1 TESIS PENGARUH KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI DI DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN MUARO JAMBI MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM FEBRIYANTY PERDIKA UTAMA NIM : Pp. 209.2.1178 PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 2012
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
TESIS
PENGARUH KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DAN BUDAYA
ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI
DI DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN MUARO JAMBI
MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
FEBRIYANTY PERDIKA UTAMA
NIM : Pp. 209.2.1178
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2012
2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebuah instansi didirikan karena mempunyai tujuan yang ingin dicapai,
dalam mencapai tujuannya setiap instansi dipengaruhi oleh perilaku dan sikap
orang-orang yang terdapat dalam instansi tersebut. Keberhasilan untuk
mencapai tujuan tersebut tergantung kepada keandalan dan kemampuan
pegawai dalam mengoperasikan unit-unit kerja yang terdapat di instansi
tersebut, karena tujuan instansi dapat tercapai hanya dimungkinkan karena
upaya para pelaku yang terdapat dalam setiap instansi. Manusia sebagai salah
satu unsur pengendali, merupakan faktor paling penting dan utama di dalam
segala bentuk organisasi.
Sumber daya manusia mempunyai peranan yang besar dalam suatu
organisasi, terutama untuk mencapai tujuan organisasi. Keberhasilan mencapai
tujuan organisasi didukung sepenuhnya dari perilaku pegawai, oleh karena itu
pegawai mempunyai peranan penting dalam membentuk dan mengelola
organisasi dan memanfaatkan teknologi yang ada. Kepemimpinan merupakan
suatu kegiatan dalam memimpin sedangkan pemimpin adalah orangnya yang
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang lain
tersebut mengikuti apa yang diinginkannya, oleh karena itu pemimpin harus
mampu mengatur dan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan
bersama.
Kepemimpinan pada suatu organisasi harus dapat melayani masyarakat
luas. Sistem kepegawaian yang mantap dengan pengembangan karier yang
berdasarkan prestasi kerja, kemampuan yang profesional, keahlian dan
keterampilan, serta kemantapan sikap mental aparat melalui upaya pendidikan
pelatihan, penugasan, bimbingan dan konsultasi, serta melalui pengembangan
motivasi, kode etik, dan disiplin kedinasan yang sehat, didukung oleh sistem
informasi kepegawaian yang mantap serta, didukung oleh sistem informasi
3
kepegawaian yang mantap serta, dilengkapi dengan sistem pemberian
penghargaan yang wajar.
Efektivitas organisasi dalam mencapai visi, misi, dan tujuan organisasi
tidak terlepas dari peranan pemimpin. Kepemimpinan merupakan tulang
punggung pengembangan organisasi karena tanpa kepemimpinan yang baik
akan sulit untuk mencapai tujuan organisasi, bahkan untuk beradaptasi dengan
perubahan yang sedang terjadi di dalam maupun di luar organisasi, hal ini
disebabkan karena setiap pemimpin dapat memberikan pengaruh terhadap
bawahannya, misalnya terhadap kepuasan kerja, komitmen, produktivitas,
kinerja dan lain-lain1. Suatu instansi tidak terlepas dari peranan kepemimpinan
dan budaya organisasi itu sendiri dalam usaha mencapai tujuan suatu organisasi
tersebut. Kegiatan organisasi tidak akan berjalan tanpa adanya keterlibatan
unsur manusia yang ada didalamnya. Sejalan dengan pentingnya sumber daya
manusia dalam organisasi, bahwa manusia merupakan unsur yang paling
penting menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi dalam
menyelenggarakan berbagai kegiatannya dan dalam rangka pencapaian tujuan
dan sasaran instansi atau organisasi.2
Budaya organisasi merupakan sistem nilai yang dapat diterapkan dan
dikembangkan secara terus-menerus. Budaya organisasi juga berfungsi sebagai
perekat, pemersatu, motivator serta pengembangan yang berbeda dengan
organisasi lain, yang dapat menghasilkan dorongan untuk berprestasi dan
meningkatkan kinerja dan semangat kerja3. Semakin kuat budaya organisasi
tersebut, maka semakin kuat pula dorongan untuk berprestasi dan dapat
meningkatkan kinerja.Budaya organisasi dapat membantu kinerja karyawan,
karena menciptakan suatu tingkat motivasi yang luar biasa bagi karyawan
untuk memberikan kemampuan terbaiknya dalam memanfaatkan kesempatan
1 1 Veithzal Rivai, Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi (Jakarta : PT.Rajagrafindo
Persada, 2003), hal.45. 2 Wahyudi, Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Organisasi Pembelajaran (Bandung:
Alfabeta cv, 2009), hal. 64. 3 Veithzal Rivai, Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi (Jakarta : PT.Rajagrafindo
Persada, 2003), hal.40.
4
yang diberikan oleh organisasinya. Menurut Barney dalam Anwar Prabu
Mangkunegara, Evaluasi Kinerja4 merupakan nilai-nilai yang dianut bersama
yang membuat karyawan merasa nyaman bekerja, memiliki komitmen dan
kesetiaan serta membuat karyawan berusaha lebih keras, meningkatkan kinerja
dan kepuasaaan kerja karyawan berusaha lebih keras, meningkatkan kinerja
dan kepuasan kerja karyawan serta mempertahankan keunggulan kompetitif.
Mewujudkan budaya organisasi yang cocok untuk diterapkan pada
sebuah organisasi diperlukan adanya dukungan dan partisipasi dari semua
anggota yang ada dalam lingkup organisasi tersebut. Karyawan membentuk
persepsi keseluruhan berdasarkan karakteristik budaya organisasi yang antara
lain meliputi inovasi, kemantapan, kepedulian, orientasi hasil, perilaku
pemimpin, orientasi tim, karakteristik tersebut terdapat dalam sebuah
organisasi atau perusahaan mereka. Persepsi karyawan mengenai kenyataan
terhadap budaya organisasinya menjadi dasar karyawan berperilaku.
Berdasarkan persepsi tersebut memunculkan suatu tanggapan berupa dukungan
pada karakrteristik organisasi yang selanjutnya mempengaruhi kinerja
karyawan.5
Budaya organisasi dapat membantu kinerja karyawan, karena
menciptakan suatu tingkat motivasi yang luar biasa bagi karyawan untuk
memberikan kemampuan terbaiknya dalam memanfaatkan kesempatan yang
diberikan oleh organisasinya. Menurut Barney dalam Lado & Wilson6 nilai-
nilai yang dianut bersama membuat karyawan merasa nyaman bekerja,
memiliki komitmen dan kesetiaan serta membuat karyawan berusaha lebih
keras dalam meningkatkan serta mempertahankan keunggulan kompetitif.
Persepsi karyawan mengenai kenyataan terhadap budaya organisasinya
harus memahami kondisi bawahan baik kemampuan, pendidikan, faktor-
faktor emosional dan terutama kematangannya.
Berdasarkan teori-teori tentang kepemimpinan di atas, sangatlah
jelas bahwa Allah SWT pun dalam Al-quran telah menjelaskan hakikak
manusia. Manusia merupakan pemimpin, ulil amri atau khalifah di muka
bumi, oleh sebab itu manusia harus memiliki kemampuan lebih untuk
mengatur dan mengkoordinasikan hal yang berhubungan dengan dirinya
sendiri ataupun suatu organisasi. Pemimpin merupakan seseorang yang
dipercayakan untuk mengatur orang lain serta bertanggungjawab terhadap
bawahannya. Manusia merupakan pemimpin di muka bumi ini, seperti
yang dijelaskan dalam Hadits Rasulullah SAW :
بن عمر أن بن دينار عن عبد الل بن مسلمة عن مالك عن عبد الل حدثنا عبد الل رسول الل
عليه وسلم قال أل كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته فالمير الذي على صلى الل
جل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم والم رأة الناس راع عليهم وهو مسئول عنهم والر
ه وهو مسئول عنه راعية على بيت بعلها وولده وهي مسئولة عنهم والعبد راع على مال سي د
فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته
Artinya : “Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw
bersabda setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta
pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala
negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang
dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga
yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah
tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan
tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga
yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan
ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian
pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab)
darihal hal yang dipimpinnya. (bukhari, muslim)”
20
Hadits di atas berbicara tentang hakikat kepemimpinana, seorang
pemimpin harus bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya, Pada
dasarnya, hadis di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam islam,
bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab.
Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin.
Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab,
sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung
jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-
anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang
atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden,
bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya.
Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna
melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak
bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung
jawab di sini adalah lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin. Kesejahateraan
tersebut dapat diperoleh dengan cara meningkatkan kinerja dan
pengembangan potensi bawahannya.
b. Dimensi Kepemimpinan Situasional
Gaya kepemimpinan situasional dikenal juga sebagai
kepemimpinan tidak tetap (fluid) atau kontingensi. Asumsi yang
digunakan dalam gaya ini adalah bahwa tidak ada satu pun gaya
kepemimpinan yang tepat bagi setiap manajer dalam segala kondisi.
Oleh karena itu gaya kepemimpinan situasional akan menerapkan suatu
gaya tertentu berdasarkan pertimbangan atas faktor-faktor seperti
pemimpin, pengikut, dan situasi dalam arti struktur tugas, peta
kekuasaan, dan dinamika kelompok. Wahjosumidjo mengatakan
21
“kepemimpinan situasional adalah sebagai proses antar hubungan atau
interaksi antara pemimpin, bawahan dan situasi”25.
Uraian teori di atas, dipahami bahwa kepemimpinan situasional
merupakan pola kepemimpinan yang tergantung pada situasi dan
kondisi. Seorang pemimpin harus dapat memahami kondisi
bawahannya, harus dapat memahami dan mengerti kondisi serta situasi
bawahannya. Pemahaman watak serta karekter bawahan merupakan hal
pokok yang harus dipahami oleh seorang pemimpin.
Kepemimpinan situasional merupakan proses dalam
mempengaruhi kegiatan-kegiatan seseorang atau kelompok dalam
usahanya mencapai tujuan di dalam situasi tertentu, jadi berdasarkan
defenisi tersebut bahwa kepemimpinan itu akan terjadi apabila di dalam
situasi tertentu seseorang mempengaruhi perilaku orang lain baik secara
perorangan atau kelompok. Oleh karena itu kepemimpinan sebagai
suatu proses dirumuskan ;
L = F ( l . f . s )
K = f ( p . b . s )
L = Leadership F = Follower
F = Function S = Situation
L = Leader
Kepemimpinan (K), fungsi (f), pemimpin (p), bawahan (b) di dalam
situasi tertentu (s).
Pendapat yang sama dikemukakan oleh George R. Terry dalam
Veithzal Rivai 26 bahwa faktor yang terpenting untuk menentukan jenis
kepemimpinan ialah situasinya, manejer dan bawahan menyesuaikan
25 Ibid., hal .26 26 Veithzal Rivai, Kepemimpina dan Perilaku Organisasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 40.
22
dengan situasi tersebut diikuti pula dengan penyesuaian sikap antara
manejer dan bawahan secara timbal balik. Hersey dan Blanchard dalam
Veithzal Rivai27 mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling
efektif adalah kepemimpinan situasional karena disesuaikan dengan
tingkat kedewasaan atau kematangan (maturity) bawahan. Kepemimpinan
bersumber pada dasar sifat bawahannya, sebagai berikut:
1. [T]ingkat bimbingan dan arahan yang diberikan pemimpin (perilaku
tugas)
2. Tingkat dukungan sosioemosional yang disajikan pemimpin (prilaku
hubungan)
3. Tingkat kesiapan yang diperlihatkan bawahan dalam melaksanakan
tugas, fungsi atau tujuan tertentu (kematangan bawahan).
Kepemimpinan yang efektif seperti di atas dapat terlaksana secara
dinamis, karena kemampuan pucuk pimpinan dalam mengambil dan
menetapkan keputusan-keputusan yang selalu dirasakan sebagai
keputusan bersama. Keputusan tersebut merupakan bagian dari kegiatan
pengendalian dalam kepemimpinan. Pengendalian dalam kepemimpinan
bermaksud memelihara norma-norma atau kepribadian atau kode etik
organisasi yang mampu mengatur dan menggerakkan anggota pada
tujuan yang hendak dicapai, namun tetap terarah pada tujuan bersama.
Firman Allah SWT dalam Al-Quran disebutkan bahwa, pemimpin
itu merupakan hal yang sangat penting dan pokok dalam suatu organisasi,
dan apabila terjadi suatu urusan atau permasalahan, maka sebaiknya
diserahkan kepada pemimpin, seperti yang tercantum pada ayat di bawah
ini :
27 Ibid.
23
وسورة النساء : ٨ ٣
Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan
kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul
dan ulil Amri). kalau tidaklah Karena karunia dan rahmat Allah
kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali
sebahagian kecil saja (di antaramu)”.28
Ayat di atas dapat dipahami bahwa, segala urusan dan keputusan
harus disampaikan kepada pemimpin, dan sebagai bawahan harus
menuruti segala keputusan yang dibuat oleh pemimpinnya, agar tidak
terjadi persengketahan dan perselisihan. Pemimpin merupakan orang
yang harus bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang ada dalam
organisasinya.
Menurut Paul Hersey dan Blanchard dalam Veithzal Rivai29, “ada
hubungan yang jpelas antara level kematangan orang-orang dan atau
kelompok dengan jenis sumber kuasa yang memiliki kemungkinan paling
tinggi untuk menimbulkan kepatuhan pada orang-orang tersebut”.
Kepemimpinan situasional memandang kematangan sebagai kemampuan
dan kemauan orang-orang atau kelompok untuk memikul tanggungjawab
mengarahkan perilaku mereka sendiri dalam situasi tertentu, maka perlu
ditekankan kembali bahwa kematangan merupakan konsep yang
berkaitan dengan tugas tertentu dan bergantung pada hal-hal yang ingin
dicapai pemimpin. Menurut Paul Hersey dan Blanchard juga seorang
pemimpin harus memahami kematangan bawahannya sehingga dia akan
28Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Bandung: Diponogoro, 2007)
hal.118 29 Veithzal Rivai, Kepemimpina dan Perilaku Organisasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 47.
24
tidak salah dalam menerapkan gaya kepemimpinan. Tingkat kematangan
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Tingkat kematangan M1 (Tidak mampu dan tidak ingin) maka gaya
kepemimpinan yang diterapkan pemimpin untuk memimpin bawahan
seperti ini adalah gaya telling (G1), yaitu dengan memberitahukan,
menunjukkan, mengistruksikan secara spesifik.
2. Tingkat kematangan M2 (tidak mampu tetapi mau), untuk
menghadapi bawahan seperti ini maka gaya yang diterapkan adalah
gaya selling atau coaching, yaitu dengan menjual, menjelaskan,
memperjelas, membujuk.
3. Tingkat kematangan M3 (mampu tetapi tidak mau atau ragu-ragu)
maka gaya pemimpin yang tepat untuk bawahan seperti ini adalah
gaya partisipatif, yaitu saling bertukar Ide dan memberi kesempatan
untuk mengambil keputusan.
4. Tingkat kematangan M4 (Mampu dan Mau) maka gaya
kepemimpinan yang tepat adalah delegating, mendelegasikan tugas
dan wewenang dengan menerapkan sistem control yang baik.
Lebih lanjut Hersey dan Blanchard dalam Verithzal30
mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif adalah
kepemimpinan situasional yang disesuaikan dengan tingkat kedewasaan
atau kematangan (maturity) bawahan. Hubungan antara tingkat
kematangan bawahan dengan model kepemimpinan yang efektif dapat
dilihat dari gambar di bawah ini:
30 Veithzal Rivai, Kepemimpina dan Perilaku Organisasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 46.
25
Gambar 1
Model Kepemimpinan (Situasional)
S3 S2
PARTISIPATIF
(PARTISIPATION)
KONSULTATIF
(SELLING)
S4 S1
DELEGATIF
(DELEGATING)
DIREKTIF
(TELLING)
Kematangan bawahan (maturity)
R3 R2
Tinggi dukungan dan
mudah pengarahan
(mau tapi tak mau)
Tinggi pengarahan dan
tinggi dukungan
(tidak mampu tetapi mau)
R4 R1
Rendah dukungan dan
rendah pengarahan
(mampu dan mau)
Tinggi pengarahan dan
rendah dukungan
(tidak mau dan tidak mampu)
R = Tingkat kematangan, S = Model Situasional Kepemimpinan
Penjelasan teori di atas dipahami bahwa kepemimpinan situasional
merupakan bentuk kepemimpinan yang ideal, yang menempatkan
26
tingkatan kematangan seseorang dalam proses keorganisasian. Seorang
pemimpin harus dapat menetahui tingkat kematangan, sifat serta karakter
bawahannya. Pemberian tugas dan wewenang diberikan berdasarkan
tingkat kematangan bawahannya.
Gambar di atas merupakan empat tipe dasar kepemimpinan sebagai
bentuk-bentuk proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Kepemimpinan situasional mempunyai empat tipe, yaitu direktif,
konsultatif, partisipatif dan delegatif. Lebih lanjut gambar tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Tipe Direktif
Tipe ini ditandai dengan adanya komunikasi satu arah. Pimpinan
membatasi peranan bawahan dan menunjukkan kepada bawahan: apa,
kapan, dimana dan bagaimana sesuatu tugas harus dilaksanakan.
Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan semata-mata menjadi
tanggung jawab pemimpin, yang kemudian disampaikan kepada
bawahan. Pelaksanaan pekerjaan diawasi dengan ketat. Tipe ini dapat
disamakan pula dengan tipe telling.
2. Tipe Konsultatif
Pemimpin ini masih memberikan direktif yang cukup besar serta
menetapkan keputusan-keputusan.Bedanya dengan tipe kreatif, dalam
tipe konsultatif mempergunakan komunikasi dua arah dan memberikan
suportif terhadap bawahan. Pemimpin mau mendengarkan keluhan dan
perasaan bawahan mengenai keputusan yang diambil.
Sementara bantuan terhadap bawahan ditingkatkan, pelaksanaan
atas pelaksanaan keputusan tetap ada pada pemimpin. Tipe ini dapat
disebut selling. Jika menghadapi staf yang memiliki kemampuan
kurang baik, tetapi memiliki motivasi kerja baik, maka gaya
kepemimpinan konsultatif paling efektif. Artinya, pemimpin banyak
27
memberikan bimbingan sehingga kemampuan staf secara bertahap
meningkat.
3. Tipe Partisipatif
Kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
antara pemimpin dan bawahan dalam keadaan seimbang. Pemimpin
dan bawahan sama-sama terlibat dalam pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan. Komunikasi dua arah makin meningkat.
Pemimpin akan mendengarkan secara intensif terhadap bawahannya.
Keikutsertaan bawahan dalam memecahkan masalah dan pengambilan
keputusan makin bertambah, sebab pemimpin berpendapat bahwa
bawahan memiliki kecakapan dan pengetahuan yang cukup untuk
penyelesaian tugas. Jika menghadapi staf yang memiliki kemampuan
kerja yang baik, tetapi motivasi kerjanya kurang, maka gaya
kepemimpinan partisipatif paling efektif. Artinya, pemimpin
berpartisipasi aktif dalam mendorong staf untuk menggunakan
kemampuannya secara optimal.
4. Tipe Delegatif
Pemimpin mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi
dengan bawahan, dan selanjutnya mendelegasikan pengambilan
keputusan seluruhnya kepada bawahan. Selanjutnya hak bawahan
untuk menentukan langkah-langkah bagaimana keputusan
dilaksanakan. Bawahan diberikan wewenang untuk menyelesaikan
tugas-tugas sesuai dengan keputusannya sendiri. Sebab mereka
dianggap telah memiliki kecakapan dan dipercaya untuk memikul
tanggung jawab untuk mengerahkan dan mengelolanya sendiri. Jika
menghadapi staf yang memiliki kemampuan baik dan motivasi kerja
juga baik, maka gaya kepemimpinan delegatif paling efektif. Artinya,
28
pimpinan lebih banyak memberikan dukungan dan mendelegasikan
tugas dan wewenang kepada staf.
Pemimpin akan menjadi handal karena dilatih. Artinya untuk
menjadi pemimpin yang baik haruslah mengalami tantangan dalam
menerapkan gaya kepemimpinan. Pemimpin tidak akan pernah ada
tanpa bawahan dan bawahan juga tidak akan ada tanpa pemimpin.
Kedua komponen dalam organisasi ini merupakan sinergi dalam
perusahaan dalam rangka mencapai tujuan. Paul Hersey dan Ken
Blanchard telah mencoba melepar idenya tentang kepemimpinan
situasional yang sangat praktis untuk diterapkan oleh pemimpin apa
saja. Lebih rinci Hersey dan Blanchard yang dikutip Rivai31
mengelompokan keempat kepemimpinan situasional tersebut yaitu :
Tipe Direktif
(Telling)
Tipe Konsultatif
(Selling)
Tipe
Partisipatif
Tipe Delegatif
Menitikberatkan
komunikasi satu
arah
Komunikasi dua
arah
Pengambilan
keputusan
dilakukan secara
bersama-sama
Pemimpin
bersifat
demokratis
Membatasi peran
bawahan
Mau mendengan
pendapat atau
keluhan bawahan
Komunikasi dua
arah
Mau
mendelegasikan
pengambilan
keputusan
kepada
bawahan
Cenderung
member perintah
Pemimpin lebih
memperhatikan
bawahan
31 Veithzal Rivai, Kepemimpina dan Perilaku Organisasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003) , hal. 40
29
Keputusan
tanggung jawab
pimpinan
Tidak
menyepelekan
kemampuan
bawahan
Uraian di atas dipahami bahwa kepemimpinan situasional adalah
proses kegiatan memimpin yang mempengaruhi bawahannya agar
meningkatkan kualitas kinerja, pada situasi tertentu. Kepemimpinan
situasional merupakan pola kepemimpianan yang ideal, yang terletak
pada kematangan pimpinannya. Ada empat tipe kepemimpinan
situasional dalam penelitian ini akan dijadikan dimensi dan penjabaran
indikator, yaitu direktif, konsultatif, partisipatif, dan delegatif.32
2. Budaya organisasi (X2)
a. Pengertian Budaya
Sebelum membicarakan tentang definisi budaya organisasi,
penliti terlebih dahulu menjelaskan tentang definis dari budaya itu
sendiri. Menurut Koentjaraningrat dalam Taufiq Rohman33, [i]stilah
budaya berasal dari kata bahasa Latin colere yang berarti mengolah,
mengerjakan terutama mengolah tanah atau bertani, kemudian dalam
bahasa Inggris disebut culture. Koentjaraningrat dalam Verithzal34
memecahnya ke dalam tujuh unsur, yakni sistem religi dan upacara
keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan,
bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi
dan peralatan. Ketujuh unsur itulah yang membentuk budaya secara
keseluruhan.
32 Berdasarkan teori Paul Hersey 33 Taufiq Rohman, Antropologi (Jakarta,:Yudistira, 2006), hal. 45. 34 Veithzal Rivai, Kepemimpina dan Perilaku Organisasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 39.
30
Uraian di atas dipahami bahwa budaya merupakan suatu tradisi,
adat dan kebiasaan yang ada pada suatu kelompok yang terdiri dari
sistem pengetahuan, sistem religi ataupun sistem teknologi yang ada
dalam masyarakat. Budaya merupaka cirri khas yang ada pada suatu
daerah atau tempat yang membedakan antara daerah yang satu dengan
daerah yang lain atau tradisi yang satu dengan tradisi yang lainnya.
Budaya juga merupaka suatu perekat atau motivasi yang dapat
memperkuat atau memperkokoh organisasi tersebut.
Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip oleh Taliziduhu
Ndraha35 budaya adalah : “The set of important assumption (often
unstated) that members of community share in common”.“Budaya
merupakan asumsi penting yang mengikat anggotanya agar tercipta
tujuan yang akan dicapai”.
Uraian di atas dipahami bahwa budaya adalah tradisi, adat dan
kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi ciri khas
seseorang yang hidup dalam lingkungan kemasyarakatan. Suatu budaya
merupakan cirri khas yang menjadi unsur utama dan penguat dari
budaya pada organisasi tersebut.
Hofstede dalam Robins36 budaya merupakan berbagai interaksi
dari ciri-ciri kebiasaan yang mempengaruhi kelompok-kelompok orang
dalam lingkungannya. Menurut Beach Kebudayaan merupakan inti dari
apa yang penting dalam organisasi, seperti aktivitas memberi perintah
dan larangan serta menggambarkan sesuatu yang dilakukan dan tidak
dilakukan yang mengatur perilaku anggota. Sangat jelas bahwa budaya
mengandung apa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan
35 Talizuduhu Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta: PT. Riake Cipta, 1997), hal. 40. 36 Stephen, P. Robins, Perilaku Organisasi Konsep controversies and Aplication
(Neeyork: Prentice Hall International, 1989), hal. 14.
31
sehingga dapat dikatakan sebagai suatu pedoman yang dipakai untuk
menjalankan aktivitas organisasi.
Pengertian teori di atas dijelaskan bahwa budaya merupakan
seperangkat adat, tradisi, norma-norma ataupun kebiasaan yang ada
pasa seseorang ataupun sekelompok orang yang hidup secara bersa-
sama, dalam mencapai tujuan tertentu. Semakin kuat budaya yang ada
dalam suatu tempat akan dapat meningkatkan potensi yang ada dalam
suatu tempat atau organisasi, oleh sebab itu merupakan hal yang
penting dan utama menjadikan budaya sebagai acuan dasar motivasi
untuk berkreatifitas.
Budaya secara individu berkorelasi dengan kepribadian,
sehingga budaya berhubungan dengan pola prilaku seseorang ketika
berhadapan dengan sebuah masalah hidup dan sikap terhadap
pekerjaanya. Didalamnya ada sikap reaktif seorang pendidik terhadap
perubahan kebijakan pemerintah dalam otonomi kampus sebagaimana
yang terjadi, dimana dengan adanya komersialisasi kampus bisakah
berpengaruh terhadap perubahan kultur akademis penididik dalam
sehari-harinya.
Dilihat dari unsur perbedaan budaya juga menyangkut ciri khas
yang membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lain
ataupun yang membedakaan antara profesi yang satu dengan profesi
yang lain, seperti perbedaan budaya seorang dokter dengan seorang
dosen, seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional
dengan seorang amatiran. Ciri khas ini bisa diambil dari hasil
internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga sebagai hasil
adopsi dari organisasi yang mempengaruhi pencitraan sehingga
dianggap sebagai kultur sendiri yang ternyata pengertiannya masih
relatif dan bersifat abstrak.
32
Kita lihat pengertian budaya yang diungkapkan oleh Soerjono
Soekanto dalam Verithzal 37”budaya sebagai sebuah sistem nilai yang
dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi
abstrak tentang baik dan buruk atau secara institusi nilai yang dianut
oleh suatu organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik melalui
reinventing maupun re-organizing“. Budaya juga berfungsi sebagai
mekanisme dalam beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi,
baik di dalam maupun di luar organisasi.
Penjabaran teori di atas dipahami bahwa budaya merupakan
seperangkat nilai-nilai yang bersifat positif ataupun negatif yang dapat
mempengaruhi kebiasaan dan perilaku seseorang. Apabila terdapat
budaya positif dalam suatu keorganisasian,maka akan menghasilkan
dampak yang positif juga, demikian sebaliknya, apabila terdapat budaya
yang negatif, maka akan menghasilkan dampak yang negatif juga.
Edgar H. Schein bahwa budaya bisa didefinisikan sebagai
berikut :
“[A] pattern of share basic assumption that the group learner as it
solved its problems of external adaptation anda internal
integration, that has worked well enough to be considered valid
and therefore, to be taught to new members as the correct way to
perceive, think and feel in relation to these problems”. 38
“Seperangkat asumsi dasar dari anggota sebagai pemecahan
permasalahan berupa adaptasi eksternal dan integritas internal,
yang dilakukan oleh anggota pekerjanya, sebagai cara yang benar
untuk memahami, berpikir dan merasa dalam kaitannya dengan
masalah yang ada dalam suatu organisasi”
Secara lengkap uraian di atas, dipahami bahwa budaya bisa
merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi
dasar sebuah organiasasi yang kemudian diinternalisasikan oleh
anggotanya, dapat berupa prilaku langsung apabila menghadapi
37 Veithzal Rivai, Kepemimpina dan Perilaku Organisasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 43. 38 Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadershif (San Fransisco, 2007), hal.53.
33
permasalahan maupun berupa karakter khas yang merupakan sebuah
organisasi, perasaan memiliki dan ikut menerapkan seluruh kebijakan
pimpinan dalam pola komunikasi dengan lingkungannya internal dan
eksternal belajar. Budaya organisasi berfungsi sebagai penghubung
adaptasi eksternal dan integritas internal yang ada dalam suatu
organisasi.
Budaya juga tercipta karena adanya adopsi dari organisasi lainnya
baik nilai, jargon, visi dan misi maupun pola hidup dan citra organisasi
yang dimanefestasikan oleh anggotanya, seperti contoh kecil, seorang
pendidik sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat penting dalam
pencitraan kampus jauh lebih cepat karena secara langsung berhadapan
dengan mahasiswa yang bertindak sebagai promotor pencitraan di
masyarakat sementara nilai pencitraan sebuah organisasi diambil
melalui adanya pembaharuan maupun pola reduksi langsung dari
organisasi sejenis yang berpengaruh dalam dunia pendidikan. Sebuah
nilai budaya yang merupakan sebuah sistem bisa menjadi sebuah
asumsi dasar sebuah organisasi untuk bergerak didalam meningkatkan
sebuah kinerjanya yang salah satunya terbentuknya budaya yang kuat
yang bisa saling mempengaruhi.
McKenna dan Beech dalam Talizuduhu Ndraha 39 berpendapat
bahwa budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi
organisasi dalam hal efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi
yang tepat untuk membiasakan mereka terhadap kejadian-kejadian,
karena etos yang berlaku mengakomodasikan ketahanan. Talizuduhu
Ndraha mengungkapkan“budaya kuat juga bisa dimaknakan sebagai
budaya yang dipegang secara intensif, secara luas dianut dan semakin
39 Talizuduhu Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta: PT. Riake Cipta, 1997), hal. 43.
34
jelas disosialisasikan dan diwariskan dan berpengaruh terhadap
lingkungan dan prilaku manusia“40.
Teori di atas dipahami bahwa budaya yang kuat akan
mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya
dalam hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan
berpengaruh terhadap sistem prilaku para pendidik dan staf dibawahnya
baik didalam organisasi maupun diluar organisasi. Uraian di atas juga
dipahami bahwa budaya merupakan tradisi yang melekat pada
sekumpulan orang dalam lingkungan sekitar.
Sekali lagi kalau Budaya hanya sebuah asumsi penting yang
terkadang jarang diungkapkan secara resmi tetapi sudah teradopsi dari
masukan internal anggota organisasi lainnya, begitu juga budaya
sebagai sebuah asumsi dasar dalam pembentukan karakter individu baik
dalam beradaptasi keluar maupun berintegrasi kedalam organisasi lebih
luas. Budaya merupakan cerminan dasar untuk melihat seperangkat
komponen yang ada dalam suatu instansi.
Penjelasan teori-teori tentang budaya di atas sangat jelas bahwa
budaya merupakan tradisi, adat dan kebiasaan yang ada dalam suatu
organisasi. Suatu organisasi tidak berlepas dari budayanya. Lingkungan
organisasi itu sendiri mendukung terhadap pencitraan diluar organisasi,
sehingga dapat terlihat sebuah budaya akan mempengaruhi terhadap
maju mundurnya sebuah organisasi. Seorang professional yang
berkarakter dan kuat kulturnya akan meningkatkan kinerjanya dalam
organisasi dan secara sekaligus meningkatkan citra dirinya. Budaya
organisasi dalam suatu instansi merupakan alat untuk mempersatukan
setiap invidu yang melakukan aktivitas secara bersama-sama.
40 Talizuduhu Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta: PT. Riake Cipta, 1997), hal. 43.
35
b. Dimensi Budaya organisasi
Pemakaian istilah corporate culture biasa diganti dengan istilah
organization culture. Kedua istilah ini memiliki pengertian yang
sama.Karena itu dalam penelitian ini kedua istilah tersebut digunakan
secara bersama-sama,dan keduanya memiliki satu pengertian yang
sama. Beberapa definisi budaya organisasi dikemukakan oleh para ahli.
Moeljono Djokosantoso dalam Talizuduhu 41 “bahwa budaya
korporat atau budaya manajemen atau juga dikenal dengan istilah
budaya kerja merupakan nilai-nilai dominan yang disebar luaskan
didalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja karyawan”. Susanto
memberikan definisi budaya organisasi sebagai nilai-nilai yang menjadi
pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi permasalahan
eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan
sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai
yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku.
Uraian di atas dipahami bahwa budaya organisasi merupakan
nilai-nilai, kebiasaan yang dilakukan oleh organisasi baik dalam interen
maupun eksteren, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh
organisasi tersebut dan sebagai acuan untuk bertindak dan berprilaku.
Budaya organisasi merupakan sarana dan prasarana pemicu lahirnya
etos kerja serta semangat untuk menciptakan hasil kerja yang tinggi.
Mangkunegara dalam Khaerul Umam42”budaya organisasi
adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma
yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah
laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi
eksternal dan integrasi internal”. Sedangkan menurut Tosi, Rizzo,
Carrol yang dikuti Munandar dalam Khaerul Umam43, budaya
41 Talizuduhu Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta: PT. Riake Cipta, 1997), hal. 43. 42 Khaerul Umam, Perilaku Organisasi (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hal 185 43 Ibid.,190.
36
organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi
berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada
pada bagian-bagian organisasi.
Teori di atas dipahami bahwa budaya organisasi adalah
seperangkat asumsi yang terdapat dalam suatu organisasi yang berfungsi
sebagai perekat, adaptasi serta intergasi internal dalam suatu organisasi,
guna terciptanya tujuan tertentu. Budaya yang kuat akan menghasilkan
output yang berkualitas, begitu juga sebaliknya. Oleh sebab itu, sangat
penting untuk menciptkan budaya organisasi yang dinamis, agar dapat
tercapai tujuan yang diinginkan dalam suatu organisasi.
Kreitner dan Kinicki dalam Mulyasa44 “budaya orgainsasi
adalah perekat sosial yang mengingat anggota dari organisasi.
Nampaknya agar suatu karakteristik atau kepribadian yang berbeda-
beda antara orang yang satu dengan orang yang lain dapat disatukan
dalam suatu kekuatan organisasi maka perlu adanya perekat sosial”.
Budaya organisasi juga berfungsi sebagai mekanisme dalam beradaptasi
dengan berbagai perubahan yang terjadi, baik di dalam maupun di luar
organisasi.
Pendapat di atas dipahami bahwa budaya organisasi
merupakan pondasi awal yang merupakan perekat dan pembeda antara
organisasi yang satu dengan organisasi yang lainnya. Budaya organisasi
juga merupakan perekat untuk mempersatukan sifat dan karekteristik
yang berbeda-beda pada setiap anggotanya, agar tercipta budaya yang
kuat dan dapat meningkatkan kualitas kerja anggotanya.
Menurut Vijay Sathe seorang pakar psikologi dan filsafat
organisasi dalam Robins45: “Budaya organisasi adalah seperangkat
44 Mulyasa, E, Menjadi Kepala Sekolah Profesional Dalam Konteks Menyukseskan MBS
dan KBK (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), hal. 23.
45 Stephen, P. Robins, Perilaku Organisasi Konsep controversies and Aplication
(Neeyork: Prentice Hall International, 1989), hal. 13.
37
asumsi penting yang dimiliki bersama anggota masyarakat”. Budaya
organisasi merupakan pokok penyelesaian maslah-masalah eksternal
dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsistenoleh suatu
kelompok dan diwariskan kepada anggota-anggota yang lainnya.
Penjelasan-penjelasan tentang teori budaya organisasi di atas,
dipahami bahwa budaya organisasi adalah adalah sistem nilai, adat,
kebiasaan yang dapat diterapkan dan dikembangkan secara terus
menerus, serta berfungsi sebagai perekat hubungan dan motivator guna
peningkatan kinerja dalam suatu organisasi. Budaya organisasi
mengacu pada suatu sistem makna bersama, dianut oleh anggota-
anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi
lainnya.
Edgar H. Schein dalam bukunya “Organizational Culture and
Leadershif46” mangartikan budaya organisasi lebih luas sebagai suatu
pola asumsi dasar yang ditemukan, digali dan dikembangkan oleh
sekelompok orang sebagai pengalaman memecahkan permasalahan,
penyesuaian terhadap faktor ekstern maupun integrasi intern yang
berjalan dengan penuh makna, sehingga perlu untuk diajarkan kepada
para anggota baru agar mereka mempunyai persepsi, pemikiran maupun
perasaan yang tepat dalam mengahdapi problema organisasi tersebut.
Budaya organisasi merupakan pokok penyelesaian masalah-masalah
eksternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten
oleh suatu kelompok.
Berdasarkan penjelasan teori di atas, budaya organisasi adalah
seperangkat asumsi dasar, kebiasaan dan tradisi yang ada pada suatu
instansi atau porganisasi yang menjadi pembeda dengan organisasi
lainnya, yang berfungsi sebagai sarana untuk pemacahan masalah
interen dalam suatu organisasi. Budaya organisasi juga merupakan
46 Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadershif (San Fransisco, 2007), hal.60.
38
seperangkat nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip dasar yang
merupakan landasan bagi sistem organisasi.
Robbins47. mendefinisikan budaya organisasi (organizational
culture) sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-
anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang
lain. Lebih lanjut, Robbins menyatakan bahwa sebuah sistem
pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang sekaligus menjadi
pembeda dengan organisasi lain. Budaya organisasi merupakan wadah
atau kemampuan sekumpulan orang bersatu, mengikat diri dalam usaha
memenuhi kebutuhannya, dimana budaya organisasi merupakan alat
pengikat dan pembeda antara organisasi yang lain.
Berdasarkan pemaparan tentang budaya organisasi di atas, bahwa
budaya organisasi adalah seperangkat pendapat atau sistem keyakinan,
nilai-nilai dan norma-norma yang dikembangkan dalam organisasi yang
dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk
mengatasi masalah yang dihadapi dalam suatui instansi. Budaya setiap
organisasi merupakan identitas, yang menjadi sumber inspirasi,
kebanggaan, dan sumber daya anggota organisasinya. Budaya organisasi
juga merupakan kekuatan penggerak yang mampu membangkitkan
semangat juang untuk memerdekakan dan memajukan sumber daya
organisasi.
Amnuai membatasi pengertian budaya organisasi sebagai pola
asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota sebuah organisasi
dari hasil proses belajar adaptasi terhadap permasalahan ekternal dan
integrasi permasalahan internal. Budaya organisasi merupakan
pengaturan personalia, guna memudahkan pencapaian beberapa tujuan
47 Stephen, P. Robins, Perilaku Organisasi Konsep controversies and Aplication
(Neeyork: Prentice Hall International, 1989), hal. 14.
39
yang telah ditetapkan melalui pembagian fungsi serta tanggungjawab
anggotanya.
Uraian teori di atas dipahami bahwa budaya organisasi merupak
alat yang berfungsi sebagai pemecahan permasalahan yang ada dalam
suatu organisasi, baik secara internal maupun eksternal. Budaya
organisasi merupakan motivator, perekat hubungan serta pemecahan
permasalahan baik secara interal maupun secara ekternal. Sangat jelas
sekali bahwa budaya organisasi mempunyai peranan yang penting
dalam sistem keoorganisasian guna pencapaian tujuan organisasi
tersebut.
Budaya secara umum mempunyai berbagai peran sebagaimana
dikemukakan oleh Dressler and Carns:
a. [C]ulture enable us to communicate with others through a
language that we have learned and that we share in common;
b. Culture make its possible to anticipate how other in our society are
likely to respond to our actions;
c. Cultur e g i v e s us s t and a r d f o r distinguishing between
what is concidered right or wrong, beautiful and ugly,
reasonable and unreasonable, tragic and humorous, safe and
dangerous;
d. Culture provides the knowledge and skill necessasry for meeting
sustenance needs48.
a. [B]udaya memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan orang
lain melalui bahasa yang telah kita pelajari dan bahwa kita berbagi
kesamaan.
b. Budaya memungkinkan untuk mengantisipasi bagaimana lain di
masyarakat kita adalah cenderung untuk menanggapi tindakan kita.
c. untuk membedakan antara apa yang benar atau salah indah dan jelek,
wajar dan tidak masuk akal, tragis dan lucu, aman dan berbahaya;
d. Budaya memberikan pengetahuan dan keterampilan untuk memenuhi
dari organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik, dan
dirasakan bersama-sama secara luas.
Penjabaran teori-teori di atas dapat dipahami bahwa kinerja
merupakan kunci akhir untuk melihat keberhasilan suatu instansi
ataupun organisasi, disamping itu untuk menghasilkan kinerja seorang
pegawai diperlukan faktor-faktor pendukung, antara lain
kepemimpinan, budaya organisasi, iklim kerja, sarana dan prasarana
serta yang utama yaitu motivasi diri sendiri. Kinerja seseorang
merupakan gabungan dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang
dapat diukur dari akibat yang dihasilkannya.
Sebuah budaya organisasi tidak dengan sendirinya terbentuk,
namun semua itu melalui proses yang panjang, yaitu menyangkut
dengan berbagai interaksi yang terjadi di lingkungan organisasi
tersebut. Apabila suatu organisasi ingin meningkatkan kinerja
pegawainya, maka instansi tersebut harus terus-menerus dan konsisten
semaksimal mungkin menerapkan budaya organisasi yang baik kepada
karyawannya, seperti penerapan budaya displin. Penerapan dispel
merupakan salah satu contoh budaya organisasi yang diterapkan di
lingkungan kerja yang dapat membantu peningkatan kualitas kinerja.
Penjabaran teori di atas dapat dipahami bahwa kinerja pegawai
merupakan hasil akhir dari proses yang akan dicapai oleh suatu
organisasi. Untuk meningkatkan hasil kinerja tersebut, perlu adanya
monitoring dari bertbagai pihak terhadap proses kelancaran dan
penyelesaian hambatan dan peningkatan kinerja karyawannya. Ada
banyak faktor yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai,yaitu faktor
kemampuan dan faktor motivasi. Hal ini sesuai dengan pendapat keith
54
Davis dalam A. A. anwar prabu mangkunegara,71 menjelaskan faktor
yang dapat mempengaruhi kenerja pegawai antara lain :
a. Faktor kemampuan (Ability)
Kemampuan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan
kemampuan reality (Skill), orang yang mempunyai IQ di atas rata-rata
dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan
terampil dalam mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, maka akan
lebih mudah mencapai kinerja maksimal. Kinerja karyawan
menunjuk pada kemampuan karyawan dalam melaksanakan
keseluruhan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Tugas-
tugas tersebut biasanya berdasarkan indikator - indikator keberhasilan
yang sudah ditetapkan. Sebagai hasilnya akan diketahui bahwa
seseorang karyawan masuk dalam tingkatan kerja tertentu.
Tingkatannya dapat bermacam istilah. Kinerja karyawan dapat
dikelompokkan ke dalam tingkatan kinerja tinggi, menengah, atau
rendah. Dapat juga dikelompokkan melalui target, sesuai target atau
dibawah target.
b. Faktor Pemimpin
Pemimpin disini diartikan cara memberikan motivasi diartikan
suatu sikap pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja di
lingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif terhadap
situasi kerja akan menunjukkan motivasi kerja yang tinggi dan
sebaliknya. Situasi kerja antara lain mencakup hubungan kerja,
fasilitas kerja, iklim kerja, gaya kepemimpinan,serta peran budaya
organisasi kerja.
71 A. A. Anwar Prabu Mangkunegara, Evaluasi Kinerja SDM (Bandung: PT.Refika
Aditima, 2010), hal.13.
55
Manusia adalah makhluk Tuhan paling sempurna yang
diciptakan oleh Allah SWT, dengan segala akal dan pikirannya,
manusia harus berusaha mencari solusi hidup yaitu dengan bekerja
keras mengharapkan Ridho Allah SWT, dengan bekerja kita akan
mendapatkan balasan yang akan kita terima, apabila seseorang
memposisikan pekerjaannya dalam dua konteks, yaitu kebaikan
dunia dan kebaikan akhirat, maka hal itu disebut rizeki dan berkah dan
hasil pekerjaan yang baik adalah yang dikerjakan dengan penuh
tanggungjawab dan sesuai dengan ajaran-ajaran Rasulullah SAW.
Firman Allah di bawah ini :
: ٩٣النحل
Artinya: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu
satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang
apa yang telah kamu kerjakan.)72
Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila seseorang akan
berusaha dan bekerja dengan giat dan sungguh-sungguh, maka akan
Allah berikan rizki yang halal untuk mereka. Berusaha dan bekerja
merupakan kewajiban setiap manusia. Dengan kata lain, setiap manusia
harus dapat berusaha mendapatkan rizki dengan cara bekerja, karena
dengan bekerja yang kera akan menghasilkan dampak yang bermutu
juga.
72 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: Diponogoro, 2007),
hal.378
56
Peneliti mengambil kesimpulan tentang definisi dari kinerja
berdasarkan pengertian di atas adalah hasil pekerjaan atau kegiatan
seorang pegawai secara kualitas dan kuantitas dalam suatu organisasi
untuk mencapai tujuan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang
diberikan kepadanya dan dapat meningkatkan prestasi dan hasil kerja.
Kinerja merupakan tingkat keberhasilan seseorang dalam melakukan
tugas pekerjaannya dalam waktu tertentu.
b. Dimensi Kinerja Pegawai
Pengukuran kinerja pegawai menurut Agus Dharma73 hampir
semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
1. kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai.
2. kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya).
Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran atau
tingkat kepuasan yaitu seberapa baik penyelesaiannya
3.ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang
direncanakan.
Sedangkan menurut Mathis74 yang menjadi indikator dalam
mengukur kinerja atau prestasi karyawan adalah sebagai berikut:
1. kuantitas kerja, yaitu volume kerja yang dihasilkan dalam kondisi
normal. Kuantitas kerja meliputi volume kerja dan kerapian kerja.
2. kualitas kerja, yaitu dapat berupa kerapian ketelitian dan keterkaitan
hasil dengan tidak mengabaikan volume pekerjaan.
3. pemanfaatan waktu, yaitu penggunaan masa kerja yang disesuaikan
dengan kebijaksanaan perusahaan atau lembaga pemerintahan.
73 Agus Dharma, Pengukuran Kinerja Pegawai
(http://intanghina.wordpress.com/2008/06/10/kinerja/) (diakses 12 Januari 2011) 74 Burhanudin, Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan
(Jakarta:PT. Bumi Aksara, 2004) , hal.530.
57
4. kerjasama, yaitu kemampuan menangani hubungan dengan orang
lain dalam pekerjaan.
Peneliti dalam penelitian ini menggunakan dimensi dan
penjabaran indikator kinerja pegawai antara lain kuantitas kerja,
kualitas kerja, pemanfaatan waktu serta kerjasama.75 Dimensi tersebut
akan dijadikan indikator dan instrument dalam penenelitian ini.
B. Kerangka Berfikir
Kinerja pegawai akan menjadi optimal, bila diintegrasikan dengan
pimpinanya, komponen anggotanya, budaya organisasi, dan karyawan. Untuk
mencapai kinerja pegawai yang baik, dibutuhkan adanya kepemimpinan yang
efektif. Selain kepemimpinan, budaya organisasi juga berpengaruh terhadap
pencapaian kinerja pegawai yang baik. Berikut ini akan dikemukakan
kerangka pemikian keterkaitan hubungan antar variabel:
1. Pengaruh Kepemimpinan Situasional (X1) terhadap Kinerja
Pegawai (Y)
Berdasarkan deskripsi teori-teori yang ada dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan merupakan suatu cara yang dimiliki oleh seorang pemimpin
dalam mempengaruhi sekelompok orang atau bawahan untuk bekerja sama
dan berdaya upaya dengan penuh semangat dan keyakinan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Kepemimpinan situasional adalah proses
antarhubungan atau interaksi antara pemimpin, bawahan dan situasi.
Kepemimpinan situasional meliputi proses mempengaruhi kegiatan-
kegiatan seseorang atau kelompok dalam usahanya mencapai tujuan di
dalam situasi tertentu, jadi berdasarkan defenisi tersebut bahwa
kepemimpinan situasional itu akan terjadi apabila di dalam situasi tertentu
seseorang mempengaruhi perilaku orang lain baik secara perorangan atau
75 Berdasarkan teori Mathis
58
kelompok, karena dapat dikatakan bahwa kepemimpinanlah yang
memainkan peranan yang sangat dominan dalam keberhasilan organisasi
dalam menyelenggarakan berbagai kegiatannya terutama terlihat dalam
kinerja para pegawainya, yang dapat dilihat dari bagaimana seorang
pemimpin dapat mempengaruhi bawahannya untuk bekerjasama
menghasilkan pekerjaan yang efektif dan efisien, dengan demikian diduga
terdapat pengaruh antara kepemimpinan situasional (X1) dengan kinerja
pegawai (Y).
2. Pengaruh Budaya Organisasi (X2) terhadap Kinerja Pegawai (Y)
Budaya organisasi adalah suatu sistem nilai yang diperoleh dan
dikembangkan oleh organisasi berupa pola kebiasaan dan falsafah dasar
pendirinya, yang terbentuk menjadi aturan yang digunakan sebagai
pedoman dalam berfikir dan bertindak dalam mencapai tujuan organisasi.
Kinerja pegawai merupakan kemampuan dan usaha pegawai untuk
melaksanakan tugas sebaik-baiknya.
Kinerja pegawai yang dicapai harus berdasarkan standar kemampuan
profesional selama melaksanakan kewajiban sebagai pegawai di dinas, agar
di instansi tercipta pegawai yang berkarakter baik, disyaratkan harus ada
budaya organisasi kerja yang kondusif yang memungkinkan para pegawai
bekerja secara profesional, tenang dan penuh konsentrasi. Dengan demikian,
diduga terdapat pengaruh antara budaya organisasi (X2) terhadap kinerja
pegawai (Y)
3. Pengaruh Kepemimpinan Situasional (X1) dan Budaya organisasi (X2)
secara bersama-sama terhadap Kinerja Pegawai (Y)
Kepemimpinan situasional yang efektif dapat tercipta apabila
memiliki sifat, perilaku dan keterampilan yang baik untuk memimpin
sebuah organisasi. Dalam perannya sebagai pemimpin, harus mampu untuk
mempengaruhi semua orang yang terlibat dalam proses kegiatan di instansi
59
yaitu pegawai dan budaya organisasi yang akhirnya mencapai tujuan dan
kualitas kinerja pegawai. Budaya organisasi merupakan cerminan untuk
menerapkan norma-norma serta sosialitas kehidupan kerjasama dalam
sebuah instansi. Apabila kepemimpinan situasional dapat diterapkan di
sebuah instansi serta budaya organisasi dapat berkembang dengan baik,
maka akan terciptalah peningkatan mutu kinerja pegawai dan situasi
lingkungan kerja yang kondusif.
Penjelasan di atas diduga terdapat pengaruh kepemimpinan situasional
(X1) dan budaya organisasi (X2) berpengaruh langsung terhadap kinerja
pegawai (Y), dengan demikian semakin baik kepemimpinan situasional dan
budaya organisasi, semakin baik pula kinerja pegawai, seperti terlihat pada
gambar di bawah ini:
Gambar 2. Kerangka Berfikir
Kepemimpinan Situasional (X1)
1. Direktif
2. Konsultatif
3. Partisipatif
4. Delegatif
Budaya Organisasi (X2)
1. Aspek kualitatif
2. Aspek kuantitatif
3. Aspek komponen
4. Aspek adaptasi eksternal
5. Aspek integrasi internal
Kinerja Pegawai (Y)
1. Kualitas Kerja
2. Kuantitas Kerja
3. Pemanfaatan Waktu
4. Kerjasama
60
C. Kajian Terdahulu
Berikut adalah beberapa judul yang berkaitan dengan kepemimpinan dan
budata organisasi antara lain:
1. Pengaruh Praktek Manajemen Sumber Daya Manusia Terhadap Budaya
Organisasi dan Kinerja Perusahaan Oleh Udan Biantoro (Universitas
Airlangga, 2002). Penelitian ini menunjukkan:
a Faktor faktor praktek manajemen yang signifikan dan kuat mempengaruhi
kinerja adalah: (a) kerjasama; (b)konferensi; (c) jaminan kerja dan; (d)
fasilitas;
b. Faktor budaya yang kuat mempengaruhi kinerja adalah; (a) komunikasi
dan bahasa; (b) pakaian dan penampilan; (c) nilai dan norma; (d)
keyakinan dan sikap.
Penelitian di atas hanya membahas tentang faktor yang mempengaruhi
kinerja adalah manajemen Sumber Daya Manusia diantaranya kerjasama,
konferensi, jaminan kerja serta fasilitas. Hal ini jelas membedakan antara
penelitian yang peneliti bahas, yaitu pada penelitian ini mengetahui pengaruh
kepemimpinan situasional dan badaya organisasi terhadap kinerja pegawai
melalui pendekatan kuantitatif.
2. Kinerja Kepala Madrasah (Studi Kasus di MAN I sungai Penuh) oleh M.
Karim, tahun 2005. Penelitian tersebut menghasilkan temuan yakni:
a. Madrasah Aliyah Negari (MAN) I Sungai Penuh telah menampakkan
tauladan yang baik sebagai edukator, Manajer, Administrator, Supervisor,
Leader, Inovator, Motivator.
b. Dalam menjalankan fungsinya menggunakan metode yang relevan dengan
situasi yang dihadapi. Adapun tipe kepemimpinan situasional merupakan
tipe yang digunakan dalam pengelolaan madrasah, namun yang lebih
dominan adalah tipe demokratis.
Penelitian di atas membahas tentang, bagaimana gambaran kinerja
Kepala Madrasah di Sungai Penuh, apa saja kendala-kendalanya serta
61
membandingkan pola kepemimpinan yang efektif untuk pemimpin di MAN 1
Sungai Penuh. Penelitian di atas berbeda dengan penelitian ini, karena
penelitian di atas hanya membahas dan mengungkapakn pola apa yang tepat
dan ideal untuk Kepala Madrasah di MAN 1 Sungai Penuh.
3. Kepemimpinan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tebo oleh Ahmad
Abrar, tahun 2009. Penelitian tersebut menemukan tersebut menghasilkan
temuan yakni :
a. Implementasi kepemimpinan kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tebo
sudah cukup baik walaupun belum optimal.
b. Kendala yang dihadapi dalam implementasi kepemimpinan antara lain:
1) Pengelolaan keuangan dimana setiap bulannya selalu terjadi
kekurangan untuk anggaran gaji pegawai honor.
2) Pelatihan dan pengembangan karir pegawai, yakni masih ditemukan
pegawai yang belum memahami tugas dan fungsinya masing-masing
c. Upaya yang dilakukan oleh dalam mengatasi kendala tersebut antara lain :
1) Dalam pengelolaan keuangan, kepala dinas mengoptimalkan seluruh
sumber daya yang ada untuk menutupi kekurangan anggaran tersebut.
2) Mengenai pelatihan dan pengembangan karir personel, terhadap
pegawai, kepala dinas selalu mengutus mereka untuk mengikuti
pelatihan-pelatihan, penataran, dan workshop mengenai pengembangan
karir mereka sendiri.
Penelitian di atas sebatas mengamati bagaimana kepemimpinan
dalam memimpin suatu instansi, kendala apa yang dihadapi dalam proses
memimpin tersebut, serta faktor apa yang dilakukan untuk mengatasi
masalah tersebut. Sedang penelitian tesis ini mencoba menganalisis pengaruh
kepemimpinan situasional kepala dinas dan budaya organisasi terhadap
kinerja pegawai di Dinas Pendidikan Kabupaten Muaro Jambi yang dilakukan
dengan metode deskriptif kuantitatif.
62
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul setelah
menetapkan anggapan dasar maka lalu membuat teori sementara yang
kebenarannya masih perlu diuji.76 Untuk menjawab permasalahan penelitian
dan mencapai tujuan penelitian, maka hipotesis penelitian perlu dirumuskan
secara tegas dan jelas. Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Terdapat pengaruh antara Kepemimpinan Situasional Kepala Dinas (X1)
terhadap Kinerja Pegawai (Y) di dinas Pendidikan Kabupaten Muaro
Jambi
2. Terdapat pengaruh antara Budaya organisasi (X2) terhadap kinerja
pegawai di dinas Pendidikan Kabupaten Muaro Jambi
3. Terdapat pengaruh antara Kepemimpinan Situasional (X1) dan Budaya
organisasi (X2) terhadap Kinerja Pegawai (Y) di dinas Pendidikan
Kabupaten Muaro Jambi
76 Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan sosial (Kuantitatif dan Kualitatif)
(Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), hal. 56
63
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis :
a. Pengaruh kepemimpinan situasional terhadap kinerja pegawai pada
Dinas Pendidikan Kabupaten Muaro Jambi
b. Pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai Dinas
Pendidikan Kabupaten Muaro Jambi
c. Pengaruh kepemimpinan situasional dan budaya organisasi terhadap
kinerja pegawai pada Dinas Pendidikan Kabupaten Jambi
B. Waktu Dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan, yaitu terhitung
mulai bulan April sampai dengan bulan Juni 2012. Pengambilan waktu
penelitian 3 bulan tersebut, dimaksudkan untuk menambah kelengkapan data
yang diperoleh, sehingga data yang ada memiliki tingkat kevalidan yang
cukup.
Tempat penelitian ini adalah di Dinas Pendidikan Kabupaten Muaro
Jambi. Alasan lokasi penelitian ini adalah bahwa lembaga pendidikan tersebut
mempunyai beberapan harapan yang bagus termasuk juga didalamnya untuk
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusianya. Selain itu dalam lembaga
tersebut sudah mulai ada keterbukaan dari para Sumber Daya Manusianya
sehingga hal ini dapat peneliti harapkan bisa memberikan informasi dan data-
data lain secara valid untuk kelancaran dalam penelitian.
64
C. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei
kausal dengan teknik kausal melalui korelasi dan regresi. Analisis ini akan
digunakan dalam menguji besarnya pengaruh antara variabel kepemimpinan
Situasional (X1) dan budaya organisasi (X2) terhadap kinerja pegawai (Y).
Lebih jelasnya diilustrasikan pada gambar berikut: