TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP LAMUN YANG DITRANSPLANTASI SECARA MULTISPESIES DI PULAU BARRANGLOMPO SKRIPSI Oleh : AYU ANNISA WIRAWAN JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
i
TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP LAMUN YANG DITRANSPLANTASI SECARA MULTISPESIES
DI PULAU BARRANGLOMPO
SKRIPSI
Oleh :
AYU ANNISA WIRAWAN
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
ii
TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP LAMUN YANG DITRANSPLANTASI SECARA MULTISPESIES DI PULAU
BARRANGLOMPO
Oleh :
AYU ANNISA WIRAWAN
L111 10 262
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HADANUDDIN
MAKASSAR
2014
iii
ABSTRAK
AYU ANNISA WIRAWAN L111 10 262. “Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun
yang Ditransplantasi Secara Multispesies Di Pulau Barranglompo”. Dibimbing
Oleh ROHANI AMBO RAPPE selaku Pembimbing Utama dan KHAIRUL AMRI
selaku Pembimbing Anggota
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir yang sangat
produktif dan bersifat dinamik. Rusaknya padang lamun cukup menghawatirkan,
sehingga perlu dilakukan transplantasi lamun multispesies yang merupakan
upaya mengatasi kerusakan ekosistem lamun serta untuk mengembalikan fungsi
padang lamun sebagai daerah asuhan untuk beberapa biota perairan. Pulau
Barranglompo memiliki keanekaragaman hayati lamun yang cukup tinggi, dimana
terdapat 8 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila
ovalis, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule uninervis,
Halodule pinifolia dan Syringodium isoetifolium.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup
lamun yang ditransplantasi menggunakan beberapa jenis lamun secara
multispesies. Dengan kegunaan sebagai bahan acuan untuk melakukan
transplantasi lamun secara multispesies pada daerah padang lamun yang
mengalami kerusakan. Peletakan patok pada area transplantasi lamun seluas 20
m x 20 m. Pemasangan transek dimulai dari transek satu sampai dengan transek
96 yang dipasang secara zigzag mulai dari daerah dalam sampai ke daerah
dangkal (ke arah pesisir pantai). Lamun ditransplantasi secara multispesies
dengan 3 perlakuan yang berbeda, perlakuan 2 spesies, perlakuan 4 spesies dan
perlakuan 5 spesies.
Hasil penelitian didapatkan tingkat kelangsungan hidup lamun yang
ditransplantasi secara multispesies diperoleh nilai untuk kombinasi 2 spesies di
dapatkan nilai 39.17%, untuk kombinasi 4 spesies 41,67% dan untuk kombinasi 5
spesies 33,33%.
Kata Kunci : Padang Lamun, Transplantasi Lamun, Multispesies, Enhalus
acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea
rotundata, Halodule uninervis, Barranglompo
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun yang
Ditransplantsai Secara Multispesies di Pulau
Barranglompo
Nama Mahasiswa : Ayu Annisa Wirawan
Nomor Pokok : L111 10 262
Jurusan : Ilmu Kelautan
Skripsi Telah diperiksa
dan disetujui oleh :
Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,
Dr. Ir. Rohani Ambo Rappe, M.Si Dr. Khairul Amri, ST, M.Sc.Stud NIP. 196909131993032004 NIP. 196907061995121002
Mengetahui :
Dekan Ketua Jurusan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Ilmu Kelautan,
Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc Dr. Mahatma Lanuru ST., M. Sc
NIP. 196703081990031001 NIP. 197010291995031001
Tanggal Lulus : 5 Juni 2014
v
RIWAYAT HIDUP
Ayu Annisa Wirawan, dilahirkan pada tanggal 06
Oktober 1992 di Makassar. Penulis merupakan anak
pertama dari tiga orang bersaudara dari pasangan
suami istri Hendra Wirawan,S.E dan Sudarni.
Penulis menyelesaiakan Pendidikan Taman Kanak-
kanak pada tahun 1998, selanjutnya pada tahun
2004 penulis lulus dari Sekolah Dasar SDN Komp.
Sambung Jawa Makassar, selanjutnya tahun 2007
penulis lulus dari sekolah menengah pertama di
SMPN 3 Makassar dan pada tahun 2010 penulis
menyelesaikan pendidikan di SMAN 2 Makassar. Tahun 2010 juga penulis
diterima sebagai Mahasiswa Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Keluatan, Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin melalui jalur Seleksi
Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi
kemahasiswaan. Diantaranya sebagai pengurus Senat Mahasiswa Ilmu Kelautan
Universitas Hasanuddin, anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi
Kelautan Indonesia (HIMITEKINDO) dan menjadi asisten dosen mata kuliah
Sedimentologi, Planktonologi Kelautan dan Eksplorasi Sumber Daya Hayati Laut.
Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Reguler pada tahun
2013 di Desa Kenje, Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar
Provinsi Sulawesi Barat dan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Lapeo,
Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat
dan Penelitian dengan judul Skripsi “Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun
yang Ditransplantasi Secara Multispesies di Pulau Barranglompo” pada
tahun 2014.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur bagi Allah Subhanhu wa Ta’ala yang telah
mengkaruniakan berkah dan kasih sayang-nya sehingga atas izin-Nya penulis
akhirnya dapat menyelesaikan Skripsi ini yang berjudul “Tingkat Kelangsungan
Hidup Lamun yang Ditransplantasi Secara Multispesies di Pulau
Barranglompo” sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana dari
Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin.
Kupersembahkan salah satu karya terbaikku kepada kedua orang tuaku
tercinta, Ayahanda Hendra Wirawan, S.E dan Ibunda Sudarni. Terima kasih
untuk segala doa, cinta dan kasih sayang serta motifasi yang diberikan kepada
saya selama ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa begitu banyak pihak yang telah turut
membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Melalui kesempatan ini, dengan
segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Rohani Ambo Rappe M.Si. sebagai pembimbing utama dan Bapak
Dr. Khairul Amrin, ST, M. Sc.Stud sebagai pembimbing anggota, yang telah
berkenan meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, memberi
saran dan perhatiannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Kepada para Dosen Penguji, Ibu Dr. Inayah Yasir,M.Sc Bapak Dr. Ir. M. Rijal
Idrus,M. Sc Bapak Dr. Supriadi, ST, M.Si atas waktu yang diluangkan untuk
memberi masukan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
vii
3. Bapak Dr. Muh. Lukman ST, M.Mar Sc dan Dr. Muh. Anshar Amran, MS
sebagai Penasehat Akademik, atas segala perhatian, masukan serta
arahannya selama penulis menjadi mahasiswa.
4. Ibu Isyanita, S.TP.,M.M selaku laboran Laboratorium Oseanografi Kimia,
yang telah banyak memberi masukan dan membantu menganalisis sampel di
Laboratorium
5. Teman seperjuangan selama penelitian berlangsung,“Nenni Asriani,
Setiawan Mangando, Musdalifa Mandasari dan Zusan Rapi Sambara”
terima kasih untuk pengalaman yang diberikan selama penelitian ini dilakukan
dan untuk Prof Susan Williams, Jessica Abbott, Dale Trockel, Brian, Kak
Steven S.Kel, Kak Nur Tri Handayani S.Kel, Kak Nurhikma S.Kel serta
Kak Jeszy Patiri S.Kel terima kasih untuk segala bantuannya selama ini.
6. Kanda Haryanto Kadir, S. Kel yang selama ini selalu memberi masukan,
semangat, perhatian lebih , kasih sayang dan setia menemani selama penulis
menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabat, saudara seperjuang Rizky Alfira, Budy Santoso, Ulil Amri A dan
Saldi Nidal Ali, Panglima angkatan Muh Zoel Ikram Noer dan Ketua
angkatan Hans Agung Pasak serta seluruh angkatan 2010 “ Kosong
Sepuluh Berjuta Variasi (KONSERVASI)” Asri Febriawan, Mardi, Ekaristi,
Tendri Bali, Weindri Rianto, Januar Putra, Andi Muh Akram, Abdul Asan,
Abdul Talib, Andrianto, Frans Habiranto, Iswan Idrus, Roni Maswar,
Putra Siade, Musliadi S.Kel, Mahmudin, Sumito, Aulia Idris, Khaerul
Chandra, Saipul, Wahid, Ashar, Andi Khaeria, Hesty Rombe S.Kel,
Fadilah Abidin S.Kel, St Hardianti, Fauziah Nur, Hastuti, Rezky
Ramadhani dan Zulfianti. Terima kasih sudah menjadi saudara selama ini
viii
8. Keluarga Besar Mahasiswa Kelautan Universitas Hasanuddin yang telah
memberi banyak pelajaran dan pengalaman yang tidak bisa saya dapatkan di
bangku perkuliahan, suatu kehormatan bisa menjadi bagian dari kalian.
9. Serta seluruh kakak senior dan adik junior serta semua teman-teman yang
selalu bersama penulis untuk memberikan bantuannya dimana penulis tidak
dapat menggoreskan namanya di secarik kertas ini.
Harapan penulis, semoga Skripsi ini dapat memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi para penuntut ilmu dan pengajar, baik dalam bangku perkuliahan,
penelitian maupun berprofesi sebagai guru nantinya, guna membina generasi
muda penerus bangsa yang lebih berkualitas dan berdaya saing.
Akhirnya kepada Allah-lah penulis memohon agar usaha ini dijadikan sebagai
amal soleh dan diberikan pahala oleh-Nya. Shalawat serta salam semoga
tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallaahu’alaihi wa Sallam beserta
keluarga, para sahabat dan para pengikutnya hingga hari akhir, Aamiin
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
JALESVEVA JAYA MAHE!!
DI LAUT KITA JAYA!!
Makassar, Juli 2014
Penulis
Ayu Annisa Wirawan
ix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Tujuan dan kegunaan ........................................................................ 2
C. Ruang Lingkup .................................................................................. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Padang Lamun ................................................................ 4
B. Fungsi Padang Lamun ...................................................................... 4
C. Klasifikasi Lamun .............................................................................. 5
D. Morfologi Lamun ................................................................................ 9
E. Transplantasi Lamun ......................................................................... 13
F. Faktor Lingkungan ............................................................................. 13
1. Suhu .............................................................................................. 13
2. Salinitas ......................................................................................... 14
3. Pasang Surut................................................................................. 14
4. Gelombang .................................................................................... 14
5. Arus ............................................................................................... 15
6. Total Suspended Solid (TSS) ........................................................ 16
7. Nitrat .............................................................................................. 16
8. Fosfat ............................................................................................ 17
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat ............................................................................ 19
B. Alat dan bahan .................................................................................. 20
C. Prosedur Kerja .................................................................................. 21
1. Persiapan ...................................................................................... 21
2. Penentuan Lokasi .......................................................................... 21
3. Peletakan Patok ............................................................................ 21
4. Pemasangan Transek ................................................................... 21
5 Pengumpulan Transplan ................................................................. 23
6. Penanaman Transplan .................................................................. 24
7. Pengambilan Data Tingkat Kelangsungan Hidup (TKH) ................ 25
8. Parameter Lingkungan .................................................................. 25
D. Analisis Data ..................................................................................... 29
x
Halaman
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Parameter Lingkungan ...................................................................... 30
B. Keberhasilan Lamun yang Ditransplantasi ........................................ 34
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ........................................................................................... 42
B. Saran ................................................................................................ 42
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 43
LAMPIRAN ................................................................................................... 48
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Penggolongan kesuburan Perairan Berdasarkan Kandungan
Fosfatnya……………………………………………………………………..17
Tabel 2. Jenis-jenis Lamun Dalam Setiap Kombinasi Perlakuan ................... 24
Tabel 3. Nilai Rata-rata Suhu, Salintas, Arus dan Gelombang ...................... 30
Tabel 4. Nilai Rata-rata Nitrat dan Fosfat ...................................................... 33
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Enhalus acoroides ....................................................................... 7
Gambar 2. Halophila ovalis ........................................................................... 7
Gambar 3. Thalassia hemprichii ................................................................... 8
Gambar 4. Cymodocea rotundata ................................................................. 9
Gambar 5. Halodule Uninervis ...................................................................... 9
Gambar 6. Morfologi Lamun ......................................................................... 10
Gambar 7. Peta Lokasi Transplantasi ........................................................... 19
Gambar 8. Sketsa Transek Transplantasi ..................................................... 22
Gambar 9. Transek Kuadran......................................................................... 22
Gambar 10. Ukuruan Pemotongan tipe transplan ......................................... 23
Gambar 11. Pola Pasang Surut .................................................................... 32
Gambar 12. Rata-rata Pola Kelangsungan Hidup Setiap Minggunya ............ 35
Gambar 13. TKH lamun yang Ditransplantasi Secara Multispesies .............. 37
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data Rata-rata Pola Kematian Lamun Setiap Minggunya ......... 49
Lampiran 2. TKH Lamun yang Ditransplantasi Secara Multispesies ............ 50
Lampiran 3. Anallisis One Way Anova ......................................................... 53
Lampiran 4. Dokumentasi di Lapangan ........................................................ 56
1
I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga
(Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup
terendam di dalam laut serta beradaptasi secara penuh di perairan yang
salinitasnya cukup tinggi (Den Hartog, 1970). Beberapa ahli juga mendefenisikan
lamun (seagrass) sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut,
berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar serta berkembang biak dengan biji
dan tunas (Kawaroe, 2009).
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir yang sangat produktif
dan bersifat dinamik. Faktor-faktor lingkungan yaitu faktor fisik, kimia dan biologi
secara langsung berpengaruh terhadap ekosistem padang lamun. Padang lamun
menyediakan habitat bagi banyak hewan laut dan bertindak sebagai
penyeimbang substrat. Akan tetapi, sekitar 54% padang lamun di dunia telah
hilang. Menurut laporan, hilangnya padang lamun secara global sejak tahun 1980
sama dengan hilangnya 2 lapangan bola tiap jamnya (McKenzie, 2008).
Ekosistem lamun sudah banyak terancam termaksud di Indonesia baik secara
alami maupun oleh aktifitas manusia. Hilangnya padang lamun terutama
merupakan akibat dari dampak langsung kegiatan manusia termaksud kerusakan
secara mekanis (pengerukan dan jangkar), eutrofikasi, budidaya perikanan, dan
pembangunan pada daerah pesisir. Hilangnya padang lamun ini diduga akan
terus meningkat akibat tekanan pertumbuhan penduduk di daerah pesisir
(Kiswara, 2009).
Rusaknya padang lamun cukup menghawatirkan, sehingga perlu dilakukan
transplantasi lamun multispesies yang merupakan upaya mengatasi kerusakan
ekosistem lamun serta untuk mengembalikan fungsi padang lamun sebagai
daerah asuhan untuk beberapa biota perairan. Tujuan dari transplantasi lamun
2
adalah untuk memperbaiki padang lamun yang telah mengalami kerusakan.
Beberapa teknik transplantasi telah banyak digunakan oleh para peneliti di
Indonesia antara lain teknik transplantasi tanpa jangkar, teknik transplantasi
dengan menggunakan jangkar dan metode peat pot (Azkab, 1999). Tujuan dari
transplantasi lamun adalah untuk memperbaiki padang lamun yang telah
mengalami kerusakan. Mengingat telah banyaknya kerusakan pada daerah
padang lamun yang menyebabkan penurunan keragaman biota laut yang
berasosiasi di padang lamun maka penelitian transplantasi lamun multispesies ini
penting untuk dilakukan untuk mengembalikan keadaan padang lamun yang
memiliki keanekaragaman jenis yang bervariasi, maka penelitian ini dianggap
penting.
Pulau Barranglompo dipilih dan dijadikan sebagai lokasi penelitian karena
wilayah perairan pulau ini memiliki padang lamun yang cukup luas dan tersusun
oleh berbagai jenis lamun. Pulau Barranglompo memiliki keanekaragaman
hayati lamun yang cukup tinggi, dimana terdapat 8 jenis lamun yaitu Enhalus
acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata,
Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, Halodule pinifolia dan Syringodium
isoetifolium (Supriadi, 2012). Oleh karena itu lokasi ini digunakan untuk
melakukan penelitian mengenai tingkat kelangsungan hidup lamun yang
ditransplantasi secara multispesies.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup
lamun yang ditransplantasi menggunakan beberapa jenis lamun secara
multispesies. Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai bahan acuan untuk
melakukan transplantasi lamun secara multispesies pada daerah padang lamun
yang mengalami kerusakan.
3
C. Ruang Lingkup
Penelitian ini menggunakan beberapa kombinasi spesies lamun yang
ditransplantasi yaitu untuk kombinasi 2 spesies lamun terdiri dari: Enhalus
acoroides dan Halophila ovalis, Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides,
Halophila ovalis dan Halodule uninervis, Halodule uninervis dan Cymodocea
rotundata, Halodule uninervis dan Thalassia hemprichii.
Untuk kombinasi 4 spesies lamun, yaitu: Halophila ovalis, Halodule uninervis,
Cymodocea rotundata dan Enhalus acoroides; H. uninervis, Cymodocea
rotundata, T. hemprichii dan E. acoroides; H. ovalis, C. rotundata, T. hemprichii
dan E. acoroides; H. ovalis, H. uninervis, T. hemprichii dan E. acoroides; H.
ovalis, H. uninervis, C. rotundata dan T. hemprichii.
Untuk kombinasi 5 spesies yaitu: Halophila ovalis, Halodule uninervis,
Cymodocea rotundata, Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides.
Parameter pertumbuhan yang diamati yakni tingkat kelangsungan hidup pada
beberapa jenis lamun yang ditansplantasikan secara multispesies. Parameter
lingkungan yang diamati meliputi faktor kimia dan fisika perairan yaitu: suhu,
salinitas, pasang surut, nitrat, Total Suspended Solid (TSS), fosfat, kecepatan
arus dan gelombang.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Padang Lamun
Padang lamun merupakan ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun
sebagai vegetasi yang dominan (Wimbaningrum, 2003). Padang lamun dapat
berbentuk vegetasi tunggal yang disusun oleh satu jenis lamun saja atau
vegetasi campuran yang disusun mulai dari 2 sampai 12 jenis lamun yang
tumbuh bersama dalam suatu substrat (Kirikam, 1985 dalam Kiswara dan
Winardi, 1997).
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga
(Angiospermae) yang memiliki rhizome, daun dan akar sejati dan pada umumnya
membentuk padang lamun yang luas di dasar perairan yang dangkal baik
monospesifi maupun multispesifik dengan sirkulasi air yang baik untuk
menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkat hasil metabolism
lamun ke luar padang lamun (Bengen, 2002).
B. Fungsi Padang Lamun
Menurut Azkab (2000) fungsi dari komunitas lamun pada ekosistem perairan
dangkal, antara lain sebagai:
1. Stabilisator Dasar Perairan
Sebagai akibat dari pertumbuhan daun yang lebat dan sistem perakaran yang
padat, maka vegetasi lamun dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan
oleh arus dan ombak serta menyebabkan perairan di sekitarnya tenang.
Rimpang dan akar lamun dapat menangkap dan menggabungkan sedimen
sehingga meningkatkan stabilitas permukaan di bawahnya dan pada saat yang
sama menjadikan air lebih jernih.
5
2. Pendaur Unsur Hara
Lamun memegang fungsi yang utama dalam daur berbagai zat hara dan
elemen- elemen langka di lingkungan laut. Sebagai contoh akar Zostera dapat
mengambil fosfat yang keluar dari daun yang membusuk yang terdapat pada
celah-celah sedimen. Zat hara tersebut secara potensial dapat digunakan oleh
epifit apabila mereka berada dalam medium yang miskin fosfat.
3. Sumber Makanan
Lamun dapat dimakan oleh beberapa organisme. Dari avertebrata hanya bulu
babi yang memakan langsung lamun, sedangkan dari vertebrata yaitu beberapa
ikan (Scaridae, Acanthuridae), penyu dan duyung, sedangkan bebek dan angsa
memakan lamun jika lamun tersebut muncul saat surut terendah.
4. Tempat Asuhan dan Tempat Tinggal
Padang lamun merupakan daerah asuhan untuk beberapa organisme.
Sejumlah jenis fauna tergantung pada padang lamun, walaupun mereka tidak
mempunyai hubungan dengan lamun itu sendiri. Beberapa organisme hanya
menghabiskan sebagian waktu hidupnya di padang lamun dan beberapa dari
mereka adalah ikan dan udang bernilai ekonomis penting. Sebagai contoh
pengerukan terhadap padang lamun di Florida mengakibatkan hilangnya udang
komersil, Penaus duorarum.
C. Klasifikasi Lamun
Tanaman lamun memiliki bunga, berpolinasi, menghasilkan buah dan
menyebarkan bibit seperti banyak tumbuhan darat. Klasifikasi lamun adalah
berdasarkan karakter tumbuh-tumbuhan. Selain itu, genera di daerah tropis
memiliki morfologi yang berbeda sehingga pembedaan spesies dapat dilakukan
dengan dasar gambaran morfologi dan anatomi.
6
Lamun merupakan tumbuhan laut monokotil yang secara utuh memiliki
perkembangan sistem perakaran dan rhizoma yang baik. Pada sistem klasifikasi,
lamun berada pada Sub kelas Monocotyledoneae, kelas Angiospermae. Dua
famili lamun diketahui berada di perairan Indonesia yaitu Hydrocharitaceae dan
Cymodocea. Lamun adalah tumbuhan monokotil yang tidak sepenuhnya sama
seperti rumput sejati, tetapi lebih dekat kekerabatannya dengan famili tumbuhan
lili (McKenzie dan Yoshida 2009).
Den Hartog (1970) dan Menez et al. (1983) menuliskan klasifikasi lamun
sebagai berikut :
Divisi: Anthophyta
Kelas :Angiospermae
Ordo : Helobiae
Famili : Hydrocharitaceae
Genus : Enhalus
Spesies :Enhalus acoroides
Genus :Halophila
Spesies : Halophila ovalis
Halophila minor
Halophila decipiens
Halophila spinulosa
Genus :Thalassia
Spesies :Thalassia hemprichii
Ordo : Potamogetonales
Famili : Cymdoceaceae
Genus :Cymodocea
Spesies : Cymodocea rotundata
Cymodocea serrulata
Genus : Halodule
Spesies : Halodule pinifolia
Halodule uninervis
Genus :Syringodium
Spesies : Syringodium isoetifolium
Genus : Thalassodendron
Spesies : Thalassodendron ciliatum
7
Enhalus acoroides memiliki rhizoma (batang) yang tertanam di dalam
substrat, ujung daun yang bulat dan kadang-kadang terdapat serat-serat kecil
yang menonjol pada waktu muda, tepi daun seluruhnya jelas, bentuk garis tepi
daunnya seperti melilit, dan mempunyai daun sebanyak 3 atau 4 helai yang
berasal langsung dari rhizoma (Den Hartog 1970; Philips and Menez 1988).
Gambar 1. Enhalus acoroides (Waycott et al, 2004 )
Halophila ovalis mempunyai akar tunggal pada tiap nodus. Tiap nodus terdiri dari
sepasang daun, jarak antara nodus kurang lebih 1,5 cm, panjang helaian
daun kurang lebih 10 – 40 mm, panjang tangkai daun yaitu kurang lebih 3 cm,
dan tulang daun berjumlah 10 – 25 pasang (Romimohtarto dan Juwana, 2001).
Gambar 2. Halophila ovalis (Waycott et al, 2004)
8
Thalassia hemprichii memiliki rimpang (rhizoma) yang berwarna coklat atau
hitam dengan ketebalan 1-4 mm dan panjang 3-6 cm. Setiap nodus ditumbuhi
oleh satu akar dimana akar tersebut dikelilingi oleh rambut kecil yang padat.
Setiap tegakannya mempunyai 2-5 halaian daun dengan apeks daun yang
membulat, panjang 6-30 cm dan lebar 5-10 mm (Fortes, 1993 dalam
Latuconsina, 2002).).
Helaian daun Thalassia hemprichii berbentuk pita, ujung daun membulat,
tidak terdapat ligule, dan terdapat ruji-ruji hitam yang pendek. Selain itu terdapat
10-17 tulang-tulang daun yang membujur (Den Hartog 1970; Philips dan Menez
1988).
Gambar 3. Thalassia hemprichii (Waycott et al, 2004)
Cymodocea rotundata memiliki daun berbentuk pita tipis yang panjang
dengan panjang 6-15 cm dan lebar 2-4 mm. C. rotundata memiliki rhizoma yang
halus dengan diameter 1-2 mm dan panjang antara ruas 1-4 cm. Terdapat 2-5
daun pada setiap tunas, tunas tumbuh pada setiap node rhizoma dan muncul
bekas luka (scars) yang merupakan perkembangan dari pelepah daun
membentuk cincin sepanjang batang (stem) (Waycott, et al., 2004).
Akar tumbuh pada bagian rhizoma yang menjalar mendatar dan memanjang,
batang berwarna coklat. Tumbuh-tumbuhan ini terdapat tepat di bawah air surut
rata-rata pada pasang surut purnama pada pantai pasir dan pantai lumpur.
9
Ciri-ciri morfologi dari Cymodocea rotundata adalah memiliki tepi daun halus
atau licin, tidak bergerigi, tulang daun sejajar, akar pada tiap nodusnya terdiri dari
2-3 helai, akar tidak bercabang, dan tidak mempunyai rambut akar. Selain itu tiap
nodusnya hanya terdapat satu tegakan (Nybakken, 1998).
Gambar 4. Cymodocea rotundata (Waycott et al, 2004)
Halodule uninervis memiliki ujung daun yang berbentuk gelombang
menyerupai huruf W, jarak antara nodus kurang lebih 2 cm, dan rimpangnya
berbuku-buku. Setiap nodusnya berakar tunggal, banyak dan tidak bercabang.
Selain itu juga setiap nodusnya hanya terdiri dari satu tegakan, dan tiap tangkai
daun terdiri dari 1 sampai 2 helaian daun (Nontji, 1993).
Gambar 5. Halodule uninervis (Waycott et al, 2004)
D. Morfologi dan Anatomi Lamun
Setiap jenis lamun, memiliki rhizoma, akar, daun, buah dan bunga. Rhizoma
yang dimiliki oleh spesies lamun berukuran kecil, umumnya lebih fleksibel
10
sedangkan spesies lamun yang berukuran besar memiliki tekstur rhizoma hampir
berkayu (Den Hartog, 1970), yang dimaksud dengan lamun (seagrass) adalah
tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang hidup dan tumbuh di laut dangkal,
mempunyai akar, rimpang (rhizoma), daun, bunga dan buah dan berkembang
biak secara generatif (penyerbukan bunga) dan vegetatif (pertumbuhan tunas).
Bentuk vegetatif lamun memperlihatkan karakter tingkat keseragaman yang
tinggi, hampir semua genera memiliki rhizoma yang sudah berkembang dengan
baik dan bentuk daun yang memanjang (linear) atau berbentuk sangat panjang
seperti ikat pinggang (belt), kecuali jenis Halophila memiliki bentuk lonjong.
Lamun terdiri dari organ dan jaringan yang sama dengan tumbuhan berbunga
pada umumnya seperti yang dijumpai di daratan. Tumbuhan berbunga yang telah
dewasa, memiliki morfologi tersendiri untuk bagian atas tanah (aboveground)
dan bagian di bawah tanah (belowground). Pada bagian bawah tanah, umumnya
tersusun atas akar untuk penjangkaran dan rhizoma sebagai penguat/
penyangga. Pada bagian di atas tanah merupakan tunas yang berkembang
menjadi beberapa daun (Gambar 6). Selembar daun biasanya memiliki pelepah/
seludang daun yang berfungsi untuk melindungi apikal meristem dan
perkembangan daun (Kuo dan den Hartog, 2006; Azkab, 2006).
Gambar 6. Morfologi Lamun (McKenzie dan Yoshida 2009)
11
Sebagian besar tumbuhan lamun berumah dua, artinya dalam satu individu
hanya ada bunga betina atau bunga jantan saja. Sistem penyerbukan lamun
berlangsung secara khas, yaitu berlangsung di dalam air serta buahnya
terendam di air (Azkab, 2006).
Akar, Rhizoma dan Batang
Tumbuhan lamun terdiri dari akar, rhizoma, dan daun. Rhizoma merupakan
batang yang terpendam dan merayap secara mendatar dan berbuku-buku. Pada
buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan
berbunga. Pada buku tumbuh pula akar (Nontji,1993). Lamun memiliki daun-
daun tipis yang memanjang seperti pita yang mempunyai saluran-saluran air
(Nybakken, 1992). Bentuk daun seperti ini dapat memaksimalkan difusi gas dan
nutrien antara daun dan air, juga memaksimalkan proses fotosintesis di
permukaan daun (Philips dan Menez, 1988).
Secara umum lamun memiliki bentuk luar yang sama, dan yang membedakan
antar spesies adalah keanekaragaman bentuk organ sistem vegetatif. Menjadi
tumbuhan yang memiliki pembuluh, lamun juga memiliki struktur dan fungsi yang
sama dengan tumbuhan darat yaitu rumput. Berbeda dengan rumput laut (marine
alga/seaweeds), lamun memiliki akar sejati, daun, pembuluh internal yang
merupakan sistem yang menyalurkan nutrien, air, dan gas (Kuo dan Hartog,
1989).
Terdapat perbedaan morfologi dan anatomi akar yang jelas antara jenis lamun
yang dapat digunakan untuk taksonomi. Akar pada beberapa spesies seperti
Halophila dan Halodule memiliki karakteristik tipis (fragile), seperti rambut,
diameter kecil, sedangkan spesies Thalassodendron memiliki akar yang kuat dan
berkayu dengan sel epidermal. Jika dibandingkan dengan tumbuhan darat, akar
dan akar rambut lamun tidak berkembang dengan baik (Kuo dan Hartog, 1989).
12
Patriquin (1972) menjelaskan bahwa lamun mampu untuk menyerap nutrien dari
dalam substrat (interstitial) melalui sistem akar-rhizoma.
Semua lamun memiliki lebih atau kurang rhizoma yang utamanya adalah
herbaceous, walaupun pada Thallasodendron ciliatum (percabangan simpodial)
yang memiliki rhizoma berkayu yang memungkinkan spesies ini hidup pada
habitat karang yang bervariasi dimana spesies lain tidak bisa hidup.
Kemampuannya untuk tumbuh pada substrat yang keras menjadikan
Thallasodendron ciliatum memiliki energi yang kuat dan dapat hidup berkoloni
disepanjang hamparan terumbu karang.
Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang sangat tinggi
tergantung dari susunan saluran di dalam stele. Rhizoma, bersama sama dengan
akar, menancapkan tumbuhan ke dalam substrat. Rhizoma seringkali terbenam
di dalam substrat yang dapat meluas secara ekstensif dan memiliki peran yang
utama pada reproduksi secara vegetatif dan reproduksi yang dilakukan secara
vegetatif merupakan hal yang lebih penting dari pada reproduksi dengan
pembibitan karena lebih menguntungkan untuk penyebaran lamun. Rhizoma
merupakan 60–80% biomas lamun (Kuo dan Hartog, 1989).
Daun
Daun menyerap hara langsung dari perairan sekitarnya, mempunyai rongga
untuk mengapung agar dapat berdiri tegak di air, tapi tidak banyak mengandung
serat seperti tumbuhan rumput di darat (Hutomo,1997). Sebagian besar lamun
berumah dua, artinya dalam satu tumbuhan hanya ada jantan saja atau betina
saja. Sistem pembiakannya bersifat khas karena melalui penyerbukan dalam air
(Nontji, 1993).
Anatomi yang khas dari daun lamun adalah ketiadaan stomata dan
keberadaan kutikel yang tipis. Kutikel daun yang tipis tidak dapat menahan
pergerakan ion dan difusi karbon sehingga daun dapat menyerap nutrien
13
langsung dari air laut. Air laut merupakan sumber bikarbonat bagi tumbuh-
tumbuhan untuk penggunaan karbon inorganik dalam proses fotosintesis (Kuo
dan Hartog, 1989).
E. Transplantasi Lamun
Transplantasi lamun adalah memindahkan dan menanam di tempat lain,
mencabut dan memasang pada daerah lain atau situasi lain (Azkab 1999,
Calumpong dan Fonseca 2001). Sedangkan Lewis (1987) dalam Calumpong dan
Fonseca (2001), menyatakan bahwa restorasi adalah mengembalikan ke kondisi
seperti sebelumnya dari gangguan atau mengganti dengan yang baru.
Penanaman lamun yang dikenal dengan transplantasi merupakan salah satu
cara untuk memperbaiki atau mengembalikan ke habitat yang telah mengalami
penurunan/kerusakan. Upaya untuk menanam atau transplantasi padang lamun
ternyata sudah dilakukan sejak tahun 1947 oleh Addy pada jenis Zostera marina,
Fuss & Kelly pada jenis Thalassia testudinum dan Halodule wrightii (Phillips,
1974), dan jenis Thalassia testudinum oleh Thorhaug (1974). Agar tidak terjadi
salah pengertian dalam mengartikan transplantasi lamun, Bethel (1961)
membuat definisi transplantasi adalah memindahkan dan menanam di lain
tempat, mencabut dan memasang pada tanah lain atau situasi lain.
F. Faktor Lingkungan
1. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang paling berpengaruh
terhadap ekosistem lamun. Suhu juga menjadi faktor pembatas bagi
pertumbuhan dan distribusi lamun. Perubahan suhu mempengaruhi
metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Pada
kisaran suhu 25-30°C fotosintesis bersih pada lamun akan meningkat dengan
meningkatnya suhu (Hutomo, 1999).
14
Menurut Nontji (1993), suhu rata-rata untuk pertumbuhan lamun berkisar
antara 24-27°C.
2. Salinitas
Kisaran salinitas yang dapat ditolerir tumbuhan lamun adalah 10–40‰ dan
nilai optimumnya adalah 35‰. Penurunan salinitas akan menurunkan
kemampuan lamun untuk melakukan fotosintesis. Toleransi lamun terhadap
salinitas bervariasi juga terhadap jenis dan umur lamun. Lamun yang tua dapat
mentoleransi fluktuasi salinitas yang besar. Salinitas juga berpengaruh terhadap
biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih. Salah satu
faktor yang menyebabkan rusaknya ekosistem padang lamun adalah
meningkatnya salinitas (Dahuri et al, 2001).
3. Pasang Surut
Pariwono (1989) mengemukakan pasang surut pada umumnya dikaitkan
dengan proses naik turunnya permukaan air laut (sea level) secara berkala yang
ditimbulkan oleh adanya daya tarik benda-benda angkasa, terutama matahari
dan bulan terhadap massa air di bumi. Meskipun massa bulan jauh lebih kecil
dari matahari, tetapi karena jaraknya terhadap bumi jauh lebih dekat, maka
pengaruh gaya tarik bulan terhadap bumi jauh lebih besar dari pada pengaruh
gaya tarik matahari (Triatmodjo, 1999).
Menurut Davis (1999) bahwa kedalaman yang baik untuk melakukan
transplantasi lamun berkisar antara 0,5-1,5 meter pada saat surut terendah,
dimana saat surut terendah lokasi transplantasi ini masih tergenang oleh air dan
intensitas cahaya masih tinggi sampai tiba di dasar perairan.
4. Gelombang
Gelombang sangat berpengaruh bagi komunitas lamun yang tumbuh di
daerah perairan yang dangkal. Pada saat musim gelombang/ombak yang besar,
15
kebanyakan daun lamun akan gugur, terlepas dari batang atau rhizomanya
(Short dan Coles, 2003).
Gelombang akan selalu menimbulkan sebuah ayunan pada air dan tidak
berhenti bergerak pada lapisan permukaan air laut. Angin sepoi-sepoi pada
kondisi cuaca yang tenang sekalipun sudah dapat membangkitkan gelombang.
Sifat-sifat gelombang dipengaruhi oleh 3 (tiga) bentuk angin yaitu :
1.Kecepatan angin. Umumnya makin kencang angin yang bertiup makin besar
gelombang yang terbentuk dan gelombang ini mempunyai kecepatan yang tinggi
dan panjang gelombang yang besar. Tetapi gelombang yang terbentuk dengan
cara ini puncaknya kurang caram jika dibandingkan dengan yang dibangkitkan
oleh angin yang berkecepatan lebih lemah. Data yang disajikan dalam
memperlihatkan hubungan antara kecepatan angin dan sifat-sifat gelombang.
2. Waktu di mana angin sedang bertiup. Tinggi, kecepatan dan panjang
gelombang seluruhnya cenderung untuk meningkat sesuai dengan meningkatnya
waktu pada saat angin pembangkit gelombang mulai bergerak bertiup.
3. Jarak tanpa rintangan di mana angin sedang bertiup (dikenal sebagai fetch).
Pentingnya fetch dapat digambarkan dengan membandingkan gelombang yang
terbentuk pada kolom air yang relatife kecil seperti danau di daratan dengan
yang terbentuk di lautan bebas. Gelombang yang terbentuk di danau dimana
fetchnya kecil, biasanya mempunyai panjang gelombang hanya beberapa
sentimeter, sedangkan yang di lautan bebas dimana fetchnya kemungkinan lebih
besar, sering mempunyai panjang gelombang sampai beberapa ratus meter
menyajikan beberapa data dimana terlihat bahwa fetch dapat juga
mempengaruhi tinggi gelombang (Hutabarat dan Evans, 1984).
5. Arus
Arus merupakan gerakan massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan agin
yang mengalami perbedan densitas air laut atau disebabkan oleh gerakan
16
bergelombang panjang (Nontji, 1993). Arus lebih efektif sebagai media
penyebaran dan pengenceran polutan yang masuk ke lingkungan laut
(Mukhtasor, 2007). Produktifitas padang lamun juga dipengaruhi oleh kecepatan
arus di perairan. Umumnya lamun dapat tumbuh dengan baik pada perairan yang
berarus tenang (kecepatannya sampai 3,5 knots) (Philips & Menez, 1988).
6. Total Suspended Solid (TSS)
Salah satu parameter yang menentukan kualitas air adalah Total Suspended
Solid (TSS). Pengukuran TSS didasarkan pada berat kering partikel yang
terperangkap oleh filter yang umumnya memiliki ukuran pori-pori tertentu.
Umumnya digunakan filter yang berukuran pori 0,45 µm (Clescerl,1905).
Kandungan TSS mempunyai hubungan erat dengan kecerahan perairan. Hal
ini terjadi karena keberadaan padatan tersuspensi akan menghalangi penetrasi
cahaya yang masuk ke perairan sehingga TSS dan kecerahan menunjukan
hubungan yang berbanding terbalik (Blom et al, 1994). Semakin tinggi nilai TSS
maka semakin rendah presentasi nilai kecerahan di perairan tersebut. Tingginya
nilai TSS disebabkan karena pembuangan limbah rumah tangga, pembersihan
kapal serta sampah serah mangrove yang terbawa oleh arus di perairan.
7. Nitrat
Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien
bagi pertumbuhan lamun. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan memiliki sifat
stabil. Senyawa ini dihasilkan oleh proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen
di perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi ammonia menjadi nitrit
dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen. Untuk
mengelompokkan tingkat kesuburan perairan dapat digunakan nitrat. Perairan
oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0–5 mg/L, perairan mesotrofik memiliki
kadar nitrat antara 1–5 mg/L, dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat yang
berkisar antara 5–50 mg/L (Effendi, 2003). Nitrat dapat diserap oleh lamun
17
melalui akar dan daun. Rhizoma dan akar lamun yang mati akan menambah
kandungan nitrat dalam sedimen. Kandungan nitrat dalam kandungan perairan
laut rata-rata 25 ppm. Nitrat juga dapat digunakan untuk mengelompokkan
tingkat kesuburan perairan (Effendi, 2003).
8. Fosfat
Fosfat merupakan salah satu unsur esensial bagi metabolism dan
pembentukan protein, fosfat yang diserap oleh jasad hidup nabati perairan
adalah fosfat dalam bentuk orto-fosfat yang larut dalam air. Orto-fosfat dalam
jumlah yang kecil merupakan faktor pembatas bagi produktifitas perairan
(Hatchinsons, 1967).
Menurut Hutagalung dan Rozak (1997), fosfat yang terkandung dalam air laut
baik bentuk terlarut maupun tersuspensi keduanya berada dalam bentuk
anorganik dan organik. Senyawa fosfat organik yang terkandung dalam air laut
umumnya berbentuk ion asam fosfat, H3PO4. Kira-kira 10% dari fosfat anorganik,
terdapat sebagai ion PO43- dan sebagian besar (±90%) dalam bentuk HPO4
2-.
Sulaeman (2005), mengemukakan pembagian tipe perairan berdasarkan
kandungan fosfat di perairan sebagai berikut:
Tabel 1. Penggolongan kesuburan perairan berdasarkan kandungan fosfatnya
Salah satu unsur penting sebagai makro nutrien adalah fosfor. Studi
mengenai transformasi, pertukaran dan dinamika dari unsur fosfor diketahui
sangat penting dalam membicarakan persediaan untuk keperluan organisme
yang hidup di laut. Sumber utama unsur fosfor di laut berasal dari endapan
No Kandungan Fosfat Tingkat Kesuburan
1 <5 ppm sangat rendah
2 5 – 10 ppm Rendah
3 11 – 15 ppm Sedang
4 16 – 20 ppm baik sekali
5 >21 ppm Sangat baik
18
terestrial yang mengalami erosi dan pupuk pertanian yang dibawa oleh aliran
sungai. Di samping hal tersebut, fosfor dalam lingkungan laut juga mengalami
siklus yang meliputi interaksi antara suatu organisme dengan organisme yang
lain dan antara organisme dengan lingkungannya. Siklus fosfor mempertahankan
fosfor bagi organisme. Hal ini penting pada lingkungan laut yang jauh dari daerah
pantai, karena tidak adanya sumber utama fosfor yang di bawa oleh aliran sungai
(Horax, 1998)
Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan
sebagai unsur yang esensial sehingga menjadi faktor pembatasa bagi tumbuhan
akuatik termasuk lamun. Fosfat di padang lamun berasal dari kolom air yang
kadarnya relatif rendah dan dari dekomposisi bahan organik dalam sedimen.
Lamun sendiri memanfaatkan fosfat pada kolom air melalui daun, akar dan
rhizoma. Senyawa ini menunjukan subur tidaknya suatu perairan (Effendi, 2003).
Tumbuhan laut dapat menyerap nutrient dan melakukan fiksasi nitrogen
melalui tudung akar (Mckenzie dan Yoshida, 2009). Penyerapan nutrient tidak
hanya dilakukan oleh akar, akan tetapi nutrien juga dapat diserap dari air laut dan
daun (Erftemeijer, 1993).
19
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2013
berlokasi di Perairan Pulau Barranglompo Kecamatan Ujung Tanah, Kota
Makassar (Gambar 7). Analisis Total Suspension Solid (TSS), nitrat dan fosfat air
dilakukan di Laboratorium Oseanografi Kimia Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan. Sampel nitrat dan fosfat sedimen dianalisis pada
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Hasanuddin.
Gambar 7. Peta Lokasi Transplantasi Lamun
20
B. Alat dan Bahan
1. Lapangan
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu: perahu motor, digunakan
untuk transportasi di lapangan; transek kuadran ukuran 40 cm x 40 cm sebagai
media untuk meletakkan transplan; patok besi dengan panjang 30 cm untuk
menahan transek transplantasi, patok besi dengan panjang 15 cm untuk
menahan transplan pada substrat yang ada pada lokasi transplantasi; gunting
untuk memotong transpalant sesuai ukuran yang di tetapkan; penggaris untuk
mengukur panjang transplan yang akan dipotong; label untuk pemberian nomor
tiap transek; botol sampel untuk pengambilan sampel air; alat selam dasar atau
SCUBA digunakan untuk pengambilan data di lapangan; kantong sampel
digunakan sebagai tempat menyimpan sampel sedimen; layang-layang arus,
stop watch dan kompas digunakan untuk menentukan arah dan kecepatan arus;
termometer untuk mengukur suhu saat melakukan pengamatan;
Handrefractometer untuk mengukur salinitas; GPS untuk menentukan letak
geografis lokasi penelitian; tiang pasut untuk mengukur pasang surut dan
gelombang; kamera bawah air untuk dokumentasi; underwater paper untuk
mencatat data di bawah air; patok kayu digunakan sebagai pembatas daerah
yang akan digunakan sebagai daerah ditransplantasi.
Sedangkan untuk bahan yang digunakan di lapangan adalah lima jenis lamun
yang digunakan untuk transplantasi Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,
Halophila ovalis, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata.
2. Laboratorium
Alat yang digunakan di Laboratorium untuk melakukan analisis sampel nitrat
dan fosfat pada penelitian adalah tabung reaksi dan gelas piala untuk
menyimpan larutan dan sampel air untuk analisis N dan P; Spektrofotometer
21
untuk menghitung kadar N dan P pada sampel air laut; untuk analisis sampel
Total Suspended Solid menggunakan alat vacuum pump untuk menyaring
sampel air laut; gelas ukur untuk mengukur volume air laut; timbangan analitik
untuk menimbang kertas saring Whatman. Sedangkan untuk bahan yang
digunakaan saat melakukan analisis sampel di Laboratorium adalah air laut
sebagai bahan yang akan dianalisis, larutan asam sulfat, asam ascorbic dan
ammonium mlybdate untuk analisis N dan P pada air dan HCL untuk analisis N
dan P pada sedimen.
C. Prosedur Kerja
1. Persiapan
Tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah survei lapangan
untuk menentukan lokasi penelitian, studi literatur, dan konsultasi.
2. Penentuan Stasiun Pengamatan
Lokasi penelitian transplantasi lamun secara multispesies dilakukan pada
kawasan yang terdapat padang lamun yang cukup luas akan tetapi telah
mengalami kerusakan. Lokasi transplantasi lamun ini memilliki luasan sekitar 20
m x 20 m.
3. Peletakan Patok
Peletakan patok pada area transplantasi lamun seluas 20 m x 20 m
menggunakan patok kayu yang berukuran 3 m yang diletakkan mengelilingi
lokasi transplantasi.
4. Pemasangan Transek
Transek untuk peletakan transplan dipasang berdasarkan label yang telah
diikatkan pada badan transek terlebih dahulu, dimulai dari transek satu sampai
dengan transek 96 yang dipasang secara zigzag mulai dari daerah dalam sampai
ke daerah dangkal (ke arah pesisir pantai) (Gambar 8). Pemasangan transek
22
menggunakan patok yang besar, yang dipasangkan di kedua sisi transek agar
transek tidak bergeser dari posisi penanamannya (Gambar 9).
Gambar 8. Sketsa Transek Transplantasi Lamun
Gambar 9. Transek Kuadran (Sumber Foto Pribadi, 2013)
Patok penahan transek
dengan panjang 3 cm
Patok penahan
transplan lamun
dengan panjang 15 cm
Transek kuadrant
ukuran 40 cm x 40 cm
23
5. Pengumpulan Transplan Lamun
Transplan yang telah diambil dari daerah donor kemudian di bawah ke
tempat bak penampungan yang telah disediakan sebelumnya di Marine Station
yang kemudian dilakukan pemilihan transplan yang layak untuk digunakan dalam
transplatasi lamun. Untuk jenis Enhalus acoroides harus memiliki panjang
rhizoma 15 cm, dan panjang daun 30 cm dan memiliki titik tumbuh (meristem)
pada ujung rhizoma, untuk jenis Thalassia hemprichii dipilih jenis lamun yang
memiliki panjang rhizoma 10 cm dan memilik meristem pada ujung rhizoma,
untuk jenis Halophila ovalis 20 cm, untuk jenis Halodule uninervis 10 cm, dan
untuk jenis Cymodocea rotundata 10 cm.
Selanjutnya transplan yang telah selesai di pilih kemudian dibawa ke lokasi
transplantasi yang telah ditentukan sebelumnya untuk segera ditanam.
kemudian setiap minggunya dilakukan pendataan untuk tingkat kelangsungan
hidup lamun dan pembersihan lokasi transplantasi dengan cara mengangkat
sampah-sampah yang berada di dasar perairan dan menutupi permukaan
transplan.
a b
c d
Meristem
apical
Meristem
apical
Meristem
apical Meristem
apical
24
e Gambar 10. Ukaran pemotongan tip transplan
Keterangan : a) Enhalus acoroides, b) Thalassia hemprichii, c) Halophila ovalis,
d) Halodule uninervis dan e) Cymodocea rotundata
6. Penanaman Transplan
Lamun ditransplantasi secara multispesies dengan 3 perlakuan yang berbeda
yaitu.perlakuan 2 spesies, perlakuan 4 spesies dan perlakuan 5 spesies.
Tabel 2. Jenis-jenis lamun dalam setiap kombinasi perlakuan transplantasi
2 spesies
E. acoroides dan H. ovalis.
T. hemprichii dan E. acoroides.
H.ovalis dan H. uninervis
H. uninervis dan C. rotundata
H. uninervis dan T. hemprichii.
4 spesies
H. ovalis, H. uninervis, C. rotundata dan E. acoroides.
H. uninervis, C. rotundata, T. hemprichii dan E. acoroides.
H. ovalis, C. rotundata, T. hemprichii dan E. acoroides.
H. ovalis, H. uninervis, T. hemprichii dan E. acoroides
H. ovalis, H. uninervis, T. hemprichii dan E. acoroides
5 spesies H. ovalis, H. uninervis, C. rotundata, T. hemprichii dan E. acoroides
Meristem
apical
25
Penanaman transplan dilakukan dengan menggunakan SCUBA. Transplan
tersebut dimasukkan ke dalam substrat yang kemudian diberi patok guna
menahan transplan agar tidak tercabut/hilang dari substrat. Setiap transek berisi
20 unit transplan. Masing-masing perlakuan diulangi sebanyak 6 kali ulangan.
7. Pengambilan Data Tingkat Kelangsungan Hidup
Pengambilan data tingkat kelangsungan hidup lamun yang ditransplantasi
secara multispesies dilakukan setiap minggu selama tiga belas (13) minggu
secara berturut-turut. Setelah semua transplan selesai diturunkan ke dalam air
kemudian didiamkan selama seminggu lamanya guna untuk membiarkan agar
transplan bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya dan setelah itu pada
pada minggu selanjutnya barulah dilakukan pendataan tingkat kelangsungan
hidup dengan cara mencatat jumlah transplan yang masih hidup. Perhitungan
tingkat kelangsungan hidup ini dapat dihitung menggunakan rumus Rocye (1972)
:
Dimana :
SR = Tingkat kelangsungan hidup (SR) (%) Nt = Jumlah unit transplantasi pada waktu t (bulan) No = Jumlah unit transplantasi pada waktu awal atau t=0
8. Parameter Lingkungan
a. Arah dan kecepatan arus
Arus dan kecepatan arus ditentukan dengan menggunakan kompas,
stopwatch, dan layang-layang arus. Layang-layang arus dilengkapi dengan tali
sepanjang 5 m, kemudian di lepaskan ke perairan dan dibairkan hanyut sampai
tali tegang.
Sedangkan untuk stopwatch digunakan untuk mengukur berapa waktu yang
diperlukan agar tali yang terikat pada layang-layang arus tersebut tegang. Arah
SR = 𝑁𝑡
𝑁𝑜x 100
26
arus ditentukan dengan menggunakan kompas yang diarahkan setelah tali
tegang.
b. Suhu air
Pengukuran suhu perairan dilakukan pada lokasi transplantasi lamun
menggunakan termometer. Pengambilan data suhu air tersebut dilakukan
sebanyak 3 kali untuk mendapatkan hasil rata-rata pengukuran suhu air.
c. Salinitas
Pengukuran salinitas perairan dilakukan di lokasi transplantasi lamun selama
pengambilan data menggunakan Handrefractometer dengan cara mencelupkan
tangan ke perairan kemudian diteteskan pada permukaan kaca
Handrefractometer kemudian mencatat salinitasnya. Pengambilan data salinitas
air tersebut dilakukan dengan pengulangan sebanyak 3 kali untuk mendapatkan
hasil rata-rata pengukuran salinitas air.
d. Pasang surut
Pengukuran pasang surut air laut dilakukan di lokasi transplantasi selam 39
jam dari saat pemasangan tiang pasut. Pengambilan data pasang surut di mulai
pada pukul 00.00 WITA dengan interval waktu selang 1 jam. Tiang skala pasang
surut diletakkan pada daerah transplantasi yang masih tergenang air saat surut
terendah. Hal ini dilakukan untuk mengetahhui jenis pasang surut yang ada
dilokasi transplantasi dengan satuan meter (m).
e. Gelombang.
Pengukuran gelombang diukur menggunakan tiang skala dimana tiang skala
ini diletakkan di lokasi transplantasi untuk kemudian dicatata tinggi dan rendah
air secara bersaaman dan berulang sebanyak 51 kali. Data yang diperoleh
kemudian diolah menggunaan rumus berikut ini:
H = (Puncak ombak – lembah ombak)
27
H1/3 = Nilai rata-rata dari gelombang terbesar
Dimana :
H = Selisih puncak dan lembah gelombang H1/3 = Tinggi gelombang signifikan
g. Nitrat dan Fosfat Air
Pengambilan sampel nitrat air di lapangan menggunakan botol sampel yang
dimasukkan ke dalam perairan untuk mengambil sampel air laut, kemudian
sampel air tersebut dianalisis kandungan nitrat di Laboratorium dengan cara
memipet 2 ml air sampel kemudian masukkan ke dalam tabung reaksi yang
sebelumnya telah disaring dan dimasukkan ke dalam gelas piala, kemudian
ditambahkan larutan bruchin sebanyak 5 ml lalu aduk sampai merata.
Tambahkan 5 ml asam sulfat pekat kemudian aduk sampai merata. Kemudian
buat larutan blanko dari 5 ml aquades. Kadar nitrat air diukur menggunakan
Spektrofotometer 0,000 absorbance dengan panjang gelombang 410 nm,
kemudian catat hasilnya.
Sedangkan untuk pengambilan sampel air di lapangan untuk analisis
kandungan fosfat, dilakukan menggunakan botol sampel yang dimasukkan ke
dalam perairan untuk mengambil sampel air laut, kemudian sampel air tersebut
dianalisis kandungan fosfatnya di Laboratorium dengan cara memipet 2 ml air
sampel yang telah disaring sebelumnya lalu masukkan larutan 1 ml larutan
ammonium molybdate kemudian campur sampai rata. Kemudian tambahkan 5
tetes larutan SnCla, lalu aduk kembali sampai tercampur rata kemudian diamkan
selama 10 menit. Terakhir ukur sampel dalam Spectrofotometer 0,000
absorbance dengan panjang gelombang 690 nm, kemudian catat hasilnya.
28
h. Nitrat dan Fosfat Sedimen
Pengambilan sampel sedimen nitrat di lokasi transplan dengan menggunakan
skop kemudian dimasukkan ke dalam kantong sampel dan dilakukan satu kali
selama penelitian. Setelah itu sampel sedimen dianalisis di Laboratorium dengan
cara ambil 5 gr sampel sedimen kemudian ditambahkan 50 ml larutan amilum
asetat kemudian sampel diaduk sampai rata kurang lebih selama 30 menit lalu
sampel disaring. Kemudian hasil pengadukan tadi dipipet sebanyak 5 ml dan
dimasukkan kedalam tabung reaksi kemudian masukkan 5 ml larutan brucin dan
H2 SO kemudian aduk kembali sampai larutan tercampur rata selama 30 menit.
Terakhir tabung reaksi tadi dimasukkan ke dalam Spektrofotometer untuk
mendapatkan hasilnya dengan panjang gelombang 423 nm.
Sementara pengambilan sampel sedimen fosfat di lokasi transplan dengan
menggunakan skop kemudian dimasukkan ke dalam kantong sampel dan
dilakukan satu kali selama penelitian, setelah itu sampel sedimen dianalisis di
Laboratorium dengan cara sampel sedimen diambil 5 gr, kemudian dimasukkan
ke dalam botol polyethylene dan ditambahkan 2 gr larutan karbon aktif lalu
sampel sedimen tadi dilarutkan dengan 2 ml pelarut olsen lalu diaduk selama 30
menit, kemudian hasil pengadukan tadi disaring dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi. Kemudian ekstrak dipipet 2 ml ke dalam tabung reaksi dan
selanjutnya bersama deret standar ditambahkan 10 ml pereaksi pewarna fosfat,
kocok hingga homogen dan biarkan 30 menit. Terakhir tabung reaksi tadi
dimasukkan kedalam Spektrofotometer dengan panjang gelombang 693 nm lalu
catat hasil pengukurannya.
i. Total Suspended Solid (TSS)
Untuk pengambilan sampel TSS dilapangan, dilakkukan dengan
menggunakan botol sampel yang dimasukkan ke dalam perairan dan kemudian
ditutup rapat, kemudian dilakukan analisis di Laboratorium dengan cara kertas
29
saring yang digunakan ditimbang terlebih dahulu sebelum digunakan (A mg).
Kertas saring yang telah ditimbang berat kosongnya dipasangkan pada alat
penyaring filter miliopore 0,45 µm yang terhubung dengan vacuum pump lalu
tuangkan air sampel. Hasil saringan air sampel kemudian diukur dengan
menggunakan gelas ukur. Kertas saring bekas saringan tadi kemudian
dikeringkan pada suhu 105 0C. Terakhir kertas saring bekas penyaringan air
sampel tadi kemudian ditimbang sebagai berat akhir (B mg). Untuk menghitung
berat filter dan filter + residu dapat dihitung menggunakan rumus berikut ini :
Dimana :
TSS= Total suspended solid (mg/l)
A = Berat kertas miliopore 0,45 μm setelah disaring B = Berat kertas kosong miliopore 0,45 μm
D. Analisis Data
Data tingkat kelangsungan hidup lamun yang ditransplantasi secara
multispesies dibandingkan antar perlakuan menggunakan uji Analysis of variance
(One Way ANOVA) yang dihitung menggunakan perangkat lunak SPSS 16,0,
kemudian dilanjutkan dengan uji post hoc test.
𝑇𝑆𝑆 (𝑚𝑔
𝑙) = (𝐴 − 𝐵)
1000
𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Parameter Lingkungan
1. Suhu, Salinitas, Arus dan Gelombang
Pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan,
diantaranya suhu, salinitas, arus dan gelombang perairan. Adapun data hasil
pengukuran parameter lingkungan di lapangan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai rata-rata suhu, salinitas, kecepatan arus dan tinggi gelombang
Minggu Suhu (0C) Salinitas (‰)
Kecepatan
Arus m/det
Tinggi Gelombang (cm)
1 31 35 0,030 24,43
2 32 34 0,012 5,88
3 31 30 0,023 6,12
4 32 33 0,017 35,94
5 32 35 0,018 5,06
6 32 35 0,014 6,00
7 31 35 0,039 9,72
8 32 35 0,007 3,37
9 30 31 0,033 6,88
10 29 30 0,019 8,94
Kisaran 29-320C 30-35‰ 0,012-0,0395 m/det 3,37-35,94 cm
Suhu perairan yang didapatkan saat pengambilan data selama sepuluh
minggu cukup homogen berkisar antara 29-320C (Tabel 3). Nilai tersebut hampir
sama yang didapatkan Ambo-Rappe (2010) di perairan pulau Barranglompo
yang berkisar antara 28,8–32,00C. Nilai tersebut menunjukkan kondisi suhu
perairan sesuai untuk tempat pertumbuhan lamun. Kisaran suhu tersebut dapat
membantu dalam respirasi lamun dan sangat mendukung dalam pertumbuhan
dan perkembangan lamun dan organisme lainnya. Hal ini didukung oleh Phillips
dan Menez (1988) dimana lamun dapat mentolerir suhu perairan antara 26-360C,
akan tetapi untuk melakukan fotosintesis suhu lamun yang opimum berkisar
31
antara 28-300C. Perubahan suhu pada perairan mempengaruhi metabolisme,
penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun.
Salinitas perairan yang didapatkan berada pada kisaran 30-35‰ (Tabel 3).
Adanya perbedaan salinitas tiap minggunya salah satunya dipengaruhi oleh
curah hujan. Namun kisaran salinitas yang diperoleh masih mendukung
pertumbuhan lamun, sesuai dengan Dahuri et al (2001) yang menyatakan bahwa
kisaran salinitas yang dapat ditolerir tumbuhan lamun adalah 10–40 ‰ dan nilai
optimumnya adalah 35‰. Salah satu faktor yang menyebabkan rusaknya
ekosistem padang lamun adalah meningkatnya salinitas yang tidak sesuai
dengan ambang batas yang dapat ditolerir oleh ekosistem lamun.
Data gelombang yang didapatkan selama penelitian menunjukkan nilai yang
berbeda tiap minggunya. Perbedaan ini diakibatkan oleh perbedaan waktu dan
kondisi cuaca saat pengambilan data lapangan yang mulai memasuki musim
peralihan. Menurut Lanuru (2010) musim peralihan pada bulan September
sampai Oktober dimana pada musim peralihan tersebut kecepatan angin
bervariasi dan terkadang kecepatan angin sangat besar untuk membangkitkan
arus dan gelombang yang kuat yang menyebabkan transplan lamun mudah
tercabut dari substratnya.
Data gelombang yang tertinggi pada minggu keempat 35,94 cm dan terendah
pada minggu kedelapan 3,37 cm (Tabel 3). Gelombang sangat berpengaruh bagi
komunitas lamun yang tumbuh di daerah perairan yang dangkal. Sedangkan saat
musim gelombang/ombak yang besar, kebanyakan daun lamun akan gugur,
terlepas dari batang atau rhizomanya (Short dan Coles, 2003).
Data arus yang didapatkan menunjukkan nilai yang homogen, kecuali pada
minggu keenam 0,5068 m/det dan minggu kelima 0,2281 m/det (Tabel 3). Kecepatan
arus yang sangat tinggi dan turbulensi dapat mengakibatkan naiknya padatan
tersuspensi yang berlanjut pada reduksi penetrasi cahaya ke dalam air atau
32
turunnya kecerahan air. Kondisi ini dapat menyebabkan rendahnya laju
produktifitas tumbuhan lamun (Supriharyono, 2009).
2. Pasang Surut
Pasang surut air laut menyebabkan perubahan kedalaman perairan dan
mengakibatkan arus pusaran yang dikenal sebagai arus pasang surut.
Pergerakan pasang surut air laut pada daerah transplantasi dilihat dari hasil
grafik yaitu tipe semi diurnal, dimana tipe ini sesuai dengan penjelasan mengenai
tipe semi diurnal yaitu pergerakan pola pergerakan dua kali pasang air laut dan 2
kali surut dalam satu kali periode yaitu pada pukul 00:00-00 di hari berikutnya.
Pergerakan air tertinggi saat pasang yaitu mencapai 1,64 m sedangkan untuk
surut terendah mencapai 0,62 m dan kisaran pasang surut mencapai 1,02 m
(Gambar 11). Hal ini sesuai dengan pernyataan Davis (1999) bahwa kedalaman
yang baik untuk melakukan transplantasi lamun berkisar antara 0,5-1,5 meter
pada saat surut terendah, dimana saat surut terendah lokasi transplansai ini
masih tergenang oleh air dan intensitas cahaya masih tinggi sampai tiba di dasar
perairan.
Gambar 11. Pola pasang surut Pulau Barranglompo bulan Oktober 2013
020406080
100120140160180
00.
00
02.
00
04.0
0
06.
00
08.
00
10.
00
12.
00
14.
00
16.
00
18.
00
20.
00
22.
00
24.
00
02.0
0
04.
00
06.
00
08.0
0
10.
00
12.
00
14.
00
Minggu,20 Okt 2013 Senin, 21 Okt 2013
Tin
ggi M
uka
Air
(cm
)
Waktu Pengukuran
33
3. Nitrat dan Fosfat
Tabel 4. Nilai rata-rata nitrat dan fosfat
Kandungan nitrat dalam sedimen yang didapatkan berkisar 0,66-1,10 mg/kg
sedangkan untuk fosfat sedimen berkisar antara 10,15-11.30 mg/kg (Tabel 4),
sedangkan untuk kandungan nitrat dalam air di perairan berkisar antara 0,333-
0,466 mg/l dan untuk fosfat air di perairan berkisar antara 0,250-00,691 mg/l
(Tabel 4).
Hal ini sesuai dengan dengan Sulaeman (2005) yang mengemukakan
pembagian tipe perairan berdasarkan kandungan fosfat di perairan (Tabel 1)
yaitu tingkat fosfat di lokasi transplantasi lamun masuk ke dalam golongan
sangat rendah yang berkisar antara 0,250-0,691 mg/L dimana dari hasil tersebut
merupakan kadar fosfat air di perairan yang masuk kedalam perairan oligotrofik
(Effendi, 2003).
Berdasarkan Olsen dan Dean (1995) dalam Monoarfa (1992)
menggolongkan konsentrasi nitrat untuk sedimen menjadi 3 bagian yaitu : <3
ppm = rendah, 3 – 10 ppm = sedang, dan >10 pmm = tinggi hal tersebur sesuai
dengan yang terjadi di lokasi transplantasi yaitu 0,66–1,10 yang termaksud
tingkat kesuburan yang rendah.
Sedimen mg/kg Air mg/L
Nitrat Fosfat Nitrat Fosfat
0,88 11,30 0,046 0,691
1,10 10,15 0,039 0,468
0,66 10,82 0,033 0,250
Kisaran Kisaran
0,66-0,88 10,15-1,30 0,033-0,046 0,250-0,691
34
4. Total Suspended Solid (TSS)
Hasil pengukuran TSS pada daerah transplantasi berkisar antara 18,932
sampai 21,070 mg/l. Nilai ini hampir sesuai dengan standar baku mutu nilai yang
ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 mengenai
baku mutu TSS pada lamun sebesar 20 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa nilai
TSS pada lokasi transplantasi lamun di Pulau Barranglompo cukup sesuai untuk
pertumbuhan lamun. Hasil penelitian sebelumnya oleh Lanuru (2012) juga
mendukung bahwa transplan lamun masih bisa bertahan hidup pada perairan
yang agak keruh sepanjang intensitas cahaya bisa sampai ke dasar perairan,
terutama pada perairan yang cukup dangkal.
B. Keberhasilan Lamun yang Ditransplantasi
1. Pola Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun Multispesies Selama
Pengamatan
Tingat Kelangsungan hidup yang diamati setiap minggu selama tiga belas (13)
minggu menunjukkan penurunan pada setiap minggunya, dimana tingkat
kelangsungan hidup paling menurun ditunjukkan pada transplantasi 5 jenis lamun
(Gambar 12).
Pada minggu pertama pengamatan terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup
semua perlakuan jumlah jenis lamun yang ditransplantasi (2, 4, dan 5 spesies)
berkisar antara 99,5% sampai 100%. Penurunan mulai terlihat pada minggu-
minggu berikutnya.
Pada transplantasi 2 spesies lamun, pada minggu kedua pendataan
didapatkan nilai kelangsungan hidup sebesar 95,00% kemudian menurun
menjadi 87,66% pada minggu ketiga. Penurunan kelangsungan hidup terus
terjadi sampai 49,83% pada minggu ke-10 dan tinggal 39,17% pada akhir
pengamatan (minggu ke-13).
35
Gambar 12. Rata-rata pola kelangsungan hidup lamun pada setiap minggunya
Tingkat kelangsungan hidup transplan kombinasi 4 spesies, pada minggu
pertama sebesar 100% kemudian mulai mengalami penurunan pada minggu ke
dua, ke tiga, ke empat dan pada minggu ke lima tingkat kelangsungan hidup
sebesar 66,67% dan pada minggu ke enam kembali menurun menjadi 60,00%.
Selanjutnya pada akhir penelitian minggu ke tiga belas, tingkat kelangsungan
hidup transplan lamun tinggal 41,67%.
Kombinasi 5 merupakan kombinasi yang tingkat kelangsungan hidupbya
palnig rendah. Hal ini diduga oleh banyak transplan yang berukuran kecil yang
ditempatkan dalam satu transek, sehingga jika terjadi sedimetasi yang tinggi
pada daerah transplantasi akan menyebabkan transplan tersebut tidak dapat
melakukan adaptasi.
Faktor lain yang mengakibatkan rendahnya tingkat kelangsungan hidup pada
kombinasi 5 spesies di duga jangkar penahan transplan yang tidak tertanam
dengan baik yang mengakibatkan ketika gelombang yang besar datang jangkar
dengan mudahnya terlepas dari substat serta mati akibat korosi anchor yang
digunakan untuk menahan transplan tersebut.
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Tin
gkat K
ela
ng
su
ng
an
Hid
up
L
am
un
(%
)
Minggu ( Waktu Pengamatan)
2 Spesies
4 Spesies
5 Spesies
36
Penurunan laju pertumbuhan transplan ini di duga karena adanya pengaruh
kurang tersedianya nutrien pada lokasi transplantasi di perairan Pulau
Barranglompo (Tabel 4) dimana nilai nitrat pada daerah transplantasi tergolong
rendah dan kurang subur. Karena nitrat merupakan salah satu sumber nutrien
dalam sebuah perairan yang membatasi pertumbuhan lamun (McRoy dan Mc
Millan, 1977; Short, 1981 dalam Philips dan Menez, 1988). Kondisi lain yang
menyebabkan tingginya tingkat kematian transplan pada lokasi transplantasi
yaitu keadaan perairan yang sebagian mengalami kekeruhan yang disebabkan
oleh sedimentasi dan pengadukan perairan oleh gelombang yang cukup besar.
Kombinasi 4 spesies merupakan kombinasi dengan tigkat kelangsungan hidup
paling tinggi yang diujikan selama pengamata yang dilakukan di lapangan.
Kombinasi ini berhasil melakukan adaptasi pada kondisi dan lingkungan barunya.
Hal ini sesuai dengan Lanuru (2011) dipantai barat Sulawesi Selatan, banyaknya
transplan yang mati disebabkan oleh sebagian besar transplan tidak mampu
bertahan dengan kondisi lingkungan perairan yang berubah seperti angin yang
kencang.
Selain itu faktor yang mempengaruhi kombinasi 4 spesies paling tinggi
disebabkan oleh penempatan plot-plot di lokasi transplantasi yang jauh dari
daerah pemukiman dimana daerah penempatan plot ini kurang mengalami
sedimentasi, sedangkan untuk kombinasi 2 spesies peletakan plot-plotnya
diletakkan pada daerah yang mengalami banyak sedimentasi sehingga untuk
spesies lamun kecil hampir sebagian besar tidak dapat melakukan adaptasi.
Sedangkan untuk kombinasi 5 spesies dimana kombinasi ini merupakan
kombinasi dengan nilai kelangsungan hidup yang paling rendah hal ini
disebabkan banyaknya epifit yang melekat pada daun lamun. Banyaknya epifit
yang menempel di daun lamun ini menyebab cahaya matahari sulit menembus
dan menghambat laju pertumbuhannya.
37
Hal lain yang diduga mempengaruhi tingkat pertumbuhan lamun paling rendah
untuk kombinasi 5 spesies ini adalah untuk kombnasi 5 spesies hanya ada 6 plot
sebagai ulangannya.
2. Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun yang ditransplantasi Secara
Multispesies
Tidak terdapat perbedaan tingkat kelangsungan hidup antar perlakuan jumlah
jenis lamun yang ditransplantasi (p>0.05) (Gambar 14). Metode yang digunakan
dalam transplantasi ini adalah metode sprig (tanpa substrat) dengan jangkar.
Metode transplantasi lamun ini tidak menggunakan substrat, dimana jangkar
digunakan untuk menahan transplan agar tidak terbawa arus dan gelombang
besar di lokasi transplantasi lamun.
Untuk hasil (Gambar 13) di dapatkan nilai yang tidak berbeda jauh dimana
untuk kombinasi 4 spesies yang memiliki tingkat kelangsungan hidup yang paling
tinggi, kemudian kombinasi 2 spesies dan yang terendah adalah kombinasi 5
spesies.
Gambar 13. Tingkat kelangsungan hidup lamun yang ditransplantasi secara
multispesies di Pulau Barranglompo
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
2 spesies 4 spesies 5 spesies
Tin
gkat K
ela
ng
su
ng
an
Hid
up
L
am
un
(%
)
Jumlah Lamun
38
Pada penanaman dan transplantasi lamun beberapa faktor lingkungan
yang perlu diperhatikan yaitu: kedalaman, cahaya, suhu, salinitas, nutrien, arus
dan gelombang (Phillips 1980). Cahaya, suhu dan fosfat sedimen berpengaruh
terhadap proses biokimia organisme, dan merupakan faktor utama yang
mengontrol pertumbuhan (Lee, et, al., 2007), sedangkan pada tingkat kesuburan
nutrien di lokasi transplantasi (tabel 4) didaptkan hasil yang tergolong rendah hal
ini di duga berpengaruh untuk pertumbuhan transplan-transplan yang ada di
lokasi transplantasi tersebut.
Pertumbuhan lamun dibatasi oleh suplai nutrien antara lain particular
nitrogen dan fosfor yang berfungsi sebagai energi untuk melangsungkan
fotosintesis (Short, 1987). Kedalaman air dan pengaruh pasang surut, serta
struktur substrat mempengaruhi zonasi sebaran jenis-jenis lamun dan bentuk
pertumbuhannya.
Pertumbuhan lamun lainnya juga yang sangat dipengaruhi oleh pola
pasang surut, salinitas dan suhu perairan, kegiatan manusia di wilayah pesisir
seperti perikanan, pencucian kapal penangkap ikan, pembangunan perumahan,
pelabuhan dan rekreasi, baik langsung maupun tidak langsung juga dapat
memengaruhi eksistensi lamun.
Selain itu persaingan juga terjadi pada sesama jenis transplan dan berbeda
jenis atau yang sering disebut dengan istilah intraspesific competition dan
interspesific competition, selain itu persaingan makan oleh organisme-organisme
yang tinggal di daerah lamun dapat memperebutkan kebutuhan ruang (tempat),
makanan, unsur hara, sinar, udara, agen penyerbukan, agen dispersal, atau
faktor-faktor ekologi lainnya sebagai sumber daya yang dibutuhkan oleh tiap-tiap
organisme untuk hidup dan pertumbuhannya (Indriyanto 2006).
Tingkat keberhasilan transplantasi lamun multispesies ini menunjukan nilai
yang tidak berbeda jauh antara kombinasi dua, empat dan lima transplantasi
39
lamun yang dilakukan di lapangan, dimana hal ini di duga oleh faktor korosi pada
anchor (jangkar) yang digunakan sebagai alat untuk menahan transplan agar
tidak terangkat dari substratnya saat gelombang atau arus kencang datang. Hal
ini ini sesuai dengan pernyataan Ganassin dan Gibbs (2008) bahwa faktor korosi
diduga berperan paling penting dalam kegagalan transplantasi lamun yang
dilakukan. Perubahan kondisi lingkungan secara drastis serta kekeruhan perairan
juga memengaruhi kematian transplantasi lamun.
Hasil yang digambarkakn pada (Gambar 13) menerangkan bahwa tingkat
kelangsungan hidup berbagai perlakuan tidak menunjukkan hasil yang berbeda
jauh dimana untuk 2 spesies sebesar 39,17% kemudian untuk kombinasi 4
spesies sebesar 41,67% yang merupakan nilai tertinggi untuk kombinasi
keberhasilan transplantasi multispesies dan terakhir kombinasi 5 spesies sebesar
33,33%.
Untuk hasil transplantasi monospesies menggunakan 5 jenis lamun lamun
yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Halophila
ovalis dan Cymodocea rotundata di perairan Pulau Barranglompo didapatkan
hasil bahwa Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang memiliki nilai
tertinggi untuk tingkat kelangsungan hidup (SR) (Asriani, 2014).
Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii merupakan transplantasi
lamun monospesies dengan nilai kelangsungan hidup (SR) di atas 50%.
Sedangkan untuk jenis Haldodule uninervis, Halophila ovalis dan Cymodocea
rotundata memiliki nilai tingkat kelangsungan hidup dibawah 50%, hal ini di duga
karena jenis lamun ini memiliki rhizoma yang kecil dimana untuk rhizoma seperti
ini memiliki daya cengkrang terhadap substart yang kurang serta memiliki
rhizoma yang berair (Asriani, 2014).
Sedangkan jika dilihat dari beberapa metode transplantasi untuk
monospesies seperti metode Frame tabung bambu, Plugs dan Fastening waring
40
untuk jenis Enhalus acoroides yang memiliki tingkat kelangsungan hidup (SR)
yang tidak jauh berbeda untuk tingkat keberhasilan transplantasinya. Untuk
metode Frame tabung bambuu didaptkan nilali SR sebesar 95%, metode Plugs
sebesar 100% dan metode Fastening waring sebesar 100% pada perairan
Prawen Bandengan Jepara. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian
transplantasi lamun multispesies yang menunnjukan nilai tingkat kelangsungan
hidup (SR) di bawah 50% (Febriantoro dkk, 2013).
Transplantasi lamun monospesies lainnya untuk jenis lamun T. hemprichii
di Perairan Teluk Awur menunjukan kisaran tingkat kelangsungan hidup (SR)
berkisar antara 36,11% - 41,67% sedangkan untuk tingkat kelangsungan hidup
lamun jenis T. hemprichii di Perairan Bandeng berkisar antara 20,97% - 23,15%
dengan menggunakan metode jangkar (Wulandari dkk, 2013).
Faktor gelombang dan arus yang besar akibat dari musim barat juga
memiliki peranan yang besar dan dapat membuat sedimen dasar terangkut
sehingga menyebabkan beberapa unit transplan yang memiliki sistem Rhizoma
dengan jangkar yang tidak tertancap dengan baik pada substrat yang membuat
transplan terganggu dan bisa mengakibatkan kematian. Lanuru (2011) juga
menyebutkan bahwa stabilitas sedimen memiliki peran yang sangat penting
untuk menjaga sedimen dan unit transplan tetap pada tempatnya dan tidak
terbawa arus ketika terjadi gelombang dan arus yang kuat.
Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kematian transplan tersebut adalah,
unsur hara, sinar matahari untuk melakukan fotosintesis predator yang tinggal di
daerah dekat transplantasi dilakukan seperti ikan-ikan pemakan lamun dan
kepiting, faktor antropogenik seperti pembungan jangkar kapal oleh nelayan dan
pembungan sampah ke lokasi transplantasi dimana sampah-sampah tersebut
lama kelamaan tenggelam, mengendap dan menutupi permukaan transplan
41
sehingga beberapa transplan tidak dapat melakukan fotosintesis dan faktor alam
(Indriyanto 2006).
42
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, maka dapat disimpulkan
bahwa :
Tingkat kelangsungan hidup lamun yang ditransplantasi secara multispesies
untuk kombinasi 2 spesies sebesar 39.17%, kombinasi 4 spesies sebesar
41,67% dan kombinasi 5 spesies sebesar 33,33% serta tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata antar tiga perlakuan.
B. Saran
Sebaiknya untuk melakukan transplantasi multispesies penggunaan transplan
berkayu lebih dianjurkan untuk meningkatkan tingkat kelangsungan hidup
transplantasi lamun seperti jenis lamun Enhalus acoroides dan Thalassia
hemprichii. Serta penggunaan jangkar (anchor) yang muda terkena korosi
digantikan dengan menggunakan penahan dari bambu.
43
DAFTAR PUSTAKA
Ambo-Rappe, 2010. Struktur komunitas ikan pada padang lamun yang berbeda di Pulau Barranglompo. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Vol. 2 No. Hal. :62-73 Edisi Desember 2010.
Asriani, N., 2014. Tingkat Kelangsungan Hidup dan Persen Penutupan Berbagai
Jenis Lamun yang ditransplantasi di Pulau Barranglompo. Skripsi. Skripsi Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Azkab, H. 1999. Pedoman inventarisasi lamun. Majalah Semi Populer Osena.
Lembaga Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 24(1): 1-16.
Azkab, M. H. 2000. Struktur dan Fungsi pada Komunitas Lamun. Oseana,
Volume XXV, Nomor 1, 2000 : 1 – 11. Pusat Penelitian dan Pengembangan Osenologi-LIPI.Jakart.
Azkab, M.H. 2006. Ada apa dengan lamun. Majalah Ilmiah Semi Populer Osena.
Lembaga Penelitian Oseanografi – LIPI. Jakarta. 31(3): 45-55.
Bengen. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir.Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Sipnosis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bethel, J.P. 1961. Webster's new collegiate dictionary.The Riverside Preass,
Cabridge, 1774p.
Blom G., E.H.S. Van Duin, dan L. Lijklema. 1994. Sediment Resuspencion and Light Condition in some shallow Dutch lakes. Water Science and Technology.
Calumpong, H.P. dan M.S. Fonseca.2001.Seagrass Transplantasi and Other Seagrass Restoration Method. In F.T. Short dan R.G. Coles (ed), Global Research Seagrass Methods. Elsevier Science B.V, Amsterdam. Netherlands.
Clescerl, Leonore S.(Editor), Greenberg, Arnold E.(Editor), Eaton, Andrew D. (Editor). 1905. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater (20th ed.) AmericanPublic Health Association, Washington, DC.
De, Boer. WF. 2007. Seagrass-sediment interactions, positive feedback, and critical threshold for occurrence: a review. Hydrobiologia.
Dahuri, R, R Jacub, P.G Sapta, dan M. J .Sitepu, 2001 Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Davis RC (1999) The effects of physical and biological site characteristics on the survival and expansion of transplaned eelgrass (Zostera marina L.). PhD dissertation. University of New Hampshire,Durham
Den Hartog, C. 1970. Seagrass of the World. North-Holland Publ.Co.,Amsterdam
44
Effendi, H., 2003.Telaah Kualitas Air Bagi Pengolahan Sumberdaya Hayati Lingkungan Perairan.Kanysius.Yogyakarta.
Erftemeijer PLA. 1993. Differences in nutrient concentration and resources
between seagrass communities on carbonate and terigenous sediments in South Sulawesi, Indonesia. Bull Mar Sci 54:403-419.
Febriantoro,Ita Riniatsih dan Hadi Endrawati. 2013. Rekayasa Teknologi
Transplantasi Lamun (Enhalus acoroides) di kawasan Padang Lamun
perairan Prawean Bandeng Jepara. Journal Of Marine research Vol: 1, No. 1, Hal 1-10
Gannassin, C dan P.J Gibbs. 2008 A Review of seagrass Planting as a Means of
Habitat Compensation Following Ioss of Seagrass Meadow. NSW Departmen of primary Industries-Fisheries Final Report Series No. 96 ISSN 1449-9967
Gardner, F. P. ; R. B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman
Budidaya. Terjemahan: Herawati Susilo. UI Press, Jakarta. Harjadi, S.S. 1984. Pengantar Agronomi. Depatermen Agronomi Fakultas
Pertanian IPB.PT Gramedia jakarta Hatchinson, G. E., 1967. Trealise on Limnology. Vol 2. John Walley and
Sons.Inc. New York.
Hemmingga, M. A. dan C.M. Duarte. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge University Press.Caambridge.
Horax, R., 1998. Penarikan Ion Ortofosfat Oleh Sedimen CaCo Dan Penentuan
Kadar Fofor Di Perairan Ujung Pandang Dengan Metode Kalori Metri
Reduksi Amino. Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Hutabarat, S. dan S. M. Evans. 1984. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press Jakarta.
Hutagalung, H. P. dan Rozak, A., 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota Laut. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hutomo. M. 1997. Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia. P. 54-
61. In: Inventarisasi dan evaluasi potensi laut-pesisir II geologi, kimia, biologi,
dan ekologi. Prosiding Kongres Biologi Indonesia XV. Universitas Indonesia.
Jakarta.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.
Kawaroe M. 2009. Perspektif lamun sebagai blue carbon sink di laut. Makalah
disampaikan pada Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun
“Peran Ekosistem Lamun dalam Produktifitas Hayati dan Meregulasi
45
Perubahan Iklim”. 18 November 2009. PKSPL-IPB, DKP, LH, dan LIPI.
Jakarta.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 200 tahun 2004 tentang Kriteria
Baku Kerusakan dan Pedoman Status Padang Lamun
Kiswara, W. dan Winardi. 1997. Sebaran lamun di Teluk Kuta dan Teluk
Gerupuk, Lombok. Dalam : Dinamika komunitas biologis pada ekosistem
lamun di Pulau Lombok, Indonesia. S. Soemodiharjo, O. H. Arinardi dan I.
Aswandy (Eds.). Puslitbang Oseanologi - LIPI, Jakarta.
Kiswara, W. 1999. Perkembangan Penelitian Ekosistem Lamun di Indonesia. Hlm
181-195. In Sutomo, Kinarti A. Soegiarto, Asikin Djamali, dan Otto S.R.
Ongkosongo (ed). Prosiding seminar tentang oseanologi dan ilmu
lingkungan laut. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta.
Kuo, J., den Hartog, C. 1989. Seagrass morphology, anatomy and ultrastructure.
In Larkum, A.W.D., Orth, J.R., Duarte, M.C (eds.). Seagrasses : Biology,
Ecology and Conservation. Springer Publ, Netherlands. pp. 51-87.
Kuo, J. dan C. den Hartog. 2006. Taxonomy and Biogeography of Seagrass. In
A.W.D. Larkum, R.J. Orth dan C.M Duarte (ed). Seagrass: Biology, Ecology
and Conservation. Springer. Dordrecht. Netherlands.
Lanuru, M. 2011. Bottom sediment characteristics affecting the success of
seagrass (Enhalus acoroides) transplanation in Westcoast of South Sulawesi
(Indonesia). 3rd International Conference on Chemical, Biological and
Environment Engineering IPCBEE Vol.20. IACIST Press, Singapore.
Lanuru, M., A. Saru. Supriadi, dan K. Amri. 2012. Transplantasi sebagai salah
satu Metode Untuk Restorasi Lamun dan Meningkatkan Ketahanan Lamun
Terhadap Climate Change. (Laporan Akhir). Riset unggulan berbasis
Program studi Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.
Universitas Hasanuddin.
Latuconsina, M.U., 2002. Studi Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Lamun
Enhalus acoroide dan Thalassia hemprichii di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bone Batang. Skripsi Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Universitas Hasanuddin Makassar.
Lee K.S, park S.R, Kim Y.K. 2007. Effect of irradiance, temperature, and
nutrients on growth dynamics of seagrass: a review. J Exp Bio Ecol 35: 144-
175
Lewis, E.E. (1987). Introduction to Reliability Engineering.Department of
Mechanical and Nuclear Engineering Northwestern University. Jhon Wiley &
Sons, Canada
46
Mann, K.H. 2000.Ecology of Coastal Waters : With Implication for Management
Blackwell Science, Inc., Massachusetts.
Mayadewi, N. N. A. 2007. Pengaruh Jenis Pupuk Kandang dan Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan Gulma dan Hasil Jagung Manis. Jurusan Budidaya Pertanian. Vol 26 (4) : 153 - 159 (2007). Fakultas Pertanian Unud, Denpasar.
McKenzie, LJ. 2008. Seagrass Educators Handbook. Seagrass-Watch HQ,
Cairns. McKenzie LJ & Yoshida RL. 2009. Seagrass-watch: Proceedings of a workshop
for monitoring seagrass habitats in Indonesia. The Nature Concervacy, Coral Triangle Center, Sanur, Bali, 9th May 2009.
Monoarfa, W.D., 1992. Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula Blotong Dalam
Produksi Klekap Pada Tanah Tambak berstekstur Liat. Tesis Fakultas
Pasca Sarjana. UNHAS. Ujung Pandang.
Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir Dan Laut. Jakarta: Penerbit Pradnya
Paramita.
Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.
Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut sebagai Suatu Pendekatan Ekologis. P. T.
Gramedia. Jakarta.
Nybakken. J. 1998. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia
Jakarta
Pariwono, J.I., Gaya Penggerak Pasang Surut, Pasang Surut, P3O-LIPI, Jakarta.
Patriquin, D.G. 1972. The Origin of Nitrogen and Phosphorus for Growth of the
Marine Angiosperm Thalassia testudinum. Mar Biol (15), 35 – 46p
Philips, R.C. 1974. Transplanation of seagrasses, with special emphasis on
eelgrass, Zostera marina L. Aquacul- ture 4 (2)
Phillips, R.C. dan E.G. Menez, 1988. Seagrasses. Smithsonion Institution
Press.Washington D.C.
Phillips, R.C. 1980. Planting guidelines for seagrasses. Costal Enginering
Technical Aid No.82, U.S. Army, Corps of Engineers, Virginia.
Romimohtarto, K. Juwana, S. 2001. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota Laut. Jakarta.
Royce, W.F. 1972. Introduction to the Fishery Sciences. Academic Press. Inc.
New-York. San-Fransisco, London.
47
Rozak, (1997), Penetuan Kadar Nitrat. Metode Analisis Air Laut , Sedimen dan
Biota. H. P Hutagalung, D. Setiapermana dan S. H. Riyono (Editor), Pusat
Penelitian dan Pengembangan Oceanologi, LIPI, Jakarta.
Short, I.T., 1987. Effect of Sediment Nutrient Seagrassses. Literature Review
And Mesocosm Experiment. Marine Botani.
Short, F. T. and Coles (Ed.). 2003. Global Seagrass Research Methods. Elsevier Science. Netherlands.
Suharno Jhon, 2012. Lamun dan Mangrove.
Sulaeman., 2005. Analisis Kimia Tanah, tanaman Air, dan Pupuk.Balai Penelitian
Tanah dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
Supriadi, Bengen, DG. Hutomo, M. Kaswadji, RF. 2012. Komunitas Lamun di Pulau Barranglompo Makassar: Kondisi dan Karakteristik Habitat.Maspari Journal, 2012, Vol. 4 No. 2, Hal. 148-158.
Supriharyono. 2009. Konservasi ekosistem sumberdaya hayati di wilayah pesisir
dan laut tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai Beta Offset. Yogyakarta.
Thorhaug, A. and C.B. Austin 1974. Restoration of seagrass with economic
analysis. Env. Conserv. 3 (4) : Hal : 259-257.
Thorhaug, A 1974. Transplanation of the seagrass Thalassia testudinum Konig.
Aquaculture Vol. 4 No. 2 Hal. 177-183.
Waycott, M., K. McMahon, J. Mellors, A. Calladine, and D. Kleine, 2004.A Guide
to Tropical Seagrasses of the Indo- West Pacific. James Cook University,
Townsville Queensland Australia.
Wimbaningrum, R. (2003). Komunitas Lamun di Rataan Terum-bu, Pantai Bama,
Taman Nasional Baluran, Jawa Timur.
Wulandari, Dwi, Ita Riniatsih dan Ervia Yudiati. 2013. Transplantasi Lamun Thalassia hemprichii Dengan Metode Jangkar di Perairan Teluk Awur dan Bandengan, Jepara. Journal of Marine Research. Vol: 2, No. 2 Hal. 30-38
48