TINJAUAN KRIM PIDANA NARK REPUBLIK I Criminology Review to the Law of the R PROGRAM i T E S I S MINOLOGI TERHADAP PELAKU TIN KOTIKA MENURUT UNDANG-UNDA INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 200 TENTANG NARKOTIKA w on Narcotics Crime Perpetrators Ac Republic of Indonesia Number 35 Yea on Narcotics Oleh: RAHMI DWI ASTUTI P0902208006 M PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012 NDAK ANG 09 ccording ar 2009
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAPPIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
Criminology Review on Narcotics Crime Perpetrators According
to the Law of the Republic of Indonesia
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
i
T E S I S
KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
Criminology Review on Narcotics Crime Perpetrators According
to the Law of the Republic of Indonesia Number 35 Year 2009
on Narcotics
Oleh:
RAHMI DWI ASTUTI
P0902208006
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
PELAKU TINDAK UNDANG
35 TAHUN 2009
Criminology Review on Narcotics Crime Perpetrators According
Number 35 Year 2009
i
T E S I S
TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
Criminology Review on Narcotics Crime Perpetrators According
to the Law of the Republic of Indonesia Number 35 Year 2009
on Narcotics
Oleh:
RAHMI DWI ASTUTI
P0902208006
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
i
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt, raja semesta alam yang atas rahmat
dan berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tesis ini.
Dengan selesainya penulisan tesis ini, tentu merupakan kebahagian dan
kenikmatan tersendiri bagi penulis, oleh karena selama menempuh studi
penulis tidak luput dari berbagai hambatan. Namun berkat kesabaran,
keikhlasan dan bantuan dari berbagai pihak sehingga penulis dapat
menghadirkan karya penulisan yang sederhana ini.
Penulis menyadari kekurangan dan ketidaksempurnaan menjadi
bagian dari karya tesis ini, maka penulis berharap adanya saran dan
masukan yang ilmiah dan konstruktif demi pengembangan karya tesis ini.
Penulis menyadari selama studi hingga penulisan tesis ini merupakan
wujud dari pengorbanan yang tak terhingga batasnya dari kedua orang tua
penulis. Maka dengan ini, karya tesis ini penulis persembahkan kepada
Ayahanda H. M. DARWIS MAS’UD, SH., dan Ibunda HJ. KALMAWATI
DARWIS, S.SIT., serta suami tercinta MUH. GAZALI ARIEF, SH, dan
ananda tersayang HUSNUL ATHIYYAH GAZALI, yang selalu
memberikan dorongan dan doa kepada penulis.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya pula,
penulis haturkan kepada :
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Aswanto,
SH., MH., DFM beserta seluruh jajarannya, Prof. Dr. Marthen Arie,
SH.,MH., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum;
i
2. Prof. Dr. Andi Seri Alam, selaku ketua Komisi Penasihat, dan Prof. Dr.
Muhadar, SH.,M.Si, selaku anggota Komisi penasihat, yang telah
banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan
petunjuk-petunjuk serta bimbingan kepada peneliti dengan penuh
keikhlasan dan kearifan selama proses penelitian;
3. Prof. Dr. M. Syukri Akub, SH., MH., Prof. Dr. Andi Sofyan, SH., MH,
dan Prof. Dr. Aswanto, SH., M.Si., DFM, selaku Tim Penguji yang
memberikan masukan dan penilaian demi kesempurnaan penyusunan
hasil penelitian ini;
4. Ketua Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Makassar beserta jajarannya;
5. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Sungguminasa
beserta jajarannya ;
6. Para dosen dan segenap civitas akademik Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin yang telah berjasa mendidik penulis ;
7. Seluruh rekan kerjaku Cakim Angkatan V dan cakim Angkatan IV pada
Pengadilan Negeri Makassar dan Pengadilan Negeri Maros, terima
kasih atas dukungan serta pengetahuan yang kalian berikan ;
8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu ;
Akhirnya penulis berharap, tesis ini dapat bermanfaat betapapun
kecilnya, baik untuk kepentingan ilmu pengetahuan, maupun untuk
kepentingan praktisi. Amin.
Makassar, Januari 2012
RAHMI DWI ASTUTI
i
ABSTRAK
RAHMI DWI ASTUTI. Tinjauan Kriminologi terhadap Pelaku Tindak
Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika (dibimbing oleh Andi Seri Alam dan
Muhadar).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Perbedaan setiap
golongan pelaku tindak pidana narkotika dan untuk mengetahui (2) Faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penyalahgunaan
narkotika dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Makassar.
Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Makassar dan
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Makassar. Tipe penelitian ini adalah
penelitian empiris dengan pendekatan sosiologi hukum. Penarikan sample
dilakukan dengan teknik non probability sampling dengan metode
purposive sampling. Jenis data yang terdiri atas data primer dan data
sekunder yang diperoleh melalui wawancara dan kuesioner, dianalisis
dengan menggunakan analisis data kualitatif dan analisis data kuantitatif
yang kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Perbedaan setiap
golongan pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 secara garis besar meliputi
perbuatan menggunakan narkotika tanpa izin dan pengawasan, atau
dikenal sebagai Pengguna, yang meliputi perbuatan
pecandu/penyalahguna bagi diri sendiri; mengedarkan narkotika atau
dikenal sebagai pengedar, yang meliputi perbuatan tanpa hak dan
melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan/menerima
sosial dan historis, sebab tindakan menjadi kejahatan haruslah dikenal,
diberi cap, dan ditanggapi sebagai kejahatan, disana harus ada
masyarakat yang normanya, aturannya dan hukumnya dilanggar,
disamping adanya lembaga yang tugasnya menegakkan norma-norma
dan menghukum pelanggarnya.
Sutherland (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001:10)
merumuskan kriminologi sebagai:
i
“keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial (the body of knowledge regarding crimes as a social phenomenon).” Jika dikaji secara keseluruhan, perkembangan kriminologi untuk
menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, Prof. Romli Atmasasmita
menyimpulkan bahwa (Romli Atmasasmita, 2007:13) :
1. Kriminologi merupakan studi tentang tingkah laku manusia tidaklah
berbeda dengan studi tentang tingkah laku lainnya yang bersifat
nonkriminil.
2. Kriminologi merupakan ilmu yang bersifat inter dan multidisiplin,
bukan ilmu yang bersifat monodisiplin.
3. Kriminologi berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan lainnya.
4. Perkembangan studi kejahatan telah membedakan antara
kejahatan sebagai suatu tingkah laku dan pelaku kejahatan sebagai
subjek perlakuan sarana peradilan pidana.
5. Kriminologi telah menempatkan dirinya sejajar dengan ilmu
pengetahuan lainnya, tidak lagi merupakan bagian daripadanya.
Istilah kriminologi yang ditemukan oleh P. Topinard (1830-1911)
seorang ahli antropologi Prancis, secara harfiah berasal dari kata
crimen yang berarti kejahatan atau penjahat dan logos yang berarti
ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang
kejahatan atau penjahat (H.A.S. Alam, 2005:1).
Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu
pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-
i
luasnya (kriminologi teoretis dan murni). Kriminologi teoretis adalah
ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman yang seperti ilmu
pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala dan
mencoba menyelidiki sebab-sebab dari gejala tersebut (aetiologi)
dengan cara-cara yang ada padanya (Topo Santoso dan Eva Achjani
Zulfa, 2001:9).
Menurut Paul Moedigdo Moeliono, kriminologi bahwa pelaku
kejahatan mempunyai andil atas terjadinya suatu kejahatan, karena
terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang ditentang
oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari si pelaku untuk
melakukan perbuatan yang ditentang oleh masyarakat (Abdussalam,
2007:5).
Tegasnya, kriminologi merupakan sarana untuk mengetahui
sebab kejahatan dan akibatnya, mempelajari cara-cara memperbaiki
penjahat, dan cara-cara mencegah timbulnya kejahatan (H.A.S. Alam,
2005:2).
B. Ruang Lingkup dan Objek Kriminologi
Menurut Bonger, ruang lingkup studi kriminologi dibedakan atas
kriminologi murni dan kriminologi terapan. Kriminologi murni
mencakup:
1. Antropologi kriminil ialah ilmu pengetahuan tentang manusia
yang jahat (somatis);
2. Sosiologi kriminil ialah ilmu pengetahuan tentang kejahatan
sebagai suatu gejala masyarakat;
i
3. Psikologi kriminil ialah ilmu pengetahuan tentang penjahat yang
dilihat dari sudut jiwanya;
4. Psikopatologi dan neuropatologi kriminil ialah ilmu tentang
penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf;
5. Penologi ialah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya
hukuman.
Disamping itu terdapat kriminologi terapan yang meliputi :
1. Higiene kriminil
Tujuannya untuk mencegah terjadinya kejahatan, maka usaha-
usaha pemerintah yaitu menerapkan undang-undang secara
konsisten, menerapkan sistem jaminan hidup dan kesejahteraan
yang dilakukan semata-mata untuk mencegah timbulnya
kejahatan;
2. Politik kriminil ialah usaha penanggulangan kejahatan di mana
suatu kejahatan telah terjadi. Disini dilihat sebab-sebab
seseorang melakukan kejahatan. Jika disebabkan oleh faktor
ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan
keterampilan atau membuka lapangan kerja. Jadi, tidak semata-
mata dengan penjatuhan sanksi;
3. Kriminalistik (police scientific) ialah ilmu tentang pelaksanaan
penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan secara
scientific. Dalam mengungkap kejahatan dengan menggunakan
scientific criminalistic antara lain yaitu identifikasi, laboratorium
kriminal, alat mengetes golongan darah (DNA), alat mengetes
i
kebohongan, alat penentu keracunan kedokteran kehakiman,
dan lain-lain scientific criminalistic lainnya sesuai dengan
perkembangan teknologi.
Menurut Sutherland, kriminologi mencakup proses-proses
pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelangaran
hukum. Kriminologi olehnya dibagi menjadi tiga cabang ilmu utama
yaitu:
1. Sosiologi hukum, kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh
hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi;
2. Etiologi kejahatan, merupakan cabang ilmu kriminologi yang
mencari sebab musabab dari kejahatan;
3. Penology, ilmu tentang hukuman dan hak-hak yang
berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan baik
represif maupun preventif.
Pengertian dari Sudarto, bahwa politik kriminil adalah suatu
usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.
Politik kriminil merupakan kebijakan rasional yang mempelajari,
meneliti, membahas cara-cara pemberantasan kejahata, meliputi :
a. Pencegahan kejahatan dalam pelaksanaan pencegahan
ditujukan terhadap kecenderungan jahat dan perbuatan jahat.
b. Diagnosa kejahatan, yaitu untuk menentukan apakah suatu
kejahatan telah terjadi dan mengusut siapa pelakunya. Untuk
pelaksanaannya agar berpedoman pada ketentuan serta
peraturan yang berlaku (KUHAP dan KUHP).
i
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa objek studi
kriminologi meliputi perbuatan yang disebut kejahatan, pelaku
kejahatan atau penjahat, dan reaksi masyarakat terhadap kejahatan
dan pelakunya.
1. Kejahatan
Untuk mempelajari dan meneliti tentang kejahatan dibagi atas dua
aliran yaitu aliran hukum (yuridis) dan aliran non yuridis atau aliran
sosiologis.
a. Kejahatan menurut aliran hukum (yuridis).
Sutherland menekankan bahwa dalam pengertian yuridis
membatasi kejahatan sebagai perbuatan yang telah ditetapkan
oleh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan
diancam dengan suatu sanksi. Sementara penjahat merupakan
para pelaku pelanggar hukum pidana tersebut dan telah diputus
oleh pengadilan atas perbuatannya tersebut (Abdussalam,
2007:16).
Bonger menyatakan bahwa kejahatan merupakan
perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari
negara berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi
terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai
kejahatan (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001:14).
b. Kejahatan menurut aliran Non yuridis atau aliran sosiologis
Secara sosiologis, kejahatan merupakan suatu perilaku
manusia yang diciptakan oleh masyarakat. Walaupun masyarakat
i
memiliki berbagai macam perilaku yang berbeda-beda, akan
tetapi memiliki pola yang sama.
Gejala kejahatan terjadi dalam proses interaksi antara
bagian-bagian dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan
kelompok-kelompok masyarakat mana yang memang melakukan
kejahatan. Kejahatan (tindak pidana) tidak semata-mata
dipengaruhi oleh besar kecilnya kerugian yang ditimbulkannya
atau karena bersifat amoral, melainkan lebih dipengaruhi oleh
kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompoknya, sehingga
perbuatan-perbuatan tersebut merugikan kepentingan
masyarakat luas, baik kerugian materi maupun kerugian/ bahaya
terhadap jiwa dan kesehatan manusia, walaupun tidak diatur
dalam undang-undang (Abdussalam, 2007:17).
2. Pelaku Kejahatan
Penjahat atau pelaku kejahatan merupakan para pelaku
pelanggar hukum pidana dan telah diputus oleh pengadilan atas
pelanggarannnya dan dalam hukum pidana dikenal dengan istilah
narapidana. Dalam mencari sebab-sebab kejahatan, kriminologi
positif, dengan asumsi dasar bahwa penjahat berbeda dengan bukan
penjahat, perbedaan mana ada pada aspek biologis, psikologis,
maupun sosio-kultural. Oleh karena itu dalam mencari sebab-sebab
kejahatan dilakukan terhadap narapidana atau bekas narapidana,
i
dengan cara mencarinya pada ciri-ciri biologiknya (determinis
biologik) dan aspek kultural (determinis kultural).
3. Reaksi Masyarakat
Dalam hal ini perlu mempelajari dan meneliti serta membahas
pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-
perbuatan atau gejala yang timbul di masyarakat yang dipandang
sebagai merugikan atau membahayakan masyarakat luas.
Reaksi masyarakat terhadap pelaku kejahatan terhadap
semua jenis kejahatan. Reaksi masyarakat terhadap korban
kejahatan baik pada pengamanan diri korban, lingkungan yang
memberikan kesempatan atau peluang pada setiap orang yang
semula tidak memiliki niat untuk melakukan kejahatan, berhubung
adanya kesempatan atau peluang yang diberikan oleh korban
kejahatan, maka kepada orang yang semula tidak ada niat untuk
melakukan kejahatan, akhirnya orang tersebut melakukan kejahatan
karena adanya kesempatan atau peluang dari korban kejahatan.
C. Teori-Teori Kriminologi
Pendekatan yang menjadi landasan lahirnya teori-teori
kriminologi adalah spiritualisme dan naturalisme.
1. Spritualisme
Spiritualisme memfokuskan perhatiannya pada perbedaan
antara kebaikan yang datang dari Tuhan atau Dewa, dan
keburukan yang datang dari setan. Seseorang yang telah
i
melakukan suatu kejahatan dipandang sebagai orang yang terkena
bujukan setan (evil/demon).
Landasan pemikiran yang paling rasional dari perkembangan
ini adalah bahwa pada periode sebelumnya kejahatan dianggap
sebagai permasalahan antara korban dan keluarga korban dengan
pelaku dan keluarganya. Akibatnya adalah konflik yang
berkepanjangan antar keluarga yang dapat mengakibatkan
musnahnya keluarga tersebut. Juga menjadi masalah adalah
bahwa pelaku kejahatan yang berasal dari keluarga yang memiliki
posisi kuat dalam masyarakat yang tidak akan dapat dihukum
(H.A.S. Alam, 2005:23).
2. Naturalisme
Lahirnya paham rasionalisme di Eropa menjadikan pendekatan ini
mendominasi pemikiran tentang penyebab kejahatan. Dalam
perkembangan lahirnya teori-teori tentang kejahatan dapat dibagi
beberapa aliran/mazhab :
a. Mashab klasik
Yang ditekankan oleh mazhab ini yaitu manusia
berkehendak bebas dan karena itu melakukan suatu pilihan
yang rasional. Kejahatan dipandang sebagai pelanggaran
terhadap kontrak sosial; jadi suatu pelanggaran moral.
Pemidanaan ditujukan untuk mencegah pelanggaran di
kemudian hari; jadi perlu unsur menakutkan (J.E. Sahetapy,
2005:62).
i
Dengan kata lain, bahwa pada Mashab ini melihat manusia
sebagai mampunyai kebebasan memilih prilaku (free will) dan
selalu bersikap rasional dan hedonistic (cenderung menghindari
segala sesuatu yang menyakitinya). Menurut pandangan ini
pemidanaan adalah cara untuk menaggulangi kejahatan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu kejahatan dapat di
kurangi/ditiadakan dengan hukuman atau dengan sanksi yang
Berdasarkan Pasal 1 angka (18) bahwa yang dimaksud
dengan Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau
lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan,
melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh,
menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi
anggota suatu organisasi kejahatan Narkotika, atau
mengorganisasikan suatu tindak pidana Narkotika.
Penggolongan pelaku tindak pidana narkotika tersebut di
atas menunjukkan bahwa tiap perbuatan dan kedudukan pelaku
tindak pidana narkotika memiliki sanksi yang berbeda. Hal ini tidak
terlepas dari dampak yang dapat ditimbulkan dari perbuatan
pelaku tindak pidana narkotika tersebut.
2. Peran pelaku
Berdasarkan peran/kedudukan pelaku dalam suatu tindak
pidana narkotika serta dampak yang dapat ditimbulkan dari
peran/kedudukannya tersebut, maka pelaku tindak pidana
narkotika secara garis besar diklasifikasikan sebagai berikut:
i
a. Sebagai pengguna, yaitu orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan narkotika untuk diri sendiri ;
b. Sebagai pengedar, yaitu seseorang atau sekelompok orang
yang menyalurkan atau menyerahkan narkotika baik untuk
diperjualbelikan ataupun untuk pemindahtanganan kepada
orang lain ;
c. Sebagai produsen, yaitu orang atau koorporasi yang
menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika
secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau
nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau
gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk
Narkotika.
Walaupun dalam klasifikasi berdasarkan peran/kedudukan
pelaku tersebut di atas hanya terdiri atas tiga bentuk
penggolongan, namun dalam penerapannya dapat mengalami
perkembangan sesuai dengan unsur-unsur pasal yang terpenuhi
sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis di
lapangan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2008-
September 2011 pelaku tindak pidana narkotika di wilayah Hukum
Pengadilan Negeri Makassar masih di dominasi oleh pengguna,
sebagaimana diuraikan dalam tabel 1 berikut ini:
i
Tabel 1 Peran Pelaku Tindak Pidana Narkotika dalam wilayah Hukum
Pengadilan Negeri Makassar
Tahun Pengguna Pengedar Produsen Jumlah Kasus
2008 273 76,45% 37 11,94% - - 310
2009 252 76,83% 76 23,17% - - 328
2010 255 65,89% 132 34,11% - - 387
2011 183 50,83% 177 49,17% - - 360
Jumlah 963 69,53% 422 30,47% 0 0 1385
Sumber data : Pengadilan Negeri Makassar, 2011
Tabel 1 tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam kurun
waktu 2008 sampai dengan bulan September 2011 telah terjadi
1385 tindak pidana narkotika yang diproses di Pengadilan Negeri
Makassar, dimana sebanyak 963 atau 69,53 % dalam kedudukan
sebagai pengguna dan 422 atau 30,47 % sebagai
pengedar/perantara.
Pada Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, sulit untuk untuk menemukan apa yang dimaksud
dengan “pengguna narkotika” sebagai subyek (orang), yang banyak
ditemukan adalah penggunaan (kata kerja). Menurut kamus bahasa
Indonesia istilah “Pengguna” adalah orang yang menggunakan, bila
dikaitkan dengan pengertian narkotika sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika maka dapat dikatakan bahwa Pengguna Narkotika
adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari
i
tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-
golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
Menurut salah seorang Hakim Pengadilan Negeri Makassar:
Jan Manoppo, SH (wawancara, 18 Oktober 2011) bahwa
Penggunaan istilah “pengguna narkotika” digunakan untuk
memudahkan dalam penyebutan bagi orang yang menggunakan
narkotika dan untuk membedakan dengan penanam, produsen,
penyalur, kurir dan pengedar narkotika. Walaupun penanam,
produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika kadang juga
menggunakan narkotika, namun dalam hal ini yang penulis maksud
pengguna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika
untuk dirinya sendiri, bukan penanam, produsen, penyalur, kurir
dan pengedar narkotika.
Bila dikaitkan dengan dengan orang yang menggunakan
narkotika, dalam Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika dapat ditemukan berbagai istilah antara lain :
- Pecandu Narkotika sebagai orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis
i
(Pasal 1 angka 13 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika);
- Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika
tanpa hak atau melawan hukum (Pasal 1 angka 15 Undang-
Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika);
- Korban penyalahguna adalah seseorang yang tidak sengaja
menggunakan narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu,
dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika
(Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika);
- Pasien sebagai orang yang berdasarkan indikasi medis dapat
menggunakan, mendapatkan, memiliki, menyimpan dan
membawa narkotika golongan II dan golongan III dalam jumlah
terbatas dan sediaan tertentu;
- Mantan Pecandu Narkotika adalah orang yang telah sembuh
dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik maupun
psikis (Penjelasan Pasal 58 Undang-Undang RI Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika)
Keberagaman istilah untuk pengguna narkotika tersebut
berpotensi membingungkan dan dapat menimbulkan ketidakjelasan
baik dalam merumuskan berbagai ketentuan didalam Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika maupun pada
pelaksanaannya.
i
Salah satu permasalahan akibat banyaknya istilah adalah
kerancuaan pengaturan dimana Pasal 4 huruf d Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan
“Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
bertujuan : Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan
sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika”, namun dalam
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menyebutkan “Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna
Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”
dimana berdasarkan Pasal 54 hak penyalah guna untuk mendapat
rehabilitasi menjadi tidak diakui. Penyalah guna yang awalanya
mendapatkan jaminan rehabilitasi, pada Pasal 127 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika penyalah guna narkotika
kemudian juga menjadi subyek yang dapat dipidana dan
kehilangan hak rehabilitasinya, kecuali dapat dibuktikan atau
terbukti sebagai korban narkotika.
Pembuktian penyalahguna narkotika merupakan korban
narkotika sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang narkotika, merupakan suatu hal yang sulit,
karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan
narkotika dan diperlukan pembuktiaan bahwa penggunaan
narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk,
diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan
narkotika. Dalam implementasinya Mahkamah Agung RI
i
mengeluarkan SEMA No. 04 Tahun 2010 Jo. SEMA No. 03 Tahun
2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di
dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang
menjadi pegangan Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi dalam memutus perkara narkotika.
Banyaknya istilah tersebut juga membingungkan aparat
penegak hukum dan masyarakat, dilapangan aparat penegak
hukum tidak memberikan hak orang yang positif menggunakan
narkotika untuk melaksanakan rehabilitasi, walaupun dalam UU RI
No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adanya jaminan rehabilitasi
bagi pecandu narkotika. Pengaturan wajib lapor bagi orang tua atau
wali dari pecandu narkotika, juga berimplikasi membingungkan bagi
orang tua atau wali, karena untuk menentukan apakah anaknya
pecandu atau bukan pecandu haruslah ditentukan oleh ahli dan
sangat sulit bila dilihat dari kacamata awam.
Perdebatan yang sering muncul dalam membahas Undang-
Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah
kedudukan Pengguna Narkotika apakah sebagai pelaku atau
sebagai korban, dan apa akibat hukumnya? Bila dilihat alasan yang
mengemuka dilakukannya pergantian Undang-Undang RI Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah untuk mencegah dan
memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Antara Penyalahgunaan dan peredaran narkotika memang sulit
dipisahkan namun hal tersebut tidak dapat disamakan dan upaya
i
penanggulangannya juga harus dibedakan. Hal tersebut selaras
dengan amanat tujuan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009
tentang narkotika yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan
“Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
bertujuan :
a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuaan dan
teknologi;
b. Mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia
dari penyalahgunaan narkotika;
c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekusor
narkotika; dan
d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi
penyalah guna dan pecandu narkotika
Berdasarkan tujuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika tersebut dan melihat posisi pengguna narkotika
dapat dilihat pemberantasan narkotika ditujukan bagi peredaran
gelap narkotika. Sedangkan upaya pencegahan, perlindungan dan
penyelamatan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika,
sehingga perlu adanya pengaturan upaya rehabilitasi medis dan
sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika (pengguna
narkotika).
i
Tarik menarik apakah pengguna narkotika merupakan
korban atau pelaku sangat terasa dalam Pasal 127 Undang-
Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
menyatakan :
(1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana
denganpidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Penyalahguna yang pada awalnya mendapatkan jaminan
rehabilitasi, namun, dengan memandang asas legalitas yang
diterapkan di Indonesia, maka dalam pelaksanaanya pengguna
narkotika harus menghadapi resiko ancaman pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Bila pengguna narkotika dianggap pelaku
kejahatan, maka yang menjadi pertanyaan kemudian adalah siapa
yang menjadi korban dari kejahatan yang dilakukan oleh pengguna
narkotika, karena dalam hukum pidana dikenal “tidak ada kejahatan
tanpa korban”, beberapa literature bahwa yang menjadi korban
karena dirinya sendiri (Crime without victims), dari persepektif
tanggung jawab korban, Self-victimizing victims adalah mereka
yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.
i
3. Pengetahuan/pemahaman hukum aparat
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa yang
dimaksudkan dengan pengetahuan/pemahaman hukum aparat
dalam hal ini adalah kemampuan dan profesionalitas aparat
penegak hukum (polisi, Jaksa, Hakim) dalam menangani perkara
sesuai dengan pengetahuan atau pemahaman keilmuan yang
dimilikinya, sehingga dapat menangani suatu perkara tindak pidana
narkotika secara tepat.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di
lapangan menunjukkan bahwa seringkali aparat penegak hukum
(Polisi, Jaksa, Hakim) kurang tepat dalam menerapkan suatu
ketentuan pidana dalam perkara tindak pidana narkotika, dimana
Jaksa Penuntut Umum dalam uraian dakwaannya dan bahkan
tuntutannya kadang menerapkan suatu ketentuan yang tidak sesuai
dengan peran pelaku sebagaimana yang terbukti di persidangan.
Hal ini diperparah lagi dengan tindakan Majelis Hakim yang
mengikuti tuntutan Jaksa penuntut Umum dengan mengabaikan
fakta-fakta yang terbukti di persidangan.
Salah satu perkara tindak pidana narkotika yang menurut
penulis penerapan hukumnya agak melenceng dari fakta hukum
mengenai peran pelaku sebagaimana terungkap di persidangan,
adalah perkara Nomor: 726/Pid.B/2011/PN.Mks, dimana peran
pelaku adalah membawa atau menguasai narkotika golongan I
jenis shabu-shabu, dimana terdakwa pada hari Kamis tanggal 03
i
Maret 2011 sekitar pukul 23.30 Wita bertempat di Jalan Mesjid
Raya Makassar ditangkap oleh saksi Briptu Feri dan saksi Briptu
Syamjoyo karena membawa narkotika jenis shabu-shabu, namun
Majelis Hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menggunakan
Narkotika” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
127 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dan menjatuhkan putusan berupa pidana penjara selam
1 (satu) tahun.
Adapun posisi kasus perkara tersebut adalah bahwa
terdakwa SUWARDIMAN YANTO Bin MANSYUR Als WARDI, pada
hari kamis tanggal 03 maret 2011 sekitar jam 23.30 wita bertempat
di jalan Mesjid Raya Makassar ditemukan membawa narkotika
golongan I, berupa Kristal bening dengan berat 0,1083 gram yang
mengandung metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I
Nomor urut 61 UU. RI. No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Hal
tersebut dilakukan terdakwa dengan cara dan keadaan sebagai
berikut:
- Berawal pada waktu yang disebutkan diatas Lk. ARWIN Bin
PETRUS sedang duduk-duduk dilorong jalan Sembilan sambil
ngobrol-ngobrol bersama teman-temannya.kemudian terdakwa
ditelpon oleh Lk. WARDI dan bertanya ‘lagi dimanako
ini”kemudian di jawab oleh Lk. ARWIN Bin PETRUS “dilorong
jalan Sembilan”, lalu Lk. ARWIN Bin PETRUS disuruh oleh
i
terdakwa keluar ke mesjid jalan raya dan pada saat Lk.ARWIN
Bin PETRUS bertemu dengan terdakwa kemudian terdakwa
bertanya “ada kau tau dimana ada orang menjual shabu-shabu”.
Lalu Lk. ARWIN Bin PETRUS jawab “ya saya tau”kemudian
orang yang ingin membeli shabu-shabu tersebut memberikan
uang kepada terdakwa sebesar Rp. 500.000,-(lima ratus ribu
rupiah) kemudian uang tersebut diserahkan kepada Lk. ARWIN
Bin PETRUS, setelah Lk.ARWIN Bin PETRUS menerima uang
dari terdakwa kemudian Lk. ARWIN Bin PETRUS pergi
sendirian membeli shabu-shabu KEPADA Lk.ACO yang terletak
dijalan kerung-kerung Makassar dengan harga Rp. 500.000,-
(lima ratus ribu rupiah) perpaket, setelah Lk ARWIN Bin
PETRUS membeli shabu-shabu dijalan kerung-kerung
kemudian Lk ARWIN Bin PETRUS kembali ke jalan mesjid raya
dan menemui terdakwa kemudian Lk .ARWIN Bin PETRUS
menyuruh terdakwa untuk mengantar kembali Lk ARWIN Bin
PETRUS ke tempat di sebuah lorong yang terletak dijalan
Sembilan, setelah sampai dijalan Sembilan Lk.ARWIN Bin
PETRUS memberikan shabu-shabu kepada terdakwa, dan tidak
lama kemudian Lk.ARWIN Bin PETRUS mengantar terdakwa
kembali kejalan Mesjid Raya untuk menemui orang yang pesan
shabu-shabu tersebut berselang 5 menit datang polisi
menangkap terdakwa.
i
- Berdasarkan hasil uji laboratorium Forensik Cabang Makassar
yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan Laboratoris
Krisminalistik No. Lab :248/KNF/III/2011 tanggal 10 maret 2011
dengan hasil pemeriksaan disimpulkan bahwa barang bukti
Kristal bening milik terdakwa adalah benar mengandung
metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I Nomor urut 61
Lampiran UU. RI. No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, urine
milik terdakwa tidak mengandung metamfetamina yang terdaftar
dalam golongan I nomot urut 61 Lampiran UU. RI. NO. 35 tahun
2009 tentang narkotika.
Perbuatan terdakwa tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum
didakwa berdasarkan dakwaan yang disusun secara alternatif yaitu:
- Dakwaan Kedua : Melanggar Pasal 112 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ;
Atau
- Dakwaan ketiga : melanggar pasal 127 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ;
Atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut, Majelis
Hakim menyatakan bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang
terungkap di persidangan Majelis Hakim akan menilik dakwaan
yang ketiga, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 127 ayat (1)
i
huruf a Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
karena pasal tersebut dipandang oleh Majelis Hakim yang paling
mendekati/paling tepat dengan perbuatan Terdakwa, sehingga
terdakwa dinyatakan terbukti sebagai ”menyalahgunakana
narkotika golongan I bagi diri sendiri”.
Padahal berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-
Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa yang
dimaksud sebgai penyalahguna adalah orang yang menggunakan
narkotika tanpa hak dan melawan hukum. Oleh karena itu
seseorang yang dapat dikategorikan sebagai penyalahguna
narkotika adalah orang yang menggunakan secara tanpa hak atau
melawan hukum, dalam arti bahwa narkotika tersebut berada dalam
kekuasaannya adalah sah tetapi kemudian menggunakannya untk
diri sendiri secara melawan hukum. Misalnya seorang Jaksa yang
menyimpan barang bukti narkotika kemudian menggunakan barang
bukti narkotika tersebut atau seorang dokter yang seharusnya
menggunakan narkotika tersebut untuk pasien, tapi ternyata
disalahgunakan untuk diri sendiri.
Apabila seseorang yang kemudian tertangkap beberapa saat
sebelum menggunakan narkotika tersebut, kemudian karena pelaku
tindak pidana tersebut mengaku akan digunakan sendiri dan
berdasarkan hasil laboratorium forensik ternyata pelaku tersebut
adalah positif pernah menggunakan dan selanjutnya Majelis Hakim
menyatakan bahwa pelaku tersebut adalah penyalahguna
i
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 Undang-Undang RI
Nomor 35 Tahun 2009, menurut penulis adalah tidak tepat, karena
pada saat ditemukan tersebut adalah sementara menguasai atau
memiliki sebagaimana diatur dalam Pasal 111, 112, 117, 122 dan
129, yaitu Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika atau
Prekursor Narkotika.
Bahkan seseorang yang ditangkap setelah atau pada saat
sedang menggunakan narkotika pun dapat dipidana sebagai
perbuatan memiliki atau menguasai, kecuali apabila pelaku tindak
pidana narkotika tersebut sementara terikat dan orang lain yang
memasukkan dalam mulut pelaku, maka pelaku tidak dapat
dikategorikan sebagai menguasai.
Namun dalam perkara Nomor 726/Pid.B/2011/PN.Mks
tersebut diatas, berdasarkan fakta-fakta hukum yang terbukti di
persidangan yaitu:
- Bahwa pada hari Kamis tanggal 03 Maret 2011 sekitar pukul
23.30 Wita bertempat di Jalan Mesjid Raya, Terdakwa ditangkap
oleh saksi Briptu Feri dan saksi Briptu Syamjoyo karena
membawa narkotika jenis shabu-shabu ;
- Bahwa saat Terdakwa turun dari motornya di Jalan Mesjid Raya
Briptu Feri dan Briptu Syamjoyo langsung memeriksa Terdakwa
dan akhirnya Briptu Feri menemukan shabu-shabu sebanyak 1
paket yang Terdakwa simpan di tangan kanannya ;
i
- Bahwa barang berupa 1 (satu) sachet narkotika berjenis shabu-
shabu tersebut didapatkan terdakwa dengan cara memberi
Erwin uang sebanyak Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan
menyuruh dia membelikan Terdakwa shabu-shabu pada
temannya yang bernama Aco di Jalan Kerung-Kerung, namun
kepemilikan atau penguasaan Terdakwa atas shabu-shabu
tersebut tanpa dilengkapi surat izin dari pihak yang berwenang
dan bukan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan pengobatan;
- Bahwa barang bukti berupa 1 (satu) sachet shabu tersebut untuk
dikonsumsi sendiri oleh Terdakwa;
- Bahwa berdasarkan hasil laboratories kriminalistik bahwa barang
bukti kristal bening milik Terdakwa adalah benar mengandung
metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I Nomor Urut 61
lampiran UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika;
Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, kemudian Majelis
Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa oleh
karena dakwaan disusun secara alternatif, maka berdasarkan fakta-
fakta hukum yang terungkap di persidangan Majelis Hakim akan
menilik dakwaan yang ketiga, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika karena pasal tersebut dipandang oleh Majelis
Hakim yang paling mendekati/paling tepat dengan perbuatan
Terdakwa, yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
i
1. Unsur “Setiap orang” : Menimbang, bahwa yang dimaksud unsur Setiap orang
dcalam pasal ini adalah sama dengan unsur Barangsiapa yang terkandung dalam KUHP, sehingga mengandung arti bahwa setiap orang atau barangsiapa adalah sebagai subyek hukum/pelaku dari suatu tindak pidana yang mampu bertanggung jawab menurut hukum. Subyek hukum dalam hukum pidana adalah siapa saja pelaku perbuatan pidana yang kepadanya dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatannya menurut hukum yang berlaku ;
Menimbang, bahwa unsur Barang Siapa yang menyangkut posisi selaku subyek hukum yang merupakan pendukung hak dan kewajiban, yaitu siapa saja yang dalam hal ini adalah SUWARDIMAN YANTO BIN MANSYUR ALIAS WARDI, yang identitasnya sebagaimana tersebut dalam Surat Dakwaan, kepadanya Majelis Hakim berpendapat bahwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan/ tindakan serta kesalahannya;
Menimbang, bahwa dengan demikian unsur setiap orang tersebut telah terpenuhi dengan sempurna;
Ad. 2 Unsur “Menyalahgunakan Narkotika golongan I bagi diri sendiri” :
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan menyalahgunakan adalah menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Tanpa hak artinya bahwa Narkotika berada dalam penguasaan seseorang atau badan hukum yang tidak memiliki izin dari pihak yang berwenang. Dimana penguasaan terhadap Narkotika haruslah mendapatkan persetujuan atau seijin dari pihak yang berwenang yakni Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum adalah penguasaan Narkotika tersebut melanggar ketentuan Undang-Undang;
Menimbang, bahwa hanya badan hukum yang ditunjuk oleh undang-undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang dapat menyimpan dan menggunakan obat-obatan tersebut seperti Industri Farmasi, pedagang besar Farmasi, Sarana Penyimpanan sediaan Farmasi Pemerintah, Apotik, Rumah Sakit, Pusat Kesehatan Masyarakat, Balai Pengobatan, Dokter dan lembaga ilmu pengetahuan. Badan hukum ini wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya, dengan kata lain bahwa penguasaan Narkotika tidak dibenarkan atau disimpan oleh seseorang yang bukan merupakan badan hukum atau tanpa izin dari pihak yang berwenang;
Menimbang, bahwa narkotika jenis shabu-shabu merupakan narkotika golongan I yaitu narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi dan dalam jumlah terbatas
i
Narkotika golongan I dapat digunakan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan ;
Menimbang, bahwa Narkotika golongan I ini mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan sehingga sering disalahgunakan oleh manusia, maka dari itu peredarannya diatur dalam suatu aturan sehingga tidak disalahgunakan oleh manusia;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan pada hari Kamis tanggal 03 Maret 2011 sekitar pukul 23.30 Wita bertempat di Jalan Mesjid Raya, Terdakwa ditangkap oleh saksi Briptu Feri dan saksi Briptu Syamjoyo karena membawa narkotika jenis shabu-shabu ;
Menimbang, bahwa saat Terdakwa turun dari motornya di Jalan Mesjid Raya Angota Kepolisian (Briptu Feri dan Briptu Syamjoyo) langsung memeriksa Terdakwa dan akhirnya Briptu Feri menemukan shabu-shabu sebanyak 1 paket yang Terdakwa simpan di tangan kanannya ;
Menimbang, bahwa barang berupa 1 (satu) sachet narkotika berjenis shabu-shabu tersebut didapatkan terdakwa dengan cara memberi Erwin uang sebanyak Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan menyuruh dia membelikan Terdakwa shabu-shabu pada temannya yang bernama Aco di Jalan Kerung-Kerung, namun kepemilikan atau penguasaan Terdakwa atas shabu-shabu tersebut tanpa dilengkapi surat izin dari pihak yang berwenang dan bukan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan pengobatan ;
Menimbang, bahwa barang bukti berupa 1 (satu) sachet shabu tersebut dibeli untuk dikonsumsi sendiri oleh Terdakwa ;
Menimbang, bahwa berdasarkan hasil laboratories kriminalistik bahwa barang bukti kristal bening milik Terdakwa adalah benar mengandung metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I Nomor Urut 61 lampiran UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika;
Menimbang, bahwa dengan demikian unsur “Menyalahgunakan Narkotika golongan I bagi diri sendiri” telah terpenuhi ;
Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari tindak
pidana yang didakwakan dalam dakwaan alternatif kedua telah dipenuhi, maka Terdakwa SUWARDIMAN YANTO BIN MANSYUR ALIAS WARDI, dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana “Menyalahgunakan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri”;
Menimbang, bahwa dari fakta hukum yang diperoleh selama persidangan dalam perkara ini tidak terdapat hal-hal yang dapat dijadikan alasan sebagai alasan pemaaf dan pembenar, dimana
i
menurut pengamatan Majelis Hakim, Terdakwa sehat jasmani dan rohani, sehingga menurut hukum Terdakwa dinilai cakap atau mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya; Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa telah dinyatakan bersalah, maka Terdakwa tersebut patut dipidana yang setimpal dengan kesalahannya; Menimbang, bahwa pemidanaan bukan merupakan tindakan pembalasan melainkan merupakan pelajaran untuk mendidik agar Terdakwa menyadari kesalahannya dan akhirnya Terdakwa akan merasa jera untuk melakukan tindak pidana; Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa ditahan, maka lamanya masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa ditahan, maka memerintahkan agar tetap berada dalam tahanan;
Menimbang, bahwa barang bukti yang diajukan di persidangan berupa : 1 (satu) sachet narkotika berjenis shabu-shabu seberat 0,1083 gram, karena dimiliki Terdakwa tidak dilengkapi atau tanpa ijin dari pejabat yang berwenang artinya kepemilikan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang, maka barang bukti tersebut harus dirampas untuk dimusnahkan ;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, maka berdasar Pasal 222 KUHAP, Terdakwa harus dibebani untuk membayar biaya perkara yang besarnya akan disebutkan nanti dalam amar putusan ini;
Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pidana terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa yang terurai sebagai berikut : Hal-hal yang memberatkan : - Tindak Pidana itu sendiri; - Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah
dalam memberantas Narkoba; Hal-hal yang meringankan : - Bahwa Terdakwa berprilaku sopan di persidangan dan
mengakui perbuatannya sehingga memperlancar jalannya persidangan ;
- Bahwa Terdakwa belum pernah dihukum ; - Bahwa Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga ;
Mengingat dan memperhatikan pasal- pasal dari Undang-undang yang bersangkutan khususnya pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009, dan Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP serta ketentuan-ketentuan hukum lain yang berkaitan dengan perkara ini;
M E N G A D I L I
1. Menyatakan Terdakwa SUWARDIMAN YANTO BIN MANSYUR ALIAS WARDI, dengan identitas sebagaimana tersebut diatas
i
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menggunakan Narkotika” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun ;
3. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan; 5. Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) sachet narkotika
berjenis shabu-shabu seberat 0,1083 gram, dirampas untuk dimusnahkan ;
6. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah);
Pertimbangan Hakim tersebut di atas menunjukkan bahwa
pengetahuan dan pemahaman hukum aparat penegak hukum yang
kurang menguasai mengenai ketentuan dalam Undang-Undang
Narkotika, akan sangat mempengaruhi penggolongan pelaku tindak
pidana narkotika sebagaimana tertuang dalam putusan hakim,
yang pada akhirnya akan mengacaukan pendapat masyarakat
mengenai kedudukan dan hukuman seorang pelaku tindak pidana
narkotika.
Menurut salah seorang Hakim Pengadilan Negeri Makassar:
Suprayogi, SH (wawancara, 19 Oktober 2011) bahwa istilah
“penyalahguna” narkotika dalam Pasal 127 adalah dimaksudkan
untuk menjerat “pengguna narkotika” yaitu setiap orang yang
terbukti sebagai pengguna, meskipun pada saat ditangkap tersebut
telah selesai menggunakan atau barang tersebut baru akan
digunakan, asalkan telah terbukti berdasarkan hasil laboratorium
i
kriminalistik/forensik bahwa pelaku adalah positif menggunakan
narkotika.
Lebih lanjut menurut Suprayogi, SH, bahwa pelaku tindak
pidana narkotika yang menggunakan meskipun sebelumnya
menguasai narkotika tersebut, adalah dipidana sebagai
penyalahguna karena penyalahguna yang dimaksudkan dalam
Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika adalah
setiap orang pelaku tindak pidana narkotika selain produsen,
penanam, penyalur, kurir dan pengedar narkotika.
Pengguna Narkotika yang masih mendapatkan narkotika
secara melawan hukum, maka terdapat beberapa perbuatan yang
dilakukan pengguna narkotika tersebut yakni membeli, menguasai,
menyimpan, atau memiliki yang akhirnya dipergunakan sendiri.
Menurut salah seorang Hakim Pengadilan Negeri Makassar:
Frangki Tambuwun, SH, MH (wawancara, 19 Oktober 2011)
bahwa Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika tidak memberikan pembedaan / garis yang jelas antara
delik pidana dalam Pasal 127 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika dengan delik pidana lain yang terdapat
dalam Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, dimana pengguna narkotika yang mendapatkan
narkotika secara melawan hukum pastilah memenuhi unsur
“menguasai”, “memiliki”, “menyimpan”, atau “membeli” narkotika
dimana hal tersebut juga diatur sebagai suatu tindak pidana
i
tersendiri dalam Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
Selain itu, dalam prakteknya aparat penegak hukum
mengaitkan antara delik pidana pengguna narkotika dengan delik
pidana penguasaan, pemilikan, penyimpanan atau pembeliaan
narkotika secara tanpa hak dan melawan hukum dimana ancaman
hukumannya menjadi lebih dari 5 tahun penjara dan dibeberapa
kententuan melebihi 9 tahun penjara, sehingga berdasarkan Pasal
21 ayat (4) huruf a KUHAP Pengguna narkotika dapat ditahan, dan
bila dikenakan ketentuan pidana yang ancamannya melebihi 9
(Sembilan) tahun maka berdasarkan Pasal 29 KUHAP masa
tahanan dapat ditambahkan sampai 60 (enam puluh) hari.
Selain terancam sanksi pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 127 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
narkotika, pengguna narkotika juga dapat dikenakan berbagai
ketentuan pemidanaan lain dalam Undang-Undang RI Nomor 35
Tahun 2009 tentang narkotika selama terpenuhinya unsur
“menguasai”, “memiliki”, “menyimpan”, atau “membeli” Narkotika
secara tanpa hak dan melawan hukum dimana memiliki sanksi
pidana yang lebih tinggi dan tidak ada pilihan bagi hakim untuk
menjatuhkan putusan rehabilitasi tanpa adanya putusan penjara
karena ada batas minimal pemidanaan dalam delik tersebut.
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika
tidak memberikan batasan/daluwarsa yang jelas atas tindak pidana
i
yang dapat dikenakan bagi pengguna narkotika. Bagi mantan
pengguna narkotika yang kemudian menceritakan pengalamannya
menggunakan narkotika dihadapan orang banyak dan Pengguna
narkotika yang sedang menjalani proses rehabilitasi atas kemauaan
sendiri (bukan berdasarkan putusan hakim) bisa dikenakan pidana
atas pebuatan yang telah lampau (membeli, menggunakan,
menguasai atau menyimpan narkotika tanpa hak dan melawan
hukum) berpeluang sewaktu-waktu dapat dikenakan hukuman.
Permasalahan tersebut karena adanya ketentuan mengenai
batas waktu dalam hukum pidana bagi pelaku tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1) KUHP yang
menyebutkan :
”Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: Ke-1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan
dengan percetakan, sesudah satu tahun; Ke-2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan denda,
kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
Ke-3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
Ke-4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun;
Tidak diaturnya pengecualian jangka waktu terhadap
pengguna narkotika yang sedang atau sudah dalam tahap mantan
pengguna narkotika mengakibatkan aparat penegak hukum yang
menentukan pengguna sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO)
akan melakukan pengawasan terhadap pengguna narkotika
dimana tidak tertutup dilakukan ditempat-tempat rehabilitasi.
Sehingga menjadi suatu hal yang sangat wajar bila banyak
i
ditemukan tempat-tempat rehabilitasi banyak ditemukan atau
diawasi oleh aparat penegak hukum (penyidik) baik dengan
menggunakan baju dinas maupun tidak menggunakan baju dinas.
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Tindak
Pidana Narkotika
Narkotika adalah sejenis zat kimia atau obat yang sangat
dibutuhkan untuk kepentingan medis dan ilmu pengetahuan. Namun di
sisi lain narkotika sering digunakan di luar kepentingan medis dan ilmu
pengetahuan, yang pada akhirnya akan menjadi suatu bahaya bagi si
pemakai, yang pada akhirnya juga dapat menjadi pengaruh pada
tatanan kehidupan sosial masyarakat, bangsa dan negara.
Hampir setiap negara di dunia menyatakan perang terhadap
penyalahgunaan narkotika, dan menganggapnya sebagai suatu
kejahatan berat, terutama bagi penanaman bibit, memproduksi,
meracik secara ilegal, dan para pengedar gelap.
Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia sekarang ini
dirasakan gawat. Sebagai negara kepulauan yang mempunyai letak
strategis, baik ditinjau dari segi ekonomi, sosial, dan politik dalam
dunia internasional, Indonesia telah ikut berpatisipasi menanggulangi
kejahatan tindak pidana narkotika, yaitu dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Undang-
undang ini merupakan undang-undang yang baru menggantikan
undang-undang yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997
i
tentang Psikotropika karena seiring dengan bertambahnya waktu
dirasakan tidak sesuai lagi dengan kemajuan teknologi dan
perkembangan tindak pidana narkotika yang semakin meningkat dan
bervariasi motif tindak pidana dan pelakunya, dilihat dari cara
menanam, memproduksi, menjual, memasok dan mengkonsumsinya
serta dari kalangan mana pelaku tindak pidana narkotika tersebut,
karena tidak sedikit yang melakukannya adalah dari kalangan anak-
anak dan remaja yang merupakan generasi penerus bangsa.
Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009, setiap
pelaku penyalahgunaan narkotika dapat dikenakan sanksi pidana,
yang berarti penyalahguna narkotika dapat disebut sebagai pelaku
perbuatan pidana narkotika.
Harus disadari bahwa masalah tindak pidana narkotika adalah
suatu problema yang sangat komplek, oleh karena itu diperlukan
upaya dan dukungan dari semua pihak agar dapat mencapai tujuan
yang diharapkan, karena pelaksanaan undang-undang tersebut,
semuanya sangat tergantung pada partisipasi semua pihak baik
pemerintah, aparat keamanan, keluarga, lingkungan maupun guru di
sekolah, sebab hal tersebut tidak dapat hilang dengan sendirinya
meskipun telah dikeluarkan undang-undang yang disertai dengan
sanksi yang keras.
Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan sumber daya
manusia Indonesia perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang
pengobatan dan pelayanan kesehatan, termasuk dengan
i
mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat
dibutuhkan sebagai obat dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu agar
penggunaan narkotika tidak disalahgunakan haruslah dilakukan
pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama menurut
undang-undang yang berlaku. Permasalahan narkotika dipandang
sebagai hal yang gawat, dan bersifat internasional yang dilakukan
dengan modus operandi dan teknologi yang canggih. Mengimpor,
mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan dan
menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang
ketat, serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku adalah kejahatan dan merupakan bahaya yang sangat
besar bagi kehidupan manusia dan masyarakat, bangsa dan negara
serta Keutuhan Nasional Indonesia.
Hal ini merupakan tindakan subversi yang merupakan
rongrongan yang dilakukan oleh pelaku perbuatan pidana narkotika
terhadap bangsa dan negaranya sendiri tanpa disadari, terutama
generasi muda, akibatnya menjadi bangsa yang lemah baik fisik
maupun psikisnya. Untuk itu dalam hukum Nasional Indonesia telah
mengatur segala yang berhubungan dengan narkotika dalam suatu
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
telah mengatur tentang ketentuan pidana bagi siapa saja yang dapat
dikenakan pidana beserta denda yang harus ditanggung oleh
penyalahguna narkotika atau dapat disebut sebagai pelaku perbuatan
i
pidana narkotika. Masyarakat awam banyak yang mengira bahwa
hukuman yang dijatuhkan pada pelaku perbuatan pidana narkotika itu
sama. Padahal dalam undang-undang narkotika sendiri telah
membedakan pelaku perbuatan pidana narkotika beserta sanksi yang
berbeda pula. Dalam penyalahgunaan narkotika, tidak hanya pemakai
saja yang dapat dikenakan pidana, tetapi termasuk percobaan atau
pemufakatan jahat serta Setiap orang yang menyuruh, memberi atau
menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan,
memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa
dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak
yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika.
Pengaturan narkotika berdasarkan undang-undang nomor 35
tahun 2009 bertujuan untuk menjamin ketersedian guna kepentingan
kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan
narkotika, serta pemberantasan peredaran gelap narkotika.
Penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah sampai
ketingkat yang sangat mengkhawatirkan, fakta dilapangan
menunjukan bahwa telah ada LAPAS (lembaga pemasyarakatan)
yang khusus menampung narapidana terkait tindak pidana narkotika.
Berita kriminal di media masa, baik media cetak maupun elektronik
dipenuhi oleh berita penyalahgunaan narkotika. Korbannya meluas
kesemua lapisan masyarakat dari pelajar, mahasiswa, artis, ibu rumah
tangga, pedagang , supir angkot, anak jalanan, pejabat dan lain
i
sebagainya. Narkoba dengan mudahnya dapat diracik sendiri, bahkan
pabrik narkoba secara ilegalpun sudah didapati di Indonesia.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah
banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak
mendapatkan putusan hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum
ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya
peredaran perdagangan narkoba atau narkotika, tapi dalam kenyataan
justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin
meningkat pula peredaran perdagangan narkotika tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis,
menunjukkan bahwa tindak pidana narkotika dari tahun ke tahun
semakin berkembang baik secara kualitas maupun kuantitas tindak
pidananya, sebagaimana diuraikan dalam table 2 berikut ini:
Tabel 2 Jumlah perkara Tindak Pidana Narkotika dalam wilayah Hukum
Pengadilan Negeri Makassar
No
Tahun
Jumlah Perkara Tindak Pidana
Perkara Tindak Pidana Narkotika
Jumlah Persentase
1 2008 1633 310 18,98 %
2 2009 2138 328 15,34 %
3 2010 1892 387 20,45 %
4 2011 1437 360 25,05 %
Jumlah 7100 1385 19,51 %
Sumber : Pengadilan Negeri Makassar, 2011
Tabel 2 tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam kurun
waktu 2008 sampai dengan bulan September 2011 dalam wilayah
i
hukum Pengadilan Negeri Makassar terjadi tindak pidana sebanyak
7100 dan sebanyak 1385 atau 19,51 % perkara tindak pidana
narkotika.
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa ternyata dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sejak bulan
Oktober tahun 2009 menggantikan undang-undang yang lama yaitu
UU RI No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UU RI No. 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika, sama sekali tidak mengurangi kualitas dan
kuantitas tindak pidana narkotika. Padahal Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 lebih berat sanksi pidananya dan penguraian pasalnya
tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana
narkotika, sehingga penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan
melawan hukum” dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika dengan tidak memperdulikan unsur
kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya
tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika, baik
karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan.
Selain itu, dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika menganut sistem pidana minimal. Penggunaan
sistem pidana minimal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika memperkuat asumsi bahwa undang-undang
tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang
berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal juga
akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam
i
prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana
minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Bahkan dalam undang-undang tersebut melakukan kriminalisasi Bagi
orang tua dan masyarakat, dimana undang-undang tersebut
memberikan ancaman hukuman pidana (6 bulan kurungan) bagi
orang tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang
menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun
unsur ’kesengajaan tidak melapor’ tersebut harus dibuktikan terlebih
dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak
mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga
menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika.
Undang-undang ini memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun
bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika.
Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan karena biasanya
pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang ditangkap ketika berkumpul
dengan para pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat
dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan suatu
tindak pidana narkotika. Pasal ini juga mengancam para pihak yang
mendampingi komunitas pecandu narkotika.
Selain itu, persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak
pidana selesai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana
selesai dengan pelaku tidak pidana percobaan. Tindak Pidana
i
Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki
efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana
tersebut terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut tidak selesai,
sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tidak pidana
percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan.
Tindak pidana narkoba atau narkotika berdasarkan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan sanksi
pidana cukup berat, di samping dapat dikenakan hukuman badan dan
juga dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataanya tindak pidana
Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang
semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan
korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan
generasi muda pada umumnya.
Pada umumnya secara keseluruhan faktor-faktor yang
menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana narkotika dapat
dibedakan atas faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
merupakan faktor yang bersal dari dalam diri sendiri, sedangkan
faktor eksternal merupakan merupakan faktor yang berasal dari luar
diri pelaku.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang Hakim
Pengadilan Negeri Makassar: Jan Manoppo (wawancara, 14
November 2011), bahwa faktor- faktor yang menyebabkan seseorang
terlibat dalam tindak pidana narkotika adalah bersifat kasuistis, yaitu
antara satu kasus dengan kasus lainnya berbeda karena perbedaaan
i
latar belakang si pelaku. Namun dari kebanyakan kasus yang pernah
ditangani dalam wilayah Hukum Pengadilan Negeri Makassar
menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku terlibat sebagai pelaku
tindak pidana narkotika adalah karena ingin coba-coba.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis
kepada narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika
Sungguminasa, menunjukkan bahwa terjadinya tindak pidana
narkotika dapat disebabkan oleh beberapa aspek, terutama aspek
individu, sosial bidaya, maupun ekonomi.
Berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara lepas dengan
beberapa Narapidana narkotika pada tanggal 10 November 2011 di
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa, diperoleh data
bahwa secara umum terjadinya tindak pidana narkotika disebabkan
oleh factor internal dan factor eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor internal sebagai faktor yang berasal dari dalam
diri si pelaku berupa faktor individu yang terdiri dari aspek
kepribadian dan kecemasan/depresi. Yang termasuk dalam
aspek kepribadian antara lain kepribadian ingin tahu, mudah
kecewa, sifat tidak sabar dan rendah diri. Sedangkan yang
termasuk dalam kecemasan /depresi adalah karena tidak
mampu menyelesaikan kesulitan hidup sehingga melarikan diri
ke dalam penggunaan narkotika.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
i
faktor internal tersebut dipengaruhi oleh umur, pendidikan serta
agama dari pelaku, sebagaimana diuraikan dalam tabel 3
berikut ini:
Tabel 3 Umur Pelaku Penyalahguna Narkotika
Umur (tahun) Frekuensi Persentase
(100 %)
Di bawah 18 7 6,36
19 – 30 54 49,09
31 ke atas 49 44,55
Jumlah 110 100
Sumber : Lapas Narkotika Sungguminasa, 2011
Berdasarkan data pada tabel 3 tersebut di atas,
menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana Narkotika di Kota
Makassar pada umumnya yang berumur 19-30 tahun yang
mencapai 49,09 %, sedangkan yang berumur di bawah 18
tahun 6,36 % dan 31 tahun ke atas 44,55 %. Hal ini terjadi
karena umur 19 - 30 tahun ini umumnya telah bekerja dan
mempunyai penghasilan tetap sehingga mereka mempunyai
kemampuan secara finansial untuk membeli narkotika berupa
ganja yang harganya tergolong mahal. Sementara yang
berumur di bawah 18 tahun secara finansial masih bergantung
pada orang tua atau walinya, sedangkan yang berumur 31
tahun ke atas pada umumnya telah berfikir secara matang dan
mempunyai tanggungan keluarga yang memerlukan biaya dan
perhatian.
i
Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa pada
umumnya penyalahguna narkotika bukan lagi usia sekolah
(remaja) melainkan sudah berusia dewasa dalam arti sudah
dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk. Oleh
karena itu menurut hemat peneliti, keterlibatan seseorang pada
penyalahgunaan narkotika juga dipengaruhi oleh faktor usia
pelaku.
Selain faktor usia, maka faktor agama juga mempengaruhi
aspek individu/kepribadian seseorang sehingga melakukan tindak
pidana narkotika, sebagaimana diuraikan dalam table 4 berikut ini:
Bandung, 2003. ______________, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan
Penanggulangan Tindak pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
______________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2005. ______________, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005 ______________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. _______________, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
Atmasasmita, Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2007.
Hamzah, Andi dan Sumangelipu, A. Pidana Mati di Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1983. Hamzah, Andi. KUHP dan KUHAP, Rineka cipta, Jakarta, 2000. Harlina, Martono, Modul Latihan Pemulihan Pecandu Narkoba Berbasis
Masyarakat, Balai Pustaka, Jakarta, 2005. Komariah Emong Sapardjaja, SH, Prof. DR., Ajaran Sifat Melawan Hukum
Materil dalam Hukum Pidana Indonesia, Mahkamah Agung RI , 2008.
Makaro, Taufik, Suhasril dan Moh. Zakky, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2005. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
i
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP Semarang, 1995.
Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni
Bandung, 1984. Mulyadi, Lilik, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi,
Djambatan, Jakarta, 2007. P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997. Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana
kajian kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, 2006. Prodjodikoro,Wirdjono Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT Refika
Bandung, 2005. Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005. Sholehuddin, M., Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double
Track System & Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. 1986 _____________, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2006. Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 Weda, Made Darma, Kronik dalam Penegakan Hukum Pidana, Guna
Widya, Jakarta, 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Th. 2009 tentang Narkotika,
Fokusmedia, Bandung, 2009. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 04 Tahun 2010 Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 03 Tahun 2011