LAPORAN INDIVIDU PBL SISTEM GASTROENTEROHEPATOLOGI MODUL 2 SUSAH BUANG AIR BESAR KELOMPOK B-7 TUTOR : Dr. NURDIN A. MAPPEWALI, Sp.BK. Dr. IKA Y. FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
LAPORAN INDIVIDU PBL
SISTEM GASTROENTEROHEPATOLOGI
MODUL 2
SUSAH BUANG AIR BESAR
KELOMPOK B-7
TUTOR :
Dr. NURDIN A. MAPPEWALI, Sp.BK.
Dr. IKA Y.
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2008
1. Definisi
Tifus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasanyaterdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu,gangguan pada saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran yang disebabkan oleh infeksi
Salmonella enterica subspecies enterica serotype Thypi. 1 2
2. Etiologi
Salmonella typhosa, basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora.Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O (somatic, terdiri dari zatkompleks lipopolisakarida), antigen H (flagella), dan antigen Vi. Dalam serum penderita
terdapat zat agglutinin terhadap ketiga macam antigen tersebut. 1
3. Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella thypii dan Salmonella parathypii ke dalam tubuh manusiaterjadi melalui makanan yang terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan di dalamlambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila responimunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus epitel(terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propria. Basil diserap di usus halus. Melaluipembuluh limfe halus, masuk ke dalam peredaran darah sampai ke organ-organ terutama hatidan limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak di dalam hati dan limpa sehinggaorgan-organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Kemudian basil masukkembali ke dalam darah (bakteremia) dan menyebar ke seluruh tubuh terutam ke dalamkelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa di atas plak
Peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demamdisebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh
kelainan pada usus. 1 3
Di dalam hati, kuman masuk ke kandung empedu, berkebang biak, dan bersama cairanempedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian kuman keluarbersma feses dan sebagian lagi akan masuk ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Prosesyang sama akan terulang kembali, berhubung makrofag sudah teraktivasi dan hiperaktif maka
saat fagositosis kuman Salmonella akan terjadi pelepasan berbagai mediator inflamasi yangselanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. 3
Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S.thypii intramakrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan,dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darahsekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel
mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga
ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. 3
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnyakomplikasi seperti gangguan neuropsikiatri, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ
lainnya. 3
4. Gejala Klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbulsangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yangkhas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupadengan gejala penyakit infeksi akut lainnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, danepistaksis. Pada pemeriksaan fisis hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demamadalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore dan malam hari. Dalam minggukedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah yangberselaput, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, somnolen, stupor, koma, delirium, atau
psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. 3
5. Penegakan Diagnosis
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisis dapat dibuat diagnosis Observasi Tifus
Abdominalis. 1
Untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
1. Pemeriksaan Rutin
Pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, tapi dapat jugaterjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpainfeksi sekunder. Dapat pula ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Padapemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi anesosinofilia maupun limfopenia. LED
dapat meningkat. 3
2. Uji Widal
Dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S. typhii. Dasar pemeriksaannyaadalah reaksi aglutinasi terjadi bila serum penderita dicampur suspensi antigen S. typhii.Positif bila terjadi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapatditentukan. Untuk membuat diagnosis, yang diperlukan adalah titer zat anti terhadapantigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yangprogresif digunakan untuk membuat diagnosis. Titer tersebut mencapai puncaknyabersamaan dengan penyembuhan penderita. Tidak selalu tes Widal positif walaupunpenderita benar-benar menderita tifus abdominalis. Ada beberapa faktor yangmempengaruhi uji Widal yaitu :
a) Pengobatan dini dengan antibiotik.
b) Gangguan pembentukan antibodi dan pemberian kortikosteroid.
c) Waktu pengambilan darah.
d) Daerah endemik atau non-endemik.
e) Riwayat vaksinasi.
f) Reaksi anamnestik (peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan demam tifoidmasa lalu atau vaksinasi).
g) Faktor teknik pemeriksaan antar-laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain
Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. 1 3
3. Biakan Empedu
Basil S. typhii lebih sering ditemukan dalam urin dan feses dan mungkin akan tetap positifuntuk waktu yang lama. Pemeriksaan negatif dari contoh urin dan feses 2 kali
berturut-turut digunakan untuk menentukan penderita telah sembuh dan tidak karier. 3
4. Kultur Darah
Hasil biakan darah memastikan demam tifoid, tapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam
tifoid karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. 3
6. Tata Laksana 1 3
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
1. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah komplikasi danmempercepat penyembuhan. Penderita diisolasi dan desinfeksi pakaian dan ekskreta.Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik.
2. Diet dan terapi suportif
Bertujuan untuk mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori, dan tinggi protein. Bahan makanantidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang, dan tidak menimbulkan banyakgas. Susu 2 kali satu gelas per hari perlu diberikan. Bagi penderita dengan kesadaranmenurun, makanan cair diberikan melalui pipa lambung.
3. Pemberian antimikroba
Obat pilihan adalah kloramfenikol, kecuali bila penderita alergi dapat diberikan obat lain,misalnya ampisilin, amoksisilin, taimfenikol, kotrimoksazol, dan sefalosporin generasiketiga . Dianjurkan pemberian kloramfenikol dengan dosis tinggi yaitu 4 x 500 mg per
hari oral atau IV. Manfaatnya yaitu waktu perawatan dipersingkat dan relaps tidak terjadi.Akan tetapi mungkin pembentukan zat anti kurang karena basilnya terlalu cepatdimusnahkan.
Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai, misalnya pemberian cairan IVuntuk penderita dengan dehidrasi dan asidosis. Bila terdapat bronkopneunonia harus
ditambahkan penisilin dan lain-lain. 1
DAFTAR PUSTAKA
1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2005, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2,Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
2. Guerrant Richard L., David H. Walker, Peter F. Weller, 2006, Tropical Infectious DiseasesPrinciples, Pathogens, and Practice Second Edition Software, Elsevier Inc.
3. Tim Penyusun Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Buku1 Jilid IV, Pusat Penerbitan Buku Ajar IPD, Jakarta.