-
Penerbit: The Wahid Institute | Penanggung Jawab: Yenny Zannuba
Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi | Redaktur
Pelaksana: Alamsyah M. Dja’far | Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy,
Gamal Ferdhi, Alamsyah M. Dja’far | Staf Redaksi: M. Subhi Azhari,
Nurun Nisa’, Badrus Samsul Fata | Desain & Lay out: Ulum
Zulvaton | Kontributor: Noor Rahman (DKI Jakarta), Suhendy, Dindin
Ghazali (Jawa Barat), Nur Khalik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah
Istimewa Yogyakarta), Tedi Kholiludin (Jawa Tengah), Zainul Hamdi
(Jawa Timur), Syamsul Rijal Ad’han (Makassar), Akhdiansyah, Yusuf
Tantowi (NTB) | Alamat Redaksi: The Wahid Institute , Jln Taman
Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 | Telp +62 21 3928 233, 3145 671 I
Faks. +62 21 3928 250 Email: [email protected] Website:
www.wahidinstitute.org. Penerbitan ini hasil kerjasama the Wahid
Institute dan TIFA Foundation.
Pengantar Redaksi
“Telah lama pecah kongsi antara perkataan dan realitas,”
demikian pernyataan Buya Syafi’i menyoal kebijakan SBY selama ini.
Ungkapan lain dari istilah “bohong” ini terjadi bukan hanya dalam
soal Munir dan Lapindo atau kasus lainnya saja, tetapi juga soal
kebijakan SBY dalam jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan
(KBB) di Indonesia. SBY berjanji melindungi KBB dalam pidatonya
menjelang perayaan HUT Kemerdekaan RI ke- 75 dan juga dalam pidato
Natal 2010. Kenyataannya, kekerasan dan pemaksaan kelompok tertentu
salah satunya dengan meng-gunakan dalil mayoritas terhadap
kelom-pok lain tidak ditindak dengan tegas. Malah, terkadang aparat
negara berse-kutu membungkam KBB. Inilah sorotan utama MRoRI edisi
Januari 2011.
Sorotan lainnya adalah soal aparat yang tunduk terdap tekanan
massa. Ket-undukan ini tergambar jelas dengan pem-bubaran FGD
Setara Institute di Bandung dan Surabaya. Tingkah laku aparat
lain-nya adalah sensor tayangan film gaya Orde Baru: mereka
mendatangi stasiun televisi lalu meminta tayangan yang berbau kiri
ini tidak ditayangkan karena meresahkan masyarakat. Sungguh
ke-terlaluan.
MRoRI kali ini juga menyajikan berita kemajuan dari Semarang:
angka intoleransi menurun dibandingkan tahun lalu. Meski harus
diteliti lebih lanjut sebab-musabab turunnya angka into-leransi
ini, berita ini patut disyukuri. Semoga penurunan ini merembet
kepada peningkatan toleransi di masyarakat.
Akhirnya, selamat membaca.
Aktivis dan Tokoh Lintas Agama: SBY Bohong Soal Kebebasan
BeragamaNurun Nisa’
Dari Pesantren Tebuireng, ger-akan agamawan lintas agama melawan
kebohongan pemer-intah dimulai. Diundang oleh KH. Sholahuddin Wahid
dalam rangka penyambutan gelar pahlawan pe-nobatan Gus Dur menjadi
pahlawan nasional, para agamawan berkumpul. Karena gelar yang
dimaksud ditunda, maka pertemuan berubah menjadi silaturahmi
informal. Para agamawan mendiskusikan keadaan negara dan bangsa,
soal kemiskinan, dan persoalan lainnya dalam silaturahmi di
Jombang, Jawa Timur.
Pertemuan ini kemudian dilanjutkan di kantor Konferensi Wakil
Gereja Indo-nesia (KWI). Yang datang bukan saja agamawan, tetapi
para ahli diundang; mereka pakar di bidangnya sekaligus memiliki
data. Dari pertemuan kedua ini, muncul diskusi antara lain soal
pa-
ham neoliberalisme dan tema lain yang sangat mendasar: tentang
kesesuaian arah pembangunan ekonomi dengan amanat UUD 1945 soal
ekonomi bera-sas kekeluargaan. Dalam pertemuan ini juga muncul
usulan dari seorang aktivis agar para agamawan turun ke jalan
dimulai dari Bundaran HI, Monas, dan semacamnya. Di akhir pertemuan
tim-bul kesimpulan yang diperkuat dengan berbagai data, antara
lain, bahwa ting-kat pertumbuhan yang selalu dibang-gakan SBY belum
berarti banyak terha-dap terjadinya pemerataan. Pertemuan lanjutan
adalah di PP Muhammadiyah. Demikian cerita Pdt Andreas Yewangoe
seperti ditulis detik.com (20/01).
Penjelasan yang hampir senada dikemukakan oleh Buya Syafii
Maarif seperti dikemukakan di Metro Hari Ini (18/01). Buya Syafii
menjelaskan kronologi pertemuan itu sekaligus menolak anggapan
sebagian kalangan yang menyatakan bahwa gerakan agamawan
ditunggangi oleh kelom-pok lain, termasuk kelompok aktivis LSM.
“Tokoh-tokoh agama itu sudah rapat agak lama. Pertama pertemuan itu
di Tebuireng. Tuan rumahnya Sholahuddin Wahid dan kedua di KWI,
tuan rumahnya Msgr Sitomorang. Yang ketiga empatnya di PP
Muhammadiyah tapi yang mengadakan Maarif Institute. Tuan rumahnya
Fajar Riza ul Haq,” jelas-nya.
Pertemuan di PP Muhammadiyah ini melibatkan para aktivis
muda—yang kemudian berhimpun dalam bentuk Badan Pekerja—sehingga
lahir pernyataan sembilan kebohon-gan lama dan sembilan kebohon-gan
baru rezim SBY yang dibacakan
The WAHID Institute
Monthly Reporton Religious Issues
Edisi
30Januari 2011
“Kalau itu dianggap terlalu keras, kita
katakan saja telah lama pecah kongsi
antara perkataan dan realitas,” jelas Syafii
Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah
dalam Metro Hari Ini (12/01)
-
�
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari
2011
The WAHID Institute
di kantor PP Muhammadiyah, Senin (10/01). Kebohongan lama
pemerin-tah menunjuk pada angka kemiskinan yang semakin meningkat,
kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi, ketahanan pangan dan
energi yang gagal total, anggaran pendidikan yang terus menurun,
pemberantasan teroris yang belu maksimal, penegakan HAM yang tidak
ada tindak lanjut hukum-nya. Kebohongan ini juga menyangkut
penyelesaian kasus lumpur Lapindo, kasus pencemaran lingkungan oleh
PT Newmont, dan kasus renegosiasi kon-trak dengan PT Freeport.
Adapun sembilan kebohongan baru pemerintah yang pertama adalah
soal kebebasan beragama dan persatuan bangsa. M Riza Damanik,
koordinator KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan),
menyatakan pemerintah berbohong dalam aspek ini karena pernyataan
dan perbuatan sang presi-den tidak sejalan.
Dalam pidato kenegaraan menyam-but perayaan kemerdekaan
(16/0810), SBY menyatakan perlunya menjaga dan memperkuat
persaudaraan, keruku-nan, dan toleransi sebagai sebuah bangsa. SBY
juga menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari yang tidak
mencerminkan ketiganya dalam masyarakat yang beragam dalam
masyarakat yang beragam dalam soal identitas, baik dalam agama,
etnis, suku maupun kedaerahan. Menurut SBY, keadaan ini tidak boleh
dibiarkan.
“Kita ingin setiap warga negara da-pat menjalani kehidupannya
secara tenteram dan damai, sesuai dengan hak yang dimilikinya.
Inilah sesung-guhnya falsafah “hidup rukun dan damai dalam
kemajemukan”. Inilah sesungguhnya makna utuh dari Bhin-neka Tunggal
Ika yang kita anut dan jalankan,” jelas SBY seperti dirilis
presi-denri.go.id (16/08/10).
Pidato komitmen ini juga diulangi dalam perayaan Natal.
“Pemerintah terus berkomitmen menjaga kema-jemukan dan sendi-sendi
kebeba-san beragama. Pemerintah juga terus menjaga agar tidak ada
pihak lain yang menyakiti saudaranya karena berbeda agama, paham
politik, dan identitas sosial lainnya,” ungkap Presiden SBY dalam
sambutan perayaan Natal ting-kat nasional di Jakarta, seperti
ditulis suarapembaruan.com (27/12). Dalam kesempatan yang sama, SBY
menam-bahkan, pemerintah terus mendorong terpeliharanya kehidupan
antarumat beragama yang harmonis di Indonesia, bahkan di dunia
internasional, agar ter-jadi dialog dan tatap muka dalam ber-
bagai aktivitas.Menurut Riza, janji ini tidak terpe-
nuhi karena kenyataannya sepanjang tahun 2010 terjadi 22
penyerangan fisik atas nama agama. “Mantan Kapolri Bambang Hendarso
Danuri menga-takan, 2009 terjadi 40 kasus kekerasan ormas, 2010
menjadi 49 kasus,” ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan (KIARA) seperti ditu-lis Kompas.com (10/01).
Dalam laporan kebebasan beragama dan beryakinan yang dikeluarkan
the WAHID Institute juga tercatat penyerangan fisik dan properti,
dengan jumlah sebanyak 33 kasus.
Delapan kebohongan baru lain-nya menyangkut jaminan kebeba-san
pers, perlindungan buruh migran, transparansi pemerntahan,
pemberan-tasan korupsi, politik yang bersih dan santun, mafia
hukum, dan kedaulatan RI.
Mendengar Istana kebakaran jenggot. Menko Polhukam Djoko Suyato
menyatakan bahwa kebohongan menyangkut integritas seseorang,
kredibilitas seseorang, kehormatan seseorang. Adapun pemerintah
melakukan tugasnya dan melaporkan-nya dalam Rapat Kerja Awal Tahun.
Djoko mengakui bahwa memang belum semuanya berhasil tetapi terlalu
jauh jika dianggap berbohong. “Tapi kalau Pemerintah berbohong saya
kira terlalu jauh,” kata Djoko seperti ditulis VIVAnews
(17/01).
Para agamawan dan Badan Pekerja kemudian diundang ke istana pada
Senin (17/01), kecuali KH. Sholahuddin Wahid, yang berada di
Jombang, yang hanya diundang via layanan pesan pendek (sms). Buya
Syafi’i Ma’arif dan KH. Sholahuddin Wahid pada akhirnya tidak
hadir. Tokoh pertama terkenal kritis terhadap pemerintah, bahkan
pernah mengumpamakan bangsa ini sebagai piatu, dan tokoh kedua
merupakan tuan rumah pertama gerakan agama-wan lintas agama
dimulai. Setelah ber-diskusi, para agamawan memutuskan datang
bersama para aktivis muda.
Sungguh terkejutnya mereka kare-na yang diundang mencapai
seratu-san rombongan agamawan Cuma berjumlah puluhan.”Terus terang
kami agak kaget, dengan begitu banyak menteri, banyak hadir, dan
begitu luas,” terang Pdt Andreas Yewangoe, Ketua PGI, yang turut
hadir di istana seperti dikutip detik.com (20/01). Demikianlah,
pertemuan itu berlangsung sampai jam satu malam. Isinya dianggap
tidak memuaskan dan cenderung basa-basi. “Waktunya sedikit sehingga
tidak bisa
mendalam ke dalam masalah yang substansial. Itu sepeti basa-basi
saja dengan presiden,” tambah Yewangoe.
Selain tidak substansial, percakapan dalam forum yang ramai ini
juga dis-elipi kejutan. Dalam pertemuan ini, Pdt Yewangoe sempat
mengkonfirmasi SBY tentang meningkatnya kasus-ka-sus kekerasan dan
intoleransi di ten-gah masyarakat yang dilakukan oleh sebagian
warga masyarakat dan juga oleh pemerintah. SBY menyela uraian Pdt
Yewangoe dengan meminta bukti nyata. Pdt Yewangoe menuturkan bahwa
pada saat SBY menyampaikan pidato Natal akhir tahun lalu yang
menyinggung komitmennya terhadap kebebasan beragama dan
berkeyaki-nan, ironisnya pada saat yang sama ter-jadi penyegelan
terhadap GKI Taman Yasmin, Bogor yang sudah memiliki IMB yang sah
sesuai keputusan pen-gadilan tinggi setempat dan diperkuat oleh
keputusan Mahkamah Agung. SBY yang terkesan tidak mengetahui
masalah GKI Taman Yasmin bertanya pada Kapolri Komjen Pol Timur
Pra-dopo tentang situasi GKI Taman Yasmin. Jawaban Kapolri ini
lebih mengejutkan lagi: “Siap, Pak, saya baru menjabat jadi saya
belum tahu!”
Sebelum pertemuan di istana berlangsung, sudah muncul pro-
kontra soal istilah kebohongan. Yang paling keberatan tentu saja
pihak istana. Buya Syafi’i dalam kesempa-tan dialog di sebuah
televisi nasional menyatakan tak perlu meributkan definisi
kebohongan. Jikalau definisi kebohongan dinilai terlalu kasar, maka
dapat digantikan dengan istilah lain yang halus. “Kalau itu
dianggap ter-lalu keras, kita katakan saja telah lama pecah kongsi
antara perkataan dan re-alitas,” jelas mantan Ketua PP
Muham-madiyah dalam tayangan Metro Hari Ini (12/01). Buya Syafii
berharap dengan kata yang lebih halus ini Menkolpol-hukam (Menteri
Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan) tidak perlu terlalu
marah.
Yang jelas, gerakan kaum agama-wan ini merupakan pukulan telak
bagi istana. “Kalau LSM atau pengamat poli-tik yang kritik mungkin
SBY tidak akan terganggu. Tapi kalau yang kritik para tokoh agama
tentu pemerintah merasa dipukul secara telak,” jelas Burhanuddin
Muhtadi menanggapi gerakan kaum agamawan seperti ditulis detik.com
(20/01). Pengamat politik dari LSI ini menganggap 18 kebohongan
yang di-lansir para kaum agamawan dan aktivis muda sebagai
“tonjokan yang sangat keras”.
-
�
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari
2011
The WAHID Institute
Pendapat senada dikemukakan oleh Fadjroel Rahman. Aktivis 1998
ini menyatakan bahwa sikap agamawan lintas agama ini mengejutkan.
Kaum agamawan, merunut pada dunia pe-wayangan, termasuk kategori
kelas brahmana yang merupakan penguasa ilmu agama yang tugasnya
memberi-kan penerangan pengetahuan. Jika mereka tidak percaya pada
pemerin-tah, artinya [legitimasi] pemerintah su-dah habis. “Dengan
sekarang legitimasi moral pemerintah SBY dicabut oleh kalangan
agamawan, artinya dia hanya mengandalkan diri dari kekuataan
poli-tik saja tanpa legitimasi moral. Ini ditiup angin bisa jatuh,”
jelasnya. Kritik dari kalangan agamawan ini dinilai Fadjroel
sebagai “hukuman moral terhadap
kekuatan politik”.Gerakan agamawan lintas agama
ini terus berlanjut. Mereka memben-tuk Rumah Pengaduan
Kebohongan Publik (RPKP) yang dipusatkan di Maarif Institute di
bilangan Tebet Dalam, Ja-karta Selatan. Rumah ini menampung
aspirasi masyarakat yang merasa di-bohongi pemerintah atau pejabat
publik. Jumlahnya sudah mencapai 18 rumah, termasuk RPKP di the
WAHID Institute. Data ini selanjutnya disetor-kan ke Maarif
Institute untuk keper-luan analisa; apakah merupakan kebo-hongan
atau tidak. Tentunya, gerakan ini diharapkan membawa manfaat bagi
masyarakat. “Gerakan ini sangat ditentukan oleh sejauh mana respons
dari pemerintah. Mudah-mudahan
pemerintah bisa menjawab secara substansial pengaduan-pengaduan
dari masyarakat yang merasa dibohongi oleh pemerintah,” terang
Chalid Mu-hammad, Koordinator Badan Pekerja Gerakan Tokoh Lintas
Agama Melawan Kebohongan.
Jumlah laporan kebohongan yag diterima oleh RPKP mencapai
kisaran lima puluh laporan. “Sejak dibuka pada 19 Januari lalu,
Rumah Pengaduan Kebohongan Publik sudah menerima 50 pengaduan dari
masyarakat mulai tentang keresahan mereka terhadap aksi pembalakan
liar di daerahnya,” kata Juru Bicara Badan Pekerja Gerakan Tokoh
Lintas Agama Melawan Kebo-hongan Fajar Riza Ul Haq seperti ditulis
Suara Karya Online (25/01). M
FPI dan HMI Bandung Desak Bubarkan FGD Setara Institute – Incres
BandungAlamsyah M. Dja’far dan Nurun Nisa’
Karena alasan sering membuat laporan-laporan yang
mendis-kreditkan umat Islam, Front Pem-bela Islam (FPI) Bandung
meluruk hotel The Amaroossa tempat kegiatan Setara Institute
berlangsung, Kamis (06/1).
Siang itu, lembaga yang dipimpin advokat senior Hendardi ini
tengah menggelar FGD “Menghapus Diskrimi-nasi, Membangun
Perlindungan Holis-tik Jaminan Beragama/Berkeyakinan di Jawa
barat”. Selain mengundang para korban diksriminasi dan kekerasan
atas nama agama, FGD ini juga perwakilan organisasi keagamaan dan
sejumlah LSM pegiat HAM.
FGD sendiri berlangsung sekitar satu setengah jam lebih cepat
dari yang dijadualkan panitia selama em-pat jam. Dijaga puluhan
aparat, FGD digelar tanpa kehadiran perwaki-lan empat lembaga
pemerintah dan institusi keagamaan yang diundang. Keempatnya,
Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kes-bangpol),
Kantor Wilayah Departe-men Agama (Kanwil Depag), Kejaksaan Tinggi
(Kejati), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Barat.
Dari rilis yang dikirim Setara Institute dijelaskan, semula
aparat kepolisian dari Polda Jawa Barat justru meminta acara
tersebut dibatalkan karena alasan
keamanan. Namun setelah Hendardi menegaskan berkali-kali
mengenai jaminan kebebasan berbicara dan kebebasan berkumpul oleh
undang-undang kepada Kapolda Jawa Barat Irjenpol Suparni Parto yang
saat itu menghubungi dirinya, akhirnya kegia-tan tersebut
diizinkan.
Selama FGD berlangsung tidak tampak polisi berseragam. Tapi,
seperti disebut dalam rilis terdapat tiga anggota polisi berpakaian
preman yang berjaga di depan pintu ruang tempat acara berlangsung.
Sedang di lobi hotel berjaga-jaga tujuh orang polisi. Pihak hotel
sendiri sempat meminta panitia memberi fotokopi daftar hadir
peserta FGD. Tapi panitia tidak memberikannya karena alasan pihak
hotel tidak menjelaskan secara rinci untuk keperluan apa daftar
hadir itu diminta.
Tak lama acara usai, menurut keterangan salah seorang peserta
Dindin Ghazali, sekitar sepuluh orang berusaha merangsek ke ruang
per-temuan. Tapi tertahan di lobi hotel yang dijaga aparat. Mengaku
perwakilan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Bandung, mereka
berteriak-teriak agar diskusi dibubarkan.
Aktivis Institute for Culture and Religion Studies (Incres)
Bandung
Setara Institute
menyesalkan sikap
aparat Pemerintahan
Daerah Jawa Barat
yang menghindar dan
tidak menghadiri FGD.
Padahal dialog untuk
mencari jalan keluar
(solusi konstruktif) secara
bersama, seharusnya
mendapat dukungan
sepenuhnya oleh
aparat pemerintah dan
organisasi keagamaan,”
tandas pers rilis Setara
Institute (06/01)
-
�
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari
2011
The WAHID Institute
Disegel Aparat, Misa Natal Berlangsung di TrotoarNurun Nisa’
Natal kali ini terasa berbeda bagi jemaat GKI Taman Yasmin.
Pasal-nya, mereka melakukan misa Natal di trotoar di depan bangunan
GKI Taman Yasmin. Tak hanya itu, misa kali ini diliputi penjagaan
polisi dan demo dari kelompok tertentu yang menolak dibukanya GKI
karena persoalan IMB.
“Kami ingin beribadat di dalam gereja kami tidak boleh, jadi
kami terpaksa ha-rus beribadah di jalan,” ujar Bona Sigaling-ging
anggota Tim Mediasi dan Perkem-bangan Jaringan GKI Taman Yasmin
sep-erti ditulis ANTARANews (26/12). Menurut Bona, kegiatan yang
dilakukan adalah benar—karena dilarang beribadah di gereja, maka
ibadah dilakukan trotoar. Benar karena IMB yang pernah dicabut
Pemkot Bogor sudah diberlakukan kem-bali setelah gugatan ke PTUN
tahun 2008 lalu dimenangkan jemaat GKI Taman Yasmin.
Putusan PTUN yang dimaksud, putu-san PTUN Nomor
41/G/2008/PTUN-BDG berisikan tiga poin penting; mengabulkan para
penggugat (jemaat GKI Yasmin) un-tuk seluruhnya, menyatakan
pembatalan surat Kepala Dinas Tata Kota perihal pem-
bekuan izin IMB, memerintahkan kepada tergugat (Pemkot Bogor)
untuk men-cabut surat pembekuan izin 503/208-DKT. “Pembekuan izin
dari Pemerintah Kota Bogor gugur dengan putusan PTUN. GKI sudah
mengantungi IMB. Pembangunan sah secara undang-undang, jadi biarkan
kami beribadat,” terangnya.
Sementara itu, Ayu Agustin, dari perwakilan warga menyatakan
bahwa tindakan yang dilakukan jemaat telah melanggar Perda
ketertiban umum. Kare-na, melakukan ibadat di trotoar merupa-kan
wilayah lalu lintas umum. “Kegiatan mereka telah memicu emosi warga
yang menolak pembangunan gereja ini. Mere-ka menggelar ibadat di
atas trotoar tanpa izin dari pemerintah,” katanya. Keberatan ini
diwujudkan dengan demo menun-tut penghentian ibadah di sela-sela
iba-dah. Aksi massa mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian
Polres Bogor, Brimob Satuan II Pelopor dan Dandim Kota Bogor. Tidak
ada aksi anarkis selama aktivitas ibadah berlangsung damai meskipun
terdengar teriakan tuntutan demo dari warga yang kontra. Tenda dan
kursi segera dibereskan aparat begitu
itu juga sempat menemui mereka untuk meyakinkan apakah
betul-betul mereka berasal dari HMI. “Saya cek dengan menyebutkan
nama salah satu pengurus HMI dan mereka tahu,” kata Dindin. Mantan
aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini sempat
marah. “Kalian itu kok aneh ikut-ikutan kayak FPI,” katanya dengan
nada tinggi. Dindin memang merasa aneh. Sebab sebelumnya HMI
bebera-pa kali bergabung dalam aliansi 30-an organisasi di bandung
termasuk Incres untuk merespon isu-isu kekerasan atas nama agama di
Jawa Barat.
Desakan pembubaran FGD itu sendiri sudah diketahui sejak pagi,
sekitar pukul 10.30 WIB. Seorang staf Setara Institute yang tengah
men-uju tempat acara dihubungi via tel-epon dari pihak Hotel
Amaroossa. Si penelpon lalu memberi nomor tel-epon Asep Icung dari
Kepolisian Pol-restabes Bandung. Petugas hotel sem-pat menjelaskan
singkat bahwa per-temuan tersebut akan dibubar paksa
FPI Bandung. Nomor anggota polisi itupun dihubungi dan intinya
sama dengan penjelasan petugas hotel. FPI Bandung akan membubarkan
acara tersebut.
Terhadap tindakan aparat ini, Setara Institute mengeluarkan
pernyataan sikap. Pertama, mengecam keras tin-dakan yang dilakukan
segelintir orang yang mengaku FPI Bandung yang mencoba menghentikan
kegiatan FGD yang dilakukan oleh Setara Institute. Tindakan ini
jelas mengancam kebe-basan masyarakat sipil yang telah di-jamin
konstitusi dan undang-undang. Kebebasan berbicara dan berkumpul
adalah hak setiap warga negara.
Kedua, mengkritik pihak Kepolisian wilayah Jawa Barat yang
“tunduk” dan “takut” pada kelompok garis keras dan berkedok
keagamaan. Pihak Kepolisian seharusnya berada didepan sebagai
guardian of civil liberties (penjaga ke-bebasan sipil) dan
melindungi setiap warga negara tanpa kecuali. Membi-arkan kelompok
tersebut berulangkali
menganggu kebebasan sipil bukan hanya akan menimbulkan gangguan
keamanan tapi juga potensi instabilitas sosial. Ketiga,
mengapresiasi respon Kapolda Jawa Barat Irjenpol Suparni Parto yang
mengambil tindakan untuk menjamin kegiatan itu tetap ber-langsung.
Namun tidak cukup hanya itu, Setara Insitute mendesak aparat
Kepolisian Jawa Barat di kemudian hari mampu bersikap tegas dan
profesional untuk menjaga kebebasan beragama/berkeyakinan terjamin
di Jawa Barat.
Selain itu, Setara Institute menyesalkan aparat yang absen
hadir. “Setara Institute menyesalkan sikap aparat Pemerintahan
Daerah Jawa Barat yang menghindar dan tidak menghadiri FGD. Padahal
dialog untuk mencari jalan keluar (solusi konstruktif ) secara
bersama, seharusnya mendapat dukungan sepenuhnya oleh aparat
pemerintah dan organisasi keaga-maan,” tandas pers rilis Setara
Institute (06/01). M
“Pembekuan izin dari Pemerintah Kota
Bogor gugur dengan putusan PTUN. GKI sudah mengantungi IMB.
Pembangunan sah secara undang-
undang, jadi biarkan kami
beribadat,” terang Bona Sigalingging,
anggota Tim Mediasi dan Perkembangan
Jaringan GKI Taman Yasmin (26/12)
-
�
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari
2011
The WAHID Institute
acara pelaksanaan misa Natal dan refle-ksi keprihatinan natal
GKI Yasmin selesai digelar.
Terhadap aksi pengamanan ini, Bona menyatakan bahwa sebelumnya
aparat menghubungi pihak Gereja. “Peristiwa tanggal 25 (Desember)
dimulai sejak sore ketika gereja dihubungi pihak polisi untuk
membatalkan ibadah. Sampai dengan saat ini, gereja masih disegel.
Kami berencana untuk beribadah di trotoar. Tetapi polisi datang
bukan untuk melindungi jemaat, melainkan minta menghentikan,”
paparnya seperti dikutip Kompas.com dalam konferensi pers di kantor
the WAHID Institute (27/12/10). Bona menyesalkan sikap kepolisian
yang tidak berusaha menjauhkan jemaat dari ormas yang melakukan
tindakan intimidasi untuk melarang ibadah di GKI Taman Yasmin.
“Tidak ada upaya polisi untuk melindungi,” ujar Bona.
Aktivis Human Rights Working Group, Chairul Anam, dalam
kesempatan yang sama, menyerukan agar pemerintah pusat turun tangan
dan menindak tegas upaya-upaya yang menghambat kebe-basan umat
dalam beribadah. “Kegiatan beribadah dilindungi oleh konstitusi.
Kalau ada tindakan seperti itu, maka merupakan pembangkangan
konstitusi,” kata Anam.
Seminggu sebelumnya, segel GKI Taman Yasmin sebenarnya dibuka
paksa oleh jemaat. Meski, Pemkot mengajukan peninjauan balik ke
Mahkamah Agung, PTUN seyogyanya tetap bisa dijalankan. Dasarnya,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 66
ayat (2) jelas-jelas menyatakan bahwa PK tidak menunda pelaksanaan
putusan sehingga segel seharusnya bisa dibuka semenjak PTUN
mengeluarkan putusan. Bondan Gunawan, Menteri Sekretaris era Gus
Dur, “memimpin”
pembukaan penyegelan itu. Bondan Gunawan juga menelpon Sekda
Kota Bogor agar gereja dibuka sampai tanggal 25 Desember 2010.
Melalui siaran pers yang dirilis 21 Desember 2010, FUI menolak
pembukaan segel GKI Taman Yasmin dan penangkapan terhadap Bondan
Gunawan. “Kepada aparat kepolisian dan pihak yang berwajib, kami
memin-ta dengan segala hormat agar oknum yang bernama Bondan
Gunawan dan kawan-kawannya yang telah melakukan tindakan kriminal
(Pasal 232 KUHP Pasal 1 ayat 1) dengan membuka paksa segel
pelarangan operasi/pelaksanaan kegia-tan-kegiatan peribadatan GKI
di tempat tersebut segera ditangkap, dan diadili sesuai dengan
peraturan hukum yang berlaku,” demikian bunyi sikap FUI Bogor dalam
siaran pers yang ditandangani ketua FUI Bogor, Iyas Khaerunnas
Malik. Tak hanya itu, mereka juga meminta aparat Pemerintah Kota
Bogor, dan aparat keamanan, baik dari unsur Satpol PP maupun dari
unsur Kepolisian Republik Indonesia agar tidak ragu-ragu menindak
segala bentuk perbuatan kriminal dan melanggar hukum dari pihak GKI
mau-pun para pendukungnya.
Mereka juga mendatangi kantor Walikota Bogor. Forkami, yang
turut hadir, mempertanyakan pembukaan segel. Sekda Kota Bogor,
Bambang Gunawan, yang menemui rombongan mengaku tidak pernah
mengeluarkan perintah pembukaan segel. “Karena mereka yang mencabut
segel itu bukan atas nama Pemkot, ya kita pasang lagi!” tegasnya
seperti ditulis voa-islam.com (21/12/10). Rombongan ini kemudian
menuju ke kantor Satpol PP. Ketua Satpol PP Bogor, Yayan Rusmana,
juga mengaku tidak tahu. Yayan berjanji memasang segel kembali
dengan syarat mengantongi intruksi dari
Pemkot Bogor. Rombongan kembali ke kantor Sekda memdesak
dikeluarkannya instruksi untuk mengeksekusi GKI Taman Yasmin.
Gereja akhirnya kembali disegel Satpol PP Kota Bogor berdasarkan
Perda No. 7 Th. 2006. Penyegelan itu dilakukan oleh Satpol PP Kota
Bogor dengan di-dampingi unsur Polresta Bogor dan Ko-ramil Bogor
Barat. Penyegelan juga disak-sikan puluhan warga Taman Yasmin yang
tergabung dalam Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami) Bogor
dan sejumlah perwakilan jemaat GKI Yasmin Bogor. Sebelum
penyegelan, terjadi tarik ulur dan Satpol PP memenangkan pihak FUI
Bogor.
Di bawah segel yang ditandatangani Yayan Rusmana sendiri tertera
ancaman KUHP pasal 232 ayat 1 bagi siapapun yang membuka atau
merusak segel:
“Barangsiapa dengan sengaja memutus, membuang atau merusak
penyegelan suatu benda oleh atau atas nama penguasa umum yang
berwenang, atau dengan cara lain menggagalkan penutupan dengan
segel, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun de-lapan
bulan”.
Sebelumnya Walikota Bogor Diani Budiarto mengatakan, penyegelan
GKI Yasmin itu justru untuk melindungi gereja. “Persoalan ini
janganlah diputar balik. Isu yang dikembangkan, kami mempersulit
umat beribadah. Kami hanya menunggu surat dari MA atas peninjauan
kembali (PK) kami untuk perkara itu,” katanya seperti ditulis
Poskota.co.id (25/12/10). Anehnya, Pemkot Bogor akan melaku-kan
aksi lanjutan setelah keluar putusan PK. Padahal, aturan yang
berlaku justru sebaliknya: putusan kasasi tetap berlaku sampai
turun putusan PK. M
Polisi dan FPI Bubarkan FGD Setara – CMARs SurabayaAlamsyah M.
Dja’far dan Nurun Nisa’
FGD Setara – CMARs Surabaya di Ho-tel Simpang Inn Surabaya
dipaksa batal oleh polisi dan FPI. Pembu-baran FGD bertajuk
“Menghapus Dis-kriminasi, Membangun Perlindungan Ho-listik Jaminan
Beragama/Berkeyakinan di Jawa Timur” ini bermula dari kedatangan
dua orang aparat polisi pada saat para
peserta sedang menikmati makan siang. Pendeta Simon, salah
seorang peserta, sempat dimintai keterangan pihak Polda Jawa Timur
mengenai acara siang itu. Pendeta Simon menyatakan pihak Polda
memintanya agar acara yang mengun-dang Ahmadiyah dan kelompok LGBT
itu dibatalkan.
Pernyataan aparat ini sama persis dengan alasan yang diajukan
beberapa orang dari FPI kepada panitia. Pihak FPI mengancam, dengan
pasukannya mere-ka akan menyerang jika kegiatan terus di-lanjutkan.
Pihak FPI ini sendiri mengaku mendapatkan informasi dari Badan
Bakesbangpol Jatim.
-
�
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari
2011
The WAHID Institute
Makin lama peserta yang datang makin banyak. Sekali lagi pihak
kepolisian menekan panitia agar membatalkan acara. Alasannya, acara
itu tak berizin dan menjaga keamanan lantaran Presiden sedang
berada di Surabaya untuk membuka Kongres Gerakan Pemuda Anshor.
Negosiasi dengan polisi buntu. Kepolisian ngotot dengan
pendiriannya. Mereka juga menekan pihak hotel agar tak
memperbolehkan panitia meneruskan acara. Tekanan polisi berhasil
dan pihak hotel meminta panitia untuk membatalkan acara. Pani-tia
kemudian menghubungi beberapa pihak terkait, termasuk Polda, supaya
acara ini dapat diteruskan meskipun di bawah ancaman polisi dan
FPI.
Meskipun lobi ini gagal, FGD dilanjutkan dengan format dialog
santai dengan suasana yang sangat tidak kondusif. “Namun baru
sekitar 15 menit, beberapa aparat kepolisian, pihak hotel, FPI, dan
beberapa orang yang mengatasnamakan warga Surabaya salah satunya
salah seorangnya saya kenal, namanya Arukat Jaswadi, orang
yang dikenal melakukan aksi sweeping di Surabaya, menggeruduk
tempat berlangsungnya acara,” jelas keterangan Ahmad Zainul Hamdi
seperti keterangan yang diterima MRoRI the WAHID Institute (13/01).
Terjadi negosiasi alot. KH. Imam Ghazali Said bahkan sempat
dibentak salah seorang intel polisi yang mendesak acara dibubarkan.
Pihak kepolisian mem-buat tekanan dan ancaman dengan dalih
seratusan orang FPI sudah berkumpul di Masjid Akbar Surabaya dan
bersiap datang ke lokasi.
Pihak hotel meminta panitia membatalkan acara. Lampu restoran
dimatikan. Kursi ditata ulang petugas hotel. Maka, sekitar pukul
tiga sore, panitia membubarkan diri. Tapi panitia berkeinginan
melanjutkan FGD di malam hari, mencari tempat yang aman, dan dengan
peserta yang tersisa. Sejak konferensi pers itu bubar, para
warta-wan masih berada di tempat sehingga langsung bisa meliput apa
yang terjadi.
Ketua Tanfidziyah FPI Surabaya, Muhammad Mahdi al-Habsyi,
menga-takan FPI bergerak karena memperoleh kabar bahwa pertemuan
lintas agama itu ditunggangi Jemaat Ahmadiyah dan kelompok gay
serta lesbian. “Mereka musuh kami,” kata Mahdi seperti ditulis
Koran Tempo (14/01).
Sementara itu, Ketua Forum Keruku-nan Umat Beragama Surabaya,
KH. Imam Ghazali Said menduga ang-gota kepolisian berada di balik
aksi penentangan yang dilakukan FPI terha-dap penyelenggaraan acara
ini. Alasan-nya, polisi tidak meredam aksi emosi FPI tapi malah
membiarkan dan me-nanyakan izin acara. “Mestinya polisi melindungi,
eh, malah kerja sama polisi supaya bubar gitu. Sebetulnya nanti
acara terus berlangsung setelah magh-rib ini. Kita mengadakan
diskusi biasa saja kok enggak ada apa-apanya. Kemu-dian mereka
ancam dan kata polisi ada 100 anggota FPI bakal nyerbu di Masjid
Agung. Enggak mungkin ada FPI banyak di Surabaya dari mana itu?,”
terang pengasuh pesantren An-Nur yang juga menjadi peserta FGD ini
seperti ditulis KBR68H (13/01).
Bonar Tigor Nasipospos dari Setara Institute menyatakan bahwa
izin tidak diperlukan untuk kegiatan FGD. Sebab, kegiatan yang
mendapat izin adalah unjuk rasa dan bukan sebuah per-temuan yang
dilakukan di tempat tertu-tup dan membawa manfaat. Bonar juga
menyanggah alasan kedatangan SBY sebagai legitimasi untuk
membubarkan
FGD. “Tidak ada relevansi antara keda-tangan SBY dengan
pertemuan ini” te-gasnya seperti dikutip detiksurabaya.com (13/01).
FGD akhirnya tetap dilanjutkan di tempat lain pada malam
harinya.
Atas kejadian ini, C-MARs dan Setara Institute mengeluarkan
pernyataan sikap. Pertama, Polisi berdalih bahwa pembubaran acara
FGD karena alasan kedatangan presiden ke Surabaya. Ini berarti
bahwa kedatangan Presiden SBY telah menjadi preseden buruk bagi
per-lindungan dan pemenuhan hak kebe-basan beragama/berkeyakinan
dan hak berserikat dan manyampaikan pendapat. Kedua, polisi dengan
sengaja memakai nama Presiden SBY untuk melakukan tindakan
pelanggaran hak kebebasan beragama/berkeyakinan, hak berserikat dan
menyampaikan pendapat.
Ketiga, polisi tidak melakukan kewajiban konstitusionalnya untuk
melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat, sebaliknya polisi malah
patuh dan tunduk terhadap tekanan FPI ketika mengancam akan
melakukan penyerangan terhadap peserta diskusi. Keempat, polisi dan
FPI bahu membahu membubarkan secara paksa kegiatan FGD dengan dalih
diskusi tidak ada izin. Ini merupakan alasan yang dibesar-be-sarkan
karena tidak ada satupun rujukan hukum yang membatasi hak berkumpul
dan menyampaikan pendapat. Kelima, polisi juga berdalih bahwa
diskusi bisa mengganggu kondusifitas Surabaya karena membahas
isu-isu yang sensitif semisal Ahmadiyah dan Gay-Lesbian. Ini juga
alasan yang tidak masuk akal, karena di alam keterbukaan informasi
ini isu-isu krusial tersebut justru harus dibicarakan secara
terbukan agar tidak menjadi bom waktu.
Karenanya, kedua lembaga yang bergerak dalam isu kebebasan
beragama dan berkeyakinan ini mendesakkan dua hal kepada SBY.
Pertama, Presiden SBY harus mengklarifikasi bahwa tindakan polisi
yang sewenang-wenang bukan merupakan instruksi yang bersumber dari
dirinya. Kedua, Presiden SBY juga harus bertindak tegas terhadap
aparat-aparat polisi yang secara sengaja ‘men-catut’ namanya ketika
melakukan pem-bubaran paksa acara diskusi.
Ketiga, Bila kedua hal tersebut tidak dilakukan Presiden SBY,
maka masyarakat bisa menilai sendiri komitmen SBY terhadap
penegakan hukum dan HAM di negeri ini. Keempat, sebagai
penyeleng-gara negara, Presiden SBY harus menun-jukan komitmennya
dalam menjamin
“Mestinya polisi melindungi, eh, malah
kerja sama polisi supaya bubar gitu. Sebetulnya
nanti acara terus berlangsung setelah
maghrib ini. Kita mengadakan diskusi
biasa saja kok enggak ada apa-apanya. Kemudian
mereka ancam dan kata polisi ada 100 anggota
FPI bakal nyerbu di Masjid Agung. Enggak
mungkin ada FPI banyak di Surabaya dari mana
itu?,” terang KH. Imam Ghozali Said, Ketua
FKUB Jawa Timur yang juga pengasuh Pesantren
an-Nur (13/01)
-
�
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari
2011
The WAHID Institute
Nurun Nisa’
Navi Pillay, Komisioner Tinggi HAM PBB, mengeluarkan pernyataan
resminya tentang kutukan atas kekerasan terhadap kelompok-kelom-pok
minoritas keagamaan di seluruh dunia. Dalam pernyataanya terse-but,
Pillay mendesak seluruh negara memperlihatkan kemauannya dalam
memerangi kekerasan dan mengha-puskan aturan hukum serta
praktik-
praktik yang mengakibatkan diskrimi-nasi dan kekerasan terhadap
kelompok minoritas keagamaan. Secara khusus, Komisioner Tinggi HAM
PBB tersebut sangat prihatin dengan kekerasan dan praktek-praktek
diskriminasi ter-hadap minoritas keagamaan di be-berapa negara
seperti di Mesir, Nigeria, Pakistan, Malaysia dan Indonesia. Di
Indonesia, sikap diskriminatif terjadi pada beberapa kelompok
seperti Ah-madiyah yang mendapat kekerasan di berbaga daerah,
jemaat HKBP Pondok Timur Indah yang diintimidasi dalam menjalankan
ibadah, dan jemaat GKI Taman Yasmin yang IMB-nya dibekukan
pemerintah setempat.
Komisioner Tinggi HAM PBB terse-but sangat prihatin atas
kekerasan yang dilakukan secara terus menerus terha-dap Jemaat
Ahmadiyah dan Kelom-pok Kristen di Indonesia. “Penyerangan terhadap
gereja, masjid, sinagog, kuil dan tempat ibadah lainnya di dunia
sebagaiman serangan terhadap indi-vidu seharusnya merupakan alarm
bagi kita semua,” jelas Pillay seperti ditulis hrea.org
(08/01).
Terhadap pernyataan ini, aktivis ke-bebasan beragama yang
tergabung dalam (jemaat) GKI Taman Yasmin Bogor, HRWG, ILRC, JAI,
LBH Jakarta, The WAHID Institute, dan Setara Institute mengeluarkan
siaran pers di kantor HRWG (11/10). Pertama, mendukung pernyataan
resmi Komisioner Tinggi HAM PBB tersebut. Kedua, mendesak
pemerintah, DPR dan lembaga peradilan untuk menjalankan
kewajibannya dalam melakukan perlindungan, pemenuhan, dan
perhormatan hak atas kebeba-san beragama, toleransi dan pluralisme.
Ketiga, mendesak pemerintah dan DPR untuk mencabut aturan-aturan
hukum yang diskriminatif dan mendorong intoleransi keagamaan.
Mereka juga menilai pemerintah bersikap ndablek (bandel, Red.)
dalam beberapa persoalan minoritas di Indo-nesia. Dalam kasus
tertentu, misalnya soal kekerasan Ahmadiyah, pemerin-tah tidak
melakukan apa-apa meskipun sudah mendapat rekomendasi untuk
melakukan penyelidikan proyustisia dari Komnas HAM.
M
“Penyerangan terhadap gereja, masjid, sinagog, kuil dan tempat
ibadah
lainnya di dunia sebagaiman serangan
terhadap individu seharusnya merupakan alarm bagi kita
semua,”
jelas Navy Pillay, Komisioner Tinggi HAM PBB seperti ditulis
hrea.
org (08/01)
Aktivis Pluralisme Desak Pemerintah Respons Komisioner Tinggi
HAM PBB
Kebebasan Beragama Suram, Sukarwo MenolakNurun Nisa’
JIAD (Jaringan Islam Anti Diskrimi-nasi (JIAD) melansir
sedikitnya 8 (delapan) kasus pada tahun 2010 yang mewarnai
perjalanan kebeba-san beragama di Jawa Timur. Kasus ini antara lain
terjadi di Gresik dan Mojokerto. Pemkab Gresik menghen-tikan paksa
pembangunan Gereja Kato-lik Indonesia dan Gereja Kristen Bethani
Indonesia di komplek Perumahan Kota Baru Driyorejo Kecamatan
Driyorejo
pada April. Alasannya, dua gereja terse-but belum memenuhi
syarat adminis-tratif dan syarat teknis untuk dibangun. Di
Mojokerto, pemerintah setempat menyegel tempat ibadah yang
diang-gap ilegal, yakni di Saba, Jimbaran, dan Niaga Square pada
September. Selain itu, di Malang terjadi pelarangan pendir-ian
sekolah anak cacat yang dilakukan FPI Malang karena dinilai bentuk
Kris-tenisasi.
dan memenuhi hak dasar, terutama hak kebebasan
beragama/berkeyakinan, serta hak berserikat dan menyampaikan
pendapat.
Poin terakhir adalah ketegasan SBY
terhadap polisi. “Presiden juga harus memberi instruksi yang
tegas terhadap institusi Polisi yang terus menerus kalah, tunduk,
dan patuh terhadap tekanan dan persekusi kelompok kekerasan
semisal
FPI,” demikian pernyataan sikap yang ditandatangani oleh Setara
Institute Jakarta, CMARs Surabaya, Jamak Jatim, JIAD Jatim, Pusham
Unair, LBH Surabaya, dan Kontras Surabaya (13/01). M.
“Ini membuktikan duet Karwo-Saiful (Sukarwo,
Gubernur-Saifulloh Yusuf, Wakil Gubernur Jatim-red) telah
gagal
menjamin hak dasar kelompok Kristen,”
tandas Aan Anshori, koordinator JIAD Jatim seperti dikutip
okezone.
com (05/01)
-
�
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari
2011
The WAHID Institute
Laporan Situasi Keberagaman di Jawa Tengah Tahun 2010 yang
dirilis eLSA (Lembaga Studi Sosial dan Agama) Semarang mencatat
sembilan kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan. Rinciannya,
tujuh kasus intoleransi antar masyarakat sipil dan dua kasus
merupakan pelanggaran yang melibatkan negara. Jumlah ini menurun
dibandingkan tahun lalu yang mencapai 32 kasus dengan perincian
tiga kasus pelanggaran dan 29 kasus intoleransi.
Akan tetapi, Tedi Kholiluddin, Direktur eLSA, menyatakan data
ini bukan berarti menunjukkan tingkat toleransi di Jawa Tengah
sudah membaik. Sebab, data eLSa hanya mereka kasus yang men-cuat di
publik. “Bisa saja banyak kasus
intoleransi tapi tidak muncul di publik,” katanya sebagaimana
ditulis TempoInter-aktif (10/01). Apalagi, ada umat beraga-ma yang
cenderung tidak mau men-gungkapkan kasusnya kepada media,
pemerintah maupun lembaga swadaya.
Kasus kebebasan beragama yang melibatkan negara adalah vonis
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten yang memvonis FX Marjono,
mantan dosen Universitas Widya Dharma (Unwidha) Klaten, yang
dianggap melakukan penodaan agama. Sementara kasus intoleransi
sesama warga sipil antara la-in fatwa sesat yang dikeluarkan MUI
Pati terhadap kelompok Akmaliyah karena dianggap mengajarkan
wahdatul wujud atau manunggaling kawula gusti.
M
Opera Tan Malaka Dilarang di Malang dan Kediri Nurun Nisa’
“Bisa saja banyak kasus intoleransi tapi tidak
muncul di publik,” kata Tedi Kholiluddin,
Direktur eLSA sebagaimana ditulis
TempoInteraktif (10/01)
Opera Tan Malaka dilarang tayang di Malang dan Kediri.
Penyebab-nya, tayangan itu dianggap men-gandung ajaran kiri. Ajaran
ini dianggap dapat meresahkan masyarakat sehingga menimbulkan sikap
yang tidak kondusif yang dikhawatirkan menimbulkan reaksi keras
masyarakat. Tidak tanggung-tang-gung, aparat dan TNI sekaligus
menda-tangi TV Batu (Malang) dan Kili Suci TV (KSTV) di Kediri. Hal
yang serupa nampa-knya akan diterima oleh Madura Chan-nel. Pihak
stasiun televis di Sumenep ini
menyatakan didatangi aparat TNI AD untuk tidak menayangkan Opera
yang dinilai berbau komunisme.
Mufti Ali dari KSTV mengaku di-minta Komandan Kodim 0809 Kediri
Letkol Infanteri Bambang Sudarmanto untuk tidak menyiarkan Opera
Tan Malaka. Pada kedatangannya di hari Kamis (06/01), Bambang
menyatakan tayangan tersebut akan menimbul-kan reaksi keras dari
masyarakat sebab salah satu adegan dalam Opera terse-but
memperlihatkan bendera PKI (Par-
tai Komunis Indonesia). “Saya langsung bisa membuat keputusan
karena Direksi sudah melarang sehari sebelumnya,” katanya.
Alasannya, sehari sebelum-nya Direktur KSTV telah meminta via
telpon agar Opera tidak ditayangkan. Sang direktur bahkan
menyatakan sang komandan Kodim akan datang ke KSTV. Pasca
kedatangan Kodim, banyak respons yang pro dan kontra mampir ke
telpon seluler Mufti. Ia sendiri merasa terkejut karena TV-nya
belum melaku-kan promo Opera.
Angka Intoleransi Keberagamaan di Jawa Tengah TurunNurun
Nisa’
Dengan banyaknya kasus menyangkut kebebasan beragama dan
berkeyakinan ini, JIAD mendesak pemerintahan SBY agar tidak
mengabaikan konstitusi yang memberi jaminan kebebasan beragama dan
berkeyakinan. JIAD juga menyatakan, pemerintah gagal melindungi
hak-hak warganya karena banyaknya kekerasan yang mendera kaum
minoritas, terutama
umat Kristen. “Ini membuktikan duet Karwo-Saiful (Sukarwo,
Gubernur-Sai-fulloh Yusuf, Wakil Gubernur Jatim-red) telah gagal
menjamin hak dasar kelom-pok Kristen,” tandas Aan Anshori,
koordi-nator JIAD Jatim seperti dikutip okezone.com (05/01).
Di tempat terpisah, Soekarwo mengklaim bahwa kasus kekerasan
antaragama di wilayah Jatim sangat
sedikit dibandingkan dengan provinsi lain. Hal ini terjadi
karena masyarakat Jatim sangat tidak suka kekerasan dan menjunjung
tinggi pluralism sehingga jarang terjadi aksi main hakim sendiri.
“Masyarakat Jawa Timur menjunjung tinggi toleransi beragama.
Sehingga kekerasan beragama di sini sangat sedikit,” jelas sang
gubernur seperti ditu-lis Republika.co.id (13/01). M
-
�
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari
2011
The WAHID Institute
Opera Tan Malaka sebenarnya belum memiliki tahap editing. Namun
Opera sudah disediakan waktu spesial: Minggu malam. Jam tayangan
pada malam itu paling banyak menyedot perhatian penonton. Siaran
yang memakan waktu 120 menit itu akan dipotong menjadi beberapa
episode untuk meningkatkan respons pemirsa.
“Kami sendiri menganggap kontennya sebenarnya tak masalah dari
film itu sendiri. Tinggal nanti kita penonton apresiasinya
bagaimana dari film tersebut. Tetapi dengan berbagai pertimbangan,
masukan dari masyarakat dan aparat yang sifatnya himbauan saja mas.
Jadi sementara kita batalkan dulu,” demikian pernyataan Mufti Ali,
Direktur Operasional Kediri TV seperti dilansir KBR 68H
(11/10).
Kepada TempoInteraktif (11/01), Mufti mengaku tertarik dengan
Opera sebab tokoh Tan Malaka cukup dekat dengan warga Kediri karena
konon makamnya terletak di lereng Gunung Wilis. Selain itu, Opera
memiliki kandungan nilai se-jarah dan kesenian yang kuat.
Manajemen Batu TV belum mem-berikan penjelasan. Seorang staf
Batu TV mengaku tidak berani memberikan penjelasan. Yang berhak
memberikan penjelasan adalah Direktur Utama Batu TV Andry Hoediono
yang juga tidak merespon. Tetapi seperti ditulis detik-movie
(10/01), bahwa seorang anggota polisi dari Polsek Batu (Malang)
yang mengaku bernama Sukoco mendatangi kantor televisi ini. Pria
bernama Sukoco ini meminta agar stasiun televisi ini tidak
menayangkan Opera Tan Malaka. Anggota TNI bernama Sukis dari Kodim
0818 wilayah Batu Malang dan Winarto
yang mengaku dari Korem 083/Bala-dhika Jaya Malang juga datang
dalam waktu berbeda.
Bambang sendiri mengaku hanya memberikan himbauan kepada
mana-jemen KSTV. “Saya hanya menghimbau untuk tidak ditayangkan,
itu saja,” kata Bambang seperti dikutip TempoInteraktif (11/01).
Alasannya, ia mengkhawatir-kan penayangan acara tersebut akan
memancing reaksi dari kelompok anti konunis terutama dari kalangan
pesantren. Demi situasi yang kondusif inilah ia menghimbau agar
Opera Tan Malaka tidak ditayangkan. “Saya tak mau disalahkan jika
ada apa-apa di belakang hari,” tambahnya. Namun Bambang tidak
menjelaskan nilai-nilai dalam Opera Tan Malaka yang dianggap tidak
kondusif bagi Kediri karena ia belum menonton. “Tapi dengan tidak
melihat tayangannya, kita kan sudah bisa meraba. Kalau kita masih
ingat pelajaran sejarah, siapa sih Tan Malaka? Bagaimana aliran
politiknya? Semua kan sudah jelas,” tegas Bambang seperti ditulis
detikmovie (11/01).
Kepala Kepolisian Resort Batu Kombes Gatot Sugeng Santoso
membantah lembaganya melarang penayangan Opera Tan Malaka di Batu
TV. Gatot menceritakan bahwa petugas mendengar informasi acara
tersebut yang dianggap mengganggu ketertiban masyarakat. Kepolisian
menindaklan-juti dengan menurunkan aparat untuk mendatangi kantor
Batu TV.
“Kita cek, lantas manajemen Batu TV berjanji tak menyiarkan,”
katanya seperti ditulis TempoInteraktif (10/1). Karenanya, aparat
tidak menindaklanjuti acara terse-but, termasuk dengan melarangnya.
Gatot menyatakan bahwa aparat ke-polisian tidak mengetahui isi
tayangan tersebut. Ia menjanjikan akan mengkaji tayangan tersebut
dan selanjutnya akan menilai dan merekomendasikannya: layak atau
tidak dikonsumsi masyarakat luas.
“Tidak ada pelarangan dari Dandim atau Danrem setempat,” ujar
Kadispen TNI AD Brigjen TNI Wiryantoro seperti ditulis
detiksurabaya (13/01). Urusan pelarangan adalah urusan kepolisian,
di luar kapasitas TNI. Tapi ia memberi-kan pengecualian. “Kecuali
kalau TV tersebut, setelah berdiskusi dengan Muspida kemudian
membatalkan pe-nayangan karena kesadaran sendiri bahwa sebuah
tayangan itu berdampak negatif,” tambahnya.
Direktur Utama TEMPO TV Santosa
menyesalkan pelarangan tersebut dan menyatakan aparat keamanan
di Malang dan Kediri tidak paham acara Opera Tan Malakan. “Sebagian
aparat keamanan masih berpikiran kolot, alergi dengan segala hal
yang berbau kiri. Mereka masih berpikiran seperti zaman orde baru,”
ujarnya dalam pernyataan pers yang dkeluarkan di Jakarta pada 10/1
seperti ditulis Detikmovie.
Senada dengan Santosa, Nirwan Dewanto menyatakan bahwa tindakan
pelarangan tersebut sangat tidak nasionalis karena Tan Malaka
sendiri telah diakui sebagai Pahlawan Nasional. “Phobia terhadap
komunisme itu pada saat sekarang itu lucu dan ironis karena tidak
ada gerakan yang berhasil sekarang. Banyak negara-negara kiri yang
juga bubar Uni Soviet, misalnya, Eropa Timur. Jadi tidak ada yang
ditakutkan dari pemikiran kiri atau sosok kiri. ini kan sosok kiri
yang ada di zaman revolusi, tahun 40-an itu Tan Malaka,” kata Dewan
Kurator Salihara itu seperti ditulis KBR 68H (10/01). Nirwan bahkan
menya-takan bahwa larangan itu merupakan kebijakan lapangan, bukan
instruksi dari pusat atau atasan, sebab buku-buku Tan Malaka
sendiri dinyatakan boleh beredar.
Menurut Hariyono, pelarangan itu tidak perlu dilakukan. Yang
harus dilakukan oleh aparat adalah mengundang pakar-pakar politik
dan sejarah untuk mendiskusikannya. Dengan ini, masyarakat secara
tidak langsung diajak berpikir kritis sehingga tidak menerima
tayangan itu sebagai sebuah ideologi yang membahayakan. “Tapi
bagaimana mendiskusikan itu serta antisipasinya,” kata pakar sosial
dan militer Hariyono dari Universitas Negeri Malang kepada RNW
(11/01). Jika dilarang yang terbit justru rasa ingin tahu terutama
dari kalangan anak muda. Mungkin juga ancaman sebagian kecil
masyarakat yang belum dewasa—yang suka menggunakan kekerasan dengan
menggunakan agama tertentu.
LBH Surabaya mengecam tindakan pelarangan ini. “Tidak bisa
(dilarang), ini hak sipil dan politik, peran negara ter-masuk
polisi dan TNI tidak bisa mencam-puri ini,” kata Direktur LBH
Surabaya, M. Syaiful Arif seperti ditulis TempoInteraktif (11/01).
Bagi Arif, pelarangan film tidak bisa dilakukan seenaknya, yakni
menda-tangi stasiun TV yang akan menayangkan seperti dialamai Batu
TV (Malang) dan KSTV (Surabaya). Ia mencontohkan
“Saya tak mau disalahkan jika ada apa-apa di
belakang hari,” tambah Komandan Kodim 0809
Kediri Letkol Infanteri Bambang Sudarmanto
seperti dikutip TempoInteraktif (11/01)
-
10
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari
2011
The WAHID Institute
Menyusul tewasnya Kopda (Kopral Dua) Amiruddin dari Kostrad TNI
Cilodong De-pok setelah melerai keributan di Kafe Bagabe, FPI Kota
Depok pada Minggu
(16/01) meminta Satpol PP dan Walikota bertindak. Jika tidak,
FPI Kota Depok akan bertindak. “Saya bersyukur dengan terjadinya
keributan itu karena hal itu te-lah membuka mata banyak orang. Kafe
itu sering dijadikan tempat maksiat dan sering menjadi sasaran
razia. Kami minta kafe itu ditutup. Kalau tidak, akan kami tutup
paksa,” ujar Idrus al-Gadri, Ketua FPI Depok seperti ditulis
wartakota.co.id (19/01).
Selain itu, Habib juga menuding bahwa Kafe Bagabe memiliki
beking (perlindungan, Red.) dari oknum aparat dengan dibuktikan
kehadiran Kopda Amiruddin di tempat perkelahian. Habib menambahkan,
seperti ditulis okezone.com (18/01), berungkali bersama Satpol PP
Kota Depok merazia kafe tersebut tetapi ia beroperasi kembali
“Sudah sering kami bilang bahwa
kafe tersebut tempat maksiat dan sejak lama kami minta kepada
pemer-intah agar ditutup. Sekarang kan ada dampaknya. Mau telan
korban jiwa ban-yak dulu baru ditutup?” katanya.
Kepala Dinas Satpol PP Kota Depok, Sariyo Sabani, menyatakan
tidak mau berkomentar. Namun, ia menyatakan akan melayani
masyarakat dengan baik karena statusnya sebagai PNS. Adapun
Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail berjanji akan menertibkan
kafe-kafe yang dinyatakan tidak berizin. “Kalau tidak punya izin,
pasti segera ditertibkan,” jelas Nur Mahmudi seperti ditulis
oke-zone.com (18/01). Ia juga telah meminta kepada instansi terkait
segera menindak Cafe Bagabe dan kafe lainnya yang tidak memiliki
izin. Kedua instansi ini nampa-knya bisa ditundukkan FPI. M
FPI Minta Kafe Bagabe DitutupNurun Nisa’
“Kalau tidak punya izin, pasti segera ditertibkan,”
jelas Nur Mahmudi Ismail, Walikota Depok seperti ditulis
okezone.
com (18/01).
pelarangan buku yang mesti melewati prosedur tertentu, yakni
pengadilan. Memang, kata Arif, pelarangan film bisa dilakukan jika
ia membahayakan negara tetapi aturan ini sering disalahtafsirkan
oleh rezim yang berkuasa. Ia sendiri keberatan jika film dianggap
kiri lalu dilarang. “Kiri dan kanan itu tafsir Orde Baru.
Mempelajari komunis sekalipun bukan berarti kita komunis,” tambah
Arif. Arif mendesak aparat kepolisian dan TNI untuk segera
melakukan klarifi-kasi atas pelarangan tersebut. Jika tidak,
stasiun televisi tersebut bisa melakukan gugatan baik pidana maupun
perdata atas pelarangan ini.
Senada dengan LBH Surabaya, KPID Jawa Timur menyayangkan indakan
aparat. “Kalau memang benar adanya, jangan serta merta meminta atau
melarangnya,” ujar Kepala Bidang Pengawasan Isi Siaran KPID Jatim,
Maula-na Arief seperti ditulis detiksurabaya (11/01). Maulana
menyatakan bahwa sekarang sudah bukan zaman Orde Baru sehingga
kontrol media massa, termasuk televisi, sudah diserahkan ke-pada
publik. “Kalau isi siaran dianggap
meresahkan atau dapat menimbulkan masalah, tolong sampaikan ke
KPID, se-hingga kita bisa menindaknya. Kita har-apkan pelarangan
itu sesuai prosedur,” tegasnya.
Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur
Muhammad Dawud menyatakan pelarangan terhadap sebuah program
televisi, kata Dawud, hanya bisa diberikan kepada siaran yang
bersifat non-fak-tual, misalnya, sinetron, film, dan iklan.
Tayangan-tayangan jenis ini harus memiliki sertifikat terlebih
dahulu dari Lembaga Sensor Film sebelum ditayangkan. “Berbeda
dengan tayan-gan faktual seperti berita yang tanpa sensor,” katanya
seperti ditulis Tem-poInteraktif (11/01). Karenanya, KPI akan
melakukan meminta pejelasan terlebih dahulu kepada TEMPO TV selaku
pem-buat film. Jika diketahui tidak ada masa-lah di dalamnya,
masyarakat seharusnya tidak perlu khawatir terhadap dampak
negatifnya. Ia juga membeberkan bahwa investigasi KPI menyatakan
dua TV dila-rang menyiarkan Opera, termasuk KSTV.
Mufti Ali sendiri selaku penanggung
jawab siaran KSTV menyatakan telah menyampaikan pelarangan
kepada KPID. Ia berharap bahwa semua langkah yang sudah dijalankan
KSTV tidak menyalahi mekanisme penyiaran yang sudah ditetapkan
KPID.
Nasib serupa dialami oleh pengelola Madura Channel di Sumenep,
Madura. Manajer Program TV Lokal Madura Channel, Rahmat Hidayat,
sedang mem-pertimbangkan untuk menayangkan kembali Opera Tan
Malaka. Pertimbangan dilakukan karena ada tekanan dari pihak yang
mengatasnamakan TNI yang beralasan Opera berbau komunis. Tayangan
pertama pada tanggal 6 Januari lalu berlangsung lancar.
Opera Tan Malaka sendiri merupa-kan buah karya TEMPO TV hasil
kolabo-rasi komponis Tony Prabowo dan libretis Goenawan Mohamad
yang sebelumnya ditayangkan di Teater Salihara pada 18-20 Oktober
2010. Rencananya, Opera akan diputar di 19 stasiun televisi lokal
se-Indonesia. Bentuk tayangan ini adalah pembacaan puisi dengan
iringan musik.
M
-
11
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXX, Januari
2011
The WAHID Institute
FPI Minta Kafe Bagabe DitutupNurun Nisa’
Menjelang dimulainya Tahun Baru Hijriyah, ratusan massa yang
tergabung dalam FPI Medan menyerbu kafe dan warung re-mang-remang.
Lokasi pertama yang dituju Medan Helvetia dan Medan Mare-lan, Kota
Medan, Sumatra Utara, Minggu dinihari (05/12/10). Alasannya, kafe
ini
diduga sebagai tempat maksiat. Mereka menghancurkan botol
minuman yang ada. Kursi, meja, dan per-alatan musik juga turut
menjadi sasaran. Tidak ada korban jiwa karena tempat hiburan sedang
kosong. Sepertinya aksi FPI ini telah bocor.
Aparat kepolisian yang mendapat laporan hanya berjaga-jaga agar
tidak terjadi bentrokan antara pemilik dan penyerbu. FPI juga masih
sempat mengancam kafe yang dianggap kerap beroperasi kembali
meskipun kerap dirazia polisi ini.
Sehari setelahnya (06/12/10) giliran kafe di kawasan Desa
Manunggal, Kec.
Labuhan Deli, Medan. FPI mengklaim telah memperingatkan kafe
agar menu-tup usahanya ini sebelum menyerbu kafe yang dimaksud.
Penyerbuan ini juga dilakukan dengan alasan adanya informasi
masyarakat sekitar yang merasa terganggu dengan keberadaan kafe
yang dijadikan tempat maksiat.
Selain memecahkan ratusan botol minuman, FPI juga merusak rumah
dan harta benda pemilik kafe. ratusan personel Kepolisian Sektor
Labuhan dikerahkan untuk mencegah aksi yang lebih anarkhis. Pemilik
kafe sendiri telah menyingkir sehingga selamat dari serbuan massa
FPI. M
FPI Medan Serbu Kafe dan Warung Reman-remangNurun Nisa’
Aparat kepolisian yang mendapat laporan hanya
berjaga-jaga agar tidak terjadi bentrokan antara
pemilik dan penyerbu.
Sekitar 500-600 massa membumi-hanguskan beberapa bangunan kafe
berlokasi di tepi Danau Sing-karak, Kecamatan Sapuluah X Koto,
Kabupaten Solok Sumbar, pada Minggu dini hari (10/01). Menurut
keterangan salah seorang warga, satu bangunan kafe benar-benar
ludes dibakar massa dan yang lain porak-poranda. Alasan pembakaran
kafe tersebut adalah karena warga yang sudah muak den-gan
kemaksiatan. Selain digunakan se-
bagai tempat minum minuman keras dan pesta mabuk-mabukan,
dicurigai juga sebagai tempat transaksi kegiatan seks. “Kafe-kafe
itu dibakar massa yang berdatangan dari berbagai penjuru jorong
(desa) di Nagari Singkarak karena masa sudah muak dengan aksi
kemak-siatan di sana,” jelas H. Nasrul, pengurus paguyuban Ikatan
Keluarga Perantau Singkarak di Padang seperti ditulis
hida-yatullah.com (10/01).
Terhadap aksi pembakaran ini, Wali Nagari Singkarak Bushamsyah
sepertinya tidak menyayangkan aksi main hakim sendiri. Bushamsyahn
mengatakan, sebelum aksi massa sebenarnya para pemilik kafe sudah
dihimbau pihaknya agar tidak lagi mengoperasikan kafe-kafe
tersebut. Selain itu, aparatur nagari dan para tokoh masyarakat
bahkan sudah menyampaikan peringatan ke-pada pemilik. Demikian juga
Bupati Solok dan aparat terkait sebelumnya juga sudah
memperingatkan pemiliki kafe untuk menghentikan kegiatan kafe
karena keberadaannya yang dinilai su-dah sangat meresahkan
warga.
Sejumlah aparat Kepolisian dan Polisi Pamong Praja yang turun ke
TKP malam itu tak kuasa mencegah amuk massa yang sudah amat marah
itu. Ke-
tika massa merangsek kafe, sebenarnya sekelompok orang mencoba
meng-gertak massa, tetapi massa terus maju menghancurkan dan
membakar kafe.
Sementara itu, Lembaga Paga Na-gari Provinsi Sumatera Barat
justru mengapresiasi peristiwa terbakarnya beberapa kafe tersebut
karena dianggap sebagai wujud tanggung jawab anak-kemenakan dan
anak nagari di selingkar Danau Singkarak untuk melindungi na-gari
mereka dari segala bentuk kemak-siatan. Karenanya, aksi massa ini
tidak bisa disebut sebagai aksi kekerasan dan main hakim sendiri.
“Jangan sertamerta aktivis LSM menjustifikasinya sebagai aksi
kekerasan dan main hakim sendiri. Tolong lihat dulu latarnya,
penyulutnya,” ujar Ibnu Aqil D. Ghani seperti ditulis
hidayatullah.com (11/01).
Aqil menganggap bahwa pemilik kafe dan pelanggan kafe yang
melaku-kan maksiat juga patut diberi sanksi bukan saja tempat
maksiat berupa kafe yang dibakar. Ia juga menyatakan, ber-dasarkan
hukum adat di Minangkabau, pelaku dan penyedia kemaksiatan
se-harusnya ‘dibuang sepanjang adat’, tak boleh tinggal di tanah
adat, dan tak boleh pula menerima pusaka adat. M
“Kafe-kafe itu dibakar massa yang berdatangan
dari berbagai penjuru jorong (desa) di Nagari Singkarak karena
masa
sudah muak dengan aksi kemaksiatan di
sana,” jelas H. Nasrul, pengurus paguyuban
Ikatan Keluarga Perantau Singkarak di Padang seperti ditulis
hidayatullah.com (10/01)
Dianggap Tempat Maksiat, Kafe Dibakar MassaNurun Nisa’
-
Aparat yang berwenang menggunakan kekuasaannya justru untuk
menekan masyarakat sipil. Ditugaskan untuk memberi-kan perlindungan
kepada masyarakat, polisi menekan panitia dan peserta FGD kebebasan
beragama dan berkeyakinan di Bandung dan Surabaya. Pada saat yang
bersamaan, aparat juga mendatangi stasiun televisi guna menekan
pengelola stasiun televisi agar tidak menayangkan tayangan yang
dianggap berbau komunis yang akan meresahkan masyarakat..Aparat
yang berwenang juga tunduk terhadap tekanan massa. Sekelompok massa
membakar kafe, aparat hanya bisa menjaga tempat lokasi dan bukan
meringkus pelaku agar menghentikan aksinya. Aparat di Depok juga
tidak tegas sehingga wewenangnya digerogoti kelompok massa
tertentu.Pemerintah, baik pusat maupun daerah, masih setengah hati
menjamin terlaksananya kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Pemerintah pusat dalam hal ini tidak merespons untuk
menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM atas kekerasan terhadap
jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Pemerintah pusat juga tidak menepati
komitmen atas janji-janji perlindungan terhadap kebebasan beragama
dan berkeyakinan. Pemerintah daerah, seperti provinsi Jawa Timur,
tidak menjawab soal banyaknya kasus kebebasan beragama di Jawa
Timur tetapi justru menyatakan fakta sebaliknya. Pemkot Bogor
bahkan menjadi aktor pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan karena tindakan menyegel GKI Taman Yasmin.Penurunan
kasus intoleransi di Jawa Tengah sepanjang tahun 2010 merupakan
sebuah kemajuan yang berarti. Tetapi kemajuan ini tidak selalu
berarti berbanding lurus dengan peningkatan toleransi masyarakat
dan komitmen pemerintah menjamin kebebasan beragama dan
berkeyakinan di provinsi tersebut. Sebab, terdapat kemungkinan
banyak kasus yang tidak tersiar di publik karena korban yang
tertekan dengan melaporkannya.
1.
2.
3.
4.
Aparat kepolisian semestinya memegang teguh Tribrata dalam
menjalankan tugasnya. Dengan Tribrata ini, aparat kepoli-sian hanya
akan bekerja dalam tiga koridor: 1) berbakti kepada nusa dan bangsa
dengan penuh ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; 2) menjunjung
tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum
NKRI yang berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945; 3) senantiasa
melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan
untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban. Memegang teguh Tribrata
berarti melindungi semua warga, tanpa membedakan latar belakangnya,
dan tidak menekan salah satu pihak yang akan menyelenggarakan yang
tidak bertentangan dengan Pancasila dan ideologi negara. Aparat TNI
juga seharusnya berkonsentrasi dalam pertahanan negara. Ini karena
mengingat tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara,
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasar-kan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan
bangsa dan negara. Dengan pedoman ini, TNI tidak perlu terlibat
dalam penyensoran tayangan televisi karena diduga beraliran kiri.
Penyensoran tayangan seharusnya diserahkan kepada KPI dan ideologi
kiri bukanlah ancaman yang patut ditakuti sekarang ini.Sesuai
dengan amanat Perber Menag No. 9 Th. 2006 dan Menag No. 8 Th. 2006,
maka sesungguhnya para kepala daerah bertanggung jawab terhadap
urusan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Termasuk di dalam hal
ini adalah menumbuhkembangkan keharmonisan dan saling-menghormati
di antara sesama warga. Situasi tidak akan terwujud kecuali
pemerintah bertindak adil terhadap semua golongan dengan berpedoman
pada koridor hukum, bukan tunduk pada kepentingan kelompok tertentu
yang mengatasnamakan kelompok meyoritas.Jika tidak ingin dianggap
sebagai pembohong, maka seharusnya pemerintah pusat memproses
seluruh pelanggaran hak-hak kebebasan beragama dan tindakan
kriminal terhadap segala kasus yang berkenaan dengan kebebasan
beragama dan berkeyakinan sebagaimana janji yang diucapkan SBY pada
pidato menyambut peringata HUT RI tahun lalu. Kebijakan ini mutlak
mengingat Indonesia telah meratifikasi konvenan sipol sejak tahun
2006. Selain itu, kebijakan ini diperlukan sebagai respon atas
laporan Komisioner Tinggi HAM PBB terhadap praktek diskriminasi
yang menimpa kelompok minoritas di Indonesia.Selain soal toleransi,
penyadaran akan pentingnya pedoman hukum di masyarakat perlu
digalakkan. Di samping mence-gah timbulnya sikap anarkis dari
kelompok tertentu, penyadaran ini juga sekaligus menguatkan
psikologis korban agar mereka berani melapor kepada aparat atau
lembaga swadaya masyarakat yang dianggap mampu jika hanya dilanggar
atau didiskriminasi.
1.
2.
3.
4.
5.
Analisis
Rekomendasi