari Kamis tanggal 03 Maret 2011 sekitar pukul

23.30 Wita bertempat di Jalan Mesjid Raya, Terdakwa ditangkap

oleh saksi Briptu Feri dan saksi Briptu Syamjoyo karena

membawa narkotika jenis shabu-shabu ;

- Bahwa saat Terdakwa turun dari motornya di Jalan Mesjid Raya

Briptu Feri dan Briptu Syamjoyo langsung memeriksa Terdakwa

dan akhirnya Briptu Feri menemukan shabu-shabu sebanyak 1

paket yang Terdakwa simpan di tangan kanannya ;

Page 98: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

- Bahwa barang berupa 1 (satu) sachet narkotika berjenis shabu-

shabu tersebut didapatkan terdakwa dengan cara memberi

Erwin uang sebanyak Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan

menyuruh dia membelikan Terdakwa shabu-shabu pada

temannya yang bernama Aco di Jalan Kerung-Kerung, namun

kepemilikan atau penguasaan Terdakwa atas shabu-shabu

tersebut tanpa dilengkapi surat izin dari pihak yang berwenang

dan bukan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan pengobatan;

- Bahwa barang bukti berupa 1 (satu) sachet shabu tersebut untuk

dikonsumsi sendiri oleh Terdakwa;

- Bahwa berdasarkan hasil laboratories kriminalistik bahwa barang

bukti kristal bening milik Terdakwa adalah benar mengandung

metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I Nomor Urut 61

lampiran UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika;

Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, kemudian Majelis

Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa oleh

karena dakwaan disusun secara alternatif, maka berdasarkan fakta-

fakta hukum yang terungkap di persidangan Majelis Hakim akan

menilik dakwaan yang ketiga, sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika karena pasal tersebut dipandang oleh Majelis

Hakim yang paling mendekati/paling tepat dengan perbuatan

Terdakwa, yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

Page 99: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

1. Unsur “Setiap orang” : Menimbang, bahwa yang dimaksud unsur Setiap orang

dcalam pasal ini adalah sama dengan unsur Barangsiapa yang terkandung dalam KUHP, sehingga mengandung arti bahwa setiap orang atau barangsiapa adalah sebagai subyek hukum/pelaku dari suatu tindak pidana yang mampu bertanggung jawab menurut hukum. Subyek hukum dalam hukum pidana adalah siapa saja pelaku perbuatan pidana yang kepadanya dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatannya menurut hukum yang berlaku ;

Menimbang, bahwa unsur Barang Siapa yang menyangkut posisi selaku subyek hukum yang merupakan pendukung hak dan kewajiban, yaitu siapa saja yang dalam hal ini adalah SUWARDIMAN YANTO BIN MANSYUR ALIAS WARDI, yang identitasnya sebagaimana tersebut dalam Surat Dakwaan, kepadanya Majelis Hakim berpendapat bahwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan/ tindakan serta kesalahannya;

Menimbang, bahwa dengan demikian unsur setiap orang tersebut telah terpenuhi dengan sempurna;

Ad. 2 Unsur “Menyalahgunakan Narkotika golongan I bagi diri sendiri” :

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan menyalahgunakan adalah menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Tanpa hak artinya bahwa Narkotika berada dalam penguasaan seseorang atau badan hukum yang tidak memiliki izin dari pihak yang berwenang. Dimana penguasaan terhadap Narkotika haruslah mendapatkan persetujuan atau seijin dari pihak yang berwenang yakni Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum adalah penguasaan Narkotika tersebut melanggar ketentuan Undang-Undang;

Menimbang, bahwa hanya badan hukum yang ditunjuk oleh undang-undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang dapat menyimpan dan menggunakan obat-obatan tersebut seperti Industri Farmasi, pedagang besar Farmasi, Sarana Penyimpanan sediaan Farmasi Pemerintah, Apotik, Rumah Sakit, Pusat Kesehatan Masyarakat, Balai Pengobatan, Dokter dan lembaga ilmu pengetahuan. Badan hukum ini wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya, dengan kata lain bahwa penguasaan Narkotika tidak dibenarkan atau disimpan oleh seseorang yang bukan merupakan badan hukum atau tanpa izin dari pihak yang berwenang;

Menimbang, bahwa narkotika jenis shabu-shabu merupakan narkotika golongan I yaitu narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi dan dalam jumlah terbatas

Page 100: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Narkotika golongan I dapat digunakan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan ;

Menimbang, bahwa Narkotika golongan I ini mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan sehingga sering disalahgunakan oleh manusia, maka dari itu peredarannya diatur dalam suatu aturan sehingga tidak disalahgunakan oleh manusia;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan pada hari Kamis tanggal 03 Maret 2011 sekitar pukul 23.30 Wita bertempat di Jalan Mesjid Raya, Terdakwa ditangkap oleh saksi Briptu Feri dan saksi Briptu Syamjoyo karena membawa narkotika jenis shabu-shabu ;

Menimbang, bahwa saat Terdakwa turun dari motornya di Jalan Mesjid Raya Angota Kepolisian (Briptu Feri dan Briptu Syamjoyo) langsung memeriksa Terdakwa dan akhirnya Briptu Feri menemukan shabu-shabu sebanyak 1 paket yang Terdakwa simpan di tangan kanannya ;

Menimbang, bahwa barang berupa 1 (satu) sachet narkotika berjenis shabu-shabu tersebut didapatkan terdakwa dengan cara memberi Erwin uang sebanyak Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan menyuruh dia membelikan Terdakwa shabu-shabu pada temannya yang bernama Aco di Jalan Kerung-Kerung, namun kepemilikan atau penguasaan Terdakwa atas shabu-shabu tersebut tanpa dilengkapi surat izin dari pihak yang berwenang dan bukan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan pengobatan ;

Menimbang, bahwa barang bukti berupa 1 (satu) sachet shabu tersebut dibeli untuk dikonsumsi sendiri oleh Terdakwa ;

Menimbang, bahwa berdasarkan hasil laboratories kriminalistik bahwa barang bukti kristal bening milik Terdakwa adalah benar mengandung metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I Nomor Urut 61 lampiran UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika;

Menimbang, bahwa dengan demikian unsur “Menyalahgunakan Narkotika golongan I bagi diri sendiri” telah terpenuhi ;

Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari tindak

pidana yang didakwakan dalam dakwaan alternatif kedua telah dipenuhi, maka Terdakwa SUWARDIMAN YANTO BIN MANSYUR ALIAS WARDI, dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana “Menyalahgunakan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri”;

Menimbang, bahwa dari fakta hukum yang diperoleh selama persidangan dalam perkara ini tidak terdapat hal-hal yang dapat dijadikan alasan sebagai alasan pemaaf dan pembenar, dimana

Page 101: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

menurut pengamatan Majelis Hakim, Terdakwa sehat jasmani dan rohani, sehingga menurut hukum Terdakwa dinilai cakap atau mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya; Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa telah dinyatakan bersalah, maka Terdakwa tersebut patut dipidana yang setimpal dengan kesalahannya; Menimbang, bahwa pemidanaan bukan merupakan tindakan pembalasan melainkan merupakan pelajaran untuk mendidik agar Terdakwa menyadari kesalahannya dan akhirnya Terdakwa akan merasa jera untuk melakukan tindak pidana; Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa ditahan, maka lamanya masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa ditahan, maka memerintahkan agar tetap berada dalam tahanan;

Menimbang, bahwa barang bukti yang diajukan di persidangan berupa : 1 (satu) sachet narkotika berjenis shabu-shabu seberat 0,1083 gram, karena dimiliki Terdakwa tidak dilengkapi atau tanpa ijin dari pejabat yang berwenang artinya kepemilikan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang, maka barang bukti tersebut harus dirampas untuk dimusnahkan ;

Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, maka berdasar Pasal 222 KUHAP, Terdakwa harus dibebani untuk membayar biaya perkara yang besarnya akan disebutkan nanti dalam amar putusan ini;

Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pidana terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa yang terurai sebagai berikut : Hal-hal yang memberatkan : - Tindak Pidana itu sendiri; - Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah

dalam memberantas Narkoba; Hal-hal yang meringankan : - Bahwa Terdakwa berprilaku sopan di persidangan dan

mengakui perbuatannya sehingga memperlancar jalannya persidangan ;

- Bahwa Terdakwa belum pernah dihukum ; - Bahwa Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga ;

Mengingat dan memperhatikan pasal- pasal dari Undang-undang yang bersangkutan khususnya pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009, dan Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP serta ketentuan-ketentuan hukum lain yang berkaitan dengan perkara ini;

M E N G A D I L I

1. Menyatakan Terdakwa SUWARDIMAN YANTO BIN MANSYUR ALIAS WARDI, dengan identitas sebagaimana tersebut diatas

Page 102: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menggunakan Narkotika” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun ;

3. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan;

4. Memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan; 5. Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) sachet narkotika

berjenis shabu-shabu seberat 0,1083 gram, dirampas untuk dimusnahkan ;

6. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah);

Pertimbangan Hakim tersebut di atas menunjukkan bahwa

pengetahuan dan pemahaman hukum aparat penegak hukum yang

kurang menguasai mengenai ketentuan dalam Undang-Undang

Narkotika, akan sangat mempengaruhi penggolongan pelaku tindak

pidana narkotika sebagaimana tertuang dalam putusan hakim,

yang pada akhirnya akan mengacaukan pendapat masyarakat

mengenai kedudukan dan hukuman seorang pelaku tindak pidana

narkotika.

Menurut salah seorang Hakim Pengadilan Negeri Makassar:

Suprayogi, SH (wawancara, 19 Oktober 2011) bahwa istilah

“penyalahguna” narkotika dalam Pasal 127 adalah dimaksudkan

untuk menjerat “pengguna narkotika” yaitu setiap orang yang

terbukti sebagai pengguna, meskipun pada saat ditangkap tersebut

telah selesai menggunakan atau barang tersebut baru akan

digunakan, asalkan telah terbukti berdasarkan hasil laboratorium

Page 103: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

kriminalistik/forensik bahwa pelaku adalah positif menggunakan

narkotika.

Lebih lanjut menurut Suprayogi, SH, bahwa pelaku tindak

pidana narkotika yang menggunakan meskipun sebelumnya

menguasai narkotika tersebut, adalah dipidana sebagai

penyalahguna karena penyalahguna yang dimaksudkan dalam

Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika adalah

setiap orang pelaku tindak pidana narkotika selain produsen,

penanam, penyalur, kurir dan pengedar narkotika.

Pengguna Narkotika yang masih mendapatkan narkotika

secara melawan hukum, maka terdapat beberapa perbuatan yang

dilakukan pengguna narkotika tersebut yakni membeli, menguasai,

menyimpan, atau memiliki yang akhirnya dipergunakan sendiri.

Menurut salah seorang Hakim Pengadilan Negeri Makassar:

Frangki Tambuwun, SH, MH (wawancara, 19 Oktober 2011)

bahwa Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika tidak memberikan pembedaan / garis yang jelas antara

delik pidana dalam Pasal 127 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika dengan delik pidana lain yang terdapat

dalam Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, dimana pengguna narkotika yang mendapatkan

narkotika secara melawan hukum pastilah memenuhi unsur

“menguasai”, “memiliki”, “menyimpan”, atau “membeli” narkotika

dimana hal tersebut juga diatur sebagai suatu tindak pidana

Page 104: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

tersendiri dalam Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika.

Selain itu, dalam prakteknya aparat penegak hukum

mengaitkan antara delik pidana pengguna narkotika dengan delik

pidana penguasaan, pemilikan, penyimpanan atau pembeliaan

narkotika secara tanpa hak dan melawan hukum dimana ancaman

hukumannya menjadi lebih dari 5 tahun penjara dan dibeberapa

kententuan melebihi 9 tahun penjara, sehingga berdasarkan Pasal

21 ayat (4) huruf a KUHAP Pengguna narkotika dapat ditahan, dan

bila dikenakan ketentuan pidana yang ancamannya melebihi 9

(Sembilan) tahun maka berdasarkan Pasal 29 KUHAP masa

tahanan dapat ditambahkan sampai 60 (enam puluh) hari.

Selain terancam sanksi pidana sebagaimana diatur dalam

Pasal 127 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang

narkotika, pengguna narkotika juga dapat dikenakan berbagai

ketentuan pemidanaan lain dalam Undang-Undang RI Nomor 35

Tahun 2009 tentang narkotika selama terpenuhinya unsur

“menguasai”, “memiliki”, “menyimpan”, atau “membeli” Narkotika

secara tanpa hak dan melawan hukum dimana memiliki sanksi

pidana yang lebih tinggi dan tidak ada pilihan bagi hakim untuk

menjatuhkan putusan rehabilitasi tanpa adanya putusan penjara

karena ada batas minimal pemidanaan dalam delik tersebut.

Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika

tidak memberikan batasan/daluwarsa yang jelas atas tindak pidana

Page 105: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

yang dapat dikenakan bagi pengguna narkotika. Bagi mantan

pengguna narkotika yang kemudian menceritakan pengalamannya

menggunakan narkotika dihadapan orang banyak dan Pengguna

narkotika yang sedang menjalani proses rehabilitasi atas kemauaan

sendiri (bukan berdasarkan putusan hakim) bisa dikenakan pidana

atas pebuatan yang telah lampau (membeli, menggunakan,

menguasai atau menyimpan narkotika tanpa hak dan melawan

hukum) berpeluang sewaktu-waktu dapat dikenakan hukuman.

Permasalahan tersebut karena adanya ketentuan mengenai

batas waktu dalam hukum pidana bagi pelaku tindak pidana

sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1) KUHP yang

menyebutkan :

”Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: Ke-1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan

dengan percetakan, sesudah satu tahun; Ke-2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan denda,

kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;

Ke-3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;

Ke-4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun;

Tidak diaturnya pengecualian jangka waktu terhadap

pengguna narkotika yang sedang atau sudah dalam tahap mantan

pengguna narkotika mengakibatkan aparat penegak hukum yang

menentukan pengguna sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO)

akan melakukan pengawasan terhadap pengguna narkotika

dimana tidak tertutup dilakukan ditempat-tempat rehabilitasi.

Sehingga menjadi suatu hal yang sangat wajar bila banyak

Page 106: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

ditemukan tempat-tempat rehabilitasi banyak ditemukan atau

diawasi oleh aparat penegak hukum (penyidik) baik dengan

menggunakan baju dinas maupun tidak menggunakan baju dinas.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Tindak

Pidana Narkotika

Narkotika adalah sejenis zat kimia atau obat yang sangat

dibutuhkan untuk kepentingan medis dan ilmu pengetahuan. Namun di

sisi lain narkotika sering digunakan di luar kepentingan medis dan ilmu

pengetahuan, yang pada akhirnya akan menjadi suatu bahaya bagi si

pemakai, yang pada akhirnya juga dapat menjadi pengaruh pada

tatanan kehidupan sosial masyarakat, bangsa dan negara.

Hampir setiap negara di dunia menyatakan perang terhadap

penyalahgunaan narkotika, dan menganggapnya sebagai suatu

kejahatan berat, terutama bagi penanaman bibit, memproduksi,

meracik secara ilegal, dan para pengedar gelap.

Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia sekarang ini

dirasakan gawat. Sebagai negara kepulauan yang mempunyai letak

strategis, baik ditinjau dari segi ekonomi, sosial, dan politik dalam

dunia internasional, Indonesia telah ikut berpatisipasi menanggulangi

kejahatan tindak pidana narkotika, yaitu dengan diundangkannya

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Undang-

undang ini merupakan undang-undang yang baru menggantikan

undang-undang yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997

Page 107: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

tentang Psikotropika karena seiring dengan bertambahnya waktu

dirasakan tidak sesuai lagi dengan kemajuan teknologi dan

perkembangan tindak pidana narkotika yang semakin meningkat dan

bervariasi motif tindak pidana dan pelakunya, dilihat dari cara

menanam, memproduksi, menjual, memasok dan mengkonsumsinya

serta dari kalangan mana pelaku tindak pidana narkotika tersebut,

karena tidak sedikit yang melakukannya adalah dari kalangan anak-

anak dan remaja yang merupakan generasi penerus bangsa.

Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009, setiap

pelaku penyalahgunaan narkotika dapat dikenakan sanksi pidana,

yang berarti penyalahguna narkotika dapat disebut sebagai pelaku

perbuatan pidana narkotika.

Harus disadari bahwa masalah tindak pidana narkotika adalah

suatu problema yang sangat komplek, oleh karena itu diperlukan

upaya dan dukungan dari semua pihak agar dapat mencapai tujuan

yang diharapkan, karena pelaksanaan undang-undang tersebut,

semuanya sangat tergantung pada partisipasi semua pihak baik

pemerintah, aparat keamanan, keluarga, lingkungan maupun guru di

sekolah, sebab hal tersebut tidak dapat hilang dengan sendirinya

meskipun telah dikeluarkan undang-undang yang disertai dengan

sanksi yang keras.

Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan sumber daya

manusia Indonesia perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang

pengobatan dan pelayanan kesehatan, termasuk dengan

Page 108: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat

dibutuhkan sebagai obat dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu agar

penggunaan narkotika tidak disalahgunakan haruslah dilakukan

pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama menurut

undang-undang yang berlaku. Permasalahan narkotika dipandang

sebagai hal yang gawat, dan bersifat internasional yang dilakukan

dengan modus operandi dan teknologi yang canggih. Mengimpor,

mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan dan

menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang

ketat, serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku adalah kejahatan dan merupakan bahaya yang sangat

besar bagi kehidupan manusia dan masyarakat, bangsa dan negara

serta Keutuhan Nasional Indonesia.

Hal ini merupakan tindakan subversi yang merupakan

rongrongan yang dilakukan oleh pelaku perbuatan pidana narkotika

terhadap bangsa dan negaranya sendiri tanpa disadari, terutama

generasi muda, akibatnya menjadi bangsa yang lemah baik fisik

maupun psikisnya. Untuk itu dalam hukum Nasional Indonesia telah

mengatur segala yang berhubungan dengan narkotika dalam suatu

Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

telah mengatur tentang ketentuan pidana bagi siapa saja yang dapat

dikenakan pidana beserta denda yang harus ditanggung oleh

penyalahguna narkotika atau dapat disebut sebagai pelaku perbuatan

Page 109: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

pidana narkotika. Masyarakat awam banyak yang mengira bahwa

hukuman yang dijatuhkan pada pelaku perbuatan pidana narkotika itu

sama. Padahal dalam undang-undang narkotika sendiri telah

membedakan pelaku perbuatan pidana narkotika beserta sanksi yang

berbeda pula. Dalam penyalahgunaan narkotika, tidak hanya pemakai

saja yang dapat dikenakan pidana, tetapi termasuk percobaan atau

pemufakatan jahat serta Setiap orang yang menyuruh, memberi atau

menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan,

memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa

dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak

yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika.

Pengaturan narkotika berdasarkan undang-undang nomor 35

tahun 2009 bertujuan untuk menjamin ketersedian guna kepentingan

kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan

narkotika, serta pemberantasan peredaran gelap narkotika.

Penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah sampai

ketingkat yang sangat mengkhawatirkan, fakta dilapangan

menunjukan bahwa telah ada LAPAS (lembaga pemasyarakatan)

yang khusus menampung narapidana terkait tindak pidana narkotika.

Berita kriminal di media masa, baik media cetak maupun elektronik

dipenuhi oleh berita penyalahgunaan narkotika. Korbannya meluas

kesemua lapisan masyarakat dari pelajar, mahasiswa, artis, ibu rumah

tangga, pedagang , supir angkot, anak jalanan, pejabat dan lain

Page 110: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

sebagainya. Narkoba dengan mudahnya dapat diracik sendiri, bahkan

pabrik narkoba secara ilegalpun sudah didapati di Indonesia.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah

banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak

mendapatkan putusan hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum

ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya

peredaran perdagangan narkoba atau narkotika, tapi dalam kenyataan

justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin

meningkat pula peredaran perdagangan narkotika tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis,

menunjukkan bahwa tindak pidana narkotika dari tahun ke tahun

semakin berkembang baik secara kualitas maupun kuantitas tindak

pidananya, sebagaimana diuraikan dalam table 2 berikut ini:

Tabel 2 Jumlah perkara Tindak Pidana Narkotika dalam wilayah Hukum

Pengadilan Negeri Makassar

No

Tahun

Jumlah Perkara Tindak Pidana

Perkara Tindak Pidana Narkotika

Jumlah Persentase

1 2008 1633 310 18,98 %

2 2009 2138 328 15,34 %

3 2010 1892 387 20,45 %

4 2011 1437 360 25,05 %

Jumlah 7100 1385 19,51 %

Sumber : Pengadilan Negeri Makassar, 2011

Tabel 2 tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam kurun

waktu 2008 sampai dengan bulan September 2011 dalam wilayah

Page 111: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

hukum Pengadilan Negeri Makassar terjadi tindak pidana sebanyak

7100 dan sebanyak 1385 atau 19,51 % perkara tindak pidana

narkotika.

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa ternyata dengan

berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sejak bulan

Oktober tahun 2009 menggantikan undang-undang yang lama yaitu

UU RI No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UU RI No. 5 Tahun

1997 tentang Psikotropika, sama sekali tidak mengurangi kualitas dan

kuantitas tindak pidana narkotika. Padahal Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 lebih berat sanksi pidananya dan penguraian pasalnya

tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana

narkotika, sehingga penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan

melawan hukum” dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika dengan tidak memperdulikan unsur

kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya

tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika, baik

karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan.

Selain itu, dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika menganut sistem pidana minimal. Penggunaan

sistem pidana minimal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika memperkuat asumsi bahwa undang-undang

tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang

berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal juga

akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam

Page 112: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana

minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung.

Bahkan dalam undang-undang tersebut melakukan kriminalisasi Bagi

orang tua dan masyarakat, dimana undang-undang tersebut

memberikan ancaman hukuman pidana (6 bulan kurungan) bagi

orang tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang

menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun

unsur ’kesengajaan tidak melapor’ tersebut harus dibuktikan terlebih

dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak

mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga

menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika.

Undang-undang ini memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun

bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika.

Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan karena biasanya

pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang ditangkap ketika berkumpul

dengan para pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat

dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan suatu

tindak pidana narkotika. Pasal ini juga mengancam para pihak yang

mendampingi komunitas pecandu narkotika.

Selain itu, persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak

pidana selesai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana

selesai dengan pelaku tidak pidana percobaan. Tindak Pidana

Page 113: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki

efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana

tersebut terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut tidak selesai,

sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tidak pidana

percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan.

Tindak pidana narkoba atau narkotika berdasarkan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan sanksi

pidana cukup berat, di samping dapat dikenakan hukuman badan dan

juga dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataanya tindak pidana

Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang

semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan

korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan

generasi muda pada umumnya.

Pada umumnya secara keseluruhan faktor-faktor yang

menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana narkotika dapat

dibedakan atas faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

merupakan faktor yang bersal dari dalam diri sendiri, sedangkan

faktor eksternal merupakan merupakan faktor yang berasal dari luar

diri pelaku.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang Hakim

Pengadilan Negeri Makassar: Jan Manoppo (wawancara, 14

November 2011), bahwa faktor- faktor yang menyebabkan seseorang

terlibat dalam tindak pidana narkotika adalah bersifat kasuistis, yaitu

antara satu kasus dengan kasus lainnya berbeda karena perbedaaan

Page 114: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

latar belakang si pelaku. Namun dari kebanyakan kasus yang pernah

ditangani dalam wilayah Hukum Pengadilan Negeri Makassar

menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku terlibat sebagai pelaku

tindak pidana narkotika adalah karena ingin coba-coba.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis

kepada narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika

Sungguminasa, menunjukkan bahwa terjadinya tindak pidana

narkotika dapat disebabkan oleh beberapa aspek, terutama aspek

individu, sosial bidaya, maupun ekonomi.

Berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara lepas dengan

beberapa Narapidana narkotika pada tanggal 10 November 2011 di

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa, diperoleh data

bahwa secara umum terjadinya tindak pidana narkotika disebabkan

oleh factor internal dan factor eksternal.

1. Faktor Internal

Faktor internal sebagai faktor yang berasal dari dalam

diri si pelaku berupa faktor individu yang terdiri dari aspek

kepribadian dan kecemasan/depresi. Yang termasuk dalam

aspek kepribadian antara lain kepribadian ingin tahu, mudah

kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang

termasuk dalam kecemasan /depresi adalah karena tidak

mampu menyelesaikan kesulitan hidup sehingga melarikan diri

ke dalam penggunaan narkotika.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa

Page 115: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

faktor internal tersebut dipengaruhi oleh umur, pendidikan serta

agama dari pelaku, sebagaimana diuraikan dalam tabel 3

berikut ini:

Tabel 3 Umur Pelaku Penyalahguna Narkotika

Umur (tahun) Frekuensi Persentase

(100 %)

Di bawah 18 7 6,36

19 – 30 54 49,09

31 ke atas 49 44,55

Jumlah 110 100

Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011

Berdasarkan data pada tabel 3 tersebut di atas,

menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana Narkotika di Kota

Makassar pada umumnya yang berumur 19-30 tahun yang

mencapai 49,09 %, sedangkan yang berumur di bawah 18

tahun 6,36 % dan 31 tahun ke atas 44,55 %. Hal ini terjadi

karena umur 19 - 30 tahun ini umumnya telah bekerja dan

mempunyai penghasilan tetap sehingga mereka mempunyai

kemampuan secara finansial untuk membeli narkotika berupa

ganja yang harganya tergolong mahal. Sementara yang

berumur di bawah 18 tahun secara finansial masih bergantung

pada orang tua atau walinya, sedangkan yang berumur 31

tahun ke atas pada umumnya telah berfikir secara matang dan

mempunyai tanggungan keluarga yang memerlukan biaya dan

perhatian.

Page 116: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa pada

umumnya penyalahguna narkotika bukan lagi usia sekolah

(remaja) melainkan sudah berusia dewasa dalam arti sudah

dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk. Oleh

karena itu menurut hemat peneliti, keterlibatan seseorang pada

penyalahgunaan narkotika juga dipengaruhi oleh faktor usia

pelaku.

Selain faktor usia, maka faktor agama juga mempengaruhi

aspek individu/kepribadian seseorang sehingga melakukan tindak

pidana narkotika, sebagaimana diuraikan dalam table 4 berikut ini:

Tabel 4 Ketaatan Beragama Pelaku Penyalahguna Narkotika

Ketaatan Frekuensi Persentase

(100 %)

T a a Terdakwa 36 32,73

Kurang taat 33 30

Tidak taat 41 37,27

Jumlah 110 100

Sumber: Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011

Terjadinya tingkah laku menyimpang atau tingkah laku

yang dapat digolongkan sebagai kejahatan adalah akibat tidak

taatnya seseorang pada norma-norma agama yang dianutnya,

ketaatan para pelaku penyalahguna narkotika hanya 32,73 %,

sedang tidak taat 37,27 % dan kurang taat 30 %.

Seseorang yang menghayati dan mengamalkan ajaran

agama yang dianutnya, dapat membentuk karakter yang

Page 117: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

mendorong seseorang untuk senantiasa bertingkah laku yang

baik atau mencegah untuk tidak melakukan perbuatan yang

menyimpang.

Selain itu ternyata tingkat pendidikan juga memengaruhi

terjadinya tindak pidana narkotika, sebagaimana diuraikan dalam

table 5 berikut ini:

Tabel 5 Pendidikan Pelaku Penyalahguna Narkotika

Pendidikan Frekuensi Persentase

(100 %)

SD 15 13,64

SMP 9 8,18

SMU 61 55,45

Akademi/Universitas 25 22,73

Jumlah 110 100

Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011

Pendidikan penyalahguna narkotika lebih banyak yang

tamatan SMU atau 55,45 %, kemudian yang berpendidikan

SMP 8,18 % dan SD 13,64 %, sedangkan yang berpendidikan

perguruan tinggi 22,73 %. Hal ini menunjukkan bahwa pada

umumnva penyalahguna narkotika di Kota Makassar

berpendidikan SMU. Oleh karena itu menurut peneliti ternyata

tingkat pendidikan berpengaruh bagi penyalahguna narkotika.

Hal ini sesuai dengan teori assosiasi differensial dari

Sutherland (Romli Atmasasmita,1992 : 24-25) bahwa tingkah

laku kriminal itu dipelajari.

Page 118: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari

luar diri responden yang dalam penelitian ini dibagi atas faktor

social bidaya dan faktor ekonomi.

Sesuai dengan pendapat A. Lacassagne bahwa sebab

musabab terjadinya kejahatan yang paling utama ialah

lingkungan sosial. Lingkungan soaial yang buruk merupakan

persemaian yang subur timbulnya suatu kejahatan.

Faktor sosial budaya dapat terdiri atas kondisi keluarga da

pengaruh teman. Kondisi keluarga dalam hal ini merupakan kondisi

yang disharmonis, seperti orang tua yang bercerai, orang tua yang

sibuk dan jarang di rumah, serta perekonomian keluarga yang

serba berlebihan maupun serba kekurangan. Sedangkan yang

termasuk dalam pengaruh teman, misalnya karena berteman

dengan seseorang yang ternyata pemakai narkotika dan ingin

diterima dalam suatu kelompok.

Faktor lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya tindak

pidana narkotika, misalnya karena adanya perkumpulan

anak/remaja yang menyalahgunakan narkotika, tindakan yang tidak

jelas dari sekolah apabila ada anak yang terlibat dalam tindak

pidana narkotika, sehingga dapat mempengaruhi anak yang lain

serta lingkungan tempat tinggal anak yang tidak memberikan

perilaku yang baik.

Page 119: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Berdasarkan hasil wawancara lepas penulis kepada

beberapa narapidana narkotika Makassar, menunjukkan bahwa

mereka melakukan tindak pidana narkotika dengan beberapa

alasan, antara lain:

- Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-

tindakan yang berbahaya seperti ngebut, berkelahi, bergaul

dengan wanita, dan lain-lain;

- Untuk iseng-iseng dan didorong rasa ingin tahu;

- Untuk menunjukkan tindakan menentang otoritas terhadap

orang tua, guru, atau terhadap norma-norma social;

- Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seks;

- Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh

pengalaman sensasional dan emosional;

- Untuk mencari dan menemukan arti dari hidup;

- Untuk mengisi kekosongan dan kesepian/kebosanan;

- Untuk menghilangkan kegelisahan, frustasi, dan kepenatan

hidup;

- Untuk mengikuti kemauan teman-teman dalam rangka

pembinaaan solidaritas;

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan menunjukkan bahwa

lingkungan pekerjaan juga sangat mempengaruhi terjadinya tindak

pidana narkotika, sebagaimana diuraikan dalam tabel 6 berikut ini:

Page 120: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Tabel 6 Pekerjaan Pelaku Tindak pidana Narkotika

Pekerjaan Frekuensi Persentase

(100 %)

Pegawai Negeri 21 19,10

Wiraswasta/Karyawan 34 30,91

Pelajar 25 22,72

Tidak bekerja 30 27,27

Jumlah 110 100

Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011

Data pada tabel 6 menunjukkan bahwa pada umumnya

pelaku delik penyalahgunaan narkotika (30,91 %) bekerja

sebagai wiraswasta/karyawan, kemudian pelajar 22,72 % dan

yang tidak bekerja 27,27 %. Status pekerjaan responden

ternyata mempunyai hubungan yang erat dengan

penyalahgunaan narkotika. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil

penelitian yang menunjukkan bahwa 50,01 % (PNS &

Wiraswasta) penyalahguna narkotika telah mempunyai

pekerjaan atau mempunyai penghasilan sendiri, sedangkan

pelajar dan yang tidak berkerja hanya 49,99 % karena mereka

tidak mempunyai penghasilan sendiri atau masih tergantung

pada orang lain.

Keadaan social ekonomi keluarga juga sangat

mempengaruhi terjadinya tindak pidana narkotika sebagaimana

diuraikan dalam tabel 7 berikut ini:

Page 121: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Tabel 7 Keadaan Sosial Ekonomi Keluarga

Penyalahguna Narkotika

Keadaan Sosial Ekonomi Frekuensi Persentase

(110 %)

Keluarga mampu/kaya 28 25,46

Keluarga menengah 30 27,27

Keluarga kurang mampu 52 47,27

Jumlah 110 100

Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011

Data tersebut menunjukkan bahwa keadaan ekonomi

keluarga penyalahguna narkotika pada umumnya berasal dari

keluarga menengah yang mencapai 27,27 %, keluarga kurang

mampu 47,27 % sedangkan keluarga mampu/kaya hanya 25,46

%. Tingginya jumlah keluarga menengah yang

menyalahgunakan narkotika disebabkan karena harga

narkotika yaitu ganja tergolong mahal antara Rp 25.000.sampai

dengan Rp 40.000.- satu sampel (satu gulungan kecil), begitu

pula heroin harganya mencapai Rp 70.000.- satu paket kecil

sehingga hanya dapat dijangkau oleh kelas menengah ke atas

yang mempunyai daya beli. Sedangkan keterlibatan pelaku

yang kurang mampu disebabkan karena menerima pemberian

atau diajak oleh pelaku yang mampu secara ekonomi.

Untuk lebih jelasnya mengenai pengaruh tingkat

penghasilan terhadap terjadinya tindak pidana narkotika dapat

dilihat dari tabel 8 berikut ini :

Page 122: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Tabel 8 Penghasilan Perbulan Pelaku Penyalahguna Narkotika

Penghasilan Perbulan Frekuensi Persentase

(100 %)

Tidak berpenghasilan 23 20,91

Di bawah Rp 500.000,- 22 20

Rp 500.000,- - 1.500.000,-

28 25,45

Di atas Rp 1.500.000,- 37 33,64

Jumlah 110 100

Sumber: Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011

Penghasilan pelaku delik penyalahgunaan narkotika

berkaitan erat dengan besar kecilnya penghasilan seseorang untuk

mengukur pengaruhnya terhadap kecenderungan untuk

melakukan penyimpangan. Data pada tabel 8 menunjukkan

bahwa pada umumnya pelaku delik penyalahgunaan narkotika

(33,64 %) mempunyai penghasilan di atas Rp 1.500.000.- Hal ini

dapat dipahami bahwa penyalahgunaan narkotika memang

berkaitan erat dengan kemampuan seseorang secara finansial

untuk membeli narkotika yang harganya tergolong mahal.

Sedangkan keterlibatan 23 orang yang tidak mempunyai

penghasilan sesuai data dalam berkas perkara disebabkan

karena mereka hanya diajak teman yang mempunyai narkotika.

Karyawan di lingkungan kerja pelaku adalah komunitas

masyarakat kecil yang mempunyai karakteristik budaya dan

kebiasaan tersendiri. Interaksi antara karyawan di lingkungan

kerja cenderung mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku

Page 123: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

bagi setiap orang yang bergabung di dalamnya.

Lingkungan masyarakat sebagai unit lingkungan yang lebih

luas setelah lingkungan rumah tangga/keluarga merupakan faktor

eksternal yang mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap

karakter dan tingkah laku seseorang.

Lingkungan masyarakat merupakan unit yang lebih luas sebagai

area pergaulan seseorang dengan corak yang beraneka ragam.

Lingkungan masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting

terhadap pembentukan sikap dan perilaku bagi setiap anggota

masyarakat dan merupakan salah satu faktor eksternal yang turut

berpengaruh terhadap terjadinya delik penyalahgunaan narkotika. Hasil

penelitian mengenai lingkungan pergaulan di masyarakat disajikan

dalam bentuk tabel 9 berikut ini:

Tabel 9 Ruang Lingkup Pergaulan dalam Masyarakat

Lingkup Pergaulan Frekuensi Persentase

(100 %)

Bergaul dengan Siapa saja 34 30,90

Selektif memilih teman 24 21,82

Hanya dengan teman kerja 27 24,55

Suka menyendiri 25 22,73

Jumlah 110 100

Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011

Data pada tabel 9 menunjukkan bahwa pada

umumnya pelaku delik penyalahgunaan narkotika (30,90%)

senantiasa bergaul dengan siapa saja. hal ini cenderung

Page 124: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

melakukan perbuatan menyimpang karena dalam pergaulan ia

tidak selektif memilih teman ketika ketemu dengan kelompok

masyarakat yang kerap menyalahgunakan narkotika maka pada

akhirnya ia akan terjerumus juga.

Waktu luang tanpa pemanfaatan yang positif dapat

menimbulkan kerawanan terjadinya kejahatan antara lain

penyalahgunaan narkotika, hal ini merupakan kenyataan bahwa

seseorang melakukan kejahatan karena adanya kesempatan yang

tercipta.

Data tentang dampak waktu luang yang dimiliki oleh

seseorang dihubungkan dengan peluang terjadinya

penyalahgunaan narkotika, sebagaimana diuraikan dalam tabel 10

berikut ini:

Tabel 10 Waktu Luang Pelaku pada Hari Kerja

Waktu Luang Pelaku pada Hari Kerja

Frekuensi Persentase

(100 %)

Sepanjang hari tidak kerja 23 25,56

Cukup waktu luang 26 28,89

Kurang waktu luang 21 23,33

Tidak ada waktu luang 20 22,22

Jumlah 90 100

Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011

Tersedianya waktu luang tanpa dimanfaatkan secara benar

dapat menimbulkan dampak negatif yaitu melakukan kejahatan

yang salah satunya menyalahgunakan narkotika. Data pada tabel

Page 125: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

10 menunjukkan bahwa umumnya responden mempunyai waktu

luang yaitu sebanyak 28,89 %, sedangkan sepanjang hari tidak

kerja 25,56 % dan yang mempunyai kurang waktu luang 23,33 %.

Data ini menunjukkan bahwa pada umumnya pelaku

penyalahgunaan narkotika mempunyai cukup waktu luang pada

hari kerja bahkan ada yang sepanjang hari tidak kerja.

Data ini penting dalam upaya pencegahan untuk melakukan

kejahatan yaitu dengan mengisi waktu luang dengan kegiatan

yang bermanfaat, misalnya kegiatan olah raga dan seni, kegiatan

sosial dan berbagai kegiatan pengembangan minat dan bakat. Tujuan

pemanfaatan waktu luang ini ialah untuk menciptakan kesibukan

sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi waktu untuk melakukan

penyalahgunaan narkotika. Seseorang yang tidak mempunyai

kegiatan atau pekerjaan sepanjang hari berpotensi untuk

memanfaatkan waktu luang tersebut pada kegiatan yang

menyimpang, sebagaimana data yang diuraikan dalam tabel 11

berikut ini:

Tabel 11 Kegiatan Pengisi Waktu Luang Pelaku

Kegiatan Pengisi Waktu Luang Frekuansi Persentase (100 %)

Ke diskotik/billiard 29 26,36

Pergi tanpa tujuan 13 11,82

Olah raga/seni/kegiatan sosial 15 13,64

Tinggal di rumah menyendiri 23 20,91

Page 126: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Mengikuti kegiatan keagamaan 12 10,91

Kumpul dengan teman-teman 18 16,36

Jumlah 110 100

Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011

Kegiatan pengisi waktu luang pelaku pada saat libur atau

tidak bekerja sesuai tabel 11 menunjukkan bahwa pada umumnya

pelaku atau 26,36 % dalam mengisi waktu luangnya pergi ke

diskotik, bar atau main billyar, kemudian 16,36 % kumpul dengan

teman-temannya, sedangkan yang pergi tanpa tujuan 11,82 %

dan tinggal di rumah menyendiri 20,91 %. Dari tabel 18 ini dapat

disimpulkan bahwa kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu

luang pelaku umumnya pada kegiatan yang kurang bermanfaat

yaitu pergi ke diskotik, bar atau main billiar.

Adapun sumber para pelaku tindak pidana narkotika

mendapatkan narkotika, diuraikan dalam tabel 12 berikut ini:

Tabel 12 Sumber Pertama Kali Pelaku Memperoleh Narkotika

Sumber Pertama Kali Memperoleh Narkotika

Frekuensi Persentase

(100 %)

Teman Kelompok 51 46,36

Pengedar/Penjual 28 25,45

Apotek/Dokter/Perawat 16 14,55

Anggota Keluarga 15 13,64

Jumlah 110 100

Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011

Page 127: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Sesuai tabel 12 di atas menunjukka bahwa pelaku pada

umumnya memperoleh narkotika untuk pertama kalinya dari

teman atau kelompok sepergaulan yang mencapai 46,36 % atau

51 pelaku. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh pergaulan

dengan teman-teman yang dipilih secara tidak selektif sangat

berpotensi menjerumuskan seseorang untuk menyalahgunakan

narkotika karena alasan solidaritas atau kebersamaan.

Dengan demikian faktor lingkungan pergaulan masih

menjadi dominan dalam penyalahgunaan narkotika sesuai dengan

teori assosiasi differensial bahwa kejahatan itu terjadi karena

dipelajari melalui komunikasi dalam pergaulan dekat dengan

penjahat.

Adapun tempat pertama kali mepeoleh narkotika, diuraikan

dalam tabel 13 berikut ini:

Tabel 13 Tempat Pertama Kali Pelaku Memperoleh Narkotika

Tempat Pertama Kali Pelaku Memperoleh

Narkotika Frekuensi

Persentase (100 %)

Sekolah - -

Tempat Kerja 18 16,36

Diskotik/Bar/Bilyar 44 40

Tempat Umum 15 13,64

Dalam Perkumpulan 33 30

Jumlah 110 100

Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011

Page 128: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Tempat pertama kali pelaku memperoleh narkotika sesuai

dengan tabel 13 adalah bervariasi yaitu, di diskotik/bar/billiar 40

% atau 44 kasus dan tempat kerja mencapai 16,36 % atau 18

kasus kemudian sekolah 0 % dan tempat umum 13,64 % atau 15

kasus. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan orang untuk

memperoleh narkotika dilakukan di tempat pelaku sering bertemu

dengan teman-temannya yaitu di diskotik, bar atau tempat billiar,

termasuk pula tempat kerja.

Sementara alasan para pelaku tindak pidana narkotika

melakukan tindak pidana narkotika diuraikan dalam tabel 14 berikut

ini:

Tabel 14 Alasan Pelaku Menyalahgunakan Narkotika

Alasan Pelaku Frekuensi Persentase

(100 %)

Rasa ingin tahu 36 32,73

Menghilangkan stress/rasa cemas

21 19,09

Mencari penghasilan 27 24,54

Mencari Kepuasan 26 23,64

Jumlah 110 100

Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011

Sesuai data pada tabel 14 menunjukkan bahwa pada

umumnya atau 32,37% pelaku menyalahgunakan narkotika

berawal dari rasa ingin tahu yang kemudian meningkat menjadi

ketergantungan. Selanjutnya 24,54 % pelaku terlibat karena

mencari penghasilan dan karena mencari kepuasan atau

Page 129: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

kenikmatan 23,64 %, selebihnya yaitu 19,09 % untuk

menghilangkan stress.

Berdasarkan urain tersebut di atas menunjukan bahwa

terjadinya tindak pidana narkotika tidak terlepas dari:

- Dasar agama yang lemah

Pendidikan agama sangat dominan untuk melindungi

anak terhadap pengaruh dari luar., karena setiap ajaran agama

apapun melarang umatnya untuk melakukan perbuatan yang

meruak diri sendiri dan juga orang lain. Dasar agama yang

ditanam sejak kecil akan menjadi perisai bagi diri anak untuk

menola sesuatu yang merusak akhlak, tetapi anak yang tidak

pernah mendapatkan pendidikan agama sangat rawan dalam

melakukan perbuatan criminal termasuk sebagai pelaku tindak

pidana narkotika.

- Komunikasi orang tua dan anak yang terbatas

Dalam kehidupan berkeluarga apabila terjadi kevakuman

dalam berkomunikasi, maka anak akan berusaha mencari jalan

keluar dengan menyenangkan diri sendiri. Anak akan

menghabiskan waktunya dengan teman yang menurutnya

dapat memahami dirinya termasuk denga berteman kepada

pengguna narkotika.

- Pengaruh lingkungan

Peranan lingkungan sangat menentukan bagi

pertumbuhan dan pengemabngan kepribadian manusia.

Page 130: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Apabila masyarakat dalam lingkungan kepribadian santun dan

komunikatif, maka pada umumnya anak akan baik dan cerdas,

sehingga tidak mudah terpengaruh perbuatan tercela.

- Pengaruh budaya luar negeri

Budaya luar negeri sangat dominan mempengaruhi

generasi muda. Remaja dengan cepat meniru kebudayaan luar

yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa agar tidak

ketinggalan zaman, sehingga apa yang dilihat melalui media

massa elektronik akan cepat diserap tanpa mempertimbangkan

baik buruknya.

Page 131: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perbedaan setiap golongan pelaku tindak pidana narkotika

berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun

2009 secara garis besar yaitu perbuatan menggunakan narkotika

tanpa izin dan pengawasan, atau dikenal sebagai Pengguna, yang

meliputi perbuatan pecandu/penyalahguna bagi diri sendiri;

mengedarkan narkotika atau dikenal sebagai pengedar, yang

meliputi perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan

untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara

dalam jual beli, menukar, menyerahkan/menerima narkotika,

membawa, menguasai, mengirim, mengangkut, mengekspor,

mengimpor, menyalurkan atau mentransito narkotika, memberikan

narkotika untuk digunakan oleh orang lain; serta sebagai produsen,

yang meliputi perbuatan tanpa hak dan melawan hukum

memproduksi, menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, atau

menyediakan Narkotika atau Prekursor Narkotika;

2. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana

narkotika, terdiri atas faktor internal, yaitu hal-hal yang dari dalam

diri pelaku berupa aspek individu, seperti kepribadian yang ingin

tahu, mudah kecewa, jiwa yang tergoncang, rasa putus asa, dan

lain-lain yang menyebabkan pelaku memerlukan rasa ketenangan,

kenyamanan, dan keberanian dengan menggunakan narkotika;

Page 132: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

serta faktor eksternal, yaitu hal-hal yang datang dari luar diri

pelaku, seperti sosial budaya, ekonomi, pengaruh lingkungan, dan

lain-lain.

B. Saran

1. Dalam penanggulangan tindak pidana narkotika pemerintah perlu

memadukan kebijakan penal melalui ketentuan perundang-

undangan dengan kebijakan nonpenal melalui treatment dan

pengobatan, serta perlu peningkatan kualitas penegakan hukum di

bidang narkotika dan peningkatan pendayagunaan potensi serta

kemampuan masyarakat;

2. Perlunya tindakan terkoordinasi antar instani terkait, seperti

instansi penegak hukum, lembaga pendidikan, dan organisasi

kemasyarakatan dengan mengintensifkan penyuluhan-penyuluhan

mengenai bahya narkotika, sehingga setiap masyarakat akan

menyadari begitu besarnya bahaya narkotika dan setiap keluarga

akan membuat upaya-upaya pencegahan internal dalam keluarga;

Page 133: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, Kriminologi, Restu Agung, Jakarta, 2007 Alam, Prof. Dr. H.A.S, Pengantar Kriminologi, Pustaka Refleksi Books,

Makassar, 2010. Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti,

Bandung, 2003. ______________, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan

Penanggulangan Tindak pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

______________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2005. ______________, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian

Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005 ______________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. _______________, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan

Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Atmasasmita, Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2007.

Hamzah, Andi dan Sumangelipu, A. Pidana Mati di Indonesia, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1983. Hamzah, Andi. KUHP dan KUHAP, Rineka cipta, Jakarta, 2000. Harlina, Martono, Modul Latihan Pemulihan Pecandu Narkoba Berbasis

Masyarakat, Balai Pustaka, Jakarta, 2005. Komariah Emong Sapardjaja, SH, Prof. DR., Ajaran Sifat Melawan Hukum

Materil dalam Hukum Pidana Indonesia, Mahkamah Agung RI , 2008.

Makaro, Taufik, Suhasril dan Moh. Zakky, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia

Indonesia, Bogor, 2005. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

Page 134: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP Semarang, 1995.

Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni

Bandung, 1984. Mulyadi, Lilik, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi,

Djambatan, Jakarta, 2007. P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1997. Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana

kajian kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika

Aditama, Bandung, 2006. Prodjodikoro,Wirdjono Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT Refika

Aditama, Bandung, 2003. Sahetapy, J.E., Pisau Analisis Kriminologi, PT Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2005. Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2005. Sholehuddin, M., Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double

Track System & Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. 1986 _____________, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2006. Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 Weda, Made Darma, Kronik dalam Penegakan Hukum Pidana, Guna

Widya, Jakarta, 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Th. 2009 tentang Narkotika,

Fokusmedia, Bandung, 2009. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010 Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 03 Tahun 2011

Page 135: TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK …

i