Tinjauan Kasus PENATALAKSANAAN PENDERITA ASMA BRONKIALE Jovyta Augustine Cecilia Young, Sang Ayu Putu Gandhitri, Made Bagiada Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSU Sanglah Denpasar, April 2008 1. PENDAHULUAN Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episode tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. 1 Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian. Hal tersebut tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) diberbagai propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan empisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan empisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di 1
34
Embed
Tinjauan Kasus - Penatalaksanaan Penderita Asma Bronkial
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Tinjauan Kasus
PENATALAKSANAAN PENDERITA ASMA BRONKIALE
Jovyta Augustine Cecilia Young, Sang Ayu Putu Gandhitri, Made Bagiada
Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSU Sanglah
Denpasar, April 2008
1. PENDAHULUAN
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episode tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan.1
Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian. Hal
tersebut tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) diberbagai
propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10
penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan empisema. Pada
SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan empisema sebagai penyebab kematian (mortaliti)
ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia
sebesar 13/1000 dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.1
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI ASMA
Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal kehidupan.
Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun dan sepertiga bagian
lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anak-anak, terdapat perbandingan 2:1
untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun perbandingan ini menjadi sama pada umur 30
tahun. Angka ini dapat berbeda antara satu kota dengan kota yang lain dalam negara yang
sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 – 7 %.3,4
1
Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan asma. Asma
alergi sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi maupun keluarga seperti
rinitis, urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat pula disertai dengan reaksi kulit terhadap
injeksi intradermal dari ekstrak antigen yang terdapat di udara, dan dapat pula disertai
dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan atau respon positif terhadap tes provokasi
yang melibatkan inhalasi antigen spesifik.4
2.2 PATOFISIOLOGI ASMA
Patofisiologi asma merupakan proses yang sangat kompleks, dan melibatkan beberapa
komponen yaitu inflamasi saluran nafas, obstruksi aliran udara, dan hiperaktivitas bronkus.4
2.2.1 Penyempitan Saluran Napas
Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan perubahan
fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyempitan saluran
napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada saluran napas, penebalan dinding
saluran napas dan hipersekresi mukus. 2
Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai
mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan terhadap
penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan bronkodilator. Edema
pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini penting pada
eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas disebabkan karena perubahan struktural atau
disebut juga ”remodelling”.2 Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan
kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing
process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel yang mati atau rusak
dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang
rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan
jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut
berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan
perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway remodelling.1
2.2.2 Hiperreaktivitas saluran napas
Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang secara
klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggungjawab terhadap
reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan pasti tetapi
2
mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi)
yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu,
inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah peribronkial dapat memperberat
penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot polos.7,8
2.3 FAKTOR PENCETUS ASMA
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host factor) dan
faktor lingkungan. 1
3
a. Faktor host
Genetik
Obesitas
Jenis kelamin
b. Faktor lingkungan
Rangsangan alergen.
Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja.
Infeksi.
Merokok
Obat.
Penyebab lain atau faktor lainnya.
4
2.4 GAMBARAN KLINIS ASMA
Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala lainnya
dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja, nyeri
tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin. Gejala tersebut
dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut timbul musiman atau perenial,
beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal. Timbulnya gejala juga sangat dipengaruhi oleh
adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen, udara dingin, infeksi saluran nafas,
obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga mempengaruhi munculnya serangan pada
pasien asma, seperti karakteristik rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja
atau sekolah, tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan.4
2.5 DIAGNOSIS ASMA1,2
Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas yang
reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala :
- bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
- gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.
- gejala timbul/memburuk di malam hari.
- respons terhadap pemberian bronkodilator.
Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga (atopi), riwayat
alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan pengobatan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran nafas dan
tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada sebagian penderita dapat
ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun pada pengukuran faal paru
telah terjadi penyempitan jalan nafas.
Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas, reversibiliti
kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiper-responsif jalan
nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah pemeriksaan spirometri dan peak
expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi). Pemeriksaan lain yang berperan untuk
diagnosis antara lain uji provokasi bronkus dan pengukuran status alergi. Uji provokasi
bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah. Komponen alergi pada
asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum,
5
namun cara ini tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu dalam
mengidentifikasi faktor pencetus.
2.6 KLASIFIKASI ASMA1,2
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis (Sebelum Pengobatan)1
Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paruI. Intermiten Bulanan APE ≥ 80%
Gejala < 1x/minggu Tanpa gejala diluar serangan Serangan singkat
≤ 2x/bulan VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik Variabilitas APE < 20%
II. Persisten Ringan Mingguan APE ≥ 80%
Gejala > 1x/minggu, tapi < 1x/hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Membutuhkan bronkodilator setiap hari
> 2x/bulan VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik Variabilitas APE 20-30%
III. Persisten Sedang Harian APE 60-80%
Gejala setiap hari
Serangan menggangu aktivitas
dan tidur
Membutuhkan bronkodilator
setiap hari
>1x/minggu VEP1 60-80% nilai prediksi
APE 60-80% nilai terbaik
Variabilitas APE > 30%
IV. Persisten Berat Kontinyu APE ≤ 60%
Gejala terus menerus Sering kambuh Aktivitas fisik terbatas
Sering VEP1 ≤ 60% nilai prediksi APE≤ 60% nilai terbaik Variabilitas APE > 30%
Tabel 2. Klasifikasi Derajat Asma pada Penderita dalam Pengobatan1
Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian
Gejala dan faal paru dalam pengobatanTahap 1Intermiten
Tahap 2Pesisten ringan
Tahap 3Persisten sedang
Tahap I: IntermitenGejala < 1x/mgguSerangan singkatGejala malam < 2x/blnFaal paru normal diluar serangan
Intermiten Persisten ringan Persisten sedang
Tahap II: Persisten RinganGejala >1x/mggu, tapi <1x/hari
Persisten ringan Persisten sedang Persisten berat
6
Gejala malam >2x/bln, tapi <1x/mgguFaal paru normal diluar seranganTahap III: Persisten SedangGejala setiap hariSerangan mempengaruhi tidur dan aktivitasGejala malam >1x/mggu60%<VEP1<80% nilai prediksi60%<APE<80% nilai terbaik
Persisten sedang Persisten berat Persisten berat
Tahap III: Persisten BeratGejala terus menerusSerangan seringGejala malam seringVEP1≤60% nilai prediksi, atauAPE≤60% nilai terbaik
Persisten berat Persisten berat Persisten berat
2.7 PENATALAKSANAAN ASMA1-10
Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia yang dikeluarkan oleh
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2004, ada 7 komponen program
penatalaksanaan asma dimana 6 di antaranya menyerupai komponen pengobatan yang
dianjurkan oleh GINA dan ditambah satu komponen yaitu pola hidup sehat.1
EDUKASI
Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma itu sendiri, tujuan
pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol faktor pencetus, obat-obat
yang digunakan berikut efek samping obat, dan juga penanganan serangan asma di rumah.
PENILAIAN DERAJAT BERATNYA ASMA
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita sendiri mutlak
dilakukan pada penatalaksanaan asma.
A. Pemantauan tanda gejala asma.
B. Pemeriksaan faal paru
IDENTIFIKASI DAN PENGENDALIAN FAKTOR PENCETUS
Sebagian penderita dengan mudah mengenali fakor pencetus, akan tetapi sebagian lagi tidak
dapat menegtahui faktor pencetus asmanya.
MERENCANAKAN DAN MEMBERIKAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG
7
Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan. Dalam menetapkan
atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai atau mempertahankan
keadaan asma yang terkontrol, terdapat tiga faktor yang perlu dipertimbangkan:
1. Medikasi (obat-obatan)
2. Tahapan pengobatan
3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan nafas, terdiri
atas pengontrol dan pelega.
A. Pengontrol
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap
hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol adalah:
a. Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan nafas, mengurangi gejala,
mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Efek
samping adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk
karena airitasi saluran nafas atas.
b. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai
pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya terbatas
mengingat risiko efek sistemik. Untuk jangka panjang, lebih efektif menggunakan
steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus
diberikan, maka dibutuhkan selama jangka waktu tertentu. Efek samping jangka
panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari
hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas, penipisan kulit, striae, dan kelemahan otot.
c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan
antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel mast melalui
reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung pada dosis dan seleksi serta supresi
8
pada sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit), selain juga kemungkinan
menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara inhalasi,
digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Efek samping umumnya
minimal seperti batuk atau rasa tidak enak obat saat melakukan inhalasi.
d. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi
dengan agonis β2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.
Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol,
dimana pemberian jangka panjang efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal
paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lama sehingga
digunakan untuk mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi
yang lazim. Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi (≥10 mg/kgBB/hari
atau lebih) dengan gejala gastrointestinal seperti nausea, muntah adalah efek samping
yang paling dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardi, aritmia
dan kadangkala merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan
kejang bahkan kematian.
e. Agonis β2 kerja lama
Termasuk agonis β2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan formoterol yang
mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis β2 memiliki efek relaksasi otot
polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh
darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Pada pemberian
jangka lama mempunyai efek antiinflamasi, walau kecil dan mempunyai efek
protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis β2 kerja
lama menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan preparat oral.
Karena pengobatan jangka panjang dengan agonis β2 kerja lama tidak mengubah
inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu dikombinasi dengan
glukokortikosteroid inhalasi, dimana penambahan agonis β2 kerja lama inhalasi akan
memperbaiki gejala, menurunkan asma malam, memperbaiki faal paru, menurunkan
kebutuhan agonis β2 kerja singkat (pelega) dan menurunkan frekuensi serangan
asma.
9
Agonis β2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik
(rangsangan kardiovaskuler, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit
atau jarang daripada pemberian oral.
f. Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua
leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil
pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja
tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi
akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga
mempunyai efek antiinflamasi.
B. Pelega
a. Agonis β2 kerja singkat
Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai
onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral,
pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping
minimal/tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis β2 yaitu relaksasi otot polos
saluran nafas, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Efek
sampingnya rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia.
Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping.
b. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah efek
bronkodilatasi agonis β2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat
untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernafasan dan mempertahankan
respon terhadap agonis β2 kerja singkat diantara pemberian satu dengan berikutnya.
c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan
menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks
10
bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.. Efek samping berupa rasa kering di mulut
dan rasa pahit.
d. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia
agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2 kerja singkat.
C. Tahapan penanganan asma
Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma, agar dapat tercapai tujuan
pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal mungkin. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown therapy.
D. Pengobatan berdasarkan derajat berat asmaTabel 3. Pengobatan Sesuai Berat Asma1
Semua tahapan : ditambahkan agonis β2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak > 3-4x/hari
Berat Asma Medikasi Pengontrol Harian
Alternatif/Pilihan Lain Alternatif Lain
Asma Intermiten
Tidak perlu - -
Asma Persisten Ringan
Glukokortikosteroid inhalasi (200-400ug BD/hari atau equivalennya)
Teofilin lepas lambat
Kromolin
Leukotrien modifiers
-
Asma Persisten Sedang
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800ug BD/hari atau equivalennya) dan agonis β2
kerja lama
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800ug BD/hari atau equivalennya) ditambah teofilin lepas lambat, atau
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800ug BD/hari atau equivalennya) ditambah agonis β2 kerja lama oral, atau
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800ug BD atau equivalennya) atau
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800ug BD atau equivalennya) ditambah leukotriene
Ditambah agonis β2 kerja lama oral, atau
Ditambahkan teofilin lepas lambat
11
modifiers
Asma Persisten Berat
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (>800ug BD/hari atau equivalennya) dan agonis β2
Semua tahapan : bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian diturunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol
MENETAPKAN PENGOBATAN PADA SERANGAN AKUT
Kunci awal dalam penanganan serangan akut adalah penilaian berat serangan.
Tabel 4. Klasifikasi Berat Serangan Asma Akut1
Gejala dan Tanda
Berat Serangan Akut Keadaan Mengancam
JiwaRingan Sedang Berat
Sesak nafas Berjalan Berbicara Istirahat
Posisi Dapat tidur terlentang Duduk Duduk membungkuk
Cara berbicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata
Kesadaran Mungkin gelisah Gelisah Gelisah Mengantuk, gelisah, kesadaran menurun
Frekuensi nafas < 20/menit 20-30/menit > 30 menit
Nadi < 100 100-120 > 120 Bradikardia
Pulsus paradoksus
-
10 mmHg
±
10-20 mmHg
+
> 25 mmHg
-
kelelahan otot
Otot bantu nafas dan retraksi suprasternal
- + + Torakoabdominal paradoksal
Mengi Akhir ekspirasi paksa Akhir ekspirasi Inspirasi dan Silent chest
12
ekspirasi
APE > 80% 60-80% < 60%
PaO2 > 80 mmHg 80-60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg
SaO2 > 95% 91-95% < 90%
Tabel 5. Rencana Pengobatan Serangan Asma Berdasarkan Berat Serangan dan Tempat Pengobatan1
Serangan Pengobatan Tempat pengobatanRinganAktivitas relatif normalBerbicara satu kalimat dalam 1 nafasNadi < 100APE > 80%
Terbaik:Inhalasi agonis β2
Alternatif:Kombinasi oral agonis β2 dan teofilin
Di rumah
Di praktek dokter/ klinik/ puskesmas
Sedang Jalan jarak jauh timbulkan gelajaBerbicara beberapa kata dalam 1 nafasNadi 100-120APE 60-80%
Terbaik:Nebulasi agonis β2 @ 4 jamAlternatif:- Agonis β2 subkutan- Aminofilin iv- Adrenalim 1/1000 0,3 mL scOksigen bila mungkinKortikosteroid sistemik
Darurat gawat/RSKlinikPraktek dokterPuskesmas
Berat Sesak saat istirahatBerbicara kata perkata dalam 1 nafasNadi > 120APE < 60% atau 100 L/dtk