Top Banner
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK SKENARIO 1 ADUH TELINGAKU BAU! DISUSUN OLEH KELOMPOK 15: Annisa Nur Hafika G0011028 Rizky Hening Saputri G0011182 Chantika Bunga Nugraha G0011058 Angga Suryawinata G0011024 Erlimia Eka Noor Yuliana G0011084 Hanif Hary Setyawan G0011102 Ida Ayu Sinthia Pradnya Swari G0011112 Muhammad Hanif Nur R G0011144
59

THT1

Oct 27, 2015

Download

Documents

tht 1
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: THT1

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

BLOK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK

SKENARIO 1

ADUH TELINGAKU BAU!

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 15:

Annisa Nur Hafika G0011028 Rizky Hening Saputri G0011182

Chantika Bunga Nugraha G0011058 Angga Suryawinata G0011024

Erlimia Eka Noor Yuliana G0011084 Hanif Hary Setyawan G0011102

Ida Ayu Sinthia Pradnya Swari G0011112 Muhammad Hanif Nur R G0011144

Melani Ratih Mahanani G0011136 Annisa Susilowati G0011030

Putri Cahyaningsih G0011160

Tutor: dr. Hadi Sudrajad, Sp. THT-KL, Msi Med.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2013

Page 2: THT1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba

auditiva, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media ini dapat bersifat akut maupun

kronis. Otitis media akut biasanya diawali dengan infeksi saluran napas atas, seperti rinitis

yang akan menyebar lewat tuba auditiva sehingga menyebabkan gangguan pada telinga

tengah. Rinitis sendiri banyak penyebabnya, bisa karena virus, bakteri, atau alergi. Jika

otitis media akut ini tidak segera diobati maka bisa berlanjut menjadi otitis media supuratif

kronis (OMSK) yang ditandai dengan keluarnya sekret mukopurulen lewat membran

timpani yang mengalami perforasi. Untuk lebih memahami mengenai permasalahan

kesehatan tersebut, berikut adalah skenario yang dapat membantu proses pembelajaran

kali ini:

Seorang buruh bangunan laki-laki usia 25 tahun, datang ke praktek dokter umum

dengan keluhan utama telinga kanan mengeluarkan cairan kuning, kental dan berbau

busuk. Pasien juga mengeluh telinga berdenging sehingga pendengaran terganggu,

disertai kepala pusing. Pasien sejak remaja sering pilek, disertai hidung tersumbat

bergantian kanan dan kiri terutama jika terpapar debu. Satu tahun yang lalu, telinga

kanan keluar cairan encer, jernih dan ada sedikit darah. Riwayat kambuh-kambuhan

terutama jika batuk dan pilek.

Pada pemeriksaan otoskopi telinga kanan didapatkan: discharge mukopurulen

dan granuloma. Rinoskopi anterior terdapat: discharge seromukous, konka hipertrofi,

livide. Pemeriksaan pharing didapatkan: mukosa hiperemi. Selanjutnya, dokter

merencanakan pemeriksaan penunjang.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah anatomi dan fisiologi dari telinga?

2. Mengapa timbul keluhan seperti pada skenario?

3. Apa saja etiologi dan bagaimana patofisiologi dari keluhan pada skenario?

4. Bagaimanakah hubungan antara pekerjaan, usia dan jenis kelamin dengan keluhan yang

dialami oleh pasien?

5. Bagaimana hubungan antara riwayat penyakit dahulu dengan keluhan sekarang?

Page 3: THT1

6. Mengapa ketika batuk dan pilek keluhan bisa kambuh?

7. Mengapaa jika terpapar debu pasien pilek dan hidung tersumbat?

8. Bagaimanakah interpretasi hasil pemeriksaan otoskopi, rinoskopi anterior dan

pemeriksaan pharing? Bagaimanakah gambaran normal pada ketiga pemeriksaan

tersebut?

9. Apa saja pemeriksaan penunjang lainnya yang digunakan untuk menegakkan

diagnosis?

10. Apakah Difrensial Diagnosis (DD) yang mungkin terjadi pada kasus?

11. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis penyakit yang diderita pasien?

C. Tujuan

1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi telinga

2. Menjelaskan etiologi, epidemiologi, patofisiologi keluhan pada skenario

3. Menjelaskan hubungan antara pekerjaan, usia dan jenis kelamin dengan keluhan

4. Menjelaskan hubungan antara riwayat penyakit dahulu dengan keluhan sekarang

5. Menjelaskan interpretasi dari hasil pemeriksaan otoskopi, rinoskopi anterior dan

pemeriksaan pharing

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan skenario

7. Menjelaskan dasar diagnosis kasus, baik diagnosis banding maupun diagnosisnya

8. Menjelaskan penatalaksaanaan yang tepat sesuai skenario

D. Manfaat

1. Mahasiswa dapat memahami anatomi dan fisiologi dari telinga.

2. Mahasiswa dapat memahami definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, dan hal-hal

yang mempengaruhi terjadinya keluhan pada skenario

3. Mahasiswa dapat memahami cara mendiagnosis, pemeriksaan penunjang, dan

penatalaksanaan yang tepat untuk kasus pada skenario.

Page 4: THT1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi Sistema Auditiva et Equilibrium

Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran

dan keseimbanga Anatominya juga sangat rumit . Indera pende¬ngaran berperan penting

pada partisipasi seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk

perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan

orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar.

Anatomi Telinga Luar

Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (atau pinna) dan kanalis auditorius

eksternus, dipisahkan dari telinga tengan oleh struktur seperti cakram yang dinamakan

membrana timpani (gendang telinga). Telinga terletak pada kedua sisi kepala kurang lebih

setinggi mata. Aurikulus melekat ke sisi kepala oleh kulit dan tersusun terutama oleh

kartilago, kecuali lemak dan jaringan bawah kulit pada lobus telinga. Aurikulus membantu

pengumpulan gelombang suara dan perjalanannya sepanjang kanalis auditorius eksternus.

Tepat di depan meatus auditorius eksternus adalah sendi temporal mandibular. Kaput

mandibula dapat dirasakan dengan meletakkan ujung jari di meatus auditorius eksternus

ketika membuka dan menutup mulut. Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5

sentimeter. Sepertiga lateral mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat di mana kulit

terlekat. Dua pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius

eksternus berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus,

Page 5: THT1

glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen.

Mekanisme pembersihan diri telinga mendorong sel kulit tua dan serumen ke bagian luar

tetinga. Serumen nampaknya mempunyai sifat antibakteri dan memberikan perlindungan bagi

kulit.

Anatomi Telinga Tengah

Telinga tengah tersusun atas membran timpani (gendang telinga) di sebelah lateral

dan kapsul otik di sebelah medial celah telinga tengah terletak di antara kedua Membrana

timpani terletak pada akhiran kanalis aurius eksternus dan menandai batas lateral telinga,

Membran ini sekitar 1 cm dan selaput tipis normalnya berwarna kelabu mutiara dan

translulen.Telinga tengah merupakan rongga berisi udara merupakan rumah bagi osikuli

(tulang telinga tengah) dihubungkan dengan tuba eustachii ke nasofaring berhubungan

dengan beberapa sel berisi udara di bagian mastoid tulang temporal.

Telinga tengah mengandung tulang terkecil (osikuli) yaitu malleus, inkus stapes.

Osikuli dipertahankan pada tempatnya oleh sendian, otot, dan ligamen, yang membantu

hantaran suara. Ada dua jendela kecil (jendela oval dan dinding medial telinga tengah, yang

memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam. Bagian dataran kaki menjejak pada jendela

oval, di mana suara dihantar telinga tengah. Jendela bulat memberikan jalan ke getaran suara.

Jendela bulat ditutupi oleh membrana sangat tipis, dan dataran kaki stapes ditahan oleh yang

agak tipis, atau struktur berbentuk cincin. anulus jendela bulat maupun jendela oval mudah

mengalami robekan. Bila ini terjadi, cairan dari dalam dapat mengalami kebocoran ke telinga

tengah kondisi ini dinamakan fistula perilimfe.

Tuba eustachii yang lebarnya sekitar 1mm panjangnya sekitar 35 mm,

menghubngkan telingah ke nasofaring. Normalnya, tuba eustachii tertutup, namun dapat

terbuka akibat kontraksi otot palatum ketika melakukan manuver Valsalva atau menguap atau

menelan. Tuba berfungsi sebagai drainase untuk sekresi dan menyeimbangkan tekanan dalam

telinga tengah dengan tekanan atmosfer.

Anatomi Telinga Dalam

Telinga dalam tertanam jauh di dalam bagian tulang temporal. Organ untuk

pendengaran (koklea) dan keseimbangan (kanalis semisirkularis), begitu juga kranial VII

(nervus fasialis) dan VIII (nervus koklea vestibularis) semuanya merupakan bagian dari

komplek anatomi. Koklea dan kanalis semisirkularis bersama menyusun tulang labirint.

Page 6: THT1

Ketiga kanalis semisi posterior, superior dan lateral erletak membentuk sudut 90 derajat satu

sama lain dan mengandung organ yang berhubungan dengan keseimbangan. Organ ahir

reseptor ini distimulasi oleh perubahan kecepatan dan arah gerakan seseorang.

Koklea berbentuk seperti rumah siput dengan panjang sekitar 3,5 cm dengan dua

setengah lingkaran spiral dan mengandung organ akhir untuk pendengaran, dinamakan organ

Corti. Di dalam lulang labirin, namun tidak sem-purna mengisinya,Labirin membranosa

terendam dalam cairan yang dinamakan perilimfe, yang berhubungan langsung dengan cairan

serebrospinal dalam otak melalui aquaduktus koklearis. Labirin membranosa tersusun atas

utrikulus, akulus, dan kanalis semisirkularis, duktus koklearis, dan organan Corti. Labirin

membranosa memegang cairan yang dina¬makan endolimfe. Terdapat keseimbangan yang

sangat tepat antara perilimfe dan endolimfe dalam telinga dalam; banyak kelainan telinga

dalam terjadi bila keseimbangan ini terganggu. Percepatan angular menyebabkan gerakan

dalam cairan telinga dalam di dalam kanalis dan merang-sang sel-sel rambut labirin

membranosa. Akibatnya terja¬di aktivitas elektris yang berjalan sepanjang cabang vesti-bular

nervus kranialis VIII ke otak. Perubahan posisi kepala dan percepatan linear merangsang sel-

sel rambut utrikulus. Ini juga mengakibatkan aktivitas elektris yang akan dihantarkan ke otak

oleh nervus kranialis VIII. Di dalam kanalis auditorius internus, nervus koklearis (akus-dk),

yang muncul dari koklea, bergabung dengan nervus vestibularis, yang muncul dari kanalis

semisirkularis, utrikulus, dan sakulus, menjadi nervus koklearis (nervus kranialis VIII). Yang

bergabung dengan nervus ini di dalam kanalis auditorius internus adalah nervus fasialis

(nervus kranialis VII). Kanalis auditorius internus mem-bawa nervus tersebut dan asupan

darah ke batang otak.

II. Fisiologi Sistema Auditiva et Equilibrium

Telinga terdiri dari tiga bagian : telinga luar, tengah, dan dalam. Bagian luar dan tengah

telinga menyalurkan gelombang suara dari udara ke teelinga dalam yang berisi cairan, untuk

memperkuat energi suara dalam proses tersebut. Telinga dalam berisi dua sistem sensorik

yang berbeda : koklea, yang mengandung reseptor-reseptor untuk mengubah gelombang

suara menjadi impuls-impuls saraf, sehingga kita dapat mendengar dan apparatus vestibularis,

yang penting untuk sensasi keseimbangan. (Sherwood, 2001)

a. Fisiologi Pendengaran

Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara adalah

getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan tinggi karena

Page 7: THT1

kompresi (pemampatan) molekul-molekul udara berselang-seling dengan daerah-daerah

bertekanan rendah karena penjarangan (rarefaction) molekul tersebut.

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalm

bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut

menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang

pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran

dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang

telah diaplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap longjong

sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana

Reissner yang mendorong endolimfe, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara

membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang

menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan

terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses

depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang

akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus

auditorius sampai korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis. (Soetirto et al,

2007)

Pada proses transmisi gelombang suara, gerakan cairan di dalam perilimfe

ditimbulkan oleh getaran jendela oval mengikuti dua jalur (1) melalui skala vestibuli,

mengitari helicotrema, dan melalui skala timpani menyebabkan jendela bundar bergetar,

dan (2) “jalan pintas” dari skala vestibuli melalui membrana basilaris ke skala timpani.

Jalur pertama hanya menyebabkan penghamburan energi suara, tetapi jalur kedua

mencetuskan pengaktifan reseptor untuk suara dengan membengkokkan rambut di sel-sel

rambut sewaktu organ corti pada bagian atas membrana basilaris yang bergetar,

mengalami perubahan posisi terhadap membrana tektorial di atasnya. Berbagai bagian dari

membrana basilaris bergetar secara maksimal pada frekuensi yang berbeda-beda. Ujung

membrana basilaris yang pendek dan kaku, yang terletak paling dekat dengan jendela oval,

bergetar maksimum pada nada berfrekuensi tinggi. Membrana basilaris yang lebar dan

lentur dekat helicotrema bergetar maksimum pada nada-nada berfrekuensi rendah.

(Sherwood, 2001)

b. Fisiologi Sistem Keseimbangan

Selain perannya dalam pendengaran yang bergantung pada koklea, telinga dalam

memiliki komponen khusus lain, yakni aparatus vestibularis, yang memberikan informasi

yang penting untuk sensasi keseimbangan dan untuk koordinasi gerakan-gerakan kepala

Page 8: THT1

dengan gerakan-gerakan mata dan postur tubuh. Aparatus vestibularis terdiri dari dua set

struktur yang terletak di dalam tulang temporalis di dekat koklea-kanalis semisirkularis

dan organ otolit, yaitu utrikulus dan sakulus.

Akselerasi (percepatan) atau deselerasi (perlambatan) selama rotasi kepala ke segala

arah menyebabkan pergerakan endolimfe, paling tidak, di salah satu kanalis semisirkularis

karena susunan tiga dimensi kanalis tersebut. Ketika kepala mulai bergerak, saluran tulang

dan bubungan sel rambut yang terbenam dalam kupula bergerak mengikuti gerakan

kepala. Namun, cairan di dalam kanalis, yang tidak melekat ke tengkorak, mula-mula

tidak ikut bergerak sesuai arah rotasi, tetapi tertinggal di belakang karena adanya inersia

(kelembaman).

Ketika endolimfe tertinggal saat kepala mulai berputar, endolimfe yang terletak

sebidang dengan gerakan kepala pada dasarnya bergeser dengan arah yang berlawanan

dengan arah gerakan kepala. Gerakan cairan ini menyebabkan kupula condong ke arah

yang yang berlwanan dengan arah gerakan kepala, membengkokkan rambut-rambut

sensorik yang ada di dalamnya. Apabila gerakan kepala berlanjut ke dalam arah dan

kecepatan yang sama, endolimfe akan menyusul dan bergerak bersama dengan kepal,

sehingga rambut-rambut kembali ke posisi tegak.

Ketika kepala melambat dan berhenti, keadaan yang sebaliknya terjadi. Endolimfe

secara singkat melanjutkan diri bergerak searah dengan rotasi kepala sementara kepala

melambat untuk berhenti. Akibatnya, kupula dan rambut-rambutnya secara sementara

membengkok sesuai dengan arah rotasi semula, yaitu berlawanan dengan arah mereka

membengkok ketika akselerasi. Pada saat endolimfe secara bertahap berhenti, rambut-

rambut kembali tegak.

Dengan demikian, kanalis semisirkularis mendeteksi perubahan kecepatan gerakan

rotasi kepala. Kanalis tidak berespons jika kepala tidak bergerak atau ketika bergerak

secara sirkuler dengan kecepatan tetap. (Sherwood, 2001)

III. Patofisiologi Keluhan

a. Tinitus

Pendekatan untuk mempelajari etiologi tinnitus dapat dilakukan dengan membedakan

tinnitus menjadi 2 kelompok besar yaitu tinnitus obyektif dan tinnitus subyektif.

Tinnitus obyektif adalah jika suara yang didengar oleh penderita dapat didengar pula

oleh pemeriksa, sedangkan pada tinnitus subyektif suara hanya terdengar oleh

penderita saja (Lockwood et.al., 2002).

Page 9: THT1

Sebagian besar tinnitus sebyektif disebabkan oleh hilangnya kemampuan pendengaran

(hearing loss), baik sensorineural ataupun konduktif. Gangguan pendengaran yang

paling sering menyebabkan tinnitus subyektif adalah NIHL (noise induced hearing

loss) karena adanya sumber suara eksternal yang terlalu kuat impedansinya             

(Crummer & Hassan, 2004).

Sumber suara yang terlalu keras dapat menyebabkan tinnitus subyektif dikarenakan

oleh impedansi yang terlalu kuat. Suara dengan impedansi diatas 85 dB akan membuat

stereosilia pada organon corti terdefleksi secara lebih kuat atau sudutnya menjadi lebih

tajam, hal ini akan direspon oleh pusat pendengaran dengan suara berdenging, jika

sumber suara tersebut berhenti maka stereosilia akan mengalami pemulihan ke posisi

semula dalam beberapa menit atau beberapa jam. Namun jika impedansi terlalu tinggi

atau suara yang didengar berulang-ulang (continous exposure) maka akan

mengakibatkan kerusakan sel rambut dan stereosilia, yang kemudian akan

mengakibatkan ketulian (hearing loss) ataupun tinnitus kronis dikarenakan oleh adanya

hiperpolaritas dan hiperaktivitas sel rambut yang berakibat adanya impuls terus-

menerus kepa ganglion saraf pendengaran (Folmer et. al., 2004).

Tinnitus obyektif banyak disebabkan oleh adanya abonormalitas vascular yang

mengenai fistula arteriovenosa congenital, shunt arteriovenosa, glomus jugularis, aliran

darah yang terlalu cepat pada arteri carotis (high-riding carotid) stapedial artery

persisten, kompresi saraf-saraf pendengaran oleh arteri, ataupun dikarenakan oleh

adanya kelainan mekanis seperti adanya palatal myoclonus, gangguan temporo

mandibular joint, kekauan muscullus stapedius pada telinga tengah (Folmer et.

al., 2004)

b. .Vertigo

Patomekanisme BPPV dapat dibagi menjadi dua, antara lain :

Teori Cupulolithiasis

Pada tahun 1962 Horald Schuknecht mengemukakan teori ini untuk menerangkan

BPPV. Dia menemukan partikel-partikel basofilik yang berisi kalsiurn karbonat

dari fragmen otokonia (otolith) yang terlepas dari macula utriculus yang sudah

berdegenerasi, menernpel pada permukaan kupula. Dia menerangkan bahwa

kanalis semisirkularis posterior menjadi sensitif akan gravitasi akibat partikel

yang melekat pada kupula. Hal ini analog dengan keadaan benda berat diletakkan

di puncak tiang, bobot ekstra ini menyebabkan tiang sulit untuk tetap stabil, malah

cenderung miring. Pada saat miring partikel tadi mencegah tiang ke posisi netral.

Page 10: THT1

Ini digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala penderita

dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike). KSS

posterior berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara

utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan pusing (vertigo).

Perpindahan partikel otolith tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang

menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya pusing dan nistagmus.

Teori Canalithiasis

Tahun1980 Epley mengemukakan teori canalithiasis, partikel otolith bergerak

bebas di dalam KSS. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan partikel ini

berada pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang paling bawah. Ketika

kepala direbahkan ke belakang partikel ini berotasi ke atas sarnpai ± 900 di

sepanjang lengkung KSS. Hal ini menyebabkan cairan endolimfe mengalir

menjauhi ampula dan menyebabkan kupula membelok (deflected), hal ini

menimbulkan nistagmus dan pusing. Pembalikan rotasi waktu kepala ditegakkan

kernbali, terjadi pembalikan pembelokan kupula, muncul pusing dan nistagmus

yang bergerak ke arah berlawanan. Model gerakan partikel begini seolah-olah

seperti kerikil yang berada dalam ban, ketika ban bergulir, kerikil terangkat

sebentar lalu jatuh kembali karena gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut

memicu organ saraf dan menimbulkan pusing. Dibanding dengan teori

cupulolithiasis teori ini lebih dapat menerangkan keterlambatan "delay" (latency)

nistagmus transient, karena partikel butuh waktu untuk mulai bergerak. Ketika

mengulangi manuver kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin kurang efektif

dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal inilah yag dapat menerangkan

konsep kelelahan "fatigability" dari gejala pusing.

IV. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Fisik

Otoskopi telinga kanan didapatkan: discharge mukopurulen kemungkinan penyebabnya

otitis eksterna atau otitis media dan granuloma bisa berasal dari cholesteatoma yang

merupakan komplikasi dari OMSK (Otitis Media Supuratif Kronis).

Normalnya terdapat beberapa rambut dan serumen pada liang telinga. Sedangkan pada

membran timpani normalnya berwarna putih mutiara dan reflek cahaya normal

berbentuk kerucut warna seperti air raksa. Bayangan kaki maleus jelas kelihatan bila

terdapat retraksi membrane timpani ke arah dalam. Perforasi umumnya berbentuk bulat.

Bila disebabkan oleh trauma biasanyaberbentuk robekan dan di sekitarnya terdapat

Page 11: THT1

bercak darah. Lokasi perforasi dapat di atik (di daerah pars flaksida), di sentral (di pars

tensa dan di sekitar perforasi masih terdapat membran) dan di marginal (perforasi

terdapat di pars tensa dengan salah satu sisinya langsung berhubungan dengan sulkus

timpanikus) Gerakan membran timpani normal dapat dilihat dengan memakai balon

otoskop. Pada sumbatan tuba Eustachius tidak terdapat gerakan membran timpani ini.

(Sayuti, 2012)

Rinoskopi anterior terdapat: discharge seromukous, konka hipertrofi, livide,

kemungkinan penyebabnya dalah rhinitis alergi. (Irawati, 2002)

Saat pemeriksaan diperhatikan keadaan :

- Rongga hidung, luasnya lapang/sempit( dikatakan lapang kalau dapat dilihat

pergerakan palatum mole bila pasien disuruh menelan), adanya sekret, lokasi serta

asal sekret tersebut.

- Konka inferior, konka media dan konka superior warnanya merah muda (normal),

pucat atau hiperemis. Besarnya, eutrofi, atrofi, edema atau hipertrofi.

- Septum nasi cukup lurus, deviasi, krista dan spina.

- Jika terdapat sekret kental yang keluar daridaerah antara konka media dan konka

inferior kemungkinan sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid

anterior, sedangkan sekret yang terdapat di meatus superior berarti sekret berasal

dari sinus etmoid posterior atau sinus sphenoid.

- Massa dalam rongga hidung, seperti polip atau tumor perlu diperhatikan

keberadaannya.

- Asal perdarahan di rongga hidung, krusta yang bau dan lain-lain perlu

diperhatikan.

Pemeriksaan pharing didapatkan: mukosa hiperemi, hal ini menendakan terjadinya

infeksi pada pharing. (Nasution, 2008)

Dua per tiga bagian depan lidah ditekan dengan spatula lidah kemudian diperhatikan :

1. Dinding belakang faring : warnanya, licin atau bergranula, sekret ada atau tidak

dan gerakan arkus faring.

2. Tonsil : besar, warna, muara kripti, apakah ada detritus, adakah perlengketan

dengan pilar, ditentukan dengan lidi kapas (Sayuti, 2012)

V. Diagnosis Banding

1) Rhinitis Alergi

ETIOLOGI

Page 12: THT1

Penyebab rinitis alergi berbeda-beda bergantung pada apakah gejalanya musiman,

perenial, ataupun sporadik/episodik. Beberapa pasien sensitif pada alergen multipel,

dan mungkin mendapat rinitis alergi perenial dengan eksaserbasi musiman. Ketika

alergi makanan dapat menyebabkan rinitis, khususnya pada anak-anak, hal tersebut

ternyata jarang menyebabkan rinitis alergi karena tidak adanya gejala kulit dan

gastrointestinal.

Untuk rinitis alergi musiman, pencetusnya biasanya serbuksari (pollen) dan spora

jamur. Sedangkan untuk rinitis alergi perenial pencetusnya bulu binatang, kecoa,

tikus, tungau, kasur kapuk, selimut, karpet, sofa, tumpukan baju dan buku-buku.

Alergen inhalan selalu menjadi penyebab. Serbuksari dari pohon dan rumput, spora

jamur, debu rumah, debris dari serangga atau tungau rumah adalah penyebab yang

sering. Alergi makanan jarang menjadi penyebab yang penting. Predisposisi genetik

memainkan bagian penting. Kemungkinan berkembangnya alergi pada anak-anak

adalah masing-masing 20% dan 47%, jika satu atau kedua orang tua menderita alergi.

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :

Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu

rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur

Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,

telur, coklat, ikan dan udang

Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin

atau sengatan lebah

Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan

mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan

PATOFISIOLOGI

Terdiri dari 2 tahap:

Page 13: THT1

1. Tahap sensitisasi

2. Reaksi alergi, terdiri dari 2 fase :

Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC), sejak kontak alergen sampai 1 jam

setelahnya

Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL), yang berlangsung 2-4 jam dengan

puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan berlangsung 24-48 jam

KLASIFIKASI

Saat ini, menurut WHO-ARIA, dibagi menjadi

Berdasarkan terdapatnya gejala :

a. Rinitis alergi intermiten: Gejala terdapat < 4 hari/minggu atau < 4 minggu

b. Rinitis alergi persisten: Gejala terdapat > 4 hari/minggu dan > 4 minggu

Berdasarkan tingkat ringan beratnya penyakit:

a. Ringan, berarti tidak terdapat salah satu dari :

o Gangguan tidur

o Gangguan aktifitas sehari-hari/malas/olahraga

o Gangguan pekerjaan atau sekolah

o Gejala dirasakan mengganggu

b. Sedang-berat, berarti didapatkan satu atau lebih hal-hal di atas

GEJALA KLINIK

Page 14: THT1

Adapun gejala Rhinitis Alergi adalah :

- Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari (umumnya

bersin lebih dari 6 kali).

- Hidung tersumbat.

- Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi

biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau

kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.

- Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.

- Badan menjadi lemah dan tak bersemangat

Beberapa gejala lain yang tidak khas adalah  :

- allergic shiner bayangan gelap di bawah mata.

- allergic salute Gerakan mengosok-gosokan hidung pada anak- anak

- allergi crease, timbulnya g aris pada bagian depan hidung.

DIAGNOSIS

Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji

laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat

keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas

merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik

meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah

pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan pemeriksaan

eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih terbatas pada

bidang penelitian.

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan :

Anamnesis

Pemeriksaan rinoskopi anterior

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid

disertai adanya sekret encer yang banyak.

Hitung eosinofil dalam darah tepi

Dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper

radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda

alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga

menderita asma bronkial atau urtikaria.

Uji kulit

Page 15: THT1

Untuk mencari alergen penyebab secara invivo. Jenisnya skin end-point tetration/SET

(uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri), prick test (uji

cukit), scratch test (uji gores), challenge test (diet eliminasi dan provokasi) khusus

untuk alergi makanan (ingestan alergen) dan provocative neutralization

test atau intracutaneus provocative food test (IPFT) untuk alergi makanan (ingestan

alergen)

PENATALAKSANAAN

Adapun beberapa cara penatalaksaan dari Rhinitis Alergi itu seperti :

1.  Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen

penyebab. Hindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

Keduanya merupakan terapi paling ideal. Eliminasi untuk alergen ingestan (alergi

makanan)

2. Simtomatis. Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan

simpatomimetik, kortikosteroid dan sodium kromoglikat. jika gejala utama

sumbatan hidung akibat repon fase lambat tidak berhasil diatasi oleh obat

lain. Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 adalah obat yang sering

dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi atau dengan kombinasi

dekongestan oral. Obat Kortikosteroid dipil

3. Operatif. Konkotomi merupakan tindakan memotong konka nasi inferior yang

mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka nasi

inferior menggunakan kauterisasi yang memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

4. Imunoterapi. Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan

medikamentosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang

tidak dapat dikompromi. Imunoterapi menekan pembentukan IgE. Imunoterapi

juga meningkatkan titer antibodi IgG spesifik. Jenisnya ada desensitisasi,

hiposensitisasi & netralisasi. Desensitisasi dan hiposensitisasi membentuk

blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat,

berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi tidak

membentuk blocking antibody dan untuk alergi inhalan.

KOMPLIKASI

1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan

polip hidung.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

3. Sinusitis paranasal.

Page 16: THT1

4. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang lama

khususnya pada anak-anak.

5. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar mendapat

asma bronkial.

PROGNOSIS

Banyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus

(khususnya pada anak-anak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan

sistem imun yang menjadi kurang sensitif pada alergen.

2) Otitis Media Akut

PENGERTIAN

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-

tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik

dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual,

muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada

pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003).

Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan

membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada

membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore

(Kerschner, 2007).

ETIOLOGI

1. Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian,

65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi

bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong

sebagai non-patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga

jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae

(40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis

(10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti

Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic), Staphylococcus aureus, dan

organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif

banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di rumah

sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis

mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang

dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).

Page 17: THT1

2. Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau

bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai

pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau

adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus,

rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi

tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri,

menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme

farmakokinetiknya (Kerschner, 2007).

FAKTOR RESIKO

Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik,

status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula,

lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital,

status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba

Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007). Faktor umur

juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA pada bayi dan

anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang atau imatur

tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga

masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi

dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan

Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan

ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh,

seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi

rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA

pada anak-anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-

anak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok

menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan

anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain

seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan

adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi

tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah.

Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas

atas, baik bakteri atau virus (Kerschner, 2007).

PATOFISIOLOGI

Page 18: THT1

Patofisiologi OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran

pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa

saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius

menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila

keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus

atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Mukosa

telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang

berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan

mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga

tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi.

Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi

serta terjadi akumulasi sekret ditelinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba

patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan

mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba

Eustachius. Virus respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri,

sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret

dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu

karena membran timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas

terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek

membran timpani akibat tekanannya yang meninggi (Kerschner, 2007). Obstruksi

tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal. Faktor

intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul

edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian

besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari

tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor

ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).

STADIUM OTITIS MEDIA AKUT

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi

membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga

tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan

posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema

yang terjadi pada tubaEustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain

retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan,

Page 19: THT1

atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat

dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang

disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar,

2007; Dhingra, 2007).

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi

Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang

ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya

sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba

yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik.

Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi

kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien

mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin

masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses

hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di

kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu

hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

3. Stadium Supurasi

Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau

bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada

mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur.

Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran

timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini,

pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di

telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak.

Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi

dapat disertai muntah dan kejang. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak

ditangani dengan baik akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat

timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi

penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat

tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani

meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan

berwarna kekuningan atau yellow spot. Keadaan stadium supurasi dapat

ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan

menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari

Page 20: THT1

telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan

menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih

sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali

jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

4. Stadium Perforasi

Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa

nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga

luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini

sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi

kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh

menurun dan dapat tertidur nyenyak. Jika mebran timpani tetap perforasi dan

pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka

keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut

tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka

keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

5. Stadium Resolusi

Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya

dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani

berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret

purulen akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal.

Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika membran timpani

masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah. Apabila stadium

resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik.

Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan

sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul. Otitis media

supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis

media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami

perforasi membran timpani (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

GEJALA KLINIS

Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak

yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di

samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya.

Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat

gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar.

Page 21: THT1

Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai

39,5°C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit

waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang

sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga,

suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar, 2007).

PENATALAKSANAAN

1. Pengobatan Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya.

Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas,

dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik.

Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi

intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki

fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan

memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).

2. Pembedahan

Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren,

seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi

(Buchman, 2003).

a) Miringotomi

Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya

terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya

adalah harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang

sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi

ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat,

miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah

(Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri

berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis,

labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-

line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik

pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis

dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap

terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur

(Kerschner, 2007).

b) Timpanosintesis

Page 22: THT1

Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan

pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan

sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi

antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru

lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Menurut Buchman (2003),

pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi

telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan

plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah

dijalankan.

c) Adenoidektomi

KOMPLIKASI

Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses

subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi

tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough

(2003) dalam Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi

intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis,

labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses

otak, tromboflebitis).

PROGNOSIS

Prognosis pada OMA baik bila diberikan terapi yang adekuat (Antibiotic yang tepat

dan dosis yang cukup).

3) Otitis Media Supuratif Kronis

PENGERTIAN

Otitis media supuratif kronis adalah infeksi kronis dii telinga tengah dengan perforasi

membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang

timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah. (Djaafar et.al,

2007).

Pengertian lain OMSK adalah radang kronik telinga tengah dengan perforasi

membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan,

baik terus menerus atau hilang timbul. OMSK juga merupakan peradangan akibat

infeksi mukoperiosteum kavitas timpani yang ditandai oleh perforasi membran

timpani dengan sekret yang keluar terus menerus atau hilang timbul selama lebih dari

3 bulan dan dapat menyebabkan perubahan patologik yang permanen. Ada juga yang

Page 23: THT1

memberi batas waktu 6 minggu untuk terjadinya awal proses kronisitas pada OMSK.

Sekret yang keluar mungkin serosa, mukus atau purulen. (Utami, 2010).

ETIOLOGI

Sebagian besar OMSK merupakan kelanjutan dari Otitis Media Akut (OMA) dan

sebagian kecil disebabkan oleh perforasi membran timpani akibat trauma telinga.

Kuman penyebab biasanya kuman gram positif aerob, pada infeksi yang sudah

berlangsung lama sering juga terdapat kuman gram negatif dan kuman anaerob.

Kuman penyebab OMSK antara lain kuman Staphylococcus aureus (26%),

Pseudomonas aeruginosa (19,3%), Streptococcus epidermidimis (10,3%), gram positif

lain (18,1%) dan kuman gram negatif lain (7,8%). Biasanya pasien mendapat infeksi

telinga ini setelah menderita saluran napas atas misalnya influenza atau sakit

tenggorokan. Melalui saluran yang menghubungkan antara hidup dan telinga (tuba

Auditorius), infeksi di saluran napas atas yang tidak diobati dengan baik dapat

menjalar sampai mengenai telinga.

FAKTOR PREDISPOSISI

Faktor predisposisi kronisitas otitis media diduga karena :

1. Disfungsi tuba auditoria kronik, infeksi fokal seperti sinusitis kronik,

adenoiditis kronik dan tonsilitis kronik yang menyebabkan infeksi kronik atau

berulang saluran napas atas dan selanjutnya mengakibatkan udem serta

obstruksi tuba auditoria. Beberapa kelainan seperti hipertrofi adenoid, celah

palatum mengganggu fungsi tuba auditoria. Gangguan kronik fungsi tuba

auditoria menyebabkan proses infeksi di telinga tengah menjadi kronik,

2. Perforasi membran timpani yang menetap menyebabkan mukosa telinga

tengah selalu berhubungan dengan udara luar. Bakteri yang berasal dari

kanalis auditorius eksterna atau dari luar lebih leluasa masuk ke dalam telinga

tengah menyebabkan infeksi kronik mukosa telinga tengah.

3. Pseudomonas aeruginusa dan Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang

tersering diisolasi pada OMSKB, sebagian besar telah resisten terhadap

antibiotika yang lazim digunakan. Ketidaktepatan atau terapi yang tidak

adekuat menyebabkan kronisitas infeksi.

4. Faktor konstitusi, alergi merupakan salah satu faktor konstitusi yang dapat

menyebabkan kronisitas.

PATOFISIOLOGI

Page 24: THT1

Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi otitis media supuratif

kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses infeksi kurang dari 2

bulan, disebut otitis media supuratif subakut. Beberapa faktor yang menyebabkan

OMA menjadi OMSK ialah terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya

tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau higiene buruk. (Djaafar, et.al, 2007)

OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa = tipe beniga)

dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang = tipe maligna). Berdasarkan aktivitas sekret yang

keluar dikenal juga OMSK aktif dan OMSK tenang. OMSK aktif ialah OMSK dengan

sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif, sedangkan OMSK tenang ialah

yang keadaan kavum timpaninya terlihat basah atau kering. (Djaafar, et.al, 2007)

Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja, dan biasanya

tidak mengenai tulang.Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe aman

jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe aman tidak

terdapat kolesteatoma. (Djaafar, et.al, 2007)

Yang disebut OMSK tipe maligna adalah OMSK yang disertai dengan kolesteatoma.

OMSK ini dikenal juga dengan OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe tulang. Perforasi

pada OMSK tipe bahaya letaknya marginal atau di atik, kadang – kadang terdapat

juga kolesteatoma pada OMSK dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi

yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe bahaya. (Djaafar, et.al, 2007)

MANIFESTASI KLINIS

Pasien mengeluh otore, vertigo, tinitus, rasa penuh di telinga, atau gangguan

pendengaran. Mengingat bahaya komplikasi OMSK maligna harus dideteksi sejak

dini. Diagnosis pasti ditegakkan pada penemuan di kamar operasi. Beberapa tanda

klinis sebagai pedoman adalah perforasi pada marginal atau atik, abses atau fistel

retroaurikuler, polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari

telinga tengah, kolesteatom pada telinga tengah, sekret berbentuk nanah atau berbau

khas. (Mansjoer, et.al, 2007)

PENEGAKAN DIAGNOSIS

Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan THT terutama

pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan penala merupakan pemeriksaan sederhana untuk

mengetahui adanya gangguan pendengaran untuk mengetahui adanya gangguan

pendengaran. Untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran dapat

dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni, audiometri tutur, dan pemeriksaan

Page 25: THT1

BERA (brainstem evoked response audiometry) bagi pasien/anak yang tidak

kooperatif dengan pemeriksaan audiometri nada murni.

Pemeriksaan penunjang lain berupa foto rontgen mastoid serta kultur dan uji resistensi

kuman dari sekret telinga. (Djaafar, et.al, 2007)

PENATALAKSANAAN

Terapinya sering lama dan berulang ulang karena :

1. Adanya perforasi membran timpani yang permanen

2. Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung, dan sinus paranasal

3. Telah terbentuk jaringan patologik yang ireversible dalam rongga mastoid

4. Gizi dan kebersihan yang kurang (Mansjoer, et.al, 2007)

Prinsip terapi OMSK benigna adalah konservatif atau medikamentosa. Bila sekret

keluar terus, diberikan obat cuci telinga, yaitu larutan H2O2 3% selama 3-5 hari.

Setelah sekret berkurang atau bila sudah tenang, dilanjutkan dengan obat tetes telinga

yang mengandung antiniotik kortikosteroid, tidak lebih dari 1- 2 minggu karena obat

bersifat ototostik. Antibiotik oral dari golongan ampisilin atau eritromisisn diberikan

sebelum hasil tes resistensi diterima. Pasien dianjurkan tidak berenang dan

menghindari masuknya air ke dalam telinga. (Mansjoer, et.al, 2007)

Bila sekret telah kering namun perforasi tetap ada setelah diobservasi selama 2

bualan, maka harus dirujuk untuk miringoplasti atau timpanoplasti. Sumber infeksi

harus diobati lebih dulu, kalau perlu dengan pembedahan. (Mansjoer, et.al, 2007)

Prinsip terapi OMSK maligna adalah pembedahan, yaitu mastoidektomi dengan atau

tanpa timpanoplasti. Terapi medikamentosa hanya bersifat sebelum pembedahan.

Operasi direncanakan secepatnya untuk memperbesar kemungkinan keberhasilan dan

memperkecil risiko komplikasi. Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikular, maka

dilakukan insisi abses tersendiri sebelum mastoidektomi. (Mansjoer, et.al, 2007)

KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

Paralisis nervus fasialis, fistula labirin, labirintis, labirintis supuratif, petrositis,

tromboflebitis sinus lateral, abses ekstradual, abses subdural, meningitis, abses otak,

dan hidrosefalus otitis. (Mansjoer, et.al, 2007)

o OMSK tipe benigna :

OMSK tipe benigna tidak menyerang tulang sehingga jarang menimbulkan

komplikasi, tetapi jika tidak mencegah invasi organisme baru dari nasofaring

Page 26: THT1

dapat menjadi superimpose otitis media supuratif akut eksaserbsi akut dapat

menimbulkan komplikasi dengan terjadinya tromboplebitis vaskuler.

Prognosis dengan pengobatan local, otorea dapat mongering. Tetapi sisa perforasi

sentral yang berkepanjangan memudahkan infeski dari nasofaring atau bakteri dari

meatus eksterna khususnya terbawa oleh air, sehingga penutupan membrane

timpani disarankan.

o OMSK tipe maligna :

Komplikasi dimana terbentuknya kolesteatom berupa :

- erosi canalis semisirkularis

- erosi canalis tulang

- erosi tegmen timpani dan abses ekstradural

- erosi pada permukaan lateral mastoid dengan timbulnya abses subperiosteal

- erosi pada sinus sigmoid

Prognosis kolesteatom yang tidak diobati akan berkembang menjadi meningitis, abes

otak, prasis fasialis atau labirintis supuratif yang semuanya fatal. Sehingga OMSK

type maligna harus diobati secara aktif sampai proses erosi tulang berhenti.

4) Otitis Media Non Supuratif

Otitis media non supuratif nama lain adalah otitis media musinosa, otitis media efusi,

otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis media mucoid (glue ear). Otitis

media efusi (OME) adalah keadaan terdapatnya sekret yang nonpurulen di telinga

tengah, sedangkan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi disebut juga otitis

media dengan efusi. Apabila efusi tersebut encer disebut otitis media serosa dan

apabila efusi tersebut kental seperti lem disebut otitis media mukoid (glue ear).

OME adalah salah satu penyakit yang paling sering terjadi pada anak. Pada populasi

anak, OME dapat timbul sebagai suatu kelainan short-term menyertai suatu infeksi

saluran pernapasan atas (ISPA), ataupun sebagai proses kronis yang disertai gangguan

dengar berat, keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa, gangguan

keseimbangan, hingga perubahan struktur membrana timpani dan tulang pendengaran.

ETIOLOGI

1. Kegagalan fungsi tuba Eustachi.

2. Alergi

Page 27: THT1

3. Otitis media yang belum sembuh sempurna

Terapi antibiotik yang tidak adekuat pada OMSA dapat menonaktifkan infeksi

tetapi tidak dapat menyembuhkan secara sempurna. Akan menyisakan infeksi

dengan grade yang rendah Proses ini dapat merangsang mukosa untuk

menghasilkan cairan dalam jumlah banyak. Jumlah sel goblet dan kelenjar

mukus juga bertambah.

4. Infeksi virus

Berbagai virus adeno dan rino pada saluran pernapasan atas dapat menginvasi

telinga tengah dan merangsang peningkatan produksi sekret.

PATOFISIOLOGI

OME dapat terjadi sepanjang stadium resolusi dari OMA setelah melewati stadium

hiperemis. Pada anak-anak yang menderita OMA, sebanyak 45% akan menjadi efusi

yang persisten setelah 1 bulan, tetapi jumlah ini berkurang menjadi 10% setelah 3

bulan.

Dalam kondisi normal, mukosa telinga bagian dalam secara konstan mengeluarkan

sekret, yang akan dipindahkan oleh mukosiliari ke dalam nasopharynx melalui tuba

Eustachi. Sebagai konsekuensi, faktor yang mempengaruhi produksi sekret yang

berlebihan, klirens sekret yang optimal, atau kedua-duanya dapat mengakibatkan

pembentukan suatu cairan di telinga tengah.

Infeksi (peradangan) yang disebabkan bakteri dan virus dapat mendorong peningkatan

produksi dan kekentalan sekret di dalam mukosa telinga tengah. Infeksi yang

mengarah kepada peradangan mukosa yang edema dapat menyebabkan obstruksi tuba

Eustachi. Kelumpuhan silia yang sementara yang disebabkan oleh eksotoksin bakteri

akan menghambat proses penyembuhan dari OME. Ada dua mekanisme utama yang

menyebabkan OME:

1. Kegagalan fungsi tuba Eustachi.

Kegagalan fungsi tuba Eustachi untuk pertukaran udara pada telinga tengah dan

juga tidak dapat mengalirkan cairan.

2. Peningkatan produksi sekret dalam telinga tengah.

Dari hasil biopsi mukosa telinga tengah pada kasus OME di dapatkan

peningkatan jumlah sel yang menghasilkan mukus atau serosa.

Page 28: THT1

Terjadi akibat terganggunya faktor pertahanan tubuh yang bertugas menjaga

kesterilan telinga tengah. Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran

napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat

saluran Eustachius. Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat

menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar

saluran, tersumbatnya saluran menyebabkan transudasi, dan datangnya sel-sel darah

putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan

mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga

tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan

lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang

telinga.

Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena

gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ

pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran

yang dialami umumnya sekitar 24 dB (bisikan halus). Namun cairan yang lebih

banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45 dB (kisaran

pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat,

cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena

tekanannya.

Saat lahir tuba Eustchius berada pada bidang paralel dengan dasar tengkorak, sekitar

10 derajat dari bidang horisontal, dan memiliki lumen yang pendek dan sempit.

Semakin bertambah usia, terjadi perubahan bermakna, terutama saat mencapai usia 7

tahun, di mana lumen tuba Eustchius lebih panjang dan lebar, serta ujung proksimal

tuba Eustchius di nasofaring terletak 2-2.5 cm di bawah orifisium tuba Eustchius di

telinga tengah atau membentuk sudut 45 derajat terhadap bidang horisontal telinga.

Dengan struktur yang demikian, pada anak usia.

Terjadi penurunan yang tajam dari prevalensi terjadinya OME pada anak-anak dengan

usia diatas 7 tahun, yang menandakan meningkatnya fungsi tuba Eustachi dan

matangnya sistem imun.

Barotrauma adalah keadaan dengan terjadinya perubahan tekanan yang tiba-tiba

diluar telinga tengah sewaktu di pesawat terbang atau penyelam, yang menyebabkan

tuba gagal untuk membuka. Apabila perbedaan tekanan melebihi 90 cmHg, maka otot

Page 29: THT1

yang normal aktivitasnya tidak mampu membuka tuba. Pada keadaan ini terjadi

tekanan negatif di rongga telinga tengah, sehingga cairan keluar dari pembuluh

kapiler mukosa dan kadang-kadang disertai ruptur pembuluh darah, sehingga cairan di

telinga tengahdan rongga mastoid tercampur darah.

DIAGNOSIS

Diagnosis OME seringkali sulit ditegakkan karana prosesnya sendiri yang kerap tidak

bergejala (asimptomatik), atau dikenal dengan silent otitis media. Dengan absennya

gejala seperti nyeri telinga, demam, ataupun telinga berair, OME sering tidak

terdeteksi baik oleh orang tuanya, guru, bahkan oleh anaknya sendiri.10

Gejala klinik meliputi:

a. Berkurangnya fungsi pendengaran. Keadaan ini sering ditemukan dan kadang-

kadang satu-satunya gejala. Onsetnya tersembunyi dan jarang melebihi 40 dB.

Ketulian bisa saja tidak terdeteksi oleh orang tua dan mungkin ditemukan secara

tidak sengaja pada saat dilakukan skrining tes audiometri.

b. Percakapan yang lambat dan bisu. Disebabkan oleh ketulian, perkembangan dari

fungsi percakapan menjadi lambat atau bisu.

c. Sakit pada telinga tengah. Hal ini mungkin disebabkan adanya infeksi pada

saluran pernapasan atas.

Lazimnya diagnosis OME dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik telinga dengan

menemukan cairan di belakang membran timpani yang normalnya translusen.

Pemeriksaan otoskopik dapat memperlihatkan:

Membran timpani yang retraksi (tertarik ke dalam), nyeri tumpul, dan opaque yang

ditandai dengan hilangnya refleks cahaya. Warna membran timpani bisa merah muda

cerah hingga biru gelap. Processus brevis maleus terlihat sangat menonjol dan

processus longus tertarik medial dari membran timpani.

PENATALAKSANAAN

Pengobatan OME langsung diarahkan untuk memperbaiki ventilasi normal telinga

tengah. Untuk kebanyakan penderita, kondisi ini diperoleh secara alamiah, terutama

jika berasosiasi dengan ISPA yang berhasil disembuhkan. Artinya banyak OME yang

Page 30: THT1

tidak membutuhkan pengobatan medis. Akan lebih baik menangani faktor

predisposisi-nya, misalnya: jika dikarenakan barotrauma, maka aktivitas yang

berpotensi untuk memperoleh barotrauma berikutnya, seperti: penerbangan atau

menyelam, sebaiknya dihindarkan. Strategi lainnya adalah menghilangkan atau

menjauhkan dari pengaruh asap rokok, menghindarkan anak dari fasilitas penitipan

anak, menghindarkan berbagai alergen makanan atau lingkungan jika anak diduga

kuat alergi atau sensitif terhadap bahan-bahan tersebut.

Pengobatan pada barotrauma biasanya cukup dengan cara konservatif saja, yaitu

dengan memberikan dekongestan lokal atau dengan melakukan perasat Valsava

selama tidak terdapat infeksidi jalan napas atas. Apabila cairan atau cairan yang

bercampur darah menetap di telinga tengah sampai beberapa minggu, maka

dianjurkanuntuk tindakan miringotomi dan bila perlu memasang pipa ventilasi

(Grommet).

Usaha pereventif terhadap barotrauma dapat dilakukan dengan selalu mengunyah

permen karet atau melakukan perasat Valsalva, terutama sewaktu pesawat terbang

mulai turun untuk mendarat.

Jika OME ternyata menetap dan mulai bergejala, maka pengobatan medis mulai

diindikasikan, seperti :

1. Antihistamin atau dekongestan

2. Mukolitik

3. Antibiotik

4. Kortikosteroid

KOMPLIKASI

Otitis media yang tidak diatasi juga dapat menyebabkan kehilangan pendengaran

permanen. Cairan di telinga tengah dan otitis media kronik dapat mengurangi

pendengaran anak serta menyebabkan masalah dalam kemampuan bicara dan bahasa.

Otitis media dengan efusi didiagnosis jika cairan bertahan dalam telinga tengah

selama 3 bulan atau lebih. Komplikasi dapat berupa:

Infeksi telinga akut

Kista di telinga tengah

Page 31: THT1

Kerusakan permanen dari telinga dengan hilang fungsi pendengaran yang

parsial/sebagian atau seluruhnya.

Skar pada membran timpani (timpanosklerosis).

Kesulitan berbicara dan berbahasa

Kolesteatoma.

PROGNOSIS

Otitis media efusi biasanya akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu minggu atau

bulan. Penatalaksanaan yang tepat dapat mempercepat proses penyembuhan. Selama

cairan masih terakumulasi di tengah telinga, maka akan mengurangi fungsi

pendengaran. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan bahasa pada anak-anak.

Gangguan ini tidak akan menjadi ancaman bagi kehidupan tetapi dapat

mengakibatkan komplikasi serius.

5) Otitis Eksterna

Otitis eksterna adalah radang liang telinga luar baik akut maupun kronis yang

disebabkan oleh bakteri dan dapat terlokalisir atau difus. Kondisi liang telinga yang

gelap dan lembab menyebabkan bakteri dan jamur mudah berkembang. Faktor yang

mempermudah terjadinya otitis eksterna adalah perubahan pH di liang telinga luar

yang biasanya asam menjadi basa menyebabkan proteksi terhadap infeksi menurun.

Trauma ringan pada liang telinga yang terjadi saat berenang (swimmer’s ear) atau

membersihkan telinga secara berlebihan juga bisa menyebabkan timbulnya otitis

eksterna.

ETIOLOGI

Sekitar 98% otitis eksterna disebabkan aleh Pseudomonas aeroginosa. Kasus sisanya

mungkin disebabkan oleh Proteus vulgaris, Escherichia coli, S. aureus dan jamur

seperti Candida albicans, Aspergillus sp dan Mucor sp. Pada kasus Otitis eksterna

bakterialis, kulit liang telinga berwarna merah dan biasanya edamatosa kadang-

kadang sampai tingkat yang menyumbat total liang tersebut. Selain itu ada beberapa

faktor predisposisi yang dapat memicu terjadinya otitis eksterna :

Faktor endogen

Page 32: THT1

Keadaan umum yang buruk akibat anemia, hipovitaminosis, diabetes mellitus, atau

alergi, imunodefisiensi, dan irigasi telinga. Diabetik (90 % ), diabetik merupakan

faktor resiko utama berkembangnya otitis eksterna maligna. Vaskulopati pembuluh

darah kecil dan disfungsi imun yang berhubungan dengan diabetik merupakan

penyebab utama predisposisi ini. Serumen pada pasien diabetik mempunyai pH

yang tinggi dan menurunnya konsentrasi lisosim mempengaruhi aktifitas

antibakteri lokal.Tidak perbedaan antara DM tipe I dan II.

Faktor eksogen

a)   Trauma karena tindakan mengorek telinga.

b)   Suasana lembab, panas, atau alkalis didalam MAE (Meatus Akustikus

Eksternus).

c)   Udara yang lembab dan panas menyebabkan oedema pada stratum korneum

kulit MAE, sehingga menurunkan resistensi kulit terhadap infeksi.

d)   Kelembaban kulit yang tinggi setelah berenang/mandi menyebabkan maserasi.

e)   Bentuk MAE yang tidak lurus menyulitkan penguapan dan mengakibatkan

kulit MAE lebih sering dalam keadaan lembab.

f)    Keadaan-keadaan tersebut menimbulkan rasa gatal yang mendorong penderita

mengorek telinga, sehingga trauma yang timbul akan memperhebat perjalanan

infeksi.

PATOFISIOLOGI

Otitis eksterna adalah penyakit yang sering diderita oleh semua orang. Otitis eksterna

seringkali ditunjukkan adanya infeksi bakteri akut dari kulit canalis auricularis tapi

juga dapat disebabkan adanya infeksi jamur. Adanya lekukan pada liang telinga dan

adanya kelembaban dapat menyebabkan laserasi dari kulit dan merupakan media yang

bagus untuk pertumbuhan bakteri. Hal ini sering terjadi setelah berenang dan mandi.

Otitis eksterna ini sering terjadi jika suasana panas dan lembab.

Faktor lain yang dapat menyebabkan otitis eksterna adalah adanya trauma pada liang

telinga yang diikuti invasi bakteri kedalam kulit yang rusak trauma ini sering terjadi

akibat dari pembersihan liang teling dengan cotton bud ataupun alat lain yang

Page 33: THT1

dimasukkan ke dalam telinga. Selain itu masuknya air atau bahan iritan atau hair spray

atau cat rambut dapat menyebabkan otitis eksterna

Sebagai akibatnya terjadi respon inflamasi, edema dan pembengkakan liang telinga

yang akan menyebabkan visualisasi membran timpani terganggu. Eksudat dan pus

dapat terproduksi di liang telinga. Pada keadaan yang berat, infeksi dapat meluas pada

wajah dan leher. Kuman pathogen yang sering kali menyebabkan otitis eksterna

adalah Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus dan bakteri gram negatif

lainnya. Meskipun demikian, jamur, seperti Candida atau Aspergilus sp dapat

menyebabkan otitis eksterna.

Hal ini terjadi karena adanya penimbunan sel-sel kulit yang mati dan serumen yang

menumpuk didaerah dekat gendang telinga menyebabkan penimbunan air yang masuk

ke liang telinga ketika mandi atau berenang sehingga kulit pada liang telinga basah

dan lembut.

Ballenger membagi otitis eksterna dalam tiga bentuk, yaitu :

Otitis eksterna peradangan, dibagi tiga : telokalisasi, akut difusa dan kronik difusa

Otitis eksterna eksematoid

Otitis eksterna seboroid

GEJALA

Dua gejala yang khas yang dijumpai pada otitis eksterna yaitu otalgia dan otorea.

Otalgia bisa diawali dengan rasa gatal dalam liang telinga. Rasa nyeri timbul akibat

edema yang menyertainya. Sedangkan otorea yang terbentuk bisa berbentuk encer

atau bisa juga purulen bila bercampur dengan nanah dan sel-sel epitel yang ikut

terkelupas. Jika discharge yang keluar berbau amis atau busuk, disebabkan oleh

bakteri saprofit dan jamur dalam liang telinga. Sedangkan gejala predominannya

adalah gatal, rasa penuh pada telinga atau keluar cairan dari telinga.

PENEGAKAN DIAGNOSIS

Diagnosis otitis eksterna dapat ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa terdapat riwayat telinga dikorek atau

berenang. Pemeriksaan fisik akan ditemukan rasa nyeri atau sakit saat daun telinga

dan tragus disentuh atau ditekan. Pemeriksaan dengan spekulum atau otoskop

didapatkan liang telinga yang hiperemis, edema dan akumulasi debris pada liang

telinga. Membrana timpani kadang tidak terlihat karena liang telinga yang edema.

Page 34: THT1

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah kultur dari sekret atau discharge

yang keluar dari liang telinga untuk menentukan jenis bakteri atau jamur sehingga

dapat diberikan terapi dengan antibiotik yang tepat.

TERAPI

Ada beberapa prinsip yang paling mendasar untuk terapi otitis eksterna, yaitu:

Membersihkan liang telinga dengan teliti dan hati-hati ( Ear Toilet ), jika liang telinga

edema maka pembersihan harus menunggu sampai peradangan mereda

Mengatasi rasa sakit dan peradangan dengan cara pengompresan liang telinga dengan

tampon yang sudah ditetesi larutan Burowi atau ichtyol 10%. Selain itu dapat juga

diberikan obat tetes telinga selama ± 3 hari

Pengasaman liang telinga dilakukan untuk mengurangi kelembaban yang tinggi pada

liang telinga.

Penggunaan antibiotik, jenis antibiotik yang digunakan bisa berupa topikal bisa juga

obat tetes. Pemakaian antibiotik topikal biasanya lebih efektif untuk terapi otitis

eksterna. Sedangkan untuk antibiotik tetes telinga tidak boleh digunakan lebih dari 2-

3 minggu.

Mencegah faktor predisposisi

KOMPLIKASI

Otitis eksterna maligna merupakan komplikasi dari otitis eksterna yang terjadi pada

pasien yang mengalami imunocompresi atau pasien yang mendapatkan radioterapi

pada tulang kepala. Pada kondisi ini bakteri akan meninvasi jaringan lunak yang

dalam dan menyebabkan oeteomielitis pada os temporal. Manifestasi klinisnya gatal-

gatal, keluar cairan berbau busuk dari liang telinga, jika saluran telinga membengkak

atau terisi nanah dan sel-sel kulit mati maka bisa terjadi gangguan pendengaran.

Selain itu, akan timbul nyeri apabila daun telinga ditarik atau ditekan atau terkadang

muncul nyeri spontan saat membuka mulut.

PROGNOSIS

Hampir semua pasien dengan otitis ekterna akan membaik selama satu minggu sampai

sepuluh hari. Pemeriksaan yang berulang, pembersihan dan pengeringan liang telinga

merupakan faktor terpenting untuk memperoleh penyembuhan otitis eksterna.

Pengobatan pada keadaan awal akan lebih baik jika menunggu infeksi sampai parah.

Page 35: THT1

BAB III

PEMBAHASAN

Page 36: THT1

BAB IV

PENUTUP

VI. Kesimpulan

Dari diskusi tutorial skenario 1 dapat disimpulkan bahwa mula mula pasien

menderita rinitis alergi sejak remaja karena ketika terpapar debu pasien jadi pilek dan

hidung tersumbat. Efek dari infeksi saluran pernafasan atas yang lama tersebut, bisa

menyebabkan terjadinya obstruksi pada tuba auditiva eustachius sehingga terjadi tekanan

negatif pada cavum tympani. Hal ini mengakibatkan mukosa dan sel sel di cavum tympani

menjadi terserap sehingga terjadi oedem yaitu keluarnya cairan intravaskuler ke

interseluler yang lama kelamaan akan penuh di cavum tympani. Hal ini dapat

menyebabkan perforasi pada membran tympani.

Berawal dari etiologi di atas, timbulah otitis media akut pada pasien dari stadium

oklusi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi. Karena pengobatan otitis

media akut tersebut tidak berjalan dengan baik otitis media akut berkembang menjadi

otitis media supuratif kronis. Komplikasi dari otitis media supuratif kronis dapat berupa

kolesteatoma, myringitis, dan labirinitis yang menimbulkan vertigo pada pasien. 

VII. Saran

Seharusnya pasien menghindari faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya alergi.

Sebaiknya pasien segera mendapat penatalaksaan yang adekuat sehingga tidak terjadi

komplikasi.

Page 37: THT1

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC

Irawati. 2002. Universitas Sumatera Utara

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21493/4/Chapter%20II.pdf (Diakses 21

Agustus 2013)

Nursiah, Siti. 2003. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan terhadap Beberapa

Antibiotika di Bagian THT FK USU / Rsup.H. Adam Malik Medan. Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-siti

%20nursiah.pdf (Diakses 21 Agustus 2013)

Soetirto, Indro, Hendarmin, Hendarto, dan Bashiruddin, Jenny. 2007. Gangguan

Pendengaran dan Kelainan Telinga dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,

Tenggorok, Kepala & Leher. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.

Nasution, Minasari. 2008. Infeksi Laring Faring. Universitas Sumatera Utara.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1150/1/08E00706.pdf

(Diakses 21 Agustus 2013)

Sayuti, Kemala. 2012. Gangguan Indra Khusus (Mata, Kulit dan THT) Edisi Ke –1.

Universitas Andalas. http://fk.unand.ac.id/images/BLOK_3.6_update.pdf (Diakses 21

Agustus 2013)

Asroel, Harry A. 2010. Otitis Eksterna. Fakultas Kedokteran Sumatera Utara : Divisi Otologi

– THT KL.

Diakses pada ocw.usu.ac.id/course/download/.../sss155_slide_otitis_eksterna.pdf (31

September 2013)