TEORI MORAL DEVELOPMENT LAWRENCE KOHLBERG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAMI Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd) Disusun Oleh : Khairunnisa NIM.11150110000007 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019
92
Embed
TEORI MORAL DEVELOPMENT LAWRENCE KOHLBERG DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47869/1/KHAIRUNNISA... · banyak ilmu dan berbagi pengalaman kepada penyusun
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TEORI MORAL DEVELOPMENT LAWRENCE KOHLBERG
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAMI
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Disusun Oleh :
Khairunnisa
NIM.11150110000007
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019
KEMENTERIAN
AGAMA FORM (FR)
No. Dokumen : FITK-FR-AKD-089
UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010
FITK No. Revisi: : 01
Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Khairunnisa
Tempat/Tgl.Lahir : Bekasi, 2 Oktober 1997
NIM : 11150110000007
Jurusan / Prodi : Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : Teori Moral Development Lawrence Kohlberg dalam
Perspektif Pendidikan Islami
Dosen Pembimbing : Yudhi Munadi, M.Ag
NIP. 19701203 199803 1 003
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya
sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta, Agustus 2019
Mahasiswa Ybs.
Khairunnisa
NIM. 11150110000007
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
TEORI MORAL DEVELOPMENT LAWRENCE KOHLBERG
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAMI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Khairunnisa
NIM.11150110000007
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Skripsi
Yudhi Munadi, M. Ag
NIP. 19701203 199803 1 003
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi berjudul Teori Moral Development Lawrence Kohlberg dalam
Perspektif Pendidikan Islami disusun oleh Khairunnisa, NIM
11150110000007, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah melalui
bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah dan layak diujikan pada
sidang munaqosah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.
Jakarta, 18 Agustus 2019
Yang mengesahkan,
Dosen Pembimbing,
Yudhi Munadi, M. Ag
NIP. 19701203 199803 1 003
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi berjudul Teori Moral Development Lawrence Kohlberg dalam
Perspektif Pendidikan Islami disusun oleh Khairunnisa, NIM 11150110000007,
diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada
tanggal 02 September 2019 dihadapan dewan penguji. Oleh karena itu penulis
berhak mendapatkan gelar Sarjana S1 (S.Pd) dalam bidang Pendidikan Agama
Islam.
Jakarta, 02 September 2019
Panitia Ujian Munaqasah
UJI REFERENSI
Seluruh referensi yang digunakan dalam penulisan skripsi yang berjudul Teori
Moral Development Lawrence Kohlberg dalm Perspektif Pendidikan Islami,
disusun oleh Khairunnisa, NIM. 11150110000007, Jurusan Pendidikan Agama
Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta telah diuji kebenarannya oleh Dosen Pembimbing Skripsi
pada Tanggal 18 Agustus 2019.
Jakarta, 18 Agustus 2019
Pembimbing,
Yudhi Munadi, M. Ag
NIP. 19701203 199803 1 003
i
ABSTRAK
KHAIRUNNISA 11150110000007. TEORI MORAL DEVELOPMENT
LAWRENCE KOHLBERG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
ISLAMI. Program Studi Pendidkan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1440 H/2019 M.
Lawrence Kohlberg membawa teori perkembangan moral yang didasarkan
pada penalaran moral yang merupakan produk rasio atau akal. Penulis mencoba
mengangkat perspektif dari pendidikan Islami.
Metode yang penulis gunakan adalah library research dengan sumber penelitian
bersifat dokumenter dengan landasan teori moral development dan teori
pendidikan Islami.
Teori moral development Lawrence Kohlberg membahas perkembangan
yang dialami seorang anak yang akan mencapai tahap perkembangan tertentu
dengan melalui tahapan moral yang sebelumnya.
Tulisan ini mengungkap perspektif pendidikan Islami terhadap teori moral
development Lawrence Kohlberg. penelitian ini menghasilkan, pertama teori
perkembangan moral berdasarkan antroposentris dan teosentris, kedua benang
merah antara kecerdasan spiritual dengan agama yang disebut dengan kecerdasan
ruhaniah, yang harus dimiliki oleh peserta didik sebagai syarat menjadi manusia
bermoral.
Kata Kunci : Moral Development, Pendidikan Islami,Perkembangan Moral,
Antropologi Agama, Konstruktivisme.
Pembimbing : Yudhi Munadi, M. Ag
Daftar Pustaka :1980 sampai 2018
ii
ABSTRACT
KHAIRUNNISA 11150110000007. THEORY OF MORAL
DEVELOPMENT LAWRENCE KOHLBERG IN THE PERSPECTIVE OF
ISLAMIC EDUCATION. Islamic Education Study Program, Faculty of
Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University
Jakarta 1440 H / 2019 M.
Lawrence Kohlberg brought a theory of moral development based on
moral reasoning which is a product of reason or reason. The author tries to raise
the perspective of Islamic education.
The method I use is library research with documentary research sources
on the basis of moral development theory and Islamic education theory.
Lawrence Kohlberg's moral development theory discusses the development
experienced by a child who will reach a certain stage of development through the
previous moral stages.
This paper reveals the perspective of Islamic education on Lawrence
Kohlberg's theory of moral development. This research results, first the moral
development theory based on anthropocentric and theocentric, secondly the
common thread between spiritual intelligence and religion called spiritual
intelligence, which must be possessed by students as a condition of being a moral
human being.
Key Word : Moral Development, Pendidikan Islami,Perkembangan Moral,
Antropologi Agama, Konstruktivisme.
Mentor : Yudhi Munadi, M. Ag
Bibliography : 1980 sampai 2018
iii
KATA PENGANTAR
السالم عليكم ورمحة اهلل وبركاته
Alhamdulillah, Maha Suci Allah SWT dengan segala keagungan dan
kebesaran-Nya, segala puji syukur hanya tercurahkan pada-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya, sehingga atas ridho-
Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun belum mencapai sebuah
kesempurnaan. Namun dengan harapan hati kecil semoga dapat bermanfaat.
Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada junjungan alam, Nabi besar
Muhammad SAW yang syafaatnya selalu didambakan kelak di hari akhir. yang
menjadi cahaya di atas cahaya bagi seluruh alam, beserta keluarga, sahabat dan
pengikutnya yang setia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Yudhi Munadhi, MA
sebagai dosen Pembimbing Akademik sekaligus dosen Pembimbing Skripsi yang
telah memberikan banyak ilmu dan pengarahan, kepada kedua orang tua yang
senantiasa memberikan do‟a dan dukungan baik berupa materil maupun
nonmateril, serta kepada teman-teman yang senantiasa memberikan semangat agar
skripsi ini yang berjudul “Teori Moral Development Lawrence Kohlberg dalam
Perspektif Pendidikan Islami” dapat selesai tepat waktu.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
penyusun mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada seluruh pihak
yang berperan, antara lain:
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., sebagai Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Sururin, M.Ag., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abdul Haris, M.Ag., sebagai ketua jurusan Pendidikan Agama Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
4. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag., sebagai Sekertaris Jurusan Pendidikan Agama Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Yudhi Munadi, M.Ag., sebagai Dosen Penasihat Akademik sekaligus Dosen
Pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan banyak waktu untuk
membimbing, berbagi ilmu, dan memberi nasihat serta arahan.
6. Kedua orang tua saya, Bapak Arif Sadarwan dan Ibu Reswani sebagai pendidikan
pertama yang senantiasa mengorbankan waktu dan tenaganya untuk mendidik
dan membesarkan putrinya.
7. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang telah memberikan
banyak ilmu dan berbagi pengalaman kepada penyusun selama masa perkuliahan.
8. Teman-teman seperjuangan khususnya Jurusan Pendidikan Agama Islam, Ikatan
Keluarga Alumni Raudhatul Ulum Sakatiga (IKARUS).
9. Serta kepada pihak-pihak lain yang dapat penyusun sebutkan satu persatu yang
turut membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Diakses tanggal 4 April 2019 jam 20.58 10Agus Abdul Rahman, Teori Perkembangan Moral dan Model Pendidikan Moral, vol. III,
2010, Hlm. 39-39, Diakses tanggal 4 April 2019 jam 20.59
4
cukup, sehingga perilaku moral tersebut harus diimbangi dengan adanya
pengetahuan dan pertimbangan apakah perilaku tersebut termasuk perilaku
moral ataukah bukan.11
Pemikiran yang disumbangkan oleh Piaget dalam
mempelajari, memahami perkembangan sikap moral peserta didik usia sekolah
adalah dengan membuat tahapan, ada tiga tahapan yang dikemukakan Piaget:
(1) Fase absolut, yaitu anak merasakan peraturan merupakan otoritas yang
dihormatinya. (2) Fase realitas, usaha seorang anak menyesuaikan diri untuk
menghindari penolakan dari orang lain, peraturan dirumuskan secara bersama
sehingga dianggap dapat diubah. (3) Fase subyektif, seorang anak
memperhatikan penilaian perilaku. Moral berkembang karena dipengaruhi
upaya melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tua, memperluas
interaksi sehingga anak semakin mampu memahami pandangan orang lain
dalam kehidupan bermoral dalam kebersamaan.12
Penulis akan mendalami salah satu teori yang dikembangan oleh salah
seorang tokoh seperti yang telah disebutkan diatas, yaitu pada teori
perkembangan moral yang dikembangkan oleh Kohlberg.13
Permasalahan moral merupakan permasalahan yang seringkali menjadi
perdebatan dimasyarakat mengenai benar atau tidak benar, pantas atau tidak
pantas mengenai sikap moral seseorang yang berada dalam lingkungan
sosial.14
Pendidikan yang diterima oleh seorang anak dari kedua orang tuanya,
melalui pembiasaan pergaulan hidup, cara berinteraksi, cara menentukan
sikap, akhlak dan lain sebagainya menjadi sebuah teladan yang akan selalu
diingat dan ditiru anak sebagai pedoman.15
11
Agus Abdul Rahman, Teori Perkembangan Moral dan Model Pendidikan Moral, vol. III,
2010, Hlm. 39-39, Diakses tanggal 4 April 2019 jam 20.59 12
Laila Maharani, Perkembangan Moral Pada Anak, 2014,
(https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/konseli). Diakses tanggal 5 April 2019 jam 22.01 13Safnowandi, Teori Perkembangan Kepribadian, Sosial dan Moral, 2012,
Darmiyati Zuchdi,Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), hlm. 12 36Sulthon, Peningkatan Kualitas Pembelajaran Melalui Pendekatan Konstruktivistik dalam
Pendidikan Bagi Anak Usia Dini, vol. 1, No. 1, (Juli-Desember 2013), hlm. 5 37H. Dadang Supardan, Teori dan Praktik Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran,
vol. 4, No. 1, (2016), hlm. 2 38Ibid,
18
bahwa sebuah proses dalam pembelajaran akan mudah dipelajari dan
serta dipahami oleh peserta didik jika guru mampu memberi
kemudahan bagi siswa sehingga siswa mampu mengaitkan
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah tersimpan di
long term memory atau diingatan yang sudah dimiliki peserta
didik.39
Menurut Ausubel subjek yang dipelajari oleh peserta didik
harus bermakna (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan
suatu proses mengaitkan sebuah informasi yang baru pada konsep-
konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang.40
Struktur kognititf ini adalah fakta-fakta, konsep-konsep,
dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh
peserta didik.41
Teori belajar bermakna Ausubel ini sangat dekat
konstruktivisme, karena keduanya menekankan pentingnya peserta
didik mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru
kedalam sistem pengertian yang telah dimilikinya.42
Selain itu, ada juga teori yang dikenal dan dikembangkan oleh
Jean Piaget yaitu cognitive development, dalam teorinya tersebut
Piaget mencurahkan pandangannya mengenai bagaimana cara seorang
anak belajar, ini juga merupakan pandangan konstruktivisme.43
Dalam
konstruktivisme, sebuah pengetahuan tumbuh dan berkembang
melalui pengalaman. Ada tiga dalil pokok dalam perkembangan
mental manusia menurut Piaget; (1) Perkembagan intelektual terjadi
dengan melalui tahap-tahap beruntun yang kemudian selalu terjadi
dengan urutan yang sama. (2) Tahapan tersebut didefinisikan sebagai
kluster dari operasi-operasi mental yang memunculkan tingkah laku
intelektual. (3) Gerak melalui tahapan demikian dilengkapi oleh
adanyakeseimbangan (ekulibration) proses pengembangan yang
39Nur Rahmah, Belajar Bermakna David P. Ausubel di SD/MI, vol. 3, No. 1, (Juni 2015),
hlm. 5 40
Amin Otoni Harefa, Penerapan Teori Pembelajaran Ausubel dalam Pembelajaran,
(Majalah Ilmiah, ISSN: 1829-7463), Edisi 36: Tahun 2013, hlm. 3 41Ibid. 42Ibid, hlm. 7 43Ramlah, Penerapan Teori Perkembangan Mental Piaget Tahap Operasional Konkret pada
Hukum Kekekalan Materi, Jurnal Pendidikan UNISKA, vol. 3, No. 2, November 2015, hlm. 2
19
menguraikan terjadinya interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan
struktud kognitif yang timbul (akomodasi).44
Dalam perkembangan kognitif Piaget, istilah perkembangan
menunjukkan pada bagaimana seseorang tumbuh, menyesuaikan diri,
dan berubah selama hidupnya dengan melalui berbagai perkembangan
seperti perkembangan fisik, kepribadian, perkembangan sosioemosi,
perkembangan kognisi pemikiran, dan juga perkembangan
bahasa.Sehingga perkembangan adalah sebuah pertumbuhan dan
penyesuaian yang berlangsung dengan teratur selama perjalanan
hidup.45
Membahas teori tentang berbagai perkembangan, maka
terdapat banyak sekali teori perkembangan manusia, antara lain adalah
teori perkembangan kognisi dan moral Jean Piaget, teori
perkembangan kognisi Lev Vygotsky, teori perkembangan
kepribadian dan social Erik Erikson, dan juga teori perkembangan
moral Lawrence Kohlberg.46
Teori yang dihasilkan oleh Piaget
bermula pada saat Piaget mempelajari bagaimana dan mengapa
kemampuan mental dapat berubah lama-kelamaan.Menurutnya,
perkembangan tergantung sebagian besar pada manipulasi anak
terhadap interaksinya dengan lingkungan.Pandangan Piaget adalah
pengetahuan berasal dari tindakan.Teori perkembangan kognisi Piaget
menyatakan kecerdasan atau kognisi anak mengalami perubahan dan
kemajuan dengan melalui empat tahapan yang jelas.47
Teori Piaget ini
termasuk salah satu golongan konstruktivisme, yang mana teori ini
berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif merupakan
sebuah proses yang secara aktif membangun sistem pengertian dan
pemahaman tentang realitas dengan melalui pengalaman dan interaksi
yang dialami anak.48
44Ibid, hlm. 3 45Mukhlisah AM., Pengembangan Kognitif Jean Piaget dan Peningkatan Belajar Anak
Diskalkulia, Jurnal Kependidikan Islam, vol. 6, No. 2, Tahun 2015, hlm. 3 46Ibid. 47Ibid, hlm. 4 48Mukhlisah AM., Pengembangan Kognitif Jean Piaget dan Peningkatan Belajar Anak
Thomas Lickona, memperoleh gelar Ph.D dalam bidang
psikologi dari State University of New York, Albany tentang risetnya
yang berkaitan dengan perkembangan penalaran moral anak-anak.
Lickona menyumbangkan pemikirannya tentang pendidikan karakter,
ia menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah sebuah
usaha sengaja untuk membantu seseorang hingga dia memiliki
kemampuan untuk memahami, memperhatikan, dan melaksanakan
nilai-nilai etika, juga untuk mewujudkan kebajikan, yaitu kualitas
kemanusiaan yang baik secara objektif, bukan hanya baik untuk
perseorangan tapi juga untuk seluruh masyarakat.
Lickona memberikan suatu cara berpikir tentang karakter yang
tepat bagi pendidikan nilai, karakter, moral, yang terdiri dari nilai
operatif , nilai dan tindakan. Menurut Lickona, karakter yang baik
terdiri dari seseorang yang mengetahui hal yang baik knowing the
good, menginginkan hal yang baik desiring the good, dan melakukan
hal yang baik doing the good. Kebiasaan dalam cara berpikir,
kebiasaan dalam hati dan kebiasaan dalam tindakan. Hal tersebutlah
yang diperlukan untuk menjadi arahan suatu kehidupan moral.
Pendidikan karakter yang ditawarkan oleh Lickona lebih menanamkan
membangun pada habbit atau kebiasaan seorang anak, sehingga
peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan hal
baik. Sehingga misi pendidikan karakter ini membawa misi yang sama
dengan tujuan yang diharapkan dari pendidikan akhlak atau
pendidikan moral untuk mengembangkan moral seseorang.49
Menurut Thomas Lickona, karakter berkaitan dengan konsep
moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling), dan perilaku
moral (moral behavior), sehingga dengan tiga komponen tersebut
dapat kita nyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh
pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan
melakukan perbuatan baik.
49 Dalmeri, Pendidikan untuk Pengembangan Karakter (Telaah terhadap gagasan Thomas
Lickona dalam Educating for Character), Jurnal Al-Ulum, Vol. 14, No. 1, (Juni, 2014), hlm. 271
21
Banyaknya teori-teori perkembangan tersebut menunjukkan
bahwa para ilmuwan Barat tidak mengingkari betapa pentingnya
sebuah pendidikan moral dalam setiap perkembangan anak.Termasuk
juga salah satu Ilmuwan atau tokoh yang terkenal dengan teori belajar
sosial (Social Learning) atau terkenal juga dengan teori pembelajaran
melalui observasi (Observational Learning) yaitu Albert Bandura.50
Teori ini mengemukakan tentang sebuah proses perkembangan sosial
dan moral peserta didik yang selalu berkaitan dengan proses belajar,
sebab prinsip dasar belajar yang dihasilkan oleh Bandura ini adalah
belajar sosial dan moral. Proses belajar dimaknai sangat penting
karena amat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan
berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral agama, moral
tradisi, dan norma moral lainnya yang berlaku di masyarakat atau
lingkungan tempat mereka tinggal.51
Teori ini disebut dengan
pembelajaran social-kognitif atau disebut juga sebagai teori
pembelajaran melalui peniruan, teori Bandura ini didasarkan pada tiga
asumsi, antara lain adalah: (a) Individu mendapatkan pelajaran dengan
meniru apa yang ada di lingkungannya terutama perilaku-perilaku
orang lain yang disebut dengan model atau perilaku contoh. (b)
Terdapat hubungan atau ikatan yang erat antara peserta didik dengan
lingkungannya, karena akan terjadi pembelajaran pada keterkaitan
pada tiga pihak yaitu lingkungan, perilaku, dan faktor pribadi lainnya.
(c) Hasil dari pembelajaran tersebut adalah berupa bentuk perilaku
visual dan verbal yang ditunjukkan dalam perilaku sehari-hari.dengan
demikian maka teori ini disebut dengan sosial kognitif karena proses
kognitif dalam diri individu tersebut memiliki peran penting dalam
pembelajaran sedangkan pembelajaran terjadi karena adanya pengaruh
dari lingkungan sekitar individu.52
Teori kognitif sosial berakar pada
pandangan tentang human agency bahwa individu merupakan agen
50Qumruin Nurul Laila, Pemikiran Pendidikan Moral Albert Bandura, vol. III, No. 1, Maret
2015, hlm. 3 51Ibid. 52Ibid, hlm. 6
22
yang proaktif mengikutsertakan dalam lingkungan mereka sendiri dan
dapat membuat sesuatu terjadi dengan tindakan mereka.53
b. Teori Moral Development Lawrence Kohlberg
Lawrence Kohlberg lahir pada tahun 1972, dibesarkan di
Brouxmille, New York.Beliau menamatkan Sekolah Menengah di
Andover Academy di Massachusetts.Kohlberg melanjutkan
pendidikan dan masuk pada Universitas Chicago, ia mengambil
bidang psikologi, dan tertarik dengan Teori Piaget yang saat itu
merupakan gurunya.Pada tahun 1958 Kohlberg lulus S3 dengan
Disertasi Thedevelopment of Modes of Thinking and Choice in year 10
to 16, yang merupakan landasan teori perkembangan moralnya.54
Kohlberg menyatakan bahwa posisi psikologis dan antropologis
tentang moralitas tentu melibatkan penggabungan dari nilai-nilai,
standar, atau norma budaya seseorang.55
Kohlberg juga menyatakan
dalam karangannya, bahwa tujuan dari penelitiannya adalah usaha
untuk memahami hubungan pengembangan pemikiran moral untuk
perilaku moral dan emosi, keduanya adalah hal yang penting untuk
diperhatikan, seperti misalnya emosi, emosi yang terkait erat dengan
moralitas adalah hal-hal positif seperti, simpati, empati, dan rasa
hormat. Emosi tidak dapat mendorong pemikiran dan perilaku
seseorang, sehingga individu tidak akan bertindak nonrasional atau
irasional hanya karena reaksi emosional yang tidak disadari.56
Asumsi yang tertanam dalam pendekatan Kohlberg adalah,
sebuah gagasan bahwa penilaian moral dan sosial sangat erat
53Abd. Mukhid, Self-Efficacy Perspektif Kognitif Sosial dan Implikasinya Terhadap
Pendidikan, Tadris, vol. 4, No. 1, Tahun 2009, hlm. 3 54Elliot Turiel, The Development of Children’s Orientations towards Moral, Social, and
Personal Oeders: More than a Sequence in Development, Human Development 2008, p. 1,
Diakses tanggal 16 Mei 2019 jam 22.17. 55Ibid, p. 3 56
Elliot Turiel, The Development of Children’s Orientations towards Moral, Social, and
Personal Oeders: More than a Sequence in Development, Human Development 2008, p. 4,
Diakses tanggal 16 Mei 2019 jam 22.44.
23
kaitannya dengan asumsi bahwa seseorang aktif dalam pemikiran.
Dan dalam lingkungan sosialnya, mereka memiliki kecenderungan
emosional atau mental yang peduli dengan kesejahteraan orang lain
serta keadilan dalam setiap hubungan mereka, dan dalam setiap
prosesnya mereka tidak hanya didorong oleh emosi atau biologis yang
tidak disadari.57
Lawrence Kohlberg called his theoretical approach to morality
and moral motivation "cognitive developmental" to describe his
contextualization of moral development within social and non-
social (or physical) cognitive development. one of moral
development kohlberg's chief sources of inspiration, jean piaget,
considered mature morality to be a logic or rationality inherent
in social relations. morality in the cognitive developmental
approach refers mainly to the moral judgment (or reasoned
evaluation) of the prescriptive values of right and wrong. this
approach emphasiezes moral development.58
Teori Moral Development ini menganggap moralitas yang
matang merupakan logika atau rasionalitas yang melekat dalam
hubungan sosial.Moralitas dalam pendekatan perkembangan kognitif
yang mengacu terutama pada penilaian moral dari nilai-nilai
preskriptif benar dan salah. Teori ini berkembang melalui tulisan
disertasi doktor yang dibuat oleh Lawrence Kohlberg pada saat beliau
melanjutkan studi psikologi di University of Chicago, yang mana
terinspirasi dari hasil pemikiran Jean Piaget.59
Piaget melihat bahwa anak yang berbeda umurnya
menggunakan cara berpikir yang berbeda, hal inilah yang
memengaruhi pandangan Piaget mengenai tahap-tahap perkembangan
kognitif anak.60
Dalam pemikirannya tentang perkembangan kognitif, Piaget
menjelaskan mengenai mekanisme dan proses perkembangan kognitif
57Ibid, p. 5 58John C. Gibbs, Moral Development. (New York: Oxford University Press, 2010), Hlm. 39 59Ibid, p. 39 60Chairil Anwar,Teori-Teori Pendidikan Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: IRCiSoD,
2017). Hlm 319
24
manusia dari bayi, masa kanak-kanak, hingga menjadi manusia
dewasa yang dapat bernalar dan berpikir.61
Perkembangan pemikiran moral perlu disertai dengan
pengembangan komponen afektif. Dalam proses perkembangan
moral, kedua komponen tersebut, yaitu kognitif dan afektif sama
pentingnya. Aspek kognitif memungkinkan seseorang dapat
menentukan pilihan moral secara tepat, sedangkan aspek afektif
menajamkan kepekaan hati nurani, yang memberikan dorongan untuk
melakukan tindakan bermoral.62
Dalam hal ini Lawrence Kohlberg mengembangkan teori
perkembangan moral yang pada dasarnya berada di ranah afektif,
namun juga berkembang secara kognitif sebagaimana sebuah proses
yang berkembang melalui tahapan-tahapan tertentu.63
Kohlberg mencoba mengembangkan dan meningkatkan
kesadaran penalaran moral dengan cara menekankan pada interaksi.
Menurut Kohlberg aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari
lahir, tetapi sesuatu yang berkembang dan dapat dikembangkan atau
dipelajari. Perkembangan moral ini merupakan proses internalisasi
nilai atau norma masyarakat sesuai dengan kematangan dan
kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap aturan yang
berlaku dalam kehidupannya. Jadi, perkembangan moral ini mencakup
aspek kognitif tentang pengetahuan baik atau buruk, benar atau salah,
dan aspek afektifnya yaitu sikap perilaku moral mengenai bagaimana
cara pengetahuan moral tersebut dipraktikkan dalam kehidupan.64
Teori Kohlberg mengenai perkembangan moral secara formal
disebut dengan cognitive-developmental theory of moralization, yang
bermula dari karya Piaget. Asumsi yang diberikan Piaget yakni bahwa
61Ibid. Hlm 321 62Darmiyati Zuchdi,Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008). Hlm 8 63Supeni, Maria Goretti, Moralitas dan Perkembangannya, Vol. 33, No. 1, (15 Desember,
moral, yang mana terdiri dari tiga dilema hipotesis.Setiap dilema
menghadapkan subjek pada solusi yang sulit dan harus memilih dua
nilai yang bertentangan.Subjek diminta mengatasi suatu masalah dan
memberikan alasan terhadap pemecahan masalah yang dianggapnya
benar.72
Konsep tahapan itulah yang merupakan inti pendekatan
perkembangan kognitif.73Hal ini didukung dengan pernyataan
Durkheim, beliau menyimpulkan tesisnya yang dimulai dengan
pernyataan tegas “bahwa ilmu pengetahuan dapat membantu kita
menentukan jalan bagaimana kita harus mengorientasikan tingkah
laku kita”.74
Menurut Hogan dan Busch peningkatan pertimbangan
mengenai moral pada diri seseorang yang dirancang secara sengaja
melalui pendidikan di sekolah maupun di rumah, dapat membantu
membentuk kepribadian seseorang karena denga terbentuknya
pertimbangan moral pada dirinya maka seseorang akan berperilaku
(behavior) sesuai dengan cara berfikir moral (moral thinking) yang
ada padanya, perilaku yang ada pada diri seseorang berlandaskan pada
pertimbangan-pertimbangan kognitifnya.75
Kontribusi Lawrence Kohlberg dalam bidang perkembangan
moral sangat besar.Dia hampir sendirian dalam berinovasi bidang
pengembangan moral kognitif dalam Psikologi Amerika.Hal demikian
hampir tidak ada pada awal 1960-an, dimulai ketika kohlberg mulai
menerbitkan penelitiannya. Pilihan topiknya pada saat itu adalah
moralitas, penelitian yang dia lakukan menjadikannya semacam
"bebek aneh" dalam psikologi Amerika. Karena hampir tidak ada
ilmuwan sosial terkini, yang mengenal (relativisme) analisis
72Ibid., Hlm. 12 73Ibid., Hlm. 13 74Emile Durkheim, Moral Education, (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama). 75Mulya Hasanah, Pendidikan Moral dalam Perspektif Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 2,
Desember 2018, Hlm. 26
28
psikologis, behaviorisme, dan antropologi budaya, menggunakan kata-
kata seperti moralitas atau pengembangan penilaian moral sama
sekali.76
Pandangan yang dimiliki Kohlberg tentang pendidikan adalah
masih revolusioner dan transformatif, hal ini karena Kohlberg
menganggap dan mendefinisikan pendidikan sebagai pendidikan
moral, ia sering mengatakan bahwa pendidikan moral menakutkan
baginya jika tidak kepada orang lain. Bagi Kohlberg, pendidikan di
sekolah harus mengajarkan “yang baik”, sebuah klaim yang
berpegang pada pemahaman bahwa pendidikan adalah sebuah usaha
moral, sarat akan nilai-nilai, dan terhubung dengan masyarakat yang
luas.77
Ide yang dikembangkan oleh Kohlberg, bahwa sistem
pendidikan harus selalu didahulukan dan dikhususkan sebagai bentuk
persiapan pembangunan seumur hidup atau jangka
panjang.Pembangunan untuk jangka panjang harus didasari dengan
perubahan progresif dari waktu ke waktu, domain pengalaman hidup
dan perubahan yang terjadi pada setiap individu saling mempengaruhi
dalam lintas waktu, kapasitas individu dan integrasi untuk
meningkatkan kognitif sosial dan kemampuan pemecahan masalah.78
Teori perkembangan moral dan teori pendidikan moral yang
ditemukan oleh Kohlberg berdasarkan hasil penelitian empirisnya
mengenai tahap-tahap keputusan moral.Kohlberg mendefinisikan
perkembangan moral sebagai gerakan dari tahap satu menuju tahap
berikutnya, dan pendidikan moral berarti merangsang gerakan
tersebut.Untuk memahami teori tersebut maka kita harus betul-betul
tahu mengenai definisi dari masing-masing tahap perkembangan
76John C. Gibbs, Moral Development. (New York: Oxford University Press, 2010), Hlm. 81-
85 77Boris Zizek, Detlef Garz and Ewa Nowak, Moral Development and Citizenship Education
(Kohlberg Revisited), Volume 9 (Taipei: Sense Publisher), p. 28 78Ibid., p. 29
29
moral.Lawrence Kohlberg menggambarkan 3 (tiga) tingkatan yang
menjadi enam tahapan tentang penalaran moral, masing-masing
tingkatan tersebut memiliki 2 tahapan. Enam Tahapan Keputusan
Moral Lawrence Kohlberg adalah79
:
Tabel 1.1 Enam Tahap Keputusan Moral Lawrence Kohlberg
Tingkat dan Tahap Makna Tahap Perspektif Sosial Setiap
Tahap
Tingkat I:
Prakonvensional
Tahap I:
Moralitas Heteronomi
Orientasi kepatuhan dan
hukuman: patuh semata-mata
karena ingin berbuat patuh,
menghindari hukuman fisik atau
kerusakan hak milik
Pandangan egosentrik, tidak
mempertimbangkan
keinginan orang lain dan
tidak menyadari bahwa setiap
orang berbeda-beda.
Tindakan orang lain hanya
dipandang secara fisik, tidak
ada dorongan psikologisnya.
Masih bingung dalam
membedakan antara
pandangan penguasa dengan
pandangan sendiri.
Tahap 2:
Individualisme,
egosentris, minat
pribadi (apa untungnya
bagi saya?), tujuan
instrumental, dan
pertukaran
Menaati peraturan jika sesuai
dengan kepentingannya sendiri,
bertindak untuk memenuhi
keinginan dan kebutuhannya
sendiri dan membiarkan orang
lain bertindak demikian juga.
Benar juga berarti keadilan atau
pertukaran perlakuan, perjanjian
yang adil
Pandangan individualistik
yang konkret. Menyadari
bahwa setiap orang memiliki
keinginan yang hendak
dicapainya, yang mungkin
saking bertentangan:
kebenaran bersifat relative.
Tingkat II:
Konvensional
Berbuat sesuai dengan harapan
orang-orang yang dekat dengan
Pandangan individual dalam
hubungan dengan individu-
79Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008).
Hlm 16
30
Tahap 3:
Orientasi keserasian
Interpersonal dan
Komformitas (sikap
anak baik)
dirinya atau sesuai dengan
harapan orang pada umumnya
mengenai bagaimana menjadi
anak, saudara, dan teman yang
baik. menjadi orang yang baik
itu penting dan bermakna
memiliki motif yang baik.
percaya akan hukum Tuhan,
keinginan menjaga peraturan
dan penguasa yang memiliki
perilaku yang baik.
individu lain. Menyadari
perasaan, persetujuan, dan
harapan bersama yang
mengutamakan keinginan
individu, bertenggang rasa.
Tahap 4:
Sistem Sosial dan Suara
Hati
Melaksanakan tugas-tugas yang
telah disetujui, orientasinya
adalah untuk memenuhi tugas,
menepati hukum. Untuk
menjaga agar lembaga berjalan
dengan menyeluruh dan
menghindari pelanggaran sistem.
Suara hati nurani penting sekali
untuk memenuhi tanggung
jawab seseorang.
Membedakan pandangan
masyarakat dari persetujuan
atau motif antarpribadi.
Menggunakan pandangan
sistem yang mendefinisikan
peran dan aturan;
mempertimbangkan
hubungan individual dalam
kerangka sistem.
Tingkat III:
Pasca Konvensional
atau Memiliki Prinsip
Tahap 5:
Kontrak Sosial atau
Hak Milik dan Hak
Individu
Menyadari bahwa masyarakat
memiliki berbagai nilai dan
pendapat, dan kebanyakan
peraturan mereka bersifat relatif
bagi kelompok mereka.
Biasanya menjunjung tinggi
kemauan rakyat secara
keseluruhan karena memiliki
kontrak sosial. Beberapa nilai
dan hak yang tidak bersifat
relatif (misalnya hak hidup dan
Mengutamakan perspektif
sosial. Kesadaran rasional
setiap individu akan nilai dan
hak sebelum membuat
kontrak sosial.
31
kebebasan) harus dijunjung
tinggi dalam masyarakat,
bagaimanapun pendapat
kelompok mayoritas.
Tahap 6:
Prinsip Etika Universal
Mengikuti prinsip-prinsip etis
pilihan pribadi. Undang-undang
khusus atau persetujuan sosial
biasanya valid karena didasarkan
pada prinsip-prinsip tersebut.
Jika Undang-undang tidak sesuai
dengan prinsip ini, orang tetap
bertindak sesuai dengan prinsip
meski harus melanggar Undang-
undang. Prinsip ini adalah
prinsip universal mengenai
keadilan, persamaan hak-hak
kemanusiaan, dan menghargai
martabat manusia sebagai
individu.
Perspektif pandangan moral
yang berasal dari persetujuan
sosial. Perspektif bahwa
individu rasional menyadari
hakikat moralitas atau
menyadari kenyataan bahwa
orang memiliki tujuan dan
harus diperlakukan sesuai
tujuannya.
Sumber: Lawrence Kohlberg, Moral Stages and Moralization: The cognitive Development
Approach, dalam Reimer, Paolitto, dan Hersh (1983:58-61)
c. Aplikasi Teori Moral Development Kohlberg dalam Pembelajaran
Pemahaman mengenai perkembangan tingkat kognitif,
psikomotorik, afektif merupakan hal yang sangat penting bagi calon
guru, sehingga ketika menjadi guru memiliki pedoman dalam membina
sikap, perilaku, moral dan karakter siswa.Sama pentingnya dengan
pemahaman tentang perkembangan psikologi dan moral anak sejak
kecil sampai dewasa.Beberapa teori yang sering dijadikan guru sebagai
32
dasar pedoman dan pembinaan, dan pembelajaran moral, salah satunya
adalah teori Kohlberg.80
Dalam pendidikan, untuk membangun karakter maka memiliki
tiga komponen penting, yaitu moral knowing, moral feelings, dan
moral action/ moral behavior.Komponen tersebutlah yang menjadi
dasar satu kesatuan yang terus menerus dalam perkembangan moral
anak.81
Oleh karena itu mempelajari bagaimana perkembangan moral
anak akan memberikan manfaat bagi kita sebagai dasar pemahaman
untuk melaksanakan dan mewujudkan pendidikan karakter sesuai
dengan kurkulum yang saat ini berlaku.82
Teori perkembangan moral
Kohlberg ini, merupakan modifikasi dan penyempurnaan atas teori
perkembangan kognitif Piaget. Mengenai bagaimana anak-anak
berpikir tentang hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai moral, yang
mulai dikembangkan oleh Piaget pada tahun 1932 dengan penelitian
yang mendalam, metode yang digunakannya adalah observasi dan
wawancara pada anak-anak berusia 4-12 tahun. Penelitian Kohlberg
mengenai teori perkembangan moral adalah sebagai penyempurnaan
pentahapan yang dikembangan oleh gurunya yaitu Piaget.83
Lawrence Kohlberg berhasil menelurkan kelompok tahapan-
tahapan perkembangan moral menjadi 6 tahapan, yang mana
diperolehnya dengan mengubah dan memodifikasi tiga tahap Piaget/
Dewey kemudian masing-masing dijadikannya tiga tingkatan
kemudian tingkatan tersebut dibagi lagi atas dua tahap.84
Ketiga tingkatan tersebut sebagaimana telah penulis paparkan
pada sub bab sebelumnya, yaitu tingkat prakonvensional,
konvensional, dan pasca-konvesional. Anak yang berada dalam tahap
prakonvensional akan berperilaku “baik” dan peka terhadap pandangan
80H. M. Mukiyat, Model-model Pembelajaran Moral dalam PKn (Salah SatuWahana untuk
Mengembangkan Karakter Bangsa), vol. 17, No. 1, (April2015), hlm. 6 81Fatma Laili Khoirun Nida, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg
Dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, vol. 8, No. 2, Agustus
(2013)., hlm. 4 82Ibid. 83Ibid, hlm. 13 84
Ibid.
33
atau label budaya tentang baik dan buruk, benar dan salah. Namun
anak-anak tersebut hanya memaknai pandangan tersebut dari segala
bentuk fisiknya saja seperti hukmannya, ganjarannya, ataupun
kebaikan.Anak-anak yang berada pada tingkatan ini biasanya anak
yang bekisar usianya di 4 hingga 10 tahun. Dalam tingkatan ini, terbagi
lagi menjadi dua tahap, yaitu: Tahap I, Orientasi hukuman dan
kepatuhan, anak berorientasi pada hukuman dan rasa hormat yang
tidak dipersoalkan terhadap kekuasaan yang lebih tinggi, dengan akibat
fisik sebuah tindakan, mereka akan terlepas dari arti atau nilai
kemanusiawiannya, akan menentukan sifat baik atau buruknya dari
tindakan ini.85
Tahap ke-2, Orientasi relativis-instrumental, perbuatan yang
dilakukan adalah perbuatan benar yang secara instrumental berupa
kepentingan dan kebutuhan individu itu sendiri dan kadang-kadang
memuaskan kebutuhan orang lain. Pada tahap ini hubungan antar
manusia terdapat unsur-unsur kewajaran, timbal balik, bukan sebuah
kesetiaan, rasa terimakasih, atau keadilan.86
Kedua tahap pada tingkat awal ini disebut dengan Hedonisme
instrumental atau sifat timbal balik menjadi peranan, atau dalam artian
“moral balas dendam”.
Selanjutnya tingkat kedua yaitu tingkat konvensional, pada
tingkatan ini berlaku pada anak usia 10-13 tahun, dalam tingkatan ini
anak-anak akan menuruti dan memenuhi harapan dari keluarga,
kelompok atau bangsa, sehingga dipandang sebagai hal yang bernilai
dalam dirinya tanpa mengindahkan akibat yang mereka dapatkan. Pada
tingkatan ini individu seorang anak bukan hanya sekedar berupaya
untuk menyesuaikan diri dengan tatanan sosialnya, namun juga untuk
85
Fatma Laili Khoirun Nida, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg
Dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, vol. 8, No. 2, Agustus
(2013)., hlm. 14 86Ibid.
34
menjaga, mendukung serta membenarkan sebuah tatanan sosial
tersebut.87
Pada tingkat konvensional ini, ada dua tahapan yaitu; tahap 3,
orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “menjadi anak
baik”. Di tahap ini, perilaku yang baik adalah perilaku menyenangkan
atau membantu orang lain, dan tentunya yang disetujui oleh mereka.
Terdapat banyak konformitas88
dengan gambaran-gambaran mengenai
apa yang dianggap tingkah laku mayoritas atau yang “wajar”.
Kemudian adalah tahap 4, yaitu anak terpatok pada orientasi
hukum dan ketertiban, orientasi pada otoritas, peraturan atau
pemeliharaan aturan sosial.Perbuatan yang benar adalah ketika
menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan
pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu
sendiri.Orang mendapatkan rasa hormat dengan berperilaku
sebagaimana kewajibannya.89
Berikutnya tingkat pasca-konvensional yang terjadi pada usia 13
tahun ke atas, ciri-cirinya adalah adanya dorongan utama menuju ke
prinsip-prinsip moral otonom, mandiri, dan mempunyai validitas dan
penerapan, dan tentu terlepas dari otoritas kelompok-kelompok atau
dari identifikasi individu tersebut terhadap pribadi atau kelompok
tersebut. Pada tingkatan ini muncul usaha yang jelas untuk
merumuskan nilai dan prinsip moral yang dapat diterapkan.
Pada tingkat pasca-konvensional ada dua tahapan yaitu tahap 5;
Orientasi kontrak sosial legalistis.Suatu orientasi kontrak sosial, yang
umumnya bernada dasar legalistis dan utilitarian.Perbuatan yang benar
cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran
yang telah diuji dengan kritis lalu disepakati oleh seluruh
masyarakat.Terdapat suatu kesadaran mengenai relativisme nilai-nilai
87Ibid. 88Konformitasadalah: suatu jenis pengaruh sosial ketika seseorang mengubah sikap dan
tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada. 89
Fatma Laili Khoirun Nida, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg
Dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, vol. 8, No. 2, Agustus
(2013)., hlm. 15
35
dan pendapat-pendapat pribadi serta suatu tekanan pada prosedur yang
sesuai untuk mencapai kesepakatan.
Dalam tingkat ini diakhiri oleh tahap 6 yang berisi Orientasi
Prinsip Etika Universal.Yaitu orientasi pada keputusan suara hati dan
pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, mengacu pada
pemahaman logis, menyeluruh, universalitas dan konsistensi.90
Tingkat
ini disebut dengan moralitas yang berprinsip (Principled
morality).Baik atau buruk didefinisikan pada keadilan yang lebih
besar, bukan pada aturan masyarakat yang tertulis ataupun
kewenangan tokoh otoritas.91
Tahap kematangan moral seseorang dicapai tahap demi tahap
sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas, tidak dapat dicapai
dengan sendirinya, dan juga tidak setiap orang dewasa mampu
mencapai tingkat yang tertinggi (tahap ke-6), karena untuk mencapai
moral yang baik dan matang diperlukan belajar yang mana dimulai
sejak anak-anak sampai dewasa.Oleh karena itu penting untuk
memperhatikan pendidikan dan pembinaan sikap, perilaku dan moral
anak di sekolah dan keluarga.92
Tiga aras perkembangan moral Kohlberg adalah sebagai berikut:
Principled
Conventional
Premoral
Preschool Usia Sekolah Masa Dewasa
90Ibid, 91Anata Ikrommullah, Tahapan Perkembangan Moral Santri Mahasiswa Menurut Lawrence
Kohlberg, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, vol. 28, No. 2, (Agustus 2015), hlm.
5 92
H. M. Mukiyat, Model-model Pembelajaran Moral dalam PKn (Salah SatuWahana untuk
Mengembangkan Karakter Bangsa), vol. 17, No. 1, (April2015), hlm. 7
36
Beberapa pendekatan yang digunakan sebagai dasar dalam merancang
dan menerapkan pembelajaran moral adalah:
a. Konstruktivistic Approach
Pada pendekatan ini siswa secara individual diharuskan untuk
menemukan lalu mengubah informasi yang komplek menjadi
sederhana dan bermakna agar informasi tersebut menjadi
pengetahuan bagi dirinya.Siswa mencari dan menemukan sendiri
nilai yang baik, perilaku, dan sikap yang baik atau buruk. Setelah
proses itu dihayati secara konstan sikap dan perilaku serta moral
yang baik tersebut akan tertanam dalam dirinya tanpa adanya
paksaan dari pihak manapun.
b. Contextual Teaching and Learning
Pendekatan pembelajaran ini adalah pendekatan yang menggiring
siswa kepada realita.Penerapan prosesnya adalah siswa dibawa ke
dunia nyata, seperti sesekali ke sebuah pondok pesantren, panti
asuhan, ataupun ke ladang.Untuk mengamati, dan mempelajari hal-
hal yang terjadi di kehidaupan nyata tersebut.Pendekatan ini
membuat pembelajarn moral tidak lagi abstrak, karena siswa betul-
betul ikut serta merasakannya dalam kehidupan nyata.
c. Avocation Approach atau Ekspresi Spontan
Dalam pendekatan ini siswa diberi kesempatan dan kebebasan
penuh untuk berpendapat, menanggapi, mengekspresikan isi
perasaannya, serta mengemukakan penilaian dengan cara
memberikan stimulus yang mempengaruhi emosional siswa.
d. Moral Reasoning Approach
Yaitu pendekatan untuk mencari kejelasan moral, yang pertama
harus dilakukan oleh pembelajar adalah memunculkan atau
mengadakan stimulus berupa “Dilema Moral” (sebuah masalah
yang penuh konflik) yang dilontarkan kepada
pembelajar.Kemudian mereka diajak terlibat dalam dilemma
37
tersebut, mintalah untuk mengemukakan pendapat dan menentukan
kejelasan moral yang baik dengan melalui diskusi atau dialog.
e. Awarenessm Approach atau Pendekatan Kesadaran
Ini merupakan pendekata kesadaran, melalui sebuah kegiatan siswa
dituntun untuk mengklarifikasi dirinya atau menilai orang lain,
sehingga akan memunculkan kesadaran pada dirinya,
menumbuhkan rasa empati dan kepedulian kepada sesama
manusia.
f. Value Analisis Approach
Dalam pendekatan ini siswa diajak mengadakan analisis nilai-nilai
yang ada dalam suatu kejadian dengan menggunakan media.Lalu
peristiwa tersebut dianalisis mulai dari analisis sederhana seperti
reportasi hingga pengkajian secara akurat, teliti dan tepat.
g. Comitment Approach
Sebuah pendekatan yang akrab disebut kesepakatan, yaitu
kesepakatan yang terjadi antara dua pihak yaitu pembelajar, dan
siswa mengenai isi kegiatan, dan konten atau materi.Dengan
pendekatan ini di dalam pendidikan moral untuk melatih disiplin
dalam pola berpikir dan perilakunya agar senantiasa melakukan
sesuati yang sudah menjadi kesepakatan bersama.
B. Kritik Terhadap Teori Moral Development Lawrence
Kohlberg
1. Kritik Ahli
Teori perkembangan moral Kohlberg sampai saat ini masih menjadi
rujukan dan referensi di banyak tempat, namun meskipun demikian teori
tersebut tidaklah lepas dari adanya kritikan. Kelemahan-kelemahan yang
terkait atas teori tersebut adalah masalah metodologi penelitian yang
digunakan Kohlberg, hubungan antara penalaran moral dan perilaku
38
moral, sifat universalitas dari teori tersebut, gender dan perkembangan
moral serta tinjauan dari filsafat moral.93
Masalah Metodologis, Durkin (1995) membuat pernyataan
mengenai kelemahan teori Kohlberg yaitu adanya masalah metodologis
dalam penelitian Kohlberg. Prosedur skoring yang digunakan adalah
isoterik dan subjektif (dilakukan oleh sebagian besar anggota kelompok
penelitian Kohlberg sendiri di Hardvard), dan tidak stabil karena
menggunakan kriteria yang berbeda-beda pada setiap poin dalam evaluasi
teori). Beberapa ahli menolak adanya pendapat Kohlberg mengenai
konsistensi dalam subjek, selain itu melalui beberapa penelitian
membuktikan individu yang sama dapat memiliki skor yang berbeda pada
satu seri atau jenis dilema. Point nya adalah yakni metodologi Kohlberg
tidak menjamin keabsahan data yang dihasilkan, sehingga sebagian ahli
meragukan tahapan penalaran moral tersebut.
Hubungan antara penalaran moral dan perilaku moral, beberapa
ahli menyatakan bahwa seperti tidak terdapat korelasi yang terlihat secara
konsisten antara perkembangan moral Kohlberg dengan perilaku moral
seseorang, atau dengan kata lain moral yang ada pada diri seseorang,
mungkin tidak nampak dalam perilakunya. Bahkan Kohlberg sendiri
menyatakan bahwa “untuk bertindak secara moral dengan cara yang baik
maka dibutuhkan penalaran moral pada tahap yang tinggi, dan seseorang
akan tidak dapat mengikuti prinsip-prinsip moral (tahap 5 dan 6) jika
seseorang tersebut tidak memiliki pemahaman atasnya atau tidak
mempercayainya”. Kohlberg menyatakan bahwa tahapan moral bukanlah
satu-satunya yang menentukan perilaku moral, artinya masih terdapat
faktor lain yang ikut mempengaruhi seperti misalnya kesepakatan sosial,
persepsi terhadap resiko, dan lainnya. Namun Kohlberg tetap percaya
93Siti Rohmah Nurhayati, Telaah Kritis Terhadap Teori Perkembangan Moral Lawrence
Kohlberg, Jurnal Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006, hlm. 7
39
bahwa tahapan moral adalah salah satu prediktor sebuah perilaku yang
baik.94
Sifat universal dari teori Kohlberg, kritik berikut ini dinyatakan
dalam sebuah buku karya (Hook, 1999) dan (Durkin, 1995) yaitu tahapan
penalaran moral Kohlberg adalah sebuah interpretasi moralitas yang
ditemukan dalam kehidupan masyarakat demokratis Barat, sehingga
kemungkinan tidak akan dapat diterapkan dalam kebudayaan selain Barat.
Gender dan perkembangan moral Kohlberg, sebagian para ahli
mengungkapkan bahwa tahap-tahap penalaran moral Kohlberg tidak
dapat diterapkan dengan seimbang pada laki-laki dan perempuan,menurut
Carrol Gilligan (dalam Durkin, 1995) menyatakan bahwa kerangka kerja
Kohlberg bertitik fokus pada perkembangan konsep keadilan. Yang mana
didasarkan pada cara laki-laki dalam memandang sesuatu, maka terjadilah
bias terhadap perempuan dalam instrumentasi dan prosedur skoring.Dan
faktanya, penelitian yang dilakukan Kohlberg lebih banyak dilakukan
dengan subjek laki-laki. Menurut Gilligan (dalam Hook, 1999) dinyatakan
bahwa perempuan dan laki-laki tidaklah berpikir moralitas dengan cara
yang sama, dalam penelitiannya Gilligan menemukan bahwa dalam
membuat keputusan-keputusan moral, perempuan dinilai lebih banyak
berbicara dibandingkan dengan laki-laki terkait hubungan interpersonal,
tanggung jawab, tidak menyakiti orang lain, dan persoalan pentingnya
hubungan diantara orang-orang.Gilligan menyebut bahwa moralitas
perempuan adalah “orientasi perhatian”. Sehingga berdasarkan perbedaan
gender tersebut Gilligan menyatakan perempuan akan memiliki skor yang
lebih rendah.Menurutnya, laki-laki membuat keputusan moral sesuai dan
berdasarkan dengan isu-isu keadilan, yang mana isu-isu tersebut cocok
dengan tahapan penalaran moral yang tinggi.sebagaimana penelitian yang
dilakukan Holstein (dalam Durkin, 1995) ia menemukan sebagian anak
94Ibid, hlm. 8
40
perempuan berada dalam tahap 3, dan sebagian besar anak laki-laki
berada dalam tahap 4.95
Berikutnya pada jurnal yang ditulis oleh peneliti bernama Agus
Abdul Rahman, ia menuliskan beberapa kritik terhadap teori Kohlberg,
salah satunya kritik yang datang dari Eliot Turiel dalam karyanya social
cognitive domain theory, dalam karya Turiel tersebut sebenarnya terdapat
beberapa kesamaan paradigma antara Turiel dengan Kohlberg yakni
bahwa perkembangan moral akan lebih baik jika dipahami dengan cara
menganalisa moral judgment. Emosi dianggap terpisah dan tidak
mempengaruhi kekuatan moral judgment.Kritik Turiel adalah bahwa
moralitas hanyalah salah satu dari tiga bentuk pengetahuan sosial (social
knowledge).Pengetahuan sosial menurutnya ditandai dengan adanya
heterogeneity dan coexistence antara orientasi sosial, motivasi dan tujuan.
Turiel menyampaikan bahwa untuk dapat memahami fungsi serta
perkembangan moral dalam masyarakat hendaknya juga memahami
kultur dan struktur masyarakatnya, yang mana hal tersebut tidak termasuk
dalam teori perkembangan Kohlberg.96
Dari kalangan cultural psychology dan cross-cultural psychology,
mendapati kritik terhadap klaim bahwa adanya prinsip-prinsip moral yang
bersifat universal sebagaimana yang dikembangankan atau dibahas oleh
Jean Piaget, Lawrence Kohlberg, Carrol Gilligan, dan Elliot
Turiel.Cultural psychology memiliki sebuah premis yang bahwa proses
kultural dan psikologis sama pentingnya dalam memahami perkembangan
moral.Mereka mengakui adanya non-rasionalitas di dalam konsepsi
moral. Jelas berbeda dengan mainstream teori psikologi mengenai moral
yang mengabaikan peran agama dalam pembentukan moralitas, cultural
psychology justru mengakuinya, seperti Shweder dkk (1997) misalnya,
berdasarkan penelitian ethnografis di India, Brazil, dan Amerika yang
95Siti Rohmah Nurhayati, Telaah Kritis Terhadap Teori Perkembangan Moral Lawrence
Kohlberg, Jurnal Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006, hlm. 10 96Agus Abdul Rahman, Teori Perkembangan Moral dan Model Pendidikan Moral,
Psympathic Jurnal Ilmiah Psikologi, vol. III, No. I, Tahun 2010, hlm. 3
41
mengidentifikasi adanya tiga domain moral, yang salah satunya moralitas
yang berhubungan dengan agama, yaitu autonomy, community, divinity.
Artinya, yang ingin Shweder sampaikan adalah perilaku moral individu
juga dapat dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan kelompok
bahkan Tuhan, jadi bukan semata-mata ditentukan oleh moral
reasoning.97
2. Kritik Tokoh
Teori Kohlberg adalah teori perkembangan moral yang dipengaruhi
oleh pemikiran Jean Piaget tentang model perkembangan kognitif, hal ini
berarti teori Kohlberg merupakan gabungan antara teori keadilan Rawls
dan teori perkembangan moral Piaget.Kohlberg lebih fokus pada
penilaian moral dari proses-proses lain yang justru dimasukkan dan
menjadi model yang dibuat oleh James R. Rest, seorang yang dulunya
merupakan pengikut atau yang terbilang sepakat terhadap pemikiran
Kohlberg.Namun ia dan teman-temannya menyimpang dari teori
Kohlberg, pada tahun 1999 mereka membina satu model yang dikenal
dengan neo-Kohlbergian. Perbedaan yang dibawa dalam model yang
dikembangkan oleh Rest adalah lebih menekankan komponen kerjasama
sosial dalam pertimbangan keadilan.Sementara Kohlberg menegaskan
bahwa konsep keadilan adalah berdasarkan kepada individu, pointnya
adalah Rest telah kembali mengonsepkan yang dijustifikasi untuk
menyempurnakan ke enam tahap perkembangan moral dalam konteks
kerjasama sosial berdasarkan pertimbangan keadilan yang dibuat
Kohlberg.98
3. Kritik dari Penulis
Hidup ini merupakan kumpulan dari keputusan yang dilahirkan oleh
keyakinan-keyakinan terhadap sesuatu, sebagai manusia yang mampu
bertahan hidup dengan bergantung pada manusia lain hablu min an-naas,
97Ibid 98Syafrilsyah, dkk., Moral dan Akhlaq dalam Psikologi Moral Islami, Psikoislamedia Jurnal
Psikologi, vol. 2, No. 2, Tahun 2017, hlm. 5
42
tidak cukup jika hanya bergerak dan berkembang sebagaimana teori yang
Kohlberg suguhkan. Seluruh konten yang disampaikan oleh Kohlberg
mungkin merupakan pilihan-pilihan terbaik dalam penelitian yang
dilakukannya, namun tetap saja sebagai muslim, manusia yang hidup dari
yang Maha Hidup dan Maha Menghidupkan, kita juga perlu untuk
mengasah hati dan memperkaya diri dengan nilai-nilai agama yang Tuhan
sampaikan dengan wahyu, dan tidak melepaskan diri dari tali agama
Allah, serta terus melibatkan Allah dalam setiap keputusan kita dengan
cara berdialog dengan potensi yang paling jujur di dalam diri manusia.
Sehingga dengan demikian akan semakin lengkaplah upaya kita untuk
terus belajar menjadi manusia yang kamil.
43
BAB III
PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAMI
Jika mendengar atau membaca kata perspektif, yang ada di dalam pikiran
adalah hal-hal yang erat ikatannya dengan sudut pandang, pendapat, dan lain
sebagainya.Dalam penelitian kali ini penulis menggunakan kalimat perspektif
pendidikan Islami, yaitu sudut pandang yang berasal dari para ahli pendidikan
yang telah melakukan interpretasi terhadap sesuatu yang berdasarkan
interpretasinya dari Al-Qur‟an dan Hadits, dalam pendidikan Islami yaitu adalah
berbagai pendapat, banyaknya gagasan, munculnya teori dan segala interpretasi
tentang pendidikan berdasarkan nilai-nilai yang tertuang dalam Al-Qur‟an dan
Hadits.
Maka di bawah ini akan dipaparkan pendapat para ahli yang mendasarkan
pendidikan Islami yang interpretasinya pada Al-Qur‟an dan Hadits.
A. Antroposentris dan Theosentris
Sebelum membahas tentang berbagai perspektif ahli, di sini saya ingin
mengatakan bahwa pandangan manusia itu ada yang berpusat dan didasarkan
dengan pemikiran ansikhatau berpusat pada kemampuan manusia tanpa
campur tangan Tuhan, dan ada yang didasarkan pada spirit ilahiah yang
sering didengar dengan kataAntroposentris dan Theosentris.
Oleh karena itu sub bab ini akan lebih spesifik membahas pemikiran
para ahli antropologi dan theologi terkemuka dalam pandangannya terhadap
agama. Diantaranya adalah E.B. Taylor, yang menyumbangkan pemikirannya
tentang agama dalam karyanya, Primitive Culture.Prinsip yang terkandung
dalam pemikirannya adalah selalu ada hubungan antara pemikiran rasional
dasar dengan evolusi sosial dalam setiap aspek sebuah budaya jika kita
perhatikan lebih dekat.99
Kaitannya dengan agama, Taylor mengakui bahwa
tidak akan ada seseorang yang bisa menjelaskan sesuatu kecuali jika ia telah
tahu sesuatu yang hendak dijelaskan. Sehingga baginya, agama perlu untuk
99Yusron Razak, Ervan Nurtawaban., Antropologi Agama, Cet. 1, (Jakarta: Diterbitkan atas
kerjasama Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press), Desember 2007, hlm. 43
44
didefinisikan.Kita tidak dapat terus mengikuti hasrat alami untuk
mendeskripsikan agama sekadar hanya keyakinan kepada Tuhan.Dengan
pendekatan demikian hanya akan membuat porsi besar dari ras manusia-
manusia yang sebetulnya religious namun percaya pada tuhan atau dewa yang
lebih banyak dari Kristen dan Yahudi.100
Melalui perkembangan pemikiran
keagamaan, sampai pada tingkatan ini, ketika manusia menyembah dewa
hutan, maka mereka mulai menyadari bahwa daerah-daerah berpohon itu
adalah rumahnya, namun mereka juga mengetahui bahwa mereka bisa kapan
saja meninggalkan rumah ini jika mereka kehendaki.
Berikutnya adalah Emile Durkheim, ia lebih tertarik pada pemikir
Perancis paling terkenal pada abad ke-19 M, yaitu August Comte (1798-
1857), yang mengusulkan agar serupa dengan Taylor dan Frazer, sebuah
model evolusi besar peradaban manusia.
Dalam perspektif dan bingkai pemikiran yang demikian, tingkatan-
tingkatan lebih awal pemikiran manusia, yang pada mulanya dirancang oleh
teologi dan juga ide-ide abstrak para filosof, pada akhirnya mengalami puncak
masa pemikiran positivisti, yaitu kajian-kajian mendalam dari fakta-fakta
yang diobservasi menjadi kunci dari semua pengetahuan. Selama periode
sains ini, yang disebut “agama humanitas” yang baru menggantikan agama
dan filsafat masa lalu yang dipinggirkan.101
Kita sebut kembali bahwa gagasan Tylor dan Fazer fokus pada ide
konvensional yaitu bahwa agama adalah kepercayaan kepada wujud-wujud
supernatural, seperti Tuhan atau dewa-dewa. Namun Durkheim sejak awal
mengklaim bahwa masyarakat-masyarakat primitif normalnya tidak secara
sungguh-sungguh memikirkan dunia yang berbeda, dimana yang satu
dikatakan natural sementara yang lain dikatakan supernatural.
Permasalahan lingkungan dan alam berawal dari mengakarnya filsafat
antroposentrisme dalam jiwa manusia. Antroposentrisme dimaknai dengan
teori etika lingkungan yang memandang pusat alam semesta adalah
100Ibid,hlm. 45 101
Yusron Razak, Ervan Nurtawaban., Antropologi Agama, Cet. 1, (Jakarta: Diterbitkan atas
kerjasama Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press), Desember 2007, hlm. 43
45
manusia.Sehingga keputusan dan kepentingan manusia itu sendiri yang
menentukan dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan alam secara
langsung atau tidak. Antroposentris ini juga diduga kuat berakar pada ajaran
agama-agama monotheis, termasuk Islam dituduh mengembangkan ajaran
tersebut, ajaran monotheis telah menghilangkan rasa hormat terhadap alam
dan Ilahi, begitu yang tertulis dalam pengantar buku Agama Ramah
Lingkungan.
Jika ditelaah dari sejarahnya, lahirnya filsafat antroposentris berawal
dari filsafat pelepasan manusia dari kukungan Tuhan. Yaitu pada abad
pertengahan, alam pikiran dunia Barat diisi dengan pikiran mitologis, akarnya
pada mitologi Yunani, saat itu Barat sangat terkukung di dalam paham
keagamaan bahwa seolah-olah Tuhan itu membelenggu manusia.102
Paradigm
lama tersebut lama kelamaan mulai ditinggalkan dan digantikan dengan
munculnya renaissance.Muncul pemikiran yang mengatakan bahwa manusia
adalah pusat dari segala sesuatu.Tuhan dan dewa-dewa hanya dianggap
sebagai mitos.Pandangan antroposentrisme lazim dikenal dengan humanisme
yang beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan, melainkan
manusia.Manusialah yang menguasai realitas, yang menentukan nasib bagi
diri mereka sendiri dan kebenaran, sehingga Tuhan dan kitab-kitab suci tidak
diperlukan lagi.
Konsep antroposentrisme adalah merdekanya manusia dan mereka yang
menjadi pusat dari segala sesuatu.Menurut Resmussen sebagaimana yang
dikutip oleh Mary Evelyn dan John A. Grim, yaitu bahwa akar dari segala
sesuatu permasalahan yang terjadi di lingkungan berawal dari filsafat
antroposentrisme, mereka mendefinisikan antroposentrisme sebagai sebuah
teori etika lingkungan yang memandang pusat alam semesta ini adalah
manusia, sehingga kepentingan manusialah yang paling menentukan dalam
pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan alam secara langsung ataupun
tidak.
102Junaidi Abdillah, Dekonstruksi Tafsir Antroposentrisme, Jurnal Studi Agama dan
Pemikiran Islam Vol. 8, No. 1, (Juni 2014), hlm. 3
46
Lebih lanjut, dalam sebuah pendapat yang dikutip oleh Junaidi Abdillah
dalam jurnalnya, dikatakan bahwa konstruksi teologi lingkungan yang sudah
populer dalam masyarakat diduga telah terkontaminasi oleh paham
antroposentrisme. Ditandai dengan melonjaknya kesadaran akan rasa percaya
diri manusia dalam kuasa atas sumber daya alam dan lingkungan. Hal
demikian berkembang sangat pesat sebab manusia percaya diri sebagai
makhluk istimewa dengan berbekal kemampuan rasionalnya.Paham
antroposentrisme meyakini manusia merupakan makhluk yang mempunyai
kelebihan dan kemampuan dibanding makhluk lainnya.
Dalam dimensi kajian Islam, antroposentrisme dikatakan bersumber dari
prinsip-prinsip dasar Islam yang berkaitan dengan konsep hakikat manusia
sebagai makhluk istimewa (super being), sebagai makhluk yang diberi akal
rasional, dan sebagai makhluk yang paling kuasa atas alam dan konsep
khalifah fi al-ardh. Prinsip demikianlah yang merupakan symbol-symbol
teologi yang bias antroposentris.Sehingga dapat dipahami bahwa manusia
adalah makhluk terbaik sebab memiliki akal, manusia makhluk yang dinamis
sedangkan yang lainnya adalah makhluk statis.103
Terdapat beberapa ayat Al-Qur‟an yang dikatakan mengandung nilai
dan paham antroposentrisme.Pertama, konsep manusia sebagai makhluk yang
paling istimewa, terdapat dalam QS.at-Tin ayat 4:
Kedua, ayat yang mengandung makna dan menggambarkan manusia
sebagai makhluk yang berakal yaitu terdapat dalam QS.al- Baqarah ayat 75:
104
103Junaidi Abdillah, Dekonstruksi Tafsir Antroposentrisme, Jurnal Studi Agama dan
Pemikiran Islam Vol. 8, No. 1, (Juni 2014), hlm. 7 104 Artinya: “Apakah kamu masih mengharap mereka akan percaya kepadamu, padahal
segolongan dari mereka mendengar firman Allah lalu mereka mengubahnya setelah mereka
memahaminya, sedang mereka mengetahui.”
47
Berikutnya adalah ayat Al-Qur‟an yang menggambarkan manusia
seakan makhluk yang paling berkuasa atas sumber daya alam dan lingkungan,
mereka lantas merasa demikian (manusia) karena menganggap semesta ini
diciptakan hanya untuk manusia.Diantaranya terdapat dalam QS.al-Baqarah
ayat 22:
105
Keempat, ayat-ayat tentang posisi dan kedudukan manusia sebagai
khalifah fi al-ardh atau wakil Allah di bumi.Tercantum dalam QS.al-Baqarah
ayat 30:
106
Dalam keempat dasar di atas, kemudian dibingkai dalam sewadah
teologi lingkungan yang memberi kesan antroposentris.Dalam jurnal yang
mengutip pendapat beberapa ahli, dijelaskan bahwa kekhalifahan bermakna
berarti manusia harus menjadi hamba yang memegang mandat Tuhan untuk
menyelenggarakan kehidupan yang bertanggung jawab.107
Dalam aliran Teologi Islam konsep kebebasan kehendak manusia ini
telah banyak menjadi pertentangan antara kaum Qadariyah dengan kaum
105Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap,
dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan
sebagai rezeki untukmu”. 106 Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: mengapa engkau hendak
menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau.” 107Junaidi Abdillah, Dekonstruksi Tafsir Antroposentrisme, Jurnal Studi Agama dan
Pemikiran Islam Vol. 8, No. 1, (Juni 2014), hlm. 15
48
Jabariyah, di mana yang pertama mengakui adanya kebebasan manusia dan
yang lainnya justru menafikannya.
Kita sudah tidak asing dengan sebuah konsep teologi seorang ahli
yang berbunyi wahdat al-wujud, yang membahas kalimat Allah dalam
mengajarkan adam seluruh nama-nama dengan pengertian bahwa manusia
adalah menifestasi nomor wahid dan yang paling sempurna dari seluruh
atribut Allah SWT. Demikianlah konsep yang dibawa oleh Ibnu Arabi, dalam
pandangannya, manusia dan mikrokosmos adalah serupa.Ia sering
menyebutnya dengan istilah mikrokosmos; dunia kecil bagi manusia dan
dunia besar; makrokosmos bagi alam semesta.Dalam sebuah ilustrasi yang
sangat indah, manusia bagi alam semesta ini adalah ruh bagi jasad manusia.
Pendapat di atas semakin memperkuat bahwa antroposentrisme
tidaklah ditemukan diberbagai jalan apa lagi diajarkan di dalam Islam. Dalam
ekologi Islam justru manusia ditempatkan dengan proporsional, karena meski
manusia memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan makhluk Tuhan
yang lain, ia masih menjadi bagian dari lingkungan dan bukan berada di luar
ekosistem keberadaannya. Sejatinya, antroposentrisme tidak lahir dari agama
Islam, pandangan antroposentrisme terkemuka disebabkan oleh banyaknya
penafsiran yang parsial dan atomistik.Islam sendiri memandang manusia
dengan lingkungan alam bersifat simbiosa mutual dan manusia secara
fungsional adalah makhluk pembangun atau khalifah yang seharusnya
amanah dan berihsan.108
Banyak yang perlu kita benahi dalam cara berpikir kita, terutama
terkait permasalahan Tauhid dan sikap percaya atau beriman kepada Allah.
Dalam Agama Islam, kesan yang amat kuat adalah Tauhid hanya memiliki
arti beriman atau percaya kepada Allah, lalu setelah itu kita merasa sudah
cukup memiliki tauhid di dalam hati kita hanya percaya kepada Allah,
padahal jika kita mau mentafakkuri dan mengelaborasi terhadap makna-
makna Al-Qur‟an ternyata yang terjadi sebetulnya tidaklah demikian, sebab
orang-orang musyrik di Makkah yang disebut dalam Al-Qur‟an mereka
108Ibid., hlm. 21
49
memusuhi Rasulullah sedangkan mereka adalah kaum yang sangat dan
sungguh-sungguh percaya kepada Allah. Sebagaimana firman Allah QS. Az-
Zumar ayat 38:
109
Dalam pemikiran mainstream teologi selalu bersifat di mana Tuhan lah
yang menjadi pusat segala kekuatan dan kekuasaan lalu manusia harus tunduk
dan ditundukkan dihadapan Tuhan atau yang kita kenal dengan teosentris,
pemahaman yang ada dalam logika teosentris adalah perjalanan kehidupan
dengan kehadiran Tuhan, Tuhan yang bukan hanya menciptakan manusia
tetapi juga mengintervensi, mendatangi, dan bersemayam dalam kehidupan
duniawi. Teologi adalah wilayah ketuhanan, sedang realitas sosial adalah
wilayah kemanusiaan.110
Teologi dipandang sebagai unsur penting yang mendasari adanya
sebuah agama, yang tanpa teologi maka tidak ada agama dalam keimanan
seseorang.Tujuan dari teologi ini adalah untuk mensucikan (Tanzih) Tuhan.111
Teologi (ilmu kalam) menurut Nurcholis Majid, adalah bidang strategis
yang menjadi landasan dalam upaya pembaharuan pemahaman dan
pembinaan umat Islam, karena sifatnya metodologis. Menurut ahli lain,
teologi adalah aspek yang penting karena fungsinya adalah sebagai refleksi
109 “Artinya: Dan sungguh jika kau (Muhammad) tanyakan kepada mereka, siapakah yang
menciptakan seluruh langit dan bumi? Pastilah mereka akan menjawab, Allah! Katakan: Apakah
telah kamu renungkan sesuatu (berhala) selain Allah itu? Dan jika Dia menghendaki rahmat
untukku, apakah mereka (berhala-berhala) itu mampu menahan Rahmat-Nya?! Katakan
(Muhammad):”Cukuplah bagiku Allah (saja), Kepada-Nyalah bertawakkal mereka yang (mau)
bertawakkal”. 110M. Ghufron, Transformasi Paradigma Teologi Teosentris Menuju Antroposentris (Telaah
atas Pemikiran Hasan Hanafi), Millati, Journal of Islamic Studies and Humanities, vol. 3, No. 1,
Juni 2018, hlm. 18 111Ibid., hlm. 16
50
kritis terhadap tindakan manusia dalam melihat realitas sosial yang
dihadapinya.
Hassan Hanafi salah seorang ahli yang banyak menghabiskan masa
hidupnya di Mesir, sehingga membuatnya memiliki pandangan lain terhadap
dikotomi yang masih banyak terjadi antara kaum teologis dan antroposentris.
Hassan Hanafi membangun pemikiran baru yang ia tulis dalam karyanya,
mengenai teologi dalam antroposentris. Counter pemikiran yang menganggap
agama adalah caramengenal Tuhan saja (teosentris) justru menuai tafsiran dan
cara pandang lain, yang sebaliknya, yaitu pemahaman bahwa agama adalah
cara seseorang untuk hablum min an-naas/ bermanusia. Cara pandang itulah
yang melahirkan teologi antroposentris yang dibawa oleh Hassan Hanafi.
Pemikiran Hassan Hanafi ini timbul atas kritiknya terhadap pemikiran
kalam (teologi) terdahulu yang dianggapnya jauh dari etos progesivitas
kemanusiaan.Kalimat-kalimat pujian terhadap Allah, dan pernyataan
kelemahan manusia dihadapan kemaha Besaran-Nya, memberikan pengaruh
pasivitas dalam diri manusia, hal demikian menimbulkan kondisi psikologis
yang seakan tidak mampu mengubah keadaan. Jiwa orang islam seakan
diperkerdilkan dan diperlemah dengan selalu menjejalkan dalam kesadaran
manusia ingatan, bahwa Dia yang Maha Besar, sementara diri sendiri serba
lemah dan membutuhkan pertolongan. Demikianlah yang terpatri dalam jiwa
manusia sehingga membuatnya merasa tidak percaya diri ketika berhadapan
dengan penguasa-penguasa temporal baik dalam hal politik, budaya, maupun
penguasa keagamaan.
Oleh sebab itu Hassan Hanafi sangat berambisi untuk membangun
pemikiran teologis yang antroposentris dengan berorientasi pada
pemberdayaan rakyat.Dasar asumsinya adalah teologi yang berkembang
dalam dunia Islam selama ini tidaklah menjawab problema kemasyarakatan
51
manusia sehingga perlu untuk didekonstruksi baik dari segi epistimologisnya,
maupun wacana dan struktur.112
Sehingga pandangan hidup yang teosentris dapat dilihat dengan cara
menjadikan diri dalam kegiatan keseharian yang antroposentris. Keduanya
tidak dapat dipisahkan, konsekwensinya adalah orang yang berketuhanan
dengan sendirinya akan berperikemanusiaan. Teologi antroposentris Hassan
Hanafi adalah wujud kecil sebuah perumusan kembali teologi yang tentu saja
tidak ada maksud untuk mengubah doktrin sentral tentang ketuhanan, tentang
Tauhid, hanya merupakan upaya untuk riorientasi pemahaman keagamaan
secara individual maupun kolektif dalam kenyataan empiris sesuai dengan
perspektif ketuhanan.113
Kohlberg membawa teori dengan tujuan membangun spiritual yang
moralitas tetapi dengan basicsekuler atau antroposentris. Sebagaimana yang
telah dibahas pada bab sebelumnya mengenai apa dan bagaimana teori moral
development Kohlberg. Sebagai contoh bahwa bagi Kohlberg, seorang anak
dapat mengerti bahwa mencuri itu perbuatan yang tidak baik tanpa
menyertakan embel-embel agama di dalamnya.
Berseberangan dengan salah satu pendapat seorang ahli, KH. Toto
Tasmara dalam bukunya beliau mengungkapkan bahwa di dalam qalbu
terhimpun perasaan moral, mengalami dan menghayati tentang salah dan
benar, baik dan buruk, dan berbagai keputusan lainnya yang kelak akan
dipertanggung jawabkan secara sadar. Qalbu atau hati nurani merupakan awal
dari sikap sejati manusia yang paling autentik, yaitu kejujuran, keyakinan,
dan prinsip-prinsip kebenaran.114
Toto Tasmara mengungkapkan, untuk mendapati hati nurani (qalbu)
yang dapat merasakan dan menangkap fungsi indrawi, diperlukan adanya
latihan atau pencerahan (tazkiyah, dan tarbiyatul qulub), yaitudengan cara
112M. Ghufron, Transformasi Paradigma Teologi Teosentris Menuju Antroposentris (Telaah
atas Pemikiran Hasan Hanafi), Millati, Journal of Islamic Studies and Humanities, vol. 3, No. 1,
Ajaran akhlak seperti dalam pantulan cermin yang menemukan
bentuknya dengan sempurna pada agama Islam dengan bertitik pangkal pada
Tuhan dan akal manusia. Agama Islam mengandung jalan hidup untuk
manusia yang paling sempurna dan berisi ajaran-ajaran yang akan
membimbing dan menjadi penuntun bagi manusia untuk mendapatkan
kebahagiaan dan kesejahteraan, janji-janji itu semua terkandung dalam Al-
Qur‟an yang diturunkan Allah dan ajaran sunnah yang akan kita teladani dari
Nabi Muhammad SAW.120
Hukum-hukum Islam, yang berisi serangkaian pengetahuan tentang
akidah dan pokok-pokok akhlak dan perbuatan terdapat dalam sumber aslinya
di dalam Al-Qur‟an, Allah SWT berfirman:
117Munari, Tahap Perkembangan Moral Perspektif Barat dan Islam, Artikel, Jurnal
Pendidikan Islam, Hlm 3. 118Lubis, Mawardi, Pengembangan Instrumen Evaluasi Perkembangan Moral Keagamaan
Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, vol. 6, No. 1, (01 Juni, 2004). 119Mulya Hasanah, Pendidikan Moral dalam Perspektif Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 2,
Desember 2018, Hlm. 23 120Abuddin Nata., Akhlak Tasawuf, Cet. 5, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2003. hlm.
67
54
121
Demikian adalah salah satu firman Allah yang menunjukkan betapa jelas
tertera petunjuk-petunjuk bagi manusia berupa pokok-pokok akidah
keagamaan, keutamaan akhlak dan prinsip-prinsip perbuatan.Di dalam Al-
Qur‟an juga banyak firman-firman Allah yang menyeru kepada kebaikan dan
mencegah untuk melakukan kemungkaran. Sebagaimana ayat berikut:
122
Melalui ayat-ayat di atas, merupakan petunjuk bahwa al-Qur‟an sangat
memperhatikan masalah pembinaan akhlak, dan memberi petunjuk macam-
macam perbuatan yang termasuk akhlak mulia.Apa yang diperintahkan Allah
tersebut, dikerjakan oleh manusia, dan akibatnya pun untuk manusia tersebut.
Allah berfirman di dalam Al-Qur‟an juga mengenai apa-apa saja yang di
larang-Nya, apa saja yang dapat mendekatkan diri pada-Nya, apa saja bahaya
dan keuntungan dari perbuatan yang dilakukan manusia, dan lain sebagainya.
Perhatian Islam terhadap pembinaan akhlak dapat dijumpai dengan
melalui perhatian Nabi Muhammad SAW sebagaimana terlihat dalam
ucapannya dan perbuatannya yang mengandung akhlak.Sebagaimana yang
telah disebutkan dalam hadits sebelumnya, bahwa beliau adalah utusan di
muka bumi ini yang diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.Orang
121 “Artinya: Sesungguhnya Al-Qur‟an ini menunjukkan kepada jalan yang paling lurus dan
memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan
mendapat pahala yang besar”. (Al-Isra: 9) 122 “Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS.
An-Nahl: 90)
55
yang paling berat timbangan amal baiknya di akhirat adalah orang yang
paling baik akhlaknya.123
Dalam rangka pembentukan akhlak, Islam juga menghargai peran dan
pendapat akal pikiran yang sehat yang tidak menyimpang dari jalan al-Qur‟an
dan Sunnah. Ajaran akhlak yang berdasarkan dengan al-Qur‟an dan sunnah
bersifat absolut, universal, dan mutlak. Yaitu tidak dapat ditawar lagi dan
berlangsung sepanjang zaman. Namun, apa yang dijabarkan di dalam al-
Qur‟an dan sunnah secara mutlak dan universal tersebut memerlukan akal
pikiran manusia. Dengan pikiran dan akal manusia dalam menghadapi hal
yang absolut tentu akan melahirkan bentuk yang berbeda-beda yang sesuai
dengan keadaan yang masyarakat akui, maka dengan begitu ajaran akhlak
akan mudah diterima oleh seluruh masyarakat berdasarkan hasil ijtihad akal
pikiran.
Berikutnya, membahas moral, akhlak, akan selalu bersentuhan dengan
pembahasan mengenai etika, kesusilaan dan hubungan diantara satu sama
lain. Etika, secara bahasa berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti
watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika
memiliki arti ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).124
Dengan
begitu, etika juga memiliki hubungan dengan upaya menentukan tingkah laku
manusia.
Pengertian etika selanjutnya dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara,
bahwa etika adalah sebuah ilmu yang mempelajari perihal kebaikan dan
keburukan di dalam hidup manusia secara keseluruhan, terutama yang
mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat menimbulkan atau
merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mencapai tujuannya yang
dapat merupakan perbuatan.125
Ketika pengertian etika dan moral dihubungkan maka ditemukan bahwa
antara etika dan moral memiliki obyek yang sama yaitu membahas tentang