Top Banner
Journal of Forestry Policy Analysis Vol.18 No.1, Mei 2021 p-ISSN 0216-0897 e-ISSN 2502-6267 TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Ministry of Environment and Forestry BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI Research, Development and Innovation Agency PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change BOGOR - INDONESIA
99

TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

Oct 27, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

Journal of Forestry Policy AnalysisVol.18 No.1, Mei 2021

p-ISSN 0216-0897e-ISSN 2502-6267

TERAKREDITASIRISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

JURNALANALISIS KEBIJAKANKEHUTANAN

Jurnal Analisis K

ebijakan Kehutanan Vol.18, N

o.1, Mei 2021: 1-78

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Innovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Innovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA

Page 2: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN p-ISSN 0216-0897 e-ISSN 2502-6267

Diterbitkan oleh (Published by):Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim(Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change)Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi(Research, Development and Innovation Agency)Alamat (Address) : Jl. Gunung Batu No.5 Bogor 16118, IndonesiaTelepon (Phone) : +62-251-8633944 Email : [email protected]; [email protected] (Fax) : +62-251-8634924 Laman (web) : www. puspijak.org

Journal of Forestry Policy AnalysisVolume 18 Nomor 1, Mei Tahun 2021

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan (JAKK) merupakan jurnal terakreditasi berdasarkan Keputusan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (RISTEKDIKTI) Nomor 30/E/KPT/2018 dengan peringkat kedua (Sinta 2) sejak tahun 2016 hingga 2021. Jurnal ini memuat karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, pemikiran/tinjauan ilmiah mengenai kebijakan kehutanan atau bahan masukan bagi kebijakan kehutanan. Terbit pertama kali pada tahun 2004, terakreditasi pada tahun 2008 dengan nomor 124/Akred-LIPI/ P2MBI/06/2008. Sampai dengan Volume 13 No 3 tahun 2016, Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan terbit tiga kali dalam setahun (April, Agustus, Desember). Mulai Volume 14 tahun 2017, Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan terbit dengan frekuensi dua kali setahun (Mei dan November).

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan (JAKK) is an accredited journal, based on the decree of Ministry of Research, Technology and Higher Education (RISTEKDIKTI) Number 30/E/KPT/2018 with Second Grade (Sinta 2) since years 2016 to 2021. This journal contains scientific papers from research results, scientific assessment/reviews on forestry policy or inputs to forestry policies. First published in year 2004, accredited in year 2008 with number 124 / Akred-LIPI / P2MBI / 06/2008. Up to Volume 13 No 3 of 2016, the Journal of Forest Policy Analysis was published three times a year (April, August, December). Starting at Volume 14 of 2017, the Journal of Forest Policy Analysis is published twice a year (May, November).

Penanggung Jawab (Advisory Editor) : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

DEWAN REDAKSI (EDITORIAL BOARD) :

Ketua (Editor in Chief) : Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Si (P3SEKPI)

Redaktur (Managing Editor) : Dana Apriyanto, S.Hut., M.Sc., M.T (P3SEKPI)

Initial Reviewer : Yanto Rochmayanto, S.Hut., M.Si (P3SEKPI)

Editor Bagian (Section Editors) : 1. Surati, S.Hut, M.Si. (P3SEKPI)2. Fentie J. Salaka, S.Hut., M.Si. (P3SEKPI)3. Galih Kartika Sari, S.Hut.,M.Si. (P3SEKPI)4. Fulki Hendrawan, S.Hut. (P3SEKPI)

Mitra Bestari (Peer Reviewers) : 1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman,M.Sc. (Kebijakan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor)2. Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr. (Perlindungan Hutan, Institut Pertanian Bogor)3. Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.Sc. (Kebijakan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor)4. Prof. Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc. (Politik Ekonomi Kehutanan, Institut Pertanian Bogor)5. Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S (Kelembagaan Ekonomi Kehutanan, Institut Pertanian Bogor)6. Prof. Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. (Kebijakan Kehutanan, Mitigasi REDD+, Adaptasi Perubahan Iklim

dan Furniture Value Chain, CIFOR)7. Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc. (Sosial Ekonomi Kemasyarakatan, Kebijakan Publik, Perubahan Iklim

dan Konservasi Sumber Daya Alam, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan)8. Dr. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc. (Ekonomi dan Sumber Daya Hutan, Institut Pemerintahan Dalam Negeri)9. Dr. Ir. I Wayan Susi Dharmawan,S.Hut, M.Si. (Hidrologi dan Kesuburan Tanah, Pusat Litbang Hutan)10. Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, M.S (Konservasi Tanah dan Air, MKTI)11. Dr. Gamin,A.Md.,S.Sos.,MP (Pemetaan dan Analisis untuk Konflik dan Spasial, Balai Diklat LHK

Kadipaten)12. Dr. Tuti Herawati, S.hut., M.Si (Analisis Kebijakan, Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial)13. Ir. Hunggul Yudhoyono, M.Sc.. (Hidrologi dan Konservasi Tanah, Balai Litbang LHK Makasar)14. Dr. Sapja Anantanyu, SP., M.Si. (Pemberdayaan Masyarakat, Universitas Sebelas Maret)15. Dr. Sahara, SP., M.Si. (Ekonomi Regional, Transformasi Pasar, Supply and Value Chain, Institut Pertanian

Bogor)16. M. Chairun Basrun Umanailo, S.Sos., M.Si. (Sosiologi, Universitas Iqra Buru)

Anggota Dewan Redaksi (Reviewers) : 1. Dr. Ir. Sulistya Ekawati, M.Si. (Sosiologi Kehutanan, P3SEKPI)2. Dr. Tuti Herawati,S.Hut,M.Si. (Analisis Kebijakan, P3SEKPI)3. Dr. Virni Budi Arifanti, S.Hut.,M.Sc. (Penginderaan Jauh Geografi dan Informasi, P3SEKPI)4. Ir. Ari Wibowo, M.Sc (Perlindungan Hutan, P3SEKPI)5. Dr. Fitri Nurfatriani,S.Hut, M.Si. (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI)6. R. Deden Djaenudin,S.Si., M.Si. (Ekonomi Kehutanan, P3SEKPI)7. Dr. Ir. Subarudi,M.Wood.Sc. (Sosiologi Kehutanan, P3SEKPI)8. Dr. Ir. Niken Sakuntaladewi, M.Sc. (Sosiologi Kehutanan, P3SEKPI)

REDAKSI PELAKSANA (EDITORIAL TEAM) :

Penyunying Bahasa (Copy Editors) : 1. Dana Apriyanto, S.Hut., M.Sc., M.T (P3SEKPI)2. Drs. Sunaryanto (BP2SDM, KLHK)3. Drs. Hariono (P3SEKPI)4. Diny Darmasih, S.Hut., M.E (P3SEKPI)

Penyunting Tata Letak (Layout Editor) : Suhardi Mardiansyah (Sekretariat Badan Litbang dan Inovasi)

Sekretariat (Secretariat) : Shella, A.Md. (P3SEKPI)

Page 3: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Innovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA

Journal of Forestry Policy AnalysisVol. 18 No. 1, Mei 2021

p-ISSN 0216-0897e-ISSN 2502-6267

TERAKREDITASIRISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

JURNALANALISIS KEBIJAKANKEHUTANAN

Page 4: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

Ucapan Terima Kasih

Dewan Redaksi Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Mitra Bestari (Peer Reviewers) yang telah menelaah naskah-naskah yang dimuat pada edisi Vol. 18 No.1, Mei Tahun 2021. Mitra Bestari (Peer Reviewers) dimaksud adalah:

1. Dr. Sapja Anantanyu, SP., M.Si.2. Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, MS.3. Dr. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc.4. Dr. Ir. I Wayan Susi Dharmawan,S.Hut, M.Si.

Page 5: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN p-ISSN 0216-0897Vol. 18 No. 1, Mei 2021 e-ISSN 2502-6267

TERAKREDITASIRISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

DAFTAR ISI (CONTENTS)

STRATEGI PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI DAPAT DIKONVERSI TIDAK PRODUKTIF UNTUK PROGRAM TORA DI PROVINSI RIAU(Strategi on Releasing Non-Productive of Forest Conversion Area for TORA Program in Riau Province)Ignatius Adi Nugroho, Sambas Basuni, Gita Junaedi, Achmad Ponco Kusumah, Kurniawan Hardjasasmita, Adli Kusumawinata, Fatma Djuwita, Kusuma Rahmawati, Adek Juniandri, Ardesianto, Fransius B. Bangun, Muhammad Fadhli, Lintang Murpratiwi, & Siti Muniati ......................................................... 1-16

KARAKTERISTIK KEBAKARAN PERMUKAAN GAMBUT BERBASIS LUASAN DESA MENURUT TIPE PENUTUPAN LAHAN DI KALIMANTAN(Characteristics of Peatland Fires Based on Village Area and Land Cover in Kalimantan)Irfan Malik Setiabudi & Wahyu Kusumaningrum ................................................. 17-29

IMPLEMENTASI PERHUTANAN SOSIAL DI WILAYAH KERJA PERUM PERHUTANI KPH TELAWA (Implementation of Social Forestry in Perum Perhutani KPH Telawa)Henri Supriyanto, Sudarmo, & Kristina Setyowati ................................................ 31-43

PENILAIAN PERUBAHAN IKLIM BERDASARKAN KECENDERUNGAN DAN PERUBAHAN SUHU TAHUNAN DI MANOKWARI, PAPUA BARAT(Assessment of Climate Change Based on Annual Trend and Change of Temperature in Manokwari, West Papua)Femmy Marsitha Barung, Wendel Jan Pattipeilohy, & Robi Muharsyah ................ 45-57

VILLAGE-OWNED ENTERPRISES (BUMDES) AS A COLLABORATIVE MODEL ENVIRONMENTAL MANAGEMENT(Badan Usaha Milik Desa-BUMDes sebagai Model Kolaboratif Pengelolaan Lingkungan)Jagad Aditya Dewantara, Efriani, La Ode Topo Jers, Wibowo Heru Prasetiyo, & Sulistyarini ............................................................................................................ 59-78

Page 6: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...
Page 7: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANANABSTRAK

p-ISSN 0216-0897e-ISSN 2502-6267

Vol. 18 No. 1, Mei 2021

Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini bolehdiperbanyak tanpa izin dan biaya.

UDC (OSDCF) 630*91:5921Ignatius Adi Nugroho, Sambas Basuni, Gita Junaedi, Achmad Ponco Kusumah, Kurniawan Hardjasasmita, Adli Kusumawinata, Fatma Djuwita, Kusuma Rahmawati, Adek Juniandri, Ardesianto, Fransius B. Bangun, Muhammad Fadhli, Lintang Murpratiwi, & Siti MuniatiStrategi Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Dapat Dikonversi Tidak Produktif untuk Program Tora di Provinsi Riau

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, hal. 1-16

Pelepasan kawasan hutan yang mungkin dilakukan sesuai dengan kebijakan terletak pada kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) tidak produktif yang merupakan tindak lanjut atas program Reformasi Agraria. Penelitian bertujuan untuk menentukan lahan indikatif yang digunakan masyarakat yang tidak memiliki akses atas lahan di Provinsi Riau. Hasilnya adalah lahan HPK yang tidak produktif melalui pelepasan kawasan HPK di Provinsi Riau sebesar 205.847,86 hektare (93,01%) dari total HPK indikatif TORA sebesar 221.321 hektare karena tidak lagi berupa hutan. Luas hutan tetap yang dipertahankan adalah 1.104,42 hektare karena masih berupa hutan primer. Kegiatan pelepasan kawasan hutan membutuhkan sosialisasi agar berjalan efektif.

Kata kunci: Pelepasan; luas HPK; sosialisasi; TORA; kawasan hutan; bukan kawasan hutan.

UDC (OSDCF) 630*443:5911Irfan Malik Setiabudi & Wahyu KusumaningrumKarakteristik Kebakaran Permukaan Gambut Berbasis Luasan Desa Menurut Tipe Penutupan Lahan di Kalimantan

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, hal. 17-29

Sebagian besar kebakaran di Indonesia disebabkan faktor antropogenik. Praktik pengelolaan lahan diyakini mempunyai hubungan yang cukup erat dengan kejadian kebakaran. Salah satu pendekatan pemerintah dalam menekan kebakaran melalui pengendalian kebakaran hutan berbasis tapak/desa. Studi ini mengungkap karakteristik hubungan praktik pengelolaan lahan berdasarkan satuan desa dengan kejadian kebakaran. Metode yang digunakan berupa spatio-temporal analysis berdasarkan pada analisis kerapatan kebakaran. Lahan yang tidak dikelola/terlantar meningkatkan potensi terjadinya kebakaran. Kejadian kebakaran di lahan gambut juga semakin meningkatkan potensi kebakaran secara signifikan. Aspek penutupan lahan dan tipe lahan serta tingkat kerapatan kebakaran pada suatu desa dapat digunakan dalam prioritasisasi implementasi kebijakan pengendalian kebakaran.

Kata kunci: Kerapatan kebakaran; desa; gambut; penutupan lahan; lahan terlantar.

UDC (OSDCF) 630*922.2Henri Supriyanto, Sudarmo, & Kristina SetyowatiImplementasI Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Telawa

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, hal. 31-43

Perhutanan Sosial merupakan cara pemerintah mengatasi konflik masyarakat dengan hutan dan pemerintah. IPHPS model Perhutanan Sosial dilaksanakan pada wilayah kerja Perhutani. Lokasi penelitian di Perhutani KPH Telawa, Kabupaten Boyolali. Studi bertujuan menganalisis implementasi IPHPS dan dampaknya bagi masyarakat. Metode penelitian adalah deskriptif naratif. Sampel ditentukan dengan metode purposive sampling. Hasil analisis implementasi IPHPS disimpulkan: a). Lokasi IPHPS belum sesuai dengan ketentuan, b). Pendamping belum sesuai dari segi kualitas maupun kuantitas, c). Pembiayaan dan permodalan masih swadaya kelompok tani, d). Pembinaan dan fasilitasi belum berjalan efektif, e). Monitoring evaluasi baru dilaksanakan satu kali, f). Dampak sosial, ekonomi, ekologi, belum kelihatan nyata.

Kata kunci: Perhutanan sosial; IPHPS; implementasi; dampak.

UDC (OSDCF) 630*111.82:5923Femmy Marsitha Barung, Wendel Jan Pattipeilohy, & Robi MuharsyahPenilaian Perubahan Iklim Berdasarkan Kecenderungan dan Perubahan Suhu Tahunan di Manokwari, Papua Barat

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, hal. 45-57

Penilaian perubahan iklim secara sederhana dilakukan terhadap suhu udara meliputi suhu rata-rata, maksimum, dan minimum di Manokwari. Metode statistik regresi linier dan non-parametrik uji tren Mann-Kendall (MK), Modified Mann-Kendall (MMK), Sen’s Slope Estimator (SSE) digunakan untuk menganalisis kecenderungan serta angka indeks untuk analisis perubahan suhu. Terjadi kecenderungan kenaikan yang signifikan pada suhu rata-rata dan suhu minimum dengan slope sebesar 0,029ºC/tahun dan 0.069ºC/tahun secara berturut-turut. Uji suhu maksimum tidak menunjukkan adanya tren. Selain itu, angka indeks menunjukkan kenaikan suhu rata-rata tahunan (2,8% atau 0,7°C), suhu maksimum (1,2% atau 0,4°C), dan suhu minimum (3,1% atau 0,8°C).

Kata kunci: Perubahan iklim; uji tren Mann-Kendall; Modified Mann-Kendall; Sen’s Slope Estimator.

Page 8: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

UDC (OSDCF) 630*644.6Jagad Aditya Dewantara, Efriani, La Ode Topo Jers, Wibowo Heru Prasetiyo, & SulistyariniBadan Usaha Milik Desa-BUMDes sebagai Model Kolaboratif Pengelolaan Lingkungan

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, hal. 59-78

Beberapa kasus pengelolaan lahan gambut menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Oleh karena itu membutuhkan pengelolaan yang berkelanjutan. Penelitian dimasudkan untuk menemukan model pengelolaan lahan gambut di Desa Rasau Jaya Tiga yang menampakkan fenomena baru. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan, ditemukan adanya pengelolaan lahan gambut dengan model kolaboratif antara pemerintah dengan masyarakat yang dilakukan melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Maju Jaya. Pemerintah menyediakan dana dan legalitas sedangkan masyarakat lokal melakukan pemanfaatan, pengelolaan, dan pengawasan lahan gambut melalui budaya gotong royong. Melalui BUMDes, lahan gambut difungsikan sebagai ekowisata, menjadi mata pencaharian baru bagi masyarakat tanpa merusak ekosistem lahan gambut.

Kata kunci: Kolaborasi manajemen sumber daya; lahan gambut; BUMDes.

Page 9: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

JOURNAL OF FORESTRY POLICY ANALYSIS

ABSTRACT p-ISSN 0216-0897e-ISSN 2502-6267

Vol. 18 No. 1, Mei 2021

The discriptors given are keywords. The abstract sheet may be reproduced withoutpermission or charge.

UDC (OSDCF) 630*91:5921

Ignatius Adi Nugroho, Sambas Basuni, Gita Junaedi, Achmad Ponco Kusumah, Kurniawan Hardjasasmita, Adli Kusumawinata, Fatma Djuwita, Kusuma Rahmawati, Adek Juniandri, Ardesianto, Fransius B. Bangun, Muhammad Fadhli, Lintang Murpratiwi, & Siti MuniatiStrategi on Releasing Non-Productive of Forest Conversion Area for TORA Program in Riau Province

Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 18 No. 1, p. 1-16

Releasing forested area is possible in non-productive of forest conversion area which is suitable to the policy. It is continuing the government agrarian reform programs. The objective of this research is to indicate forested land which is used for poor people and provide the people access to repair their quality live in Riau Province. The results indicate that conversion of non-productive forest area provides for development process through the releasing activities in Riau Province is covering 205,847.86 hectares (93.01%) from the total conversion forest area. Forested land which is allocated as forest area is 1,102.42 hectares because it is still primary forest. Socialization on forest releasing program is needed.

Keywords: Releasing; forest conversion area; socialization; agrarian reform; forest area; non forest area.

UDC (OSDCF) 630*443:5911

Irfan Malik Setiabudi & Wahyu KusumaningrumCharacteristics of Peatland Fires Based on Village Area and Land Cover in Kalimantan

Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 18 No. 1, p. 17-29

Most of the fire incidents in Indonesia caused by anthropogenic factors. Practices of land management are indicated a strong relationship to fires. Village-based fire control becomes one approach applied by the government to overcome fires. This study is conducted to reveal relational characteristics between village-based land management practices with fire events. The method is spatio-temporal analysis based on fire density analysis. Unmanaged land had increased potency of fire incidents. Peatland fires also generated the potency of fires significantly. Land cover and land type aspects together with village fire density can be employed on prioritizing implementation policy on village-based fire control.

Keywords: Fires density; village; peat; land cover; unmanaged land.

UDC (OSDCF) 630*922.2

Henri Supriyanto, Sudarmo, & Kristina Setyowati

Implementation of Social Forestry in Perum Perhutani KPH Telawa

Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 18 No. 1, p. 31-43

Social Forestry is a way of dealing with community conflicts on forests with the government. This study is conducted in Perhutani KPH Telawa, Boyolali Regency and aims to analyze the implementation of IPHPS and the impacts on the community. The results of IPHPS implementation are: a). location of IPHPS does not comply with the provisions, b). Inappropriate quality and quantity of trainers, c). Financing and capital are still independent of farmer groups, d). Uneffective coaching and facilitation, e). Monitoring evaluation is only carried out once, f). social, economic, and ecological impacts are not yet visible.

Keywords: Social Forestry; IPHPS; implementation; impact.

UDC (OSDCF) 630*111.82:5923

Femmy Marsitha Barung, Wendel Jan Pattipeilohy, & Robi Muharsyah

Assessment of Climate Change Based on Annual Trend and Change of Temperature in Manokwari, West Papua

Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 18 No. 1, p. 43-57

A simple climate change assessment is performed on air temperature including the average, maximum, and minimum temperatures observed in Manokwari. Linear and non-parametric statistical regression methods of Mann-Kendall (MK) trend test, Modified Mann-Kendall (MMK), Sen's Slope Estimator (SSE) are used to analyze trends and index numbers for temperature change analysis. A significant increase trend happens with an average of 0.029ºC/year and minimum temperature 0.069ºC. Maximum temperature test shows no trends. Index figures show an increase in the annual average temperature of 2.8% or 0.7°C, maximum temperature 1.2% or 0.4°C, and minimum temperature 3.1% or 0.8 °C.

Keywords: Climate change; Mann-Kendall trend test; Modified Mann-Kendall; Sen's Slope Estimator.

Page 10: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

UDC (OSDCF) 630*644.6Jagad Aditya Dewantara, Efriani, La Ode Topo Jers, Wibowo Heru Prasetiyo, & SulistyariniVillage-Owned Enterprises (BUMDes) As a Collaborative Model Environmental Management

Journal of Forestry Policy Analysis Vol. 18 No.1, p. 59-78

Some cases of peatland management cause serious environmental problems, therefore, it requires sustainable management. This research aims to find a peatland management model in the village of Rasau Jaya Tiga, which reveals a new phenomenon. Interviews and observations show that there is a collaborative model of peatland management between the government and the community through Maju Jaya Village-Owned Enterprise (BUMDes). The government provides funds and legality, while local communities carry out the use, management, and supervision of the peatlands through a culture of cooperation. Through BUMDes, peatlands are used as ecotourism, becoming new livelihoods for the community without destroying the peatland ecosystem.

Keywords: Resource management collaboration; peatland; village-owned enterprises (BUMDes).

Page 11: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

STRATEGI PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI DAPAT DIKONVERSI TIDAK PRODUKTIF UNTUK PROGRAM TORA

DI PROVINSI RIAU (Strategi on Releasing Non-Productive of Forest Conversion Area for TORA Program

in Riau Province)

Ignatius Adi Nugroho1, Sambas Basuni2, Gita Junaedi3, Achmad Ponco Kusumah4, Kurniawan Hardjasasmita5, Adli Kusumawinata6, Fatma Djuwita7, Kusuma Rahmawati8, Adek Juniandri9,

Ardesianto10, Fransius B. Bangun11, Muhammad Fadhli12, Lintang Murpratiwi13, & Siti Muniati7

1Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia; email: [email protected]

2Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Jl. Lingkar Akedemik Kampus IPB, Dramaga, Bogor, Indonesia; email: [email protected]

3Pusat Kebijakan Strategis, Gd. Manggala Wanabhakti, Jl. Gatot Subroto, Jakarta, Indonesia; email: [email protected]

4Direktorat Kesatuan Pengelolan Hutan Produksi, Gd. Manggala Wanabhakti, Jl. Gatot Subroto, Jakarta, Indonesia; email: [email protected]

5Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan, Gd. Manggala Wanabhakti Jl. Gatot Subroto, Jakarta, Indonesia; email: [email protected]

6Direktorat Rencana, Penggunaan, dan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan, Gd. Manggala Wanabhakti, Jl. Gatot Subroto, Jakarta, Indonesia; email: [email protected]

7Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor, Gd. Manggala Wanabhakti, Jl. Gatot Subroto, Jakarta, Indonesia; email: [email protected], [email protected]

8Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jl. Raya Bogor, Cibinong, Indonesia; email: [email protected]

9Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau, Jl. Gajah Mada No. 200, Simpang Empat, Pekanbaru, Indonesia; email: [email protected]

10Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau, Jl. Jenderal Sudirman No. 468 Pekanbaru, Indonesia; email: [email protected]

11Balai Pengelolaan Hutan Produksi Wilayah III Pekanbaru, Jl. Arifin Ahmad, Sidomulyo Tim, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru, Indonesia; email: [email protected]

12Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIX Pekanbaru, Sidomulyo Tim, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru, Indonesia; email: [email protected]

13Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Gd. Manggala Wanabhakti, Jl. Gatot Subroto, Jakarta, Indonesia; email: [email protected]

Diterima 28 Agustus 2020, direvisi 23 Nopember 2020, disetujui 23 Nopember 2020

ABSTRACT

Development process needs lands as natural resources. Unfortunately, availability of land is relatively limited. Therefore, it needs releasing process of forestland to become non forestland. In the process of releasing the forestland, there are some policies which need stakeholders to consider so the minimum required forestland of 30% is fulfilled. Releasing forestland area is possible to undertake on non-productive forest conversion area which is also for the government agrarian reform programs which is called Nawacita. The objective of this research is to offer answer about the indicative forestland which can be used for development needs, particularly for poor people who live near the forest. The results indicate that non-productive of conversion forest can provide land for development in Riau Province for about 205,847.86 hectares (93.01%) from the total conversion forest area based on agrarian reform program. Permanent forested land which needs to be maintained as forest area is 1,102.42 hectares, because most of the area are still primary forests. For the effectiveness of releasing conversion forest area, socialization programs to inform the community is needed.

Keywords: Releasing; forest conversion area; socialization; agrarian reform; forest area; non forest area.

©2021 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2021.18.1.1-16

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 1-16p-ISSN 0216-0897 e-ISSN 2502-6267Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

1

Page 12: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

I. PENDAHULUANIndonesia memiliki luas kawasan hutan

sekitar 94,1 juta ha yang terdiri atas berbagai fungsi ruang antara lain yang digunakan sebagai Hutan Produksi (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2020). Hutan produksi yang saat ini digunakan sekitar 63 juta ha dari luas kawasan hutan Indonesia yang terbagi menjadi kawasan hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). HPK adalah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi menjadi bentuk lain dan dicadangkan untuk dilepaskan sesuai dengan kebutuhan. Sesuai dengan kebijakan yang tertuang dalam program Tanah Objek Reformasi Agraria (TORA) yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maka HPK merupakan salah satu target yang digunakan untuk pelepasan kawasan bagi program tersebut sebagaimana tercantum dalam Nawacita yang digagas oleh Presiden Joko Widodo. TORA bertujuan agar kawasan hutan yang sudah tidak produktif untuk usaha kehutanan dapat dilepaskan dari kawasan agar dimanfaatkan oleh rakyat untuk peningkatan kesejahteraan, sekaligus untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi melalui akses atas kawasan

hutan. Target pelepasan kawasan HPK melalui TORA sekitar 4,1 juta ha yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan Keputusan Presiden No. 2 Tahun 2015. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kepmen LHK) No. 17 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan dan Perubahan Batas Kawasan Hutan untuk Sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), pemerintah akan menggunakan pelepasan kawasan hutan TORA untuk perkebunan sekitar 20%, pencadangan sawah baru, pemukiman transmigrasi, pemukiman dan fasilitas sosial, lahan garapan untuk sawah dan tambak rakyat atau untuk pertanian lahan kering. Dalam keputusan tersebut, lahan hutan yang dicadangkan untuk TORA sebanyak 20% dilepaskan untuk perkebunan dan sisanya dapat digunakan untuk pemukiman, fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum), serta pertanian.

Dalam Kepmen LHK No. 17 Tahun 2018 disebutkan bahwa penerima manfaat TORA terdiri atas 18 kriteria pekerjaan. Kriteria pekerjaan tersebut terdiri atas petani gurem, penyewa tanah pertanian, petani penggarap, buruh tani, nelayan kecil, nelayan tradisional,

2

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 1-16

ABSTRAK

Proses pembangunan selalu membutuhkan tersedianya sumber daya lahan. Sayangnya, sumber daya lahan bersifat terbatas sehingga diperlukan proses pelepasan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Dalam proses pelepasan tersebut kebijakan yang ada perlu diperhatikan agar ketentuan mengenai luas kawasan hutan minimal sebesar 30% tetap terpenuhi. Pelepasan kawasan hutan yang mungkin dilakukan sesuai dengan kebijakan terletak pada kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) tidak produktif di mana kebijakan pelepasan juga merupakan tindak lanjut atas program Reformasi Agraria yang digulirkan oleh pemerintah melalui Nawacita. Penelitian bertujuan untuk memberi jawaban atas lahan indikatif yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan, yang secara khusus dapat digunakan oleh masyarakat yang tidak memiliki akses atas lahan di Provinsi Riau. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa lahan HPK yang tidak produktif yang dapat dicadangkan untuk kegiatan pembangunan melalui pelepasan kawasan HPK di Provinsi Riau sebesar 205.847,86 hektare (93,01%) dari total HPK indikatif TORA sebesar 221.321 hektare karena tidak lagi berupa hutan. Luas hutan tetap yang dipertahankan adalah 1.104,42 hektare karena masih berupa hutan primer. Agar kegiatan pelepasan kawasan hutan berjalan dengan efektif maka perlu dilakukan sosialisasi program tersebut.

Kata kunci: Pelepasan; luas HPK; sosialisasi; TORA; kawasan hutan; bukan kawasan hutan.

Page 13: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

nelayan buruh, pembudidaya ikan kecil, penggarap lahan budidaya, petambak garam kecil, guru honorer, pekerja harian lepas, pedagang informal yang tidak memiliki tanah, pekerja sektor informal yang tidak memiliki tanah, pegawai tidak tetap yang tidak memiliki tanah, pegawai swasta dengan pendapatan di bawah Upah Minimum Regional yang tidak memiliki tanah, Pegawai Negeri Sipil golongan III ke bawah yang tidak memiliki tanah atau anggota TNI/POLRI berpangkat letnan dua/inspektur dua polisi atau yang setingkat ke bawah yang tidak memiliki tanah. Berdasarkan keputusan tersebut, tanah yang digunakan sebagai sumber TORA dialamatkan bagi para pihak yang dikategorikan miskin dan belum memiliki akses atas sumber daya lahan. Terkait maksud tersebut, Menteri LHK memutuskan untuk menurunkan tim terpadu (timdu) agar melakukan penelitian pada kawasan HPK yang telah ditetapkan sebagai sumber TORA. Surat Keputusan MenLHK No. 5692 Tahun 2018 menetapkan tim terpadu untuk melakukan penelitian sumber TORA seluas 221.321 ha di Provinsi Riau.

Permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini yaitu terjadinya tumpang-tindih penggunaan kawasan HPK di Provinsi Riau untuk berbagai kepentingan seperti perkebunan, pertanian lahan kering, pemukiman, serta terjadinya perubahan fungsi kawasan HPK yang seharusnya dikonservasi. Hal ini karena pada kawasan hutan HPK masih terdapat hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi sehingga tidak cocok untuk dilepaskan atau dikonversi. Apabila tumpang-tindih ini tidak segera diselesaikan maka di masa depan dapat menimbulkan konflik berkepanjangan dalam pemanfaatan kawasan hutan (Wibowo et al., 2019; Eyes on the Forest, 2018). Penyebab konflik secara umum terdiri atas beberapa faktor yaitu: a) terdapatnya perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan; b) langkanya sumber daya seperti kekuatan, pengaruh, ruang, waktu, uang, popularitas, dan posisi; c) persaingan (Handoyo, 2015). Selanjutnya dikatakan, ketika sejumlah

nilai dan tujuan saling bertentangan, ketika sejumlah sumber daya menjadi terbatas, dan ketika persaingan untuk suatu penghargaan serta hak-hak istimewa muncul, konflik akan terjadi. Interaksi sesama manusia selalu diwarnai dua hal yaitu konflik dan kerja sama. Dengan demikian, konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia (Handoyo, 2015; Soeharto, 2010). Situasi konflik ini belum menghitung terjadinya tumpang-tindih penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan di Provinsi Riau yang saat ini sudah diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Penelitian bertujuan untuk menghitung luas kawasan HPK tidak produktif yang akan dijadikan sumber TORA dan strategi kebijakan yang dapat digunakan untuk pelepasan kawasan HPK tersebut di Provinsi Riau. Hal ini mengingat rasionalisasi atas pemanfaatan kawasan hutan di Provinsi Riau perlu dilakukan agar tidak terjadi konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah. Selain itu juga untuk menjembatani kendala-kendala pembangunan sosial-ekonomi dan infrastruktur yang terdapat di daerah sehingga dapat mengurangi terjadinya tumpang-tindih penggunaan kawasan hutan (Nanggara et al., 2018; Sumargo, Nanggara, Nainggolan, & Apriani, 2011). Gambaran yang lebih jelas mengenai situasi lapangan terkait dengan tumpang-tindih penggunaan kawasan hutan di Provinsi Riau disajikan pada Gambar 1.

II. METODE PENELITIANPenelitian dilakukan pada enam

kabupaten/kota di Provinsi Riau yaitu Kota Dumai, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, dan Kabupaten Kampar. Alasan pengambilan enam kabupaten/kota ini karena dianggap cukup mewakili luasan kawasan HPK tidak produktif yang menjadi sumber TORA di Provinsi Riau. Kegiatan penelitian dilakukan selama dua minggu yakni tanggal 15-27 September 2018.

3

Strategi Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Dapat Dikonversi Tidak Produktif .........(Ignatius Adi Nugroho et al.)

Page 14: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

Alat yang dibutuhkan untuk analisis data terdiri atas peta kerja lokasi penelitian pelepasan HPK tidak produktif, citra satelit resolusi sangat tinggi (CSRT), kuesioner untuk responden dan wawancara, daftar isian pengamatan lapangan, dan data sekunder. Data tersebut sebagian tersedia dalam bentuk shape file untuk peta-peta tutupan lahan, perizinan penggunaan kawasan hutan sebelumnya, perizinan penundaan pemanfaatan kawasan, penggunaan untuk keperluan resotrasi gambut, dan lain-lain. Data primer berupa wawancara sosial-ekonomi dan koordinat titik atas peta tutupan lahan di lapangan. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.

A. Luas HPK Indikatif TORA Provinsi Riau

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri LHK No. SK5692/MENLHK-PKTL/KUH/OTL.0/2018 ditetapkan bahwa luas HPK tidak produktif yang akan digunakan untuk TORA sebesar 221.321 ha di Provinsi Riau. Pelepasan kawasan HPK tidak produktif dengan luas sebesar itu diperlukan oleh pemerintah untuk mendukung rencana pembangunan seperti yang tertuang dalam RPJM tahun 2015-2019. Sesuai dengan Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 1999, kegiatan pelepasan kawasan hutan

memerlukan rekomendasi dari tim terpadu melalui kajian ilmiah sehingga rekomendasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Kegiatan pelepasan kawasan HPK tidak produktif tersebut diperuntukkan bagi pembangunan non-kehutanan seperti fasilitas pendidikan, pemukiman, kantor pemerintah, terminal, pasar, pertanian, perkebunan, dan lain-lain (SK Menteri LHK No. 51/2016).

B. Peta DasarPeta dasar digunakan untuk mencari

luasan optimal pelepasan kawasan HPK. Dalam Kepmen LHK No. 51/Menlhk/Setjen/KUM.1/6/2016 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi disebutkan bahwa persyaratan peta dasar yang dibutuhkan adalah peta dasar dengan skala 1:50.000. Goodchild, Yuan, & Covas (2007) menyebutkan bahwa informasi yang terdapat pada peta dasar yang diperoleh melalui SIG dapat digunakan untuk meramalkan perubahan-perubahan atmosfer di masa datang melalui pemodelan, merekam informasi hidrologi, perubahan permukaan bumi, maupun untuk menduga sisa-sisa fosil di masa lalu melalui perubahan geologi. Oleh sebab itu, keberadaan peta dasar untuk kegiatan pelepasan HPK menjadi penting karena menggunakan peralatan yang sama.

Beberapa peta dasar yang digunakan untuk

4

Gambar 1 Situasi lapangan tumpang-tindih pemanfaatan HPK Figure 1 Field situation on overlapping of forest conversion utilization.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 1-16

Page 15: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

kegiatan penelitian ini yaitu Peta Tutupan Lahan Provinsi Riau, Peta Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan Riau, Peta Izin Penggunaan Kawasan Hutan Riau, Peta Izin Pelepasan Kawasan Hutan Riau, Peta Izin Perhutanan Sosial, Peta Kawasan Hidrologis Gambut (KHG), Peta Moratorium Gambut, Peta Kebun Sawit dan Pabrik Kelapa Sawit, dan Peta Rawan Bencana. Peta-peta tersebut kemudian di-overlay satu per satu sehingga diperoleh kawasan HPK yang sesuai untuk dilepaskan. Qtaishat, Shatnawi, & Habib (2017); Emelyana, Sasmito, & Prasetyo (2017); dan Septian et al. (2020) menyebutkan bahwa penggunaan berbagai peta untuk mengelola kebakaran hutan di masa depan dapat membantu stakeholder untuk bertindak

meminimumkan terjadinya kerugian yang ditimbulkan akibat bencana kebakaran. Hal ini serupa dengan memasukkan peta rawan bencana ke dalam rencana pelepasan HPK tidak produktif di Provinsi Riau. Untuk meningkatkan akurasi masing-masing tipe tutupan lahan pada peta indikasi TORA maka dilakukan tindakan ground checking pada masing-masing tipe tutupan tersebut. Yadav, Kapoor, & Sarma (2012) dan Yadav, Kanga, & Kumar (2017) menyebutkan bahwa tindakan ground checking melalui survei lokasi digunakan untuk mengumpulkan informasi yang tepat atas masing-masing tipe tutupan lahan yang terdapat pada peta dasar, baik berupa peta digital (citra) maupun peta SIG. Ground checking ke lapangan dilakukan

5

Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian TORA di Provinsi Riau Figure 2 Analitical framework of research on TORA in Riau Province.

Strategi Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Dapat Dikonversi Tidak Produktif .........(Ignatius Adi Nugroho et al.)

Peta tutupan lahanProvinsi Riau

Page 16: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

menggunakan alat GPS untuk menentukan titik tipe tutupan hutan yang sesuai yang kemudian dikonfirmasi perubahannya pada data tabel yang terdapat di peta dasar.

C. Data Sosial dan EkonomiMenurut Efnita (2018), faktor sosial-

ekonomi dapat mempengaruhi kondisi kehidupan seseorang. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor sosial dan ekonomi memberikan dampak bagi kualitas pembangunan sumber daya manusia. Dalam penelitian ini faktor sosial dan ekonomi juga digunakan untuk melihat persepsi dan sikap responden terhadap pelepasan tersebut. Persepsi dan sikap tersebut diukur menggunakan skala Likert. Dalam beberapa penelitian, skala Likert dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti yang berhubungan dengan kelembagaan dan kebijakan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis (Fauziyah & Sanudin, 2017), mengukur sifat-sifat individu seperti pengetahuan atau sikap (Budiaji, 2013), dan pengukuran self regulated learning (Retnawati, 2015). Nurrochmat et al. (2017) juga menggunakan skala Likert yang dikombinasikan dengan pendekatan analisis stakeholder dalam melihat pemanfaatan

tumbuhan obat oleh para pihak di Taman Nasional Meru Betiri, Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Terkait dengan pelepasan kawasan HPK untuk TORA, skala Likert yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas nilai 1-5 di mana angka 4 sengaja tidak dicantumkan dalam kuesioner penelitian. Tujuannya agar responden tidak memilih persepsi dan sikap secara setengah-setengah. Semakin besar skala Likert menunjukkan bahwa persepsi atau sikap responden semakin tinggi atau semakin baik. Sebaliknya, semakin rendah skala Likert maka persepsi atau sikap responden semakin rendah. Setelah seluruh skala Likert diisi oleh responden, kemudian diambil nilai rata-ratanya untuk mengetahui sikap atau persepsi responden terhadap program TORA.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Luas Kawasan TORASetelah dilakukan pengolahan data primer,

baik peta dasar maupun sosial-ekonomi maka diperoleh hasil mengenai luas kawasan TORA yang direkomendasikan di Provinsi Riau. Analisis data tersebut disajikan pada Tabel 1.

6

Tabel 1 Analisis data untuk rekomendasi luasan TORATable 1 Data analysis for area recommendation on agrarian reform

No. Uraian (Description) Metode (Method)

Luas pengurang (Reduction area) (ha)

Luas terkurang kumulatif (Less

cumulative area) (ha)

1. Luas peta indikatif TORA (Large of land reform indicative map)

221.321

2. Koreksi luas peta indikatif TORA (Correction area to land reform indicative map)

World Cylindrical Equal Area

2.037.45 219.283,55

3. Luas fungsi kawasan hutan Riau (Function area of Riau forested land)

219.283,55

4. Perizinan di bidang kehutanan dan kebijakan (konsesi) (Consession on forestry and policy sectors)

Peta konsesi IUPHHK dan IUPHHBK

2.612,77 216.670,78

5. Penggunaan kawasan hutan di Riau (Utilization of forested land in Riau Province)

201,01 216.469,77

6. Pelepasan kawasan hutan (Releasing of forested land)

2,29 216.467,48

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 1-16

Page 17: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

7

Untuk memperoleh luas HPK tidak produktif pada peta tutupan lahan maka kategori rawan bencana yang terdapat pada peta rawan bencana dikeluarkan, yaitu area yang dikategorikan memiliki tingkat kerawanan tinggi sampai dengan sangat tinggi sehingga diperoleh luas 207.616,23 ha yang dapat dikategorikan sebagai area HPK tidak produktif. Berdasarkan peta tutupan lahan yang telah diolah, luas HPK tidak produktif yang direkomendasikan dilepas seluas 205.847,86 ha, yang tetap dipertahankan seluas 663,94 ha, serta yang diinventarisasi dan diverifikasi seluas 1.104,42 ha. Tutupan lahan yang dipertahankan untuk tidak dilepas berupa hutan alam dan sawit, sedangkan yang diinventarisasi dan diverifikasi adalah pemukiman. Selain ketiga jenis tutupan lahan

tersebut, direkomendasikan untuk dilepas. Strategi luas kawasan yang dipertahankan, diinventarisasi, dan diverifikasi atau dilepas di Provinsi Riau disajikan pada Tabel 2.

B. Analisis Sikap dan Persepsi1. Karakteristik Responden

Analisis terhadap data sikap dan persepsi masyarakat terhadap TORA di Provinsi Riau dilakukan dengan cara mewawancarai 163 orang responden dengan rata-rata usia antara 38 sampai dengan 47 tahun. Hasil wawancara (Tabel 3) yang dilakukan pada enam kabupaten/kota yaitu Kabupaten Indragiri Hulu, Pelalawan, Kota Dumai, Rokan Hilir, Rokan Hulu, dan Kampar menunjukkan bahwa mayoritas responden bekerja sebagai petani, khususnya perkebunan sawit.

No. Uraian (Description) Metode (Method)

Luas pengurang (Reduction area) (ha)

Luas terkurang kumulatif (Less

cumulative area) (ha)

7. Perhutanan sosial (Social forestry) 165,19 216.302,298. Kesatuan hidrologis gambut

(Peatland hydrology management)Keputusan Menteri LHK No. SK.130/Februari/2017

992,94 215.309,35

9. Moratorium gambut (Peatland moratorium)

Keputusan Menteri LHK No. PLA.2/5/2018 di dalam Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan, dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lahan

10,74 215.298,61

10. Kebun sawit dan pabrik kelapa sawit (Palm oil plantation and manufactures)

68,40 215.230,21

11. Kekompakan kawasan hutan (Compactness of forest area)

Mengeluarkan sliper atau polygon yang tidak beraturan, kecil, dan tidak dikenal

60,25 215.169,96

12. Rawan bencana (Disaster-prone) 214.082,41Jumlah (Total) 214.082,4113. Tutupan lahan (Land covers) 207.616,23

Tabel 1 LanjutanTable 1 Continued

Strategi Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Dapat Dikonversi Tidak Produktif .........(Ignatius Adi Nugroho et al.)

Page 18: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

8

Mayoritas penduduk yang diwawancarai adalah campuran antara penduduk asli maupun pendatang karena di lokasi tempat pengambilan data juga terdapat transmigrasi mandiri, baik yang berasal dari dalam Provinsi Riau maupun dari luar Provinsi Riau seperti dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Mereka dahulunya bekerja di perusahaan di Provinsi Riau, setelah pensiun memutuskan untuk menetap dan membuka kebun sawit. Secara budaya, masyarakat pendatang dan masyarakat asli yaitu Melayu telah melakukan asimilasi sehingga dalam wawancara juga terungkap bahwa status hukum formal lebih didahulukan dan dihormati dibandingkan hukum adat. Hukum adat (selain hukum agama) hanya digunakan

oleh masyarakat ketika mengadakan upacara pernikahan. Data sosial responden disajikan pada Tabel 3.

2. Persepsi/Sikap Masyarakat terhadap TORA

Persepsi/sikap masyarakat terhadap program TORA yang akan dilaksanakan di Provinsi Riau amat beragam tetapi umumnya menunjukkan respon yang positif karena dianggap menguntungkan masyarakat setempat. Data persepsi/sikap masyarakat terhadap program TORA disajikan pada Tabel 4.

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa masyarakat yang menjadi responden tidak mengetahui batasan antara mana kawasan

Tabel 2 Strategi luas kawasan yang dipertahankan, diinventarisasi, diverifikasi, atau dilepas di Provinsi RiauTable 2 Land area strategy for maintained or inventarisation and verification or releasing in Riau Province

No. Penutupan lahan (Land covers)

Luas (Large)

(ha)

Rekomendasi(Recomendation)

Tetap (Permanent)

Inver (Inventarisation and verification)

Lepas (Release)

1. Belukar (Shrubs) 666,55 666,552. Candi Muara Takus (Muara Takus

Temple) 2,64 2,643. Hutan alam (Natural forest) 52,41 52,414. Hutan tanaman (Plantation forest) 4,18 4,185. Karet tua (Old rubber trees) 41.401,83 41.401,836. Kebun campur (Mix plantation) 35.830,74 35.830,747. Kebun karet (Rubber plantation) 2.444,42 2.444,428. Kelapa dalam (Coconut trees

plantation) 9.271,17 9.271,179. Lahan terbuka (Open area) 732,40 732,4010. Permukiman (Settlement) 1.104,42 1.104,4211. Pertanian lahan kering (Dryland

farming) 973,97 973,9712. Sagu (Sago) 625,20 625,2013. Sawah (Paddy field) 0,46 0,4614. Sawit (Palm trees) 611,53 611,5315. Sawit/kebun (Palm trees/other

plantation) 113.652,87 113.652,8716. Tubuh air (Water body) 250,70 250,7017. Vegetasi rawa (Swamp plants) 96,68 96,68 Jumlah (Total) 207.616,23 663,94 1.104,42 205.847,86

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 1-16

Page 19: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

9

Tabel 3 Data sosial responden yang diwawancaraiTable 3 Social data of respondents who interviewed

No. Nama desa (Village names)

Kab. Indragiri

Hulu (Indragiri

Hulu Regency)

Kab. Pelalawan

(Pelalawan Regency)

Kota Dumai (Dumai

Municipal)

Kab. Rokan Hilir

(Rokan Hilir

Regency)

Kab. Rokan Hulu

(Rokan Hulu

Regency)

Kab. Kampar (Kampar Regency)

1. Jumlah responden (Number of respondents)

24 23 30 30 28 28

2. Rata-rata umur, tahun (Average age, year)

45 43 47 44 42 38

3. Jenis kelamin (Sex) (%):-Laki-laki (Male) 96 87 67 67 74 48- Perempuan (Female) 4 13 33 33 26 52

4. Penduduk (Resident) (%):-Asli (Native in

habitants)29 87 30 50 71 48

-Pendatang (Immigrants) 71 13 70 50 29 525. Pekerjaan utama (Main

occupations) (%):-Petani (Farmers) 100 100 100 100 33 67-Swasta (Privates) 0 0 0 0 67 33

Tabel 4 Persepsi/sikap masyarakat terhadap program TORA di Provinsi Riau Table 4 Community perception/attitude on agrarian reform program in Riau Province

Persepsi/sikap (Perception/

attitude)

Kab. Rokan Hulu (Rokan

Hulu Regency)

Kab. Kampar (Kampar Regency)

Kota Dumai (Dumai

Municipal)

Kab. Rokan Hilir

(Rokan Hilir Regency)

Kab. Indragiri Hulu

(Indragiri Hulu Regency)

Kab. Pelelalawan (Pelalawan Regency)

Persepsi terhadap kawasan hutan dan pemanfaatannya (Perception to forest area and its utilization)

tidak tahu (do not know)

tidak tahu (do not know)

tidak tahu(do not know)

tidak tahu(do not know)

tidak tahu (do not know)

tidak tahu (do not know)

Persepsi terhadap program TORA (Perception to land reform program)

tidak tahu (do not know)

tidak tahu (do not know)

tidak tahu (do not know)

tidak tahu (do not know)

tidak tahu (do not know)

tidak tahu (do not know)

Sikap terhadap program TORA(Attitude to land reform program)

setuju (agree)

setuju (agree)

sangat setuju (very agree)

sangat setuju (very agree)

sangat setuju (very agree)

sangat setuju (very agree)

Strategi Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Dapat Dikonversi Tidak Produktif .........(Ignatius Adi Nugroho et al.)

Page 20: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

hutan yang dikuasai negara dan mana yang bukan hutan negara. Masyarakat di lokasi penelitian melihat hutan sebagai himpunan pepohonan yang berada di suatu tempat saja sehingga mereka tidak mengetahui bahwa lokasi yang mereka tinggali dan kelola merupakan kawasan hutan negara. Pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat digunakan untuk mengelola dan mengubah kawasan hutan negara menjadi bentuk lain yaitu untuk kawasan perkebunan dan pertanian. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya bekas perambahan hutan dengan membakar dan menebang di dalam kawasan hutan negara menjadi kebun-kebun sawit. Tidak ditemukan adanya batas-batas yang jelas antara kawasan hutan negara dan konsepsi hutan yang dimiliki oleh masyarakat.

Tabel 4 juga menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap program TORA bersifat belum memahami sehingga mereka tidak tahu bahwa program TORA digunakan untuk kepentingan mereka. Hal ini karena masyarakat tidak pernah memperoleh sosialisasi program tersebut sehingga pengetahuan mereka terhadap TORA sangat sedikit. Apabila dilanjutkan dengan pertanyaan mengenai sikap mereka terhadap program tersebut, umumnya mereka setuju dengan program tersebut karena merasa diuntungkan. Dengan adanya program tersebut, masyarakat memperoleh kepastian lapangan pekerjaan di bidang perkebunan sawit untuk menghidupi keluarganya. Agar program TORA ini tepat sasaran maka diperlukan sosialisasi kepada masyarakat yang terkena program agar tidak terjadi kecurigaan terhadap kebijakan pemerintah.

C. Implikasi StrategiTerjadinya peningkatan jumlah penduduk

dan menyusutnya lahan-lahan produktif yang digunakan untuk penyediaan pangan di Indonesia menyebabkan kedudukan program TORA sangat penting. Salah satu dampak negatif hilangnya lahan-lahan produktif tersebut adalah terjadinya kekurangan pangan

sehingga kebutuhan negara untuk penyediaan pangan menjadi sangat krusial (FAO, 2020). Apalagi bila ditambah faktor lain seperti bencana alam, penyebaran wabah penyakit, perang, dan lain-lain sehingga berkurangnya lahan-lahan produktif dapat memicu terjadinya krisis ekonomi di dunia (Ozili & Arun, 2020); (Galanakis, 2020). Hal ini sudah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo agar Indonesia mempersiapkan lumbung-lumbung pangan baru untuk menghadapi dampak negatif dari krisis pangan yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Berdasarkan arahan Presiden maka luasan kawasan HPK yang tidak produktif dapat digunakan untuk menjawab kebutuhan tersebut di Provinsi Riau. Tabel 2 menjelaskan bahwa terdapat 666.55 ha semak belukar yang dapat diolah menjadi lumbung pangan baru selain pertanian lahan kering dan sawah yang sudah tersedia dan dilepas oleh Pemerintah Pusat untuk dikelola oleh Pemerintah Provinsi Riau. Lahan tersebut dapat digunakan untuk memperluas pertanian lahan kering palawija maupun sayur-sayuran guna meningkatkan ketersediaan pangan di Provinsi Riau. Meskipun pada Tabel 2 tersedia lahan yang dapat dicadangkan untuk kegiatan keamanan pangan tetapi perlu disadari bahwa lahan-lahan tersebut tidak serta merta clear and clean karena sudah terdapat penguasaan di dalamnya. Oleh sebab itu, Pemerintah Provinsi Riau perlu mempertegas status penguasaan atas lahan HPK yang tidak produktif dalam perencanaan administratif dan rencana penggunaan kawasan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya krisis pangan dan ekonomi.

Berdasarkan data perubahan luas kawasan hutan di Provinsi Riau sampai dengan tahun 2016 (Suprapto, Awang, Maryudi, & Wardhana, 2019), Provinsi tersebut mencadangkan luas hutan yang dapat dikonversi seluas 1.185.433 ha berdasarkan Keputusan Menteri LHK No. 903 Tahun 2016. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

10

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 1-16

Page 21: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

11

Berdasarkan Tabel 2 dan Tabel 5 maka untuk luasan HPK pada tahun 2016 dan rekomendasi pelepasan HPK pada tahun 2018 sebesar 17,36%. Artinya, terjadi penyusutan luas HPK pada tahun 2018 sebesar 17,36% dibandingkan dengan luas HPK pada tahun 2016 sesuai dengan SK Menteri LHK tersebut. Dengan kata lain masih menyisakan luas HPK sebesar 979.585,14 ha (82,63%) di tahun 2018. Apabila mengacu pada UU No. 41 tentang Kehutanan, khususnya yang terkait dengan luas hutan minimal sebesar 30% maka luas hutan yang tersedia di Provinsi Riau masih lebih besar dari 30% (59,76%) apabila dibandingkan dengan luas Provinsi Riau seluas 87.023,66 km2. Luas HPK yang tersisa adalah sebesar 11,25% dibandingkan dengan luas wilayah Provinsi Riau. Artinya bahwa pelepasan kawasan hutan melalui TORA belum melampaui ambang batas yang diatur dalam undang-undang karena masih menyisakan luas hutan di Provinsi Riau sebesar 59,76%.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa telah terjadi penguasaan atas lahan hutan negara yang diklaim oleh masyarakat sebagai hak miliknya untuk membuka

hutan dan dijadikan kebun sawit, karet, atau ladang. Oleh sebab itu, strategi pelepasan kawasan ini perlu dikaji ulang agar luas kawasan hutan riil tidak semakin menyusut untuk kegiatan pembangunan sehingga berdampak menurunkan kualitas lingkungan hidup bagi masyarakat di Provinsi Riau. Perencanaan terhadap penggunaan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi perlu dilakukan secara tepat dan hati-hati agar tidak merugikan Pemerintah Provinsi Riau maupun masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan tersebut. Penataan kawasan untuk memperoleh kepastian pengelolaan terhadap kawasan hutan dan non hutan perlu ditetapkan dan menjadi perhatian para pihak terhadap luas indikatif lahan TORA sebesar 205.847,86 ha.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanBerdasarkan hasil analisis menggunakan

peta kawasan yang digunakan untuk kegiatan TORA di Provinsi Riau diperoleh luas indikatif kawasan HPK tidak produktif yang dapat dilepaskan sebesar 205.847,86 ha (93,01%).

Tabel 5 Perubahan luas kawasan hutan Provinsi Riau dari tahun 2011-2016 (ha)Table 5 Forest land area changed in Riau Province from 2011 to 2016 (ha)

Uraian (Description)

SK Menhut (Minister

of Forestry decree) No. 7651/2011

SK Menhut (Minister

of Forestry decree) No. 673/2014

SK Menhut (Minister

of Forestry decree) No. 878/2014

SK MenLHK (Minister of Environment and Forestry decree) No. 314/2016

SK MenLHK (Minister of Environment and Forestry decree) No. 903/2016

KSA/KPA (Conservation areas)

617.209 633.766 633.420 633.420 630.753

HL (Protection forest areas) 213.113 234.388 234.015 234.015 233.910HPT (Limited production forest areas)

1.893.714 1.034.265 1.031.600 1.026.443 1.017.318

HP (Production forest areas)

1.541.388 2.314.151 2.331.891 2.327.882 2.339.578

HPK (Convertion forest areas)

2.856.020 1.286.896 1.268.767 1.212.809 1.185.433

Jumlah (Total) 7.121.344 5.503.368 5.499.693 5.434.568 5.406.992

Sumber (Source): Suprapto et al. (2019).

Strategi Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Dapat Dikonversi Tidak Produktif .........(Ignatius Adi Nugroho et al.)

Page 22: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

Luas kawasan hutan yang tetap dipertahankan sebesar 663,94 ha dan luas kawasan hutan yang diinventarisasi dan diverifikasi seluas 1.104,52 ha. Luasan HPK tidak produktif yang dilepas sebesar 17,36% dibandingkan luas HPK tahun 2016 dan masih menyisakan luas hutan dibandingkan dengan luas Provinsi Riau sekitar 59,76% sehingga tidak melanggar ketentuan yang tercantum dalam perundang-undangan. Terkait dengan program TORA, diperlukan sosialisasi yang lebih sering agar masyarakat yang terkena program TORA memiliki persepsi yang mantap dan tidak timbul kecurigaan di lapangan.

B. SaranStrategi pelepasan HPK memberikan

kesempatan kepada Pemerintah Provinsi Riau untuk mencadangkan luas kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan di masa depan, termasuk TORA. Perencanaan terhadap luas kawasan tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan tepat sasaran agar program TORA dapat digunakan secara efektif dan efisien sehingga tidak merugikan kepentingan Pemerintah Provinsi Riau dan masyarakat yang terkena dampak pelepasan HPK tidak produktif. Kehati-hatian dalam perencanaan program TORA diperlukan supaya kawasan HPK tidak produktif tidak dijadikan alasan pelepasan kawasan hutan menjadi bentuk lain karena luas kawasan hutannya terus menyusut.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) yang telah menugaskan tim untuk melakukan kajian atas lokasi TORA terhadap hutan produksi konversi yang tidak produktif di Provinsi Riau. Semoga hasil kajian ini bermanfaat dan dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan di masa depan. Tim kajian dipimpin oleh Prof. Dr. Sambas Basuni dari IPB dengan anggota

tim dari lintas institusi, yakni KLHK, LIPI, dan Bappeda Provinsi Riau.

DAFTAR PUSTAKA

Budiaji, W. (2013). Skala pengukuran dan jumlah respon skala Likert. Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan, 2(2), 127 – 133. Retrieved from http://umbidharma.org/jipp.

Efnita, T. (2018). Pengaruh faktor sosial-ekonomi dan kebutuhan hidup terhadap prestasi belajar mahasiswa Mentawai di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Benefita, 3(1), 13 – 33. http://doi.org/10.22216/jbe.v2i3.1849.

Emelyana, R., Sasmito, B., & Prasetyo, Y. (2017). Pemanfaatn penginderaan jauh dan SIG untuk pemetaan kawasan potensi sumber PLTS di Pulau Jawa. Jurnal Geodesi Undip, 6(2), 11 – 20.

Eyes on the Forest. (2018). Kebun sawit beroperasi dalam kawasan hutan di Provinsi Riau tanpa izin maupun pelanggaran lainnya. Pekanbaru: Eyes on the Forest.

FAO. (2020). COVID-19 global economic recession: Avoiding hungermust be at the centre of the economic stimulus. Roma: FAO.

Fauziyah, E. & Sanudin, S. (2017). Efektifitas kelembagaan dan kebijakan hutan rakyat di Kabupaten Banjarnegara dan Banyumas. Jurnal Wasian, 4(2), 79 – 88.

Galanakis, C. (2020). The food system in the era of the coronavirus (COVID-19) pandemic crisis. Foods, 9(4), 523. http://doi.org/http://doi.org/10.3390/foods9040523.

Goodchild, M. F., Yan, M. & Covas, T. J. (2007). Toward a general theory of geographic representation in GIS. International Journal of Geographical Information Science, 21(3), 239 – 260. http://doi.org/10.1080/13658810600965271.

Handoyo. (2015). Resolusi konflik TN Tesso Nilo: tinjauan relasi pemangku kepentingan dengan Power Stakeholder Analysis. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 12(2), 89 – 103. http://doi.org/10.20886/jakk.2015.12..89-104.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2020). Siaran pers hutan dan deforestasi Indonesia tahun 2019 (Nomor: SP.162/Humas/PP/HMS.3/4/2020). Jakarta: Pusat Hubungan Masyarakat, Sekretariat Jenderal KLHK.

Nanggara, S. G, Barri, M. F., Losalina, L., Apriani, I., Oktaviani, A. R., Pay, P., & Rahmawati, I. (2018). Silang sengkarut pengelolaan hutan di Indonesia. Bogor: Forest Watch Indonesia.

12

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 1-16

Page 23: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

13

Nurrochmat, D. R., Nugroho, I. A., Hardjanto, Purwadianto, A., Maryudi, A., & Erbaugh, J. T. (2017). Shifting contestation into cooperation: strategy to incorporate different interest of actors in medicinal plants in Meru Betiri National Park, Indonesia. Forest Policy and Economics, 83, 162 –168.

Ozili, P. & Arun, T. (2020). Spillover of COVID-19: impact on the global economy. SSRN Electronic Journal. http://doi.org/10.2139/ssrn.3562570.

Qtaishat, K., Shatnawi, N., & Habib, M. (2017). Forest fire risk zonation using remote sensing and GIS technology: case study in Jordan. International Journal for Environment & Global Climate Change, 5(2), 1 – 8.

Retnawati, H. (2015). Perbandingan akurasi penggunaan skala Likert dan pilihan ganda untuk mengukur self-regulated learning. Jurnal Kependidikan, 45(2), 156 – 167.

Septian, A., Elvarani, A. Y., Putri, A. S., Maulia, I., Damayanti, L., Pahlevi, M. Z., & Aswad, F. (2020). Identifikasi zona potensi banjir berbasis sistem informasi geografis menggunakan metode overlay dengan scoring di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Jurnal Geosains dan Remote Sensing, 1(1), 11 – 22.

Soeharto, T. N. E. D. (2010). Konflik pekerjaan-keluarga dengan kepuasan kerja. Jurnal Psikologi, 37(2), 189 – 194.

Sumargo, W., Nanggara, S. G., Nainggolan, F. A., & Apriani, I. (2011). Potret keadaan hutan Indonesia periode tahun 2000-2009. Bogor: Forest Watch Indonesia.

Suprapto, Awang, S. A., Maryudi, A., & Wardhana, W. (2019). Implikasi perijinan sektor berbasis lahan terhadap kondisi kawasan hutan di Provinsi Riau. EnviroScienteae, 15(1), 95 – 106.

Wibowo, L. R., Hakim, I., Komarudin, H., Kurniasari, D. R., Wicaksono, D., & Okarda, B. (2019). Penyelesaian tenurial perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan untuk kepastian investasi dan keadilan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim.

Yadav, A. K., Kanga, S., & Kumar, R. (2017). Web enabled GIS based tourism information system for Shimla Municipality (H.P), India. I-Manager’s Journal on Information Technology, 7(1), 18 – 23.

Yadav, P. K., Kapoor, M., & Sarma, K. (2012). Land use land cover mapping, change detection and conflict analysis of Nagzira-Navegaon Corridor, Central India using geospatial technology. International Journal of Remote Sensing and GIS, 1(2), 90 – 98

Strategi Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Dapat Dikonversi Tidak Produktif .........(Ignatius Adi Nugroho et al.)

Page 24: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

14

Lampiran 1 Data hasil olahan peta untuk TORA di Provinsi Riau Appendix 1 Map processed data for TORA in Riau Province

No. Uraian (Description) Metode (Method)

Luas pengurang (Reduction area (ha)

Luas terkurang kumulatif

(Less cumulative area (ha)

1. Luas peta indikatif TORA (Large of land reform indicative map)

221.321

2. Koreksi luas peta indikatif TORA (Correction area to land reform indicative map)

World Cylindrical Equal Area

2.037,45 219.283,55

3. Luas fungsi kawasan hutan Riau (Function area of Riau forested land)

219.283,55

a. Kawasan hutan (Forest area) Peta Kawasan Hutan skala 1:250.000

1)Hutan konservasi (Conservation forest) 29,562)Hutan produksi (Production forest) 0,393)Hutan produksi konversi (Conversion

forest)218.260,90

b. Bukan kawasan hutan (Non forest area) Peta Pengukuhan Kawasan Hutan Riau skala 1:250.000

1)APL (Other areas of use) 991,862)Sungai (Rivers) 0,84

4. Perizinan di bidang kehutanan dan kebijakan (konsesi) (Consession on forestry and policy sectors)

Peta Konsesi IUPHHK dan IUPHHBK

2.612,77 216.670,78

a. IUPHHK-HT 1) PT Arara Abadi 72,792) PT Bukit Batubuh Sei Indah 80,343) PT Perawang Sukses Perkasa Industri 2,364) PT Riau Andalan Pulp and Paper 9,115) PT Rimba Lazuardi 30,626) PT Rimba Peranap Indah 0,017) PT Ruas Utama Jaya 3,728) PT Selaras Abadi Utama 4,699) PT Sumatera Riang Lestari 0,0110)PT Sumber Maswana Lestari 1.268,67

b. IUPHHK-HAPT Diamond Raya Timber 4,65

c. IUPHHBKPT National Sago Prima 1.134,0

5. Penggunaan kawasan hutan di Riau (Utilization of forested land in Riau Province)

201,01 216.469,77

a. Dinas PU & Bina Marga 40,73b. EMP Malacca Strait S.A. (Hudbay Oil

Ltd)0,00

c. PT Bara Prima Pratama 0,34d. PT Riau Baraharum 0,02e. Tentara Nasional Indonesia (dispensasi) 159,926. Pelepasan Kawasan Hutan (Releasing of

forested land)2,29 216.467,48

a. PT Citra Sardela Abadi 0,01

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 1-16

Page 25: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

15

No. Uraian (Description) Metode (Method)

Luas pengurang (Reduction area (ha)

Luas terkurang kumulatif

(Less cumulative area (ha)

b. PT Ekadaya Sekati Sukses 0,40c. PT Krisna Kereta Kencana 0,08d. PT Mekar Jaya Lestari 2,29e. PT Sawit Inti Raya 0,207. Perhutanan Sosial (Social Forestry) 165,19 216.302,29a. KTH Desa Situgal 11,66b. KTH Lubuk Kebun 4,82c. KTH Sei Petapusan 148,718. Kesatuan hidrologis gambut (Peatland

hydrology management)Keputusan Menteri LHK No. SK.130/Februari/2017

992,94 215.309,35

9. Moratorium gambut (Peatland moratorium)

Keputusan Menteri LHK No. PLA.2/5/2018 di dalam Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lahan

10,74 215.298,61

10. Kebun sawit dan pabrik kelapa sawit (Palmoil plantation and manufactures)

68,40 215.230,21

a. PT Cipta Agro Sejati 2,74b. PT Dwi Mitra Daya Riau 13,31c. PT PN Sei Berlian 24,07d. PT Sawit Jaya Mandiri Lestari 0,26e. PT Sawit Ledong Jaya-PT Anug Agro

Sawit P7,69

f. PT Sugih Riesta Jaya 6,86g. PT Tasma Puja 13,4811. Kekompakan kawasan hutan

(Compactness of forest area)Mengeluarkan sliper atau polygon yang tidak beraturan, kecil, dan tidak dikenal

60,25 215.169,96

12. Rawan bencana (Disaster-prone) 214.082,41a Rawan banjir (Prone to flooding)

1)Tidak rawan (Non) 16,082)Sangat rendah (Lowest) 451,543)Rendah (Low) 935,754)Sedang (Middle) 205.023,765)Tinggi (High) 7.655,286)Sangat tinggi (Highest) 0,00

Jumlah (Total) 214.082,41b. Rawan longsor (Landslide prone)

1)Tidak rawan (Non) 16,082)Rendah (Low) 1.375,893)Sedang (Middle) 33.311,334)Tinggi (High) 179.259,265)Sangat tinggi (Highest) 119,85

Strategi Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Dapat Dikonversi Tidak Produktif .........(Ignatius Adi Nugroho et al.)

Page 26: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

16

No. Uraian (Description) Metode (Method)

Luas pengurang (Reduction area (ha)

Luas terkurang kumulatif

(Less cumulative area (ha)

Jumlah (Total) 214.082,41c. Rawan kebakaran (Prone to fire)

1)Tidak rawan (Non) 16,082)Sangat rendah (Lowest) 5.796,473)Rendah (Low) 199.204,504)Sedang (Middle) 7.913,125)Tinggi (High) 156,596)Sangat tinggi (Highest) 995,64

Jumlah (Total) 214.082,4113. Tutupan lahan (Land covers) 207.616,23a. Belukar (Bush) 666.55b. Candi Muara Takus (Muara Takus

Temple)2,64

c. Hutan alam (Natural forest) 52,41d. Hutan tanaman (Plantation forest) 4,18e. Karet tua (Old rubber trees) 41.401,3f. Kebun campur (Mix plantation) 35.830,74g. Kebun karet (Rubber plantation) 2.444,42h. Kelapa dalam (Coconut trees plantation) 9.271,17i. Lahan terbuka (Open areas) 732,40j. Pemukiman (Settlement) 1.104,80k. Pertanian lahan kering (Dryland farming) 973,97l. Sagu (Sago) 625,20m. Sawah (Paddy field) 0,46n. Sawit (Plam trees) 505,22o. Sawit/kebun (Palm trees/other

plantation)113.652,87

p. Tubuh air (Water body) 250,70q. Vegetasi rawa (Swamp plants) 96,68

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 1-16

Page 27: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

KARAKTERISTIK KEBAKARAN PERMUKAAN GAMBUT BERBASIS LUASAN DESA MENURUT TIPE PENUTUPAN LAHAN

DI KALIMANTAN (Characteristics of Peatland Fires Based on Village Area and Land Cover in Kalimantan)

Irfan Malik Setiabudi1 & Wahyu Kusumaningrum2

1Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim, Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, Indonesia; email: [email protected]

2Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, Indonesia; email: [email protected]

Diterima 29 Juli 2020, direvisi 5 Januari 2021, disetujui 6 Januari 2021

ABSTRACT

Forest and land fires occur almost every year in Indonesia. They dominantly befall in Sumatra and Kalimantan. Most of the fire incidents in Indonesia are caused by anthropogenic factors. Moreover, practices of land management are indicated to have a strong relationship to the fires. Village-based fire control becomes one of approaches applied by the government. This study is conducted to reveal relational characteristics between village-based land management practices and fire events, principally in peatland areas, with a focused area in Kalimantan. Practices of land management will be analised by the characteristics of existing official land use, while fire events will be identified by the existence and intensity of hotspots. The method applied in this research is spatio-temporal analysis based on fire density analysis. Fire incidents occur from July to November, with the peak point occurrence is in September. Area in unmanaged land has increased the potency of fire events than in forest type and in other managed land cover types. Fires located in peatland also generate potential of fires significantly than in mineral land. Further, land cover and land type aspects together with village fire density can be employed as the priority in implementing policy on village-based fire control.

Keywords: Fires density; village; peat; land cover; unmanaged land.

ABSTRAK

Kebakaran hutan dan lahan hampir setiap tahun melanda wilayah Indonesia, terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Sebagian besar kejadian kebakaran di Indonesia disebabkan faktor manusia (anthropogenic). Selain itu, praktik pengelolaan lahan juga diyakini mempunyai hubungan yang cukup erat dengan kejadian kebakaran. Salah satu pendekatan yang didorong pemerintah dalam upaya menekan terjadinya kebakaran adalah pengendalian kebakaran hutan berbasis tapak/desa. Studi ini dimaksudkan untuk mengungkap karakteristik hubungan praktik pengelolaan lahan berdasarkan satuan luasan desa dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan, terutama di lahan gambut, dengan fokus lokasi studi di Pulau Kalimantan. Praktik pengelolaan lahan akan didekati dengan karakteristik tipe penutupan lahan yang ada, sementara kejadian kebakaran diidentifikasi melalui keberadaan dan intensitas titik api (hotspot). Metode yang digunakan berupa spatio-temporal analysis berdasarkan pada analisis kerapatan kebakaran (fire density analysis). Kebakaran terjadi pada bulan Juli-November, dengan puncak kebakaran pada bulan September. Lahan yang tidak dikelola/terlantar meningkatkan potensi terjadinya kebakaran jika dibandingkan dengan tipe penutupan lahan yang dikelola secara intensif maupun penutupan hutan. Kejadian kebakaran di lahan gambut juga semakin meningkatkan potensi kebakaran secara signifikan dibandingkan kebakaran di tanah mineral. Lebih jauh, aspek penutupan lahan dan tipe lahan serta tingkat kerapatan kebakaran pada suatu desa dapat digunakan dalam prioritasisasi implementasi kebijakan pengendalian kebakaran berbasis desa.

Kata kunci: Kerapatan kebakaran; desa; gambut; penutupan lahan; lahan terlantar.

©2021 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2021.18.1.17-29

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 17-29p-ISSN 0216-0897 e-ISSN 2502-6267Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

17

Page 28: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

18

I. PENDAHULUANKebakaran hutan dan lahan merupakan

suatu bencana nasional yang terjadi hampir setiap tahun di Indonesia (Budiningsih, 2017; Thoha, Saharjo, Boer, & Ardiansyah, 2019). Tercatat kejadian kebakaran sudah mulai terjadi sejak tahun 1980-an dan semakin sering intensitas kebakarannya, setidaknya dalam dua dekade terakhir (Sloan, Locatelli, Wooster, & Gaveau, 2017).

Dampak negatif kebakaran telah banyak dirasakan oleh berbagai pihak, termasuk negara tetangga semisal Singapura dan Malaysia. Kebakaran mengakibatkan kerugian besar hampir di seluruh aspek kehidupan, baik ekonomi (Khalwani & Syaufina, 2015; Tacconi, 2016; Nugraha, Fauzi, & Ekayani, 2019), sosial (Pasai, 2020), kesehatan (Tacconi, 2016; Wulan & Subagio, 2016; Pasai, 2020), maupun lingkungan (Khalwani & Syaufina, 2015; Tacconi, 2016; Ratnaningsih & Prastyaningsih, 2017).

Dampak kebakaran yang dibarengi dengan bencana asap (Yuliarti & Irdayanti, 2016) juga telah masuk ke aspek politik (Ardhian, Adiwibowo, & Wahyuni, 2016), di antaranya terkait hubungan internasional dengan negara tetangga, utamanya Singapura dan Malaysia (Syaufina, 2017; Pasai, 2020). Asap ini biasanya merupakan jenis kebakaran yang terjadi di lahan gambut (Syaufina, 2017).

Faktor penyebab terjadinya kebakaran relatif cukup beragam, salah satu di antaranya merupakan faktor manusia (antrophogenic) (Oliveira, Pereira, San-Miguel-Ayanz, & Lourenço, 2014; Cattau et al., 2016; Thoha et al., 2019; Edwards, Naylor, Higgins, & Falcon, 2020). Faktor pengaruh manusia seringkali dikaitkan dengan praktik pengelolaan lahan (Oliveira et al., 2014; Miettinen, Shi, & Liew, 2017) seperti penyiapan lahan dengan cara dibakar (Syaufina, 2017). Di sisi lain, terdapat pemikiran bahwa lahan yang dikelola dan mempunyai potensi keuntungan finansial dianggap lebih kecil risiko terjadinya kebakaran (Oliveira et al., 2014; Thoha, Saharjo, Boer, & Ardiansyah,

2014). Hal ini dikarenakan aset tersebut akan dijaga dan dikelola secara sungguh-sungguh untuk menghindari kerusakan/kerugian, salah satunya dari ancaman kebakaran.

Berkaitan dengan itu, studi ini dimaksudkan untuk mengungkap hubungan antara praktik pengelolaan lahan dengan kejadian kebakaran. Praktik pengelolaan lahan akan didekati dengan tipe penutupan lahan, sementara kejadian kebakaran diidentifikasi melalui keberadaan dan intensitas titik api (hotspot) (Thoha et al., 2014; Oliveira et al., 2014, Miettinen et al., 2017; Syaufina & Sitanggang, 2018; Pasai, 2020). Selain itu, studi ini juga mencoba untuk memperlihatkan variasi karakteristik kebakaran yang terjadi di lahan gambut ataupun mineral, termasuk tingkat potensi ancaman kebakaran di kedua tipe lahan tersebut.

Tidak jarang penyampaian informasi kejadian kebakaran dinyatakan dalam bentuk besarnya kebakaran atau jumlah hotspot dalam suatu wilayah, misalnya luas kebakaran di Pulau Kalimantan (Kumalawati & Nasruddin, 2019) atau jumlah hotspot di Riau (Afriyani & Purwaningsih, 2019). Hal tersebut, dalam konteks tertentu, seringkali tidak menunjukkan tingkat kerentanan/ancaman dari kejadian kebakaran dalam perspektif yang (relatif) setara karena tergantung pada luasan area yang berbeda. Untuk menunjukkan gambaran tingkat kejadian kebakaran atau jumlah hospot yang (relatif) setara antar-lokasi, dalam studi ini akan menggunakan nilai kerapatan kebakaran (fire density) yang relatif terhadap suatu luasan tertentu. Semakin tinggi tingkat kerapatan hotspot mengindikasikan potensi ancaman terjadinya kebakaran semakin besar (Oliveira et al., 2014; Thoha et al., 2014; Miettinen et al., 2017).

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu PenelitianStudi dilakukan mencakup Pulau

Kalimantan di mana seluruh provinsi di Kalimantan termasuk ke dalam kategori

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 17-29

Page 29: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

rawan kebakaran hutan dan lahan. Hampir setiap tahun terjadi kebakaran di Kalimantan. Selain itu, faktor lahan gambut yang ada di Pulau Kalimantan juga menjadi salah satu pertimbangan pemilihan lokasi studi.

Penelitian ini mengambil titik waktu pengamatan tahun 2019 di mana pada tahun tersebut terjadi kebakaran hutan dan lahan dengan skala yang cukup besar. Pengumpulan dan analisis data dilakukan pada bulan Maret sampai Juli 2020.

B. Metode Pengolahan dan Analisis DataData yang digunakan dalam penelitian ini

terutama berupa data spasial, meliputi titik panas (hotspot), penutupan lahan, dan sebaran gambut. Data penutupan lahan bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sementara sebaran gambut mengacu peta Balai Besar Sumber Daya Lahan dan Pertanian (BBSDLP) Kementerian Pertanian. Data hotspot berdasarkan pada satelit MODIS dari https://firms.modaps.eosdis.nasa.gov/.

Untuk melihat intensitas dan sebaran kejadian kebakaran, dilakukan dengan pendekatan data titik panas (hotspot) (Oliveira et al., 2014; Miettinen et al., 2017; Syaufina & Sitanggang, 2018). Data hotspot yang digunakan merupakan hotspot dengan tingkat kepercayaan ≥30% (Thoha et al., 2014; Indradjad, Purwanto, & Sunarmodo, 2019). Data hotspot ≥30% termasuk dalam kelas nominal sampai tinggi di mana menunjukkan tingkat prediksi kejadian kebakaran yang cukup tinggi di lapangan dan memerlukan tindakan yang menuntut kewaspadaan (Giglio, Schroeder, & Justice, 2016; Lapan, 2016). Klasifikasi hotspot disajikan pada Tabel 1.

Data penutupan lahan menggunakan data tahun 2018 yang bersumber dari KLHK. Penggunaan data tersebut dengan pertimbangan untuk mengetahui kondisi penutupan lahan di wilayah Kalimantan sebelum terjadinya kebakaran tahun 2019. Data penutupan lahan KLHK terdiri dari 23 kelas penutupan lahan (Peraturan

Dirjen Planologi Kehutanan, 2015). Untuk keperluan analisis studi ini maka terhadap data 23 kelas penutupan lahan, dilakukan penyesuaian pengkelasan lebih lanjut. Hal ini dilakukan untuk menggeneralisasi tipikal penutupan lahan yang sesuai dengan tujuan studi ini (Miettinen et al., 2017). Penyesuaian klasifikasi penutupan lahan dikategorikan menjadi lima kelas yaitu hutan, hutan tanaman, lahan dikelola, lahan tidak dikelola, dan penutupan lainnya. Klasifikasi ini juga digunakan untuk membedakan tipe penutupan lahan berdasarkan jenis lahannya yaitu lahan mineral dan gambut.

Secara keseluruhan, metode analisis yang digunakan yaitu spatio-temporal analysis, untuk menunjukkan sebaran karakteristik kebakaran yang terjadi, baik secara spasial (ruang) maupun temporal (waktu) (Thoha et al., 2014; Miettinen et al., 2017; Syaufina & Sitanggang, 2018; Thoha et al., 2019). Untuk menunjukkan tingkat kebakaran yang terjadi, dilakukan dengan analisis kerapatan (density analysis) kejadian kebakaran (Miettinen et al., 2017; Thoha et al., 2019). Kerapatan kebakaran mencerminkan eskalasi kebakaran secara relatif pada suatu area atau luasan tertentu. Hal ini dimaksudkan, kerapatan kebakaran yang terjadi pada suatu tipe lahan dan/atau penutupan lahan akan menunjukkan tingkat relativitas yang setara karena dilakukan berdasarkan luas area yang sama (Miettinen et al., 2017). Studi ini menggunakan luas cakupan area yang digunakan untuk analisis kerapatan relatif setara dengan luas rerata desa di Pulau Kalimantan yaitu ±7.500 ha.

19

Karakteristik Kebakaran Permukaan Gambut Berbasis Luasan Desa ..............(Irfan Malik Setiabudi & Wahyu Kusumaningrum)

Tabel 1 Klasifikasi informasi hotspotTable 1 Classification of hotspot

Tingkat kepercayaan(Confidence interval)

(C)

Kelas (Class)

Tindakan(Response)

0%≤C<30% Rendah Perlu diperhatikan

30%≤C<80% Nominal Waspada80%≤C<100% Tinggi Segera

penanggulanganSumber (Source): Lapan (2016).

Page 30: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

20

Selanjutnya dilakukan analisis spasial (spatial analysis) dengan cara menumpang-susunkan (overlay) antara peta kerapatan relatif hotspot/kebakaran dengan peta (penyesuaian kelas) penutupan lahan dan peta sebaran gambut (Miettinen et al., 2017; Thoha et al., 2019). Hal ini dilakukan untuk memperlihatkan hubungan antar-aspek dan karakteristik kejadian kebakaran di lokasi studi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Umum Spasial dan Temporal Kebakaran dan Kerapatannya Berdasarkan hasil pengolahan data

diperoleh sebaran dan kerapatan kebakaran tahun 2019 di Kalimantan (Lampiran 1). Secara keseluruhan, intensitas kejadian kebakaran (hotspot) di seluruh Kalimantan pada tahun 2019 terjadi di 36.383 titik. Titik kejadian kebakaran tidak hanya mencerminkan kejadian kebakaran yang terpisah satu sama lain namun juga menggambarkan kejadian kebakaran yang masih berlangsung dan/atau belum dapat dipadamkan (Miettinen et al., 2017). Secara total, Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat merupakan dua provinsi yang tercatat mengalami kebakaran tertinggi di Kalimantan, berturut-turut sebesar 17.730 dan 10.524 hotspot. Kedua provinsi ini mengambil proporsi hampir 80% kejadian kebakaran di seluruh Kalimantan. Adapun pola distribusi temporal kejadian kebakaran sebagaimana tersaji pada Gambar 1.

Besaran kejadian kebakaran (hotspot) tersebut ternyata tidak menunjukkan tren yang serupa ketika melihat kerapatan kebakaran pada luasan relatif setingkat wilayah desa. Provinsi Kalimantan Tengah masih menjadi yang paling tinggi angka kebakarannya yaitu sebesar 9 HS/desa dengan jumlah keseluruhan desa sebanyak 1.571 desa. Provinsi Kalimantan Selatan menjadi provinsi dengan kerapatan kebakaran tertinggi kedua yaitu sebesar 7 HS/desa dengan 1.869 desa,

meskipun secara keseluruhan kejadian historis kebakaran (hotspot) Kalimantan Barat menjadi provinsi tertinggi kedua. Tingginya angka kerapatan kebakaran di Kalimantan Selatan jika dibandingkan dengan Kalimantan Barat karena luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan ’hanya’ sekitar ¼ wilayah Kalimantan Barat, sedangkan intensitas kebakaran yang terjadi juga cukup tinggi. Secara keseluruhan Kalimantan, tingkat kerapatan kebakaran yang terjadi pada suatu desa sebesar 5 HS.

Dari sisi temporal kejadian kebakaran (Lampiran 1), seluruh provinsi di Kalimantan memperlihatkan pola yang serupa di mana kebakaran terjadi di antara bulan Juli sampai November dengan puncak kejadian kebakaran pada bulan September. Namun demikian, magnitudo puncak kebakaran Provinsi Kalimantan Tengah memperlihatkan perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan empat provinsi lainnya, bahkan hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan kebakaran di Kalimantan Barat yang merupakan provinsi dengan kejadian kebakaran tertinggi kedua. Studi Miettinen et al. (2017) juga menyatakan bahwa distribusi temporal kebakaran di semenanjung Malaysia, Sumatera, dan Kalimantan terjadi pada bulan Juli sampai November dengan puncak kebakaran pada bulan September dan Oktober.

B. Karakteristik dan Kerapatan Kebakaran Berdasarkan Tipe LahanSebaran dan intensitas kebakaran tahun

2019 yang terjadi di Kalimantan tersaji dalam Tabel 2. Informasi sebaran kebakaran ini untuk melihat karakteristik kejadian kebakaran menurut tipe lahannya, berupa kejadian kebakaran di lahan mineral dan gambut. Secara total, luas lahan gambut di Kalimantan ’hanya’ sekitar 9% dari luas wilayah Kalimantan dengan luasan mendekati 5 juta ha. Sekitar 90% lahan gambut tersebut berada di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Lahan gambut di Kalimantan Tengah mengambil proporsi lebih dari setengah

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 17-29

Page 31: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

luas lahan gambut keseluruhan di Pulau Kalimantan (lebih kurang seluas 2,8 juta ha atau 57%).

Berdasarkan analisa data hotspot, kejadian kebakaran permukaan di lahan gambut sebesar 45% (16.335 HS) dari total kejadian kebakaran di seluruh Kalimantan. Proporsi kebakaran permukaan di lahan gambut yang hampir mencapai separuh kejadian kebakaran menunjukkan fakta yang harus menjadi perhatian serius jika melihat bahwa proporsi luas gambut tidak lebih dari sepersepuluh luas

keseluruhan Kalimantan. Kejadian kebakaran di lahan gambut menunjukkan tingkat ancaman yang jauh lebih tinggi dibandingkan di lahan mineral, dengan tingkat perbedaan mencapai 4-10 kali lipat (Miettinen et al., 2017).

Lebih spesifik lagi, dari catatan kejadian kebakaran permukaan di lahan gambut tersebut, lebih dari 95% terjadi hanya di dua provinsi yaitu Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, masing-masing mencapai 11.758 HS (72%) dan 4.044 HS (25%).

21

Gambar 1 Sebaran temporal hotspot Figure 1 Temporal distribution of hotspot.

Karakteristik Kebakaran Permukaan Gambut Berbasis Luasan Desa ..............(Irfan Malik Setiabudi & Wahyu Kusumaningrum)

Tabel 2 Sebaran dan kerapatan kebakaran menurut tipe lahanTable 2 Distribution and density of fire based on land type

No. Provinsi(Province)

Luas (Area)(ha)

Hotspot(HS)

Kerapatan kebakaran(Fire density)

Mineral (Mineral)

Gambut (Peat)

Mineral (Mineral)

Gambut (Peat)

Mineral (Mineral)

Gambut (Peat)

1. Kalimantan Barat 13.029.888,5 1.679.040,1 6.480 4.044 4 182. Kalimantan Selatan 3.623.933,6 106.169,2 3.121 402 6 283. Kalimantan Tengah 12.552.588,9 2.806.146,1 5.972 11.758 4 314. Kalimantan Timur 12.715.875,7 166.616,7 3.854 105 2 55. Kalimantan Utara 6.754.618,8 171.837,6 621 26 1 1

Jumlah (Total) 48.676.905,5 4.929.809,7 20.048 16.335 3 25

Sumber (Source): Pengolahan data (data processing).

Page 32: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

22

Studi Syaufina & Sitanggang (2018) juga menunjukkan bahwa Kalimantan Tengah menjadi provinsi dengan kejadian kebakaran paling tinggi di seluruh Kalimantan, terutama terjadi di Kabupaten Pulang Pisau.

Titik kebakaran yang terjadi di lahan mineral juga tidak dapat begitu saja diabaikan, tercatat lebih dari 20 ribu HS (55%). Kebakaran terjadi di hampir di seluruh provinsi di Kalimantan dengan kisaran yang relatif setara sekitar 3 ribu hingga 6 ribu HS atau sekitar 15-30%. Pengecualian hanya di Kalimantan Utara di mana kebakaran lahan mineral yang terjadi mencapai 621 HS (tidak sampai 5%).

Dibandingkan dengan intensitas kejadian kebakaran secara keseluruhan, dari sisi kerapatan kebakaran untuk setiap luasan desa ternyata menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Dalam konteks ini, untuk kejadian kebakaran permukaan di lahan gambut, kerapatan kebakaran relatif di Kalimantan Tengah masih yang tertinggi yaitu sebesar 31 HS/desa, diikuti dengan Kalimantan Selatan dalam kisaran yang tidak terlalu jauh yaitu sebesar 28 HS/desa. Fakta ini cukup menarik. Meskipun frekuensi kejadian kebakaran permukaan lahan gambut di Kalimantan Selatan ’hanya’ sekitar sepersepuluh dibandingkan Kalimantan Barat namun kerapatan kebakaran relatif menurut luasan desa di Kalimantan Selatan (28 HS/desa) jauh lebih besar dibandingkan dengan Kalimantan Barat (18 HS/desa). Hal ini dikarenakan meskipun luas lahan gambut di Kalimantan Selatan lebih kecil jika dibandingkan dengan Kalimantan Barat (hanya sekitar 6%-nya) namun terjadi cukup intensif sehingga secara luasan relatif kerapatan kejadian kebakarannya memberikan nilai yang relatif lebih besar. Secara keseluruhan, kerapatan kebakaran permukaan di lahan gambut untuk seluruh Kalimantan sebesar 25 HS/desa.

Kerapatan kejadian kebakaran lahan mineral di tiga provinsi yaitu Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat menunjukkan tingkat kerapatan yang

relatif setara yaitu sekitar 4-6 HS/desa. Kalimantan Tengah tetap menjadi provinsi dengan tingkat kerapatan kejadian kebakaran di lahan mineral yang tertinggi dibandingkan provinsi lainnya.

C. Karakteristik dan Kerapatan Kebakaran Menurut Tipe Penutupan LahanData penutupan lahan terbagi dalam 23

kelas. Untuk tujuan analisis studi, dilakukan penyesuaian atau generalisasi klasifikasi penutupan lahan menjadi lima kelas yaitu Hutan, Hutan Tanaman, Lahan yang Dikelola, Lahan yang Tidak Dikelola, dan Penutupan Lahan Lainnya. Pengelompokan ini tidak mendasarkan pada fungsi kawasan hutan/lahan namun lebih pada kenampakan penutupan lahan dan indikasi tingkat/intensitas pengelolaan lahan yang dilakukan (Tabel 3). Adapun pola distribusi spasial hotspot, baik berdasarkan tipe lahan maupun tipe penutupan lahan disajikan pada Gambar 2.

Dari hasil pengolahan data, tipe penutupan lahan di Kalimantan didominasi oleh Lahan yang Tidak Dikelola (49%) dan Lahan yang Dikelola (36%). Penutupan Hutan dan Hutan Tanaman, berturut-turut hanya sebesar 10% dan 1% sedangkan selebihnya berupa Penutupan Lahan Lainnya. Berdasarkan Gambar 3, untuk keseluruhan Kalimantan terlihat bahwa tipe penutupan Lahan yang Tidak Dikelola memiliki kerapatan kebakaran yang paling tinggi (per satuan luasan desa) dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya yaitu sebesar 15 HS/desa. Kerapatan kebakaran Lahan yang Dikelola sebesar 6 HS/desa, sedangkan tipe Hutan hanya sebesar 1 HS dengan satuan luasan yang sama.

Penutupan Lahan yang Tidak Dikelola juga menunjukkan tingkat kerapatan kebakaran yang tertinggi hampir di setiap provinsi di Kalimantan, terutama di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat masing-masing sebesar 24 HS/desa dan 19 HS/desa. Penutupan Hutan di semua provinsi menunjukkan kerapatan

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 17-29

Page 33: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

kebakaran yang paling rendah dibandingkan dengan tipe penutupan lahan lainnya, berkisar antara 1-2 HS untuk setiap luasan desa. Khusus di Provinsi Kalimantan Selatan, penutupan Hutan Tanaman menunjukkan tingkat kerapatan kebakaran yang tertinggi (12 HS/desa), diikuti dengan penutupan Lahan yang Tidak Dikelola sebesar 11 HS/desa.

Lebih spesifik, kerapatan kebakaran di lahan mineral di setiap provinsi di Kalimantan (Gambar 4) juga didominasi oleh tipe penutupan Lahan yang Tidak Dikelola, terutama di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Masing-masing dengan

kerapatan 10 HS/desa dan 11 HS/desa. Tipe penutupan Hutan juga menunjukkan kerapatan kebakaran yang terendah di semua provinsi dengan 1 HS/desa, bahkan untuk tipe penutupan ini di Provinsi Kalimantan Utara tercatat tidak ada potensi ancaman hotspot (kebakaran) dalam setiap luasan desa.

Tingkat kerapatan kebakaran di lahan gambut (Gambar 5) pada tipe penutupan Lahan yang Tidak Dikelola juga menunjukkan kecenderungan yang hampir sama di setiap provinsi di Kalimantan. Nilai kerapatan kebakaran tertinggi ada di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat,

23

Karakteristik Kebakaran Permukaan Gambut Berbasis Luasan Desa ..............(Irfan Malik Setiabudi & Wahyu Kusumaningrum)

Tabel 3 Penyesuaian kelas penutupan lahanTable 3 Modified land cover

No.Penutupan lahan,

penyesuaian(Modified land cover)

Cakupan, kode penutupan lahan(Scope, land cover code)

Keterangan (Explanation)

1. Hutan (Forest) -Hutan lahan kering primer (2001)-Hutan lahan kering sekunder/bekas

tebangan (2002)-Hutan rawa primer (2005)-Hutan rawa sekunder/bekas tebangan

(20051)-Hutan mangrove primer (2004)-Hutan mangrove sekunder/bekas

tebangan (20041)

Kenampakan hutan

2. Hutan Tanaman(Forest Plantation)

Hutan tanaman (2006) Kenampakan hutan tanaman dengan tujuan utama finansial, tingkat pengelolaan yang cukup intensif

3. Lahan yang Dikelola(Managed land)

-Perkebunan/kebun (2010)-Pertanian lahan kering (20091)-Pertanian lahan kering campur semak/

kebun campur (20092)-Sawah (20093)

Kenampakan tanaman perkebunan/tanaman musiman, tingkat pengelolaan yang cukup intensif

4. Lahan yang Tidak Dikelola (Unmanaged land)

-Semak belukar (2007)-Semak belukar rawa (20071)-Savanna/padang rumput (3000)-Lahan terbuka (2014)

Kenampakan pohon relatif jarang/sedikit, tingkat pengelolaan cenderung tidak ada

5. Penutupan Lahan Lainnya (Others)

-Tambak (20094)-Pemukiman/lahan terbangun (2012)-Transmigrasi (20122)-Pertambangan (20141)-Tubuh air (5001)-Rawa (50011)-Awan (2500)-Bandara/pelabuhan (20121)

Kenampakan lainnya yang tidak terkait langsung dengan tingkat pengelolaan lahan/vegetasi

Sumber (Source): Pengolahan data (data processing).

Page 34: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

24

berturut-turut sebesar 53 HS/desa dan 52 HS/ desa. Secara umum, nilai kerapatan kebakaran di lahan gambut pada tipe penutupan Lahan yang Dikelola juga menunjukkan nilai tertinggi kedua, hampir di setiap provinsi. Tipe penutupan Hutan juga menunjukkan tingkat kerapatan kebakaran terendah, dengan pengecualian di Provinsi Kalimantan Selatan di mana tipe Hutan memiliki tingkat kerapatan

kebakaran tertinggi kedua dengan tingkat yang sama dengan tipe penutupan Lahan yang Dikelola yaitu sebesar 27 HS/desa.

Dari analisis kerapatan kejadian kebakaran dengan tingkat satuan luasan setara wilayah desa, baik di lahan mineral maupun di lahan gambut menunjukkan bahwa tipe penutupan Lahan yang Tidak Dikelola menjadi wilayah yang paling besar potensi kejadian

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 17-29

Sumber (Source): Pengolahan data (data processing)

Gambar 2 Sebaran spasial hotspot berdasarkan tipe lahan dan penutupan lahan Figure 2 Fire distribution based on land cover and land type.

Sumber (Source): Pengolahan data (data processing)

Gambar 3 Kerapatan kebakaran berdasarkan tipe penutupan lahan Figure 3 Fire density based on land cover.

Page 35: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

kebakarannya dibandingkan dengan tipe penutupan lahan lainnya, terutama seperti Lahan yang Dikelola, Hutan Tanaman, dan Hutan. Thoha et al. (2014) dalam studinya di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah juga menyatakan bahwa lahan yang tidak dikelola dan area konservasi pada lahan

gambut menjadi daerah yang paling rawan terhadap ancaman kebakaran hutan dan lahan, umumnya dengan tipe penutupan lahan berupa semak belukar dan rerumputan. Lebih lanjut, lahan yang tidak dikelola juga hampir selalu terbakar sepanjang musim kemarau (Thoha, Saharjo, Boer, & Ardiansyah, 2018).

25

Karakteristik Kebakaran Permukaan Gambut Berbasis Luasan Desa ..............(Irfan Malik Setiabudi & Wahyu Kusumaningrum)

Sumber (Source): Pengolahan data (data processing)

Gambar 4 Kerapatan kebakaran di lahan mineral berdasarkan tipe penutupan lahan Figure 4 Fire density in the mineral land based on land cover.

Sumber (Source): Pengolahan data (data processing)

Gambar 5 Kerapatan kebakaran di lahan gambut berdasarkan tipe penutupan lahanFigure 5 Fire density in the peat land based on land cover.

Page 36: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

26

Tipe penutupan Lahan yang Dikelola, Hutan Tanaman, dan Hutan mencerminkan adanya praktik pengelolaan lahan atau perlindungan di dalamnya. Semakin baik/intensif manajemen pengelolaan suatu lahan maka potensi terjadinya kebakaran akan relatif lebih kecil. Lahan yang dikelola akan menjadi aset finansial bagi pihak pengelola sehingga pihak pengelola akan melakukan perlindungan dan pengamanan lahannya secara lebih intensif dari segala gangguan, di antaranya kebakaran. Menurut Thoha et al. (2019), salah satu penyebab lahan yang terlantar menjadi daerah yang rawan terhadap ancaman kebakaran antara lain dipicu oleh praktik/kebiasaan merokok para petani atau nelayan lokal.

Meskipun kedua tipe lahan (mineral dan gambut) menunjukkan kecenderungan yang sama terkait tipe penutupan lahan yang paling rentan terhadap kejadian kebakaran, dari sisi besaran magnitudonya, kerapatan kebakaran di lahan gambut menunjukkan perbedaan angka yang cukup signifikan. Kerapatan kebakaran di Lahan yang Tidak Dikelola pada lahan mineral sebesar 8 HS/desa, sedangkan di lahan gambut sebesar 53 HS/desa. Hal ini menunjukkan potensi ancaman kejadian kebakaran menjadi lebih tinggi ketika kebakaran terjadi di lahan gambut. Kombinasi tipe penutupan Lahan yang Tidak Dikelola dengan karakteristik lokasi kejadian di lahan gambut meningkatkan risiko potensi terjadinya kebakaran hingga tujuh kali lipat jika dibandingkan dengan tipe penggunaan dan jenis lahan lainnya.

Berdasarkan temuan tersebut, pengelolaan terhadap lahan yang terlantar dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Meskipun belum mampu menghentikan/mencegah terjadinya kebakaran, setidaknya praktik pengelolaan lahan yang dilakukan secara lebih intensif mampu menekan potensi terjadinya kebakaran jika dibandingkan dengan apabila lahan tersebut tidak dikelola/terlantar.

Selain itu, dengan menggunakan unit satuan analisis setara luasan desa, hasil studi ini dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam mendorong kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan berbasis tapak atau lebih tepatnya desa/kelurahan. Desa merupakan unit administratif terkecil di tingkat tapak yang di dalamnya mencakup keberadaan pemangku kepentingan dan (potensi) ketersediaan personil dan alokasi anggaran. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa wilayah desa menjadi lokasi terjadinya kebakaran dan masyarakat desa menjadi pihak yang paling dekat dan potensial untuk melakukan pengendalian kebakaran secara lebih cepat ketika masih pada fase awal kebakaran (kebakaran kecil). Studi ini dapat mendukung implementasi kebijakan tersebut, terutama dalam penentuan prioritasisasi wilayah provinsi atau desa yang secara historis menunjukkan tingkat kebakaran yang paling tinggi, tidak hanya berpatokan pada identifikasi desa yang termasuk dalam kategori desa rawan kebakaran hutan dan lahan.

Satu hal yang harus menjadi catatan dalam studi ini bahwa pengolahan dan analisis data hanya dilakukan berdasar ketersediaan data dan informasi yang telah disebutkan di atas dan tidak dilakukan validasi dengan data lapangan karena keterbatasan sumber daya. Khusus data sebaran gambut, sangat dimungkinkan terjadinya perbedaan dan/atau perubahan di antara data peta yang digunakan dengan kondisi aktual gambut saat ini. Hal ini dikarenakan terdapat indikasi perubahan kondisi sebaran lahan gambut, antara lain karena terjadinya kebakaran, pembukaan lahan, degradasi lahan, dan sejenisnya. Namun demikian, sumber-sumber data dan informasi yang digunakan merupakan sumber yang valid.

Studi ini juga mendeskripsikan kejadian kebakaran secara umum, tidak secara spesifik membedakan antara di mana dan kapan mulai terjadinya kebakaran (fire origin) dengan sejauh mana penyebaran kebakaran yang

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 17-29

Page 37: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

27

terjadi (fire spread). Informasi atas kedua hal tersebut mungkin saja akan memberikan atau mempengaruhi hasil dan kesimpulan yang diperoleh.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanSecara keseluruhan, kebakaran di Pulau

Kalimantan terjadi di antara bulan Juli sampai November dengan puncak kebakaran pada bulan September dengan magnitudo kebakaran yang berbeda-beda antar-provinsi. Dari aspek pengelolaan lahan, lahan yang tidak dikelola/terlantar mampu meningkatkan potensi terjadinya kebakaran. Hal ini terlihat dari tingkat kerapatan relatif kebakaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan tipe penutupan lahan yang dikelola secara intensif maupun penutupan hutan. Kombinasi keberadaan penutupan lahan yang tidak dikelola dan berada pada lahan gambut akan semakin meningkatkan potensi terjadinya kebakaran secara signifikan jika dibandingkan dengan kejadian kebakaran pada lahan yang dikelola dan berada pada tanah mineral. Lebih jauh, pengelolaan terhadap lahan yang terlantar, baik di lahan gambut maupun mineral dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Tingkat kerawanan kebakaran pada suatu desa tidak hanya ditunjukkan oleh jumlah desa yang termasuk dalam kategori rawan kebakaran, namun lebih spesifik lagi dengan menggunakan tingkat kerapatan kebakaran yang terjadi pada suatu desa. Hal ini sangat mempengaruhi pertimbangan dalam prioritasisasi implementasi kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di tingkat tapak.

B. SaranMempertimbangkan bahwa penyebab

kebakaran hutan dan lahan sangat kompleks dan beragam maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut terhadap masing-masing faktor

tersebut, termasuk dalam konteks praktik pengelolaan hutan dan lahannya. Studi yang lebih spesifik yang dapat mengidentifikasi kapan dan di mana mulai terjadinya kebakaran dapat menjadi pijakan penting dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan dalam mencegah eskalasi kejadian kebakaran. Kajian atau studi dimaksud dapat dilakukan oleh peneliti, akademisi, pemangku kebijakan, maupun pihak-pihak yang berkepentingan lainnya.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah membantu kegiatan penelitian ini, meliputi Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (KLHK), Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (KLHK), Balai Besar Sumber Daya Lahan dan Pertanian (Kementerian Pertanian), serta pihak-pihak lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Afriyani, A. & Purwaningsih, E. (2019). Analisis jumlah sebaran hotspot terhadap nilai ISPU di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Kapita Selekta Geografi, 2(7), 26–38.

Ardhian, D., Adiwibowo, S., & Wahyuni, E. S. (2016). NGO’s roles and strategies in the environmental politic arena. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 4(3), 210–216. https://doi.org/10.22500/sodality.v4i3.14429.

BPS. (2019). Jumlah desa atau kelurahan. Diakses tanggal 5 September 2020 dari https://bps.go.id/.

Budiningsih, K. (2017). Implementasi kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 14(2), 165–186. https://doi.org/10.20886/jakk.2017.14.2.165-186.

Cattau, M. E., Harrison, M. E., Shinyo, I., Tungau, S., Uriarte, M., & DeFries, R. (2016). Sources of anthropogenic fire ignitions on the peat-swamp landscape in Kalimantan, Indonesia. Global Environmental Change, 39, 205–219. https://doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2016.05.005.

Edwards, R. B., Naylor, R. L., Higgins, M. M., & Falcon, W. P. (2020). Causes of Indonesia’s

Karakteristik Kebakaran Permukaan Gambut Berbasis Luasan Desa ..............(Irfan Malik Setiabudi & Wahyu Kusumaningrum)

Page 38: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

28

forest fires. World Development, 127. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2019.104717.

Giglio, L., Schroeder, W., & Justice, C. O. (2016). The collection 6 MODIS active fire detection algorithm and fire products. Remote Sensing of Environment, 178, 31–41. https://doi.org/10.1016/j.rse.2016.02.054.

Indradjad, A., Purwanto, J., & Sunarmodo, W. (2019). Analisis tingkat akurasi titik hotspot dari S-Npp Viirs dan Terra/Aqua Modis terhadap kejadian kebakaran. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital, 16(1), 53–60.

Khalwani, K. M. & Syaufina, L. (2015). Kebakaran hutan gambut (studi kasus di Taman Nasional Sebangau, Provinsi Kalimantan Tengah). Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, 2(3), 214–229.

Kumalawati, R. & Nasruddin, E. (2019). Strategi penanganan hotspot untuk mencegah kebakaran di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah, 4(2), 351–356.

LAPAN. (2016). Informasi titik panas (hotspot) kebakaran hutan/lahan. Jakarta: Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN.

Miettinen, J., Shi, C., & Liew, S. C. (2017). Fire distribution in Peninsular Malaysia, Sumatra, and Borneo in 2015 with special emphasis on peatland fires. Environmental Management, 60(4), 747–757. https://doi.org/10.1007/s00267-017-0911-7.

Nugraha, R. P., Fauzi, A., & Ekayani, M. (2019). Ekonomi pertanian, sumberdaya, dan lingkungan: analisis pendapatan usaha pertanian dan peternakan. Jurnal Ekonomi Pertanian, Sumberdaya dan Lingkungan, 2, 1–14.

Oliveira, S., Pereira, J. M. C., San-Miguel-Ayanz, J., & Lourenço, L. (2014). Exploring the spatial patterns of fire density in Southern Europe using geographically weighted regression. Applied Geography, 51, 143–157. https://doi.org/10.1016/j.apgeog.2014.04.002.

Pasai, M. (2020). Dampak kebakaran hutan dan penegakan hukum. Jurnal Pahlawan, 3(1), 1–9.

Peraturan Dirjen Planologi Kehutanan Nomor P.1/VII-IPSDH/2015 tentang Pedoman Pemantauan Penutupan Lahan.

Ratnaningsih, A. T. & Prastyaningsih, S. R. (2017). Dampak kebakaran hutan gambut terhadap subsidensi di hutan tanaman industri. Wahana Forestra: Jurnal Kehutanan, 12(1), 37–43. https://doi.org/10.31849/forestra.v12i1.200.

Sloan, S., Locatelli, B., Wooster, M. J., & Gaveau, D. L. A. (2017). Fire activity in Borneo driven by industrial land conversion and drought during El Niño periods, 1982–2010. Global Environmental Change, 47(September), 95–109. https://doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2017.10.001.

Syaufina, L. & Sitanggang, I. S. (2018). Peatland fire detection using spatio-temporal data mining analysis in Kalimantan, Indonesia. Journal of Tropical Forest Science, 30(2), 154–162. https://doi.org/10.26525/jtfs2018.30.2.154162.

Syaufina, L. (2017). Peran strategis sektor pertanian dalam pengendalian kebakaran lahan gambut. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan: Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan, 1(1), 35. https://doi.org/10.20957/jkebijakan.v1i1.10277.

Tacconi, L. (2016). Preventing fires and haze in Southeast Asia. Nature Climate Change, 6(7), 640–643. https://doi.org/10.1038/nclimate3008.

Thoha, A. S., Saharjo, B. H., Boer, R., & Ardiansyah, M. (2018). Strengthening community participation in reducing GHG emission from forest and peatland fire. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 122(1). https://doi.org/10.1088/1755-1315/122/1/012076.

Thoha, A. S., Saharjo, B. H., Boer, R., & Ardiansyah, M. (2014). Spatiotemporal distribution of peatland fires in Kapuas District, Central Kalimantan Province, Indonesia. Agriculture, Forestry and Fisheries, 3(3), 163–170. https://doi.org/10.11648/j.aff.20140303.14.

Thoha, A. S., Saharjo, B. H., Boer, R., & Ardiansyah, M. (2019). Characteristics and causes of forest and land fires in Kapuas District, Central Kalimantan Province, Indonesia. Biodiversitas, 20(1), 110–117. https://doi.org/10.13057/biodiv/d200113.

Wulan, A. J. & Subagio, S. (2016). Efek asap kebakaran hutan terhadap gambaran histologis saluran pernapasan. Medical Journal of Lampung University, 5(September), 162–167.

Yuliarti, V. & Irdayanti. (2016). Peran Dinas Kota Pekanbaru dalam menanggulangi dampak kabut asap kebakaran hutan di Kota Pekanbaru. Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 19(1).

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 17-29

Page 39: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

29

Karakteristik Kebakaran Permukaan Gambut Berbasis Luasan Desa ..............(Irfan Malik Setiabudi & Wahyu Kusumaningrum)

Lam

pira

n 1.

Seb

aran

, int

ensi

tas,

dan

kera

pata

n ke

baka

ran

Appe

ndix

1 D

istr

ibut

ion,

inte

nsity

, and

den

sity

of h

otsp

ot

No.

Prov

insi

(Pro

vinc

e)Lu

as (A

rea)

(ha)

Des

a/

Kel

.*

(Vill

age)

Hot

spot

(HS)

Ker

apat

an

hots

pot (

HS

dens

ity)

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Agt

Sep

Okt

Nov

Des

Jum

lah

(Tot

al)

1.K

alim

anta

n B

arat

14.7

07.8

93,8

2.13

023

1313

278

9728

229

3.24

46.

398

111

161

1010

.524

52.

Kal

iman

tan

Sela

tan

3.72

9.75

7,5

1.86

914

3217

351

6986

390

1.80

759

841

145

3.52

37

3.K

alim

anta

n Te

ngah

15.3

60.1

18,1

1.57

15

712

326

1843

21.

933

12.6

671.

233

1.33

856

17.7

309

4.K

alim

anta

n Ti

mur

12.8

82.8

77,7

1.03

826

125

7950

3025

6144

32.

280

561

230

493.

959

25.

Kal

iman

tan

Uta

ra6.

926.

456,

448

25

1634

119

722

158

345

308

264

71

Jum

lah

53.6

07.1

03,5

7.09

073

193

274

145

213

147

830

6.16

823

.497

2.53

32.

148

162

36.3

835

Sum

ber (

Sour

ce):

Peng

olah

an d

ata

(dat

a pr

oces

sing

); *B

PS (2

019)

.

Page 40: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

30

Halaman ini dibiarkan kosong(This page is left blank)

Page 41: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

31

IMPLEMENTASI PERHUTANAN SOSIAL DI WILAYAH KERJA PERUM PERHUTANI KPH TELAWA

(Implementation of Social Forestry in Perum Perhutani KPH Telawa) Henri Supriyanto1,2, Sudarmo2, & Kristina Setyowati2

1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS, Jl. A. Yani, Pabelan, Kartosura, Surakarta, Indonesia; e-mail: [email protected]

2Fakultas ISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36, Kentingan, Jebres, Surakarta, Indonesia; email: [email protected]; [email protected]

Diterima 29 Mei 2020, direvisi 16 Februari 2021, disetujui 16 Februari 2021

ABSTRACT

Policy on Social Forestry of The Ministry of Environment and Forestry is a translation of agrarian reform and President Joko Widodo's Nawacita. Social Forestry with IPHPS program is a specific model implemented in Perhutani working area by providing legal access for forest villagers to manage and utilize forest areas. This research is conducted at Perhutani KPH Telawa, Boyolali Regency. The aim is to analyze the implementation of IPHPS and its impact on society. Data collection is carried out by observation, interviews, and literature studies. Sample is determined by purposive sampling method. The implementation process consists of: (1) application, (2) assistance, (3) financing, (4) coaching and facilitation, (5) monitoring and evaluation. The results of the implementation are: a). Location of IPHPS does not comply with the provisions, which should be empty land for 5 consecutive years, b). The companion is not appropriate in terms of quality and quantity, c). Financing and capital are still independent of farmer groups, d). Coaching and facilitation by the IPHPS Working Group has not been effective yet, e). Monitoring and evaluation was only carried out once, f). Social, economic and ecological impacts are present, but less significant.

Keywords: Social Forestry; IPHPS; implementation; impact.

ABSTRAK

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuat kebijakan Perhutanan Sosial yang merupakan terjemahan reformasi agraria dan Nawacita Presiden Joko Widodo. Perhutanan Sosial menjadi salah satu cara pemerintah untuk mengatasi konflik yang sering terjadi antara masyarakat di sekitar hutan dengan kawasan hutan dan pemerintah. Perhutanan Sosial dengan program IPHPS merupakan model Perhutanan Sosial yang khusus dilaksanakan pada wilayah kerja Perhutani dengan memberikan akses legal bagi masyarakat desa hutan untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan. Penelitian dilaksanakan di Perhutani KPH Telawa, Kabupaten Boyolali. Studi bertujuan untuk menganalisis implementasi IPHPS dan dampaknya bagi masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif naratif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi literatur, sampel ditentukan dengan metode purposive sampling. Proses implementasi terdiri dari: (1) permohonan, (2) pendampingan, (3) pembiayaan, (4) pembinaan dan fasilitasi, (5) monitoring dan evaluasi. Hasil analisis implementasi IPHPS dapat disimpulkan: a). Lokasi IPHPS belum sesuai dengan ketentuan, areal yang ditetapkan bukan lahan kosong selama 5 tahun berturut-turut, b). Pendamping belum sesuai dari segi kualitas maupun kuantitas, c). Pembiayaan dan permodalan masih swadaya kelompok tani, d). Pembinaan dan fasilitasi oleh Pokja IPHPS belum berjalan efektif, e). Monitoring dan evaluasi baru dilaksanakan satu kali, f). Sudah ada dampak sosial, ekonomi dan ekologi, tapi belum signifikan..

Kata kunci: Perhutanan Sosial; IPHPS; implementasi; dampak.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 31-43p-ISSN 0216-0897 e-ISSN 2502-6267Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

©2021 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2021.18.1.31-43

Page 42: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

32

I. PENDAHULUANPerjalanan panjang pengelolaan hutan di

Indonesia sejak masa kolonialisme hingga kini mengalami berbagai dinamika dan tantangan. Beberapa ahli kehutanan kolonial mulai mengembangkan kajian tentang pola-pola pengelolaan kekayaan hutan oleh masyarakat, pemikiran ini dianggap sebagai cikal bakal kajian tentang kehutanan masyarakat (Muhsi, 2017). Di negara-negara berkembang, pendekatan pengelolaan hutan merupakan warisan pemerintahan kolonial, para penjajah mengelola hutan dengan perspektif industri dan komersial dengan mengabaikan masyarakat lokal, hal ini membuat masyarakat sekitar hutan terasing dari lingkungan yang seharusnya harmonis dengan hutan (Balooni & Inoue, 2007).

Negara menjadi aktor utama yang memiliki kewenangan dalam mengelola hutan di Indonesia. Dalam pelaksanaannya, negara membutuhkan kontribusi dan partisipasi aktif dari masyarakat untuk mengelola hutan secara bersama. Kebijakan pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat telah dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait Perhutanan Sosial. Perhutanan Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017). Perhutanan Sosial memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pengelolaan hutan dengan akses yang legal. Masyarakat memiliki hak atas lahan hutan namun akses manfaat atas hasil hutan tergantung pada pihak yang memiliki kewenangan dan kemampuan untuk mengelola hak milik tersebut (Muttaqim, 2013). Di Indonesia, program Perhutanan Sosial dilaksanakan secara nasional dengan tujuan mengurangi konflik antar-komunitas dan negara di kawasan hutan negara (Herawati, Liswanti, Banjade, & Mwangi, 2017).

Kebijakan Perhutanan Sosial yang dilaksanakan oleh pemerintah memiliki tiga tujuan utama sebagai berikut (Moeliono, Thuy, Bong, Wong, & Brockhaus, 2017):a. Untuk mengurangi kemiskinan bagi

masyarakat yang bergantung pada sumber daya hutan.

b. Memberikan akses yang aman berupa keabsahan pengelolaan atau kepemilikan sumber daya dan manfaat yang dikelola melalui pemberdayaan dan pembangunan kapasitas pengelolaan hutan.

c. Untuk memperbaiki kondisi hutan.Salah satu model pengelolaan hutan

Perhutanan Sosial yang populer yakni Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Program ini merupakan sistem pengelolaan sumber daya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dengan masyarakat desa hutan. Program PHBM dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (Wahanisa, 2015). Upaya ini menemui kendala dalam pelaksanaannya. Sumber daya manusia menjadi faktor utama dalam permasalahan yang terjadi pada program PHBM. Ketidakselarasan pandangan dan pemahaman antara Perum Perhutani dengan masyarakat menimbulkan permasalahan yang berpengaruh pada keberhasilan program.

Belasan tahun berselang, muncul program Perhutanan Sosial yang merupakan salah satu terjemahan dari janji politik Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam Nawacita yang kemudian termuat dalam agenda Reformasi Agraria dan strategi membangun Indonesia dari pinggiran, dimulai dari daerah dan desa. Tindak lanjut dari agenda tersebut yakni Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Peraturan Menteri LHK) Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial dan Peraturan Menteri LHK Nomor 39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Peraturan Menteri LHK No 83/2016 mengatur pelaksanaan Perhutanan

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 31-43

Page 43: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

33

Implementasi Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Telawa ............(Henri Supriyanto, Sudarmo & Kristina Setyowati)

Sosial secara umum di seluruh kawasan hutan pemerintah, baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa, dengan skema pengakuan dan perlindungan kemitraan kehutanan (KULIN KK). Peraturan Menteri LHK No 39/2017 mengatur secara khusus pelaksaan Perhutanan Sosial di wilayah kerja Perum Perhutani, dengan skema Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS). Kedua peraturan tersebut sudah dihapus dengan terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja. Sebagai gantinya pemerintah menyiapkan peraturan menteri tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Penelitian dilakukan sebelum adanya perubahan kebijakan tersebut.

IPHPS di wilayah kerja Perum Perhutani diberikan kepada masyarakat sekitar hutan yang merupakan petani, baik yang memiliki lahan maupun tidak memiliki lahan. Masyarakat yang memiliki IPHPS akan mendapatkan hak untuk memanfaatkan hutan sesuai ketentuan yang berlaku. IPHPS juga memberikan kepastian hukum bagi masyarakat sesuai dengan ketentuan pada Peraturan Menteri LHK No 39 tahun 2017 Pasal 16 yakni jangka waktu selama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dilakukan evaluasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun serta dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi. Aspek legalitas menjadi pertimbangan untuk menghindari adanya konflik yang berkaitan dengan legalitas pemanfaatan lahan. Dengan adanya kepastian hukum dan berbagai fasilitas pendampingan dan pembinaan bagi petani penggarap dan pengelola lahan hutan, daya tarik IPHPS dirasakan sangat signifikan oleh petani sehingga program ini sangat diminati.

Implementasi IPHPS di kawasan KPH Telawa sejak diterbitkannya Peraturan Menteri LHK Nomor 39 tahun 2017 menemui berbagai kondisi yang menarik untuk dikaji. Berdasarkan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (2018) diketahui terdapat Surat Keputusan (SK) IPHPS pada area hutan Perum Perhutani yang memiliki tutupan >10% yang tidak memiliki konflik

tenurial serta adanya penerbitan SK IPHPS yang melewati batas pangkuan hutan desa lain. Selain permasalahan yang dialami oleh Perum Perhutani, penerbitan SK IPHPS yang diberikan kepada masyarakat sekitar KPH Telawa juga memunculkan permasalahan baru di masyarakat. Perbedaan persepsi dan pemahaman antara masyarakat dengan Perum Perhutani mengenai kebijakan IPHPS menjadi permasalahan mendasar yang menyebabkan terjadi perubahan pasca-implementasi IPHPS.

Tujuan penelitian adalah menganalisis implementasi IPHPS (permohonan izin, pendampingan, pembiayaan, pembinaan, dan monitoring evaluasi) kepada mayarakat pemegang IPHPS dan memberikan saran atau masukan bagi para pihak pelaksana IPHPS. Kajian ini juga ingin mengetahui dampak sosial, ekonomi, dan ekologi program IPHPS.

II. METODE PENELITIAN

A. Desain, Lokasi, dan Waktu PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian

deskriptif naratif dengan menganalisis perubahan sikap, persepsi, dan perilaku masyarakat terhadap fenomena yang terjadi. Penelitian dilaksanakan di lokasi IPHPS kawasan hutan Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Telawa, Kabupaten Boyolali pada bulan Agustus 2019 hingga Maret 2020.

B. Pengumpulan DataSampel ditentukan dengan purposive

sampling, yaitu metode penentuan sumber data secara sengaja dilakukan untuk menentukan informan, sampel, dan kelompok tani. Informan dalam penelitian ini adalah pihak Perhutani (Administratur, Asper, Mantri), pendamping, dan anggota kelompok tani IPHPS. Kelompok tani yang dijadikan sampel ditentukan berdasarkan SK penerimaan IPHPS sedangkan untuk pengambilan data, masing-masing kelompok tani diambil sebanyak 10 orang secara purposive.

Teknik pengumpulan data yang digunakan

Page 44: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

34

adalah sebagai berikut:1. Observasi

Observasi dilakukan untuk melihat kondisi masyarakat kelompok tani hutan penerima SK IPHPS dan Perum Perhutani KPH Telawa serta pihak-pihak lain yang terlibat dalam program IPHPS. Observasi dilakukan sejak survei pra-penelitian pada Agustus 2019 dan dilanjutkan dengan observasi lanjutan pada Maret 2020. Bentuk informasi dari observasi adalah catatan harian peneliti yang ditampilkan dalam bentuk narasi atau gambar.

2. WawancaraWawancara dilakukan untuk mendapatkan

informasi lebih lengkap serta konfirmasi hasil studi literasi dan observasi. Wawancara dilakukan secara terbuka dengan berkomunikasi dalam pembicaraan santai dan memposisikan informan sebagai lawan bicara sehingga wawancara terjadi secara alami dan mengalir. Adapun informan dalam penelitian ini adalah Perum Perhutani KPH Telawa, pendamping, dan anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Wono Makmur (Wono Makmur I), Wono Makmur II, Wono Lestari (Wono Lestari I), dan Wono Lestari II.

3. Studi KepustakaanData yang ditemukan dalam observasi

dan wawancara selanjutnya dilengkapi dengan analisis data sekunder melalui studi kepustakaan.

C. Teknik Analisis DataAnalisis data dilakukan untuk

menginterpretasikan temuan lapangan ke dalam narasi agar dapat dipahami oleh orang lain. Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif naratif yang terdiri atas tiga tahapan sebagai berikut:1. Reduksi Data

Reduksi data yakni proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Observasi dan wawancara yang

dilakukan pada program IPHPS di kawasan KPH Telawa menghasilkan informasi kasar dan melebar dari pokok pembahasan sehingga membutuhkan pemilahan dan penyederhanaan data. Kategorisasi data yang berhubungan dengan tahapan implementasi dilakukan melalui penggolongan data dalam suatu pola yakni tahapan implementasi IPHPS berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor 39 tahun 2017.

2. Penyajian DataPenyajian data yakni penyajian

sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Data disajikan dalam bentuk narasi, bagan, tabel, dan gambar.

3. Penarikan Kesimpulan/VerifikasiPenarikan kesimpulan yakni

menginterpretasikan dan menetapkan makna data yang disajikan, kemudian melakukan verifikasi kesimpulan selama penelitian berlangsung untuk memastikan validitasnya. Penarikan kesimpulan dilakukan setelah analisis pada tahapan implementasi IPHPS meliputi permohonan, pendampingan, pembiayaan, pembinaan dan fasilitasi, serta monitoring dan evaluasi.

Penelitian ini menggambarkan proses implementasi IPHPS sesuai dengan Peraturan Menteri LHK Nomor 39 tahun 2017 yang terdiri dari permohonan, pendampingan, pembiayaan, pembinaan dan fasilitasi, serta monitoring dan evaluasi. Selanjutnya dikaji dampak ekonomi, sosial, dan ekologi dari program IPHPS tersebut. Untuk keperluan tersebut maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif (Ambarwati, Sasongko, & Therik, 2018). Penelitian ini menggambarkan secara kualitatif fenomena sosial terkait dengan IPHPS.

Pendapatan petani digunakan sebagai salah satu tolak ukur untuk mengetahui perbedaan penerimaan pendapatan petani hutan dari sebelum dengan setelah mendapatkan hak

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 31-43

Page 45: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

35

IPHPS. Perhitungan pendapatan dilakukan dengan melakukan wawancara dengan petani yang menjadi sampel, kemudian dirata-ratakan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi LokasiPerum Perhutani KPH Telawa merupakan

salah satu unit manajemen di wilayah Disvisi Regional Jawa Tengah (Putra K., 2019). KPH Telawa berada di ketinggian 17 s/d 379,3 mdpl dengan kondisi geologi terdiri dari batu kapur, batu lain-lain, dan vulkanik. Luas wilayah kerja KPH Telawa yakni 18.735,48 ha, terdiri dari Hutan Produksi seluas 17.485,78 ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas 1.249,70 ha. Wilayah administrasi KPH Telawa meliputi Kabupaten Boyolali dengan luas 12.479,62 ha, Kabupaten Grobogan 5.549,40 ha, dan Kabupaten Sragen 706,46 ha (Perum

Perhutani, 2019). Peta kawasan IPHPS KPH Telawa disajikan pada Gambar 1.

Kelompok tani hutan di kawasan KPH Telawa adalah sebagai berikut:1. Kelompok Wono Lestari atau Wono

Lestari I memegang SK.5841/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/11/2017 tertanggal 31 Oktober 2017.

2. Kelompok Wono Lestari II memegang S K . 5 9 1 7 / M E N L H K - P S K L / P K P S /PSL.0/11/2017 tertanggal 2 November 2017.

3. Kelompok Wono Makmur atau Wono Makmur I memegang SK.5842/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/11/2017 tertanggal 31 Oktober 2017.

4. Kelompok Wono Makmur II memegang S K . 5 9 1 8 / M E N L H K - P S K L / P K P S /PSL.0/11/2017 tertanggal 2 November 2017.Gambaran luas garapan kelompok tani

Sumber (Source): Perum Perhutani (2019)

Gambar 1 Peta kawasan IPHPS KPH TelawaFigure 1 Map of the Telawa KPH IPHPS area.

Implementasi Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Telawa ............(Henri Supriyanto, Sudarmo & Kristina Setyowati)

Page 46: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

36

IPHPS disajikan pada Tabel 1. Secara umum, kelompok tani yang mempunyai izin IPHPS sebagian besar (582 orang atau 93%) berjenis kelamin laki-laki, sedangkan perempuan sebanyak 45 orang (7%).

B. Implementasi IPHPS di KPH TelawaProses implementasi IPHPS di kawasan

hutan Perum Perhutani KPH Telawa merujuk pada proses yang tercantum dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 39 tahun 2017.1. Permohonan Izin

Permohonan IPHPS diajukan dengan surat kepada Menteri LHK, dalam hal ini yakni Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) dan ditandatangani oleh KTH dengan melampirkan permohonan sebagai berikut:a. Daftar nama-nama pemohon IPHPS,

dilampiri fotokopi Kartu Tanda Penduduk/NIK dan Kartu Keluarga.

b. Gambaran umum wilayah, antara lain keadaan fisik wilayah, sosial-ekonomi, dan potensi kawasan.

c. Peta areal yang dimohon, mengacu pada batas petak atau anak petak KPH setempat sesuai dengan Peraturan Menteri LHK Nomor 39 tahun 2017.Selanjutnya dilakukan verifikasi atas

permohonan, yakni verifikasi administrasi dan teknis. Verifikasi administrasi dilakukan dalam waktu lima hari kerja untuk memeriksa kelengkapan persyaratan administrasi permohonan IPHPS dengan melibatkan Perum Perhutani, Kepala Desa, LSM pendamping,

dan Pokja PPS. Verifikasi teknis kesesuaian area yang dimohon dilakukan dengan cek lapangan mengenai kebenaran peta hasil overlay pada waktu verifikasi administrasi.

Verifikasi teknis dan pemetaan di area KPH Telawa dilakukan menggunakan drone agar pekerjaan dapat berjalan efektif dan efisien dari segi tenaga, biaya, dan waktu. Survei penentuan lokasi IPHPS dilakukan menggunakan drone oleh tim dari KLHK, area hutan yang disurvei merupakan hutan yang terdapat tegakan kayu putih. Karena baru selesai pemanenan maka jika dilihat dari udara tampak seperti tanah kosong yang tidak terdapat tegakan kayunya. Hal ini menimbulkan bias hasil verifikasi teknis yang dilakukan oleh tim pelaksana verifikasi dari KLHK sehingga menimbulkan permasalahan lain dalam penetapan IPHPS di kawasan KPH Telawa.

Permasalahan yang ditimbulkan akibat survei yang tidak tepat yakni lokasi riil yang tidak memenuhi ketentuan IPHPS sesuai Peraturan Menteri LHK Nomor 39 tahun 2017 Pasal 4: “Perhutanan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat diberikan pada wilayah kerja dengan tutupan lahan yang terbuka atau terdapat tegakan hutan kurang dari atau sama dengan 10% secara terus-menerus dalam kurun waktu 5 (lima) tahun atau lebih” dan dilanjutkan pada ayat berikutnya yakni “dalam hal terdapat kondisi sosial yang memerlukan penanganan secara khusus dapat diberikan IPHPS pada areal yang terbuka dengan tegakan hutan di atas 10%”. Berdasarkan ketentuan tersebut

Tabel 1 Luas garapan kelompok tani IPHPSTable 1 Area of IPHPS farmer group cultivation

Kelompok tani (Farmer group) Desa (Village) Luas (Area)

(Ha)Jumlah penggarap, orang

(Number of cultivators, person)Wono Lestari I Wonoharjo 33 59Wono Lestarsi II Wonoharjo 400 345Wono Makmur I Gondanglegi 55 73Wono Makmur II Gondanglegi 240 150Jumlah (Total) 4 KTH 728 627

Sumber (Source): Perum Perhutani (2019).

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 31-43

Page 47: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

37

maka area hutan yang disurvei tidak termasuk dalam kriteria karena terdapat tegakan kayu yakni jenis tanaman kayu putih yang aktif dikelola oleh petani.

2. PendampinganImplementasi IPHPS di kawasan KPH

Telawa melalui empat KTH berjalan sejak 2017. Sesuai dengan P.39/2017, setiap kelompok tani harus didampingi oleh satu orang pendamping. Pendamping berasal dari LSM setempat yang berbadan hukum atau difasilitasi oleh Pokja PPS untuk menunjuk pendamping. Pendampingan bagi penerima SK IPHPS di kawasan KPH Telawa dilakukan oleh LSM yang bekerja sama dengan tim pelaksana IPHPS dari KLHK.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendamping yang bertugas yakni Bapak Supardi dan Bapak Teguh dengan cakupan 4 KTH yakni KTH Wono Makmur, Wono Makmur II, Wono Lestari, dan Wono Lestari II. Dengan demikian maka secara kuantitas jumlah pendaping tidak sesuai dengan ketentuan yaitu setiap kelompok tani didampingi oleh satu orang pendamping. Selain itu, pendamping tersebut tidak memiliki latar belakang ilmu kehutanan dan belum pernah berkecimpung atau berpengalaman dalam urusan kehutanan. Faktor kecukupan sumber daya manusia dari aspek kuantitas dan kualifikasi menjadi hal yang sangat penting dalam pendampingan.

3. PembiayaanKelompok tani hutan yang melakukan

pemanfaatan hutan dalam skema IPHPS membiayai kegiatannya dengan menghimpun modal secara swadaya dengan kemampuan pribadi atau bekerja sama dengan pihak luar. Kerja sama yang paling sering dilakukan yakni kerja sama dengan tengkulak. Skema yang dilakukan adalah meminjam modal berupa bibit, pupuk, dan perlengkapan pertanian di awal masa tanam dan membayar pinjaman kepada tengkulak pada saat panen. Di satu sisi, kelompok tani terbantu

secara permodalan namun di sisi lain petani mempunyai ketergantungan terhadap keberadaan tengkulak. Selain itu, harga jual hasil panen tidak optimal karena sudah terjual sebelum panen. Akses permodalan yang lebih sistematis dengan perbankan sudah diupayakan dengan kemudahan pinjaman menggunakan SK IPHPS sebagai agunan. Akses ini belum dioptimalkan oleh kelompok tani karena masih memilih permodalan melalui tengkulak.

Selain pemerintah, partisipasi lembaga eksternal dapat dilihat dari berbagai upaya penguatan ekonomi yang mencakup infrastruktur, keuangan, pendidikan, dan layanan lain. Skema pembiayaan bagi masyarakat pedesan terutama sekitar hutan berpotensi meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat yang selama ini bergantung pada sumber daya hutan (Sundar, 2013).

4. PembinaanPembinaan dan fasilitasi Perhutanan Sosial

dapat diberikan oleh kementerian/lembaga, lembaga keuangan, BUMN/BUMS dalam rangka program pemberdayaan masyarakat. Pembinaan dan fasilitasi yang dimaksud yakni berupa kegiatan antara lain penandaan batas areal kerja, pemetaan, pendampingan, penyuluhan, dukungan bibit, sarana produksi, bimbingan teknis, sekolah lapang, promosi/pemasaran produk, penelitian dan pengembangan. Pengukuran penandaan batas luar areal kerja IPHPS dilakukan pada tanggal 23 Februari hingga 1 Maret 2018 oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XI Yogyakarta. Pelatihan keterampilan budidaya tanaman yakni pelatihan budidaya tanaman di bawah tegakan (empon-empon) dilaksanakan oleh Pusat Pelatihan Masyarakat & Pengembangan pada 24-26 Juli 2018 di Balai Desa Wonoharjo. Selanjutnya dilakukan pula pelatihan pembuatan, pengemasan, dan pemasaran pupuk bokashi oleh Balai Diklat KemenLHK kepada kelompok tani hutan Wono Lestari II pada 18-20 September 2018. Adapun fasilitasi yang diberikan yakni

Implementasi Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Telawa ............(Henri Supriyanto, Sudarmo & Kristina Setyowati)

Page 48: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

fasilitasi pembentukan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dan verifikasi administrasi Kebun Bibit Rakyat (KBR) oleh Direktorat Jenderal PSKL. Pembuatan KBR dilakukan pada 4 KTH.

Bank Rakyat Indonesia (BRI) selaku BUMN Perbankan menjadi mitra program IPHPS dengan memberikan Corporate Social Responsibility (CSR) berupa pembangunan pabrik minyak kayu putih. Pengesahan oleh Direktur Utama BRI dilakukan pada 21 Desember 2019. Berbagai upaya pembinaan dan fasilitasi yang diberikan kepada KTH merupakan wujud stimulan dari pihak eksternal KTH berupa kebijakan atau program dan bantuan dengan tujuan untuk mendorong peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola pembangunan serta merespon potensi, peluang, dan tantangan yang ada (Soetomo, 2012).

5. Monitoring dan EvaluasiMonitoring dan evaluasi yang dilakukan

pada program IPHPS di kawasan Perum Perhutani KPH Telawa dilakukan oleh Direktorat Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat dan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 14-17 November 2018, satu tahun setelah implementasi IPHPS di kawasan tersebut. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan pada 4 KTH yakni KTH Wono Lestari, Wono Lestari II, Wono Makmur, dan Wono Makmur II.

C. Dampak IPHPSSepanjang perjalanan pengelolaan, KTH

telah memperoleh manfaat hutan. Perhutanan

Sosial diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar hutan berupa dampak ekonomi, sosial, maupun ekologi (Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, 2019). Aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan bagi kehidupan masyarakat pedesaan merupakan kendala yang siginifikan. Masyarakat dihadapkan pada berbagai permasalahan global seperti penurunan populasi dan penuaan usia populasi yang eksis, pengangguran, keterbatasan akses layanan, minimnya transportasi, perumahan, serta biaya hidup yang semakin tinggi (Steiner & Farmer, 2018). Kebijakan kehutanan sangat berkaitan erat dengan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Hal tersebut merupakan aspek mendasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dari hasil sumber daya hutan serta pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan (Rout, 2010).1. Dampak Ekonomi

Program IPHPS yang diimplementasikan kepada masyarakat di kawasan hutan Perum Perhutani KPH Telawa merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat hutan agar mampu menyediakan barang publik (public goods) terkait dengan investasi lingkungan, meliputi ketersediaan air bersih, konservasi keanekaragaman hayati, dan pengurangan karbon (Kanel & Dahal, 2008). Salah satu harapan penting adanya program Perhutanan Sosial adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat desa di sekitar hutan (Helmi, 2013). Dampak ekonomi dilihat dari tiga hal yakni pendapatan, lapangan kerja, dan kemitraan bisnis (Kastanya et al., 2019).

38

Tabel 2 Pendapatan petani sebelum dan setelah adanya IPHPS (Rp ribuan)Table 2 Farmers' income before and after IPHPS (Rp thousands)

No. Kelompok tani (Farmer group)

Luas (Area)(Ha)

Jenis usaha komoditi(Type effort commodity)

Rata-rata pendapatan (Income average)Sebelum (before)

IPHPSSetelah (after)

IPHPS1. Wono Lestari I 33 Jati dan agroforestry 12.000.000 31.100.0002. Wono Lestari II 400 Jati dan agroforestry 11.000.000 30.100.0003. Wono Makmur I 55 Jati dan agroforestry 12.500.000 12.500.0004. Wono Makmur II 240 Jati dan agroforestry 13.000.000 13.000.000

Sumber (Source): Hasil wawancara petani (Farmer interview results).

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 31-43

Page 49: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

39

Dampak ekonomi yang dirasakan oleh petani dari adanya program IPHPS sampai dengan saat ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Pada studi yang dilakukan di lapangan, implementasi program IPHPS di kawasan KPH Telawa belum menunjukkan peningkatan pendapatan masyarakat secara signifikan, tetapi sudah memunculkan sumber tambahan pendapatan baru bagi masyarakat. Tambahan pendapatan diperoleh khusus untuk Kelompok Tani Wono Lestari dan Wono Lestari II berupa pembagian hasil produksi minyak kayu putih yang dilakukan bersama Perhutani sebagai bentuk kemitraan bisnis kerja sama antara KTH dengan Perum Perhutani dalam kerja sama pemetikan daun kayu putih dan produksi minyak kayu putih. Kerja sama tersebut dituangkan dalam perjanjian kerja sama (PKS) pada tanggal 11 September 2019.

Pada aspek dampak ekonomi lainnya yakni lapangan kerja, sudah terlihat penambahan lapangan kerja baru, yakni petani hutan memiliki area lahan yang lebih luas dan legal serta dapat dikelola secara sah. Dengan adanya kerja sama produksi minyak kayu putih bersama Perum Perhutani dalam optimalisasi aset tegakan kayu putih milik Perum Perhutani, terdapat jenis pekerjaan baru bagi petani yakni pemetik daun kayu putih, pengangkut daun kayu putih, hingga penyuling daun kayu putih di pabrik minyak kayu putih.

2. Dampak SosialDampak sosial IPHPS dapat dilihat dari

persepsi masyarakat, perubahan perilaku, dan kelembagaan (Kastanya et al., 2019). Dari persepsi masyarakat, keberadaan program IPHPS di awal kemunculan mendapatkan respon yang sangat baik dari masyarakat. Akan tetapi pada pelaksanaannya, program IPHPS dirasakan minim sosialisasi sehingga masyarakat kurang memahami Peraturan Menteri LHK Nomor 39 tahun 2017. Kurangnya pemahaman KTH menyebabkan perbedaan persepsi antara masyarakat dengan Perum Perhutani KPH Telawa.

Perbedaan pemahaman terjadi mengenai pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas lahan yang menjadi area IPHPS. Seharusnya PBB menjadi tanggung jawab kelompok tani tetapi masyarakat KTH belum memahami hal tersebut dan menganggap masih sama dengan ketentuan pada program sebelumnya yakni dibayar oleh Perum Perhutani. Hal tersebut menyebabkan PBB atas lahan hutan program IPHPS belum terbayarkan hingga kini.

Perbedaan persepsi juga terjadi saat masyarakat beranggapan bahwa area hutan yang tercantum dalam SK merupakan kewenangan penuh KTH, berbeda dengan sebelum adanya IPHPS di mana kelompok tani merupakan mitra Perhutani dalam pelaksanaan Perhutanan Sosial. Hal tersebut menimbulkan perubahan perilaku masyarakat menjadi cenderung berkuasa atas lahan hutan secara penuh. Perubahan ini menyebabkan adanya dugaan penggunaan SK IPHPS sebagai agunan pinjaman kredit bank untuk kebutuhan konsumsi, bukan modal produksi atau pengembangan usaha IPHPS.

Dampak sosial lainnya dapat ditinjau dari aspek kelembagaan. Qurniati, Duryat, & Kaskoyo (2018) menyatakan bahwa perlu adanya penguatan lembaga perhutanan agar tercipta lembaga yang dinamis dengan anggota yang aktif, bertanggung jawab, terampil dalam mengembangkan hutan desa, dan meningkatkan kesejahteraan anggota. Dalam implementasi program IPHPS, pembentukan lembaga berupa KTH. Lembaga-lembaga desa yang diprakarsai oleh negara maupun oleh masyarakat memiliki tingkat partisipasi masyarakat yang lebih besar melalui kegiatan pemberdayaan yang diperkuat dengan akuntabilitas masyarakat dalam mengikuti program (Suresh, 2014).

Terdapat kekhawatiran yang berkembang mengenai keberhasilan dan keberlanjutan pendekatan manajemen sumber daya bersama. Banyak peneliti telah melakukan penelitian tentang faktor utama yang menentukan efektivitas pengelolaan sumber daya berbasis

Implementasi Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Telawa ............(Henri Supriyanto, Sudarmo & Kristina Setyowati)

Page 50: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

40

masyarakat. Hampir semua sepakat pada satu faktor penting, yaitu kelembagaan untuk keberhasilan tindakan kolektif dalam mengelola sumber daya bersama (Engida & Mengistu, 2013).

Perhutanan Sosial sejatinya merupakan wujud upaya untuk meningkatkan kemandirian dan keswadayaan masyarakat sekitar kawasan hutan. Keswadayaan masyarakat dalam melakukan pengelolaan terhadap urusan tertentu terbentuk atas adanya upaya peningkatan daya pada masyarakat. Keseluruhan proses hingga masyarakat memiliki kemampuan untuk mengelola secara lebih mandiri disebut sebagai proses pemberdayaan (Soetomo, 2012).

3. Dampak EkologiDampak lingkungan (ekologi) dalam

Perhutanan Sosial dapat dilihat dalam tiga aspek yakni sustainabilitas/keberlanjutan kelestarian, ancaman (kebakaran/pencurian), dan partisipasi dalam kelestarian (Kastanya et al., 2019). Pada aspek sustainabilitas,

program IPHPS secara langsung mendorong masyarakat untuk melakukan penanaman di area hutan yang masih memungkinkan untuk ditambah dengan tegakan baru. Wulandari & Budiono (2015) menyatakan bahwa kegiatan pemberdayaan masyarakat lokal penting untuk menjaga kepercayaan antar-kelompok dalam pengelolaan sumber daya alam.

Program IPHPS yang dilaksanakan di Perhutani KPH Telawa mendapat bantuan bibit tanaman kehutanan dari BPDASHL Pemali Jratun Semarang Jawa Tengah yang digunakan sebagai tanaman pengayaan pada lahan petani pemegang IPHPS. Jenis tanaman dan jumlahnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tambahan tegakan yang ditanam oleh kelompok tani adalah jenis tanaman jati, petai, matoa, dan kayu putih, tetapi persentase hidupnya sangat kecil. Tanaman banyak yang mati, selain karena jenis tanah yang tidak sesuai untuk jenis-jenis tanaman tersebut juga karena waktu tanam yang tidak tepat sehingga secara umum belum memberikan

Tabel 3 Pengayaan tanaman pada lokasi IPHPSTable 3 Plant enrichment at IPHPS locations

No. Kelompok(Farmer group)

Luas (Area)(Ha)

Jenis usaha komoditi(Type effort commodity)

Komoditas tambahan setelah IPHPS(Additional commodities after IPHPS)

MPTS Jumlah, pohon (Amount, tree)

1. Wono Lestari I 33 Jati dan agroforestry Jati 10.000Kayu putih 20.000Pete 5.000Matoa 5.000

2. Wono Lestari II 400 Jati dan agroforestry Jati 20.000Kayu putih 60.000Pete 12.000Matoa 10.000

3. Wono Makmur I 55 Jati dan agroforestry Jati 10.000Kayu putih 10.000Pete 10.000Matoa 5.000

3. Wono Makmur II 240 Jati dan agroforestry Jati 15.000Kayu putih 15.000Pete 10.000Matoa 10.000

Sumber (Source): Hasil wawancara petani (Farmer interview results).

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 31-43

Page 51: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

41

dampak yang signifikan terhadap kelestarian lingkungan. Pada aspek yang kedua yakni ancaman berupa kebakaran dan pencurian. Keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan hutan menimbulkan rasa memiliki bagi mereka, terlebih dalam SK IPHPS, penerima diberikan kewenangan pengelolaan hingga 35 tahun. Dengan demikian, petani hutan penerima SK IPHPS berupaya untuk menjaga lahan hutan dari ancaman kebakaran maupun pencurian aset tegakan atau peralatan yang dapat merugikan KTH maupun Perhutani.

Masyarakat yang tergabung dalam KTH ikut berpartisipasi merealisasikan rencana pengelolaan yang telah dibuat bersama dengan pendamping IPHPS. Partisipasi merupakan aspek penting yang merepresentasikan kapasitas sumber daya manusia. Secara harfiah, partisipasi berarti turut berperan-serta dalam suatu kegiatan (Fahrudin & Ariyasa, 2011). Partisipasi secara sederhana dimaknai sebagai proses dalam mengambil bagian, berbagi, dan bertindak bersama. Dalam jangka waktu tertentu, partisipasi dilakukan dengan pembagian tugas dan tanggung jawab dalam suatu entitas masyarakat (Dhali, Pretzsch, Romisch, & Mollick, 2012). Secara teknis di lapangan, anggota KTH turut serta berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pemetaan dan peninjauan lokasi untuk menentukan batas areal hutan. Dengan keikutsertaan tersebut, anggota KTH memahami batas-batas hutan yang dikelola sekaligus hutan milik negara di bawah naungan Perum Perhutani KPH Telawa. Akses legal melalui SK IPHPS juga menimbulkan sense of belonging (rasa memiliki) petani terhadap hutan sehingga petani hutan turut menjaga hutan dari berbagai ancaman yang membahayakan kelestariannya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanPerhutanan Sosial dengan skema program

IPHPS yang dilaksanakan di hutan kawasan Perum Perhutani KPH Telawa telah berjalan

sejak 2017 dengan diberikannya SK IPHPS pada 4 KTH yaitu KTH Wono Makmur, KTH Wono Makmur II, KTH Wono Lestari, dan KTH Wono Lestari II. Proses implementasi IPHPS dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri LHK Nomor 39 Tahun 2017 dengan tahapan permohonan IPHPS, pendampingan IPHPS, pembiayaan IPHPS, pembinaan dan fasilitasi IPHPS, serta monitoring dan evaluasi IPHPS.

Dari hasil implementasi IPHPS sampai dengan tahun 2020 dapat disimpulkan bahwa lokasi IPHPS tidak sesuai dengan P.39/2017 karena areal yang ditetapkan masih berupa kawasan hutan yang ada tegakannya, bukan yang 5 tahun berturut-turut kosong/gundul. Selain itu, terjadi perbedaan antara lokasi dan luasan di SK IPHPS dengan kenyataan di lapangan sehingga terjadi tumpang-tindih lahan IPHPS. Diketahui juga bahwa pendampingan masih tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Dari aspek kuantitas (jumlah) masih kurang; dari aspek kualitas, pendamping tidak mempunyai latar belakang pendidikan kehutanan dan tidak mempunyai pengalaman dalam pengelolaan hutan. Dalam hal pembiayaan diketahui bahwa pembiayaan atau permodalan masih secara mandiri, bahkan tergantung pada tengkulak. Belum ada fasilitas untuk mendapatkan permodalan dari pihak lain.

Pembinaan merupakan salah satu peran penting dari Pokja IPHPS tingkat Provinsi dan baru terbentuk pada bulan Desember 2019 sehingga aspek pembinaan pada kelompok tani dan pendamping belum berjalan secara efektif. Evaluasi dan monitoring oleh Ditjen PSKL baru dilakukan satu kali semenjak dimulainya program IPHPS tahun 2017. Dampak sosial, ekonomi, dan ekologi program IPHPS secara keseluruhan belum signifikan. Perubahan secara nyata belum terlihat dibandingkan dengan program Perhutanan Sosial yang lain. Dari aspek ekonomi, terjadi penambahan pendapatan petani dari bagi hasil penyulingan daun kayu putih walaupun belum berdampak dan dirasakan secara menyeluruh

Implementasi Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Telawa ............(Henri Supriyanto, Sudarmo & Kristina Setyowati)

Page 52: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

42

pada masyakarat kelompok tani.

B. SaranPerhutanan Sosial dengan skema IPHPS

diselenggarakan untuk memberikan akses legal kepada masyarakat desa hutan dalam memanfaatkan sumber daya hutan secara sah dan terarah. Proses implementasi IPHPS di kawasan hutan Perum Perhutani KPH Telawa dilaksanakan mulai tahun 2017 sehingga masih membutuhkan perbaikan dan penyesuaian dengan kondisi sosial masyarakat. Tugas dan peran masing-masing unsur pelaksana IPHPS belum optimal, antara lain: 1) pembentukan Pokja IPHPS Tingkat Provinsi Jawa Tengah terlambat sehingga peran dan fungsinya belum berjalan dengan optimal; 2) masih kurangnya jumlah pendamping; 3) pelatihan pendamping masih kurang sehingga kelompok tani masih banyak yang belum mengerti hak dan kewajibannya; 4) peran Perhutani perlu ditingkatkan; 5) pembangunan komitmen, komunikasi, koordinasi, integritas, dan infrastruktur menjadi hal penting untuk dilaksanakan sebagai fondasi dalam implementasi IPHPS. Dampak yang dihasilkan program IPHPS, baik secara sosial, ekonomi, dan ekologi belum terlihat signifikan sehingga diperlukan kerja keras dari masing-masing unsur seperti kelompok tani, pendamping, Pokja IPHPS Tingkat Provinsi, dan pihak lain.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Tulisan ini merupakan bagian dari tesis penulis. Terimakasih kepada Drs. Sudarmo, Ph.D. dan Dr. Kristina Setyawati selaku pembimbing atas bantuannya dalam penyelesaian tulisan ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Perum Perhutani KPH Telawa sebagai lokasi pengambilan data penelitian dan semua pihak yang telah membantu penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, M. E., Sasongko, G., & Therik, W. M. A. (2018). Dynamics of the tenurial conflict in state forest area (case in BKPH Tanggung KPH Semarang). Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6(2), 112-120. https://doi.org/10.22500/sodality.v6i2.23228.

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2018). Ikhtisar hasil pemeriksaan keuangan semester I 2018. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan.

Balooni, K. & Inoue, M. (2007). Decentralized forest management in South and Southeast Asia. Journal of Forestry, 105(8), 414–420. https://doi.org/10.1093/jof/105.8.414.

Dhali, P. K., Pretzsch, J., Romisch, K., & Mollick, A. S. (2012). People’s participation in participatory forest management in the sal (Shorea robusta) forests of Bangladesh: an explorative study. International Journal of Social Forestry, 5(1), 38–56.

Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. (2019). Kajian dampak perhutanan sosial: perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan.Jakarta: Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.

Engida, T. & Mengistu, A. T. (2013). Explaining the determinants of community based forest management: evidence from Alamata, Ethiopia. International Journal of Community Development, 1(2), 63–70. https://doi.org/10.11634/233028791301431.

Fahrudin, A. & Ariyasa, U. S. (2011). Pemberdayaan partisipasi dan penguatan kapasitas masyarakat. Bandung: Humaniora.

Helmi. (2013). Hukum perizinan lingkungan hidup. Jakarta: Sinar Grafika.

Herawati, T., Liswanti, N., Banjade, M. R., & Mwangi, E. (2017). Forest tenure reform implementation in Lampung Province: from scenarios to action. CIFOR (Issue 169). https://doi.org/10.17528/cifor/006418.

Kanel, K. & Dahal, G. (2008). Community forestry policy and its economic implications: an experience from Nepal. International Journal of Social Forestry, 1(1), 50–60.

Kastanya, A., Tjoa, M., Mardiatmoko, G., Latumahina, F., Bone, I., & Aponno, H. E. S. (2019). Kajian dampak Perhutanan Sosial wilayah Maluku-Papua. In M. S. Yusup & M. S. L. Leleulya (Eds.), Seminar Nasional Perhutanan Sosial dan Rempah-Rempah Provinsi Maluku. Program Studi Manajemen Hutan PPs UNPATTI.

Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan. (2017). Perhutanan Sosial. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan

Moeliono, M., Thuy, P. T., Bong, I. W., Wong, G. Y.,

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 31-43

Page 53: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

43

& Brockhaus, M. (2017). Social forestry-why and for whom? A comparison of policies in Vietnam and Indonesia. Forest and Society, 1(2), 78–97. https://doi.org/10.24259/fs.v1i2.2484.

Muhsi, M. A. (2017). Legal review Perhutanan Sosial. Jakarta: Multistakeholder Forestry Programme 3.

Muttaqim, A. (2013). Ekonomi-politik hutan kemasyarakatan (kajian pengelolaan hutan berbasis hak-hak produktif masyarakat sekitar). Komunika, Jurnal Dakwah & Komunikasi, 7(2).

Perum Perhutani. (2019). Profil KPH Telawa Perum Perhutani KPH Telawa Divisi Regional Jawa Tengah. Jakarta: Perum Perhutani.

Putra K, D. (2019). KPH Telawa. Semarang: Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.

Qurniati, R., Duryat, & Kaskoyo, H. (2018). Penguatan kelembagaan pengelola hutan desa di sekitar Gunung Rajabasa, Lampung. Jurnal Sakai Sambayan, 1(3), 80–86.

Rout, S. (2010). Collective action for sustainable forestry. Social Change, 40(4), 479–502. https://doi.org/10.1177/004908571004000405.

Soetomo. (2012). Keswadayaan masyarakat

manivestasi kapasitas masyarakat untuk berkembang secara mandiri (1st ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Steiner, A. A. & Farmer, J. (2018). Engage, participate, empower: modelling power transfer in disadvantaged rural communities. Environment and Planning C: Politics and Space, 36(1), 118–138. https://doi.org/10.1177/2399654417701730.

Sundar, B. (2013). An analysis of the property rights of forest dependent communities: The Indian context. Vikalpa, 38(3), 79–102. https://doi.org/10.1177/0256090920130306.

Suresh, L. (2014). Governing the resource: a study of the institutions of decentralized forest resource management. Studies in Indian Politics, 2(1), 21–41. https://doi.org/10.1177/2321023014526024

Wahanisa, R. (2015). Model Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Yustisia Jurnal Hukum, 4(2), 416-438.

Wulandari, C. & Budiono, P. (2015). Social capital status on HKm development in Lampung. In C. A. Siregar, Pratiwi, N. Mindawati, G. Pari, M. Turjaman, H. L. Tata, H. Krisnawati, T. Setyawati,

Implementasi Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Telawa ............(Henri Supriyanto, Sudarmo & Kristina Setyowati)

Page 54: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

Halaman ini dibiarkan kosong(This page is left blank)

44

Page 55: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

PENILAIAN PERUBAHAN IKLIM BERDASARKAN KECENDERUNGAN DAN PERUBAHAN SUHU TAHUNAN DI

MANOKWARI, PAPUA BARAT (Assessment of Climate Change Based on Annual Trend and Change of Temperature in

Manokwari, West Papua) Femmy Marsitha Barung1, Wendel Jan Pattipeilohy2, & Robi Muharsyah3

1Program Studi Magister Sains Kebumian FITB, Kampus ITB Jl. Ganesha No. 10, Bandung, Indonesia;e-mail: [email protected]

2Stasiun Klimatologi Manokwari Selatan, Jl. Brigjen Marinir Abraham O. Atururi Arfai, Manokwari, Indonesia; e-mail: [email protected]

3Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Pusat, Jl. Angkasa I No. 2, Kemayoran, Jakarta, Indonesia;e-mail: [email protected]

Diterima 26 Oktober 2020, direvisi 22 Februari 2021, disetujui 23 Februari 2021

ABSTRACT

A simple climate change assessment is carried out on annual air temperatures including average, maximum and minimum temperatures in Rendani, Manokwari for the period of 1993-2019. Parametric linear regression and non-parametric Mann-Kendall trend test (MK), Modified Mann-Kendall (MMK), Sen's Slope Estimator (SSE) are used to analyze trends and index numbers for analyzing the temperature changes. Homogenity test is performed using double mass curve and assumption of normality in the distribution is also investigated to meet the requirements of the linear regression trend test. There is a significant upward trend in the mean and minimum temperature with a slope of 0.029ºC/year and 0.069ºC/year, respectively. Meanwhile, the maximum temperature test shows no trend with a slope of 0.009ºC/year. Analysis of temperature changes using index numbers shows an increase in annual average temperature of 2.8% or 0.7°C, maximum temperature of 1.2% or 0.4°C, and minimum temperature of 3.1% or 0.8°C. The increase in annual air temperature in Manokwari City can generally be caused by several factors such as El Nino phenomenon, urbanization, population growth, and deforestation.

Keywords: Climate change; Mann-Kendall trend test; Modified Mann-Kendall; Sen's Slope Estimator.

ABSTRAK

Penilaian perubahan iklim secara sederhana dilakukan terhadap suhu udara tahunan meliputi suhu rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum di Rendani, Manokwari periode 1993-2019. Metode statistik parametrik regresi linier dan non-parametrik uji tren Mann-Kendall (MK), Modified Mann-Kendall (MMK), Sen’s Slope Estimator (SSE) digunakan untuk menganalisis kecenderungan serta angka indeks untuk analisis perubahan suhu. Uji homogenitas dilakukan menggunakan double mass curve dan asumsi normalitas pada distribusi juga diselidiki untuk memenuhi syarat uji tren regresi linier. Terjadi kecenderungan kenaikan yang signifikan pada suhu rata-rata dan suhu minimum dengan slope sebesar 0,029ºC/tahun dan 0,069ºC/tahun secara berturut-turut. Hasil uji suhu maksimum tidak menunjukkan adanya tren dengan kemiringan 0,009ºC/tahun. Analisis perubahan suhu menggunakan angka indeks menunjukkan terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan sebesar 2,8% atau sebesar 0,7°C, suhu maksimum 1,2% atau 0,4°C, dan suhu minimum sebesar 3,1% atau 0,8°C. Peningkatan suhu udara tahunan di Kota Manokwari secara umum dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti fenomena El Nino, urbanisasi, pertumbuhan penduduk, dan deforestasi.

Kata kunci: Perubahan iklim; uji tren Mann-Kendall; Modified Mann-Kendall; Sen’s Slope Estimator.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 45-57p-ISSN 0216-0897 e-ISSN 2502-6267Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

©2021 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2021.18.1.45-57 45

Page 56: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

46

I. PENDAHULUANBerdasarkan hasil observasi, suhu

permukaan bumi mengalami kenaikan sejak revolusi industri berlangsung (Aldrian, 2011). Pemanasan global akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca berdampak pada perubahan iklim yang ditandai dengan meningkatnya kejadian-kejadian iklim ekstrim (Nugroho, 2019). World Meteorological Organization (WMO) dalam Provisional Statement on the Status of the Global Climate in 2019 menyatakan bahwa kenaikan suhu rata-rata global Januari hingga Oktober 2019 sekitar 1,1 ± 0,1°C di atas tingkat pra-industri dan berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pemanasan akibat ulah manusia mencapai sekitar 0,8°C.

Peningkatan iklim ekstrim, khususnya suhu udara diduga akan semakin menguat sebagai akibat perubahan iklim. Hal ini perlu mendapat perhatian yang lebih serius karena dampaknya akan berpengaruh terhadap aktivitas manusia dan ekosistem alam (Griffiths & Bradley, 2007). Peningkatan suhu dapat menyebabkan insiden gelombang panas, penyakit, dan kematian pada populasi yang rentan. Marsitha, Pattipeilohy, & Virgianto (2019) menyebutkan bahwa peningkatan suhu udara dan penurunan kelembaban udara menyebabkan tingkat kenyamanan bagi manusia yang beraktivitas di luar ruangan akan berkurang.

Untuk mendeteksi perubahan iklim secara sederhana dapat dilakukan dengan analisis kecenderungan dan perubahan. Hal ini telah dilakukan dalam beberapa penelitian. Muharsyah (2012) mendeteksi adanya kecenderungan perubahan suhu udara rata-rata, maksimum, dan minimum menggunakan metode regresi linier dan uji Mann-Kendall dalam kurun waktu 1998-2007 pada beberapa kota di Papua yang mengalami kenaikan suhu bulanan rata-rata dengan tingkat kepercayaan 99% di Kota Jayapura dan Merauke. Penelitian lain tentang uji perubahan rata-rata suhu udara di Pangkal Pinang periode 2000-2011 dilakukan oleh Fadholi (2011) menggunakan

metode regresi linier dan uji t untuk pengujian terhadap rata-rata yang menyimpulkan bahwa ada kecenderungan kenaikan suhu udara rata-rata sebesar 0,0292°C/tahun, suhu udara minimum sebesar 0,0365°C/tahun, dan suhu udara maksimum mengalami penurunan sebesar 0,01095°C/tahun. Rahmawati (2017) menganalisis perbandingan perubahan pola suhu udara rata-rata, maksimum, dan minimum tahun 1980 (base year) dengan tahun 1981-2016 pada beberapa kota di wilayah Indonesia menggunakan metode angka indeks. Hasil analisisnya menunjukkan terjadi peningkatan suhu udara rata-rata, maksimum, dan minimum di beberapa kota dengan peningkatan suhu rata-rata tertinggi sebesar +1,88% atau 0,6°C di wilayah Jakarta, peningkatan suhu udara maksimum tertinggi terjadi di Kota Surabaya sebesar +2,06% atau 0,8°C.

Beberapa penelitian tersebut melakukan pengujian tren suhu udara dengan metode statistik parametrik regresi linier dan non-parametrik Mann-Kendall. Regresi linier sangat baik digunakan apabila data memiliki distribusi normal, independen, dan bukan musiman. Metode non-parametrik Mann-Kendall menggunakan asumsi data independen dan bebas dari jenis distribusi (Hamed & Ramachandra Rao, 1998; Kundzewicz & Radziejewski, 2006). Kenyataannya, data observasi hidro-klimatik pada umumnya tidak selalu terdistribusi normal dan dapat ber-autokorelasi atau berkorelasi secara serial. Masalah autokorelasi dalam data tersebut akan menimbulkan kesalahan interpretasi pada hasil pengujian tren Mann-Kendall (Hamed & Ramachandra Rao, 1998). Untuk mengatasinya, Hamed & Ramachandra Rao (1998) melakukan evaluasi rata-rata dan varians dari statistik uji tren Mann-Kendall yang disebut dengan uji tren Modified Mann-Kendall.

Berdasarkan hal tersebut, dilakukan studi untuk menilai perubahan iklim secara sederhana berdasarkan deteksi kecenderungan terhadap suhu udara tahunan menggunakan

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 43-57

Page 57: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

47

Penilaian Perubahan Iklim ..............................(Femmy Marsitha Barung, Wendel Jan Pattipeilohy, & Robi Muharsyah)

metode parametrik regresi linier dan non-parametrik uji Mann-Kendall, Modified Mann Kendall, dan Sen’s Slope Estimator. Selain itu, analisis perubahan suhu udara tahunan juga dilakukan menggunakan metode angka indeks di Rendani, Manokwari serta membahas penyebab kecenderungan dan perubahan suhu tersebut.

II. METODE PENELITIANData suhu udara harian berupa suhu rata-

rata, suhu maksimum, dan suhu minimum periode 1993-2019 di Rendani, Manokwari diperoleh dari Stasiun Meteorologi Rendani, Manokwari. Data tersebut adalah data observasi selama periode analisis dengan tidak mempertimbangkan fenomena Pemanasan Pulau Perkotaan atau Urban Heat Island (UHI) maupun kejadian kebakaran hutan. Data suhu udara harian kemudian diolah menjadi suhu udara tahunan yang digunakan dalam studi ini untuk menilai perubahan iklim berdasarkan kecenderungan dan perubahannya.

Untuk mendeteksi kecenderungan dan perubahan suhu udara tahunan, diterapkan metode analisis statistik, baik secara parametrik maupun non-parametrik. Langkah pertama, dilakukan uji homogenitas data menggunakan metode Double Mass Curve untuk melihat apakah data suhu udara yang digunakan bersifat homogen atau non-homogen. Data non-homogen diakibatkan oleh beberapa hal seperti pergantian lokasi stasiun, pergantian pengamat atau berubahnya cara pengamatan, dan pergantian alat ukur (Nihayatin & Sutikno, 2013). Kedua, melakukan Exploratory Data Analysis (EDA) pada data suhu udara tahunan untuk mengevaluasi seberapa baik data dalam memenuhi asumsi analisis statistik parametrik, salah satunya dengan distribusi normal (Meals, Spooner, Dressing, & Harcum, 2011). Distribusi probabilitas normal menggambarkan distribusi variabel acak yang sering muncul dalam kehidupan nyata. Variabel acak seperti suhu udara misalnya x, akan mengikuti distribusi normalnya jika Probability Density Function (PDF)

memenuhi persamaan 1 (Subarna, 2017).

dimana: = rata-rata; = standar deviasi.

Analisis statistik deskriptif juga dilakukan sebagai langkah awal untuk mendeteksi kecenderungan berupa varians, skewness, dan kurtosis. Ketiga, mendeteksi kecenderungan atau tren dengan metode parametrik yaitu regresi linier biasa dan non-parametrik menggunakan uji Mann-Kendall (MK), Modified Mann-Kendall (MMK), dan Sen’s Slope Estimator (SSE). Keempat, melakukan perhitungan dan analisis perubahan suhu tahunan menggunakan metode angka indeks. Terakhir, membahas dan menyimpulkan kecenderungan dan perubahan suhu rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum di Rendani, Manokwari.

A. Uji Homogenitas Menggunakan Double Mass CurvePengujian ini dilakukan untuk menguji

konsistensi data dengan menggambarkan data suhu udara rata-rata, maksimum, dan minum kumulatif setiap tahun. Apabila garis yang diperoleh merupakan garis lurus berarti data yang diuji merupakan data yang konsisten (Priambodo, 1990; Rahmawati, 2017).

B. Regresi Linier SederhanaSebelum mengaplikasikan tes ini,

sebaiknya dilakukan pemeriksaan normalitas di mana data hidrologi dan iklim pada umumnya bersifat miring tehadap waktu. Tes ini digunakan untuk mendeskripsikan tren linier di dalam data deret waktu (Haan, 1977).

Persamaan regresi linier sederhana dapat diberikan oleh persamaan 2 (Mangkuatmodjo, 1999).Y = dimana: Y= variabel suhu udara; X= variabel waktu

(tahun); = intercept; = slope/kemiringan tren.

Nilai positif berarti terdapat kecenderungan naik dan nilai negatif mengindikasikan kecenderungan turun (Muharsyah, 2012).

..............(1)

.............................................(2)

Page 58: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

48

C. Uji Tren Mann-Kendall (MK)Uji tren Mann-Kendall dikenalkan oleh

Mann (1945) dan Kendall (1975) yang merupakan metode non-parametrik berbasis ranking yang mengevaluasi serangkaian data untuk hasil tren yang monoton. Uji ini secara luas telah digunakan untuk analisis time series karena sederhana dan robust, memiliki sensitivitas rendah pada data kosong (Gavrilov, Tošić, Marković, Unkašević, & Petrović, 2016) serta tidak memerlukan data yang terdistribusi normal (Helsel & Hirsch, 2002). Formula untuk menghitung S statistik Mann-Kendall dapat dilihat pada persamaan 3.

dimana: j>k; k = 1, 2,…, n-1; j = 2,3,…., n; n = jumlah data yang digunakan.

Sgn (xj–xk) dihitung menggunakan persamaan 4.

Kendall (1975) membuktikan bahwa S terdistribusi secara normal asimptotik dengan parameter rata-rata dan varians-nya (persamaan 5).

dimana: g = jumlah grup terikat dalam dataset; tp = jumlah data terikat ke-p (kelompok terikat adalah sekumpulan data sampel yang memiliki nilai yang sama).

Nilai S positif berarti bahwa terdapat tren yang meningkat, sedangkan S negatif berarti tren menurun terhadap waktu. Ini dibuktikan bahwa untuk jumlah data n>10 maka varian standar normal Z dapat digunakan untuk uji hipotesis (persamaan 6) dengan hipotesis H0: Z = tidak terdapat kecenderungan; H1: Z = terdapat kecenderungan.

Dengan tingkat signifikansi 95% atau α = 0,05 (1,96), maka H0 akan diterima apabila Zα/2 < Z < Zα/2 yang berarti tidak terdapat kecenderungan, begitu pula sebaliknya. Nilai S erat kaitannya dengan koefisien korelasi rank Kendall yang dapat dihitung dengan persaman 7 (Kocsis, Kovács-Székely, & Anda, 2017).

dimana: D = jumlah pasangan data yang mungkin dari jumlah n dataset.

D. Uji Tren Modified Mann-Kendall (MMK)Dari sudut pandang statistik, tidak

diterimanya hipotesis nol (H0) dari uji Mann-Kendall (MK) yang asli hanya menyiratkan bahwa data yang sedang dianalisis tidak dapat dianggap independen dan terdistribusi secara identik (Chandler & Scott, 2011). Dalam aplikasi praktis, penerimaan H0 seperti itu sering dianggap sebagai bukti tidak adanya tren yang signifikan dalam deret waktu meteorologi (agro) yang diberikan. Di sisi lain, tidak diterimanya H0 seperti itu sering dianggap sebagai bukti adanya tren iklim yang signifikan di lokasi tertentu. Dengan demikian, kesalahan tipe I terkait dengan penggunaan tes tren ini dapat terjadi oleh penolakan H0 karena adanya ketergantungan temporal dalam data (Blain, 2013).

Dalam pandangan ini, adanya korelasi serial positif yang signifikan meningkatkan jumlah penolakan palsu dari H0 yang disebutkan di atas (Hamed & Ramachandra Rao, 1998; Yue, Pilon, Phinney, & Cavadias, 2002; Yue & Wang, 2004). Hamed & Ramachandra Rao (1998) mengembangkan faktor koreksi yang memodifikasi varian statistik MK untuk mengkompensasi efek korelasi serial pada data sampel (Yue et al., 2002). Formula untuk

..........................(3)

...(4)

(5)

.....................(6)

...................................(7)

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 43-57

Page 59: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

49

menghitung variansi S dari MKK dapat dilihat pada persamaan 8 dan persamaan 9.

dimana: V(S)* = variansi S MMK; ri = koefisien autokorelasi yang signifikan pada urutan ke-i dari data.

Nilai koefisien autokorelasi diplot menggunakan Autocorrelation Function (ACF). Nilai z dihitung seperti pada metode Mann-Kendall dengan mengganti nilai V(S) dengan V(S)* (Suryanto, 2018).

E. Sen’s Slope Estimator (SSE)Seperti uji tren MK, tren Theil-Sen adalah

prosedur non-parametrik berbasis ranking yang bersifat robust bahkan tidak terpengaruh adanya outlier data dan error data tunggal pada data series (Meals et al., 2011). Uji MK hanya mempertimbangkan tanda naik atau turunnya kecenderungan suatu variabel, bukan besarnya/magnitudo kemiringan. Dengan demikian maka dilakukan perhitungan kemiringan menggunakan metode Sen’s Slope Estimator (persamaan 10). Metode ini menggunakan model linier untuk estimasi kemiringan tren dan varians dari residual harus konstan terhadap waktu (da Silva et al., 2015).

xi′ dan xi adalah nilai data pada saat (atau selama periode waktu) i′ dan i secara berturut-turut, dan di mana i’>i. Jika hanya ada satu datum dalam setiap periode maka nilai ditentukan oleh persamaan 11.

di mana n adalah jumlah periode waktu (Gilbert, 1988; Gocic & Trajkovic, 2013). Nilai

N’ dari Q di-ranking dari terkecil ke terbesar dan median Q memberikan kemiringan slope (Kocsis et al., 2017).

F. Analisis Perubahan Suhu Udara Tahunan Menggunakan Angka IndeksAngka indeks atau index value merupakan

suatu angka atau nilai proporsi yang dapat digunakan untuk membandingkan suatu kejadian atau nilai dari unsur yang sama (seperti suhu udara, curah hujan) dalam kurun waktu yang berbeda (Rahmawati, 2017). Tujuan analisis angka indeks adalah untuk mengukur secara kuantitatif terjadinya perubahan dalam dua atau lebih waktu yang berbeda, misalnya angka indeks suhu udara untuk mengukur persentase kenaikan dan penurunan dari waktu ke waktu. Angka indeks sederhana dapat dilihat pada persamaan 12.

dimana: I (t,0) = parameter pada waktu t dengan waktu dasar 0 (%); p(t) = parameter (nilai unsur) pada waktu t; p (0) = parameter (nilai unsur) pada waktu 0 (waktu dasar).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil1. Uji Homogenitas

Berdasarkan hasil uji homogenitas dengan metode double mass curve (Gambar 1) terlihat bahwa ketiga parameter suhu udara yaitu suhu rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum konsisten atau membentuk garis lurus sehingga dapat disimpulkan bahwa data suhu udara tersebut homogen sesuai dengan teorinya.

2. Statistik Deskriptif dan Analisis DistribusiDeskripsi statistik data suhu udara tahunan

di Rendani, Manokwari dapat dirangkum sebagaimana Tabel 1 dengan nilai yang menjadi perhatian utama adalah varians, skewness, dan kurtosis. Suhu udara rata-rata tahunan periode 1993-2019 tercatat 27,2ºC,

.......................................(8)

..................(9)

.......................................(10)

......................................(11)

...........................(12)

Penilaian Perubahan Iklim ..............................(Femmy Marsitha Barung, Wendel Jan Pattipeilohy, & Robi Muharsyah)

Page 60: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

50

suhu udara maksimum absolut sebesar 32,1ºC, dan suhu minimum absolut yang pernah terjadi adalah 22,5ºC.

Varians adalah ukuran seberapa jauh data suhu udara tersebar dari nilai rata-ratanya. Selama periode 1993-2019, suhu dengan variasi data yang paling besar adalah suhu udara minimum sedangkan variasi data yang terkecil adalah suhu udara maksimum. Terdapat nilai negatif pada kurtosis suhu maksimum (-0,39ºC) dan suhu minimum (-0,12ºC). Kurtosis adalah ukuran yang mengindikasikan apakah fungsi distribusi berbentuk oval atau flat, relatif terhadap bentuk distribusi normalnya.

Semakin kecil nilai negatif pada kurtosis, berarti fungsi distribusi suhu yang dibentuk semakin flat seperti yang ditunjukkan oleh suhu maksimum (Gambar 2).

Nilai skewness/kemiringan pada grafik mengindikasikan seberapa simetris kurva distribusi data proporsional terhadap kiri dan kanan nilai rata-ratanya. Skewness terbesar terjadi pada suhu udara minimum yang berarti bahwa distribusi data suhu minimum miring ke kanan, relatif lebih banyak data yang nilainya lebih besar dari rata-ratanya. Hal ini juga ditunjukkan oleh fungsi distribusi probabilitas yang miring ke kanan terhadap rata-ratanya. Kurva PDF suhu rata-rata

Sumber (Source): Data primer, diolah (Processed from primary data)

Gambar 1 Kurva uji homogenitas suhu udara tahunan di Rendani, ManokwariFigure 1 Annual air temperature homogenity test curve in Rendani, Manokwari.

Tabel 1 Statistik deskriptif suhu udara tahunan di Rendani, ManokwariTable 1 Descriptive statistic of annual air temperature in Rendani, Manokwari

Statistik (Statistics) Trata (Average) Tmax TminMaksimum (Maximum) 28,1 32,1 25,0Minimum (Minimum) 26,5 31,0 22,5Rata-rata (Average) 27,2 31,5 23,7STDV (Standart Deviation) 0,335 0,286 0,612Varians 0,112 0,082 0,374Skewness 0,19 0,28 0,38Kurtosis 0,71 -0,39 -0,12

Sumber (Source): Data primer diolah (Processed from primary data).

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 43-57

Page 61: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

51

menunjukkan kemiringan sedikit ke kiri dengan nilai skewness 0,19. Berdasarkan nilai statistik varian, skewness, dan kurtosis serta kurva PDF vs distribusi normal dapat disimpulkan bahwa distibusi data suhu udara rata-rata, maksimum, dan minimum tidak terdistribusi normal.

3. Tren Regresi LinierModel regresi linier digunakan dalam

studi ini untuk memprediksi tren data di masa depan secara sederhana. Persamaan regresi linier yang berubah terhadap waktu serta hasil signifikansi dapat dilihat pada Tabel 2.

Sumber (Source): Data primer diolah (Processed from primary data)

Gambar 2 Probability Density Function (PDF) suhu udara tahunan vs fungsi distribusi normal Figure 2 Probability Density Function (PDF) annual air temperature vs normal distribution function.

Tabel 2 Hasil tren model regresi linierTable 2 Regression model trend results

Parameter (Parameter) Trata (Average) Tmax TminPersamaan (Equation) Yt = -21,6+0,0244t Yt = -21,6+0,0244t Yt = -21,6+0,0244tSlope +0,244 +0,115 +0,0711R-sq (%) 33,3 10,2 85,1Nilai sign (Sig value) 0,002 0,105 0,000Interpretasi (Interpretation) Signifikan

(Significant)Tidak signifikan(Not significant)

Signifikan (Significant)

Sumber (Source): Data primer diolah (Processed from primary data).

Penilaian Perubahan Iklim ..............................(Femmy Marsitha Barung, Wendel Jan Pattipeilohy, & Robi Muharsyah)

Page 62: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

Berdasarkan nilai slope, ketiga parameter suhu udara memiliki slope positif. Artinya, suhu udara cenderung naik selama periode 1993-2019 dengan kenaikan terbesar terjadi pada suhu rata-rata 0,244ºC/tahun, diikuti suhu maksimum sebesar 0,115ºC/tahun dan kenaikan terkecil adalah suhu minimum sebesar 0,071ºC/tahun. Nilai koefisien determinasi (R-sq) tertinggi terjadi pada suhu udara minimum yang berarti sebesar 85,1% variasi variabel terikat (suhu) dapat dijelaskan oleh variabel bebas (waktu) atau terdapat hubungan linier positif yang kuat pada suhu minimum dari tahun ke tahun. Dengan menggunakan tingkat signifikansi 95% atau alpha 0,05 maka kenaikan suhu rata-rata dan suhu minimum terjadi signifikan sedangkan suhu maksimum tidak signifikan. Hal ini karena nilai p-value pada suhu maksimum >alpha 0,05.

Telah dijelaskan bahwa pendekatan menggunakan regresi linier harus memenuhi asumsi normalitas dan independen sehingga deteksi tren menggunakan regresi linier diabaikan karena suhu udara rata-rata, maksimum, dan minimum tidak terdistribusi normal. Dalam hal ini maka diperlukan aplikasi pendekatan non-parametrik seperti MK, MMK, dan SSE.

4. Uji Tren Mann-Kendall, Modified Mann-Kendall, dan Sen’s Slope EstimatorPenilaian perubahan iklim dengan

mendeteksi kecenderungan meningkat atau menurunnya suhu udara tahunan di Rendani pada periode 1993-2019 juga dilakukan dengan pendekatan non-parametrik berupa

uji MK, MMK, dan SSE. Hasil uji MK dan MMK disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Nilai statistik Kendall (S) yang bernilai besar dan positif mengindikasikan kecenderungan naik, nilai negatif yang besar mengindikasikan kecenderungan turun, dan nilai nol berarti tidak terdapat inklinasi. Nilai S dari suhu rata-rata, maksimum, dan minimum menunjukkan nilai positif yang berarti dengan tingkat kepercayaan 95% suhu udara cenderung naik terhadap waktu. Pengujian Z hitung dengan alpha 0,05 (1,96) menyatakan bahwa suhu rata-rata (Zhit = 3,92) dan suhu minimum (Zhit = 5,96) memiliki tren yang signifikan karena berada di luar rentang Zα/2 < Z < Zα/2 atau H0 ditolak.

Sudah dijelaskan bahwa uji MK tidak mampu mengatasi autokorelasi atau korelasi serial. Nilai positif autokorelasi lag-1 akan menyebabkan nilai signifikansi tren overestimate, baik tren positif maupun negatif (Yue et al., 2002). Plot koefisien autokorelasi disajikan pada Gambar 3. Suhu rata-rata, maksimum, dan minimum menunjukkan autokorelasi yang positif pada lag 1, lag 1 serta lag 1 dan lag 2 secara berturut-turut, ditandai dengan nilai koefisien yang melewati garis Bartlett. Autokorelasi menunjukkan data bersifat dependen (autocolerated). Uji tren MK mensyaratkan data harus independen sehingga untuk deteksi tren data suhu udara tahunan selanjutnya menggunakan metode MMK (Suryanto, 2018). Untuk menghindari kesalahan tipe I, dilakukan uji MMK dengan parameter statistik yang disajikan pada Tabel 4.

5252

Tabel 3 Statistik uji Mann-KendallTable 3 Mann-Kendall test statistics

Parameter (Parameter) Trata (Average) Tmax TminS 189 73 287V (S) 22,56 2196 2278Z hit 3,92 1,50 5,96Pvalue 0,00 0,15 0,00Interpretasi (Interpretation) Signifikan

(Significant)Tidak signifikan(Not significant)

Signifikan (Significant)

Sumber (Source): Data primer diolah (Processed from primary data).

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 43-57

Page 63: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

5353

Koreksi varian pada metode MMK menunjukkan adanya peningkatan varian dari metode MK untuk suhu rata-rata dan suhu maksimum, sedangkan suhu minimum bernilai tetap. Hasil pengujian Z hitung dengan tingkat signifikasi 95% atau alpha 0,05 (1,96), terdapat kecenderungan yang signifikan pada suhu rata-rata dan suhu minimum sedangkan pada suhu maksimum tidak terdapat tren/

kecenderungan. Hal ini karena nilai Z hitung suhu maksimum (1,43) berada pada rentang Zα/2 < Z < Zα/2, maka H0 diterima. Besarnya kenaikan suhu terhadap waktu berdasarkan penerapan SSE adalah 0,029ºC/tahun untuk suhu rata-rata, 0,009ºC/tahun untuk suhu maksimum, dan 0,069ºC/tahun untuk suhu minimum.

Sumber (Source): Data primer diolah (Processed from primary data)

Gambar 3 Plot ACF suhu udara dengan batas signifikansi 5%Figure 3 ACF plot of air temperature with a significance limit of 5%.

Tabel 4 Statistik uji modified Mann-KendallTable 4 Modified Mann-Kendall test statistics

Parameter (Parameter) Trata (Average) Tmax TminV (S) 3152 4124 2278Z hit 3,85 1,43 5,87Pvalue 0,00 0,30 0,00Interpretasi (Interpretation) Signifikan

(Significant)Tidak signifikan(Not significant)

Signifikan (Significant)

Sumber (Source): Data primer diolah (Processed from primary data).

Penilaian Perubahan Iklim ..............................(Femmy Marsitha Barung, Wendel Jan Pattipeilohy, & Robi Muharsyah)

Page 64: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

54

5. Analisis Perubahan Suhu Udara Tahunan Menggunakan Angka IndeksPerubahan tahunan suhu udara

menggunakan angka indeks tahun 1994-2019 terhadap base year tahun 1993 dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil menunjukkan bahwa selama periode 1994-2019 terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan sebesar 2,8% atau 0,7°C, suhu maksimum 1,2% atau 0,4°C, dan suhu minimum sebesar 3,1% atau 0,8°C. Kenaikan suhu tertinggi terjadi pada tahun 1998, tahun 2004 untuk suhu rata-rata, tahun 2014 untuk suhu maksimum, dan tahun 2016 untuk suhu minimum. Jika dilihat dari polanya, suhu minimum naik tajam dari base year setelah tahun 2013 namun suhu maksimum menunjukkan pola sebaliknya yakni pola menurun setelah tahun 2014.

B. PembahasanBerdasarkan beberapa uji tren di atas,

suhu rata-rata dan suhu minimum memiliki kecenderungan naik secara signifikan sedangkan hasil uji untuk suhu maksimum menunjukkan tidak adanya kecenderungan kenaikan selama periode 1993-2019. Begitu pula, hasil analisis perubahan suhu berdasarkan

angka indeks menunjukkan adanya kenaikan suhu minimum dan suhu rata-rata yang tinggi dan konsisten setelah tahun 2013 terhadap base year-nya sedangkan suhu maksimum menunjukkan penurunan setelah tahun 2013 terhadap base year.

Berdasarkan World Meteorological Organitation (2019), 5 tahun terakhir yaitu periode tahun 2015-2019 dan dekade terakhir yaitu periode tahun 2010-2019 menjadi periode terhangat yang pernah tercatat. Tahun 2016 menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat akibat adanya El Nino dengan intensitas kuat. BMKG juga mencatat tahun 2016 menjadi tahun terpanas sepanjang pengamatan dengan nilai anomali sebesar 0,8°C, diikuti tahun 2019 sebesar 0,58°C. Hal ini sesuai dengan identifikasi perubahan menggunakan angka indeks bahwa perubahan suhu udara minimum yang tertinggi terjadi pada tahun 2016 dan naik secara konsisten pada tahun-tahun setelahnya.

Peningkatan suhu tersebut disebabkan oleh peningkatan gas rumah kaca (GRK) utama hasil pembakaran bahan bakar fosil yaitu CO2, CH4, dan NOx serta perubahan penggunaan lahan (IPCC, 2007). Kurangnya ruang

54

Sumber (Source): Data primer diolah (Processed from primary data)

Gambar 4 Grafik perubahan rata-rata suhu udara tahunan di ManokwariFigure 4 Graph of change in average annual air temperature in Manokwari.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 43-57

Page 65: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

5555

terbuka hijau (RTH) dapat menyebabkan peningkatan suhu permukaan sehingga menyebabkan ketidaknyamanan. Winarsa, Sumaryono, & Pambudhi (2012) menyatakan bahwa kurangnya RTH di Kota Manokwari mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekosistem perkotaan, meliputi iklim yang tidak nyaman, meningkatnya suhu udara, dan perubahan kelembaban udara. Beberapa studi mengatakan bahwa peningkatan suhu secara tidak langsung disebabkan karena urbanisasi, pertumbuhan penduduk (Dhorde & Gadgil, 2009), dan deforestasi (Hermawan, 2015; Wang et al., 2014). Pada tahun 2012, lahan hutan di Kota Manokwari mengalami penurunan luas sebesar 152,4 ha (0,64%) serta penggunaan lahan untuk pemukiman dan bangunan non-pemukiman meningkat sebesar 0,03% atau 6,6 ha dalam waktu 5 tahun terakhir (Winarsa et al., 2012). Selain itu, luas lahan yang mengalami degradasi pada tahun 2014-2015 mencapai 1.139 ha, meningkat sebesar 61% dari tahun sebelumnya. Deforestasi yang terjadi antara tahun 2015-2017 mengalami peningkatan yang cukup signifikan yakni mencapai 2.253 ha dibandingkan tahun sebelumnya (Marwa, Sineri, & Hematang, 2020).

Peningkatan suhu, baik dari skala lokal maupun skala global dapat memicu perubahan dalam berbagai aspek cuaca seperti pola angin, energi potensial konvektif, tipe dan frekuensi curah hujan ekstrim. IPCC (2013) menyatakan bahwa tidak dapat dipungkiri peningkatan kejadian iklim ekstrim dapat menyebabkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, angin puting beliung, dan kekeringan. Dalam jangka panjang dapat membawa pengaruh pada lingkungan, sosial, dan ekonomi di mana masyarakat akan menjadi rentan terhadap kejadian iklim ekstrim jika tidak diantisipasi sedini mungkin (Subarna, 2017).

BMKG menyebutkan bahwa dengan menggunakan skenario perubahan iklim RCP4.5 maka perubahan suhu di masa depan (2032-2040) terhadap base year (2006-

2014) mencapai 0,71º-0,75ºC di wilayah Manokwari, Papua Barat di mana skenario ini mengasumsikan bahwa pemerintah berupaya menurunkan emisi GRK di masa depan. Jika tidak ada upaya yang dilakukan, perubahan suhu dapat menjadi lebih besar. Upaya yang dapat dilakukan adalah penambahan RTH di perkotaan, kebijakan urbanisasi dan pertumbuhan penduduk yang strategis, serta pengendalian lingkungan yang tepat.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanBerdasarkan hasil analisis dan pembahasan

maka dapat disimpulkan bahwa terdapat kecenderungan kenaikan perubahan suhu udara yang signifikan pada suhu udara rata-rata dan suhu udara minimum, sedangkan untuk suhu udara maksimum tidak signifikan pada semua metode yang diterapkan. Hal ini juga didukung dengan perbandingan angka indeks pada suhu minimum dan rata-rata yang konsisten mengalami kenaikan setelah tahun 2013 tetapi pada suhu maksimum justru menunjukkan pola menurun setelah tahun 2014.

Peningkatan suhu udara di Kota Manokwari dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti fenomena El Nino pada tahun-tahun tertentu, bertambahnya luas alih fungsi lahan hutan menjadi pemukiman yang meningkat selama periode 2008-2012 yang menyebabkan kurangnya RTH, urbanisasi, serta pertumbuhan penduduk.

B. SaranSalah satu dampak dari perubahan iklim

yaitu terjadinya perubahan secara signifikan dari parameter cuaca seperti suhu udara dan curah hujan. Untuk itu maka diperlukan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi secara masif terhadap perubahan iklim dari berbagai sektor sehingga mampu beradaptasi dan meminimalisir kerugian atau dampak buruk yang ditimbulkan.

Penilaian Perubahan Iklim ..............................(Femmy Marsitha Barung, Wendel Jan Pattipeilohy, & Robi Muharsyah)

Page 66: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan berpartisipasi dalam proses penilitian ini, secara khusus kepada Stasiun Meteorologi Rendani atas dukungan data observasi sehingga jurnal penelitian ini dapat selesai dengan baik. Pada penelitian ini, penulis pertama dan kedua adalah kontributor utama sedangkan penulis ketiga adalah kontributor anggota.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E. (2011). Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim global. Prasetya Online, Issue November 2011.

Blain, G. C. (2013). The modified Mann-Kendall test: on the performance of three variance correction approaches. Bragantia, 72(4), 416-425. https://doi.org/10.1590/brag.2013.045.

Chandler, R. E. & Scott, E. M. (2011). Statistical methods for trend detection and analysis in the environmental science. Chichester UK: John Wiley & Sons Ltd. https://doi.org/10.1002/9781119991571.

da Silva, R. M., Santos, C. A. G., Moreira, M., Corte-Real, J., Silva, V. C. L., & Medeiros, I. C. (2015). Rainfall and river flow trends using Mann–Kendall and Sen’s Slope Estimator statistical tests in the Cobres River basin. Natural Hazards, 77, 1205-1221. https://doi.org/10.1007/s11069-015-1644-7.

Dhorde, A. & Gadgil, A. (2009). Long-term temperature trends at four largest cities of India during the twentieth Century. J Ind Geophys Union, 13(2), 85-95.

Fadholi, A. (2011). Uji perubahan rata-rata suhu udara dan curah hujan di Kota Pangkalpinang. Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi, 14(1), 11-25.

Gavrilov, M. B., Tošić, I., Marković, S. B., Unkašević, M., & Petrović, P. (2016). Analysis of annual and seasonal temperature trends using the Mann-Kendall test in Vojvodina, Serbia. Idojaras, 120(2), 183-198.

Gilbert, R. O. (1988). Statistical methods for environmental pollution monitoring. Biometrics, 44(1), 319-319. https://doi.org/10.2307/2531935.

Gocic, M. & Trajkovic, S. (2013). Analysis of changes in meteorological variables using Mann-

Kendall and Sen’s Slope Estimator statistical tests in Serbia. Global and Planetary Change, 100(1), 172-182. https://doi.org/10.1016/j.gloplacha.2012.10.014.

Griffiths, M. L. & Bradley, R. S. (2007). Variations of twentieth-century temperature and precipitation extreme indicators in the northeast United States. Journal of Climate, 20(21), 5401-5417. https://doi.org/10.1175/2007JCLI1594.1.

Haan, C. T. (1977). Statistical methods in hydrology. Statistical Methods in Hydrology, 41(1), 190-192. https://doi.org/10.1016/0022-1694(79)90123-9.

Hamed, K. H. & Ramachandra Rao, A. (1998). A modified Mann-Kendall trend test for autocorrelated data. Journal of Hydrology, 204(1-4), 182-196 . https://doi.org/10.1016/S0022-1694(97)00125-X.

Helsel, D. R. & Hirsch, R. M. (2002). Statistical Methods in Water Resources (Laporan Hasil Penelitian). Reston: U.S. Geological Survey. https://doi.org/10.3133/twri04A3.

Hermawan, E. (2015). Fenomena urban heat island (UHI) pada beberapa kota besar di Indonesia sebagai salah satu dampak perubahan lingkungan global. Jurnal Citra Widya Edukasi, 7(1), 33-45.

IPCC (2007). Climate change 2007: Contribution of Working Groups I, II and III to the Fourth Assessment report of the Intergovernmental Panel on Climate Change.[Core Wiriting team, Pachauri, R.K and Reisinger, A. (eds)]. (Synthesis report). Geneva, Switzerland: IPCC.

IPCC (2013). Climate change 2013: the physical science basis. Contribution of working group I to the fifth assessment report of the Intergovermental Panel on Climate Change. In Stocker, T.F., D. Qin, G. –K. Plattner, M. Tignor, S.K. Allen, J. Boschung, A. Nauels, Y. Xia, V. Bex and P.M. Midgley (eds). Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA: Cambridge University Press.

Kendall, M.G. (1975). Rank correlation methods (4th

Edition). London, UK: Charles Griffin.Kocsis, T., Kovács-Székely, I., & Anda, A. (2017).

Comparison of parametric and non-parametric time-series analysis methods on a long-term meteorological data set. Central European Geology, 60(3), 316-332. https://doi.org/10.1556/24.60.2017.011.

Kundzewicz, Z. W. & Radziejewski, M. (2006). Methodologies for trend detection (pp 538-549). Proceedings of the Fifth FRIEND World Conference. Cuba, November 2006. Wallingford: International Association of Hydrological Sciences.

56

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 43-57

Page 67: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

57

Mann, H. (1945). Nonparametric tests against trend. Econometrica, 13(3), 245-259. doi:10.2307/19071887.

Mangkuatmodjo, S. (1999). Statistik lanjutan. Banda Aceh: Penerbit Rineka Cipta.

Marsitha, F. B., Pattipeilohy, W. J., & Virgianto, R. H. (2019). Kenyamanan termal klimatologis kota-kota besar di Pulau Sulawesi berdasarkan temperature humidity index (THI). Jurnal Saintika Unpam: Jurnal Sains dan Matematika Unpam, 1(2), 202-211. https://doi.org/10.32493/jsmu.v1i2.2384.

Marwa, J., Sineri, A. S., & Hematang, F. (2020). Daya dukung bioekologi hutan dan lahan di Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Sylva Lestari, 8(2), 197–206.

Meals, D. W., Spooner, J., Dressing, S. A., & Harcum, J. B. (2011). Statistical analysis for monotonic trends. National Nonpoint Source Monitoring Program, 1–23.

Muharsyah, R. (2012). Deteksi kecenderungan perubahan temperatur menggunakan metode regresi linier dan uji Mann-Kendall di sejumlah wilayah Papua. MegaSains, 1.

Nihayatin, L. Z. & Sutikno. (2013). Perbandingan uji homogenitas runtun data curah hujan sebagai pra-pemrosesan kajian perubahan iklim. Jurnal Sains dan Seni ITS, 2(2), 255-259. https://doi.org/10.12962/j23373520.v2i2.4851.

Nugroho, S. (2019). Analisis iklim ekstrim untuk deteksi perubahan iklim di Sumatera Barat. Jurnal Ilmu Lingkungan, 17(1),7-14. https://doi.org/10.14710/jil.17.1.7-14.

Priambodo, B. (1990). Pengujian keandalan data curah hujan di daerah irigasi Cikeusik, Kabupaten Cirebon. Agritech, 10(3), 28–36. https://doi.org/https://doi.org/10.22146/agritech.19065.

Rahmawati, U. (2017). Analisis perubahan suhu udara menggunakan metode angka indeks di beberapa kota di Indonesia. (Skripsi). Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.

Subarna, D. (2017). Analysis of long-term temperature trend as an urban climate change indicator. Forum Geografi, 31(2), 196–208. https://doi.org/10.23917/forgeo.v31i2.4189.

Suryanto, J. (2018). Analisis kecenderungan curah hujan Kabupaten Magelang menggunakan uji Mann-Kendall dan variasi modifikasi Mann-Kendall. Agrifor, XVII(2), 293–304. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004.

Wang, Y., Ji, W., Yu, X., Xu, X., Jiang, D., Wang, Z., & Zhuang, D. (2014). The impact of urbanization on the annual average temperature of the past 60 years in Beijing. Advances in Meteorology, Article ID 374987, 1-9. https://doi.org/10.1155/2014/374987.

Winarsa, A., Sumaryono, M., & Pambudhi, F. (2012). Sebaran dan kondisi hutan kawasan perkotaan serta pengaruhnya terhadap iklim mikro Manokwari. Jurnal Kehutanan Tropika Humida, 5(1), 1-14.

World Meteorological Organitation. (2019). WMO provisional statement on the status of the global climate in 2019 (Laporan Hasil Penelitian). Jenewa: World Meteorological Organitation.

Yue, S., Pilon, P., Phinney, B., & Cavadias, G. (2002). The influence of autocorrelation on the ability to detect trend in hydrological series. Hydrological Processes. https://doi.org/10.1002/hyp.1095.

Yue, S. & Wang, C. Y. (2004). The Mann-Kendall test modified by effective sample size to detect trend in serially correlated hydrological series. Water Resources Management, 18, 201-218. https://doi.org/10.1023/B:WARM.0000043140.61082.60.

Penilaian Perubahan Iklim ..............................(Femmy Marsitha Barung, Wendel Jan Pattipeilohy, & Robi Muharsyah)

Page 68: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

58

Halaman ini dibiarkan kosong(This page is left blank)

Page 69: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

VILLAGE-OWNED ENTERPRISES (BUMDES) AS A COLLABORATIVE MODEL ENVIRONMENTAL MANAGEMENT

(Badan Usaha Milik Desa-BUMDes sebagai Model Kolaboratif Pengelolaan Lingkungan) Jagad Aditya Dewantara1, Efriani2, La Ode Topo Jers3, Wibowo Heru Prasetiyo4, & Sulistyarini1

1Department of Civic Education, Faculty of Teacher Training and Education, Tanjungpura University,Jl. Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Pontianak, Indonesia; email: [email protected],

2Department of Anthropology, Faculty of Social Science and Political Science, Tanjungpura University, Jl. Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Pontianak, Indonesia; email: [email protected]

3Department of Anthropology, Faculty of Cultural Studies, Halu Oleo University, Kampus Hijau Bumi Tridharma, Kendari, Indonesia; email: [email protected]

4Department of Civic Education, Faculty of Teacher Training and Education, Muhammadiyah University, Jl. A. Yani Mendungan-Pabelan, Surakarta, Indonesia; email: [email protected]

Submitted 29 Januari 2021, revised 29 April 2021, accepted 30 April 2021

ABSTRAK

Beberapa kasus pengelolaan lahan gambut, khususnya di Kalimantan, menimbulkan masalah lingkungan yang serius, terutama lahan yang mudah terbakar. Penduduk lokal di sekitar kawasan itu adalah yang pertama menerima dampak. Oleh karena itu, pengelolaan lahan gambut perlu dilakukan secara hati-hati dan membutuhkan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Tujuan penelitian adalah untuk menemukan model pengelolaan lahan gambut yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat lokal melalui progam Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan, ditemukan adanya pengelolaan lahan gambut dengan model kolaboratif antara pemerintah (negara) dan masyarakat lokal di Desa Rasau Jaya Tiga dalam bentuk BUMDes Maju Jaya. Hasil penelitian mencakup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, dan pengawasan kawasan lahan gambut. Pemerintah menyediakan dana dan legalitas sedangkan masyarakat lokal melakukan pemanfaatan, pengelolaan, dan pengawasan lahan gambut melalui budaya gotong royong. Dalam kajian ini, fungsi lahan gambut sebagai objek wisata yang dikelola oleh masyarakat setempat (ekowisata). Implementasi nyata dari kolaborasi pemerintah dengan masyarakat setempat telah membuka mata pencaharian baru bagi masyarakat tanpa merusak ekosistem ekologi lahan gambut.

Kata kunci: Kolaborasi manajemen sumber daya; lahan gambut; BUMDes.

ABSTRACT

Some peatland management cases, particularly in Kalimantan, cause serious environmental problems, especially in flammable land. Local people around the area are the first to receive the impacts. Therefore, peatland management needs to be prudent and requires sustainable environmental management. This study aims to find a model for peatland management carried out by the government and local communities through BUMDes program. According to the interview results and field observations, peatland management with a collaborative model between the government (state) and the local community in Rasau Jaya Village is found in the form of Maju Jaya Village-owned Enterprises (BUMDes). This research includes planning, utilization, management, and supervision of the peatland area. The government provides funds and legality, while the local communities carry out peatland utilization, management, and maintenance through mutual cooperation culture. In this study, peatland functions as a tourist attraction managed by the local community (ecotourism). Real implementation government collaboration with the local community has opened up new livelihoods for communities without undermining peatlands' ecological ecosystem.

Keywords: Resource management collaboration; peatland; village-owned enterprises (BUMDes).

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 59-78p-ISSN 0216-0897 e-ISSN 2502-6267Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

©2021 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2021.18.1.59-78 59

Page 70: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

I. INTRODUCTIONIndonesia is estimated to have more than

14.95 million hectares of peatland which spreads on Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, and Papua islands. Therefore, Indonesia occupies the fourth position in the world after Canada, the Soviet Union, and the United States with the largest peatland area (Wahyunto, Nugroho, Ritung, & Sulaeman, 2014). The peatland area is very prone to damage and will be difficult to be restored. Thus, as natural resources, peatlands must be protected from damage in addition to their use for cultivation, using appropriate, and sustainable rules. Peatland utilization and management must be carried out properly based on the principles of conservation and sustainable development regarding ecological, economic, social, and cultural aspects (Glenk & Martin-ortega, 2018; Miettinen, Shi, & Liew, 2012; Suriadikarta, 2012).

Peatland areas have fragile ecosystems because the peat environment is a swamp. Peat ecosystems have inseparable elements that form a whole comprehensive unity and influence to each other in shaping its balance, stability, and productivity. Therefore, protecting and managing peat ecosystems must be carried out with systematic and integrated efforts so that sustainable peat ecosystem functions are realized and peat ecosystem damage can be prevented (Robiyanto S., Nurmala, Setiadi, & Nurholis, 2017).

Peatland damage issues add to the long record of environmental damage in Indonesia (Aswandi, Sadono, Supriyo, & Hartono, 2016; Masganti, Anwar, & Susanti, 2017; Widyati, 2010), especially in West Kalimantan. Many people of West Kalimantan are not compliant with government policies on the prohibition of burning peatland; this indicates that land damage is caused by deliberate social processes that result in the lack of community civilization towards natural resources management and environment. To overcome this, community involvement is needed in protecting the environment as

an important capital for every individual to conserve natural resources (Liao, Ho, & Yang, 2016). The contribution of each individual as a pro-environment soft power is needed because community awareness comes from individual awareness (Prasetiyo, Kamarudin, & Dewantara, 2019; Steg & Vlek, 2009). Therefore, pro-environment behavior needs to be applied as a basis for initial thought in raising community awareness, especially in peatlands, and other areas that have the potentials for disaster.

The Indonesian constitution concerning the protection and management of the area has been stipulated in Law Number 32 of 2009 Article 1 Paragraph 2. This law is systematic and consists of integrated steps to preserve environment functions. The systematic and integrated efforts in peatland management are reflected in one of the determinants relating to community welfare. Community involvement in peatland management can increase community ability to optimize the use of natural resources without damaging the environment.

Community involvement in the form of indigenous communities in managing the environment has shown positive values. For instance, the practice of shifting cultivation by Dayak community in Kalimantan (Hijjang, 2019); local knowledge of people in North Sumatera has realized the preservation of natural tourism parks and water resources in TWA Sicike-Cike forest area (Odorlina, Situmorang, & Simanjuntak, 2015), and several more examples of the success of local communities in environmental management (Alcorn, 2010; Berkes, Colding, & Folke, 2000; Puspaningrum, 2015). Iskandar states that Indonesian people, especially those who live in rural areas, generally have a strong relationship with their environment, such as in forest areas (Iskandar, 2012). In fact, in many cases, before a forest area is designated as a nature conservation area, the forest area has been inhabited and managed by local communities for generations of hundreds

60

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 59-78

Page 71: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

61

Village-Owned Enterprises (BUMDes) As a Collaborative Model Environmental Management ...........(Jagad Aditya Dewantara, Efriani, La Ode Topo Jers, Wibowo Heru Prasetiyo, & Sulistyarini)

of years or more. Each ethnic group has a variety of traditional knowledge related to surrounding biodiversity (Darajati et al., 2016).

Communal environmental management is called a Common Property Regime (Bromley & Cernea, 1989). Studies on the Common Property Regimes are mostly carried out by previous researchers, but some of them mostly studied the use of shared natural resources (Vatn, 2001), the rights of community groups in natural resource management (Barsimantov & Kendall, 2012), and there are even studies on Common Property Regimes discussing phenomena that occur in developing countries, especially those which emphasize performance development based on economics (Wiersum, Singhal, & Benneker, 2004). Communal environmental management has shown success in utilizing a sustainable environment (Agrawal, 2014; Al-Fattal, 2009; Baharudin, 2012; Barbieri & Aguilar, 2011; Efriani, Gunawan, & Judistira, 2019). Therefore, in many countries, local community-based environmental management has received legality from the government (state). The phenomenon in several countries in Europe has involved the community to be active and responsive in maintaining and managing natural resources wisely (Wiersum et al., 2004). As a comparison of Asian and American countries, the Indian government through the forestry department also collaborates with local communities in environmental management (Singh, 2003); the same thing was done by the Government of Peru (Barbieri & Aguilar, 2011).

In the case of Indonesia, it appears that the legality of environmental management based on local communities has also been carried out by the government through the village community empowerment program. Guidance programs generally achieve success because the public trusts in the government. After all, the program is implemented with the principles of openness and justice, which form the values of solidarity and responsibility

within the community. As seen in the community empowerment program carried out by Serdang Bedagai Regency government of North Sumatera Province to the fishing community in Kwala Lama Village who helps repairing damage to the coastal environment. In this phenomenon, it appears that the empowerment process shows its success (Fitriansah, 2012). Involving the community activities in various conservation activities is also the government's strategy in environment management. In the case of local community-based ecotourism management carried out by Tesso Nilo National Park (TNNP) authority in Riau Province, it has shown the government's success in overcoming illegal hunting, encroachment, and forest fires. In this strategy, the government plays a role as an aid provider and the community as an aid recipient, creating collaborative ecotourism management by combining government programs with the potentials of local communities (Putri & Kahfi, 2019). In this article, the researchers present a phenomenon of environment management carried out by the local community and by the Indonesian government. This phenomenon is seen in the BUMDes Maju Jaya program in Rasau Jaya Tiga, namely the management of peatland area.

Therefore, BUMDes Rasau Jaya Tiga becomes a collaborative model of state program involving indigenous people, especially in resource management based on sustainable environment. This phenomenon becomes interesting to be described and explained as a collaborative model of environment management between the government (state) and local communities based on civic virtues. In the case of peatland management in Rasau Jaya Tiga Village, Village-owned Enterprise (BUMDes) is an alternative to environment management in a collaborative form between State Property Regimes and Common Property Regimes.

This study aims to present a new model in environment management spearheaded

Page 72: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

62

by local communities through community empowerment programs known as BUMDes. This study bases on a research question: how can BUMDes program be a collaborative model between the government and local communities in sustainable environment management in peatland areas?

The statement above shows that this article adds a reference to the involvement of local communities who are pro-environment to prevent disasters in peatlands. It also relates to BUMDes program from the government which is able to synergize with local community who contributes to the prevention of peatland fires, community involvement in protecting environment, and empowering local communities around the peatland area. This study aims to describe the success of BUMDes program as a new collaboration between State Property Regimes and Common Property Regimes, which in its implementation, can turn peatland into agricultural land areas as well as business for shared uses. This is done by the local community of Rasau Jaya Tiga Village to develop virtue in the community in the environment field which aims to build natural resources and livelihoods on shared land ownership. The existence of these BUMDes has positive and reasonable consequences for peatland management which has initially been challenging to cultivate profitable assets for the Rasau Jaya Tiga community. BUMDes exists to create social involvement in the community to manage peatlands properly. Even the peatland areas are adequately addressed so that the balance between nature and humans is well maintained.

II. METHODThis study implements qualitative

methods with a case study research design. Researchers conduct this research and at the same time also become the participants in the fieldwork to obtain data through observation, interviews, and documentation (Creswell, 2009). Preliminary data are collected through observation and it performs significance in the

use of peatlands in agriculture and economic sectors. After conducting observation, researchers conduct data deepening through interviews with informants and document analysis. This study uses a case study because it can reconstruct findings naturally. Therefore, symptoms and facts from the field can be obtained factually and could present knowledge to provide holistic data. These reasons are the basis for taking a qualitative case study method.

Purposive sampling is chosen to determine the research subjects, i.e. the people of Rasau Jaya Tiga Village and community leaders as many as 18 informants. Data analysis technique is carried out through data reduction, data display, verification, and general drawing, and specific conclusions (Miles & Huberman, 1994). This study is conducted in West Kalimantan, Kubu Raya Regency, located in Rasau Jaya Tiga Village. The total land area of Rasau Jaya Tiga is approximately 21.30 km² which consists of rain-fed rice fields, open fields, settlements, tidal land, plantation land, state plantation land, public facilities land, village treasury, yard, offices, and others with thick peatland geographical conditions. People in Rasau Jaya Tiga Village are mostly migrants from Java who entered West Kalimantan through the transmigration program in 1970. As peasants, they uphold their unique traditions known as mutual cooperation.

The purposive sampling model is taken in determining and obtaining field data. Researchers use this model to obtain in-depth information from the informants in the field. Informants of this study includes indigenous people living in Rasau Jaya Tiga Village, community leaders, and those involved in BUMDes program. A total of 18 informants consists of 12 residents in Rasau Jaya, 4 community leaders, and 2 civil servants engaged in BUMDes program. In obtaining data from the field, researchers conduct interviews and observations as well as documentation of field results. The

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 59-78

Page 73: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

63

researchers, then, compare the results with interviews with other residents out of the 18 selected informants. The purpose of this comparison is to obtain valid data quality with satisfactory results (Denzin, 2009; Naeem et al., 2016).

To obtain the research data, the researchers come to the village and make a preliminary observation. Researchers conduct interview with the informants at Rasau Jaya Tiga Village. The interview questions focuse on 4 points, namely peat environment management, concept of BUMDes program, and impacts of BUMDes program implementation for the community. After all, data are collected, researchers conduct data analysis using data coding model A (community), B (public figure), C (environment managers), and D (supporting informants). Data coding that has been obtained are then analyzed through data reduction and re-reading to determine feasibility of each informant's data description to facilitate researchers in triangulating and grouping the research data (Strauss & Corbin, 1998).

This research is not only revealing the fact that BUMDes as economic institutions, but also a collaboration model between State Property Regimes and Common Property Regimes on peatland management. This is done to find a description of collaborative peatland management that has economic and ecological value.

III. RESULTS AND DISCUSSION

A. ResultsPeatland area in Kalimantan island reaches

4.7 million hectares which spreads across the provinces of West Kalimantan and Central Kalimantan with 1,729,000 hectares and 3,070,000 hectares respectively. In West Kalimantan, there are four Hydrological Units of Peat (HUP) which in 2019 were targeted for peat restoration, HU of the Pungur Besar River–Kapuas River, HUP of Matan River–Rantau Panjang River, HUP of Mading River–

Jelai River and HUP of Keramat River–Jelai River (Noviar, 2018).

Of the several regencies determined as the target of restoration, Kubu Raya district has 48,763 hectares (40.76%) of the total restoration target of 119,634 hectare-area of West Kalimantan Province. Rasau Jaya Tiga Village is one of 6 sub-districts in Rasau Jaya sub-district, in Kubu Raya Regency, which are considered as HUP restoration targets. Rasau Jaya Tiga Village is part of HUP of Pungur Besar River-Kapuas River, Kubu Raya Regency (Darajati et al., 2016; Noviar, 2018).

In Rasau Jaya 3 Mid-term Development Plan (RPJM), which is valid for 6 years, i.e. in 2019-2025, there are 4 policy directions and village development priorities. BUMDes can take part in realising policy directions and development guidelines in the field of Community Development and Community Empowerment. These two areas contain the plan of: (1) Increasing agricultural development, both wetlands (rice fields) or dry land (plantations) through increased production, post-harvest and agribusiness-oriented marketing, by taking into account the preservation of available land and water resources; (2) Establishing village businesses that are adapted to existing resources to ease the burden on the community and support physical and non-physical developments; (3) Increasing community participation to assist both central and regional governments in the management and preservation of living natural resources and their ecosystems; increasing public interest in the effort to conserve biodiversity and environment through captive breeding and habitat rehabilitation, collaborating with non-governmental organisations through guidance and counselling programs (Rasau Jaya Tiga Village Regulation Number 1 of 2020). In the RPJM of Desa Rasau Jaya Tiga, there are no policy direction and priority programs regarding peatland management.

Village-Owned Enterprises (BUMDes) As a Collaborative Model Environmental Management ...........(Jagad Aditya Dewantara, Efriani, La Ode Topo Jers, Wibowo Heru Prasetiyo, & Sulistyarini)

Page 74: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

64

Currently, the use of peatlands in Rasau Jaya Tiga Village is starting to be limited due to ongoing environmental damage, which impacts to climate change. Managing peatlands by converting land into industrial forest planting in the form of oil palm plantations causes reduced water content in the peat, which can lead to land fires, degrades environmental quality, oxidation-reduction processes that increase greenhouse gas emissions (Widyati, 2010). Peatland utilization requires great caution and well managed well so as not to cause land damage (subsidence), and environmental damage due to pollution and increased carbon emissions (Sawerah, Muljono, & Tjitropranoto, 2016). Therefore, it is necessary to have appropriate solutions and socialization in utilizing or managing peatlands by the community without burning and damaging the peat ecosystem.

In this study, BUMDes Maju Jaya possesses an innovation and new finding in peatland management. BUMDes is an institution that is built to optimize natural resources and accommodate the economic activities of the community so that the natural resources in Rasau Jaya Tiga Village are well-managed and more structured. In addition, BUMDes Maju Jaya has a number of business units such as tent and chair rentals, kiosks at BUMDes park areas, savings and loan economic business units, building material supply services, and Rajati Flower Garden tourism park development which has proven able to empower community’s potentials in managing BUMDes business units.

BUMDes Maju Jaya is established as a new approach to improve the village economy based on the needs and natural resource potentials in the village. BUMDes Maju Jaya is managed independently by the community of Rasau Jaya Tiga Village in mutual cooperation. BUMDes Maju Jaya becomes a business unit that opens economic activities for the local community and is managed professionally. Through BUMDes Maju Jaya, the people of Rasau Jaya Tiga Village have shown their

village independence for improving the community’s welfare (Zulkarnaen, 2016).

Initially, Rasau Jaya Tiga Village was a trench area, but the community did not take care of the village's assets so that the trench is gradually filled with trash. In addition, shrubs that grow around the ditch are also worsening the environment condition. Therefore, the head of Rasau Jaya Tiga Village that time innovated an idea to develop the village through a trench revitalization as the village asset to become a tourism attraction. The idea was then taken to the Village Deliberation Forum with BUMDes administrators. Initially, the plan gave rise to the pros and cons from the community. Some people were excited and happy with the idea because they would have a tourist attraction close to their settlements at prices so that it would be economically affordable. However, some others criticized it because the tourist attraction was that time considered to disrupt the traffic lines. Village Deliberation Forum, finally agreed that the Village Fund would be allocated to build a flower garden, and in September 2018, the construction of the park was carried out. One month later, Rajati Flower Garden was officially announced and opened to public and has provided benefits for the community.

Young people in Rasau Jaya Tiga Village, sub-district of Rasau Jaya, Kubu Raya Regency, in the province of West Kalimantan that time were able to initiate a change in what was originally just empty land with thick peats, lots of weeds, and rubbish into a Natural Tourism Destination called Rajati (Rasau Jaya Tiga) Flower Garden. BUMDes program is able to produce positive results for the economic development of the village (Zulkarnaen, 2016).

The success of Rajati Flower Garden is inseparable from the collaboration between the government and the community around peatlands. Karang taruna (youth community) in Rasau Jaya Tiga Village are able to embrace and mobilize dozens of their friends to start doing a change in their village. They build

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 59-78

Page 75: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

65

the concept of tourist village of Rajati Flower Garden. Rajati Flower Garden is planted with various ornamental plants to beautify the atmosphere. Various types of flowers are planted, especially sunflowers, which much attract visiting tourists. There is no unique technology implemented in the planting process on the peatland area, which has shallow to moderate peat thickness of around 0.5 m to 3 m. Rajati's ecotourism flower garden is an alternative management of peatlands, which have been managed for around 50-60% of peatland for the production of food crops and horticulture (Masganti et al., 2017). Rajati Flower Garden utilizes not only the land but also the trenches as water tourism with two duck pedal boats. These duck pedal boats can be rented by visitors to cross along the river while enjoying the beautiful sunflowers and other plants provided in the area.

Visitors of the garden are not only from Rasau Jaya Village, but also from Teluk Pakedai sub-district and even residents of Pontianak in Siantan and Kota Baru areas. They enjoy the natural beauty and reforestation in Rasau Jaya Tiga Village. The number of tourist visits to Rajati Flower Garden is relatively high, especially on weekends; the number of visitors can reach approximately 500 people or even it could reach more in the new year, around 1,000 people. The daily income from the entrance ticket reaches IDR 2-3 million.

The community also forms a team of Rajati Flower Garden supporting management as a BUMDes partners. As examples, Rajati Flower Garden guard team consists of the youth of karang taruna of Rasau Jaya Tiga who has tasks to manage the parking area, the duck paddle boats, and the children’s playground area. The personnels of the mangemant team of Rajati Flower Garden works in two shifts: morning and evening. Most people in Rasau Jaya Tiga Village have turned themselves into culinary entrepreneurs by opening shops in the tourist area.Consequently, Rasau Jaya Tiga Village has a higher income and at the same time also could absorb some more

new workers. The situation happens due to the creativity of the village government in revitalizing the village assets which were originally dirty trenches and shrubs, now they turn into a beautiful flower garden.

The BUMDes program has a huge impact on the environment. It becomes a new environmental management through the concept of local institutions (Commons Property Regimes). BUMDes program is also civic virtues in the environmental field because the people in Rasau Jaya still hold Javanese cultural traditions called mutual cooperation (Adha, Budimansyah, Kartadinata, & Sundawa, 2019; Prochaska, 2002; Richard, 1997). The mutual cooperation culture carried out in Rasau Jaya Tiga is to protect natural resources and the environment. In this case, working together so that the natural resources provided by the earth are protected together as a livelihood which is also a pro-environmental behavior (Jagers, Martinsson, & Matti, 2014).

BUMDes program can stimulate people of Rasau Jaya Tiga Village in learning about ecology and friendly-environmental villages. BUMDes program can be realized because of the participation and mutual cooperation from the people of Rasau Jaya Tiga Village, through community participation in implementing both material and non-material peatland management activities. Community material participation are delivered in some forms of supports such as financial donations, plant supplies, and other supplies of goods. Various types of plant seeds are donated by the people of Rasau Jaya Tiga Village, such as flower, vegetable, and fruit seeds. In addition, various material donations are also delivered to the construction of the Rajati Flower Garden ecotourism in the form of paint, pots, polybags, and other goods. The community also participates and involves in contributing ideas and time. The community participation can be seen from community service activities or mutual cooperation.

Community participation in the management, utilization, and supervision

Village-Owned Enterprises (BUMDes) As a Collaborative Model Environmental Management ...........(Jagad Aditya Dewantara, Efriani, La Ode Topo Jers, Wibowo Heru Prasetiyo, & Sulistyarini)

Page 76: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

66

of peatlands are optimizing the existence of natural resources without damaging the environment (Schnee, Better, & Cummings, 2016). Various community roles applied on peatlands should be able to create job opportunities, business opportunities, and benefits that can improve the social community welfare while maintaining sustainable peatland environment in accordance with ecological rules (Miettinen et al., 2012).

Mutual cooperation is closely related to the life of the rural community where it is often regarded as an ideal representation of community life related to how the implementation of mutual cooperation values has always existed for generations and has become a cultural heritage. The life of mutual cooperation in rural areas is not spared from challenges and even obstacles that can affect the existence of mutual cooperation itself, especially with the current dynamic and complex community conditions, the effect of modernization, globalization, and coupled with the community of Rasau Jaya Tiga Village who are mostly transmigrants. Of course, it is not easy for the community to maintain the existence of mutual cooperation. Despite the existence of such conditions, it is expected that the values of mutual cooperation remain as the basic value of the social life of the community which will result in the manifestation of national identity and civic culture (Couldry, Stephansen, Fotopoulou, Clark, & Dickens, 2014).

Awareness of the civic culture is essential for social life in Indonesia, therefore, it is necessary to preserve cultural values so as not to be eroded or even extinct. Indonesian people need to have an awareness and strong desire to participate in developing and preserving local and national culture as a civic culture. In addition to being a cultural identity as community local wisdom, mutual cooperation can certainly be a civic virtue representation that can make an individual a wise citizen related to how to behave, to act and to control themselves. Besides, the basic

value of togetherness from mutual cooperation concept is in line with the concept of civic virtues. The concept of civic virtues does not only reflect to actions and mindsets that refer to the civic virtues that a person has but also the values of interaction with others (Moore, 2012; White, 2010).

B. Discussion1. A Collaboration Between State Property

Regimes and Common Property in the BUMDes Program in IndonesiaEnvironment management is closely

related to ownership and Resource Management Regimes (Bromley & Cernea, 1989). Bromley & Cernea (1989) divide Resource Management Regimes into four: private property, common property, state property, and open access.

Many cases occur in 4 forms of ownership classified by Bromley & Cernea, 1989). In some cases, the private property regime shows poor resource management. For example, farming community in Loma Alta rural area, based on recognition from ecuadorian government, traditionally formed a set of special and internal rules to manage forest as much as possible to the point of exploitation (Barbieri & Aguilar, 2011). In other cases, there was an exploitation of privately owned agricultural lands among Australian farmers (Reeve, 1996). These cases show that resource management based on private property regimes is shifting to open access regimes. However, in some cases, common property regimes contribute much to the conservative values of natural resources. In common property regimes, the environment is managed communally in the community, especially the community around the resources. In general, those who close to resources are indigenous people or local communities.

In their mutual interaction with the environment, in addition to being influenced by their belief systems, indigenous people are also influenced by their local knowledge systems (Iskandar, 2012). The United Nations

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 59-78

Page 77: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

67

(UN) has become the main forum that recognizes and protects the rights of local communities in natural management (Kalland, 2000). In relation to the environment, local communities have shown success in preserving the environment (Baharudin, 2012; Efriani et al., 2019). Actors in local communities are able to solve environmental problems around them (Agrawal, 2014; Al-Fattal, 2009; Barbieri & Aguilar, 2011; Setyawan, 2010).

In Indonesia, there are communities in the kars Gunung Kidul area where farmers use conventional methods handed down from their ancestors in managing agricultural land and irrigation. This tradition makes farmers become environmentally wise (Baharudin, 2012). Dayak community has traditionally shown conservative management (Efriani et al., 2019; Seftyono, 2011; Setyawan, 2010). In addition to traditional ecological knowledge (Yuliani et al., 2018), local communities also have special institutions in environment management. In the other hemisphere, namely in California and Oregon, there are local communities that can manage fisheries with resource management through community-owned institutions with effective environment sustainability (Al-Fattal, 2009). The same thing can also be found in a rural area of West Africa, namely the Tongo tradition as a form of joint-resource management in Gambia, Guinea, Sierra, and Leano. Tongo is a form of natural resource conservation (Barbieri & Aguilar, 2011). Chatla in Cachar district in Assam uses the common property regimes for fisheries management (Laughlin, 2013). In Nepal, communities have traditionally managed to manage forests based on traditional norms through traditional institutions (Wiersum et al., 2004); Customary-based water management systems in rural Indian are rooted in community cosmology regarding the relationship between water as a natural resource and supernatural and social order (Singh, 2006).

Therefore, it is not surprising that common property regimes are an answer

to sustainable-environment management in local communities (Sick, 2008). Local community institutions become a management model offered in sustainable-environment management. In some countries, environment management by local communities is recognized by the government. The government provides legality, encourages, and provides protection for the rights of local communities. For example, the Indian government provides legality and makes local community institutions function properly in resource management through their forestry law of 1927 (Singh, 2003). In 1991, the Peruvian Government also issus decree 6531 which involves indigenous communities by giving them "usufructuary rights" of communal lands to protect some rare animals from illegal hunting (Barbieri & Aguilar, 2011).

Based on environment management categorized by Bromley & Cernea (1989), it appears each of the four forms has weaknesses and strengths. In some cases, it appears that private property, state property, and common property succeed in managing environmental sustainability, but in some cases, it also appears that the management failed. In this article, the researchers describe a new model of collaborative environment management between common property and state property. Collaborative management between private property that is managed in common property has been disclosed by Wiersum et al. (2004) namely collaborative management of shared forests.

Common property resource management requires the support of government policy. The government gives support for activities of local communities in environment management. The state must present a support for local community activities in environment management. Local institutions become effective with the support of the government (Reeve, 1996). As an example, the presence of the Indian government in community forest management in Orissa (Singh, 2004).

Village-Owned Enterprises (BUMDes) As a Collaborative Model Environmental Management ...........(Jagad Aditya Dewantara, Efriani, La Ode Topo Jers, Wibowo Heru Prasetiyo, & Sulistyarini)

Page 78: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

68

The resource management system achieves collaborative and effective governance. Common property regime requires policy support from the state government through the agency or department concerned (Singh, 2003). Like countries in Europe that have collaborated with local communities in forest management (Wiersum et al., 2004), regulations on local institutions should be accepted by the country (Singh, 2006). In this case, the state does not take over anything that has been communally managed by the community, but the state presents by providing protection through laws and policies.

In case of peatland management in Rasau Jaya Tiga Village, BUMDes is an alternative to environment management in a collaborative form between state property regimes and common property. Through the Law of the Republic of Indonesia (Number 6 of 2014) concerning Villages and Regulation of the Minister of Villages, Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration of the Republic of Indonesia concerning Establishment, Management, and Village-owned Enterprises dismissal, the Indonesian Government rules (Number 4 of 2015) directly provides space and alternatives for resource management around the community by implementing common property regimes.

Specifically, BUMDes is stipulated in Law Number 6 of 2014 concerning Villages Chapter X article 87-90. BUMDes are business entities established and managed by the village that functions for community business development and village development. BUMDes can also be a means for the government (state) to encourage the independence of the village community. The government (state) can encourage BUMDes as village independent businesses by providing capital assistance, legitimacy, technical assistance in managing and utilizing village resources/potentials. Therefore, BUMDes establishment is intended to accommodate all activities in economic field and public services managed by the village and/or inter-

village cooperation. This can be used as an indicator in improving the village economy, optimizing village natural resources and utilizing village assets for community welfare, economic growth, and equity in the village, as well as increasing the community income and original village income.

Rasau Jaya Tiga Village builds BUMDes based on Law Number 6 of 2014 article 90, specifically in paragraph c. It can be concluded that in managing village natural resources, BUMDes Maju Jaya aims for mutual prosperity. BUMDes Rasau Jaya Tiga bases on the classification of BUMDes business types as a joint-owned business entity (holding); in this case as the main business of other business units in the form of village tourism. This tourist village is managed on a communal basis by the local community in Rasau Jaya Tiga Village.

BUMDes Maju Jaya displays an active role of the government (state) with the local community in managing village potentials, especially in utilizing and managing the peatland environment. Collaboration in environment management between the government and local village communities can be used as a reference for peatland management and protection including planning, utilization, management, maintenance, and supervision.

Utilization of peat ecosystems can be performed through functioining protection and cultivation and maintaining peat hydrological systems. Efforts in managing and protecting the peatland area in Rasau Jaya Tiga Village are the manifestation of the local community efforts through BUMDes program. However, it does not stop there, some other factors are also possible to drive environmental awareness behavior such as adequate infrastructure, society, culture conditions, and authority politics (Lee et al., 2005). Environmental awareness in BUMDes program is a new scheme and form resulted from a collaboration between state property regimes and common property, in other views, it can be interpreted as civic

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 59-78

Page 79: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

69

engagement for pro-environment behavior. The meaning of civic engagement is basically an important part of the elements forming a civic community which include a sense of responsibility for the surrounding community to build a good environment and to be used

as a joint livelihood (Adler & Goggin, 2005; Lawry, Laurison, & VanAntwerpen, 2006; Shandas & Messer, 2008; Stamm, 2009).

BUMDes program as an effort from local community of Rasau Jaya Tiga Village in realizing peatland management and protection

Table 1 Collaboration between community and government (state) in peatland management through BUMDes Maju JayaTabel 1 Kolaborasi masyarakat dengan pemerintah dalam pengelolaan lahan gambut melalui BUMDes Maju Jaya

Collaboration aspect (Aspek kolaborasi)

Contribution (Kontribusi) Collaboration form (Bentuk kolaborasi)

Result/effect (Hasil/dampak)Government

(Pemerintah)Society

(Masyarakat)Peatland planning

-Peatland restoration program

-Village-based institutional capacity building

-Development of alternative commodities

Participate in developing regional planning as a potential source of assets for village livelihoods

The community supports the peatland restoration program planned by the local government

Successful in mapping areas that have the potential to generate new livelihood for village community

Peatland utilization

The government provides financial resource and capital support in the form of material support

- Village community participate in the form of labor contributions

- Local community utilizes peatlands based on traditional ecology

Capital provision by the government to local community as a source of BUMDes fund managed by the community as peatland ecotourism

- Improved economic and welfare of village community are met

- Sustainable environmental development

Peatland management

The government provides legality in developing peat care village

The community manages peatlands by not burning the land and not damaging the ecosystem

The government involved local people in the development of a tourist village based on local organizations such as “pemuda karang taruna” (youth organization)

Village ecotourism and pro-environmental community are formed

Peatland supervision

The government issued a regulation on monitoring and prohibition to burn forests and land—peraturan pengawasan dan larangan membakar hutan dan lahan (P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2018)

The community is the supervisor and controller of other communities’ behavior that cause peatland damage and fire

The community participates in government policy, namely “stakeholder collaborative govermance“

Community behavior towards unwise peatland burning is reduced

Source (Sumber): Triangulation results of field data, 2020.

Village-Owned Enterprises (BUMDes) As a Collaborative Model Environmental Management ...........(Jagad Aditya Dewantara, Efriani, La Ode Topo Jers, Wibowo Heru Prasetiyo, & Sulistyarini)

Page 80: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

70

is an instrument of empowering the local economy with various types of potentials. BUMDes contributes to the increase in village income sources that enables villages to carry out development and increase people's welfare optimally. BUMDes Maju Jaya is a rural economic organization that has good values and prospects. Therefore, the program is a solution in peatland management, a common property regime environment management innovation, and virtues in environmental fields for the people of Rasau Jaya Tiga Village.

BUMDes, which is managed by the community of Rasau Jaya Tiga Village, is based on integrated social, economic and environmental problems, becoming a solution for peatland management. This solution has a balanced impacts between improving the community's economic welfare and the sustainability of the peatlands in the village, such as revitalising the ditch into a tourist spot, managing peatlands into flower gardens and involving community members actively in management, in the form of material and non-material involvement.

2. A Collaborative Scheme Between Indigenous People and Government (State) in BUMDes Maju JayaCollaboration is essentially a mutual-joint

action needed at every level of organization. Collaboration is a high-level collective action as well as a form of commitment and complex actions (Campbell, 2016). Basically, collaboration is carried out within an organizations or between organizations to achieve common goals that are impossible or difficult to achieve independently (Campbell, 2016; D’Amour, Ferrada-Videla, San Martin Rodriguez, & Beaulieu, 2005; Gajda, 2004; Riskasari, 2018).

Collaboration is believed to have the potentials to produce good results (Argo & Araz, n.d.; D’Amour et al., 2005; Febrian, 2016; Argo & Araz, 2017; Riskasari, 2018; Thompson & Story, 2002), although not all collaborations can realize shared goals.

Essentially, collaboration is an interaction between collective groups to provide useful results (Gajendran & Brewer, 2012). Five collaboration models can be formed when organizations work together (Raharja, 2008). Interdependent model, negation model, dependent model, compromise model, and independent model (D’Amour et al., 2005; Raharja, 2008).

In the case of BUMDes Maju Jaya management, it appears that the government (state) and local community develop an interdependent collaborative model. The government (state) and local communities formulate together various activities such as peatland planning, utilization, management, and supervision. The government and community jointly commit, form, and optimize a structure in the form of Witas Village (peat care village). Government and local communities have sufficient abilities and resource capacities to support collaboration (independent) and have attitudes and behaviors to voluntarily help to be empowered and independent. The government and the community collaborate to achieve peatland planning, utilization, management, and supervision that achieve economic and ecological goals.

Based on its profile, BUMDes Maju Jaya in Rasau Jaya Tiga village is not intended to be a means of conserving peatland. BUMDes Maju Jaya was established through a village meeting in August 2016. Through this deliberation, government regulation has established in Rasau Jaya Tiga Village with the regulation number 06 of 2016, on 31 December 2016. BUMDes Maju Jaya has established four business units, namely service business, fund business, material procurement business, and tourist village development. Each business unit is developed based on the village potentials.

The government (state) through the village government becomes the capital/fund provider. In 2017, the government of Rasau Jaya Tiga Village contributed

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 59-78

Page 81: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

71

IDR50,000,000 with IDR30,000,000 for service business units and IDR20,000,000 for savings and loans fund business units. In 2018, the village government will provide another financial support of IDR75,000,000 with IDR65,000,000 for Rajati Flower Garden tourist village development and IDR10,000,000 for service businesses. In 2019, BUMDes Maju Jaya reported turnover as shown in the following Figure 1.

In the graph above, it appears that the most considerable turnover of BUMDes Maju Jaya villages comes from the tourism village business units with products in the form of eco-tourism and agro-tourism (57%). Rajati Flower Garden as an ecotourism area has a variety of flower plants, especially sunflowers, and water playfields. Meanwhile, there is also agro-tourism in the form of edupark or planting training places. In edupark agro-tourism, there is a strawbery, guava mini park and a hydroponic plant garden. These two tourist destinations are managed by utilizing peatland and also the ditch which was initially an empty land in the village.

Especially for the Indonesian government, this phenomenon has provided an example of business units developed by the village government that are managed independently by local communities and have significantly provide economic values as well as ecological values. Table 1 presents a collaborative form between the government and local communities in peatland planning, use, management, and supervision. This collaboration becomes a peatland management model that is de-facto vulnerable to damage. It appears that through state and community collaboration, peatlands can be planned as a means of development and community empowerment. The involvement of local communities in peatland utilization and management correlates well with economic and ecological achievements.

Rasau Jaya Village is familiar with “peatland fires”, which becomes continues issue every year. The peat fires are associated with agricultural activities, which become the primary livelihood source for Rasau Jaya Village people. Therefore, economic aspects and environmental aspects need to be

Source (Sumber): Mujiono, Suharyati, & Susiana (2019)

Figure 1 Income percentage of BUMDes Maju Jaya-2019Gambar 1 Persentase omset unit usaha BUMDes Maju Jaya tahun 2019.

Village-Owned Enterprises (BUMDes) As a Collaborative Model Environmental Management ...........(Jagad Aditya Dewantara, Efriani, La Ode Topo Jers, Wibowo Heru Prasetiyo, & Sulistyarini)

Page 82: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

integrated into the management. Now, through BUMDes, peatlands have been managed in other forms and has functioned as ecotourism which can create a balance between economic prosperity and environmental sustainability and becomes an alternative for preventing deforestation.

The management of these peatlands reduces poverty, increases food security, and improves contextual sustainability and community welfare. Ecologically, ecologically, this ecotourism-based peatland management conserves biodiversity and reduces waste and losses due to land burning. Management

72

Source (Sumber): Observation result, 2019

Figure 2 Rajati Flower Garden ecotourismGambar 2 Ekowisata Rajati Flower Garden.

Source (Sumber): Observation result, 2019

Figure 3 Agro-tourism eduparks RJ-3Gambar 3 Agrowisata eduparks RJ-3.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 59-78

Page 83: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

with a collaborative model brings a change in mindset, increases community knowledge and skills on peatlands. The collaboration model has also increased the value of friendship and maintains a culture of mutual cooperation in solving social problems.

Collaboration between the government and community needs to be done in order to strengthen the institutional base between the village government and the local community. As depicted in Figure 4, this collaboration should aim to form a sustainable environment and be able to contribute ideas and improve the village economy in natural resource

management. It has proven that collaboration between the government and indigenous peoples can create a new livelihood in Rajati Flower Garden which was pioneered by Rasau Jaya Tiga youth community called karang taruna. The youth who are active in the karang taruna organization aims to empower village communities, even they have initiatives to approach people both individually and communally at certain events. From the scheme above, the collaboration carried out by the government and local community makes BUMDes Maju Jaya program becomes not only a government program aimed at

73

Source (Sumber): Triangulation results of field data

Figure 4 A collaboration scheme modelGambar 4 Skema model kolaborasi.

Village-Owned Enterprises (BUMDes) As a Collaborative Model Environmental Management ...........(Jagad Aditya Dewantara, Efriani, La Ode Topo Jers, Wibowo Heru Prasetiyo, & Sulistyarini)

Page 84: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

improving the community's economy but also a form of political attitudes of policy makers on environmental and natural resource issues (Kostka & Mol, 2013). In addition, the state property regime driven by the government will run successfully if it involves the pro-environment and civilized community who are aware that protecting the environment is a top priority for future survival (Kollmuss & Agyeman, 2010). Therefore, mutual cooperation and volunteerism of local community become an important indicator to develop community awareness towards the improvements of environment quality. In fact, the legality and provision of capital over common property regimes granted by the state to local communities have an impact on increasing people's income. In this case, this action is a source of new livelihoods, as well as changing people’s mindset so that the property rights holders will not exploit natural resources carelessly. Thus, environment conservation in natural resource (common property regime) management must have a positive impact on customary rights (property) holders, the government, community, and even the environment.

IV. CONCLUSION AND SUGGESTIONS

A. ConclusionIn some cases, resource management leads

to exploitation. Resource exploitation can occur in 4 forms of environment management identified by Bromley & Cernea (1989). Therefore, many studies continue to be conducted to find sustainable environment management concepts and models. This study has presented a collaborative resource management model between state property regimes and common property regime. This study also reinforces the theory of collaboration functions, namely collaboration as an effort to achieve goals that cannot be achieved independently.

Through this article, a collaborative model between the government and

local communities in natural resource management, specifically, peatlands, has been developed. Thus, the community living around the peatlands can be the government’s partner in realizing peat care villages. At the same time, the government is a partner for local communities in managing potential livelihoods to improve their economy. Local communities in Rasau Jaya Tiga Village have communal management in managing peatlands based on mutual cooperation culture (common property regimes), while the state is the most responsible side in managing natural resources (1945 Constitution 33 verse 3) for the welfare of Indonesian people. The huge potentials of peat in Rasau Jaya Tiga Village area are managed wisely so that it provides economic value without damaging the natural function of the peatland.

Another finding in this study is that BUMDes is not an institution intended for sustainable environment management, but as a business entity owned by the village that is used to manage assets, services, and other businesses for community welfare. BUMDes program developed by the Indonesian government has become a medium for natural resource conservation such as in the Rasau Jaya Tiga Village. Even the establishment of an ecotourism-based tourist village by utilizing and managing peatlands has provided positive impacts on the community. Peatland management in the form of ecotourism (tourist village) has achieved a balance between ecological, economic, social, and cultural functions in one area.

Collaboration between the community and the government in BUMDes Maju Jaya has shown good efforts to manage peatlands in the form of ecotourism flower parks and eduparks. This has undoubtedly become a solution in addressing the problem of peatland deforestation in Rasau Jaya. Direct community involvement in managing peatland has increased their knowledge and skills in sustainable environment management. Rajati Flower Garden and edupark are tangible

74

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 59-78

Page 85: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

forms of the continued control of peatland in Rasau Jaya Tiga.

B. SuggestionsBased on the conclusions, the researchers

advice that:1. The Ministry of Village through Kubu Raya

District Government needs to increase supervision of the burning garbage behavior on peatlands; lack of attention and intensive supervision makes area damages in some aspects and land fires spread continuously. Thus, it damages natural ecosystems and causes haze disasters.

2. The Indonesian government needs to collaborate on policies with indigenous people who have special territorial structures, for example, peatland area, so that they can bring up community potentials in various aspects of life.

ACKNOWLEDGEMENTThanks are offered to every informant

and the youths in Rasau Jaya, and personnels in BUMDes Maju Jaya who are willing to become resource persons to conduct this research. In addition, thanks also go to the Kubu Raya district government for their hospitality and assistance during the field data collection process.

REFERENCES

Adha, M. M., Budimansyah, D., Kartadinata, S., & Sundawa, D. (2019). Emerging volunteerism for Indonesian millennial generation: Volunteer participation and responsibility. Journal of Human Behavior in the Social Environment, 29(4), 467–483. https://doi.org/10.1080/10911359.2018.1550459.

Adler, R. P. & Goggin, J. (2005). What do we mean by “civic engagement”? Journal of Transformative Education, 3(3), 236–253. https://doi.org/10.1177/1541344605276792.

Agrawal, A. (2014). Indigenous and scientific knowledge: some critical comments. Antropologi Indonesia, 0(55). https://doi.org/10.7454/ai.v0i55.3331.

Al-Fattal, R. (2009). The tragedy of the commons: institutions and fisheries management at the local and EU levels. Review of Political Economy, 21(4), 537–547. https://doi.org/10.1080/09538250903214834.

Alcorn, J. (2010). Indigenous peoples and conservation indigenous peoples and conservation - a white paper prepared for the MacArthur Foundation Executive Summary. Indigenous Peoples and Conservation, 1–25.

Argo, M. R. & Araz, S. S. (n.d.). Model of stakeholder collaborative governance in environmental management Kampung Hijau Gambiran. Retrieved February 3, 2020, from https://www.academia.edu website: https://www.academia.e d u / 3 6 8 1 7 0 3 5 / M o d e l _ S t a k e h o l d e r _C o l l a b o r a t i v e _ G o v e r n a n c e _ D a l a m _Pengelolaan_Lingkungan_Hidup_Kampung_Hijau_Gambiran_Umbulharjo_Yogyakarta.

Aswandi, Sadono, R., Supriyo, H., & Hartono. (2016). Lahan gambut tropika di Trumon dan Singkil, Aceh. Journal Manusia dan Lingkungan, 23(3), 334–341. Retrieved from https://journal.ugm.ac.id/JML/article/view/18807.

Baharudin, E. (2012). Kearifan lokal, pengetahuan lokal dan degradasi lingkungan. Universitas Esa Unggul.

Barbieri, C. & Aguilar, F. X. (2011). The Ius in Re Model to analyze users rights within complex property regimes: two ex post applications in South America. Society and Natural Resources, 24(3), 292–302. https://doi.org/10.1080/08941920903278178.

Barsimantov, J. & Kendall, J. (2012). Community forestry, common property, and deforestation. In Eight Mexican States. https://doi.org/10.1177/1070496512447249.

Berkes, F., Colding, J., & Folke, C. (2000). Rediscovery of traditional ecological knowledge as adaptive management. Ecological Applications, 10(5), 1251–1262. https://doi.org/10.1890/1051-0761(2000)010[1251:ROTEKA]2.0.CO;2.

Bromley, D. W. & Cernea, M. M. (1989). The management of common property natural resources. Human Ecology, 17. https://doi.org/10.1007/BF01047654.

Campbell, J. W. (2016). A collaboration-based model of work motivation and role ambiguity in public organizations. Public Performance and Management Review, 39(3), 655–675. https://doi.org/10.1080/15309576.2015.1137763.

Couldry, N., Stephansen, H., Fotopoulou, A., Clark, W., & Dickens, L. (2014). Digital citizenship? Narrative exchange and the changing terms of civic culture. Citizenship Studies, (November

75

Village-Owned Enterprises (BUMDes) As a Collaborative Model Environmental Management ...........(Jagad Aditya Dewantara, Efriani, La Ode Topo Jers, Wibowo Heru Prasetiyo, & Sulistyarini)

Page 86: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

76

2014), 37–41. https://doi.org/10.1080/13621025.2013.865903.

Creswell, J. W. (2009). Research design: qualitative, quantitative, and mixed methods approaches (Third Ed.). London: SAGE Publications, Inc.

Darajati, W., Pratiwi, S., Herwinda, E., Radiansyah, A. D, Nalang, V. S., Nooryanto, B., …, & Hakim, F. (2016). Indonesian biodiversity strategy and action plan 2015-2020. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS.

D’Amour, D., Ferrada-Videla, M., San Martin Rodriguez, L., & Beaulieu, M. D. (2005). The conceptual basis for interprofessional collaboration: core concepts and theoretical frameworks. Journal of Interprofessional Care, 19(SUPPL. 1), 116–131. https://doi.org/10.1080/13561820500082529.

Efriani, Gunawan, B., & Judistira, K. G. (2019). Kosmologi dan konservasi alam pada komunitas Dayak Tamambaloh di Kalimantan Barat. Studi Desain, 2(2), 66–74.

Febrian, R. A. (2016). Collaborative governance dalam pembangunan kawasan perdesaan (tinjauan konsep dan regulasi). WEDANA: Jurnal Kajian Pemerintahan, Politik dan Birokrasi, II(1), 200–208. Retrieved from https://journal.uir.ac.id/index.php/wedana/article/view/1824.

Fitriansah, H. (2012). Keberlanjutan pengelolaan lingkungan pesisir melalui pemberdayaan masyarakat di Desa Kwala Lama, Kabupaten Serdang Bedagai. Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota, 8(4), 360–370.

Gajda, R. (2004). Utilizing collaboration theory to evaluate strategic alliances. American Journal of Evoluation, 25(1), 65–77. https://doi.org/10.1177/109821400402500105.

Gajendran, T. & Brewer, G. (2012). Collaboration in public sector projects: unearthing the contextual challenges posed in project environments. Engineering Project Organization Journal, 2(3), 112–126. https://doi.org/10.1080/21573727.2012.714776.

Glenk, K. & Martin-ortega, J. (2018). The economics of peatland restoration (6544). https://doi.org/10.1080/21606544.2018.1434562.

Hijjang, P. (2019). Sistem Desai, pengetahuan lokal komunitas Dayak Benuaq dalam aktivitas perladangan di Desa Melapen Baru, Kabupaten Kuati Barat, Kalimantan Timur. Studi Desain, 2(1), 20–24.

Iskandar, J. (2012). Etnobiologi dan pembangunan berkelanjutan. Bandung: AIPI Bandung, Puslitbang KPK LPPM Unpad Bandung, dan M63 Foundation.

Jagers, S. C., Martinsson, J., & Matti, S. (2014). Ecological citizenship: a driver of pro-environmental behaviour? Environmental Politics, 23(3), 434–453. https://doi.org/10.1080/09644016.2013.835202.

Kalland, A. (2000). Indigenous knowledge: prospects and limitations. In R. Ellen, P. Parkes, & A. Bicker (Eds.), Indigenous Environmental Knowledge and its Transformations: Critical Anthropological Perspectives (pp. 316–331). Amsterdam: Harwood Academic Publishers.

Kollmuss, A. & Agyeman, J. (2010). Mind the gap: why do people act environmentally and what are the barriers to pro-environmental behavior? Enviromental Education Research, 4622. https://doi.org/10.1080/1350462022014540.

Kostka, G. & Mol, A. P. J. (2013). Implementation and participation in china’s local environmental politics: challenges and innovations. Journal of Environmental Policy & Planning, (September 2013), 37–41. https://doi.org/10.1080/1523908X.2013.763629.

Laughlin, C. D. (2013). Consciousness and the commons: a cultural neurophenomenology of mind states, landscapes, and common property. Time and Mind, 6(3), 287–312. https://doi.org/10.2752/175169713X13673499387046.

Law of the Republic of Indonesia Number 6 of 2014 concerning Villages.

Lawry, S., Laurison, D. L., & VanAntwerpen, J. (2006). Liberal education and civic engagement: a project of the Ford Foundation’s knowledge, creativity, and freedom program (November 2015). Retrieved from http://www.fordfound.org/elibrary/documents/5029/toc.cfm.

Lee, S., Jeong, M., Authors, F., Bydlowski, S., Carton, S., Valle, F., …, & Psychology, E. (2005). Experiential and informational knowledge, architectural marketing. Prentice-Hall, Inc., 40(2), 49–58. https://doi.org/10.1080/1350462022014540.

Liao, Y., Ho, S. S., & Yang, X. (2016). Motivators of pro-environmental behavior: examining the underlying processes in the influence of presumed media influence model. Science Communication, 38(1), 51–73. https://doi.org/10.1177/1075547015616256.

Masganti, Anwar, K., & Susanti, M. A. (2017). Potensi dan pemanfaatan lahan gambut dangkal untuk pertanian. Sumberdaya Lahan, 11(1), 43–52. https://doi.org/10.2018/jsdl.v11i1.8191.

Miettinen, J., Shi, C., & Liew, S. C. (2012). Two decades of destruction in Southeast Asia’s peat swamp forests. Frontiers in Ecology and the Environment, 10(3), 124–128. https://doi.org/10.1890/100236.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 59-78

Page 87: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

77

Miles, M. & Huberman, M. (1994). Qualitative data analysis: an expanded sourcebook (Second Ed.). London: Sage Publications, Inc.

Moore, J. (2012). A challenge for social studies educators: Increasing civility in schools and society by modeling civic virtues. The Social Studies, 103(4), 140–148. https://doi.org/10.1080/00377996.2011.596860.

Mujiono, Suharyati, S., & Susiana, H. (2019). Profil Badan Usaha Milik Desa (BUMDESA) MAJU JAYA. Rasau Jaya, Kubu Raya: Badan Usaha Milik Desa Maju Jaya.

N. K. Denzin. (2009). The research act: a theoretical introduction to sociological methods. Somerset, United States: Transaction Publishers.

Naeem, F., Habib, N., Gul, M., Khalid, M., Saeed, S., Farooq, S., …, & Kingdon, D. (2016). A qualitative study to explore patients’, carers’ and health professionals’ views to culturally adapt CBT for Psychosis (CBTp) in Pakistan. Behavioural and Cognitive Psychotherapy, 44(1), 43–55. https://doi.org/10.1017/S1352465814000332.

Noviar. (2018). Rencana tindakan tahunan restorasi gambut Provinsi Kalimantan Barat tahun 2019. Jakarta: Peat Restoration Agency.

Odorlina, R., Situmorang, P., & Simanjuntak, E. R. (2015). Forest management through local wisdom of the community around The Sicike-Cike Nature Park, North Sumatera. Widyariset, 18(1), 145–154.

Prasetiyo, W. H., Kamarudin, K. R., & Dewantara, J. A. (2019). Surabaya green and clean: protecting urban environment through civic engagement community. Journal of Human Behavior in the Social Environment, 29(8), 997–1014. https://doi.org/10.1080/10911359.2019.1642821.

Prochaska, F. (2002). Schools of citizenship: charity and civic virtue. London: Civitas: Institute for the Study of Civil Society London.

Puspaningrum, D. (2015). Kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam hutan dan ekosistem (SDHAE) pada masyarakat desa penyangga taman nasional meru betiri. JSEP, 8(1), 11–24.

Putri, R. & Kahfi, F. (2019). Pengelolaan lingkungan melalui ekowisata berbasis masyarakat di Taman Nasional Tesso Nilo-Riau. Jurnal Daya Saing, 5(3), 261–272.

Raharja, S. J. (2008). Model kolaborasi dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum. Depok: Universitas Indonesia.

Reeve, I. (1996). Property and participation: an institutional analysis of rural resource

management and landcare in Australia. Rural Society, 6(4), 25–35. https://doi.org/10.5172/rsj.6.4.25.

Regulation of the Minister of Environment and Forestry of the Republic of Indonesia Number: P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2018 concerning the Fixed Procedure for Field Checking Hotspot Information and/or Forest and Land Fire information.

Regulation of the Minister of Villages, Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration of the Republic of Indonesia Number 4 of 2015 concerning Establishment, Management, and Dismissal of Village-owned Enterprises.

Richard, D. (1997). Civic virtues: rights, citizenship, and republican liberalism (D. M. and A. Ryan, Ed.). New York: Oxford Political Theory.

Riskasari, N. (2018). Kolaborasi aktor pembangunan dalam mewujudkan desa mandiri di Desa Bongki Lengkese, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Administrasi Publik, 8, 121–126.

Sawerah, S., Muljono, P., & Tjitropranoto, P. (2016). Partisipasi masyarakat dalam pencegahan kebakaran lahan gambut di Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Penyuluhan, 12(1). https://doi.org/10.25015/penyuluhan.v12i1.11323.

Schnee, E., Better, A., & Cummings, M. C. (2016). Civic engagement pedagogy in the community college: theory and practice. https://doi.org/10.1007/978-3-319-22945-4_13.

Seftyono, C. (2011). Pengetahuan ekologi tradisional masyarakat Orang Asli Jakun dalam menilai ekosistem servis di Tasik Chini, Malaysia. JSP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 15(1), 55–67. https://doi.org/10.22146/jsp.10925.

Setyawan, A. D. W. I. (2010). Dayak conservation knowledge. Bioscience, 2(2), 97–108.

Shandas, V. & Messer, W. B. (2008). Fostering green communities through civic engagement: community-based enviromental stewardship in the Portland area. Journal of the American Planning Association, 74(4), 408–418. https://doi.org/10.1080/01944360802291265.

Sick, D. (2008). Social contexts and consequences of institutional change in common-pool resource management. Society and Natural Resources, 21(2), 94–105. https://doi.org/10.1080/08941920701681524.

Singh, N. (2006). Indigenous water management systems: interpreting symbolic dimensions in common property resource regimes. Society and Natural Resources, 19(4), 357–366. https://doi.org/10.1080/08941920500519297.

Village-Owned Enterprises (BUMDes) As a Collaborative Model Environmental Management ...........(Jagad Aditya Dewantara, Efriani, La Ode Topo Jers, Wibowo Heru Prasetiyo, & Sulistyarini)

Page 88: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

Singh, S. (2004). Commons in theory: assumed commons in practice. Forests Trees and Livelihoods, 14(2–4), 109–120. https://doi.org/10.1080/14728028.2004.9752486.

Singh, S. K. R. (2003). Lessons from community-based natural resource management institutions in Orissa, India. Forests Trees and Livelihoods, 13(3), 233–246. https://doi.org/10.1080/14728028.2003.9752460.

Singh, S. (2006). Communities in transition: implications for common property resource management. Forests Trees and Livelihoods, 16(4), 311–328. https://doi.org/10.1080/14728028.2006.9752571.

Robiyanto S., Nurmala, M., Setiadi, B., & Nurholis. (2017). Desa Peduli Gambut Provinsi Kalimantan Barat Desa Sungai Rasau. Retrieved from Badan Restorasi Gambut website: http://brg.go.id/wp-content/uploads/2019/03/FINAL-PROFIL-DESA-SUNGAI-RASAU.pdf

Stamm, L. (2009). Civic engagement in higher education: concepts and practices. Journal of College and Character, 10(4). https://doi.org/10.2202/1940-1639.1050.

Steg, L. & Vlek, C. (2009). Encouraging pro-environmental behaviour: an integrative review and research agenda. Journal of Environmental Psychology, 29(3), 309–317. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2008.10.004.

Strauss, A. & Corbin, J. (1998). Basics of qualitative research: techniques and procedures for developing grounded theory. London: Sage Publications, Inc.

Suriadikarta, D. A. (2012). Teknologi pengelolaan lahan rawa berkelanjutan: studi kasus kawasan ex PLG Kalimantan Tengah. Jurnal Sumberdaya Lahan, 6(1). https://doi.org/10.2018/jsdl.v6i1.6301.

Thompson, L. S. & Story, M. (2002). A collaboration model for enhanced community participation. Policy, Politics, & Nursing Practice, 3(3), 264–273.

Vatn, A. (2001). Environmental resources, property regimes, and efficiency. Environment and Planning C: Government and Policy, 19(1), 665–680. https://doi.org/10.1068/c17s.

Wahyunto, Nugroho, K., Ritung, S., & Sulaeman, Y. (2014). Indonesian peatland map: method, certainty, and uses (pp. 81-96). Prosiding Seminar Nasional: Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi untuk Mitigasi GRK dan Peningkatan Nilai Ekonomi, Jakarta 18-19 Agustus 2014. Jakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.

White, P. (2010). Oxford review of education political education in the early years: the place of civic virtues. (December 2014). https://doi.org/10.1080/030549899104125.

Widyati, E. (2010). Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan isu perubahan iklim. Tekno Hutan Tanaman, 4(2), 57–68. https://doi.org/10.1007/s10556-007-0052-6.

Wiersum, K. F., Singhal, R., & Benneker, C. (2004). Common property and collaborative forest management: rural dynamics and evolution in community forestry regimes. Forests Trees and Livelihoods, 14(2–4), 281–293. https://doi.org/10.1080/14728028.2004.9752498.

Yuliani, E. L., Adnan, H., Sunderland, R. A., Bakara, D., Heri, V., Sammy, J., & Terry, A. S. (2018). The roles of traditional knowledge systems in orang-utan Pongo spp. and forest conservation: a case study of Danau Sentarum, West Kalimantan, Indonesia. Traditional Knowledge in Conservation, 52(1), 156–165. https://doi.org/10.1017/S0030605316000636.

Zulkarnaen, R. (2016). Pengembangan potensi ekonomi desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Pondok Salam Kabupaten Purwakarta. Dharmakarya: Jurnal Aplikasi Ipteks Untuk Masyarakat, 5(1), 1–4.

78

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 18 No. 1, Mei 2021: 59-78

Page 89: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

Petunjuk penulisan ini dibuat untuk keseragaman format penulisan dan kemudahan bagi penulis dalam proses penerbitan naskah di Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Penulis dapat menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah dalam bahasa Indonesia harus sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang berlaku, dan bila dalam bahasa Inggris sebaiknya memenuhi standar tata bahasa Inggris baku.

Naskah ditulis dalam format kertas berukuran A4 (210 mm x 297 mm) dengan margin atas 3 cm, margin bawah 3 cm, margin kiri dan kanan masing–masing 2 cm. Bentuk naskah berupa 2 kolom dengan jarak antar kolom 1 cm. Panjang naskah hendaknya maksimal 12 halaman, termasuk lampiran. Jarak antara paragraf adalah satu spasi tunggal. Naskah merupakan hasil penelitian dalam bidang sosial dan ekonomi kehutanan, serta lingkungan. Naskah harus berisi informasi yang benar, jelas dan memiliki kontribusi substantif terhadap bidang kajian.

FORMAT: Naskah diketik di atas kertas putih A4, Times New Roman, font 12, kecuali Abstrak, Kata Kunci dan Daftar Pustaka font 10

SISTEMATIKA PENULISANHasil penelitian:

JUDULIdentitas PenulisABSTRAK & Kata KunciI. PENDAHULUANII. METODE PENELITIANIII. HASIL DAN PEMBAHASANIV. KESIMPULAN DAN SARANUCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT) DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN

Pemikiran/tinjauan ilmiah:JUDULIdentitas PenulisABSTRAK & Kata KunciI. PENDAHULUANII. III., dst. Bab terakhir: KESIMPULAN & REKOMENDASIUCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT) DAFTAR PUSTAKALAMPIRANTubuh naskah diatur dalam Bab dan Sub bab secara konsisten sesuai dengan kebutuhan.

Semua nomor ditulis rata di batas kiri tulisan, seperti:I, II, III, dst. untuk BabA, B, C, dst. untuk Sub Bab1, 2, 3, dst. untuk Sub Sub Baba, b, c, dst. untuk Sub Sub Sub Bab1), 2), 3), dst. untuk Sub Sub Sub Sub Baba), b), c), dst. untuk Sub Sub Sub Sub Sub Bab

Bab-bab inti naskah

PETUNJUK UNTUK PENULIS (GUIDE FOR AUTHORS)

Page 90: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

JUDUL: Dibuat dalam 2 bahasa, harus mencerminkan isi tulisan, dan ditulis dengan Times New Roman. Bahasa Indonesia dengan font 14, huruf kapital, tegak dan tidak lebih dari 2 baris atau tidak lebih dari 13 kata. Bahasa Inggris dengan font 12, huruf kecil, italik, dan diapit tanda kurung. Judul naskah harus mencerminkan inti dari isi suatu tulisan. Judul hendaknya akurat, singkat, padat, informatif, mudah diingat dan mudah dipahami. Menggambarkan isi pokok tulisan. Mengandung kata kunci yang menunjukkan isi tulisan. Judul seringkali digunakan dalam sistem pencarian informasi. Hindari pemakaian kata kerja. Hindari pemakaian rumus kimia, rumus matematika, bahasa singkatan dan tidak resmi.

IDENTITAS PENULIS: Nama penulis (tanpa gelar dan jabatan) dicantumkan di bawah judul, di bawahnya diikuti nama dan alamat instansi serta alamat e-mail penulis ditulis dengan font lebih kecil dari font teks (font 10). Bila penulis lebih dari satu, penulisan nama berurutan ABSTRAK: Dibuat dalam dua bentuk: pertama untuk Lembar Abstrak, maksimal 100 kata, dan kedua (Abstrak) maksimal 200 kata, keduanya berupa intisari dari naskah secara menyeluruh dan informatif. Kedua abstrak tersebut dibuat dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Abstrak merupakan pernyataan singkat, berupa intisari secara menyeluruh mengenai permasalahan, tujuan, metodologi dan hasil yang dicapai. Ditempatkan sebelum pendahuluan; diketik dengan jarak satu spasi. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, tidak ada gambar, tabel dan pustaka. Tidak mencantumkan istilah yang kurang dimengerti, akronim atau singkatan, nama atau merek dagang atau tanda lain tanpa keterangan. Dapat merangsang pembaca untuk memperoleh informasi lebih lanjut. Naskah dalam bahasa Indonesia: disajikan abstract (bahasa Inggris) yang dicetak miring, disusul abstrak (bahasa Indonesia) yang dicetak tegak. Naskah dalam bahasa Inggris: berlaku sebaliknya.

KATA KUNCI: Dicantumkan di bawah abstrak masing-masing, maksimal 5 entri, dibuat dalam bahasa yang digunakan dalam Lembar Abstrak dan Abstrak

Page 91: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

TEMPLATE JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN KEHUTANAN

JUDUL (Times New Roman, all caps, 14 pt, bold, centered)Title (Times New Roman, 12 pt, italic, bold, centered)

(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)

Penulis Pertama1, Penulis Kedua2 dan Penulis Ketiga3

1Nama Jurusan, Nama Fakultas, Nama Universitas, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara; E-mail: [email protected]

2Nama Lembaga Penelitian, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara;E-mail: [email protected]

3Nama Lembaga Penelitian, Alamat, Kota, Kode Pos, Negara;E-mail: [email protected]

(kosong dua spasi tunggal, 12 pt)*Apabila semua penulis dalam satu instansi, maka superscript 1,2,dst tidak perlu dicantumkan

Diterima ……, direvisi ……, disetujui …… (diisi oleh Sekretariat)

ABSTRACT (12 pt, bold, italic)(kosong satu spasi tunggal, 12 pt)

Abstract should be written in Indonesian and English using Times New Roman font, size 10 pt, italic, single space.. Abstract is not a merger of several paragraphs, but it is a full and complete summary that describe content of the paper It should contain background, objective, methods, results, and conclusion from the research. It should not contain any references nor display mathematical equations. It consists of one paragraph and should be no more than 200 words in bahasa Indonesia and in English(kosong satu spasi tunggal 10 pt).

Keywords: 3 - 5 keywords (Times New Roman, 10 pt)(kosong satu spasi tunggal 10 pt)

ABSTRAK (12 pt, bold)(kosong satu spasi 12 pt)

Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan jenis huruf Times New Roman, ukuran 10 pt, italic, spasi tunggal. Abstrak bukanlah penggabungan beberapa paragraf, tetapi merupakan ringkasan yang utuh dan lengkap yang menggambarkan isi tulisan. Sebaiknya abstrak mencakup latar belakang, tujuan, metode, hasil, serta kesimpulan dari penelitian. Abstrak tidak berisi acuan atau tidak menampilkan persamaan matematika, dan singkatan yang tidak umum. Abstrak terdiri dari satu paragraf dengan jumlah kata paling banyak 200 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.(kosong satu spasi tunggal 10 pt)

Kata kunci: 3 - 5 kata kunci (Times New Roman, 10 pt)(kosong enam spasi tunggal, 10 pt)

}(Times New Roman, 10 pt, ,

centered

Page 92: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

I. PENDAHULUAN (12 pt, bold) (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

Pendahuluan mencakup hal–hal berikut ini: Latar belakang, berisi uraian permasalahan dan alasan pentingnya masalah tersebut diteliti. Permasalahan diumuskan secara jelas, penjelasan ditekankan pada rencana pemecahan masalah dan keterkaitannya dengan pencapaian luaran yang telah ditetapkan. Tujuan, berisi pernyataan secara jelas dan singkat tentang hasil yang ingin dicapai dari serangkaian kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Sasaran atau luaran menjelaskan secara spesifik yang merupakan hasil antara dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Hasil yang telah dicapai, dijelaskan kaitannya dengan kegiatan yang dilaksanakan (khusus untuk kegiatan penelitian lanjutan).

II. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan harus ditulis sesuai dengan cara ilmiah, yaitu rasional, empiris dan sistematis. Mengemukakan semua bahan yang digunakan seperti tumbuhan kayu, bahan kimia, alat dan lokasi penelitian. Tanaman dan binatang ditulis lengkap dengan nama ilmiah. Menggunakan tolok ukur internasional, system matrix dan standar nomenklatur. Metode penelitian dijelaskan sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan. Pelaksanaan penelitian disusun berurutan menurut waktu, ukuran dan kepentingan. Jika metode merupakan kutipan harus dicantumkan dalam referensi. Jika dilakukan perubahan terhadap metode kutipan atau standar harus disebutkan perubahannya. Bila diperlukan dapat disajikan dalam tabel. Metode statistik (bila ada) harus disebutkan dengan singkat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil disajikan dalam bentuk uraian umum. Disusun secara berurutan sesuai dengan tujuan penelitian. Jika tujuan penelitian tidak tercapai perlu dikemukakan alasan dan penyebabnya, agar peneliti lain tidak mengulanginnya. Tabulasi, grafik, analisis statistik dilengkapi dengan tafsiran yang

benar. Judul, keterangan tabel dan gambar dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris dengan huruf miring; atau sebaliknya. Angka yang tercantum dalam tabel tidak perlu diuraikan lagi, tetapi cukup dikemukakan makna atau tafsiran masalah yang diteliti; dalam bagian ini juga dapat disajikan ilustrasi dalam bentuk grafik bagan, pictogram dan sebagainya. Dapat mengemukakan perbandingan hasil yang berlainan dan beberapa perlakuan. Metode statistik yang digunakan dalam pengolahan data harus dikemukakan, sehingga tingkat kebenaran dapat ditelusuri. Prinsip dasar metode harus diterangkan dengan mengacu pada referensi atau keterangan lain mengenai masalah ini. Penulis mengemukakan pendapatnya secara objektif dengan dilengkapi data kuantitatif.

Pembahasan dapat menjawab apa arti hasil yang dicapai dan apa implikasinya. Dapat menafsirkan hasil dan menjabarkannya, sehingga dapat dimengerti pembaca. Mengemukakan hubungan dengan hasil penelitian sebelumnya. Bila berbeda tunjukkan, bahas dan jelaskan penyebab perbedaan tersebut. Hasil penelitian ditafsirkan dan dihubungkan dengan hipotesis dan tujuan penelitian. Mengemukakan fakta yang ditemukan dan alasan mengapa hal tersebut terjadi. Menjelaskan kemajuan penelitian dan kemungkinan pengembangan selanjutnya.

Simbol/lambang ditulis dengan jelas dan konsisten. Istilah asing ditulis dengan huruf italic. Singkatan harus dituliskan secara lengkap pada saat disebutkan pertama kali, setelah itu dapat ditulis kata singkatnya.

TABEL: Diberi nomor, judul, dan keterangan yang diperlukan, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Tabel ditulis dengan Times New Roman ukuran 10 pt dan berjarak satu spasi di bawah judul tabel. Judul tabel ditulis dengan huruf berukuran 10 pt, rata kiri, dan ditempatkan di atas tabel. Penomoran tabel menggunakan angka Arab (1, 2, …..). Tabel diletakkan segera setelah disebutkan di dalam naskah. Tabel diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah

Page 93: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

dari setiap halaman. Apabila tabel memiliki lajur/kolom cukup banyak, dapat digunakan format satu kolom atau satu halaman penuh. Apabila judul pada lajur tabel terlalu panjang, maka lajur diberi nomor dan keterangannya di bawah tabel. Sumber (Source) ditulis di kiri bawah tabel.

GAMBAR: Gambar, grafik, dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus berwarna kontras (hitam putih atau berwarna), masing-

masing harus diberi nomor, judul, dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Gambar diletakkan segera setelah disebutkan dalam naskah.

Gambar diletakkan pada posisi paling atas atau paling bawah dari setiap halaman. Gambar diletakkan simetris dalam kolom.

Apabila gambar cukup besar, bisa digunakan format satu kolom. Penomoran gambar menggunakan angka Arab. Penulisan

(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)Tabel 1. Perkembangan luas hutan rakyat di 10 kabupaten terluas dalam pembangunan hutan rakyat di Jawa TengahTable 1. Community forests areas development in 10 largest regencies in community forest establishment in Central Java (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

No. Kabupaten (Regency) Tahun (Year) (ha) 2005 2006 2007

1 Wonogiri 25.100 25.643 36.359 2 Kendal 12.407 12.724 12.737 3 Banjarnegara 13.154 15.610 19.290 4 Purbalingga 13.027 14.117 14.143 5 Purworejo 20.771 23.186 20.567 6 Wonosobo 19.824 20.687 19.619 7 Pati 15.762 16.049 16.049 8 Banyumas 13.204 14.963 17.090 9 Boyolali 9.392 9.758 7.950 10 Sragen 17.064 17.220 18.049

Kabupaten lainnya 15.735 175.866 184.776 Jumlah (Total) 317.440 345.823 366.629

Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013a). (kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013a).(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)Gambar 1. Persentase luas hutan rakyat di Provinsi Jawa Tengah tahun 2011.Figure 1. Area percentage of community forests in Central Java Province in 2011.(kosong dua spasi tunggal, 10 pt)

Page 94: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

keterangan gambar menggunakan huruf Times New Roman berukuran 10 pt, center, dan diletakkan di bagian bawah, seperti pada contoh di atas. Sumber (Source) ditulis di kiri bawah gambar.

FOTO: Harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi nomor, judul, dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Resolusi gambar disarankan paling sedikit 300 dpi, sehingga gambar tetap terbaca jelas meskipun diperbesar.

Apabila terdapat persamaan reaksi atau matematis, diletakkan simetris pada kolom. Nomor persamaan diletakkan di ujung kanan dalam tanda kurung, dan penomoran dilakukan secara berurutan. Apabila terdapat rangkaian persamaan yang lebih dari satu baris, maka penulisan nomor diletakkan pada baris terakhir. Penunjukan persamaan dalam naskah dalam bentuk singkatan, seperti persamaan (1). Penurunan persamaan matematis tidak perlu ditulis semuanya secara detail, hanya dituliskan bagian yang terpenting, metode yang digunakan dan hasil akhirnya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanKesimpulan memuat hasil yang telah

dibahas. Hal yang perlu diperhatikan adalah segitiga konsistensi (masalah-tujuan-kesimpulan harus konsisten). Kesimpulan bukan tulisan ulang pembahasan dan juga bukan ringkasan, melainkan perampatan singkat dalam bentuk kalimat utuh (tidak berupa pointer).

Penunjukan persamaan dalam naskah dalam bentuk singkatan, seperti persamaan (1). Penurunan persamaan matematis tidak perlu ditulis semuanya secara detail, hanya dituliskan bagian yang terpenting, metode yang digunakan dan hasil akhirnya.

(kosong satu spasi tunggal 11 pt)

B. SaranSaran berisi rekomendasi akademik

atau tindak lanjut nyata atas kesimpulan yang diperoleh, dapat dikemukakan untuk dipertimbangkan pembaca.

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Merupakan bagian yang wajib ada dalam sistematika karya tulis ilmiah. Suatu penelitian tidak akan berhasil tanpa melibatkan pihak-pihak yang telah membantu, baik berperan secara finansial, teknis, maupun substantif. Ucapan terima kasih merupakan sebuah kewajiban, bukan pilihan (opsional).

DAFTAR PUSTAKA(kosong satu spasi tunggal, 10 pt)

Daftar pustaka merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah, diutamakan terbitan paling lama 5 tahun terakhir. Format penulisan Daftar Pustaka mengacu pada American Psychological Association (APA) style.

Referensi terdiri dari acuan primer dan/atau acuan sekunder. Sumber acuan primer adalah sumber acuan yang langsung merujuk pada bidang ilmiah tertentu, sesuai topik penelitian dan sudah teruji. Sumber acuan primer dapat berupa: tulisan dalam makalah ilmiah dalam jurnal internasional maupun nasional terakreditasi, hasil penelitian di dalam disertasi, tesis, maupun skripsi. Buku (textbook) dan prosiding termasuk dalam sumber acuan sekunder.

Semua karya yang dikutip dalam penulisan karya tulis harus dimuat dalam daftar pustaka (dan sebaliknya).

Berdasarkan Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah (2014), proporsi terbitan 10 tahun terakhir merupakan tolak ukur mutu terbitan berkala ilmiah, dimana sumber acuan primer berbanding sumber lainnya adalah >80%. Pengacuan pada tulisan sendiri (self citation) yang terlalu banyak dapat mengurangi nilai terbitan berkala ilmiah.............(1)

Page 95: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

Daftar pustaka dicantumkan setelah uraian penulisan. Ukuran margin seperti pada halaman penulisan. Judul daftar pustaka berada di tengah dan tidak dicetak miring/tanda kutip. Kapitalkan hanya huruf pertama pada kata pertama dan proper noun pada judul. Jarak antar karya (pustaka) dua spasi. Inden pada baris kedua dengan jarak ½ inch. Daftar pustaka harus disusun berdasarkan alphabet.

Penulisan sitasi dan daftar pustaka diharuskan menggunakan aplikasi referensi seperti Mendeley, Endnote.

LAMPIRAN

Page 96: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

Contoh Penulisan Daftar Pustaka Berdasarkan APA Style:

Paper dalam jurnalArtikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (1 penulis).

Williams, J.H. (2008). Employee engagement: Improving participation in safety. Professional Safety, 53(12), 40-45.

Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (2-6 penulis). Astana, S., Soenarno, & Karyono, O.K. (2014). Implikasi perubahan tarif dana reboisasi dan provisi sumber

daya hutan terhadap laba pemegang konsesi hutan dan penerimaan negara bukan pajak: Studi kasus hutan alam produksi di Kalimantan Timur, Indonesia. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 11(3), 251- 264.

Artikel dalam jurnal ilmiah dengan volume dan nomor (lebih dari 6 penulis). Reed, M.S., Graves, A., Dandy, N., Posthumus, H., Hubaek, K., Morris, J., … Stringer, L.C. (2009). Who’s

in and why? A typology of stakeholder analysis methods for natural resource management. Journal of Environmental Management, 2009(90), 16.

BukuBuku (1 penulis).

Alexie, S. (1992). The business of fancydancing: Stories and poems. Brooklyn, NY: Hang Loose Press.

Buku (2-6 penulis). Saputro, G.B., Hartini, S., Sukardjo, S., Susanto, A., & Poniman, A. (2009). Peta mangroves Indonesia. Jakarta:

Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional.

Buku (lebih dari 6 penulis). Atmosoedardjo, H.K., Kartasubrata, J., Kaomini, M., Saleh, W., … & Moerdoko, W. (2000). Sutera Alam

Indonesia. Jakarta: Penerbit Yayasan Sarana Wana Jaya.

ProsidingKuntadi, & Adalina, Y. (2010). Potensi Acacia mangium sebagai sumber pakan lebah madu (pp. 915-921).

Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIII: Pengembangan ilmu dan teknologi kayu untuk mendukung implementasi program perubahan iklim, Bali 10-11 November 2010. Bogor: Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia.

Kumpulan tulisan yang dieditBooth-LaForce, C., & Kerns, K.A. (2009). Child-parent attachment relationships, peer relationships, and peer-

group functioning. In K.H. Rubin, W.M. Bukowski, & B. Laursen (Eds.), Handbook of peerinteractions, relationships, and groups (pp. 490-507). New York, NY: Guilford Press.

Makalah seminar, lokakaryaIbnu, S. (2011, Maret). Isi dan format jurnal ilmiah. Makalah disajikan dalam Lokakarya Nasional Pengelolaan

dan Penyuntingan Jurnal Ilmiah, Malang: Universitas Negeri Malang.

Skripsi, disertasi, tesisSuyana, A. (2003). Dampak penjarangan terhadap struktur dan riap tegakan di hutan produksi alami PT. Inhutani

I Berau Kalimantan Timur (Tesis Pascasarjana). Universitas Mulawarman, Samarinda.Laporan Penelitian. Sidiyasa, K., Mukhlisi, & Muslim, T. (2010). Jenis-jenis tumbuhan hutan asli Kalimantan yang berpotensi

sebagai sumber pangan dan aspek konservasinya (Laporan Hasil Penelitian). Samboja: Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Samboja (unpublished).

Artikel dari internet.:Ahira, A. (2011). Adaptasi morfologi dari paruh burung kolibri. Diunduh 7 Juni 2012 dari http: //www.anneahira.com/paruh-burung-kolibri-h.tm cache.

Page 97: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

Kenney, G.M., Cook, A., & Pelletier, J. (2009). Prospects for reducing uninsured rates among children: How much can premium assistance programs help? Retrieved 7 June 2012 from Urban Institute website: http://www.urban.org/url.cfm?ID=411823.

Surat kabar.Booth, W. (1990, October 29). Monkeying with language: Is chimp using words or merely aping handpers? The

Washington Post. p.A3.

Perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan sejenisnya.Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2013 tentang RTRW Kota Medan 2011-2031.

Peraturan Walikota Medan Nomor 10 tahun 2009 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.

Pengutipan pustaka di dalam naskah berdasarkan sistem penulisan referensi APA Style, sebagai berikut:• Karya dengan dua pengarang.

Research by Wegener and Petty (1994) supports... atau (Wegener & Petty, 1994)• Karya tiga sampai lima pengarang.

(Kernis, Cornell, Sun, Berry, & Harlow, 1993) atau Kernis, Cornell, Sun, Berry, & Harlow (1993) explain….Dalam kutipan berikutnya, (Kernis et al., 1993) atau Kernis et al. (1993) argued….

• Enam pengarang atau lebih.Harris et al. (2001) argued... atau (Harris et al., 2001)

• Pengarang tidak diketahui, sitasi sumber pada judul dengan huruf miring. Sitasi sumber pada judul buku atau laporan dengan huruf miring, contoh: …berdasarkan Statistik daerah Kabupaten Pesawaran 2013 ……. Sedangkan pada judul artikel, bab, dan halaman web dalam tanda kutip dan dilengkapi tahun, contoh : A similar study was done of students learning to format research papers ("Using APA," 2001).

• Organisasi sebagai pengarang. According to the American Psychological Association (2000),... atau menggunakan singkatan jika telah dikenal dalam tanda bracket pertamakali sumber dikutip dan selanjutnya hanya singkatan yang disitasi. Sitasi pertama: (Mothers Against Drunk Driving [MADD], 2000) Sitasi kedua: (MADD, 2000)

• Dua karya atau lebih dalam tanda kurung yang sama(Berndt, 2002; Harlow, 1983)

• Pengarang dengan nama akhir sama.Gunakan inisial nama pertama dan nama terakhir, (E. Johnson, 2001; L. Johnson, 1998)

• Dua karya atau lebih dengan pengarang sama dalam tahun sama. Research by Berndt (1981a) illustrated that...

• Mensitasi/mengutip sumber tidak langsung. Johnson argued that...(as cited in Smith, 2003, p. 102).

• Tahun tidak diketahui. Another study of students and research decisions discovered that students succeeded with tutoring ("Tutoring and APA," n.d.).

Page 98: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

CATATAN: Penggunaan titik dan koma dalam penulisan angka: Naskah (teks) bahasa Indonesia: titik (.) menunjukkan kelipatan ribuan dan koma (,) menunjukkan pecahan. Naskah (teks) bahasa Inggris: titik (.) menunjukkan pecahan dan koma (,) menunjukkan kelipatan ribuan.

KONDISI: Dewan Redaksi berhak mengubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya, dan juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Penulis dari luar instansi Badan Litbang Kehutanan wajib menyertakan curriculum vitae singkat dan alamat yang jelas.

PENGAJUAN NASKAH

1. Redaksi Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan menerima naskah ilmiah berupa hasil penelitian dalam bidang Kebijakan, dan Lingkungan Kehutanan. Naskah harus berisi informasi yang benar, jelas dan memiliki kontribusi substantif terhadap bidang kajian

2. Penulisan harus singkat dan jelas sesuai dengan format penulisan Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Naskah belum pernah dimuat atau tidak sedang dalam proses untuk dimuat di media lain, baik media cetak maupun elektronik. Naskah diharapkan juga mensitasi dari Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan dan/atau Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan.

3. Naskah ilmiah yang masuk akan diseleksi oleh Dewan Redaksi yang memiliki wewenang penuh untuk mengoreksi, mengembalikan untuk diperbaiki, atau menolak tulisan yang masuk meja redaksi bila dirasa perlu. Penilaian secara substantif akan dilakukan oleh Mitra Bestari/Penyunting Ahli. Penilaian akan dilakukan secara obyektif dan tertulis.

4. Naskah ilmiah yang dimuat dalam Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan tidak berarti mencerminkan pandangan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI).

5. Informasi mengenai penerbitan Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan dapat diakses di website http:// www.puspijak.org dan http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JAKK.

Page 99: TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018 JURNAL ...

Journal of Forestry Policy AnalysisVol.17 No.1, Mei 2020

p-ISSN 0216-0897e-ISSN 2502-6267

TERAKREDITASIRISTEKDIKTI No. 21/E/KPT/2018

JURNALANALISIS KEBIJAKANKEHUTANAN

Jurnal Analisis K

ebijakan Kehutanan Vol.7, N

o.1, Mei 2020 : 1-92

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Innovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANMinistry of Environment and Forestry

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASIResearch, Development and Innovation Agency

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIMCentre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

BOGOR - INDONESIA