Page 1
TIGA GOLONGAN MANUSIA DALAM SURAT AL-WÂQI’AH
AYAT 7 - 56
( Kajian Analisa Perbandingan Antara Tafsir Al-Marâghî dengan Tafsir Al-Misbâh )
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Penulis:
Muhammad Malik
NIM. 106034001205
JURUSAN TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H. / 2011 M.
Page 2
TIGA GOLONGAN MANUSIA DALAM SURAT AL-WÂQI’AH
AYAT 7 - 56
( Kajian Analisa Perbandingan Antara Tafsir Al-Marâghî dengan Tafsir Al-Misbah )
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Penulis:
M u h a m m a d M a l i k
N I M. 1060 3400 1205
Di bawah Bimbingan:
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
NIP. 19711003 199903 2 001
JURUSAN TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H. / 2011 M.
Page 3
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul TIGA GOLONGAN MANUSIA DALAM SURAT AL-WÂQI’AH
AYAT 7 - 56; Kajian Analisa Perbandingan Antara Tafsir Al-Marâghî dengan
Tafsir Al-Misbâh telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada Program Studi
Tafsir Hadis.
Jakarta, 15 Maret 2011
Sidang Munaqasah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Bustamin, M.Si Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
NIP. 19630701 199803 1 003 NIP. 19711003 199903 1 002
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Dr. M. Suryadinata, MA Dr. Bustamin, M.Si
NIP. 19600908 198903 1 005 NIP. 19630701 199803 1 003
Pembimbing,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
NIP. 19711003 199903 1 002
Page 4
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 21 Maret 2011
Muhammad Malik
Page 5
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur tersanjung hanya bagi Allah SWT., yang dengan
taufiq-Nya penelitian berjudul “TIGA GOLONGAN MANUSIA DALAM
SURAT AL-WÂQI’AH AYAT 7 - 56; Kajian Analisa Perbandingan Antara
Tafsir Al-Marâghî dengan Tafsir Al-Misbâh” ini dapat selesai, demikian juga,
salawat serta salam semoga tercurahkan untuk Rasulullah SAW.
Sebagai karya tulis yang da‟if, terutama di dalam penelitian ini masih
terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka
yang mau menelaah dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti
keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini tak luput dari jasa lembaga dan
orang-orang tertentu yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun
materil. Atas segala bantuan tersebut, penulis sampaikan banyak terima kasih;
khususnya kepada:
1. Segenap civitas Akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamal, MA (Dekan
Fakultas Ushuluddin), Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir-Hadis) dan
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Sekjur Tafsir-Hadis).
2. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktunya di tengah-tengah kesibukan beliau untuk membantu,
membimbing, dan mengarahkan penulisan skripsi ini.
Page 6
vi
3. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan
Tafsir-Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat
merekalah penulis mendapatkan setetes ilmu pengetahuan.
4. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Iman Jama‟ yang telah memberikan
pelayanan dalam memberikan literatur kepada penulis dalam menyusun
skripsi ini.
5. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan motivasi, bimbingan,
pendidikan, dan pengajaran, serta senantiasa mendoakan penulis untuk
mencapai kesuksesan di masa depan.
6. Mamang, teteh dan adik penulis yang selalu setia memberi semangat penulis
dalam menyelesaikan studi.
7. Teman-teman penulis di mana pun berada khususnya sahabat-sahabat penulis
mahasiswa Tafsir-Hadis angkatan 2006/2007 dan teman-teman KKN Sirna
Ruju / Jayanti.
8. Terakhir, untuk seluruh orang yang pernah melihat saya, bertemu dengan saya,
dan bertukar pikiran dengan saya.
Jazâkumullah ahsan al-Jazâ, Âmîn…
Jakarta,15 Maret 2011
Penulis,
Page 7
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI1
Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik keatas, menghadap ke kanan „ ع
gh ge dan ha غ
f ef ؼ
q ki ؽ
k ka ؾ
1 Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105
Page 8
viii
l el ؿ
m em ـ
n en ف
w we و
h ha هػ
apostrof „ ء
y ye ي
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebai beeriku:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
______ a fathah
___ ___ i kasrah
______ u Dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ____ي
و____ au a dan u
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ــا
ـيـ î i dengan topi di atas
ــوـ û u dengan topi di atas
Page 9
ix
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh
huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân
bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tashdid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secara lisan
berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,
demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
No Kata Arab Alih aksara
tarîqah طريقة 1
al-jâmî‟ah al-islâmiyyah الجامعة الإسلامية 2
wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
Page 10
x
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid
Al-Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
Cara Penulisan kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas.
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustâzu ذهب الأستاذ
tsabata al-ajru بت الأجر ثػ
al-harakah al-„asriyyah الحركة العصرية
asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشهد أف لا إله إلا الله
Maulânâ Malik al-Sâlih مولانا ملك الصالح
yu‟atstsirukum Allah اللهيػؤثػركم
al-mazâhir al-„aqliyyah المظاهر العقلية
al-âyât al-kauniyyah اليات الكونية
al-darûrat tubîhu al-mahzûrât الضرورة تبيح المحظورات
Page 11
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
PENGESAHAN PEMBIMBING ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN iii
KATA PENGANTAR v
PEDOMAN TRANSLITERASI vii
DAFTAR ISI xi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 6
C. Tujuan Penelitian 7
D. Kajian Pustaka 8
E. Metodologi Penelitian 8
F. Sistematika Penulisan 10
BAB II SURAT AL-WÂQI’AH ( AYAT 7 - 56 ) DALAM TAFSIR
AL-MARÂGHÎ DAN TAFSIR AL-MISBÂH 12
A. Karakteristik Tafsir 12
1) Ahmad Mustafa al-Marâghî 12
a. Potret Pendidikan dan Karir Akademis 12
b. Sistematika dan Metodologi Tafsir 18
2) M. Quraish Shihab 24
a. Potret Pendidikan dan Karir Akademis 24
b. Sistematika dan Metodologi Tafsir 32
Page 12
xii
B. Penafsiran Surat Al-Wâqi’ah Ayat 7 - 56 39
1) Penafsiran Al-Marâghî 39
a. Al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn (Ayat 10 - 26) 40
b. Ashâb al-Yamîn (Ayat 8, 27 - 40) 46
c. Ashâb al-Syimâl (Ayat 9,41 - 56) 49
2) Penafsiran Quraish Shihab 55
a. Al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn (Ayat 10 - 26) 55
b. Ashâb al-Yamîn (Ayat 8, 27 - 40) 59
c. Ashâb al-Syimâl (Ayat 9, 41 - 56) 62
BAB III ANALISA PERBANDINGAN DAN IMPLIKASINYA 66
A. Pengertian Umum Surat Al-Wâqi‟ah (Ayat 7 - 56) 66
1) Persamaan Dan Perbedaan 66
2) Balasan Bagi Ketiga Golongan 72
B. Implikasi Penafsiran Surat Al-Wâqi‟ah ( Ayat 7 - 56 )
Dalam Kehidupan Di Masyarakat 75
BAB IV PENUTUP 80
A. Kesimpulan 80
B. Saran-saran 82
DAFTAR PUSTAKA 83
Page 13
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟ân adalah Kalâm Allâh yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW. melalui perantara Jibril. Kitab suci ini memiliki kekuatan
luar biasa yang di luar kemampuan apapun, sebagaimana firman Allah SWT.:
“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran Ini kepada sebuah gunung,
pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan
ketakutannya kepada Allah.” (Q.S. Al-Hasyr/59:21)
Untuk mengungkap dan menjelaskan itu semua, tidaklah memadai bila
seseorang hanya mampu membaca dan melunakkan bacaan Al-Qur‟ân dengan
baik. Namun yang diperlukan itu lebih pada kemampuan memahami dan
mengungkap isi serta mengetahui prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya.
Kemampuan seperti inilah yang disebut tafsîr.1 Sebab dikatakan, “Tafsir adalah
kunci untuk membuka gudang simpanan yang tertimbun dalam Al-Qur‟ân.
1 Kata tafsîr adalah bentuk masdar dari kata fassara, yang berarti menguraikan dan
menjelaskan segala sesuatu yang dikandung Al-Qur‟ân. Tidak ada istilah atau term dalam Islam
yang cukup bisa menjelaskan proses penalaran yang produktif dalam Islam selain kata tafsîr.
Tafsîr, dalam pengertiannya yang lebih luas, adalah dialog antara teks Al-Qur‟ân yang memuat
cakrawala makna di dalamnya, dengan horizon pengetahuan manusia dan problematika
kehidupannya yang terus mengalami perubahan dan dinamika yang tidak pernah berhenti. Dengan
demikian, kekayaan dan signifikansi teks Al-Qur‟ân sangat tergantung pada pencapaian
pengetahuan sang penafsir. Semakin tinggi tingkat pengetahuan dan keilmuan penafsir, makin
beragam dan signifikan pula makna yang dihasilkan. Lihat Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu
Tafsir, tanpa penerbit (tt, tpn, 2005), cet. Ke-1, h.5
Page 14
2
Tanpa tafsir orang tidak akan bisa membuka gudang simpanan tersebut untuk
mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya”.2
Di dalam Al-Qur‟ân, banyak sekali ayat-ayat yang membicarakan
tentang kisah. Pemberian tempat mengenai kisah-kisah di dalam Al-Qur‟ân
mempunyai tujuan agar manusia dapat mengambil pelajaran dan mengambil
hikmah serta manfaat dari peristiwa tersebut.
Surat al-Wâqi‟ah merupakan salah satu surat yang turun sebelum Nabi
Muhammad SAW. berhijrah ke Madinah yang berisi 96 ayat. Surat ini diawali
dengan penjelasan tentang terjadinya hari kiamat dan peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada hari itu yang dilanjutkan dengan penjelasan bahwa manusia, pada
hari itu, terbagi ke dalam tiga golongan. Kemudian dilengkapi dengan
penjelasan rinci tentang kenikmatan dan siksaan yang sesuai dengan kadar
kesalehan dan kekafiran masing-masing golongan. Ayat-ayat selanjutnya
memaparkan beberapa bentuk karunia Allah, wujud nyata kekuasaan-Nya yang
ada pada ciptaan-Nya seperti tanaman, air dan neraka, sehingga menjadikan-
Nya pantas untuk dipuji dan disucikan. Ayat-ayat dalam surat ini juga
bersumpah atas kedudukan Al-Qur‟ân yang harus disucikan dan mencela sikap-
sikap orang-orang kafir yang mendustakannya. Padahal seharusnya mereka
bersyukur. Sesudah itu surat ini membicarakan secara global tiga golongan
yang telah disebutkan secara rinci di muka beserta kenikmatan dan siksaan
yang berhak diterima oleh masing-masing. Surat ini ditutup dengan penegasan
2 M. Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur‟ân di Indonesia Abad Keduapuluh, Tanpa
Penerbit (tt, tnp, tth), h. 50
Page 15
3
bahwa apa yang ada dalam surat ini merupakan keyakinan yang jelas dan
kebenaran yang tetap sehingga Allah pantas untuk disucikan.3
Ada di antara beberapa surat yang memiliki nilai fadilah atau
keutamaan jika membacanya. Di antaranya surat Yâsîn, surat al-Rahmân, surat
al-Mulk, termasuk salah satunya adalah surat al-Wâqi‟ah itu sendiri. Dan tidak
sedikit hadis yang mendukung keutamaan beberapa surat yang terdapat di
dalam Al-Qur‟ân.
Ada dua hadis yang menjelaskan Keutamaan Surat al-Wâqi‟ah,
diantaranya;
م سعود ع و ابن ق ال ن ع نو الله ر ضي ع ل يو: الله ص لى الله ر سول عت س كل:و س لم ي قول سور ة الو اقع ةف ل ة ل تصبوف اق ةأ ب دام نق ر أ 4ل ي
Dari Ibnu Mas‟ûd RA. berkata: saya mendengar Rasulullah SAW. berkata:
“Barang siapa yang membaca surat al-Wâqi‟ah tiap malam maka orang itu
tidak akan pernah ditimpa kefakiran selama-lamanya”
ع نر سولاللهص لىاللهع ل يوو س لم ع ع لموانس اء كمسور ة الو اقع ة:نأ ن س
5اسور ةالغن ف إن ه Dari Anas dari Rasulullah SAW. berkata: “Ajarkanlah istri-istrimu surat
al-Waqi‟ah karena sesungguhnya surat al-Waqi‟ah adalah surat kekayaan”
3 Abdussabur Syahin, Sejarah Al-Qur‟ân,Trjmh. Prof. Dr. Ahmad Bachmid, Lc.,
Jakarta:PT.Rehal Republika,2008,Cet.1, Jld.3 h.66 4 Muhammad bin Abdullah al-Khatîb at-Tabrîzî, Musykâtul Mashâbih, kitâb fadâ‟il
al-qur‟ân, Juz 1, Dârul Fikr.1991, h. 682 5 Ibn Hisân Al-Dîn Al-Hindi, Kanzun Al-Umâl, fî sunan al-aqwâl wa al-af‟âl, Juz.1,
Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1989, h. 582
Page 16
4
Kajian fenomenal di dalam Al-Qur‟ân mengenai kiamat (الواقعة(
merupakan bahan wacana yang seharusnya menjadi kajian yang urgen dalam
setiap rentan waktu yang tak terbatas, selain menambah kamajemukan berpikir
juga merupakan wadah setiap manusia untuk meningkatkan setiap detik
kesadaran religinya dan meningkatkan kepada mereka bahwa kiamat itu
semakin dekat.
Allah SWT. menggambarkan tentang kejadian ini di dalam surat ini
(Al-Wâqi‟ah(, bahwa Dia merendahkan suatu kaum dan mengangkat derajat
kaum yang lain. Lalu bumi ketika itu bergoncang sehingga gunung-gunung dan
bangunan-bangunan yang ada di atasnya roboh. Kemudian gunung-gunung
berhamburan seperti debu yang berhamburan di udara. Hingga manusia di
waktu itu terbagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan kanan, golongan kiri,
dan orang-orang yang bersegera kepada kebaikan.6
Firman Allah SWT.:
“Dan kamu menjadi tiga golongan. Yaitu golongan kanan alangkah
mulianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri alangkah sengsaranya
golongan kiri itu. Dan orang-orang yang beriman paling dahulu.”
(Q.S. Al-Wâqi‟ah/56 :7-10)
6 Ahmad Mustafa al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Trjmh. Bahrun Abu Bakar, Cet. Ke-
Dua, Juz.XXVII, 1989. h.231
Page 17
5
Firman Allah SWT.:
“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-
kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu; dan dalam surat Ini Telah
datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-
orang yang beriman.” (Q.S. Hûd/11: 120)
Berdasarkan ayat di atas, penulis merasa tertarik untuk mendalami
kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur‟ân, termasuk ayat-ayat yang mem-
bahas perihal hari akhir atau kiamat. Dan kali ini penulis akan mencoba
menganalisa kembali surat Al-Wâqi‟ah. Karena surat ini juga sudah tidak asing
lagi ditelinga masyarakat, layaknya surat Yâsîn, al-Rahmân dan Al-Mulk yang
sering dibaca pada waktu-waktu dan momen-momen tertentu. Namun penulis
hanya memfokuskan sebuah kisah yang terdapat dalam surat Al-Wâqiah pada
ayat 7-56, yang berkenaan dengan tiga golongan manusia pada hari kiamat.
Penulis juga tertarik untuk membuat kajian analisa perbandingan
terhadap Tafsir Al-Marâghî yang dikarang oleh Ahmad Mustafa Al-Marâghî
dengan Tafsir Al-Misbâh yang dikarang oleh M. Quraish Shihab. Karena
dalam Analisa perbandingan kedua tafsir ini, penulis akan mengetahui tentang
metode penafsiran, sistematika penulisan, corak pemikiran penafsir dan hal-hal
yang berkait dengan karya kedua tafsir tersebut. Penulis juga bisa mengetahui
apakah tafsir mereka terpengaruh dengan pemikiran mufassir. Karena kedua
mufassir ini mempunyai kecenderungan atau keistimewaan masing-masing.
Alasan penulis memilih tafsir al-Marâghî karena tafsir ini mengandung hal-hal
Page 18
6
baru yang relevan dengan kebutuhan umat Islam masa sekarang, yang ditandai
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam berbagai bidang.
Selain itu, argumentasi Al-Qur‟ân menurut Al-Qur‟ân mengisyaratkan luas
wawasan penafsiran yang dibangun olehnya. Begitu juga tafsir ini mengambil
corak sastra budaya kemasyarakatan yang memang berorientasi pada kebutu-
han dan kemaslahatan masyarakat. Sedangkan penulis memilih tafsir al-Misbâh
karena kitab tafsir persembahan dari M. Quraish Shihab yang sangat
representatif dalam dunia tafsir kontemporer, memiliki berbagai macam
disiplin ilmu serta jangkauan pemahaman yang dinamis dan lebih komprehen-
sif. Sedangkan tafsir al-Misbâh itu sendiri menggunakan metode gabungan
antara metode tahlili dan metode maudu‟i. 7
Melihat latar belakang permasalahan di atas, maka penulis mencoba
untuk membahasnya dalam sebuah kajian skripsi yang berjudul “TIGA
GOLONGAN MANUSIA DALAM SURAT AL-WÂQI’AH AYAT 7 - 56;
Kajian Analisa Perbandingan Antara Tafsir Al-Marâghî dengan Tafsir
Al-Misbâh”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan masalah-masalah yang telah diuraikan di atas, agar
pembahasan terfokus dan tidak melebar, maka penulis merasa perlu memberi
batasan-batasan. Pertama, tidak semua ayat dalam surat Al-Wâqi‟ah yang
dibahas, tetapi hanya pada ayat 7 sampai 56 saja. Kedua, tidak semua tafsir
7 Hamdani Anwar, Telaah kritis terhadap tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab; dalam
MIMBAR AGAMA DAN BUDAYA, Vol.XIX, No.2, 2002, h.162-169
Page 19
7
yang menjadi rujukan analisa, tapi hanya dua tafsir antara tafsir al-Marâghî dan
tafsir al-Misbâh.
Alasan penulis menentukan ayat-ayat tersebut adalah untuk memudah-
kan penelitian dan pembahasan. Untuk melihat bagaimana ayat-ayat di atas
dipahami oleh kedua ahli tafsir, maka penulis perlu menjelaskan menurut
pandangan mereka.
Adapun rumusan masalah yang akan dijawab dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Apa persamaan dan perbedaan penafsiran Al-Marâghî dan Quraish
Shihab mengenai “Al-Sâbiqûn Al-Sâbiqûn, Ashâb Al-Yamîn dan Ashâb
Al-Syimâl” dalam surat al-Wâqi‟ah ayat 7 - 56?
2. Apa implikasinya dalam kehidupan di masyarakat?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, maka hal yang
diharapkan menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Dapat menjadi bahan wacana terhadap pengembangan hazanah keilmuan
di bidang tafsir, juga dapat mengetahui persamaan dan perbedaan antara
penafsiran Al-Marâghî dengan Quraish Shihab mengenai “Al-Sâbiqûn
Al-Sâbiqûn, Ashâb Al-Yamîn dan Ashâb Al-Syimâl” dalam surat
al-Wâqi‟ah ayat 7 - 56.
2. Untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dalam
menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana Strata ( S ) I UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Page 20
8
D. Kajian Pustaka
Sejauh penelusuran yang penulis lakukan, penelitian tentang masalah
ini masih belum ada yang melakukannya. Peneliti hanya menemukan satu
skripsi yang hanya membahas tantang kualitas hadis yang ditulis oleh Hafid
(Tafsir-Hadis/2009(, dengan judul “Studi Kritik Kualitas Hadis Keutamaan
Membaca Surat Al-Wâqi‟ah Dalam Tafsir Al-Dûr Fî Al-Tafsîr Al-Ma‟tsûr”.
Skripsi ini membahas tentang kualitas hadis keutamaan membaca surat
al-Wâqi‟ah dari kitab tafsir ini, karena al-Suyûtî dalam menafsirkan ayat dalam
tafsir ini tidak memilih hadis-hadis yang sahih saja, prioritas beliau adalah
bagaimana tafsir ini selalu ditafsirkannya dengan hadis-hadis Nabi SAW. Ia
memilih surat al-Wâqi‟ah karena sangat umum dalam pandangan masyarakat
akademis dan masyarakat awam bahwasanya surat al-Wâqi‟ah di sini dipercaya
sebagai surat pesugihan.
Secara khusus penulis berbeda dengan skripsi di atas, karena dilihat dari
judul yaitu membahas “Tiga Golongan Manusia Pada Hari Kiamat” dalam
surat al-Wâqi‟ah yang merujuk kepada tafsir al-Marâghî dan tafsir al-Misbâh.
E. Metodologi Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan ( Library research ) yaitu mencari dan mengumpulkan berbagai
macam literatur yang relevan dan menelaah dengan pokok masalah yang
dibahas. Adapun buku yang menjadi rujukan utama / sumber primer dalam
penulisan skripsi ini antara lain kitab Tafsir Al-Marâghî karya Ahmad Mustafa
Al-Marâghî dan Tafsir Al-Misbâh karya M. Quraish Shihab.
Page 21
9
Penulis juga melakukan pembahasan skripsi ini secara telaah studi
komparatif yaitu dengan mengumpulkan data-data dan pendapat para ahli yang
berkaitan dengan masalah surat al-Wâqi‟ah, kemudian data tersebut
dideskripsikan yang dimaksudkan untuk menuliskan keadaan objek semata-
mata apa adanya. Langkah ini diambil sebagai permulaan yang sangat penting,
karena ia adalah metode dasar bagi penelitian selanjutnya. Quraish Shihab dan
al-Marâghî misalnya, tidak bisa lepas dari lingkungan sosial kemasyarakatan
yang melingkupinya. Dengan itu, penulisan biografi menjadi sangat perlu. Dan
setelah itu dianalisis dari setiap pendapat guna memperoleh kejelasan masalah.
Metode analitis ini dianggap perlu karena akan tersingkap keterlibatan dari
kedua penafsir dengan persoalan-persoalan yang berada di sekitarnya dalam
menatap nilai-nilai yang berlaku dizamannya.
Sedangkan teknik penulisan dan penyusun skripsi ini berpedoman pada
buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang disusun oleh Tim
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta8 dengan beberapa pengecualian:
1. Kutipan ayat Al-Qur‟ân tidak diberi catatan kaki dan terjemahannya
diambil dari “Al-Qur‟ân dan terjemah” yang diterbitkan oleh
Departemen Agama R.I., Jakarta, Proyek Pengadaan.
2. Kutipan yang menggunakan ejaan yang lama diganti dengan ejaan
yang disempurnakan (EYD) kecuali nama orang/pengarang.
8 Hamid Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah(Skripsi, Tesis dan Disertasi),
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: CeQda, 2007), cet. Ke-2
Page 22
10
F. Sistematika Penulisan
Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisis materi
dalam penulisan skripsi ini, maka berikut ini penulis jelaskan dalam
sistematika penulisan.
Secara garis besar skripsi ini terdiri dari empat bab. Setiap bab dibagi
menjadi sub bab, dan setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing
yang antara satu dan lainnya saling berkaitan.
Pada bab pertama, merupakan pendahuluan yang disajikan sebagai
acuan pembahasan bab-bab berikut dan sekaligus mencerminkan isi global
skripsi yang cangkupannya terdiri dari alasan pemilihan latar belakang
masalah (judul), kajian pustaka, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Pada bab kedua, merupakan pembahasan tentang seputar biografi
penafsir secara umum, juga penafsirannya tentang surat al-Wâqi‟ah ayat 7- 56.
Dalam bab ini menjadi dua pembahasan. Pertama, mengenai karakteristik
tafsir antara Ahmad Mustafa al-Marâghî dan M. Quraish Shihab. Masing-
masing terdiri dari potret pendidikan mereka, karya-karya, karir akademis,
sistematika penulisan dan metodologi tafsir. Kedua, mengenai penafsirannya
masing-masing terhadap ayat-ayat yang terdapat di dalam surat al-Wâqi‟ah
ayat 7 - 56.
Kemudian pada bab ketiga, bab ini merupakan analisa perbandingan
dan implikasinya terhadap penafsiran Surat Al-Wâqi‟ah ayat 7 - 56 yang
diantaranya mengenai persamaan dan perbedaan antara Al-Sâbiqûn
Page 23
11
Al-Sâbiqûn (balasan kepada orang mukmin yang beriman paling dahulu),
Ashâb Al-Yamîn (balasan kepada golongan kanan) dan Ashâb Al-Syimâl (azab
atas golongan kiri). Kemudian implikasi penafsiran ini dalam kehidupan di
masyarakat.
Dan yang terakhir bab keempat, merupakan penutup dari skripsi ini
yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
Page 24
12
BAB II
SURAT AL-WÂQI’AH (AYAT 7 - 56) DALAM TAFSIR AL-MARÂGHÎ
DAN TAFSIR AL-MISBÂH
A. Karakteristik Tafsir
1) Ahmad Mustafa Al-Marâghî
a. Potret Pendidikan dan Karir Akademis
Nama lengkapnya adalah Ahmad Mustafa bin Mustafa Ibn Muhammad
bin Abdul Mun‟im al-Qadi al-Marâghî (1883-1952).1 Kadang-kadang nama
tersebut diperpanjang dengan kata Beik, sehingga menjadi Ahmad Mustafa
al-Marâghî Beik. Ia berasal dari keluarga yang sangat tekun dalam
mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan dan peradilan secara turun-
temurun, sehingga keluarga mereka dikenal sebagai keluarga hakim. Beliau
lahir di kota Marâghah – sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil
sekitar 70 Km. di sebelah selatan kota Kairo – pada tahun 1300 H./1883 M.
Nampaknya, kota kelahirannya inilah yang melekat dan menjadi nisbah bagi
dirinya, bukan keluarganya. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa nama
al-marâghî tidak mutlak menunjukan kapada dirinya.
Ahmad Mustafa al-Marâghî berasal dari kalangan ulama yang taat dan
menguasai berbagai bidang ilmu agama. Hal ini terbukti dengan adanya lima
dari delapan putra Syekh Mustafa al-Marâghî (ayah dari Ahmad Mustafa
1 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1996) Cet. I, h. 13
Page 25
13
al-Marâghî) adalah ulama besar yang memiliki kharisma besar di Marâghah,
yaitu:
1. Syekh Muhammad Mustafa al-Marâghî yang pernah menjadi syekh
al-Azhâr selama dua periode yaitu tahun 1928-1930 dan 1935-1945.2
2. Syekh Ahmad Mustafa al-Marâghî, yaitu pengarang Kitab Tafsir
al-Marâghî.
3. Syekh Abdul Aziz al-Marâghî, dekan Fakultas Ushuluddin Universitas
Al-Azhâr dan Imam Raja Faruq.
4. Syekh Abdullah Mustafa al-Marâghî, Inspektur Umum pada
Universitas Al-Azhâr.
5. Syekh Abdul Wafa Mustafa al-Marâghî, sekretaris badan penelitian
dan pengembangan Universitas Al-Azhâr.3
Hal ini perlu dijelaskan sebab seringkali terjadi salah persepsi tentang
siapa sebenarnya penulis tafsir al-Marâghî di antara kelima putra Mustafa itu.
Hal yang sering membingungkan karena Mustafa al-Marâghî juga terkenal
sebagai seorang mufassir. Memang benar bahwa sebagai mufassir Muhammad
Mustafa al-Marâghî juga melahirkan sejumlah karya tafsir, hanya saja ia tidak
berhasil menafsirkan Al-Qur‟ân secara menyeluruh. Ia hanya berhasil menulis
2 Muhammad dan Ahmad Mustafa al-Marâghî, keduanya beradik kaka dan sama-sama
mengarang kitab tafsir, serta sama-sama pernah menjadi murid Muhammad Abduh. Muhammad
Mustafa al-Marâghî (kakak) adalah yang penulisan tafsir-nya tidak lenggkap 30 Juz, hanya
beberapa surat seperti surat al-Hujrât, al-Had, dan beberapa ayat dari surat Luqman dan al-„Ashr.
Sungguh pun demikian, ia termasuk salah seorang anggota panitia pembaharuan Universitas
Al-Azhâr. Pada masanya Al-Azhâr dibagi kepada tiga Fakultas, yaitu Fakultas Hukum dan
Syari‟ah, Fakultas Teologi atau Ushuluddin, dan Fakultas Bahasa Arab. Beliau dua kali menjadi
rektor Universitas Al-Azhâr pertama mulai bulan Mei 1928 sampai bulan Oktober 1929, kedua,
mulai bulan April 1935 sampai ia meninggal dunia tanggal 22 Agustus 1945. Lihat Hasan Zaini,
Tafsir Tematik, h.20 3 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 20
Page 26
14
tafsir beberapa bagian Al-Qur‟ân, seperti surat al-Hujurât dan lain-lain.
Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud disini adalah Ahmad Mustafa
al-Marâghî, adik kandung dari Muhammad Mustafa al-Marâghî.
Disamping itu al-Marâghî sebagai keturunan ulama yang menjadi
ulama, ia juga berhasil dengan gemilang dalam mendidik putra-putranya
menjadi ulama dan sarjana yang selalu mengabdikan ilmunya pada
masyarakat, dan bahkan mendapat kedudukan penting sebagai hakim pada
pemerintahan Mesir.
Masa kanak-kanaknya dilalui dalam lingkungan keluarga. Pendidikan
dasarnya ia tempuh pada sebuah Madrasah di desanya, tempat di mana ia
mempelajari al-Qur‟ân, memperbaiki bacaan, dan menghafal ayat-ayatnya,
sehingga sebelum mencapai umur yang ke-13 tahun ia sudah menghafal
seluruh ayat al-Qur‟ân. Disamping itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan
dasar-dasar ilmu agama yang lain di madrasah tersebut sampai ia menamatkan
pendidikan Tingkat Menengah.4
Setelah menamatkan pendidikan dasarnya tahun 1314 H./1897 M.,
al-Marâghî melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhâr di Kairo atas
persetujuan orang tuanya, di samping mengikuti kuliah di Universitas Dârul
„Ulum Kairo.5 Dengan kesibukannya belajar di dua perguruan tinggi ini,
4 Abdullah Mustafa al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn Fi Tabaqât al-Ushuliyîn, (Beirut:
Muhammad Amin, 1993), h. 202. Lihat juga. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam;
Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang 1996) Cet. Ke. 12, h. 77 5 Yang dahulu merupakan perguruan Tinggi yang berdiri sendiri dan sekarang menjadi
bagian dari Cairo University
Page 27
15
al-Marâghî dapat disebut sebagai orang yang beruntung, sebab keduanya
berhasil diselesaikan pada saat yang sama, tahun 1909 M.6
Pada tahun 1314 H./1897 M. itulah beliau menuntut ilmu pengetahuan
agama, seperti Bahasa Arab, Balâghah, Tafsîr, Ilmu al-Qur‟ân, Ilmu Hadîs,
Fiqih, Ushul Fiqih, Akhlak, Ilmu Falak dan sebagainya. Pada perguruan tinggi
tersebut, al-Marâghî mendapatkan bimbingan langsung dari tokoh-tokoh
ternama dan ahli dibidangnya masing-masing pada waktu itu, seperti: Syekh
Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Bukhait al-Mut‟i, Ahmad Rifa‟i
al-Fayumi, dan lain-lain. Merekalah antara lain yang menjadi narasumber bagi
al-Marâghî, sehingga ia tumbuh menjadi sosok intelektual muslim.7
Setelah Syekh Ahmad Mustafa al-Marâghî menamatkan studinya di
Universitas al-Azhâr dan Dar al-„Ulum, ia memulai karirnya dengan menjadi
guru di beberapa sekolah menegah. Kemudian ia diangkat menjadi direktur
Madrasah Mu‟allimîn di Fayum, sebuah kota setingkat kabupaten (kota
madya), kira-kira 300 km sebelah barat daya kota Kairo. Pada tahun 1916 ia
diangkat menjadi dosen utusan al-Azhâr untuk mengajar ilmu-ilmu syari‟ah
Islam pada Fakultas Ghirdun di Sudan. Di Sudan, selain sibuk mengajar
al-Marâghî juga giat mengarang buku-buku ilmiah. Salah satu buku yang
selesai dikarangnya di sana adalah „Ulum al-Balaghah.8
6 Abdullah Mustafa al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn..h. 202, beberapa dosen yang pernah
aktif mengajarnya di al-Azhâr dan Dar al-„Ulum adalah Syekh Muhammad Abduh, Syekh
Muhammad Hasan Al-Adawi, Syekh Muhammad Bahis al-Mut‟î, dan Syekh Muhammad Rifa‟i
al-Fayumi. 7 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 17
8 Abdul Djalal, Tafsir al-Marâghî dan Tafsir al-Nûr Sebuah Studi Perbandingan. h. 17
Page 28
16
Pada tahun 1920 ia kembali pulang ke Kairo dan diangkat menjadi
dosen bahasa Arab dan ilmu-ilmu syarî‟ah Islam di Dar al-„Ulum sampai
tahun 1940. Disamping itu ia diangkat menjadi dosen ilmu balaghah dan
sejarah kebudayaan islam di Fakultas Adab Universitas Al-Azhâr. Selama
mengajar di Universitas al-Azhâr dan Dar al-„Ulum, ia tinggal di daerah
Hilwan, sebuah kota satelit Kairo, kira-kira 25 km sebelah selatan kota Kairo.
Ia menetap di sana sampai akhir hayatnya, sehingga di kota tersebut terdapat
suatu jalan yang diberi nama jalan al-Marâghî.9
Ahmad Mustafa al-Marâghî juga mengajar pada perguruan Ma‟had
Tarbiyah Mu‟allimât beberapa tahun lamanya, sampai ia mendapatkan piagam
tanda penghargaan dari Raja Mesir, Faruq pada tahun 1361 H. atas jasa-
jasanya tersebut. Piagam tersebut tertanggal 11-01-1361 H. Pada tahun 1370
H./1951 M., yaitu setahun sebelum beliau meninggal dunia, dalam usianya
yang terbentang selama 71 tahun, beliau juga masih mengajar dan bahkan
dipercayakan menjadi direktur Madrasah Utsman Mahir Basya di Kairo
sampai menjelang akhir hayatnya. Beliau meninggal pada tanggal 9 juli 1952
M. / 1371 H. di tempat kediamannya di jalan Zulfikar Basya nomor 37 Hilwan
dan dikuburkan di pemakaman keluarganya di Hilwan, kira-kira 25 km
disebelah kota Kairo.10
Berkat didikan Syekh Ahmad Mustafa al-Marâghî, lahirlah ratusan,
bahkan ribuan ulama/sarjana dan cendikiawan muslim yang bisa dibanggakan
9 Abdullah Mustafa al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn ,h.114
10Abdul Djalal, Tafsir al-Marâghî dan Tafsir al-Nûr Sebuah Studi Perbandingan. h. 18
Page 29
17
oleh berbagai lembaga pendidikan islam, yang ahli dan mendalami ilmu-ilmu
agama Islam.
Diantara mahasiswa Ahmad Mustafa al-Marâghî yang berhasil dari
Indonesia adalah:
1. Bustami Abdul Ghani, Guru Besar dan dosen Program Pasca sarjana
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Mukhtar Yahya, Guru Besar IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta.
3. Mastur Djahri, dosen senior IAIN Antasari Banjarmasin.
4. Ibrahim Abdul Halim, dosen senior IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Abdul Rozak al-Amudy, dosen senior IAIN Sunan Ampel Surabaya.11
Ahmad Mustafa al-Marâghî menyadari bahwa setiap masa mempunyai
karakter sendiri-sendiri, baik dalam sikap masyarakat, tradisi, akhlak dan cara
berfikir pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu
al-Marâghî merasa perlu untuk mengeluarkan sebuah kitab tafsir dengan corak
yang sesuai dengan masa kini atau bersifat kontemporer dan sesuai dengan
kondisi pluralis masyarakat yang ada. Namun demikian al-Marâghî masih
tetap menganggap perlu untuk mengikuti pendapat-pendapat mufassir
sebelumnya sebagai wujud penghargaan al-Marâghî atas kerja keras yang
telah mereka lakukan.
Ia telah melakukan banyak hal. Selain mengajar di beberapa lembaga
pendidikan yang telah disebutkan, ia juga memberikan kontribusi yang besar
11
Departeman Agama RI, Ensiklopedi Islam (Jakarta: t.p., 1993), Jld.2, h.696
Page 30
18
terhadap umat lewat beragam karyanya. Salah satu di antaranya adalah kitab
tafsir yang beredar di seluruh dunia Islam sampai saat ini.
Diantara buah pena yang dapat dihasilkan dan dibaca diantaranya:
„Ulûm al-Balâghah, Hidâyah al-Tâlib, Tahbîz al-Tandîh, Buhuts wa Ara,
Tarikh „Ulum al-Balaghah wa Ta‟rif Bi rijâliha, Mursyid al-Tulâb, al-Mujasfi
„Ulûm wa al-Usûl Al-Diyanât wa al-Akhlâq, al-Hisâb Fi al-Islâm, al-Rifqi bi
al-Hayawân Fi al-Islâm, Syarah Tsalâsîn Hadîsan, Tafsir Juz Innama
al-Sabîl, Risalât Fi Zauzat al-Nabi, Risalât Ishat Ru‟yat al-Hilâl Fi Ramadân,
al-Khutbah Wa al-Khutaba Fi Daulat al-Umawiyah Wa al-„Abbasiyah,
al-Mutâla‟ah al-Arabiyah Li al-Madâris al-Sudaniyah. 12
Penulisan sekian banyak karyanya ini tidak terlepas dari rasa
tanggungjawab al-Marâghî sebagai salah seorang ulama tafsir yang melihat
begitu banyak problema yang membutuhkan pemecahan dalam masyarakat-
nya. Ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi berdasarkan
dalil-dalil Qur‟ani sebagai alternatif untuk dijadikan cara pemecahan yang
aktual dan pemecahan menurut Islam di masa modern ini.
b. Sistematika dan Metodologi Tafsir
Sebagaimana yang dituliskan al-Marâghî dalam mukaddimah tasirnya
ia menjelaskan bahwa dimasa sekarang orang sering menyaksikan banyak
kalangan yang cenderung memperluas cakrawala pengetahuan dibidang
agama, terutama sekali dibidang tafsir al-Qur‟ân dan Sunnah Rasul, kitab-
kitab tafsir tersebut banyak memberitakan manfaat karena menyikap berbagai
12
Kafrawi Ridwan, et. Al (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve
Jakarta, 1994), cet. Ke-3, h.166, lihat juga Abdullah Mustafa al-Marâghî, al-Fath al-Mubîn Fi
Tabaqât al-Ushuliyîn (Beirut: Muhammad Amin, co. 1934). h. 204
Page 31
19
persoalan agama dan bermacam-macam kesulitan yang tidak mudah dipahami,
namun kebanyakan telah banyak dibumbui dengan istilah-istilah ilmu yang
lain, seperti ilmu balaghah, nahwu, saraf, fiqih, tauhîd, dan ilmu lainnya, yang
justru merupakan hambatan bagi pemahaman al-Qur‟ân secara benar bagi para
pembaca.13
Namun demikian al-Marâghî mengulas, hal ini memang tidak bisa
disalahkan, karena ayat-ayat al-Qur‟ân sendiri memberikan isyarat tentang hal
itu. Tetapi saat ini dapat dibuktikan dengan dasar penyelidikan ilmiah dan data
autentik dengan berbagai argumentasi yang kuat, bahwa sebaiknya tidak perlu
ditafsirkan al-Qur‟ân dengan analisa ilmiah yang hanya berlaku seketika.
Sebab, dengan berlalunya masa, sudah tentu situasi tersebut akan berubah.
Apalagi, tafsir-tafsir dahulu itu dulu ditampilkan dengan gaya bahasa yang
hanya bisa dipahami oleh para pembaca yang semasa.14
Seiring problema yang terus berkembang dan menjadikan Al-Qur‟ân
sebagai kenyataan yang bisa meminimalisir permasalahan-permasalahan
agama dan sosial, seiring pula para penafsir mengembangkan dan memberikan
corak yang varian terhadap tafsir mereka. Para ulama tafsir membagi metode
penulisannya kedalam empat metode tafsir, yaitu:15
1) Metode Tahlili, Berasal dari kata halala Yuhalilu, Tahlili yang berarti
mengurai atau menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti
ayat-ayat Al-Qur‟ân dengan memaparkan segala makna dan aspek yang
13
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 24 14
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 25 15
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur‟ân Al-Karîm, h. V, (pengantar), lihat juga Sejarah
„Ulum al-Qurân (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), cet. Ke-1, h.172-192
Page 32
20
terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam
Al-Qur‟ân Mushaf Utsmani. Tafsir ini disebut juga Tajzi‟i (parsial).
2) Metode Ijmali (global) adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur‟ân secara global dan singkat, sehingga terasa oleh
pembacanya bagai tetap dalam gaya dan kalimat-kalimat Al-Qur‟ân.
3) Metode Muqarran (komparatif) adalah tafsir yang berupaya membanding-
kan satu ayat dengan ayat lain atau dengan hadis Nabi SAW. yang
terkesan bertentangan atau juga membandingkan pendapat dua ulama atau
lebih menyangkut ayat-ayat tertentu.
4) Metode Maudu‟i (tematik) dinamai juga metode tauhidy yaitu menyajikan
pesan ayat-ayat al-Qur‟ân yang berbicara satu topik dalam kesatuan utuh.
Metode ini mempunyai dua bentuk. Pertama, yaitu tafsir yang membahas
satu surat Al-Qur‟ân secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelas-
kan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar dengan cara
menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain dan atau antara satu
pokok masalah dengan pokok masalah lain. Kedua, tafsir yang
menghimpun dan menyusun ayat-ayat Al-Qur‟ân yang memiliki kesamaan
arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil
kesimpulan, di bawah satu bahasan tema tertentu.
Dengan melihat uraian di atas, maka tafsir al-Marâghî menggunakan
metode Tahlili. Bila dibandingkan dengan kitab-kitab tafsir yang lain, baik
sebelum atau sesudah Tafsir al-Marâghî, termasuk Tafsir al-Manâr yang
dipandang modern, ternyata tafsir al-Marâghî mempunyai sistematika
Page 33
21
penulisan sendiri, yang membuatnya berbeda dangan tafsir-tafsir lain tersebut.
Sedang coraknya sama dengan corak Tafsir al-Manâr karya Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur‟ân al-Karîm karya Muhammad
Syaltut, dan Tafsir al-Wad‟i karya Muhammad Mahmud Hijazi.16
Semuanya
itu mengambil Adabi Ijtima‟i. Menurut Husain al-Dzahabi, Adabi Ijtima‟i
adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟ân berdasarkan
ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas,
dengan menekankan tujuan yang pokok diturunkannya al-Qur‟ân, lalu
mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah
umat islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan
masyarakat.17
Adapun sistematika penulisan tafsir al-Marâghî yang dikemukakannya
dalam Mukaddimah tafsirnya adalah sebagai berikut.18
1. Mengemukakan Ayat-ayat di Awal Pembahasan
Pada setiap bahasan Al-Marâghî memulai dengan satu, dua lebih ayat-
ayat al-Qur‟ân yang kami susun sedemikian rupa hingga memberikan
pengertian yang menyatu.
2. Menjelaskan Kosa Kata
Kemudian ia sertakan penjelasan-penjelasan kata secara bahasa, jika
memang terdapat kata-kata yang dianggap sulit dipahami oleh para pembaca.
16
Ahmad Akram, Tarikh „ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirî, ter. Ali Hasan al-„Aridh,
Sejarah dan Metodologi Tafsir (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1992), Cet. Ke-2, h. 72 17
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa Al-Mufassirûn (t.p. 1986) cet. Ke-2, jilid
2, h. 574, lihat juga Sejarah dan „Ulum al-Qur‟ân, h. 184 18
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, h. 26-30
Page 34
22
3. Menjelaskan Pengertian Ayat-ayat Secara Global
Kemudian, Al-Marâghî menyebutkan ayat-ayat secara ijmal, dengan
maksud memberikan pengertian ayat-ayat di atasnya secara global. Sehingga
sebelum memasuki pengertian tafsir yang menjadi topik utama, para pembaca
telah terlebih dahulu mengetahui ayat-ayat secara ijmal.
4. Menjelaskan Sebab Turun Ayat
Kemudian, ia pun akan menyertakan bahasan Asbâbun an-Nuzul jika
terdapat riwayat sahih dari hadis yang menjadi pegangan para mufassir.
5. Meninggalkan Istilah-istilah Yang Berhubungan Dengan Ilmu
Pengetahuan
Di dalam tafsir ini, sengaja mufassir mengesampingkan istilah yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Misalnya ilmu Saraf, Nahwu,
Balaghah dan lain-lain, walaupun masuknya ilmu-ilmu tersebut justru
merupakan suatu penghambatan bagi para pembaca di dalam mempelajari
kitab-kitab tafsir. Meskipun ia mengingkari visi dan paradigma tafsir
al-Qur‟ân ilmiah, akan tetapi ia juga berusaha memadukan karena mengikuti
metodologi gurunya, Muhammad Abduh dalam mengkompromikan antara
Islam dengan sivilisasi Barat antara sikap mereka yang menolak terhadap visi
dan paradigma tersebut dengan sikap para pendukung dan penganjurnya,
karena itu beliau masih mentolelir jika antara tekstualitas ayat dengan realitas
ilmiah yang fixed itu ada kesesuaian.19
19
Seperti yang ia katakan berangkat dari sini, saya tidak ingin mengatakan bahwa
al-Qur‟ân ini memuat seluruh ilmu pengetahuan, baik secara global maupun sistematis dengan
model pendidikan yang sudah dikenal. Namun, saya ingin menegaskan bahwa al-Qur‟ân memang
telah membawa dasar-dasar secara general apa saja yang bisa dipersepsikan oleh manusia
Page 35
23
6. Gaya Bahasa Para Mufassir
Al-Marâghî sadar bahwa kitab-kitab tafsir terdahulu disusun dengan
gaya bahasa yang sesuai dengan para pembaca ketika itu, yang sudah barang
tentu sangat dimengerti oleh mereka. Kebanyakan mufassir, di dalam
menyajikan karya-karyanya itu menggunakan gaya bahasa yang ringkas,
sekaligus sebagai kebanggaan mereka karena mampu menulis dengan cara itu.
7. Pesatnya Sarana Komunikasi Di Masa Modern
Masa sekarang ini ternyata mempunyai ciri tersendiri. Masyarakat
lebih cenderung menggunakan gaya bahasa sederhana yang dapat dimengerti
maksud dan tujuannya. Terutama ketika bahasa itu dipergunakan sebagai alat
komunikasi sehingga melahirkan kejelasan pengertian. Karenanya, sebelum
Al-Marâghî melakukan pembahasan, terlebih dahulu membaca seluruh kitab-
kitab tafsir terdahulu yang beraneka kecenderungannya dan masa ditulisnya.
Sehingga ia memahami secara keseluruhannya sisi kitab-kitab tersebut.
Kemudian, ia berusaha mencernanya, dan ia sajikan dengan gaya bahasa yang
bisa dimengerti di masa sekarang.
8. Seleksi Terhadap Kisah-kisah Yang Terdapat Di Dalam Kitab-kitab
Tafsir
Pada dasarnya, fitrah manusia selalu ingin mengetahui hal-hal yang
masih samar, dan berupaya menafsirkan hal-hal yang masih dianggap sulit
berdasarkan pengetahuannya dan untuk diaktualisasikan, agar dia sampai pada tataran (manusia
sempurna), dia telah membiarkan pintu itu terbuka bagi orang-orang berilmu, mereka yang pekerja
ilmu pengetahuan, yang beragam bentuknya, agar mereka bisa menjelaskan delik-deliknya kepada
manusia, sesuai dengan apa yang mereka terima pada era dimana mereka hidup disana. Abdul
Majid Abdussalam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur‟ân Kontemporer (Jakarta: al-
Izzah 1997) cet. 1, h. 323
Page 36
24
untuk dapat diketahui. Terdesak oleh kebutuhan tersebut, mereka justru
mengidentifikasi permasalahan kepada ahli kitab – baik kalangan Yahudi
maupun Masehi. Ketika mereka menceritakan kepada umat Islam kisah yang
dianggap sebagai interpretasi mengenai hal-hal yang sulit di dalam al-Qur‟ân,
padahal mereka tersebut bagaikan orang-orang yang mencari kayu bakar
dikegelapan malam, mereka mengumpulkan apa saja yang didapat, kayu
maupun yang lainnya, sebab kisah-kisah mereka tidak melalui proses seleksi.
Hal ini diungkapkan oleh beliau sendiri pada mukadimahnya, “Maka
dari itu kami tidak perlu menghadirkan riwayat-riwayat kecuali riwayat
tersebut dapat diterima dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. Dan, kami
tidak melihat di sana hal-hal yang menyimpang dari permasalahan agama
yang tidak diperselisihkan lagi oleh para ahli. Menurut kami, yang demikian
itu lebih selamat untuk menafsirkan Kitabullah secara lebih menarik hati
orang-orang yang berkebudayaan ilmiah yang tidak bisa puas kecuali dengan
bukti-bukti dan dalil-dalil, serta cahaya pengetahuan yang benar”.
Berdasarkan pertimbangan di atas, al-Marâghî melihat langkah yang
baik dalam pembahasan tafsirnya ialah tidak menyebutkan masalah-masalah
yang berkaitan erat dengan cerita orang terdahulu, kecuali cerita-cerita
tersebut tidak bertentangan dengan prinsip agama yang sudah tidak
diperselisihkan.
Page 37
25
2) M. Quraish Shihab
a. Potret Pendidikan dan Karir Akademis
Quraish Shihab menjadi sosok yang penuh karisma dalam warisan
dunia tafsir kontemporer. Karenanya, bayak problem keagamaan dan sosial-
teologi yang dapat dijawab oleh Quraish ini menjadikannya sosok yang unik
dalam memahami keagamaan. Dengan keluasan sebuah pengetahuan ia
mengelola dan memproduksi agama dari bentuk transenden menuju iman, dari
yang berwajah simbolik menuju subtantif, dari yang tak terpikirkan menuju
yang terpikirkan.
Muhammad Quraish Shihab dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1944
di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keturunan Arab yang terpelajar.
Ia merupakan salah satu putra dari Prof. KH. Abdurrahman Shihab (1905-
1986) seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir.20
Memiliki reputasi
baik dalam dunia pendidikan di Sulawesi selatan, Kontribusinya terbukti dari
usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujung padang, yaitu Universitas
Muslim Indonesia (UMI) dan IAIN Alaudin Ujung Padang.21
Quraish Shihab pertama sekali belajar bahasa Al-Qur‟ân langsung dari
ayah kandungnya sendiri yang secara rutin dilaksanakan sehabis maghrib,
ayahnya selalu mengajak Quraish Shihab dan saudara-saudara yang lain untuk
bercengkrama bersama dan sesekali memberikan petuah-petuah keagamaan
dengan memasukan makna ayat-ayat Al-Qur‟ân dan perkataan orang-orang
20
Kusmana, Membangun Citra Institusi, dalam Badri Yatim dan Hamid Nasuhi, (ed),
Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam (Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta), (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002) Cet. Ke-1, hal.254 21
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Houve, 1996), Jilid 2, hal.110
Page 38
26
bijak.22
Dari sinilah rupanya mulai bersemi benih cinta dalam diri Quraish
Shihab terhadap studi Al-Qur‟ân.23
Petuah-petuah itu berasal dari ayat-ayat
Al-Qur‟ân, petuah Nabi, sahabat, atau pakar-pakar Al-Qur‟ân.
Pendidikan formal sekolah Dasar Quraish Shihab di Ujung Pandang,
kemudian melanjutkan sekolah menengahnya (SLTP) di kota Malang, Jawa
Timur dibarengi dengan belajar agama di Pondok Pesantren Dâr al-Hadîts
al-Fiqhiyah, di kota yang sama. Pada tahun 1958, dalam usianya yang ke 14
tahun ia berangkat ke Kairo, Mesir dan diterima ke Kelas II Tsanawiyah
al-Azhâr pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas ushuluddin, tetapi ia tidak di
terima karena belum memenuhi syarat yang ditetapkan. Oleh karena itu, ia
bersedia mengulang setahun untuk mendapatkan kesempatan studi di Jurusan
Tafsir Hadis. Walaupun, jurusan-jurusan lainnya terbuka lebar untuknya.24
Pada tahun 1967 ia dapat menyelesaikan kuliahnya dan mendapat gelar
Lc (setingkat dengan SI). karena kehausannya dalam ilmu Al-Qur‟an. Ia
melanjutkan kembali pendidikannya di jurusan dan universitas yang sama dan
berhasil meraih gelar MA pada tahun 1968 untuk spesialisasi di bidang tafsir
al-Qur‟ân dengan tesis berjudul Al-I‟jaz al-Tasyri‟î Li Al-Qur‟ân al-Karîm.
Dengan rasa suka ia kembali ke kampung halaman dengan mengantongi gelar
Megister di tangannya.25
22
Petuah-petuah keagamaan yang hingga detik ini masih terngiang di telinga saya.
Biarkanlah Al-Qur‟ân berbicara (Istantiq al-Qurân) Sabda Ali Ibn Abi Thalib, Bacalah al-Qur‟ân
seolah-olah ia diturunkan kepadamu kata Muhammad Iqbal, Rasakanlah Keagungan al-Qur‟ân,
sebelum kau menyentuhnya dengan nalarmu_kata Syaikh Muhammad Abduh. Lihat Membumikan
Al-Qur‟ân_Kata Pengantar. 23
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟ân, (Bandung: Mizan,2001), Cet. Ke-22,hal.6 24
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟ân, hal. 14 25
Ensiklopedi Islam, h.111
Page 39
27
Quraish Shihab tidak langsung melanjutkan studinya ke program
doctoral melainkan kembali ke Ujung Pandang, dalam beberapa periode,
kurang lebih sebelas tahun (1969-1980) ia terjun ke berbagai aktivitas. Antara
lain, di Ujung Pandang ia membantu ayahnya mengelola pendidikan di IAIN
Alaudin, jabatan yang ia pegang di dalam universitas tersebut sangat istimewa
yaitu sebagai Wakil Rektor di bidang Akademis dan Kemahasiswaan,
Koordinator perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian timur
(KOPERTAIS), sedangkan di luar kampus ia dipercaya sebagai Wakil Ketua
Kepolisian Indonesia Bagian Timur dalam bidang penyuluhan mental. Di
Ujung Pandang ia sempat untuk melakukan berbagai penelitian, diantaranya
dengan tema: Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur
(1975)26
dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).27
Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir untuk
melanjutkan studinya di program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin Jurusan
Tafsir Hadis, Universitas Al-Azhâr. Pada tahun 1982 dengan Disertasi
berjudul Nazm al-Durâr li al-Biqa‟I Tahqîq wa Dirasah dan meraih gelar
doctor (Ph.D) dengan yudisium Summa Cum Laude, disertai penghargaan
tingkat pertama (mumtâz ma‟a martabah al-syarâfah al-„ula).28
26
Karya ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1975. Isinya
merupakan penggambaran di bidang sosial tentang terciptanya kerukunan hidup antar umat
beragama yang paling harmonis 27
Ensiklopedi Islam, h.111, karya ini juga merupakan bentuk laporan dari penelitian yang
dilakukan pada tahun 1978. Isinya menggambarkan bagaimana situasi dan kondisi objektif dari
persoalan wakaf yang terdapat di Sulawesi Selatan, juga terdapat di dalamnya saran-saran yang
perlu dipertimbangkan 28
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qurân, h. 6, lihat juga Membumikan al-Qurân,
Pengantar penulis
Page 40
28
Sekembalinya ke kampung halaman, dua tahun kemudian, tepatnya
pada tahun 1984 babak baru bagi karir Quraish Shihab, dimulai saat pindah
tugas dari IAIN Alaudin, Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Disinilah Quraish Shihab aktif mengajar bidang tafsir
dan ulum Al-Qur‟ân di program SI, S2, dan S3 sampai tahun 1998.
Selain menjadi Rektor IAIN Jakarta dua periode (1992-1996 dan 1997-
1998), ia juga dipercaya menjadi menteri agama selama kurang dua bulan di
awal tahun 1998, pada cabinet terakhir Soeharto, cabinet pembangunan VI.
Pada tahun 1999, Quraish Shihab diangkat menjadi Duta Besar Rebpublik
Indonesia untuk Negara Republik Arab Mesir yang berkedudukan di Kairo.29
Pada tahun 1993 Quraish Shihab mendapatkan jabatan sebagai Menteri
Agama RI cabinet pembangunan VII (1998), akan tetapi jabatan tersebut tak
lama dipegangnya, kurang lebih dua bulan dan ia juga sekaligus merangkap
jabatan sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Nama Quraish Shihab
pun tak lekam begitu saja karena pada masa pemerintahan transisisonal Habibi
tahun 1999, lagi-lagi Quraish mendapat jabatan baru sebagai Duta Besar Mesir.
Dari latar belakang keluarga dan pendidikan yang perolehnya itu telah
menjadikannya ia seorang yang mempunyai kajian dan wawasan yang
mendalam menonjol dalam khazanah tafsir di Indonesia. Atau seperti apa
Ia merupakan orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doctor di bidang Ilmu
Tafsir, sementara dalam lingkup keluarga, ia merupakan dokter keempat dari anak-anak Shihab
yang berjumlah 12, terdiri dari enam putra dan enam putri. 29
Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah Karya M. Quraish Shihab,
dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No.2, 2002, h. 172
Page 41
29
yang dikatakan Howard M. Federsfiel30
, telah menjadikan ia terdidik lebih
baik dibandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat
dalam Populer Indonesia Literature Of The Quran.31
Al-Qur‟ân merupakan media petunjuk untuk manusia secara umum
mengetahui berbagai perihal informasi dari Allah SWT. mengenai perintah,
larangan, ancaman, cobaan, balasan, imbalan, dan lain-lain. Dan tafsir sebagai
metodologi menjembatani usaha manusia untuk memahami kandungan ayat-
ayat Al-Qur‟ân sesuai dengan keluasan ilmu yang dimilikinya. Hal ini berarti,
bukan hal yang mudah untuk menterjemahkan pesan Tuhan secara aktual,
ilmu dan kemampuanlah yang menjadi tolak ukur dalam mentafsirkan Al-Qur‟ân.
Sedangkan menurut Quraish Shihab tafsir Al-Qur‟ân adalah penjelasan
tentang maksud firman-firman sesuai kemampuan manusia. Kemampuan itu
bertingkat-tingkat, sehingga apa yang dicerna atau diperoleh oleh seorang
penafsir dari Al-Qur‟ân bertingkat-tingkat pula. Kecenderungan manusia juga
berbeda-beda, sehingga apa yang dihidangkan dari pesan-pesan Ilahi dapat
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Jika fulan memiliki
kecenderungan hukum, tafsirnya banyak berbicara tentang hukum. Kalau
fulan adalah seorang filosof, maka tafsir yang dihidangkan bersifat filosofis.
30
Howard M. Federsfiel adalah Profesor di Institut studi-studi islam, universits MCGill di
Montreal, Kanada, juga sebagai Profesor ilu politik di universitas Negara bagian Ohio di AS. Ia
lahir di New York AS pada tahun 1932, ia melanjutkan studinya di Universitas MC Gill di mana ia
belajar di bawah bimbingan willfred Cantwell Smith, Fazlur Rahmân, John Alden Williams, M.
Yani Barkes dan Muhammad Rasyidi. Lihat Kajian al-Qur‟an di Indonesia dari Mahmud Yunus
hingga Quraish Shihab, terbitan Mizan 31
Howard M. Fiderspiel, Penerjemah Drs. Tajul Arifin, M.A, Kajian al-Qurân di
Indonesia; dari Muhammad Yunus hingga Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-1,
h.295
Page 42
30
Kalau studi yang diminatinya bahasa, maka tafsirnya banyak berbicara tentang
aspek-aspek kebahasaan demikian seterusnya.32
Menyadari begitu luas dan dalamnya makna-makna yang terkandung
dalam Al-Qur‟ân, Quraish Shihab pun mengoptimalisasi berbagai ilmu dengan
masyarakat luas yang ditumpahkan dalam karya-karyanya. Di harian Media
Massa surat kabar Pelita, pada setiap hari rabu ia menulis dalam rublik Pelita
Hati. Ia juga mengasuh rublik Tafsir Amanah. Begitu pula fatwa-fatwanya di
Harian Republik dan majalah Ummat. Selain itu, ia juga tercatat sebagai anggota
Dewan Redaksi Majalah „Ulumul Qurân dan Mimbar „Ulama, Indonesia Journal
For Islamic Studies, Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, Keempatnya
terbit di Jakarta. Di luar kegiatan di atas, ia juga sering berceramah lewat media
elektronik, khususnya di bulan Ramadhan.33
Tanggapan Federspiel juga tentang karya Quraish Shihab yaitu bahwa
tafsir tersebut ditunjukan bagi kaum muslim awam, sekalipun sebenarnya
karya tersebut ditunjukan kepada pembaca yang cukup terpelajar. Federspiel
mengklasifikasikan tafsir karya Quraish Shihab sebagai karya yang sangat
kuat dan merupakan batu ujian bagi pemahaman yang lebih baik tentang Islam.34
Berbagai pujian dan karya ilmiah yang diluncurkannya mencerminkan
ia seorang yang aktif dan produktif sebagai penulis dan pandangannya dalam
menggambarkan permasalahan yang menjadi kegelisahan masyarakat,
khususnya wilayah agama dan sosial keagamaan.
32
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟ân,
(Jakarta: Lentera Hati, 2000), cet. Ke-1, Vol.1, h.xvii 33
Kusma, Membangun Citra Institusi, h. 259 34
Federspiel, Kajian al-Qurân di Indonesia, h. 298
Page 43
31
Tulis pengantar Redaksi Kompas (Minggu 18 Februari 1996) sewaktu
menurunkan wawancara panjang dengan Muhammad Quraish Shihab
pandangan tafsir Al-Qur‟ân bergelar doktor ini dari Universitas al-Azhar,
Kairo, memang senantiasa membimbing untuk menemukan jalan keluar yang
arif dengan tidak mengurangi dan menghakimi.35
Karya-karya Quraish Shihab yang lain secara global terbagi kepada
dua judul besar, Pertama, karya-karya dengan metode Maudhû‟i (tematik),
manyajikan pesan-pesan ayat Al-Qur‟ân yang berbicara satu topic dalam satu
kesatuan. Seperti, Mahkota Tuntunan Ilahi (1996), Membumikan Al-Qur‟ân
(1992), dan Lentera Hati,36
Untaian Permata Buat Anakku; Pesan Al-Qurân
untuk Mempelai (1995), Wawasan Al-Qurân (1996), Mu‟jizat Al-Qurân
(1997), Haji Mabrur bersama Quraish Shihab (1997), Menyikap Tabir Ilahi;
Asmaul Husna Dalam Perspektif Al-Qurân (1998), Fatwa-fatwa Seputar
Ibadah Mu‟amalah (1999), Fatwa-fatwa Seputar Agama (1999), Fatwa-fatwa
Seputar al-Qurân dan Hadis (1999) Yang Tersembunyi; Jin, Iblis, Setan dan
Malaikat dalam al-Qurân dan Sunnah (1999), Shaum Bersama Quraish
Shihab di RCTI/Presenter Arif Rahman (1999), Menuju haji Mabrûr, Ed. D.
Rohadi (2000) dan Membumikan Al-Qurân (2001), Jilbab Pakaian Wanita
Muslimah; Dalam Pandangan Ulama dan Cendikiawan Kontemporer (2004),
Dia Di Mana-mana; Tangan Tuhan dibalik Setiap Fenomena (2005),
Perempuan (2005), Rasionalitas Al-Qurân (2006),37
Logika Agama (2006),
35
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qurân; Tafsir Maudû‟i Atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1996) cet. Ke-3, h. pengantar 36
Kedua buku ini merupakan makalahnya dan ceramahnya sejak tahun 1975 37
Merupakan hasil revisi dari karya Quraish yang berjudul Tafsir Al-Manâr (1999)
Page 44
32
Sunni-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah (2007). Mistik, Seks, dan
Ibadah (2007), Pengantin Al-Qurân (2007).
Kedua, karya dengan metode Tahlili (uraian) atau dinamai Tajzi‟i yaitu
menjelaskan ayat dari berbagai seginya, ayat demi ayat sebagaimana urutan
dalam mushaf Al-Qur‟ân, antara lain seperti, Tafsir al-Amanah (1992), Tafsir
Al-Qurân Al-Karîm Dr. Quraish Shihab; Tafsir Atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Turunnya Wahyu (1997), Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlili
(1997), Tafsir Al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qurân (2003),
Perjalanan Menuju Keabadian; Kematian, Syurga dan Ayat-ayat Tahlil (2000).
Sedangkan kategori yang lain dari karya Quraish Shihab yang
berbicara tokoh dapat kita jumpai pada karyanya yang berjudul Studi Kritis Tafsir
Al-Manâr Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Rido (1994). Dan karyanya
juga dalam bidang ilmu tafsir yaitu Sejarah dan „Ulum al-Qurân (1999).
Demikian karya Quraish Shihab yang tidak dibilang kecil dan relative
dekatnya masa waktu pengkaryaan, ia pun termasuk ulama sekaligus mufassir
yang produktif, terlebih dalam konteks keindonesiaan.
b. Sistematika dan Metodologi Tafsir
Sistematika penulisan di sini adalah teknik penyaian suatu penafsiran
dalam bentuk tulisan (dalam bentuk kitab/buku). Setiap penulisan suatu karya,
sistematika merupakan hal yang cukup urgen yang dipakai dalam sebuah
penulisan, juga hal ini diterapkan dengan maksud untuk mempermudah
penyusunan dalam sebuah karya.
Page 45
33
Mufassir dituntut untuk menjelaskan nilai-nilai Qur‟âni sejalan dengan
perkembangan masyarakatnya, sehingga al-Qur‟ân dapat benar-benar
berfungsi sebagai petunjuk, pemisah, antara yang hak dan yang batil, serta
jalan keluar bagi setiap problema kehidupan yang dihadapi. Di samping itu,
mufassir dituntut pula menghapus kesalahpahaman terhadap Al-Qur‟ân atau
kandungan ayat-ayatnya, sehingga pesan-pesan Al-Qurân diterapkan dengan
sepenuh hati dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.38
Menghidangkan tafsir Al-Qur‟ân berdasarkan kronologi turunnya
diharapkan dapat mengantarkan pembaca untuk mengetahui runtutan petunjuk
Ilahi yang dianugrahkan kepada Nabi Muhammad SAW. dan umatnya.
Menurutnya menguraikan tafsir Al-Qur‟ân berdasarkan urutan surat-surat
dalam mushaf seringkali menimbulkan banyak pengulangan, jika kandungan
kosa kata atau pesan ayat atau suratnya sama atau mirip dengan ayat atau surat
yang telah ditafsirkan. Ini mengakibatkan diperlukannya waktu yang cukup
banyak untuk memahmi dan mempelajari kitab suci. Karena itu, dalam tafsir
Al-Qur‟ân al-Karîm dan tafsir al-Misbâh ia memaparkan makna kosa kata
sebayak mungkin dan kaedah-kaedah tafsir yang menjelaskan makna ayat
yang sekaligus dapat digunakan untuk memahmi ayat-ayat yang tidak
ditafsirkan.39
Sistematika penulisan dalam tafsir Quraish pun menjadi hal yang
urgen untuk menghilangkan kejenuhan serta kesulitan pembaca dalam
mengkaji ayat-ayat Al-Qur‟ân. Hal ini berdasarkan keinginannya untuk bisa
38
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.3, h.3 39
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Qurân Al-Karîm (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), cet.
Ke-1, h. VI
Page 46
34
dikenal dan dipahami oleh masyarakat luas. Antara lain yang menjadi
sistematika tafsirnya adalah:
1. Dalam upaya menjelaskan Al-Qur‟ân, pertama-tama Quraish Shihab
berusaha dalam karyanya menampilkan penjelasan gobal setiap Surah
kemudian beliau menguraikan keterangan tentang identitas surat yang
meliputi sejarah turunnya surah, kemudian menjelaskan penjelasan
tentang nama surat, serta tema tujuan surat, dan berjumlah jumlah
ayat-ayatnya (pada beberapa temat). Beliau menjelaskan masa
turunnya sebuah surah.40
Menjelaskan nama-nama lain – kalau ada –
dari sebuah surat, dan sebagainya.
2. Metode interteks pun dalam hal ini menjadi pengembaraannya, beliau
banyak mengutip pendapat para ulama tafsir sebelumnya.41
Hal ini
dilakukan baik untuk menguatkan pendapatnya maupun benar-benar
dalam rangka untuk menafsirkan ayat yang sedang ditafsirkan.
3. Setelah melakukan penukilan terhadap beberapa ulama juga
menjelaskan pada munasabah (keserasian) antara ayat-ayat dan surat
dalam Al-Qur‟ân. Kadang-kadang juga keserasian itu ditempatkan di
akhir pembahasan pengelompokan ayat.
4. Ketika menafsirkan ayat demi ayat, beliau terlebih dahulu
mencantumkan ayat-ayatnya ke dalam bahasa Indonesia berdasarkan
40
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.1, h.81-83 41
Di antara para mufassir yang menjadi bahan rujukannya adalah Ibrahim Umar
al-Biqa‟i, Sayyid Muhammad Tantawi, Syaikh Mutawali as-Sya‟rawi, Sayyid Qutb, Muhammad
Tahir Ibn Asyur, Sayyid Muhammad Husain Tabataba‟i, serta beberapa ahli tafsir lainnya.
Page 47
35
pemahamannya sendiri, artinya beliau tidak berpedoman pada salah
satu terjemahan Al-Qur‟ân.
5. Langkah selanjutnya, Quraish Shihab menjelaskan kandungan ayat
demi ayat secara berurutan, kemudian beliau memisahkan terjemahan
makna Al-Qur‟ân dengan sisipan atau tafsir melalui penulisan terjemah
maknanya dengan tulisan Italic dan sisipan atau tafsirnya dengan
tulisan Normal, kadang-kadang juga Quraish menghadirkan penggalan
teks ayat sebagai penguat keserasian al-Qur‟ân.
6. Al-Qur‟ân dan hadis dijadikan dalil yang fundamen atau bagian dari
tafsirnya hanya ditulis terjemahnya saja. Hal ini diduga sengaja
dilakukan Quraish untuk mempermudah pemahaman dan dikarenakan
tafsir yang berbahasa Indonesia.
Syatibi dalam kitab al-Muwafaqât memaparkan kurang lebih bahwa
tafsir adalah kepastian makna satu kosa kata atau ayat tidak mungkin atau
hampir tidak mungkin dicapai kalau pndangan hanya tertuju kepada kosa kata
atau ayat tersebut secara berdiri sendiri. Karena untuk menafsirkan satu kata
dalam Al-Qur‟ân sangatlah luas, dan media untuk menafsirkan juga sangat
banyak, oleh karena itu, bahasa Al-Qur‟ân merupakan bahasa paling kaya
akan makna, bahasa yang paling bagus akan segala bahasa.
Metode mengandung arti cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan tertentu.42
Dalam pengertian ini metode tafsir berarti sistem yang dikembangkan untuk
42
WJS. Poerwadarminta, ed., Kamus Umum Bahasa Indonesia; Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa (Jakarta: Balai Pustaka, 1988) h. 649
Page 48
36
memudahkan dan memperlancar proses penafsiran Al-Qur‟ân secara
keseluruhan. Dr. Ahsin Muhammad Asyrofuddin mengemukakan bahwa
metode terjemahan dalam bahasa arab yaitu al-Manhâj atau Tanawiyah adalah
jalan yang ditempuh oleh seorang mufasir dalam tafsirnya untuk menuangkan
ide-ide atau kecenderungan.43
Sekian banyak ulama tafsir yang sudah membuahkan hasil karyanya,
tentunya didukung dengan pisau metodologi yang bisa membuka makna
Al-Qur‟ân sejauh mufasir pahami. Metodologi tafsir Al-Qur‟ân, secara umum
terbagi kepada tiga macam, Tafsir bi al-Ma‟tsur adalah tafsir yang didasarkan
pada periwayatan, Tafsir bi al-Ra‟yi adalah tafsir yang didasarkan pada nalar
atau pengetahuan dan Tafsir al-Isy‟ârî adalah tafsir berdasarkan pada isyarat
(indikasi).44
Bila kita melihat dari karya-karya Quraish Shihab yang sudah
dipaparkan di atas, dapatlah kita menyimpulkan dengan cara apa beliau
menafsirkan karya-karyanya, dan bagaimana beliau memberikan titik pusat
dalam sistematisasi penafsirnya. Kebanyakan karya-karya yang ditulisnya
adalah menggunakan metode maudû‟i yaitu dengan mengumpulkan ayat-ayat
Al-Qur‟ân, yang tentunya masih dalam permasalahan yang sama (memiliki
munasabah ayat atau korelasi) dalam berbagai surat, kemudian menekankan
pesan moral yang ingin disampaikan, dan selanjutnya mengambil benang
merah dari berbagai ayat-ayat tersebut.
43
Ahsin Muhammad Asrofuddin, Corak dan Metode Tafsir Yang Perlu Dikembangkan;
Makalah Pada Seminar Pengembangan dan Pengajaran Tafsir di Perguruan Tinggi Agama
(Ciputat: Perpustakaan IAIN Jakarta, 1992), h.30 44
Thameem Ushma‟, Metodologi Tafsîr Al-Qur‟ân; Kajian Kritik Objek dan
Komprehensif (Jakarta: Riora Cipta, 2000), cet. I, h. 5
Page 49
37
Hal ini didorong upaya Quraish Shihab dalam mendapatkan pandangan
dan pesan Al-Qur‟ân secara praktis dan mendalam menyangkut tema-tema
yang dibicarakan juga mengungkapkan pendapat-pendapat Al-Qur‟ân tentang
berbagai masalah kehidupan sekaligus dapat menjadikan bukti bahwa ayat-
ayat Al-Qur‟ân sejalan dengan perkembangan IPTEK dan kemajuan
peradaban masyarakat.45
Kecenderungan Quraish Shihab menggunakan metode ini, karena
metode maudu‟i memiliki sejumlah keistimewaan. Antara lain, pertama, dapat
mengindari kelemahan atau problem metode lain. Kedua, menafsirkan ayat
dengan ayat atau dengan hadis Nabi, merupakan satu cara terbaik dalam
menafsirkan Al-Qur‟ân. Ketiga, bahwa kesimpulan yang dihasilkan mudah
dipahami. Hal ini disebabkan karena dia membawa pembaca kepada petunjuk
Al-Qur‟ân tanpa mengemukakan berbagai pembahasan dalam satu disiplin
ilmu. Keempat, metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak
anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dengan Al-Qur‟ân. Dia juga
sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al-Qur‟an sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.46
Selain metode Maudu‟i yang dikembangkan di dalam karyanya, juga
metode Tahlili yang menjadi peran utama dalam menafsirkan Al-Qur‟ân.
Upaya Quraish Shihab dalam menyambut tamunya yang terlihat ingin puas
45
M. Quraish Shihab dalam upaya menerjemahkan ayat-ayat al-Qur‟ân adalah dengan
cara melihat problem apa yang berkembang dalam masyarakat, lalu dicari bagaimana
penjelasannya dalam al-Qur‟ân. Untuk upaya ini, Quraish menggunakan metode maudu‟i, sebuah
metode yang ia kenalkan pertama kali Indonesia dan ia pulalah yang pertama kali menggunakan
metode ini dalam konteks Indonesia. 46
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.1, h. 117
Page 50
38
dan ingin santai. Maka, Quraish Shihab menyajikan cara prasmanan. Yang
dimaksud prasmanan di sini adalah kiasan dari tafsir yang menggunakan
metode Tahlili.47
Metode yang ingin menguraikan dari semua segi, bermula
dari kosa kata, asbab al-nuzûl, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan
dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini, walaupun dinilai sangat luas,
namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan yang diuraikan sisinya atau
kelanjutannya, pada ayat yang lain.48
Seorang tokoh al-Jazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa
upaya para ulama menafsirkan Al-Qur‟ân dengan metode tahlili itu, tidak lain
kecuali dalam rangka upaya mereka meletakan dasar-dasar rasional bagi
pemahaman akan kemukjizatan Al-Qur‟ân. Penafsir juga membahas mengenai
Asbab al-Nuzul dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat, para tabi‟in
yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat para penafsir itu
sendiri yang diwarnai oleh latar belakang pendidikannya.49
Selanjutnya Quraish Shihab menegaskan bahwa kalimat-kalimat yang
tersusun dalam Tafsîr al-Misbâh ini sepintas seperti terjemahan Al-Qur‟ân,
maka hendaknya jangan dianggap sebagai terjemahan. Oleh karena itu
Quraish Shihab berusaha sedapat mungkin memisahkan terjemahan makna
al-Qur‟ân dengan sisipan atau tafsirnya melalui penulisan terjermahan makna
dengan italic letter (dengan tulisan miring) dan sisipan atau tafsirnya dengan
tulisan normal.
47
Metode Tahlili ini dapat dibedakan ke dalam beberapa contoh, antara lain: Tafsir bi al-
Matsûr, Tafsir bi al-Ra‟yi, Tafsir Sufi, Tafsir Fiqh, Tafsir Falsafi, Tafsir „Ilmi dan Tafsir Adab al-Ijtima‟i 48
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.1, h. 86 49
Abd. Al-Hayy al-Farmawî, Metode Tafsîr Mauduî; suatu pengantar (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-2, h.12
Page 51
39
Quraish Shihab menggunakan dua metode sekaligus dalam Tafsîr
al-Misbâh, karena dari segi teknik, metode tahlili yang menafsirkan ayat demi
ayat yang terpisah antara satu dengan lainnya sehingga tidak disuguhkan
kepada pembaca secara menyeluruh sehingga membutuhkan waktu lama bagi
pembaca untuk memahami isi Al-Qur‟ân. Oleh karena itu ia menambahkan
metode maudu‟î.
Cara ini dipilih oleh Quraish Shihab karena ia menilai bahwa ia mesti
menguraikan seluruh ayat al-Qur‟ân sesuai dengan mushaf usmani (tahlili(
tetapi ia mesti pula mengelompokan ayat-ayat sesuai dengan temanya, agar
kandungan ayat tersebut dapat dijelaskan sesuai dengan topiknya (Maudu‟î).50
B. Penafsiran Surat Al-Wâqi’ah Ayat 7 - 56
1. Penafsiran Al-Marâghî
Surat al-Wâqi‟ah ayat 7.
“Dan kamu menjadi tiga golongan.”
Ada beberapa hal yang menjadi perbincangan dalam surat ini yaitu
membicarakan singkat tentang berakhirnya alam dan mulianya perhitungan
amal. Ketika kiamat terjadi, maka tidak ada seorangpun yang mendustakan
atau mengingkari Allah. Penjelasannya diakhiri dengan status keberadaan
manusia dengan penjelasan akibat-akibat atau ganjaran yang akan didapat oleh
ketiga golongan.
Al-Marâghî menafsirkan ayat 7 bahwa manusia di waktu itu terbagi
menjadi tiga golongan, yaitu golongan kanan, golongan kiri dan orang-orang
50
Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsîr al-Misbâh, h.188
Page 52
40
yang bersegera kepada kebaikan. Menurut al-Marâghî, setiap golongan yang
disebutkan bersama golongan lain disebut Zauj. Seperti halnya „Ainain dan
Rijlain (dua mata dan dua kaki). Masing-masing dari keduanya disebut
Zaujan. Dan bila kedua-duanya disebut bersama-sama, maka disebut Zaujân.
Sedang pada ayat ini disebutkan Azwâjan Tsalâtsah (tiga golongan).51
Adapun analisa penafsiran mengenai ketiga golongan yang dimaksud
di dalam surat al-Wâqi‟ah adalah sebagai berikut:
a. Al-Sâbiqûn Al-Sâbiqûn Ayat 10 - 26
Surat al-Wâqi‟ah ayat 10 - 14.
“Dan orang-orang yang beriman paling dahulu, mereka Itulah yang
didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah kenikmatan.
Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, Dan
segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian.”
Al-Marâghî menafsirkan ayat ke 10 di atas bahwa orang-orang yang
mendahului lainnya kepada ketaatan-ketaatan, merekalah yang bersegera
kepada rahmat Allah SWT. Maka barang siapa yang bersegera di dunia ini
untuk melakukan kebaikan, maka di akhirat ia tergolong orang-orang yang
bersegera ke negeri kehormatan (surga). Jadi balasan itu sesuai dengan amal
51
Al-Marâghî, Ahmad Mustafa, Tafsîr Al-Marâghî, (Mesir:1973), Juz.27, h.133
Page 53
41
perbuatan, sebagaimana seseorang memberi hutang, maka ia akan mendapat
bayarannya.52
Diriwayatkan dari „Aisyah RA. bahwa Rasulullah SAW. bersabda;
اللهع ن ه ا،ع نر سولاللهص لىاللهع ل يوو س لم، ع نع ائش ة ر ضي و ج لاللهللىظإن وقابالسنم ن وردت أ :ق ال :واال؟ق ةام ي لقام وي ع زق مل عأ ولوسر و الله ال ، أذ إن يذال: اطعا سذ إو اهولبق قل وا هولئا
54.أخرجوأحمد53 .مهسفن ل مهمكحك اسلنالومك ح و هولذ ب
Dari „Aisyah RA. berkata, dari Rasulullah SAW. bersabda:
“Tahukah kalian siapakah orang-orang yang segera menuju
naungan Allah pada hari kiamat?” Para sahabat menjawab, “Allah
dan rasul-Nya yang lebih tahu.” Rasul bersabda, “Orang-orang
yang apabila diberi hak, maka mereka menerimanya, apabila
mereka dimintai hak, maka mereka memberikannya. Dan mereka
memberikan keputusan kepada orang lain seperti memberi
keputusan untuk dirinya sendiri.”(Hadis Riwayat Ahmad).
Kemudian ayat ke 11 dan 12 bahwa orang-orang yang mempunyai
sifat mulia tersebut (As-Sâbiqûn), al-Marâghî menafsirkannya dengan orang-
orang yang mendapatkan pangkat di sisi Allah. Mereka berada dalam surga
yang penuh kenikmatan, dimana mereka menikmati kenikmatan-kenikmatan
yang tak pernah dilihat oleh mata, tak pernah didengar oleh telinga, dan tak
pernah terlintas dalam hati seorang manusia pun.55
Pada ayat 13 dan 14, al-Marâghî menafsirkan makna Tsullatun min
al-awwalîn ( ثلة من الأولين ) dengan segolongan besar umat-umat terdahulu, dan
menafsirkan makna wa qalîlun min al-âkhirîn ( وقليل من الآخرين ) ialah sedikit
52
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.134 53
Muhammad bin Abdullah al-Khatîb at-Tabrîzî, Musykâtul Mashâbih, kitâb al-imârah
wa al-qadâ‟, Juz 2, Dârul Fikr.1991, h. 341 54
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.134 55
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.134
Page 54
42
dari umat Muhammad SAW. Beliau (Rasulullah) merasa senang menerima hal
ini dan menyatakan dengan sabdanya, “Kita adalah umat yang terakhir segera
kepada kebaikan pada hari kiamat.”56
Surat al-Wâqi‟ah ayat 15 - 17.
Mereka berada di atas dipan yang bertahta emas dan permata,
Seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi
oleh anak-anak muda yang tetap muda”
Makna al-maudûnah ( الموضونة ) – pada ayat 15 – dari kata al-wahnu,
yang artinya menenun (menatahkan). Al-Marâghî menafsirkan ayat ini bahwa
mereka para al-sâbiqûn, yakni orang-orang yang bersegera kepada kebaikan,
mereka berada di atas dipan-dipan yang bertahtakan emas, berjalin dengan
mutiara dan permata.
Al-A‟sya ketika mensifati baju perang mengatakan:
“Di antara baju perang itu ada yang bertahtakan emas dan
mutiara (al-maudûnah). Ia berjalan menyertai kabilah itu kafilah
demi kafilah.”57
Lalu ayat 16, al-Marâghî menafsirkan bahwa mereka para al-sâbiqûn
sambil bertelekan pada dipan-dipan, mereka saling memandang antara satu
dengan yang lain. Mereka berada dalam kejernihan dan penghidupan yang
luas. Di samping pergaulan yang baik, dalam hati mereka tidak terdapat
dendam maupun kebencian yang menyebabkan perpisahan.
56
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.136 57
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h. 136
Page 55
43
Selanjutnya makna mukhalladûn ( pada ayat 17 – diartikan – ( مخلدون
dengan dikekalkan selamanya pada sifat ini (sifat kekanakan). Al-Marâghî
menafsirkannya ayat ini, bahwa mereka para al-sâbiqûn dikelilingi oleh
pelayan-pelayan yang sama sifatnya, yaitu tidak mengalami ketuaan dan
perubahan. Mereka senantiasa pada sifat yang menggembirakan kepada yang
dilayani apabila ia melihat kepada pelayannya.58
Surat al-Wâqi‟ah ayat 18 - 21
“Dengan membawa gelas, cerek dan minuman yang diambil dari
air yang mengalir, Mereka tidak pening karenanya dan tidak pula
mabuk, Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, Dan daging
burung dari apa yang mereka inginkan.”
Pada ayat 18, makna ka‟sin min ma‟în ( كأس من معين ) menurut Ibnu
Abbas dan Qatadah diartikan dengan arak yang mengalir dari sumbernya.
Maksudnya bahwa arak itu bukan hasil perasan seperti halnya arak di dunia.59
Al-Marâghî menafsirkan ayat ini, bahwa para pelayan itu berkeliling disekitar
mereka (al-sâbiqûn) dengan alat minum yang sempurna, yang terdiri dari
gelas-gelas dan kendi-kendi, serta khamr yang mengalir dari sumber-
sumbernya dan tidak perlu diperas lagi. Jadi khamr itu adalah khamr yang
jernih, bersih tidak terputus buat selama-lamanya. Ketika meminumnya
58
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.136 59
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.135
Page 56
44
mereka tidak akan hilang akal (mabuk) seperti halnya terjadi akibat meminum
khamr di dunia.60
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas:
“Bahwa khamr di dunia memuat empat hal, yaitu mabuk, pening,
muntah-muntah dan kencing. Allah SWT. membersihkan khamr
surga dari hal-hal seperti itu semua.”61
Kemudian ayat 20 dan 21, al-Marâghî memberi penafsirannya bahwa
para pelayan itu berkeliling dengan bermacam-macam buah-buahan yang
beraneka ragam cita rasanya. Mereka para al-sâbiqûn boleh memilih di
antaranya yang mereka sukai. Dan juga membawa bermacam-macam daging
burung yang lezat dan enak. Mereka boleh mengambil di antaranya yang
mereka sukai dan senangi.
Surat al-Wâqi‟ah ayat 22 - 26
“Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, Laksana mutiara yang
tersimpan baik. Sebagai balasan bagi apa yang Telah mereka
kerjakan. Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang
sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, Akan
tetapi mereka mendengar Ucapan salam.”
Selanjutnya, makna hûrun ( حور ) – pada ayat 23 – merupakan bentuk
jama‟ dari haura‟, yang artinya baida‟ (putih). Penafsiran Al-Marâghî pada
ayat 22 dan 23 ialah bahwa mereka menikmati istri-istri yang putih cemerlang
60
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.136 61
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.136
Page 57
45
wajahnya tampak pada mereka kesegaran yang nikmat. Seolah-olah mereka
adalah mutiara yang begitu jernih dan megah.
Ayat 24 beliau tafsirkan bahwasanya Allah memberi balasan kepada
mereka atas apa yang telah mereka lakukan, di samping memberi pahala
kepada mereka atas apa yang telah mereka lakukan semasa di dunia, dan atas
amal-amal soleh yang dengan itu mereka mensucikan jiwa mereka, juga atas
apa yang mereka tegakan, berupa pelaksanaan kewajiban-kewajiban agama
dengan cara yang paling sempurna dan paling lengkap. Mereka adalah orang-
orang yang gemar melakukan salat malam dan saum di siang hari.
Firman Allah SWT. dalam Surat Az-Zâriyât/15 ayat 17 - 19:
“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu
memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar. Dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
Kemudian ayat 25 - 26, beliau (al-Marâghî) menafsirkannya bahwa
mereka para al-sâbiqûn tidak mendengar perkataan yang sia-sia yang tiada
mengandung kebaikan dan tidak pula perkataan kotor maupun perkataan yang
dirasa menjijikan oleh jiwa yang tinggi, yang mempunyai akhlak luhur. Akan
tetapi mereka mendengar ucapan salam yang paling baik dan perkataan tinggi
yang dirasa enak sebagaimana firman Allah SWT. di dalam al-Qurân surat
Yunus ayat ke-10 yang artinya: “Salam penghormatan mereka ialah salam.”62
62
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.137
Page 58
46
b. Ashâb Al-Yamîn Ayat 8, 27 - 40
Surat al-Wâqi‟ah ayat 8
“Yaitu golongan kanan. alangkah mulianya golongan kanan itu.”
Ayat 8 menjelaskan golongan yang kedua, yakni golongan kanan.
Al-Marâghî menafsirkan ayat ini, bahwa golongan kanan adalah yang
mengambil buku-buku catatan mereka dengan tangan kanan mereka.
Betapakah keadaan, sifat dan kebahagiaan mereka. Maksudnya, bahwa
mereka berada dalam keadaan yang sangat baik dan sempurna.63
Surat al-Wâqi‟ah ayat 27 - 34
“Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu.
Berada di antara pohon bidara yang tak berduri, Dan pohon pisang
yang bersusun-susun (buahnya), Dan naungan yang terbentang
luas, Dan air yang tercurah, Dan buah-buahan yang banyak, Yang
tidak berhenti (berbuah) dan tidak terlarang mengambilnya. Dan
kasur-kasur yang tebal lagi empuk.”
Al-Marâghî menafsirkan ayat 27 ini, bahwa golongan kanan adalah
mereka yang berada dalam puncak kemegahan dan berderajat tinggi, serta
berkedudukan luhur.64
Uslub seperti ini terdapat dalam bahasa arab untuk
memberi pengertian Mubalâghah (bersangatan dalam memuji ataupun
63
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.133 64
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.138
Page 59
47
mengecam). Orang Arab mengatakan Fulan mâ fulan (si fulan, siapakah fulan
itu?).65
Selanjutnya Allah SWT. menerangkan lebih lanjut tentang hal ihwal
Ashâbu al-Yamîn yang tadi dinyatakan secara mubham. Ayat 28 sampai 33
ditafsirkan oleh al-Marâghî secara rinci bahwa mereka menikmati surga-surga
yang di dalamnya terdapat pohon bidara yang tiada berduri lagi, tidak seperti
pohon bidara liar di dunia. Di sana terdapat pohon pisang yang penuh dengan
buah, sehingga tampaknya tidak mempunyai batang buah. Dan terdapat pula
naungan rindang yang melindungi mereka dari sengatan panas dan deraan
matahari. Kemudian terdapat air yang tercurah bagi penghuni surga agar tidak
perlu bersusah payah memperolehnya. Ada pula di sana bermacam-macam
buah-buahan yang tiada terputus buat selama-lamanya, dan tidak terlarang
bagi mereka, kapan saja mereka menginginkan dan menghendakinya.
Ayat 34, kata furusy ( فرش ) diterjemahkan dengan kasur, yakni bentuk
jama‟ dari firasy. Beliau menafsirkan ayat ini, bahwa mereka duduk di atas
kasur-kasur empuk yang tersusun tinggi, tidak melelahkan orang yang duduk
di atasnya.66
Surat al-Wâqi‟ah ayat 35 - 40
“ Sesungguhnya kami menciptakan mereka (Bidadari-bidadari)
dengan langsung, Dan kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.
65
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.138 66
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.139
Page 60
48
Penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Kami ciptakan mereka) untuk
golongan kanan, (yaitu) segolongan besar dari orang-orang yang
terdahulu. Dan segolongan besar pula dari orang-orang yang
kemudian.”
Makna„uruban ( عربا ) – pada ayat 37 – merupakan bentuk jama‟ dari
„urub yang berarti penuh cinta. Al-Marâghî menafsirkan ayat 35 sampai 38
bahwa, sesungguhnya Allah telah menyediakan bidadari-bidadari itu sebagai
wanita-wanita gadis, perawan yang dicintai oleh suami mereka. Karena
mereka melayani suami mereka dengan baik. Mereka semua sebaya umurnya,
yang satu tidak berbeda dari yang lain. Dan kami berikan bidadari-bidadari itu
untuk golongan kanan (Ashâb al-Yamîn).
Pada ayat 38 terjadi pengulangan kata Ashâb al-Yamîn ( لأصحب اليمين )
yang artinya untuk golongan kanan. Menurut penafsiran al-Marâghî,
penyebutan Ashâb al-Yamîn di sini diulangi sebagai penguat dan pernyataan,
bahwa hal itu benar-benar akan terjadi (tahqîq).67
Lalu ayat 39 dan 40 menjelaskan bahwa Ashâb al-Yamîn adalah
segolongan besar dari kaum mukminin dari umat terdahulu dan segolongan
besar dari kaum mukminin umat Muhammad SAW.
Kemudian al-Marâghî menambahkan bahwa Allah tidak menyatakan
tentang Ashâb al-Yamîn itu Jazâ‟an bimâ kânû ya‟malûn, seperti halnya yang
dikatakan tentang para Sâbiqûn pada ayat 24. Hal itu tak lain sebagai isyarat
bahwa amal dari Ashâb al-Yamîn, belumlah apa-apa jika dibanding dengan
amal para Sâbiqûn.68
67
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.139 68
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.139
Page 61
49
c. Ashâb Al-Syimâl Ayat 9, 41 - 56
Surat al-Wâqi‟ah ayat 9
“Dan golongan kiri. alangkah sengsaranya golongan kiri itu.”
Ayat 9 menjelaskan golongan yang ketiga, yakni golongan kiri.
Al-Marâghî menafsirkan ayat ini, bahwa golongan kiri adalah mereka yang
diseret ke dalam neraka. “Bagaimanakah keadaan mereka?” Bentuk sebuah
pertanyaan yang tidak perlu dijawab karena bermaksud memberi gambaran,
bahwa mereka mencapai keadaan yang paling buruk.69
Surat al-Wâqi‟ah ayat 41- 44
“Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan(
angin yang amat panas, dan air panas yang mendidih, Dan dalam
naungan asap yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.”
Al-Marâghî menafsirkan ayat 41 yang serupa pertanyaan, menanyakan
siapakah golongan kiri itu?. Maksudnya bahwa golongan kiri itu berada dalam
keadaan yang tidak bisa digambarkan dan tidak bisa dikira-kira tentang
kesengsaraan, penderitaan dan nasib mereka yang buruk.
Namun kemudian Allah SWT. menafsirkan hal yang masih mubham
ini dengan ayat 42 sampai 44. Penafsiran beliau (al-Marâghî) mengenai ayat
ini, bahwa Ashâb al-Syimâl (golongan kiri) berada dalam panas yang
menembus pori-pori tubuh, air yang amat panas, naungan dari asap hitam
69
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.133
Page 62
50
yang tidak enak hembusannya dan tidak indah dipandang. Karena asap itu
adalah asap dari kobaran neraka jahannam yang menyakitkan orang yang
bernaung di bawahnya.70
Ibnu Jarir mengatakan:
“Orang Arab senantiasa mengikutkan kata karim dalam kalimat
negatif (manfi). Mereka mengatakan, Hâdza ta‟âmun lais bi
Tayyibin wala Karîm (daging ini tidak gemuk dan tidak
menyenangkan), Hâdzihi Dâr laisat Wâsi‟atin wala Karîmah
(rumah ini tidak luas dan tidak menyenangkan(.”71
Allah SWT. menyebutkan al-Samûm dan al-Hamîm (panas neraka dan
air panas). Sedangkan nerakanya itu sendiri tidak disebutkan, dengan tujuan
menyatakan sesuatu yang lebih tinggi dengan cara menunjuk sesuatu yang
lebih rendah. Yakni kalau udara bagi penghuni neraka itu saja sudah
merupakan angin panas dan air yang mereka minta berupa air panas, padahal
udara dan air adalah barang yang paling dingin dan paling bermanfaat. Maka
bagaimana pendapat manusia tentang api bagi mereka.
Jadi seolah Allah SWT. berfirman, “Sesungguhnya barang yang paling
dingin bagi penghuni neraka adalah yang paling panas. Maka bagaimanakah
pendapatmu tentang barang yang paling panas untuk mereka?”
Semakna dengan ayat ini ialah firman Allah SWT.:
“(Dikatakan kepada mereka pada hari kiamat(: „Pergilah kamu
mendapat-kan azab yang dahulunya kamu mendustakannya.
Pergilah kamu mendapatkan naungan yang mempunyai tiga
cabang72
, Yang tidak melindungi dan tidak pula menolak nyala api
neraka‟. Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar
70
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.141 71
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h. 141 72
Yang dimaksud dengan naungan di sini bukanlah naungan untuk berteduh akan tetapi
asap api neraka yang mempunyai tiga gejolak, yaitu di kanan, di kiri dan di atas. Ini berarti bahwa
azab itu mengepung orang-orang kafir dari segala penjuru.
Page 63
51
dan setinggi istana. Seolah-olah ia iringan unta yang kuning.
Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang
mendustakan.” (Q.S. Al-Mursalat/77: 29 - 34)
Kesimpulannya, bahwa angin panas menerpa mereka, sehingga merasa
haus dan kadang melahap isi perut mereka, lalu mereka meminum air panas
yang merantaskan usus-usus mereka. Dan mereka ingin bernaung di bawah
suatu naungan namun ternyata naungan itu berupa asap hitam.
Surat al-Wâqi‟ah ayat 45 - 48
“Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewahan. Dan
mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar. Dan mereka selalu
mengatakan: "Apakah bila kami mati dan menjadi tanah dan tulang
belulang, apakah Sesungguhnya kami akan benar-benar dibangkit-
kan kembali? Apakah bapak-bapak kami yang terdahulu (juga)?"
Penjelasan ayat 45 sampai 48 di atas ditafsirkan oleh al-Marâghî
bahwa mereka (Ashâb al-Syimâl) semasa di dunia adalah orang-orang yang
diberi nikmat dengan bermacam-macam makanan, minuman, tempat tinggal
yang enak dan tempat-tempat bermukim yang menyenangkan. Mereka
tenggelam dalam menuruti syahwat. Sehingga tidaklah mengherankan bila
mereka diazab dengan hal-hal yang berlawanan dengan nikmat-nikmat
tersebut. Di samping itu, mereka dulu juga mengingkari hari ini. Mereka
mengatakan: “Apakah bila kami mati kemudian menjadi tanah dan tulang
Page 64
52
belulang, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali? Apakah
bapak-bapak kami yang terdahulu (juga(?”.
Kesimpulannya bahwa dulu mereka (Ashâb al-Syimâl) mendapat
sesuatu berupa kenikmatan-kenikmatan yang banyak dan karunia-karunia
yang besar. Namun demikian mereka terus-terusan kafir dan tidak bersyukur
kepada Allah atas nikmat-nikmat yang telah Dia karuniakan kepada mereka.
Sehingga mereka patut mendapat hukuman dari Allah. Dan dulu mereka juga
mendustakan hari ini dengan menganggap tidak mungkin terjadi. Mereka tidak
peduli apa pun, berkelana dalam lembah-lembah kesesatan dan berjalan di
jalan yang menyimpang seolah tiada yang mengawasi dan tiada yang
menghitung.
Mereka menganggap hari kebangkitan ini tak mungkin terjadi dengan
menyebutkan sebab-sebab berikut:
1. Hidup sesudah mati
2. Masa yang begitu lama sesudah kematian terjadi, sehingga daging-
daging telah menjadi tanah dan tulang-tulang telah hancur luluh.
3. Begitu ingkarnya mereka, sampai berkata dengan penuh keheranan,
“Apakah bapak-bapak kami terdahulu pun dibangkitkan kembali?”73
Kemudian Al-Marâghî menafsirkan bahwa Allah SWT. menjawab
semua ini dan menyuruh rasul-Nya agar menyampaikan jawaban tersebut
kepada mereka pada ayat 49 dan 50.
73
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.142
Page 65
53
“Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan
orang-orang yang terkemudian, Benar-benar akan dikumpulkan di
waktu tertentu pada hari yang dikenal.”
Beliau menafsirkan ayat ini dengan ungkapan, Jawablah wahai rasul
yang mulia, dengan mengatakan kepada mereka, "Sesungguhnya orang-orang
yang terdahulu yang kamu anggap tidak mungkin sejauh-jauhnya
dibangkitkan kembali, dan orang-orang yang kemudian yang kamu sangka
juga takan dibangkitkan, Mereka benar-benar akan dikumpulkan disatu tanah
lapang pada waktu tertentu pada hari yang dikenal. Dan tidak diragukan
bahwa dikumpulkannya bilangan manusia yang tiada terhingga banyaknya itu
lebih mengherankan lagi dari pada kebangkitan itu sendiri.74
Semakna dengan ayat ini ialah firman Allah SWT. yang artinya:
“Sesungguhnya pengembalian itu hanyalah satu kali tiupan saja,
Maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan
bumi.” (Q.S. an-Nazi‟at/79: 13 - 14)
Surat al-Wâqi‟ah ayat 51- 56
“Kemudian Sesungguhnya kamu Hai orang-orang yang sesat lagi
mendustakan, Benar-benar akan memakan pohon zaqqum, Dan
akan memenuhi perutmu dengannya. Sesudah itu kamu akan
meminum air yang sangat panas. Maka kamu minum seperti unta
74
Al-Marâghî, Tafsîr Al-Marâghî, h.143
Page 66
54
yang sangat haus minum. Itulah hidangan untuk mereka pada hari
pembalasan”.
Kemudian al-Marâghî menafsirkan Ayat 51 sampai 55 dengan kalimat
teguran kepada mereka (Ashâb al-Syimâl), Hai orang-orang yang sesat, yang
terus melakukan dosa besar. Karena kamu tidak mengesakan Allah dan
mendustakan hal-hal yang wajib diagungkan, lalu kamu mendustakan para
Rasul Allah. Kamu mengingkarinya dan pembalasanlah pada hari ini.
Sesungguhnya kamu benar-benar memakan pohon zaqqum. Lalu kamu
memenuhi perutmu dengannya, lalu sesudah itu meminum air panas karena
kamu sangat kehausan. Akan tetapi minuman itu adalah minuman yang tidak
memuaskan orang yang kehausan. Oleh karena itu kamu meminum tanpa
puas-puasnya. Seolah-olah kamu adalah unta yang ditimpa penyakit
“kehausan” yang tiada terpuasi hausnya dengan meminum air.75
Dapat disumpulkan bahwa untuk menambah azab, maka mereka takan
merasa puas dengan meminum air busuk lagi panas. Sehingga mereka takan
berhenti meminumnya. Hal itu merupakan awal dan sebagian dari azab.
Ditutup dengan penafsiran ayat 56 bahwa, pohon zaqqum yang
dimakan ini dan air panas yang dimunum ini, adalah suguhan pertama yang
disuguhkan kepada mereka, sebagaimana tamu yang disuguhi suguhan yang
ada dihadapannya.
75
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, h.143
Page 67
55
2. Penafsiran Quraish Shihab
Surat al-Wâqi‟ah ayat 7
“Dan kamu menjadi tiga golongan”
Sebelum kepada penafsiran, Quraish Shihab menyatakan bahwa ayat-
ayat yang lalu menjelaskan apa yang bakal terjadi saat kiamat menyangkut
bumi tempat hunian manusia. Dan kini ayat-ayat di atas menjelaskan keadaan
dan kelompok-kelompok penghuni bumi. Ia menyatakan ketika terjadi
peristiwa itu semua wahai manusia akan memperoleh balasan dan ganjaran
setimpal dan manusia seluruhnya terbagi menjadi tiga golongan.76
Diantaranya;
a. Al-Sâbiqûn Al-Sâbiqûn Ayat 10 – 26
Surat al-Wâqi‟ah ayat 10 - 14.
“Dan orang-orang yang beriman paling dahulu, Mereka Itulah
yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah kenikmatan.
Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, Dan segolo-
ngan kecil dari orang-orang yang kemudian”
Ayat di atas menguraikan kelompok pertama dari manusia, setelah ayat
yang lalu menyebut dua kelompok. Ayat 10 seakan menyatakan; Dan
kelompok ini adalah orang-orang yang mendahului mereka yang mukmin
dalam segala bidang kebajikan, mereka itulah yang mendahului siapa pun
76
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h.545
Page 68
56
memasuki surga dan meraih kenikmatan abadi. Selanjutnya ayat 11 sampai 14
ditafsirkan bahwa, mereka itulah yang sungguh tinggi kedudukannya yang
merupakan orang-orang yang didekatkan kepada Allah. Masing-masing
mereka ditempatkan di dalam surga-surga na‟îm yakni yang penuh
kenikmatan. Mereka para al-sâbiqûn adalah sekelompok besar dari umat
terdahulu yang bersama Nabi mereka masing-masing dan sedikit dari umat
yang kemudian yakni dari umat Nabi Muhammad SAW. Mereka kecil jika
dibandingkan dengan jumlah umat Nabi Muhammad secara keseluruhan.77
Surat al-Wâqi‟ah ayat 15 - 21.
“Mereka berada di atas dipan yang bertahta emas dan permata,
Seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi
oleh anak-anak muda yang tetap muda, Dengan membawa gelas,
cerek dan minuman yang diambil dari air yang mengalir, Mereka
tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk, Dan buah-buahan
dari apa yang mereka pilih, Dan daging burung dari apa yang
mereka inginkan.”
Ayat 15 sampai 19 ditafsirkan bahwa ayat di atas menggambarkan
sekelumit dari nikmat atau keadaan mereka para al-sâbiqûn. Ia menyatakan:
Mereka berada di atas dipan-dipan yang terakit dengan kukuh dan indah
77
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 547
Page 69
57
berlapikan emas dan permata. Seraya bertelekan dengan santai di atasnya lagi
berhadap-hadapan dengan mesra dan penuh kasih. Berkeliling yakni
senantiasa berbolak balik guna melayani dan memenuhi permintaan mereka,
pelayan-pelayan dalam bentuk remaja-remaja yang tetap muda belia tidak
disentuh oleh ketuaan. Dengan membawa gelas kosong dan ceret-ceret penuh
aneka minuman serta seloki yang berisi khamr surgawi yang diambil dari
sumber yang mengalir dan tidak pernah habis-habisnya. Mereka tidak pening
karena meminumnya dan tidak pula mabuk kehilangan akal dan
keseimbangan.78
Kemudian ayat 20 dan 21 menjelaskan makanan yang dihidangkan.
Anak-anak muda yang menjadi pelayan-pelayan itu berkeliling membawakan
aneka buah yang lezat dari apa yang mereka pilih sebelumnya. Lalu
dihidangkan kepada mereka daging burung dari apa yang mereka inginkan
dari jenis burung dan cara masakannya.79
Surat al-Wâqi‟ah ayat 22 - 26.
“Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, Laksana mutiara yang
tersimpan baik. Sebagai balasan bagi apa yang Telah mereka
kerjakan. Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang
sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, Akan
tetapi mereka mendengar Ucapan salam.”
78 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 550
79 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 550-551
Page 70
58
Selanjutnya, ayat 22 sampai 24 menyebut pendamping mereka. Karena
kenikmatan baru dapat dikatakan sempurna begitu pula makan dan minum
baru terasa lezat bila ada yang mendampinginya, maka Quraish Shihab
menafsirkan ayat di atas diyatakan bahwa: Di samping apa yang telah disebut
sebelum ini, ada juga di dalam surga itu, pendamping-pendamping
penghuninya yaitu wanita-wanita surgawi yang bermata indah; kebeningan
dan kecemerlangan mata mereka laksana mutiara yang tersimpan baik
sehingga tidak disentuh oleh sedikit kekeruhan pun. Dan itu semua sebagai
balasan bagi apa yang telah mereka (al-sâbiqûn) kerjakan.80
Ayat 25 dan 26 – secara singkat – menafikan segala macam
kekurangan yang boleh jadi terbayang dalam benak seseorang dengan
menyatakan bahwa, mereka tidak mendengar di dalam surga itu perkataan
yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetapi
yang mereka dengar hanyalah ucapan – sikap dan perlakuan yang
mengandung makna – salam yang disusul lagi secara bersinambung tanpa
putus dengan salam sejahtera serupa.81
Pengulangan kata salâm di sini, bukan saja mengandung makna
pengukuhan ucapan, tetapi juga mengisyaratkan terulang dari saat kesaat
ucapan tersebut karena silih bergantinya anugrah Ilahi kepada mereka. Dan
menurut Quraish Shihab, salam ini adalah salâm aktif yang bermakna
anugerah dan kesejahteraan.
80
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 551 81
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 552
Page 71
59
Salah satu cara memuji dalam bahasa Arab adalah mengungkapkan
satu keistimewaan lalu mengecualikannya. Pengecualian biasanya bertolak
belakang maknanya dengan yang disebut sebelumnya. Ini yang dinamai,
ta‟kîd al-madh bimâ yusybihu adz-dzam / menentukan (تأكيد المدح بما يشبه الذم)
pujian dengan gaya yang serupa dengan celaan. Ayat di atas menggunakan
gaya tersebut. Setelah memuji dengan menafikan adanya lagw dan ta‟tsîm,
ayat di atas menyebut kata „tetapi‟. Yang disebut sesudahnya bukannya celaan
atau kekurangan, tetapi justru sesuatu yang sangat terpuji yakni salâm.82
b. Ashâb Al-Yamîn Ayat 8, 27 – 40
Surat al-Wâqi‟ah ayat 8.
“Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu.”
Quraish Shihab memaknai kata al-maimanah serupa dengan kata
al-yamîn / kanan. Ia terambil dari kata yumn yang berarti keberkatan.
Sedangkan kata al-masy‟amah merupakan antonim dari kata al-maimanah.
Arah kanan biasa digunakan sebagai isyarat tentang kebaikan dan
kebahagiaan. Demikian banyak bahasa menggunakan istilah itu. Seperti juga
dalam bahasa Indonesia ketika berkata langkah kanan yakni mujur dan
untung. Maka ayat di atas ditafsirkan; yaitu golongan kanan, alangkah
mulianya golongan kanan itu.
Surat al-Wâqi‟ah ayat 27 - 34.
82
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 553
Page 72
60
“Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu.
Berada di antara pohon bidara yang tak berduri, Dan pohon pisang
yang bersusun-susun (buahnya), Dan naungan yang terbentang
luas, Dan air yang tercurah, Dan buah-buahan yang banyak, Yang
tidak berhenti (berbuah) dan tidak terlarang mengambilnya. Dan
kasur-kasur yang tebal lagi empuk.”
Ayat-ayat di atas menguraikan kelompok penghuni surga yang
kedudukannya lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang lalu.
Namun itu bukan berarti kenikmatan yang mereka raih tidak sempurna.
Quraish Shihab menafsirkan ayat-ayat ini bahwa kelompok kedua adalah
Ashâb al-Maimanah yaitu golongan kanan; alangkah bahagianya mereka.
Tidak terbayang betapa kenikmatan yang diraih golongan kanan itu. Mereka
berada di antara pohon bidara yang tidak berduri, dan pohon pisang atau
kurma yang buahnya bersusun-susun dengan indah dan menarik. Kemudian
naungan yang terbentang luas sepanjang masa dan di seluruh tempat. Lalu air
yang tercurah setiap diinginkan. Buah-buahan yang banyak jenis, rasa dan
ragamnya, tidak putus-putusnya seperti halnya di dunia yang hanya ditemukan
pada musim musim tertentu dan tidak juga terhalangi untuk mengambilnya.
Kemudian kasur-kasur yang diangkat ke atas ranjang-ranjang tidur, atau
bersusun satu dengan yang lain sehingga terasa empuk.83
83
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 554-555
Page 73
61
Surat al-Wâqi‟ah ayat 35 - 40.
“Sesungguhnya kami menciptakan mereka (Bidadari-bidadari)
dengan langsung, Dan kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.
Penuh cinta lagi sebaya umurnya. (Kami ciptakan mereka) untuk
golongan kanan, (yaitu) segolongan besar dari orang-orang yang
terdahulu. Dan segolongan besar pula dari orang-orang yang
kemudian.”
Hubungan ayat di atas dengan uraian ayat-ayat yang lalu sangatlah
jelas. Tetapi jika dipahami, kata furusy dalam arti kasur-kasur tempat
pembaringan, maka untuk sementara ulama, ketika disebut hal tersebut
muncul di dalam benak pertanyaan tentang siapa yang menjadi teman para
penghuni surga pada kasur-kasur yang empuk itu. Nah, ayat di atas menjawab
dengan menyatakan bahwa ada teman-teman yang menyertai mereka. Beliau
menafsirkan ayat 35 sampai 40 bahwa Allah menciptakan mereka yakni
wanita-wanita surgawi yang menjadi teman dan pasangan penghuni surga
dengan penciptaan sempurn. Lalu Allah jadikan mereka gadis-gadis perawan,
penuh cinta lagi sebaya umurnya. Bentuk badannya satu dengan yang lain
sebaya dengan pasangan-pasangan mereka. Mereka Allah ciptakan untuk
golongan kanan (Ashâb al-Yamîn). Mereka itu sekelompok dari umat yang
terdahulu, yang hidup pada masa para nabi yang lalu dan sekelompok besar
pula dari umat yang kemudian yang hidup pada masa Nabi Muhammad SAW.
serta generasi sesudah mereka.84
84
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 556
Page 74
62
c. Ashâb Al-Syimâl Ayat 9, 41 – 56
Surat al-Wâqi‟ah ayat 9.
“Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.”
Kata al-masy‟amah serupa dengan kata syimâl / kiri. Ia terambil dari
kata syu‟m. Sedangkan kata al-maimanah terambil dari kata yumn yang berarti
keberkatan. Kata yumn merupakan antonim dari kata syu‟m. Arah kiri biasa
digunakan sebagai isyarat tentang kejahatan dan kesengsaraan. Demikian
banyak bahasa menggunakan istilah itu. Seperti juga dalam bahasa Indonesia
ketika berkata langkah kiri berarti yang sial atau serba salah. Maka ayat di atas
ditafsirkan; yaitu golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu.
Surat al-Wâqi‟ah ayat 41 - 44.
“Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan(
angin yang amat panas, dan air panas yang mendidih, Dan dalam
naungan asap yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.”
Ayat-ayat ini menguraikan keadaan golongan manusia yang ketiga
yakni penghuni neraka, setelah sebelumnya telah menguraikan kedua
golongan penghuni surga. Quraish Shihab menafsirkan ayat 41 sampai 44
yang menyatakan bahwa kelompok ketiga yang akan hadir di hari kemudian,
adalah Ashâb al-Masy‟amah yaitu golongan kiri; alangkah buruk dan ngeri
apa yang dialami oleh golongan kiri itu. Mereka berada dalam wadah siksaan
Page 75
63
berupa angin yang amat panas yang menembus pori-pori, air panas yang
mendidih dan dalam naungan asap hitam yang panas dari hembusan neraka
Jahannam. Tidak sejuk sehingga meringankan panasnya udara dan tidak
menyenangkan bila dihirup.85
Surat al-Wâqi‟ah ayat 45 - 50.
“Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewahan. Dan
mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar. Dan mereka selalu
mengatakan: "Apakah bila kami mati dan menjadi tanah dan tulang
belulang, apakah Sesungguhnya kami akan benar-benar
dibangkitkan kembali? Apakah bapak-bapak kami yang terdahulu
(juga)?" Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu
dan orang-orang yang terkemudian, Benar-benar akan dikumpul-
kan di waktu tertentu pada hari yang dikenal.”
Selanjutnya ayat 45 sampai 50 menjelaskan beberapa sebab utama dari
siksa tersebut. Beliau (Quraish) menafsirkan ayat tersebut bahwa, secara
mendarah daging sebelum siksa menimpa mereka, yakni ketika masih di dunia
ini, mereka hidup berlebih-lebihan atau berfoya-foya. Angkuh sambil
melupakan Allah Pemberi nikmat dan mengabaikan tuntunan-Nya. Di
samping itu mereka juga terus-menerus bersikeras mengerjakan dosa yang
besar. Dan mereka juga mengingkari keniscayaan kiamat serta senantiasa dari
85
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 558
Page 76
64
saat kesaat mengatakan; “Apakah apabila kami telah mati dan kelak menjadi
tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan
dibangkitkan kembali? Apakah bapak-bapak kami yang terdahulu, juga akan
dibangkitkan?” Padahal keadaan mereka jauh lebih mustahil dari kebangkitan
kami. Karena pastilah setelah sekian lama mereka mati, tulang belulang
mereka telah punah dan tidak ada bekas-bekasnya lagi.
Kemudian Allah SWT. memerintahkan kepada Nabi Muhammad
SAW. untuk menjawabnya pada ayat 49 dan 50 bahwa, “Katakanlah kepada
mereka dan yang semacam mereka bahwa tidak ada bedanya di sisi Allah
dalam hal membangkitkan manusia, tidak ada yang sulit dan lebih sulit
baginya. Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu mati dan yang kamu kira
lebih sulit dibangkitkan dan orang-orang yang mati kemudian – termasuk
kamu – benar-benar akan sama-sama dan bersamaan dikumpulkan dengan
sangat mudah di waktu dan tempat tertentu pada hari yang ditentukan oleh
Allah SWT.”86
Surat al-Wâqi‟ah ayat 51 - 56.
“Kemudian Sesungguhnya kamu Hai orang-orang yang sesat lagi
mendustakan, Benar-benar akan memakan pohon zaqqum, Dan
akan memenuhi perutmu dengannya. Sesudah itu kamu akan
86
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13,h. 560
Page 77
65
meminum air yang sangat panas. Maka kamu minum seperti unta
yang sangat haus minum. Itulah hidangan untuk mereka pada hari
pembalasan".
Ayat 51 sampai 55 diuraikan bahwa siksaan yang akan dialami para
pendurhaka dengan menjelaskan sebab utamanya. Quraish Shihab menafsir-
kan bahwa mereka (Ashâb al-Syimâl) orang-orang sesat, yang tidak bahkan
enggan mengikuti jalan yang benar lagi para pengingkar kebenaran. Benar-
benar mereka semua pasti akan memakan makanan yang diambil dari pohon
zaqqûm. Yaitu pohon yang sangat buruk bentuk, rasa dan aromanya serta yang
akarnya tumbuh di jurang neraka. Kemudian mereka juga secara mantap tetapi
terpaksa akibat lapar yang mereka derita pasti memenuhi perutnya dengan
memakan pohon itu. Mereka pun akan meminum air yang sangat panas dan
yang tidak menghilangkan dahaga. Meminumnya dengan sangat banyak
seperti unta yang sangat haus. Namun demikian dahaganya tidak juga hilang.87
Setelah lengkap apa yang harus disampaikan oleh Nabi SAW. kepada
para pendurhaka itu, ditutuplah dengan ayat 56 bahwa, inilah aneka siksa yang
disebut itu merupakan hidangan selamat datang untuk mereka pada hari
Pembalasan dan tentu saja hidangan pokoknya jauh lebih buruk dari itu.”88
87
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 561-562 88
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, vol.13, h. 562
Page 78
66
BAB III
ANALISA PERBANDINGAN DAN IMPLIKASINYA
A. Pengertian Umum Ayat 7 - 56
1. Persamaan Dan Perbedaan
Ada benang merah yang dapat ditarik diantara keduanya, baik itu
penafsiran Al-Marâghî maupun penafsiran Quraish Shihab, yaitu bahwa kajian
fenomenal tentang surat al-Wâqi‟ah mengenai tiga golongan manusia ketika
hari kiamat merupakan bahan wacana yang seharusnya menjadi kajian yang
urgen dalam setiap rentan waktu yang tak terbatas. Selain menambah
kamajemukan berpikir juga merupakan wadah setiap manusia untuk
meningkatkan setiap detik kesadaran religinya dan meningkatkan kepada
mereka bahwa kiamat itu semakin dekat.
Penafsiran surat al-Wâqi‟ah yang menggambarkan tentang tiga
golongan ini, di antara keduanya – baik penafsiran al-Marâghî maupun
Quraish Shihab – tidak jauh berbeda secara global, bahwa Allah SWT.
merendahkan suatu kaum dan mengangkat derajat kaum yang lain. Dan bumi
ketika itu bergoncang sehingga gunung-gunung dan bangunan-bangunan yang
ada di atasnya roboh. Kemudian gunung-gunung berhamburan seperti debu
yang berhamburan di udara. Lalu manusia di waktu itu terbagi menjadi tiga
golongan, yaitu golongan kanan, golongan kiri, dan orang-orang yang
bersegera kepada kebaikan. Kemudian di ikuti dengan penjelasan rinci tentang
Page 79
67
kenikmatan dan siksaan yang sesuai dengan kadar kesalehan dan kekafiran
masing-masing golongan.
Adapun perbedaannya itu hanya terdapat dari segi penafsiran dan
keterangan redaksi pada sebagian ayat-ayat tertentu saja, tetapi tidak jauh
berbeda secara maksud dan tujuannya. Perbedaan latar belakang juga
berpengaruh terhadap penafsiran di antara keduanya, sehingga penulis perlu
menggarisbawahi setidaknya ada enam perbedaan maupun persamaan
penafsiran perihal tiga golongan manusia ini sebagai berikut;
Pertama, Makna Al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn pada ayat 10 dalam surat
al-Wâqi‟ah, al-Marâghî menafsirkannya dengan orang-orang yang mempunyai
pangkat dan kemuliaan di sisi Tuhan mereka. Dengan penegasan bahwa
mereka adalah orang-orang yang mendahului lainnya kepada ketaatan atau
bersegera untuk melakukan kebaikan selama di dunia.1 Sedangkan Quraish
Shihab hanya sedikit berbeda dari redaksi penafsir sebelumnya. Dalam
memahami ayat tersebut, beliau (Quraish) menafsirkan kata Al-Sâbiqûn
al-Sâbiqûn yang disebutkan dua kali dengan memisahkan makna keduanya.
Kata Al-Sâbiqûn yang pertama adalah mereka yang bergegas dalam
melaksanakan kebajikan. Sedangkan makna Al-Sâbiqûn yang kedua adalah
mereka yang mendahului yang lain masuk ke surga.2
Menurut penulis, berkenaan dengan kedua penafsiran tersebut bila
disatukan maknanya bahwa Al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn adalah golongan yang
paling dulu sampai di hadapan Allah SWT. Mereka inilah yang paling khusus,
1 Ahmad Mustafa al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Mesir:1973), Juz.27, h.131
2 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟ân, (Jakarta
:Lentera Hati, 2000), cet. Ke-1, Vol.13, h.548
Page 80
68
lebih terhormat, dan lebih dekat daripada orang-orang yang berada di sebelah
kanan yang merupakan pemuka mereka semua. Sebab di antara mereka adalah
para Rasul, para Nabi, orang-orang yang benar (al-Siddîqûn), dan para
Syuhada yang jumlahnya lebih sedikit dari Ashâb al-Yamîn. Merujuk kepada
sabda Rasulullah SAW. mengenai kriteria orang-orang yang paling dulu
sampai kepada naungan Allah pada hari Kiamat kelak adalah mereka yang
jika diberi kebenaran, mereka segera menyambutnya, dan jika diminta, mereka
segera memberikannya, serta memberikan keputusan kepada orang lain
layaknya memberi keputusan untuk diri mereka sendiri.
Kedua, pada ayat 13 dan 14, al-Marâghî menafsirkan makna Tsullah
min al-awwalîn dengan segolongan besar umat-umat terdahulu, dan makna wa
qalîl min al-âkhirîn ialah sedikit dari umat Muhammad SAW. Sedangkan
Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini dengan uraian, bahwa orang-orang
yang mendahului siapa pun memasuki surga adalah mereka sekelompok besar
dari umat yang terdahulu bersama Nabi mereka masing-masing, dan sedikit
dari umat yang kemudian dari umat Nabi Muhammad SAW.
Sedikit penulis mengambil referensi penafsiran di luar kedua mufassir
di atas, dari kitab Lubâb al-Tafsîr min Ibn Katsîr.3 Setidaknya bisa dijadikan
perbandingan dalam memahami ayat ini. Allah berfirman seraya menjelaskan
tentang orang-orang yang paling dulu masuk Surga dan didekatkan kepada-
Nya, bahwa mereka adalah sekelompok besar dari orang-orang terdahulu dan
sebagian kecil dari orang-orang yang hidup terakhir. Para ulama telah berbeda
3 „Abdullah bin Muhmmad Alu Syaikh, Lubâb al-Tafsîr min Ibni Katsîr, trjmh. M.Abdul
Ghoffar, (Bogor:Pustaka Imam Syafi‟i(, 2007, Cet.Ke-4, jld.8, h.7
Page 81
69
pendapat tentang maksud firman Allah : الأوليه dan الآخريه. Pertama, pendapat
yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan الأوليه adalah umat-umat
terdahulu, dan الآخريه adalah umat yang ada sekarang ini.
Pendapat kedua lebih kuat mengenai hal di atas, bahwa yang dimaksud
dengan firman Allah ثلة من الأولين “Segolongan besar dari orang-orang yang
terdahulu.” adalah generasi pertama dari umat ini. Kemudian وقليل من الآخرين
“Dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian,” adalah dari
kalangan umat ini juga.4
Penulis berpendapat bahwa ayat tersebut bersifat umum meliputi
seluruh umat – umat-umat terdahulu maupun umat Nabi Muhammad SAW. –,
yang masing-masing mempunyai kedudukan tersediri. Tidak diragukan lagi
bahwa orang-orang yang pertama dari suatu umat selalu lebih baik dari pada
mereka yang terakhir dari umat yang sama. Berpegang kepada sabda
Rasulullah SAW.:
اللو اني ع لي بن ال س ن ح دث ن السمان: س عد بن أ زى ر ث ن ا ح دالنب اللهع ن ع بد ع ن عب يد ة ، ع ن إب ر اىيم ، ع ن ، ع ون ابن ع ن
ع ل يوو س لمق ال رالناس:ص لىالله ي ي لون همث،ق رنخ ث،الذين ي لون هم إلىآخرال ديث...5الذين
al-Hasan bin „Ali al-Hulwâniy berkata: Azhar bin Sa‟ad al-Sammân
dari Ibn „Aun berkata, dari Ibrâhîm, dari „Ubaidah, dari Abdillâh
dari Nabi SAW. Bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah kurunku,
kemudian kurun setelahnya, dan kemudian kurun setelahnya”.
Sampai hadis selengkapnya.
4 Alu Syaikh, Lubâb al-Tafsîr min Ibni Katsîr, jld.8, h.7
5 Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûry, Sahih Muslim, fadâ‟il al-Sahâbah,
Riyâd: Dâr al-Salâm,1998, hadis ke-6472, h. 1111
Page 82
70
Dan umat ini merupakan umat yang paling baik seperti yang ditegaskan
didalam nas Al-Qur‟an, sehingga sangat jauh sekali jika yang dimaksud
dengan orang-orang yang didekatkan oleh Allah itu sebagian besar bukan dari
umat Muhammad ini. Kecuali jika yang dimaksudkan itu adalah perbandingan
antara umat terdahulu dengan umat ini. Yang jelas, bahwa orang-orang yang
didekatkan dari umat ini lebih banyak daripada umat-umat sebelumnya.
Ketiga, makna Al-Maimanah pada ayat 8, secara bahasa al-Marâghî
menafsirkannya dengan “sebelah kanan”. Dengan penjelasan bahwa golongan
kanan adalah yang mengambil buku catatan amal ibadahnya selama di dunia
dengan tangan kanan mereka, dalam keadaan bahagia seraya berada dalam
kondisi yang sangat baik dan sempurna.6 Namun Quraish Shihab dalam
menafsirkan kata (الميمنة) al-Maimanah itu serupa dengan kata (اليمين) al-Yamîn
yakni kanan. Ia terambil dari kata (يمن) Yumn yang berarti keberkatan. Dengan
keterangan selanjutnya bahwa arah kanan biasa digunakan sebagai isyarat
tentang kebaikan dan kebahagiaan.7
Keempat, al-Marâghî dalam menafsirkan makna Ashâb Al-Yamîn pada
ayat 27 dengan keterangan, bahwa golongan kanan adalah mereka yang
berada dalam puncak kemegahan dan derajat tinggi, serta berkedudukan
luhur.8 Sedangkan Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini dengan uraian,
bahwa kelompok ini merupakan penghuni surga yang kedudukannya lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok yang lalu (Al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn).
Namun, itu bukan berarti kenikmatan yang mereka raih tidak sempurna.
6 Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, h.131
7 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, h.546
8 Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, h.139
Page 83
71
Dengan penekanan ayat Mâ Ashâb Al-Yamîn yakni alangkah bahagianya
mereka itu, tidak terbayang betapa kenikmatan yang diraih oleh golongan
kanan.”9
Kelima, al-Marâghî menafsirkan makna Al-Masy‟amah pada ayat 9
secara bahasa adalah sebelah kiri. Kemudian dalam menafsirkan Ashâb
al-Masy‟amah pada ayat ini sebagai golongan yang diseret ke kiri masuk ke
neraka, dengan keterangan, bahwa mereka mencapai keadaan yang paling
buruk. Sedangkan dalam tafsir al-Misbâh, kata (المشأمة) al-Masy‟amah
terambil dari kata (شؤم) Syu‟um yang merupakan antonim dari Yumn. Arah kiri
biasa digunakan sebagai isyarat tentang kesialan dan kesengsaraan.
Gaya pertanyaan yang diajukan di atas serta pengulangannya pada
masing-masing kelompok (antara Ashâb al-Maimanah dan Ashab al-Masy‟amah)
mengandung isyarat tentang kedudukan mereka yang sangat mengagumkan
bagi kelompok kanan dan memprihatinkan bagi kelompok kiri.10
Keenam, Mustafa al-Marâghî dalam menafsirkan Ashâb Al-Syimâl
pada ayat 41 bahwa golongan kiri itu berada dalam keadaan yang tidak bisa
digambarkan dan tidak bisa dikira-kira tentang kesengsaraan, penderitaan dan
nasib mereka yang buruk.11
Sedangkan Quraish Shihab dalam menafsirkan
ayat ini dengan uraian, bahwa kelompok ketiga yang akan hadir di hari
kemudian adalah golongan kiri dalam keadaan sangat buruk dan mengerikan
apa yang dialami oleh golongan itu.12
9 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, h.554
10 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, v.13, h.546
11 Mustafa Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz.27, h.141
12 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh, h.558
Page 84
72
Penulis perlu menggaris bawahi bahwa pada ayat yang menjelaskan
antara Ashâb al-Yamîn dan Ashâb al-Syimâl, dari segi maksud keadaan kedua
golongan ini. Antara kedua penafsir itu tidak jauh berbeda, hanya saja yang
membedakan adalah dari segi redaksi penafsiran. Menurut al-Marâghî, bagi
Ashâb al-Yamîn, mereka akan menerima catatan (buku) amalnya dengan
tangan kanannya. Dan akan pada saatnya nanti mereka akan dikumpulkan
bersama kaum yang berada di barisan kanan, yakni kedalam Surga. Sedang
bagi Ashâb al-Syimâl adalah sebaliknya. Dan menurut Quraish Shihab, kedua
golongan ini berada pada golongannya masing-masing. Bagi Ashâb al-Yamîn
adalah keberkatan dan kenikmatan yang mereka raih. Dan bagi Ashâb
al-Syimâl adalah kesengsaraan dan penderitaan yang mereka peroleh.
2. Balasan Bagi Ketiga Golongan
Bagi golongan pertama, secara umum bahwa ayat 10 sampai dengan
ayat 26 memberi pengertian bahwa Allah SWT. menerangkan keberadaan
penghuni surga dari al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn adalah segolongan dari umat-umat
terdahulu yang beriman dan segolongan kecil dari umat kemudian. Maka
Ganjaran yang mereka raih adalah surga yang berisi tempat tidur yang
bertahtakan emas permata, dengan penghuni yang cantik jelita yang bermata
jeli laksana mutiara yang tersimpan baik. Meraih minuman dan makanan, juga
buah-buahan dan daging-daging burung yang rasanya lezat, dengan pelayan-
pelayan surganya adalah anak-anak muda yang tidak berubah, yang
menyenangkan bila dipandang. Dan di dalamnya tidak terdengar kata-kata
Page 85
73
yang tidak layak diucapkan oleh orang-orang baik yang mempunyai akhlak
tinggi dan perasaan yang halus.
Selanjutnya, bagi golongan kedua secara umum bahwa ayat 27 sampai
dengan ayat 40 mengenai Ashâb Al-Yamîn, memberi pengertian bahwa Allah
menerangkan keberadaan mereka nanti di dalam surga yang ditumbuhi pohon
bidara yang tidak berduri dan pohon pisang yang tersusun buahnya. Satu di
atas yang lain dengan buah-buahan yang banyak. Tidak pernah berhenti
berbuah untuk selama-lamanya, dan tidak terlarang bagi mereka kapan saja
mereka menghendaki. Di dalam surga juga terdapat kasur-kasur yang empuk
dan tersusun tinggi, di samping bidadari yang cantik yang masih perawan,
penuh dengan rasa cinta lagi sebaya umurnya.
Dalam ayat lain terdapat gambaran kenikmatan yang di peroleh para
penghuni Surga.13
“Mereka itu memperoleh rezki yang tertentu, Yaitu buah-buahan.
dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan, Di dalam surga-
surga yang penuh nikmat. Di atas tahta-tahta kebesaran berhadap-
hadapan. Diedarkan kepada mereka gelas yang berisi khamar dari
13
Fachruddin Hs, Ensiklopedi al-Qur‟ân, Jakarta:PT.Rineka Cipta,1992, cet.1, Jld.II,
h.623
Page 86
74
sungai yang mengalir. (Warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi
orang-orang yang minum. Tidak ada dalam khamar itu alkohol dan
mereka tiada mabuk karenanya. Di sisi mereka ada bidadari-
bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya, Seakan-
akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan
baik. Lalu sebahagian mereka menghadap kepada sebahagian yang
lain sambil bercakap-cakap.” (Q.S. Al-Saffat/37:41 - 50)
Dan terakhir adalah golongan ketiga, secara umum bahwa ayat 41
sampai dengan ayat 56 mengenai Ashâb al-Syimâl, memberi pengertian bahwa
Allah menerangkan bencana dan kesengsaraan, serta keadaan buruk yang
diterimanya. Golongan ini terbakar dalam panas neraka, meminum air panas
bagaikan kotoran minyak yang membakar wajah. Makanan mereka adalah
berupa pohon zaqqum, yang memenuhi perut mereka. Kemudian mereka akan
meminum air tanpa ada puas-puasnya, bagai unta yang kehausan. Ini adalah
penghormatan dan suguhan terbaik yang Allah sediakan untuk mereka pada
hari tersebut.
Perihal Zaqqum atau makan penghuni neraka pada ayat 52 dari surat
al-Wâqi‟ah, juga termaktub dalam al-Qur‟ân surat al-Dukhân yang berbunyi;
“Sesungguhnya pohon zaqqum itu, Makanan orang yang banyak
berdosa. (Ia) sebagai kotoran minyak yang mendidih di dalam
perut, Seperti mendidihnya air yang amat panas. Peganglah dia
Kemudian seretlah dia ke tengah-tengah neraka. Kemudian
tuangkanlah di atas kepalanya siksaan (dari( air yang amat panas.”
(Q.S. Al-Dukhân/44:43 - 48)
Page 87
75
Dalam Al-Qur‟ân disebutkan, bahwa Zaqqum itu makanan orang
berdosa yang menjadi isi neraka. Urat pohon Zaqqum itu dalam neraka,
buahnya bagai kepala syaitan (ular). Zaqqum dimakan oleh isi neraka sepenuh
perutnya dan dalam perut mendidih bagai hancuran tembaga. Sesudah itu
orang yang memakan buah Zaqqum diberi minuman dengan air yang
mendidih dan tetap menderita pembakaran api neraka.14
Dari analisa ayat di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa orang
yang memakan buah Zaqqum, meminum air yang sedang mendidih dan
menggelegak dalam perut bagai hancuran tembaga, itu semua disebutkan
dalam Al-Qur‟ân untuk membuat perbandingan. Mana yang lebih baik
dibandingkan dengan orang yang mendiami surga kesenangan, memperoleh
rezeki yang mudah diterima, buah-buahan segala rupa, mendapat kehormatan
dan pelayanan yang amat baik. Diam dalam taman kesenangan, duduk di atas
kursi kebesaran, berhadapan satu sama lain. Disuguhi minuman yang lezat cita
rasanya, anggur yang tiada menimbulkan mabuk, pening atau sakit kepala.
B. Implikasi Penafsiran (Ayat 7 - 56 ) Dalam Kehidupan Di Masyarakat
Dalam skripsi ini, sengaja penulis sajikan beberapa pesan moral
maupun implikasi yang ada dalam kehidupan di masyarakat.
Pertama, keterangan kedua mufassir – Ahmad Mustafa al-Marâghî dan
M. Quraish Shihab – tentang tiga golongan manusia dalam surat al-Wâqi‟ah
ayat 7 - 56 memberikan penjelasan, bahwa ayat-ayat tersebut termasuk bagian
dari petunjuk Allah SWT. untuk manusia agar mempersiapkan perihal
14
Fachruddin Hs, Ensiklopedi al-Qur‟ân, Jakarta:PT.Rineka Cipta,1992, cet.1, Jld.II,
h.621-622
Page 88
76
kejadian di hari kemudian. mengenai perintah, larangan, ancaman dan balasan.
Pada firman-Nya ( ن السببقونوالسببقو ( “Dan orang-orang yang paling dahulu
beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga(,” Al-„Auza‟i mencerita-
kan dari „Utsman bin Abi Saudah, bahwa ia pernah membaca ayat ini,
)والسببقون السببقون، أولئك المقربون) “Dan orang-orang yang paling dahulu beriman,
merekalah yang paling dulu (masuk surga), mereka itulah yang didekatkan
(kepada Allah(”. Kemudian ia mengatakan, “Yakni, orang-orang yang
pertama kali pergi ke masjid dan orang-orang yang pertama kali pergi
(berjuang( di jalan Allah.”15
Mereka itu adalah orang-orang yang menunaikan
kewajibannya mematuhi perintah Allah dan menjauhkan diri dari larangan-
larangan-Nya. Mereka bangun tengah malam melakukan salat, memuji,
berdzikir, merenungkan kebesaran Allah, dan memohon ampunan-Nya, serta
berpuasa pada siang harinya. Semua pendapat dan ungkapan di atas adalah
Sahih, karena yang dimaksud dengan al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn adalah orang-
orang yang bersegera untuk berbuat kebaikan seperti yang telah diperintahkan
kepada mereka.
Kemudian, Ashâb al-Yamîn dan Ashâb al-Syimâl, kedua golongan ini
merupakan sebuah pilihan bagi setiap manusia. Mau mengikuti jejak kebaikan
para Ashâb al-Yamîn. Mereka adalah orang-orang yang suka berbuat baik,
sebagaimana yang dikatakan oleh Maimun bin Mihran16
bahwa kedudukan
Ashâb al-Yamîn itu berada di bawah orang-orang yang mendekatkan diri
kepada Allah. Atau justru jauh dari rahmat Allah dengan sebab lalai dari
15
„Abdullah bin Muhmmad Alu Syaikh, Lubâb al-Tafsîr min Ibni Katsîr, jld.8, h.5 16
Maimun bin Mihran al-Jazariy adalah golongan tabi‟in yang lahir di kufah tahun 40 H.
dan wafat tahun 117 H. Beliau dikenal dengan nama Abu Ayub al-Râqy.
Page 89
77
kewajiban seperti para Ashâb al-Syimâl. Mereka semasa di dunia adalah
orang-orang yang berkemewahan, yang tenggelam dalam dosa-dosa. Mereka
mengingkari hari ini (hari pembalasan). Dan jika mereka mati itu termasuk
golongan para pembohong dan pengingkar kebenaran. Semoga semua umat
Islam terhindar dari hal-hal yang demikian.
Kedua, perihal surat al-Wâqi‟ah dikenal di kalangan masyarakat dari
dulu hingga kini sebagai suatu surat yang memiliki nilai fadilah tersendiri bagi
yang membacanya. Sebab dipercaya sebagai amalan wirid dengan harapan
fadilah dimurahkannya rizki. Dalam hal ini, mengunggulkan beberapa surat
tertentu dalam Al-Qur‟an bukan lah hal yang baru didengar di masyarakat.
Bersandarkan kepada sabda Rasulullah SAW. yang sering disampaikan oleh
kalangan guru agama maupun asâtidz kepada masyarakatnya, bahwa surat
Yâsîn, al-Rahmân, al-Mulk dan termasuk salah satunya ialah surat al-Wâqi‟ah
yang merupakan sebagian dari surat-surat yang memiliki keutamaan.
Pengalaman penulis semasa bermukim di Madrasah Islamiyah
Tangerang, kegiatan rutinitas yang biasa dilaksanakan para santri dan
masyarakat sekitar bahwa setelah salat dzuhur itu disambung dengan
pembacaan surat al-Mulk secara berjama‟ah. Dengan harapan fadilahnya
kelak terhindar dari siksa kubur dan api neraka. Kemudian setelah salat „ashr
disambung dengan membaca surat al-Wâqi‟ah, dengan harapan fadilahnya
kelak dimudahkan dalam urusan rizki. Termasuk di daerah tempat penulis
tinggal, bahwa pada setiap malam jumat, kegiatan rutinitas di Masjid-masjid
masih berkumandang hingga kini pembacaan surat Yâsîn berikut Dzikirnya.
Page 90
78
Dengan harapan bahwa fadilah surat tersebut kelak pada setiap hurufnya
menjadi cahaya di hari kemudian serta menerima catatan amalannya dengan
tangan kanan.
Kritikan penulis terhadap pernyataan di atas, bahwa sebagai umat
Islam, agar seharusnya selalu berpegang teguh kepada ajaran Al-Qur‟ân. Serta
membacanya dan berusaha mengamalkan isi kandungannya dalam kehidupan,
dengan tanpa mengesampingkan ayat-ayat yang lain dari sekian banyak surat.
Sebab, Al-Qur‟ân seluruhnya adalah Kalam Allah SWT. yang merupakan
mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dan ditulis di
mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, yang mana membaca dan
mempelajarinya adalah bernilai ibadah.
Ketiga, adapun hikmah yang dapat dipetik dari kandungan ayat-ayat
dalam surat al-Wâqi‟ah ialah senantiasa kajian ini menjadi motivasi dalam
beribadah, berbuat kebajikan, serta amalan-amalan saleh lainnya dengan
semata-mata hanya mengharap keridaan Allah SWT. Karena setiap umat
seluruhnya berharap sekali untuk menjadi golongan al-Sâbiqûn, yang
bersegera masuk ke dalam surga. Tentunya dengan bersegera berbuat
kebajikan sesuai dengan petunjuk Al-Qur‟ân, Karena ia merupakan sumber
utama ajaran Islam yang memiliki autentisitas yang tak terbantahkan.17
Dengan tidak menjadikannya sebagai barang antik yang harus disakralkan,
tetapi bagaimana Al-Qur‟ân itu secara kultural dapat dihayati, dan secara
17
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. (Jakarta:PT.Ichtiar Baru Van
Hoeve.2002), Jld.1, h.143
Page 91
79
sosiologis ajaran-ajarannya dapat diamalkan.18
Sebagaimana petunjuk Al-
Qur‟ân serta kebijaksanaan Nabi Muhammad SAW., telah mampu mengubah
segi negatif adat-istiadat masyarakat jahiliyah tersebut, dalam waktu yang
sangat singkat sehingga pada akhir generasi mereka itu berubah dan dinilai
sebagai khairul qurn (sebaik-baik generasi).19
Namun, sekiranya upaya yang dilakukan dalam beribadah masih jauh
dari kategori golongan Al-Sâbiqûn al-Sâbiqûn, kemungkinan adanya harapan
– penulis pada khususnya, seluruh umat Muslim pada umumnya – agar bisa
tergolong sebagai Ashâb al-Yamîn. Semoga kajian ini senantiasa bermanfaat,
juga menjadi pelajaran bagi mereka yang mau untuk mengamalkan isi
kandungan Al-Qur‟ân, serta peringatan bagi mereka yang senantiasa masih
bergelimang dosa.
18
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur‟an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum da-
lam Al-Qur‟an, (Jakarta:Penamadani.2005), Cet: Ke-3, h.41 19
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur‟an, h.81-82
Page 92
80
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis membuat analisa dan menguraikan pembahasan dari
bab ke bab, mengenai tiga golongan manusia ketika hari Kiamat dalam surat
al-Wâqi‟ah ayat 7 - 56 menurut analisa perbandingan antara tafsir Al-Marâghî
karya dari Ahmad Mustafa al-Marâghî dengan tafsir Al-Misbâh Karya
M. Quraish Shihab, maka penulis menyimpulkan bahwa penjabaran mengenai
hal-hal di atas sebagai berikut;
Persamaan antara kedua mufassir dalam memahami ayat-ayat ini
adalah pada penekanan aspek pelajaran atau pesan yang terkandung dalam
kisah tersebut. Jadi, yang perlu digali adalah pesan yang ingin Allah
sampaikan melalui kisah ini, bukan pada persoalan waktu kejadiannya, serta
mengetahui tentang tiga golongan itu.
Menurut analisa penulis, melihat dari uraian penafsiran al-Marâghî
dalam menjelaskan beberapa ayat pada surat al-Wâqi‟ah berdasarkan
ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun secara lugas, dengan menekankan
tujuan yang pokok dari surat ini, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial
yang sejalan dengan perkembangan masyarakat, dan ini adalah bentuk corak
penafsiran Adabi Ijtima‟i. Berbeda sedikit dengan Quraish Shihab yang
menjelaskan ayat demi ayat secara berurutan, serta memahami bahasa ayat
Page 93
81
dari segi asal kosa kata itu. Lalu memisahkan terjemahan makna al-Qurân
dengan sisipan penafsiran.
Perbedaan yang menonjol dari analisa penulis antara kedua mufassir
dalam menafsirkan surat al-Wâqi‟ah ayat 7-56 ialah ketika menafsirkan dua
perkara. Pertama, dalam memahami makna ketiga golongan manusia yakni,
Al-Sâbiqûn Al-Sâbiqûn, Ashâb Al-Yamîn dan Ashâb Al-Syimâl, al-Marâghî
menafsirkannya secara lugas dan menekankan tujuan pokok sesuai dengan
wawasan keilmuan beliau. Sedangkan Quraish Shihab menafsirkannya sesuai
dengan asal kosa kata ayat tersebut dengan menjelaskan beberapa ayat itu agar
sejalan dengan perkembangan masyarakat. Kedua, al-Marâghî menafsirkan
makna Tsullah min al-awwalîn dengan segolongan besar umat-umat
terdahulu, dan makna wa qalîl min al-âkhirîn ialah sedikit dari umat
Muhammad SAW. Sedangkan Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini
dengan mereka sekelompok besar dari umat yang terdahulu bersama Nabi
mereka masing-masing, dan sedikit dari umat yang kemudian dari umat Nabi
Muhammad SAW.
Adapun implikasinya dalam kehidupan dimasyarakat, ialah ketika
sebagian ulama menyampaikan fadilah (keutamaan) beberapa surat dalam
Al-Qur‟ân, bahwa dengan membacanya setiap saat serta menjadikannya
sebagai wiridan tetap, kepercayaan itulah yang mereka jalankan. Dan itu
diyakini sebagai keutamaan yang final. Bila dibandingkan dengan memahami
isi kandungan serta mengamalkannya dalam kehidupan bermasyarakat, itu
jauh lebih memilki nilai keutamaan yang tak terhingga.
Page 94
82
B. Saran-saran
1. Dalam al-Qur‟an mengandung 114 surat. Maka, jangan hanya terfokus
pada satu surat saja, seperti surat al-Wâqi‟ah yang menjadi tumpun
kebanyakan masyarakat Muslim dalam mengamalkan bacaan dan memetik
fadilahnya. Tapi yang perlu diingat bahwa semua surat yang ada dalam
al-Qur‟ân itu perlu dibaca, dipahami, dihayati dan diamalkan seluruhnya
dalam kehidupan di masyarakat. Agar senantiasa menjadi petunjuk yang
mampu menyelamatkan setiap insan, baik di dunia dan terlebih di akhirat.
2. Dalam Al-Qur‟ân terdapat banyak kisah yang diceritakan oleh Allah.
Tujuan utama dari kisah yang terdapat di dalamnya adalah agar manusia
dapat mengambil pelajaran, karena kisah-kisah tersebut sarat dengan
petunjuk. Oleh karena itu penelitian terhadap kisah yang terdapat dalam
al-Qur‟ân harus diambil perhatian supaya pelajaran yang terkandung di
dalamnya dapat dipetik.
3. Kepada peneliti yang tertarik untuk membahas tentang kisah ini, agar bisa
membahas lebih lengkap dan dalam lagi, karena dalam penelitian ini
masih banyak kekurangan dan kelemahan.
4. Penelitian terhadap tokoh Ahmad Mustafa al-Marâghi dan M. Quraish
Shihab sudah banyak dilakukan, namun masih banyak ruang untuk dikaji
dan diteliti. Oleh karena itu, peneliti sarankan supaya pengkaji tafsir
al-Qur‟ân semakin mengembangkan kajiannya untuk menambah khasanah
keilmuan Islam dan menjadikan al-Qur‟ân semakin praktis dan mudah
dipahami bagi para pembacanya.
Page 95
83
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta:PT.Ichtiar Baru Van
Hoeve.2002, Jld.1
Akram, Ahmad, Tarikh „ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirî, ter. Ali Hasan
al-„Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1992, Cet. Ke-2
Âlu Syaikh, Abdullah bin Muhammad, Lubâbu al-Tafsîr min Ibni Katsîr,
penterjemah. M. Abdul Ghoffar E.M Dkk., (Bogor:PUSTAKA IMAM
SYAFI‟I(, 2007, cet.ke-4, jld.8
Anwar, Hamdani, Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah Karya M. Quraish
Shihab, dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No.2, 2002
Asrofuddin, Ahsin Muhammad, Corak dan Metode Tafsir Yang Perlu
Dikembangkan; Makalah Pada Seminar Pengembangan dan Pengajaran
Tafsir di Perguruan Tinggi Agama, Ciputat: Perpustakaan IAIN Jakarta, 1992
Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam, Jakarta: t.p., 1993, Jld. 2
Dewan Redaksi ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Houve, 1996, Jilid 2
Al-Dzahabi, Muhammad Husain, Al-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, t.p. 1986, Cet.Ke-2,
jilid 2
Fachruddin Hs, Ensiklopedi al-Qur‟ân, Jakarta: PT. RINEKA CIPTA,1992, cet.1,
Jld.II
Al-Farmawî, Abd. Al-Hayy, Metode Tafsir Mauduî; suatu pengantar, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. Ke-2
Page 96
84
Fiderspiel, Howard M., Penerjemah Drs. Tajul Arifin, M.A, Kajian al-Qurân di
Indonesia; dari Muhammad Yunus hingga Quraish Shihab, (Bandung:
Mizan, 1996), Cet. Ke-1
Ghazali, Muhammad. Tafsir Tematik dalam al-Qur‟an. Jakarta: Gaya Media,
2004
Al-Hindi, Ibn Hisân Al-Dîn, Kanzun Al-Umâl, fî sunani al-aqwâl wa al-af‟âl,
Juz.1, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1989
Kusmana, Membangun Citra Institusi, dalam Badri Yatim dan Hamid Nasuhi,
(ed), Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam (Sejarah dan Profil
Pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Jakarta: IAIN Jakarta Press,
2002, Cet. Ke-1, hal.254
Al-Marâghî, Abdullah Mustafa, al-Fath al-Mubîn Fi Tabaqât al-Ushuliyîn,
Beirut: Muhammad Amin, 1993
Al-Marâghî, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Marâghî, Penterjemah. Bahrun Abubakar
Dkk. Juz XXVII. PT. Karya Toha Putra Semarang, 1989 Cet. Ke-2
----------, Al-Marâghî, Ahmad Mustafa, Tafsîr Al-Marâghî, Mesir:1973, Juz.27
Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur‟ân
Kontemporer, Jakarta: al-Izzah, 1997, cet. 1
al-Naisâbûry, Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairy, Sahih
Muslim, Riyâd: Dâr al-Salâm,1998
Nasuhi, Hamid, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi),
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: CeQda, 2007), cet. Ke-2
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. Ke-12
Naufal, Abdurrazaq, Hari Kiamat, Surabaya. Mutiara Ilmu, 1993
Page 97
85
Ridwan, Kafrawi, et. Al (ed), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve
Jakarta, 1994, cet. Ke-3
Salim, Abd. Muin, Metodologi Ilmu Tafsir, tanpa penerbit, 2005, cet. Ke-1
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur‟an, Bandung: Mizan, 2001, cet. Ke-22
----------, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Jakarta:
Lentera Hati, 2002, Cet. Ke-1, Vol.13
----------, Tafsir al-Qur‟an al-Karim, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, cet. Ke-1
----------, Wawasan al-Qurân; Tafsir Maudû‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat,
Bandung: Mizan,1996, cet. Ke-3
Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur‟an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum
dalam Al-Qur‟an, Jakarta:Penamadani, 2005, Cet: Ke-3
Smith, Jane Idelman dan Haddad, Yvone Yazbeck, Maut, Barzakh, Kiamat, dan
Akhirat, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004, cet. Ke-1
Syahin, Abdussabur, Sejarah Al-Qur‟ân,Trjmh. Prof. Dr. Ahmad Bachmid, Lc.,
Jakarta:PT.Rehal Republika,2008,Cet.1, Jld.3
Al-Tabrîzî, Muhammad bin Abdullah al-Khatîb, Musykâtul Mashâbih, Juz 1,
Dârul Fikr.1991
Ushma‟, Thameem, Metodologi Tafsir Al-Qur‟ân; Kajian Kritik Objek dan
Komprehensif, Jakarta: Riora Cipta, 2000, cet. I
WJS. Poerwadarminta, ed., Kamus Umum Bahasa Indonesia; Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Yusuf, M. Yunan, Karakteristik Tafsir Al-Qur‟ân di Indonesia Abad Keduapuluh,
Tanpa Penerbit (tt, tnp, tth)
Zaini, Hasan, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Marâghî, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1996, Cet. I