1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia, pemerintah diberi amanat untuk terus mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen dalam pendidikan (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003). Hal ini dikarenakan persaingan global yang semakin tinggi, sehingga masyarakat dituntut untuk terus meningkatkan sumber daya manusia, salah satu caranya adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan. Dengan meningkatkan mutu pendidikan akan membawa dampak signifikan terhadap peningkatan sumber daya manusia yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap pendapatan individual dan pertumbuhan ekonomi suatu negara (Hamushek & Woessmann, 2007). Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, maka mulai tahun 2005 pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI) dan menengah (SMP/MTs, SMA/SMK/MA). Ujian Nasional merupakan penilaian hasil belajar yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003). Ujian Nasional mencakup ujian teori dan praktek yang dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia pada setiap akhir tahun ajaran pelajaran.
menggambarkan beberapa mengenai keperluan alat-alat tes dalam bidang psikologi. akan memberikan jawaban secara lebih komprehensif mengenai sesuatu yang bermanfaat dalam memberikan guideline.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia, pemerintah diberi
amanat untuk terus mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem
pendidikan nasional yang mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen dalam
pendidikan (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun
2003). Hal ini dikarenakan persaingan global yang semakin tinggi, sehingga
masyarakat dituntut untuk terus meningkatkan sumber daya manusia, salah satu
caranya adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan. Dengan meningkatkan
mutu pendidikan akan membawa dampak signifikan terhadap peningkatan
sumber daya manusia yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap
pendapatan individual dan pertumbuhan ekonomi suatu negara (Hamushek &
Woessmann, 2007).
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, maka mulai
tahun 2005 pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI)
dan menengah (SMP/MTs, SMA/SMK/MA). Ujian Nasional merupakan penilaian
hasil belajar yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara
nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok ilmu pengetahuan dan
teknologi (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003).
Ujian Nasional mencakup ujian teori dan praktek yang dilaksanakan secara
serentak di seluruh wilayah Indonesia pada setiap akhir tahun ajaran pelajaran.
2
Pelaksanaan dan penyelenggaraan UN telah diatur dalam Prosedur
Operasi Standar Ujian Nasional (POS UN). Di dalamnya juga dibahas mengenai
sanksi-sanksi hukum, sehingga jika seseorang, kelompok dan atau lembaga
terbukti melakukan pelanggaran, maka akan diproses dan dikenakan sanksi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (BSNP, 2012).
Secara garis besar menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor
20 tahun 2003, hasil UN berguna sebagai salah satu pertimbangan untuk
pemetaan mutu satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program atau satuan
pendidikan dan dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan
pendidikan (BSNP, 2010). Mengingat pentingnya hasil dari UN tersebut, maka
pihak-pihak yang terkait dengan UN dalam hal ini adalah penyelenggara dan
peserta ujian wajib melaksanakan UN dengan menjunjung tinggi kejujuran
(Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 59 tahun 2011).
Hasil dari ujian yang jujur akan menunjukkan prestasi dan pencapaian
belajar peserta didik yang sebenarnya, sehingga akan menggambarkan dan
memberikan informasi yang akurat tentang sejauh mana pengetahuan dan
kemampuan peserta didik berkembang (Cizek dalam Tas & Tekkaya, 2010). Di
Indonesia, fungsi paling penting dari UN adalah dimana hasil analisis data UN
akan disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk pemetaan
mutu program atau satuan pendidikan serta pembinaan dan pemberian bantuan
kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan
(Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2007), informasi-
informasi yang tepat, akurat, dan reliabel yang diperoleh dari hasil UN yang jujur
akan sangat bermanfaat dalam menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah
3
selanjutnya untuk mengatasi berbagai permasalahan di dalam dunia pendidikan
(Azwar, 2010).
Namun dalam kenyataannya, sejak standar kelulusan dalam UN
diterapkan, banyak terjadi praktek-praktek kecurangan dalam melaksanakan UN.
Orientasi Ujian Nasional yang hanya mementingkan kelulusan membuat banyak
pihak menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh standar kelulusan
(Kompas.com, 11 Juli 2011). Pihak-pihak tersebut baik sebagai peserta ataupun
penyelenggara UN melakukan berbagai usaha untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan, walaupun cara yang digunakan tersebut tidak sah atau melanggar
peraturan yang lebih dikenal sebagai perilaku curang (Genereux & McLeod
dalam Vinski & Tryon, 2009).
Perilaku curang dalam akademik merupakan kekeliruan individu dalam
menunjukkan pengetahuannya dengan cara penipuan atau melanggar peraturan
(Tas & Tekkaya, 2010) seperti menyontek, plagiat, memberi kemudahan kepada
orang lain, misrepresentasi d an sabotase (Whitley & Spiegel dalam Williams,
Nathanson, & Paulhus, 2010). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
mencatat bahwa selama pelaksanaan Ujian Nasional tahun 2009 terdapat
sedikitnya 22 kasus, mulai dari kategori ringan terkait dengan percetakan dan
distribusi soal hingga dugaan kebocoran soal UN pada tingkat SMP, MTs, SLTA
dan MA. Demikian juga halnya dengan UN tahun 2010, BSNP mencatat bahwa
terdapat 9 kasus kecurangan (BSNP, 2010).
Menurut data pada tahun 2012 lebih dari 800 laporan masuk ke
Depdiknas mengenai permasalahan selama UN berlangsung, sebagian besar
diantaranya berisi aduan kebocoran soal dan kecurangan. Demikian juga dengan
laporan Retno Listyati yang merupakan Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia
Individu pada skema ini telah mempertimbangkan bagaimana
bekerjasama dengan orang lain dalam skala yang lebih luas, seperti orang asing
atau orang yang baru dikenal. Dengan skema ini individu mampu
mengidentifikasi aturan-aturan dan peran yang telah digariskan oleh pemerintah.
Sama seperti pada tahap keempat perkembangan penalaran Kohlberg (dalam
Rest, Narvaez, Thoma, & Bebeau, 2000), pada tahap ini penilaian moral
didasarkan pada pemahaman terhadap aturan, hukum, keadilan dan tugas
sosial. Individu yang masuk dalam kategori skema ini akan memiliki unsur-unsur
seperti kebutuhan untuk mematuhi norma sosial karena telah digariskan oleh
pemerintah, menerapkan norma-norma untuk bekerjasama dengan masyarakat
yang lebih luas.
Penilaian baik dan buruk, benar dan salah harus memiliki aturan hukum
yang jelas dan seragam berlaku bagi setiap orang. Pada skema ini, individu
memandang norma sebagai jalan untuk membangun hubungan timbal balik
dengan orang lain, sehingga setiap warga negara harus mematuhi hukum dan
mengharapkan orang lain juga melakukan hal yang sama. Individu menilai
bahwa dalam masyarakat yang teratur terdapat struktur peran yang harus
dipatuhi, hal tersebut dilakukan semata-mata untuk menghormati sistem sosial,
memelihara tatanan sosial, karena tanpa hukum dan tatanan sosial orang akan
34
bertindak atas kepentingan sendiri, sehingga akan menyebabkan kekacauan dan
dalam situasi ini individu bertindak sebagai orang yang bertanggung jawab untuk
mencegah hal tersebut.
Skema ini merujuk pada tahap keempat tingkat perkembangan penalaran
moral yang diungkapkan oleh Kohlberg yakni tahap moral sistem sosial. Pada
tahap ini penilaian moral didasarkan pada pemahaman terhadap aturan, hukum,
keadilan dan tugas sosial. Benar berarti melakukan kewajiban seseorang,
dengan memperlihatkan sikap hormat kepada orang yang berwenang dan
mempertahankan tatanan sosial tertentu bagi dirinya. Ditemukan pada sebagian
besar siswa SMA karena biasanya tidak akan muncul sebelum masa tersebut
(Ormrod, 2008).
c. Skema postkonvensional
Kewajiban moral didasarkan pada cita-cita bersama, sepenuhnya
berdasarkan hubungan timbal balik dan sesuai dengan apa yang digariskan oleh
masyarakat luas. Sama seperti tahap kelima dan keenam pada perkembanga
penalaran moral Kohlberg, dimana pada tahap ini seseorang memiliki
pemahaman bahwa nilai dan hukum adalah relatif, sehingga benar dan salah
serta baik dan buruk didasarkan pada hak-hak umum individu berdasarkan
standar yang telah disepakati oleh masyarakat.
Skema ini merujuk pada tahap kelima dan keenam tingkat perkembangan
penalaran moral yang dikembangkan oleh Kohlberg, yakni tahap hak komunitas
vs hak individu dan tahap prinsip etis universal. Pada tingkat ini moralitas
diinternalisasi sepenuhnya dan tidak lagi didasarkan pada standar orang lain.
Individu mengetahui adanya pilihan moral yang lain sebagai alternatif,
memperhatikan pilihan-pilihan tersebut dan memutuskan sesuai dengan kode
35
moral pribadinya. Sehingga individu mendefiniskan nilai-nilai berdasarkan prinsip
etika yang telah dipilihnya untuk diikuti. Tingkat ini jarang muncul pada individu
sebelum masa kuliah. Pada tahap ini seseorang memiliki pemahaman bahwa
nilai dan hukum adalah relatif dan standar yang dimiliki satu orang akan berbeda
dengan orang lain. Sehingga apa yang benar ditentukan berdasarkan hak-hak
individu umum dan berdasar standar yang telah disepakati oleh seluruh
masyarakat. seseorang sudah membentuk standar moral yang didasarkan pada
hak manusia secara universal. Ketika dihadapkan pada suatu konflik antara
hukum dan kata hatinya, individu akan mengikuti kata hatinya, walaupun
keputusan tersebut dapat memunculkan resiko pada dirinya (Santrock, 2003;
Crain, 2007; Ormrod, 2008; Slavin, 2011).
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi penalaran moral
Berbagai macam penelitian telah menidentifikasi sejumlah faktor yang
berhubungan dengan perkembangan penalaran dan perilaku moral (Ormrod,
2008), diantaranya adalah:
a. Perkembangan kognitif
Penalaran moral yang tinggi memerlukan refleksi yang mendalam mengenai
ide-ide abstrak, sehingga dalam batas-batas tertentu perkembangan penalaran
moral bergantung pada perkembangan kognitif (Kohlberg, Nucci, & Turiel dalam
Ormrod, 2008). Hal senada juga diungkapkan oleh Gibbs (dalam Matarazzo,
dkk., 2008) yang mengungkapkan bahwa perkembangan kognitif memberikan
kontribusi penting terhadap perkembangan penalaran moral, dimana
perkembangan penalaran moral berkembang seiring dengan perkembangan
kognitif.
36
b. Penggunaan rasio
Anak-anak lebih cenderung memperolah manfaat dalam perkembangan
moral ketika mereka memikirkan kerugian fisik dan emosional yang ditimbulkan
perilaku-perilaku tertentu terhadap orang lain.
c. Isu dan dilema moral
Kohlberg menyatakan bahwa anak-anak berkembang secara moral ketika
mereka menghadapi suatu dilema moral yang tidak dapat ditangani secara
memadai dengan menggunakan tingkat penalaran moralnya saat itu atau yang
lebih dikenal dengan disekuilibrium (ketidakseimbangan). Disekuilibrium
dipandang dapat memicu perkembangan moral, diskusi-diskusi mengenai isu-isu
moral dapat meningkatkan kemampuan mempertimbangkan perspektif orang lain
dan transisi ke penalaran yang lebih tinggi (Ormrod, 2008). Dari temuan ini
dihasilkan poin yang sangat penting, yaitu penalaran moral tidak semata-mata
dihasilkan oleh pewarisan nilai dan ajaran moral yang dilakukan orang dewasa,
melainkan mucul dari kepercayaan-kepercayaan yang dikonstruksi secara
personal oleh individu itu sendiri, sehingga kepercayaan-kepercayaan yang
seringkali ditinjau ulang, direvisi dan akhirnya diperbaiki oleh individu itu sendiri
seiring waktu.
d. Teman sebaya
Brown dan Theobald (dalam Rice, Dolgin, & Gale, 2008) menejalaskan
alasan kenapa teman sebaya mempengaruhi penalaran moral remaja adalah
karena tekanan yang berasal dari teman sebaya, pengharapan normatif terhadap
apa yang mereka lakukan, harapan dan proses modeling.
37
e. Perasaan diri
Efikasi diri akan membuat suatu perbedaan dalam perilaku moral (Narvaez &
Rest dalam Ormrod, 2008). Pada masa remaja, individu mulai mengintegrasikan
komitmen terhadap nilai-nilai moral ke dalam identitas remaja secara
keseluruhan (Arnold, Biasi, & Nucci dalam Ormrod, 2008). Individu menganggp
diri sebagai pribadi bermoral dan penuh perhatian yang peduli kepada hak-hak
dan kebaikan orang lain sehingga akan meluas kepada masyarakat.
f. Peran keluarga
Penelitian menunjukkan bahwa keluarga khususnya orang tua memiliki
dampak yang cukup kuat untuk perkembangan individu. Orang tua memiliki
peran yang sangat penting dalam proses transisi individu dari anak-anak menuju
remaja (White & Matawie, 2004). Keluarga juga mengajarkan berbagai hal dasar
mengenai sosial, agama, politik, aksi-aksi prososial dan respon-respon sosial.
Dampak peran keluarga terhadap perkembangan moral individu berhubungan
dengan tingkat kehangatan, penerimaan, saling menghargai dan kepercayaan
yang diberikan kepada remaja. Selanjutnya adalah frekuensi serta intensitas
interaksi dan komunikasi antara orang tua dan remaja, disiplin, role model yang
ditunjukkan oleh orang tua serta kesempatan yang diberikan orang tua agar
remaja bisa mandiri (Rice, dkk., 2008).
g. Agama
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa agama membawa dampak
positif terhadap tingkah laku remaja (Youniss, McClellan, & Yates dalam Rice,
dkk., 2008). Misalnya, remaja yang lebih religius memiliki tingkat kecenderungan
yang lebih rendah dalam menggunakan obat-obatan dan perilaku-perilaku non
etik lainnya dibandingkan remaja yang tidak religius.
38
Jadi dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan penalaran moral remaja adalah perkembangan
kognitif, penggunaan rasio, isu dan dilema moral, teman sebaya, perasaan diri,
peran keluarga dan agama.
5. Perkembangan penalaran moral remaja
Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai oleh remaja adalah
mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok kepadanya dan kemudian
bersedia membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan masyarakat.
Remaja diharapkan dapat mengerti konsep-konsep moral yang berlaku umum
yang kemudian menjadi pedoman bagi perilakunya. Pada remaja, pandangan
moral individu biasanya menjadi lebih abstrak, berpusat pada apa yang benar
dan kurang pada apa yang salah, keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang
dominan, penilaian moral menjadi semakin kognitif sehingga remaja dapat
mengambil keputusan terhadap berbagai permasalah moral yang dihadapinya
(Hurlock dalam Sunarto & Hartono, 2006).
Jadi pada masa remaja, seiring dengan perkembangan kognitifnya maka
remaja juga akan mulai mempertimbangkan situasi-situasi sosial yang terjadi di
sekelilingnya. Pada masa remaja penalaran moral akan semakin berkembang,
maka peran keluarga, sekolah, lingkungan dan masyarakat akan menjadi sangat
penting untuk membantu remaja tumbuh dan berkembang secara optimal
sehingga perkembangan moral yang dimiliki oleh remaja akan berdampak
terhadap perilakunya dalam masyarakat.
39
C. Sekolah
1. Pengertian dan fungsi
Sekolah merupakan jenis pendidikan yang sudah terstandarisir secara
legal formal. Baik dalam jenjang, lama pendidikan, paket kurikulum, persyaratan
unsur-unsur pengelolaan, persyaratan usia dan tingkat pengetahuan dan
kemampuan dari kebolehan dan keberartian nilai, prosedur evaluasi, penyajian
materi, dan bahkan pada persyaratan presensi waktu liburan, serta sumbangan
dana pendidikan (Sukamto, 1988; Rohman, 2001).
Sekolah memiliki tujuan yang jelas, yaitu mencapai tujuan pendidikan
nasional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, dimana tujuan pendidikan
nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka menerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warna
negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut maka sekolah
harus memiliki fungsi-fungsi berikut ini (Ihsan, 2003):
a. Dapat menumbuhkembangkan peserta didik sebagai individu yang memiliki
perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik yang maksimal.
b. Membantu tumbuh kembang peserta didik sebagai makhluk sosial melalui
pengkajian bidang studi tertentu, dimana peserta didik perlu
mengembangkan sikap sosial, gotong royong, toleransi, demokrasi dan
sebagainya.
40
c. Mampu membentuk peserta didik menjadi manusia susila yang cakap, yang
mampu menampilkan diri sesuai dengan nilai dan norma hidup yang
berkembang di masyarakat.
d. Melalui pendidikan agama, harus dapat menumbuh kembangkan peserta
didik menjadi makhluk religius, sehingga dengan nilai-nilai keagamaan
peserta didik dapat menciptakan kerukunan hidup beragama, menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur manusia yang toleran.
2. Sekolah Menengah Tingkat Atas
Mengacu kepada Undang-undang (UU) dan Peraturan Pemerintah yang
terkait dengan Sistem Pendidikan Nasional , pendidikan menengah merupakan
jenjang perantara yang menjembatani pendidikan dasar dengan pendidikan
tinggi (Sudjana, 1994). Pendidikan menengah terdiri dari Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Jalur pendidikan sekolah pada sekolah menengah tingkat atas
dilaksanakan secara berjenjang dan berkesinambungan, jalur ini dilaksanakan
oleh sekolah melalui kegiatan belajar mengajar, terdiri atas sekolah-sekolah yang
berjenis:
a. Pendidikan umum, merupakan pendidikan yang mengutamakan perluasan
pengetahuan dan peningkatan keterampilan peserta didik dengan
pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat-tingat akhir masa pendidikan.
Seperti SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA dan Universitas.
b. Pendidikan kejuruan, merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta
didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. Misalnya sekolah menengah
kejuruan (SMK) yang meliputi banyak bidang kejuruan.
41
c. Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta
didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penugasan
pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan, contohnya
Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah
Aliyah (MA).
d. Pendidikan luar biasa, merupakan pendidikan yang khusus diselenggarakan
untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan mental. Contohnya
sekolah luar biasa yang terbagi ke dalam beberapa jenis. Misalnya SLB-A
(yang menangani anak tuna netra), SLB-B (menangani anak tuna rungu),
SLB-C (yang menangani anak tuna daksa), SLB-D (yang menangani anak
tuna grahita).
Dari berbagai jenis sekolah di atas, yang menjadi fokus dalam penelitian
ini adalah remaja sebagai seorang peserta didik yang berasal dari jenis sekolah
pendidikan umum, yaitu SMA dan SMK dan sekolah pendidikan agama, yaitu
MA.
a. Sekolah Menengah Atas (SMA)
Sekolah Menengah Atas adalah lembaga pendidikan sebagai lanjutan
dari sekolah menengah pertama baik SMP maupun MTs. Lembaga pendidikan
yang mempersiapkan siswanya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi, institut, sekolah tinggi, akademi dan sebagainya. Sekolah menengah atas
menyelenggarakan pendidikan bagi siswa-siswanya dengan tujuan (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1986):
1) Mendidik peserta didik untuk menjadi manusia pembangunan sebagai warga
negara Indonesia yang berpedoman pada Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945.
42
2) Memberikan bekal dan kemampuan yang diperlukan bagi siswa yang akan
melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, terutama di Universitas dan
institut.
3) Memberi bekal kemampuan yang diperlukan bagi siswa yang akan
melanjutkan pendidikan di sekolah tinggi, akademi, politeknik, program
diploma dan program lainnya yang setingkat.
4) Memberi bekal kemampuan bagi siswa yang akan terjun ke dunia kerja
setelah menyelesaikan pendidikannya.
Sekolah Menengah Atas yang diselenggarakan oleh pemerintah, dalam
hal ini adalah Departemen pendidikan dan kebudayaan, disebut SMA Negeri.
sekolah yang diselenggarakan oleh yayasan pendidikan swasta disebut SMA
swasta. Pendidikan formal baik bagi siswa SMA negeri mauppun SMA Swasta
berlangsung selama tiga tahun pelajaran atau enam semester dengan
berpedoman pada kurikulum yang berlaku.
Berikut ini adalah Kurikulum SMA kelas XI dan XII program Ilmu
Pengetahuan alam (IPA), program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan porgram
Bahasa terdiri atas 13 mata pelajaran masing-masing mata pelajaran. Jam
pelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana dalam sturktur
kurikulum, satuan pendidkan dimungkinkan menambah maksimum empat jam
pelajaran per minggu secara keseluruhan. Alokasi waktu satu jam pelajaran
adalah 45 menit dan minggu efektif dalam satu tahun pelajaran adalah 34-38
minggu.
43
Tabel 1
Struktur Kurikulum SMA Program IPA
Komponen Alokasi Waktu (Jam Pelajaran)
Semester I Semester II
A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika 6. Fisik 7. Kimia 8. Biologi 9. Sejarah 10. Seni Budaya 11. Pendidikan Jasmani, Olahraga
dan Kesehatan 12. Teknologi Informasi dan
Komunikasi 13. Keterampilan/Bahasa Asing
B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri
2 2 4 4 4 4 4 4 1 2 2
2
2 2 2
2 2 4 4 4 4 4 4 1 2 2
2
2 2 2
Total 39 39
Tabel 2
Struktur Kurikulum SMA Program IPS
Komponen Alokasi Waktu
Semester I Semester II
A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika 6. Sejarah 7. Geografi 8. Ekonomi 9. Sosiologi 10. Seni Budaya 11. Pendidikan Jasmani, Olahraga
dan Kesehatan 12. Teknologi Informasi dan
Komunikasi 13. Keterampilan/Bahasa Asing
B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri
2 2 4 4 4 3 3 4 3 2 2 2 2 2 2
2 2 4 4 4 3 3 4 3 2 2 2 2 2 2
Total 39 39
44
Tabel 3
Sturktur Kurikulum SMA Program Bahasa
Komponen Alokasi Waktu
Semester I Semester II
A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika 6. Sastra Indonesia 7. Bahasa Asing 8. Antropologi 9. Sejarah 10. Seni Budaya 11. Pendidikan Jasmani, Olahraga
dan Kesehatan 12. Teknologi Informasi dan
Komunikasi 13. Keterampilan
B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri
2 2 5 5 3 4 4 2 2 2 2
2
2 2 2
2 2 5 5 3 4 4 2 2 2 2
2
2 2 2
Total 39 39
Sekolah Menengah Atas memiliki jumlah jam pelajaran umum yang lebih
banyak dibandingkan dengan mata pelajaran pendidikan agama, diantaranya
adalah Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi untuk program IPA. Sejarah,
Geografi, Ekonomi dan sosiologi untuk program IPS. Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Sastra Indonesia dan Bahasa Asing untuk program Bahasa.
b. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Sekolah menengah kejuruan diselenggarakan dengan masa belajar tiga
tahun, sama seperti sekolah menengah tingkat atas lainnya. Tujuan
diselenggarakannya pendidikan kejuruan adalah untuk meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan peserta
didik untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan
program kejuruannya. Peserda didik yang telah menyelesaikan program
pendidikannya di SMK dapat melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi di
45
perguruan tinggi dan secara bersamaan juga siap untuk terjun ke dunia kerja
sesuai dengan kekhususan yang dimilikinya.
Tabel 4 Struktur Kurikulum SMK
Komponen Durasi Waktu (Jam)
A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika
5.1 Matematika kelompok seni, pariwisata dan Teknologi Kerumahtanggaan
5.2 Matematika kelompok sosial, administrasi dan Akuntansi
5.3 Matematika kelompok teknologi, kesehatan dan pertanian
6. Ilmu Pengetahuan Alam 6.1 IPA 6.2 Fisika
6.2.1 Fisik kelompok pertanian 6.2.2 Fisika kelompok teknologi
6.3 Kimia 6.3.1 Kimia Kelompok pertania 6.3.2 kimia kelompok teknologi dan
kesehatan 6.4 Biologi
6.4.1 Biologi kelompok pertanian 6.4.2 biologi kelompok kesehatan
7. Ilmu pengetahuan sosial 8. seni budaya 9. pendidikan jasmani Olahraga dan kesehatan 10. kejuruan
10.1 Keterampilan komputer dan pengelolaan informasi
10.2 kewirausahaan 10.3 dasar kompetensi kejuruan 10.4 kompetensi kejuruan
B. Muatan lokal C. Pengembangan diri
192 192 192 440
330
403
516
192
192 276
192
192
192 192 128 128
192
202
192 140
1044 192 192
Keterangan: Durasi waktu yang dibutuhkan selama satu tahun pelajaran yaitu sekitar 34-38 minggu
Sekolah Menengah Kejuruan mengkhususkan lulusan agar memiliki
keahlian dalam bidang tertentu. Agar dapat bekerja secara efektif dan efisien
46
serta mengembangkan keahlian dan keterampilan, peserta didik harus harus
memiliki stamina yang tinggi, menguasai bidang keahliannya dan dasar-dasar
ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi dan mampu
berkomunikasi sesuai dengan tuntutan pekerjaan nantinya, serta memiliki
kemampuan mengembangkan diri (BSNP, 2006).
Sebagaimana halnya SMA, peserta didik SMK juga memiliki kurikulum
sebagai acuan dalam melaksanakan pembelajaran seperti yang dapat dilihat
pada tabel 4, karena setelah menempuh pendidikan selama tiga tahun, peserta
didik juga akan mengikuti Ujian Nasional disamping uji kompetensi untuk
keahlian sesuai dengan jurusannya masing-masing. Berdasarkan tabel struktur
kurikulum SMK dapat dilihat bahwa jumlah jam pelajaran pada mata pelajaran
pendidikan agama SMK menempati porsi yang lebih banyak daripada SMA,
dimana dalam satu tahun ajaran, jumlah maksimal pelajaran pendidikan agama
yang diajarkan adalah sebanyak 192 jam.
c. Madrasah Aliyah (MA)
Madrasah Aliyah merupakan lembaga pendidikan Islam yang setara
dengan SMA dan SMK, memiliki standar kompetensi yang sama dengan sekolah
menengah atas lainnya secara nasional, namun memiliki beberapa kurikulum
yang disesuaikan dengan arahan Departeman Agama, karena MA berada di
bawah pembinaan Departemen Agama (Depag) berbeda dengan SMA dan SMK.
Madrasah Aliyah secara teknis memiliki kesamaan dengan SMA dan SMK, yaitu
sebagai tempat berlangsungnnya proses belajar mengajar secara forma
(madrasah.kemenag.go.id, 2 Maret 2012). Tujuan pendidikan di MA adalah
terbentuknya peserta didik yang cerdas, rukun dan Muttafaqqih fi al-Din dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang bermutu, mandiri dan islami sehingga
47
menghasilkan lulusan yang mengedepankan nilai-nilai keislaman, memiliki
kualitas pendidikan yang baik, yang memiliki keimanan, ketakwaan, akhlak mulia
dan sikap toleran dengan mengedepankan kebutuhan masyarakat. Jadi secara
garis besar Madrasah Aliyah berusaha untuk menyeimbangkan pendidikan
umum dengan pendidikan agama (Pendis.kemenag.go.id, 2 Maret 2012). Karena
berada dalam pembinaan Departemen Agama, maka kurikulum yang dimiliki oleh
MA selain kurikulum yang ditetapkan oleh Depertemen Pendidikan Nasional
masih ditambah lagi dengan mata pelajaran agama (Pardamean, 2011). Tebel 5,
6 dan 7 akan memperlihatkan kurikulum kelas XII pada Madrasah Aliyah.
Tabel 5
Sturuktur Kurikulum MA Program IPA
Komponen Alokasi Waktu
Semester I Semester II
A. Mata Pelajaran 1. Al-Qur’an Hadist 2. Fiqih 3. Sejarah Kebudayaan Islam 4. Pendidikan Kewarganegaraan 5. Bahasa Indonesia 6. Bahasa Inggris 7. Bahasa Arab 8. Matematika 9. Sejarah 10. Biologi 11. Fisika 12. Kimia 13. Seni Budaya 14. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan
Kesehatan 15. TI dan Komunikasi
B. Muatan Lokal
2 2 2 2 5 5 3 5 3 3 6 3 2
2 2 2
2 2 2 2 5 5 3 5 3 3 6 3 2
2 2 2
Jumlah 50 50
Sebagaimana yang terlihat pada tabel 5 dapat diketahui bahwa untuk
program studi IPA pada MA masing-masing terdapat 3 mata pelajaran bidang
bidang keagamaan, yaitu Al-Qur’an Hadits, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan
Islam, masing-masing mata pelajaran tersebut memiliki jam pelajaran 2 jam
48
perminggunya sehingga dalam satu tahun ajaran, jam pelajaran pendidikan
keagamaan pada MA berjumlah 288 jam pelajaran.
Tabel 6
Sturuktur Kurikulum MA Program IPS
Komponen Alokasi Waktu
Semester I Semester II A. Mata Pelajaran
1. Al-Qur’an Hadist 2. Fiqih 3. Sejarah Kebudayaan Islam 4. Pendidikan Kewarganegaraan 5. Bahasa Indonesia 6. Bahasa Inggris 7. Bahasa Arab 8. Matematika 9. Sejarah 10. Ekonomi 11. Geografi 12. Sosiologi 13. Seni Budaya 14. Pendidikan Jasmani, Olahraga
dan Kesehatan 15. TI dan Komunikasi
B. Muatan Lokal
2 2 2 2 5 5 3 5 3 3 6 3 2
2 2 2
2 2 2 2 5 5 3 5 3 3 6 3 2
2 2 2
Jumlah 50 50
Tabel 6 memperlihatkan bahwa untuk program studi IPS pada MA juga
terdapat 3 mata pelajaran bidang bidang keagamaan, yaitu Al-Qur’an Hadits,
Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam, masing-masing mata pelajaran tersebut
memiliki jam pelajaran 2 jam perminggunya sehingga dalam satu tahun ajaran,
jam pelajaran pendidikan keagamaan pada MA berjumlah 288 jam pelajaran.
Sedangkan pada program studi keagamaan yang dapat dilihat pada tabel 7
terdapat 5 mata pelajaran keagamaan, sehingga kalau dijumlahkan dalam satu
tahun ajaran terdapat maksimal 532 jam pelajaran keagamaan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa jam pelajaran keagamaan pada MA lebih banyak
dibandingkan jam pelajaran di SMA dan SMK.
49
Tabel 7
Kurikulum MA Program Keagamaan
Komponen Alokasi Waktu
Semester I Semester II
A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika 6. Tafsir dan Ilmu Tafsir 7. Ilmu Hadits 8. Ushul Fiqih 9. Tasawuf/ Ilmu Kalam 10. Seni Budaya 11. Pendidikan Jasmani, Olahraga
dan Kesehatan 12. Teknologi Informasi dan
Komunikasi 13. Keterampilan
B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri
2 2 4 4 4 3 3 3 3 2 2
2
2 2 2
2 2 4 4 4 3 3 3 3 2 2
2
2 2 2
Jumlah 38 38
D. Pendidikan Agama di Sekolah
Dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar sekolah menengah
atas di seluruh Indonesia dapat diketahui bahwa salah satu yang membedakan
antara satu sekolah dan sekolah yang lain adalah mata pelajarannya,
sebagaimana perbedaan antara sekolah umum dengan sekolah agama. Sekolah
umum memiliki jumlah mata pelajaran keagamaan yang lebih sedikit
dibandingkan dengan sekolah agama yang disesuaikan dengan Visi dan Misi
lembaga pendidikan tersebut. Pendidikan agama yang menjadi konsentrasi
dalam penelitian ini adalah pendidikan agama Islam.
Mata pelajaran keagamaan untuk program studi IPA, IPS dan Bahasa
pada sekolah umum, khususnya SMA adalah 2 jam pelajaran perminggu dengan
jumlah pertemuan dalam satu tahun ajaran adalah 34-38 kali. Jadi, dalam satu
tahun ajaran, jam pelajaran pendidikan agama berjumlah 68-76 jam pelajaran.
50
Sedangkan untuk Sekolah Menengah Kejuruan, jumlah durasi untuk mata
pelajaran pendidikan agama dalam satu tahun pelajaran adalah sebanyak 192
jam. Sementara itu, Madrasah Aliyah merupakan sekolah menengah yang
memiliki jumlah jam pelajaran bidang keagamaan paling banyak dibandingkan
dengan SMA dan SMK, dimana jumlah jam pelajaran keagamaan MA mulai dari
288-532 jam dalam satu tahun ajaran.
Tujuan pendidikan agama Islam berdasarkan standar kompetensi dan
kompetensi dasar SMA/MA (BSNP, 2006) adalah untuk menumbuhkembangkan
akidah melalui pemberian, pemupukan dan pengembangan pengetahuan,
penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang
Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus mengembangkan
keimanan dan ketakwaan kepada ALLAH SWT serta mewujudkan manusia
Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang
telah melakukan penelitian selama lebih dari 20 tahun untuk melihat validitas dan
reliabilitas DIT, dari penelitian tersebut ditemukan korelasi antara tingkat
perkembangan penalaran moral dengan kapasitas kognitif individu. Reliabilitas
DIT diukur dengan menggunakan tes ulang atau Test-retest yang dilakukan pada
subjek dari latar belakang pendidikan, jenis kelamin dan usia yang berbeda,
diperoleh nilai r yang bergerak dari 0.70 sampai 0.80. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa DIT merupakan alat yang cukup handal untuk mengukur
tahap perkembangan penalaran moral individu yang sesuai dengan tahap-tahap
perkembangan moral yang disusun oleh Kohlberg (dalam Rest, 1979).
DIT diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia pertama kali oleh Martani
(dalam Fitria, 2000) dan telah dilakukan uji validitas dan reliabilitasnya. Uji
reliabilitas dilakukan pada siswa SMP dan Mahasiswa, hasil yang diperoleh
adalah adanya korelasi r yang bergerak antara 0.255 sampai 0.410. Penelitian
lain yang juga menguji reliabilitas dan validitas DIT dilakukan oleh Menanti
(dalam Wardani, 1998), dimana hasil uji reliabilitasnya menunjukkan nilai sebesar
62
0,78 dengan hasil uji validitas aitemnya menunjukkan nilai r yang bergerak
antara 0,38 sampai dengan 0,67. Sedangkan validitasnya diukur dengan validitas
konstruksi atau construct validity yang merupakan validitas yang didasarkan
pada kesesuaian antara alat ukur dengn konstruksi teoritis yang mendasari
penyusunan alat tersebut. Rest (1979) menjelaskan bahwa dasar dari
penyusunan DIT adalah dari teori perkembangan penalaran moral dengan
pendekatan kognitif yang dikemukakan oleh Kohlberg, dengan demikian
perkembangan penalaran moral merupakan psikologikal konstruk dan DIT
disusun berdasarkan operasionalisasi kosntruk tersebut (Fitria, 2000). Dilema-
dilema yang digunakan dalam DIT dirancang untuk membedakan ciri-ciri suatu
tahap perkembangan penalaran moral individu, yang paling penting dalam DIT
adalah melihat alasan yang mendasari terjadinya pengambilan keputusan dalam
menyelesaikan dilema-dilema tersebut.
McGeorge (dalam Rest, 1979) menjelaskan bahwa dalam mengerjakan
skala DIT dibutuhkan kemampuan membaca dan memahami pernyataan-
pernyataan yang terdapat di dalam masing-masing dilema, kemampuan ini mulai
dimiliki saat anak berada di sekolah menengah pertama, yaitu berusia sekitar 13
sampai 14 tahun. Secara teoritis, anak-anak yang yang berumur 13 tahun tidak
lagi berada pada tahap pertama dalam perkembangan penalaran moral,
sehingga dalam menyusun dan mengungkap tahap perkembangan penalaran
moral Rest (1979) memulainya dari tahap 2, dilanjutkan dengan tahap 3, tahap 4,
tahap 5 yang dibagi Rest menjadi dua bagian yaitu 5A yang menunjukkan
moralitas konstrak sosial dan tahap 5B yang menunjukkan moralitas intuitif dan
tahap yang terakhir adalah tahap 6. Pada dasarnya tahap 5A dan 5B dalam DIT
sama dengan tahap 5 dalam tahap perkembangan penalaran moral Kohlberg.
63
Dalam penelitian ini terdapat 5 dilema moral, pada masing-masing dilema
terdapat 12 pernyataan dalam masing-masing pernyataan terdapat 5 pilihan
jawaban, yaitu Amat Sangat Penting (ASP), Sangat Penting (SP), Penting (P),
Kurang Penting (KP), dan Tidak Penting (TP). Subjek diminta untuk membaca
suatu kasus yang bersifat hipotesis, kemudian diminta untuk mengambil
keputusan apa yang akan dilakukan, setelah itu subjek diminta untuk membaca
keduabelas pernyataan dan memilih satu jawaban untuk masing-masing item
pernyataan. Setelah menyelesaikan keduabelas pernyataan tersebut, subjek
diminta untuk memilih 4 pernyataan yang dianggap paling penting dan kemudian
merengkingnya dari 1 sampai 4.
Skoring akan dilakukan sesuai dengan skoring manual DIT yang telah
ditetapkan oleh Rest (1979), melalui proses sebagai berikut:
1) Menyiapkan lembar data untuk setiap subjek dengan format seperti yang
dapat dilihat pada tabel 11.
2) Dari keempat pernyataan yang telah dirangking oleh subjek, lihat pernyataan
yang pertama paling penting menurut subjek.
Tabel 11
Lembar data subjek
CERITA TAHAP
2 3 4 5A 5B 6 A M P
I
II
III
IV
V
Skor Total
Nilai Persentase
64
Keterangan:
a) 2, 3, 4, 5A, 5B dan 6 : Merupakan tahap perkembangan penalaran
moral.
b) A : Merupakan pandangan yang mencela tradisi dan menampilkan aturan
sosial yang semaunya sendiri. Menurut Rest (1979) hal ini mungkin
disebabkan oleh subjek yang berada pada masa transisi antara satu tahap
dengan tahap yang lain, biasanya skor A ini diabaikan dan tidak digunakan
dalam interpretasi maupun analisis lainnya.
c) M : Merupakan pernyataan yang tidak mengekspresikan suatu tahap
penalaran moral sama sekali. Skor M digunakan sebagai internal check dari
keajegan jawaban subjek, jika skor M yang diperoleh subjek melebihi 6 maka
skala DIT tidak dapat digunakan atau dinyatakan gugur.
d) P : Skor P diperoleh dengan cara menjumlahkan skor 5A, 5B dan 6. Rest
(1979) mengungkapkan bahwa P merupakan indeks dari suatu
perkembangan penalaran moral dimana seseorang menggunakan
pertimbangan moral yang paling prinsip dalam membuat suatu keputusan
moral.
3) Setelah diketahui pernyataan pertama paling penting, sesuaikan dengan
tabel untuk mengetahui tahap perkembangan penalaran moral subjek, seperti
yang dapat dilihat pada tabel 12. Misalnya, jika pernyataan paling penting
subjek pada cerita pertama adalah aitem no 6, maka berarti subjek berada
pada tahap 4; jika aitem 10 maka subjek berada pada tahap 5A.
65
Tabel 12
Tabel tahap perkembangan penalara moral
AITEM 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
CERITA
I
II
III
IV
V
4 3 2 M 3 4 M 6 A 5A 3 5A
3 4 A 4 6 M 3 4 3 4 5A 5A
3 4 A 2 5A M 3 6 4 5B 4 5A
4 4 3 2 6 A 5A 5A 5B 3 4 3
4 4 2 4 M 5A 3 3 5B 5A 4 3
4) Setelah menemukan tahap aitem, maka tugas selanjutnya adalah memberi
skor untuk masing-masing rangking. Peringkat pertama paling penting diberi
skor 4, kedua paling penting diberi skor 3, ketiga paling penting diberi skor 2,
dan keempat paling penting diberi skor 1.
5) Setelah diberi skor, maka memasukkan skor masing-masing pernyataan ke
dalam lembar data. Kemudian menjumlahkan skor yang diperoleh masing-
masing kolom.
6) Untuk memperoleh nilai P yang merupakan skor paling prinsip dalam
perkembangan moral, maka skor 5A, 5B dan 6 harus ditambahkan.
7) Masing-masing dilema moral akan memiliki 4 entri data, dan kalau
dijumlahkan, maka semuanya akan berjumlah 20 entri data.
8) Setalah diperoleh nilai kasar dari masing-masing dilema moral, maka tahap
selanjutnya adalah membuat persentase dengan cara membaginya dengan
bilangan 0,5. Persentase ini akan menunjukkan profil perkembangan
penalaran subjek.
66
Setiap subjek dalam penelitian ini akan memiliki lembar datanya sendiri,
sehingga dapat diketahui tingkat perkembangan penalaran moral subjek dan
mengungkap seberapa besar subjek menggunakan pertimbangan moral yang
prinsip dalam membuat suatu keputusan dalam menghadapi dilema-dilema
sosial yang ada disekelilingnya melalui skor P yang diperoleh oleh subjek.
3. Jenis Sekolah
Jenis sekolah beserta data-data lain mengenai subjek seperti usia dan
jenis kelamin diperoleh melalui lembar identitas diri dan persetujuan yang diisi
oleh subjek sebelum mengisi skala penelitian.
D. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantiitatif. Pada penelitian ini penulis
menggunakan pendekatan komparasional yaitu penelitian yang bertujuan untuk
melihat perbedaan dari varibel-variabel yang sama terhadap subjek yang
berbeda-beda (Winarsunu, 2007).
E. Cara Analisis Data
Sesuai dengan hipotesis penelitian, data yang diperoleh dalam penelitian
ini dianalisis secara serentak menggunakan teknik analisis varian faktorial atau
yang lebih dikenal dengan anava faktorial dengan bantuan program SPSS 16.0
for Windows. Anava faktorial merupakan teknik statistik parametri yang
digunakan untuk menguji perbedaan antara kelompok-kelompok data yang
berasal dari 2 variabel bebas atau lebih (Winarsunu, 2007).
67
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskipsi Subjek Penelitian
Setelah dilakukan pengambilan data terhadap subjek penelitian maka
dapat disajikan secara umum pada tabel 13 dan 14 mengenai gambaran
karakteristik subjek penelitian.
Tabel 13
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Jenis Kelamin Usia Total
17 Tahun 18 Tahun 19 Tahun
Laki-laki 0 27 55 82
Perempuan 5 54 36 95
Total 5 81 99 177
Berdasarkan tabel 13 dapat diketahui bahwa tidak ada subjek laki-laki
yang berusia 17 tahun, 27 subjek berusia 18 tahun dan 55 subjek berusia 19
tahun, subjek paling banyak berada pada usia 19 tahun. Pada subjek perempuan
terdapat 5 subjek berusia 17 tahun, 54 subjek berusia 18 tahun dan 36 subjek
berusia 19 tahun, subjek paling banyak berusia 18 tahun.
Tabel 14
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Sekolah Saat UN
Jenis Kelamin Jenis Sekolah Total
Umum Agama
SMA SMK MA
Laki-laki 21 35 26 82
Perempuan 45 12 39 95
Total 65 47 65 177
Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa subjek laki-laki yang
bersekolah di SMA adalah sebanyak 21 subjek, SMK sebanyak 35 subjek dan
68
MA sebanyak 36 subjek. Sementara itu subjek perempuan yang bersekolah di
SMA sebanyak 45 subjek, SMK 12 subjek MA sebanyak 39 subjek. Subjek laki-
laki dan perempuan terbanyak bersekolah di MA. Subjek laki-laki kebanyakan
bersekolah di SMK dan perempuan bersekolah di SMA.
B. Deskripsi dan Reliabilitas Data
1. Perilaku Curang
Skala perilaku curang yang disebarkan kepada subjek penelitian
memperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,950. Hasil uji reliabilitas ini diperoleh
melalui analisis reliabilitas dengan menggunakan metode Cronbach’s Alpha.
Analisis data deskriptif dilakukan untuk memperoleh gambaran secara
umum mengenai data penelitian. Melalui deskripsi data penelitian dapat
diperoleh gambaran tentang jumlah data, skor minimum, skor maksimum, mean,
dan deviasi standar. Variabel perilaku curang dalam melaksanakan Ujian
Nasional dapat diketahui bahwa jumlah data (N) sebanyak 177, memiliki nilai
rata-rata sebesar 29,80. Rentang skor sebesar 112 dengan skor minimal 0 dan
skor maksimal 112 serta memiliki deviasi standar sebesar 23,048. Hasil data
variabel perilaku curang dan variabel perkembangan moral dikategorisasikan
berdasarkan tinggi rendahnya jumlah skor dari masing-masing subjek.
Kategorisasi didasarkan pada model distrbusi normal. Berdasarkan satuan
deviasi standar dengan memperhitungkan rentangan skor minimum dan
maksimum teoritisnya, maka pada penelitan ini kategorisasi subjek dibagi
menjadi 3 kategori.
a. Kategori rendah, jika X < (M-1,0 SD)
b. Kategori sedang,jika (M-1,0 SD) ≤ X < (M+1,0 SD)
c. Kategori tinggi, jika (M+1,0 SD) ≤ X
69
Tabel 15
Kategorisasi Data Skala Perilaku Curang
Skor Interval Klasifikasi N Persentase
X < 7 Rendah 31 17,5 %
7 ≤ X < 53 Sedang 125 70,6%
53 ≤ X Tinggi 21 11,9%
Jumlah 177 100 %
Hasil kategorisasi data skala perilaku curang pada tabel 16 menejelaskan
bahwa skor perilaku curang kategori rendah berjumlah 31 subjek atau sekitar
17,5%. Kategori sedang berjumlah 125 subjek yaitu sekitar 70,6%, serta kategori
tinggi berjumlah 21 subjek yaitu sekitar 11,9%. Banyaknya jumlah subjek yang
berada pada kategori sedang menunjukkan bahwa sebagaia besar subjek
memiliki tingkat perilaku curang sedang. Sementara itu subjek yang tidak
melakukan kecurangan atau skor skala perilaku curang nol (0) adalah sebanyak
16 subjek yaitu sekitar 9%, sisanya yaitu sekitar 161 subjek atau 91% melakukan
kecurangan dalam melaksanakan Ujian Nasional.
2. Tingkat perkembangan penalaran moral
Skala DIT merupakan skala yang dipergunakan untuk mengetahui tingkat
perkembangan penalaran subjek dimana dapat memberikan informasi mengenai
skor paling prinsip (skor P) dalam perkembangan moral, yang akan menunjukkan
seberapa besar subjek akan mempergunakan pertimbangan moral yang paling
prinsip untuk membuat satu keputusan dalam menghadapi dilema-dilema sosial
yang ada disekelilingya melalui tahap perkembangan penalaran moral yang
dikelompokkan kedalam skema perkembangan penalaran moral. Deskripsi
mengenai skema tahap perkembangan penalaran moral subjek dapat dilihat
pada tabel 16.
70
Tabel 16
Deskripsi Skema Tahap Perkembangan Penalaran Moral
Sekolah
Skema Tahap Perkembangan Moral Total Skema 1 Skema 2 Skema 3
Umum 6 104 2 112 Agama 7 57 1 65
Total 13 161 3 177
Berdasarkan tabel 16 dapat dilihat gambaran bahwa seluruh subjek
penelitian hanya berada pada tiga skema perkembangan penalaran moral, yaitu
skema 1 yang merupakan skema kepentingan pribadi, skema 2 yang merupakan
skema pertahanan norma dan skema 3 yang merupakan skema
postkonvensional. Tahap perkembangan penalaran moral subjek paling banyak
berada pada skema 2 yaitu skema pertahanan norma sebanyak 161 subjek atau
91%, kemudian skema 1 yaitu skema pertahanan norma sebanyak 13 subjek
atau 7% dan skema 3 yaitu skema postkonvensional sebanyak 3 subjek atau
2%.
3. Jenis Sekolah
Deskripsi statistik jenis sekolah subjek menjelaskan bahwa subjek
terbanyak berasal dari sekolah umum, yaitu sebanyak 112 subjek yang terdiri
dari 65 subjek berasal dari SMA dan 47 subjek berasal dari SMK. Sementara itu
subjek dari sekolah agama yaitu MA terdiri dari 65 subjek. Jadi dapat disimpulkan
dalam penelitian ini subjek terbanyak merupakan remaja yang berasal dari
sekolah umum.
C. Hasil
1. Uji Homogenitas
Dalam setiap perhitungan statistik yang menggunakan Anava harus
disertai landasan bahwa harga-harga varian dalam kelompok bersifat homogen
atau relatif sejenis. Homogenitas varian merupakan asumsi yang penting di
71
dalam penghitungan Anava, hal ini disebabkan karena pada hakekatnya anava
digunakan untuk membandingkan varian dalam kelompok yang berasal dari 3
kategori data atau lebih, dan kategori-kategori tersebut baru dapat dibandingkan
secara adil apabila harga-harga varian pada masing-masing kategori bersifat
homogen.
Pengujian homogenitas dalam penelitian ini menggunakan Uji Levene’s.
Uji ini dilakukan untuk menyatakan bahwa masing-masing varian dari variabel
terikat adalah sama. Pengambilan keputusan didasarkan pada hasil probabilitas
yang diperoleh melalui harga F, dimana apabila harga F terbukti signifikan berarti
terdapat perbedaan. Harga F yang diharapkan adalah harga F yang tidak
signifikan, yaitu jika harga F hitung yang lebih kecil daripada harga F tabel. Hasil
uji Leven’s diperoleh hasil Fhitung sebesar 1,043 dan jika dibandingkan dengan
nilai Ftabel maka diperoleh Ftabel sebesar 2,267 pada taraf 5% diperoleh harga
Fhitung lebih kecil dibandingkan Ftabel (1,043 < 2,267). Nilai probabilitas yang
diperoleh adalah 0,394, oleh karena 0,394 lebih besar dari 0,05 maka dengan
demikian dapat diinterpretasikan bahwa data terbukti tidak signifikan dan ini
menunjukkan tidak adanya perbedaan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah
bahwa varian variabel terikat adalah sama atau homogen, sehingga memenuhi
persyaratan untuk dilakukan analisis varian faktorial dan proses analisis varian
dapat dilanjutkan.
2. Uji Hipotesis
Hipotesis penelitian diuji secara serentak, hasil out put analisis
menunjukkan taraf signifikansi hasil hitung dan koefisien Fhitung seperti yang
terlihat pada tabel 17.
72
Tabel 17
Rangkuman Hasil Uji Hipotesis
Variabel Terikat : Perilau Curang
No Hipotesis F hitung F tabel Sig.
1 Gabungan (Model) 1,846 2,265 0,106
2 A 2,361 3,048 0,097
3 B 0,123 3,896 0,727
4 A*B 0,851 3,048 0,429
Variabel Bebas: A = Tingkat Perkembagan Penalaran Moral B= Jenis Sekolah
Hasil uji hipotesis untuk melihat perbedaan perilaku curang berdasarkan
tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah subjek diperoleh harga
Fhitung sebesar 1,846. Apabila harga ini dikonfirmasikan dengan harga Ftabel
dengan taraf signifikansi 0,05 (5%) maka diperoleh Ftabel sebesar 2,265, sehingga
dapat dilihat bahwa Fhitung lebih kecil dibandingkan dengan Ftabel (1,846<2,265)
hal ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama tidak terdapat perbedaan
perilaku curang dengan tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis
sekolah subjek. Secara terpisah, hasil hipotesis menunjukkan bahwa diperoleh
harga FA sebesar 2,361. Apabila harga ini dikonfirmasikan dengan harga Ftabel
dengan taraf signifiansi 0,05 (5%) maka diperoleh Ftabel sebesar 3,048 maka
terlihat bahwa FA lebih kecil dibandingkan harga F tabel (2,361<3,048), sehingga
dapat dikatakan bawa tidak terdapat perbedaan perilaku curang yang signifikan
bila ditinjau dari tingkat perkembangan penalaran moral remaja. Selanjutnya
untuk jenis sekolah, diperoleh FB sebesar 0,123. Apabila harga ini
dikonfirmasikan dengan harga Ftabel dengan taraf signifikansi 0,05 (5%) maka
diperoleh Ftabel sebesar 3,896. Maka dapat dilihat bahwa FB lebih kecil
dibandingkan harga Ftabel (0,123<3,896), Sehingga dapat disimpulkan bawa tidak
terdapat perbedaan perilaku curang yang signifikan pada remaja bila ditinjau dari
73
jenis sekolah. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku
curang berdasarkan tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah
remaja.
Berdasarkan tabel 17 dapat diketahui interaksi antara tingkat
perkembangan penalaran moral dengan jenis sekolah subjek secara umum,
dimana berdasarkan hasil analisis data diperoleh FA*B sebesar 0,851. Jika
dibandingkan dengan taraf signifikansi 0,05 (5%) maka akan diperoleh nilai Ftabel
sebesar 3,048, sehingga dapat dilihat bahwa FA*B lebih kecil dibandingkan Ftabel
(0,851<3,048), maka hal ini berarti bahwa tidak terdapat interaksi yang signifikan
antara tingkat perkembangan penalaran moral dengan jenis sekolah subjek
terhadap perilaku curang subjek. Berdasarkan hal tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa perubahan yang terjadi pada variabel tingkat perkembangan
penalaran moral dan jenis sekolah belum tentu turut memberikan perubahan
terhadap perilaku curang dalam melaksanakan UN.
Berdasarkan nilai rata-rata atau mean yang diperoleh dari masing-masing
kelompok penelitian menunjukkan bahwa terdapat mean yang berbeda. Adapun
mean subjek yang berada pada skema kepentingan pribadi yang berasal dari
sekolah umum adalah 23,667 dengan rerata perilaku curang yang berkisar
antara 5,313 sampai 42,021, sedangkan subjek yang berasal dari sekolah
agama memiliki mean yang lebih tinggi, yaitu 34,429 dengan rerata perilaku
curang yang berkisar antara 17,436 sampai 51,421. Bila kedua mean tersebut
dibandingkan maka terlihat bahwa subjek pada skema kepentingkan pribadi yang
berasal dari sekolah umum memiliki tingkat kecurangan yang lebih rendah
dibandingkan dengan remaja pada skema yang sama namun berasal dari
sekolah agama.
74
Adapun mean untuk subjek pada skema pertahanan norma yang berasal
dari sekolah umum adalah 31,202 dengan rerata perilaku curang berkisar antara
26,793 sampai 35,610. Sedangkan yang berasal dari sekolah agama memiliki
mean yang lebih kecil yaitu sebesar 25,632 dengan rerata perilaku curang antara
19,667 sampai 31,586. Bila kedua mean tersebut dibandingkan maka akan
terlihat bahwa subjek pada skema pertahanan norma yang berasal dari sekolah
umum memiliki tingkat kecurangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek
pada skema yang sama namum berasal dari sekolah agama.
Adapun mean untuk subjek yang berada pada skema poskonvensional
yang berasal dari sekolah umum memiliki mean sebesar 67,000 dengan rerata
perilaku curang berkisar antara 35,210 sampai 98,790. Sedangkan yang berasal
dari sekolah agama memiliki mean sebesar 51,000 dengan rerata perilaku
curang berkisar antara 6,042 sampai dengan 95,958. Bila kedua mean tersebut
dibandingkan maka dapat dilihat bahwa subjek yang berada pada skema
poskonvensional yang berasal dari sekolah umum memiliki tingkat kecurangan
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan subjek yang berasal dari sekolah
agama.
Sementara itu, dari data penelitian dapat juga diperoleh hasil analisis lain
yang cukup berhubungan dengan penelitian, diantaranya adalah melihat
perbedaan perkembangan penalaran moral remaja berdasarkan jenis sekolah
remaja. Dari analisis data diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan
perkembangan penalaran moral remaja yang signifikan berdasarkan jenis
sekolahnya (umum dan agama), dengan perolehan Fhitung 4,653. Jika
dibandingkan dengan Ftabel 3,895 maka dapat diketahui bahwa Fhitung lebih besar
dari Ftabel (4,653>3,895). Berdasarkan rata-rata tingkat perkembangan panalaran
75
moral remaja, maka remaja dari sekolah umum memiliki rata-rata lebih rendah
yaitu 9,83 dibandingkan dengan remaja dari sekolah Agama yaitu 11,37.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertimbangan moral remaja yang bersekolah
di sekolah agama lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang bersekolah di
sekolah umum.
Peredaan perilaku curang remaja berdasarkan jenis kelamin, diperoleh
signifikansi 0,022 < 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan
tingat perlaku curang yang signfikan pada remaja berdasarkan jenis kelaminnya.
Dimana berdasarkan rata-rata diperoleh gambaran bahwa perilaku curang
remaja laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan remaja perempuan (34,06 >
26,12).
Analisis aitem dari skala perilaku curang menunjukkan bahwa terdapat
beberapa bentuk kecurangan yang dilakukan oleh sebagian besar subjek dalam
melaksanakan UN, diantaranya adalah menanyakan soal kepada teman dengan
kode soal yang sama yaitu 74%, memberikan bantuan jawaban kepada teman
dengan kode soal yang sama yaitu 71%, mencocokkan kode soal dengan teman
yang lain untuk saling membatu selama ujian yaitu 69%, membuat dan
menggunakan contekan rumus-rumus maupun kunci jawaban di kotak pensil
yaitu 69%, menerima jawaban dari teman melalui kertas kecil saat ujian
berlangsung 68%, memberikan contekan jawaban melalui kertas buram kepada
teman yaitu 65%, menerima contekan jawaban ujian melalui kertas buram dari
teman yaitu 62%, membawa kertas kecil berisi contekan ujian ke dalam ruang
ujian yaitu 62%, memperoleh jawaban ujian melalui sms 62%, membantu teman
dengan mengangkat lembar soal yang telah diberi tanda jawaban yaitu 60%,
menggunakan kertas kecil berisi contekan jawaban ujian saat ujian berlangsung
76
yaitu 59%, menggunakan kunci jawaban saat ujian berlangsung yaitu 59%,
memperoleh kunci jawaban sebelum ujian berlangsung yaitu 58%, menggunakan
hp untuk memberikan jawaban ujian yaitu 57%, menggunakan hp untuk
menerima jawaban ujian yaitu 57%, menyalin jawaban ujian dari lembar jawaban
ujian teman yaitu 55% dan menciptakan kode-kode tertentu untuk memperoleh
jawaban ujian yaitu 52%.
D. Pembahasan
Perilaku curang dalam melaksanakan UN merupakan perilaku tidak jujur
yang berhubungan dengan pencapaian akademik, dimana terjadi kesalahan
individu dalam menggambarkan dan menampilkan pengetahuannya dengan cara
penipuan dan melanggar peraturan, menggunakan alat-alat, informasi-informasi
atau bahan pelajaran yang tidak sah untuk meningkatkan pecapaian akademik
dalam melaksanakan UN. Dari 177 remaja yang diteliti, 91% remaja melakukan
kecurangan mulai dari kategori rendah, sedang hingga tinggi. Sisanya yaitu 9%
diduga tidak melakukan kecurangan yang terlihat dari perolehan skor pada skala
perilaku curang remaja. Dalam menghadapi UN, 21 remaja atau 11,9% memiliki
tingkat kecurangan yang tinggi, sekitar 125 remaja atau 70,6% masuk kategori
sedang dan 31 remaja atau 17,5% memiliki tingkat kecurangan yang rendah.
Sehingga dapat diperoleh gambaran bahwa sebagian besar perilaku curang
remaja masuk ke dalam kategori sedang. Sementara itu jika dihubungkan
dengan skema perkembangan penalaran moral Rest (dalam Rest, Narvaez,
Thoma, & Bebeau, 2000) maka diketahui bahwa 13 remaja atau 7,3% berada
pada kategori skema kepentingan pribadi, kemudian 161 remaja atau 91%
77
berada pada kategori skema pertahanan norma dan 3 remaja atau 1,7% berada
pada kategori skema postkonvensional.
Penelitian ini memiliki tujuan utama untuk melihat ada atau tidaknya
perbedaan tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah atau
pendidikan terhadap perilaku curang remaja dalam melaksanakan UN. Dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara umum tidak terdapat perbedaan antara
perilaku curang remaja yang berada pada skema perkembangan penalaran
moral poskonvensional dengan remaja pada skema perkembangan penalaran
moral pertahanan norma maupun remaja yang berada pada skema
perkembangan penalaran moral kepentingan pribadi.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh West,
dkk. (2004), dimana hasil penelitian tidak menemukan hubungan yang signifikan
antara perkembangan moral dengan perilaku curang, penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa perkembangan moral dan kejujuran merupakan sesuatu
yang tidak berhubungan, namun tingginya tingkat kecurangan berhubungan
dengan rendahnya tingkat kejujuran. Bruggeman (1996) mengungkapkan bahwa
tingkat perkembangan moral tidak berhubungan dengan pilihan individu saat
menghadapi konflik moral yang terjadi. Hal ini didukung oleh Matarazzo, dkk.
(2008) seseorang akan menerapkan nilai-nilai moral jika dihadapkan pada situasi
yang yang tidak terlalu jauh dari fokus yang sedang mereka lakukan. Namun jika
situasi tersebut jauh dari fokus apa yang sedang mereka lakukan maka akan
terjadi pertimbangan untuk menerapkan nilai-nilai moral yang dianut.
Sebagian besar remaja dalam penelitian ini memiliki tingkat
perkembangan penalaran moral yang sedang atau berada pada skema
pertahanan norma, dimana remaja telah mampu untuk mengidentifikasi aturan-
78
aturan dan peran dalam masyarakat, remaja cenderung lebih patuh tehadap
hukum, aturan dan keadilan serta tugas sosial. Penilaian baik, buruk, benar dan
salah harus memiliki aturan yang jelas dan berlaku bagi semua orang, aturan dan
normalah yang mengatur hubungan timbal balik dengan orang lain, kepatuhan
pada aturan, nilai dan norma di dalam masyarakat dilakukan semata-mata untuk
menghormati sistem sosial, belum masuk pada kesadaran diri untuk mematuhi
aturan yang berlaku di dalam masyarakat seperti pada tahap pascakonvensional
Kohlberg maupun Rest (dalam Rest, Narvaez, Thoma, & Bebeau, 2000).
Selain itu, remaja pada skema pertahanan norma masuk pada tahap
penalaran konvensional yang dikembangkan oleh Kohlberg (dalam Ormrod,
2008). Perkembangan konvensional biasanya ditemukan pada segelintir siswa
SD tingkat akhir, sejumlah siswa SMP dan banyak siswa SMA. Menurut Kohlberg
(dalam Slavin, 2011) pada tingkat ini individu dalam menjalankan kehidupan
bermasyarakat akan mematuhi beberapa standar tertentu, tetapi standar tersebut
merupakan standar orang lain atau standar yang berlaku dalam masyarakat.
Individu pada tingkat perkembangan penalaran moral ini lebih mementingkan
kebutuhan kelompok, harapan keluarga, dan bangsa. Individu tidak lagi hanya
menghindari apa yang mengakibatkan mereka dihukum atau melakukan apa
yang membuat mereka merasa bahagia, akan tetapi mereka telah mulai
mempertimbangan standar-standar orang lain di luar dirinya sendiri. Peraturan
dan hukum masyarakat menggantikan peraturan dan hukum kelompok sebaya.
Menyadari hal tersebut, jika dihadapkan pada dilema moral dalam
kehidupan yang sebenarnya maka penalaran moral yang tinggi belum tentu
dapat diterapkan dalam tingkah laku yang sesuai dengan pertimbangan moral
remaja, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rest (1979) bahwa penalaran moral
79
merupakan faktor yang penting dalam membuat keputusan moral, namun jika
terjadi interaksi dengan faktor lain yang lebih komplit maka tidak ada jaminan
bahwa remaja akan tetap mempergunakan pertimbangan moralnya dalam
berperilaku. Sehingga tinggi, sedang atau rendahnya tingkat perkembangan
penalaran moral remaja belum tentu akan berpengaruh terhadap tindakan yang
akan diambilnya. Hal senada ditigaskan oleh Atkinson (dalam Azizah, 2006) yang
mengungkapkan bahwa individu mengetahui bagaimana sebaiknya bertindak
tetapi mungkin tidak melakukannya jika ada kepentingan lain yang ikut terlibat.
Duriez dan Soenens (dalam Marquette, 2010) menjelaskan bahwa
tindakan moral merupakan hasil dari setidaknya empat komponen proses,
diantaranya yaitu mengidentifkasi situasi sebagai masalah moral, kemudian
mencari tahu apa yang harus dilakukan dan mengevaluasi kemungkinan rencana
dan tindakan, mengevaluasi bagaimana tindakan akan memenuhi nilai-nilai
moral dan non moral dan memutuskan tindakan yang akan ditempuh dan yang
terakhir adalah melaksanakannya dalam sebuah tindakan. Menyadari hal ini,
maka akan ada sebagian individu yang mengandalkan penalaran berdasarkan
asas keadilan, keuntungan, norma sosial ataupun prinsip agama sebelum
melaksanakannya dalam bentuk tindakan, sehingga tindakan akan selalu sejalan
dengan asas yang digunakan oleh individu untuk menalar situasi sosial dan
terkadang tindakan moral dapat tidak sejalan dengan apa yang diharapkan oleh
masyarakat.
Dalam situasi menghadapi UN fokus remaja adalah mampu
menyelesaikan ujian dengan sebaik-baiknya dan lulus sesuai dengan harapan
remaja dan harapan pihak-pihak diluar diri remaja, seperti pihak keluarga,
sekolah dan masyarakat. Karena Jika situasi tidak memberikan kemudahan bagi
80
remaja dalam hal pencapaian kelulusan yang ingin diraih, maka remaja dapat
tidak menerapkan nilai-nilai moral yang mereka anut dalam sebuah bentuk
perilaku moral atau bisa jadi asas yang dipergunakan oleh remaja dalam
menghadapi dilema sosial dan moral yang terjadi mempergunakan asas
kepentingan, bukan asas keadilan, norma sosial maupun prinsip agama
sehingga tidak mengherankan, walaupun tingkat perkembangan moral remaja
tergolong sedang sampai tinggi, kecurangan saat melaksanakan UN masih
terjadi. Seperti halnya dalam kasus perilaku curang saat melaksanakan UN, jika
diperhatikan sebagaian besar remaja memiliki kemungkinan untuk membuat
keputusan moral sesuai dengan pertimbangan penalaran moral yang dimilikinya,
namun kenyataannya dilapangan tidak seperti itu, karena hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku curang pada remaja, baik
yang memiliki tingkat perkembangan penalaran moral tinggi, sedang maupun
rendah.
Selain melihat perbedaan perilaku curang berdasarkan tingkat
perkembangan penalaran moral remaja, penelitian ini juga ingin mengetahui
apakah terdapat perbedaan perilaku curang berdasarkan jenis sekolah remaja.
Dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rettinger dan Jordan
(2005) menunjukkan bahwa tingkat kecurangan yang dilakukan oleh siswa
dipengaruhi oleh pendidikan yang mereka ikuti, dimana siswa yang mengikut
kursus berbasis keagamaan memiliki tingat kecurangan yang lebih rendah
dibandingkan dengan siswa yang mengikuti kursus berbasis umum. Demikian
juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Bloodgood, dkk. (2008) dimana
subjek yang memiliki pengetahuan agama, melakukan dan mengikuti
serangkaian doktrin-doktrin atau prinsip-prinsip keagamaan memiliki tingkat
81
kecurangan yang lebih rendah dibandingkan dengan subjek yang tidak, namun
hasil analisis data dari penelitian ini tidak sejalan dengan kedua penelitian
tersebut.
Walaupun secara umum terdapat perbedaan perkembangan penalaran
moral antara remaja yang bersekolah di sekolah umum (SMA dan SMK) dengan
remaja yang bersekolah di sekolah agama (MA) dimana dari nilai rata-ratanya
menunjukkan bahwa perkembangan penalaran moral remaja yang berasal dari
sekolah agama lebih tinggi dibandingkan dengan remaja dari sekolah umum,
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku curang
antara remaja yang bersekolah di sekolah umum dengan remaja yang
bersekolah di sekolah agama. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang
telah dilakukan oleh Godfrey dan Waugh (1998) dimana hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku curang antara siswa dari
sekolah agama dengan siswa dari sekolah umum, baik melalui pengetahuan
tentang perilaku curang maupun teknik yang dipakai dalam melakukan
kecurangan. Penelitian yang dilakukan oleh Bruggeman (1996) juga
menunjukkan hal yang sama, bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku curang
antara siswa dari sekolah umum dengan siswa dari sekolah agama.
Perbedaan yang paling mendasar antara pendidikan yang diterima oleh
remaja di sekolah umum dengan sekolah agama terletak pada mata pelajaran
keagamaannya. Tujuan dari mata pelajaran keagamaan adalah untuk
peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia, menjadi manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah,
82
cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi serta mampu menjaga
keharmonisan secara personal dan sosial.
Tidak terdapatnya perbedaan perilaku curang antara remaja dari sekolah
agama dengan remaja dari sekolah umum menjelaskan bahwa kualitas pelajaran
agama yang benar-benar mengajarkan remaja untuk berlaku jujur dan etis di
sekolah umum dan agama tidak jauh berbeda. Memang benar bahwa mata
pelajaran keagamaan sekolah agama lebih banyak dibandingkan dengan
sekolah umum, yaitu sekitar 6-14 jam perminggu, namun jika dilihat dari silabus
masing-masing mata pelajaran keagamaan tersebut dapat diketahui bahwa mata
pelajaran yang berhubungan dengan perilaku jujur dan etis hanya terdapat dalam
satu mata pelajaran dengan alokasi waktu 2 jam permingu yaitu pada mata
pelajaran Akidah Akhlak.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pendidikan keagamaan yang
diperoleh remaja di sekolah umum yang berhubungan dengan jujur dan perilaku
etis yang dibutuhkan saat melaksanakan UN sama saja dengan sekolah agama.
Sehingga tidak mengherankan jika tidak terdapat perbedaan perilaku curang
antara remaja yang bersekolah di sekolah umum dengan remaja yang
bersekolah di sekolah agama. Ditambah lagi, bahwa selama ini pendidikan
agama dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini baru sampai kepada tahap
pengalihan pengetahuan atau baru menyentuh ranah kognitif remaja, hal ini
terlihat dari kemampuan remaja dalam mengaplikasikan pendidikan agama yang
diperolehnya ke dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan tatanan agama dan
masyarakat yang berlaku seperti kejujuran (Harsa, 2008). Adanya pihak yang ikut
membantu remaja dalam melakukan kecurangan dalam melaksanakan UN juga
bisa menjadi penyebab idak berbedanya perilaku curang antara remaja yang
83
berasal dari sekolah agama dengan remaja yang berasal dari sekolah umum,
seperti keterlibatan guru, pihak sekolah dan pemerintah daerah yang menjadikan
kecurangan tersusun secara sistematis.
Secara terpisah, tidak terdapat perbedaan perilaku curang antara variabel
tingkat perkembangan penalaran moral dengan jenis sekolah remaja. Demikian
juga ketika kedua variabel tersebut secara bersama-sama berusaha
menjelasakan perbedaan perilaku curang antara variabel tingkat perkembangan
penalaran moral dengan jenis sekolah remaja, hasil analisis variansi faktorial
menunjukkan bahwa perilaku curang remaja dalam melaksanakan UN secara
bersama-sama tidak tergantung pada tingkat perkembangan penalaran moral
dan jenis sekolah remaja.
Tidak terdapatnya perbedaan antara tingkat perkembangan penalaran
moral dan jenis sekolah dengan perilaku curang mungkin disebabkan oleh
alasan kenapa remaja melakukan kecurangan itu sendiri, seperti yang diketahui
bahwa UN merupakan penilaian hasil belajar yang bertujuan untuk menilai
pencapaian kompetesi lulusan secara nasonal pada mata pelajaran tertentu
dalam kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil dari UN tersebut berguna
sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu satuan pendidikan,
dasar seleksi masuk jenjang pedidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta
didik dari program atau satuan pendidikan dan dasar pembinaan dan pemberian
bantuan kepada satuan pendidikan (BSNP, 2010). Mengingat besarnya peran
dari hasil Ujian Nasional tersebut bagi remaja, terlebih lagi pada poin kedua dan
ketiga yaitu sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya dan
penentuan kelulusan peserta didik dari program atau satuan pendidikan, maka
praktek kecurangan dalam melaksanakan Ujian Nasional tidak terhindarkan lagi.
84
Hal ini berdasarkan data yang diperoleh dari 162 remaja yang melakukan
kecurangan. Sebanyak 157 remaja atau 97% mengungkapkan bahwa mereka
terpaksa melakukan kecurangan saat UN karena takut tidak akan lulus dalam
UN, yang dapat disimpulkan bahwa remaja harus lulus dalam UN bagaimanapun
caranya. Sementara itu sisnya yaitu 5 remaja atau 3% melakukan kecurangan
untuk memperoleh nilai tinggi.
Sekarang ini hasil ujian yang diperoleh oleh remaja terlihat sebagai
gambaran sempurna untuk menilai dan mengetahui sebarapa baik remaja di
sekolah. Pada masa remaja, individu membutuhkan pengakuan akan
kemampuannya baik dari teman sebaya, keluarga ataupun masyakarat secara
luas, tidak ada manusia yang ingin mengalami kegagalan, menyadari hal
tersebut maka sebagian besar remaja akan melakukan berbagai usaha agar
terhindar dari kegagalan tersebut (Kaufman, 2008).
Tidak semua remaja yang memiliki kemampuan diatas rata-rata, banyak
yang memiliki kemampuan belajar yang tidak cukup baik dan ketika dituntut
untuk mencapai sesuatu dengan standar yang sulit untuk dicapai, maka remaja
menilai bahwa perilaku curang merupakan salah satu jalan keluar yang dapat
dimaklumi. Sehingga tidak mengeherankan jika perilaku curang dianggap
sebagai cara yang efisien untuk memperoleh nilai yang yang diharapkan
(Bouville, 2010). Peran dari ujian nasional yang masih cukup besar membuat
remaja tidak memiliki pilihan lain, jika ingin menyelesaikan program pendidikan
dari satu satuan pendidikan atau ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang
selanjutnya dan memperoleh nilai yang memuaskan maka lulus menjadi sebuah
kewajiban. Sehingga nilai-nilai moral dan agama yang dipelajari oleh remaja
85
disekolah tidak cukup mampu membuat siswa melaksanakan ujian dengan jujur,
hal ini terbukti dari tingkat kecurangan remaja dalam melaksanakan UN.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah motivasi remaja, karena
motivasi merujuk kepada alasan tertentu mengapa sesuatu dilakukan
(Djiwandono, 2006). Motivasi untuk lulus merupakan salah satu hal yang
mempengaruhi perilaku curang remaja (Whitley, 1998). Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Anderman (dalam Rettinger & Kramer, 2009) remaja yang
mementingkan kelulusan atau nilai dan memiliki orientasi untuk lulus tinggi, lebih
memilih untuk melakukan berbagai bentuk kecurangan daripada harus gagal
dalam ujian, walaupun telah ada aturan dan sanksi jelas yang mengatur
pelaksanaan ujian nasional.
Pada penelitian ini, selain variabel tingkat perkembangan penalaran moral
dan jenis sekolah masih terdapat beberapa faktor lain yang mendasari terjadinya
praktek kecurangan, faktor jenis kelamin misalnya, dalam penelitian ini penulis
menemukan bahwa terdapat perbedaan antara jenis kelamin dengan tingkat
kecurangan remaja. Dilihat dari rata-rata perilaku curang, laki-laki memiliki tingkat
kecurangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Wideman (2008). Menurut Ward dan Beck
(1989) hal ini terjadi karena perempuan secara umum lebih mematuhi peraturan
sosial.
Ujian Nasional akan menjadi agenda rutin setiap akhir tahun pelajaran,
maka selain melihat perilaku curang dari tingkat perkembangan penalaran moral
dan jenis sekolah, dan kemudian disadari bahwa tidak terdapat perbedaan
perilaku curang dengan tingkat perkembangan penalaran moral dan jenis
sekolah remaja, untuk itulah sangat penting melihat dan mengetahui bahwa
86
masih banyak faktor personal maupun situasional yang akan mempengaruhi
tingkat kecurangan remaja dalam melaksanakan UN, seperti efikasi diri, kontrol
diri, strategi koping, norma sosial, teman sebaya dan lain sebagainya.
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
perbedaan perilaku curang dengan tingkat perkembangan penalaran moral dan
jenis pendidikan remaja. Terdapat perbedaan perkembangan penalaran moral
antara remaja yang bersekolah di sekolah umum dengan remaja yang
bersekolah di sekolah agama, dimana remaja dari sekolah agama memiliki
perkembangan penalaran moral yang lebih tinggi dibanding remaja dari sekolah
umum. Terdapat perbedaan perilaku curang antara remaja laki-laki dengan
remaja perempuan, dimana remaja laki-laki memiliki tingkat kecurangan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan remaja perempuan. Bentuk kecurangan yang
paling banyak dilakukan oleh remaja saat melaksanakan UN adalah
menanyakan dan membirikan bantuan kepada teman yang memiliki kode soal
yang sama, kemudian membuat dan menggunakan contekan yang berisi kunci
jawaban saat ujian berlangsung, menggunakan hp untuk saling membantu dalam
ujian, menyalin jawaban teman dan menciptakan kode-kode tertentu untuk saling
membantu saat UN berlangsung.
Saran
Berdasarkan hasil analisis, pembahasan dan kesimpulan pada penelitian
ini maka saran yang dapat diajukan adalah:
1. Bagi sekolah
a. Hendaknya pihak sekolah dapat meningkatkan pembinaan dan
pengembangan pendidikan moral khususnya pada perilaku jujur dan
etis terutama pada remaja yang berasal dari sekolah umum, karena
88
berdasarkan hasil penelitian, tingkat perkembangan penalaran moral
remaja dari sekolah umum lebih rendah jika dibandingkan dengan
remaja dari sekolah agama, sementara itu rata-rata skor perilaku
curang saat UN lebih tinggi dibandingkan remaja dari sekolah agama.
b. Meningkatkan pengawasan saat melaksanakan UN, karena
kecurangan yang banyak dilakukan oleh remaja terjadi saat ujian
tengah berlangsung.
2. Bagi peneliti selanjutnya.
Penelitian ini hanya meneliti sebatas pada perbedaan tingkat
perkembangan penalaran moral dan jenis sekolah pada perilaku curang
remaja dalam melaksanakan UN. Oleh karena itu bagi peneliti selanjutnya
diharapkan dapat megembangkan lagi penelitian ini, terutama pada aspek
motivasi remaja ketika melakukan kecurangan dalam UN. Serta faktor lain
yang mempengaruhi perilaku curang remaja.
89
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, N. (2006). Perilaku moral dan religiusitas siswa berlatar belakang
pendidikan umum dan agama. Jurnal Psikologi, 33(2), 94-109.
Azwar, S. (2005). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _______. (2010). Tes prestasi edisi ke 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bernardi, R. A., Metzger, R. L., Bruno, R. G., Hoogkamp, M. A., Reyes, L. E., &
Barnaby, G. H. (2004). Examining the decision process of students’ cheating behavior: An empirical study. Journal of Business Ethics, 50, 397-414.
Bloodgood, J. M., Turnley, W. H., & Mudrack, P. (2008). The influence of ethics
instruction, religiosity, and intelligence on cheating behavior. Journal of
Business Ethics, 82, 557-571.
Bouville. (2010). Why is cheating wrong? Journal Study Philosophize Education,
29, 67-76.
Bruggeman, E. L. (1996). Cheating, lying, and moral reasning by religious and
secular high school students. Journal of Education Research, 89(6), 340-
344.
BSNP. (2006). Standar kompetensi dan kompetensi dasar SMA/MA. Diunduh
pada tanggal 11 Januari 2012 dari http://www.bsnp.go.id.
_____. (2010). Raih prestasi dengan kejujuran, 5. Diunduh pada tanggal 11 Januari 2012 dari www.bsnp.go.id.
_____. (2012). Prosedur operasi standar ujian nasional 2011/2012. Diunduh
pada tanggal 29 Maret 2012 dari http://www.bsnp.go.id. Burdjani, A. S. (2005). Tantangan pendidikan agama Islam dalam era globalisasi.
Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, 3, 21-32.
Carter, S. L. & Carter, N. M. (2001). Acceptability of treatments for cheating in the
college classroom. Journal of Instructional Psychology, 33(33), 212-216.
Chaplin, J. P. (2006). Kamus lengkap psikologi. (Dictionary of psychology). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Crain, W. (2007). Teori perkembangan konsep dan aplikasi (Theories of
development, concepts and applications third edition). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1986). Panduan belajar ke sekolah menengah umum tingkat atas (SMA). Badan Penelitian Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan.
Djiwandono, S. E. W. (2006). Psikologi Pendidikan Edisi Revisi. Jakarta:
Grasindo. Drajat, Z. (1992). Ilmu pendidikan islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Farodlilah. (2012). Soal UN terbukti bocor. Diunduh pada tanggal 2 September
2012 dari http://www.antikorupsi.org/new/index.
Firdaus, A., Ridwan, M., Andrian, A., & Rafiqi. (2008). Upaya meningkatkan
akhlak dan kepribadian melalui pemahaman pendidikan agama. Jurnal
Pengabdian pada Masyarakat, 46, 28-32.
Fitria. (2000). Hubungan antara identitas diri dan perkembangan kepercayaan eksistensial dengan tingkat perkembangan penalaran moral remaja di Kodya Padang. Tesis (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Godfrey, J. R. & Waugh, R. F. (1998). The perceptions of students from religious
schools about academic dishonest. Issues in Education Research, 8(2),
95-116.
Gunarsa, S. D. & Gunarsa, Y. S. (2004). Psikologi praktis: Anak, remaja dan sekolah. Jakarta: Gunung Mulia.
Hamushek, A. E. & Woessmann, L. (2007). The role of education quality in
economic growth. Public Disclosure Authorized. World Bank Polycy Research Working Paper, 4, 122.
Harsa, T. (2008). Peran pendidikan dalam mengatasi krisis akhlak. Jurnal
Edukasi, 4(1), 45-56.
Husairi, E. (2007). Kejenuhan belajar siswa dalam proses pembelajaran
pendidikan agama Islam. Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, 5(8),
107-120.
Ihsan, F. (2003). Dasar-dasar kependidikan. Jakarta: Rineke Cipta. Jogiyanto. (2008). Pedoman survei skala: Mengembangkan skala, mengatasi
bias dan meningkatkan respon. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Jordan, A. E. (2001). College student cheating: The role of motivation, perceived
norms, attitudes, and knowledge of instituonal policy. Journal Ethics and Behavior, 11(3), 233-247.
Metrotv. (2 Mei, 2012). Mata najwa: Ujian penghabisan. Diunduh tanggal 28 Juni 2012 dari http://www.metrotvnews.com/read/newsprograms/2012/05/02/12424/308/Ujian-Penghabisan.
Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Haditono, S. R. (1998). Psikologi
perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Murdock, T. B., Beauchamp, A. S., & Hinton, A. M. (2008). Predictors of cheating
and cheating attributions: Does classroom context influence cheating and
blame for cheating? European Journal of Psychology of Education, 23(4),
477-492.
Muslimin, Z. I. (2005). Penalaran moral siswa ditinjau dari jenis lembaga pendidikan dan tingkat pendidikan orang tua. Tesis (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Olanrewaju, A. S. (2010). Correlation between academic cheating behavior and
achievement motivation. Journal of Nature and Science, 8(12), 130-134. Ormrod, J. E. (2008). Psikologi pendidikan edisi keenam (Educational Psycholog
6th edition). Jakarta: Erlangga. Pardamean, T. (2011). Sebuah tinjauan pemikiran terhadap madrasah aliyah
negeri (Case study: Sumatera utara). Diunduh pada tanggal 14 Maret 2012 dari http://madrasah.kemenag.go.id.
Paxton, J. M. & Greene, J. D. (2010). Moral reasoning: Hints and allegations.
Journal of Topics in Cognitive Science, 511-527.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59
tahun 2011. Diunduh pada tanggal 11 Februari 2012 dari
Rest, J. R., Narvaez, D., Thoma, S. J., & Bebeau, M. J. (2000). A neo-
kohlbergian approach to morality research. Journal of Moral Educaton, 29,
381-396.
Rettinger, D. A. & Jordan, A. E. (2005). The relations among religion, motivation,
and college cheating: A natural experiment. Journal Ethics and Behavior,
15(2), 107-129.
Rettinger, D. A. & Kramer, Y. (2009). Situational and personal cause of student cheating. Journal of Rest High Education, 50, 293-313.
Rice, P., Dolgin., & Gale, K. (2008). The adolescent: Development, relationships,
and culture. U.S.A: Pearson Rohman, A. (2001). Kebijakan pendidikan. Naskah Penelitian (Tidak diterbitkan).
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan UNY. Santrock, J. W. (2003). Adolescence perkembangan remaja (Adolescence, 6th
ed). Jakarta: Erlangga.
Saulsbury, M. D., Brown, U. J., Heyliger, S. O., & Beale, R. L. (2011). Effect of Dispositianal traits on pharmacy students’ attitude toward cheating. American Journal of Pharmaceutical Education, 75(4), 1-7.
Semerci, C. (2006). The Options of medicine faculty students regarding cheating
in relation to kohlberg’s moral development concept. Journal Social Behavior and Personality, 34(1), 41-50.
Setiawan. (2010). Mengejar nilai, bukan memanfaatkannya. Diunduh pada
tanggal 11 Juli 2011 dari http://www.kompas.com. Slavin, R. E. (2011). Psikologi pendidikan teori dan praktik edisi kesembilan
(Educational psychology: Theory and practice, 9th ed). Jakarta: Indeks.
Sobur, A. (2003). Psikologi umum. Bandung: Pustaka Setia. Sudjana, N. (1994). Konvensi nasional pendidikan Indonesia II. Jakarta: Rineka
Cipta. Sukamto. (1988). Perencanaan dan pengembangan kurikulum pendidikan
teknologi dan kejuruan. Departemen pendidikan dan kebudayaan. Direktorat jenderal pendidikan tinggi, proyek pengembangan lembaga pendidikan tenaga kependidikan. Jakarta.
Sunarto & Hartono, A. (2006). Perkembangan peserta didik. Jakarta: Grasindo. Suryabrata, S. (2010). Psikologi pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tas, Y. & Tekkaya, C. (2010). Personal and contextual factors associated with
students’ cheating in science. The Journal of Experimental Education, 7,
440-463.
Tayfun, A. (2009). Is there a relationship between grade average point and students’ perception with regard to cheating factors. Journal of Commerce and Tourism Education, 49, 191-204.
Teodorescu, D. & Andrei, T. (2009). Faculty and peer influences on academic
integrity: College cheating in Romania. Journal High Education, 57, 267-282.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Sistem pendidikan
nasional. Diunduh pada tanggal 3 Maret 2012 dari http://www.inherent-
dikti.net/files/sisdiknas.pdf.
Vinski, E. J. & Tryon, G. S. (2009). Study of a cognitive dissonance intervention to address high school students’ cheating attitudes and behaviors. Journal Ethics and Behavior, 19(3), 218-226.
Walizer, M. H. & Wienir, P. L. (1991). Metode dan analisis penelitian mencari
hubungan (Research methods and analysis: Searching for relationship).
Jakarta: Erlangga.
Ward, D. A. & Beck, W. L. (1989). Gender and dishonesty. Journal of Social
Psychology, 130(3), 333-339.
Wardani, I. (1998). Tingkat perkembangan penalaran moral remaja di sekolah
koedukasi dan non-koedukasi. Skripsi (Tidak diterbitkan). Yogyakarta:
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
West, T., Ravenscroft, S. P., & Shrader, C. B. (2004). Cheating and moral
judgment in the college classroom: A natural experiment. Journal of
Business Ethics, 54, 173-183.
White, F. A. & Matawie, K. M. (2004). Parental morality and family processes as predictors of adolescent morality. Journal of Child and Family Studies, 13(2), 219-233.
Whitley, B. E. Jr. (1998). Factors associated with cheating among college
students: A review. Journal Research in Higher Education, 39(3), 235-274.
Whitley, B. E. Jr. & Spiegel, P. K. (2002). Academic dishonesty an educator’s
guide. London: Lawrence Erlabum Assicates.
Wideman, M. A. (2008). Academic dishonesty in postsecondary education: A
literature review. Journal Teaching and Learning, 2, 1-12.
Widiastono & Tonny, D. (2004). Pendidikan manusia Indonesia. Jakarta: Kompas
Media Nusantara.
Williams, K. M., Nathanson, C., & Paulhus, D. L. (2010). Identifying and profiling
scholastic cheaters: Their personality, cognitive ability, and motivation.
Journal of Experimental Psychology, 16(3), 293–307.
Winarsunu, T. (2007). Statistik dalam penelitian psikologi dan pendidikan.
Malang: UMM Press.
Yardley, J., Rodriguez, M. D., & Bates, S. (2009). True confessions: Alumni’s retrospective reports on undergraduate cheating behaviors. Journal of Ethics and Behavior, 19(1), 1-14.
Zande, P. V. D., Bekelmans, M., Vermunt, J. D,. & Waarlo, A. J. (2009). Moral
reasoning in genetics education. Educational Research, 44(1), 31-36.
Zuhaerini. (1983). Metodik khusus pendidikan agama. Surabaya: Usaha Nasional.
96
LAMPIRAN-LAMPIRAN
97
LAMPIRAN I
PERNYATAAN KESEDIAAN BERPARTISIPASI DALAM PROSES PENELITIAN
Sehubungan dengan kegiatan penelitian tesis yang diselenggarakan oleh
mahasiswa Magister Sains Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), maka
mahasiswa bernama :
Nama : Elmiyanti
Nim : 10/305634/PPS/02164
Melakukan kegiatan penelitian terhadap partisipan :
Inisial* :
Jenis Kelamin :
Usia :
Pendidikan Menengah Atas : SMA SMK MA
Lainnya________
Jurusan saat SMA/SMK/MA : IPA IPS Bahasa Keagamaan
Teknik ____________
Lainnya ___________
Dalam kegiatan penelitian ini, mahasiswa Magister Sains Psikologi akan
MENJAMIN KERAHASIAAN jawaban yang diberikan oleh partisipan. Setelah
membaca penjelasan ini, maka saya menyatakan bersedia berpartisipasi dalam
proses penelitian ini.
Padang, 2012
Mahasiswa Magister Sains Psikologi Partisipan
(Elmiyanti, S.Psi.I) *( )
* Nama/Inisial boleh tidak dicantumkan
98
LAMPIRAN II
(SKALA DIT-REST)
PETUNJUK PENGISIAN
Dalam angket ini terdapat beberapa cerita tentang masalah-masalah sosial. Pada
setiap akhir cerita, saudara diminta untuk memberikan pendapat tentang masalah-
masalah tersebut.
Langkah-langkah pengisian angket adalah sebagai berikut:
1. Bacalah baik-baik setiap cerita yang disajikan
2. Di bawah setiap cerita ada satu pertanyaan yang diajukan, dan ada 3
kemungkinan dianggap paling sesuai dengan pendapat saudara dengan
memberikan tanda cheklist disebelahnya pada lembar jawaban yang telah
disediakan.
3. Setiap cerita disertai dengan 12 pernyataan yang merupakan pertimbangan-
pertimbangan. Tugas saudara adalah mengemukakan seberapa besar
pentingnya pernyataan itu menurut pertimbangan saudara. Nyatakan pendapat
saudara tentang masing-masing pernyataan dengan memilih tanda-tanda yang
tersedia pada kolom disebelah kanan, setiap pernyataan diberi tanda check. Arti
tanda-tanda tersebut adalah:
ASP = Amat sangat Penting
SP = Sangat Penting
P = Penting
KP = Kurang penting
TP = Tidak penting
4. Sesudah menyatakan pendapat anda pada masing-masing pernyataan, pilih
empat pernyataan yang dianggap penting, kemudian buatlah peringkat (ranking)
dari empat pernyataan saudara.
99
CONTOH CERITA
Pak Joyo ingin membeli sebuah mobil. Ia sudah bekeluarga, mempunyai dua
anak kecil dan mempunyai gaji yang cukup. Mobil yang akan dibelinya merupakan satu-
satunya mobil bagi keluarga Pak Joyo. Rencananya mobil itu akan digunakan untuk pergi
bekerja, dan mengantar anak-anak dan isteri berbelanja atau sekali-sekali
berdarmawisata. Sebelum memutuskan mobil apa yang akan dibeli, Pak Joyo menyadari
bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan.
Andaikata saudara adalah Pak Joyo, apa saja yang menjadi bahan pertimbangan
saudara sebelum memutuskan untuk membeli sebuah mobil?
Pertimbangan-pertimbangan:
No Pernyataan ASP SP P KP TP
1 Penjual mobilnya harus tetangga Pak Joyo (berarti pernyataan ini dianggp sebagai sesuatu yang tidak penting)
2 Membeli mobil bekas lebih ekonomis daripada membeli mobil baru
3 Warna mobilnya hijau, yang juga merupakan warna kesayangan bagi Pak Joyo
4 Mesinnya bagus, mudah perawatannya dan irit bahan bakar
5 Penampilan bentuk mobilnya harus menarik
(Kalau ada pernyataan aneh dan tidak masuk akal, dan terasa janggal bagi saudara,
berikan saja tanda cheklist di kolom “TP” atau Tidak Penting).
Selanjutnya pilih empat pernyataan yang menurut saudara merupakan yang terpenting,
tuliskan nomor pernyataan yang dipilih di tempat yang disediakan dan tulis menurut