Jurnal Fakultas Hukum UNIVERSITAS PANCASILA Volume 1 Nomor 1, Februari 2014 PERANAN PUTUSAN PENGADILAN TIPIKOR DALAM PERUBAHAN SOSIAL Sinintha Yuliansih Sibarani KAJIAN YURIDIS TERHADAP OTONOMI DAERAH DIKAITKAN DENGAN PROSES LEGISLASI DALAM PERSPEKTIF GOOD AN CLEAN GOVERNANCE Endah Dewi Nawangsari Sukarton HUBUNGAN WEWENANG PRESIDEN DAN DPR DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG (PERPU) (Suatu Analisis Terhadap Pembatalan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2014) Dwi Putri Cahyawati KONSEPSI HUKUM PERDATA INTERNASIONAL: Ruang Lingkup dan Keterkaitannya Dengan Hukum Internasional Publik Indra Wahyu Pratama PENGHIDANAAN DAN PENCEMARAN NAMA BAIK SEBAGAI FENOMENA KEBEBASAN BERSOSIAL MEDIA DALAM PERSPEKTIF CYBERCRIME Armasyah KEDUDUKAN ANAK YANG DILAHIRKAN DARI PROGRAM BAYI TABUNG DITINJAU DARI HUKUM POSITIF Nindya Pri Kusuma POLEMIK PEMILIHAN KEPALA DAERAH PASCA DITETAPKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA Edie Toet Hendratno PERKEMBANGAN KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA Diani Kesuma Themis Vol. 1 Nomor 1 Jakarta Februari 2014 Hlm …….. - …… ISSN 1907-8307 Themis
21
Embed
Themis - Universitas Pancasiladosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/3084230012142612790712March... · PENGHIDANAAN DAN PENCEMARAN NAMA BAIK SEBAGAI ... sejarah menunjukkan bahwa kebijakan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Jurnal Fakultas Hukum UNIVERSITAS PANCASILA Volume 1 Nomor 1, Februari 2014
PERANAN PUTUSAN PENGADILAN TIPIKOR DALAM PERUBAHAN SOSIAL
Sinintha Yuliansih Sibarani KAJIAN YURIDIS TERHADAP OTONOMI DAERAH DIKAITKAN
DENGAN PROSES LEGISLASI DALAM PERSPEKTIF GOOD AN CLEAN GOVERNANCE Endah Dewi Nawangsari Sukarton HUBUNGAN WEWENANG PRESIDEN DAN DPR DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU) (Suatu Analisis Terhadap Pembatalan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014)
Dwi Putri Cahyawati
KONSEPSI HUKUM PERDATA INTERNASIONAL: Ruang Lingkup dan Keterkaitannya Dengan Hukum Internasional Publik Indra Wahyu Pratama PENGHIDANAAN DAN PENCEMARAN NAMA BAIK SEBAGAI FENOMENA KEBEBASAN BERSOSIAL MEDIA DALAM PERSPEKTIF
CYBERCRIME Armasyah
KEDUDUKAN ANAK YANG DILAHIRKAN DARI PROGRAM BAYI TABUNG DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
Nindya Pri Kusuma
POLEMIK PEMILIHAN KEPALA DAERAH PASCA DITETAPKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN
GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA Edie Toet Hendratno
PERKEMBANGAN KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA Diani Kesuma
Themis Vol. 1 Nomor 1 Jakarta
Februari 2014 Hlm
…….. - …… ISSN
1907-8307
Themis
Polemik Pemilihan Kepala Daerah …/Edi Toet Hendratno
Jurnal Hukum Themis Vol.1 No. 1 Februari 2014 | 1
POLEMIK PEMILIHAN KEPALA DAERAH
PASCA DITETAPKANNYA
UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2014
TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA
Dr. Edie Toet Hendratno, SH., M.Si.
ABSTRACT
Indonesian political changes after the end of the New Order era power for
32 years (1967-1998), among others, characterized by constitutional reform that
set the state system of Indonesia. Indonesian constitution, the Basic Law
(Constitution) of the Republic of Indonesia 1945 set on August 18, 1945 has been
amended four times. Two important political instrument that became policy,
namely democratic elections and policy autonomy or decentralization
(Decentralisation) as well as one of the fundamental steps in the decentralization
policy, the implementation of local elections in choosing the head region
(elections). The holding of elections and the election is one of the indicators of the
success of democracy of a state transition. Various pieces of legislation, such as
the Law of the Republic of Indonesia Number 42 Year 2008 on the General
Election of President and Vice President, as well as the Law of the Republic of
Indonesia Number 10 of 2008 on the Election of Members of the House of
Representatives, Regional Representatives Council, and the Regional
Representatives Council. In connection with the local elections, the House of
Representatives the period of 2009-2014 with a variety of reasons have been
enacted Law No. 22 of 2014 concerning the election of Governor, the Regent, and
Mayor that regulate the local elections indirectly through the Regional
Representatives Council. Law No. 22 of 2014 which regulates the mechanism of
local elections indirectly through the Regional Representatives Council (DPRD)
has gained widespread rejection by the people, and the decision-making process
are considered not reflect the principles of democracy. With consideration to
ensure the election of Governor, the Regent, and Mayor democratic management
as set out in Article 18 paragraph (4) of the Constitution of the Republic of
Indonesia Year 1945, which emphasizes the sovereignty of the people and
2|Jurnal Hukum Themis Vol.1 No. 1 Februari 2014
democracy of the people, by the people and for the people, President Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) on Tuesday on October 2, 2014 has been signed
Government Regulation in Lieu of Law (Perppu) No. 1 of 2014 concerning the
election of Governor, the Regent, and Mayor. 1945 Constitution does not regulate
whether the head region is elected directly by the people or elected by parliament.
However, Article 18 paragraph (4) asserts, that the democratically elected
regional heads. The formulation of democratically elected, was born of a long
debate in the Ad Hoc Working Committee of the Assembly 1 2000 between
opinion requires the head area chosen by the legislature and other opinions which
requires elected directly by the people.
Keyword: polemic elections to the area; election of governors, regents/mayors;
ABSTRAK
Perubahan politik Indonesia pasca berakhirnya kekuasaan era Orde Baru
selama 32 tahun (1967 – 1998) antara lain ditandai dengan reformasi konstitusi
yang mengatur sistem ketatanegaraan Indonesia. Konstitusi Indonesia, yakni
Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945 yang ditetapkan
pada 18 Agustus 1945 telah diubah sebanyak empat kali. Dua instrumen politik
penting yang menjadi kebijakan, yakni pemilihan umum yang demokratis serta
kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi (decentralisation) serta salah satu
langkah fundamental dalam kebijakan desentralisasi, yakni pelaksanaan pemilihan
umum lokal dalam memilih kepala daerah (Pilkada). Penyelenggaraan Pemilu dan
Pilkada adalah salah satu indikator keberhasilan demokrasi dari sebuah negara
transisi. Berbagai produk hukum, seperti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,
serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berkaitan dengan pemilihan
kepala daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Periode 2009-2014 dengan berbagai
alasan telah menetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan
kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang Undang Nomor 22 tahun 2014 yang mengatur mekanisme pemilihan
kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) ini telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat, dan proses
pengambilan keputusannya dinilai tidak mencerminkan prinsip demokrasi. Dengan pertimbangan untuk menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menekankan kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Selasa tanggal 2
Oktober 2014 telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota. UUD RI 1945 tidak mengatur apakah kepala daerah dipilih secara
Polemik Pemilihan Kepala Daerah …/Edi Toet Hendratno
Jurnal Hukum Themis Vol.1 No. 1 Februari 2014 | 3
langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD. Namun Pasal 18 ayat (4)
menegaskan, bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Rumusan dipilih
secara demokratis, lahir dari perdebatan panjang di Panitia Ad Hoc 1 Badan
Pekerja MPR tahun 2000 antara pendapat yang menghendaki kepala daerah
dipilih oleh DPRD dan pendapat lain yang menghendaki dipilih secara langsung
oleh rakyat.
Katakunci: polemik pemilihan kepada daerah; pemilihan gubernur,
bupati/walikota
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan politik Indonesia pasca berakhirnya kekuasaan era Orde Baru selama 32
tahun (1967-1998) antara lain ditandai dengan reformasi konstitusi yang mengatur sistem
ketatanegaraan Indonesia. Konstitusi Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar (UUD)
Negara Republik Indonesia 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 telah diubah
sebanyak empat kali; yakni:
1. Perubahan ke-1 disahkan tanggal 19 Oktober 1999
2. Perubahan ke-2 tanggal 18 Agustus 2000
3. Perubahan ke-3 tanggal 10 November 2001; dan
4. Perubahan ke-4 tanggal 10 Agustus 2002.1
Dua instrumen politik penting yang menjadi kebijakan, yakni pemilihan umum yang
demokratis serta kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi (decentralisation) serta
salah satu langkah fundamental dalam kebijakan desentralisasi, yakni pelaksanaan
pemilihan umum lokal dalam memilih kepala daerah (Pilkada).
Kebijakan ini merupakan hal yang sangat fundamental sebagai kelanjutan dari arus
perubahan yang sangat kuat terutama sejak tahun 1996. Henk Schulte Nordholt2
1Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pemilihan Kepala
Daerah. (Jakarta: BPHN, 2011), hlm. 3-4. 2Lihat Henk Schulte Nordholt, (ed.) & Ireen Hoogenboom (ast.ed.), Indonesian in Transition
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 1.
4|Jurnal Hukum Themis Vol.1 No. 1 Februari 2014
menyebutnya sebagai the consolidation of electoral democracy, karena berlangsungnya
pemilu yang secara luar biasa di tingkat kabupaten/kota (regional/districlevel), provinsi
dan nasional yang berlangsung sejak tahun 1999, 2004 dan 2005.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung dengan demikian merupakan proses
politik yang tidak saja merupakan mekanisme politik untuk mengisi jabatan demokratis
(melalui pemilu); tetapi juga sebuah implementasi pelaksanaan otonomi daerah atau
desentralisasi politik yang sesungguhnya.
Keduanya merupakan reaksi atas model kebijakan desentralisasi di tanah Indonesia
sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru, sejarah menunjukkan bahwa kebijakan ini
secara terbatas telah dimulai zaman kekuasaan Hindia Belanda, termasuk pada era Orde
Baru. Sampai saat ini, kebijakan tersebut telah mengalami pasang surut.3
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi diartikan sebagai
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. 4
Untuk menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara
demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka kedaulatan rakyat serta demokrasi dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Berkaitan dengan pemilihan kepala daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Periode 2014-
2019 dengan berbagai alasan telah menetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan
kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang Undang Nomor 22 tahun 2014 yang mengatur mekanisme pemilihan kepala
daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ini telah
3BPHN, Op.cit.hlm. 5. 4M. Mas’ud Said, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia. (Malang: UMM Press, 2005), hlm. 74-75.
Polemik Pemilihan Kepala Daerah …/Edi Toet Hendratno
Jurnal Hukum Themis Vol.1 No. 1 Februari 2014 | 5
mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat, dan proses pengambilan keputusannya
dinilai tidak mencerminkan prinsip demokrasi.5
Dengan pertimbangan untuk menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menekankan
kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Selasa tanggal 2 Oktober 2014 telah
menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.6
Dalam pidato yang disiarkan langsung di salah satu televisi swasta, Presiden SBY
menyatakan, bahwa:
“Saya menghormati keputusan DPR soal UU Pilkada namun izinkan saya
berikhtiar untuk tegaknya demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Pilkada langsung adalah buah dari perjuangan reformasi. Saya jadi Presiden
melalui pemilu langsung oleh rakyat pada 2004 dan 2009”.7
Perppu yang terdiri atas 206 pasal itu dimaksudkan sebagai pengganti Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang
5Hak demokrasi rakyat dipangkas DPR melalui RUU Pemilihan Kepala Daerah yang baru. Untuk
alasan efisien, tapi hak konstitusional rakyat dibabat. Padahal, setelah 10 tahun pelaksanaan pilkada langsung
oleh rakyat telah melahirkan tokoh pemimpin muda yang baru, berani, tegas, cerdas, bertanggungjawab,
berkualitas, dan merakyat yang berhasil membangun daerahnya masing-masing. Misalnya Ganjar Pranowo,
Ahok, Ridwan Kamil, Bima Arya, Risma, dan pemimpin muda lainnya yang terpilih langsung oleh rakyat
karena kinerja mereka yang bagus. Pilkada langsung digagas sejak 2004 sebagai koreksi atas pemerintahan
sentralistik pada masa orde baru yang melahirkan birokrat yang korup di daerah dan mengakibatkan
masyarakat di daerah tidak dapat merasakan pembangunan yang merata dan walaupun kekayaan alam di
daerahnya sangat kaya tapi lebih banyak dikorupsi oleh pejabat dan DPRD di daerah mereka akibat
pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Terbukti, banyak kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD karena
melakukan pemerasan kepada kepala daerah yang mereka pilih atau karena transaksi suap untuk melancarkan
kebijakan dan program di daerah karena harus melalui persetujuan oleh DPRD. Lihat “Rakyat Menolak
Pemilihan Kepala Daerah Melalui DPRD”. http://www.change.com. Diakses Selasa 11 November 2014. 6“Inilah Pokok Pokok Perpu Pilkada”. http://www.demokrat.or.id/2014/10/inilah-pokok-pokok-perpu-
pilkada/. Diakses Selasa 11 November 2014. 7“Untuk Anulir Pilkada Langsung, Presiden Keluarkan Dua Perppu”. http://www.
Polemik Pemilihan Kepala Daerah …/Edi Toet Hendratno
Jurnal Hukum Themis Vol.1 No. 1 Februari 2014 | 7
Sehubungan dengan hal tersebut, pokok permasalahan dalam makalah ini adalah
mengapa terjadi polemik tentang tata cara pemilihan kepala daerah di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemilihan Kepala Daerah Menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004
Hampir semua Daerah di Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah mengadakan proses pemilihan kepala
daerah baik di tingkat provinsi, maupun di tingkat kabupaten/kota sesuai amanat undang-
undang tersebut.
Diaturnya pemilihan kepala daerah adalah merupakan pertanda, bahwa hal tersebut
telah menjadi konsensus nasional. Namun, konsensus tersebut bukan tidak memiliki
perdebatan akademik. Perdebatan berkisar pada kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945, yang menimbulkan multi-tafsir, selanjutnya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 menyebutkan bahwa Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil.9
Menanggapi hal tersebut Jimly Asshiddiqie menyatakan, bahwa perkataan dipilih
secara demokratis ini bersifat luwes, sehingga mencakup pengertian pemilihan langsung
oleh rakyat ataupun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti yang pada
umumnya sekarang dipraktikkan di daerah-daerah berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.10
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung telah menjadi perkembangan baru dalam
memahami dipilih secara demokratis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (4)
Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Oleh karena itu jika Undang
Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan ruang yang luas terhadap pemilihan Kepala
9BPHN, Op.cit., hlm. 18. 10Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah Perubahan Ke empat, (Depok: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hlm. 22.
8|Jurnal Hukum Themis Vol.1 No. 1 Februari 2014
Daerah secara langsung oleh rakyat hal ini memang merujuk ke Pasal 18 ayat (4) Undang
Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 tersebut.
Dalam perspektif sosiologis ada desakan sosial yang bergelora dan bergejolak ketika
era reformasi yang menuntut adanya demokratisasi dan transparansi dalam pemerintahan
baik pusat maupun daerah. Salah satu wujud dari demokratisasi itu adalah dilaksanakannya
pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Dengan demikian diharapkan Kepala Daerah
yang terpilih benar-benar representatif. Aspirasi rakyat lebih terakomodasi dengan
pemilihan Kepala Daerah secara langsung itu.11
Akan tetapi sistem pemilihan secara langsung tersebut memang masih menimbulkan
masalah yakni ketika calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah harus melalui partai
politik. Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan Peserta Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara
berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Badan Pembinaan Hukum Nasional yang meneliti mengenai pemilihan kepala daerah
mengemukakan, bahwa dari berbagai pandangan dapat ditarik hipotesa bahwa pemilihan
kepala daerah lansung mempunyai sisi positif dan negatif.12
Segi Positif tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Melalui pilkada langsung diharapkan masyarakat pemilih dapat menentukan sendiri
kepala daerahnya masing-masing, tanpa campur tangan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD).
2. Melalui pilkada langsung diharapkan bisa memotong kecenderungan menguatnya
oligarkhi partai-partai dalam penentuan kepala daerah.
3. Melalui pilkada langsung diharapkan mengurangi fenomena politik uang (money
politics) yang begitu marak dalam pilkada tidak langsung oleh para wakil rakyat di
parlemen lokal.
4. Melalui pilkada langsung diharapkan dapat menciptakan stabilitas politik dan
efektivitas pemerintah di tingkat lokal.
5. Melalui pilkada langsung diharapkan akan memperkuat dan meningkatkan kualitas
seleksi kepemimpinan nasional, karena dengan pilkada langsung makin terbuka
11BPHN, Op.cit., hlm. 19. 12BPHN, Ibid., hlm. 45.
Polemik Pemilihan Kepala Daerah …/Edi Toet Hendratno
Jurnal Hukum Themis Vol.1 No. 1 Februari 2014 | 9
peluang munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau
daerah.
Selain sisi positif Pilkada juga memiliki segi negatif yang perlu dicari jalan
keluarnya. Dalam Pilkada, gelanggang kompetitif dari dalam Parlemen pindah keluar
parlemen. Sehingga perlu sistem pengendalian ekstra ketat agar tidak menimbulkan konflik
keras di tengah-tengah masyarakat (konflik horizontal) yang pada gilirannya dapat
mengganggu keamanan lingkungan dan dapat membawa korban jiwa maupun harta benda.
Menurut Ahmad Soleh, sisi negatif pilkada langsung antara lain adalah:13
1. Biaya yang dikeluarkan sangat besar. Biaya yang dikeluarkan mulai dari biaya
penyelenggaraan, kampanye, lobbi-lobbi partai pendukung sangat besar. Ini
memungkinkan calon kepala daerah yang memiliki modal besar lah yang akan menang
atau mereka yang mendapat dukungan dana dari pemodal besar.
2. Kedaulatan milik Pemodal dan Asing. Sudah barang tentu kepala daerah yang menang
pilkada yang telah diberi modal yang banyak terikat kepada pemilik modal.
3. Korupsi. Untuk mengembalikan modal besar pribadi, sponsor maupun partai yang telah
mengeluarkan milyaran bahkan triliunan rupiah sudah barang tentu menjadikan korupsi
sebagai jalan yang nyaman. Korupsi menjadi lumrah bagi para kepala daerah, hanya
masalah bagaimana mereka bermain saja, bisa bermain bersih dan aman ataukah tidak.
4. Rawan penyalah-gunaan birokrasi dan minim pengawasan. Selama ini kita lemah
dalam pengawasan dan punishment. Banyak penyalahgunaan wewenang yang terjadi
dalam proses pilkada.
Pada gelombang pertama penyelenggaraan pilkada langsung pada tahun 2005 tidak
kurang dari 181 kabupaten, kota dan provinsi menyelenggarakan pilkada langsung, dan
nyatanya banyak terjadi kasus keributan yang membawa korban jiwa dan harta tidak
sedikit14.
Dalam catatan pilkada langsung di Indonesia, hampir semua berakhir dengan
kericuhan serta konflik horizontal diantara para pendukung masing-masing pasangan.
13“Plus Minus Pilkada Langsung dan Tak Langsung”. http://www.politik.kompasiana. com/.../plus-
minus-pilkada-langsung-dan-melalui-dprd. Diakses Selasa 11 November 2014. 14BPHN, Ibid., hlm. 46.
10|Jurnal Hukum Themis Vol.1 No. 1 Februari 2014
Pemicu konflik pun rata-rata sama yakni mengenai ketidak-puasan hasil akhir
penghitungan suara.15
Sistem pemilihan secara langsung pada hakikatnya merupakan alternatif yang paling
realistis untuk mendekatkan aspirasi demokrasi rakyat dengan kekuasaan pemerintah dan
pada saat yang sama memberikan basis legitimasi politik kepada pejabat eksekutif yang
terpilih. Dari situlah sikap primordialisme akan muncul, sehingga berpotensi menyebabkan
konflik politik.
Paling tidak ada dua prinsip yang terkandung dalam rumusan kepala daerah dipilih
secara demokratis, yaitu pertama; kepala daerah harus dipilih, yaitu melalui proses
pemilihan dan tidak dimungkinkan untuk langsung diangkat, dan kedua; pemilihan
dilakukan secara demokratis.16 Makna demokratis di sini tidak harus dipilih langsung oleh
rakyat, akan tetapi dapat juga bermakna dipilih oleh DPRD yang anggota-anggotanya juga
hasil pemilihan demokratis melalui pemilu.
Ketika Undang-undang Nomor. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
diajukan oleh pemerintah dan diperdebatkan di DPR, tidak ada perdebatan yang mendalam
lagi tentang apakah kepala daerah itu dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD.
Tidak dapat diragukan lagi bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh
rakyat merupakan ekspektasi demokrasi yang sangat tinggi. Dengan cara demikian, ruang
partrisipasi rakyat dalam menentukan pemimpinnya menjadi sangat besar. Ruang bagi
rakyat untuk mencari pemimpin yang lebih baik menjadi lebih besar pula.17
Di sinilah kelemahan demokrasi18, sering tidak bisa dihindari karena yang menang
adalah suara mayoritas tanpa peduli terhadap kwalitasnya. Kita tidak mungkin membalikan
15“Analisis Hubungan Teori Konflik dengan Pilkada”. http://www.vitaorrin.blogspot. com/
2013/.../analisis-hubungan-teori-konflik-dan.htm. Diakses Selasa 11 November 2014. 16Syafran Sofyan. “Permasalahan dan Solusi Pemilukada”. http://www.lemhannas.go. id/.../1634-
permasalahan-dan-solusi-pemilukada.htm. Diakses Selasa 11 November 2014. 17Ibid. 18Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 terkait
dengan Pilkada, antara lain:
a. Putusan MK No.072-073/PUU-ii/2005 menyatakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004: Dalam
pertlmbangan hukumnya, mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori
pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 namun Pilkada langsung adalah
pemilu secara materiil untuk mengimplementasikan Pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 karena
itu dalam penyelenggaraannya dapat berbeda dengan pemilu yang diatur Pasal 22E UUD Negara RI
Tahun 1945, misalnya dalam hal regulator, penyelenggara dan badan yang menyelesaikan perselisihan
hasil pilkada meskipun tetap didasarkan asas pemilu yang berlaku. Pembentuk Undang-Undang No 32
Tahun 2004 telah menetapkan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada yang merupakan wewenang
Polemik Pemilihan Kepala Daerah …/Edi Toet Hendratno
Jurnal Hukum Themis Vol.1 No. 1 Februari 2014 | 11
arah demokrasi yang sudah demikian jauh kepada proses yang tidak demokratis hanya
untuk mencari efisiensi dan kecepatan dalam mensejahterakan rakyat. Karena ternyata cara
demikian telah terbukti gagal di Indonesia.
Tuntutan otonomi daerah tidak lain dari kehendak bagi kehidupan yang lebih
demokratis, karena hakekat otonomi adalah demokratisasi dan pemberian kebebasan dan
kreativitas daerah untuk maju.19
B. Pemilihan Kepala Daerah Menurut Undang Undang Nomor 22 Tahun 2014
Pada tahun 2014, DPR RI kembali mengangkat isu krusial terkait pemilihan kepala
daerah secara langsung. Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014
memutuskan, bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau
kembali dipilih oleh DPRD.20
Keputusan pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DPR
RI yang terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
pembentuk undang-undang yang terpenting adalah harus dijamin independensinya, terganggunya
independensi penyelenggara mengakibatkan bertentangan dengan kepastian, perlakuan yang sama dan
keadilan sesuai Pasal 28D UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah juga berpendapat, bahwa pembentuk
undang-undang dapat dan memang sebaiknya pada masa yang akan datang menetapkan KPU
sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai penyelenggara pilkada karena
memang dibentuk untuk itu dan telah membuktikan independensinya dalam pemilu 2004.
b. Putusan MK Nomor No.22/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa Pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, namun dalam salah
amar putusannya juga menyatakan bahwa masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan
yang telah dijalani selama setengah atau lebih masa jabatan, dengan kata lain dihitung satu kali masa
jabatan adalah apabila seorang kepala daerah telah menduduki jabatannya selama 2,5 tahun atau lebih.
Penghitungan masa jabatan ini tidak dibatasi apakah karena pilkada langsung berdasarkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 atau pilkada tidak langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009, karena dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim berpendapat bahwa perbedaan sistem
pemilihan kepala daerah antara langsung dan tidak langsung, tidak berarti bahwa sistem Pilkada tidak
langsung tidak atau kurang demokratis apabila dibandingkan dengan sistem langsung demikian pula
sebaliknya. Dari pertimbangan majelis ini berarti bahwa menurut majelis, Pilkada langsung maupun
pilkada tidak langsung sama-sama demokratisnya sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (4) UUDN 1945.
Bahkan majelis berpendapat setelah pengalaman dalam pilkada langsung berdasar Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, sekarang timbul gagasan baru untuk kembali memberlakukan pilkada tidak
langsung, dan hal ini sah-sah saja. Perubahan pengertian norma hukum Pasal 58 huruf o UU No 32
Tahun 2004 yaitu batasannya adalah 2, 5 (dua setengah) tahun, artinya apabila Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah menduduki masa jabatannya kurang dari 2,5 (dua setengah tahun, belum dianggap satu
kali masa jabatan sehingga masih bisa mencalonkan selama 2 (dua) periode sehingga apabila selama 2
(dua) kali masa pencalonannya selalu terpilih, yang bersangkutan bisa menduduki jabatannya maksimal
12, 4 (dua belas koma empat) tahun beberapa hari. 19Analisis Hubungan, loc.cit. 20“Pemilihan Kepala Daerah Di Indonesia”. http://www.id.wikipedia.org/wiki/
Pemilihan_kepala_daerah_di_Indonesia. Diakses Rabu 12 November 2014.