KAJIAN MORFOMETRIK DAN MERISTIK IKAN TERBANG YANG TERTANGKAP DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR DAN LAUT FLORES THE MORFOMETRIC AND MERISTIC STUDY OF THE FLYINGFISH CAUGHT IN MAKASSAR STRAIT AND FLORES SEA N U R L I N A PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2007
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KAJIAN MORFOMETRIK DAN MERISTIK IKAN TERBANG YANG TERTANGKAP DI PERAIRAN
SELAT MAKASSAR DAN LAUT FLORES
THE MORFOMETRIC AND MERISTIC STUDY OF THE FLYINGFISH CAUGHT IN MAKASSAR STRAIT
AND FLORES SEA
N U R L I N A
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2007
2
KAJIAN MORFOMETRIK DAN MERISTIK
IKAN TERBANG YANG TERTANGKAP DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR DAN LAUT FLORES
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Sistem-Sistem Pertanian
Disusun dan diajukan oleh
N U R L I N A
kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2007
3
4
PRAKATA
Segala puji dan syukur kepada sumber ilmu pengetahuan, Allah SWT, atas
Rahmat dan Karunia-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai
salah satu syarat dalam memperoleh gelar Magister pada program studi Sistem-
Sitem Pertanian konsentrasi Perikanan Pascasarjana Unhas Makassar. Tesis ini
merupakan hasil penelitian dengan judul “Kajian Morfometrik dan Meristik Ikan
Terbang yang Tertangkap di Perairan Selat Makassar dan Laut Flores. Pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan
kepada :
1. Kedua orang tua saya Hj. Nurliah Nongka dan (alm) M. Arfah Rasyid (mereka
penasihat dan pembimbing kehidupan saya)
2. Bapak Dr.Ir. Sharifuddin Bin Andy Omar, M.Sc. (Ketua Komisi Penasihat) dan
Dr..A. Iqbal Burhanuddin, M.Sc. (Anggota Komisi Penasihat) begitu mendorong
saya untuk menyelesaikan tesis ini,
3. Prof.Dr.Ir.H. Sudirman, M.Pi., Dr.Ir. Dody Dharmawan, M.App.Sc., dan Dr. Ir. M.
Iqbal Djawad, M.Sc. sebagai penguji terima kasih atas segala saran dan
kritikannya.
4. Seluruh keluarga tercinta utamanya kakak-kakakku Nuraeni Arfah dan Nurlaelah
Arfah serta adikku Muh. Asri Arfah. Demikian juga untuk anakku tersayang Fakhri
Rizqullah juga ponakanku Marissa Ulfah dan Nasrullah. Terima kasih untuk doa
restu dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di
Pascasarjana Unhas Makassar.
5. Rekan-rekan mahasiswa jurusan Sistem-Sistem Pertanian Angkatan 2002,
khususnya kepada Ufriyani, Asrianti Sani, Nursinah Amir, Basri Hamal, dan
Dimiati Nongpa. Terima kasih atas kerjasama dan dukungannya semasa kuliah,
penelitian, hingga akhir studiku.
5
6. Bapak Ir. Saenong, MS atas motivasi dan doanya. Sdr. “Ipunk” atas bantuannya
dalam mengolah data penelitian. Sahabat-sahabatku Rosmawati, Harmawati-
Muhdian, Sulthana Samad, Nuraeny Nurdin, Satriani Saleh, dan semua rekan-
rekan staf BPPMHP Makassar utamanya kepada Bu Rini, Bu Ifa, Bu Niar, Bu
Helmi, Bu Sukma, Hajriah, Emiliya, Inar, Truly, Isa dan Darmi. Terima kasih atas
dukungan dan pengertiannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih terdapat berbagai
kekurangan. Saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan. Akhir kata semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Makassar, Agustus 2007
Penulis
6
7
8
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keunggulan komparatif Indonesia terletak pada kekayaan alam yang begitu
besar keanekaragamannya. Keanekaragaman hayati menurut WRI (World
Resources Institute) adalah totalitas gen, spesies, dan ekosistem di suatu daerah
atau dunia. Potensi sumberdaya perikanan laut diseluruh perairan Indonesia
diduga sebesar 6.26 juta ton per tahun (Prayogo, 2003). Keanekaragaman
sumberdaya perikanan ini perlu dilestarikan agar diperoleh keuntungan-keuntungan
maksimum untuk generasi sekarang, sambil memelihara potensinya untuk memenuhi
kebutuhan generasi mendatang yang mencakup: melindungi (save it), mempelajari
(study it), dan menggunakannya (use it) dengan arif.
Salah satu sumberdaya perikanan yang dimiliki Indonesia adalah ikan
terbang. Ikan terbang merupakan ikan pelagis, hidup di perairan terbuka, dan dalam
migrasi tahunannya ikan terbang hanya melepaskan telurnya di daerah-daerah
tertentu (Oxenford, 1994). Di Sulawesi Selatan, ikan terbang bersama telurnya telah
lama dikenal dan diusahakan, terutama di perairan Selat Makassar bagian selatan
dan Laut Flores. Walaupun ikan terbang termasuk ikan yang kurang komersial,
namun harga telurnya cukup mahal dan merupakan komoditas ekspor. Kondisi ini
sebenarnya kurang menguntungkan ditinjau dari kelestarian sumberdaya karena
tekanan penangkapan terhadap populasi ikan ini makin kuat.
Keberadaan dan kelimpahan ikan terbang di Selat Makassar bagian selatan
selama Musim Timur dan Laut Flores selama Musim peralihan Musim Timur-Barat
diduga berkaitan dengan adanya proses upwelling dalam kaitannya dengan kondisi
perairan yang disenangi oleh ikan terbang (Yahya et al., 2001).
Berdasarkan uraian di atas, diperlukan analisa yang dapat mengidentifikasi
karakter populasi spesies ikan terbang pada kedua perairan tersebut dengan metode
morfometrik dan meristik. Dari sekian banyak spesies ikan terbang, dalam penelitian
9
ini diambil empat spesies yaitu Cheilopogon abei Parin, 1999; Cheilopogon
spilopterus Valenciennes, 1846; Cheilopogon katoptron Bleeker,1866; dan
Cypselurus poecilopterus Valenciennes, 1846.
B. Rumusan Masalah
Kajian penelitian diharapkan akan dapat memberikan informasi tentang
kemungkinan keempat spesies ikan terbang yang berasal dari perairan Selat
Makassar dan Laut Flores berasal dari populasi yang sama, melalui analisa karakter
morfometrik dan meristik. Hal ini dimungkinkan karena secara geografis jarak antara
kedua perairan tersebut relatif dekat.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah populasi ikan terbang
yang terdapat di Selat Makassar merupakan populasi yang sama dengan populasi
ikan terbang yang terdapat di Laut Flores. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi
informasi dasar bahan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan terbang di
kedua perairan tersebut mengingat besarnya tekanan penangkapan yang dialami
oleh populasi yang diindikasikan oleh laju penangkapan ikan dan telurnya pada
Musim Timur (bulan April – Oktober) pada saat ikan sedang memijah. Hal ini
berimplikasi terhadap keberlanjutan sumberdaya.
D. Hipotesis
Populasi ikan terbang (Cheilopogon abei, C. spilopterus, C. katoptron, dan
Cypselurus poecilopterus) di Selat Makassar merupakan populasi yang tidak terpisah
dari populasi ikan terbang di Laut Flores, sehingga terdapat kesamaan karakter
morfometrik dan meristik ikan terbang yang tertangkap di kedua perairan tersebut.
10
E. Kerangka Berpikir
Peningkatan pertumbuhan penduduk dan kebutuhan hidup masyarakat
nelayan telah mendorong eksploitasi sumberdaya terutama telur dan ikan terbang,
melalui penangkapan yang dilakukan didaerah spawning ground di Selat Makassar
dan Laut Flores. Kemungkinan saat ini, jumlah nelayan dan hasil tangkapannya lebih
besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yang pada akhirnya menekan
keberadaan ikan terbang (disamping adanya faktor alam). Kondisi sosial ekonomi
masyarakat nelayan merupakan masalah prinsip dalam usaha menyelamatkan
sumberdaya ikan terbang.
Nelayan melakukan penangkapan ikan dan telur hanya pada Musim Timur
(bulan April – oktober). Padahal pada bulan-bulan tersebut ikan sedang memijah.
Oleh karenanya keberadaan sumberdaya ikan terbang perlu diketahui kondisi
ekologinya melalui kajian morfometrik dan meristik untuk menentukan efisiensi
pemanfaatannya. Secara ringkas, pendekatan masalah tersebut ditelusuri melalui
kerangka berpikir seperti pada Gambar 1 berikut ini
11
Gambar 1. Skema kerangka berpikir penelitian
Potensi
Ikan Terbang
Kajian Morfometrik dan
Meristik Nilai
Ekonomi
Analisis
Pengelolaan Sumberdaya
Ikan Terbang
Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan
Ikan terbang
Penangkapan Telur dan Ikan Terbang
12
TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Morfologi Ikan terbang termasuk famili Exocoetidae yang terdiri dari genera
Cheilopogon, Cypselurus, Exocoetus, Hirundichthys, Parexocoetus, dan
Prognichthys dengan 50 – 60 spesies. Hampir setengah dari spesies ini masuk ke
dalam genus Cheilopogon (Dasilao et al., 1996; Parin, 1999). Klasifikasi ikan
terbang (Cheilopogon sp. dan Cypselurus sp.) secara lengkap adalah (Parin, 1999;
Nelson, 2006; Standard Names of Australian Fishes, 2006):
Kingdom Animalia -- animals
Phylum Chordata -- cordates
Subphylum Vertebrata -- vertebrates
Superclass Osteichthyes -- bony fishes
Class Actinopterygii -- ray-finned fishes
Subclass Neopterygii -- neopterygians
Infraclass Teleostei
Superordo Belonoidei
Ordo Beloniformes -- needlefishes
Subordo Belonoidei
Superfamily Exocoetoidea
Family Exocoetidae -- flyingfishes
Genus Cheilopogon
Cypselurus
Karakter ikan terbang yaitu bentuk tubuh memanjang, silindris, beberapa spesies
mempunyai bagian perut yang datar, kepala pendek, dan mulut kecil. Gurat sisi
(lateral line) berada tepat menyentuh dasar sirip perut yang berfungsi sebagai alat
deteksi terhadap mangsa dari bawah, dan mata yang diadaptasikan untuk melihat,
baik di udara maupun di dalam air (Kutschera, 2005).
13
Ikan terbang memiliki sisik sikloid yang mudah lepas. Tidak mempunyai sirip
berjari-jari keras, sirip punggung dan sirip dubur letaknya jauh ke belakang tubuh.
Sirip perut abdominal berukuran panjang mencapai pangkal depan dasar sirip anal.
Sirip dada panjang, selalu mencapai pangkal sirip punggung. Kedua sirip dada yang
panjang tersebut diadaptasikan sebagai sayap untuk terbang melayang keluar dari
permukaan air ke udara sejauh 200 m bahkan lebih untuk menghindari predator atau
suatu mekanisme penghematan energi (Kutschera, 2005). Sirip ekor bercabang dua
dengan cabang bawah lebih panjang dari bagian atas (Parin, 1999; Bigelow dan
Schroeder, 2002).
B. Distribusi dan Habitat
Ikan terbang terdapat di semua perairan tropis hingga perairan sub-tropis,
tersebar dari Afrika Timur menuju Laut Cina Selatan, Pulau Solomon dan
Queensland di Australia hingga ke Indonesia dan beberapa negara Asia (Parin,
1999). Ikan ini hidup bergerombol dan tidak melakukan migrasi secara luas (Bigelow
dan Schroeder, 2002).
Di perairan Atlantik bagian barat, terutama di Kepulauan Karibia, Curacao,
dan Brazil, spesies ikan terbang Hirundicthys affinis merupakan perikanan komersial
(Gomes et al., 1999). Salah satu spesies ikan terbang yang mempunyai ukuran kecil
Parexocoetus mento mento, berdistribusi di sekitar perairan bagian timur Jepang dan
Samudera Indo-Pasifik. Spesies ini sangat melimpah selama musim semi dan
musim panas (Dasilao et al., 2002).
Biasanya perikanan ikan terbang lebih melimpah di perairan yang mempunyai
salinitas tinggi. Yahya et al. (2001) telah meneliti hubungan antara faktor
oseanografi dan hasil tangkapan ikan terbang di Selat Makassar. Mereka
mengatakan bahwa sebaran salinitas permukaan laut tertinggi di Selat Makassar
terjadi pada Musim Timur dengan kisaran antara 33,20 – 33,69 o/oo, diduga karena
14
adanya massa air yang bersalinitas tinggi masuk dari Laut Flores dan Laut Banda
hingga awal peralihan Musim Timur ke Musim Barat.
Di Karibia, daerah Tobago merupakan areal pemijahan untuk H. affinis
(Oxenford, 1994). Seperti halnya yang terjadi di Selat Makassar dan Laut Flores,
terjadinya pemijahan di area tersebut diduga merupakan strategi reproduksi ikan
terbang untuk menyesuaikan kemungkinan makanan yang cukup melimpah. Hal ini
berkaitan dengan peristiwa up welling di perairan Selat Makassar pada Musim Timur
(Yahya et al., 2001). Daerah yang memiliki fenomena seperti tersebut di atas
umumnya merupakan perairan yang subur. Dengan diketahuinya daerah perairan
yang subur tersebut maka daerah penangkapan ikan dapat diketahui, karena migrasi
ikan cenderung ke perairan yang subur (Bernawis, 2005).
C. Fenomena Up Welling
Perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh tipe iklim Muson yang terdiri dari
Musim Barat (Desember-Februari), Musim Peralihan I (Maret-Mei), Musim Timur
(Juni-Agustus), dan Musim Peralihan II (September-November). Pada gilirannya tipe
iklim ini akan berpengaruh terhadap kehidupan, kekayaan jenis, kelimpahan,
sebaran biota maupun sifat-sifat dan fenomena oseanografi yang terjadi, misalnya
proses upwelling (Mulyadi, 2007).
Upwelling atau disebut arus vertikal atau penaikan massa air. membawa serta
unsur hara yang cukup tinggi kadarnya dari dasar laut ke permukaan. Melalui proses
upwelling ini, perairan di sekitarnya ditingkatkan kesuburannya, sehingga produksi
perikanannya pun menjadi tinggi. Sebagai contoh di Selat Makasar bagian selatan
upwelling terjadi pada waktu Musim Tenggara sekitar bulan Juni hingga September
(Diposaptono, 2001). Hal ini diakibatkan oleh adanya massa air dari Selat Makassar
bertemu dengan massa air dari Laut Flores kemudian bergabung dan mengalir kuat
15
menuju Laut Jawa di sebelah barat. Dalam kondisi demikian maka massa air
permukaan Selat Makassar terseret oleh aliran tersebut dan massa air dari bawah
naik ke atas untuk menggantikannya (Nontji, 2005).
Daerah upwelling di Selat Makasar bagian selatan meliputi luas 48.000 km2.
Pada saat terjadi upwelling, salintas permukaan mencapai 34% dan suhu air berkisar
antara 26,4o C–27,8o C. Kadar plankton dan unsur-unsur fosfat, nitrat dan silikat naik
dengan mencolok, sehingga tingkat produktivitas tinggi. Proses ini memberikan
pengaruh terhadap kesuburan di wilayah laut dan menaikkan produksi hasil
perikanan menjadi lebih tinggi bila dibanding dengan perairan lainnya yang tidak
terdapat fenomena upwelling (Diposaptono, 2001).
Spall (2003) melaporkan bahwa di perairan sekitar Australia dan Selandia
Baru terjadi upwelling di sepanjang sisi barat dan downwelling di sepanjang sisi
timur. Di Indonesia bagian timur, upwelling secara berkala terjadi setiap Musim
Tenggara yaitu di sebelah barat Sulawesi Selatan dan di sebelah tenggara
Balikpapan yang disebabkan oleh adanya benturan antara arus pasut (pasang surut)
dan Arlindo (arus lintas Indonesia) dengan batimetri dangkal di sebelah selatan
Selat Makassar (Pariwono et al., 2005; Hadikusumah, 2006).
D. Karakter Morfometrik dan Meristik
Morfometrik berkenaan dengan pengukuran bagian-bagian tertentu dari
struktur luar tubuh ikan (measuring methods). Karakter morfometrik yang umum
diukur adalah panjang total, panjang baku, tinggi dan lebar badan, tinggi dan panjang
batang ekor, tinggi dan panjang sirip, diameter mata, dan lain-lain. Karakter meristik
berkenaan dengan pengamatan jumlah bagian-bagian tubuh (counting methods),
antara lain jumlah jari-jari sirip, jumlah sisik, jumlah gigi, jumlah tulang saring insang,
pyloric caeca, dan vertebral (Hubbs dan Lagler, 1958; Parin, 1999).
16
Metode identifikasi populasi dengan morfometrik dan meristik dipergunakan
untuk mempelajari hubungan antar individu di dalam maupun antar populas. Metode
ini memiliki kelebihan dan kekurangan, dan tentunya akan berpengaruh pada hasil
yang dicapai. Morfometrik dan meristik dapat dikerjakan dengan peralatan yang
sederhana, yaitu mikroskop, alat ukur panjang dan timbangan untuk mengukur bobot
ikan, di samping buku identifikasi, sehingga biayanya murah tetapi memerlukan
banyak sampel, membutuhkan tenaga kerja dan waktu yang banyak (Syahailatua,
2004).
Pengukuran morfologi oleh Cavalcanti et al. (1999) berdasarkan analisis
morfometrik untuk seleksi spesies ikan serranid menggunakan metode truss
networking, yaitu berupa pengukuran jarak titik-titik tanda yang dibuat sesuai anatomi
tubuh ikan. Selanjutnya masing-masing jarak titik truss dihubungkan dan diukur.
Morfometrik digunakan oleh Smith (2004) dalam penelitiannya untuk mengestimasi
berat dan ekologi makanan ikan paddlefish di Sungai Mermentau, Louisiana.
Morfometrik digunakan pula oleh Lee et al. (2007) untuk menentukan umur dan trait
hagfish (Paramyxine nelsoni).
Burhanuddin et al. (2002) mengaplikasikan data pengukuran morfometrik dan
meristik untuk membedakan karakter dan taksonomi antara dua kelompok individu
dari famili Trichiuridae, Trichiurus brevis dan T. russelli, yang secara morfologi
mempunyai bentuk yang sangat mirip dan perbedaan diantara keduanya sangat
kecil.
Karakter genetik suatu populasi berbeda-beda berdasarkan letak geografis,
namun kemungkinan terdapat kekerabatan antar populasi yang berbeda letak
tersebut. Kemampuan suatu populasi untuk beradaptasi terhadap perubahan
lingkungannya ditentukan oleh variasi genetik yang diukur pada individu dan
diasumsikan ke dalam populasi. Variasi genetik dapat diasumsikan sebagai fitness
(daya tahan). Makin tinggi variasinya, makin besar peluang untuk survive (bertahan
17
hidup). Hal ini disebabkan karena setiap gen memiliki respon yang berbeda-beda
terhadap kondisi lingkungan, sehingga dengan dimilikinya berbagai macam gen dari
individu-individu di dalam populasi maka berbagai perubahan lingkungan yang ada
akan dapat direspon dengan lebih baik. Variasi genetik suatu populasi dapat dilihat
melalui variasi fenotipe (Laudien et al., 2003).
Karakter fenotipe merupakan manifestasi atau pernyataan genotipe yang
berinteraksi dengan lingkungan. Genotipe menentukan potensi-potensi karakter,
sedangkan lingkungan menentukan sampai dimana tercapainya batas potensi-
potensi itu. Ada karakter yang sedikit sekali dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
adapula yang banyak sekali. Makin banyak faktor lingkungan yang berperan dalam
pernyataan fenotipe, makin banyak variasi yang terdapat tentang karakter itu di
dalam populasinya (Yatim,1996).
Penandaan populasi berdasarkan karakter meristik dan morfologi lebih
ditekankan pada faktor genetik, agar konfirmasi perbedaan bentuk lebih dikaitkan
pada isolasi reproduktif dibanding pengaruh perbedaan lingkungan (Hurlbut dan Clay,
1998). Karakter meristik memiliki dasar genetik, tetapi lingkungan dapat pula
memodifikasi ekspresi dari karakter tersebut. Komponen lingkungan (suhu, salinitas,
oksigen, pH, dan makanan) dalam karakter meristrik ditentukan selama masa awal
larva. Komponen lingkungan tersebut dapat memodifikasikan sifat keturunan (Smith
et al., 2002).
Jawad (2001) telah meneliti variasi meristik ikan Tilapia zilli pada tiga danau
yang berbeda di Libya dan menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan karakter
meristik, seperti jumlah tulang belakang dan jumlah jari-jari sirip punggung pada
populasi T. zilli di ketiga perairan yang diteliti. Dasilao et al. (2002) juga mengamati
perkembangan ikan terbang Parexocoetus mento mento menggunakan karakter
morfometrik, sejak fase juvenil hingga dewasa, untuk melihat pola adaptasi
18
perubahan bentuk tubuh secara ontogenetik yang merupakan refleksi dari hubungan
antara habitat yang unik, cara hidup, dan niche.
19
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Pengamatan dilakukan di dua tempat yaitu di lapangan dan di laboratorium.
Lokasi pengambilan sampel ikan terbang adalah di perairan Selat Makassar
(Kabupaten Majene, Sulawesi Barat) dan Laut Flores (Kabupaten Takalar, Sulawesi
Selatan) (Gambar 2). Pengukuran morfometrik dan meristik dilakukan di
Laboratorium Organoleptik Balai Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan
(BPPMHP) Makassar. Penelitian ini berjalan selama tujuh bulan (Agustus 2004 –
Maret 2005).
B. Bahan dan Alat
Dari lokasi perairan Selat Makassar (Majene) dan Laut Flores (Takalar) dipilih
empat jenis ikan terbang yang memiliki sirip dada bermotif unik serta dominan
terdapat di kedua perairan tersebut. Sebanyak 726 ekor sampel ikan terbang
diperoleh dari nelayan yang berasal dari dua daerah penangkapan (Tabel 1). Teknik
pengambilan sampel secara acak dengan ukuran dan bobot yang bervariasi.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mistar sorong, neraca digital,
jarum pentul (pins), kaca pembesar (loop), papan warna putih (polystyrene plate),
sarung tangan, kamera digital, pensil dan pulpen, coolbox, dan deep freezer.
20
Gambar 2. Peta lokasi pengambilan sampel dan zona potensi penangkapan ikan Musim Timur 2004 (Juni-Agustus) (Sumber: LAPAN, hasil analisis Citra Satelit NOAA dan SeaWIFS)
21
Tabel 1. Data sampel ikan terbang yang diperoleh di kedua daerah penangkapan
1. Metode morfometrik dan meristik Morfometrik dan meristik dilakukan dengan cara mengukur (mm) dan
menghitung beberapa bagian tubuh ikan (Hubbs dan Lagler, 1958; Parin, 1999)
seperti tertera pada Gambar 3 dan 4, serta Lampiran 1. Untuk dapat menerangkan
karakter morfometrik ikan terbang yang diteliti, digunakan nisbah morfometrik agar
diketahui proporsi karakter tertentu terhadap karakter yang lain. Karakter-karakter
tersebut adalah:
N1 = nisbah antara panjang total (PT) dan panjang baku (PB)
N2 = nisbah antara panjang cagak (PC) dan panjang baku (PB)
N3 = nisbah antara panjang kepala (PK) dan panjang baku (PB)
N4 = nisbah antara panjang kepala (PK) dan tinggi kepala (TK)
N5 = nisbah antara panjang kepala (PK) dan lebar kepala (LK)
N6 = nisbah antara panjang kepala (PK) dan panjang hidung (PH)
N7 = nisbah antara panjang kepala (PK) dan panjang bagian kepala belakang
mata (PBKBM)
N8 = nisbah antara panjang kepala (PK) dan panjang hidung (PH)
N9 = nisbah antara tinggi kepala (TK) dan lebar mata (LM)
N10 = nisbah antara tinggi kepala (TK) dan tinggi bawah mata (TBM)
N11 = nisbah antara tinggi kepala (TK) dan panjang antara mata dengan sudut
preoperculum (PMSPC)
N12 = nisbah antara tinggi kepala (TK) dan tinggi badan (TB)
22
N13 = nisbah antara lebar badan (LB) dan tinggi badan (TB)
N14 = nisbah antara panjang batang ekor (PBE) dan panjang baku (PB)
N15 = nisbah antara panjang rahang atas (PRA) dan panjang kepala (PK)
N16 = nisbah antara panjang rahang bawah (PRB) dan panjang kepala (PK)
N17 = nisbah antara panjang bagian depan sirip punggung (PBDSP) dan panjang
baku (PB)
N18 = nisbah antara panjang dari belakang tutup insang hingga sirip perut
(PBISP) dan panjang baku (PB)
N19 = nisbah antara panjang dari pangkal sirip perut hingga batang ekor (PSPBE)
dan panjang baku (PB)
N20 = nisbah antara panjang dari pangkal sirip punggung hingga batang ekor
(PSDBE) dan panjang baku (PB)
N21 = nisbah antara panjang sirip dada (PSD) dan panjang baku (PB)
N22 = nisbah antara panjang jari-jari sirip punggung (PJSD) dan panjang dasar
sirip punggung (PDSP)
N23 = nisbah antara panjang jari-jari sirip anal (PJSA) dan panjang dasar sirip anal
(PDSA)
N24 = nisbah antara panjang dasar sirip punggung (PDSP) dan panjang dasar
sirip anal (PDSA)
N25 = nisbah antara panjang jari sirip punggung (PJSD) dan panjang jari sirip anal
(PJSA)
N26 = nisbah antara lebar bukaan mulut (LBM) dan lebar kepala (LK)
N27 = nisbah antara panjang batang ekor (PBE) dan tinggi batang ekor (TBE)
23
isbah antara panjg ekor (PBE) dan panjang kepa
Gambar 3. Karakter morfometrik dan beberapa ukuran yang
digunakan dalam identifikasi
Gambar 4. Karakter Meristik dari perhitungan jumlah jari-jari sirip dada (P), jumlah
jari-jari sirip punggung (D), jumlah jari-jari sirip perut (V), jumlah jari-jari sirip anal (A), jumlah jari-jari sirip ekor (E), jumlah sisik garis rusuk (F), jumlah sisik di atas garis rusuk (G), jumlah sisik pada batang ekor (L), jumlah sisik bagian depan sirip punggung (I), dan jumlah tulang saring insang (M)
PJSPDS
PJS
PJS
PDS PBTBE TB
PS
LBM PH LM
TK PBKB
PMSPC
TBM PRB PRA
LK
PBDSP
PSDBE
PBISP PSPBE PS
PC
PT
PK
F G
I D
E
V
P
A
L
M
24
D. Analisis Data 1. Analisis Uji-t
Untuk mengetahui perbedaan karakter morfometrik dan meristik antara ikan
jantan dan ikan betina, serta antara ikan yang tertangkap di perairan Makassar dan
Laut Flores, dilakukan uji-t sebagaimana disarankan oleh Andy Omar (2003).
Analisis ini menggunakan software SPSS (Statistical Package for Social Sciences)
versi 13,0 for windows.
2. Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis, PCA) Analisis komponen utama (Principal Components Analysis, PCA) digunakan
untuk melihat adanya pengelompokan individu ikan terbang. Analisis ini merupakan
metode statistik deskriptif (Bengen, 2000). Variabel–variabel morfometrik dan
meristik yang merupakan variabel dasar yang digunakan dalam analisis ini akan
diseleksi berdasarkan kelengkapan dan kemampuan variabel dalam menjelaskan
keragaman karakteristik morfometrik. Proses analisis ini akan menghasilkan
beberapa ‘faktor utama’ yang menjadi penciri utama keragaan morfometrik. Hasil
analisis komponen-komponen utama antara lain nilai akar ciri, proporsi, kumulatif
akar ciri, dan nilai pembobot. Analisis ini menggunakan alat bantu paket program
MVSP (Multi-Variate Statistical Package) versi 3,1 ease to use windows software for
PCA. Adapun variabel-variabel penjelas yang digunakan dapat dilihat pada
Lampiran 1.
3. Analisis Kelompok (Cluster Analysis) dan Analisis Diskriminan
Analisis kelompok (cluster analysis) merupakan teknik multivariate (Wijaya,
2000; Alhusin, 2003). Di dalam membentuk suatu cluster, metode ini menggunakan
“jarak” euclidean antara nilai objek sebagai dasar pengelompokannya. Variabel-
variabel yang digunakan dalam analisis kelompok ini tersaji dalam Lampiran 1.
25
Analisis fungsi diskriminansi adalah lanjutan dari analisis kelompok. Tujuan
dilakukan analisis diskriminan pada penelitian ini adalah agar mampu disusun fungsi
pembatas antar kelompok ikan terbang per lokasi, sehingga diketahui variabel-
variabel yang mendiskriminasi keempat jenis ikan terbang. Kedua analisis ini
menggunakan software SPSS (Statistical Package for Social Sciences) versi 13,0 for
windows.
26
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi Ikan Terbang
Berdasarkan identifikasi melalui pengukuran karakter-karakter morfologi
kuantitatif (morfometrik dan meristik) serta karakter morfologi kualitatif (motif cross
band dan spot hitam) yang terdapat pada sirip dada, sirip punggung, dan sirip perut
teridentifikasi empat jenis spesimen ikan terbang dari lokasi Selat Makassar dan Laut
Flores (total sampel 726 ekor) yaitu Cheilopogon abei (37%), C. spilopterus (25%),
C. katoptron (17%), dan Cypselurus poecilopterus (21%).
Ada dua genus yang berhasil diidentifikasi dalam penelitian ini yaitu genus
Cheilopogon dan Cypselurus yang memiliki ciri-ciri sirip dada panjang, hampir
mencapai bagian depan dasar sirip anal serta jari pertama dan kedua tidak
bercabang. Sirip perut juga panjang mencapai pangkal sirip anal, letak sirip perut
lebih dekat ke pangkal sirip anal dibanding sirip dada. Pangkal sirip anal sejajar
dengan jari ketiga dari sirip punggung. Genus Cheilopogon memiliki rahang bawah
sedikit lebih panjang dibanding rahang atas sebaliknya genus Cypselurus memiliki
rahang bawah lebih pendek atau relatif sama panjang dengan rahang atas.
Pengamatan secara morfologi menunjukkan bahwa C. abei pada bagian sirip
dada memiliki cross band umumnya berwarna kuning dan sirip punggung serta sirip
perut terdapat spot hitam yang jelas (Gambar 5). C. abei memiliki panjang sirip
dada berkisar antara 81,20-127,00 mm Panjang rahang atas antara 3,45-9,35 mm
dan rahang bawah sedikit lebih panjang yaitu antara 5,00-11,30 mm. Seperti halnya
pada C. abei, spesies C. katoptron juga memiliki cross band pada sirip dada yang
berwarna pucat dengan sirip punggung dan sirip perut tanpa spot hitam (Gambar 6).
Cheilopogon katoptron memiliki panjang sirip dada antara 85,00-124,15 mm.
Panjang rahang atas antara 4,30-15,00 mm dan rahang bawah lebih panjang yaitu
antara 6,00-17,00 mm.
27
Pada C. spilopterus, sirip dada memiliki sejumlah spot hitam kecil namun sirip
punggung dan sirip perut tanpa spot hitam (Gambar 7). Sirip dada memilki panjang
antara 88,00-146,25 mm. Rahang bawah juga lebih panjang (7,00-16,00 mm )
sebaliknya rahang atas lebih pendek dengan panjang berkisar antara 3,45-9,35 mm.
Hampir sama dengan C. spilopterus, pada Cypselurus poecilopterus sirip dada juga
memiliki sejumlah spot hitam tetapi lebih tersusun rapi menyilang. Walaupun sirip
punggung tidak berspot, namun sirip perut memiliki sejumlah kecil spot hitam
(Gambar 8). Panjang sirip dada antara 48,35-115,00 mm. Panjang rahang atas
antara 4,00-12,10 mm dan panjang rahang bawah juga berkisar antara 4,25-14,35
mm.
Gambar 5. Morfologi ikan terbang Cheilopogon abei
Gambar 6. Morfologi ikan terbang Cheilopogon katoptron
28
Gambar 7. Morfologi ikan terbang Cheilopogon spilopterus
Gambar 8. Morfologi ikan terbang Cypselurus poecilopterus
B. Karakter Morfometrik dan Meristik Ikan Terbang Selat Makassar dan Laut Flores
Untuk mengetahui besarnya perbedaan antar spesies pada kedua lokasi
dapat dilihat pada Tabel 2 untuk lokasi perairan Selat Makassar. dan Tabel 3 untuk
Laut Flores. Di Selat Makassar analisis perbedaan kelompok menunjukkan bahwa
spesies Cheilopogon spilopterus dan Cypselurus poecilopterus mempunyai
perbedaan jarak terbesar (133,499) yang berarti mempunyai perbedaan morfometrik
dan meristik paling besar, sedangkan perbedaan jarak antara C. spilopterus dan C.
29
katoptron adalah yang terkecil (47,451) yang berarti perbedaan morfometrik dan
meristik antara keduanya juga kecil (Tabel 2 dan Gambar 9 A).
Untuk lokasi Laut Flores perbedaan kelompok menunjukkan bahwa C.
spilopterus dan C. poecilopterus mempunyai perbedaan morfometrik dan meristik
paling besar (111,719), sedangkan C. abei dan C. spilopterus mempunyai perbedaan
morfometrik dan meristik paling kecill (32,978) (Tabel 3 dan Gambar 9 B).
Berdasarkan hasil pengamatan secara meristik, spesies C. abei dan C.
poecilopterus untuk kedua lokasi perairan memiliki variasi jumlah sisik depan sirip
punggung 22-31 dan 22-31 (Tabel 4), relatif lebih banyak daripada yang
dikemukakan oleh Parin (1999) yaitu 23-29 dan 24-28. Spesies C. spilopterus
memiliki jumlah sisik bagian depan sirip punggung 27-40 untuk lokasi Selat Makassar
dan 24-40 untuk Laut Flores. Ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Parin (1999)
yaitu antara 28-34. Demikian pula jumlah sisik bagian depan sirip punggung spesies
Cheilopogon katoptron yaitu 25-34 untuk lokasi Selat Makassar dan 26-34 untuk Laut
Flores, relatif lebih besar kisarannya dibanding menurut Parin (1999) , yaitu sekitar
23-29.
Jumlah jari-jari sirip punggung keempat spesies ikan terbang dari kedua
lokasi lebih banyak 2-4 jari dibanding jumlah jari-jari sirip anal (Tabel 4). Data yang
diperoleh relatif sama dengan yang ditemukan Parin (1999) yaitu jumlah jari-jari sirip
punggung biasanya lebih banyak 2-5 jari dibanding sirip anal.
Jumlah sisik garis rusuk untuk lokasi Selat Makassar adalah 39-57 dan
jumlah sisik di atas garis rusuk adalah 5-9. Tidak jauh berbeda pada ikan terbang
dari lokasi Laut Flores, jumlah sisik garis rusuk dan jumlah sisik atas rusuk berturut-
turut adalah 39-53 dan 6-9.
30
Tabel 2. Hasil analisis perbedaan antara Cheilopogon abei, Cheilopogon
spilopterus, Cheilopogon katoptron, dan Cypselurus poecilopterus untuk lokasi Selat Makassar
Spesies Squared Euclidean Distance
Cheilopogon abei
Cheilopogon spilopterus
Cheilopogon katoptron
Cypselurus poecilopterus
Cheilopogon abei
Cheilopogon spilopterus
56.665
Cheilopogon katoptron
71.492 47.451
Cypselurus poecilopterus
63.986 133.499 82.908
Tabel 3. Hasil analisis perbedaan antara Cheilopogon abei, Cheilopogon
spilopterus, Cheilopogon katoptron, dan Cypselurus poecilopterus untuk lokasi Laut Flores
Spesies Squared Euclidean Distance
Cheilopogon abei
Cheilopogon spilopterus
Cheilopogon katoptron
Cypselurus poecilopterus
Cheilopogon abei
Cheilopogon spilopterus
32.978
Cheilopogon katoptron
65.746 44.124
Cypselurus poecilopterus
107.100 111.719 94.332
31
Gambar 9 A. Dendrogram spesies ikan terbang berdasarkan kemiripan fenotipe untuk lokasi Selat Makassar
Gambar 9 B. Dendrogram spesies ikan terbang berdasarkan kemiripan fenotipe
untuk lokasi Laut Flores
Jumlah sisik garis rusuk untuk lokasi Selat Makassar adalah 39-57 dan
jumlah sisik di atas garis rusuk adalah 5-9. Tidak jauh berbeda pada ikan terbang
dari lokasi Laut Flores, jumlah sisik garis rusuk dan jumlah sisik atas rusuk berturut-
turut adalah 39-53 dan 6-9.
32
Berdasarkan uraian di atas diperoleh gambaran bahwa variasi karakter meristik
antar individu ikan terbang Selat Makassar dan ikan terbang Laut Flores pada
spesies yang sama sangat rendah. Karakter meristik memiliki dasar genetik yang
ditentukan selama masa awal larva (Smith et al., 2002). Rendahnya variasi genetik
ini kemungkinan disebabkan oleh kelebihan penangkapan (overfishing) dan faktor
lingkungan yang memodifikasi sifat keturunan. Padahal populasi dengan variasi
genetik yang tinggi memiliki peluang hidup yang lebih baik (Yusron, 2005; Jawad,
2001).
Menurut Fahri et al. (2001), ikan pelagis memiliki heterosigositas yang tinggi.
Sebagai salah satu jenis ikan pelagis mestinya ikan terbang memiliki heterosigositas
yang relatif tinggi. Ikan terbang diperkirakan tidak termasuk ke dalam kelompok
tersebut, karena pergerakan populasi ikan terbang diduga tidak terlalu jauh. Seperti
yang ditemukan di perairan Selat Makassar (Majene), ikan terbang tertangkap
nelayan setempat hampir sepanjang tahun dan puncaknya adalah pada Musim
Timur-Barat.
Hasil analisis stepwise diskriminan (Pollar et al. 2007) antar spesies di kedua
perairan (Tabel 5) menunjukkan bahwa dari 28 variabel morfometrik yang diuji
terdapat empat variabel yang masuk dalam fungsi persamaan diskriminan karena
memiliki nilai F hitung yang tinggi dan signifikan (P<0,01) yaitu Tinggi bawah mata
(TBM), Panjang dasar sirip anal (PDSA), Panjang rahang bawah (PRB), dan Tinggi
badan (TB) sehingga dapat dikatakan bahwa keempat variabel tersebut
mendiskriminasi keempat jenis ikan terbang.
33
Tabel 4. Nilai kisaran karakter meristik ikan terbang di perairan Selat Makassar dan Laut Flores
Karakter Meristik
Spesies
Cheilopogon abei
Cheilopogon spilopterus
Cheilopogon katoptron
Cypselurus poecilopterus
SM LF SM LF SM LF SM LF
D 9-13 11-14 10-13 10-13 9-12 9-12 9-13 9-12
E 18-27 19-24 19-26 20-24 19-24 20-23 18-23 19-23
V 6 6 6 6 6 6 6 6
P 12-15 13-15 12-15 13-15 12-16 12-16 13-16 13-16
A 6-11 7-11 8-11 7-10 6-9 6-9 6-10 6-8
F 39-57 39-53 42-58 42-58 39-56 42-59 38-53 38-59
G 5-9 6-9 6-9 6-11 6-10 6-11 5-9 5-8
I 22-31 22-31 27-40 24-40 25-34 26-34 22-31 22-31
L 4-7 4-7 3-8 4-7 4-7 4-7 3-6 4-6
M 18-24 17-24 18-25 18-25 19-23 19-22 16-27 18-27
Keterangan:
SM : Selat Makassar A : Jumlah jari-jari sirip anal LF : Laut Flores F : Jumlah sisik garis rusuk D : Jumlah jari-jari sirip punggung G : Jumlah sisik di atas garis rusuk E : Jumlah jari-jari sirip ekor I : Jumlah sisik depan sirip punggung V : Jumlah jari-jari sirip perut L : Jumlah sisik pada batang ekor P : Jumlah jari-jari sirip dada M : Jumlah tulang saring insang
Tabel 5. Uji stepwise variabel morfometrik pembentuk fungsi diskriminan spesies Cheilopogon abei, Cheilopogon spilopterus, Cheilopogon katoptron, dan Cypselurus poecilopterus antar lokasi Selat Makassar (SM) dan Laut Flores (LF).
Step Entered
Min. D Squared
Statistic Between Exact F
Groups Statistic Sig.
1 Tinggi bawah mata (TBM)
0,137 SM dan LF 17,500 0,000
2 Panjang dasar sirip anal (PDSA)
0,231 SM dan LF 14,684 0,000
3 Panjang rahang bawah (PRB)
0,322 SM dan LF 13,644 0,000
4 Tinggi badan (TB)
0,360 SM dan LF 11,418 0,000
34
C. Morfometrik dan Meristik Ikan Terbang Jantan dan Betina
1. Cheilopogon abei
Hasil analisis uji-t karakter morfometrik dan meristik antara Cheilopogon abei
jantan dan betina lokasi Selat Makassar pada umumnya tidak menunjukkan
perbedaan nyata (α=0,05). Namun demikian dari 29 variabel morfometrik dan 10
variabel meristik yang diuji terdapat 4 karakter morfometrik yang berbeda secara
signifikan yaitu karakter LM (lebar mata), PSPBE (panjang antara pangkal sirip perut
hingga batang ekor), dan PJSP (panjang jari sirip perut) lebih besar pada betina
dibanding pada jantan, sebaliknya karakter PJSA (panjang jari sirip anal) lebih besar
pada jantan daripada betina. (Lampiran 2). Selanjutnya karakter morfometrik dan
meristik antara C. abei jantan dan betina lokasi Laut Flores lebih banyak
memperlihatkan perbedaan nyata. Karakter yang berbeda nyata tersebut adalah BT
(berat total ), PT (panjang total), PB (panjang baku), PC (panjang cagak), PK
(panjang rahang atas), PMSPC (panjang antara mata dengan sudut preoperkulum),
TBE (tinggi batang ekor), PBDSP (panjang bagian depan sirip punggung), dan
PBISP (panjang antara belakang tutup insang hingga sirip perut).
Dari semua karakter yang berbeda nyata tersebut ikan betina memiliki ukuran
karakter yang lebih besar dibanding ikan jantan (Lampiran 6). Menurut Ali (2005),
ikan terbang betina mengalami pertumbuhan tertinggi antara bulan Maret – April
karena energi makanan masih banyak digunakan dalam proses pertumbuhan, dan
pada saat memasuki bulan April – Mei serta Mei – Juni pertumbuhan menjadi lambat
bersamaan dengan masa-masa perkembangan gonad dan pemijahan ikan terbang.
Hasil analisis uji-t karakter morfometrik dan meristik antara ikan jantan dari
Selat Makassar dan ikan jantan dari Laut Flores memperlihatkan bahwa dari 39
parameter (karakter morfometrik dan meristik) yang dianalisis ada 13 (33%) karakter
35
yang berbeda nyata dimana semua karakter morfometrik dan meristik pada ikan
jantan dari Laut Flores nilainya lebih besar dibanding pada jantan dari Selat
Makassar, kecuali pada karakter TBM (tinggi bawah mata) ikan jantan Selat
makassar bernilai lebih besar dibanding ikan jantan Laut Flores (Lampiran 10).
Demikian pula antara ikan betina dari Selat Makassar dan ikan betina dari Laut
Flores, dari 22 (56%) karakter yang berbeda nyata ikan betina Laut Flores memiliki
nilai lebih besar dibanding ikan betina Selat Makassar, kecuali pada karakter TBM
(Lampiran 11).
2. Cheilopogon spilopterus
Antara ikan jantan dan ikan betina Cheilopogon spilopterus dari Selat
Makassar, karakter yang memperlihatkan perbedaan nyata adalah PBISP (panjang
antara belakang tutup insang hingga sirip perut), E (jumlah jari-jari sirip ekor), dan I
(jumlah sisik bagian depan sirip punggung). Ukuran karakter ikan jantan lebih besar
dibanding ikan betina, kecuali pada karakter D (jumlah jari-jari sirip punggung),
ukuran ikan betina lebih besar dibanding ikan jantan (Lampiran 3).
Selanjutnya untuk lokasi Laut Flores karakter antara ikan jantan dan betina
yang berbeda nyata adalah PK (panjang kepala), LK (lebar kepala), TBM (tinggi
bawah mata), dan LBM (lebar bukaan mulut). Nilai karakter-karakter tersebut lebih
besar pada ikan betina dibanding ikan jantan. Sebaliknya nilai karakter E (jumlah
jari-jari sirip ekor), P (jumlah jari-jari sirip dada), dan L (jumlah sisik batang ekor) lebih
besar pada ikan jantan dibanding ikan betina (Lampiran 7).
Terdapat 6 (15%) karakter morfometrik dan meristik antara C. spilopterus
jantan dari Selat Makassar dan jantan dari Laut Flores yang berbeda nyata dan
sebanyak 33 (85%) yang tidak berbeda nyata. Karakter yang berbeda nyata tersebut
adalah TBM dan I (jumlah sisik bagian depan sirip punggung) dimana ikan jantan
Selat makassar memilki ukuran karakter lebih besar dibanding ikan jantan Laut
36
Flores. Sebaliknya nilai karakter PSPBE (panjang antara pangkal sirip perut hingga
batang ekor), P, G (jumlah sisik atas rusuk), dan L (jumlah sisik batang ekor) lebih
besar pada ikan jantan Laut Flores dibanding ikan jantan Selat Makassar (Lampiran
12). Kemudian antara ikan betina Selat Makassar dan ikan Betina Laut Flores hanya
ada 3 (8%) karakter yang berbeda nyata yaitu karakter PRA (panjang rahang atas),
PRB (panjang rahang bawah), dan TB (tinggi badan) dimana nilai karakter ikan
betina Laut Flores lebih besar dibanding ikan betina Selat Makassar (Lampiran 13).
3. Cheilopogon katoptron
Dari lokasi Selat Makassar, antara ikan jantan dan ikan betina spesies
Cheilopogon katoptron karakter yang berbeda nyata adalah PDSA (panjang dasar
sirip anal) dan A (jumlah jari-jari sirip anal) dengan nilai karakter terbesar pada ikan
jantan (Lampiran 4). Demikian pula antara ikan jantan dan ikan betina dari Laut
Flores hanya karakter A yang berbeda nyata dan ikan jantan memilki nilai lebih besar
dibanding ikan betina (Lampiran 8).
Hasil uji-t baik antar ikan jantan Selat makassar dan ikan jantan dari Laut
Flores maupun antara ikan betina Selat Makassar dan ikan betina dari Laut Flores
memperlihatkan 39 (100%) karakter yang tidak berbeda nyata (Lampiran 14 dan 15).
4. Cypselurus poecilopterus
Pada spesies Cypselurus Poecilopterus asal Selat Makassar, hasil uji-t antara
ikan jantan dan ikan betina menunjukkan karakter yang berbeda nyata adalah PT
(panjang total), PJSP, dan D (Lampiran 5). Sedangkan yang berasal dari Laut Flores
karakter yang berbeda nyata adalah PJSP dan A (Lampiran 9).
Hasil analisis karakter morofometrik dan meristik antara ikan jantan dari Selat
Makassar dan ikan jantan dari Laut Flores memperlihatkan 39 (100%) karakter yang
tidak berbeda nyata (Lampiran 16). Demikian pula antara ikan betina dari Selat
37
Makassar dan ikan betina dari Laut Flores tidak menunjukkan perbedaan nyata
(Lampiran 17). Tidak adanya perbedaan nyata antara karakter morfometrik dan
meristik antara ikan jantan dari Selat Makassar dan Laut Flores, demikian pula
antara ikan betina dari Selat Makssar dan Laut Flores baik spesies Cheilopogon
katoptron maupun Cypselurus poecilopterus menunjukkan bahwa ikan terbang dari
kedua lokasi tersebut baik jantan maupun betina memiliki karakter morfometrik dan
meristik yang relatif sama.
D. Keragaman Morfometrik Ikan terbang
1. Cheilopogon abei
Analisis komponen utama karakter morfometrik ikan terbang Selat Makassar
dan Laut Flores spesies Cheilopogon abei memperlihatkan bahwa ragam pada
sumbu utama pertama hingga ketiga mencapai 86,8%. Hal ini berarti 86% dari data
hasil analisis dapat diterangkan hingga sumbu utama ketiga. Komponen utama
pertama hingga ketiga karakter morfometrik spesies C. abei berturut-turut memiliki
akar ciri 442,585; 42,476; dan 17,802 yang menjelaskan masing-masing 76,4%;
7,3%; dan 3,1% keragaman dari gugus data (Lampiran 18).
Secara umum spesies C. abei dari kedua lokasi penelitian menunjukkan
bahwa pada sumbu 1 dan 2 hampir semua karakter morfometrik ikan terbang dari
kedua lokasi berperan hanya di sekitar sumbu 1. Demikian pula penyebaran individu
yang kelihatannya hanya terpusat di sepanjang sumbu 1 positif dan sumbu 1 negatif
sehingga dipengaruhi oleh karakter yang berperan pada sumbu 1 (Gambar 10).
2. Cheilopogon spilopterus
Pada spesies Cheilopogon spilopterus memperlihatkan bahwa ragam pada
sumbu utama pertama hingga ketiga 89,1%. Hal ini berarti 89,1% dari masing-
masing data hasil analisis dapat diterangkan hingga sumbu utama ketiga. Akar ciri
38
komponen utama pertama hingga ketiga berturut-turut 812,827; 65,241; 33,381 yang
menjelaskan sumbu 1 sebesar 79,4%; sumbu 2 sebesar 6,4%, dan sumbu 3 sebesar
3,3% keragaman dari gugus data (Lampiran 19).
Sama halnya pada spesies C. abei, spesies C. spilopterusi dari kedua lokasi
penelitian juga menunjukkan bahwa pada sumbu 1 dan 2 hampir semua karakter
morfometrik berperan hanya di sekitar sumbu 1. Demikian pula penyebaran individu
yang kelihatannya hanya terpusat di sepanjang sumbu 1 positif dan sumbu 1 negatif
(Gambar 11). Oleh karena itu dapat dikatan bahwa penyebaran tersebut lebih
mewakili variasi ukuran tubuh.
3. Cheilopogon katoptron
Untuk spesies Cheilopogon katoptron dari lokasi Selat Makassar dan Laut
Flores, analisis komponen utama menunjukkan ragam sumbu utama pertama
hingga ketiga yang dapat diterangkan sebesar 89,4% dengan akar ciri berturut-turut
685,670; 251,165; dan 64,956 yang menjelaskan keragaman gugus data tiga sumbu
utama masing-masing 61,2%; 22,4%; dan 5,8% (Lampiran 20).
Hanya spesies C. katoptron yang pada sumbu 1 dan 2 (Gambar 12)
penyebaran individunya berada di antara sumbu 1 positif dan sumbu 2 positif serta
antara sumbu 1 negatif dan sumbu 2 negatif. Namun demikian, sebaran individu
tidak menunjukkan adanya pengelompokan yang jelas dan tidak memperlihatkan
kecenderungan yang berlawanan.
4. Cypselurus poecilopterus
Hasil analisis komponen utama spesies Cypselurus poecilopterus dari lokasi
Selat Makassar dan Laut Flores menunjukkan ragam sumbu utama pertama hingga
ketiga yang dapat diterangkan sebesar 84,4%. Sebaliknya akar ciri spesies C.
39
poecilopterus masing-masing 410,713; 37,985; dan 36,740 dengan gugus data tiga
sumbu utama masing-masing 71,4%; 6,6%; dan 6,4% (Lampiran 21).
Pada sumbu 1 dan 2 semua karakter morfometrik baik spesies C.
poecilopterus dari Selata Makassar maupun dari Laut Flores berperan hanya di
sekitar sumbu 1. Demikian pula penyebaran individu yang hanya terpusat di
sepanjang sumbu 1 positif dan sumbu 1 negatif (Gambar 13), sehingga diduga ikan
terbang dari kedua lokasi memiliki variasi karakter morfometrik yang sama.
40
Keterangan: a1 Cheilopogon abei Selat Makassar a1 Cheilopogon abei Laut Flores Gambar 10. Grafik korelasi antar karakter morfometrik dan antar individu ikan
terbangCheilopogon abei Selat Makassar dan Laut Flores pada sumbu (axis) 1 dan 2
PCA case scores
Axis
2
Axis 1
-1.9
-3.8
-5.7
-7.6
1.9
3.8
5.7
7.6
9.5
PT
PS
FL
PKTKLKPHPBKBMLMTBM
PRAPRBPMSPCLBMTBLBTBEPBE
PBDSP
PBISP
PSPBE
PSDBEPDSDPJSDPJSP
PSD
PDSAPJSA
Vector scaling: 10.22
PCA case scores
Axis
2
Axis 1
a1a1a1 a1 a1
a1a1 a1a1a1
a1 a1a1
a1 a1a1a1
a1 a1a1a1
a1
a1a1
a1a1a1 a1a1 a1a1a1 a1a1a1 a1a1 a1 a1a1a1 a1
a1
a1
a1a1
a1
a1
a1a1
a1 a1a1a1a1 a1a1a1
a1
a1a1 a1a1
a1 a1a1a1
a1 a1a1a1a1 a1a1a1a1
a1a1 a1a1a1a1
a1a1a1a1
a1a1
a1a1a1 a1 a1a1 a1a1a1
a1 a1a1a1a1a1a1a1a1a1a1 a1 a1a1a1
a1 a1 a1a1 a1a1 a1a1 a1a1a1 a1a1 a1a1a1a1 a1a1
a1a1a1a1a1a1a1 a1a1
a1a1 a1a1a1a1a1 a1a1a1a1 a1a1
a1a1 a1
a1a1a1
a1a1 a1 a1a1 a1
a1a1 a1a1 a1a1
a1a1a1
a1a1 a1a1
a1 a1a1 a1a1 a1a1a1a1
a1a1a1a1a1a1 a1a1 a1a1 a1a1 a1a1a1 a1a1
a1 a1a1 a1a1a1 a1a1a1
a1a1
a2a2a2
a2a2a2 a2 a2
a2 a2a2
a2a2 a2a2
a2 a2
a2
a2a2a2a2 a2a2a2
a2 a2a2a2 a2a2a2
a2a2
a2a2a2 a2a2 a2a2a2a2
a2a2 a2a2 a2 a2 a2a2a2
-1.1
-2.3
-3.4
-4.6
-5.7
1.1
2.3
3.4
4.6
-1.1-2.3-3.4-4.6-5.7 1.1 2.3 3.4 4.6
41
Keterangan: b1 Cheilopogon spilopterus Selat Makassar b2 Cheilopogon spilopterus Laut Flores Gambar 11. Grafik korelasi antar karakter morfometrik dan antar individu ikan
terbang Cheilopogon spilopterus lokasi Selat Makassar dan Laut Flores pada sumbu (axis) 1 dan 2
PCA case scores
Axis
2
Axis 1
b1
b1
b1
b1
b1
b1b1
b1
b1
b1b1
b1
b1 b1b1 b1
b1
b1b1 b1
b1b1
b1 b1b1b1
b1
b1
b1
b1b1 b1
b1
b1
b1
b1
b1b1
b1
b1
b1b1
b1 b1b1
b1
b1
b1b1
b1b1
b1b1b1b1 b1
b1b1
b1b1
b1b1
b1 b1b1
b1b1
b1b1b1b1 b1
b1b1b1b1
b1 b1
b1b1b1
b1b1
b1b1 b1
b1
b1
b1
b1b1 b1b1b1 b1
b1b1 b1
b1b1
b1b1
b1b1 b1b1b1b1 b1
b1b1
b1b1
b1
b1
b1 b1b1
b1b1
b1
b1b1
b1b1 b1b1 b1
b1
b1
b1b1
b1
b1b1
b1b1b1
b1b1 b1b1
b1b1
b1
b1
b1b1b1 b2 b2b2 b2
b2b2
b2
b2b2 b2
b2b2
b2
b2
b2
b2
b2 b2
b2b2b2b2
b2b2b2
b2b2b2
b2b2
b2
b2
-2.3
-4.6
2.3
4.6
6.9
9.2
11.4
-2.3-4.6 2.3 4.6 6.9 9.2 11.4
PCA case scores
Axis
2
Axis 1
-2.3
-4.6
-6.9
-9.2
-11.4
2.3
4.6
6.9
9.2
11.4
-2.3-4.6-6.9-9.2-11.4 2.3 4.6 6.9 9.2 11.4
PT
PSFL
PKTKLKPHPBKBMLMTBMPRAPRBPMSPCLBMTBLB
TBEPBE
PBDSP
PBISP
PSPBEPSDBEPDSD
PJSDPJSP
PSDPDSA
PJSA
Vector scaling: 17.27
42
Keterangan: c1 Cheilopogon katoptron Selat Makassar c2 Cheilopogon katoptron Laut Flores Gambar 12. Grafik korelasi antar karakter morfometrik dan antar individu ikan
terbang Cheilopogon katoptron lokasi Selat Makassar dan Laut Flores pada sumbu (axis) 1 dan 2
d2 Cypselurus poecilopterus Laut Flores Gambar 13. Grafik korelasi antar karakter morfometrik dan antar individu ikan
terbang Cypselurus poecilopterus lokasi Selat Makassar dan Laut Flores pada sumbu (axis) 1 dan 2
PCA case scores
Axis
2
Axis 1
d1
d1
d1
d1d1
d1 d1
d1d1
d1
d1d1
d1
d1
d1d1d1 d1d1
d1d1d1 d1
d1d1 d1 d1d1 d1 d1d1
d1d1d1
d1d1 d1d1 d1
d1
d1d1d1 d1d1
d1
d1d1d1 d1d1d1d1d1d1 d1d1 d1d1
d1d1d1
d1d1
d1d1
d1d1
d1
d1
d1d1
d1 d1
d1
d1 d1d1d1 d1d1d1d1d1
d1 d1d1d1d1
d1d1d1 d1
d1d1d1
d1
d1
d1d1
d1 d1d1
d1 d1d1d2 d2
d2d2
d2
d2
d2d2d2d2d2
d2d2 d2
d2
d2
d2d2
d2d2d2d2d2 d2d2
d2d2
d2
d2d2
d2
d2d2
d2d2 d2d2 d2
d2
d2
d2 d2d2
d2 d2d2d2 d2d2
-1.1
-2.2
-3.4
-4.5
-5.6
1.1
2.2
3.4
4.5
5.6
-1.1-2.2-3.4-4.5-5.6 1.1 2.2 3.4 4.5 5.6
PCA case scores
Axis
2
Axis 1
-1.6
-3.2
-4.9
-6.5
-8.1
1.6
3.2
4.9
6.5
8.1
-1.6-3.2-4.9-6.5-8.1 1.6 3.2 4.9 6.5 8.1
PT
PS
FL
PKTKLKPHPBKBMLM
TBMPRAPRBPMSPCLBM
TBLBTBEPBE
PBDSP
PBISP
PSPBE
PSDBEPDSD
PJSDPJSP
PSD
PDSAPJSA
Vector scaling: 11.38
44
E. Keragaman Nisbah Morfometrik IKan Terbang
1. Cheilopogon abei
Hasil analisis komponen utama (PCA) nisbah morfometrik ikan terbang
terhadap 27 variabel memperlihatkan ragam pada tiga sumbu (axis). Ragam dari tiga
sumbu pertama pada nisbah morfometrik spesies C. abei masing-masing 92,2%;
4,7%; dan 2,1% dengan akar ciri 23,843; 1,226; dan 0,553 (Lampiran 22). Korelasi
antara variabel dan antar individu C. abei memperlihatkan bahwa pada sumbu 1 dan
2 sebaran individu menunjukkan pengelompokan yang jelas karena kelompok
Cheilopogon abei Selat Makassar cenderung menyebar di sekitar titik sumbu menuju
sumbu 1 negatif dan sebaliknya kelompok C. abei Laut Flores berada jauh dari titik
sumbu menuju sumbu 1 positif (Gambar 14).
Kelompok C. abei Selat Makassar dengan penciri utama adalah N25 (nisbah
antara panjang jari sirip punggung dan panjang jari sirip anal), dan N27 (nisbah
antara panjang batang ekor dan tinggi batang ekor) berperan pada bidang negatif
sedangkan kelompok C. abei Laut Flores dengan penciri utama N9 (nisbah antara
tinggi kepala dan lebar mata) berada pada bidang positif. Karakter yang berperan
terhadap penyebaran ikan terbang dari kedua loaksi adalah karakter-karakter yang
berperan pada sumbu 1. Hal ini memberikan gambaran adanya kemungkinan
keduanya berasal dari 2 populasi yang berbeda.
2. Cheilopogon spilopterus
Ragam dari tiga sumbu pertama pada nisbah morfometrik spesies
Cheilopogon spilopterus masing-masing 79,4%; 11,5%; dan 3,3% dengan akar ciri
3,319; 0,479; dan 0,138 (Lampiran 23). Korelasi antar variabel dan antar individu
spesies C. spilopterus pada sumbu 1 dan 2 (Gambar 15) menunjukkan korelasi yang
45
erat dengan penciri utama N9, N26 (nisbah antara lebar bukaan mulut dan lebar
kepala), dan N27.
Individu ikan terbang C. spilopterus dari kedua lokasi menyebar disekitar titik
sumbu kearah bidang diantara sumbu 1 negatif dan sumbu 2 positif. Semakin jauh
suatu individu meninggalkan sumbu 1 ke arah sumbu 2 positif, nilai rasio N9, N26,
dan N27 semakin kecil karena karakter tersebut bernilai negatif.
3. Cheilopogon katoptron
Untuk spesies Cheilopogon katoptron, ragam dari tiga sumbu pertama nisbah
morfometrik masing-masing 44,3%; 24,3%; dan 3,3% dengan akar ciri 0,645; 0,354;
dan 0,128 (Lampiran 24). Korelasi antar variabel dan antar individu sumbu 1 dan 2
(Gambar 16) dengan penciri utama N6 (nisbah antara panjang kepala dan panjang
hidung), N9, N22 (nisbah antara panjang jari-jari sirip punggung dan panjang dasar
sirip punggung), N26, dan N27.
Penyebaran individu asal Selat Makassar dan Laut Flores menyebar hampir
di semua bidang. Walaupun secara umum sebaran individu tidak menunjukkan
adanya pengelompokan yang jelas namun memperlihatkan kecenderungan yang
berlawanan. Individu asal Selat makassar menyebar pada bidang sumbu 1 positif.
Sedikit sekali individu asal Laut Flores ditemukan pada bidang sumbu 2 negatif
menuju sumbu 1 positif.
4. Cypselurus poecilopterus
Spesies Cypselurus poecilopterus mempunyai ragam tiga sumbu pertama
sebesar 57,1%; 27,5%; dan 4,2% dengan akar ciri masing-masing 0,878; 0,423; dan
0.065 (Lampiran 25). Seperti halnya pada spesies Cheilopogon spilopterus dan
Cheilopogon katoptron, spesies C. poecilopterus juga memiliki korelasi antar variabel
dan antar individu yang erat. Pada sumbu 1 dan 2 (Gambar 17) dengan penciri
46
utama adalah N6, N9, N10 (nisbah antara tinggi kepala dan tinggi bawah mata), N24
(nisbah antara panjang dasar sirip punggung dan panjang dasar sirip anal), dan N27.
Sebaran individu pada sumbu 1 dan 2 memperlihatkan bahwa seluruh individu
C. poecilopterus baik yang berasal Selat Makassar maupun dari Laut Flores
menempati keempat bidang. Meski demikian individu Selat Makssar menyebar lebih
luas dibanding individu yang berasal dari Laut Flores dengan penciri utama N6 dan
N9.
47
Keterangan: a1 Cheilopogon abei Selat Makassar a2 Cheilopogon abei Laut Flores Gambar 14. Grafik korelasi antar karakter nisbah morfometrik dan antar individu ikan
terbang Cheilopogon abei lokasi Selat Makassar dan Laut Flores pada sumbu (axis) 1 dan 2
Keterangan: b1 Cheilopogon spilopterus Selat Makassar b2 Cheilopogon spilopterusi Laut Flores Gambar 15. Grafik korelasi antar karakter nisbah morfometrik dan antar individu ikan
terbang Cheilopogon spilopterus lokasi Selat Makassar dan Laut Flores pada sumbu (axis) 1 dan 2
PCA case scores
Axis
2
Axis 1
-0.2
0.2
0.5
0.7
1.0
1.2
N1 N2N3N4N5
N6
N7N8
N9N10N11N12 N13N14N15 N16N17N18N19N20
N21N22N23
N24N25N26 N27
Vector scaling: 0.90
PCA case scores
Axis
2
Axis 1
b1b1b1
b1 b1b1b1 b1
b1
b1
b1b1
b1 b1b1
b1
b1
b1
b1b1 b1
b1b1b1b1
b1b1 b1
b1b1
b1b1b1
b1
b1b1
b1
b1b1b1b1
b1
b1b1b1b1b1b1b1b1
b1b1b1
b1b1
b1 b1b1b1b1b1
b1b1b1 b1b1b1
b1b1
b1b1b1b1b1b1b1b1b1
b1
b1b1
b1b1
b1b1b1b1b1b1
b1b1b1
b1
b1b1b1
b1
b1b1b1b1b1
b1b1b1b1b1b1
b1b1
b1b1
b1b1b1b1 b1b1b1b1
b1b1b1b1 b1b1
b1b1
b1b1
b1b1b1b1b1b1b1b1
b1b1b1
b1b1b1b1b1
b1
b1b1 b2b2
b2
b2
b2
b2b2
b2
b2b2 b2
b2b2
b2
b2b2
b2b2 b2b2
b2b2
b2b2b2b2b2b2b2
b2b2b2
-0.2
0.2
0.5
0.7
1.0
1.2
49
Keterangan: c1 Cheilopogon katoptron Selat Makassar c2 Cheilopogon katoptron Laut Flores Gambar 16. Grafik korelasi antar karakter nisbah morfometrik dan antar individu ikan
terbang Cheilopogon katoptron lokasi Selat Makassar dan Laut Flores pada sumbu (axis) 1 dan 2
PCA case scores
Axis
2
Axis 1
-0.09
-0.18
-0.26
-0.35
0.09
0.18
0.26
0.35
0.44
N1N2N3
N4
N5
N6
N7
N8
N9
N10
N11N12N13N14N15N16N17N18N19 N20N21
N22N23
N24
N25
N26
N27
Vector scaling: 0.47
PCA case scores
Axis
2
Axis 1
c1
c1
c1
c1
c1
c1
c1
c1
c1
c1c1
c1
c1
c1
c1
c1
c1
c1c1c1
c1
c1c1
c1c1c1
c1c1
c1
c1
c1
c1c1
c1c1c1
c1
c1
c1c1
c1c1c1c1
c1c1
c1
c1
c1
c1
c1c1c1c1c1
c1c1
c1
c1
c1c1
c1
c1c1c1
c1c1
c1
c1c1
c1
c1c1c1
c1c1
c1c1 c1c1
c1
c1c1
c1
c1c1
c1
c1
c1
c1c1
c2c2
c2
c2
c2
c2c2c2c2
c2c2
c2c2 c2c2
c2
c2c2
c2
c2c2
c2c2
c2c2
c2
c2
c2
c2
c2
c2c2
-0.09
-0.17
-0.26
0.09
0.17
0.26
0.34
0.43
50
Keterangan: d1 Cypselurus poecilopterus Selat Makassar d2 Cypselurus poecilopterus Laut Flores Gambar 17. Grafik korelasi antar karakter nisbah morfometrik dan antar individu ikan
terbang Cypselurus poecilopterus lokasi Selat Makassar dan Laut Flores pada sumbu (axis) 1 dan 2
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan maka dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Karakter morfologi kualitatif (motif cross band dan spot hitam pada sirip dada)
yang dapat digunakan untuk membedakan keempat jenis ikan terbang yaitu
Cheilopogon abei memiliki cross band umumnya berwarna kuning pada
bagian sirip dada dan terdapat spot hitam yang jelas pada sirip punggung
serta sirip perut, pesies Cheilopogon katoptron juga memiliki cross band
berwarna pucat pada sirip dada dengan sirip punggung dan sirip perut tanpa
spot hitam, spesies Cheilopogon spilopterus memiliki sejumlah spot hitam
kecil pada sirip dada namun sirip punggung dan sirip perut tanpa spot hitam,
serta spesies Cypselurus poecilopterus memiliki sejumlah spot hitam pada
sirip dada tetapi lebih tersusun rapi menyilang. Walaupun sirip punggung tidak
berspot, namun sirip perut memiliki sejumlah kecil spot hitam.
2. Hasil analisis komponen utama (PCA) dari kedua lokasi memperlihatkan
bahwa spesies C. abei pada sumbu 1 dan 2 membentuk kelompok Selat
Makassar dan kelompok Laut Flores, sedangkan spesies C. spilopterus, C.
katoptron, dan C. poecilopterus tidak menunjukkan pengelompokan yang
nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa kemungkinan spesies ikan terbang dari
kedua lokasi tersebut berasal dari populasi yang sama, kemudian masing-
masing beradaptasi dengan lingkungannya sehingga memiliki hasil analisis
komponen utama (PCA) yang sedikit berbeda.
3. Berdasarkan hasil pengamatan secara meristik keempat spesies ikan terbang
antara kedua lokasi memiliki variasi yang sangat kecil, namun memiliki kisaran
yang relatif lebih lebar daripada yang dikemukakan oleh Parin (1999) untuk
keempat spesies ikan terbang tersebut.
52
4. Populasi ikan terbang yang terdapat di perairan Selat Makassar merupakan
populasi yang sama dengan populasi ikan terbang yang terdapat di Laut
Flores.
B. Saran
1. Penelitian tentang karakter morfologi dikaitkan dengan genetik ikan terbang
perlu dilakukan sebagai dasar pengembangan kegiatan budidaya dan
restocking tersebut.
2. Untuk mendukung upaya peningkatan populasi ikan terbang dan
pelestariannya, maka harus segera dilakukan pengurangan intensitas
penangkapan dan dibuat regulasi perdagangan terutama telur ikan terbang
maupun kegiatan restocking dan budidaya.
53
DAFTAR PUSTAKA
Alhusin, S. 2003. Aplikasi Statistik Praktis dengan SPSS 10 for Windows. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.
Ali, S. A., 2005. Kondisi Sediaan dan Keragaman Populasi dan Biologi Reproduksi
Ikan Terbang (Hirundichthys oxycephalus Bleeker, 1852) di Laut Flores dan Selat Makassar. Disertasi. Program Pascasarjana Unhas, Makassar.
Andy Omar, S. Bin. 2003. Studi morfometrik cumi-cumi Sepioteuthis lessoniana.
Torani, 13(2): 102-108. Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisa Data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. PKSPL-IPB, Bogor. Bernawis, L. I., 2005. Indonesia; Mengapa laut kita istimewa untuk interaksi laut-
atmosfer?. Inovasi Vol.4/XVII/ Agustus 2005. Bigelow, H.B. and W.C. Schroeder. 2002. Fishes of the Gulf of Maine. The flying
fishes, family Exocoetidae. Fishery Bulletin, 53: 172. Burhanuddin, A.I., Y. Iwatsuki, T. Yoshino, and S. Kimura. 2002. Small and valid
species of Trichiurus brevis Wang and You, 1992 and T. russelli Dhutt and Thankam, 1996, defined as the “T. russelli cimplex” (Perciformes; Trichiuridae). Ichthyological Research, 49: 211-223.
Cavalcanti, M.J., L.R. Monteiro, and P.R.D. Lopes. 1999. Land-mark-based
morphometric analysis in selected species of serranid fishes (Perciformes: Teleostei). Zoological Studies, 38(3): 287-294.
Dasilao, J.C., Jr., K. Sasaki, and O. Okamura. 1996. The hemiramphid,
Oxyporhamphus, is a flyingfish (Exocoetidae). Ichthyological Research, 44(2): 101-107.
Dasilao, J.C., Jr., R. Rossiter, and K. Yamaoka. 2002. Adaptive ontogenetic shape
change in flyingfish Parexocoetus mento mento. Fisheries Science, 68: 71-76.
Diposaptono, S., 2001. Karakter laut pada kota pantai, hal. 219-226. Prosiding, Studi Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global.
Fahri, S., K. Sumantadinata, O. Carman, K. Sugama, dan Sulaeman. 2001. Keragaman genetik ikan terbang (Cypselurus opisthopus) di perairan Teluk Mandar, Teluk Manado, dan Teluk Tomini Sulawesi. Maritek, 1(2): 1-12.
Gomes, C., H.A. Oxenford, and R.B.G. Dales. 1999. Mitochondrial DNA D-loop
variation and implication for stock structure of the four-wing flyingfish, Hirundichthys affinis, in the Central Western Atlantic. Bulletin of Marine Science, 64: 485-500.
54
Hadikusumah, 2006. Diagram T-S-CH di Selat Makassar: kaitannya dengan upwelling tahun 1999, 2003 dan 2004. Jurnal Teknik Lingkungan Edisi Khusus, Agustus 2006.
Hubbs, C.L. and K.F. Lagler. 1958. Fishes of the Great Lakes Region. University of
Michigan Press, Ann Arbor, Michigan. Hurlbut, T. and D. Clay. 1998. Morphometric and meristic differences between
shallow and deep-water population of white hake (Urophycis tenuis) in the Southern Gulf of St. Lawrence. NRC Canadan Journal Fishery Aquatic Science, 55: 2274-2282.
Jawad, L. A. 2001. Variation in meristic characters of a tilapian fish, Tilapia zilli
(Gervais, 1848) from the inland water bodies in Libya. Acta Ichthyologica et Piscatoria, 31(1): 159 -164.
Kutschera, U. 2005. Predator-drive macroevolution in flyingfishes inferred from
behavioural studies: historical controversies and a hypothesis. Annals of the History and Phylosophy of Biology, 10: 59-77.
Laudien, J., N.S. Flint, F.H. van der Bank, T. Brey. 2003. Genetic and morphological
variation in four population of the surf clam Donax serra (Röding) from Southern African sandy beaches. Biochemical Systematic and Ecology, 31: 751-772.
Lee, Y.H, H.T. Huang, H.K. Mok. 2007. Microscopic structure and digital
morphometric analysis of the statoconia of hagfish, Paramyxine nelsoni (Myxiniformes). Zoological Studies, 46(1): 1-5.
Mulyadi. 2007. Mencari lokasi “upwelling” dengan bio-indikator kopepoda.
(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/09/ilpeng/ 1799344.htm). (Online 25 Februari 2007). Nelson, J.S. 2006. Fishes of the World. John Wiley and Sons, Inc. New York. 4th
Edition, pp. 601. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Cetakan Keempat (Edisi Revisi). Penerbit
Djambatan, Jakarta. Overton, J.L., 1999. Morphometrics and ecology of the mud crab (Scylla spp) from
Southeast Asia, pp. 35-42. In Keenan, C.P. and A. Blackshaw (eds.) Mud Crab Aquaculture and Biology. ACIAR Proceeding, Canberra.
Oxenford, H.A. 1994. Movements of flyingfish (Hirundichthys affinis) in the Eastern
Caribbean. Bulletin of Marine Science, 54: 49-62. Parin, N.V. 1999. Exocoetidae, pp. 2162-2179. In Carpenter, K.E. and V.H. Niem
(eds.). FAO Species Identification Guide for Fishery Purpose. The Living Marine- Resources of Western Cenral Pacific. Volume 4. Bony Fishes (Mugilidae to Carangidae). FAO, Rome.
Pariwono, J.T., A.G. Ilahude, M. Hutomo. 2005. Progress in oceanography of the
Indonesian seas. A Historical Perspective. Oceanography, 18(4): 42-49.
55
Pollar, M., M. Jaroensutasinee, dan K. Jaroensutasinee. 2007. Morphometric
analysis of Tor tambroides by stepwise discriminant and neural network analysis. Enformatika, 19: 392-396.
Prayogo, T., 2003. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk
pengembangan ekonomi nelayan. Pusbangja LAPAN, Berita Inderaja Vol. I. II, No.3, Juli 2003.
Smith, N.A. 2004. Feeding Biology and Morphometric Analysis of Paddlefish,
Polyodon spathula, In The Mermentau River, Louisiana. Thesis. B.S. Louisiana State University.
Smith, P.J., P.J. McMillan, B. Bull, S.M. McVeagh, P.M. Gaffney, and S. Chow.
2002. Genetic and meristic variation in black and smooth oreos in the New Zealand Exclusive Economic Zone. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research, 36: 737-750.
Spall, M.A. 2003. Islands in zonal flow. Journal of Physical Oceanography, 33:
2689-2701. Standard Names of Australian Fishes. 2006. Series: CSIRO Marine and
Atmospheric Research Paper; 9. Australia. Wijaya. 2000. Analisis Statistik dengan Program SPSS 10. Alfabeta, Bandung. World Resources Institute. Biodiversity Glossary Terms.
(http://www.wri.org/biodiv/pubs_content_text.cfm?cid=1685). (Online 25 Februari 2007).
Yahya, M.A., I. Jaya, R.F. Kaswadji, dan A. Hanggono. 2001. Hubungan
karakteristik laut dengan produksi hasil tangkapan ikan terbang (Cypselurus spp) di Selat Makassar. Maritek. 1(1): 29-46.
Yatim, W. 1996. Genetika. Edisi Kelima. Penerbit Tarsito, Bandung. Yusron, E. 2005. Pemanfaatan keragaman genetik dalam pengelolaan sumberdaya