1 ABSTRAK Peneliti menganalisis responsivitas ketaatan perusahaan-perusahaan yang tercatat di BEJ terhadap peraturan board governance yang dikeluarkan oleh BEJ berdasarkan variabel besar aset perusahaan, umur go public, dan industri. Peneliti menemukan bahwa reponsivitas ketaatan emiten yang terbagi berdasarkan kategori industri terhadap aturan board governance berbeda secara signifkan. Di sisi lain, responsivitas ketaatan emiten yang terbagi berdasarkan kategori besar aset dan umur go public tidaklah berbeda secara signifikan. Emiten yang berada pada industri bank dan sektor keuangan lebih respon/taat dalam menerapkan aturan board governance dibandingkan perusahaan-perusahaan lain yang berada dalam indutri lain selain bank dan sektor keuangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa responsivitas ketaatan emiten terhadap aturan board governance adalah lebih disebabkan karena faktor industri. Peneliti juga meneliti hubungan komposisi dan struktur board governance perusahaan. Peneliti menemukan bahwa nilai perusahaan lebih dipengaruhi oleh faktor- faktor di luar komposisi dan struktur board governance. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas board governance yang secara teori bisa mengurangi agency cost yang kemudian bisa meningkatkan nilai perusahaan tidak berjalan.
112
Embed
THESIS repaired ok - Website Staff UIstaff.ui.ac.id/system/.../users/siti.nuryanah/publication/thesisok.pdf · Peneliti menganalisis responsivitas ketaatan perusahaan-perusahaan yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
ABSTRAK
Peneliti menganalisis responsivitas ketaatan perusahaan-perusahaan yang tercatat
di BEJ terhadap peraturan board governance yang dikeluarkan oleh BEJ berdasarkan
variabel besar aset perusahaan, umur go public, dan industri. Peneliti menemukan bahwa
reponsivitas ketaatan emiten yang terbagi berdasarkan kategori industri terhadap aturan
board governance berbeda secara signifkan. Di sisi lain, responsivitas ketaatan emiten
yang terbagi berdasarkan kategori besar aset dan umur go public tidaklah berbeda secara
signifikan. Emiten yang berada pada industri bank dan sektor keuangan lebih respon/taat
dalam menerapkan aturan board governance dibandingkan perusahaan-perusahaan lain
yang berada dalam indutri lain selain bank dan sektor keuangan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa responsivitas ketaatan emiten terhadap aturan board governance adalah
lebih disebabkan karena faktor industri.
Peneliti juga meneliti hubungan komposisi dan struktur board governance
perusahaan. Peneliti menemukan bahwa nilai perusahaan lebih dipengaruhi oleh faktor-
faktor di luar komposisi dan struktur board governance. Hal ini menunjukkan bahwa
efektivitas board governance yang secara teori bisa mengurangi agency cost yang
kemudian bisa meningkatkan nilai perusahaan tidak berjalan.
2
ABSTRACT
I analyze the responsiveness of listed companies’ compliance with board
governance regulation, authorized by JSX, based on the asset’s size, the age of emiten
listed in JSX, and the industries. I find that the responsiveness of listed companies’
compliance categorized by the industries is significantly different. On the other hand, the
responsiveness of listed companies’ compliance categorized by the asset’s size and the
age of emiten listed in JSX is not significantly different. The listed companies in the
banking and financial sector industry are more responsive to comply the board
governance regulation than the other listed companies in the other industries. So that, I
conclude that the responsiveness of listed companies’ compliance with board governance
regulation is because of industry factor.
I also investigate the relationship between the board governance’s composition
and structure, and the value of the firm. I find that the firm value is influenced by factors
other than the board governance’s composition and structure. This result proves that the
effectiveness of board governance, which theoretically will reduce the agency cost and
the end result is increase the value of the firm, is not working.
3
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Alloh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tiada kata
yang layak terucap selain syukur kepada Sang Maha Kuasa karena-Nya lah pada akhirnya
tesis ini selesai. Tak ada daya dan upaya kecuali kekuatan dari Alloh Yang Maha
Perkasa, akhirnya penulis mampu menyelesaikan amanah ini.
Penulis mengucapkan terima kasih tiada hingga kepada papa yang telah
meluangkan waktunya pada saat adek membutuhkan bantuannya. Penulis juga
mengucapkan terima kasih tiada tara kepada mama tersayang yang selalu mendukung dan
memotivasi adek dalam setiap kesempatan. Penulis juga mengahaturkan terima kasih
kepada shahabat-shahabat yang selalu memberikan motivasi ruhiyah dalam setiap
kesempatan. Tak lupa, penulis ucapkan terima kasih kepada shahabat-shahabat di pasca
yang selalu saling mengingatkan dalam setiap waktu. Terima kasih tiada hingga penulis
haturkan kepada pembimbing thesis yang telah meluangkan waktu dan memberikan ide-
idenya sehingga selesailah tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada
seluruh pihak yang tak bisa disebutkan satu persatu yang telah turut andil dalam
penyelesaian tesis ini. Penulis berdo’a kepada Alloh Yang Maha Penyayang agar semua
pihak tersebut diberikan balasan yang lebih besar atas pertolongan yang telah diberikan
kepada penulis.
Pada akhirnya penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan,
namun demikian inilah hasil optimal yang penulis bisa persembahkan kepada almamater
tercinta dan dunia penelitian. Semoga penulis bisa menyempurnakannya di lain
kesempatan dan semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi berbagai pihak.
Lampiran F: Data Pengujian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Responsivitas
7
Emiten dalam Menerapkan Aturan Board Governanace (Aturan
Mengenai Struktur dan Komposisi Board Governanace)..........................98
Lampiran G: Data Pengujian Hubungan Board Governanace dengan Nilai
Perusahaan ...............................................................................................109
8
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Agency problems merupakan isu yang tiada habis dibahas dalam berbagai literatur
dan penelitian. Hal ini disebabkan karena agency problems berpengaruh terhadap
penciptaan nilai perusahaan dan kekayaan pemilik. Isu agency problems semakin populer
dan meluas dalam bentuk yang lebih kompleks, yaitu corporate governance.
Konsep corporate governance pada intinya merupakan perluasan konsep yang
mengatur hubungan antara pemilik dengan manajemen perusahaan atau agency problems.
Adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan memungkinkan
timbulnya agency problems, yaitu kondisi dimana pengelola perusahaan (manajer) tidak
bekerja secara optimal dalam rangka memaksimalkan kekayaan pemilik. Fama dan
Jensen (1983a) menyatakan bahwa agency problems disebabkan adanya sistem
pengambilan keputusan yang terpisah antara manajemen (initiation dan implementation)
dan pihak pengawas (ratification dan monitoring) dari keputusan-keputusan penting pada
seluruh tingkatan organisasi. Füerst dan Sok-Hyon (2000) menyatakan bahwa berbagai
penelitian, diantaranya penelitian Jensen dan Meckling (1976) dan Shleifer dan Vishny
(1997), menunjukkan bahwa pemisahan kepemilikan dan pengelolaan perusahaan
membawa kepada kondisi dimana manajer akan menghambur-hamburkan kekayaan
pemilik perusahaan.
Penelitian tiada henti berkaitan dengan agency problems bertujuan untuk mencari
9
solusi untuk mengeliminasi atau meminimalisasi biaya yang timbul akibat agency
problems. Kumar dan Sivaramakrishnan (2002) menyatakan bahwa berbagai penelitian
dan para ekonom memandang dewan direksi merupakan respon perusahaan terhadap
agency conflict antara pemilik dan manajer, yaitu pada saat adanya biaya transaksi yang
signifikan berkaitan dengan pemonitoran dan perolehan informasi. Jensen dan Smith Jr.
(2000) mengemukakan lebih jauh upaya pemecahan agency problems, yaitu: 1).
Pembuatan struktur hirarki dimana keputusan yang dibuat oleh agen tingkat bawah harus
melalui agen di atasnya terlebih dahulu sebelum diratifikasi dan kemudian dimonitor; 2).
Boards of directors yang bertugas untuk meratifikasi dan memonitor keputusan-
keputusan penting yang dibuat agen, dan juga bertugas untuk mempekerjakan, memecat
dan memberikan kompensasi manajer tingkat atas; 3). Pembentukan struktur insentif
yang kemudian bisa menciptakan situasi dimana agen-agen pengambil keputusan saling
memonitor.
Krisis ekonomi 1997 yang terjadi di Asia menyebabkan negara-negara di Asia
menjadi laboratorium penelitian. Penelitian-penelitian tersebut bertujuan untuk mencari
tahu penyebab terjadinya krisis ekonomi. Penelitian McKinsey & Company dalam
Sunarsip (2001), penelitian CLSA dalam Setianto (2002), dan penelitian IICG dalam
Djalil (2001) secara garis besar menyatakan bahwa mengerucut pada satu hal yaitu salah
satu penyebab krisis yang terjadi di Asia pada tahun 1997-an adalah karena buruknya tata
kelola perusahaan atau corporate governance. Penelitian-penelitian tersebut menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara yang paling buruk dalam penerapan corporate
governance.
Untuk memenuhi tuntutan pasar, pihak regulator Indonesia, dalam hal ini Badan
10
Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan Bursa Efek Jakarta (BEJ), berupaya memperbaiki
corporate governance perusahaan-perusahaan Indonesia. Hal itu antara lain dituangkan
dalam code for good corporate governance dan peraturan yang berkaitan dengan tata
kelola perusahaan atau corporate governance, yaitu Keputusan Direksi PT Bursa Efek
Jakarta Nomor: Kep-315/BEJ/062000 butir C mengenai Komisaris Independen, Komite
Audit dan Sekretaris Perusahaan.
Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: Kep-315/BEJ/062000 butir C mengenai Komisaris Independen, Komite Audit dan Sekretaris Perusahaan. Nomor 1: Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance), perusahaan tercatat wajib memiliki: a. Komisaris Independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan
jumlah saham yang dimiliki oleh bukan Pemegang Saham Pengendali dengan ketentuan jumlah Komisaris Independen sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari jumlah seluruh anggota komisaris;
b. Komite Audit; c. Sekretaris perusahaan (Corporate Secretary).
Board governance di Indonesia mengacu pada model two-tier board structures
yang di dalamnya terdapat supervisory boards (board of commissioners) yang bertugas
melakukan supervisi, dan the board of management (board of directors) yang berperan
sebagai eksekutif. UU No. 1/1995 dalam Niki Lukviarman (2002) dinyatakan bahwa
kedua dewan ini dipilih, diberhentikan dan bertanggung jawab kepada pemegang saham
melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Peran internal control dalam kaitannya dengan
corporate governance dipegang oleh dewan komisaris. Hal ini mengacu pada Code for
Good Corporate governance yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Corporate
governance (Maret 2000), yaitu:
Function of the Komisaris: Principle. The Komisaris shall be responsible, and have authority for, supervising
11
the policies and actions of the Direksi, and giving advice to the Direksi where required.
Sedangkan dewan direksi berperan sebagai agen atau manajemen yang melaksanakan
aktivitas sehari-hari. Hal ini mengacu pada Code for Good Corporate governance, yaitu:
Function of the Direksi: Principle. The Direksi are charged with the overall management of the company.
Dalam upaya melaksanakan fungsinya, dewan komisaris dibantu oleh komite audit.
Adapun definisi dari komite audit berdasarkan Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta
Nomor: Kep-315/BEJ/062000 butir A, adalah:
Komite Audit adalah komite yang dibentuk oleh Dewan Komisaris Perusahaan Tercatat yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Komisaris Perusahaan Tercatat untuk membantu Dewan Komisaris Perusahaan Tercatat melakukan pemeriksaan atau penelitian yang dianggap perlu terhadap pelaksanaan fungsi direksi dalam pengelolaan Perusahaan Tercatat.
Berdasarkan Code for Good Corporate governance mereka bertugas untuk:
The duties of the Audit Committee should include: 1 Promoting corporate discipline and a controlled environment to prevent fraud
and abuse; 2 Improving the quality of financial disclosure and reporting; 3 Reviewing the scope, accuracy and cost effectiveness of external audit and the
independence and objectivity of the external auditors.
Secara spesifik berdasarkan Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor: Kep-
315/BEJ/062000 butir C Nomor 4, tugas mereka adalah:
Komite Audit bertugas untuk memberikan pendapat profesional yang independen kepada Dewan Komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi kepada Dewan Komisaris serta mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian Dewan Komisaris, yang antara lain meliputi: a. Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan oleh
12
perusahaan seperti Laporan Keuangan, proyeksi dan informasi keuangan lainya;
b. Menelaah independensi dan objektifitas akuntan publik; c. Melakukan penelaahan atas kecukupan pemeriksaan yang dilakukan oleh
akuntan publik untuk memastikan semua risiko yang penting telah dipertimbangkan;
d. Melakukan penelaahan atas efektifitas pengendalian internal perusahaan; e. Menelaah tingkat kepatuhan Perusahaan Tercatat terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan peraturan perundangan lainnya yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan;
f. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan adanya kesalahan dalam keputusan rapat direksi atau penyimpangan dalam pelaksanaan hasil keputusan rapat direksi. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan oleh Komite Audit atau pihak independen yang ditunjuk oleh Komite Audit atas biaya Perusahaan Tercatat yang bersangkutan.
Kumar dan Sivaramakrishnan (2002) menyatakan bahwa peran dari board
governance dalam hal pemonitoran terhadap manajemen berbeda dengan peran auditor
independen dan financial analyst. Hal ini karena board governance bisa mempengaruhi
manajemen secara langsung, board governance ikut serta dalam pengevaluasian dan
penyetujuan aktivitas manajemen. Untuk menjamin kualitas tata kelola perusahaan, maka
komposisi board governance dan hal-hal berkaitan dengan yang mempengaruhi kinerja
board governance, yaitu memonitor kinerja manajer secara independen, menjadi penting.
Namun demikian akan muncul permasalahan baru yaitu pemonitoran kualitas board
governance merupakan subjek dari moral hazard. Hal ini kemudian membuat pemilik
perusahaan menjadi peduli akan cara membuat dewan pengawas menjadi efektif.
Zahra dan Pearce (1989) dan Maassen (1999) dalam Korac-Kakabadse,
Kakabadse dan Kouzmin (2001) membagi literatur board governance dalam empat
bagian yaitu komposisi, karakteristik, struktur dan proses dari board governance.
Komposisi board governance mengacu pada size dari board governance dan bauran
demografi direksi (insiders/outsiders, male/female, foreign/local) dan tingkat keterlibatan
13
direksi afiliasi dalam perusahaan. Hambirick (1987) dan Zahra dan Pearce (1989) dalam
Korac-Kakabadse, Kakabadse dan Kouzmin (2001) juga menyatakan bahwa karakteristik
board governance berkaitan dengan latar belakang direktur, misalnya berkaitan dengan
pengalaman, masa kerja (tenure), latar belakang fungsional, independensi, kepemilikan
dan variabel-variabel lainnya yang mempengaruhi kepentingan dan kinerja direktur.
Maassen (1999) dalam Korac-Kakabadse, Kakabadse dan Kouzmin (2001) menyatakan
bahwa struktur board governance mengacu pada board organization, peran subsidiary
board dalam holding companies, board committees, independensi one-tier dan two-tier
boards secara formal, kepemimpinan board governance dan arus informasi antar struktur
board governance. Sedangkan mengenai proses board governance, Vence (1983) dan
Pettigrew (1992) dalam Korac-Kakabadse, Kakabadse dan Kouzmin (2001) berpendapat
bahwa hal ini mengacu pada aktivitas pengambilan keputusan, gaya dari board
governance, frekuensi dan lama dari rapat yang dilakukan, formalitas jadual dan budaya
board governance dalam mengevaluasi kinerja direksi.
Penelitian mengenai board governance telah banyak dilakukan. Namun demikian
hasil penelitian tersebut sangatlah bervariasi. Rowe dan Davidson (2002) menyatakan
bahwa penelitian secara umum berkaitan dengan komposisi dewan direksi dan keputusan
yang diambil dalam kondisi tertentu menemukan bahwa dewan yang independen akan
lebih mewakili kepentingan pemilik perusahaan. Penelitian-penelitian yang membuktikan
hal tersebut antara lain dalam kasus takeovers (Byrd dan Hickman, 1992; Cotter,
Shivdasani dan Zenner, 1997), management buyouts (Lee, Rosenstein, Rangan dan
Davidson, 1992), bankruptcy (Daily dan Dalton, 1994), management compensation
decisions (Conyon dan Peck, 1998; Core, Holthausen dan Larcker, 1999), CEO turnover
14
(Weisbach, 1988) dan poison pills (Brickley, Coles dan Terry, 1994). Di sisi lain
penelitian yang menemukan hubungan yang tidak signifikan antara komposisi dewan
dengan kinerja perusahaan, baik dalam hal ukuran akuntansi maupun Tobin’s q, antara
lain: Baysinger dan Butler (1985); Hermalin dan Weisbach (1991); Mehran (1995);
Dalton, Daily, Ellstrad dan Johnson (1998); dan Bhagat dan Black (2000).
Adanya hasil penelitian mengenai board governance yang bervariasi
membuktikan bahwa masih banyak hal yang masih bisa digali dalam masalah board
governance ini. Penelitian ini tidak hanya terbatas pada dewan komisaris tetapi juga
mengikutsertakan komite audit, dimana keduanya membentuk board governance
perusahaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa ungkapan board governance pada
penelitian ini mengacu kepada dewan komisaris dan komite audit.
Characteristics Director’s background, beliefs and attributes. Director’s orientation (internal/external). Insidedness External expertise Interest groups Asset impact
Structure Board leadership Efficiency of board structure (board leadership, activities amongst committees, flow of information among directors)
Process Intensity and quality of director’s interaction Interface between the CEO/chairperson and the board Levels of director consencus Process of board evaluation Comprehensiveness and explicitness of board proceedings and action Internal proceedings
Sumber: Korac-Kakabadse, Kakabadse dan Kouzmin (2001)
15
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
ketaaatan emiten di Bursa Efek Jakarta dalam menerapkan aturan board governance dan
juga melihat hubungan antara board governance emiten-emiten tersebut dengan nilai
perusahaan dengan menggunakan Tobin’s q sebagai ukurannya. Penelitian ini juga
bertujuan untuk mengkonfirmasi hasil penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya.
Pada penelitian ini peneliti hanya memfokuskan pada komposisi board governance, tidak
memasukkan struktur hirarki perusahaan dan struktur mekanisme insentif yang
dikemukakan oleh Jensen dan Smith Jr. (2000) sebagai mekanisme untuk membuat board
governance menjadi efektif.
Berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan di atas, yang
umumnya dilaksanakan di negara-negara maju. Penelitian ini mengambil kasus Indonesia
sebagai negara berkembang. Penelitian ini merupakan penelitian yang relatif baru di
Indonesia mengingat aturan board governance perusahaan yang mengacu pada code for
good corporate governance baru direspon perusahaan-perusahaan tercatat di BEJ dua
tahun terakhir ini, hal ini dikarenakan ada time lag antara pemberlakuan peraturan code
for good corporate governance dengan penerapan secara nyata di lapangan.
1. 2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui gambaran mengenai keragaman board governance emiten-emiten di
Bursa Efek Jakarta.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketaaatan emiten di Bursa Efek Jakarta
dalam menerapkan aturan board governance.
16
3. Mengetahui hubungan antara komposisi board governance perusahaan dengan nilai
perusahaan.
4. Mengkonfirmasi penelitian terdahulu mengenai komposisi board governance.
1. 3. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah literatur mengenai board
governance sehingga dapat bermanfaat bagi para akademisi, pihak regulator, para
investor dan juga pihak lainnya. Dengan mengetahui hubungan antara komposisi board
governance perusahaan dengan penciptaan nilai maka diharapkan pihak regulator bisa
mengambil kesimpulan apakah peraturan-peraturan yang ada benar-benar berpengaruh
terhadap penciptaan nilai perusahaan atau tidak. Pihak regulatorpun dapat mengambil
kebijakan lebih lanjut dengan membuat peraturan-peraturan yang mendukung terciptanya
perekonomian yang mantap, selain itu para investor diharapkan bisa mengambil
keputusan yang tepat dalam rangka mengalokasikan dana yang akan diinvestasikannya.
1. 4. Permasalahan Penelitian
Penelitian ini menyangkut dua permasalahan utama, yaitu: 1). Adakah keragaman
board governance dalam emiten-emiten di Bursa Efek Jakarta? 2). Apakah responsivitas
emiten dalam menerapkan aturan mengenai board governance dipengaruhi oleh faktor-
faktor tertentu? 3). Apakah hubungan antara komposisi board governance perusahaan
dengan nilai perusahaan sejalan dengan hasil penelitian-penelitian yang telah ada?
Permasalahan di atas dapat dirinci menjadi pertanyaan-pertanyaan penelitian
berikut ini:
17
1. Bagaimanakah gambaran umum komposisi board governance emiten di Bursa Efek
Jakarta?
2. Apakah besarnya perusahaan mempengaruhi responsivitas emiten dalam menerapkan
aturan mengenai board governance?
3. Apakah umur go public perusahaan mempengaruhi responsivitas emiten dalam
menerapkan aturan mengenai board governance?
4. Apakah jenis industri perusahaan mempengaruhi mempengaruhi responsivitas emiten
dalam menerapkan aturan mengenai board governance?
5. Adakah hubungan antara komposisi board governance perusahaan dengan nilai
perusahaan? Jika ada, bagaimanakah hubungannya dan sejalan dengan hasil
penelitian (yang telah ada) yang mana?
1. 5. Metodologi Penelitian
1.5.1. Studi literatur
Dalam studi literatur ini, peneliti menelaah literatur-literatur, baik berupa buku-
buku ilmiah maupun artikel maupun jurnal yang terkait dengan permasalahan yang
dibahas. Studi literatur ini merupakan bahan landasan teori untuk pembahasan
permasalahan yang akan diteliti dan juga bahan untuk menyusun instrumen penelitian.
1.5.2. Studi penelitian lapangan
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer yang dibutuhkan adalah data yang berkaitan dengan board governance
perusahaan. Sedangkan untuk data nilai perusahaan, peneliti memperolehnya dari laporan
keuangan perusahaan-perusahaan sampel terkait.
18
1.5.2.1. Populasi
Penelitian ini mengambil populasi perusahaan-perusahaan tercatat di Bursa Efek
Jakarta yang telah melaksanakan aturan board governance (yaitu berkaitan dengan dewan
komisaris dan komite independen) yang dikeluarkan oleh PT BEJ.
1.5.2.2. Instrumen penelitian
Penelitian ini menggunakan checklist untuk memperoleh pengorganisasian data
yang dibutuhkan. Peneliti menggunakan media telepon dan internet untuk melakukan
wawancara dengan responden.
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan metode binary logit dan regresi
berganda OLS (Ordinary Least Square). Metode binary logit digunakan untuk
mengetahui penyebab keragaman board governance emiten-emiten di Bursa Efek
Jakarta. Sedangkan, pengujian regresi berganda OLS (Ordinary Least Square) digunakan
untuk mengetahui hubungan antara komposisi board governance perusahaan dengan nilai
perusahaan. Peneliti menggunakan software SPSS untuk pengolahan data dan pengujian
model binary logit dan e-views v3.1. untuk pengolahan data dan pengujian model regresi.
Hal ini disebabkan karena software e-views v3.1 memberikan alat untuk mendeteksi
masalah-masalah yang menyebabkan model OLS tidak menjadi BLUE.
1. 6. Sistematika Penelitian
Penelitian ini terdiri dari lima bab, dimana pada bab satu peneliti menjelaskan
secara ringkas tentang alasan dilakukan penelitian, permasalahan, tujuan, manfaat dan
metodologi penelitian. Pada bab dua peneliti menyajikan landasan teori dan penelitian-
penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian. Pada bab tiga peneliti
19
menyajikan metodologi penelitian. Pada bab empat peneliti menyajikan analisis
penelitian dan pembahasan. Akhirnya, bab lima merupakan bab penutup yang berisi
kesimpulan dan saran.
20
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Agency Theory
Agency relationship merupakan kontrak dimana satu orang atau lebih
(principal(s)) mempekerjakan orang lain (agent) untuk melakukan tindakan atas nama
principal(s) yang termasuk di dalamnya pendelegasian beberapa otoritas pengambilan
keputusan kepada agen.
Spence dan Zeckhauser (1971) dan Ross (1973) memberikan analisis awal
berkaitan dengan isu ini, bahwa agency problem berkaitan dengan dengan penstrukturan
kompensasi agen, mengaitkan insentif agen dengan kepentingan principal. Jensen dan
Meckling (1976) menyatakan bahwa agency problems merupakan akibat konflik
kepentingan secara umum berkaitan dengan aktivitas perusahaan yang terjadi di antara
individu, baik yang terjadi dalam bentuk hirarki yang dikemukakan oleh the principal-
agent analogy.
Diskusi di atas menghasilkan dua pendekatan berkaitan dengan perkembangan
agency theory yaitu positive theory of agency dan principal-agent theory. Principal-agent
theory lebih bersifat matematis dan berorientasi non-empiris, dan berkonsentrasi pada
analisa preferensi dan assymetric information dan tidak terlalu fokus pada efek teknologi
terhadap contracting dan kontrol. Di sisi lain, theory of agency secara umum bersifat
tidak matematis dan berorientasi empiris. Meskipun keduanya ada perbedaan dalam hal-
hal tertentu, namun keduanya mengacu kepada contracting problem di antara individu-
21
individu yang memiliki kepentingan dan mengasumsikan bahwa dalam berbagai
hubungan kontrak, total biaya agen diminimalisasi.
Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan agency costs sebagai jumlah seluruh
biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan structuring, administering dan enforcing
contracts (baik formal maupun informal) ditambah residual loss. Enforcement costs
termasuk di dalamnya biaya monitoring dan bonding (pembentukan/pengikatan hubungan
yang ada), yaitu sejumlah sumber daya yang dihabiskan oleh principal dan agent untuk
menjamin berjalannya contract enforcement. Residual costs meliputi opportunity loss
(kesempatan yang hilang) pada saat kontrak yang telah optimal tetapi tidak dilaksanakan
secara sempurna. Sehingga dapat dikatakan bahwa agency costs mencakup seluruh
seluruh biaya yang mengacu pada contracting costs, transactions costs, moral-hazard
costs, dan information costs.
Beberapa agency costs dapat dikurangi dengan prosedur kontrol. Fama dan Jensen
(1983b) menganalisa cara pengendalian agency costs dengan menerapkan pembatasan
pada residual claims, misalnya dengan pembatasan kepemilikan kepada satu agen
pengambil keputusan utama atau lebih. Pembatasan ini ditujukan untuk menjamin bahwa
keputusan yang dibuat agen memberikan efek kesejahteraan sehingga bisa mengurangi
agency costs akibat outside ownership dari residual claims. Agency problems antara
manajer dan pemegang saham dalam perusahaan terbuka dapat dieliminasi dengan
menggabungkan fungsi prosedur pengendalian dan pembatasan residual claims.
Fama dan Jensen (1983b) menyatakan bahwa agency problem dikendalikan oleh
sistem pengambilan keputusan yang terpisah antara manajemen (initiation dan
implementation) dan pihak pengawas (ratification dan monitoring) dari keputusan-
22
keputusan penting pada seluruh tingkatan organisasi. Pemisahan dikatakan efektif jika
tidak ada manajer yang memiliki hak kontrol atas keputusan dimana atas keputusan
tersebut manajemen memiliki hak untuk mengelola. Sejalan dengan ini Jensen dan Smith
Jr. (2000) mengemukakan cara pemisahan manajemen dan pengawas, yang meliputi: 1).
Pembuatan struktur hirarki dimana keputusan yang dibuat oleh agen tingkat bawah harus
melalui agen di atasnya terlebih dahulu sebelum diratifikasi dan kemudian dimonitor; 2).
Boards of directors yang bertugas untuk meratifikasi dan memonitor keputusan-
keputusan penting yang dibuat agen, dan juga bertugas untuk mempekerjakan, memecat
dan memberikan kompensasi manajer tingkat atas; 3). Pembentukan struktur insentif
yang kemudian bisa menciptakan situasi dimana agen-agen pengambil keputusan saling
memonitor.
2.2. Corporate governance sebagai Solusi dari Agency Problems
Isu mengenai corporate governance merupakan hal yang baru, meskipun
demikian ungkapan governance bukanlah hal yang baru dalam konteks bisnis dan
organisasi. Dalam perkembangannya, para peneliti, akademisi dan pihak lainnya
memandang corporate governance dari berbagai sisi. Hal ini dapat dipahami karena
corporate governance mencakup berbagai kajian disiplin ilmu, sehingga sampai saat ini
belum ada definisi yang baku mengenai hal ini. Sekarang ini, perusahaan dituntut untuk
menerapkan good corporate governance untuk bisa bertahan dan bersaing dalam dunia
bisnis.
2.2.1. Definisi corporate governance
Berikut ini adalah definisi corporate governance menurut berbagai pihak dimana
jika dilihat lebih jauh, komponen-komponennya merupakan solusi dari agency problems:
23
1. Menurut Bank Dunia
Corporate governance adalah aturan dan standar organisasi di bidang ekonomi yang
mengatur perilaku pemilik perusahaan, direktur dan manajer serta perincian dan
penjabaran tugas dan wewenang serta pertanggungjawabannya kepada investor
(pemegang saham dan kreditur). Tujuan utama dari corporate governance adalah untuk
menciptakan sistem pengendalian dan keseimbangan (check and balances), mencegah
penyalahgunaan dari sumber daya perusahaan, dan tetap mendorong terjadinya
pertumbuhan perusahaan.
2. Menurut OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development)
Pranoto (2000) menyatakan definisi corporate governance menurut OECD yaitu cara-
cara manajemen perusahaan (yaitu para direktur) bertanggung jawab kepada pemiliknya
(yakni pemegang saham). Para pengambil keputusan atas nama perusahaan adalah dapat
dipertanggungjawabkan, menurut tingkatan yang berbeda pada pihak lain yang
dipengaruhi oleh keputusan tersebut, termasuk perusahaan itu sendiri, para pemegang
saham, kreditur dan para publik penanam modal.
Herwidayatmo (2000) menyatakan prinsip-prinsip corporate governance menurut OECD
meliputi:
a. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham.
Kerangka yang dibangun dalam corporate governance harus mampu melindungi hak-
hak para pemegang saham. Hak-hak tersebut meliputi hak dasar pemegang saham,
yaitu hak untuk:
1. Menjamin keamanan metode pendaftaran kepemilikan.
24
2. Mengalihkan atau memindahkan saham yang dimilikinya.
3. Memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara berkala dan
teratur.
4. Ikut berperan dan memberikan suara dalam RUPS.
5. Memilih anggota dewan komisaris dan direksi.
6. Memperoleh pembagian keuntungan perusahaan.
b. Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham.
Kerangka corporate governance harus menjamin adanya perlakuan yang sama
terhadap seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing.
Seluruh pemegang saham harus memiliki, kesempatan untuk mendapatkan
penggantian atau perbaikan atas pelanggaran dari hak-hak mereka. Prinsip ini juga
mensyaratkan adanya perlakuan yang sama atas saham-saham yang berada dalam satu
kelas, melarang praktik-praktik insider trading dan self dealing, dan mengharuskan
anggota dewan komisaris untuk melakukan keterbukaan, jika menemukan transaksi-
transaksi yang mengandung benturan (conflict of interest).
c. Peranan stakeholder yang terkait dengan perusahaan
Kerangka corporate governance harus memberikan pengakuan terhadap hak-hak
stakeholder, seperti ditentukan dalam undang-undang, dan mendorong kerjasama
yang aktif antara perusahaan dengan para stakeholder tersebut dalam rangka
menciptakan kesejahteraan, lapangan kerja, dan kesinambungan usaha.
d. Keterbukaan dan transparansi
Kerangka corporate governance harus menjamin adanya pengungkapan yang tepat
waktu dan akurat untuk setiap permasalahan yang berkaitan dengan perusahaan.
25
Pengungkapan ini meliputi informasi mengenai keadaan keuangan, kinerja
perusahaan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Disamping itu, informasi yang
diungkapkan harus disusun, diaudit dan di sajikan sesuai dengan standar yang
berkualitas tinggi. Manajemen juga diharuskan meminta auditor eksternal melakukan
audit yang bersifat independen atas laporan keuangan.
e. Akuntabilitas dewan komisaris (board of director)
Kerangka corporate governance harus menjamin adanya pedoman strategis
perusahaan, pemantauan yang efektif terhadap manajemen yang dilakukan oleh
dewan komisaris, dan akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan
pemegang saham. Prinsip ini juga memuat kewenangan-kewenangan yang harus
dimiliki oleh dewan komisaris beserta kewajiban-kewajiban profesionalnya kepada
pemegang saham dan stakeholders lainnya.
3. Menurut Asian Development Bank
Pranoto (2000) menyatakan bahwa corporate governance menurut Asian Development
Bank berdasarkan 4 pilar utama yaitu:
a. Akuntabilitas berarti tuntutan agar manajemen perusahaan memiliki kemampuan
answerability yaitu kemampuan untuk merespon pertanyaan dari stakeholder atas
berbagai corporate action yang mereka lakukan.
b. Transparansi berarti ketersediaan informasi yang akurat, relevan dan mudah
dimengerti yang dapat diperoleh secara low-cost.
c. Predictability berarti perusahaan beroperasi dilokasi yang memiliki keteraturan
hukum dan peraturan serta dalam konteks ekonomi memiliki kebijakan yang bersifat
fair, effective dan uniform.
26
d. Partisipasi, dibutuhkan untuk memperoleh data yang dapat dipercaya (reliable
information) serta untuk meningkatkan peran serta pihak stakeholder dalam proses
checking atas kebijakan yang dilakukan perusahaan.
4. Menurut Finance Committee on Corporate governance Malaysia
Pranoto (2000) menyatakan bahwa corporate governance menurut Finance Committee
on Corporate governance Malaysia adalah proses dan struktur yang digunakan untuk
mengarahkan dan mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke arah peningkatan
pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas korporat dengan tujuan akhir menaikkan nilai
saham dalam jangka panjang sambil memperhitungkan kepentingan stakeholder lain.
5. Menurut Surat Edaran Menteri Negara Pasar Modal dan Pengawas BUMN No.
S.106/M.PM P.BUMN/2000.
Good corporate governance adalah segala hal yang berkaitan dengan pengambilan
keputusan yang efektif yang bersumber dari budaya perusahaan, etika, nilai, sistem,
proses bisnis, kebijakan dan struktur organisasi perusahaan yang bertujuan untuk
mendorong dan mendukung adanya pengembangan perusahaan, pengelolaan sumber
daya dan risiko secara lebih efisien dan efektif, serta pertanggungjawaban perusahaan
kepada pemegang saham dan stakeholder lainnya.
Tabalujan (2002) menyatakan bahwa sekarang ini berkembang dua model dasar
teori corporate governance, yaitu the Anglo-American ‘market-based’ model dan
‘relationship-based’ market model. Model yang pertama menekankan pada
pemaksimalan nilai pemegang saham, sedangkan model kedua menekankan pada
pemaksimalan kepentingan kelompok pemegang saham yang lebih besar. Selain itu, pada
27
model pertama pasar modal memegang peranan penting dalam corporate control system,
sehingga dapat dikatakan pasar modal merupakan outsider control system. Lebih lanjut
Lukviarman (2002) menyatakan bahwa pada model kedua (yang berkembang di negara-
negara Eropa dan Jepang) peran pasar modal tidaklah signifikan, model ini bercirikan
pada adanya insider dominated control dimana struktur kepemilikan relatif stabil dan
terkonsentrasi pada sebagian pemegang saham. Kedua model ini belum memenuhi teori
corporate governance secara komprehensif, namun demikian kedua model ini cukup
mewakili praktik corporate governance yang aktual. Kedua model inipun pada
pelaksanaan di lapangan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti peraturan-peraturan
yang dibuat oleh regulator setempat. Klapper dan Love (2002) membuktikan bahwa
praktik corporate governance pada level perusahaan sangatlah penting pada lingkungan
yang kekuatan hukumnya lemah, selain itu disimpulkan pula bahwa praktik corporate
governance dan kinerja perusahaan relatif rendah pada lingkungan yang kekuatan
hukumnya lemah.
2.2.2. Corporate governance dan internal control mechanism
Tujuan utama dari sistem pengendalian internal adalah untuk memberikan
peringatan awal, mengembalikan organisasi kembali pada jalurnya sebelum kesulitan
mencapai tingkat kritis (Jensen, 2000). Dalam hal ini board of directors pada bagian apex
sistem pengendalian internal berperan sebagai penanggung jawab final dalam fungsi
perusahaan (Lukviarman, 2002).
Peran aktif dari board of directors dalam melakukan fungsinya bisa membuat
mekanisme governance menjadi efisien dan murah. Hal ini disebabkan karena
keberadaan board of directors bisa membatasi konflik potensial antara manajer dan
28
pemilik. Kondisi ini bisa dicapai jika board of directors bersifat independen dan memiliki
pengetahuan yang layak berkaitan dengan perusahaan.(Van Berghe dan De Ridder, 1999
dalam Lukviarman, 2002)
Dari seluruh uraian diatas dapat dikatakan bahwa definisi corporate governance
sejalan dengan yang dinyatakan oleh Turnbull (1997) yaitu menggambarkan seluruh hal
yang mempengaruhi proses institusional, termasuk di dalamnya hal-hal yang berkaitan
dengan pemilihan pihak pengawas dan/ atau pihak regulator, yang terlibat dalam
pengorganisasian produksi dan penjualan barang dan jasa. Corporate governance
meliputi suatu hubungan yang mempertemukan manajemen perusahaan, komisaris
perusahaan, pemegang saham dan stakeholder lainnya. Sistem corporate governance
memberikan struktur yang menetapkan objektif perusahaan dan peralatan yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang ada, serta sistem pengawasan untuk mengukur
kinerja. Prinsip ini “diharapkan” bisa mengatasi agency problems karena mampu
memberikan insentif kepada manajemen perusahaan untuk mencapai objektif yang telah
ditetapkan dan memberikan fasilitas pengawasan yang memadai sehingga perusahaan
dapat menggunakan sumberdayanya secara efisien dan akhirnya bisa meningkatkan nilai
pemilik perusahaan.
2.3. Penelitian-penelitian Terdahulu
2.3.1. Penelitian yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi struktur
corporate governance
Klapper dan Love (2002) dalam Black, Jang dan Kim (2003) menunjukkan bahwa
praktik corporate governance dipengaruhi oleh lingkungan luar maupun keadaan di
dalam perusahaan. Lingkungan luar yang dimaksud adalah legality, aturan mengenai
29
shareholder rights, dan judicial efficiency. Sedangkan, keadaan di dalam perusahaan
yang mempengaruhi corporate governance adalah growth opportunities dan peranan
intangible assets.
Kumar dan Sivaramakrishnan (2002) dalam upaya mencari tahu insentif berbasis
ekuitas yang optimal untuk dewan direksi pada kerangka hirarki agency problem
menyatakan bahwa ada permintaan endogen terhadap direksi untuk memonitor kualitas
kumpulan peluang investasi (investment opportunity set) perusahaan dan meratifikasi
atau menyetujui keputusan investasi manajerial, karena manajer memiliki private
information mengenai prospek ekonomi perusahaan. Direksi yang memiliki kepentingan
pribadi harus dimotivasi untuk melakukan pemonitoran terhadap manajemen secara
benar. Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu insentif berbasis
ekuitas adalah optimal bagi pemilik untuk menciptakan situasi hirarki double-agency
dalam kondisi keseimbangan, dimana baik manajer maupun hal-hal lain yang
dipantau/monitor oleh pemilik adalah subjek dari moral hazard.
Hutchinson (2003) mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi
penerapan board structure oleh perusahaan dan hubungan lebih jauh terhadap kinerja
perusahaan. Penelitian yang mengambil sampel 229 perusahaan Australia ini
menunjukkan bahwa peluang investasi perusahaan berhubungan erat dengan
tingginya proporsi executive directors dalam dewan. Selain itu ditunjukkan pula bahwa
hubungan yang negatif antara kumpulan peluang investasi perusahaan dengan kinerja
perusahaan akan melemah pada kondisi dimana non-executive director mendominasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Adams dan Mehran (2003) berkaitan dengan
struktur corporate governance pada industri bank dan manufaktur menyimpulkan bahwa
30
governance structures di antara kedua industri tersebut sangatlah berbeda. Oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa struktur corporate governance adalah spesifik industri.
Perbedaan tersebut bisa jadi disebabkan karena adanya perbedaan investment
opportinities sebagaimana adanya perbedaan regulasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Gillan, Hartzell dan Starks (2003) juga
menyatakan bahwa pemilihan struktur corporate governance dipengaruhi oleh cost dan
benefits yang dihadapi perusahaan. Mereka juga menyatakan bahwa industry’s investment
opportunities, product uniqueness, competitive environment, information environment,
dan leverage mampu menerangkan struktur corporate governance. Lebih jauh lagi,
penelitian mereka menunjukkan bahwa faktor industri dan perusahaan mempengaruhi
board strucure.
2.3.2. Penelitian yang berkaitan dengan hubungan antara corporate governance
dengan nilai perusahaan
Seperti dikemukakan pada bagian awal, definisi corporate governance sangatlah
luas namun pada intinya konsep ini merupakan konsep yang mengatur hubungan antara
pemilik dengan manajemen perusahaan atau dengan kata lain mencoba untuk mengatasi
agency problem yang pada umumnya muncul ketika terjadi pemisahan antara
kepemilikan dan pengelolaan perusahaan.
Berkaitan dengan isu corporate governance mengenai struktur kepemilikan
saham, penelitian Xu dan Wang (1997) terhadap perusahaan-perusahaan di Cina
menunjukkan bahwa struktur kepemilikan yang terkonsentrasi mempunyai pengaruh
signifikan terhadap kinerja operasi perusahaan. Hasil ini menyatakan perlunya
kepemilikan saham institusional yang besar untuk corporate governance dan kinerja
31
perusahaan. Füerst dan Kang (2000) menemukan bahwa kepemilikan pihak dalam
mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap kinerja perusahaan, sementara
kepemilikan eksternal yang besar mempunyai pengaruh negatif terhadap kinerja
perusahaan.
Survey yang dilakukan CLSA (2001) atas corporate governance 495 perusahaan
go public dari 25 emerging markets yang melibatkan 18 perusahaan Indonesia dalam
Black, Jang dan Kim (2003) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara
peringkat corporate governance dengan rasio keuangan dan penilaian kinerja harga
saham pada perusahaan-perusahaan besar. Pada seratus perusahaan terbesar yang menjadi
sampel terlihat adanya korelasi yang kuat antara ranking corporate governance dengan
rasio price to book value (PBV) dan kinerja rata-rata harga saham untuk satu tahun, tiga
tahun dan lima tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Black, Jang dan Kim (2003) terhadap 560
perusahaan yang terdaftar di Korean stock Exchange menunjukkan bahwa indeks
corporate governance memiliki hubungan positif dengan kenaikan nilai buku (book
value) perusahaan. Kenaikan 10% corporate governance index akan diikuti oleh
kenaikan dalam Tobin’s q sebesar 6% dan kenaikan market/book ratio sebesar 14%. Hal
ini menunjukkan bahwa praktik corporate governance memiliki pengaruh terhadap
kinerja perusahaan. Hasil serupa ditunjukkan oleh Klapper dan Love (2002) mengenai
praktik corporate governance pada tingkat perusahaan di berbagai pasar sedang
berkembang (emerging markets), penelitian ini menunjukkan bahwa corporate
governance memiliki korelasi positif dengan operating performance dan market
valuation. Füerst dan Kang (2000) menunjukkan bahwa tingginya kepemilikan CEO,
32
corporate insiders, dan outside directors memiliki dampak yang sangat positif terhadap
kinerja perusahaan dan nilai pasar (market value), di sisi lain besarnya kepemilikan
outside shareholders berdampak negatif terhadap kinerja perusahaan. Drobetz,
Schillhofer, Zimmermann (2003) menunjukkan adanya hubungan positif antara corporate
governance yang dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan di Jerman dengan nilai
perusahaan. Chong-En Bai, et. al (2003) juga menunjukkan bahwa variabel-variabel
corporate governance berhubungan signifikan dengan penilaian perusahaan. Investor
membayar premium yang signifikan kepada perusahaan-perusahaan yang melaksanakan
corporate governance dengan baik.
2.3.3. Penelitian yang berkaitan dengan board governance perusahaan
Penelitian yang Berkaitan dengan Dewan Board Governance Perusahaan
sangatlah bervariasi, berikut ini adalah hasil dari beberapa penelitian.
Fama dan Jensen (1983) secara umum menyatakan bahwa peran penting dewan
direksi adalah dalam mengawasi dan memonitor manajer. Peran dari dewan direksi dalam
agency framework adalah menyelesaikan permasalahan agensi antara manajer dan
pemilik dengan cara menetapkan kompensasi dan mengganti direksi yang tidak
menciptakan nilai bagi para pemegang saham. Independensi dewan merupakan hal
terpenting dalam menjamin kepentingan pemilik.
Baysinger dan Butler (1985) membuktikan bahwa perusahaan yang dalam
komposisi dewan direksinya outside directorsnya lebih banyak memiliki kinerja yang
lebih baik namun demikian mayoritasnya direktur independen tidak bisa menjamin
perusahaan memiliki nilai di atas rata-rata, sehingga dapat disimpulkan bahwa direksi
yang terdiri dari insiders dan outsiders menghasilkan nilai finansial yang bagus.
33
Rosebstein dan Wyatt (1990) menunjukkan bahwa pemilihan outside directors
akan diikuti oleh peningkatan harga saham secara signifikan. Pada penelitian lainnya
tahun 1997 mereka menemukan bahwa reaksi harga saham terhadap pemilihan new
inside directors dipengaruhi oleh proporsi kepemilikan inside directors tersebut. Pada
saat inside directors memiliki kepemilikan kurang dari 5% harga saham akan berekasi
negatif, sedangkan pada saat kepemilikan inside directors 5%-25%, harga saham bereaksi
positif dan pada saat kepemilikan lebih dari 25% perusbahan harga saham tidaklah
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat pemilihan inside directors melebihi cost
of managerial entrenchment hanya pada saat kepentingan manajer dan outside directors
terkait sangat erat. Weisbach (1988) menemukan adanya hubungan yang kuat antara
managerial turnover dan kinerja di dalam perusahaan yang dewan direksinya
didominasi oleh outsider. Studi ini yang menyatakan pentingnya dan efektifitas outside
directors sejalan dengan penelitian Fama dan Jensen (1983) yang berargumen bahwa
reputasi dan aksi legal memotivasi outside directors untuk melakukan tindakan yang
terbaik dalam rangka memenuhi kepentingan pemilik.
Borokhovic et al. (1996) menemukan adanya hubungan positif yang monoton
antara proporsi outside directors dan kemungkinan dipilihnya outside directors sebagai
CEO dan kedudukan lainnya yang memberikan manfaat kepada pemilik.
Kren dan Kerr (1997) menyatakan bahwa dewan pengawas akan lebih efektif jika
terdiri dari independent outside directors dan berasal dari directors yang memiliki
peningkatan kepemilikan. Hasil penelitian mengenai board effectiveness sangatlah
bervariasi.
Xu dan Wang (1997) menyatakan bahwa Dewan Direksi pada perusahaan-
34
perusahaan di China memiliki peran yang sangat penting dalam hal memonitor pemilihan
manajer tingkat atas dan penetuan tingkat kompensasi para manajr tersebut. Pemilik
perusahaan harus mengontrol dewan dalam rangka melindungi kepentingan mereka.
Sehingga dalam hal ini pemilihan dari anggota dewan direksi dan supervisory
committee menjadi sangat penting.
Robinson dan Dechant (1997) menunjukkan bukti empiris hubungan antara
keragaman dalam korporasi secara umum dengan nilai keuangan perusahaan dalam
jangka pendek dan juga jangka panjang. Bukti ini dapat dijadikan dasar sebagai analogi
bahwa keragaman dalam dewan direksi juga dapat meningkatkan kinerja
perusahaan.
Lawrence dan Stapledon (1999) meneliti dampak board composition terhadap
kinerja perusahaan dan executive remuneration di perusahaan-perusahaan besar
Australia. Penelitian ini memfokuskan pada proporsi independent directors pada dewan.
Perusahaan dengan ukuran dewan lebih besar memiliki kinerja lebih baik, yang
diukur dengan Tobin’s Q. Tidak ada efek negatif yang signifikan ukuran dewan terhadap
ROA. Adanya korelasi positif antara Tobin’s Q dengan majority-outside boards,
meskipun demikian hubungannya tidak signifikan. Tidak berhasil membuktikan bahwa
proporsi independent directors berhubungan dengan nilai perusahaan (baik menambah
ataupun mengurangi nilai perusahaan). Dalam studi literaturnya Lawrence dan Stapledon
menyatakan bahwa:
1 Dalam hubungan independent directors and corporate performance: Proporsi
independent non-executive directors pada tahun 1970 berkorelasi positif dengan ROE
(Return on Equity) tahun 1980 [Baysinger dan Butler (1985)]. Namun demikian hasil
35
penelitian Klein (1998); Bhagat dan Black (1997, 1998) dan Hermalin dan Weisbach
(1991) menemukan bahwa proporsi independent non-executive directors yang
tinggi tidak bisa memprediksikan kinerja akuntansi di masa depan. Lebih lanjut,
Klein (1998); Bhagat dan Black (1997, 1998) juga menemukan bahwa proporsi
independent non-executive directors tidak memiliki efek yang konsisten terhadap
market-adjusted share-price performance. Bahkan, Agrawal dan Knoeber (1996)
menemukan adanya korelasi negatif antara proporsi independent directors dengan
kinerja perusahaan, semakin besar proporsi independent directors akan menyebabkan
melambatnya pertumbuhan perusahaan. Berkaitan dengan penemuan Agrawal dan
Knoeber (1996) ini, Bhagat dan Black (1997, 1998) menyatakan bahwa tingginya
proporsi independent directors juga bisa dijelaskan sebagai respon (akibat) dari
pertumbuhan perusahaan yang lambat bukan penyebab dari pertumbuhan perusahaan
yang lambat tersebut. Berkaitan dengan hal ini Hermalin dan Weisbach (1991)
menemukan bahwa proporsi independent directors cenderung meningkat pada saat
kinerja perusahaan memburuk. Millstein dan MacAvoy (1998) menemukan adanya
korelasi yang signifikan antara keberadaan active board of directors dengan kinerja
perusahaan.
2 Berkaitan dengan independent directors and executive remuneration: Newman dan
Wright (1995) menemukan bahwa hubungan antara kompensasi CEO dengan kinerja
perusahaan semakin kuat pada saat adanya remuneration committee yang sepenuhnya
independen, terutama pada saat kinerja perusahaan kurang baik.
3 Lainnya:
Bahwa keberadaan independent directors menambah nilai bagi perusahaan, yaitu
36
dalam:
1 Proses takeovers (Byrd dan Hickman 1992; Brickley, Coles dan Terry 1994).
Uji ini dilakukan untuk menjamin bahwa variabel-variabel independen pada
model yang terbentuk tidak memiliki korelasi. Ada atau tidaknya hubungan antara
variabel bebas dapat diketahui dengan melihat correlation matrix. Berdasarkan tabel 36
diketahui bahwa korelasi antar variabel kurang dari 0.8 (rule of tums 0.8) maka dapat
disimpulkan tidak ada multikolinieritas.
B. Uji Heterokedastisitas
Untuk mengetahui ada atau tidaknya heterokedastisitas maka dilakukan uji white
heterocedasticity. Ho: tidak ada heterokedastisitas akan ditolak jika obs*R-square > χ 2 df
atau probability (p-value) < α. Berdasarkan tabel 37 diketahui bahwa nilai p-
value=0.5333 > α =5% maka terima Ho. Sehingga dapat disimpulkan pada model tidak
ada heterokedastisitas.
94
C. Uji Autokorelasi
Uji ini dilakukan untuk menjamin tidak adanya hubungan antar error. Pengujian
dapat dilakukan dengan melihat nilai Durbin Watson (DW) atau dengan pengujian
Breusch-Godfrey Serial Correlation. Autokorelasi ada jika nilai DW < 2 (dua) atau DW
> 2 (dua) atau Ho: tidak ada serial correlation ditolak jika uji Breusch-Godfrey Serial
Correlation menghasilkan obs*R-square > χ 2 df=2 atau p-value < α. Berdasarkan tabel
38 diketahui bahwa p-value uji Breusch-Godfrey Serial Correlation=1 > α=5%, terima
Ho sehingga dapat disimpulkan pada model tidak terjadi autokorelasi.
White Heteroskedasticity Test: F-statistic 0.776769 Probability 0.542081 Obs*R-squared 3.148462 Probability 0.533295 Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 08/08/04 Time: 20:36 Sample: 1 144 Included observations: 144
GDR_BOC -20.04514 31.15565 -0.643387 0.5210 AC -45.58918 28.97429 -1.573435 0.1179
R-squared 0.021864 Mean dependent var 13.92393 Adjusted R-squared -0.006283 S.D. dependent var 156.1842 S.E. of regression 156.6741 Akaike info criterion 12.98032 Sum squared resid 3412001. Schwarz criterion 13.08344 Log likelihood -929.5829 F-statistic 0.776769 Durbin-Watson stat 1.986408 Prob(F-statistic) 0.542081
Tabel 37
95
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0.108631 Probability 1.000000 Obs*R-squared 5.267407 Probability 1.000000 Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 08/08/04 Time: 20:36 Presample missing value lagged residuals set to zero.
Total perusahaan listing sd 31 Des 2001 301 Total perusahaan berdasar pengumuman 15 Jan 2002 315 Total emiten yang telah mengangkat KI dan membentuk KA berdasar Pengumuman per 15 Jan 2002 270 Maka yang belum mengangkat KI dan membentuk KA 45
109
Lampiran G: Data Pengujian Hubungan Board Governanace dengan Nilai