BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Problem yang dialami manusia silih berganti dan tidak mengenal titik nadir, manusia dililit oleh masalah yang dilakukannya sendiri, problem ini menjadikannya sebagai makhluk yang kehilangan arah dan tujuan. Manusia kadang gagal mencegah dirinya dari kecenderungan berbuat diviatif (menyimpang) dan jahat karena kepentingan ekonomi, tuntutan biologis, status dan harga dirinya. Padahal kejahatan yang diperbuat merupakan bentuk penyimpangan terhadap norma – norma dan nilai – nilai kemanusiaan. Persoalan kejahatan dengan modus kejahatan menjadi masalah yang sering dihadapi oleh bangsa dan negara di muka bumi ini. Dalam wilayah sosial, masalah kekerasan yang dikaitkan dengan kasus - kasus kriminalitas cenderung 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Problem yang dialami manusia silih berganti dan tidak mengenal titik nadir,
manusia dililit oleh masalah yang dilakukannya sendiri, problem ini
menjadikannya sebagai makhluk yang kehilangan arah dan tujuan. Manusia
kadang gagal mencegah dirinya dari kecenderungan berbuat diviatif
(menyimpang) dan jahat karena kepentingan ekonomi, tuntutan biologis, status
dan harga dirinya. Padahal kejahatan yang diperbuat merupakan bentuk
penyimpangan terhadap norma – norma dan nilai – nilai kemanusiaan.
Persoalan kejahatan dengan modus kejahatan menjadi masalah yang sering
dihadapi oleh bangsa dan negara di muka bumi ini. Dalam wilayah sosial, masalah
kekerasan yang dikaitkan dengan kasus - kasus kriminalitas cenderung semakin
keras dan brutal. Hal ini mengisyaratkan bahwa kejahatan dengan modus
kekerasan tetap mengalami pasang surut. Problem kriminalitas yang menakutkan
bagi masyarakat yang kemunculannya biasanya tidak dapat diduga atau tiba – tiba
saja terjadi disuatu lingkungan dan komunitas yang melahirkan kejahatan karena
kejahatan tumbuh, berkembang dan sejajar dengan perkembangan masyarakat itu
sendiri.
1
Di antara anggota masyarakat yang sangat rentang menjadi korban
kejahatan adalah anak-anak, bahkan tidak jarang menimpa bayi yang baru lahir.
Mereka menjadi objek pelecehan dan perampasan hak, karena mereka berada
dalam posisi ketidak berdayaan untuk menghadapi individu yang lebih kuat dan
berkuasa dari mereka.
Realitas keadaan anak-anak di muka bumi ini masih belum
menggembirakan, terutama di negara – negara yang sedang berkembang. Nasib
mereka belum seindah ungkapan verbal yang sering memposisikan anak bernilai
penting dan sebagai penerus masa depan suatu bangsa, serta simbolik lainnya
terhadap anak tersebut. Anak di negara berkembang sering kali di eksploitasi dan
terdiskriminasi dalam bidang ekonomi khususnya. Sering kali anak dipekerjakan
dalam lingkungan – lingkungan industri dengan tidak diberikan haknya dengan
baik sebagai mana mestinya, bahkan tidak sedikit dari mereka yang dieksploitasi
habis – habisan oleh kaum industrialis dengan jumlah waktu kerja yang sama
dengan waktu kerja orang dewasa bahkan tidak jarang juga melebihi waktu kerja
orang dewasa sedangkan upah yang mereka terima jauh dibawah standar upah
pekerja biasa. Kasus lain ditemukan bahwa tidak jarang anak dijadikan alat
pencari nafkah oleh orang tuanya atau suatu kelompok tertentu dengan
menjadikan mereka sebagai pengemis. Padahal secara jelas dicantumkan dalam
Konvensi Hak-Hak Anak yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa – Bangsa pada
tanggal 20 November 1989. sedangkan dalam mukaddimah deklarasi Perserikatan
Bangsa – Bangsa juga tersirat bahwa ummat manusia berkewajiban memberikan
2
yang terbaik bagi anaknya. Semua pihak menyetujui peran anak ( rule of child
) merupakan harapan masa depan.
Sama halnya di Indonesia sebagai negara berkembang yang juga tidak
pernah lepas dari permasalahan sosial khususnya tentang masalah perlindungan
anak. Di antaranya yang sedang marak saat ini adalah tentang kasus pembuangan
anak. Hal inilah yang akan dikaji secara khusus oleh penulis dalam tesis ini.
Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya berharap dapat memberikan hak – hak
bagi anak sebagaimana mestinya. Perhatian terhadap anak sebenarnya sudah lama
ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri yang dari hari ke hari semakin
berkembang
Dalam rangkaian perundang – undangan yang pernah dan sedang berlaku,
perhatian terhadap anak sudah dirumuskan sejak tahun 1925, yang ditandai
dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 Junto Ordonansi 1949 No. 9 yang mengatur
pembatasan kerja anak dan wanita. Kemudian Tahun 1926 lahir pula Stb. 1926
No. 87 yang mengatur pembatasan anak dan orang muda bekerja diatas kapal.
Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana ( KUHP ), yang disahkan mulai berlaku pada tanggal 26 Februari 1946.
pada tahun 1948 lahir Undang –Undang Pokok Perburuhan ( Undang – Undang
No. 12 tahun 1948 ) yang melarang anak melakukan pekerjaan. Pada tanggal 23
Juli 1979 lahir pula Undang – Undang No. 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak dengan Peraturan Pelaksanaan PP No.2 Tahun 1988 tentang Usaha
Kesejahteraan Anak (29 Februari 1988 ), kemudian pada tanggal 22 oktober
diundangkan Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
3
Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
diterbitkan sebagai pijakan untuk memenuhi Hak dan Kewajiban Anak secara
luas. Dalam Konvensi Hak Anak dan dalam pasal (2) Undang – Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberi perhatian kepada anak secara
khusus yang dicerminkan dengan prinsip – prinsip :
1. Tanpa diskriminasi (non discrimination )
2. Kepentingan terbaik bagi anak (the interest of the child )
3. Prinsip hak – hak anak untuk hidup, bertahan hidup dan
pengembangan (the right to life, survival and development)
4. Prinsip menghormati pandangan anak ( respect to the views of the
child)
Kepentingan terbaik bagi anak menjadi prinsip tatkala sejumlah kepentingan
lain melingkupi kepentingan anak. Sehingga, dalam hal ini kepentingan terbaik
harus diutamakan dari kepentingan lainnya. Kepentingan terbaik bagi anak bukan
dipahami sebagai pemberian kebebasan kepada anak untuk menentukan pendapat
dan pandangannya sendiri secara liberal. Peran orang dewasa justru untuk
menghindarkan anak memilih suatu keadaan yang justru tidak adil dan tidak
eksploratif walaupun hal itu tidak lagi dirasakan oleh seorang anak. Pelaksanaan
Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak belum
menunjukkan hasil yang signifikan, kenyataannya anak masih sering
tereksploitasi dan hak – haknya masih sering dirampas oleh orang dewasa.
Nampaknya Negara belum mampu untuk konsisten menegakkan hak – hak anak
walaupun relative perangkat hukumnya telah tersedia. ironis memang hukum
4
sebagai regulasi mengenai perlindungan anak hanya menjadi hiasan bibir belaka
dan hampir tidak bermakna lagi.
Tindak kekerasan yang dialami oleh anak, jarang terekspos sebab masalah
ini sering dianggap sebagai masalah interen baik keluarga maupun individu.
Tindak kekerasan terhadap anak baru menjadi perhatian public ketika jumlah anak
yang menjadi korban kekerasan semakin bertambah.Hal ini menjadi tantangan
tersendiri bagi pihak kepolisian dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya
kasus kekerasan terhadap anak khususnya kasus tindak pidana pembuangan bayi.
Usia anak yang menjadi korban kekerasan tak hanya menimpa anak di atas
usia lima tahun tapi juga menimpa anak yang baru lahir, anak tersebut biasanya
dibuang di selokan, di tempat sampah, di sungai bahkan sering kali diletakkan
begitu saja di depan sebuah toko atau bahkan dirumah warga atau dengan kata lain
berusaha disembunyikan dengan paksa agar aib orang tuanya, khususnya orang
tua kandung tidak sampai ke permukaan. Seperti kasus yang terjadi di daerah
Pannakkukang tepatnya hari kamis (15/4) sekitar pukul 19 :15 Wita, seorang anak
perempuan yang baru berusia seminggu ditinggalkan oleh ibunya di sebuah
bengkel trali yang terletak di jalan Abdullah Dg sirua ( Sumber: Data Lembaga
Perlindungan Anak sulawesi selatan ( Tribun Timur, 16 April 2011) ).
Dari latar belakang masalah tersebut di atas, penulis memutuskan untuk
mengangkatnya ke dalam tesis dengan judul “Tinjauan Kriminologis Terhadap
Tindak pidana pembuangan bayi yang dilakukan oleh orang tua kandung”.
5
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut, maka rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apakah yang mendorong terjadinya pembuangan bayi yang
dilakukan oleh orang tua kandung ?
2. Upaya apakah yang harus dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana
pembuangan bayi yang dilakukan oleh orang tua kandung ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan
2. Upaya - upaya yang ditempuh untuk menangani kasus tindak pidana
pembuangan bayi yang dilakukan oleh orang tua kandung.
D. Manfaat Penelitian
Apabila penelitian ini dilakukan dan mencapai tujuan seperti yang telah
dirumuskan, maka hasilnya diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara
teoritis maupun manfaat praktis yang meliputi :
6
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan dan
pengetahuan baik penulis sendiri, masyarakat secara luas dan teristimewa
bagi mahasiswa yang sedang menempuh studi dalam memahami dan
mengkaji ilmu - ilmu hukum sebagai referensi, sekaligus diharapkan
dapat memotivasi peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan
kaitannya dengan kasus-kasus yang menyangkut tindak pidana terhadap
anak.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak
kepolisian dan pemerintah (khususnya pemerintah Kota Makassar) untuk
mencegah dan menanggulangi kasus pembuangan anak yang dilakukan
oleh orang tua.
BAB II
7
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hakikat Kriminologi
1. Pengertian Kriminologi
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
kejahatan. Istilah kriminologi pertama kali dipergunakan oleh seorang antropolog
Perancis, Paul Topinard (1830 – 1911 ). Secara harfiah kriminologi berasal dari
kata “crime”yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu
pengetahuan , jadi kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat.
Wolf Gang Savitz dan Johnston (B. Simandjuntak,1981 :5) dalam the
sociology of crime an delinquency menyatakan bahwa :
“ kriminologi adalah kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk meperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan – keterangan, keseragaman, pola – pola dan faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya”.
kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki kejahatan
seluas – luasnya, lebih lanjut Bonger membagi kriminologi menjadi kriminologi
murni yang mencakup :
8
a). Antropologi kriminil, ialah ilmu pengetahuan tentng manusia yang jahat.b). Social kriminil, ialah ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu
gejala masyarakat.c). Psikologi kriminal, ialah ilmu tentang kejahatan dipandang dari sudut
ilmu jiwa.d). Psikopatologi dan neuropatologi kriminologi, ialah ilmu pengetahuan
tentang penjahat dan sakit jiwa atau urat syarafnya.e). Penologi, ialah ilmu pengetahuan tentang tumbuh dan berkembangnya
hukuman.
Disamping itu pula terdapat kriminologi terapan yang mencakup :
1) Higine criminal, ialah usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan
2) Politik kriminil, ialah usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu krjahatan telah terjadi, menyangkut sebab – sebab seseorang melakukan kejahatan.
3) Kriminalistik ( Police Scientific ) merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyidikan, tehnik kejahatan dan pengusutan kejahatan.
Disisi lain Vrij (B.Simandjuntak, 1981:5) dalam karyanya Enige Kanten van
Het Object der Criminologie mengemukakan bahwa:
“ Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kejahatan
baik sebagai gejala maupun sebagai faktor sebab akibat dari kejahatan itu”.
Michael dan Adler (Topo Santoso-Eva Achjani, 2001:12) juga berpendapat
bahwa :
“kriminologi adalah keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, lingkungan mereka dan cara mereka secara resmi diperlakukan oleh lembaga – lembaga penertib masyarakat dan oleh para anggotanya”.
Dari sekian banyak defenisi tentang kriminologi yang telah dikemukakan
oleh beberapa pakar diatas maka dapat disimpulkan bahwa kriminologi ditujukan
untuk menganalisa sebab – sebab kejahatan tapi tidak terbatas pada bidang itu
9
saja, kriminologi juga meliputi penology dan politik criminal yaitu ilmu
pengetahuan terhadap pelaku.
Menurut E.H.Sutherland ( Topo Santoso – Eva Achjani, 2001:12)
menyatakan bahwa kriminologi adalah keseluruhan ilmu pengetahuan yang
bertalian perbuatan jahat sebagai gejala sosial. Selain itu, beliau juga membagi
kriminologi ke dalam tiga bagian utama yaitu :
1. Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum memandang bahwa kejahatan adalah perbuatan yang
oleh hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi, jadi yang
menentukan bahwa suatu perbuatan merupakan kejahatan adalah
hukum.
2. Etiologi kejahatan
Etiologi kejahatan merupakan cabang ilmu kriminologi yang paling
utama dalam menentukan sebuah tindak kejahatan.
3. Penologi
Penologi pada dasarnya merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi
Sutherland memasukkan hal – hal yang berhubungan dengan usaha
pengendalian kejahatan baik represif maupun preventif.
Lain halnya dengan Paul Mudigdo Mulyono (Topo Santoso – Eva Achjani,
2001:11 ) yang tidak sependapat dengan defenisi yang dikemukakan oleh
Sutherland.menurutnya devinisi itu seakan – akan tidak memberikan gambaran
10
bahwa pelaku kejahatan itu pun mempunyai andil atas terjadinya kejahatan bukan
semata – mata perbuatan yang di tentang oleh masyarakat akan tetapi adanya
dorongan dari sisi si pelaku untuk melakukan perbuatan yang ditentang oleh
masyarakat tersebut, oleh karenanya Paul Modigdo mulyono memberikan defenisi
kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai
masalah manusia.
2. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan terjemahan dari kata “delictum” dan “delicta”
(bahasa Latin) dan dalam KUHP dikenal dengan istilah “straf baarfeit” yang
merupakan bahasa Belanda. Poerwodarmito (1996:229) menyatakan bahwa tindak
pidana diartikan sebagai kejahatan, pelanggaran, dosa, dan kesalahan. Kemudian
oleh beberapa sarjana hukum, perkataan strafbaarfeit diterjemahkan secara
berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing, seperti: peristiwa
pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, perbuatan yang dapat dihukum, dan ada
pula yang menggunakan istilah delik.
Moeljatno (1983:54) mengemukakan istilah perbuatan pidana sebagai
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa
perbuatan pidana yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam asal saja
dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu keadaan
yang timbul oleh kelakuan orang) sedang ancaman pidana ditujukan kepada yang
menimbulkan kejadian itu.
11
Moeljatno tidak setuju terhadap penggunaan istilah peristiwa pidana dengan
alasan karena alam dan hewan pun dapat menimbulkan peristiwa yang dari sudut
hukum pidana tidak mempunyai arti sama sekali. Hal ini ditegaskan Moeljatno
(1983:31) yaitu kurang tepat jika untuk pengertian yang abstrak itu digunakan
istilah peristiwa tindak pidana, sebagaimana halnya dalam Pasal 14 ayat 1 UUD
Sementara dahulu memakai istilah peristiwa pidana sebab peristiwa itu adalah
pengertian yang kongkrit yang menunjukkan kejadian yang tertentu saja,
misalnya: matinya, peristiwa ini sangat tidak mungkin dilarang. Hukum pidana
tidak melarang adanya orang mati karena sudah tua, dan peristiwa itu tidak
penting sama sekali bagi hukum pidana.
Berdasarkan pendapat di atas, maka istilah tindak pidana senantiasa
menimbulkan perdebatan dalam istilah hukum oleh para pakar hukum.
Penggunaan istilah tindak pidana dikemukakan oleh Prodjohamidjojo (1996:57)
bahwa pidana adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah
diakibatkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu
putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.
Prakoso (1984:19) mengemukakan bahwa hukum pidana yang berlaku
sekarang disebut schuldstrafrecht (hukum pidana kesalahan), yang mengandung
arti bahwa untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada si pelaku (asas
nulla poena sine culpa). Hanya harus ditambahkan disini bahwa asas kesalahan itu
tidak berarti bahwa tindak pidana tidak boleh lebih berat dari apa yang dibenarkan
oleh kesalahan yang telah diperbuat oleh si pelaku.
12
Berdasarkan pendapat di atas, maka perbuatan seseorang yang menimbulkan
kerugian dapat pula dijatuhkan pidananya, bukan hubungan sesuatu yang bersalah
dengan yang dirugikan, melainkan hubungan dari yang bersalah terhadap
pemerintah yang ditugaskan untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Rumusan perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang diancam
pidana oleh undang-undang yang dinyatakan secara terang. Dalam KUHP Pasal 1
ayat (1) dinyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas
kekuatan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum
perbuatan itu terjadi.
Berdasarkan rumusan di atas, maka tidak ada suatu perbuatan dapat
dihukum sebelum dinyatakan di dalam undang-undang, dan apabila ada undang-
undang sesudah perbuatan itu terjadi, tanggal berlakunya undang-undang tidak
boleh surut (mundur). Dalam bahasa Latin disebutkan “Nullum delictum, nulla
poena praevia lege poenali”, artinya, tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu
peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai
suatu delik yang memuat hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu.
(Projohamidjojo, 1996:9).
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat diperoleh berbagai
kesimpulan tentang tindak pidana, yaitu:
a) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, kalau hal
itu terlebih dulu belum dinyatakan dalam suatu undang-undang.
13
b) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana, tidak boleh digunakan
analogis.
c) Aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Secara harfiah, tindak pidana diterjemahkan sebagai perbuatan yang dapat
dipidana. Feit diartikan sebagai tindakan atau perbuatan, sementara straf
diartikan pidana, sehingga straf baarfeit diartikan sebagai suatu perbuatan yang
dapat dipidana.
Pompe (Poernomo, 1982:91) mengemukakan bahwa definisi menurut teori,
memberikan pengertian strafbaarfeit adalah suatu pelanggaran terhadap norma
yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk
mempertahankan tata hukum dan membuat kesejahteraan umum. Sedangkan
defenisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbaarfeit adalah suatu
kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang atau oleh aturan
perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
Tindak pidana atau tindak kejahatan merupakan terjemahan yang diberikan
oleh pakar hukum yang diambil dari istilah bahasa Belanda yang terdapat dalam
Wetboek Van Straf Recht yang sekarang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yakni strafbaarfeit.
Perbedaan pandangan dan pendapat dari para ahli hukum maupun
pembentuk undang-undang dalam hal mendefenisikan istilah tindak pidana yang
disetarakan dengan istilah perbuatan pidana, maupun peristiwa pidana, dan lain
sebagainya.
14
Kemungkinan untuk mengalihkan bahasa dari istilah asingnya yaitu
strafbaarfeit. akan tetapi dari pengalihan bahasa tersebut, apakah berpengaruh atau
tidak dalam makna dan pengertiannya yang disebabkan oleh sebagian besar
kalangan para ahli hukum belum secara jelas dan terinci dalam menerangkan
pengertian istilah tindak pidana, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya. Hal
tersebut yang merupakan pokok perbedaan pandangan di antara para ahli hukum
dalam mendefinisikan istilah tindak pidana.
Pengertian tindak pidana sebagai suatu dasar hukum dalam ilmu hukum
terutama hukum pidana yang ditujukan sebagai suatu istilah perbuatan yang
melanggar norma-norma atau aturan hukum yang berlaku di suatu negara. Oleh
karena itu, Daliyo (2001:93) mengemukakan syarat-syarat suatu perbuatan yang
mengandung tindak pidana, yaitu:
1. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.
2. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan
dalam undang-undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
3. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang
melanggar hukum.
4. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain,
ketentuan hukum yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya.
15
Berdasarkan syarat-syarat di atas, maka perbuatan yang dapat dikatakan
suatu tindak pidana adalah perbuatan yang dapat dibuktikan sebagai suatu
perbuatan yang melanggar ketentuan hukum atau undang-undang yang berlaku,
dan disertai ancaman hukumannya untuk mempertanggung jawabkan perbuatan
tersebut.
3. Unsur-unsur Tindak Pidana
Mengklasifikasikan suatu tindak pidana ke dala unsur-unsurnya, maka yang
perlu diperhatikan adalah apakah perbuatan tersebut telah melanggar undang-
undang atau tidak. Berbagai macam tindak pidana yang diatur dalam KUHP pada
umumnya dapat diklasifikasikan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur
subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif tersebut merupakan unsur-unsur yang
melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku,
termasuk di dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Menurut Lamintang (1997:193) bahwa unsur-unsur subjektif dari suatu
tindak pidana, antara lain:
a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (Dolus atau Culpa);
b) Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging, seperti yang
dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
c) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam
kejahatan- kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan
lain-lain;
16
d) Merencanakan terlebih dahulu atau Voorbedachte road seperti yang
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
e) Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana
menurut Pasal 308 KUP.
Sedangkan unsur objektif merupakan unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan
dari si pelaku itu harus dilakukan. Lebih lanjut Lamintang (1997:194)
mengemukakan unsur-unsur objektif tindak pidana, antara lain:
1) Sifat melanggar hukum;
2) Kualitas si pelaku, misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam
kejahatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau
komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal
398 KUHP.
3) Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka yang terpenting dalam merumuskan
suatu tindak pidana yaitu apakah dari perbuatan tersebut terdapat suatu sifat
melanggar hukum, walaupun pembentuk undang-undang tidak menyatakan dalam
suatu unsur tindak pidana. Akan tetapi unsur tersebut sebenarnya dapat bertujuan
untuk mengklasifikasikan bahwa benar perbuatan tersebut adalah suatu tindak
pidana, dan unsur lainnya seperti kausalitas di mana sebab dan akibat menjadi
tolak ukur dalam menentukan bahwa itu suatu tindak pidana atau bukan
merupakan tindak pidana.
17
B. Pengertian Anak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Purwodarminto
( 2001 : 41 ) “bayi adalah Anak yang belum lama lahir”
Menurut Hukum Pidana pasal 45 KUHP menyebutkan bahwa :
“Anak adalah anak yang belum cukup dewasa atau anak yang umurnya belum
cukup 16 (enam belas ) tahun”.
Di dalam pasal 330 ayat (1) KUHPerdata memberikan defenisi yang
berbeda tentang anak yakni anak yang belum dewasa adalah anak yang belum
mencapai usia 21 (dua puluh satu ) tahun dan belum pernah kawin.
Sama halnya di dalam hukum adat yang tidak memberikan ketentuan yang
pasti tentang kapan orang dapat dianggap dewasa. Misalnya di daerah jawa barat,
ukuran kedewasaan seseorang diukur dari sisi :
1. Dapat mandiri ( bekerja sendiri ).
2. Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bertanggung jawab.
3. Dapat mengurus harta kekayaan sendiri.
Lain halnya dalam hukum islam yang mengemukakan bahwa dalam hukum
islam, batas kedewasaan seseorang tidak berdasarkan kepada hitungan usia tapi
sejak adanya tanda – tanda perubahan badaniah, bagi pria apabila dia sudah mimpi
18
maka ia dikatakan sudah dewasa dan bagi wanita apabila sudah mendapat haid
( datang bulan ) maka dia juga sudah dapat dikatakan dewasa.
Selain beberapa pengertian anak di atas, masih terdapat pula beberapa
pengertian anak menurut ketentuan undang – undang yang berlaku di Indonesia
(M. Ghufran H:1 ) yakni :
1. Menurut Undang – Undang RI No. 3 Tahun 2007 tentang peradilan
anak dalam pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa anak adalah
seseorang yang mencapai umur 8 (delapan ) tahun tapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin
2. Menurut undang – undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
anak dalam pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang berada dalam
kandungan.
3. Undang – Undang RI No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak
dalam pasal 1 ayat (2) yang menyebutkan bahwa anak adalah seseorang
yang belum mencapai umur 21 tahun.
4. Undang –Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia
(HAM) yang terdapat dalam pasal 1 ayat (5) yang menyebutkan bahwa
anak adalah seseorang yang umurnya berada di bawah 18 tahun dan
belum menikah termasuk anak yang masih berada di dalam kandungan.
5. Menurut Konvensi Hak Anak yang menyebutkan bahwa anak adalah
setiap manusia di bawah umur 18(delapan belas )tahun kecuali
19
berdasarkan undang – undang yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan
bahwa dewasa dicapai lebih awal.
Dari beberapa pengertian anak di atas, maka pengertian anak yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas ) tahun dan atau belum menikah termasuk anak yang masih berada dalam
kandungan.
C. Pengertian Perlindungan Anak dan Dasar Hukum Perlindungan Anak
Istilah perlindungan anak mengandung arti perlindungan dari kekerasan,
abuse (penganiayaan) dan eksploitas. Dalam bentuknya yang paling sederhana,
perlindungan anak mengupayakan agar sang anak tidak dirugikan. Perlindungan
anak brsifat melengkapi hak – hak lain yang menjamin bahwa anak – anak akan
menerima apa yang mereka butuhkan agar dapat bertahan hidup, tumbuh dan
berkembang.
Perlindungan anak menurut pasal 1 ayat (2) Undang – Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa :
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak – anak dan hak – haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan”.
20
Selain itu di dalam Undang – Undang perlindungan anak juga mengatur
mengenai perlindungan khusus bagi anak yakni :
“Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang di eksploitasi ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalagunaan narkotika, alcohol, dan zat adiktif lainya (napza ), anak korban kekerasan fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak dari korban perlakuan salah dan penelantaran”.
Kemudian yang menjadi dasar hukum perlindungan anak adalah Undang –
Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak diundangkan pada tanggal
22 Oktober 2002. pada dasarnya perlindungan anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya Hak – Hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Karena itu, penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
Undang – Undang Dasar Tahun 1945 serta prinsip – prinsip dasar Konvensi Hak
Anak yang meliputi non- Diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak
untuk hidup, kelangsungan hidup,dan perkembangan serta penghargaan terhadap
pendapat anak.
Adapun hak – hak anak yang diatur dalam Undang – Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak yaitu :
1. Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
21
(pasal 4);
2. Nama dan status kewarganegaraan (pasal 5);
3. Beribadah menurut agama, berfikir dan berekspresi (pasal 6)
4. Mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang
tuanya(pasal 7 ayat (1));
5. Memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial ( pasal 8);
6. Memperoleh pendidikan dan pengajaran (pasal 9);
7. Menyatakan pendapat, menerima, mencari dan memberikan informasi
(pasal 10);
8. Beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak
sebaya, bermain dan berkreasi ( pasal 11);
9. Anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan
sosial dan dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (pasal 12);
10. Mendapat perlindungan dari : a) diskriminasi; b)eksploitasi,baik
ekonomi maupun seksual; c) penelantaran; d) kekejaman, kekerasan
dan penganiayaan; e) ketidak adilan ; dan f) perlakuan salah lainnya
(pasal 13 ayat (1));
11. Mendapat perlindungan dari; (a) penyalahgunaan dalam kegiatan
politik; (b)pelibatan dalam sengketa bersenjata; (c) pelibatan dalam
konflik sosial; (d) pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan; dan (e) pelibatan dalam peperangan (pasal 15);
12. Perlindungan dari penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman
tidak manusiawi (pasal 16 ayat (1)).
22
Selain itu penyelenggaraan perlindungan anak bukan hanya kewajiban dan
tanggung jawab orang tua tapi juga kewajiban dan tanggung jawab negara dan
pemerintah.
D. Kewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua Menurut Undang –
Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Dalam pasal 26 Undang – undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
anak, mengatur kewajiban dan tanggung jawab orang tua yakni:
a) Mengasuh, memelihara, mendidk dan melindungi anak,
b) Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan
minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak – anak.
Dalam hal orang tua tidak ada atau karena sesuatu sebab tidak dapat
melaksanakan kewajiba dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung
jawab sebagaimana dimaksud dapat beralih kepada keluarga yang dilaksanakan
sesuai dengan Undang – Undang.
E. Kejahatan Yang Berhubungan Dengan Pembuangan Anak
23
Di dalam kitab Undang – Undang Hukum Pidana ( KUHP ) terdapat
beberapa ketentuan pidana yang berhubungan dengan pembuangan anak, antara
lain :
Pasal 304 KUHP yang menyebutkan bahwa :
“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian, dihukum penjara selama – lamanya dua tahun delapan bulan atau sebanyak – banyaknya Rp 4.500”.
Yang dihukum menurut pasal ini adalah orang yang sengaja menyebabkan
atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan dan pemeliharaan kepada orang itu karena hukum yang
berlaku atau karena perjanjian, misalnya orang tua membiarkan anaknya dalam
kesengsaraan, demikian pula kepada wali terhadap anak peliharaanya.(R.Soesilo,
1996 : 223-224).
Pasal 305 KUHP yang menyebutkan bahwa :
“Barang siapa yang menaruhkan anak di bawah umur tujuh tahun di suatu tempat supaya dipungut oleh orang lain, atau dengan maksud akan terbebas dari pemeliharaan anak tersebut, meninggalkanya, dihukum penjara sebanyak – banyaknya lima tahun enam bulan”.
Menaruh anak yang dimaksud dalam pasal di atas sama dengan menaruh
anak kecil yang artinya meninggalkan anak kecil belum berumur tujuh tahun di
24
suatu tempat, sehingga dapat ditemukan oleh orang lain dengan tidak mengetahui
siapa orang tuanya, maksudnya ialah untuk melepaskan tanggung jawab atas anak
itu. Ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Jika yang melakukan perbuatan itu ialah
bapak atau ibunya sendiri maka ancaman hukumannya ditambah dengan
sepertiga. Jika perbuatan itu dilakukan oleh seorang ibu tidak berapa lama setelah
anak itu dilahirkan oleh karena ketakutan akan diketahui orang kalau dia telah
melahirkan anak, maka ancaman hukumannya dikurangi separuh. (R.Ssoesilo,
1996:223-224).
Dalam pasal 306 KUHP yang juga menekankan :
1. Kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam pasal 304 dan 305 itu
menyebabkan luka maka si tersalah dihukum penjara selama – lamanya
tujuh tahun enam bulan.
2. Kalau salah satu perbuatan itu menyebabkan lematian maka si bersalah
tersebut dihukum penjara selama – lamanya sembilan tahun.
Pasal 307 KUHP menyebutkan bahwa jika yang melakukan perbuatan
tersebut adalah bapak atau ibu dari anak tersebut maka baginya hukuman yang
ditentukan dalam pasal 305 KUHP dan pasal 306 KUHP dapat ditambah dengan
sepertiga.
Kemudian pasal 308 KUHP yang menyebutkan :
25
“Jika seorang ibu menaruh di suatu tempat supaya dipungut oleh orang lain tidak berapa lama sesudah anak itu dilahirkan oleh kaena takut akan diketahui orang dia akan melahirkan seorang anak atau dengan maksud akan terbebas dari pemeliharaan anak itu, meninggalkannya, maka hukuman maksimum yang tersebut dalam pasal 305 dan 306 dikurangi seperdua”.
Selain beberapa ketentuan pidana yang terdapat dalam Kitab Undang –
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah dijelaskan di atas masih terdapat lagi
ketentuan yang mengatur tentang masalah anak tersebut yakni terdapat dalam
pasal 77 huruf b Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak yakni :
“Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental maupun sosial dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
F. Teori –Teori Tentang Penyebab Terjadinya Kejahatan
Di dalam ilmu kriminologi terdapat berbagai macam teori – teori yang dapat
digunakan untuk menganalisa mengenai sebab – sebab terjadinya suatu kejahatan.
Dalam teori tersebut terdapat berbagai persfektif yang berbeda tidak hanya pada
subjek penelitian tapi juga pada fokus atau sasaran penelitian.
Berikut beberapa teori mengenai sebab terjadinya suatu kejahatan :
26
1) Teori Konflik
George B Vold (1896 – 19670) adalah orang pertama yang
menghubungkan teori konflik dengan kriminologi, menurut pendapatnya individu
– individu terikat bersama dalam kelompok karena mereka social animals dengan
kebutuhan – kebutuhan yang sebaiknya dipenuhi melalui tindakan kolektif. Jika
kelompok itu melayani anggotanya, ia akan terus hidup tapi jika tidak maka
kelompok lain akan mengambil alih. Penjelasan Mark dan Angel tentang teori
konflik ini terdapat dalam beberapa dalil berikut ini (Topo Santoso –Eva Achjani
zulfa, 2001:107 )
a) Konflik kepentingan antara kelompok – kelompok berbeda akan
ditingkatkan oleh ketidak merataan distribusi sumer – sumber langka
(seperti sandang, pangan, papan dan sebagainya ).
b) Mereka yang menerima lebih sedikit akan mempertanyakan legitimasi
dari pengaturan, begitu mereka tau “perlakuan kasar” yang mereka
dapatkan.
c) Kelompok – kelompok ini kemudian cenderung mengorganisasikan dan
membawa konflik terbuka, dimana setelah mungkin terjadi polarisasi
dan kekerasan yang membawa redistribusi arus sumber – sumber
langkah - langkah tadi sehingga bisa diperoleh setiap orang.
Menurut pandangan mereka, kapitalisme merupakan akar dari
konflikkarena ia merupakan sumber dari ketidak samaan yang tidak adil. Pada
abad ke- 20, perspektif konpleks dari Marx dan Angel diterapkan secara khusus ke
dalam kriminologi oleh William Bonger, menurutnya di bawah kapitalisme
27
muncul pemisahan tajam antara penguasa dan yang dikuasai yang berasal dari
ekonomi itu sendiri. Bonger menelusuri segitu banyak kejahatan pada kemiskinan
yang disebabkan oleh kapitalisme. Kejahatan dilihat Bonger sebagai suatu produk
sistem ekonomi yang mendorong mentalitas tamak, egoistis, mengejar nomor satu
sementara pada saat yang bersamaan membuat yang kaya semakin kaya dan yang
miskin semakin miskin.
2. Teori Label
Teori label mempunyai perbedaan orientasi tentang kejahatan dengan teori
– teori kejahatan yang lain. Banyak pakar kriminologi menghubungkan teori
labeling dengan buku Frank Tannenbaum (1983), “crime and community” .
menurut Tannembaun, kejahatan tidaklah sepenuhnya merupakan hasil dari
kekurang mampuan seseorang untuk menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya.
Dengan demikian menurut Tannembaun kejahatan merupakan hasil dari konflik
antara kelompok dengan masyarakat yang lebih luas.
Pendekatan teori label dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu :
a) Persoalan labeling pertama, memperlakukan labeling sebagai
depending variabel atau tidak bebas dan keberadaannya memerlukan
penjelasan, labeling dalam arti ini adalah labeling sebagai akibat dari
reaksi masyarakat.
b) Persoalan labeling ke dua adalah bagaimana labeling
mempengaruhi seseorang yang terkena label /cap, memperlakukan
28
labeling sebagai variabel yang independen atau variabel
bebas/mempengaruhi.
Dalam kaitan ini, ada dua proses bagaimana labeling mempengaruhi
seseorang yang terkena label / cap untuk melakukan penyimpangan tingkah
lakunya.
Pertama, cap/ label tersebut menarik perhatian pengamat dan
mengakibatkan pengamat selalu memperhatikan dan kemudian seterusnya
cap/label tersebut melekat pada orang tua tersebut.
Kedua, label atau cap terebut sudah diadopsi oleh seseorang dan membawa
pengaruh pada dirinya ia mengetahui dengan sendirinya bagaimana cap/label
ersebut diberikan padanya oleh si pengamat.
Salah satu dari ke dua proses di atas dapat memperbesar penyimpangan
tingkah laku (kerja) dan membentuk karir kriminal seseorang.seseorang yang
telah memperoleh cap/label dengan sendirinya akan menjadi perhatian oleh orang
– orang yang ada di sekitarnya. Selanjutnya kewaspadaan dan perhatian orang –
orang di sekitarnya akan mempengaruhi orang yang dimaksud sehingga kejahatan
kedua dan selanjutnya akan memungkinkan terjadi lagi.
Dua konsep penting dalam teori labeling adalah “primary deviance” dan
“secondary deviance”.”primary deviance” ditujukan kepada perbuatan
penyimpangan tingkah laku awal, sedangkan “secondary deviance” adalah
berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang sebagai
akibat dari penangkapan dan cap sebagai penjahat. Sekali cap atau status ini
dilekatkan pada seseorang, maka sangat sulit orang yang bersangkutan oleh
29
selanjutnya melepaskan diri dari cap dimakud dan kemudian akan
mengidentifikasi dirinya dengan cap yang telah diberikan oleh masyarakat
terhadap dirinya.
3. Teori Sub - Kultur
Menurut Thorsten selling, conduct norms ( norma – norma yang mengatur
kehidupan kita sehari – hari) merupakan aturan – aturan yang merefleksikan sikap
– sikap dari kelompok yang masing – masing dari kita yang memilikinya. Tujuan
dari norma itu adalah untuk mendefenisikan apa yang dianggap sebagai tingkah
laku yang pantas dan yang tidak pantas (abnormal). Menurut Sellin setiap
kelompok memiliki masing – masing conduct norms yang mungkin bertentangan
dengan conduct norm kelompok lain. Seorang yang mengikuti norma
kelompoknya mungkin saja dipandang kelompoknya telah melakukan suatu
kejahatan apabila norma – norma kelompoknya itu bertentangan dengan norma –
norma di masyarakat secara dominan.jadi, perbedaan antara seorang kriminal
dengan non kriminal adalah masing – masing menanut conduct norm yang
berbeda.
Sub culture adalah suatu sub devisi di dalam budaya dominan yang
memiliki norma – norma, keyakinan – keyakinan, dan nilai–nilainya
sendiri.subculture biasanya timbul ketika orang – orang dalam keadaan serupa
mendapat diri mereka terpisah dari mainsteam (arus terbesar) masyarakat dan
mengikatkan diri bersama untuk aling mendukung. Subculture mungkin terbentuk
30
dengan anggota sesama suku atau ras minoritas, sesama para penghuni daerah
kumuh. Subculture hadir di dalam suatu masyarakat yang lebih besar, tidak
terpisah dari masyarakat itu.
4. Teori Anomi
Suatu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan melihat
pada bagian – bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana masing –
masing berhubungan satu sama lain. Jika masyarakat itu stabil, bagian –
bagiannya beroperasi secara lancar, susunan – susunannya berfungsi juga.
Masyarakat seperti ini ditandai oleh kepaduan, kerja sama dan kesepakatan.namun
jika bagian – bagian komponennya tertata dalam suatu keadaan yang
membahayakan keteraturan/ ketertiban sosial, susunan masyarakat itu disebut