i TESIS HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN MANAJEMEN KONFLIK KEPALA RUANGAN DI RUMAH SAKIT UMUM BETHESDA TOMOHON RELATIONSHIP BETWEEN LEADERSHIP STYLES AND CONFLICT MANAGEMENT OF ROOM HEADS IN BETHESDA PUBLIC HOSPITAL OF TOMOHON MOUDY LOMBOGIA PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2013
131
Embed
TESIS HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN ...digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital...dan sistim penyelenggaraan organisasi (Djojodibroto, 1997). Sistem penyelenggaraan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
TESIS
HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN MANAJEMEN
KONFLIK KEPALA RUANGAN DI RUMAH SAKIT
UMUM BETHESDA TOMOHON
RELATIONSHIP BETWEEN LEADERSHIP STYLES AND
CONFLICT MANAGEMENT OF ROOM HEADS IN
BETHESDA PUBLIC HOSPITAL OF TOMOHON
MOUDY LOMBOGIA
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2013
ii
TESIS
HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN MANAJEMEN KONFLIK KEPALA RUANGAN DI RUMAH SAKIT UMUM
BETHESDA TOMOHON
Disusun dan diajukan oleh
MOUDY LOMBOGIA
Nomor Pokok : P4200211033
telah dipertahankan didepan Panitia Ujian Tesis
pada tanggal 13 Agustus 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui,
Komisi Penasihat
Dr. Ariyanti Saleh, S.Kp, M.Kes Dr.dr. Burhanuddin Bahar,M.Kes
Ketua Sekertaris
Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Magister Ilmu Keperawatan, Universitas Hasanuddin,
Dr. Ariyanti Saleh, S.Kp, M.Kes Prof. Dr.Ir.Muslimin
iii
PRAKATA
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena hanya dengan Kasih dan KaruniaNya, kegiatan penelitian di Rumah
Sakit Umum Bethesda Tomohon yang dimulai pada tanggal 21 Juni 2013
sampai dengan 17 Juli 201 dapat terlaksana dengan baik.
Penulis banyak mendapatkan dukungan dan bantuan serta
kerjasama dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini, dengan
segala kerendahan hati perkenankan penulis menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Dr. Ariyanti Saleh, S.Kp. M.Kes, Selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Keperawatan Universitas Hasanuddin Makasar ,sekaligus
pembimbing I dalam penyusunan Tesis yang telah memberikan
bimbingan dan arahan serta motivasi selama penulis melaksanakan dan
menyelesaikan penelitian di Rumah Sakit Umum Bethesda Tomohon
2. Dr. Burhanudin Bahar, MS sebagai pembimbing II dalam penyusunan
Tesis yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta motivasi
selama penulis melaksanakan dan menyelesaikan penelitian di Rumah
Sakit Umum Bethesda Tomohon
3. Prof.Dr. Abd. Rahman Kadir M.Si, selaku anggota penguji dalam
memberikan masukan dan arahan selama proses peyelesaian Tesis ini.
4. Dr. Elly L.Sjattar,SKp,M.Kes selaku anggota penguji dalam memberikan
masukan dan arahan selama proses peyelesaian Tesis ini.
5. Dr.Werna Nontji,S.Kp,M.Kep selaku anggota penguji dalam memberikan
masukan dan arahan selama proses peyelesaian Tesis ini.
iv
6. Dr. Robin Warouw,M.Kes, selaku Direktur RSU Bethesda Tomohon
yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melakukan
penelitian di RSU Bethesda Tomohon
7. Dr Debby Rumbayan,SpA selaku Wakil Direktur penunjang medik, Dr
Nova Wullur,SPOG selaku Wakil Direktur Administasi dan Keuangan
dan Dr Harry Ulaen,M.kes selaku Wakil Direktur Keperawatan yang
memfasilitasi mahasiswa dalam kegiatan penelitian di RSU Bethesda
Tomohon.
8. Ns. Yetty Mongdong, S.Kep, selaku Kepala Bidang Keperawatan RSU
Bethesda Tomohon yang memberi dukungan dan informasi, selama
pelaksanaan penelitian sehingga kegiatan penelitian di rumah sakit
berjalan dengan lancar.
9. Ns. Estefina Makausi,S.Kep Selaku Kepala Bagian Jaminan Mutu RSU
Bethesda Tomohon banyak informasi selama penulis melakukan
penelitian.
10. Kepala- Kepala Ruangan Paviliun Bethesda(ztr Joice), Paviliun
Elisabeth(Ztr Meity), Ketua-Ketua Tim dan seluruh perawat RSU
Bethesda Tomohon atas dukungan dan partisipasi serta kerjasamanya
dalam pelaksanaan penelitian.
11. Rekan-rekan Angkatan II Program Pascasarjana Magister Ilmu
Keperawatan atas dukungan motivasi dan semangat, dalam
menyelesaikan penelitian di RSU Bethesda Tomohon.
v
12. Suami tercinta “ Wiyono” atas dukungan moril, materiil, bahkan Doa
yang memberikan semangat dalam menyelesaikan Tesis,
juga anak-anakku tersayang Theo, Thea, Thio dan Thian yang memberi
waktu dan kesempatan untuk penulis menyelesaikan penelitian dan
penyusunan Tesis ini.
13. Para responden yang sudah meluangkan waktu, untuk berpartisipasi
dalam penelitian ini, atas jawaban yang sudah diberikan sesuai hati
nurani.
14. Semua pihak yang turut membantu dalam pelaksanaan residensi, yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Harapan penulis semoga kegiatan penelitian ini memberikan
manfaat dan segala saran, kritik dan koreksi terkait penelitian ini sangat
diharapkan.
Makasar, 13 Agustus 2013
Penulis
vi
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Moudy Lombogia Nomor Mahasiswa : P4200211033 Program studi : Keperawatan Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makasar, 13 Agustus 2013 Yang menyatakan,
Moudy Lombogia
vii
ABSTRAK MOUDY LOMBOGIA. Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Manajemen Konflik Kepala Ruangan (dibimbing oleh Ariyanti Saleh dan Burhanudin Bahar).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) gaya kepemimpinan (2) manajemen konflik (3) perbedaan gaya kepemimpinan masing-masing ruangan (3) perbedaan manajemen konflik masing-masing ruangan (4) hubungan gaya kepemimpinan dengan manajemen konflik.
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Bethesda Tomohon. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain Cross Sectional terhadap 60 orang perawat pelaksana sebagai responden yang diambil secara proportional sampling dan memenuhi kriteria inklusi. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Data dianalisis dengan menggunakan analisis statistic melalui tabulasi silang uji Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan dilakukan oleh kepala ruangan adalah gaya kepemimpinan demokrasi yaitu 75%, dan untuk manajemen konflik yang dilakukan oleh kepala ruangan adalah manajemen konflik kolaborasi yaitu 48,4%. Analisis bivariat dengan menggunakan uji Pearson Chi Square didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara gaya kepemimpinan dengan masing-masing ruangan hasil uji p = 0,000, untuk perbedaan manajemen konflik ada perbedaan antara manajemen konflik dengan masing-masing ruangan perawatan yaitu kolaborasi ruang C(31%), Negosiasi ruang D,E,G (28,6%), Smoothing ruang A (20,8%), setelah dikelompokkan hasilnya adalah ruang rawat inap biasa negosiasi (57,1%), ruang Intensive negosiasi (28,6%) dan ruang VIP,Kelas I, II smoothing (45,8%). Uji Pearson Chi Square didapatkan hasil p=0,000 artinya ada hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan dengan manajemen konflik kepala ruangan di RSU Bethesda Tomohon.
Kata kunci : Gaya kepemimpinan, manajemen konflik,
viii
ABSTRACT
MOUDY LOMBOGIA, Relationship Between Leadership Styles and Conflict Management of Room Heads (supervised by Ariyanti Saleh and Burhanudin Bahar). The aims of the research are to find (1) leadership style (2) conflict management (3) differences in the leadership styles of each room (3) the management of conflicts of each room (4) relationship
between leadership style and conflict management. The research was conduced in Bethesda Public Hospital of Tomohon., using cross sectional study design. The samples consisted of the 60 nurses as respondents selected using proportional sampling method and fulfilled inclusive criteria. The instrument used to obtain the data was questionnaire. The data were analyzed using statistic analysis through cross-tabulation of Chi Square test. The results of research indicate that leadership style used by room heads is a democratic leadership style, i.e. 75%, and for the conflict management is collaborative conflict management i.e. 48.4%. Based Bivariate analysis using Pearson Chi Square test showed that there are significant differences between the leadership style of each room with the test results of p = 0.000, for differences in conflict management is no difference between the management of conflict with each treatment room is collaboration space C (31 %), Negotiating space D, E, G (28.6%), Smoothing space a (20.8%) after the results are
grouped regular patient room negotiations (57.1%), the Intensive negotiations (28.6 %) and a VIP lounge, Class I, II smoothing (45.8%).. Pearson Chi Square test showed p = 0.000 means that there is a significant relationship between the leadership styles of conflict management of room heads in Bethesda Public Hospital of Tomohon.
Key word: leadership styles, conflict management
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................. iii
PRAKATA ............................................................................................ iv
ABSTRAK ............................................................................................ vii
DAFTAR ISI ......................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................... 6
C. Tujuan Penelitian............................................................ 7
D. Manfaat Penelitian .......................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 10
A. Gaya Kepemimpinan ...................................................... 10
Tabel 5.4a menunjukkan bahwa dari 9 ruangan perawatan, dengan 60
responden, sebagian besar responden berpendapat untuk manajemen
konflik kolaborasi lebih sering dilakukan oleh kepala ruangan C dalam
mengatasi konflik yang dihadapi sebanyak 31%, berbeda dengan ruangan
A sebanyak 20,8 % menggunakan manajemen konflik smoothing dan
perbedaan terjadi pada ruangan D,E,G masing- masing ruangan sebanyak
28,6% menggunakan manajemen konflik negosiasi dalam mengatasi konflik
yang dihadapi
57
Tabel 5.5b Perbedaan Manajemen Konflik yang digunakan pada kelompok ruangan perawatan di RSU Bethesda Tomohon Juni 2013
Tabel 5.5b menunjukkan bahwa dari 9 ruangan perawatan, persepsi
perawat pelaksana manajemen konflik untuk ruangan rawat inap biasa,
lebih sering menggunakan manajemen konflik negosiasi sebanyak
57,1 % , walaupun juga kepala ruangan menggunakan manajemen
konflik smoothing 54,2 %, dan manajemen konflik kolaborasi 48,3 %
juga digunakan diruangan-ruangan ini.
Ruang Intensive lebih sering juga menggunakan manajemen konflik
negosiasi sebanyak 28,6 %, walaupun terkadang sebanyak 17,3 %
menggunakan manajemen konflik kolaborasi.
Ruang rawat VIP, kelas I,II lebih sering 45,8 % menggunakan
manajemen konflik smoothing, walaupun juga menggunakan
Manajemen
Konflik
Ruangan Total Intensive Rawat Inap
Biasa VIP, Kelas I, II
n % n % n %
Kolaborasi 5 17,2 14 48,3 10 34,5 29
Negosiasi 2 28,6 4 57,1 1 14,3 7
Smoothing 0 0 13 54,2 11 45,8 24
58
manajemen konflik kolaborasi sebanyak sebanyak 34,5%, dan hanya
14,3 % menggunakan manajemen konflik negosiasi.
Kesimpulannya antara manajemen konflik ruangan perawatan intensive
dengan ruangan perawatan biasa sama yaitu menggunakan
manajemen konflik negosiasi. Hanya membedakan ruangan intensive
dan rawat inap biasa dengan ruangan VIP, kelas I,II.
Tabel 5.6 Hubungan Persepsi Perawat Pelaksana tentang Gaya Kepemimpinan dengan Manajemen Konflik Kepala Ruangan di Ruang Rawat RSU Bethesda Tomohon Juni 2013
Gaya
Kepemimpinan
Manajemen Konflik Total
p Kolaborasi Negosiasi Smoothing
n % n % n %
Demokrasi
15 33,3 7 15,6 23 51,1 45 (100) 0,000
Multikratik
14 93,3 0 0 1 6,7 15(100)
Total
29 48,3 7 11,7 24 40 60 (100)
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa hubungan persepsi perawat pelaksana
tentang gaya kepemimpinan dengan manajemen konflik, sesuai hasil
analisis Pearson-Chi Square nilai Significancy yang didapatkan
hubungan antara kedua variabel tersebut adalah p = 0,000, yang
menunjukkan nilai p < 0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa
H1 diterima atau “ada hubungan yang bermakna antara persepsi
perawat pelaksana tentang gaya kepemimpinan dengan manajemen
59
konflik kepala ruangan di RSU Bethesda Tomohon”. Hasil analisis
terlihat pada tabel 5.6 bahwa gaya kepemimpinan demokrasi yang
menggunakan manajemen konflik kolaborasi hanya 33,3 %, berbeda
dengan gaya kepemimpinan multikratik sebagian besar menggunakan
manajemen konflik kolaborasi 93,3 %, demikian juga gaya
kepemimpinan demokrasi lebih banyak menggunakan manajemen
konflik smoothing 51,1 %, sebaliknya gaya kepemimpinan multikratik
hanya 6,7 % menggunakan manajemen konflik smoothing, dan
manajemen konflik negosiasi hanya digunakan oleh kepala ruangan
dengan gaya kepemimpinan demokrasi 15,6 % dan tidak digunakan
pada gaya kepemimpinan multikratik.
B. PEMBAHASAN
1. Karakteristik Responden
Hasil penelitian sebagian besar responden berumur 20-30
tahun (36,7%), secara positif memiliki potensi untuk dapat
dikembangkan untuk peningkatan pelayanan keperawatan, menurut
Robins (2008) kelompok usia ini adalah usia yang tingkat
produktivitasnya tinggi. Sedangkan umur diatas 40 tahun berjumlah
33,3 %. Penelitian ini juga dilakukan wawancara dengan kepala
ruangan dan didapatkan 88,9 % umur kepala ruangan pada umur
60
diatas 40 tahun. Menurut Marquis dan Huston semakin dewasa dan
semakin tinggi jam terbang seseorang semakin banyak alternative
yang dapat diidentifikasi
Persepsi tantang gaya kepemimpinan dan manajemen konflik
usia ini berdampak positif, karena perawat dalam memberikan
tanggapan sesuai kenyataan, bagaimana seorang kepala ruangan
mampu mengatasi masalah yang terjadi diruangan. Penelitian ini juga
menemukan bahwa memang kepala ruangan sudah sangat dewasa
dalam menentukan gaya kepemimpinan maupun manajemen konflik.
Pada tingkat pendidikan sebagian besar SPK yaitu berjumlah
32 responden (53,3%), sedangkan pendidikan S1 Keperawatan hanya
2 responden (3.3%) menurut Siagian (2011) pendidikan yang tinggi
akan memiliki kemampuan dan analisa yang baik terhadap masalah
dan menurut Marquis & Huston (2010), seseorang dalam pengambilan
keputusan dipengaruhi latar belakang pendidikan.
Penelitian ini sesuai hasil wawancara 100% kepala ruangan
dengan pendidikan D III Keperawatan, dapat dilihat bahwa pendidikan
responden belum pada tingkatan yang tinggi walaupun pada
kenyataannya beberapa responden (10%) sementara mengikuti
pendidikan baik D III maupun S1 keperawatan, hal ini membuat
responden mampu memberikan persepsi yang positif bagi
61
kepemimpinan kepala ruangan, demikian juga pendidikan kepala
ruangan belum pada tingkatan pendidikan S1 keperawatan, tetapi
kepala ruangan di RSU Bethesda sering mengikuti pelatihan, seminar,
maupun workshop keperawatan, baik dengan biaya dari rumah sakit ,
biaya sponsor dari dokter di ruangan maupun biaya yang dikeluarkan
oleh kepala ruangan maupun perawat itu sendiri, dan pihak
manajemen rumah sakit selalu memberi kesempatan bagi perawat
yang mau mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut dengan pengaturan
waktu yang tepat. Hal tersebut nampak bahwa kepala ruangan maupun
perawat pelaksana, secara non formal selalu memperbaharui keilmuan
yang diterima walaupun tingkat pendidikan formal masih tergolong
belum tinggi.
Masa kerja responden diatas 15 tahun berjumlah 27
responden (45%) Menurut Gillies (1989) gaya kepemimpinan dapat
diidentifikasi berdasarkan perilaku pemimpin itu sendiri, dimana
perilaku seseorang dipengaruhi oleh adanya pengalaman bertahun-
tahun dalam kehidupannya seseorang akan mempengaruhi gaya
kepemimpinan yang digunakan. Gaya kepemimpinan cenderung
sangat berbeda dan bervariasi.
Penelitian ini juga dilakukan wawancara dengan kepala
ruangan dimana masa kerja kepala ruangan 100% diatas 15 tahun.
62
Kepala ruangan dengan masa kerja lebih lama banyak pengalaman
terutama hal-hal yang menyangkut ketepatan dalam pengambilan
keputusan dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Kepala ruangan
di RSU Bethesda yang bekerja diatas 15 tahun tidak ada
kecenderungan untuk pindah ke rumah sakit lain, karena sudah
merasa nyaman dan terbiasa dengan iklim organisasi RSU Bethesda
Tomohon, dan perawat pelaksana yang melebihi 15 tahun bekerja di
RSU Bethesda Tomohon, lebih banyak pengalaman dengan berbagai
kepala ruangan dari masing-masing gaya kepemimpinan maupun
memecahkan konflik yang ada.
Status pernikahan yang menikah 52 responden (86,7%) dan
untuk kepala ruangan 100% sudah menikah. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa seorang yang sudah menikah mempunyai pengalaman yang
lebih, dimana dengan status dirumah sebagai orangtua, diperhadapkan
menghadapi anak dan suami/istri dengan berbagai karakter dan
masalahnya, hal ini tanpa disadari perawat menjadi seorang pemimpin
“kecil” dirumah, keadaan ini membuat perawat punya pengalaman
dalam memberikan persepsi tentang gaya kepemimpinan dan
manajemen konflik.
63
2. Gaya Kepemimpinan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi perawat
pelaksana tentang gaya kepemimpinan kepala ruangan rawat inap di
RSU Bethesda Tomohon, pada gaya kepemimpinan demokratik yaitu
berjumlah 45 responden (75%). Menurut Kartono,2011 mengatakan
bahwa pemimpin demokratis biasanya dihormati dan dihargai.
Pemimpin demokratis tidak berusaha menjadi majikan. Semua anggota
kelompok selalu ingin bertemu muka dan bertukar pikiran dengan
dirinya yang dianggap sangat simpatik. Semua prestasi kerjanya selalu
dinilai dengan kriteria “ hasil kami bersama-sama” hasil musyawarah
bersama”. Kepemimpinan demokratis mempunyai kemampuan
mengumpulkan banyak informasi dan kebijaksanaan dari semua
anggota kelompok, dan bisa memanipulasi semuanya dengan efektif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepemimpinan yang
ada di RSU Bethesda Tomohon ini, kepala ruangan selalu meminta
pendapat dari bawahannya dalam pengambilan keputusan, misalnya
dalam hal rapat bulanan dibeberapa ruangan memutuskan bersama
antara pimpinan dan bawahan, jika hadir dalam rapat bulanan kepala
ruangan memberikan reward berupa diberikan libur satu hari, dengan
pengaturan pengambilan waktu libur diambil bergantian, untuk masing-
64
masing perawat pelaksananya. Kepala ruangan mengatakan tidak ada
reward dalam bentuk uang (uang rapat) yang dapat saya berikan,
begitu juga pihak rumah sakit tidak menyiapkan dana untuk kegiatan
rapat. Waktu kedatangan dinas/jaga untuk masing-masing ruangan
sudah diatur rumah sakit jam 07.00, dan jika ada yang terlambat,
perawat tersebut akan pulang dinas/jaga lebih terlambat dari perawat
yang lain, sampai menunggu waktu dinas/jaga berikutnya.
Menurut Penelitian Hutahaen (2009) didapatkan 50% perawat
pelaksana menyatakan gaya kepemimpinan yang dilakukan kepala
ruangan di RSUP Adam Malik Medan adalah gaya kepemimpinan
demokrasi.
Manager di RSU Bethesda Tomohon, gaya kepemimpinan
demokrasi lebih banyak diterapkan di rumah sakit ini, mengingat motto
dari rumah sakit ini adalah menabur kasih diberkati untuk melayani,
maka kepala ruangan dirumah sakit ini memikirkan kepemimpinannya
merupakan pelayanan, dan jika pelayanannya tidak menimbulkan
permusuhan akan membuat dia selalu akan diberkati. Kepemimpinan
kepala ruangan di rumah sakit ini tidak mengutamakan perintah
kebawahan, tetapi usulan bawahan dipertimbangkan dan diputuskan
bersama antara kepala ruangan dan perawat pelaksana.
65
Hasil observasi pada saat residensi, kepala ruangan berusaha
menyatu dengan perawat pelaksana, tidak selalu berada dibelakang
meja kepala ruangan, tetapi selalu bersama-sama perawat pelaksana
keruangan-ruangan pasien, kepala ruangan duduk bersama perawat
pelaksana di ruang perawat. Jika ada perawat pelaksana yang
melakukan tindakan yang patut dipuji, kepala ruangan memberikan
pujian yang selayaknya, tetapi sebaliknya dan jika perawat pelaksana
melakukan tindakan yang kurang tepat, diberikan teguran yang bisa
diterima, dengan mendiskusikan diruang kepala ruangan untuk
memperbaiki kesalahan. Semua prestasi kerja perawat selalu dinilai
atas dasar hasil kami bersama-sama dalam kerputusan rapat bukan
prestasi kepala ruangan secara pribadi.
Menurut Tappen, (1998) dalam Kurniadi (2013) kepemimpinan
demokrasi membantu perawat mencapat tujuan kelompok,
mengekspresikan bakat dan kemampuannya tanpa rasa takut, moral
kelompok tinggi dan belajar memecahkan masalah serta menerapkan
proses kepemimpinan tinggi. Kepemimpinan demokrasi produktivitas
tinggi dan kepuasan perawat tinggi.
Penelitian ini ditemukan perawat sering datang tepat waktu,
kurangnya keluhan pasien dan keluarga di rumah sakit ini, yang
66
nampak pada hasil residensi 2012, kepuasan pasien pada 88,88%
sangat puas dengan pelayanan keperawatan, demikian juga aktivitas
perawat pada kepuasan kerja 96,77 % puas, walaupun bertolak
belakang dengan tingginya ketidakpuasan perawat yaitu 97,22 %,
pada pemberian kompensasi yang di berikan pihak manajemen rumah
sakit. Gaya kepemimpinan kepala ruangan demokrasi, tetapi pihak
manajemen rumah sakit kurang demokrasi dalam penentuan upah
yang lebih sesuai untuk perawat di rumah sakit ini.
3. Manajemen Konflik
Hasil penelitian ini persepsi perawat pelaksana tentang
manajemen konflik kepala ruangan di RSU Bethesda Tomohon
sebagian besar responden berpendapat, kepala ruangan pada
manajemen konflik kolaborasi, yaitu berjumlah 29 responden (48,3%).
Menurut Sinaga, (2010) manajemen konflik kolaborasi
berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja. Menurut Marquis dan
Huston, 2010, Mananajemen konflik kolaborasi adalah cara
penyelesaian masalah yang asertif dan kooperatif , dalam kolaborasi
semua pihak mengesampingkan tujuan awalnya dan bekerja sama
untuk menentukan tujuan dan prioritas. Walaupun sangat sulit bagi
semua pihak untuk mengesampingkan tujuan awal, kolaborasi tidak
67
dapat terjadi jika hal itu tidak dilakukan, dan untuk mencapai tujuan
baru harus focus pada menyelesaikan masalah, kolaborasi
membutuhkan rasa saling menghormati, komunikasi terbuka dan jujur
juga kekuasaan pengambilan keputusan sama besarnya, kolaborasi
menjadi alternative terbaik untuk penyelesaian masalah rumit yang.
Menurut penelitian Sportsman dan Hamilton, (2007),
manajemen konflik pada profesi perawat adalah kompromi, dan
perbedaan usia antara kepala ruangan dengan perawat pelaksana
berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen konflik. melibatkan
orang lain. . Hasil penelitian dari Hendel, Fish dan Galon (2005),
manajemen konflik yang paling sering digunakan oleh manager
keperawatan di rumah sakit umum Israel adalah kompromi, dengan
gaya kepemimpinan transformasional.
Jenis konflik yang muncul dirumah sakit ini antara lain konflik
antar pribadi jenis approach-approach conflict, dimana perawat
terkadang timbul perasaan untuk malas datang ketempat bekerja,
karena sudah mendapatkan tawaran bekerja dirumah swasta yang
lebih maju, dengan tawaran gaji lebih tinggi tetapi lokasi rumah sakit
tersebut lebih jauh dari rumah, dibandingkan dengan rumah sakit saat
ini yang gaji lebih rendah, transportasi lebih murah, dekat dengan
68
rumah. Jenis konflik ini lebih tepat untuk menggunakan manajemen
konflik Smoothing dimana di rumah sakit ini 40 % menggunakan
manajemen konflik ini. Konflik ini peran kepala ruangan pada konflik ini
untuk memberi pandangan kepada perawat, bahwa dengan
perhitungan pemasukan dan pengeluaran, ternyata hampir tidak ada
bedanya bekerja di rumah sakit Bethesda dengan tawaran rumah sakit
tersebut. Kepala ruangan berusaha mengurangi emosi, karena perawat
sudah mulai malas bekerja, karena kepala ruanganpun menyadari
bahwa gaji yang diterima perawat di rumah sakit ini, masih dibawah
rata-rata gaji perawat di rumah sakit swasta yang lain yang ada di
propinsi Sulawesi Utara.
Konflik lain lagi yang muncul di rumah sakit ini adalah konflik
antar perorangan, dimana antara perawat dengan keluarga pasien
kadang terjadi konflik dimana keluarga pasien mengharapkan tindakan
yang segera tanpa harus ditunda, sementara perawat juga
diperhadapkan dengan pasien yang jauh lebih membutuhkan dari
pasien tersebut, dengan kekurangan tenaga perawat yang ada, karena
hasil data residensi 4 ruangan perawatan masih kekurangan tenaga
perawat, masalah tersebut berdampak bagi pelayanan, pasien merasa
tidak diperhatikan dan merasa ditelantarkan. Demikian juga jenis
konflik ini terjadi antara perawat dengan perawat, hasil wawancara ada
69
perawat yang kurang bertanggung jawab dengan pasien, sering
meninggalkan ruangan pada waktu kerja, sering tidak masuk saat
dinas/jaga, sehingga perawat tersebut jika berpasangan dinas/ jaga
dengan perawat yang lain, banyak menolak.
Penyelesaian konflik tersebut dapat diselesaikan dengan
manajemen konflik smoothing kepala ruangan berusaha memberi
pandangan pada kedua belah pihak yang berkonflik untuk dengan
penuh kesadaran dapat introspeksi diri, pada keluarga disampaikan
mengapa belum dilayani, karena perawat mendahulukan tindakan
yang mengancam jiwa, perawatpun disadarkan bagaimana melakukan
komunikasi terapeutik pada pasien maupun keluarga, bisa saja cara
penyampaian ke pasien yang tidak tepat, sehingga menyinggung
perasaan pasien. Konflik yang lain juga, perlunya kepala ruangan
menyadarkan perawat yang bermasalah, untuk dapat mengikuti tata
tertib kerja yang benar, tetap disiplin dalam bekerja, demikian juga
disadarkan perawat yang lain untuk membantu perawat tersebut
dengan membagi pekerjaan pada waktu berpasangan dinas/jaga, dan
kepala ruangan sebijak mungkin mengatur perawat yang bermasalah,
berpasangan dengan perawat senior dan dipandang disegani oleh
perawat yang bermasalah.
70
Hal yang sama juga terjadi jika keterlambatan pelayanan atas
tindakan yang harus dilakukan oleh dokter, perawat yang ada
diruangan menjadi pelampiasan pasien untuk masalah tersebut
misalnya keterlambatan dokter visite ke pasien yang sudah kehabisan
obat, keterlambatan dokter melakukan tindakan dan lain lain kebijakan
yang harus dilakukan dokter. Penyelesaian konflik yang dapat
dilakukan adalah kolaborasi, kepala ruangan wajib menyelesaikan
dengan dokter yang bersangkutan, segera menghubungi dokter untuk
segera memberikan tindakan, atau memberi terapi kepada pasien, jika
dokter berhalangan segera meminta dokter tersebut memberi
rekomendasi dengan dokter yang lain untuk menggantikan, atau jika
pada waktu hari raya/libur atau waktu sore dan malam, instruksi yang
dilakukan melalui telepon, dan besoknya dapat ditanda tangani oleh
dokter yang memberi instruksi, pada status pasien.
Konflik yang terjadi juga pada jenis konflik intra kelompok,
konflik ini terjadi didalam ruangan, dimana terbentuknya blok perawat
pro dan kontra kepada pimpinan rumah sakit, yang ‘kontra’ menyebar
isu kejelekan pimpinan yang lama, isu tersebut membuat kelompok
‘pro’ mulai marah dengan yang ‘kontra’, ditambahkan juga ada isu
pihak yayasan akan mengganti perawat-perawat yang tidak
mendukung kebijakannya. Penyelesaian konflik ini adalah smoothing
71
dimana kepala ruangan menyadarkan pihak ‘pro’ dan ‘kontra’, bahwa
isu yang beredar tidak ada bukti kebenarannya, jadi waktu dan pikiran
terkuras habis hanya untuk memikirkan sesuatu, yang belum pasti.
Kepala ruangan menganjurkan perawat tetap menjalankan tugas
sebagaimana mestinya.
Konflik yang terjadi yang terakhir adalah jenis konflik inter
kelompok, konflik ini terjadi pada tingkat rumah sakit secara
keseluruhan dan pihak yayasan. Pihak yayasan mengeluarkan Surat
Keputusan penggantian direktur dan jajarannya, sementara menurut
pihak pimpinan rumah sakit saat itu yayasan tersebut, tidak berhak lagi
atas kepemilikan rumah sakit tersebut, karena berdasarkan rapat kerja
sudah beralih kepemilikan pada yayasan yang lain. Tetapi
kelemahannya belum disertai surat keputusan. Konflik ini berdampak
pada di blokirnya rekening rumah sakit oleh yayasan yang lama,
mengakibatkan gaji, uang tunjangan hari raya perawat tertunda
pembayarannya, pelayanan keperawatan terganggu di setiap ruangan,
byling system tertutup, kebutuhan ATK (alat tulis kantor) dan alat
kesehatan yang membutuhkan persetujuan direksi yang lama pada
saai itu ditangguhkan.
72
Penyelesaian konflik ini sebaiknya diselesaikan oleh middle
dan top manager dan bukan oleh kepala ruangan, adalah dengan
melakukan negosiasi pada pihak ketiga untuk menyelesaikan masalah
gaji dan tunjangan hari raya perawat, meminta pihak ketiga adalah
pimpinan yang lebih tinggi yaitu orang yang lebih tinggi jabatannya dari
direktur dan ketua yayasan untuk dapat membuka kembali rekening
yang terblokir. Kebutuhan yang ada saat ini pada masing-masing
ruangan diatur dengan dana yang tersisa di rumah sakit. Karena
pemasukan dari pembayaran pasien yang dirawat masih ada, dan
dana tersebut dapat digunakan untuk kebutuhan pelayanan di rumah
sakit.
4. Perbedaan gaya kepemimpinan dengan ruangan perawatan
Hasil penelitian persepsi perawat pelaksana tentang gaya
kepemimpinan, sesuai hasil analisis Uji Pearson Chi Square nilai
Significancy yang didapatkan perbedaan antara kedua variabel
tersebut adalah p = 0,000, yang menunjukkan nilai p < 0,05 maka
dapat diambil kesimpulan bahwa H1 diterima atau “ada perbedaan
yang bermakna antara persepsi perawat pelaksana tentang gaya
kepemimpinan dengan ruangan-ruangan perawatan di RSU Bethesda
Tomohon”.
73
Hasil analisis terlihat pada tabel 5.4 untuk ruang perawatan
VIP,kelas I,II 60 % sering menggunakan gaya kepemimpinan
multikratik, dan gaya kepemimpinan demokrasi hanya 28,9%.
Menurut Hubber (2000) dalam Kurniadi (2013), kepemimpinan
otoriter perawat tidak berani mengambil inisiatif dan cenderung
menghindari tanggung jawab. Akibat lain anggota memiliki kepekaan
tinggi, mudah marah, apatis. Produktivitas tinggi bila diawasi terus
menerus, tetapi dapat kendor jika tidak ada pengawasan. Bagi perawat
baru dapat terjadi turn over yang tinggi.
Melihat hasil penelitian ini ruangan yang lebih sering
menggunakan gaya kepemimpinan multikratik (kombinasi otoriter dan
demokrasi), dimana ruangan ini adalah ruangan yang diharapkan lebih
oleh pasien dan keluarga, karena biaya ruang perawatan, visite dokter
dan tindakan yang lebih mahal, sehingga untuk menghasilkan
produktivitas yang tinggi dari perawat pelaksana, dan mengharuskan
kepala ruangan terkadang menerapkan gaya otoriter, tetapi dengan
upah yang rendah, yang ditakutkan turn over perawat pelaksana ke
rumah sakit swasta yang lain, mengingat banyak perawat pelaksana di
rumah sakit ini yang sudah terlatih, trampil, kinerja baik pindah ke
rumah sakit lain, sehingga kepala ruangan secara bergantian
74
mengkombinasikan gaya kepemimpinan otoriter dengan gaya
kepemimpinan demokrasi.
Menurut Sulaeman, (2011) gaya kepemimpinan otoriter
digunakan pemimpin untuk memecahkan masalah, mempunyai waktu
pendek dan pegawai termotivasi baik, efektif untuk tingkat kematangan
bawahan rendah, dimana pegawai tidak mampu dan tidak mau
memikul tugas dan tanggung jawab. Sementara satu gaya
kepemimpinan akan kurang efektif jika diterapkan pada semua situasi,
maka dikembangkan gaya kepemimpinan kombinasi akan
menghasilkan gaya kepemimpinan multikratik (kombinasi dari lebih dari
satu gaya kepemimpinan), dimana gaya kepemimpinan ini untuk
menghadapi berbagai situasi.
Hasil wawancara dengan kepala ruangan berpendapat
melakukan gaya kepemimpinan demokrasi hal ini terjadi karena apa
yang dilakukan kepala ruangan selayaknya mengikuti aturan rumah
sakit tanpa mengabaikan kebijakannya sebagai kepala ruangan. Salah
saru ruangan pada kelompok ruangan ini adalah merupakan ruangan
percontohan untuk penerapan Model Asuhan Keperawatan Profesional
(MAKP) sejak 10 (sepuluh) tahun terakhir, dimana kepala ruangan
dengan dasar pendidikan D III Keperawatan, dan dengan bekal
75
berbagai pelatihan MAKP, dan juga ruangan ini merupakan pusat
praktek manajemen bagi mahasiswa S1 Keperawatan swasta dikota
tersebut. Keadaan ini kepala ruangan secara tidak langsung dituntut
harus mampu menerapkan MAKP mulai dari timbang terima yang
menuntut perawat harus datang tepat pada waktunya.
Pembagian Tim keperawatan dengan segala keterbatasan tenaga baik
jumlah maupun tingkat pendidikan, dimana ruangan tersebut masih
kekurangan 5 orang perawat sesuai perhitungan kebutuhan tenaga
pada praktek residensi 2012. Sangatlah tepat kepala ruangan
menerapkan gaya kepemimpinan multikratik atau kombinasi dari gaya
kepemimpinan demokrasi dan otoriter.
Ruang perawatan Intensive 33 % juga menggunakan gaya
kepemimpinan multikratik, sementara gaya kepemimpinan demokrasi
hanya 4,4 % digunakan pada ruangan intensive.
Menurut Sitorus dan Panjaitan (2011) kepemimipinan otoriter mudah
diprediksi, menurunkan frustasi dalam kelompok kerja, memberi
perasaan aman bagi anggotanya. Produktivitas tinggi pada organisasi.
Kepemimpinan otoriter berguna dalam situasi krisis.
Gaya kepemimpinan otoriter jika dikombinasikankan dengan
gaya kepemimpinan demokrasi akan lebih baik dimana gaya
76
kepemimpinan demokrasi, menurut Kurniadi, (2013) melibatkan setiap
anggota kelompok dalam semua kegiatan, memberi kesempatan dan
mengekspresikan tanpa rasa takut menekankan persetujuan atas
keputusan kelompok.
Menurut Rivai dan Mulyadi, (2012) kepemimpinan demokrasi
adalah menempatkan manusia sebagai factor utama dan terpenting
dalam setiap kelompok/organisasi. Perawat dibawah gaya
kepemimpinan otoriter merasa tertekan selalu membutuhkan
persetujuan pemimpin dan merasa segala tindakan diperhatikan dan
dalam pengawasan, tetapi kepemimpinan ini akan lebih cocok
digabungkan dengan dengan gaya kepemimpinan demokratis
kedisiplinan perawat melakukan tindakan keperawatan ditanamkan
oleh kelompok perawat itu sendiri, sementara pada kepemimpinan
otoriter disipiln dipaksakan oleh kepala ruangan, biasanya perawat
akan diberi sanksi jika melanggar kedisiplinan tersebut. Tetapi jika
gaya kepemimpinan ini dipadukan dengan gaya kepemimpinan
demokrasi akan lebih efektif, karena perawat dalam menjalankan
tugasnya diperhadapkan dengan berbagai masalah mulai dari
hubungan sesama teman perawat, profesi lain seperti dokter, ahli gizi,
fisioterapi bahkan dengan kepala ruangan, juga masalah dengan
pasien, keluarga pasien dengan berbagai tuntutan pekerjaan, mulai
77
dari pelayanan keperawatan sampai tindakan non keperawatan
(administasi, kebersihan dan kerapihan ruangan dll), dan hal ini tanpa
didukung dengan jasa perawat yang layak.
Hasil penelitian ditemukan juga diruang perawatan ICU =
Intensive Care Unit persepsi perawat pelaksana kepala ruangan
menerapkan gaya kepemimpinan multikratik, dan hasil wawancara
kepala ruangan berpendapat kepala ruangan menerapkan gaya
kepemimpinan kombinasi otoriter dan demokrasi (multikratik). Kepala
ruangan menerapkan gaya kepemimpinan ini karena ruangan ICU
membutuhkan kedisiplinan yang cukup tinggi bagi perawat, begitu juga
tingkat ketelitian dalam tindakan keperawatan.
Teori yang dikemukakan oleh Kartono, (2011) kepemimpinan
demokratis mempunyai disiplin kerja dan ketepatan kerja yang tinggi,
dan jika digabungkan dengan gaya kepemimpinan otoriter tidak pernah
menjelaskan isi sepenuhnya rencana, mengkomandokan setiap
langkah, tidak memperhitungkan iklim emosional kelompok serta
bentuk kerja yang dilakukan adalah kooperatif.
Ruangan ICU memang membutuhkan pemimpin yang tipe multikratik,
dimana dalam penanganan pasien kritis, membutuhkan tindakan yang
cepat, tepat dan segera, demi menyelamatkan nyawa pasien karena
78
kecerobohan perawat dan tidak didukung gaya kepemimpinan yang
tepat dapat menghilangkan nyawa pasien ataupun dapat menimbulkan
kecacatan.
Ruang rawat inap biasa 66,7 % menggunakan gaya
kepemimpinan demokrasi, sementara gaya kepemimpinan multikratik
hanya 6,7 % digunakan pada ruangan perawatan biasa. Menurut Rivai
dan Mulyadi, (2012) gaya kepemimpinan demokrasi adalah pemimpin
memandang dan menempatkan orang-orang yang dipimpinnya
memiliki kepribadian dengan berbagai aspek, seperti dirinya juga.
Kemauan, kehendak, kemampuan, buah pikiran, pendapat, kreativitas
dan inisiatif yang berbeda-beda, dihargai disalurkan secara wajar.
Kepemimpinan ini adalah yang aktif, dinamis dan terarah.
Hasil penelitian ini adalah ruangan rawat inap biasa rata- rata
dengan BOR (Bed Occupancy Rate) bervariasi antara 40-70%, dan
semua pasien yang dirawat disertai penjaga yang tetap dan kepala
ruangan selalu bersedia melakukan tindakan keperawatan jika perawat
pelaksana tidak sanggup melakukan tindakan tersebut misalnya
pemasangan infuse pada pasien yang keadaan venanya sulit, perawat
pelaksana dapat meminta tanpa merasa takut kepada kepala ruangan
untuk memasang infuse tersebut, dan secara aktif kepala ruanganpun
meninggalkan tugasnya yang lain untuk menggantikan memasang
79
infuse. Kepala tidak memandang bahwa tindakan keperawatan adalah
tugas perawat pelaksana, tetapi pelayanan bagi pasien yang
diutamakan dan dilakukan seoptimal mungkin.
5. Perbedaan manajemen konflik dengan ruangan perawatan
Hasil penelitian persepsi perawat pelaksana manajemen
konflik, terlihat pada tabel 5.5 menunjukkan bahwa untuk ruangan
rawat inap biasa, lebih sering menggunakan manajemen konflik
negosiasi sebanyak 57,1 %, walaupun untuk manajemen konflik
smoothing 54,2 %, dan manajemen
Menurut teori dari Marquis dan Huston, (2010), manajemen
konflik negosiasi/ kompromi adalah setiap pihak melepaskan salah satu
tuntutannya, kompromi/negosiasi sebagai strategi penyelesaian
masalah dimana kedua pihak melepaskan tuntutannya, agar kompromi
tidak menghasilkan situasi keduanya kalah, kedua pihak harus mau
melepaskan sesuatu yang sama berharganya. Penelitian ini sejalan
Penelitian yang dilakukan oleh Hendel, Fish, Galon, (2005)
manajemen konflik yang sering digunakan kepala perawat adalah
manajemen konflik kompromi/ negosiasi. Sejalan teori yang
dikemukakan Fathoni,(2006) perselisihan dalam hubungan kerja harus
diselesaikan dan memerlukan langkah yang tepat dalam pemecahan
masalah.
80
Hasil penelitian tersebut menunjukkan manajemen konflik ini
diterapkan diruang perawatan biasa, karena ruangan perawatan lebih
tenang, tidak banyak tuntutan pelayanan keperawatan dibandingkan
dengan ruangan yang lain, jadi kepala ruangan pada penatalaksanaan
konflik menerapkan manajemen konflik ini, kedua yang berkonflik
mengalah, dan dapat menyepakati tujuan bersama, yaitu pelayanan
optimal untuk pasien. Ruangan perawatan ini perawat tidak terlalu
diharapkan berlebih dalam pelayanan, perawat memberikan pelayanan
sesuai tingkat ketergantungan pasien, dan rata-rata pasien kebutuhan
aktivitas sehari-hari seperti mandi, buang air kecil, buang air besar,
berjalan, dibantu oleh keluarga, karena ruangan ini mengijinkan
penjaga pasien/keluarga untuk menginap di rumah sakit dan tidak
melebihi satu orang.
Ruang Intensive lebih sering juga menggunakan manajemen
konflik negosiasi sebanyak 28,6 %, walaupun terkadang sebanyak
17,3 % menggunakan manajemen konflik kolaborasi. Ruangan
intensive menggunakan manajemen konflik ini pada keadaan dimana
keluarga dengan kecemasan yang tinggi, dengan keadaan pasien yang
kritis mengharuskan kepala ruangan melakukan negosiasi dengan
keluarga, untuk mentaati peraturan yang ada di rumah sakit, dimana
melarang masuk ruangan perawatan pasien melebihi satu orang,
81
mengharuskan menggunakan gaun khusus ICU, melarang menjaga
pasien diruang perawatan, keluarga diijinkan menunggu diluar ruangan
ICU, dengan diberi ruangan tersendiri bagi keluarga pasien ICU,
bahkan difasilitasi kamar sewa bagi keluarga pasien ICU, dengan biaya
yang terjangkau dan sangat dekat dengan ruangan ICU. Melarang
mambawa peralatan dan makanan dalam ruangan perawatan. Hal
tersebut dinegosiasikan kepala ruangan ICU dengan keluarga pasien
demi kepentingan perawatan dan kesembuhan pasien. Walaupun
manajemen konflik kolaborasi tetap dilakukan juga dimana kepala
ruangan melakukan kolaborasi yang intensif dengan dokter ruangan,
melaporkan perkembangan pasien-pasien. Jika ada pasien yang
membutuhkan pelayanan segera manajemen konflik kolaborasi sangat
diperlukan. Karena jika manajemen konflik kolaborasi tidak segera
dilakukan maka keselamatan pasien dapat terancam.
Ruang rawat VIP, kelas I,II lebih sering 45,8 % menggunakan
manajemen konflik smoothing, walaupun juga menggunakan
manajemen konflik kolaborasi sebanyak sebanyak 34,5%, dan hanya
14,3 % menggunakan manajemen konflik negosiasi. smoothing
digunakan untuk mengatur situasi konflik. Seseorang “ menarik hati
orang lain yang terlibat dalam konflik untuk mengurangi komponen
emosional dalam konflik. Manajemen konflik Smoothing terjadi ketika
82
satu pihak dalam konflik berupaya untuk memuji pihak lain atau
berfokus pada hal yang disetujui bersama, bukan pada perbedaan.
Ruangan perawatan VIP, kelas I,II dapat dikatakan ruangan perawatan
khusus, dimana dalam memberikan pelayanan selalu khusus, mulai
dari memberikan makanan, kamar yang privasinya, ketenangannya
dijaga, pemberian tindakan keperawatanpun khusus, mulai dari
persiapan alatnya, thermometer yang disiapkan satu pasien memiliki
thermometer sendiri yang nantinya dapat dibawa pulang oleh pasien,
karena sudah masuk dalam tagihan pembayaran pasien, hal ini kepala
ruangan menjaga supaya pasien merasa nyaman, tidak bergantian
thermometer dengan pasien lain.
Hal ini salah satu untuk menangani konflik negosiasi cocok jenis konflik
intra personal pasien, yang merasa tertular penyakit dengan pasien
lain, mengingat, latar belakang ekonomi mampu dan tingkat pendidikan
pasien dan keluarga yang sudah tinggi.
Manajemen konflik smoothing dilakukan kepala ruangan untuk
perawat dilakukan pada ruangan ini, dimana perawat pelaksana dapat
introspeksi diri jika konflik perawat terjadi dengan pasien atau keluarga,
perawat diharapkan menyadari bahwa pelayanan untuk pasien
memang berbeda. Pasien dengan perawatan ruangan-ruangan ini
mengharapkan tindakan cepat dan tepat, tanpa menunda waktu, visite
83
dokter setiap hari, ruangan perawatan harus selalu bersih dan lain-lain.
Masalah semua yang terjadi adalah tanggung jawab perawat diruangan
tersebut, dan jika ada masalah dalam pelayanan tersebut, maka konflik
tidak dapat terhindarkan. Smoothing merupakan tindakan yang tepat
dimana kepala ruangan menyadarkan perawat dan keluarga pasien
dan keluarga diredakan kemarahannya.
Manajemen konflik ruangan perawatan intensive dengan
ruangan perawatan biasa dapat disimpulkan sama, yaitu menggunakan
manajemen konflik negosiasi. Hanya membedakan ruangan intensive
dan rawat inap biasa dengan ruangan VIP, kelas I,II.
6. Hubungan gaya kepemimpinan dengan manajemen konflik
Hasil penelitian persepsi perawat pelaksana tentang gaya
kepemimpinan dengan manajemen konflik, sesuai hasil analisis
Pearson-Chi Square nilai Significancy yang didapatkan hubungan
antara kedua variabel tersebut adalah p = 0,000, yang menunjukkan
nilai p < 0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa H1 diterima atau
“ada hubungan yang bermakna antara persepsi perawat pelaksana
tentang gaya kepemimpinan dengan manajemen konflik kepala
ruangan di RSU Bethesda Tomohon”. Hasil analisis terlihat pada tabel
5.6 bahwa gaya kepemimpinan demokrasi yang menggunakan
manajemen konflik kolaborasi hanya 33,3 %. Hasil penelitian ini sesuai
84
dengan teori yang ada dimana kepemimpinan demokrasi selalu
dihormati dan dihargai oleh bawahannya, sesuai untuk manajemen
konflik yang sering dilakukan oleh kepala ruangan yaitu kolaborasi,
karena untuk mencapai tujuan baru harus focus pada menyelesaikan
masalah, dan kolaborasi membutuhkan rasa saling menghormati,
komunikasi terbuka dan jujur.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Setiawan,
(2008), menyatakan bahwa gaya kepemimpinan demokrasi
berpengaruh positif terhadap penyelesaian konflik individu, antar
individu dan antar kelompok.
Oleh karena itu gaya kepemimpinan demokrasi tepat dilakukan di
rumah sakit ini. Gaya kepemimpinan demokrasi dimana pemimpin
mengutamakan kelompoknya, mengikutsertakan kelompoknya dalam
pengambilan keputusan. Kepala ruangan di RSU Bethesda Tomohon
menerapkan gaya kepemimpinan demokrasi, karena dianggap perawat
pelaksana dengan beban pekerjaan, dan upah yang diterimanya belum
sesuai, masih kurangnya jumlah perawat pada 4 ruangan perawatan,
turn over yang tinggi maka kepala ruangan dengan gaya
kepemimpinan demokrasi dapat merangkul para perawat pelaksana
untuk dapat tetap bekerja seoptimal mungkin, bahkan kepala ruangan
pernah melakukan kolaborasi dengan manajemen rumah sakit, untuk
85
meningkatkan gaji yang diterima perawat, tetapi memang belum
langsung terjadi perubahan gaji perawat, bahkan ada kepala ruangan
berusaha menghubungi lewat telepon kepada perawat yang sudah
berniat pindah, tetapi berhubung gaji yang diterima perawat baru masih
dibawah rata-rata, maka perawat tersebut merasa gajinya di rumah
sakit tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhannya.
Konflik intrapersonal terjadi dengan perawat pelaksana, dia
ingin tetap bekerja dirumah sakit ini, suasana rumah sakit
menyenangkan, udaranya sejuk, kepala ruangannya mendukung
perkembangan ketrampilannya, tetapi gaji yang tidak sesuai membuat
dia harus pindah. Kolaborasi tetap dilakukan oleh kepala ruangan
dengan pihak direksi, bahkan praktek residensi mahasiswapun
dimohonkan oleh kepala-kepala ruangan, dapat menyampaikan
kepada pihak manajemen rumah sakit, secara formal dalam presentasi,
supaya diharapkan dapat memperbaiki gaji perawat karena dengan
data yang riil, karena memang sejak kepemimpinan saat ini belum
pernah diukur kepuasan perawat.
Konflik tentang jasa perawat memang sudah cukup lama dan belum
ada jalan keluar dari pihak manajemen rumah sakit. Situasi ini
sangatlah tepat kepala ruangan dengan manajemen konflik kolaborasi,
baik langsung atau menggunakan orang ketiga. Gaya kepemimpinan
86
demokrasi jika dikombinasikan dengan gaya kepemimpinan otoriter
pada situasi tertentu, misalnya keadaan kritis, tuntutan pelayanan yang
optimal sangatlah tepat jika dikombinasikan dengan gaya
kepemimpinan otoriter
Gaya kepemimpinan multikratik yaitu kombinasi gaya
kepemimpinan demokrasi dan otoriter lebih dominan menggunakan
manajemen konflik kolaborasi 93,3 %, demikian juga gaya
kepemimpinan demokrasi lebih banyak menggunakan manajemen
konflik smoothing 51,1 %, sebaliknya gaya kepemimpinan multikratik
hanya 6,7 % menggunakan manajemen konflik smoothing, dan
manajemen konflik negosiasi hanya digunakan oleh kepala ruangan
dengan gaya kepemimpinan demokrasi 15,6 % dan tidak digunakan
pada gaya kepemimpinan multikratik.
Hasil penelitian ini di rumah sakit ini gaya kepemimpinan
multikratik melakukan manajemen konflik kolaborasi, karena konflik
yang terjadi di rumah nsakit beberapa waktu yang lalu, dimana
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pimpinan tertinggi
mengalami kemacetan, pada saat itu kepala ruangan tanpa disadari
ditantang untuk tetap memberikan pelayanan keperawatan seoptimal
mungkin, menjadi manager diruangan dengan pengambilan keputusan
yang meminimalkan resiko yang akan mungkin dapat terjadi. pada
87
situasi seperti ini kepala ruangan sangat tepat menerapkan gaya
kepemimpinan demokrasi, dimana perawat tidak dipaksakan dalam
pelayanan tetapi atas kesepakatan bersama, kepala ruangan mengatur
mulai penjadwalan dinas, waktu libur tanpa terlalu memperhatihan
permasalahan yang terjadi dikalangan direksi, sekalipun sebagian
besar perawat mendukung kepemimpinan yang lama tetap menjadi
pimpinan di RSU Bethesda Tomohon, dan untuk manajemen konflik
yang diambil oleh kepala ruangan sangat tepat, karena situasi konflik
cukup membuat perawat cemas dengan kelanjutan organisasi yang
ada, kebijakan-kebijakan pimpinan ditangguhkan sementara. Misalnya
pembayaran gaji yang tertunda, tunjangan hari raya yang tertunda dan
lain-lain permasalahan yang terjadi di tingkat Rumah Sakit, maupun
setiap ruangan. Manajemen konflik smoothing dilakukan kepala
ruangan adalah untuk membuat perawat tidak terlalu terfokus pada
permasalahan pribadi, tetapi tetap memberi pelayanan sesuai yang
dibutuhkan pasien, dan kepala ruangan memberi kebijakan dalam
aturan yang ada di Rumah Sakit, untuk mengurangi ketegangan yang
terjadi pada perawat. Pada saat konflik terjadi di tingkat pimpinan
tertinggi, perawat tetap melakukan pelayanan seperti biasanya, tanpa
melakukan mogok kerja, memperlihatkan dihadapan pasien seperti
tidak ada konflik dalam rumah sakit tersebut.
88
Menurut Dreu & Vianen, (2001) penanganan konflik yang baik
adalah agar pihak yang terlibat didalamnya dapat melaksanakan tugas-
tugasnya tanpa terganggu dengan konflik yang dihadapi, akan tetapi
dilain pihak konflik dapat dikelola untuk memacu perkembangan
kehidupan organisasi terutama yang berhubungan dengan penciptaan
inovasi dan ide baru, serta menumbuhkan hubungan interpersonal
yang lebih efektif. Kolaborasi adalah mengelola konflik dengan bekerja
sama dan mencari solusi bersama yang dapat berguna bagi seluruh
pihak yang terlibat dalam konflik tersebut.
Gaya kepemimpinan seseorang pada situasi yang tepat sangat
berhubungan dengan manajemen konflik yang akan diambil dengan
berbagai jenis konflik yang akan muncul.
Hasil penelitian Sulaeman (2006) menyimpulkan gaya
kepemimpinan kepala Puskesmas ditempat perawatan di Kabupaten
Kuningan Provinsi Jawa Barat menggunakan gaya kepemimpinan
kombinasi (multikratik) yang terdiri atas gaya kepemimpinan Otokratik,
Suportif, delegatif dan partisipatif.
89
C. KETERBATASAN PENELITIAN
1. Sampel hanya terbatas pada perawat RSU Bethesda Tomohon
sehingga hasilnya tidak dapat digeneralisasikan untuk rumah sakit
pada umumnya.
2. Instrumen yang dipakai dalam penelitian adalah kuesioner sehingga
tidak dapat mengkaji lebih banyak materi penelitian, dibandingkan
jika disertai observasi maupun wawancara pada responden.
3. Penelitian hanya terbatas pada perawat pelaksana saja, kepala
ruangan tidak diikut sertakan dalam penelitian, sehingga cross
check data tidak ada.
90
BAB VI
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Gaya kepemimpinan di Rumah Sakit Umum Bethesda Tomohon
adalah 75% kepala ruangan menggunakan gaya kepemimpinan
demokrasi.
2. Manajemen konflik di Rumah Sakit Bethesda Tomohon adalah
48,3% kepala ruangan menggunakan manajemen konflik
kolaborasi.
3. Hasil Uji Pearson Chi Square nilai significancy yang didapatkan
adalah p=0,000 yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
yang bermakna gaya kepemimpinan dengan masing-masing
ruangan perawatan.
4. Hasil penelitian didapatkan untuk perbedaan manajemen konflik
yang digunakan kepala ruangan yaitu, ruangan C manajemen
konflik kolaborasi (31%), ruang D,E,G manajemen konflik
negosiasi (28,6%), ruang A manajemen konflik smoothing
(20,8%), setelah dikelompokkan ruangan–ruangan tersebut,
maka didapatkan hasil ruang rawat inap biasa menggunakan
91
manajemen konfliknegosiasi (57,1%), ruang Intensive juga
mengguanakan manajemen konflik negosiasi 28,6 %, dan
berbeda dengan ruang rawat VIP, kelas I,II lebih sering 45,8 %
menggunakan manajemen konflik smoothing,
5. Hasil uji Pearson Chi Square nilai significancy yang didapatkan
adalah p = 0,000 menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara gaya kepala ruangan dengan manajemen
konflik di RSU Bethesda Tomohon.
B. SARAN
1. Bagi Pihak Manajemen Rumah Sakit
a. Mengembangkan gaya kepemimpinan demokrasi dan
multikratik yang sudah dilakukan oleh kepala ruangan, dan
mempertahankan manajemen konflik yang dilakukan oleh
kepala ruangan, dengan dukungan penuh dari pihak direksi
b. Sebaiknya menyarankan kepala ruangan yang lain, untuk
dapat menyesuaikan gaya kepemimpinan yang lebih sesuai
untuk berbagai situasi yang ada, karena satu gaya
kepemimpinan kurang tepat dengan berbagai situasi.
92
2. Bagi Keilmuan
Penerapan gaya kepemimpinan demokrasi oleh kepala
ruangan di rumah sakit di ruangan perawatan dengan keadaan
pasien stabil, sangatlah tepat. Tetapi untuk ruangan perawatan
yang membutuhkan tindakan segera, dengan ketelitian dan
kedisiplinan yang tinggi sangatlah tepat diterapkan gaya
kepemimpinan multikratik. Melakukan manajemen konflik dapat
menyesuaikan sesuai situasi konflik yang ada.
93
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S .2010. Manajemen Penelitian. PT Rineka Cipta. Jakarta
Aini,Q, Meiyanto, S dan Meliala A. 2004. Hubungan Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Karyawan terhadap Kepuasan Kerja di RSU Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta : Jurnal Manajemen Kesehatan 07:225-9
Bowditch,J.L dan A.F Buono. 1994. A Primary on Organizing
Behavior. New York:Wiley Bastian, I, Suryono. 2011.Penyelesaian Sengketa Kesehatan.
Salemba Medika. Jakarta De Dreu CKW, Van Vianen,AEM. 2001. Managing Relationship
Conflict and Effectiveness of Organizational Teams. Joernal of Organizational Behavior. 22: 309-328
Fathoni, H.A 2006. Organisasi dan Manajemen Sumber Daya
Manusia. Jakarta. PT Rineka Cipta Hastono, S,P. 2007. Analisis Data Kesehatan. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta Hendel,T, Fish, M, Galon,V. 2005.Leadership style and choice of
Strategy in Conflict Management among Israeli Nurse managers in General Hospital (http: //web.ebscohost.com) diakses 28 Februari 2013)
Hutahaen, F.A. (2009). Pengaruh Gaya Kepemimpinan Kepala
Ruangan terhadap Semangat Kerja Perawat Pelaksana di Ruang rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik Medan.
(http://repository.usu.ac.id Indrajaya, A,I. 2010. Teori Perilaku dan Budaya Organisasi. PT
Kartono,K. 2011. Pemimpin dan Kepemimpinan.PT RajaGrafido Persada. Jakarta.
Kurniadi, A. 2013. Manajemen Keperawatan dan Prospektifnya.
Fakultas Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Marquis B.L, Huston, C.J.2010. Kepemimpinan dan Manajemen
Keperawatan teori dan Aplikasi.EGC. Jakarta Nurdin, R,et al.2010. Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan kepuasan
kerja terhadap Kinerja Pegawai diRSUD Namlea Kabupaten Buru PropinsiMaluku. (http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/05f176bbdd853197b5ba9edc52b23001.pdf. diakses 3 Maret 2013.
Notoadmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka
Cipta. Jakarta. Rodriques dan Pedro, Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap
Kinerja Karyawan di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Sikka Propinsi Nusa Tenggara Timur. Airlangga University Library Central of the ADLN Airlangga University http://adln.lib.unair.ac.id/
Rivai, V dan Mulyadi, D. 2012. Kepemimpinan dan Perilaku
Organisasi. Edisi ketiga. PT RajaGrafindo Persada.Jakarta. Setiawan, A. 2008. Pengaruh Kepemimpinan Partisipatif terhadap
Penyelesaian Konflik di PT Tainesia Jaya Wonogiri http://etd.eprints.ums.ac.id/2982/
Sitorus, R dan Panjaitan, R, 2011. Manajemen Keperawatan di
Ruang Rawat.CV Sagung Seto. Jakarta. Dahlan, S,P. 2011. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan
Deskriptif, Bivariat, Multivariat dilengkapi Aplikasi SPSS. Salemba Medika. Jakarta.
Sportsman,S dan Hamilton, P. 2007. Conflic Management Styles in
the Health Professions. Joernal of Professional Nursing, 23(3). 157-166 www.professionalnursing.org
Cetakan ke-3. Kencana Prenada Media Group. Jakarta Wahyono, S.I. 2010. Perilaku Organisasi. Graha Ilmu. Yogyakarta
96
Lampiran 1
Permohonan Ijin Penelitian
97
Lampiran 2
Rekomendasi Penelitian dari Komisi Etik
98
Lampiran 3
Surat Penelitian dari RSU Bethesda Tomohon
99
Lampiran 4
FORMULIR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN
HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN MANAJEMEN KONFLIK DI RUMAH SAKIT UMUM BETHESDA TOMOHON
OLEH : MOUDY LOMBOGIA
Nama saya Moudy Lombogia, NIM P4200211033 Mahasiswa Program
Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UNHAS, akan
mengadakan penelitian untuk tugas akhir (tesis) di RSU Bethesda
Tomohon.
Hasil penelitian ini sangat tergantung pada jawaban yang akan
saudara berikan. Semua jawaban adalah benar, sejauh jawaban tersebut
benar-benar menggambarkan apa yang anda lakukan, serta perasaan dan
penghayatan saudara. Kerahasiaan identitas saudara akan dijaga
kerahasiaannya dan tidak akan disebarluaskan.
Saya sangat menghargai kesediaan, perhatian serta perkenaan
saudara, untuk itu saya sampaikan terima kasih. Semoga jerih payah
saudara dapat memberikan dukungan untuk pengembangan Ilmu
Keperawatan dan Kinerja Profesi Keperawatan di masa yang akan
datang.Tomohon, Juni 2013
Peneliti
100
Lampiran 5
KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN
HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN MANAJEMEN KONFLIK
DI RSU BETHESDA TOMOHON
OLEH : MOUDY LOMBOGIA
Setelah mendapatkan penjelasan maksud dan tujuan dari penelitian
adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan, maka :
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, atas nama sendiri
menyatakan setuju dan bersedia ikut berpartisipasi sebagai
peserta/responden penelitian yang dilakukan oleh Moudy Lombogia
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan yang sedang
melakukan penelitian untuk tesis dengan judul Hubungan gaya
Kepemimpinan dengan Manajemen Konflik di RSU Bethesda Tomohon.
Tanda tangan di bawah ini menunjukkan bahwa saya telah diberi
penjelasan dan menyatakan setuju dan bersedia menjadi responden.
Tomohon, Juni 2013.
Responden,
(tanda tangan atau paraf saja, tidak perlu nama)
101
Lampiran 6
KUESIONER PENELITIAN
Penelitian Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Manajemen Konflik di Rumah sakit Umum Bethesda Tomohon
Oleh: Moudy Lombogia
Kode responden : diisi oleh peneliti Tanggal Pengisian:............
Petujuk Pengisian:
Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian yaitu:
1. Kuesioner A : Karakteristik Responden,
2. Kuesioner B,C,D : Gaya Kepemimpinan
3. Kuesioner E,F,G,H,I,J : Manajemen Konflik
Isilah jawaban dibawah ini dengan memberi tanda (√) pada kolom yang
tersedia, atau memberi jawaban sesuai keadaan dan situasi saat ini.
1. Kuesioner A : Karakteristik Responden
a. Umur : ........ Tahun
b. Pendidikan terakhir : SPK D III Keperawatan
S.1 Keperawatan Ners
c. Masa Kerja : .......Tahun........ Bulan
d. Status Pernikahan : Menikah Belum Menikah
102
2. Kuesioner B,C,D : Gaya Kepemimpinan
Petujuk pengisian
Berilah tanda (√) pada pernyataan yang menurut saudara sesuai dengan
keadaan dan perasaan secara jujur.
No
Pernyataan Ya Tidak Ket.
Gaya Kepemimpinan Otoriter Kepala Ruangan
1. Wewenang mutlak pada kepala ruangan
2. Keputusan selalu dibuat kepala ruangan
3. Kebijaksanaan selalu dibuat kepala ruangan
4. Komunikasi berlangsung satu arah dari kepala ruangan ke perawat diruangan
5. Pengawasan terhadap sikap, perilaku dan kegiatan perawat diruangan dilakukan secara ketat
6. .Kepala ruangan tidak member kesempatan kepada perawat diruangan untuk member saran atau pendapat
7 Tugas-tugas perawat diruangan diberikan sesuai perintah
8. Kepala ruangan lebih banyak melakukan kritik pada perawat diruangan daripada member pujian.
9. Menuntut prestasi sempurna kepada perawat diruangan secara paksaan dan ancaman
10. Menuntut kesetiaan tanpa syarat
Gaya Kepemimpinan Demokratis
1. Kepala Ruangan bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada perawat diruangan
2. Keputusan dibuat bersama antara kepala ruangan dengan perawat diruangan
3. Komunikasi antar Kepala ruangan dan perawat pelaksana berlangsung timbal balik
4. Pengawasan kepala ruangan ke perawat diruangan dilakukan secara wajar
5. Perawat pelaksana sering diberi kesempatan dalam menyampaikan ide, saran maupun pertimbangan.
6. Tugas yang diberikan kepada perawat bersifat permintaan daripada perintah, untuk keberhasilan pelayanan secara bersama-sama
7. Kepala ruangan memberikan pujian yang selayaknya dan memberikan kritik yang sesuai.
8. Mendorong perawat diruangan untuk dapat berprestasi sesuai kewenangan masing-masing.
103
9. Kepala ruangan meminta kesetiaan perawat diruangan secara wajar, saling percaya dan menghormati
10. Kepala ruangan memperhatikan perasaan dalam bersikap dan bertindak kepada perawat diruangan
Gaya Kepemimpinan Liberalis(Laisses faire)
1. Kepala ruangan melimpahkan seluruh wewenang kepada perawat diruangan
2. Keputusan lebih banyak dibuat oleh perawat diruangan
3. Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh perawat diruangan
4. Kepala ruangan hanya berkomunikasi jika diperlukan oleh perawat diruangan
5. Kepala ruangan hampir tidak megadakan pengawasan terhadap tingkahlaku perawat diruangan
6. Munculnya ide selalu berasal dari perawat diruangan
7. Kepala ruangan hampir tidak pernah melakukan pengarahan
8. Peranan kepala ruangan sangat sedikit dalam kegiatan diruangan
9. Kepentingan pribadi lebih penting daripada kepentingan organisasi diruangan
10. Keberhasilan pelayanan menjadi tanggung jawab perawat diruangan.
104
3. Kuesioner E,F,G,H,I,J : Manajemen Konflik
Petujuk Pengisian:
Berilah tanda (√) pada kolom yang tersedia, dengan keterangan
sebagai berikut:
Sangat Setuju (SS) Jika pernyataan tersebut sangat sesuai dengan pendapat atau kondisi yang saudara lakukan
Sangat Setuju (S) Jika pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat atau kondisi yang saudara lakukan
Sangat Tidak Setuju (STS) Jika penyataan tersebut sama sekali tidak sesuai dengan pendapat atau kondisi yang saudara lakukan
Tidak Setuju (TS) Jika penyataan tersebut tidak sesuai dengan pendapat atau kondisi yang saudara lakukan
No
Pernyataan
Pilihan Jawaban Ket
SS S TS STS
Kompromi/Negosiasi
1. Kepala Ruangan memperlakukan oranglain saat konflik sebagai teman, bukan musuh bersikap tenang dan tidak agresif saat proses negosiasi berlangsung
2. Kepala Ruangan saat negosiasi dalam menghadapi masalah, bukan orangnya
3. Kepala Ruangan tidak mendengarkan apa yang dikatakan dan yang tidak dikatakan dengan memperhatikan gerak tubuhnya.
4. Kepala Ruangan saat negosiasi melakukan pembicaraan berbelit-belit
5. Kepala Ruangan saat negosiasi mengantisipasi penolakan, menunjukkan keterbukaan dan ketaatan jika sudah ada kata sepakat
6. Kepala Ruangan saat negosiasi menunjukkan beberapa alternative penyelesaian konflik menggunakan gerakan tubuh jika menyetujui atau tidak terhadap suatu pendapat
105
Kolaborasi
1. Kepala ruangan saat kolaborasi memandang konflik sebagai sesuatu yang wajar
2. Kepala ruangan saat kolaborasi memandang konflik memecahkan masalah apabila ditangani secara tepat
3. Kepala ruangan mengorbankan seseorang, dalam penyelesaian konflik demi kebaikan kelompok
4. Kepala ruangan tidak memberikan kepercayaan kepada pihak lain, dan mengakui persoalan perasaan dalam hal mencapai keputusan
5. Kepala ruangan memperhatikan sikap dan posisi setiap orang, dan menganggap setiap orang mempunyai peran yang sama dalam memecahkan konflik yang dihadapi
6. Kepala Ruangan menyadari jika konflik terselesaikan akan memuaskan semua pihak dan membuat komitmen bersama-sama untuk pemecahan konflik yang ada.
Menghindar
1. Kepala ruangan mengupayakan untuk tidak terlibat didalam konflik dan mengakui tidak adanya konflik, saat konflik masih belum terselesaikan dan masih perlu penatalaksanaan.
2. Kepala ruangan tidak mangabaikan pertentangan pendapat dalan bersikap netral
3. Kepala ruangan enggan untuk frustasi dan ada ketegangan saat ada konflik
4. Kepala ruangan tidak mau konflik yang ada membahayakan dirinya
5. Kepala ruangan berpendapat penyelesaian konflik menyita biaya besar, jika dibiarkan akan terselesaikan dengan sendirinya
6. Kepala ruangan berpendapat pihak lain yang ada dalam konflik lebih berkuasa.
Kompetisi
1. Kepala ruangan memaksakan kehendaknya walaupun mengorbankan orang lain, dengan kualifikasi pendidikan
106
dan masa kerja
2. Kepala ruangan mencari jalan untuk menang dalam konflik tanpa peduli akibatnya pada pihak lain
3. Kepala ruangan tidak memaksakan kepentingannya diatas kepentingan orang lain
4. Kepala ruangan sangat memperdulikan kemarahan pihak lain
5. Kepala ruangan tidak memperdulikan yang kalah putus asa
6. Kepala ruangan berpendapat keputusan yang diambil untuk perbaikan dimasa yang akan datang
Smoothing
1. Kepala Ruangan yang terlibat dalam konflik berupaya mencapai kebersamaan
2. Kepala ruangan membahas perbedaan untuk mendapatkan penyelesaian konflik
3. Kepala ruangan menarik hati pihak lain
4. Kepala ruangan tidak mengurangi emosional dengan pihak lain
5. Kepala ruangan tidak mengupayakan pihak lain dapat bekerjasama
6. Kepala ruangan memuji pihak lain yang ada dalam konflik saat menyepakati tujuan bersama
Akomodasi
1. Kepala ruangan merangsang pihak lain untuk bekerja sama
2. Kepala ruangan dalam menghadapi konflik kurang tenang
3. Kepala ruangan mengutamakan hasil bagi kepentingan sendiri
4. Kepala ruangan berusaha menyesuaikan diri dengan orang lain
5. Kepala ruangan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk menang dalam konflik yang ada
6. Kepala ruangan membuat criteria untuk memenangkan salah satu pihak
107
Lampiran 7
MASTER TABEL GAYA KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN KONFLIK
No. Resp
Umur Pendidikan Masa Kerja
Status Pernikahan
Gaya Kepemimpinan
Manajemen Konflik
Ruangan
1. 46 D III 2 2 Demokrasi Smoothing VIP,Kls I,II
2. 30 SPK 2 2 Demokrasi Smoothing VIP,Kls I,II
3. 36 SPK 1 2 Demokrasi Smoothing VIP,Kls I,II
4. 28 SPK 3 2 Demokrasi Smoothing VIP, Kls I,II
5. 40 SPK 1 2 Demokrasi Smoothing VIP Kls I,II
6. 49 SPK 2 2 Multikratik Kolaborasi Rwt Biasa
7. 53 SPK 3 2 Demokrasi Negosiasi Rwt Biasa
8. 26 D III 1 2 Demokrasi Kolaborasi Rwt Biasa
9. 50 SPK 3 2 Demokrasi Kolaborasi Rwt Biasa
10. 31 D III 1 1 Demokrasi Smoothing Rwt Biasa
11. 35 SPK 3 2 Demokrasi Negosiasi Rwt Biasa
12. 24 D III 1 1 Multikratik Kolaborasi Intensive
13. 25 D III 1 1 Multikratik Kolaborasi Intensive
14. 25 S 1 1 1 Multikratik Kolaborasi Intensive
15. 38 SPK 3 2 Multikratik Kolaborasi Intensive
16. 54 SPK 3 2 Demokrasi Negosiasi Intensive
17. 39 SPK 3 2 Demokrasi Negosiasi Intensive
18. 44 SPK 3 2 Multikratik Kolaborasi Intensive
19. 24 D III 1 2 Demokrasi Kolaborasi Rwt Biasa
20. 30 D III 2 2 Demokrasi Kolaborasi Rwt Biasa
21. 42 D III 3 2 Demokrasi Smoothing Rwt Biasa
22. 39 D III 2 1 Demokrasi Smoothing Rwt Biasa
23. 38 D III 3 2 Demokrasi Kolaborasi Rwt Biasa
24. 52 D III 3 2 Demokrasi Kolaborasi Rwt Biasa
25. 48 SPK 3 2 Demokrasi Smoothing Rwt Biasa
26. 43 D III 3 2 Demokrasi Kolaborasi Rwt Biasa
27. 53 SPK 3 2 Demokrasi Negosiasi Rwt Biasa
28. 42 SPK 2 2 Demokrasi Smoothing Rwt Biasa
29. 45 S1 1 2 Demokrasi Negosiasi Rwt Biasa
30. 36 SPK 3 2 Demokrasi Smoothing Rwt Biasa
31. 25 SPK 2 2 Demokrasi Kolaborasi Rwt Biasa
32. 47 SPK 3 2 Demokrasi Smoothing Rwt Biasa
33. 25 D III 1 2 Demokrasi Smoothing Rwt Biasa
34. 26 D III 1 2 Demokrasi Smoothing Rwt Biasa
35. 35 SPK 3 2 Demokrasi Kolaborasi Rwt Biasa
36. 45 SPK 3 2 Demokrasi Smoothing Rwt Biasa
37. 27 D III 1 2 Demokrasi Negosiasi VIP,Kls I,II
38. 26 D III 1 2 Demokrasi Smoothing VIP,Kls I,II
108
39. 37 SPK 3 2 Demokrasi Smoothing VIP,Kls I,II
40. 45 SPK 3 2 Demokrasi Smoothing VIP,Kls I,II
41. 40 D III 3 2 Demokrasi Smoothing VIP,Kls I,II
42. 40 SPK 3 2 Demokrasi Kolaborasi VIP,Kls I,II
43. 42 SPK 3 2 Demokrasi Smoothing Rwt Biasa
44. 28 D III 2 2 Demokrasi Kolaborasi Rwt Biasa
45. 32 D III 2 2 Demokrasi Smoothing Rwt Biasa
46. 30 SPK 2 2 Demokrasi Smoothing Rwt Biasa
47. 36 SPK 3 2 Demokrasi Kolaborasi Rwt Biasa
48. 23 D III 1 1 Demokrasi Kolaborasi Rwt Biasa
49. 44 SPK 3 2 Demokrasi Kolaborasi Rwt Biasa
50 48 SPK 3 2 Demokrasi Smoothing VIP,Kls I,II
51 25 D III 1 1 Multikratik Kolaborasi VIP,Kls I,II