Tes Kecerdasan (Inteligence Test) A. PENGERTIAN INTELIGENSI Dalam bukunya, Human Ability, Spearman & Jones (dalam Azwar, 2006:1) mengemukakan adanya sebuah konsepsi lama mengenai suatu kekuatan yang dapat melengkapi akal manusia dengan gagasan abstrak yang universal. Dalam bahasa Yunani, kekuatan itu disebut nous, sedangkan upaya pemanfaatan kekuatan tersebut dikenal dengan noesis. Kemudian kedua istilah tersebut dikenal sebagai intellectus dan intelligentia dalam bahasa Latin. Perkembangan berikutnya, keduanya diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi intellect dan intelligence. Transisi bahasa tersebut ternyata juga membawa perubahan makna. Intelligence yang semula berarti penggunaan kekuatan intelektual secara nyata, kemudian berganti makna menjadi suatu kekuatan yang lain . Berbagai definisi yang dirumuskan oleh para ahli tampaknya memang menampakkan adanya pergeseran tersebut. Namun demikian, definisi-definisi itu selalu mengandung pengertian bahwa inteligensi merupakan suatu kekuatan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu. Crider (dalam Azwar, 2006:3) mengatakan bahwa inteligensi bagaikan listrik; mudah diukur namun hampir mustahil untuk didefinisikan. Pendapat ini sangat beralasan sebab sejak awal kemunculannya hingga saat ini, belum ada definisi inteligensi yang dapat diterima secara universal. Konsep mengenai inteligensi sebagai kemampuan mental memang banyak disetujui, namun hal-hal
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Tes Kecerdasan (Inteligence Test)
A. PENGERTIAN INTELIGENSI
Dalam bukunya, Human Ability, Spearman & Jones (dalam Azwar, 2006:1)
mengemukakan adanya sebuah konsepsi lama mengenai suatu kekuatan yang dapat melengkapi
akal manusia dengan gagasan abstrak yang universal. Dalam bahasa Yunani, kekuatan itu disebut
nous, sedangkan upaya pemanfaatan kekuatan tersebut dikenal dengan noesis. Kemudian kedua
istilah tersebut dikenal sebagai intellectus dan intelligentia dalam bahasa Latin. Perkembangan
berikutnya, keduanya diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi intellect dan intelligence.
Transisi bahasa tersebut ternyata juga membawa perubahan makna. Intelligence yang semula
berarti penggunaan kekuatan intelektual secara nyata, kemudian berganti makna menjadi suatu
kekuatan yang lain
. Berbagai definisi yang dirumuskan oleh para ahli tampaknya memang menampakkan
adanya pergeseran tersebut. Namun demikian, definisi-definisi itu selalu mengandung pengertian
bahwa inteligensi merupakan suatu kekuatan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu.
Crider (dalam Azwar, 2006:3) mengatakan bahwa inteligensi bagaikan listrik; mudah
diukur namun hampir mustahil untuk didefinisikan. Pendapat ini sangat beralasan sebab sejak
awal kemunculannya hingga saat ini, belum ada definisi inteligensi yang dapat diterima secara
universal. Konsep mengenai inteligensi sebagai kemampuan mental memang banyak disetujui,
namun hal-hal apa saja yang dicakup dalam kemampuan mental tersebut masih terus
diperdebatkan.
Jika ditilik kembali ke awal perkembangan teori mengenai inteligensi, dapat kita lihat
bahwa kemampuan mental umum banyak dikaitkan pada faktor-faktor yang lebih bersifas fisik,
khususnya faktor penginderaan (sensasi) dan faktor persepsi. Sebagai contoh, James McKeen
Cattell, seorang pengikut Galton, mengembangkan suatu bentuk skala pengukuran inteligensi
yang banyak mengukur kemampuan fisik seperti kekuatan tangan menekan dinamometer,
kecepatan reaksi, kemampuan persepsi mata, dan semacamnya (Willerman dalam Azwar,
2006:4). Galton sendiri berteori bahwa terdapat dua karakteristik yang dimiliki oleh orang
berinteligensi tinggi, yaitu: (a) energi/kemampuan untuk bekerja, dan (b) kepekaan terhadap
stimulus fisik. Dengan demikian, faham Galton ini jelas merupakan faham yang berciri
psikofisik dalam bidang inteligensi.
Perkembangan psikologi selanjutnya menggeser pandangan tentang inteligensi yang
bersifat fisikal tersebut ke arah pandangan yang bersifat mentalistik. Alfred Binet, seorang tokoh
utama perintis pengukuran inteligensi, bersama Theodore Simon, mendefinisikan inteligensi
sebagai terdiri atas tiga komponen, yaitu: (a) kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau
mengarahkan tindakan, (b) kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut
telah dilaksanakan, dan (d) kemampuan untuk mengeritik diri sendiri (autocriticism). Ahli
lainnya, Lewis Madison Terman, mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan seseorang
untuk berpikir secara abstrak. Sedangkan H. H. Goddard mengatakan bahwa inteligensi adalah
tingkat kemmapuan pengalaman seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
langsung dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang akan datang (Garrison &
Magoon dalam Azwar, 2006:5).
V.A.C. Henmon, salah seorang di antara penyusun Tes Inteligensi Kelompok Henmon-
Nelson, mengatakan bahwa inteligensi terdiri atas dua macam faktor, yaitu: (a) kemampuan
untuk memperoleh pengetahuan, dan (b) pengetahuan yang telah diperoleh. George D. Stoddard
juga menyebut inteligensi sebagai bentuk kemampuan untuk memahami masalah-masalah yang
bercirikan (a) mengandung kesukaran, (b) kompleks, yaitu mengandung bermacam jenis tugas
yang harus dapat diatasi dengan baik, dalam arti bahwa individu yang berinteligensi tinggi
mampu menyerap kemampuan baru dan memadukannya dengan kemampuan yang sudah
dimiliki untuk kemudian digunakan dalam menghadapi masalah, (c) abstrak, yaitu mengandung
simbol-simbol yang memerlukan analisis dan interpretasi, (d) ekonomis, yaitu dapat diselesaikan
dengan menggunakan proses mental yang efisien waktu, (e) diarahkan pada satu tujuan, yaitu
bukan dilakukan tanpa maksud melainkan mengikuti suatu arah atau target yang jelas, (f)
mempunyai nilai sosial, yaitu cara dan hasil pemecahan masalah dapat diterima oleh nilai dan
norma sosial, dan (g) berasal dari sumbernya, yaitu pola pikir yang membangkitkan kreativitas
untuk menciptakan sesuatu yang baru dan lain.
David Wechsler, pencipta skala-skala inteligensi Wechsler yang masih banyak
digunakan hingga saat ini, mendefinisikan inteligensi sebagai totalitas kemampuan seseorang
untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi
lingkungannya dengan efektif (Wechsler dalam Azwar, 2006:7).
Definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut ternyata juga banyak selaras
dengan pandangan orang awam mengenai inteligensi. Hasil penelitian Stenberg, dkk (1981)
menemukan bahwa konsepsi orang awam mengenai inteligensi mencakup tiga faktor
kemampuan utama, yaitu: (a) kemampuan memecahkan masalah-masalah praktis yang berciri
utama adanya kemampuan berpikir logis, (b) kemampuan verbal yang berciri utama adanya
kecakapan berbicara dengan jelas, dan (c) kompetensi sosial yang berciri utama adanya
kemampuan untuk menerima orang lain sebagaimana adanya. Berikut ini adalah tabel
perbandingan ciri-ciri inteligensi menurut orang awam dan para ahli sebagaimana dirangkum
oleh Stenberg:
AHLI AWAMKemampuan Memecahkan Masalah
1. Mampu menunjukkan pengetahuan mengenai masalah yang dihadapi
2. Mengambil keputusan dengan tepat3. Menyelesaikan masalah secara
optimal4. Menunjukkan pikiran jernih
Kemampuan Praktis untuk Pemecahan Masalah
1. Nalar yang baik2. Melihat hubungan di antara berbagai
hal3. Melihat aspek permasalahan secara
menyeluruh4. Pikiran terbuka
Inteligensi Verbal1. Kosakata yang baik2. Membaca dengan penuh pemahaman3. Ingin tahu secara intelektual4. Menunjukkan keingintahuan
Kemampuan Verbal1. Berbicara dengan artikulasi yang baik
dan fasih2. Berbicara dengan lancar3. Memiliki pengetahuan di bidang
tertentuInteligensi Praktis
1. Tahu situasi2. Tahu cara mencapai tujuan3. Sadar terhadap dunia sekeliling4. Menunjukkan minat terhadap dunia
luar
Kompetensi Sosial1. Menerima orang lain apa adanya2. Mengakui kesalahan3. Tertarik pada masalah sosial4. Tepat waktu bila berjanji
B. SEJARAH PERKEMBANGAN ASESMEN INTELIGENSI
Tes untuk mengukur kompetensi pada awalnya dilaksanakan di Cina sebelum dinasti Han
berkuasa. Tes tersebut dilakukan untuk menguji rakyat sipil yang ingin menjadi legislatif. Materi
tes berisi pengetahuan menulis klasik, persoalan administratif, dan persoalan manajerial. Tes
yang demikian kemudian berlanjut hingga masa pemerintahan dinasti Han (200 SM – 200 M),
untuk menyeleksi calon anggota legislatif, militer, perpajakan, pertanian, dan geografi. Sistem
ujian telah disusun sedemikian rupa dan berisi aktivitas yang lebih kompleks. Para peserta tes
diwajibkan tinggal sehari semalam dalam kabin untuk menulis artikel atau puisi. Hanya satu
hingga tujuh persen peserta yang akan lolos ke ujian tahap kedua yang berlangsung dalam tiga
hari tiga malam. Menurut Gregory, seleksi ini keras namun dapat memilih orang yang mewakili
karakter orang Cina yang kompleks. Tugas-tugas militer yang cukup berat dapat dilakukan
dengan baik oleh para pegawai yang lolos dalam seleksi fisik dan psikologi yang intensif ini.
Memasuki era psikologi modern, pengukuran kemampuan umum mulai banyak dilakukan
dengan metode yang sistematis. Usaha-usaha pengukuran tersebut berkembang di Amerika
Serikat dan Perancis dalam waktu yang hampir serempak. Di Amerika, usaha pertama dimulai
oleh James Mckeen Cattell (1860–1944), yang menerbitkan buku Mental Tests and Measurement
pada tahun 1890. Buku ini berisi rangkaian tes inteligensi yang terdiri dari sepuluh jenis ukuran.
Kesepuluh ukuran tersebut merupakan seri pertama yang dibuat di laboratorium psikologi The
University of Pennsylvania dan dicobakan kepada siapapun yang bersedia dan kebetulan datang
ke laboratorium tersebut. Kesepuluh macam ukuran tersebut dimaksudkan untuk mengukur
inteligensi, yang sarat dengan pengukuran aspek sensori-motor dan fisiologis.
Di Eropa, para ahli juga melakukan usaha pengukuran aspek mental yang lebih kompleks.
Kraepelin, pada tahun 1895, menyusun suatu seri tes yang yang panjang yang dimaksudkan
untuk mengungkap apa yang dianggapnya sebagai faktor-faktor dasar yang menjadi karakteristik
individual. Tesnya sendiri pada dasarnya berisi operasi berhitung sederhana dan dirancang untuk
mengukur efek latihan, ingatan, kerentanan terhadap kelelahan dan kerentanan terhadap pemecah
perhatian.
Selanjutnya, seorang psikolog Perancis, Alfred Binet menciptakan sebuah tes inteligensi
yang terkenal hingga saat ini. Diawali oleh desakan terhadap Ministry of Public Instruction agar
menempatkan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah khusus, Binet ditugaskan
untuk mendeteksi anak-anak yang memiliki kecerdasan terbelakang tersebut. Untuk tugas itu,
dengan bantuan Theodore Simon, di tahun 1905 ia menerbitkan Skala Binet-Simon yg pertama.
Tes tersebut kemudian direvisi secara berturut-turut pada tahun 1908 dan 1911.
Di Amerika Serikat, revisi Skala Binet yang paling terkenal dan paling banyak dipakai
selama bertahun-tahun adalah revisi yang dilakukan di Stanford University oleh L.M. Terman,
dkk.. Edisi revisi tersebut diberi nama “The Stanford Revision of the Binet-Simon Intelligence
Scale”. Revisi pertama dilakukan pada tahun 1916. Terman menambahkan kecermatan skala
tersebut secara psikometri. Item tes juga disusun berdasarkan tingkat kesukaran dan tingkat
umur, serta skornya dinyatakan dalam mental age (MA). Dalam tes inilah konsep IQ digunakan
secara resmi untuk pertama kali. Revisi selanjutnya dilakukan pada tahun 1937, 1960, dan 1972.
Skala Binet ini kemudian menjadi skala yang paling terkenal dan digunakan untuk memvalidasi
tes-tes inteligensi lain yang muncul setelahnya.
Tes-tes Binet berserta semua revisinya merupakan skala individual yang
pengadministrasiannya memerlukan waktu cukup lama. Pada saat Amerika Serikat memasuki
Perang Dunia I pada tahun 1917, sebuah komisi ditunjuk oleh American Psychological
Association untuk merancang tes yang dapat melakukan klasifikasi kilat atas satu setengah juta
orang calon tentara. Maka di bawah arahan Robert M. Yerkes, dikembangkanlah tes Army Alpha
dan Army Beta untuk memenuhi kebutuhan praktis ini. Aplikasi tes inteligensi kelompok seperti
ini jauh lebih cepat daripada tes-tes individual. Namun kemudian, ketika tes-tes ini ternyata
gagal memenuhi harapan, skeptisme terhadap para tester dan ahli tes kerap muncul.
Tiga puluh empat tahun setelah diterbitkannya tes inteligensi oleh Binet dan Simon,
David Wechsler memperkenalkan versi pertama tes inteligensi yang dirancang khusus untuk
digunakan oleh orang dewasa. Tes tersebut terbit pada tahun 1939 dan dinamai Wechsler-
Bellevue Intelligence Scale (WBIS). Pada tahun 1949, Wechsler juga menerbitkan skala
inteligensi untuk anak-anak yang dikembangkan berdasar skala WBIS tadi. Skala ini diberi nama
Wechsler Instelligence Scale for Children (WISC). Pada tahun 1974, suatu revisi terhadap tes
WISC dilakukan kembali dan edisi revisi ini diterbitkan di tahun tersebut dengan nama WISC-R
(huruf R merupakan singkatan dari kata Revised). Di tahun 1955, Wechsler menyusun skala lain
untuk mengukur inteligensi orang dewasa dengan memperluas isi tes WISC. Skala baru ini
diberinya nama Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS). Revisi terhadap WAIS dilakukan dan
diterbitkan pada tahun 1981 dengan nama WAIS-R
Pada perkembangan selanjutnya, disusunlah suatu standar penyusunan tes internasional di
Amerika Serikat yang dikenal dengan “Standards for Psychological and Educational Test” yang
digunakan hingga saat ini. Kini tes psikologi semakin mudah, praktis, serta muncul dengan
berbagai variasi bentuk.
C. TEORI-TEORI INTELIGENSI
Berdasarkan faktor-faktor yang menjadi elemen inteligensi, teori-teori inteligensi dapat
diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu (1) teori yang berorientasi pada faktor tunggal; (2)
teori yang berorientasi pada dua faktor; dan (3) teori yang berorientasi pada faktor ganda.
Berikut ini akan dipaparkan teori-teori inteligensi berdasarkan ketiga orientasi tersebut
1. Teori Inteligensi yang Berorientasi pada Faktor Tunggal
Alfred Binet
Alfred Binet (1857-1911) adalah salah satu ahli psikologi yang berpendapat bahwa inteligensi
bersifat monogenetik, yaitu berkembang dari satu faktor umum atau sering dikenal dengan faktor
g. Menurut Binet, inteligensi merupakan sisi tunggal dari karakteristik yang terus berkembang
sejalan dengan proses kematangan individu. Binet menggambarkan inteligensi sebagai sesuatu
yang fungsional sehingga memungkinkan orang lain untuk mengamati dan menilai tingkat
perkembangan individu berdasar suatu kriteria tertentu. Jadi untuk melihat apakah seseorang
inteligen atau tidak, dapat diamati dari cara dan kemampuannya untuk melakukan suatu tindakan
dan kemampuannya untuk mengubah arah tindakannya tersebut jika perlu. Inilah yang dimaksud
dengan komponen Arah, Adaptasi, dan Kritik dalam definisi inteligensi Binet.
2. Teori Inteligensi yang Berorientasi pada Dua Faktor
a. Charles E. Spearman
Pandangan Spearman (1927) mengenai inteligensi ditunjukkan dalam teorinya yang
dikenal dengan nama teori dua faktor. Penjelasannya mengenai teori ini berangkat dari analisis
korelasional yang dilakukannya terhadap skor seperangkat tes yang mempunyai tujuan dan
fungsi ukur yang berlainan. Hasil analisisnya memperlihatkan adanya interkorelasi positif di
antara berbagai tes tersebut. Menurut Spearman, interkorelasi positif itu terjadi karena masing-
masing tes tersebut memang mengukur suatu faktor umum yang sama, yang dinamainya faktor g.
Namun demikian, korelasi-korelasi itu tidaklah sempurna sebab setiap tes, di samping mengukur
faktor umum yang sama, juga mengukur komponen tertentu yang spesifik bagi masing-masing
tes tersebut. Faktor yang spesifik dan hanya diungkap oleh tes tertentu saja ini disebut faktor s.
Definisi inteligensi menurut Spearman mengandung dua komponen kualitatif yang
penting, yaitu (1) eduksi relasi (eduction of relation), dan (2) eduksi korelasi (eduction of
correlates). Eduksi relasi adalah kemampuan untuk menemukan suatu hubungan dasar yang
berlaku di antara dua hal. Misalnya, dalam menemukan hubungan yang terdapat di antara dua
kata “panjang-pendek”. Eduksi korelasi adalah kemampuan untuk menerapkan hubungan dasar
yang telah ditemukan dalam proses eduksi relasi sebelumnya ke dalam situasi baru. Misalnya,
bila telah diketahui bahwa hubungan antara “panjang” dan “pendek” merupakan hubungan lawan
kata, maka menerapkannya dalam situasi pertanyaan seperti “baik - .....”, tentu akan dapat
dilakukan.
b. Donald Olding Hebb
Hebb membedakan inteligensi menjadi dua macam, yaitu Inteligensi A dan Inteligensi B.
Inteligensi A merupakan kemampuan dasar manusia (human basic potentiality) untuk belajar
dari lingkungan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut. Inteligensi A ditentukan
oleh kompleksitas dan kelenturan sistem syaraf pusat, yang dipengaruhi oleh gen. Gen
merupakan suatu blue-print bagi pembentukan organisme hidup, yang tersusun teratur pada
setiap kromosom dalam sel. Masing-masing gen merupakan satu bagian kecil dari suatu
makromolekul yang panjang yang disebut DNA.
Sebagian orang dibekali dengan gen dalam jumlah yang banyak dan karenanya memiliki
kesiapan yang lebih baik bagi perkembangan mentalnya. Namun ada juga sebagian orang yang
tidak memiliki gen yang cukup sehingga perkembangan mentalnya tidak dapat mencapai batas
optimal. Perkembangan mental dimaksud akan terjadi bila mendapat rangsangan dengan baik
dari lingkungan sosial dan lingkungan fisik tempat seseorang mengalami pertumbuhan.
Inteligensi B merupakan tingkat kemampuan yang diperlihatkan oleh seseorang dalam
bentuk perilaku yang dapat diamati secara langsung. Bila Inteligensi A dapat dikatakan sebagai
kemampuan potensial, maka Inteligensi B merupakan kemampuan aktual. Inteligensi B tidak
berasal dari gen yang dibawa sejak lahir, namun juga tidak sekedar diperoleh sebagai hasil
belajar dari lingkungan. Inteligensi B merupakan hasil kerjasama antara keadaan alamiah
seseorang dengan asuhan yang diterimanya, atau antara potensi genetik dan stimulasi
lingkungan.
Ukuran terhadap Inteligensi B, sebagaimana diperoleh melalui tes IQ, disebut sebagai
Inteligensi C. Inteligensi C tidak merupakan representasi total dari Inteligensi B karena tes IQ
pada umumnya hanya dapat mengukur sebagian saja dari Inteligensi B, bukan seluruhnya.
c. Raymond Bernard Cattell
Dalam teorinya mengenai organisasi mental, Cattell (1963) mengklasifikasikan
kemampuan mental menjadi dua macam, yaitu: Inteligensi fluid (gf) yang merupakan faktor
bawaan biologis, dan Inteligensi crystallized (gc) yang merefleksikan adanya pengaruh
pengalaman, pendidikan, dan kebudayaan dalam diri individu.
Inteligensi crystallized dapat dipandang sebagai endapan pengalaman yang terjadi
sewaktu inteligensi fluid bercampur dengan apa yang disebut dengan inteligensi budaya.
Inteligensi crystallized akan meningkat kadarnya dalam diri seseorang seiring dengan
bertambahnya pengalaman. Dengan kata lain, tugas-tugas kognitif di mana keterampilan-
keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan telah mengkristal akibat dari pengalaman sebelumnya,
seperti kekayaan kosa kata, pengetahuan, kebiasaan penalaran, dan lain-lain, semua akan
meningkatkan inteligensi dimaksud. Pada umumnya, bila kita mengatakan inteligensi sebagai
kemampuan umum dalam menyelesaikan masalah, maka hal itu berarti inteligensi crystallized.
Pada sisi lain, inteligensi fluid lebih merupakan kemampuan bawaan yang diperoleh sejak
lahir dan lepas dari pengaruh pendidikan dan pengalaman. Inteligensi fluid dapat dipandang
sebagai faktor yang tak berbentuk, yang mengalir ke dalam berbagai variasi kemampuan
intelektual. Inteligensi fluid sangat penting artinya guna keberhasilan melakukan tugas-tugas
yang menuntut kemampuan adaptasi atau penyesuaian pada situasi-situasi baru di mana
inteligensi crystallized tidak begitu berperan.
Inteligensi fluid cenderung tidak berubah setelah usia 14 atau 15 tahun, sedangkan
inteligensi crystallized masih dapat terus berkembang hingga usia 30-40 tahun, bahkan lebih. Hal
ini karena perkembangan inteligensi crystallized memang banyak tergantung pada bertambahnya
pengalaman dan pengetahuan. Dengan meningkatnya usia, pengalaman akan terus bertambah
sehingga berpengaruh terhadap perkembangan inteligensi crystallized.
Meskipun berbeda, inteligensi fluid dan inteligensi crystallized dapat tampak serupa. Pada
umumnya, kemampuan fluid dan kemampuan crystallized menunjukkan korelasi yang tinggi satu
sama lain.
3. Teori Inteligensi yang Berorientasi pada Faktor Ganda
a. Edward Lee Thorndike
Thorndike menyatakan bahwa inteligensi terdiri atas berbagai kemampuan spesifik yang
ditampakkan dalam wujud perilaku inteligen. Oleh karena itu, teorinya dikategorikan ke dalam
teori inteligensi faktor ganda.
Formulasi teori Thorndike didasari oleh bukti-bukti riset yang dilakukannya. Ia
mengklasifikasikan inteligensi ke dalam tiga bentuk kemampuan, yaitu: (1) kemampuan
Abstraksi, yaitu suatu kemampuan untuk bekerja dengan menggunakan gagasan dan simbol-
simbol, (2) kemampuan Mekanik, yaitu suatu kemampuan untuk bekerja dengan menggunakan
alat-alat mekanis dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang memerlukan aktivitas
sensory-motor, dan (3) kemampuan Sosial, yaitu kemampuan untuk menghadapi orang lain di
sekitar diri sendiri dengan cara-cara yang efektif.
Ketiga bentuk kemampuan ini tidak terpisah secara eksklusif dan juga tidak selalu
berkorelasi satu sama lain dalam diri seseorang. Ada kelompok orang yang sangat cakap dalam
kemampuan abstraksi, seperti para akademisi, namun tidak memiliki kecakapan dalam bidang
mekanik. Namun ada juga kelompok orang yang memiliki kecakapan tinggi dalam ketiga
kemampuan tersebut.
Thorndike meyakini bahwa tingkat inteligensi tergantung pada banyaknya ikatan syaraf
(neural connection) antara rangkaian stimulus dan respon dikarenakan adanya reinforcement
yang dialami seseorang. Orang yang telah memiliki banyak ikatan pada bidang inteligensi
mekanik akan meningkat kecakapannya pada bidang tersebut. Begitu juga pada bidang abstraksi
dan sosial.
b. Louis Leon Thurstone & Thelma Gwinn Thurstone
Teori inteligensi L.L. Thurstone & T.G. Thurstone juga dapat dikategorikan sebagai teori
inteligensi yang berorientasi faktor ganda. Dari hasil analisis faktor yang mereka lakukan
terhadap data skor rangkaian 56 tes yang dilancarkan pada siswa sekolah lanjutan di Chicago,
mereka tidak menemukan bukti mengenai adanya faktor inteligensi umum. Menurut L.L.
Thurstone, faktor umum tersebut memang tidak ada. Yang benar adalah bahwa inteligensi dapat
digambarkan sebagai terdiri atas sejumlah kemampuan mental primer.
Berdasar hasil analisis tersebut, mereka mengatakan bahwa kemampuan mental dapat
dikelompokkan ke dalam enam faktor dan bahwa inteligensi dapat diukur dengan melihat sampel
perilaku seseorang dalam keenam bidang dimaksud. Suatu perilaku inteligen, menurut keduanya,
adalah hasil dari bekerjanya kemampuan mental tertentu yang menjadi dasar performansi dalam
tugas tertentu pula.
Dari hasil studi yang telah mereka lakukan, Thurstone menyusun Tes Kemampuan Primer
Chicago dan menguraikan keenam faktor kemampuan sebagai berikut:
V: (verbal), yaitu pemahaman akan hubungan kata, kosakata, dan
penguasaan komunikasi lisan.
N: (number), yaitu kecermatan dan kecepatan dalam penggunaan fungsi-
fungsi hitung dasar.
S: (spatial), yakni kemampuan untuk mengenali berbagai hubungan dalam
bentuk visual.
W: (word fluency), yaitu kemampuan untuk mencerna kata-kata tertentu
dengan cepat.
M: (memory), yaitu kemampuan mengingat gambar-gambar, pesan-pesan,
angka-angka, kata-kata, dan bentuk-bentuk pola.
R: (reasoning), yaitu kemampuan untuk mengambil kesimpulan dari
berbagai contoh, aturan, atau prinsip. Dapat juga diartikan sebagai
kemampuan pemecahan masalah.
Penelitian L.L. Thurstone & T.G. Thurstone selanjutnya menunjukkan bahwa keenam
faktor tersebut tidaklah terpisah secara eksklusif dan tidak pula independen satu sama lain. Oleh
karena itu, kesimpulan mereka, terdapat suatu faktor umum lain yang lebih rendah tingkatannya
berupa suatu faktor-g tingkat dua. Faktor-g tingkat dua inilah yang menjadi dasar bagi semua
faktor-faktor lain.
c. Cyril Burt
Cyril Burt (1949) beranggapan bahwa faktor-faktor kemampuan merupakan suatu
kumpulan yang terorganisasikan secara hirarkis. Dalam teorinya ia mengatakan bahwa
kemampuan mental terbagi atas beberapa faktor yang berada pada tingkatan-tingkatan yang
berbeda. Faktor-faktor tersebut adalah satu faktor Umum (general), faktor-faktor Kelompok
Besar (broad group), faktor-faktor Kelompok Kecil (narrow group), dan faktor-faktor Spesifik
(specific). Model tingkat mental hirarkis yang digambarkan oleh Burt sangat erat berkaitan
dengan suatu hirarki fungsional yang diurutkan berdasarkan kompleksitas kognitifnya.
Tingkat mental terendah berupa Kemampuan Penginderaan (sensory) dasar dan Proses
Penggerak (motor), yang disingkat s dan m. Satu tingkat di atasnya adalah tingkat kemampuan
yang lebih tinggi berupa Proses Persepsi atau Proses Pengamatan dan Gerakan Terkoordinasikan
(perceptual process & coordinated movement) yang disingkat P dan M. Berikutnya adalah
Proses Asosiasi yang lebih kompleks yang melibatkan Ingatan (memory) dan Pembentukan
Kebiasaan (habit), yang disingkat M dan H. Berada di atasnya lagi adalah Proses Relasional
(relational) yang disingkat R. Berada pada puncak hirarki adalah Inteligensi Umum (I), yang
dianggap mempunyai peranan integratif yang selalu terlibat dalam setiap tingkat hirarki.
d. Philip Ewart Vernon
Sebagaimana Burt, Vernon (1950) mengemukakan pula model hirarkis dalam
menjelaskan teorinya mengenai inteligensi. Dalam model hirarkisnya (seperti terlihat pada
gambar), Vernon menempatkan satu faktor umum (faktor-g) di puncak hirarki. Di bawah faktor-
g terdapat dua jenis kelompok kemampuan mental yang disebutnya kemampuan verbal-
educational (v:ed) dan practical-mechanical (k:m). Kedua jenis kemampuan ini termasuk dalam
faktor inteligensi yang utama atau kelompok mayor. Masing-masing kelompok mayor terbagi
lagi dalam faktor-faktor kelompok minor, yang terpecah lagi menjadi bermacam-macam faktor
spesifik pada tingkat hirarki yang paling rendah.
Mengenai faktor-faktor spesifik, Vernon berpendapat bahwa sebenarnya faktor-faktor
spesifik itu tidak banyak memiliki nilai praktis dikarenakan kurang jelas relevansinya dengan
kehidupan nyata sehari-hari. Oleh karena itu, menurut Vernon, lebih baik membicarakan faktor-
faktor yang lebih umum dikarenakan faktor umum itulah yang berkorelasi lebih konsisten dan
substansial dengan masalah kehidupan sehari-hari.
e. Joy Paul Guilford
Teori Guilford (1959) dikenal dengan structure of intellect. Dalam model struktur ini,
Guilford berusaha menyertakan kategorisasi perbedaan individual di berbagai faktor kemampuan
mental dalam usahanya memahami dan menggambarkan proses-proses mental yang mendasari
perbedaan individual tersebut. Model teori structure of intellect ini diilustrasikan dalam bentuk
sebuah kubus atau kotak berdimensi tiga yang masing-masing mewakili satu klasifikasi faktor-
faktor intelektual yang bersesuaian satu sama lain.
Dimensi yang pertama adalah isi (content), terurai dalam empat bentuk, yaitu figur
(figural), simbol (symbolic), semantik (semantic), dan perilaku (behavior). Dimensi kedua adalah
operasi (operation), terurai dalam lima proses, yaitu kognisi (cognition), ingatan (memory),
produksi konvergen (convergent production), produksi divergen (divergent production), dan
evaluasi (evaluation). Dimensi ketiga adalah produk (product), terurai dalam enam jeni, yaitu
satuan (unit), kelas (class), relasi (relation), sistem (system), transformasi (transformation), dan
implikasi (implication). Dengan demikian, seluruh dimensi akan berjumlah 120 (4x5x6) macam
kombinasi yang merupakan faktor-faktor kemampuan yang berlainan dan dihipotesiskan sebagai
sumber terbentuknya kemampuan-kemampuan mental yang berbeda pula macamnya.
Dari 120 macam kemampuan tersebut, sekitar tiga perempatnya telah dibuktikan
keberadaannya secara empiris, sedangkan sisanya masih dalam proses penelitian.
f. C. Halstead
Teori inteligensi Halstead (1961) merupakan teori yang menggunakan pendekatan
neurobiologis. Menurut Halstead, terdapat sejumlah fungsi otak yang berkaitan dengan
inteligensi dan relatif bebas dari aspek-aspek kebudayaan. Fungsi otak ini memiliki dasar
biologis dan berlaku bagi fungsi setiap otak individu. Selanjutnya, Halstead mengemukakan
adanya empat faktor inteligensi yang diringkas sebagai berikut:
a. Faktor Central Integrative (C). Faktor ini berupa kemampuan untuk mengorganisasikan
pengalaman. Fungsi faktor ini adalah penyesuaian, di mana latar belakang pengalaman seseorang
dan hasil belajarnya akan mengintegrasikan pengalaman-pengalaman yang baru.
b. Faktor Abstraction (A). Merupakan kemampuan mengelompokkan sesuatu dengan cara-cara
yang berbeda, dan kemampuan untuk melihat kesamaan dan perbedaan yang terdapat di antara
benda-benda, konsep-konsep, dan peristiwa-peristiwa.
c. Faktor Power (P). Merupakan kekuatan otak (power) dalam arti tenaga otak yang utuh.
Termasuk dalam faktor ini adalah kemampuan untuk mengekang afeksi sehingga kemampuan-
kemampuan rasional dan intelektual dapat tumbuh dan berkembang
d. Faktor Directional (D). Merupakan kemampuan yang memberikan arah dan sasaran bagi
kemampuan-kemampuan individu. Kemampuan ini menunjukkan dengan spesifik cara
mengekspresikan intelek dan perilaku.
Keempat faktor tersebut merupakan dasar dari apa yang oleh Halstead disebut sebagai
inteligensi biologis.
g. Howard Gardner
Pendapat Gardner mengenai keberadaan Inteligensi Ganda (multiple intelligence)
didorong oleh pendapatnya bahwa pandangan dari sisi psikometri dan kognitif saja terlalu sempit
untuk menggambarkan konsep inteligensi. Pendekatan teori Gardner sangat berorientasi pada
struktur inteligensi. Teori ini juga merupakan sanggahan terhadap pendapat yang mengatakan
bahwa hanya ada kemampuan umum sebagai konsep tunggal inteligensi.
Dalam usahanya melakukan identifikasi terhadap inteligensi, Gardner menggunakan
beberapa macam kriteria, yaitu: (a) pengetahuan mengenai perkembangan individu yang normal
dan yang superior, (b) informasi mengenai kerusakan otak, (c) studi mengenai orang-orang
eksepsional seperti individu yang luar biasa pintar, juga individu idiot savant, dan orang-orang
autistik, (d) data psikometrik, dan (e) studi pelatihan psikologis. Gardner mengatakan bahwa
berbagai inteligensi yang telah diidentifikasikannya bersifat universal sekalipun secara budaya
tampak berbeda. Sebagai contoh, inteligensi linguistik tidak selalu dinyatakan dalam bentuk
tulisan, bergantung pada budaya mana yang diperhatikan. Inteligensi sangat beragam dan
kebanyakan bersifat kognitif.
Tujuh macam inteligensi yang telah berhasil diidentifikasi oleh Gardner adalah
Catatan: tanda kurung menunjukkan bahwa tes tersebut merupakan pilihan atau suplemen. Tes yang berada pada satu baris merupakan tes yang mirip namun berbeda isi dan judulnya.
Tes Wechsler dilancarkan oleh tester terlatih dan memerlukan waktu sekitar satu jam.
Subtes Verbal dan Performansi biasanya diberikan secara berseling. Tester memulai dengan item
yang paling mudah –misalnya menyusun balok- atau item yang menengah namun diperkirakan
cukup mudah untuk testi. Tester kemudian melanjutkan pada tes subtes berikutnya jika testi telah
selesai dengan satu tes sebaik yang ia bisa.
2. Tes Inteligensi Kelompok
Tes kelompok diklaim lebih efisien dalam hal waktu pengadministrasian dan skoringnya.
Material-material yang digunakan juga lebih simpel, biasanya berupa: booklet, lembar jawaban
pilihan ganda, pensil, dan kunci jawaban. Tes jenis ini biasanya juga memberikan informasi yang
lebih normatif, karena data jenis ini lebih mudah dikumpulkan dalam seting kelompok.
Pengembangan tes kelompok didorong oleh kebutuhan untuk mengklasifikasikan hampir
dua juta tentara Amerika yang direkrut selama Perang Dunia I. Tes Army Alpha (untuk tentara
yang dapat membaca) dan Army Beta (untuk tentara yang tidak dapat membaca) saat itu
dikembangkan untuk keperluan militer. Berikutnya, dikembangkan pula tes inteligensi kelompok
untuk keperluan pendidikan dan personalia, dengan memodel kedua tes tersebut. Sekarang,
beberapa jenis tes kelompok telah digunakan di setiap tingkat pendidikan, dari TK hingga
pascasarjana. Tes kelompok juga digunakan secara luas oleh industri, militer, dan dalam
penelitian-penelitian. Supaya tidak kabur dengan istilah tes inteligensi, karena istilah inteligensi
seringkali disalahpahami dan disalahartikan, tes-tes kelompok tersebut lebih sering disebut
dengan tes kematangan mental, tes kecakapan kognitif, tes kesiapan sekolah, atau tes kecakapan
mental.
a. Tes Henmon-Nelson
Tes Kecakapan Mental Henmon-Nelson terdiri dari empat level yang didesain untuk memenuhi
kebutuhan taman kanak-kanak hingga kelas XII, di mana setiap levelnya dapat digunakan untuk
tiga atau empat tingkat. Tes berisikan item jenis verbal dan numerikal, dan kemudian
menghasilkan raw score yang akan dikonversikan ke dalam IQ deviasi dan persentil.
b. Tes Kecakapan Kognitif (Cognitive Abilities Tests)
Tes Kecakapan Kognitif merupakan versi modern dari Tes Inteligensi Lorge-Thorndike. Tes ini
terdiri dari tiga peruntukan yang berbeda, yaitu: (1) untuk TK dan kelas 1, (2) untuk kelas 2 dan
kelas 3, serta (3) untuk multilevel yang dapat digunakan di kelas 3 hingga kelas 12. Tes
Kecakapan Kognitif terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mengukur hal yang berbeda:
verbal, kuantitatif, dan nonverbal. Bagian nonverbal mengukur tidak menggunakan bahasa
ataupun angka, namun menggunakan gambar-gambar geometrik yang harus diklasifikasikan,
dianalogikan, dan disintesakan. Dalam porsi ini, pengaruh dari sekolah formal, ketidakmampuan
membaca, atau bukan berbahasa asli Inggris, dapat diminimalkan. Raw score masing-masing
bagian kemudian dikonversikan ke dalam skor stanin dan persentil untuk setiap umur dan kelas.
Tiga skor yang dihasilkan oleh tiga bagian tersebut kemudian dapat dikomparasikan dengan
norma kelompok ataupun dikomparasikan dengan masing-masing peserta lainnya. Sebagai
tambahan, untuk menghasilkan skor deviasi IQ, skor juga dapat dikonversikan ke dalam skor
standar yang memiliki mean 100 dan standar deviasi 16. Tes Kecakapan Kognitif ini telah
distandardisasi bersama dengan Tes Keterampilan Dasar Iowa (Iowa Tests of Basic Skills) untuk
tingkat TK hingga kelas IX dan Tes Prestasi dan Profisiensi untuk kelas IX hingga kelas XII.
c. Tes Kuhlmann-Anderson
Tes Kuhlmann-Anderson terdiri dari delapan level untuk tingkat TK hingga kelas XII, di mana
setiap level berisi beberapa tes. Tes Kuhlmann-Anderson merupakan versi terbaru dari dari salah
satu tes inteligensi terpopuler yang pernah digunakan di sekolah. Dibandingkan tes sejenis, tes
ini tidak terlalu bergantung pada bahasa, namun akan menghasilkan skor verbal, skor kuantitatif,
dan skor total. Skor disajikan dalam bentuk persentil (condidence interval) dan skor deviasi IQ.
d. Tes Keterampilan Kognitif (Test of Cognitive Skills)
Tes Keterampilan Kognitif (Test of Cognitive Skills) merupakan versi terkini dari California Test
of Mental-Maturity-Short Form. Dalam format aslinya, instrumen tes ini didesain seperti tes
Stanford-Binet versi kelompok. Skor yang dihasilkanpun mirip dengan skor yang didapat dari tes
Stanford-Binet. Tes ini terdiri dari empat subtes yang masing-masing memiliki lima battery
untuk kelas dua hingga kelas XII. Umur dan tingkat stanin, persentil, dan norma skor standar
tersedia untuk setiap subtes. Indeks Keterampilan Total akan menghasilkan skor IQ deviasi.
e. Tes Kesiapan Sekolah Otis-Lennon (Otis-Lennon School Ability Test)
Tes Kesiapan Sekolah Otis-Lennon (Otis-Lennon School Ability Test) berisi lima level tes untuk
kelas satu hingga kelas XII. Tes terbagi dalam dua bentuk R dan S. Tes ini merupakan revisi
terkini dari seri tes Otis terdahulu. Norma Tes Kesiapan Sekolah Otis-Lennon sama dengan the
Metropolitan Achievement Tests dan the Stanford Achievement Test.
f. Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi (School and College Ability Tests)
Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi (School and College Ability Tests) terdiri dari tiga
level dan diperuntukkan bagi siswa kelas III hingga kelas XII. Dua di antaranya (X dan Y) dapat
digunakan untuk semua tingkatan. Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi berisi tes lisan
mengenai analogi verbal dan tes kuantitatif mengenai perbandingan numerik. Tes ini akan
menghasilkan tiga skor: verbal, kuantitatif, dan skor total. Skor standar, stanin, dan persentil juga
tersedia untuk setiap tingkatan level. Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi diberi norma
secara konkuren dengan the Sequential Tests of Educational Progress (STEP). Karena Tes
Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi dikembangkan oleh Educational Testing Service yang
juga mengembangkan the College Entrance Examination Board’s Scholastic Aptitude Test
(SAT), skor verbal dan kuantitatif dalam Tes Kesiapan Sekolah dan Perguruan Tinggi dapat
digunakan untuk memprediksi skor verbal dan kuantitatif SAT.
g. Wonderlic Personnel Test
Wonderlic Personnel Test merupakan tes kecakapan mental singkat untuk orang dewasa yang
berdurasi 12 menit. Tes inteligensi dengan kertas dan pensil ini terdiri dari lima bentuk, dengan
norma yang ekstensif. Tes ini banyak digunakan dalam bisnis dan industri untuk seleksi dan
penempatan karyawan. Validitas data mengenai kesuksesan kerja tentu dapat ditemukan di
banyak perusahaan, namun memang jarang ditemukan dalam literatur penelitian. Namun
demikian, validitas tes masih dipertanyakan dalam hal seleksi posisi-posisi tertentu di mana
golongan minoritas memperoleh skor lebih rendah.
h. Multi-Dimensional Aptitude Battery
Multi-Dimensional Aptitude Battery dikembangkan oleh Douglas Jackson pada tahun 1984
sebagai sebuah tes tulis kelompok untuk menghasilkan skor yang sama dengan yang akan
diperoleh dari Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS). Tes ini berisi lima tes skala verbal dan
lima tes skala performansi yang bentuknya sangat mirip dengan subtes-subtes skala WAIS,
namun dalam format tulis. Skor pada subtes-subtes tersebut memiliki mean 50 dan standar
deviasi 10, sedangkan skor total dari bagian verbal, performansi dan skala penuh memiliki mean
100 dan standar deviasi 15. Kelebihan tes ini adalah kemudahan dalam pengadministrasian dan
skoringnya. Untuk menjadi tester, juga tidak diperlukan keterampilan tingkat tinggi seperti yang
diperlukan pada skala WAIS dan Stanford-Binet. Sebagai alat tes kelompok, tes ini tentu saja
tidak bertujuan untuk memperoleh data observasional seperti yang diperoleh pada instrumen-
instrumen individual.
E. MENGHITUNG DAN MENGKLASIFIKASIKAN INTELIGENSI
1. Intelligence Quotient
Salah satu cara yang sering digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya inteligensi
adalah dengan menerjemahkan hasil tes inteligensi ke dalam angka yang dapat menjadi petunjuk
mengenai kedudukan tingkat kecerdasan seseorang bila dibandingkan secara relatif terhadap
suatu norma
Secara tradisional, angka normatif dari hasil tes inteligensi dinyatakan dalam bentuk rasio
(quotient) dan diberi nama intelligence quotient (IQ). Walaupun demikian, tidak semua tes
inteligensi akan menghasilkan angka IQ karena IQ bukan satu-satunya cara untuk menyatakan
tingkat kecerdasan seseorang. Beberapa tes inteligensi bahkan tidak menghasilkan IQ, tetapi
memberikan klasifikasi tingkat inteligensi, seperti Level III yang berarti klasifikasi inteligensi
normal.
Istilah IQ diperkenalkan pertama kali pada tahun 1912 oleh seorang psikolog Jerman,
William Stern. Kemudian ketika pada tahun 1916, L.M. Terman menerbitkan edisi revisi tes
Binet, istilah IQ mulai digunakan secara resmi untuk yang pertama kali.
Sewaktu pertama kali digunakan secara resmi, angka IQ dihitung dari hasil tes inteligensi
Binet, yaitu dengan membandingkan skor tes yang diperoleh seorang individu dengan usia
individu tersebut. Pada waktu itu, perhitungan IQ dilakukan dengan menggunakan rumus:
IQ = (MA/CA) x 100
Keterangan:MA = Mental Age (usia mental)CA = Chronological Age (usia kronologis)100 = Angka konstan untuk menghindari bilangan desimal
Istilah usia mental dikemukakan untuk pertama kalinya bersamaan dengan perumusan
perhitungan IQ di atas. Pada masa tersebut, rumus IQ digunakan untuk menentukan tingkat
inteligensi seseorang berdasarkan hasil tes inteligensi Binet. Sebenarnya usia mental merupakan
suatu norma pembanding, yaitu norma performansi pada kelompok usia tertentu. Misalkan anak
yang berusia delapan tahun sebagian besar di antara mereka mampu menjawab dengan benar
sebanyak 24 soal dalam tes, mak skor 24 tersebut dijadikan norma untuk kelompok anak-anak
usia delapan tahun, dan disebut usia mental delapan tahun. Bila seorang anak, dalam
mengerjakan tes yang sama, mampu menjawab 24 soal dengan benar, maka ia dikatakan sebagai
mempunyai usia mental delapan tahun, sekalipun usia kronologisnya baru tujuh tahun. Adapun
usia kronologis adalah usia anak sejak dilahirkan yang dinyatakan dalam satuan tahun atau
dalam satuan bulan.
2. Batasan Rasio MA/CA
Gagasan pokok dalam perumusan rasio MA/CA adalah perbandingan relatif antara usia
kronologis dengan usia mental yang telah ditentukan berdasar rata-rata skor pada kelompok usia
tersebut. Seorang yang berinteligensi normal, diharapkan pada usia lima tahun akan mencapai
usia mental lima tahun, pada usia tujuh tahun akan mencapai usia mental tujuh tahun, dan
seterusnya.
Ternyata, hubungan seperti disebutkan di atas tidaklah selalu ditemui dalam
kenyataannya. Setelah memasuki usia remaja akhir, usia mental seseorang rupanya tidak lagi
banyak berubah, bahkan cenderung menurun. Rata-rata skor tes yang diperoleh individu berusia
40 tahun relatif sama dengan rata-rata skor sewaktu ia masih berusia 15 tahun, dan karenanya
tidaklah layak untuk mengatakannya mencapai usia mental 40 tahun. Di sisi lain, usia kronologis
seseorang terus saja bertambah dari waktu ke waktu. Dengan demikian, apabila tes dilakukan
dengan membandingkan MA dan CA, maka angka IQ yang diperoleh akan semakin mengecil
sejalan dengan bertambahnya usia kronologis. Hal itu memberikan kesan bahwa semakin tua
seseorang akan, maka IQ-nya akan semakin menurun. Padahal hal tersebut tidaklah logis dan
tidak sesuai dengan kenyataan. Karena itu, perhitungan IQ dengan menggunakan perbandingan
MA dan CA tidak dapat dilanjutkan lagi.
3. Perumusan IQ-Deviasi
Dengan adanya kelemahan penggunaan rasio MA/CA untuk menghitung IQ, maka David
Wechsler memperkenalkan konsep penghitungan IQ yang disebut IQ-Deviasi. IQ-Deviasi tidak
ditentukan berdasarkan perbandingan MA/CA, akan tetapi dihitung berdasarkan norma
kelompok (mean) dan dinyatakan dalam besarnya penyimpangan (deviasi standar) dari norma
kelompok tersebut. Dalam statistika, angka yang dinyatakan dalam satuan deviasi standar disebut
skor standar dan dirumuskan sebagai:
Skor Standar = m + s {(X-M)/sx}
Keterangan:m = mean skor standar yang diinginkan
s = deviasi standar yang diinginkanX = skor mentah yang akan dikonversikanM = mean distribusi skor mentah yang diperolehsx = deviasi standar skor mentah yang diperoleh
Sebagai catatan, mean IQ selama ini ditetapkan sebesar 100. Hal ini merupakan kebiasaan
tradisional para ahli tes inteligensi selama berpuluh-puluh tahun dalam menafsirkan IQ sebesar
100 sebagai tanda tingkat inteligensi normal. Wechsler sendiri menggunakan mean sebesar 100
dan deviasi standar sebesar 15 untuk menghitung IQ yang diperoleh dari tes WAIS dan WISC,
sedangkan tes Stanford-Binet, sejak edisi revisi tahun 1960, menggunakan mean sebesar 100 dan
deviasi standar sebesar 16.
4. Distribusi IQ dan Klasifikasi Inteligensi
Sebagaimana karakteristik fisik dan karakteristik psikologis yang lain, dalam suatu
populasi yang besar, distribusi angka IQ akan mengikuti suatu model sebaran normal yang
berbentuk genta/lonceng simetris, di mana mean terletak di tengah sumbu, angka-angka yang
lebih kecil dari mean terletak di sebelah kiri, dan angka-angka yang lebih besar dari mean
terletak di sebelah kanan. Hal itu terjadi sesuai dengan deskripsi matematis Quatelet mengenai
kurva lonceng yang dijadikan landasan oleh Galton, pada tahun 1869, untuk menyatakan bahwa
setiap sifat yang terjadi secara alamiah akan mempunyai satu mean dan satu distribusi normal
terhadap mean tersebut.
Implikasi model distribusi normal ini terhadap tingkat inteligensi adalah bahwa
persentase terbesar populasi akan memiliki IQ di sekitar mean (100), yaitu di antara angka 90
dan 110. Semakin jauh ke arah kiri (IQ semakin rendah) dan semakin jauh ke arah kanan (IQ
semakin tinggi), persentase populasi yang ada akan semakin kecil. Artinya, persentase orang
yang mempunyai IQ yang tinggi sekali akan sama kecilnya dengan persentase orang yang
memiliki IQ rendah sekali.
Hal tersebut telah terbukti kebenarannya dari data yang diperoleh oleh Terman dan Merril
pada tahun 1937. Data tersebut berasal dari 3184 subyek yang digunakan untuk standardisasi tes
Stanford-Binet. Distribusi data tersebut tampak dalam tabel berikut: