Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
1
Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan
kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai
tujuan. Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga
ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja
tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan
ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak
yang terlibat dalam proses penegakan hukum,(nonet) BAB I PENGERTIAN
DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT HUKUM
Tujuan Instruksional Umum: Setelah mempelajari pokok bahasan ini
mahasiswa dapat: 1. Memahami pengertian filsafat. 2. Memahami
pengertian hukum. 3. Mengetahui pengertian filsafat hukum.
Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelajari bahasan ini
mahasiswa mampu: 1. Membedakan pengertian Ilmu Filsafat dan Agama.
2. Menyebutkan ruang lingkup Ilmu Filsafat. 3. Menyebutkan
pengertian hukum dari berbagai sarjana. 4. Mengetahui pengertian
Filsafat Hukum dari berbagai sarjana.
1. Pengertian Filsafat dan Agama Adakalanya orang mengatakan
bahwa orang harus berfilsafat. Sehingga untuk dapat berfilsafat,
terlebih dahulu orang harus mengetahui apa yang disebut dengan
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
2
filsafat. Sesungguhnya, istilah filsafat merupakan suatu istilah
dari bahasa Arab yang terkait dengan istilah dari bahasa Yunani,
yaitu: Filosofia.1 Secara etimologis, kata filsafat berasal dari
kata majemuk, yakni: filo dan sofia. Filo artinya cinta dalam arti
yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena ingin itu, lalu
berusaha mencapai yang diingini. Sedangkan Sofia artinya
kebijaksanaan. Bijaksana inipun merupakan kata asing, yang artinya
ialah pandai: mengerti dengan mendalam. Jadi secara etimologis,
filsafat dapat dimaknakan: Ingin mengerti dengan mendalam atau
cinta kepada kebijaksanaan. Dengan demikian, rumusan tersebut di
atas dapat disebut sebagai suatu definisi atau pembatasan yang
semata-mata berdasarkan atas keterangan nama atau pembatasan nama.
Dari sudut isinya, terdapat banyak perumusan yang dikemukakan para
penulis filsafat. Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup
manusia, yang tercermin dalam berbagai pepatah, slogan, lambang dan
sebagainya. 2 Filsafat dapat juga diartikan sebagai ilmu. Dikatakan
sebagai ilmu karena filsafat adalah pengetahuan yang metodis,
sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan dengan kata lain
filsafat memiliki objek, metode, dan sistematika tertentu,
terlebih-lebih bersifat universal. Dalam kaitannya dengan salah
satu unsur yang dipenuhi filsafat sebagai suatu ilmu, yaitu adanya
objek tertentu yang dimiliki filsafat. Menurut Poedjawijatna, objek
suatu ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yakni objek materia dan
objek forma. Objek materia adalah lapangan atau bahan penyelidikan
suatu ilmu, sedangkan objek forma adalah sudut pandang tertentu
yang menentukan jenis suatu ilmu. Objek materia filsafat adalah
sesuatu yang ada dan mungkin ada. Pada intinya objek materia
filsafat dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu tentang hakikat
Tuhan, hakikat alam, dan hakikat manusia. Barangkali, objek materia
filsafat sama dengan objek ilmu lainnya, tetapi yang membedakan
adalah objek formanya. Objek forma filsafat terdapat pada sudut
I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit
Rineka Cipta, Jakarta, 1990, halaman 1. 2 Lihat Darji Darmodiharjo
dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1995, halaman 4.
1
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
3
pandangnya yang tidak membatasi diri dan hendak mencari
keterangan sampai sedalam-dalamnya atau sampai kepada hakikat
sesuatu, sehingga terdapat kebenaran, jika filsafat dikatakan
sebagai ilmu tanpa batas.3 Jika ditelaah lebih mendalam, filsafat
memiliki sedikitnya tiga sifat pokok, yaitu: menyeluruh, mendasar,
dan spekulatif.4 Menyeluruh, artinya cara berfikir filsafat tidak
sempit, dari sudut pandang ilmu itu sendiri (fragmentaris atau
sektoral), senantiasa melihat persoalan dari tiap sudut yang ada.
Mendasar, artinya bahwa untuk dapat menganalisa suatu persoalan
bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat pertanyaan-pertanyaan yang
dibahas berada di luar jangkauan ilmu biasa. Untuk itu, ciri ketiga
dari filsafat yang berperan, yaitu spekulatif. Langkahlangkah
spekulatif yang dijalankan oleh filsafat tidak boleh sembarangan,
tetapi harus memiliki dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Di samping ketiga ciri filsafat tersebut di atas,
ada ciri lain yang perlu ditambahkan, yaitu sifat refleksif kritis
dari filsafat.5 Refleksi berarti pengendapan dari pemikiran yang
dilakukan secara berulang-ulang dan mendalam
(contemplation). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban
atas pertanyaan yang lebih jauh lagi dan dilakukan secara
terus-menerus. Kritis berarti analisis yang dibuat filsafat tidak
berhenti pada fakta saja, melainkan analisis nilai. Sebab, jika
yang dianalisis hanya fakta saja, maka subjek (manusia) tersebut
baru melakukan observasi, dan hasilnya ialah gejala-gejala semata.
Lain halnya, jika yang dianalisis nilai, maka hasilnya bukan
gejala-gejala melainkan hakikat. Ada beberapa sarjana penulis
filsafat yang mengemukakan pendapatnya tentang filsafat, antara
lain: a. b. Plato : filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat
mencapai kebenaran yang asli. Aristoteles : Filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya
ilmuilmu matematika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan
estetika.
I. R. Poedjawijatna, Op. Cit., halaman 6-9. Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Penerbit
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998. 5 Darji Darmodiharjo &
Shidarta, Op. Cit., halaman 7.4
3
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
4
c. d.
e.
Al Farabi : Filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud
bagaimana hakekat yang sebenarnya. Descartes : Filsafat adalah
kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi
pokok penyelidikan. Immanuel Kant : Filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan
yang tercakup di dalam empat persoalan, yaitu metafisika, etika,
agama, dan antropologi.6
Dari perumusan filsafat sebagaimana dikemukakan oleh para
penulis filsafat tersebut dapat ditarik intisarinya bahwa filsafat
merupakan karya manusia tentang hakikat sesuatu. Pada uraian
terdahulu telah dikemukakan bahwa filsafat dapat diartikan sebagai
ilmu, meskipun demikian antara filsafat dengan keseluruhan ilmu
yang bertemu pada obyek materia (segala yang ada dan mungkin ada)
tetap berbeda, karena perbedaan itu terletak pada obyek formanya.
Tentu saja perbedaan itu tidak berlaku pada kedudukan filsafat
dengan agama, karena agama merupakan sesuatu yang ada, sehingga
agama juga masuk ke dalam lingkungan filsafat, dari sini muncul apa
yang dinamakan filsafat agama. Dalam agama ada beberapa hal penting
yang diselidiki oleh filsafat, misalnya: Tuhan, kebajikan, baik dan
buruk, dan sebagainya, karena hal-hal tersebut ada atau paling
tidak mungkin ada, namun antara filsafat dan agama memiliki dasar
penyelidikan yang berbeda. Di satu sisi, sudut pandang penyelidikan
agama didasarkan atas wahyu Tuhan atau firman Tuhan. Pada agama,
kebenaran tergantung kepada diwahyukan atau tidak. Yang diwahyukan
Tuhan harus dipercayai, oleh akrena itu agama ada dan disebut
kepercayaan. Di sisi lain, kebenaran diterima oleh filsafat bukan
karena kepercayaan, melainkan diterima dengan penyelidikan sendiri,
pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu,
tetapi tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu. Dengan kata
lain, filsafat berdasarkan pikiran belaka, sedangkan agama
berdasarkan wahyu.
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1990, halaman 5.
6
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
5
2. Ruang Lingkup Ilmu Filsafat Objek materia filsafat adalah
segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, dengan kata lain objek
filsafat itu ada. Adapun ada ini dapat ditinjau atau dilihat dari
berbagai penjuru sudut pandang, sehingga muncul bermacam-macam
bagian filsafat. Pembagian filsafat dapat dibedakan menjadi dua
golongan besar, yaitu: a. Berdasarkan Objek, yang dibedakan menjadi
dua: 1) Filsafat Umum (Ada-Umum): Pada filsafat umum, ada mungkin
dipandang dari sudut keumumannya. Segala sesuatunya itu ada. Dalam
realitas, terdapat bermacam-macam hal, yang semuanya mungkin
ditangkap dalam adanya. Oleh karena itu, terdapat ada yang
bermacam-macam dan ada-umum. Ada menjadi dasar dari segala yang
ada, misalnya sifat-sifatnya, sehingga filsafat ada-umum disebut
Ontologia atau Metaphysica generalis. 2) Filsafat Khusus
(Ada-Khusus): Dalam filsafat khusus (ada-khusus), ada dipandang
dari sudut pandang tertentu yang lain dari umum. Oleh karena itu
sudut pandang tersebut banyak macamnya, sehingga memunculkan
filsaft bagian yang bermacammacam pula, yang terdiri dari: a)
Theodicea (Ada-Mutlak): Kekhususan dari ada itu mungkin terdapat
dalam mutlaknya. Padahal di dunia terdapat ada yang tidak mutlak.
Jadi, apabila nanti terdapat ada yang mutlak, maka harus diselidiki
sifat-sifatnya, kemampuannya, dan hubungannya dengan ada-khusus-tak
mutlak. Dengan demikian, filsafat yang mempersoalkan ada-mutlak
disebut filsafat ada-mutlak, yang lazim disebut sebagai Theodicea.
b) Ada-Tidak-Mutlak: Di samping ada-mutlak terdapat ada-tidak
mutlak. Pada ada-tidak mutlak terdapat banyak macamnya ke golongan
ini yang harus diselidiki oleh filsafat darti sudut pandang
tertentu, yang hendak dicari
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
6
sebabnya yang terakhir atau sebab yang sedalam-dalamnya, yang
dapat dibagi-bagi lagi ke dalam: 1)) Filsafat Alam (Cosmologia):
Alam semesta dan isinya merupakan ada yang tidak harus ada,
sehingga dapat disebut sebagai ada-tidak mutlak. Alam dicari
intinya oleh filsafat inti alam itu, apakah sebenarnya itu, apakah
isi alam pada umumnya, dan apakah hubungannya satu dengan yang lain
serta hubungannya dengan ada-mutlak, dengan demikian filsafat alam
disebut kosmologia. 2)) Manusia: Alam merupakan ada-tidak mutlak,
karena ada-nya tidak dengan niscaya. Segala isi alam mungkin lenyap
dan pernah tidak ada, namun alam mempunyai kedudukan yang istimewa
yang menyelidiki semuanya, yaitu: manusia, yang dapat dibagi lagi
ke dalam tiga kelompok sebagaimana diuraikan dalam uraian di bawah
ini: a)) Filsafat Manusia (Anthropologia-Metaphysika): Dengan
sendirinya, kekhususan ada-tidak mutlak merupakan manusia yang
mempunyai kemanusiaan yang tercakup di dalamnya soal-soal tentang
manusia, seperti: apakah manusia itu sebenarnya, apakah hubungannya
satu sama lain, apakah kemampuan-kemampuannya, apa pendorong
hidupnya, apa sifat-sifat pendorong hidup itu, dan lain-lain.
Sehingga filsafatnya disebut filsafat manusia atau anthropologia
metphysica. b)) Filsafat Tingkah Laku (Ethica): Pada filsafat
tingkah laku (ethica) yang diselidiki adalah tindakan-tindakan
manusia, yang terdorong oleh kehendaknya dan diternagi budinya.
Tindakan manusia sendiri dapat dibedakan lagi menjadi tindakan yang
baik atau buruk sehingga untuk menilai tindakan tersebut diperlukan
tolok ukur
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
7
yang terdiri dari norma (aturan) subyektif maupun yang obyektif
(terlepas dari subyek yang menilai) dan ini dilakukan dalam ethica
atau filsafat tingkah laku. c)) Filsafat Budi (Logika): Untuk
melakukan penyelidikan, manusia memerlukan alat penyelidikan yang
disebut budi yang harus diselidiki, sebab tanpa budi tidak akan ada
penyelidikan. Oleh karena itu dicari jawabannya mengenai
persoalan-persoalan sebagai berikut: adakah manusia mempunyai budi
dan akal, dapatkah budi mencapai kebenaran? Dari sini timbul
persoalan baru: apakah kebenaran itu, sampai di mana kebenaran itu
dapat dicapai budi, seluruh kebenaran ataukah hanya sebagian saja?
Dengan kata lain, seluruh isi budi diselidiki oleh filsafat yang
disebut filsafat budi (logika). Namun, dalam bekerjanya budi, ia
harus mentaati aturan-aturan yang ada, seperti: pengertian, jalan
pikiran, serta putusan-putusan. Penyelidikan tentang bahan dan
aturan berfikir merupakan bagian dari logika dan disebut logika
minor. Sedangkan penyelidikan terhadap isi berfikir disebut logika
mayor. b. Pembagian filsafat berdasarkan Subjek: Selain pembagian
filsafat berdasarkan objek, dalam filsafat juga dikenal pembagian
filsafat berdasarkan subjek, karena dalam filsafat tentu ada yang
berfilsafat, dan itu dilakukan oleh subjeknya, yaitu manusia,
sehingga perlu dikenali pembagian filsafat menurut subjeknya, yang
terdiri dari 3 (tiga) bidang, yaitu: 1) Soal Tahu (Pengetahuan):
Soal pengetahuan ada 2 macam menurut sifatnya, yaitu pengetahuan
bermacam-macam yang tidak tetap dan pengeatahuan yang berlaku umum,
yang tidak beruba-ubah dan tetap satu macam. Dari sini timbul
persoalan menganai: bagaimanakah cara mencapai pengetahuan itu?
Adakah bawaan yang dibekalkan kepada manusia waktu lahir ataukah
itu hasil dari usaha
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
8
kemampuan yang ada padanya dan merupakan pengambilan dari objek
yang dikenalnya itu. Mungkinkah itu hanya gambaran samar-samar atau
namanama belaka yang tidak ada hubungannya dengan realitas? Tentu
saja semua pertanyaan tersebut harus dijawab sebagian oleh Logika
dan sebagian oleh Anthropologia. 2) Soal Ada: Orang berfikir tentu
ada. Sehingga, jika ia tidak ada maka dia tidak berfikir. Oleh
karena itu, timbul pertanyaan-pertanyaan tentang ada yang memiliki
bermacam-macam sudut pandang, dan ini dijawab oleh filsafat tentang
ada (ontologia, theodicea, kosmologia, dan anthropologia). 3) Soal
Pernilaian: Dalam berfikir dan mengadakan putusan, setiap orang
akan memiliki pernialaian yang berbeda dan saling bertentangan,
misalnya: ada yang tinggi dan rendah, baik lawan buruk, indah lawan
jelek, dan sebagainya. Tentu saja untuk melakukan pernilaian harus
ada tolok ukurnya (kriteria), sehingga timbul pertanyaan seperti:
apakah sebetulnya nilai itu dan lebihlebih dalam tingkah laku
manusia, apakah yang dipakai ukuran untuk menentukan baik buruknya?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh Ethica. Jadi, secara garis besar,
pembagian filsafat menurut obyek dan subyek dapat digambarkan dalam
ikhtisar berikut ini: a. Menurut Objek:Ada-umum (fils. ada-umum,
ontologia, metaphysica generalis)
Ada Ada-khusus
Ada-mutlak (filsafat ada-mutlak, theodicea) Alam (filsafat alam,
kosmologia) Fils. manusia (anthropologia) Tidak-ada mutlak
Manusia
Fils. tingkah laku (ethica)
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
9
Fils. budi (logika mayor & minor)
b. Menurut Subjek:Logika Mayor & Minor Soal Pengetahuan
Anthropologia Ontologia Theodicea Soal Ada Kosmologia
Anthropologia
Soal Penilaian
Ethica
3. Pengertian Hukum Bagi mahasiswa yang baru belajar tentang
hukum tentu sangat bermanfaat jika disodori definisi atau
pengertian hukum sebelum mengetahui dan mempelajari filsafat hukum.
MacIver menggambarkan masyarakat sebagai sarang laba-laba, karena
di dalamnya terdapat berbagai kaidah yang mengatur hubungan
antarindividu yang bertujuan untuk menciptakan kedamaian,
ketertiban, dan kesejahteraan.7 Kaidah/norma sengaja diciptakan
agar tidak terjadi benturan-benturan dalam masyarakat, terutama
anatara kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan. Dengan
adanya kepentingan-kepentingan yang berbeda dan saling berlawanan,
terciptalah 4 (empat) kaedah/norma, yaitu: kaedah kepercayaan
(keagamaan), kaedah kesusilaan, kaedah sopan santun (adat), dan
kaedah hukum.8 Dari ke-4 kaedah/norma tersebut hanya kaedah
hukum-lah yang lebih melindungi kepentingan-kepentingan manusia
yang sudah dan belum mendapat perlindungan dari ketiga kaedah
tersebut, dengan alasan sebagai berikut:Lili Rasjidi, Filsafat
Hukum, Apakah Hukum Itu?, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
1991, halaman 31. 8 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu
Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1988, halaman 5.7
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
10
a. Dari segi tujuan, kaedah hukum ditujukan kepada pelaku yang
konkrit, untuk ketertiban masyarakat, agar jangan sampai jatuh
korban. b. Dari segi isi, kaedah hukum ditujukan kepada sikap
lahir. c. Dari segi asal-usul, berasal dari kekuasaan luar yang
memaksa. d. Dari segi sanksi, berasal dari masyarakat secara resmi.
e. Dari segi daya kerja, membebani kewajiban dan memberikan hak.
Dengan melihat gambaran mengenai kaedah hukum sebagaimana telah
diuraikan tersebut, rasanya masih terlalu sulit untuk
mendefinisikan hukum, karena memang tidak ada satu pun sarjana yang
dapat membuat pengertian atau definisi hukum secara sempurna. Tentu
saja, untuk mendefinisikan hukum bukanlah pekerjaan yang mudah dan
ini terkait dengan perkembangan sejarah hukum dan aliran-aliran
dalam filsafat hukum yang tentunya dapat mempengaruhi pengertian
dari hukum. Sebagai contoh pertama, pada zaman Romawi, para pemikir
hukum lebih banyak dituntut untuk memberikan sumbangan pemikiran ke
arah pembentukan hukum yang dapat diberlakukan secara luas di semua
wilayah Romawi. Kedua, pada Zaman Pertengahan, kekuasaan gereja
sedemikian besar sehingga turut melakukan intervensi ke dalam
masalah duniawi, termasuk mengatur pemerintahan, sehingga hukum
yang dihasilkan pada waktu itu bernafaskan
keagamaan dengan mengaitkan inti pemikiran hukum dengan
ajaran-ajaran gereja, misalnya saja Thomas Aquino, yang membagi
hukum ke dalam 4 (empat) golongan, yaitu:9 Lex Aeterna, Lex Divina,
Lex Naturalis, dan Lex Positivis yang nantinya akan dikupas dalam
bagian lain dari tulisan ini mengenai berbagai aliran dalam
filsafat hukum. Ketiga, pada abad ke-19 hukum dipengaruhi oleh
perkembangan dunia ekonomi yang dibarengi dengan kedudukan negara
yang semakin kuat dan kukuh dalam hal melakukan kontrol dan
mengarahkan masyarakat ke arah yang dikehendakinya, sehingga pada
masa ini lahirlah aliran positivisme (analitis maupun murni) yang
menekankan pentingnya kedudukan negara sebagai
9
Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 29-30.
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
11
pembentuk hukum. Pada masa ini, pemikiran dari John Austin dan
Hans Kelsen sangat berpengaruh pada dunia ilmu maupun teori hukum,
baik pada masa tersebut maupun sesudahnya. Di samping itu, masih
banyak pendapat dari pemikir-pemikir hukum lain, seperti Carl von
Savigny dan Puchta, juga yang lainnya yang nantinya akan dibahas
dalam madzab filsafat hukum.
3. Pengertian Filsafat Hukum Untuk mengupas pengertian filsafat
hukum, terlebih dahulu kita harus mengetahui di mana letak filsafat
hukum dalam filsafat. Sebagaimana telah diketahui bahwa hukum
terkait dengan tingkah laku/perilaku manusia, terutama untuk
mengatur perilaku manusia agar tidak terjadi kekacauan. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa filsafat hukum adalah sub dari
cabang filsafat manusia yang disebut dengan etika atau filsafat
tingkah laku. Jadi, tepat dikatakan bahwa filsafat manusia
berkedudukan sebagai genus, etika sebagai species dan filsafat
hukum sebagai subspecies.10 Hal ini dapat dilihat dalam bagan di
bawah ini: Umum Ada Ada Khusus Ada Tidak Mutlak Manusia Ada Mutlak
Alam Anthropologia Etika Filsafat Hukum
Logika Filsafat hukum sebagai sub dari cabang filsafat manusia,
yaitu etika mempelajari hakikat hukum. Dengan kata lain, filsafat
hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis.
Rasionya, filsafat hukum adalah hukum dan objek tersebut dikaji
secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut
hakikat. Hakikat dari hukum dapat dijelaskan dengan jalan
memberikan
Lihat Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 10.
Bandingkan juga dengan Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum,
Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1988, halaman 4.
10
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
12
definisi dari hukum. Definisi hukum sangat bervariasi tergantung
dari sudut pandang para ahli hukum melihatnya seperti yang
dikemukakan oleh beberapa sarjana dalam uraian di bawah ini. J. van
Kan mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan
kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi
kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Pendapat ini senada
dengan pendapat Rudolf von Jhering yang menyatakan bahwa hukum
adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam
suatu negara. Sementara itu Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri
dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat
tersebut didukung oleh salah seorang ahli hukum Indonesia Wirjono
Prodjodikoro yang menyatakan hukum adalah serangkaian peraturan
mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat,
sedangkan satusatunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan,
kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat. Definisi-definisi
hukum tersebut menunjukkan betapa luasnya hukum itu. Dengan
mengetahui definisi hukum yang luas tersebut kita dapat menguraikan
definisi dari filsafat hukum. Uraian tentang definisi filsafat
hukum dikemukakan oleh Rudolf Stammler yang menyatakan bahwa
definisi filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang hukum yang
adil. Sementara itu, J.J. Von Schid menyatakan filsafat hukum
merupakan suatu perenungan metodis mengenai hakekat dari hukum
(Metodische bebezinning over het wezen van he recht). Sedangkan
D.H.M. Meuwissen berpendapat bahwa filsafat hukum adalah pemikiran
sistematis tentang masalahmasalah fundamental dan perbatasan yang
berhubungan dengan fenomena hukum, dan/atau hakekat kenyataan hukum
sebagai realisasi dari cita hukum (het systematisch nadenken over
alle fundamentele kwesties en grensproblemen het verschijnsel recht
samenhangen; over de werkelijkheid van het recht als de realisatie
van de rechtsidee).11 Uraian lainnya tentang definisi dari filsafat
hukum dikemukakan oleh Kusumadi Pudjosewojo yang mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang mendasarSoehardjo Sastrosoehardjo,
Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, halaman 5.11
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
13
tentang hukum yang tidak bisa dijawab oleh ilmu hukum mengenai
pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: Apakah tujuan dari hukum itu?
Apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah
hubungannya antara hukum dan keadilan? Dengan adanya
pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendasar, dengan sendirinya
orang melewati batas-batas jangkauan ilmu hukum, dan pada saat
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang sudah menginjakkan
kakinya ke lapangan filsafat hukum. Dengan kata lain, filsafat
hukum berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat
dijawab oleh ilmu hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum,
Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1995. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum,
Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1988. Poedjawijatna,
I.R., Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Penerbit Rineka Cipta,
Jakarta, 1990. Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. ________________, Filsafat
Hukum, Apakah Hukum Itu?, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
1991. Sastrosoehardjo, Soehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat
Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro,
Semarang, 1997. Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Sebuah
Pengantar Populer, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1998.
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
14
BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM
Tujuan Instruksional Umum: Setelah mempelajari pokok bahasan ini
mahasiswa dapat membedakan sejarah perkembangan filsafat hukum dari
zaman Yunani sampai dengan abad dewasa ini.
Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelajari bahasan ini
mahasiswa mampu: 1. Mengetahui dan menjelaskan Sejarah Filsafat
Hukum pada zaman Yunani (Kuno). 2. Mengetahui dan menjelaskan
Sejarah Filsafat Hukum pada zaman pertengahan. 3. Mengetahui dan
menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman modern. 4. Mengetahui
dan menjelaskan Sejarah Filsafat Hukum pada zaman sekarang.
1. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno) Berbicara
sejarah tidak akan terlepas dari dimensi waktu, karena waktu yang
sangat menentukan terjadinya sejarah, yaitu dimensi waktu yang
terdiri waktu pada masa lampau, sekarang, dan masa depan. Hal ini
berlaku juga pada saat membicarakan sejarah perkembangan filsafat
hukum yang diawali dengan zaman Yunani (Kuno). Pada zaman Yunani
hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan sebutan kaum
Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan sejarah
filsaft hukum pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup
pada zaman ini, antara lain: Anaximander, Herakleitos, Parmenides,
Socrates, Plato, dan Aristoteles.1 Para filsuf alam yang bernama
Anaximander (610-547 SM), Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides
(540-475 SM) tetap meyakini adanyaDarji Darmodiharjo, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman
70-71.1
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
15
keharusan alam ini. Untuk itu diperlukan keteraturan dan
keadilan yang hanya dapat diperoleh dengan nomos yang tidak
bersumber pada dewa tetapi logos (rasio).2 Anaximander berpendapat
bahwa keharusan alam dan hidup kurang dimengerti manusia. Tetapi
jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus disesuaikan
dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah
keadilan (dike). Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa
hidup manusia harus sesuai dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam
hidup manusia telah digabungkan dengan pengertian-pengertian yang
berasal dari logos. Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh
lagi. Ia berpendapat bahwa logos membimbing arus alam, sehingga
alam dan hidup mendapat suatu keteraturan yang terang dan tetap.
Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah
terkonsentrasi ke dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan
bahwa rakyat yang berhak menentukan isi hukum, dari sini mulai
dikenal pengertian demokrasi, karena dalam negara demokrasi peranan
warga negara sangat besar pengaruhnya dalam membentuk
undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat
bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran
subjektif, karena manusialah yang menjadi ukuran untuk
segala-galanya. Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang
demikian ini. Socrates berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum
negara) harus ditaati, terlepas dari hukum itu memiliki kebenaran
objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya anarkisme,
yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari
kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum
negara itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates
menyatakan bahwa untuk dapat memahami kebenaran objektif orang
harus memiliki pengetahuan (theoria). Pendapat ini dikembangkan
oleh Plato murid dari Socrates.
Logos menciptakan bentuk , ukuran, dan harmoni yang menghasilkan
aturan. Aturan ini terwujud dalam polis di mana warga-warga polis
memberi bentuk kepada hidupya sesuai dengan logos (Theo Huijbers,
Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1993, halaman 20).
2
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
16
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga
tidak dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga
hukum ditafsirkan menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh
karena itu, Plato menyarankan agar dalam setiap undang-undang
dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya. Tujuannya tidak lain
agar penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai kepentingannya
sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan dari
hukum dan negara yang ideal. Aristoteles, murid dari Plato tidak
sependapat dengan Plato. Aristoteles berpendapat bahwa hakikat dari
sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran Aristoteles sudah
membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles, manusia
tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang
bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu ketaatan
terhadap hukum yang dibuat penguasa polis. Hukum yang harus ditaati
dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum positif. Dari
gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif
muncul, kedua hukum tersebut memiliki pengertian yang berbeda.
Menurut Aristoteles, hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang
selalu berlaku dan di mana-mana, karena hubungannya dengan aturan
alam, sehingga hukum tidak pernah berubah, lenyap dan berlaku
dengan sendirinya. Hukum alam berbeda dengan hukum positif yang
seluruhnya tergantung pada ketentuan manusia. Misalnya, hukum alam
menuntut sumbangan warga negara bagi kepentingan umum, jenis dan
besarnya sumbangan ditentukan oleh hukum positif, yakni
undang-undang negara, yang baru berlaku setelah ditetapkan dan
diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa. Pada zaman Yunani
(Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan kebudayaan
Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme (berasal dari nama
filsuf Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang
dicetuskan oleh Zeno). Kedua aliran ini menekankan filsafatnya pada
bidang etika. Meskipun demikian, dari Epikurisme muncul konsep
penting tentang undang-undang (hukum posistif) yang mengakomodasi
kepentingan individu sebagai perjanjian antar individu,
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
17
sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme merupakan embrio
dari teori perjanjian masyarakat. Stoisisme mencoba meletakkan
prinsip-prinsip kesederajatan manusia dalam hukum. Ide dasar aliran
ini terletak pada kesatuan yang teratur (kosmos) yang bersumber
dari jiwa dunia (logos), yakni Budi Ilahi yang menjiwai segalanya.
Dengan kata lain, telah timbul keterikatan antara manusia dengan
logos, yang selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh karena itu,
menurut Stoisisme, tujuan hukum adalah keadilan menurut logos,
bukan menurut hukum positif. Sehingga ketaatan menurut hukum
positif baru dapat dilakukan sepanjang hukum positif sesuai dengan
hukum alam.
2. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Pertengahan Perkembangan
sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak
runtuhnya kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa
gelap/the dark ages) yang ditandai dengan kejayaan agama Kristen di
Eropa (masa scholastic),3 dan mulai berkembangnya agama Islam.
Sebelum ada zaman pertengahan terdapat suatu fase yang disebut
dengan Masa Gelap, terjadi pada saat Kekaisaran Romawi runtuh
dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga tidak ada satupun
peninggalan peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga masa ini
dikenal sebagai masa gelap. Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup
di zaman ini, antara lain Augustinus (354-430) dan Thomas
Aquino/Thomas Aquinas (1225-1275). Dalam
perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman pertengahan
tidak terlepas dari pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya
saja Augustinus mendapat pengaruh dari Plato tentang hubungan
antara ide-ide abadi dengan benda-benda duniawi. Tentu saja
pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang
diketemukan dalam jiwa manusia. Sedangkan Thomas Aquinas sebagai
seorang rohaniwan Katolik telah meletakkan perbedaan secara tegas
antara hukum-hukum yang berasal dari wahyuLihat Lili Rasjidi,
Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1990, halaman 13.3
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
18
Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex
Divina), hukum yang berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis),
dan hukum positif (Lex Positivis).4 Pembagian hukum atas keempat
jenis hukum yang dilakukan oleh Thomas Aquinas nantinya akan
dibahas dalam pelbagai aliran filsafat hukum pada bagian lain dari
tulisan ini.
3. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern Pada zaman ini para
filsuf telah meletakkan dasar bagi hukum yang mandiri, yang
terlepas sama sekali dari hukum abadi yang berasal dari Tuhan.
Tokoh-tokoh yang berperan sangat penting pada abad pertengahan ini,
antara lain: William Occam (1290-1350), Rene Descartes (1596-1650),
Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley
(1685-1753), David Hume (17111776), Francis Bacon (1561-1626),
Samuel Pufendorf (1632-1694), Thomasius (1655-1728), Wolf
(1679-1754), Montesquieu (1689-1755), J.J. Rousseau (17121778), dan
Immanuel Kant (1724-1804). Zaman modern ini juga disebut
Renaissance. Terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan
keagamaan menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja zaman Renaissance
membawa dampak perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia,
perkembangan teknologi yang sangat pesat, berdirinya negara-negara
baru, ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu
baru, dan sebagainya. Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum,
rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai penjelmaan dari
rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari
ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai
satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh
para penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham
positivisme hukum.
4. Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Sekarang
4
Lihat Theo Huijbers, Op. Cit., halaman 39.
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
19
Yang dimaksud dengan zaman sekarang dimulai pada abad ke-19.
Filsafat hukum yang berkembang di zaman modern berbeda dengan
filsafat hukum yang berkembang pada zaman modern. Jika pada zaman
modern berkembang rsionalisme, maka pada zaman sekarang
rasionalisme yang berkembang dilengkapi dengan empirisme, seperti
Hobbes. Namun, aliran ini berkembang pesat pada abad ke-19,
sehingga faktor sejarah juga mendapat perhatian dari para pemikir
hukum pada waktu itu, seperti Hegel (1770-1831), Karl Marx
(18181883), juga von Savigny sebagai pelopor mazhab sejarah. Hegel
merupakan tokoh utama dalam idealisme Jerman, ia merupakan penerus
rasionalisme yang dikembangkan oleh Immanuel Kant. Menurut Hegel,
rasio tidak hanya rasio individual melainkan juga rasio Keilahian.
Teorinya disebut Dialektika, yang popularitasnya mengalahkah ahli
pikir di zamannya, seperti J.F. Fichte (1762-1814) dan F.W.J.
Schelling (1775-1854). Menurut teori dialektika Hagel, setiap fase
dalam perkembangan dunia merupakan rentetan dari fase berikutnya,
artinya setiap pengertian mengandung lawan dari pengertian itu
sendiri. Perkembangan dari yang ada kepada yang tidak ada atau
sebaliknya mengandung katagori yang ketiga, yaitu akan menjadi.
Tritunggal tersebut terdiri dari these-antithese-synthese, yang
pada akhirnya dari setiap synthese merupakan titik tolak dari
tritunggal yang baru.5 Teori dialektika Hegel ini dapat digambarkan
dalam ikhtisar berikut ini: Ada Tidak Ada Negara diktator Negara
Anarkhis
Ide Menjadi
Negara demokratis konstitusional
Selain Hegel, masih ada beberapa ahli pikir lain, seperti Karl
Marx dan Engels yang menyatakan bahwa hukum dipandang sebagai
pernyataan hidup dalam masyarakat. Di samping Marx dan Engels, juga
von Savigny yang menyatakan bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh
bersama-sama dengan perkembangan masyarakat. Pandangan Savigny ini
telah memasukkan faktor sejarah ke dalam
5
Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 37.
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
20
pemikiran hukum yang selanjutnya melahirkan pandangan relatif
terhadap hukum. Sehingga pandangan dari Savigny melahirkan Mazhab
Sejarah.6 Dari beberapa fase perkembangan filsafat hukum yang
diawali sejak zaman Yunani (Kuno) dapat digambarkan dalam suatu
ikhtisar berikut ini:
Z. Yunani (Kuno)
Z. Pertengahan
Z. Modern
Z. Sekarang
Masa Gelap
Anaximander Herakleitos Parmenides Socrates Plato
Aristoteles
Augustinus Thomas Aquino
W. Occam Hegel R. Descartes Fichte T. Hobbes Schelling J. Locke
von Savigny G. Berkeley D. Hume F. Bacon Wolf Montesquieu J.J.
Rousseau Immanuel Kant
5. Latihan Soal 1. Mengapa kaum Sofis (Anaximander, Herakleitos,
dan Parmenides) berpendapat untuk dapat menciptakan keteraturan dan
keadilan diperlukan nomos yang bersumber pada logos (rasio)? 2.
Mengapa Socrates tidak percaya terhadap kebenaran subjektif
sebagaimana dikemukakan oleh kaum Sofis? 3. Di mana letak
pengaruh pemikiran filsuf zaman Yunani terhadap pemikiran para
filsuf di zaman pertengahan? Bagaimana pula Thomas Aquinas membagi
hukum? 4. Mengapa zaman modern dikatakan sebagai zaman Renaissance?
Jelaskan! 5. Mengapa Hegel dikatakan sebagai penerus Immanuel Kant?
6. Jelaskan teori dialektika Hegel?
6
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit., halaman 82.
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
21
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum,
Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1995. Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam
Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993. Rasjidi,
Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1990.
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
22
BAB III ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM Tujuan Instruksional
Umum: 1. Mahasiswa dapat memahami berbagai aliran dalam Filsafat
Hukum. 2. Mahasiswa dapat membandingkan berbagai aliran dalam
Filsafat Hukum.
Tujuan Instruksional Khusus: 1. Mahasiswa dapat menyebutkan
berbagai aliran dalam Filsafat Hukum, yaitu: a. Aliran Hukum Alam.
b. Aliran Hukum Positif. c. Aliran Utilitarianisme. d. Aliran
Sejarah. e. Alian Positivisme. f. Aliran Sociological
Jurisprudence. g. Aliran Legal Realism.
1. Berbagai Aliran Dalam Filsafat Hukum dan Perbedaannya Dalam
filsafat hukum dikenal pembagian pelbagai aliran atau mazhab, yang
dikemukakan oleh beberapa orang sarjana, antara lain F.S.G.
Northrop dan Lili Rasjidi.1 Northrop membagi aliran atau madzhab
filsafat hukum ke dalam 5 (lima) aliran, yaitu: a. Legal
Positivism. b. Pragmatic Legal Realism. c. Neo Kantian and
Kelsenian Ethical Jurisprudence. d. Functional Anthropological or
Sociological Jurisprudence. e. Naturalistic Jurisprudence.
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti Bandung, 1990, halaman 26-27.
1
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
23
Sedangkan Lili Rasjidi membagi aliran/madzhab filsafat hukum ke
dalam 6 (enam) aliran besar, masing-masing: a. Aliran Hukum Alam:
1) Yang Irrasional. 2) Yang Rasional. b. Aliran Hukum Positif: 1)
Analitis. 2) Murni. c. Aliran Utilitarianisme. d. Madzhab Sejarah.
e. Sociological Jurisprudence. f. Pragmatic Legal Realism. Selain
kedua orang tokoh tersebut ada juga sarjana lain, yaitu Soehardjo
Sastrosoehardjo yang membagi filsafat hukum ke dalam 9 (sembilan)
aliran atau madzhab, yaitu:2 a. Aliran Hukum Kodrat/Hukum Alam. b.
Aliran Idealisme Transendental (Kantianisme). c. Aliran Neo
Kantianisme. d. Aliran Sejarah. e. Aliran Positivisme. f. Aliran
Ajaran Hukum Umum. g. Aliran Sosiologi Hukum. h. Aliran Realisme
Hukum. i. Aliran Hukum Bebas. Ketiga sarjana tersebut dalam
membagi-bagi aliran dalam filsafat hukum tidak sama, karena memang
tergantung pada penafsiran masing-masing orang dalam
memilah-milahkan aliran dalam filsafat hukum.
Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata Kuliah Filsafat Hukum,
Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang,
1997, halaman 1.
2
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
24
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pembagian aliran/madzhab
filsafat hukum menurut pendapat dari Lili Rasjidi, seorang guru
besar imu hukum dari Universitas Padjadjaran, Bandung dengan
penjelasan sebagai berikut: a. Aliran Hukum Alam: Aliran ini
berpendapat bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut Friedman,
aliran ini timbul karena kegagalan manusia dalam mencari keadilan
yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang
berlaku secara universal dan abadi.3 Gagasan mengenai hukum alam
didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat mahkluk
hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut menjadi dasar
bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum
alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh
manusia. Aliran hukum alam ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1)
Irrasional: Aliran ini berpendapat bahwa hukum yang berlaku
universal dan abadi bersumber dari Tuhan secara langsung. Pendukung
aliran ini antara lain: Thomas Aquinas (Aquino), John Salisbury,
Daante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wyclife. Thomas
Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan, yaitu: a) Lex Aeterna,
merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan
merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap
oleh pancaindera manusia. b) Lex Divina, bagia dari rasio Tuhan
yang dapat ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang
diterimanya. c) Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai hukum
alam dan merupakan penjelmaan dari rasio manusia. d) Lex
Posistivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan hukum alam
oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan
oleh
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum,
Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 1995, halaman 102.
3
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
25
keadaan dunia. Hukum ini diwujudkan ke dalam kitab-kitab suci
dan hukum positif buatan manusia. Penulis lain, William Occam dari
Inggris mengemukakn adanya hirarkis hukum, dengan penjelasan
sebagai berikut: a) Hukum Universal, yaitu hukum yang mengatur
tingkah laku manusia yang bersumber dari rasio alam. b) Apa yang
disebut sebagai hukum yang mengikat masyarakat berasal dari alam.
c) Hukum yang juga bersumber dari prinsip-prinsip alam tetapi dapat
diubah oleh penguasa. Occam juga berpendapat bahwa hukum identik
dengan kehendak mutlak Tuhan Sementara itu Fransisco Suarez dari
Spanyol berpendapat demikian, manusia yang bersusila dalam
pergaulan hidupnya diatur oleh suatu peraturan umum yang harus
memuat unsusr-unsur kemauan dan akal. Tuhan adalah pencipta hukum
alam yang berlaku di semua tempat dan waktu. Berdasarkan akalnya
manusia dapat menerima hukum alam tersebut, sehingga manusia dapat
membedakan antara yang adil dan tidak adil, buruk atau jahat dan
baik atau jujur. Hukum alam yang dapat diterima oleh manusia adalah
sebagian saja, sedang selebihnya adalah hasil dari akal (rasio)
manusia. 1) Rasional: Sebaliknya, aliran ini mengatakan bahwa
sumber dari hukum yang universal dan abadi adalah rasio manusia.
Pandangan ini muncul setelah zaman Renaissance (pada saat rasio
manusia dipandang terlepas dari tertib ketuhanan/lepas dari rasio
Tuhan) yang berpendapat bahwa hukum alam muncul dari pikiran
(rasio) manusia tentang apa yang baik dan buruk penilaiannya
diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam. Tokoh-tokohnya, antara
lain: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant,
dan Samuel Pufendorf. Pendasar hukum alam yang rasional adalah Hugo
de Groot (Grotius), ia menekankan adanya peranan rasio manusia
dalam garis depan, sehingga rasio
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
26
manusia sama sekali terlepas dari Tuhan. Oleh karena itu rasio
manusialah sebagai satu-satunya sumber hukum. Tokoh penting lainnya
dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari Kant dikenal
sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant
dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia
(kritik der reinen Vernunft yang terkait dengan persepsi), Kritik
Akal Budi Praktis (kritik der praktischen Vernunft yang terkait
dengan moralitas), Kritik Daya Adirasa (kritik der Urteilskraft
yang terkait dengan estetika dan harmoni). Ajaran Kant tersebut ada
korelasinya dengan tiga macam aspek jiwa manusia, yaitu cipta,
rasa, dan karsa (thinking, volition, and feeling).4 Metode kritis
tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat manusia
(homo noumenon) tidak terletak pada akalnya, beserta corak berfikir
yang bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke
denkwijze), tetapi pada kebebasan jiwa susila manusia yang mampu
secara mandiri menciptakan hukum kesusilaan bagi dirinya sendiri
dan juga orang lain. Yang penting bukan manusia ideal berilmu atau
ilmuwan, tetapi justru pada manusia ideala berkepribadian
humanistis. Salah satu karya Kant yang berjudul Metaphysische
Anfangsgruende der Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika Ajaran
Hukum merupakan bagian dari karyanya yang berjudul Metaphysik der
Sitten) pokok pikirannya ialah bahwa manusia menurut darma
kesusilaannya mempunyai hak untuk berjuang bagi kebebasan
lahiriahnya untuk menghadirkan dan melaksanakan kesusilaan. Dan
hukum berfungsi untuk menciptakan situasi kondisi guna mendukung
perjuangan tersebut. Hakekat hukum bagi Kant adalah bahwa hukum itu
merupakan keseluruhan kondisi-kondisi di mana kehendak sendiri dari
seseorang dapat digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah
hukum kebebasan umum yang meliputi kesemuanya. Katagori imperatif
Kant mewajibkan semua anggota masyarakat tetap mentaati hukum
positif negara sekalipun di dalam hukum terebut terdapat
4
Soehardjo Sastrosoehardjo, Op. Cit., halaman 12.
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
27
unsur-unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan.
Jadi, di sini sudah terdapat larangan mutlak bagi perilaku yang
tergolong melawan penguasa negara, sehingga dengan katagori
imperatif ini ajaran dari Immanuel Kant juga dapat digolongkan ke
dalam aliran positivisme. Pendapat Kant ini diikuti oleh Fichte
yang mengatakan bahwa hukum alam itu bersumber dari rasio manusia.
Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah Hegel dari Jerman.
Yang dijadikan motto oleh Hegel ialah: Apa yang nyata menurut nalar
adalah nyata, dan apa yang nyata adalah menurut nalar (Was
vernunftig ist, das ist wirklich ist, das ist vernunftig. What is
reasonable is real, and what is real is reasonable). Tidak ada
antimoni antara nalar/akal dengan kenyataan atau realitas. Bagi
Hegel, seluruh kenyataan kodrat alam dan kejiwaan merupakan proses
perkembangan sejarah secara dialektis dari roh/cita/spirit mutlak
yang senantiasa maju dan berkembang. Jiwa mutlak mengandung dan
mencakup seluruh tahap-tahap perkembangan sebelumnya jadi merupakan
permulaan dan kelahiran segala sesuatu. Pertumbuhan dan
perkembangan dialektis melalui tesa, antitesa, san sintesa yang
berlangsung secara berulang-ulang dan terus-menerus. Filsafat hukum
dalam bentuk maupun isinya, penampilan dan esensinya juga dikuasai
oleh hukum dialektika. Negara merupakan perwujudan jiwa mutlak,
demikan juga dengan hukum.
b. Aliran Hukum Positif Sebelum aliran ini lahir, telah
berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum yang disebut dengan
Legisme yang memandang tidak ada hukum di luar undangundang, dalam
hal ini satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. 1) Analitis
Pemikiran ini berkembang di Inggris namun sedikit ada perbedaan
dari tempat asal kelahiran Legisme di Jerman. Di Inggris,
berkembang bentuk yang agak lain, yang dikenal dengan ajaran
Positivisme Hukum dari John Austin, yaitu Analytical Jurisprudence.
Austin membagi hukum atas 2 hal, yaitu: a) Hukum yang diciptakan
oleh Tuhan untuk manusia.
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
28
b) Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri
dari: hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai
hukum positif yang terdiri dari hukum yang dibuat penguasa,
seperti: undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum
yang dibuat atau disusun rakyat secara individuil yang dipergunakan
untuk melaksanakan hakhaknya, contoh hak wali terhadap
perwaliannya. Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti
hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh:
ketentuan-ketentuan dalam organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.
Menurut Austin, dalam hukum yang nyata pada point pertama, di
dalamnya terkandung perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan.
Sehingga ketentuan yang tidak memenuhi keempat unsur tersebut tidak
dapat dikatakan sebagai hukum. 2) Murni Ajaran hukum murni
dikatagorikan ke dalam aliran positivisme, karena
pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan ajaran Auistin.
Hans Kelsen seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit berbeda
apabila dibandingkan dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak
pada penggunaan hukum alam. Stanmmler masih menerima dan menganut
berlakunya suatu hukum alam walaupun ajaran hukum alamnya dibatasi
oleh ruang dan waktu. Sedang Hans Kelsen secara tegas mengatakan
tidak menganut berlakunya suatu hukum alam, walaupun Kelsen
mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana tercermin
dalam Grundnorm/Ursprungnormnya. Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan
mewakili aliran positivisme kritis (aliran Wina). Ajaran tersebut
dikenal dengan nama Reine Rechtslehre atau ajaran hukum murni.
Menurut ajaran tersebut, hukum harus dibersihkan dari dan/atau
tidak boleh dicampuri oleh politik, etika, sosiologi, sejarah, dan
sebagainya. Ilmu (hukum) adalah susunan formal tata urutan/hirarki
norma-norma. Idealisme hukum ditolak sama sekali, karena hal-hal
ini oleh Kelsen dianggap tidak ilmiah. Adapun pokok-pokok ajaran
Kelsen adalah sebagai berikut:
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
29
a) Tujuan teori ilmu hukum sama halnya dengan ilmu-ulmu yang
lain adalah meringkas dan merumuskan bahan-bahan yang serba kacau
dan keserbanekaragaman menjadi sesuatu yang serasi. b) Teori
filsaft hukum adalah ilmu, bukan masalah apa yang dikehendaki,
masalah cipta, bukan karsa dan rasa. c) Hukum adalah ilmu normatif,
bukan ilmu ke-alaman (natuurwetenschap) yang dikuasai oleh hukum
kausalitas. d) Teori/filsafat hukum adalah teori yang tidak
bersangkut paut dengan kegunaaan atau efektivitas norma-norma
hukum. e) Teori hukum adalah formal, teori tentang ara atau
jalannya mengatur perubahan-perubahan dalam hukum secara khusus. f)
Hubungan kedudukan antara tori hukum dengan sistem hukum positif
tertentu adalah hubungan antara hukum yang serba mungkin dan hukum
yang senyatanya. Fungsi teori hukum ilah menjelaskan hubungan
antara norma-norma dasar dan norma-norma lebih rendah dari hukum,
tetapi tidak menentukan apakah norma dasar itu baik atau tidak.
Yang disebut belakangan adalah tugas ilmum politik, etiika atau
agama. Teori konkretisasi hukum menganggap suatu sistem hukum
sebagai atau susunan yang piramidal. Stufentheorie diciptakan
pertama kali oleh Adolf Merkl (1836-1896), seorang murid dari
Rudolf von Jhering,5 yang kemudian diambil alih oleh Hans Kelsen.
Kekuatan berlakunya hukum tertentu tergantung pada norma hukum yang
lebih tinggi, demikian seterusnya hingga sampai pada suatu
Grundnorm, yang berfungsi sebagai dasar terakhir/tertinggi bagi
berlakunya keseluruhan hukum positif yang bersangkutan. Fungsi
hukum tersebut bukan dalam arti hukum kodrat, tetapi sebagai suatu
Transcendental Logische Voraussetzung, yaitu dalil yang secara
transendental menentukan bahwa norma dasar terakhir/tertinggi
secara logis harus ada lebih dahulu, yang sekaligus berfungsi
sebagai penjelasan atau pembenaran ilmiah bahwa keseluruhan
norma-
5
Bandingkan dengan Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 43.
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
30
norma c.q. peraturan-peraturan dalam hukum positif yang
bersangkutan itu pada hakekatnya merupakan satu kesatuan yang
serasi. Penulis lain bernama Rudolf Stammler (1856-1938) merupakan
tokoh
kebangkitan kembali filsafat c.q. hukum kodrat gaya baru, yaitu
hukum kodrat yang senantiasa berubah yang mengajarkan bahwa
filsafat hukum adalah ilmu/ajaran tentang hukum yang adil (die
lehre vom richtigen recht). Apabila ilmu hukum meneliti dan
mengkaji, secara positif, maka tugas dan fungsi filsafat hukum
ialah dengan abstraksi bahan-bahan variabel tersebut, meneliti
secara transendental kritis (metode yang berasal dari Kant)
bentuk-bentuk kesadaran manusia hingga menerobos sampai pada
landasan/dasar transendental logis penghayatan hukum yang berujud
hakekat pengertian hukum. Hakekat pengertian hukum atau pengertian
hukum yang transendental ini mempunyai unsur-unsur: kehendak/karsa,
mengikat, berkuasa atas diri dan tidak bisa diganggu (wollen,
verbinden, selbstherrlichkeit unverletzbarkeit). Dari hakekat ini
lebih lanjut ditarik 8 (delapan) macam kategori hukum, yaitu:
subjek hukum, objek hukum, dasar hukum, hubungan hukum, kekuasaan
hukum, penundukan hukum, menurut hukum (rechtmatigeheid), dan
melawan hukum. Pengertian dasar atau kategori hukum itu berupa
metode pikiran formil yang adanya tidak ditentukan oleh atau
digantungkan pada isi atau aturan hukum. Asasasas hukum umum yang
menentukan kebaikan isi atuan hukum, tidak termasuk pengertian
hukum tetapi tergolong pada cita hukum. Hukum yang adil adalah
hukum yang memenuhi syarat atau tertentu social-ideal, yakni ujud
dari manusia dalam kehidupan masyarakat yang memiliki kehendak
bebas
(Gemeinschaft frei wollender Menschen). Cita hukum yang sosial
ini berfungsi regulatif terhadap sistem hukum positif, tidak
semata-mata pada bentuk hukumnya.
c. Aliran Utilitarianisme Aliran ini dipelopori oleh Jeremy
Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873), dan Rudolf von
Jhering (1818-1889). Bentham berpendapat bahwa alam memberikan
kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
31
memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan
adalah kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan. Tugas hukum
adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Dengan kata
lain, untuk memelihara kegunaan. Keberadaan hukum diperlukan untuk
menjaga agar tidak terjadi bentrokan kepentingan individu dalam
mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya, untuk itu perlu ada
batasan yang diwujudkan dalam hukum, jikas tidak demikian, maka
akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi
manusia yang lain). Oleh karena itu, ajaran Bentham dikenal sebagai
utilitarianisme yang individual. Penulis lain yang tidak kalah
pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih banyak dipengaruhi
oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia
ialah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui
hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Mill juga menolak pandangan
Kant yang mengajarkan bahwa individu harus bersimpati pada
kepentingan umum. Kemudian Mill lalu menganalisis hubungan antara
kegunaan dan keadilan. Pada hakekatnya, perasaan individu akan
keadilan dapat membuat individu itu menyesal dan ingin membalas
dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya. Pendapat lain
dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara
utilitarianisme yang individual maupun yang sosial, karena Jhering
dikenal sebagai pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial,
jadi merupakan gabungan antara teori yang dikemukakan oleh Bentham,
Mill, dan positivisme hukum dari John Austin. Bagi Jhering, tujuan
hukum adalah untuk melindungi kepentingankepentingan. Dalam
mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan
melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari
penderitaan tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari
tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan
kepentingan-kepentingan orang lain.
d. Aliran Sejarah Tokoh-tokohnya antara lain Friedrich Carl von
Savigny (1778-1861) dan Puchta (1789-1846). Sebagian dari pokok
ajarannya ialah bahwa hukum itu tidak
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
32
dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir dan tumbuh dari dan dengan
rakyat, berkembang bersama dengan rakyat, namun ia akan mati,
manakala rakyat kehilangan kepribadiannya (das recht wirdnicht
gemacht, es wachst mit dem volke vort, bilden sich aus mit diesem,
und strirbt endlich ab sowie das volk seineen eigentuum lichkeit
verliert). Sumber hukum intinya adalah hukum kebiasaan adalah
volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat. Paton memberikan sejumlah
catatan terhadap pemikiran Savigny sebagai berikut: 1) Jangan
sampai kepentingan dari golongan masyarakat tertentu dinyatakan
sebagai volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya. 2) Tidak
selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja, karena
dalam kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di
Inggris yang tidak akan terbentuk tanpa perjuangan keras. 3) Jangan
sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat
perhatian, karena walaupun volksgeist itu dapat menjadi bahan
kasarnya, tetap saja perlu ada yang menyusunnya kembali untuk
diproses menjadi bentuk hukum. 4) Dalam banyak kasus peniruan
memainkan peranan yang lebih besar daripada yang diakui oleh
penganut Mazhab Sejarah. Banyak bangsa yang dengan sadar mengambil
alih Hukum Romawi dan mendapat pengaruh dari Hukum Perancis.
Tulisan von Savigny sebenarnya merupakan reaksi langsung terhadap
Thibaut , di samping itu juga hendak memberi tempat yang terhormat
bagi hukum rakyat Jerman yang asli di negara Jerman sendiri. Von
Savigny berkeinginan agar hukum Jerman itu berkembang menjadi hukum
nasional Jerman. Tantangan von Savigny terhadap kodifikasi Perancis
itu telah menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman tidak
memiliki kodifikasi hukum perdata. Pengaruh pandangan von Savigny
juga terasa sampai jauh ke luar batas negeri Jerman. Sedang Puchta,
termasuk penganut aliran sejarah dan sebagai murid von Savigny
berpendapat bahwa hukum dapat berbentuk: 1) Langsung, berupa
adat-istiadat.
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
33
2) Melalui undang-undang. 3) Melalui ilmu hukum dalam bentuk
karya para ahli hukum. Namun ketika pembentukan hukum tersebut
masih berhubungan erat dengan jiwa bangsa (volksgeist) yang
bersangkutan. Lebih lanjut, Puchta membedakan pengertian bangsa ke
dalam dua jenis, yaitu bangsa dalam pengertian etnis yang disebut
bangsa alam dan bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis
yang membentuk satu negara. Adapun yang memiliki hukum yang sah
hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan
bangsa alam memiliki hukum sebagai keyakinan belaka. Menurut
Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan
melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara.
Negera mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang, Puchta
mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa,
sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum
lainnya, yakni praktik hukum dalam adat-istiadat bangsa dan
pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum. Adat-istadat bangsa
hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara. Sama
halnya dengan pengolahan hukum oleh kaum Yuris, pikiran-pikiran
mereka tentang hukum memerlukan pengesahan negara supaya berlaku
sebagai hukum. Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak
membutuhkan dukungan apapun. Ia berhak membentuk undang-undang
tanpa bantuan kaum yuris, tanpa menghiraukan apa yang hidup dalam
jiwa orang dan dipraktikkan sebagai adatistiadat. Dengan adanya
pemikiran dan pandangan puchta yang demikian ini, menurut Theo
Huijbers dikatakan tidak jauh berbeda dengan Teori Absolutisme
negara dan Positivisme Yuridis.6 Buku Puchta yang terkenal berjudul
Gewohnheitsrecht.
e. Aliran Sociological Jurisprudence
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 1993, halaman 120-121.
6
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
34
Pendasar aliran ini, antara lain: Roscoe Pound, Eugen Ehrlich,
Benjamin Cardozo, Kontorowics, Gurvitch dan lain-lain. Aliran ini
berkembang di Amerika, pada intinya aliran ini hendak mengatakan
bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat. 7 Kata sesuai diartikan sebagai hukum yang
mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Aliran
Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Dengan
rasio demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang
mempelajari hukum sebagai gejala sosial, sedang Sociological
Jurisprudence merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang
mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan
sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi yang
mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana
gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di
samping juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh
hukum terhadap masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas
(sociological jurisprudence dan sosiologi hukum) dapat dibedakan
cara pendekatannya. Sociological
jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada
masyarakat, sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari
masyarakat kepada hukum. Roscoe Pound menganggap bahwa hukum
sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of social engineering
and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan
keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan
kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha
penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan
kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan
yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh
penguasa negara. Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak
persamaannya dengan aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika
dalam hukum digantikan dengan primat pengkajian dan penilaian
terhadap kehidupan manusia (Lebens forschung und Lebens bewertung),
atau secara konkritnya lebih memikirkan keseimbangan7
Lili Rasjidi, Op. Cit., halaman 47.
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
35
kepentingan-kepentingan (balancing of interest, private as well
as public interest). Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law
merupakan synthese dari these positivisme hukum dan antithese
mazhab sejarah. Maksudnya, kedua liran tersebut ada kebenarannya.
Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal agar dapat hidup
terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah
pernyataan-pernyataan akal yang terdiri dari atas pengalaman dan
diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal
diuji oleh pengalaman . Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan
sendiri di dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur
dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh
badan-badan yang membuat undangundang atau mensahkan undang-undang
dalam masyarakat yang berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan
masyarakat itu.
f. Pragmatic Legal Realism Salah seorang sarjana bernama
Friedman membahas aliran ini dalam kaitannya sebagai salah satu
subaliran dari positivisme hukum. Sebab, pangkal pikir dari aliran
ini bersumber pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumber hukum.
Pendasar mazhab/aliran ini ialah John Chipman, Gray, Oliver Wendell
Holmes, Karl Llewellyn, Jerome Frank, William James dan sebagainya.
Friedman juga berpendapat bahwa Roscoe Pound juga dapat digolongkan
ke dalam Pragmatic Legal Realism di samping masuk ke dalam
Sociological
Jurisprudence. Hal ini disebabkan oleh pendapat atau pandangan
Roscoe Pound yang mengatakan bahwa hukum itu adalah a tool of
social engineering. Sementara itu, Llewellyn berpendapat bahwa
Pragmatic Legal Realism bukan aliran tapi suatu gerakan yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Realisme bukanlah suatu
aliran/mazhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara berpikir
dan cara bekerja tentang hukum. 2) Realisme adalah suatu konsep
mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai
tujuan sosial; maka tiap bagiannya harus
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
36
diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti
bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada
hukum. 3) Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara
antara sollen dan sein untuk keperluan suatu penyelidikan agar
penyelidikan itu mempunyai tujuan, maka hendaknya diperhatikan
adanya nilai-nilai dan observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah
seumum mungkin dan tidak boleh dipenuhi oleh kehendak observer
maupun tujuan-tujuan kesusilaan. 4) Realisme telah mendasarkan pada
konsep-konsep hukum tradisional oleh karena realisme bermaksud
melukiskan apa yang sebenarnya oleh pengadilan-pengadilan dan
orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisidefinisi dalam
peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum tentang apa yang
akan dikerjakan oelh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan keyakinan
ini, maka realisme menciptakan penggolongan-penggolongan perkara
dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada
jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau. 5)
Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum
haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai akibatnya. Pendekatan
yang harus dilakukan oleh gerakan realisme untuk mewujudkan program
tersebut di atas telah digariskan sebagai berikut: 1) Keterampilan
diperlukan bagi seseorang dalam memberikan
argumentasinya yang logis atas putusan-putusan yang telah
diambilnya bukan hanya sekedar argumen-argumen yang diajukan oleh
ahli hukum yang nilainya tidak berbobot. 2) Mengadakan perbedaan
antara peraturan-peraturan dengan memperhatikan relativitas makna
peraturan-peraturan tersebut. 3) Menggantikan katagori-katagori
hukum yang bersifat umum dengan hubungan-hubungan khsusus dari
keadaan-keadaan yang nyata. 4) Cara pendekatan seperti tersebut di
atas mencakup juga penyelidikan tentang faktor-faktor/unsur-unsur
yang bersifat perseornagan maupun umum dengan penelitian atas
kepribadian sang hakim dengan disertai data-
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
37
data statistik tentang ramalan-ramalan apa yang akan diperbuat
oloeh pengadilan dan lain-lain.8 Mengenai aliran Pragmatic Legal
Realism yang berkembang pada waktu itu dapat dibedakan menjadi 2
(dua) macam, yaitu: 1) Aliran Realisme Hukum Amerika Tokoh-tokohnya
adalah Oliver Wendell Holmes dan Jerome Frank. The path of Law
berasal dari Holmes, sedang Law in the modern mind berasal dari
Jerome Frank. Sifat normatif hukum agak dikesampingkan. Hukum pada
hakekatnya adalah berupa pola perilaku/tindakan (pattern of
behaviour) nyata dari hakim dan petugas/pejabat hukum (law
officials) lainnya. Pendorong utama perilaku Hakim atau
pejabat-pejabat hukum segarusnya berpijak pada moral positif dan
kemaslahatan masyarakat (social advanrage). Bagi Frank, hukum dapat
dibagi menjadi dua, yaitu hukum yang senyatanya dan hukum yang
mungkin (actual law and probable law). Peraturan-peraturan hukum
dan asas-asas hukum tidak lain adalah semacam stimuli yang
mempengaruhi perilaku hakim yang dapat dilihat dalam
putusan-putusan hakim, di samping faktor-faktor lain, yakni,
prasangka politis, ekonomis, dan moril, simpati maupun antipati
pribadi (Frank). Terhadap sikap yang agak ekstrim dari kedua tokoh
tersebut, yakni Roscoe Pound dan benjamin Cardozo dalam bukunya
yang berjudul The nature of the juridical process mengambil
pendirian yang lebih moderat, yakni wawasan sosiologis. 2) Aliran
Realisme Skandinavia Di Skandinavia, para sarjana hukum modern
mengembangkan cara berfikir tentang hukum yang memiliki ciri khas
ala Skandinavia yang tidak ada persamaannya di negara-negara lain.
Walaupun istilah realisme sering dipergunakan untuk gerakan cara
berfikir di Skandinavia akan tetapi persamaan nama dengan gerakan
cara berfikir di Amerika Serikat, hanyalah sebatas persamaan nama
saja. Realisme Skandinavia adalah dasar-dasar filsafat yang
memberikan kritik-kritik terhadap dasar-dasar metafisika hukum
(SkandinavianSoetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I, Penerbit PT.
Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, halaman 77.8
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
38
realism is essentialy a philosophical critique of the
metaphysical foundations law). Gerakan ini menolak cara pendekatan
yang dipergunakan oleh kaum realis Amerika Serikat yang mempunyai
nilai rendah. Dalam caranya memberi kritik dan pengupasan
prinsip-prinsip pertama yang seringkali sangat abstrak, grakan
realis mempunyai ciri-ciri yang mirip sekali dengan ciri-ciri
Filsafat Hukum Eropa. Adanya persamaan cara pendekatan antara
penganut-penganut gerakan relaisme Skandinavia diusebabkan oleh
pengaruh dari Axel Hagestrom terhadap tokoh-tokoh gerakan realisme
Skandinavia pada waktu itu, yaitu Oliverscrona, Lundstedt,
sekalipun pengaruh Axel tidak sebesar Ross. Para ahli hukum
tersebut di atas menolak adanya pengertian-pengertian mutlak
tentang keadilan yang menguasai dan yang memberi pedoman pada
sistem-sistem hukum positif. Mengenai nilai-nilai hukum gerakan
realisme Skandinaviamempunyai pendirian yang sama dengan filsafat
relativisme; mereka menolak pendirian yang mengatakan bahwa
ketentuan-ketentuan tentang hukum dapat disalurkan secara memaksa
dari prinsip-prinsip tentang keadilan yang tidak adapat diubah.
Menureut Friedman,9 keberadaan realisme Skandinavia telah
memberikan sumbangan yang amat besar kepada teori hukum, yaitu
tentang penggunaan pengertian kehendak kolektif, satu kehendak umum
atau kehendak negara (a collective or general will or of the state)
oleh ilmu hukum analitis. Menurut Hargerstrom dan kawan-kawan,
pengertian-pengertian tersebut adalah semacam satu pengertian gaib
yang dipergunakan mereka untuk memberi dasar hukum pada
kemahakuasaan orang-orang yang memegang perintah negara; dan cara
mereka membuktikan legitimitas (dasar hukum) kekuasaan negara
tersebut menurut Hargerstrom dan kawan-kawan adalah pada dasarnya
sama dengan cara-cara yang dipergunakan filsafat hukum kodrat.
2. Latihan Soal
9
Ibid., halaman 86.
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
39
a. Mengapa hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang
sengaja dibentuk oleh manusia? Jelaskan! b. Apa yang
melatarbelakangi Thomas Aquinas membagi hukum menjadi 4, serta
sebutkan dan jelaskan ke-4 hukum menurut Thomas Aquinas? c. Mengapa
dalam aliran hukum positif timbul aliran analitis dan murni dan
bagaimana pula perbedaan yang menonjol antara dua liran tersebut?
Jelaskan! d. Siapakah pendasar aliran Utilitarianisme dan bagaimana
pula pendapat atau pandangan para ahli hukum penganut aliran
Utilitarianisme terhadap hukum? Sebut dan jelaskan! e. Adakah
perbedaan pendapat antara Karl von Savigny dan Puchta? Jelaskan
jawaban Sdr.! f. Ada berapa pandangan realisme hukum? Di manakah
pertama kali realisme hukum itu timbul? Jelaskan perbedaannya
masing-masing!
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
40
DAFTAR PUSTAKA
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum,
Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 1995. Huijbers, Theo Filsafat Hukum Dalam
Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993. Rasjidi,
Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti
Bandung, 1990, halaman. Soehardjo Sastrosoehardjo, Silabus Mata
Kuliah Filsafat Hukum, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas
Diponegoro, Semarang, 1997. Soetiksno, Filsafat Hukum, Bagian I,
Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
41
BAB IV PENGERTIAN DAN TUJUAN HUKUM SECARA FILOSOFIS Tujuan
Instruksional Umum: Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa
dapat: 1. Memahami berbagai pengertian hukum secara filosofis. 2.
Memahami berbagai tujuan hukum secara filosofis. Tujuan
Instruksional Khusus: 1. Menyebutkan dan menjelaskan konsepsi hukum
menurut Roscoe Pound. 2. Menyebutkan dan menjelaskan tujuan hukum
secara tradisional. 3. Menyebutkan dan menjelaskan tujuan hukum
secara modern.
1. Konsepsi Hukum Menurut Roscoe Pound Roscoe Pound sebagai
salah seorang pendasar aliran Sociological
Jurisprudence yang tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat,
memiliki 12 (dua belas) konsepsi tentang hukum. Kedua belas
konsepsi hukum yang dikemukakan oleh Pound tersebut dipergunakan
untuk menjelaskan gagasan tentang hak-hak asasi yang sebenarnya
berguna untuk menerangkan untuk apa sebenarnya hukum itu, dan
menunjukkan bahwa seberapa mungkin harruslah sedikit hukum itu,
karena hukum merupakan satu kekangan terhadap kebebasan manusia,
dan kekangan itu walaupun hanya sedikit menuntut pembenaran yang
kuat. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya 12 konsepsi Pound
tentang
hukum, karena gagasan untuk apa hukum itu terkandung sebagian
besarnya di dalam gagasan tentang apa hukum itu, maka satu tinjauan
pendek mengenai gagasan tentang sifat hukum dipandang dari
pendirian ini akan sangat berguna dalam mepelajari tujuan hukum
dari segi filososfis. Adapun ke-12 konsepsi Pound tentang hukum
tersebut terdiri dari:1
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab,
Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996, halaman 28-32.
1
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
42
a. Pertama, boleh kita kemukakan gagasan tentang satu kaidah
atau sehimpunan kaidah yang diturunkan oleh Tuhan untuk mengatur
tindakan manusia, misalnya undang-undang Nabi Musa, atau
undang-undang Hammurabi, yang diturunkan oleh Dewa Matahari setelah
selesai disusun, atau undang-undang Manu yang didiktekan kepada
para budiman oleh putra Manu, Bhrigu namanya, di depan Manu sendiri
dan atas petunjuknya. b. Ada satu gagasan tentang hukum sebagai
satu tradisi dari kebiasaan lama yang ternyata dapat diterima oleh
dewa-dewa dan karena itu menunjukkan jalan yang boleh ditempuh
manusia dengan amannya. Sebab manusia primitif, yang menganggap
dirinya dilingkungi oleh kekuatan gaib di dalam alam yang banyak
tingkah dan suka membalas dendam, terus-menerus dalam ketakutan
kalau-kalau ia melanggar sesuatu yang dilarang oleh mahkluk gaib.
Dengan demikian ia dan orang sekampungnya akan dimarahi oleh
mahkluk gaib tersebut. Kesalahan umum menuntut supaya orang
melakukan hanya apa yang diperbolehkan, dan melakukan menurut cara
yang digariskan oleh kebiasaan yang sudah lama dituruti, setidaknya
jangan melakukan apa yang tidak disenangi oleh dewa-dewa. Hukum
adalah himpunan perintah yang tradisional akan dicatat, yang di
alam kebiasaan itu dipelihara dan dinyatakan. Bilamana kita
menjumpai sehimpunan hukum primitif yang merupakan tradisi golongan
dipunyai oleh satu oligarchi politik, boleh jadi ia akan dianggap
sebagai tradisi golongan, persis seperti sehimpunan tradisi yang
sama tetapi dipelihara oleh ulama atau pendeta, pasti akan
dipandang sebagai yang telah diwahyukan oleh Tuhan. c. Gagasan ini
rapat dengan yang kedua, yakni memahamkan hukum sebagai
kebijaksanaan yang dicatat dari para budiman di masa lalu yang
telah dipelajari. Jalan yang selamat, atau jalan kelakuan manusia
yang disetujui oleh Tuhan. Apabila satu kebiasaan tradisional dari
keputusan dan kebiasaan tindakan telah dituliskan dalam kitab
undang-undang primitif, mungkin dia akan dianggap sebagai hukum.
Demosthenes yang hidup dalam abad kekempat sebelum Masehi dapat
melukiskan hukum Athena dengan katakata tadi.
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
43
d. Hukum dapat dipahamkan sebagai satu sistem asas-asas yang
ditemukan secara filasaft, yang menyatakan sifat benda-benda, dan
karena itu manusia harus menyesuaikan kelakuannya dengan sifat
benda-benda itu.
Demikianlah, gagasan sarjana hukum Romawi, yang sebenarnya
merupakan cangkokan dari gagasan kedua dan ketiga tadi, dan dari
satu teori politik tentang hukum sebagai perintah dari bangsa
Romawi; dan semuanya dirukunkan dengan memahamkan tradisi dan
kebijaksanaan yang tercatat dan perintah bangsa-bangsa yang
semata-mata sebagai pernyataan atau pencerminan dari asas-asas yang
dicari kepastiannya secara filsafat, harus diukur, dibentuk,
ditafsirkan , dan ditambah oleh yang tigta tadi. Setelah diolah
oleh ahli-ahli filsafat ini, konsepsi yang tersebut tadi kerapkali
mendapat bentuk lain, e. Sehingga kelima hukum dipandang sebagai
satu himpunan penegasan dan pernyataan dari satu undang-undang
kesusilaan yang abadi dan tidak berubah-ubah. f. Ada satu gagasan
mengenai hukum sebagai satu himpunan persetujuan yang dibuat
manusia di dalam masyarakat yang diatur secara politik, persetujuan
yang mengatur hubungan antara yang seorang dengan yang lainnya. Ini
adalah suatu pandangan demokratis tentang identifikasi hukum dengan
kaidah hukum, dan karena itu dengan pengundangan dekrit dari negara
kota yang diperbincangkan di dalam buku Minos dari Plato. Sudah
sewajarnyalah Demosthenes menganjurkan kepada satu juri di
Athena. Sangat mungkin dengan teori serupa itu, satu gagasan
filsafat akan menyokong gagasan politik dan kewajiban moril yang
melekat pada suatu janji akan dipergunakan untuk menunjukkan
mengapa orang harus menepati persetujuan yang mereka buat di dalam
majelis rakyat. g. Hukum dipikirkan sebagai satu pencerminan dari
akal Illahi yang menguatkan alam semesta ini; satu pencerminan dari
bagian yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia
sebagai satuan yang berkesusilaan, yang berbeda dengan yang masih
dilakukan, yang ditujukan kepada mahkluk lain selain manusia.
Begitulah konsepsi Thomas
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
44
Aquino, yang mempunyai penganut banyak sampai abad ke-17 dan
semenjak itu masih besar pengaruhnya. h. Hukum telah dipahamkan
sebagai satu himpunan perintah dari penguasa yang berdaulat di
dalam satu masyarakat yang disusun menurut satu sistem kenegaraan,
tentang bagaimana orang harus bertindak di dalam masyarakat itu,
dan perintah itu pada tingkat terakhir berdasarkan apa saja yang
dianggap terdapat di belakang wewenang dari yang berdaulat.
Demikianlah anggapan-anggapan sarjana-sarjana Romawi pada masa
republik dan masa klasik mengenai hukum positif. Dan karena Kaisar
memegang kedaulatan rakyat Romawi yang diserahkan kepada baginda,
maka Institutiones dari Kaisar Justinianus dapat menetapkan bahawa
kemauan kaisar mempunyai keuatan satu undang-undang. Cara berfikir
serupa itu cocok dengan pikiranpikiran ahli-ahli hukum yang giat
menyokong kekuasaan raja dalam memusatkan kerajaan Perancis pada
abad ke-16 dan ke-17, dan dengan perantaraan ahli-ahli hukum itu
masuklah cara berfikir itu ke dalam hukum publik. Rupanya dia
sesuai dengan keadaan di sekitar kekuasaan tertinggi Parlemen di
tanah Inggris sesudah tahun 1688 dan menjadi teori hukum Inggris
yang kolot. Demikianlah dia dicocokkan dengan satu teori politik
tentang kedaulatan rakyat yang menurut teori itu, rakyat dianggap
sebagai pengganti parlemen untuk memegang kedaulatan pada waktu
Revolusi Amerika, atau sebagai pengganti Raja Perancis pada waktu
Revolusi Perancis. i. Satu gagasan yang menganggap hukum sebagai
satu sistem pemerintah, ditemukan oleh pengalaman manusia yang
menunjukkan, bahwa kemauan tiap manusia perseorangan akan mencapai
kebebasan sesempurna mungkin yang sejalan dengan kebebasan serupa
itu pula, yang diberikan kepada kemauan orang-orang lain. Gagasan
ini yang dianut dalam salah satu bentuk oleh mazhab sejarah, telah
membagi ksetiaan sarjana hukum kepada teori hukum sebagai perintah
dari pemegang kedaulatan, dan hal in terjadi hampir di sepanjang
abad yang lalu. Menurut anggapan pada masa itu, pengalaman manusia
yang menemukan prinsip hukum ditentukan dengan sesuatu cara
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
45
yang tak dapat dielakkan lagi. Ini bukanlah soal daya upaya
manusia yang dilakukannya dengan sadar. Prosesnya ditentukan oleh
pengembangan suatu gagasan mengenai hak dan keadilan, satu gagasan
tentang kebebasan yang mewujudkan dirinya di dalam pelaksanaan
peradilan oleh manusia, atau oleh kerja-kerja hukum yang biologis
atau psikologis atau tentang sifat-sifat jenis bangsa, yang
kemudian menghasilkan sistem hukum daru suatu masa dan suatu bangsa
yang bersangkutan. j. Orang menganggap hukum itu sebagai satu
sistem asas-asas, yang ditemukan secara filsafat dan dikembangkan
sampai pada perinciannya oleh tulisan-tulisan sarjana hukum dan
putusan pengadilan, yang dengan perantaraan tulisan dan putusan itu
kehidupan lahir manusia diukur oleh akal, atau pada taraf lain,
dengan tulisan dan putusan itu kemauan tiap orang yang bertindak
diselaraskan dengan kehendak orang lain. Cara berfikir ini muncul
pada abad ke-19 sesudah ditinggalkan teori hukum alam dalam bentuk
yang mempengaruhi pikiran hukum selama dua abad, dan filsafat
diminta untuk memberikan satu terhadap kritik susunan sistematik
dan perkembangan detail. k. Hukum dipahamkan sebagai sehimpunan
atau sistem kaidah yang dipikulkan atas manusia di dalam masyarakat
oleh satu kelas yang berkuasa untuk sementara buat memajukan
kepentingan kelas itu sendiri, baik dilakukan dengan sadar maupun
tidak sadar. Interpretasi ekonomis dari hukum ini banyak bentuknya.
Di dalam satu bentuk yang idealistis, yang dipikirkannya adalah
pengembangan satu gagasan ekonomi yang tak dapat dihindarkan. Di
dalam satu bentuk sosiologis mekanis, pikirannya dihadapkan pada
perjuangan kelas atau satu perjuangan untuk hidup di lapangan
perekonomian, dan hukum adalah akibat dari pekerjaan tenaga atau
hukum yang terlibat atau menentukan perjuangan serupa itu. Di dalam
betuk Positivistis-Analistis, hukum dipandang sebagai perintah dari
pemegang kedaulatan, tetapi perintah itu seperti yang ditentukan
isi ekonomisnya oleh kemauan kelas yang berkuasa, pada gilirannya
ditentukan oleh kepentingan mereka sendiri. Semua bentuk ini
terdapat dalam masa
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
46
peralihan dari stabilitas kematangan hukum ke satu masa
pertumbuhan baru. Apabila gagasan bahwa hukum dapat mencukupkan
keperluan sendiri telah ditinggalkan, dan orang mulai mencoba
menghubungkan ilmu hukum dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, yang
lebih dulu menonjol ialah hubungan dengan ilmu ekonomi. Tambahan
lagi pada masa undang-undang banyak dibuat peraturan
perundang-undangan yang dundangkan mudah dianggap orang sebagai
type darimperintah hukum, dan satu percobaan hendak membentuk satu
teori tentang pembuatan undang-undang oleh badan legislatif
dianggap memberikan uraian tentang semua hukum. l. Akhirnya ada
satu gagasan tentang hukum sebagai perintah dari undangundang
ekonomi dan sosial yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia di
dalam masyarakat, yang ditemukan oleh pengamatan, dinyatakan dalam
perintah yang disempurnakan oleh pengalaman manusia mengenai apa
yang akan terpakai dan apa yang tidak terpakai di dalam
penyelenggaraan peradilan. Teori type ini terdapat pada akhir abad
ke-19, tatkala orang mulai mencari dasar fisik dan biologis, yang
dapat ditemukan oleh pengamatan, dan bukan lagi dasar metafisik,
yang ditemukan oleh perenungan filsafat. Satu bentuk lain menemukan
satu kenyataan sosial yang terakhir dengan pengamatan dan
mengembangkan kesmpulan yang logis dari kenyataan itu, mirip
seperti yang dilakukan oleh sarjana hukum metafisika. Ini adalah
akibat lagi dari suatu kecenderungan dalam tahun mutakhir yang
hendak mempersatukan ilmu-ilmu sosial, yang lebih besar kepada
teori-teori sosiologi. Keduabelas konsepsi tentang hukum tersebut
terkait dengan teorinya yang dikenal dengan Law as a tool of social
engineering. Untuk itu, Pound membuat penggolongan atas
kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai
berikut:2 1) Kepentingan Umum (Public Interest), terdiri dari:
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum,
Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 129130.
2
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
47
a) kepentingan negara sebagai badan hukum; b) kepentingan negara
sebagai penjaga kepentingan masyarakat. 2) Kepentingan Masyarakat
(Social Interest): a) kepentingan akan kedamaian dan ketertiban; b)
perlindungan lembaga-lembaga sosial; c) pencegahan kemerosotan
akhlak; d) pencegahan pelanggaran hak; e) kesejahteraan sosial. 3)
Kepentingan Pribadi (Private Recht): a) kepentingan individu; b)
kepentingan keluarga; c) kepentingan hak milik. Dari klasifikasi
tersebut dapat ditarik dua hal penting, yaitu: Pertama, Pound
mengikuti garis pemikiran yang berasal dari von Jhering dan
Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai ke arah
tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial.
Penggolongan kepentingan tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan
dari apa yang telah dilakukan Jhering. Oleh karena itu, dilihat
dari hal tersebut, Pound dapat pula digolongkan ke dalam alairan
Utilitarianisme dalam kapasitasnya sebagai penerus Jhering dan
Bentham. Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan
premis-premis hukum, sehingga membuat pembentuk undng-undang,
hakim, pengacara, dan pengajar hukum menyadari prinsip-prinsip dan
nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan khusus. Dengan
kata lain, klasifikasi tersebut membantu
menghubungkan antara prinsip hukum dan praktiknya.
2. Tujuan Hukum Secara Tradisional Tujuan hukum sudah timbul di
dalam pemikiran yang sadar, kita mengenal tiga gagasan dalam
sejarah hukum. a. Ketertiban Hukum Tujuan hukum yang paling
sederhana ialah hukum diadakan supaya terjaga ketenteraman dalam
masyarakat tertentu, tujuan hukum yang demikian ini
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
48
sangat penting artinya bagi masyarakat, karena dalam masyarakat
yang disusun dalam suatu kekerabatan, yang acapkali di dalamnya
terjadi benturanbenturan kepentingan sehingga timbul perselisihan.
b. Menjaga Perdamaian: Tujuan hukum ialah untuk menjga perdamaian
dalam keadaan bagaimana saja, dan dipelihara dengan mengorbankan
apa saja. Pengertian hukum yang demikian ini disebut sebagai hukum
yang primitif, alasannya ialah bahwa perdamaian antara kekerabatan
yang satu dengan kekerabatan lain , antara orang-orang yang sekutu,
dan penduduk yang bertambah banyak. Sehingga dimungkinkan terjadi
benturan-benturan kepentingan. Oleh karena itu, hukum dibentuk. c.
Mencegah Pergeseran dalam Masyarakat: Tujuan hukum ketiga ini
timbul, untuk mencegah pergeseran anatar sesama masyarakat. Hal ini
disebabkan sistem kekerabatan semakin hilang dan digeser oleh
orang-orang yang kehilangan kekerabatan serta para pendatang,
sementara itu orang-orang yang memiliki kekerabatan masih berkuasa,
sehingga gagasan mengenai tujuan hukum ketiga dapat juga disebut
untuk menjaga ketertiban sosial.
3. Tujuan Hukum Secara Modern Seiring dengan perkembangan
ekonomi dalam masyarakat, semakin terasa akan adanya perlindungan
hukum untuk kegiatan yang terkait ekonomi, yaitu: a. Tujuan
Penyingkiran Pembatasan Kegiatan Ekonomi yang Bebas: Hukum
ditujukan untuk menyingkirkan pembatasan terhadap kegiatan ekonomi
yang bebas, yang bertumpuk-tumpuk selama jaman pertengahan sebagai
insiden dari sistem kewajiban di dalam hubungan antar manusia dan
sebagai pengucapan dari gagasan tentang penetapan orang
masing-masing di dalam suatu masyarakat yang statis. b. Tujuan
Konstruktif: Tujuan ini berkembang pada saat hukum dagang
memberikan efek kepada apa yang dilakukan orang menurut
kehendaknya, yang menilik niat bukan di tempatnya
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
49
bentuknya, yang menafsirkan keamanan umum sebagai keamanan bagi
transaksi dan mencoba melaksanakan kemauan tiap orang untuk
menciptakan akibat hukum. Tujuan konstruktif ini dikembangkan dari
hukum Romawi dan kebiasaan saudagar dengan perantaraan teori hukum
mengenai hukum alam. c. Menjaga Kestabilan: Pada akhir abad ke-19,
timbul pandangan hukum adalah keburukan, karena pada hakekatnya
hukum mengekang kebebasan orang, sehingga para sarjana hukum dan
pembuat undang-undang dengan senang hati membiarkan masyarakat
melakukan kemauannya untuk mencapai kesenangannya maupun
kesengsaraannya. Oleh karena itu pada akhir abad ke-19 gagasan
hukum yang ada dipergunakan untuk mencapai kebebasan secara
maksimum.
3.
Latihan Soal a. Ada berapa konsepsi hukum yang dikemukakan oleh
Roscoe Pound? b. Sebut dan jelaskan secara singkat keduabelas
konsepsi hukum yang dikemukakan oleh Roscoe Pound! c. Mengapa
Roscoe Pound juga digolongkan ke dalam tokoh aliran
Utilitarianisme? Jelaskan! d. Di mana letak perbedaan tujuan hukum
yang tradisional dan yang modern?
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
50
DAFTAR PUSTAKA
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad
radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996. Darmodiharjo, Darji &
Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1995.
Doc./Modul/Fils. Hk./Univ. Narotama Surabaya/V/2005
51
BAB V KEADILAN DAN HUKUM YANG BENAR DAN ADIL Tujuan
Instruksional Umum: Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa
dapat : 1. Memahami bermacam-macam arti keadilan. 2. Memahami
pengertian hukum yang benar dan adil.
Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelaj