TESIS MAGISTER EFEK PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN REGULER TERHADAP OUTCOME PASIEN STROKE AKUT LYDIA ADHANI DWI PUTRI 127041109 PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
123
Embed
TESIS MAGISTER EFEK PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN REGULER …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
1. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) ( Penguji )
2. dr. Darlan Djali Chan, Sp.S
3. dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K)
4. dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) ( Penguji )
5. DR. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K) ( Penguji )
6. DR. dr. Aldy Rambe, Sp.S(K)
7. dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S(K)
8. dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S
9. dr. Iskandar Nasution, Sp.S, FINS
10. dr. Cut Aria Arina, Sp.S
11. dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S
12. dr. Alfansuri Kadri, Sp.S
13. dr. Aida Fitri, Sp.S(K)
14. dr. Irina Kemala Nasution, M.Ked(Neu), Sp.S
15. dr. Haflin Soraya Hutagalung, M.Ked(Neu), Sp.S
16. dr. Fasihah Irfani Fitri, M.Ked(Neu), Sp.S
17. dr. RA. Dwi Pujiastuti, M. Ked(Neu), Sp.S
18. dr. Chairil Amin Batubara, M. Ked(Neu), Sp.S
19. dr. M. Yusuf,Sp.S FINS
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas
berkat, rahmat dan kasihNya yang telah memberikan kesempatan untuk
menyelesaikan penulisan tesis magister kedokteran klinik ini.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan penyelesaian program
magister kedokteran klinik pada Program Magister Kedokteran Klinik pada
Program Studi Magister Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan
dan ucapan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara dan Ketua TKP PPDS-I Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kepada
penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Magister
Kedokteran Klinik Spesialis Neurologi di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), selaku Guru Besar Tetap
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara / RSUP H. Adam Malik Medan yang dengan sepenuh hati telah
mendorong, membimbing, mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai
dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.
I
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vi
vi
3. dr. Rusli Dhanu,Sp.S(K), Ketua Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang banyak memberikan
masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesisi ni.
4. Dr. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S (K), Ketua Program Studi Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara di saat penulis
melakukan penelitian dan saat tesis ini selesai disusun yang banyak
memberikan masukan – masukan berharga kepada penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
5. dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K) selaku pembimbing penulis yang dengan
sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengoreksi dan
mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan
penyelesaian tesis ini.
6. dr, Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S (K) selaku pembimbing penulis yang
dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengoreksi dan
mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan
penyelesaian tesis ini.
7. Guru-guru penulis : (Alm.) Prof. dr. Darul Kutni Nasution, Sp.S(K); dr.
Darlan Djali Chan, Sp.S; Dr. dr. Aldy S Rambe,Sp.S(K); dr. Puji Pinta O.
Sinurat, Sp.S(K); dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S; dr. Iskandar Nasution,
Sp.S, FINS, Sp.S; dr. Cut Aria Arina, Sp.S; dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S; dr.
Alfansuri Kadri, Sp.S; dr. Aida Fithrie, Sp.S(K); dr. Irina Kemala
Nasution, M. Ked (Neu) Sp.S; dr. Haflin Soraya Hutagalung, M.Ked
(Neu), Sp.S; dr. RA. Dwipujiastuti, M.Ked (Neu) Sp.S, dr. Chairil Amin
ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vii
Batubara, M. Ked (Neu) Sp.S, dr. M Yusuf, Sp.S FINS dan guru lainnya
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak
memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan Magister
Kedokteran Klinik.
8. Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah
banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan
penulis dalam pembuatan tesis ini.
9. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, Rumah Sakit
TK II Putri Hijau Medan dan RumahSakit Haji Mina Medan yang telah
memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga penulis dapat mengikuti
Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik.
10. Rekan sejawat PPDS Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan dan
dorongan yang membangkitkan semangat penulis dalam penyelesaian
tesis ini.
11. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah
bertugas selama menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran
Klinik, serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani
Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik.
12. Semua pasien yang berobat ke Departemen Neurologi RSUP H. Adam
Malik Medan yang telah bersedia berpartisipasi secara suka rela dalam
penelitian ini.
iii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
viii
viii
13. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus – tulusnya penulis
ucapkan kepada orang tua saya, dr. H. Ilham Budiono,Sp.B dan Hj.
Andriana yang telah membesarkan saya dengan sepenuh hati dan
kasih sayang, dan senantiasa memberi dukungan moril, tenaga dan
materil, bimbingan dan nasehat yang berharga serta doa yang tiada
putus agar penulis dapat menyelesaikan Program Pendidikan Magister
Kedokteran Klinik Spesialis Neurologi.
14. Teristimewa kepada suami saya tercinta dr. Dahler Sandana Siregar
yang selalu dengan sabar dan penuh pengertian mendampingi dan
membantu dengan penuh cinta dan kasih saying dalam suka dan duka,
saya ucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya.
15. Terima kasih kepada anak saya tercinta Rifathra Aldyer Sandya Siregar
yang telah dengan sepenuh hari mendampingi dengan sepenuh cinta,
saya ucapkan terima kasih setulus – tulusnya.
16. Ucapan terima kasih kepada Bapak/Ibu mertua saya, AKBP (Purn). H.
Iskandar Siregar dan Hj. Masnurifah Das, yang selalu memberikan
dorongan, semangat dan nasehat serta doa yang tulus agar penulis
dapat menyelesaikan tesis ini.
17. Kepada seluruh keluarga, rekan dan sahabat yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu, yang senantiasa membantu, memberi dorongan,
pengertian dan doa dalam penyelesaian tesis ini, penulis ucapkan
terima kasih.
iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ix
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas semua jasa dan budi baik
mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam mewujudkan cita –
cita penulis. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 28 September 2017
Lydia Adhani Dwi Putri
v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
x
x
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap : dr. Lydia Adhani Dwi Putri
Tempat/tgl lahir : Medan, 23 Juli 1989
Agama : Islam
Nama Ayah : dr. H.Ilham Budiono, Sp.B
Nama Ibu : Hj. Andriana
Nama Suami : dr. Dahler Sandana Siregar
Nama Anak : Rifathra Aldyer Sandya Siregar
Riwayat Pendidikan
1. Sekolah Dasar di SD IKAL Medan, tamat tahun 2000
2. Sekolah Menengah Pertama di SLTP Kartika I-2, tamat tahun
2003.
3. Sekolah Menengah Umum di SMAN4 Medan, tamat tahun
2006.
4. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, tamat tahun
2012.
vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR i DAFTAR RIWAYAT HIDUP v DAFTAR ISI vii DAFTAR SINGKATAN ix DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xii ABSTRAK xiii ABSTRACT xiv BAB I PENDAHULUAN 1 I.1 LATAR BELAKANG 1 I.2 PERUMUSAN MASALAH 6 I.3 TUJUAN PENELITIAN 6 I.3.1 TUJUAN UMUM 6 I.3.2 TUJUAN KHUSUS 6 I.4 HIPOTESIS 7 I.5 MANFAAT PENELITIAN 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 II.1 STROKE ISKEMIK 9 II.1.1. DEFINISI 9 II.1.2. EPIDEMIOLOGI 9 II.1.3 FAKTOR RESIKO 11 II.1.4 PATOFISIOLOGI 12 II.1.5 KLASIFIKASI 14 II.1.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PENCITRAAN 18 II.2 STROKE HEMORAGIK 19 II.2.1. EPIDEMIOLOGI 21 II.2.2. KLASIFIKASI 24 II.2.3. ETIOLOGI 25 II.2.4. PATOFISIOLOGI 25 II.2.5. GAMBARAN KLINIS 30 II.2.6. PROGNOSIS 32 II.2.7. KOMPLIKASI 32 II.3 TERAPI OKSIGEN 33 II.3.1 SISTEM RESPIRASI 34 II.3.2 PUSAT KONTROL PERNAFASAN 35 II.3.3 GAGAL NAFAS 36 II.3.3.1 TIPE GAGAL NAFAS 36 II.3.3.2 MANAJEMEN 37 II.3.4 HIPOKSIA DAN HIPOKSEMIA 38 II.3.4.1. JENIS HIPOKSIA 43 II.3.5 DEFINISI TERAPI OKSIGEN 44
vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xii
xii
II.3.6 INDIKASI 44 II.3.7 TUJUAN TERAPI OKSIGEN 45 II.3.8 KONTRAINDIKASI 45 II.3.9 BAHAYA ATAU KOMPLIKASI 46 II.3.10 LANGKAH-LANGKAH TERAPI OKSIGEN 47 II.3.11 OXYGEN DELIVER SYSTEM 47 II.3.12 HIGH FLOW SYSTEM 48 II.3.13 LOW FLOW SYSTEM 49 II.3.14 MONITORING TERAPI OKSIGEN 51 II.3.15 PENGHENTIAN TERAPI OKSIGEN 53 II.4 PENILAIAN OUTCOME STROKE AKUT 54
II.5 KERANGKA TEORI 58 II.6 KERANGKA KONSEP 59
BAB III METODE PENELITIAN 60 III.1 TEMPAT DAN WAKTU 60 III.2 SUBJEK PENELITIAN 60 III.2.1 POPULASI SASARAN 60 III.2.2 POPULASI TERJANGKAU 60 III.2.3 BESAR SAMPEL 61 III.2.4 KRITERIA INKLUSI 62 III.2.5 KRITERIA EKSKLUSI 62
III.3 BATASAN OPERASIONAL 62 III.4 RANCANGAN PENELITIAN 65 III.5 PELAKSANAAN PENELITIAN 65 III.5.1.INSTRUMEN PENELITIAN 65 III.5.2 PENGAMBILAN SAMPEL 66 III.5.3 KERANGKA OPERASIONAL 67 III.5.4 VARIABEL YANG DIAMATI 68 III.5.5 ANALISA STATISTIK 68 III.5.6 JADWAL PENELITIAN 69 III.5.7 BIAYA PENELITIAN 70 III.5.8.PERSONALIA PENELITIAN 70 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 71 IV.1.HASIL PENELITIAN 71 IV.2.PEMBAHASAN 83 IV.3.KETERBATASAN PENELITIAN 89 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 90 DAFTAR PUSTAKA 92 LAMPIRAN
vii
viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xiii
DAFTAR SINGKATAN
AHA : American Hearth Association
ARDS ; Acute Respiratory Distress Syndrome
ASA : American Society of Anesthesiologists
ASNA : ASEAN Neurological Association
CBF : Cerebral Blood Flow
CO : Karbonmonoksida
CO2 : Karbondioksida
COPD : Chronic Obstructive Pulmonary Disease
CT : Computed Tomography
DO2 : Oxygen Delivery
DNA : Deoxyribonucleid Acid
FiO2 : Fraction of Inspired Oxygen
FK-USU : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Hb : Hemoglobin
Kg : Kilogram
LACI : Lacunar Infarct
MCI : Miocard Infarct
mL : mili Liter
mmHg : milimeter Hidragyrum
MRI : Magnetic Resonance Imaging
MRS : Modified Rankin Scale
O2 : Oksigen
PACI : Partial Anterior Circulation Infarct
PaO2 : Partial Pressure of O2
PCO2 : Partial Pressure of Carbondioxide
PEEP : Positive End Expiratory Pressure
POCI : Posterior Circulation Infarct
RA 4 : Rindu A 4
RINDU : Rawat Inap Terpadu
RS : Rumah Sakit
RSUPHAM : Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
SaO2 : Saturation of Oxygen
SPO2 : Saturation of Peripheral Oxygen
SPSS : Statistical Product and Science Service
TACI : Total Anterior Circulation Infarct
TIA : Transient Ischemic Attack
TOAST : Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment
VLDL : very-low-density lipoproteins
WHO : World Health Organization
ix
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xiv
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Penyebab Gagal Nafas Akut 39 Tabel 2 Acuan Pengambilan Sikap Terhadap Gangguan Respirasi (Kriteria Pontopidan) 52 Tabel 3 Perkiraan FiO2 Berdasarkan Oxygen Delivery Device 53 Tabel 4 Karakteristik Demografi Subyek Penelitian 72 Tabel 5 Hasil Pemeriksaan mRS Sebelum Dan Setelah Diberi Terapi Oksigen 73 Tabel 6 Hasil Pemeriksaan Barthel Index Sebelum Dan Setelah Diberi Terapi Oksigen 74 Tabel 7 Hubungan Usia dengan mRS dan Barthel Index pada hari Ke - 3 dan Ke – 14 75 Tabel 8 Hubungan Jenis Stroke Dengan mRS dan Barthel Index Pada Hari Ke-3 dan Ke-14 76 Tabel 9 Hubungan Tingkat Kesadaran Dengan mRS dan Barthel
Index pada Hari Ke-3 dan Ke-14 77 Tabel 10 Perbedaan Rerata mRS dan Barthel Index Berdasarkan Faktor Risiko Hipertensi 78 Tabel 11 Perbedaan Rerata mRS dan Barthel Index Berdasarkan
Usia 79 Tabel 12 Perbedaan Saturasi Oksigen Antara Pengukuran Pada Malam Dan Siang Hari 80 Tabel 13.1-4 Perbandingan Hasil Penelitian Dengan Penelitian Lainnya 86
x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Skema Hubungan Stroke Dan Terapi Oksigen 57 Gambar 2 Persentase mRS dari Hasil Pemeriksaan Hari Ke-0,3,14 74 Gambar 3 Rerata Barthel Index dari Hasil Pemeriksaan Hari
Ke-0,3,14 75 Gambar 4 Perbedaan Rerata Saturasi Oksigen Pada hari Pertama 81 Gambar 5 Perbedaan Rerata Saturasi Oksigen Pada hari Kedua 82 Gambar 6 Perbedaan Rerata Saturasi Oksigen Pada hari Ketiga 82
LATAR BELAKANG : Stroke berkaitan erat dengan oksigen ke otak. Oksigen seharusnya dianggap sebagai pengobatan. Hal ini ditentukan untuk mencegah / mengobati hipoksemia, tetapi tidak hiperkapnia atau sesak nafas, konsentrasi oksigen yang ditentukan bertujuan untuk membawa saturasi oksigen (SpO2) ke arah normal, atau mendekati normal. TUJUAN : Untuk mengetahui efek pemberian terapi O2 reguler terhadap outcome pasien stroke akut. METODE : Subjek penelitian diambil dari populasi pasien rumah sakit. Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode potong lintang dengan jumlah sampel sebanyak 56 orang. Semua penderita stroke akut yang telah ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan Head CT- scan yang dirawat di ruang rawat inap terpadu (Rindu) A4 Departemen Neurologi FK-USU / RSUP.H. Adam Malik Medan dan Rumah Sakit jejaringnya dengan onset ≤ 72 jam diambil secara konsekutif dan yang memenuhi kriteria inklusi. Untuk stroke ringan dan sedang akan dimasukkan kedalam sampel. Kemudian pasien akan diberi terapi O2 selama 72 jam, Pemantauan saturasi menggunakan pulse oximetry , setelah itu akan dinilai outcome dengan menggunakan mRS dan barthel index pada hari ke 3 dan 14. Selanjutnya dilakukan analisa data. HASIL : Penelitian ini diikuti oleh sebanyak 56 pasien yang mengalami stroke akut, dengan jumlah pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 37 orang (66,1%) dan rerata usia 56,75 tahun.Berdasarkan kategori skor mRS, 53 subyek (94,6%) memiliki outcome yang baik untuk seluruh hari pengamatan. Menurut pemeriksaan Barthel Index, terlihat konsistensi peningkatan sejak hari ke-0 sampai hari ke-14. Rerata BI pada hari ke 0 adalah 61,34, lalu rerata meningkat menjadi 78,93 pada hari ke-3 dan mencapai rerata tertinggi pada hari ke-14 yaitu sebesar 82,23. KESIMPULAN : Terdapat pengaruh pemberian terapi O2 reguler terhadap outcome pada pasien stroke akut walaupun secara statistik tidak signifikan Kata Kunci : Terapi Oksigen – Outcome – Stroke Akut
xiii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xviii
xviii
ABSTRACT
Background: Stroke is closely related to oxygen to the brain. Oxygen should be regarded as a treatment. This is determined to prevent / treat hypoxemia, but not hypercapnia or shortness of breath, the specified oxygen concentration aims to bring oxygen saturation (SpO2) to the normal direction, or near normal. Purpose : To determine the effect of regular O2 therapy on outcomes of acute stroke patients. Method: Research subjects were taken from hospital patient population. Determination of research subjects conducted according to cross sectional method with the number of samples of 56 people. All acute stroke sufferers have been established with anamnesis, physical examination, neurological examination, and examination of head CT scans treated in the RA4 Department of Neurology FK-USU / RSUP.H. Adam Malik Medan and his network of hospitals with an onset of ≤ 72 hours were taken consecutively and fulfilling the inclusion criteria. For mild and moderate strokes will be included the sample. Then the patient will be given O2 therapy for 72 hours, saturation monitoring using pulse oximetry, then it will be assessed outcome by using mRS and barthel index on day 3 and 14. Furthermore, data analysis is done. Result : This study was followed by 56 patients from acute stroke, with the number of patients with male gender as many as 37 people (66.1%) and mean age 56.75 years old.Based on category of mRS score, 53 subjects (94.6% ) Has a good outcome for the whole day of observation. According to Barthel Index examination, the consistency of the increase from day 0 to 14 days. The average of BI on day 0 was 61.34, then the average increased to 78.93 on the 3rd day and reached the highest average on day 14 which was 82.23. Conclusion: There is an effect of giving regular O2 therapy to outcomes in acute stroke patients although statistically insignificant Key word: Oxygen Therapy – Outcome – Acute Stroke
xiv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Stroke merupakan salah satu sindroma neurologi yang merupakan
ancaman terbesar menimbulkan kecacatan dalam kehidupan manusia.
Meningkatnya usia harapan hidup yang didorong oleh keberhasilan
pembangunan nasional dan berkembangnya modernisasi serta globalisasi di
Indonesia akan cenderung meningkatkan risiko terjadinya penyakit vaskular (
penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit arteri perifer ). Stroke
menyerang usia produktif dan lanjut usia yang berpotensi menimbulkan
masalah baru dalam pembangunan kesehatan secara nasional di kemudian
hari ( Misbach,2011 ).
Sementara itu terdapat juga data stroke di Indonesia berdasarkan
penelitian potong lintang multi senter di 28 rumah sakit dengan jumlah subyek
sebanyak 2065 orang pada bulan Oktober 1996 sampai bulan Maret 1997
(Misbach,2011).
Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus
stroke, baik dalam hal kematian, kejadian, maupun kecacatan ( Misbach,
2011).
Di satu sisi, modernisasi akan meningkatkan risiko stroke karena
perubahan pola hidup, sedangkan disisi lain meningkatnya usia harapan hidup
juga akan meningkatkan risiko terjadinya stroke karena bertambahnya jumlah
penduduk usia lanjut ( Misbach, 2011 ).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
Pada Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pada sampel yang
diteliti, perempuan ( 52,7%) tidak jauh berbeda dengan laki-laki ( 47,3%). Pada
studi oleh Misbach dkk pada 28 rumah sakit di Indonesia, kejadian pada
wanita lebih banyak dari pria (53,8% versus 46,2%). Sedangkan pada studi
Framingham kejadian pada pria rata-rata 2,5 kali lebih sering daripada wanita.
Insiden stroke pada pria 33% lebih tinggi dari wanita, sedangkan prevalensi
pria lebih tinggi 41% dari wanita. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian
Misbach dkk yang juga di Indonesia, tetapi berbeda dengan di Amerika Serikat
dan beberapa negara Eropa (Rambe AS, 2013).
Perdarahan otak memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada
beberapa subtipe stroke. Masing - masing yaitu, perdarahan intraserebral
(ICH) dan perdarahan subarakhnoid (PSA) yang berjumlah sekitar 15 % dan
5% dari 750.000 stroke yang muncul setiap tahun di Amerika Serikat, totalnya
lebih dari 45.000 pasien pertahun. Sekitar 45% perdarahan intraserebral
spontan dan 25% perdarahan subarakhnoid aneurisma yang meluas menuju
ventrikel. Untuk pasien dengan perdarahan intraserebral dan perdarahan
intraventrikel (IVH), diperkirakan mortalitas 50 - 80%. Pasien dengan
perdarahan intraventrikel memiliki dua kali outcome yang buruk (skor modified
Rankin scale [mRS] 4-6 pada waktu tiba di rumah sakit) (Hinson dkk, 2010).
Tuhrim dkk awalnya menegaskan IVH sebagai faktor resiko independen
untuk mortalitas hari ke- 30 setelah ICH dan mengembangkan contoh dimana
volume IVH berkontribusi signifikan untuk prediksi outcome bersama dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
skor GCS. Pasien dengan IVH ditambah dengan ICH memiliki GCS yang
rendah pada awalnya dan volume ICH yang besar. Kontribusi lainnya untuk
outcome termasuk jumlah ventrikel mengandung darah dan darah pada
ventrikel ke - empat (Hinson dkk , 2010)
Perdarahan intraserebral (ICH) spontan berjumlah seperlima dari seluruh
stroke. Hal tersebut merupakan kondisi yang buruk dengan mortalitas 30%
dan jumlah morbiditas yang tinggi diantara yang bertahan hidup. Kebanyakan
kasus timbul karena hipertensi atau amyloid angiopathy. Perluasan
intraventrikular akibat perdarahan intraserebral yang dapat muncul pada 45%
kasus yang diketahui sebagai prediktor independen untuk outcome yang buruk
dan beberapa studi telah menunjukkan hubungan langsung antara volume IVH
dan outcome buruk atau mortalitas (Hallevi dkk, 2009).
Stroke berkaitan erat dengan oksigen ke otak. Oksigen seharusnya
dianggap sebagai pengobatan. Hal ini ditentukan untuk mencegah / mengobati
hipoksemia, tetapi tidak hiperkapnia atau sesak nafas, konsentrasi oksigen
yang ditentukan bertujuan untuk membawa saturasi oksigen (SpO2) ke arah
normal, atau mendekati normal ( O’Driscoll dkk,2008 ).
Sebagian besar reaksi biokimia tubuh bergantung pada ketersediaan
oksigen. Suplai oksigen ke jaringan bergantung dari banyak faktor seperti
output, dan perfusi jaringan. Terapi oksigen diperlukan jika terjadi kegagalan
nafas pada banyak kondisi seperti asma berat, bronkitis kronik, pneumonia,
dan juga pada kasus-kasus neurologi terutama pada pasien tidak sadar. Untuk
itu perlu dilakukan upaya memenuhi kebutuhan oksigen dengan cara terapi
oksigen. Jumlah oksigen yang dibutuhkan bergantung kepada mekanisme
hipoksemia pada pasien ( Bustami dkk, 2012 ).
Tipe oxygen delivery device bergantung pada jumlah oksigen yang
diperlukan, pemilihan dokter dan pasien, serta efek samping potensial dari
berbagai konsentrasi oksigen. Agar terapi oksigen berjalan efektif dan tidak
terjadi efek samping, maka diperlukan tatalaksana yang sesuai ( Bustami dkk,
2012 ).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
II.3.1. Sistem Respirasi
Sistem respirasi berhubungan dengan hantaran oksigen ke jaringan dan
pembuangan karbondioksida dari sel-sel tubuh dan menjaga keseimbangan
asam-basa dalam tubuh. Suplai oksigen dan pembuangan karbondioksida
bergantung pada fungsi optimal dari sistem respirasi seperti dinding dada dan
otot-otot pernafasan, jalan nafas dan paru-paru, susunan saraf pusat
(termasuk pusat pernafasan di medulla), medulla spinalis, dan sistem
endokrin. Gangguan pada salah satu sistem ini dapat mengakibatkan
terjadinya gagal nafas .Terdapat 5 (lima) hal penting yang berperan dalam
sistem respirasi, yaitu (Bustami dkk,2012)
1.Kontrol respirasi
Trigger pernafasan ini sangat bergantung dari stimulasi yaitu ketersediaan
karbondioksida yang akan melepaskan ion hidrogen. Ion hidrogen ini akan
menstimulasi pusat pernafasn yang terletak di medulla oblongata. Pada
penyakit tertentu seperti stroke di medulla oblongata. Henti nafas dapat terjadi.
Proses patologis intraserebral tahap lanjut juga dapat menyebabkan gangguan
pada pusat pernafasan.
2.Struktur anatomi
Otot pernafasan ( diafragma dan otot interkostalis ) sangat berperan
penting dalam menciptakan tekanan negatif yang terjadi dalam proses
inspirasi. Kelemahan otot pernafasan dapat disebabkan karena gangguan
pada nervus frenikus misalnya pada trauma medulla spinalis segmen servikal
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
2-5 atau gangguan radiks medulla spinalis atau dapat juga disebabkan oleh
penyakit neuromuskular seperti miastenia gravis dan sindrom Guillain Barre.
3.Ventilasi paru
Jalan nafas merupakan komponen yang sangat berperan dalam proses
pernafasan. Pada sumbatan jalan nafas akan terjadi gangguan pertukaran gas
di alveoli. Gangguan atau proses patologis di alveoli seperti tuberkulosis paru
akan mengganggu ventilasi paru.
4. Transportasi gas
Oksigen yang sampai ke paru akan dibawa ke seluruh jaringan. Agar
hambatan oksigen optimal maka diperlukan aliran darah yang memadai ke
otak, jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh darah, jumlah eritrosit, dan
jumlah oksigen dalam arteri (DO2 serebral CBF x Hb x SaO2 x 10
5. Pertukaran gas
Setelah sampai di jaringan maka terjadilah pernafasan di tingkat selular.
Pada keadaan gangguan sel seperti pada keracunan sianida terjadi gangguan
pernafasan jaringan.
II.3.2. Pusat Kontrol Pernapasan ( Respiratory control centers )
Sel saraf pengontrol pernapasan terletak berpencar di beberapa level,
yaitu di batang otak ( pons dan medulla oblongata ) serta di korteks. Sentrum
pernapasan yang terdapat pada medulla oblongata berperan untuk
pernapasan spontan ( involuntary ). Sentrum pernapasan yang terdapat pada
pons berupa apneustic center dan pneumotaxic center. Apneustic center
bekerja melalui mekanisme penghambatan inspirasi sedangkan pneumotaxic
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
center mengatur pola pernapasan berdasarkan stimuli hipoksia, stimuli
hiperkapnia, dan stimuli inflasi paru. Sentrum pernapasan yang terdapat di
korteks berperan untuk pernapasan yang voluntary (disadari) disebut juga
sebagai behaviour related control of breathing (Djojodibroto, 2009).
II.3.3. GAGAL NAFAS
Selama kegagalan pernafasan, terjadi ketidakmampuan menjaga gas
darah arteri dalam batas normal, sedangkan tekanan parsial oksigen biasanya
di bawah 60 mmHg dengan atau tanpa tekanan parsial karbondioksida di atas
49 mmHg di darah arteri ( Bustami dkk,2012 ).
II.3.3.1 Tipe Gagal Nafas
Gagal nafas bisa bersifat akut atau kronik. Gagal nafas akut terjadi
mendadak atau perlahan jika paru-paru sudah sakit sebelumnya, sedangkan
gagal nafas kronikterjadi perlahan akibat underlying penyakit paru. Gagal
nafas juga dapat terjadi meskipun paru-paru normal misalnya pada gangguan
sistem saraf, dinding dada, atau jalan nafas bagisn atas. Pertukaran gas yang
tidak adekuat yang menyebabkan hipoksemia dan hiperkarbia disebut gagal
nafas tipe 1, sedangkan ventilasi yang tidak adekuat yang menyebabkan
hipoksemia dan hiperkarbia disebut gagal nafas tipe 2 (Bustami dkk,2012).
• Gagal nafas tipe 1
Disebut gagal nafas hipoksemik. Pada keadaan ini terjadi kegagalan
oksigenasi jaringan. PaO2 < 60 mmHg sementara PCO2 normal atau
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
rendah. Penyebab yang sering adalah kondisi infeksi, pneumonia,
edema paru, dan ARDS.
• Gagal nafas tipe 2
Disebut gagal nafas hiperkapnia (peningkatan karbondioksida) atau
kegagalan pompa respirasi. Ventilasi alveolar tidak cukup untuk
mengekskresi karbondioksida disertai dengan hipoksemia. PCO2 > 45
mmHg. Penyebab yang sering adalah COPD (chronic obstructive
pulmonary disease), asma bronkial, penyakit neuromuskular, deformitas
dinding dada, overdosis obat, dan trauma dada (Tabel 1).
II.3.3.2. Manajemen
Tujuan terapi pada gagal nafas adalah untuk mencapai dan
mempertahankan pertukaran gas yang adekuat dan mengembalikan proses
pemicu yang menyebabkan kegagalan tersebut. Pada gagal nafas tipe 1,
konsentrasi oksigen tinggi diberikan untuk mengoreksi hipoksemia. Harus
ditentukan apakah keadaan hipoksemia tersebut dapat diperbaiki hanya
dengan terapi oksigen, atau memerlukan intervensi oksigen dan ventilatori.
Keputusan dibuat atas ada atau tidaknya hiperkapnia dan penyakit paru.
Pasien dengan ARDS tidak membaik bila hanya diberikan terapi oksigen, perlu
juga diberikan ventilasi mekanik ( PEEP- positive end expiratory pressure ).
Pada gagal nafas tipe 2 dengan paru yang normal sebelumnya, terdapat
ventilasi alveolar yang tidak adekuat, sehingga pada pasien ini diperlukan
ventilasi tambahan ( ventilatory assistance ). Pada pasien dengan penyakit
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
paru sebelumnya seperti pada COPD eksaserbasi akut, kontrol terapi oksigen
diperlukan. Ventilasi mekanik harus dihindari pada pasien dengan COPD
karena weaning sulit dilakukan (Bustami dkk,2012).
II.3.4. HIPOKSIA DAN HIPOKSEMIA
Kedua istilah ini sering tertukar satu sama lainnya. Hipoksia adalah
kurangnya kadar oksigen pada tingkat selular, ambilan dan pemakaian
oksigen selular yang tidak adekuat, penurunan oksigen untuk pernafasan
jaringan, atau tekanan oksigen di tingkat selular yang tidak adekuat.
Sedangkan, hipoksemia adalah penurunan tekanan parsial oksigen darah
arteri ( normal 85-100 mmHg ), defisiensi oksigen relatif dalam arteri, atau
penurunan konsentrasi oksigen dalam arteri ( Bustami dkk,2012 ).
Pada hipoksemia akan terjadi respon fisiologis pada sistem respirasi,
kardiovaskular, dan hematologi. Pada sistem repirasi akan terjadi peningkatan
ventilasi sehingga PaO2 akan meningkat, namun apabila hal ini dibiarkan akan
terjadi peningkatan kerja otot pernafasan dan pada tingkatan tertentu akan
berakibat kelelahan otot pernapasan. Pada sistem kardiovaskular dapat
berefek peningjkatan denyut jantung dan volume cardiac output, dan dapat
juga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner. Kompensasi pada
sistem ini akan berdampak membaiknya ventilatory-perfusion matching,
meningkatnya PaO2 ,dan hantaran oksigen. Namun, pada proses lanjut akan
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan arteri pulmoner. Pada sistem
hematologi akan terjadi peningkatan eritropoetin dan menaikkan konsentrasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
hemoglobin,sehingga akan berefek peningkatan kapasitas pembawa oksigen.
Namun, pada tahap lanjut akan berakibat peningkatan kerja jantung. Hipoksia
akan berdampak terjadinya kegagalan metabolisme di tingkat selular di
jaringan yang menyebabkan kekurangan ATP dan dihasilkannya laktat
sebagai hasil metabolisme anaerobik (Bustami dkk, 2012).
Tabel 1. Penyebab Gagal Nafas Akut
A. Defek Ventilasi - Depresi pusat pernafasan
• Obat-obatan : narkotika, anestesi, sedatif
• Infark serebri
• Cedera kepala - Penyakit neuromuskular
• Miastenia gravis
• Sindrom Guillain Barre
• Cedera kepala atau medulla spinalis
• Polio, porfiria, botulisme - Obstruksi jalan nafas
• Penyakit paru obstruktif kronik
• Asma berat akut - Defek restriktif
• Penyakit paru interstisial
• Kifoskoliosis, ankylosing spondylitis
• Kelumpuhan difragma bilateral
• Obesitas berat B. Gangguan Difusi dan Pertukaran Gas - Edema paru - ARDS - Tromboemboli paru - Fibrosis paru C. Abnormalitasi Ventilasi-Perfusi - COPD - Fibrosis paru - ARDS - Tromboemboli paru
Dikutip dari : Bustami, M., Retnaningsih., Jannis, J., Sobaryati., Musridharta, E., et al. 2012. Advanced Neuro critical Care Support. Indonesia Neurological Association. Jakarta.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
Pada hipoksemia akan terjadi respon fisiologis pada sistem respirasi,
kardiovaskular, dan hematologi. Pada sistem repirasi akan terjadi peningkatan
ventilasi sehingga PaO2 akan meningkat, namun apabila hal ini dibiarkan akan
terjadi peningkatan kerja otot pernafasan dan pada tingkatan tertentu akan
berakibat kelelahan otot pernapasan. Pada sistem kardiovaskular dapat
berefek peningjkatan denyut jantung dan volume cardiac output, dan dapat
juga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner. Kompensasi pada
sistem ini akan berdampak membaiknya ventilatory-perfusion matching,
meningkatnya PaO2 ,dan hantaran oksigen. Namun, pada proses lanjut akan
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan arteri pulmoner. Pada sistem
hematologi akan terjadi peningkatan eritropoetin dan menaikkan konsentrasi
hemoglobin,sehingga akan berefek peningkatan kapasitas pembawa oksigen.
Namun, pada tahap lanjut akan berakibat peningkatan kerja jantung. Hipoksia
akan berdampak terjadinya kegagalan metabolisme di tingkat selular di
jaringan yang menyebabkan kekurangan ATP dan dihasilkannya laktat
sebagai hasil metabolisme anaerobik (Bustami dkk, 2012).
Gambaran umum terjadinya hipoksemia antara lain gelisah, palpitasi,
berkeringat, gangguan kesadaran, nyeri kepala, konfusi/bingung, dan sianosis.
Tekanan darah dapat meningkat, namun akan turun seiring dengan
memberatnya keadaan hipoksemia. Hiperkapnia menyertai hipoksemia.
Hiperkapnia menyertai hipoksemia bila terdapat hipoventilasi. Pada gagal
nafas akut dibutuhkan konsentrasi oksigen yang tinggi pada saat awal untuk
mengoreksi keadaan hipoksemia untuk mencegah kerusakan organ. Tidak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
hanya memperbaiki PaO2, namun hantaran oksigen ke jaringan dan alat yang
sesuai juga penting (Bustami dkk,2012).
Hipoksia pada umumnya terjadi setelah stroke dan bisa berdampak
merugikan secara signifikan terhadap stroke iskemik (Shulter, 2000). Hipoksia
sangat mungkin terjadi pada saat pasien cenderung tidak diamati secara
intensif, misalnya saat dilakukan pemeriksaan Head CT Scan, saat
perpindahan dari IGD ke bangsal, dan pada malam hari ( Rowat dkk, 2006 ).
Di unit stroke akut, saturasi oksigen dinilai setiap 6 jam, 52% pasien
stroke dengan saturasi oksigen normal di siang hari mengalami enam menit
atau lebih mengalami hipoksia di malam hari berdasarkan analisa continuous
pulse oxymetry, 23% mengalami hipoksia selama lebih dari 30 menit, dan
15% selama lebih dari 1 jam ( Roffe dkk, 2003 ).
Walaupun continuous pulse oxymetry tersedia di sebagian besar unit
stroke, namun ditandai dengan bunyinya alarm palsu yang disebabkan
pergeseran posisi jari. Pengobatan hipoksia segera dan efektif mungkin
merupakan salah satu alasan mengapa pasien yang dirawat di unit stroke
memperoleh hasil yang lebih baik. Pasien kemungkinan besar menerima
oksigen daripada di bangsal ( Indredavik dkk, 1999).
Terapi oksigen yang diberikan selama beberapa hari pertama setelah
stroke memperoleh hasil yang baik ( Roffe dkk, 2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
II.3.4.1. Jenis Hipoksia
1. Hipoksia hipoksik
hal ini terjadi akibat rendahnya tekanan oksigen arteri ( PaO2) yang
diakibatkan oleh konsentrasi oksigen onspirasi yang rendah ( FiO2 < 21%) atau
pada tempat dengan tekanan barometer yang rendah seperti berada pada
ketinggian.Selain itu juga dapat akibat gangguan ventilasi akibat kelemahan
otot-otot pernafasan atau overdosis narkotik atau akibat gangguan oksigenasi
akibat fibrosis paru atau ARDS.
2. Hipoksia sirkulatorik
Terjadi akibat pemompaan darah ke jaringan tidak adekuat disebabkan
penurunan output jantung seperti pada infark miokard, volume cairan rendah,
hipotensi atau suplai arteri jelek. Ini merupakan alasan pada setiap pasien
infark miokard akut hendaklah diberikan oksigen.
3. Hipoksia hemik
Hal ini terjadi akibat penurunan kapasitas pembawa oksigen seperti
pada anemia atau keracunan karbon monoksida ( CO ).
4. Hipoksia demand
Akibat peningkatan konsumsi oksigen jaringan pada keadaan status
hipermetabolik seperti demam.
5. Hipoksia histotoksik
Hipoksia jenis ini akibat pemakaian oksigen abnormal sepertipada
keracunan sianida.(Bustami dkk,2012).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
II.3.5. Definisi Terapi Oksigen
Definisi terapi oksigen adalah usaha untuk meningkatkan fraksi
konsentrasi oksigen yang di inspirasi ( FiO2 ) oleh pasien dengan
menggunakan berbagai oxygen deliver device yang terhubung dengan oksigen
medis. Oksigen dapat diberikan dengan dilembabkan (humidity) terlebih
dahulu ataupun tidak ( Bustami dkk,2012 ).
II.3.6. Indikasi
1. PaO2 < 60 mmHg atau SaO2 < 90%
2. Hipoksemia
3. Kondisi hipermetabolik seperti MCI akut, stroke akut, dan trauma berat
4. Meningkatnya kerja pernafasan
5. Meningkatnya kerja otot jantung
6. Hipertensi pulmoner
Oksigen dapat diberikan dengan konsentrasi tinggi ataupun rendah
pada kondisi yang berhubungan dengan hipoksemia. Pada COPD terdapat
risiko hiperkarbia, harus digunakan konsentrasi rendah. Pada kondisi paru
akut ( tanpa underlying penyakit paru kronik ) seperti emboli paru, pneumonia,
tension pneumotoraks, asma berat akut, edema paru, dan infark miokard
dapat diberikan konsentrasi oksigen yang tinggi. Sama halnya dengan
fibrosing alveolitis, pada keadaan ini tidak terdapat retensi CO2 , konsentrasi
tinggi dapat diberikan karena tidak adanya bahaya menginduksi hipoventilasi.
Menjaga PaO2 > 60 mmHg memberikan saturasi O2 90%. Selama eksaserbasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
akut COPD, dorongan (drive) kemoreseptor untuk bernafas tidak berfungsi,
sehingga ventilasi alveolar menurun. Hipoksemia harus dikurangi dengan
pemberian oksigen pad konsentrasi 24% untuk memperbaiki oksigenasi tanpa
tergantung pada kecepatan aliran oksigen, reservoir oksigen, dan pola
ventilasi pasien. Perlu diingat bahwa low flow bukan berarti low oxygen
concentration ( Tabel 3 ) ( Bustami dkk,2012 ).
1.Nasal Kanul
Nasal kanul terdiri dari 2 cabang yang dimasukkan ke dalam lubang
hidung. Keuntungan bagi pasien adalah kurang klaustrofobik dibanding alat
yang lain, dan tidak mengganggu aktivitas makan, minum, dan komunikasi.
Dengan metode ini akan meningkatkan FiO2 2%-4% untuk setiap liter
kecepatan aliran O2 yang diberikan. Dengan metode ini hanya dapat
mengalirkan oksigen dengan baik dan efektif bila kecepatan maksimum 6
liter/menit. Konsentrasi oksigen inspirasi yang dapat diharapkan berkisar 24-
44% ( tergantung pola ventilasi pasien ). Sedangkan kecepatan aliran > 6
l/menit tidak signifikan lagi meningkatkan FiO2, hal ini terjadi karena
keterbatasan reservoir yaitu rongga hidung ( anatomy dead space ). Perlu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
diperhatikan, aliran yang tinggi ( >4 l/menit )dan pemberian jangka lama akan
merusak mukosa hidung. Disarankan memakai humidifikasi kanula hidung
dengan bubble device ( Bustami dkk,2012 ).
2. Oksigen Sederhana ( Simple Mask )
Metode ini akan dapat meningkatkan FiO2 31-61% dengan kecepatan
aliran 5-10 l/menit. Reservoir simple mask, ruang antara masker dan wajah
pasien, ditujukan untuk menyimpan cadangan oksigen yang akan digunakan
untuk pernafasan berikutnya sehingga dapat meningkatkan konsentrasi
oksigen. Aliran < 6 l/menit tidak direkomendasikan karena tidak dapat
mengeluarkan CO2 dari masker (Bustami dkk,2012).
3. Partial Rebreathing Mask
Alat bantu terapi oksigen ini mirip dengan simple mask hanya dengan
tambahan kantong reservoir oksigen ( kantong udara ). Dengan tambahan
reservoir ini diharapkan dapat menampung oksigen murni lebih banyak
sehingga akan meningkatkan FiO2 > 60%. Perlu diperhatikan adalah
memastikan saat inspirasi kantong mengempis ( mengecil ) sekitar 1/3 nya
saja (Bustami dkk,2012).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
4. Non Rebreathing Mask
Pada sistem yang menggunakan alat ini aliran udara inspirasi
diharapkan lebih tinggi karena alat dilengkapi dengan membran yang akan
menjaga seminimal mungkin percampuran antara oksigen murni dengan CO2
hasil ekspirasi. Alat ini dapat meningkatkan konsentrasi O2 paling tinggi
diantara simple oxygen devices. Konsentrasi oksigen ( FiO2 ) dapat mencapai
100% ( 60%-90%), tergantung dari ada atau tidaknya kebocoran antara
masker dan wajah. Agar kantong tetap mengembang selama inspirasi maka
aliran oksigen harus tinggi (>10L/menit) (Bustami dkk,2012).
II.3.14. Monitoring Terapi Oksigen
Terapi oksigen harus diberikan terus-menerus dan tidak boleh
dihentikan mendadak sebelum pasien mengalami perbaikan , karena
penghentian mendadak justru dapat menyebabkan penyimpanan oksigen
tubuh menurun sehingga terjadi penurunan tekanan oksigen tubuh menurun
sehingga terjadi penurunan tekanan oksigen alveolar. Dosis oksigen harus
diperhitungkan dengan cermat. Apabila dengan alat tertentu belum memadai
untuk mengganti dengan alat yang lain yang lebih meningkatkan konsentrasi
oksigen. Begitu juga sebaliknya, apabila dengan alat tertentu sudah dapat
mengatasi hipoksia dan pasien sudah stabil, maka sebaiknya beralih ke cara
yang lebih sederhana (Bustami dkk,2012).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
Tekanan parsial oksigen dapat diukur dengan darah arteri. PO2 arteri
sebesar 60 mmHg dapat menyediakan saturasi 90%, namun jika terdapat
asidosis maka dibutuhkan PaO2 > 80 mmHg. Pada pasien dengan gagal nafas,
keadaan anemia harus diperbaiki supaya transpor oksigen ke jaringan
adekuat. Peningkatan tekanan oksigen arteri menghasilkan kenaikan saturasi
hemoglobin yang signifikan. Pada keadaan normal, tidak ada keuntungan
menaikkan PaO2 > 60-80 mmHg. Peningkatan konsentrasi oksigen 1% akan
meningkatkan tekanan oksigen 7 mmHg. Pengukuran gas darah arteri
berulang terkadang sulit dilakukan, sehingga teknik non-invasif yang
sederhana seperti oksimeter dapat digunakan untuk menilai terapi oksigen
(Bustami dkk,2012).Beberapa hal yang diperlukan dalam pemantauan terapi
oksigen (Bustami dkk,2012)
- Evaluasi gejala klinis
- Pulse oxymetry
- Kapnograf
- Analisa gas darah
- Foto toraks
- Ekg
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
Tabel 2. Acuan Pengambilan Sikap terhadap Gangguan Respirasi
(Kriteria Pontopidan)
No .
Parameter Acceptable Range
Fisioterapi Terapi oksigen Pemantauan Ketat
Intubasi Trakeostomi Ventilasi
1 Frekuensi nafas 12-25 23-35 >35
2 Kapasitas vital paru ( mL/kg)
70-30 30-15 <15
3. Gas darah( mmHg ) PaO2
PaCO
AaDO2
100-70 (udara) 35-45 50-200
200-70 (O2 mask) 45-60 200-350
<70 ( O2 mask) .>60 >350
4 VD/VT 0,3-0,4 0,4-0,6 >0,6
5 Inspiration force 100-50 50-25 <25
Dikutip dari : Bustami, M., Retnaningsih., Jannis, J., Sobaryati., Musridharta, E., et al. 2012. Advanced Neuro critical Care Support. Indonesia Neurological Association. Jakarta.
II.3.15. Penghentian Terapi Oksigen
Weaning dipikirkan jika pasien sudah lebih nyaman, penyakit
mendasar stabil, tekanan darah, ferkuensi nadi, frekuensi pernafasan, warna
kulit, dan oksimetri dalam rentang normal. Weaning dapat dilakukan perlahan
dengan menghentikan atau menurunkan konsentrasi secara bertahap
misalnya setiap 30 menit, dan dilakukan re-evaluasi terhadap parameter klinis
dan SpO2 secara periodik. Pasien dengan penyakit paru kronik mungkin
memerluksn konsentrasi oksigen dalam waktu yang lama (Bustami dkk, 2012).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
Tabel 3. Perkiraan FiO2 berdasarkan Oxygen Delivery Device
Oxygen Delivery Devices
Perkiraan FiO2 Flow rate ( L/menit)
Nasal Kanul 24% 28% 32% 36% 40% 44%
1 2 3 4 5 6
Simple Face Mask 40-60% 5-8
Partial Rebreathing Mask
60-80% 8-15
Non Rebreathing Mask 85-100% 10-15
Venturi Mask 24% 26% 28% 31% 35% 40% 50%
3 3 6 6 9 12 15
Dikutip dari :Bustami, M., Retnaningsih., Jannis, J., Sobaryati., Musridharta, E., et al. 2012. Advanced Neuro critical Care Support. Indonesia Neurological Association. Jakarta. II.4. PENILAIAN OUTCOME STROKE AKUT
Indeks bartel diperkenalkan oleh Mahoney dan Barthel tahun 1965
untuk memeriksa status fungsional dan kemampuan pergerakkan
otot/ekstremitas pada pasien penderita penyakit kronik di rumah sakit
Maryland. Wade tahun 1992, mempergunakan indeks barthel ini untuk
mengevaluasi keterbatasan/ketidakmampuan melakukan aktivitas tertentu saat
pasien akan keluar dari rumah sakit. Indeks ini direkomendasikan sebagai
salah satu instrumen yang sering dipakai untuk menilai keterbatasan kegiatan
keseharian kehidupan (Misbach,2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
Keunggulan indeks barthel ini mempunyai reliabilitas dan validitas yang
tinggi mudah dan cukup sensitif untuk mengukur perubahan fungsi serta
keberhasilan rehabilitasi. Kelemahannya, indeks ini tidak merupakan skala
ordinat dan tiap penilaiannya tidak menunjukkan berat atau ringannya fungsi
kehidupan kesehariannya ( Misbach, 2011 ).
Ada dua versi , yaitu versi Wade dan Collin (1988) memuat 10 penilaian
dengan total nilai antara 0 (total ketergantungan) sampai 100 (normal) dan
versi Granger, 1982 memuat 15 penilaian dengan nilai antara 0-100. Yang
banyak dipakai karena cukup sederhana adalah versi Wade dan Collin (
Misbach, 2011).
Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan
sebagai impairments, disabilitas dan handicaps. Oleh WHO membuat batasan
sebagai berikut (Caplan, 2009) (Misbach , 2011) :
1. Impairments : menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis
dan anatomis yang disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi, fisioterapi,
terapi okupasional ditujukan untuk menetapkan kelainan ini.
2. Disabilitas adalah setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk
berbuat sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan orang yang sehat
seperti : tidak bisa berjalan, menelan dan melihat akibat pengaruh
stroke.
3. Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seseorang penderita
stroke berperan sebagai manusia normal akibat ”impairment” atau
“disability” tersebut .
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
Modified Rankin Scale merupakan suatu alat pengukuran keterbatasan
fungsional pasca stroke. Alat ukur ini lebih global dibandingkan dengan indeks
Barthel. Hasil penilaiannya adalah secara umum terdiri dari 5 angka, yaitu :
keterbatasan berat, keterbatasan berat sedang, keterbatasan sedang,
keterbatasan ringan dan keterbatasan tak bermakna. Penilaian meliputi
kaspek kehidupan pribadi sehari - hari yaitu : eating, toilet, daily hygiene,
walking, prepare meal, household expenses, local travel, local shopping dan
kehidupan sosial yaitu bekerja, tanggung jawab keluarga, aktivitas sosial,
hiburan ( Misbach , 2011). Pada penelitian sebelumnya di dapat nilai statistik
terhadap pasien stroke akut yang mendapat terapi O2 dengan nilai mRS <3 56
( 44% ) dan pada kelompok kontrol 58 ( 45% ) ( Ali dkk, 2013).
Modified Rankin Scale (mRS) merupakan skala rating outcome global
dengan nilai dari 0 (tidak ada gangguan) hingga 5 (hanya terbaring ditempat
tidur, inkontinensia, membutuhkan perawatan dan perhatian menetap) dan 6
(outcome fatal) (Weimar dkk, 2002). Bila mRS 1-3, dikelompokkan sebagai
outcome baik sedangkan mRS 4-6 dikelompokkan sebagai outcome jelek
(Painthakar, 2003).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
Kematian Sel
Gambar 1. Skema Hubungan Stroke Dan Terapi Oksigen
↓ Aliran Darah Otak
Hipoksia
↓ PaO2 ↓Glukosa
Terapi O2
↓ ATP
Kegagalan Pompa Na+/K+
Depolarisasi
Stroke
Stroke Iskemik Stroke Hemoragik
Kerusakan Jaringan Otak
Pelepasan Glutamat
Kanal Ca++
terbuka
Reseptor metabotropik
Reseptor NMDA
Reseptor AMPA
Influks Ca++ Pelepasan Ca++
↑ Ca++ Intrasel
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
II.4. KERANGKA TEORI
↓ Aliran Darah Otak
Hipoksia
↓ PaO2 ↓Glukosa
Terapi O2
↓ ATP
Kegagalan Pompa Na+/K+
Depolarisasi
Stroke
Stroke Iskemik Stroke Hemoragik
Kerusakan Jaringan Otak
Pelepasan Glutamat
Kanal Ca++
terbuka
Reseptor metabotropik
Reseptor NMDA
Reseptor AMPA
Influks Ca++ Pelepasan Ca++
↑ Ca++ Intrasel
Kematian sel
Misbach dkk,2007: Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi berantai yang berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur-unsur pendukungnya.
Roffe dkk,2003: Hipoksia
yang terjadi dalam kurun waktu beberapa hari setelah stroke akan mengakibatkan dampak negatif terhadap sel didalam penumbra iskemik dan memperburuk defisit neurologi dan outcome.
Sjahrir,2003: Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara
bertahap.
Bustami dkk,2012: Terapi oksigen harus diberikan secara kontinyu dan tidak boleh dihentikan mendadak sebelum pasien mengalami perbaikan
Ali dkk,2013: Terapi
oksigen bisa meningkatkan pemulihan neurologik dini
Outcome
Kennedy dkk,2012:Pengukuran Outcome yang lebih dipilih untuk uji akut adalah mRS, dinilai 3 bulan setelah onset stroke atau lebih.
Misbach dkk,2011 : Barthel Indeks direkomendasikan sebagai salah satu instrumen yang sering dipakai untuk menilai keterbatasan kegiatan keseharian kehidupan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
II.5. KERANGKA KONSEP
Stroke Akut
Terapi Oksigen 2 l/i via nasal kanul
Outcome :
- Indeks Barthel
- mRS
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK USU / RSUP H.
Adam Medan dan Rumah Sakit jejaringnya dari tanggal 29 Desember 2015
sampai dengan 28 Juli 2017 atau sampai sampel penelitian terpenuhi.
III.2. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian diambil dari populasi pasien rumah sakit. Penentuan
subjek penelitian dilakukan menurut metode potong lintang
III.2.1. Populasi Sasaran
Semua penderita stroke akut yang ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan Head CT Scan .
III.2.2. Populasi Terjangkau
Semua penderita stroke akut yang dirawat di ruang rawat inap terpadu
(Rindu) A4 Departemen Neurologi FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan dan
Rumah Sakit jejaringnya.
III.2.3. Besar Sampel
Besar sampel dihitung menurut rumus :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
2)(11 PaQaZPoQoZ
(Po-Pa)2
Dimana :
1Z
= Deviasi baku alpha, utk = 5% maka nilai baku normalnya
1,96
)1( Z
= Deviasi baku beta, utk = 20% maka nilai baku normalnya
0,842
Po = Proporsi outcome baik pada penderita stroke akut yang
mendapat terapi O2 0,44 ( Ali K, 2013 ) .
Pa =Proporsi yang diamati diperkirakan 0,26
)74,026,0842,056,044,096,1 n
( 0,44-0,26)2
Jadi untuk besar sampel berjumlah minimal : 56 orang
III.2.4. Kriteria Inklusi
1. Semua penderita stroke akut dengan onset ≤ 72 jam yang telah ditegakkan
dengan anamnesis, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan Head CT
scan.
2. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian ini
57
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
III.2.5. Kriteria Eksklusi
1. Pasien stroke yang kontraindikasi untuk pengobatan oksigen 2 liter/menit
(misalnya: gagal pernafasan tipe II).
2. Pasien Stroke dengan penyakit lain yang lebih berat
3. Pasien dengan keparahan penyakit yang dapat mengancam
jiwa untuk beberapa bulan kedepan.
III.3. BATASAN OPERASIONAL
1. Stroke adalah suatu episode dari disfungsi neurologis yang dianggap
disebabkan oleh iskemia atau hemoragik, bertahan ≥ 24 jam atau meninggal,
tapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan ( Sacco dkk,
2013 ).
2.Stroke iskemik adalah suatu episode disfungsi neurologik yang disebabkan
1 Tidak ada disabilitas yang signifikan walaupun ada keluhan, namun dapat membawa semua kebutuhannya untuk aktivitas hariannya
2 Disabilitas ringan; tidak dapat membawa beberapa benda untuk kebutuhan aktivitas hariannya, tetapi dapat menolong diri sendiri tanpa bantuan orang lain
3 Disabilitas sedang, membutuhkan bantuan orang lain untuk semua aktivitasnya tetapi masih mampu berjalan tanpa pendamping
4 Disabilitas sedang berat, tidak mampu berjalan dan tidak mampu melakukan aktivitas harian untuk kebutuhan dasar kehidupannya tanpa bantuan orang lain
5 Disabilitas berat, tidak ada aktivitas, hanya ditempat tidur, mengompol, dan membutuhkan perhatian dan perawatan teratur
6 Meninggal
Total (0-6):
Skor mRS pasien pada saat keluar dari Rumah Sakit = ..............
1. Buang Air Besar ( bowel control ) 10 Tidak bermasalah ( no accidents ). Bila perlu memakai obat pencahar 5 Kadang kala bermasalah ( occasional accidents ) atau selalu membutuhkan obat pencahar
0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
2. Buang Air Kecil ( bladder control ) 10 Tidak bermasalah ( no accidents ). Dapat membersihkan alat Bantu bila diperlukan secara mandiri 5 Kadang kala bermasalah ( occasional accidents ) atau membutuhkan bantuan orang lain untuk membersihkan alat bantu
0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
3. Kebersihan Diri ( personal toilet/grooming ) 5 Membasuh muka, menyisir, menyikat gigi, mencukur secara mandiri
0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
4. Penggunaan Kamar Kecil ( toilet use ) 10 Mandiri untuk melakukan semua aktivitas di kamar kecil 5 Membutuhkan bantuan untuk menyeimbangkan badan, membuka/memakai pakaian dan saat membersihkan diri
0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
5. Makan ( feeding ) 10 Dapat melayani segala kebutuhan makan ( mengambil peralatan, ambil lauk pauk, dan sebagainya) secara mandiri 5 Membutuhkan bantuan orang lain, misalnya memotong daging, mengoles mentega
0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
6. Pindah dari tempat duduk ke tempat tidur dan sebaliknya ( Chair/bed transfer ) 15 Mandiri termasuk mengunci kursi roda dan mengangkat pijakan kaki 10 Bantuan minimal, umumnya untuk pendamping 5 Mampu duduk sendiri tapi butuh bantuan saat akan pindah tempat ( misal : dari tempat duduk ke tempat tidur )
0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
100
7. Berjalan ( ambulation ) Chair/bed transfer ) 15 Berjalan sendiri dengan jarak sekitar 50 yards. Kadang butuh bantuan kecuali untuk berjalan dengan bertumpu pada roda untuk berjalan ( rolling walker ) 10 Butuh bantuan untuk berjalan sejauh 50 yards 5 Mempergunakan kursi roda untuk jarak 50 yards, kecuali tidak bisa berjalan 0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
8. Berpakaian ( dressing ) 10 Mandiri. Seperti mengikat tali sepatu, mengancingkan baju 5 Butuh bantuan, tetapi tidak semuanya, dan dikerjakan dengan pelan-pelan 0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
9. Naik tangga ( Stair Climbing ) 10 Mandiri. Kadang perlu bantuan alat ( misalnya tongkat ) 5 Perlu bantuan atau pengawasan ( ada yang menemani )
0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
10 Mandi ( Bathing ) 5 Mandiri tanpa bantuan
0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
Total Nilai 0-100 0-50 : Berat 51-75 : Sedang 76-100: Ringan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
101
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
cii
Nama No. RM Kesadaran
Usia (Tahun)
Jenis Kelamin Pekerjaan
Jenis Stroke
Pendidikan Terakhir
Faktor Resiko Suku
mRS 0
mRS 3
mRS 14
BI 0
BI 3
BI 14
Saturasi O2 (%) Malam (1) Hari Pertama
Saturasi O2 (%) Malam (2) Hari Pertama
Saturasi O2 (%) Siang (1) Hari Pertama
Saturasi O2 (%) Siang (2) Hari Pertama
Saturasi O2 (%) Malam (1) Hari Kedua
DINIS 683529 CM 48 Laki-Laki PNS Iskemik S1 Tidak Ada Karo 2 1 1 60 100 100 95 95 96 98 96
Dirhamsyah 667656 CM 53 Laki-Laki pegawai swasta Iskemik Sma Hipertensi batak 3 3 3 75 100 100 97 97 98 98 97
Siti Rahma 694418 Apatis 57 Perempuan IRT Iskemik Sma Hipertensi melayu 2 1 2 60 100 95 95 95 97 97 96