Top Banner
KAJIAN MORFOMETRIK DAN MERISTIK IKAN TERBANG YANG TERTANGKAP DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR DAN LAUT FLORES THE MORFOMETRIC AND MERISTIC STUDY OF THE FLYINGFISH CAUGHT IN MAKASSAR STRAIT AND FLORES SEA N U R L I N A PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2007
55
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Thesis PDF

KAJIAN MORFOMETRIK DAN MERISTIK IKAN TERBANG YANG TERTANGKAP DI PERAIRAN

SELAT MAKASSAR DAN LAUT FLORES

THE MORFOMETRIC AND MERISTIC STUDY OF THE FLYINGFISH CAUGHT IN MAKASSAR STRAIT

AND FLORES SEA

N U R L I N A

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2007

Page 2: Thesis PDF

2

KAJIAN MORFOMETRIK DAN MERISTIK

IKAN TERBANG YANG TERTANGKAP DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR DAN LAUT FLORES

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Sistem-Sistem Pertanian

Disusun dan diajukan oleh

N U R L I N A

kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2007

Page 3: Thesis PDF

3

Page 4: Thesis PDF

4

PRAKATA

Segala puji dan syukur kepada sumber ilmu pengetahuan, Allah SWT, atas

Rahmat dan Karunia-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai

salah satu syarat dalam memperoleh gelar Magister pada program studi Sistem-

Sitem Pertanian konsentrasi Perikanan Pascasarjana Unhas Makassar. Tesis ini

merupakan hasil penelitian dengan judul “Kajian Morfometrik dan Meristik Ikan

Terbang yang Tertangkap di Perairan Selat Makassar dan Laut Flores. Pada

kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan

kepada :

1. Kedua orang tua saya Hj. Nurliah Nongka dan (alm) M. Arfah Rasyid (mereka

penasihat dan pembimbing kehidupan saya)

2. Bapak Dr.Ir. Sharifuddin Bin Andy Omar, M.Sc. (Ketua Komisi Penasihat) dan

Dr..A. Iqbal Burhanuddin, M.Sc. (Anggota Komisi Penasihat) begitu mendorong

saya untuk menyelesaikan tesis ini,

3. Prof.Dr.Ir.H. Sudirman, M.Pi., Dr.Ir. Dody Dharmawan, M.App.Sc., dan Dr. Ir. M.

Iqbal Djawad, M.Sc. sebagai penguji terima kasih atas segala saran dan

kritikannya.

4. Seluruh keluarga tercinta utamanya kakak-kakakku Nuraeni Arfah dan Nurlaelah

Arfah serta adikku Muh. Asri Arfah. Demikian juga untuk anakku tersayang Fakhri

Rizqullah juga ponakanku Marissa Ulfah dan Nasrullah. Terima kasih untuk doa

restu dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di

Pascasarjana Unhas Makassar.

5. Rekan-rekan mahasiswa jurusan Sistem-Sistem Pertanian Angkatan 2002,

khususnya kepada Ufriyani, Asrianti Sani, Nursinah Amir, Basri Hamal, dan

Dimiati Nongpa. Terima kasih atas kerjasama dan dukungannya semasa kuliah,

penelitian, hingga akhir studiku.

Page 5: Thesis PDF

5

6. Bapak Ir. Saenong, MS atas motivasi dan doanya. Sdr. “Ipunk” atas bantuannya

dalam mengolah data penelitian. Sahabat-sahabatku Rosmawati, Harmawati-

Muhdian, Sulthana Samad, Nuraeny Nurdin, Satriani Saleh, dan semua rekan-

rekan staf BPPMHP Makassar utamanya kepada Bu Rini, Bu Ifa, Bu Niar, Bu

Helmi, Bu Sukma, Hajriah, Emiliya, Inar, Truly, Isa dan Darmi. Terima kasih atas

dukungan dan pengertiannya selama ini.

Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih terdapat berbagai

kekurangan. Saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sangat

penulis harapkan. Akhir kata semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Makassar, Agustus 2007

Penulis

Page 6: Thesis PDF

6

Page 7: Thesis PDF

7

Page 8: Thesis PDF

8

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keunggulan komparatif Indonesia terletak pada kekayaan alam yang begitu

besar keanekaragamannya. Keanekaragaman hayati menurut WRI (World

Resources Institute) adalah totalitas gen, spesies, dan ekosistem di suatu daerah

atau dunia. Potensi sumberdaya perikanan laut diseluruh perairan Indonesia

diduga sebesar 6.26 juta ton per tahun (Prayogo, 2003). Keanekaragaman

sumberdaya perikanan ini perlu dilestarikan agar diperoleh keuntungan-keuntungan

maksimum untuk generasi sekarang, sambil memelihara potensinya untuk memenuhi

kebutuhan generasi mendatang yang mencakup: melindungi (save it), mempelajari

(study it), dan menggunakannya (use it) dengan arif.

Salah satu sumberdaya perikanan yang dimiliki Indonesia adalah ikan

terbang. Ikan terbang merupakan ikan pelagis, hidup di perairan terbuka, dan dalam

migrasi tahunannya ikan terbang hanya melepaskan telurnya di daerah-daerah

tertentu (Oxenford, 1994). Di Sulawesi Selatan, ikan terbang bersama telurnya telah

lama dikenal dan diusahakan, terutama di perairan Selat Makassar bagian selatan

dan Laut Flores. Walaupun ikan terbang termasuk ikan yang kurang komersial,

namun harga telurnya cukup mahal dan merupakan komoditas ekspor. Kondisi ini

sebenarnya kurang menguntungkan ditinjau dari kelestarian sumberdaya karena

tekanan penangkapan terhadap populasi ikan ini makin kuat.

Keberadaan dan kelimpahan ikan terbang di Selat Makassar bagian selatan

selama Musim Timur dan Laut Flores selama Musim peralihan Musim Timur-Barat

diduga berkaitan dengan adanya proses upwelling dalam kaitannya dengan kondisi

perairan yang disenangi oleh ikan terbang (Yahya et al., 2001).

Berdasarkan uraian di atas, diperlukan analisa yang dapat mengidentifikasi

karakter populasi spesies ikan terbang pada kedua perairan tersebut dengan metode

morfometrik dan meristik. Dari sekian banyak spesies ikan terbang, dalam penelitian

Page 9: Thesis PDF

9

ini diambil empat spesies yaitu Cheilopogon abei Parin, 1999; Cheilopogon

spilopterus Valenciennes, 1846; Cheilopogon katoptron Bleeker,1866; dan

Cypselurus poecilopterus Valenciennes, 1846.

B. Rumusan Masalah

Kajian penelitian diharapkan akan dapat memberikan informasi tentang

kemungkinan keempat spesies ikan terbang yang berasal dari perairan Selat

Makassar dan Laut Flores berasal dari populasi yang sama, melalui analisa karakter

morfometrik dan meristik. Hal ini dimungkinkan karena secara geografis jarak antara

kedua perairan tersebut relatif dekat.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah populasi ikan terbang

yang terdapat di Selat Makassar merupakan populasi yang sama dengan populasi

ikan terbang yang terdapat di Laut Flores. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi

informasi dasar bahan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan terbang di

kedua perairan tersebut mengingat besarnya tekanan penangkapan yang dialami

oleh populasi yang diindikasikan oleh laju penangkapan ikan dan telurnya pada

Musim Timur (bulan April – Oktober) pada saat ikan sedang memijah. Hal ini

berimplikasi terhadap keberlanjutan sumberdaya.

D. Hipotesis

Populasi ikan terbang (Cheilopogon abei, C. spilopterus, C. katoptron, dan

Cypselurus poecilopterus) di Selat Makassar merupakan populasi yang tidak terpisah

dari populasi ikan terbang di Laut Flores, sehingga terdapat kesamaan karakter

morfometrik dan meristik ikan terbang yang tertangkap di kedua perairan tersebut.

Page 10: Thesis PDF

10

E. Kerangka Berpikir

Peningkatan pertumbuhan penduduk dan kebutuhan hidup masyarakat

nelayan telah mendorong eksploitasi sumberdaya terutama telur dan ikan terbang,

melalui penangkapan yang dilakukan didaerah spawning ground di Selat Makassar

dan Laut Flores. Kemungkinan saat ini, jumlah nelayan dan hasil tangkapannya lebih

besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yang pada akhirnya menekan

keberadaan ikan terbang (disamping adanya faktor alam). Kondisi sosial ekonomi

masyarakat nelayan merupakan masalah prinsip dalam usaha menyelamatkan

sumberdaya ikan terbang.

Nelayan melakukan penangkapan ikan dan telur hanya pada Musim Timur

(bulan April – oktober). Padahal pada bulan-bulan tersebut ikan sedang memijah.

Oleh karenanya keberadaan sumberdaya ikan terbang perlu diketahui kondisi

ekologinya melalui kajian morfometrik dan meristik untuk menentukan efisiensi

pemanfaatannya. Secara ringkas, pendekatan masalah tersebut ditelusuri melalui

kerangka berpikir seperti pada Gambar 1 berikut ini

Page 11: Thesis PDF

11

Gambar 1. Skema kerangka berpikir penelitian

Potensi

Ikan Terbang

Kajian Morfometrik dan

Meristik Nilai

Ekonomi

Analisis

Pengelolaan Sumberdaya

Ikan Terbang

Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan

Ikan terbang

Penangkapan Telur dan Ikan Terbang

Page 12: Thesis PDF

12

TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan Morfologi Ikan terbang termasuk famili Exocoetidae yang terdiri dari genera

Cheilopogon, Cypselurus, Exocoetus, Hirundichthys, Parexocoetus, dan

Prognichthys dengan 50 – 60 spesies. Hampir setengah dari spesies ini masuk ke

dalam genus Cheilopogon (Dasilao et al., 1996; Parin, 1999). Klasifikasi ikan

terbang (Cheilopogon sp. dan Cypselurus sp.) secara lengkap adalah (Parin, 1999;

Nelson, 2006; Standard Names of Australian Fishes, 2006):

Kingdom Animalia -- animals

Phylum Chordata -- cordates

Subphylum Vertebrata -- vertebrates

Superclass Osteichthyes -- bony fishes

Class Actinopterygii -- ray-finned fishes

Subclass Neopterygii -- neopterygians

Infraclass Teleostei

Superordo Belonoidei

Ordo Beloniformes -- needlefishes

Subordo Belonoidei

Superfamily Exocoetoidea

Family Exocoetidae -- flyingfishes

Genus Cheilopogon

Cypselurus

Karakter ikan terbang yaitu bentuk tubuh memanjang, silindris, beberapa spesies

mempunyai bagian perut yang datar, kepala pendek, dan mulut kecil. Gurat sisi

(lateral line) berada tepat menyentuh dasar sirip perut yang berfungsi sebagai alat

deteksi terhadap mangsa dari bawah, dan mata yang diadaptasikan untuk melihat,

baik di udara maupun di dalam air (Kutschera, 2005).

Page 13: Thesis PDF

13

Ikan terbang memiliki sisik sikloid yang mudah lepas. Tidak mempunyai sirip

berjari-jari keras, sirip punggung dan sirip dubur letaknya jauh ke belakang tubuh.

Sirip perut abdominal berukuran panjang mencapai pangkal depan dasar sirip anal.

Sirip dada panjang, selalu mencapai pangkal sirip punggung. Kedua sirip dada yang

panjang tersebut diadaptasikan sebagai sayap untuk terbang melayang keluar dari

permukaan air ke udara sejauh 200 m bahkan lebih untuk menghindari predator atau

suatu mekanisme penghematan energi (Kutschera, 2005). Sirip ekor bercabang dua

dengan cabang bawah lebih panjang dari bagian atas (Parin, 1999; Bigelow dan

Schroeder, 2002).

B. Distribusi dan Habitat

Ikan terbang terdapat di semua perairan tropis hingga perairan sub-tropis,

tersebar dari Afrika Timur menuju Laut Cina Selatan, Pulau Solomon dan

Queensland di Australia hingga ke Indonesia dan beberapa negara Asia (Parin,

1999). Ikan ini hidup bergerombol dan tidak melakukan migrasi secara luas (Bigelow

dan Schroeder, 2002).

Di perairan Atlantik bagian barat, terutama di Kepulauan Karibia, Curacao,

dan Brazil, spesies ikan terbang Hirundicthys affinis merupakan perikanan komersial

(Gomes et al., 1999). Salah satu spesies ikan terbang yang mempunyai ukuran kecil

Parexocoetus mento mento, berdistribusi di sekitar perairan bagian timur Jepang dan

Samudera Indo-Pasifik. Spesies ini sangat melimpah selama musim semi dan

musim panas (Dasilao et al., 2002).

Biasanya perikanan ikan terbang lebih melimpah di perairan yang mempunyai

salinitas tinggi. Yahya et al. (2001) telah meneliti hubungan antara faktor

oseanografi dan hasil tangkapan ikan terbang di Selat Makassar. Mereka

mengatakan bahwa sebaran salinitas permukaan laut tertinggi di Selat Makassar

terjadi pada Musim Timur dengan kisaran antara 33,20 – 33,69 o/oo, diduga karena

Page 14: Thesis PDF

14

adanya massa air yang bersalinitas tinggi masuk dari Laut Flores dan Laut Banda

hingga awal peralihan Musim Timur ke Musim Barat.

Di Karibia, daerah Tobago merupakan areal pemijahan untuk H. affinis

(Oxenford, 1994). Seperti halnya yang terjadi di Selat Makassar dan Laut Flores,

terjadinya pemijahan di area tersebut diduga merupakan strategi reproduksi ikan

terbang untuk menyesuaikan kemungkinan makanan yang cukup melimpah. Hal ini

berkaitan dengan peristiwa up welling di perairan Selat Makassar pada Musim Timur

(Yahya et al., 2001). Daerah yang memiliki fenomena seperti tersebut di atas

umumnya merupakan perairan yang subur. Dengan diketahuinya daerah perairan

yang subur tersebut maka daerah penangkapan ikan dapat diketahui, karena migrasi

ikan cenderung ke perairan yang subur (Bernawis, 2005).

C. Fenomena Up Welling

Perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh tipe iklim Muson yang terdiri dari

Musim Barat (Desember-Februari), Musim Peralihan I (Maret-Mei), Musim Timur

(Juni-Agustus), dan Musim Peralihan II (September-November). Pada gilirannya tipe

iklim ini akan berpengaruh terhadap kehidupan, kekayaan jenis, kelimpahan,

sebaran biota maupun sifat-sifat dan fenomena oseanografi yang terjadi, misalnya

proses upwelling (Mulyadi, 2007).

Upwelling atau disebut arus vertikal atau penaikan massa air. membawa serta

unsur hara yang cukup tinggi kadarnya dari dasar laut ke permukaan. Melalui proses

upwelling ini, perairan di sekitarnya ditingkatkan kesuburannya, sehingga produksi

perikanannya pun menjadi tinggi. Sebagai contoh di Selat Makasar bagian selatan

upwelling terjadi pada waktu Musim Tenggara sekitar bulan Juni hingga September

(Diposaptono, 2001). Hal ini diakibatkan oleh adanya massa air dari Selat Makassar

bertemu dengan massa air dari Laut Flores kemudian bergabung dan mengalir kuat

Page 15: Thesis PDF

15

menuju Laut Jawa di sebelah barat. Dalam kondisi demikian maka massa air

permukaan Selat Makassar terseret oleh aliran tersebut dan massa air dari bawah

naik ke atas untuk menggantikannya (Nontji, 2005).

Daerah upwelling di Selat Makasar bagian selatan meliputi luas 48.000 km2.

Pada saat terjadi upwelling, salintas permukaan mencapai 34% dan suhu air berkisar

antara 26,4o C–27,8o C. Kadar plankton dan unsur-unsur fosfat, nitrat dan silikat naik

dengan mencolok, sehingga tingkat produktivitas tinggi. Proses ini memberikan

pengaruh terhadap kesuburan di wilayah laut dan menaikkan produksi hasil

perikanan menjadi lebih tinggi bila dibanding dengan perairan lainnya yang tidak

terdapat fenomena upwelling (Diposaptono, 2001).

Spall (2003) melaporkan bahwa di perairan sekitar Australia dan Selandia

Baru terjadi upwelling di sepanjang sisi barat dan downwelling di sepanjang sisi

timur. Di Indonesia bagian timur, upwelling secara berkala terjadi setiap Musim

Tenggara yaitu di sebelah barat Sulawesi Selatan dan di sebelah tenggara

Balikpapan yang disebabkan oleh adanya benturan antara arus pasut (pasang surut)

dan Arlindo (arus lintas Indonesia) dengan batimetri dangkal di sebelah selatan

Selat Makassar (Pariwono et al., 2005; Hadikusumah, 2006).

D. Karakter Morfometrik dan Meristik

Morfometrik berkenaan dengan pengukuran bagian-bagian tertentu dari

struktur luar tubuh ikan (measuring methods). Karakter morfometrik yang umum

diukur adalah panjang total, panjang baku, tinggi dan lebar badan, tinggi dan panjang

batang ekor, tinggi dan panjang sirip, diameter mata, dan lain-lain. Karakter meristik

berkenaan dengan pengamatan jumlah bagian-bagian tubuh (counting methods),

antara lain jumlah jari-jari sirip, jumlah sisik, jumlah gigi, jumlah tulang saring insang,

pyloric caeca, dan vertebral (Hubbs dan Lagler, 1958; Parin, 1999).

Page 16: Thesis PDF

16

Metode identifikasi populasi dengan morfometrik dan meristik dipergunakan

untuk mempelajari hubungan antar individu di dalam maupun antar populas. Metode

ini memiliki kelebihan dan kekurangan, dan tentunya akan berpengaruh pada hasil

yang dicapai. Morfometrik dan meristik dapat dikerjakan dengan peralatan yang

sederhana, yaitu mikroskop, alat ukur panjang dan timbangan untuk mengukur bobot

ikan, di samping buku identifikasi, sehingga biayanya murah tetapi memerlukan

banyak sampel, membutuhkan tenaga kerja dan waktu yang banyak (Syahailatua,

2004).

Pengukuran morfologi oleh Cavalcanti et al. (1999) berdasarkan analisis

morfometrik untuk seleksi spesies ikan serranid menggunakan metode truss

networking, yaitu berupa pengukuran jarak titik-titik tanda yang dibuat sesuai anatomi

tubuh ikan. Selanjutnya masing-masing jarak titik truss dihubungkan dan diukur.

Morfometrik digunakan oleh Smith (2004) dalam penelitiannya untuk mengestimasi

berat dan ekologi makanan ikan paddlefish di Sungai Mermentau, Louisiana.

Morfometrik digunakan pula oleh Lee et al. (2007) untuk menentukan umur dan trait

hagfish (Paramyxine nelsoni).

Burhanuddin et al. (2002) mengaplikasikan data pengukuran morfometrik dan

meristik untuk membedakan karakter dan taksonomi antara dua kelompok individu

dari famili Trichiuridae, Trichiurus brevis dan T. russelli, yang secara morfologi

mempunyai bentuk yang sangat mirip dan perbedaan diantara keduanya sangat

kecil.

Karakter genetik suatu populasi berbeda-beda berdasarkan letak geografis,

namun kemungkinan terdapat kekerabatan antar populasi yang berbeda letak

tersebut. Kemampuan suatu populasi untuk beradaptasi terhadap perubahan

lingkungannya ditentukan oleh variasi genetik yang diukur pada individu dan

diasumsikan ke dalam populasi. Variasi genetik dapat diasumsikan sebagai fitness

(daya tahan). Makin tinggi variasinya, makin besar peluang untuk survive (bertahan

Page 17: Thesis PDF

17

hidup). Hal ini disebabkan karena setiap gen memiliki respon yang berbeda-beda

terhadap kondisi lingkungan, sehingga dengan dimilikinya berbagai macam gen dari

individu-individu di dalam populasi maka berbagai perubahan lingkungan yang ada

akan dapat direspon dengan lebih baik. Variasi genetik suatu populasi dapat dilihat

melalui variasi fenotipe (Laudien et al., 2003).

Karakter fenotipe merupakan manifestasi atau pernyataan genotipe yang

berinteraksi dengan lingkungan. Genotipe menentukan potensi-potensi karakter,

sedangkan lingkungan menentukan sampai dimana tercapainya batas potensi-

potensi itu. Ada karakter yang sedikit sekali dipengaruhi oleh faktor lingkungan,

adapula yang banyak sekali. Makin banyak faktor lingkungan yang berperan dalam

pernyataan fenotipe, makin banyak variasi yang terdapat tentang karakter itu di

dalam populasinya (Yatim,1996).

Penandaan populasi berdasarkan karakter meristik dan morfologi lebih

ditekankan pada faktor genetik, agar konfirmasi perbedaan bentuk lebih dikaitkan

pada isolasi reproduktif dibanding pengaruh perbedaan lingkungan (Hurlbut dan Clay,

1998). Karakter meristik memiliki dasar genetik, tetapi lingkungan dapat pula

memodifikasi ekspresi dari karakter tersebut. Komponen lingkungan (suhu, salinitas,

oksigen, pH, dan makanan) dalam karakter meristrik ditentukan selama masa awal

larva. Komponen lingkungan tersebut dapat memodifikasikan sifat keturunan (Smith

et al., 2002).

Jawad (2001) telah meneliti variasi meristik ikan Tilapia zilli pada tiga danau

yang berbeda di Libya dan menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan karakter

meristik, seperti jumlah tulang belakang dan jumlah jari-jari sirip punggung pada

populasi T. zilli di ketiga perairan yang diteliti. Dasilao et al. (2002) juga mengamati

perkembangan ikan terbang Parexocoetus mento mento menggunakan karakter

morfometrik, sejak fase juvenil hingga dewasa, untuk melihat pola adaptasi

Page 18: Thesis PDF

18

perubahan bentuk tubuh secara ontogenetik yang merupakan refleksi dari hubungan

antara habitat yang unik, cara hidup, dan niche.

Page 19: Thesis PDF

19

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Pengamatan dilakukan di dua tempat yaitu di lapangan dan di laboratorium.

Lokasi pengambilan sampel ikan terbang adalah di perairan Selat Makassar

(Kabupaten Majene, Sulawesi Barat) dan Laut Flores (Kabupaten Takalar, Sulawesi

Selatan) (Gambar 2). Pengukuran morfometrik dan meristik dilakukan di

Laboratorium Organoleptik Balai Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan

(BPPMHP) Makassar. Penelitian ini berjalan selama tujuh bulan (Agustus 2004 –

Maret 2005).

B. Bahan dan Alat

Dari lokasi perairan Selat Makassar (Majene) dan Laut Flores (Takalar) dipilih

empat jenis ikan terbang yang memiliki sirip dada bermotif unik serta dominan

terdapat di kedua perairan tersebut. Sebanyak 726 ekor sampel ikan terbang

diperoleh dari nelayan yang berasal dari dua daerah penangkapan (Tabel 1). Teknik

pengambilan sampel secara acak dengan ukuran dan bobot yang bervariasi.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mistar sorong, neraca digital,

jarum pentul (pins), kaca pembesar (loop), papan warna putih (polystyrene plate),

sarung tangan, kamera digital, pensil dan pulpen, coolbox, dan deep freezer.

Page 20: Thesis PDF

20

Gambar 2. Peta lokasi pengambilan sampel dan zona potensi penangkapan ikan Musim Timur 2004 (Juni-Agustus) (Sumber: LAPAN, hasil analisis Citra Satelit NOAA dan SeaWIFS)

Page 21: Thesis PDF

21

Tabel 1. Data sampel ikan terbang yang diperoleh di kedua daerah penangkapan

Lokasi

S p e s i e s

Cheilopogon abei

Cheilopogon spilopterus

Cheilopogon katoptron

Cypselurus poecilopterus

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

Selat Makasssar

121 94 47 102 47 44 44 62

Laut Flores

34 18 9 23 14 18 19 30

Total 155 112 56 125 61 62 63 92

267 181 123 155

C. Prosedur Penelitian

1. Metode morfometrik dan meristik Morfometrik dan meristik dilakukan dengan cara mengukur (mm) dan

menghitung beberapa bagian tubuh ikan (Hubbs dan Lagler, 1958; Parin, 1999)

seperti tertera pada Gambar 3 dan 4, serta Lampiran 1. Untuk dapat menerangkan

karakter morfometrik ikan terbang yang diteliti, digunakan nisbah morfometrik agar

diketahui proporsi karakter tertentu terhadap karakter yang lain. Karakter-karakter

tersebut adalah:

N1 = nisbah antara panjang total (PT) dan panjang baku (PB)

N2 = nisbah antara panjang cagak (PC) dan panjang baku (PB)

N3 = nisbah antara panjang kepala (PK) dan panjang baku (PB)

N4 = nisbah antara panjang kepala (PK) dan tinggi kepala (TK)

N5 = nisbah antara panjang kepala (PK) dan lebar kepala (LK)

N6 = nisbah antara panjang kepala (PK) dan panjang hidung (PH)

N7 = nisbah antara panjang kepala (PK) dan panjang bagian kepala belakang

mata (PBKBM)

N8 = nisbah antara panjang kepala (PK) dan panjang hidung (PH)

N9 = nisbah antara tinggi kepala (TK) dan lebar mata (LM)

N10 = nisbah antara tinggi kepala (TK) dan tinggi bawah mata (TBM)

N11 = nisbah antara tinggi kepala (TK) dan panjang antara mata dengan sudut

preoperculum (PMSPC)

N12 = nisbah antara tinggi kepala (TK) dan tinggi badan (TB)

Page 22: Thesis PDF

22

N13 = nisbah antara lebar badan (LB) dan tinggi badan (TB)

N14 = nisbah antara panjang batang ekor (PBE) dan panjang baku (PB)

N15 = nisbah antara panjang rahang atas (PRA) dan panjang kepala (PK)

N16 = nisbah antara panjang rahang bawah (PRB) dan panjang kepala (PK)

N17 = nisbah antara panjang bagian depan sirip punggung (PBDSP) dan panjang

baku (PB)

N18 = nisbah antara panjang dari belakang tutup insang hingga sirip perut

(PBISP) dan panjang baku (PB)

N19 = nisbah antara panjang dari pangkal sirip perut hingga batang ekor (PSPBE)

dan panjang baku (PB)

N20 = nisbah antara panjang dari pangkal sirip punggung hingga batang ekor

(PSDBE) dan panjang baku (PB)

N21 = nisbah antara panjang sirip dada (PSD) dan panjang baku (PB)

N22 = nisbah antara panjang jari-jari sirip punggung (PJSD) dan panjang dasar

sirip punggung (PDSP)

N23 = nisbah antara panjang jari-jari sirip anal (PJSA) dan panjang dasar sirip anal

(PDSA)

N24 = nisbah antara panjang dasar sirip punggung (PDSP) dan panjang dasar

sirip anal (PDSA)

N25 = nisbah antara panjang jari sirip punggung (PJSD) dan panjang jari sirip anal

(PJSA)

N26 = nisbah antara lebar bukaan mulut (LBM) dan lebar kepala (LK)

N27 = nisbah antara panjang batang ekor (PBE) dan tinggi batang ekor (TBE)

Page 23: Thesis PDF

23

isbah antara panjg ekor (PBE) dan panjang kepa

Gambar 3. Karakter morfometrik dan beberapa ukuran yang

digunakan dalam identifikasi

Gambar 4. Karakter Meristik dari perhitungan jumlah jari-jari sirip dada (P), jumlah

jari-jari sirip punggung (D), jumlah jari-jari sirip perut (V), jumlah jari-jari sirip anal (A), jumlah jari-jari sirip ekor (E), jumlah sisik garis rusuk (F), jumlah sisik di atas garis rusuk (G), jumlah sisik pada batang ekor (L), jumlah sisik bagian depan sirip punggung (I), dan jumlah tulang saring insang (M)

PJSPDS

PJS

PJS

PDS PBTBE TB

PS

LBM PH LM

TK PBKB

PMSPC

TBM PRB PRA

LK

PBDSP

PSDBE

PBISP PSPBE PS

PC

PT

PK

F G

I D

E

V

P

A

L

M

Page 24: Thesis PDF

24

D. Analisis Data 1. Analisis Uji-t

Untuk mengetahui perbedaan karakter morfometrik dan meristik antara ikan

jantan dan ikan betina, serta antara ikan yang tertangkap di perairan Makassar dan

Laut Flores, dilakukan uji-t sebagaimana disarankan oleh Andy Omar (2003).

Analisis ini menggunakan software SPSS (Statistical Package for Social Sciences)

versi 13,0 for windows.

2. Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis, PCA) Analisis komponen utama (Principal Components Analysis, PCA) digunakan

untuk melihat adanya pengelompokan individu ikan terbang. Analisis ini merupakan

metode statistik deskriptif (Bengen, 2000). Variabel–variabel morfometrik dan

meristik yang merupakan variabel dasar yang digunakan dalam analisis ini akan

diseleksi berdasarkan kelengkapan dan kemampuan variabel dalam menjelaskan

keragaman karakteristik morfometrik. Proses analisis ini akan menghasilkan

beberapa ‘faktor utama’ yang menjadi penciri utama keragaan morfometrik. Hasil

analisis komponen-komponen utama antara lain nilai akar ciri, proporsi, kumulatif

akar ciri, dan nilai pembobot. Analisis ini menggunakan alat bantu paket program

MVSP (Multi-Variate Statistical Package) versi 3,1 ease to use windows software for

PCA. Adapun variabel-variabel penjelas yang digunakan dapat dilihat pada

Lampiran 1.

3. Analisis Kelompok (Cluster Analysis) dan Analisis Diskriminan

Analisis kelompok (cluster analysis) merupakan teknik multivariate (Wijaya,

2000; Alhusin, 2003). Di dalam membentuk suatu cluster, metode ini menggunakan

“jarak” euclidean antara nilai objek sebagai dasar pengelompokannya. Variabel-

variabel yang digunakan dalam analisis kelompok ini tersaji dalam Lampiran 1.

Page 25: Thesis PDF

25

Analisis fungsi diskriminansi adalah lanjutan dari analisis kelompok. Tujuan

dilakukan analisis diskriminan pada penelitian ini adalah agar mampu disusun fungsi

pembatas antar kelompok ikan terbang per lokasi, sehingga diketahui variabel-

variabel yang mendiskriminasi keempat jenis ikan terbang. Kedua analisis ini

menggunakan software SPSS (Statistical Package for Social Sciences) versi 13,0 for

windows.

Page 26: Thesis PDF

26

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi Ikan Terbang

Berdasarkan identifikasi melalui pengukuran karakter-karakter morfologi

kuantitatif (morfometrik dan meristik) serta karakter morfologi kualitatif (motif cross

band dan spot hitam) yang terdapat pada sirip dada, sirip punggung, dan sirip perut

teridentifikasi empat jenis spesimen ikan terbang dari lokasi Selat Makassar dan Laut

Flores (total sampel 726 ekor) yaitu Cheilopogon abei (37%), C. spilopterus (25%),

C. katoptron (17%), dan Cypselurus poecilopterus (21%).

Ada dua genus yang berhasil diidentifikasi dalam penelitian ini yaitu genus

Cheilopogon dan Cypselurus yang memiliki ciri-ciri sirip dada panjang, hampir

mencapai bagian depan dasar sirip anal serta jari pertama dan kedua tidak

bercabang. Sirip perut juga panjang mencapai pangkal sirip anal, letak sirip perut

lebih dekat ke pangkal sirip anal dibanding sirip dada. Pangkal sirip anal sejajar

dengan jari ketiga dari sirip punggung. Genus Cheilopogon memiliki rahang bawah

sedikit lebih panjang dibanding rahang atas sebaliknya genus Cypselurus memiliki

rahang bawah lebih pendek atau relatif sama panjang dengan rahang atas.

Pengamatan secara morfologi menunjukkan bahwa C. abei pada bagian sirip

dada memiliki cross band umumnya berwarna kuning dan sirip punggung serta sirip

perut terdapat spot hitam yang jelas (Gambar 5). C. abei memiliki panjang sirip

dada berkisar antara 81,20-127,00 mm Panjang rahang atas antara 3,45-9,35 mm

dan rahang bawah sedikit lebih panjang yaitu antara 5,00-11,30 mm. Seperti halnya

pada C. abei, spesies C. katoptron juga memiliki cross band pada sirip dada yang

berwarna pucat dengan sirip punggung dan sirip perut tanpa spot hitam (Gambar 6).

Cheilopogon katoptron memiliki panjang sirip dada antara 85,00-124,15 mm.

Panjang rahang atas antara 4,30-15,00 mm dan rahang bawah lebih panjang yaitu

antara 6,00-17,00 mm.

Page 27: Thesis PDF

27

Pada C. spilopterus, sirip dada memiliki sejumlah spot hitam kecil namun sirip

punggung dan sirip perut tanpa spot hitam (Gambar 7). Sirip dada memilki panjang

antara 88,00-146,25 mm. Rahang bawah juga lebih panjang (7,00-16,00 mm )

sebaliknya rahang atas lebih pendek dengan panjang berkisar antara 3,45-9,35 mm.

Hampir sama dengan C. spilopterus, pada Cypselurus poecilopterus sirip dada juga

memiliki sejumlah spot hitam tetapi lebih tersusun rapi menyilang. Walaupun sirip

punggung tidak berspot, namun sirip perut memiliki sejumlah kecil spot hitam

(Gambar 8). Panjang sirip dada antara 48,35-115,00 mm. Panjang rahang atas

antara 4,00-12,10 mm dan panjang rahang bawah juga berkisar antara 4,25-14,35

mm.

Gambar 5. Morfologi ikan terbang Cheilopogon abei

Gambar 6. Morfologi ikan terbang Cheilopogon katoptron

Page 28: Thesis PDF

28

Gambar 7. Morfologi ikan terbang Cheilopogon spilopterus

Gambar 8. Morfologi ikan terbang Cypselurus poecilopterus

B. Karakter Morfometrik dan Meristik Ikan Terbang Selat Makassar dan Laut Flores

Untuk mengetahui besarnya perbedaan antar spesies pada kedua lokasi

dapat dilihat pada Tabel 2 untuk lokasi perairan Selat Makassar. dan Tabel 3 untuk

Laut Flores. Di Selat Makassar analisis perbedaan kelompok menunjukkan bahwa

spesies Cheilopogon spilopterus dan Cypselurus poecilopterus mempunyai

perbedaan jarak terbesar (133,499) yang berarti mempunyai perbedaan morfometrik

dan meristik paling besar, sedangkan perbedaan jarak antara C. spilopterus dan C.

Page 29: Thesis PDF

29

katoptron adalah yang terkecil (47,451) yang berarti perbedaan morfometrik dan

meristik antara keduanya juga kecil (Tabel 2 dan Gambar 9 A).

Untuk lokasi Laut Flores perbedaan kelompok menunjukkan bahwa C.

spilopterus dan C. poecilopterus mempunyai perbedaan morfometrik dan meristik

paling besar (111,719), sedangkan C. abei dan C. spilopterus mempunyai perbedaan

morfometrik dan meristik paling kecill (32,978) (Tabel 3 dan Gambar 9 B).

Berdasarkan hasil pengamatan secara meristik, spesies C. abei dan C.

poecilopterus untuk kedua lokasi perairan memiliki variasi jumlah sisik depan sirip

punggung 22-31 dan 22-31 (Tabel 4), relatif lebih banyak daripada yang

dikemukakan oleh Parin (1999) yaitu 23-29 dan 24-28. Spesies C. spilopterus

memiliki jumlah sisik bagian depan sirip punggung 27-40 untuk lokasi Selat Makassar

dan 24-40 untuk Laut Flores. Ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Parin (1999)

yaitu antara 28-34. Demikian pula jumlah sisik bagian depan sirip punggung spesies

Cheilopogon katoptron yaitu 25-34 untuk lokasi Selat Makassar dan 26-34 untuk Laut

Flores, relatif lebih besar kisarannya dibanding menurut Parin (1999) , yaitu sekitar

23-29.

Jumlah jari-jari sirip punggung keempat spesies ikan terbang dari kedua

lokasi lebih banyak 2-4 jari dibanding jumlah jari-jari sirip anal (Tabel 4). Data yang

diperoleh relatif sama dengan yang ditemukan Parin (1999) yaitu jumlah jari-jari sirip

punggung biasanya lebih banyak 2-5 jari dibanding sirip anal.

Jumlah sisik garis rusuk untuk lokasi Selat Makassar adalah 39-57 dan

jumlah sisik di atas garis rusuk adalah 5-9. Tidak jauh berbeda pada ikan terbang

dari lokasi Laut Flores, jumlah sisik garis rusuk dan jumlah sisik atas rusuk berturut-

turut adalah 39-53 dan 6-9.

Page 30: Thesis PDF

30

Tabel 2. Hasil analisis perbedaan antara Cheilopogon abei, Cheilopogon

spilopterus, Cheilopogon katoptron, dan Cypselurus poecilopterus untuk lokasi Selat Makassar

Spesies Squared Euclidean Distance

Cheilopogon abei

Cheilopogon spilopterus

Cheilopogon katoptron

Cypselurus poecilopterus

Cheilopogon abei

Cheilopogon spilopterus

56.665

Cheilopogon katoptron

71.492 47.451

Cypselurus poecilopterus

63.986 133.499 82.908

Tabel 3. Hasil analisis perbedaan antara Cheilopogon abei, Cheilopogon

spilopterus, Cheilopogon katoptron, dan Cypselurus poecilopterus untuk lokasi Laut Flores

Spesies Squared Euclidean Distance

Cheilopogon abei

Cheilopogon spilopterus

Cheilopogon katoptron

Cypselurus poecilopterus

Cheilopogon abei

Cheilopogon spilopterus

32.978

Cheilopogon katoptron

65.746 44.124

Cypselurus poecilopterus

107.100 111.719 94.332

Page 31: Thesis PDF

31

Gambar 9 A. Dendrogram spesies ikan terbang berdasarkan kemiripan fenotipe untuk lokasi Selat Makassar

Gambar 9 B. Dendrogram spesies ikan terbang berdasarkan kemiripan fenotipe

untuk lokasi Laut Flores

Jumlah sisik garis rusuk untuk lokasi Selat Makassar adalah 39-57 dan

jumlah sisik di atas garis rusuk adalah 5-9. Tidak jauh berbeda pada ikan terbang

dari lokasi Laut Flores, jumlah sisik garis rusuk dan jumlah sisik atas rusuk berturut-

turut adalah 39-53 dan 6-9.

Page 32: Thesis PDF

32

Berdasarkan uraian di atas diperoleh gambaran bahwa variasi karakter meristik

antar individu ikan terbang Selat Makassar dan ikan terbang Laut Flores pada

spesies yang sama sangat rendah. Karakter meristik memiliki dasar genetik yang

ditentukan selama masa awal larva (Smith et al., 2002). Rendahnya variasi genetik

ini kemungkinan disebabkan oleh kelebihan penangkapan (overfishing) dan faktor

lingkungan yang memodifikasi sifat keturunan. Padahal populasi dengan variasi

genetik yang tinggi memiliki peluang hidup yang lebih baik (Yusron, 2005; Jawad,

2001).

Menurut Fahri et al. (2001), ikan pelagis memiliki heterosigositas yang tinggi.

Sebagai salah satu jenis ikan pelagis mestinya ikan terbang memiliki heterosigositas

yang relatif tinggi. Ikan terbang diperkirakan tidak termasuk ke dalam kelompok

tersebut, karena pergerakan populasi ikan terbang diduga tidak terlalu jauh. Seperti

yang ditemukan di perairan Selat Makassar (Majene), ikan terbang tertangkap

nelayan setempat hampir sepanjang tahun dan puncaknya adalah pada Musim

Timur-Barat.

Hasil analisis stepwise diskriminan (Pollar et al. 2007) antar spesies di kedua

perairan (Tabel 5) menunjukkan bahwa dari 28 variabel morfometrik yang diuji

terdapat empat variabel yang masuk dalam fungsi persamaan diskriminan karena

memiliki nilai F hitung yang tinggi dan signifikan (P<0,01) yaitu Tinggi bawah mata

(TBM), Panjang dasar sirip anal (PDSA), Panjang rahang bawah (PRB), dan Tinggi

badan (TB) sehingga dapat dikatakan bahwa keempat variabel tersebut

mendiskriminasi keempat jenis ikan terbang.

Page 33: Thesis PDF

33

Tabel 4. Nilai kisaran karakter meristik ikan terbang di perairan Selat Makassar dan Laut Flores

Karakter Meristik

Spesies

Cheilopogon abei

Cheilopogon spilopterus

Cheilopogon katoptron

Cypselurus poecilopterus

SM LF SM LF SM LF SM LF

D 9-13 11-14 10-13 10-13 9-12 9-12 9-13 9-12

E 18-27 19-24 19-26 20-24 19-24 20-23 18-23 19-23

V 6 6 6 6 6 6 6 6

P 12-15 13-15 12-15 13-15 12-16 12-16 13-16 13-16

A 6-11 7-11 8-11 7-10 6-9 6-9 6-10 6-8

F 39-57 39-53 42-58 42-58 39-56 42-59 38-53 38-59

G 5-9 6-9 6-9 6-11 6-10 6-11 5-9 5-8

I 22-31 22-31 27-40 24-40 25-34 26-34 22-31 22-31

L 4-7 4-7 3-8 4-7 4-7 4-7 3-6 4-6

M 18-24 17-24 18-25 18-25 19-23 19-22 16-27 18-27

Keterangan:

SM : Selat Makassar A : Jumlah jari-jari sirip anal LF : Laut Flores F : Jumlah sisik garis rusuk D : Jumlah jari-jari sirip punggung G : Jumlah sisik di atas garis rusuk E : Jumlah jari-jari sirip ekor I : Jumlah sisik depan sirip punggung V : Jumlah jari-jari sirip perut L : Jumlah sisik pada batang ekor P : Jumlah jari-jari sirip dada M : Jumlah tulang saring insang

Tabel 5. Uji stepwise variabel morfometrik pembentuk fungsi diskriminan spesies Cheilopogon abei, Cheilopogon spilopterus, Cheilopogon katoptron, dan Cypselurus poecilopterus antar lokasi Selat Makassar (SM) dan Laut Flores (LF).

Step Entered

Min. D Squared

Statistic Between Exact F

Groups Statistic Sig.

1 Tinggi bawah mata (TBM)

0,137 SM dan LF 17,500 0,000

2 Panjang dasar sirip anal (PDSA)

0,231 SM dan LF 14,684 0,000

3 Panjang rahang bawah (PRB)

0,322 SM dan LF 13,644 0,000

4 Tinggi badan (TB)

0,360 SM dan LF 11,418 0,000

Page 34: Thesis PDF

34

C. Morfometrik dan Meristik Ikan Terbang Jantan dan Betina

1. Cheilopogon abei

Hasil analisis uji-t karakter morfometrik dan meristik antara Cheilopogon abei

jantan dan betina lokasi Selat Makassar pada umumnya tidak menunjukkan

perbedaan nyata (α=0,05). Namun demikian dari 29 variabel morfometrik dan 10

variabel meristik yang diuji terdapat 4 karakter morfometrik yang berbeda secara

signifikan yaitu karakter LM (lebar mata), PSPBE (panjang antara pangkal sirip perut

hingga batang ekor), dan PJSP (panjang jari sirip perut) lebih besar pada betina

dibanding pada jantan, sebaliknya karakter PJSA (panjang jari sirip anal) lebih besar

pada jantan daripada betina. (Lampiran 2). Selanjutnya karakter morfometrik dan

meristik antara C. abei jantan dan betina lokasi Laut Flores lebih banyak

memperlihatkan perbedaan nyata. Karakter yang berbeda nyata tersebut adalah BT

(berat total ), PT (panjang total), PB (panjang baku), PC (panjang cagak), PK

(panjang kepala), TK (tinggi kepala), PH (panjang hidung), LM (lebar mata), PRA

(panjang rahang atas), PMSPC (panjang antara mata dengan sudut preoperkulum),

TBE (tinggi batang ekor), PBDSP (panjang bagian depan sirip punggung), dan

PBISP (panjang antara belakang tutup insang hingga sirip perut).

Dari semua karakter yang berbeda nyata tersebut ikan betina memiliki ukuran

karakter yang lebih besar dibanding ikan jantan (Lampiran 6). Menurut Ali (2005),

ikan terbang betina mengalami pertumbuhan tertinggi antara bulan Maret – April

karena energi makanan masih banyak digunakan dalam proses pertumbuhan, dan

pada saat memasuki bulan April – Mei serta Mei – Juni pertumbuhan menjadi lambat

bersamaan dengan masa-masa perkembangan gonad dan pemijahan ikan terbang.

Hasil analisis uji-t karakter morfometrik dan meristik antara ikan jantan dari

Selat Makassar dan ikan jantan dari Laut Flores memperlihatkan bahwa dari 39

parameter (karakter morfometrik dan meristik) yang dianalisis ada 13 (33%) karakter

Page 35: Thesis PDF

35

yang berbeda nyata dimana semua karakter morfometrik dan meristik pada ikan

jantan dari Laut Flores nilainya lebih besar dibanding pada jantan dari Selat

Makassar, kecuali pada karakter TBM (tinggi bawah mata) ikan jantan Selat

makassar bernilai lebih besar dibanding ikan jantan Laut Flores (Lampiran 10).

Demikian pula antara ikan betina dari Selat Makassar dan ikan betina dari Laut

Flores, dari 22 (56%) karakter yang berbeda nyata ikan betina Laut Flores memiliki

nilai lebih besar dibanding ikan betina Selat Makassar, kecuali pada karakter TBM

(Lampiran 11).

2. Cheilopogon spilopterus

Antara ikan jantan dan ikan betina Cheilopogon spilopterus dari Selat

Makassar, karakter yang memperlihatkan perbedaan nyata adalah PBISP (panjang

antara belakang tutup insang hingga sirip perut), E (jumlah jari-jari sirip ekor), dan I

(jumlah sisik bagian depan sirip punggung). Ukuran karakter ikan jantan lebih besar

dibanding ikan betina, kecuali pada karakter D (jumlah jari-jari sirip punggung),

ukuran ikan betina lebih besar dibanding ikan jantan (Lampiran 3).

Selanjutnya untuk lokasi Laut Flores karakter antara ikan jantan dan betina

yang berbeda nyata adalah PK (panjang kepala), LK (lebar kepala), TBM (tinggi

bawah mata), dan LBM (lebar bukaan mulut). Nilai karakter-karakter tersebut lebih

besar pada ikan betina dibanding ikan jantan. Sebaliknya nilai karakter E (jumlah

jari-jari sirip ekor), P (jumlah jari-jari sirip dada), dan L (jumlah sisik batang ekor) lebih

besar pada ikan jantan dibanding ikan betina (Lampiran 7).

Terdapat 6 (15%) karakter morfometrik dan meristik antara C. spilopterus

jantan dari Selat Makassar dan jantan dari Laut Flores yang berbeda nyata dan

sebanyak 33 (85%) yang tidak berbeda nyata. Karakter yang berbeda nyata tersebut

adalah TBM dan I (jumlah sisik bagian depan sirip punggung) dimana ikan jantan

Selat makassar memilki ukuran karakter lebih besar dibanding ikan jantan Laut

Page 36: Thesis PDF

36

Flores. Sebaliknya nilai karakter PSPBE (panjang antara pangkal sirip perut hingga

batang ekor), P, G (jumlah sisik atas rusuk), dan L (jumlah sisik batang ekor) lebih

besar pada ikan jantan Laut Flores dibanding ikan jantan Selat Makassar (Lampiran

12). Kemudian antara ikan betina Selat Makassar dan ikan Betina Laut Flores hanya

ada 3 (8%) karakter yang berbeda nyata yaitu karakter PRA (panjang rahang atas),

PRB (panjang rahang bawah), dan TB (tinggi badan) dimana nilai karakter ikan

betina Laut Flores lebih besar dibanding ikan betina Selat Makassar (Lampiran 13).

3. Cheilopogon katoptron

Dari lokasi Selat Makassar, antara ikan jantan dan ikan betina spesies

Cheilopogon katoptron karakter yang berbeda nyata adalah PDSA (panjang dasar

sirip anal) dan A (jumlah jari-jari sirip anal) dengan nilai karakter terbesar pada ikan

jantan (Lampiran 4). Demikian pula antara ikan jantan dan ikan betina dari Laut

Flores hanya karakter A yang berbeda nyata dan ikan jantan memilki nilai lebih besar

dibanding ikan betina (Lampiran 8).

Hasil uji-t baik antar ikan jantan Selat makassar dan ikan jantan dari Laut

Flores maupun antara ikan betina Selat Makassar dan ikan betina dari Laut Flores

memperlihatkan 39 (100%) karakter yang tidak berbeda nyata (Lampiran 14 dan 15).

4. Cypselurus poecilopterus

Pada spesies Cypselurus Poecilopterus asal Selat Makassar, hasil uji-t antara

ikan jantan dan ikan betina menunjukkan karakter yang berbeda nyata adalah PT

(panjang total), PJSP, dan D (Lampiran 5). Sedangkan yang berasal dari Laut Flores

karakter yang berbeda nyata adalah PJSP dan A (Lampiran 9).

Hasil analisis karakter morofometrik dan meristik antara ikan jantan dari Selat

Makassar dan ikan jantan dari Laut Flores memperlihatkan 39 (100%) karakter yang

tidak berbeda nyata (Lampiran 16). Demikian pula antara ikan betina dari Selat

Page 37: Thesis PDF

37

Makassar dan ikan betina dari Laut Flores tidak menunjukkan perbedaan nyata

(Lampiran 17). Tidak adanya perbedaan nyata antara karakter morfometrik dan

meristik antara ikan jantan dari Selat Makassar dan Laut Flores, demikian pula

antara ikan betina dari Selat Makssar dan Laut Flores baik spesies Cheilopogon

katoptron maupun Cypselurus poecilopterus menunjukkan bahwa ikan terbang dari

kedua lokasi tersebut baik jantan maupun betina memiliki karakter morfometrik dan

meristik yang relatif sama.

D. Keragaman Morfometrik Ikan terbang

1. Cheilopogon abei

Analisis komponen utama karakter morfometrik ikan terbang Selat Makassar

dan Laut Flores spesies Cheilopogon abei memperlihatkan bahwa ragam pada

sumbu utama pertama hingga ketiga mencapai 86,8%. Hal ini berarti 86% dari data

hasil analisis dapat diterangkan hingga sumbu utama ketiga. Komponen utama

pertama hingga ketiga karakter morfometrik spesies C. abei berturut-turut memiliki

akar ciri 442,585; 42,476; dan 17,802 yang menjelaskan masing-masing 76,4%;

7,3%; dan 3,1% keragaman dari gugus data (Lampiran 18).

Secara umum spesies C. abei dari kedua lokasi penelitian menunjukkan

bahwa pada sumbu 1 dan 2 hampir semua karakter morfometrik ikan terbang dari

kedua lokasi berperan hanya di sekitar sumbu 1. Demikian pula penyebaran individu

yang kelihatannya hanya terpusat di sepanjang sumbu 1 positif dan sumbu 1 negatif

sehingga dipengaruhi oleh karakter yang berperan pada sumbu 1 (Gambar 10).

2. Cheilopogon spilopterus

Pada spesies Cheilopogon spilopterus memperlihatkan bahwa ragam pada

sumbu utama pertama hingga ketiga 89,1%. Hal ini berarti 89,1% dari masing-

masing data hasil analisis dapat diterangkan hingga sumbu utama ketiga. Akar ciri

Page 38: Thesis PDF

38

komponen utama pertama hingga ketiga berturut-turut 812,827; 65,241; 33,381 yang

menjelaskan sumbu 1 sebesar 79,4%; sumbu 2 sebesar 6,4%, dan sumbu 3 sebesar

3,3% keragaman dari gugus data (Lampiran 19).

Sama halnya pada spesies C. abei, spesies C. spilopterusi dari kedua lokasi

penelitian juga menunjukkan bahwa pada sumbu 1 dan 2 hampir semua karakter

morfometrik berperan hanya di sekitar sumbu 1. Demikian pula penyebaran individu

yang kelihatannya hanya terpusat di sepanjang sumbu 1 positif dan sumbu 1 negatif

(Gambar 11). Oleh karena itu dapat dikatan bahwa penyebaran tersebut lebih

mewakili variasi ukuran tubuh.

3. Cheilopogon katoptron

Untuk spesies Cheilopogon katoptron dari lokasi Selat Makassar dan Laut

Flores, analisis komponen utama menunjukkan ragam sumbu utama pertama

hingga ketiga yang dapat diterangkan sebesar 89,4% dengan akar ciri berturut-turut

685,670; 251,165; dan 64,956 yang menjelaskan keragaman gugus data tiga sumbu

utama masing-masing 61,2%; 22,4%; dan 5,8% (Lampiran 20).

Hanya spesies C. katoptron yang pada sumbu 1 dan 2 (Gambar 12)

penyebaran individunya berada di antara sumbu 1 positif dan sumbu 2 positif serta

antara sumbu 1 negatif dan sumbu 2 negatif. Namun demikian, sebaran individu

tidak menunjukkan adanya pengelompokan yang jelas dan tidak memperlihatkan

kecenderungan yang berlawanan.

4. Cypselurus poecilopterus

Hasil analisis komponen utama spesies Cypselurus poecilopterus dari lokasi

Selat Makassar dan Laut Flores menunjukkan ragam sumbu utama pertama hingga

ketiga yang dapat diterangkan sebesar 84,4%. Sebaliknya akar ciri spesies C.

Page 39: Thesis PDF

39

poecilopterus masing-masing 410,713; 37,985; dan 36,740 dengan gugus data tiga

sumbu utama masing-masing 71,4%; 6,6%; dan 6,4% (Lampiran 21).

Pada sumbu 1 dan 2 semua karakter morfometrik baik spesies C.

poecilopterus dari Selata Makassar maupun dari Laut Flores berperan hanya di

sekitar sumbu 1. Demikian pula penyebaran individu yang hanya terpusat di

sepanjang sumbu 1 positif dan sumbu 1 negatif (Gambar 13), sehingga diduga ikan

terbang dari kedua lokasi memiliki variasi karakter morfometrik yang sama.

Page 40: Thesis PDF

40

Keterangan: a1 Cheilopogon abei Selat Makassar a1 Cheilopogon abei Laut Flores Gambar 10. Grafik korelasi antar karakter morfometrik dan antar individu ikan

terbangCheilopogon abei Selat Makassar dan Laut Flores pada sumbu (axis) 1 dan 2

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

-1.9

-3.8

-5.7

-7.6

1.9

3.8

5.7

7.6

9.5

PT

PS

FL

PKTKLKPHPBKBMLMTBM

PRAPRBPMSPCLBMTBLBTBEPBE

PBDSP

PBISP

PSPBE

PSDBEPDSDPJSDPJSP

PSD

PDSAPJSA

Vector scaling: 10.22

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

a1a1a1 a1 a1

a1a1 a1a1a1

a1 a1a1

a1 a1a1a1

a1 a1a1a1

a1

a1a1

a1a1a1 a1a1 a1a1a1 a1a1a1 a1a1 a1 a1a1a1 a1

a1

a1

a1a1

a1

a1

a1a1

a1 a1a1a1a1 a1a1a1

a1

a1a1 a1a1

a1 a1a1a1

a1 a1a1a1a1 a1a1a1a1

a1a1 a1a1a1a1

a1a1a1a1

a1a1

a1a1a1 a1 a1a1 a1a1a1

a1 a1a1a1a1a1a1a1a1a1a1 a1 a1a1a1

a1 a1 a1a1 a1a1 a1a1 a1a1a1 a1a1 a1a1a1a1 a1a1

a1a1a1a1a1a1a1 a1a1

a1a1 a1a1a1a1a1 a1a1a1a1 a1a1

a1a1 a1

a1a1a1

a1a1 a1 a1a1 a1

a1a1 a1a1 a1a1

a1a1a1

a1a1 a1a1

a1 a1a1 a1a1 a1a1a1a1

a1a1a1a1a1a1 a1a1 a1a1 a1a1 a1a1a1 a1a1

a1 a1a1 a1a1a1 a1a1a1

a1a1

a2a2a2

a2a2a2 a2 a2

a2 a2a2

a2a2 a2a2

a2 a2

a2

a2a2a2a2 a2a2a2

a2 a2a2a2 a2a2a2

a2a2

a2a2a2 a2a2 a2a2a2a2

a2a2 a2a2 a2 a2 a2a2a2

-1.1

-2.3

-3.4

-4.6

-5.7

1.1

2.3

3.4

4.6

-1.1-2.3-3.4-4.6-5.7 1.1 2.3 3.4 4.6

Page 41: Thesis PDF

41

Keterangan: b1 Cheilopogon spilopterus Selat Makassar b2 Cheilopogon spilopterus Laut Flores Gambar 11. Grafik korelasi antar karakter morfometrik dan antar individu ikan

terbang Cheilopogon spilopterus lokasi Selat Makassar dan Laut Flores pada sumbu (axis) 1 dan 2

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

b1

b1

b1

b1

b1

b1b1

b1

b1

b1b1

b1

b1 b1b1 b1

b1

b1b1 b1

b1b1

b1 b1b1b1

b1

b1

b1

b1b1 b1

b1

b1

b1

b1

b1b1

b1

b1

b1b1

b1 b1b1

b1

b1

b1b1

b1b1

b1b1b1b1 b1

b1b1

b1b1

b1b1

b1 b1b1

b1b1

b1b1b1b1 b1

b1b1b1b1

b1 b1

b1b1b1

b1b1

b1b1 b1

b1

b1

b1

b1b1 b1b1b1 b1

b1b1 b1

b1b1

b1b1

b1b1 b1b1b1b1 b1

b1b1

b1b1

b1

b1

b1 b1b1

b1b1

b1

b1b1

b1b1 b1b1 b1

b1

b1

b1b1

b1

b1b1

b1b1b1

b1b1 b1b1

b1b1

b1

b1

b1b1b1 b2 b2b2 b2

b2b2

b2

b2b2 b2

b2b2

b2

b2

b2

b2

b2 b2

b2b2b2b2

b2b2b2

b2b2b2

b2b2

b2

b2

-2.3

-4.6

2.3

4.6

6.9

9.2

11.4

-2.3-4.6 2.3 4.6 6.9 9.2 11.4

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

-2.3

-4.6

-6.9

-9.2

-11.4

2.3

4.6

6.9

9.2

11.4

-2.3-4.6-6.9-9.2-11.4 2.3 4.6 6.9 9.2 11.4

PT

PSFL

PKTKLKPHPBKBMLMTBMPRAPRBPMSPCLBMTBLB

TBEPBE

PBDSP

PBISP

PSPBEPSDBEPDSD

PJSDPJSP

PSDPDSA

PJSA

Vector scaling: 17.27

Page 42: Thesis PDF

42

Keterangan: c1 Cheilopogon katoptron Selat Makassar c2 Cheilopogon katoptron Laut Flores Gambar 12. Grafik korelasi antar karakter morfometrik dan antar individu ikan

terbang Cheilopogon katoptron lokasi Selat Makassar dan Laut Flores pada sumbu (axis) 1 dan 2

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

-2.7

-5.3

-8.0

-10.6

2.7

5.3

8.0

10.6

13.3

-2.7-5.3-8.0-10.6 2.7 5.3 8.0 10.6 13.3

PT

PSFL

PKTKLKPHPBKBMLMTBM

PRAPRBPMSPCLBM

TBLBTBEPBE

PBDSP

PBISP

PSPBEPSDBE

PDSDPJSDPJSP

PSD

PDSAPJSA

Vector scaling: 15.20

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

c1c1 c1

c1

c1c1

c1

c1c1

c1 c1c1c1

c1

c1c1

c1c1

c1

c1

c1 c1c1c1

c1c1

c1

c1c1

c1

c1

c1

c1

c1 c1

c1c1

c1

c1

c1 c1c1 c1

c1c1

c1

c1

c1

c1c1 c1

c1

c1c1 c1

c1c1c1c1c1

c1

c1c1

c1c1c1

c1c1

c1c1

c1c1 c1

c1c1c1c1

c1c1

c1

c1c1c1

c1c1c1

c1

c1c1

c1c1

c2

c2c2

c2

c2

c2

c2

c2

c2

c2c2

c2 c2c2

c2

c2c2c2c2

c2

c2 c2

c2c2

c2

c2c2 c2

c2

c2

c2

c2

-2.0

-3.9

-5.9

-7.9

-9.9

2.0

3.9

5.9

-2.0-3.9-5.9-7.9-9.9 2.0 3.9 5.9

Page 43: Thesis PDF

43

Keterangan: d1 Cypselurus poecilopterus Selat Makassar

d2 Cypselurus poecilopterus Laut Flores Gambar 13. Grafik korelasi antar karakter morfometrik dan antar individu ikan

terbang Cypselurus poecilopterus lokasi Selat Makassar dan Laut Flores pada sumbu (axis) 1 dan 2

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

d1

d1

d1

d1d1

d1 d1

d1d1

d1

d1d1

d1

d1

d1d1d1 d1d1

d1d1d1 d1

d1d1 d1 d1d1 d1 d1d1

d1d1d1

d1d1 d1d1 d1

d1

d1d1d1 d1d1

d1

d1d1d1 d1d1d1d1d1d1 d1d1 d1d1

d1d1d1

d1d1

d1d1

d1d1

d1

d1

d1d1

d1 d1

d1

d1 d1d1d1 d1d1d1d1d1

d1 d1d1d1d1

d1d1d1 d1

d1d1d1

d1

d1

d1d1

d1 d1d1

d1 d1d1d2 d2

d2d2

d2

d2

d2d2d2d2d2

d2d2 d2

d2

d2

d2d2

d2d2d2d2d2 d2d2

d2d2

d2

d2d2

d2

d2d2

d2d2 d2d2 d2

d2

d2

d2 d2d2

d2 d2d2d2 d2d2

-1.1

-2.2

-3.4

-4.5

-5.6

1.1

2.2

3.4

4.5

5.6

-1.1-2.2-3.4-4.5-5.6 1.1 2.2 3.4 4.5 5.6

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

-1.6

-3.2

-4.9

-6.5

-8.1

1.6

3.2

4.9

6.5

8.1

-1.6-3.2-4.9-6.5-8.1 1.6 3.2 4.9 6.5 8.1

PT

PS

FL

PKTKLKPHPBKBMLM

TBMPRAPRBPMSPCLBM

TBLBTBEPBE

PBDSP

PBISP

PSPBE

PSDBEPDSD

PJSDPJSP

PSD

PDSAPJSA

Vector scaling: 11.38

Page 44: Thesis PDF

44

E. Keragaman Nisbah Morfometrik IKan Terbang

1. Cheilopogon abei

Hasil analisis komponen utama (PCA) nisbah morfometrik ikan terbang

terhadap 27 variabel memperlihatkan ragam pada tiga sumbu (axis). Ragam dari tiga

sumbu pertama pada nisbah morfometrik spesies C. abei masing-masing 92,2%;

4,7%; dan 2,1% dengan akar ciri 23,843; 1,226; dan 0,553 (Lampiran 22). Korelasi

antara variabel dan antar individu C. abei memperlihatkan bahwa pada sumbu 1 dan

2 sebaran individu menunjukkan pengelompokan yang jelas karena kelompok

Cheilopogon abei Selat Makassar cenderung menyebar di sekitar titik sumbu menuju

sumbu 1 negatif dan sebaliknya kelompok C. abei Laut Flores berada jauh dari titik

sumbu menuju sumbu 1 positif (Gambar 14).

Kelompok C. abei Selat Makassar dengan penciri utama adalah N25 (nisbah

antara panjang jari sirip punggung dan panjang jari sirip anal), dan N27 (nisbah

antara panjang batang ekor dan tinggi batang ekor) berperan pada bidang negatif

sedangkan kelompok C. abei Laut Flores dengan penciri utama N9 (nisbah antara

tinggi kepala dan lebar mata) berada pada bidang positif. Karakter yang berperan

terhadap penyebaran ikan terbang dari kedua loaksi adalah karakter-karakter yang

berperan pada sumbu 1. Hal ini memberikan gambaran adanya kemungkinan

keduanya berasal dari 2 populasi yang berbeda.

2. Cheilopogon spilopterus

Ragam dari tiga sumbu pertama pada nisbah morfometrik spesies

Cheilopogon spilopterus masing-masing 79,4%; 11,5%; dan 3,3% dengan akar ciri

3,319; 0,479; dan 0,138 (Lampiran 23). Korelasi antar variabel dan antar individu

spesies C. spilopterus pada sumbu 1 dan 2 (Gambar 15) menunjukkan korelasi yang

Page 45: Thesis PDF

45

erat dengan penciri utama N9, N26 (nisbah antara lebar bukaan mulut dan lebar

kepala), dan N27.

Individu ikan terbang C. spilopterus dari kedua lokasi menyebar disekitar titik

sumbu kearah bidang diantara sumbu 1 negatif dan sumbu 2 positif. Semakin jauh

suatu individu meninggalkan sumbu 1 ke arah sumbu 2 positif, nilai rasio N9, N26,

dan N27 semakin kecil karena karakter tersebut bernilai negatif.

3. Cheilopogon katoptron

Untuk spesies Cheilopogon katoptron, ragam dari tiga sumbu pertama nisbah

morfometrik masing-masing 44,3%; 24,3%; dan 3,3% dengan akar ciri 0,645; 0,354;

dan 0,128 (Lampiran 24). Korelasi antar variabel dan antar individu sumbu 1 dan 2

(Gambar 16) dengan penciri utama N6 (nisbah antara panjang kepala dan panjang

hidung), N9, N22 (nisbah antara panjang jari-jari sirip punggung dan panjang dasar

sirip punggung), N26, dan N27.

Penyebaran individu asal Selat Makassar dan Laut Flores menyebar hampir

di semua bidang. Walaupun secara umum sebaran individu tidak menunjukkan

adanya pengelompokan yang jelas namun memperlihatkan kecenderungan yang

berlawanan. Individu asal Selat makassar menyebar pada bidang sumbu 1 positif.

Sedikit sekali individu asal Laut Flores ditemukan pada bidang sumbu 2 negatif

menuju sumbu 1 positif.

4. Cypselurus poecilopterus

Spesies Cypselurus poecilopterus mempunyai ragam tiga sumbu pertama

sebesar 57,1%; 27,5%; dan 4,2% dengan akar ciri masing-masing 0,878; 0,423; dan

0.065 (Lampiran 25). Seperti halnya pada spesies Cheilopogon spilopterus dan

Cheilopogon katoptron, spesies C. poecilopterus juga memiliki korelasi antar variabel

dan antar individu yang erat. Pada sumbu 1 dan 2 (Gambar 17) dengan penciri

Page 46: Thesis PDF

46

utama adalah N6, N9, N10 (nisbah antara tinggi kepala dan tinggi bawah mata), N24

(nisbah antara panjang dasar sirip punggung dan panjang dasar sirip anal), dan N27.

Sebaran individu pada sumbu 1 dan 2 memperlihatkan bahwa seluruh individu

C. poecilopterus baik yang berasal Selat Makassar maupun dari Laut Flores

menempati keempat bidang. Meski demikian individu Selat Makssar menyebar lebih

luas dibanding individu yang berasal dari Laut Flores dengan penciri utama N6 dan

N9.

Page 47: Thesis PDF

47

Keterangan: a1 Cheilopogon abei Selat Makassar a2 Cheilopogon abei Laut Flores Gambar 14. Grafik korelasi antar karakter nisbah morfometrik dan antar individu ikan

terbang Cheilopogon abei lokasi Selat Makassar dan Laut Flores pada sumbu (axis) 1 dan 2

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

a1a1

a1 a1a1a1a1a1

a1a1a1a1a1

a1a1 a1a1a1a1a1a1

a1

a1a1a1a1a1

a1a1a1

a1a1

a1a1a1a1a1

a1a1 a1a1a1a1

a1

a1a1 a1a1

a1a1a1

a1a1a1 a1a1a1a1a1

a1a1a1a1a1a1a1 a1a1

a1a1a1a1a1a1a1a1a1

a1a1a1a1

a1a1

a1a1a1

a1

a1 a1 a1a1a1

a1 a1a1a1 a1a1a1a1a1

a1a1a1a1a1a1

a1 a1a1a1a1a1 a1a1a1a1a1a1a1a1a1a1

a1

a1a1a1

a1a1a1a1a1a1a1a1

a1a1a1a1a1a1

a1a1a1 a1a1a1a1

a1a1 a1a1a1

a1

a1a1a1a1a1a1a1a1 a1a1a1a1a1 a1a1a1 a1a1 a1a1a1 a1a1 a1

a1a1 a1a1a1 a1a1a1

a1a1a1a1a1a1 a1a1a1a1a1a1a1a1a1a1

a1a1a1a1

a1a1a1a1a1a1

a1a1a1 a2a2a2a2 a2a2

a2 a2

a2a2a2

a2a2a2

a2a2a2a2a2

a2a2a2 a2a2a2

a2a2a2

a2a2a2 a2a2

a2a2a2 a2a2a2 a2a2a2

a2a2a2a2a2a2a2a2a2

a2

-0.21

0.21

0.43

0.64

0.86

1.07

-0.21 0.21 0.43 0.64 0.86 1.07

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

-0.3

0.3

0.5

0.8

1.1

1.3

-0.3 0.3 0.5 0.8 1.1 1.3

N1N2N3N4N5

N6

N7N8 N9N10N11N12N13 N14N15N16N17N18N19 N20N21N22

N23

N24

N25 N26N27

Vector scaling: 1.12

Page 48: Thesis PDF

48

Keterangan: b1 Cheilopogon spilopterus Selat Makassar b2 Cheilopogon spilopterusi Laut Flores Gambar 15. Grafik korelasi antar karakter nisbah morfometrik dan antar individu ikan

terbang Cheilopogon spilopterus lokasi Selat Makassar dan Laut Flores pada sumbu (axis) 1 dan 2

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

-0.2

0.2

0.5

0.7

1.0

1.2

N1 N2N3N4N5

N6

N7N8

N9N10N11N12 N13N14N15 N16N17N18N19N20

N21N22N23

N24N25N26 N27

Vector scaling: 0.90

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

b1b1b1

b1 b1b1b1 b1

b1

b1

b1b1

b1 b1b1

b1

b1

b1

b1b1 b1

b1b1b1b1

b1b1 b1

b1b1

b1b1b1

b1

b1b1

b1

b1b1b1b1

b1

b1b1b1b1b1b1b1b1

b1b1b1

b1b1

b1 b1b1b1b1b1

b1b1b1 b1b1b1

b1b1

b1b1b1b1b1b1b1b1b1

b1

b1b1

b1b1

b1b1b1b1b1b1

b1b1b1

b1

b1b1b1

b1

b1b1b1b1b1

b1b1b1b1b1b1

b1b1

b1b1

b1b1b1b1 b1b1b1b1

b1b1b1b1 b1b1

b1b1

b1b1

b1b1b1b1b1b1b1b1

b1b1b1

b1b1b1b1b1

b1

b1b1 b2b2

b2

b2

b2

b2b2

b2

b2b2 b2

b2b2

b2

b2b2

b2b2 b2b2

b2b2

b2b2b2b2b2b2b2

b2b2b2

-0.2

0.2

0.5

0.7

1.0

1.2

Page 49: Thesis PDF

49

Keterangan: c1 Cheilopogon katoptron Selat Makassar c2 Cheilopogon katoptron Laut Flores Gambar 16. Grafik korelasi antar karakter nisbah morfometrik dan antar individu ikan

terbang Cheilopogon katoptron lokasi Selat Makassar dan Laut Flores pada sumbu (axis) 1 dan 2

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

-0.09

-0.18

-0.26

-0.35

0.09

0.18

0.26

0.35

0.44

N1N2N3

N4

N5

N6

N7

N8

N9

N10

N11N12N13N14N15N16N17N18N19 N20N21

N22N23

N24

N25

N26

N27

Vector scaling: 0.47

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

c1

c1

c1

c1

c1

c1

c1

c1

c1

c1c1

c1

c1

c1

c1

c1

c1

c1c1c1

c1

c1c1

c1c1c1

c1c1

c1

c1

c1

c1c1

c1c1c1

c1

c1

c1c1

c1c1c1c1

c1c1

c1

c1

c1

c1

c1c1c1c1c1

c1c1

c1

c1

c1c1

c1

c1c1c1

c1c1

c1

c1c1

c1

c1c1c1

c1c1

c1c1 c1c1

c1

c1c1

c1

c1c1

c1

c1

c1

c1c1

c2c2

c2

c2

c2

c2c2c2c2

c2c2

c2c2 c2c2

c2

c2c2

c2

c2c2

c2c2

c2c2

c2

c2

c2

c2

c2

c2c2

-0.09

-0.17

-0.26

0.09

0.17

0.26

0.34

0.43

Page 50: Thesis PDF

50

Keterangan: d1 Cypselurus poecilopterus Selat Makassar d2 Cypselurus poecilopterus Laut Flores Gambar 17. Grafik korelasi antar karakter nisbah morfometrik dan antar individu ikan

terbang Cypselurus poecilopterus lokasi Selat Makassar dan Laut Flores pada sumbu (axis) 1 dan 2

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1d1 d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1d1

d1

d1

d1d1

d1

d1d1

d1

d1

d1

d1d1

d1

d1

d1d1

d1d1d1

d1

d1

d1d1d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1d1

d1

d1d1

d1

d1

d1d1

d1

d1

d1d1

d1d1d1

d1

d1

d1

d1d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1

d1d1d1

d1d1d1

d1d1 d1

d1 d1d1

d1

d1

d1

d2

d2

d2

d2

d2

d2

d2

d2

d2

d2

d2

d2d2

d2

d2d2

d2d2

d2

d2

d2

d2

d2

d2

d2

d2d2 d2

d2

d2

d2

d2d2

d2

d2

d2

d2

d2

d2d2

d2

d2

d2

d2

d2

d2

d2

d2

d2

-0.07

-0.15

-0.22

0.07

0.15

0.22

0.29

0.36

PCA case scores

Axis

2

Axis 1

-0.08

-0.17

-0.25

-0.33

0.08

0.17

0.25

0.33

0.41

N1 N2N3N4N5

N6

N7 N8

N9

N10N11N12N13N14N15 N16N17N18N19 N20N21 N22N23N24N25N26N27

Vector scaling: 0.46

Page 51: Thesis PDF

51

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan maka dapat

disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Karakter morfologi kualitatif (motif cross band dan spot hitam pada sirip dada)

yang dapat digunakan untuk membedakan keempat jenis ikan terbang yaitu

Cheilopogon abei memiliki cross band umumnya berwarna kuning pada

bagian sirip dada dan terdapat spot hitam yang jelas pada sirip punggung

serta sirip perut, pesies Cheilopogon katoptron juga memiliki cross band

berwarna pucat pada sirip dada dengan sirip punggung dan sirip perut tanpa

spot hitam, spesies Cheilopogon spilopterus memiliki sejumlah spot hitam

kecil pada sirip dada namun sirip punggung dan sirip perut tanpa spot hitam,

serta spesies Cypselurus poecilopterus memiliki sejumlah spot hitam pada

sirip dada tetapi lebih tersusun rapi menyilang. Walaupun sirip punggung tidak

berspot, namun sirip perut memiliki sejumlah kecil spot hitam.

2. Hasil analisis komponen utama (PCA) dari kedua lokasi memperlihatkan

bahwa spesies C. abei pada sumbu 1 dan 2 membentuk kelompok Selat

Makassar dan kelompok Laut Flores, sedangkan spesies C. spilopterus, C.

katoptron, dan C. poecilopterus tidak menunjukkan pengelompokan yang

nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa kemungkinan spesies ikan terbang dari

kedua lokasi tersebut berasal dari populasi yang sama, kemudian masing-

masing beradaptasi dengan lingkungannya sehingga memiliki hasil analisis

komponen utama (PCA) yang sedikit berbeda.

3. Berdasarkan hasil pengamatan secara meristik keempat spesies ikan terbang

antara kedua lokasi memiliki variasi yang sangat kecil, namun memiliki kisaran

yang relatif lebih lebar daripada yang dikemukakan oleh Parin (1999) untuk

keempat spesies ikan terbang tersebut.

Page 52: Thesis PDF

52

4. Populasi ikan terbang yang terdapat di perairan Selat Makassar merupakan

populasi yang sama dengan populasi ikan terbang yang terdapat di Laut

Flores.

B. Saran

1. Penelitian tentang karakter morfologi dikaitkan dengan genetik ikan terbang

perlu dilakukan sebagai dasar pengembangan kegiatan budidaya dan

restocking tersebut.

2. Untuk mendukung upaya peningkatan populasi ikan terbang dan

pelestariannya, maka harus segera dilakukan pengurangan intensitas

penangkapan dan dibuat regulasi perdagangan terutama telur ikan terbang

maupun kegiatan restocking dan budidaya.

Page 53: Thesis PDF

53

DAFTAR PUSTAKA

Alhusin, S. 2003. Aplikasi Statistik Praktis dengan SPSS 10 for Windows. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.

Ali, S. A., 2005. Kondisi Sediaan dan Keragaman Populasi dan Biologi Reproduksi

Ikan Terbang (Hirundichthys oxycephalus Bleeker, 1852) di Laut Flores dan Selat Makassar. Disertasi. Program Pascasarjana Unhas, Makassar.

Andy Omar, S. Bin. 2003. Studi morfometrik cumi-cumi Sepioteuthis lessoniana.

Torani, 13(2): 102-108. Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisa Data Biofisik

Sumberdaya Pesisir. PKSPL-IPB, Bogor. Bernawis, L. I., 2005. Indonesia; Mengapa laut kita istimewa untuk interaksi laut-

atmosfer?. Inovasi Vol.4/XVII/ Agustus 2005. Bigelow, H.B. and W.C. Schroeder. 2002. Fishes of the Gulf of Maine. The flying

fishes, family Exocoetidae. Fishery Bulletin, 53: 172. Burhanuddin, A.I., Y. Iwatsuki, T. Yoshino, and S. Kimura. 2002. Small and valid

species of Trichiurus brevis Wang and You, 1992 and T. russelli Dhutt and Thankam, 1996, defined as the “T. russelli cimplex” (Perciformes; Trichiuridae). Ichthyological Research, 49: 211-223.

Cavalcanti, M.J., L.R. Monteiro, and P.R.D. Lopes. 1999. Land-mark-based

morphometric analysis in selected species of serranid fishes (Perciformes: Teleostei). Zoological Studies, 38(3): 287-294.

Dasilao, J.C., Jr., K. Sasaki, and O. Okamura. 1996. The hemiramphid,

Oxyporhamphus, is a flyingfish (Exocoetidae). Ichthyological Research, 44(2): 101-107.

Dasilao, J.C., Jr., R. Rossiter, and K. Yamaoka. 2002. Adaptive ontogenetic shape

change in flyingfish Parexocoetus mento mento. Fisheries Science, 68: 71-76.

Diposaptono, S., 2001. Karakter laut pada kota pantai, hal. 219-226. Prosiding, Studi Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global.

Fahri, S., K. Sumantadinata, O. Carman, K. Sugama, dan Sulaeman. 2001. Keragaman genetik ikan terbang (Cypselurus opisthopus) di perairan Teluk Mandar, Teluk Manado, dan Teluk Tomini Sulawesi. Maritek, 1(2): 1-12.

Gomes, C., H.A. Oxenford, and R.B.G. Dales. 1999. Mitochondrial DNA D-loop

variation and implication for stock structure of the four-wing flyingfish, Hirundichthys affinis, in the Central Western Atlantic. Bulletin of Marine Science, 64: 485-500.

Page 54: Thesis PDF

54

Hadikusumah, 2006. Diagram T-S-CH di Selat Makassar: kaitannya dengan upwelling tahun 1999, 2003 dan 2004. Jurnal Teknik Lingkungan Edisi Khusus, Agustus 2006.

Hubbs, C.L. and K.F. Lagler. 1958. Fishes of the Great Lakes Region. University of

Michigan Press, Ann Arbor, Michigan. Hurlbut, T. and D. Clay. 1998. Morphometric and meristic differences between

shallow and deep-water population of white hake (Urophycis tenuis) in the Southern Gulf of St. Lawrence. NRC Canadan Journal Fishery Aquatic Science, 55: 2274-2282.

Jawad, L. A. 2001. Variation in meristic characters of a tilapian fish, Tilapia zilli

(Gervais, 1848) from the inland water bodies in Libya. Acta Ichthyologica et Piscatoria, 31(1): 159 -164.

Kutschera, U. 2005. Predator-drive macroevolution in flyingfishes inferred from

behavioural studies: historical controversies and a hypothesis. Annals of the History and Phylosophy of Biology, 10: 59-77.

Laudien, J., N.S. Flint, F.H. van der Bank, T. Brey. 2003. Genetic and morphological

variation in four population of the surf clam Donax serra (Röding) from Southern African sandy beaches. Biochemical Systematic and Ecology, 31: 751-772.

Lee, Y.H, H.T. Huang, H.K. Mok. 2007. Microscopic structure and digital

morphometric analysis of the statoconia of hagfish, Paramyxine nelsoni (Myxiniformes). Zoological Studies, 46(1): 1-5.

Mulyadi. 2007. Mencari lokasi “upwelling” dengan bio-indikator kopepoda.

(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/09/ilpeng/ 1799344.htm). (Online 25 Februari 2007). Nelson, J.S. 2006. Fishes of the World. John Wiley and Sons, Inc. New York. 4th

Edition, pp. 601. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Cetakan Keempat (Edisi Revisi). Penerbit

Djambatan, Jakarta. Overton, J.L., 1999. Morphometrics and ecology of the mud crab (Scylla spp) from

Southeast Asia, pp. 35-42. In Keenan, C.P. and A. Blackshaw (eds.) Mud Crab Aquaculture and Biology. ACIAR Proceeding, Canberra.

Oxenford, H.A. 1994. Movements of flyingfish (Hirundichthys affinis) in the Eastern

Caribbean. Bulletin of Marine Science, 54: 49-62. Parin, N.V. 1999. Exocoetidae, pp. 2162-2179. In Carpenter, K.E. and V.H. Niem

(eds.). FAO Species Identification Guide for Fishery Purpose. The Living Marine- Resources of Western Cenral Pacific. Volume 4. Bony Fishes (Mugilidae to Carangidae). FAO, Rome.

Pariwono, J.T., A.G. Ilahude, M. Hutomo. 2005. Progress in oceanography of the

Indonesian seas. A Historical Perspective. Oceanography, 18(4): 42-49.

Page 55: Thesis PDF

55

Pollar, M., M. Jaroensutasinee, dan K. Jaroensutasinee. 2007. Morphometric

analysis of Tor tambroides by stepwise discriminant and neural network analysis. Enformatika, 19: 392-396.

Prayogo, T., 2003. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk

pengembangan ekonomi nelayan. Pusbangja LAPAN, Berita Inderaja Vol. I. II, No.3, Juli 2003.

Smith, N.A. 2004. Feeding Biology and Morphometric Analysis of Paddlefish,

Polyodon spathula, In The Mermentau River, Louisiana. Thesis. B.S. Louisiana State University.

Smith, P.J., P.J. McMillan, B. Bull, S.M. McVeagh, P.M. Gaffney, and S. Chow.

2002. Genetic and meristic variation in black and smooth oreos in the New Zealand Exclusive Economic Zone. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research, 36: 737-750.

Spall, M.A. 2003. Islands in zonal flow. Journal of Physical Oceanography, 33:

2689-2701. Standard Names of Australian Fishes. 2006. Series: CSIRO Marine and

Atmospheric Research Paper; 9. Australia. Wijaya. 2000. Analisis Statistik dengan Program SPSS 10. Alfabeta, Bandung. World Resources Institute. Biodiversity Glossary Terms.

(http://www.wri.org/biodiv/pubs_content_text.cfm?cid=1685). (Online 25 Februari 2007).

Yahya, M.A., I. Jaya, R.F. Kaswadji, dan A. Hanggono. 2001. Hubungan

karakteristik laut dengan produksi hasil tangkapan ikan terbang (Cypselurus spp) di Selat Makassar. Maritek. 1(1): 29-46.

Yatim, W. 1996. Genetika. Edisi Kelima. Penerbit Tarsito, Bandung. Yusron, E. 2005. Pemanfaatan keragaman genetik dalam pengelolaan sumberdaya

hayati laut. Oseana 30(2): 29-34.