Page 1
TEORI DISONANSI KOGNITIF
&
TEORI PELANGGARAN HARAPAN
Mata Kuliah : Teori Komunikasi
Dr. Sumardi Dahlan, Ir., M.Si
Disusun Oleh : Kelompok 5 (Lima) - 2 PIK 3
Ari Chandren Mohan (14130170)
Intan Purnamasari (14130167)
Denny Effendy (14130258)
Dian Rosa Rina (14130166)
UNIVERSITAS BUNDA MULIA
@JAKARTA 2014
Page 2
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Kita Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, atas Berkat, Rahmat dan Kuasa-Nya maka tugas Makalah
dengan Thema : “Teori Disonansi Kognitif & Teori Pelanggaran
Harapan” dalam Mata Kuliah Teori Komunikasi ini dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Dewasa ini minat seseorang untuk dapat mempelajari dan
mendalami Ilmu Komunikasi semakin luas. Bukan saja dikalangan
Mahasiswa tetapi juga dikalangan anggota masyarakat umum
lainnya, apakah itu lewat sebuah seminar, diskusi ataupun pelatihan
khusus mengenai Komunikasi itu sendiri.
Namun, ketika seorang Komunikator dan Komunikan yang
menjalin Komunikasi, tak jarang pula ditemukannya sebuah rasa
ketidaknyamanan diantara keduanya. Hal ini tentunya mungkin saja
terjadi, karena didukung oleh Teori – Teori yang telah ada, seperti
Teori Disonansi Kognitif dan Teori Pelanggaran Harapan yang akan
kita bahas didalam Makalah ini.
Oleh karena hal tersebut, Team Penulis bertujuan untuk
memberikan pemahaman serta penalaran yang baik tentang Teori
Komunikasi Disonansi Kognitif dan Teori Pelanggaran Harapan.
Semoga Makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua.
Atas dukungan dan perhatiannya Kami Ucapkan Terima Kasih
kepada Bapak Dosen yang sudah membimbing dan memberikan
pengarahan serta rekan – rekan kelas sekalian.
TEAM PENULIS
I
Page 3
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI II
BAB I : PENDAHULUAN 1
a. Latar Belakang Komunikasi 03
b. Tujuan Komunikasi dalam Kehidupan 04
c. Manfaat Komunikasi dalam kehidupan Manusia 05
BAB II : MATERI & PEMBAHASAN
a. Teori Disonansi Kognitif 07
b. Teori Pelanggaran Harapan 24
BAB III : KESIMPULAN & SARAN
a. Kesimpulan 44
b. Saran 47
DAFTAR PUSTAKA 48
II
Page 4
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin
berhubungan dengan manusia lainnya untuk dapat berinteraksi
dengan sesamanya. Ia ingin mengetahui bagaimana keadaan
lingkungan sekitarnya, bahkan juga ingin mengetahui apa yang
sedang terjadi didalam diri pribadinya. Rasa ingin tahu inilah
memaksa manusia untuk perlu melakukan Komunikasi dan Interaksi.
Komunikasi yang merupakan sebagai salah satu kegiatan
yang dilakukan dalam keseharian yang dilaksanakan oleh masing -
masing individu sangat berhubungan erat dengan perilaku, watak
ataupun karakter individu itu sendiri. Tak jarang pula didalam
kesahariannya seorang Komunikator dan Komunikan yang menjalin
Interaksi timbul Perbedaan perilaku perindividu masing - masing
didalam melakukan komunikasi tersebut, atau juga berhubungan
dengan orang lain yang merupakan situasi dimana berkaitan dengan
psikologis (psikis / kejiwaan) individu itu sendiri.
Dalam hidup bermasyarakat, orang yang tidak pernah
berkomunikasi dengan orang lain niscaya akan terisolasi dari
masyarakatnya. Pengaruh keterisolasian ini akan menimbulkan
depresi mental yang pada akhirnya membawa orang kehilangan
keseimbangan jiwa. Oleh sebab itu menurut Dr.Everett Kleinjan dari
East West Center Hawaii, komunikasi sudah merupakan bagian
kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernafas yang
1
Page 5
dilakukan dan dibutuhkan oleh semua manusia. Sepanjang manusia
ingin hidup, ia perlu berkomunikasi untuk melangsungkan hidupnya.
Banyak pakar meniai bahwa komunikasi adalah suatu
kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup
bermasyarakat. Profesor Wilbur Schramm menyebutnya bahwa
komunikasi dan masyarakat adalah dua kata kembar yang tidak
dapat dipisahkan antara satu sama yang lainnya. Sebab komunikasi
tidak mungkin masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat
maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan Komunikasi.
Atas dasar tersebut, maka timbulah beberapa Teori dan
statement – statement yang dicetuskan oleh beberapa para ahli
dibidang Komunikasi, maupun yang berasal dari cabang Ilmu lainnya
yang mencakup paham Komunikasi. Seperti Teori Disonansi Kognitif
yang salah satu statementnya dicetuskan oleh Leon Festinger yang
merupakan seorang ahli psikologi (psikolog), ataupaun Teori
Pelanggaran Harapan yang dicetuskan oleh Judee Burgoon.
Tujuan utama dari dikuatkannya Teori – Teori Komunikasi
yang ada ialah untuk kita yang bertindak sebagai Komunikator
ataupun Komunikan agar dapat memahami, menjalani dan
mengaplikasikan Komunikasi tersebut dengan baik dan benar serta
juga mengatasi segala permasalahan - permasalahan yang ada
pada jalinan Komunikasi sendiri, seperti rasa ketidaknyamanan yang
terjadi diantara Komunikan dan Komunikator yang sedang menjalin
Interaksi.
2
Page 6
A. Latar Belakang Komunikasi
Komunikasi merupakan konsep atau pengertian yang Multi
Makna. Komunikasi adalah “suatu proses dimana seseorang atau
beberapa orang, kelompok, organisasi dan masyarakat menciptakan,
dan menggunakan informasi tersebut agar terhubung dengan
lingkungan orang lain atau sekumpulan orang banyak”.
Pada umumnya Komunikasi dilakukan secara lisan atau
Verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak
ada bahasa Verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya,
Komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak –
gerik badan (Body Language / Gesture Tubuh), menunjukkan sikap
tertentu, misalnya tersenyum untuk memberi arti menyapa atau
merespon seseorang, menggelengkan kepala untuk memberi arti
ketidak mengertian pada suatu pembicaraan, mengangkat bahu
untuk menyatakan tidak tahu dalam sebuah pertanyaan. Cara seperti
ini disebut juga dengan Komunikasi bahasa Non Verbal.
Komunikasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses
penyampaian Informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak
kepihak lain. Dengan adanya Komunikasi didalam kehidupan
bermasyarakat, maka sebuah Informasi lebih mudah diperoleh dan
lebih cepat berkembang luas. Hal ini juga didukung oleh beberapa
faktor media atau perangkat komunikasi yang semakin hari semakin
canggih, misalnya : Telepon genggam dengan spesifikasi terup to
date hingga connectivitas Interet yang semakin mudah ditemui.
3
Page 7
B. Tujuan Komunikasi dalam Kehidupan
Didalam kehidupan keseharian manusia, baik dia muda, tua
ataupun seseorang yang bisa dikatakan sudah lanjut usia pasti
memiliki tujuan dalam hidupnya untuk bisa menentukan mana yang
terbaik buat dirinya sendiri dan orang – orang yang berada
disekitarnya, misalnya Keluarga dimasa yang akan datang.
Disini terlihat jelas, bahwa Komunikasi dengan
kepribadiannya sendiri (Intrapersonal Communication) dan dengan
orang – orang yang berada disekitarnya (Intrapersonal
Communication) sangat berperan penting dalam menentukan hasil
terbaik pula dari tujuan yang telah direncanakannya tersebut.
Begitu juga dengan Komunikasi, setiap orang yang
melakukan interaksi atau komunikasi dengan orang lain atau
sekumpulan orang pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu
didalamnya. Apakah itu berpengaruh positif bagi keduanya atau
bahkan juga pengaruh negatif.
Sifat manusia untuk menyampaikan keinginannya dan untuk
mengetahui hasrat orang lain, merupakan awal keterampilan
manusia berkomunikasi agar bisa terwujudnya sebuah interaksi
tersebut. Namun bukanlah sebuah hal yang mudah untuk kita bisa
mengaplikasikan maksud dan tujuan kita terhadap lawan bicara
tanpa kita dibekali teknik – teknik berkomunikasi yang baik dan benar
agar dapat diterima oleh dia lawan bicara kita.
4
Page 8
Singkat kata, Dewasa ini bisa dikatakan Keberhasilan dan
Kegagalan seseorang dalam mencapai tujuan hidup dan sesuatu
yang diinginkannya termasuk didalam dunia karier / pekerjaan,
pendidikan serta kehidupan sosial, banyak ditentukan dalam
kemampuannya menjalin komunikasi dengan lingkungan sekitar.
C. Manfaat Komunikasi dalam Kehidupan Manusia
Dalam kehidupan sehari - hari, komunikasi yang baik sangat
penting untuk berinteraksi antar personal maupun antar masyarakat
agar terjadi keserasian dan mencegah konflik dalam lingkungan
masyarakat. Misalnya Dalam hubungan bilateral antar negara
diperlukan juga komunikasi yang baik agar hubungan tersebut dapat
berjalan dengan baik dan lancar. Contohnya : Manfaat komunikasi
adalah dalam hubungan kerjasama antar Negara, seperti yang baru
– baru ini terjadi didalam pencarian pesawat Malaysia Airlines (MAS)
MH370 yang hilang beberapa pekan lalu. Ikut sertanya beberapa
Negara seperti Australia, Amerika, China serta Malaysia sendiri
merupakan dampak positif yang timbul dari manfaat Komunikasi.
Sebaliknya, Miss Communication (terjadinya kesalahan
dalam salah satu proses komunikasi) akan menyebabkan tidak
tercapainya tujuan atau misi yang hendak di capai. Seperti yang
terjadi dalam hubungan Indonesia dengan Australia, dimana pihak
Australia menganggap pernyataan Indonesia mengenai “Negara
Bebas Teroris” di terjemahkan oleh Australia sebagai “Indonesia
5
Page 9
Gudang Teroris”. Hal ini menyebabkan dampak yang kurang baik
dalam hubungan kedua negara tersebut. Dari kedua contoh di atas
dapat kita simpulkan bahwa komunikasi sangat penting dalam
berbagai aspek kehidupan. Contoh lain dalam pendidikan seperti
hubungan dosen dengan mahasiswa, dengan adanya
komunikasi,maka kegiatan belajar - mengajar akan berlangsung
dengan baik dan lancar.
Intinya, manfaat Komunikasi di dalam Kehidupan
bermasyarkat Manusia sangat berguna bagi kelangsungan hidupnya
didalam dunia bersosialisasi, berpendapat / berargumen, beradaptasi
serta berinteraksi dengan sesamanya.
6
Page 10
BAB II
MATERI & PEMBAHASAN
A. Teori Disonansi Kognitif
Teori Disonansi Kognitif pertama kali diperkenalkan oleh
Leon Festinger pada tahun 1957 dan berkembang pesat sebagai
sebuah pendekatan dalam memahami area umum dalam
Komunikasi dan pengaruh sosial. Ada terdapat beberapa Teori
dalam menjelaskan konsistensi atau keseimbangan, diantarnya
adalah Teori Ketidakseimbangan Kognitif (cognitive imbalance
theory) oleh Heider pada tahun 1946, Teori Asimetri (asymetry
theory) oleh Newcomb pada tahun 1953, dan Teori Ketidakselarasan
(incongruence) oleh Osgood dan Tannembaum pada tahun 1952.
Namun Shaw & Contanzo pada tahun 1985 mengatakan
bahwa Teori Disonansi Kognitif memiliki dua perbedaan hal penting
yang terdapat didalam proses Teori ini, yaitu :
1. Tujuannya, yang dimaksudkan untuk memahami hubungan
tingkah laku (behavior) dan Kognitif (cognitive) secara umum,
tidak hanya merupakan sebuah teori dari tingkah laku sosial.
2. Pengaruhnya, dalam sebuah penelitian Psikologi yang dilakukan
oleh pakar psikolog, suatu hubungan sosial telah menjadi suatu
hal yang sangat besar dibandingkan teori konsistensi lainnya,
jika memiliki perbandingan.
7
Page 11
Menurut Festinger (1957) disonansi kognitif adalah
ketidaksesuaian yang terjadi antara dua elemen kognitif yang tidak
konsisten yang menyebabkan ketidaknyamanan Psikologis serta
memotivasi orang untuk berbuat sesuatu agar disonansi itu dapat
dikurangi. Istilah disonansi / disonan berkaitan dengan istilah
konsonan dimana keduanya mengacu pada hubungan yang ada
antara dua buah elemen.
Elemen - elemen yang dimaksud adalah elemen kognitif
yaitu Hubungan antara elemen kognitif yang konsonan berarti
adanya suatu kesesuaian antara elemen kognitif manusia (Festinger,
1957 dalam Breckler, Olson, & Wiggins, 2006). Sementara hubungan
yang disonan seperti yang juga diungkapkan oleh Festinger (1957) :
“These two elements are in a dissonant relation if,
considering these two alone, the observe of one element would
follow from the other”
Kedua elemen yang dimaksud oleh Festinger (1957) ialah :
1. Hubungan tidak relevan (irrelevant), yaitu tidak adanya kaitan
antara dua elemen Kognitif. Misalnya : pengetahuan bahwa
merokok buruk bagi kesehatan dengan pengetahuan bahwa
Indonesia tidak pernah turun salju. Dapat kita lihat, bahwa dua
hal ini tidak memiliki kaitan antara satu sama lain. Yang mana
pengetahuan merokok itu buruk ditujukan untuk para perokok,
dan pengetahuan Indonesia tidak pernah turun salju ditujukan
untuk siapa saja dan bersifat umum.
8
Page 12
2. Hubungan relevan (relevant), yaitu hubungan yang berkaitan
antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu elemen
mempunyai dampak terhadap elemen yang lainnya. Hubungan
initerdiri dari dua macam, yaitu :
1. Disonan, jika dari kedua elemen Kognitif, satu elemen diikuti
penyangkalan (observe) dari yang elemen lainnya. Contoh :
seseorang yang mengetahui bahwa bila terkena hujan akan
basah mengalami disonan ketika pada suatu hari ia
mendapati dirinya tidak basah saat ia terkena hujan.
2. Konsonan, terjadi ketika dua elemen bersifat relevan dan
tidak disonan, dimana satu Kognisi diikuti secara selaras.
Contoh : seseorang yang mengetahui bahwa bila terkena
hujan akan basah dan memang selalu basah bila terkena
hujan.
Contoh hubungan yang disonan antara elemen kognitif
menurut Festinger (1957) yaitu jika seseorang tahu bahwa ia sedang
terlilit hutang dan dia membeli sebuah mobil baru, maka akan
terjadilah sesuatu yang disebut dengan hubungan yang disonan
antara kedua elemen kognitif tersebut, yaitu antara terlilit hutang
yang lebih banyak dan adanya hasrat untuk memiliki mobil baru.
Festinger juga menyatakan bahwa hubungan yang konsonan
antara elemen kognitif menghasilkan perasaan yang menyenangkan,
sementara hubungan yang disonan akan menyebabkan perasaan
9
Page 13
yang tidak enak atau tidak nyaman pada individu. Perasaan tidak
nyaman yang terbentuk akibat hubungan yang disonan tersebut
memotivasi individu untuk melakukan sesuatu agar disonansi itu
dapat dikurangi sehingga mereka akan merasa nyaman kembali
(1957, dalam Breckler, Olson, & Wiggins, 2006).
Setiap hubungan yang disonan tentu saja tidak sama
besarnya, dimana Festinger (dalam Breckler, Olson, & Wiggins,
2006) menyatakan bahwa tingkat kepentingan dari elemen - elemen
Kognitif mempengaruhi besarnya disonansi yang terjadi. Semakin
penting atau semakin bernilainya suatu elemen kognitif akan
mempengaruhi besarnya hubungan yang disonan antara elemen
tersebut. Breckler, Olson, & Wiggins (2006) juga menyatakan bahwa
disonansi antara elemen - elemen kognitif yang penting akan
menyebabkan perasaan negatif yang lebih besar dibandingkan
disonansi yang terjadi pada elemen - elemen yang kurang penting.
Sebagai salah satu contoh ilustrasinya yaitu, ketika kita
melukai perasaan sahabat, teman ataupun kekasih akan lebih
menimbulkan disonansi yang lebih besar dibanding ketika melukai
perasaan orang asing yang baru kita kenal ataupun yang belum
sama sekali kita ketahui siapa orang tersebut.
Komunikasi memang merupakan suatu kebutuhan dasar
manusia. Sejak lahir dan selama Manusia menjalani proses
kehidupannya, Manusia akan selalu terlibat dalam tindakan -
tindakan Komunikasi. Tindakan komunikasi dapat terjadi dalam
10
Page 14
berbagai konteks kehidupan manusia, mulai dari kegiatan yang
bersifat individual, di antara dua orang atau lebih, kelompok,
keluarga, organisasi dalam konteks publik secara lokal, nasional,
regional dan global atau melalui media massa.
Begitu pula dengan Teori Disonansi Kognitif ini, prakata dan
statement real yang dicetuskan para ahli seperti Festinger, dapat
terjadi dengan siapa saja yang melakukan Interaksi dan menjalin
Komunikasi, baik itu secara interpersonal maupun intrapersonal.
Tanpa memperhatikan ruang Komunikasi yang ada, hanya perlu
memahami sikap, perilaku, karakter, sifat dan watak diri sendiri
ataupun orang lain yang menjadi lawan bicara kita.
Karena Teori Disonansi Kognitif menjadi salah satu
penjelasan yang paling luas yang diterima terhadap perubahan
tingkah laku dan banyak perilaku sosial lainnya. Teori ini telah di
genralisir pada lebih dari seribu penelitian dan memiliki kemungkinan
menjadi bagian yang terintegrasi dari teori psikologi sosial untuk
bertahun – tahun, seperti yang dikatakan oleh Cooper & Croyle pada
tahun 1984 dan dalam Vaughan & Hogg tahun 2005.
11
Page 15
PENGERTIAN SECARA TEORITIS
Leon Festinger yang merupakan seorang pakar Psikolog, pada
tahun 1957 menyatakan bahwa Kognitif menunjuk pada setiap
bentuk pengetahuan, opini, keyakinan ataupun perasaan
mengenai diri seseorang atau lingkungan dimana seseorang itu
berada. Elemen – elemen Kognitif ini berhubungan dengan hal –
hal nyata atau pengalaman sehari – hari dilingkungan dan hal –
hal yang terdapat dalam dunia psikologis (psikis) seseorang.
Wibowo dalam sebuah buku karangan Sarwono, S.W. pada
tahun 2009, mendefinisikan Disonansi Kognitif sebagai keadaan
tidak nyaman akibat adanya ketidaksesuaian antara dua sikap
atau lebih serta antara sikap dan tingkah laku.
Roger brown pada tahun 1965 mengatakan, dasar dari teori ini
adalah mengikuti sebuah prinsip yang cukup sederhana, yaitu :
”Keadaan Disonansi Kognitif dikatakan sebagai keadaan
ketidaknyaman Psikologis atau ketegangan yang memotivasi
usaha - usaha untuk mencapai konsonansi”. Disonansi sendiri
menurut beliau adalah sebutan untuk menyampaikan
ketidakseimbangan dan Konsonansi merupakan sebutan untuk
menyatakan keseimbangan yang terjadi. Brown menyatakan
Teori ini memungkinkan dua elemen untuk melihat tiga
hubungan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
12
Page 16
KONSEP TEORI DISONANSI KOGNITIF
Ketika Teoretikus Disonansi berusaha untuk melakukan
prediksi seberapa banyak ketidaknyaman atau disonansi yang
dialami seseorang, mereka mengakui adanya konsep tingkat
disonansi. Tingkat disonansi (magnitude of dissonance) merujuk
kepada jumlah kuantitatif disonansi yang dialami oleh seseorang.
Tingkat disonansi akan menentukan tindakan yang akan diambil
seseorang dan kognisi yang mungkin ia gunakan untuk mengurangi
disonansi tersebut. Teori CDT (Cognitive Dissonant Theory) dapat
dikatakan juga sebagai sisi untuk membedakan antara situasi yang
menghasilkan lebih banyak disonansi dan situasi yang menghasilkan
lebih sedikit konsonansi.
Kembali kepada Festinger (1957), beliau pernah
mengemukakan, bahwa jia Dua orang Individu yang memiliki situasi
yang sama memiliki kemungkinan berada dalam suatu kondisi yang
disonan. Aronson (dalam Shaw & Contanzo, 1985) menyatakan
bahwa perbedaan individu berperan dalam proses disonansi kognitif.
Perbedaan ini terjadi dalam kemampuan subyek dalam mentoleransi
disonansi, cara yang dipilih subyek untuk mengurangi kondisi
disonan, dan cara subyek memandang suatu masalah sebagai
konsonan atau disonan dalam sebuah kepribadian individu.
13
Page 17
ASUMSI TEORITIS DISONANSI KOGNITIF
Teori Disonansi Kognitif memiliki sejumlah Asumsi,
anggapan, presepsi ataupun statement dasar, diantaranya adalah :
1. Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada
keyakinan, sikap, dan perilakunya. Teori ini menekankan pada
sebuah model mengenai sifat dasar dari diri manusia yang
mementigkan adanya stabilitas dan konsistensi.
2. Disonansi diciptakan oleh Inkonsistensi biologis. Teori ini
merujuk pada fakta – fakta yang tidak harus konsisten secara
psikologis (kejiwaan / mental) satu individu dengan individu
lainnya untuk menimbulkan Disonansi Kognitif.
3. Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang
untuk melakukan suatu tindakan dengan dampak - dampak yang
tidak dapat diukur didalamnya. Teori memang ini menekankan
seseorang yang berada dalam kondisi Disonansi memberikan
keadaan yang tidak nyaman, sehingga ia akan melakukan
tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut.
4. Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh
Konsonansi dan usaha untuk mengurangi suatu kondisi
Disonansi. Teori ini beranggapan bahwa rangsangan Disonansi
yang diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari
inkonsistensi tersebut dan mengembalikannya pada konsistensi.
14
Page 18
PENYEBAB TERJADINYA DISONANSI KOGNITIF
Pada tahun yang sama, 1957, Festinger juga menyebutkan
adanya dua situasi umum yang menyebabkan munculnya Disonansi.
Yaitu ketika terjadi peristiwa atau informasi baru dan ketika sebuah
opini atau keputusan harus dibuat, dimana Kognisi dan tindakan
yang dilakukan berbeda dengan opini atau pengetahuan yang
mengarahkan ke tindakan lain. Lebih lanjutnya Festinger
menyebutkan empat sumber Disonansi dari situasi tersebut, yaitu :
1. Inkonsistensi Logika (logical incosistency), yaitu mengenai
Logika Berpikir kita yang mengingkari Logika Berfikir orang lain.
Misalnya, seseorang yang percaya bahwa manusia dapat
mencapai bulan dan juga ada yang percaya bahwa manusia
tidak dapat membuat alat yang dapat membantu keluar dari
atmosphere bumi, possible - impossible.
2. Nilai Budaya (cultural mores), yaitu bahwa Kognisi yang dimiliki
seseorang disuatu budaya kemungkinan akan berbeda dibudaya
lainnya. Misalnya orang Indonesia yang mengetahui bahwa
bersendawa setelah makan merupakan hal yang sangat tidak
sopan dan merupakan hal yang menjijikkan bagi orang yang
berada disekitarnya, disonan dengan kenyataan bahwa hal
tersebut tidak wajar pada Etika makan dibudaya Jepang, yang
memiliki arti bahwa itu mensyukuri atas berkat makanan yang
telah diberikan dan menghargai teman yang ada disekitarnya.
15
Page 19
3. Opini Umum (Opinion Generality), yaitu disonansi mungkin
muncul karena sebuah pendapat yang berbeda dengan yang
menjadi pendapat umum. Misalnya pada saat Pemilihan Umum
seorang anggota partai Demokrat yang dianggap publik pasti
akan mendukung kandidat dari partai yang sama, ternyata lebih
memilih kandidat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
yang merupakan rival dari partainya sendiri.
4. Pengalaman Masa Lalu (past experience), yaitu Disonansi akan
muncul bila sebuah Kognisi tidak konsisten dengan pengalaman
masa lalunya. Misalnya seseorang mahasiswa yang terlambat
masuk kelas tidak diizini oleh Dosen untuk typing (mengisi
absensi), akan mengalami disonan ketika pada suatu hari ada
seorang lain yang terlambat masuk kelas namun ternyata diizini
Dosen untuk mengisi absensi, agar tidak menjadi Alfa.
Keempat hal tersebutlah yang hingga saat ini masih sering
mendominasi untuk terjadinya Disonansi Kognitif, yang mana pada
akhirnya menimbulkan rasa ketidaknyamanan secara psikologi
(psikis) terhadap seseorang, terlebih yang mengalami hal – hal
tersebut secara pribadi.
16
Page 20
IMPLIKASI TEORI DISONANSI KOGNITIF
Didalam buku karangan Shaw & Constanzo pada tahun
1982, Leon Festinger juga mengatakan bahwa Teori Disonansi
Kognitif memiliki Implikasi penting didalam menghadapi banyak
situasi spesifik. Festinger menjabarkan Implikasi – Implikasi tersebut
dalam seseorang mengambil Keputusan (decisions), Forced
Compliance, Pencarian Informasi (Exposure to Information), dan
Dukungan Sosial (Social Support). Dari situasi - situasi tersebut
dapat diketahui besarnya kekuatan sebuah Disonansi.
1. Keputusan (Decisions)
Keputusan (Decisions) termasuk kedalam Implikasi dari
Disonansi Kognitif yang menyatakan bahwa Disonansi Kognitif
merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan dari sebuah
Keputusan (Decisions). Hal tersebut didasari oleh kenyataan bahwa
seorang individual harus berhadapan dengan sebuah situasi konflik
sebelum sebuah keputusan dapat dibuat.
Pada umumnya, elemen Disonan adalah aspek Negatif dari
alternatif yang dipilih dengan aspek positif yang ditolak. Disonansi
akan semakin kuat jika Keputusan (Decisions) semakin penting dan
jika ketertarikan dari alternatif yang tidak dipilih semakin besar.
Contoh dari munculnya disonansi dalam sebuah Keputusan
(Decisions) yang diambil adalah seorang perokok berat yang
memutuskan untuk tetap merokok mengalamin disonan ketika ia
mengalami sakit kanker dan paru – paru akibat merokok (hal negatif
17
Page 21
dari alternatif yang dipilih) dengan hal positif yang akan ia dapat bila
tidak merokok, yaitu kesehatan yang baik (alternatif yang ditolak).
2. Forced Compliance
Forced Compliance merupakan suatu permintaan dari luar
diri seseorang yang dipaksakan kepada seorang individu. Aplikasi
dari Teori disonansi pada Forced Compliance terbatas pada
permintaan publik (Compliance) tanpa disertai oleh perubahan
pendapat pribadi yang ada.
Sumber Disonansi adalah kesadaran seseorang dari tingkah
laku yang diharuskan publik yang tidak konsisten dengan pendapat
pribadi. Forced Compliance ini mempengaruhi individu, misalnya
seorang perokok berat yang membuat keputusan (decisions) untuk
tidak merokok, alhasil dia berhasil mengubahnya (berhenti merokok).
Atau dalam hal nya dapat dikatakan sebagai jalan untuk merubah
perilaku atau ucapan yang tampak terlihat merubah sebuah opini dan
keyakinan mereka dengan tetap memegang keyakinan sebelumnya
(merokok sembunyi – sembunyi atau takut akan bahaya dan dampak
dari merokok), atau justru membuat mereka mencari dukungan
sosial yang mendukung pendapat, opini dan statement yang mereka
miliki (bergabung dengan klub penggemar rokok).
18
Page 22
3. Pencarian Informasi (Exposure to Information)
Festinger memberikan sebuah hipotesis, bahwa pencarian
Informasi secara aktif akan berkorelasi dengan kekuatan sebuah
Disonansi. Disonansi tersebut menyebabkan pencarian sebuah
Informasi menjadi lebih selektif dan terperinci, yaitu seorang individu
akan lebih mencari Informasi yang menyebabkan konsonan dan
menghindari informasi yang menyebabkan disonansi.
Contohnya didalam hal hilangnya pesawat Malaysia Airlines
(MAS) MH370, yang hingga sekarang keberadaan dan posisinya
masih dipertanyakan, walaupun kabar terakhir yang ada mengatakan
kapal terjatuh diseputaran Samudera Hindia. Namun, sampai dimana
kebenaran dan kenyataannya masih belum dapat dipastikan secara
tepat. Maka itu dibutuhkanlah pencarian melalui selektif data lebih
terperinci dan lain sebagainya, hingga diperolehnya sebuah
Informasi yang akurat, terpercaya dan sesuai kenyataan.
4. Dukungan Sosial (Social Support)
Didalam halnya Dukungan Sosial (social support) berperan
dalam mengurangi kondisi Disonan, seperti apa yang dikatakan oleh
Festinger pada tahun yang sama (1957). Disonansi Kognitif akan
dihasilkan oleh seseorang yang mengetahui bahwa orang lain
memiliki opini yang berlawanan dengan opininya.
19
Page 23
PRESEPSI DISONANSI KOGNITIF
Teori Disonansi Kognitif berkaitan dengan proses pemilihan
terpaan (selective exposure), pemilihan perhatian (selective
attention), pemilihan interpretasi (selective interpretation), dan
pemilihan retensi (selective retention), karena teori ini memprediksi
bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan
disonansi. Proses perseptual ini merupakan dasar dari sebuah
penghindaran yang ditujukan.
1. Terpaan Selektif (Selective Exposure)
Mencari informasi yang konsisten yang belum ada,
membantu untuk mengurangi disonansi. Teori Disonansi Kognitif
memprediksikan bahwa orang akan menghindari informasi yang
meningkatkan disonansi dan mencari informasi yang konsisten
dengan sikap serta prilaku mereka.
2. Pemilihan Perhatian (Selective Attention)
Merujuk pada dengan melihat informasi secara konsisten
begitu konsisten itu timbul. Orang memperhatikan informasi dalam
lingkungannya yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya
sementara tidak menghiraukan informasi yang tidak konsisten.
3. Interpretasi Selektif (Selective Interpretation)
Melibatkan penginterpretasikan informasi yang ambigu
sehingga menjadi konsisten. Dengan menggunakan interpretasi
20
Page 24
selektif, kebanyakan orang menginterpretasikan sikap teman
dekatnya sesuai dengan sikap mereka sendiri daripada yang
sebenarnya terjadi (Bescheid&Walster,1978).
4. Retensi Selektif (Selective Retention)
Merujuk pada mengingat dan mempelajari informasi yang
konsisten dengan kemampuannya yang lebih besar dibandingkan
yang kita akan lakukan terhadap informasi yang konsisten dengan
kemampuan yang lebih besar dibandingkan yang kita lakukan
terhadap informasi yang tidak konsisten.
UPAYA MENGATASI DISONANSI KOGNITIF
Adanya Disonansi yang terjadi didalam sebuah Interaksi
maupun jalinan Komunikasi, dapat lebih meningkatkan tekanan
untuk mengurangi atau bahkan mengeleminasi Disonansi yang
terjadi tersebut. Semakin besar suatu Disonansi Kognitif yang terjadi,
maka intensitas perilaku yang dikeluarkan untuk mengurangi
Disonansi tersebut akan semakin meningkat serta perilaku
penghindaran yang dapat meningkatkan Disonansi juga akan
semakin sering dilakukan (Festinger, 1957).
Cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi Disonansi
Kognitif menurut beliau, (Festinger, 1957) yaitu :
21
Page 25
1. Mengubah Elemen Kognitif Tingkah Laku
Ketika disonansi terjadi antara elemen kognisi lingkungan
dengan elemen tingkah laku, disonansi dapat dihilangkan dengan
cara mengubah elemen kognisi tingkah laku agar konsonan dengan
elemen lingkungan. Sebagai contoh adalah orang yang merokok dan
dia tau bahwa rokok dapat menyebabkan kanker paru-paru, akan
berhenti merokok untuk menghilangkan disonansi kognitif yang dia
rasakan. Cara ini paling sering dilakukan, tetapi tidak selalu dapat
dilakukan karena mengubah tingkah laku yang sudah menjadi
kebiasaan tidaklah mudah.
2. Mengubah Elemen Kognitif Lingkungan
Mengubah elemen kognitif lingkungan agar konsonan
dengan elemen kognitif tingkah laku dapat dilakukan untuk
mengurangi atau bahkan menghilangkan disonansi kognitif yang
terjadi. Hal ini tentu saja lebih sulit dibandingkan mengubah elemen
tingkah laku karena individu harus punya kontrol yang cukup
terhadap lingkungannya.
3. Menambah Elemen Kognitif yang Baru
Disonansi kognitif juga dapat dikurangi dengan cara
menambah elemen kognitif yang baru agar konsonan dengan
elemen kognitif yang lain. Dengan menambah elemen kognitif yang
baru maka disonansi kemungkinan akan berkurang dengan
22
Page 26
menurunkan tingkatan dari pentingnya disonansi tersebut.
Contohnya, orang yang merokok dan tau efek negatif dari merokok
akan mengurangi disonansi kognitif yang terjadi dengan cara
mencari informasi terkait perilaku merokok yang dapat menurunkan
disonansi kognitif secara keseluruhan, seperti informasi bahwa
konsumsi minuman keras lebih mematikan dari pada perilaku
merokok. Lewat cara ini berarti individu juga secara aktif menghindari
informasi yang dapat meningkatkan disonansi kognitif yang mereka
alami.
Menurut Breckler, Olson, & Wiggins, (2006) cara mereduksi
atau mengatasi disonansi kognitif tersebut juga dapat dilakukan
lewat Rasionalisasi, yaitu meyakinkan diri sendiri bahwa perilaku
yang dilakukan saat ini atau di masa lampau semuanya masuk akal
dan dapat diterima oleh orang lain.
Sedangkan menurut Simon, Greenberg, & Brehm (1995,
dalam Baron & Byrne, 2000) mengurangi atau mengantisipasi
Disonansi kognitif dapat dilakukan dengan cara Trivialization atau
secara mental meminimalisir tingkat kepentingan dari sikap atau
perilaku yang tidak konsisten, yang juga dapat dilakukan sebagai
teknik untuk mengurangi Disonansi Kognitif yang dialami.
23
Page 27
B. Teori Pelanggaran Harapan
Judee Burgoon (1978, 1983, 1985) dan Steven Jones
(Burgoon & Jones 1976) pertama kali merancang Teori Pelanggaran
Harapan, atau yang pada umumnya lebih dikenal sebagai Teori
Pelanggaran Harapan Nonverbal (Nonverbal Expectancy Violation
Theory / NEV Theory) yang mana bertujuan Untuk menjelaskan
konsekuensi dari perubahan jarak dan ruang pribadi selama interaksi
komunikasi antar pribadi.
Nonverbal Expectancy Violation (NEV) Theory adalah salah
satu teori pertama tentang komunikasi nonverbal yang
dikembangkan oleh sarjana komunikasi. NEV Theory secara terus
menerus ditinjau kembali dan diperluas. Dewasa ini teori NEV
digunakan untuk menjelaskan suatu cakupan luas dari hasil
komunikasi yang dihubungkan dengan pelanggaran harapan tentang
perilaku komunikasi nonverbal (Infante, 2003: 177).
Judee K. Burgoon adalah Profesor Komunikasi dari
Universitas Arizona AS dan merupakan salah seorang teoritikus
wanita yang paling tekun dalam meneliti berbagai dimensi
komunikasi nonverbal sepanjang dasawarsa 1970-an hingga 1990-
an. Pemikirannya yang tersebar dalam ratusan artikel yang dimuat
dalam jurnal dan buku - buku komunikasi memberikan pengaruh
yang besar dalam membentuk pemahaman kita tentang berbagai
aspek komunikasi nonverbal dewasa ini.
24
Page 28
Ada kisah unik dibalik ketertarikan Burgoon pada bidang
komunikasi nonverbal. Ceritanya ketika masih kuliah di tingkat
sarjana di Universitas West Virginia Amerika Serikat, Burgoon
termasuk mahasiswi yang sangat cerdas tapi kurang menyukai topik
- topik mata kuliah yang berkaitan dengan komunikasi nonverbal.
Celakanya dalam mata kuliah seminar yang diikutinya salah seorang
dosen justru memintanya untuk mengupas topik tentang komunikasi
nonverbal. Merasa tidak punya pilihan akhirnya dengan segala
kesungguhan (dan juga keterpaksaan) Burgoon membaca semua
literatur yang ada.
Hasilnya ternyata luar biasa, la tidak saja berhasil
menyelesaikan tugas tersebut dengan bobot akademis yang tinggi
tetapi juga membekaskan minat yang mendalam untuk melakukan
penelitian komunikasi nonverbal lebih lanjut khususnya tentang
penggunaan ruang dan jarak dalam berkomunikasi.
Studi tentang penggunaan ruang dan jarak dalam
berkomunikasi atau lebih populer disebut Proksemik sebenarnya
telah dikembangkan oleh Edward T. Hall sejak tahun 1960-an.
Dalam teorinya, Hall membedakan empat macam jarak yang
menurutnya mengambarkan ragam jarak komunikasi yang
diperbolehkan dalam kultur Amerika yakni jarak intim (0 – 18 inci),
jarak pribadi (18 inci – 4 kaki), jarak sosial (4 -10 kaki), dan jarak
publik (lebih dari 10 kaki).
25
Page 29
Terkait dengan keempat macam jarak tersebut kemudian
timbul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut; Apa yang akan terjadi
ketika seseorang menunjukkan tingkah laku nonverbal yang
mengejutkan atau diluardugaan? atau bagaimana persepsi
seseorang terhadap tingkah laku nonverbal yang mengejutkan
tersebut bila dikaitkan dengan dayatarik antarpribadi?. Berawal dari
pertanyaan semacam itulah kemudian Burgoon meneliti perilaku
komunikasi nonverbal masyarakat Amerika yang menghantarkannya
pada penemuan sebuah teori yang kemudian dikenal sebagai
Nonverbal Expectancy Violation Theory (NEV Theory).
Teori tersebut untuk pertama kalinya diuraikan secara
panjang lebar dalam tulisan Burgoon bertajuk A Communication
Model of Personal Space Violations : Explication and An Initial Test
yang diterbitkan dalam Jurnal Human Communication Research
volume 4 tahun 1978
ESENSI TEORI
Teori ini bertolak dari keyakinan bahwa kita memiliki harapan
- harapan tertentu tentang bagaimana orang lain sepatutnya
berperilaku atau bertindak ketika berinteraksi ataupun menjalin
komunikasi dengan kita. Kepatutan tindakan tersebut pada
prinsipnya diukur berdasarkan norma-norma sosial yang berlaku
atau berdasarkan kerangka pengalaman kita sebelumnya (Field of
Experience). Terpenuhi atau tidaknya ekspektasi ini akan
26
Page 30
mempengaruhi bukan saja cara interaksi kita dengan mereka tapi
juga bagaimana penilaian kita terhadap mereka serta bagaimana
kelanjutan hubungan kita dengan mereka
Bertolak dari pernyataan diatas kemudian Teori ini
berasumsi bahwa setiap orang memiliki harapan - harapan tertentu
pada perilaku Nonverbal orang lain. Jika harapan tersebut dilanggar
maka orang akan bereaksi dengan memberikan penilaian positif atau
negatif sesuai karakteristik pelaku pelanggaran tersebut.
Sebuah contoh kecil mungkin akan memperjelas
pemahaman anda tentang asumsi teori ini. Anggaplah anda seorang
gadis jujur yang sedang ditaksir oleh dua orang pemuda. Anda tidak
bingung karena jelas anda hanya menyukai salah seorang diantara
mereka. Apa yang terjadi ketika pemuda yang anda senangi tersebut
menemui anda dan berdiri terlalu dekat sehingga melanggar jarak
komunikasi antarpribadi yang diterima secara normatif? Besar
kemungkinan anda akan menilainya secara positif. Itulah tanda
perhatian yang tulus atau itulah perilaku pria sejati ujar anda. Namun
bagaimana halnya bila yang melakukan tindakan tersebut pria yang
bukan anda senangi? Tentunya Anda akan bereaksi secara negatif.
Anda akan mengatakan bahwa orang itu tidak tahu sopan santun
atau mungkin dalam hati anda akan berujar “Dasar lu, kagak tahu diri
dan tidak punya sopan santun terhadap wanita!”
27
Page 31
Jadi kita menilai suatu pelanggaran didasarkan pada
bagaimana perasaan kita pada orang tersebut. Bila kita menyukai
orang tersebut maka besar kemungkinan kita akan menerima
pelanggaran tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan menilainya
secara positif. Sebaliknya bila sumber pelanggaran dipersepsi tidak
menarik atau kita tidak menyukainya maka kita akan menilai
pelanggaran tersebut sebagai sesuatu yang negatif.
Menurut NEV Theory, beberapa faktor saling berhubungan
untuk mempengaruhi bagaimana kita bereaksi terhadap pelanggaran
dari jenis perilaku nonverbal yang kita harapkan untuk menghadapi
situasi tertentu . Ada tiga konstruk pokok dari teori ini yakni ;
Harapan (Expectancies), Valensi Pelanggaran (Violations Valence),
dan Valensi Ganjaran Komunikator (Communicator Reward Valence)
(Griffin, 2004: 88).
1. Expectancies (Harapan)
Faktor Teori Pelanggaran Harapan (NEV Theory) yang
pertama adalah mengenai bagaimana cara kita untuk
mempertimbangkan harapan yang kita empuhnya. Melalui norma -
norma sosial kita membentuk ”harapan” tentang bagaimana orang
lain (perlu) bertindak secara nonverbal (dan secara lisan) ketika kita
saling berinteraksi dengan mereka. Harapan merujuk pada pola -
pola komunikasi yang diantisipasi oleh individu berdasarkan pijakan
normatif masing - masing individu atau pijakan kelompok. Jika
perilaku orang lain menyimpang dari apa yang kita harapkan secara
28
Page 32
khas, maka suatu pelanggaran pengharapan telah terjadi. Apapun
“yang diluar kebiasaan” menyebabkan kita untuk mengambil reaksi
khusus (menyangkut) perilaku itu. Sebagai contoh, kita akan
berekasi (dan mungkin dengan sangat gelisah / tidak nyaman) jika
seorang asing meminta berdiri sangat dekat dengan kita. Dengan
cara yang sama, kita akan bereaksi lain jika orang yang penting
dengan kita berdiri sangat jauh sekali dari kita pada suatu pesta.
Dengan kata lain kita memiliki harapan terhadap tingkah laku
nonverbal apa yang pantas dilakukan orang lain terhadap diri kita.
Jika perilaku nonverbal seseorang, ketika berkomunikasi dengan
kita, sesuai atau kurang lebih sama dengan pengharapan kita, maka
kita akan merasa nyaman baik secara fisik maupun psikologis.
Persoalannya adalah tidak selamanya tingkah laku orang lain sama
dengan apa yang kita harapkan. Bila hal ini terjadi, maka akan terjadi
gangguan psikologis maupun Kognitif dalam diri kita baik yang
sifatnya positif ataupun negatif. Suatu pelanggaran dari harapan
nonverbal kita dapat mengganggu ketenangan; hal tersebut dapat
menyebabkan bangkitnya suasana emosional (Infante, 2003: 177)
Kita mempelajari harapan dari sejumlah sumber (Floyd,
Ramirez & Burgoon, 1999). Pertama, budaya di mana kita tinggal
membentuk harapan kita tentang beragam jenis perilaku komunikasi,
termasuk komunikasi nonverbal. Pada budaya yang menganut
“contact culture” kontak mata lebih banyak terjadi, sentuhan lebih
sering, dan zone jarak pribadi jauh lebih kecil dibanding pada budaya
29
Page 33
yang menganut “noncontact culture”. Konteks di mana interaksi
berlangsung juga berdampak pada harapan tentang perilaku orang
lain. Sebagian besar dari kontak mata dari orang lain secara atraktif
mungkin dilihat sebagai undangan jika konteks dari interaksi
berlangsung dalam pertemuan klub sosial, sedangkan perilaku
nonverbal yang sama mungkin dilihat sebagai ancaman jika perilaku
tersebut diperlihatkan pada penumpang yang berjumlah sedikit di
dalam kereta bawah tanah yang datang terlambat pada malam hari.
Tergantung pada konteks, “belaian boleh menyampaikan simpati,
kenyamanan, kekuasaan, kasih sayang, atraksi, ataupun hawa
nafsu” (Burgoon, Coker & Coker 1986).
Makna tergantung pada situasi dan hubungan diantara
individu-individu. Pengalaman pribadi kita juga mempengaruhi
harapan. Kondisi interaksi kita yang berulang akan mengharapkan
terjadinya perilaku tertentu. Jika kawan sekamar kita yang biasanya
periang tiba - tiba berhenti tersenyum ketika kita masuk kamar, kita
menghadapi suatu situasi yang jelas berbeda dengan harapan. NEV
Theory menyatakan bahwa harapan “meliputi penilaian tentang
perilaku yang mungkin, layak, sesuai, dan khas untuk suasana
tertentu, sesuai tujuan, dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari partisipan” (Burgoon & Hale, 1988, hal. 60).
(Infante, 2003: 178)
30
Page 34
2. Violation Valence (Valensi Pelanggaran)
Ketika harapan nonverbal kita dilanggar oleh orang lain, kita
kemudian melakukan penafsiran sekaligus menilai apakah
pelanggaran tersebut positif ataukah negatif. Penafsiran dan evaluasi
kita tentang perilaku pelanggaran harapan nonverbal yang biasa
disebut Violation Valenceatau, Valensi Pelanggaran adalah elemen
kedua yang penting dari NEV Theory.
NEV Theory berasumsi bahwa perilaku nonverbal adalah
penuh arti dan kita mempunyai sikap tentang perilaku nonverbal
yang diharapkan. Kita bersepakat tentang beberapa hal dan tidak
setuju tentang beberapa hal yang lain. Valensi adalah istilah yang
digunakan untuk menguraikan evaluasi tentang perilaku. Perilaku
tertentu jelas - jelas divalensi secara negatif, seperti perlakuan tidak
sopan atau isyarat yang menghina (seseorang, “menghempaskan
burungmu atau memelototkan matanya pada kamu), contoh tersebut
memiliki nilai ambiguitas, yang mana satu kata memiki banyak arti
atau pemahaman.
Perilaku lain divalensi secara positif (seseorang memberi
isyarat “v” untuk kemenangan karena perbuatan tertentu atau
menga-cungkan ibu jari untuk jaket penghangat baru milikmu).
Sebagai contoh, bayangkan kamu berada di suatu pesta dan
seorang asing yang baru diperkenalkan tanpa diduga - duga
menyentuh tanganmu. Karena kamu baru saja berjumpa orang itu,
perilaku tersebut bisa jadi mengacaukan sikapmu. Kamu mungkin
31
Page 35
menginterpretasikan perilaku tersebut sebagai kasih sayang, suatu
undangan untuk menjadi teman, atau sebagai suatu isyarat
kekuasaan. NEV Theory berargumen bahwa jika perilaku yang
diberikan lebih positif dibanding dengan apa yang diharapkan,
hasilnya adalah pelanggaran harapan yang positif. Dan sebaliknya,
jika perilaku yang diberikan lebih negatif dibanding dengan apa yang
diharapkan, menghasilkan suatu pelanggaran harapan yang negatif.
(Infante, 2003: 178).
Hal ini disebut juga sebagai Violation Valence atau Valensi
Pelanggaran. Violation Valence dikatakan positif bila kita menyukai
tindakan pelanggaran tersebut, dan sebaliknya dikatakan negatif jika
kita tidak menyukai pelanggaran tersebut
3. Communicator Reward Valence (Valensi Ganjaran
Komunikator)
Valensi Ganjaran Komunikator adalah unsur yang ketiga,
yang mempengaruhi reaksi kita disaat berinteraksi. Sifat alami
hubungan antara komunikator mempengaruhi bagaimana mereka
(terutama penerima) merasakan tentang pelanggaran harapan. Jika
kita “menyukai” sumber dari pelanggaran (atau jika pelanggar adalah
seseorang yang memiliki status yang tinggi, kredibilitas yang tinggi,
atau secara fisik menarik), kita boleh menghargai perlakuan yang
unik tersebut. Bagaimanapun, jika kita ” tidak menyukai” sumber, kita
lebih sedikit berkeinginan memaklumi perilaku nonverbal yang tidak
32
Page 36
menepati norma - norma sosial, kita memandang pelanggaran
secara negatif. (Infante, 2003: 178).
Dengan kata lain jika kita menyukai orang yang melanggar
tersebut, kita tidak akan terfokus pada pelanggaran yang dibuatnya,
justru kita cenderung berharap agar orang tersebut tidak mematuhi
norma - norma yang berlaku. Sebaliknya bila orang yang melanggar
tersebut adalah orang yang tidak kita sukai, maka kita akan terfokus
pada pelanggaran atau kesalahannya dan berharap orang tersebut
mematuhi atau tidak melanggar norma-norma sosial yang berlaku.
Valensi Ganjaran Komunikator adalah keseluruhan sifat-sifat
positif maupun negatif yang dimiliki oleh komunikator termasuk
kemampuan komunikator dalam memberikan keuntungan / ganjaran
atau kerugian kepada kita di masa datang. Status sosial, jabatan,
keahlian tertentu atau penampilan fisik yang menarik dari
komunikator dianggap sebagai sumber ganjaran yang potensial.
Orang-orang yang masuk dalam kategori ini dalam istilah Burgoon
disebut High-Reward Person. Sementara kebodohan atau kejelekan
rupa misalnya, dinilai sebagai yang sumber tidak potensial dalam
memberikan keuntungan berkomunikasi dan mereka yang berada
dalam posisi ini disebut dengan istilah Low-Reward Person. Dalam
konstruk Communicator Reward Valence juga tercakup hasil dari
kalkulasi atau udit mental tentang apa keuntungan atau kerugian dari
suatu transaksi komunikasi dengan orang lain.
33
Page 37
NEV Theory mengusulkan sebagai fakta bahwa hal tersebut
tidak hanya sesuatu pelanggaran perilaku nonverbal dan reaksi
kepada nya. Sebagai gantinya, NEV Theory berargumen bahwa
siapa yang melakukan berbagai hal pelanggaran masi harus
dikelompokkan dalam rangka menentukan apakah suatu
pelanggaran akan dilihat sebagai negatif atau positif. Tidak sama
dengan model interaksi nonverbal lainnya seperti teori penimbulan
pertentangan / discrepancy arousal theory (Lepoire & Burgoon,
1994), NEV Theory meramalkan bahkan suatu “pelanggaran yang
ekstrim dari suatu harapan” boleh jadi dipandang secara positif jika
itu dilakukan oleh komunikator yang mendapat penghargaan tinggi
(Burgoon & Hale, 1988, hal.63). (Infante, 2003: 179)
Di samping tiga konstruk pokok sebagaimana diuraikan di
atas, Burgoon juga mengajukan sebelas proposisi yang menjadi
landasan teoritisnya (Burgooon, 1978: 129-142). Proposisi -
proposisi ini tidak mengalami perubahan sejak penabalan teori ini
pada tahun 1978. Berikut adalah kesebelas proposisi tersebut :
1. Manusia memiliki dua kebutuhan yang saling berlomba untuk
dipenuhi, yakni kebutuhan untuk berkumpul atau bersama sama
dengan orang lain dan kebutuhan untuk menyendiri (personal
space). Kedua kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi secara
bersamaan, harus terpisah satu persatu.
34
Page 38
2. Hasrat untuk bergabung dengan orang lain digerakkan atau
diperbesar oleh hadirnya ganjaran dalam konteks komunikasi.
Ganjaran tersebut dapat bersifat biologis maupun sosial.
3. Semakin tinggi derajat suatu situasi atau seseorang dianggap
menguntungkan (rewarding), semakin besar kecenderungan
orang untuk mendekati seseorang atau situasi tersebut.
Sebaliknya semakin tinggi seseorang atau suatu situasi
dipandang tidak memberikan manfaat semakin besar
kecenderungan orang untuk menghindari seseorang atau situasi
tersebut.
4. Manusia memiki kemampuan untuk merasakan gradasi dalam
jarak Pola interaksi manusia, termasuk ruang pribadi atau pola
jarak, bersifat normatif.
5. Manusia dapat mengembangkan suatu pola tingkah laku yang
berbeda dari norma - norma social.
6. Dalam konteks komunikasi manapun, norma-norma adalah
fungsi dari faktor (1) karakteristik orang yang berinteraksi, (2)
bentuk dari interaksi itu sendiri dan (3) lingkungan sekitar saat
komunikasi berlangsung.
7. Manusia mengembangkan harapan-harapan tertentu pada
perilaku komunikasi orang lain. Konsekuensinya tiap orang
memiliki kemampuan untuk membedakan atau setidaknya
memberikan tanggapan secara berbeda terhadap perilaku
35
Page 39
komunikasi orang lain yang menyimpang atau sejalan dengan
norma - norma sosial.
8. Penyimpangan dari harapan - harapan yang muncul akan
membangkitkan tanggapan tertentu.
9. Orang - orang yang berinterkasi membuat evaluasi terhadap
orang lain.
10. Penilaian - penilaian yang dilakukan dipengaruhi oleh persepsi
terhadap sumber, bila sumber dihormati atau dianggap dapat
memberikan ganjaran maka pesan komunikasinya akan
dianggap penting pula demikian sebaliknya (Venus: 2004: 484)
11. Communicator Reward Valence atau Penghargaan yang
diharapkan seseorang didalam hidupnya
Proposisi pertama sebagaimana dinyatakan diatas menurut
Neuliep (2000) dirujuk dari konsep - konsep dasar ilmu Antropologi,
sosiologi dan Psikologi yang meyakini bahwa manusia adalah
mahluk sosial yang memiliki naluri biologis untuk berdekatan atau
hidup bersama orang lain. Sebaliknya manusia tidak bisa
mentoleransi kedekatan fisik yang berlebihan karena manusia
memiliki kebutuhan terhadap ruang pribadi dan privasi.
Meski proposisi pertama ini tampaknya berlaku universal,
namun kapan dan bagaimana derajat kebutuhan orang untuk
menyendiri atau bersama orang lain sepenuhnya ditentukan secara
kultural.
36
Page 40
Proposisi kedua mengindikasikan bahwa hubungan kita
dengan orang lain dipicu oleh ganjaran dalam konteks komunikasi.
Dalam hal ini ganjaran tersebut dapat bersifat biologis (makanan,
seks, atau rasa aman) atau sosial (rasa memiliki, harga diri atau
status). Kebutuhan biologis dapat dipastikan berlaku universal,
namun kebutuhan sosial umumnya dipelajari dari lingkungan dan
akan berbeda dari satu budaya ke budaya lain.
Proposisi ketiga pada dasarnya menegaskan proposisi
kedua dengan menambahkan bahwa manusia cenderung tertarik
pada situasi yang mendatangkan ganjaran dan menghindari situsiasi
komunikasi yang mengakibatkan kerugian. Proposisi ini juga
tampaknya bersifat universal, namun perlu dicatat bahwa apa yang
dianggap sebagai situasi yang menguntungkan atau merugikan akan
dipahami secara berlainan dalam budaya yang berbeda.
Proposisi keempat manusia memiliki kemampuan untuk
merasakan berbagai bentuk perbedaan dalam penggunaan jarak
berkomunikasi. Atas dasar ini tiap individu dapat mengatakan kapan
sesorang berbicara terlalu dekat atau terlalu jauh dengan dirinya.
Proposisi kelima terkait dengan penepatan perilaku
nonverbal yang bersifat normatif Perilaku normatif disini diartikan
sebagai perilaku yang umumnya diterima secara sosial dan memiliki
pola - pola yang khas.
37
Page 41
Proposisi keenam menegaskan bahwa meskipun tiap-tiap
individu mengikuti aturan - aturan komunikasi verbal dan nonverbal
yang normatif, tiap orang juga pada prinsipnya dapat
mengembangkan gaya interaksi yang bersifat personal yang khas
bagi dirinya sendiri.
Proposisi ketujuh menyatakan bahwa norma - norma
komunikasi pada dasarnya merupakan fungsi dari karakteristik
pelaku komunikasi (seperti jenis kelamin dan usia), karakteristik
interaksi (misalnya derajat keakraban pelaku komunikasi dan status
sosial masing - masing), serta karakteristik lingkungan yang meliputi
seluruh aspek yang terkait dengan penataan tempat terjadinya
peristiwa komunikasi.
Proposisi kedelapan berhubungan dengan unsur kunci teori
ini yaitu konsep Ekspektasi. Dalam hal ini Burgon berpendapat
bahwa selama proses komunikasi berlangsung pelaku komunikasi
mengembangkan harapan harapan tertentu pada perilaku
nonverbal orang lain. Siapapun yang menjadi mitra komunikasi kita
diharapkan dan diantisipasi berperilaku secara patut sesuai situasi
yang dihadapi. Harapan-harapan nonverbal tersebut didasarkan
pada norma-norma hudaya yang secara sosial berlaku pada suatu
budaya tertentu. Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu boleh
jadi orang berharap munculnya perilaku yang berbeda yang keluar
dari normanorma yang berlaku.
38
Page 42
Proposisi kesembilan terkait dengan unsur kunci NEV theory
lainnya yakni Pelanggaran Harapan (Expectancy Violations).
Sebagaimana dijelaskan di muka, ketika pengharapan nonverbal
seseorang dilanggar, orang tersebut akan bereaksi dengan cara
menafsirkan dan mengevaluasi apakah pelanggaran tersebut
menguntungkan atau merugikan. Reaksi yang muncul dapat berupa
perilaku komunikasi yang bersifat adaptif atau defensif.
Proposisi kesepuluh berkenaan dengan penilaian-penilaian
yang dibuat oleh seseorang terhadap perilaku nonverbal orang lain.
Proposisi kesebelas memperjelas bagaimana tindakan
evaluatif tersebut dibuat. Dalam hal ini ditegaskan bahwa faktor yang
paling menentukan apakah suatu pelanggaran harapan nonverbal
akan dinilai positif atau negatif adalah derajat kemampuan
komunikator untuk memberikan reward pada mitra komunikasinya
atau dalam istilah teori ini disebut Communicator Reward Valence.
Burgoon dan Joseph Walther ( 1990) menguji berbagai
touch-behaviors, proxemics, dan postures untuk menentukan mana
yang diharapkan atau tak diharapkan di dalam komunikasi
antarpribadi dan bagaimana harapan dipengaruhi oleh status
sumber, daya pikat, dan gender. Beberapa penemuan menunjukkan
bahwa jabatan tangan paling diharapkan sedangkan lengan di bahu
adalah paling sedikit diharapkan. Perawakan tegap paling
39
Page 43
diharapkan dan perawakan yang tegang paling sedikit diharapkan.
(Infante, 2003: 179)
Suatu studi dengan memanipulasikan nilai penghargaan dari
komunikator dan valensi dan ekstrimitas dari perilaku pelanggaran
dilakukan untuk menyelidiki interaksi antara siswa dan professor
(Lannutti Laliker & Hall, 2001).
PENERAPAN DAN KETERKAITAN TEORI
Pada awalnya teori Burgoon ini hanya diterapkan dalam
konteks pelanggaran penggunaan ruang dan jarak dalam
berkomunikasi (Spatial violations), namun sejak pertengahan tahun
1980-an Burgoon menyadari bahwa perilaku penggunaan ruang dan
jarak sebenarnya hanyalah bagian dari sistem isyarat nonlinguistik
dalam komunikasi nonverbal. Berdasarkan pertimbangan ini
kemudian Burgoon mulai menerapkan teori ini pada aspek aspek
komunikasi nonverbal lainnya seperti ekspresi wajah, kontak mata,
sentuhan sampai pada isyarat gestural lainnya. Dengan perluasan ini
maka keberlakukan dan pemanfaatan teori ini menjadi semakin luas.
Kini teori ini telah hadir di tengah - tengah komunitas
ilmuwan komunikasi selama lebih dari dua puluh tahun. Banyak
diantara peminat studi komunikasi yang menerapkan teori ini dalam
konteks komunikasi antarpribadi. Sayangnya menurut Neulip (2000)
Penerapan teori ini dalam konteks antarpribadi pada setting
40
Page 44
komunikasi antarbudaya terasa sangat kurang sekali. Padahal teori
ini merupakan salah satu terobosan untuk dapat memahami dan
mengidentifikasi pola - pola perilaku komunikasi berbagai kultur
budaya / masyarakat. Dengan memahami teori ini, lanjut Neulip, kita
akan lebih mengetahui faktor - faktor apa sebenarnya yang dapat
melancarkan transaksi komunikasi kita dengan orang lain yang
berbeda budaya.
Dalam hal keterkaitan teoritis, dapat dikatakan setidaknya
ada tiga teori yang secara langsung atau tidak berkaitan dengan
Teori Pelanggaran Harapan Nonverbal. Keempat teori tersebut
adalah Proxemics Theory, Anxiety / Uncertainty Management (AUM)
Theory, dan Social Exchange Theory (SET).
1. Proxemics Theory
Proxemics Theory merupakan akar dari perumusan asumsi -
asumsi dalam teori pelanggaran harapan nonverbal. Bertolak dari
konsep penggunaan ruang dan jarak dalam proksemikalah awal
perjalanan teori ini dimulai, karena itu jelas kedua teori ini tidak dapat
dipisahkan.
2. Anxiety / Uncertainty Management (AUM) Theory
Dalam menjelaskan hubungan antara NEV Theory dengan
Anxiety/Uncertainty Management (AUM) Theory, Ting Tomey dan
Chung (Gudykunst, et-al., 1996) menegaskan bahwa kedua teori
tersebut bersifat saling melengkapi. keterkaitan kedua teori tersebut
41
Page 45
terutama tampak dalam hal penggunaan konsep ekspektasi dalam
proses interaksi, konsep ketidaknyamanan dalam komunikasi yang
ambigu atau tindakan-tindakan mengevaluasi suatu perilaku
komunikasi.
3. Social Exchange Theory
Sementara dengan Social Exchange Theory keterkaitan teori
ini dapat dilihat dalam hal penggunaan konsep ganjaran dan
kerugian. Dalam hal ini kedua teori ini berpendapat bahwa orang
yang dipandang dapat memberikan ganjaran lebih (High-Reward
Person) akan menciptakan situasi komunikasi yang lebih favourable
(nyaman). Demikian berlaku sebaliknya bagi individu dalam kategori
Low-Reward Person.
EVALUASI DAN PERKEMBANGAN TEORI
Burgoon (Liltlejohn, 1996; Griffin,2000) secara konsisten
mengembangkan teori ini sejak penabalannya pada tahun 1978.
Beberapa perbaikan yang dengan mudah dapat diidentifikasi
diantaranya mencakup penyederhanaan empat konstruk teori ini
yang semula meliputi Harapan (Expectancies), Pelanggaran
Harapan (Expectancy- Violations), dan Valensi Komunikator
(Communicator Valence) dan Valensi Pelanggaran (Violation
Valence) menjadi tiga yakni dengan tetap mempertahankan konstruk
42
Page 46
Harapan (Expectancies), dan Pelanggaran Harapan (Expectancy
Violations), serta menggabungkan Valensi Komunikator dan Valensi
Pelanggaran menjadi satu konstruk Valensi Ganjaran Komunikator
(Communicator Reward Valence).
Dalam hal keterandalan teori, James W. Neuliep (2000)
menyatakan bahwa tidak sedikit temuan - temuan penelitian yang
mendukung teori Pelanggaran Harapan Nonverbal ini. Demikian pula
penelitian yang dilakukan Kernahan, Bartholow dan Battencourt
(Wise, 2000) yang berjudul Effects of Category-Based Expectancy
on Affect-Related Evaluation yang diterbitkan dalam Journal of Basic
and Applied Social Psychology edisi 22/2000 juga mendukung
keberlakuan teori Pelanggaran Harapan Nonverbal dalam konteks
komunikasi antarbudaya.
Meski banyak dukungan diberikan oleh ilmuwan komunikasi
terhadap keberlakuan teori Pelanggaran Harapan Nonverbal, namun
teori ini tidak terbebas dari kritikan. Salah satunya disampaikan
Griffin (2000) yang menyatakan bahwa teori ini tidak sepenuhnya
memperhitungkan mengenai hubungan timbal balik di antara pelaku
komunikasi dalam suatu proses interaksi. Tampak jelas bahwa
penilaian terhadap pelanggaran nonverbal dilakukan hanya oleh
pihak yang dilanggar bukan oleh kedua belah pihak.
43
Page 47
BAB III
KESIMPULAN & SARAN
A. Kesimpulan
Dewasa ini minat seseorang untuk dapat mempelajari dan
mendalami Ilmu Komunikasi semakin luas. Bukan saja dikalangan
Mahasiswa tetapi juga dikalangan anggota masyarakat umum
lainnya, apakah itu lewat sebuah seminar, diskusi ataupun pelatihan
khusus mengenai Komunikasi itu sendiri.
Dalam kehidupan sehari - hari, komunikasi yang baik sangat
penting untuk berinteraksi antar personal maupun antar masyarakat
agar terjadi keserasian dan mencegah konflik dalam lingkungan
masyarakat.
Sebaliknya, Miss Communication (terjadinya kesalahan
dalam salah satu proses komunikasi) akan menyebabkan tidak
tercapainya tujuan atau misi yang hendak di capai.
Namun, ketika seorang Komunikator dan Komunikan yang
menjalin Komunikasi, tak jarang pula ditemukannya sebuah rasa
ketidaknyamanan diantara keduanya. Hal ini tentunya mungkin saja
terjadi, karena didukung oleh Teori – Teori yang telah ada, seperti
Teori Disonansi Kognitif dan Teori Pelanggaran Harapan yang akan
kita bahas didalam Makalah ini.
Teori Disonansi Kognitif pertama kali diperkenalkan oleh
Leon Festinger pada tahun 1957 dan berkembang pesat sebagai
sebuah pendekatan dalam memahami area umum dalam
44
Page 48
Komunikasi dan pengaruh sosial. Ada terdapat beberapa Teori
dalam menjelaskan konsistensi atau keseimbangan, diantarnya
adalah Teori Ketidakseimbangan Kognitif (cognitive imbalance
theory) oleh Heider pada tahun 1946, Teori Asimetri (asymetry
theory) oleh Newcomb pada tahun 1953, dan Teori Ketidakselarasan
(incongruence) oleh Osgood dan Tannembaum pada tahun 1952.
Menurut Festinger (1957) disonansi kognitif adalah
ketidaksesuaian yang terjadi antara dua elemen kognitif yang tidak
konsisten yang menyebabkan ketidaknyamanan Psikologis serta
memotivasi orang untuk berbuat sesuatu agar disonansi itu dapat
dikurangi. Istilah disonansi / disonan berkaitan dengan istilah
konsonan dimana keduanya mengacu pada hubungan yang ada
antara dua buah elemen. Kedua elemen yang dimaksud oleh
Festinger adalah (1) hubungan yang Relevant (Relevant), dan (2)
hubungan yang tidak Relevant (Irrelevant)
Komunikasi memang merupakan suatu kebutuhan dasar
manusia. Sejak lahir dan selama Manusia menjalani proses
kehidupannya, Manusia akan selalu terlibat dalam tindakan -
tindakan Komunikasi. Tindakan komunikasi dapat terjadi dalam
berbagai konteks kehidupan manusia, mulai dari kegiatan yang
bersifat individual, di antara dua orang atau lebih, kelompok,
keluarga, organisasi dalam konteks publik secara lokal, nasional,
regional dan global atau melalui media massa.
45
Page 49
Begitu pula dengan Teori Disonansi Kognitif ini, prakata dan
statement real yang dicetuskan para ahli seperti Festinger, dapat
terjadi dengan siapa saja yang melakukan Interaksi dan menjalin
Komunikasi, baik itu secara interpersonal maupun intrapersonal.
Tanpa memperhatikan ruang Komunikasi yang ada, hanya perlu
memahami sikap, perilaku, karakter, sifat dan watak diri sendiri
ataupun orang lain yang menjadi lawan bicara kita.
Karena Teori Disonansi Kognitif menjadi salah satu
penjelasan yang paling luas yang diterima terhadap perubahan
tingkah laku dan banyak perilaku sosial lainnya. Teori ini telah di
genralisir pada lebih dari seribu penelitian dan memiliki kemungkinan
menjadi bagian yang terintegrasi dari teori psikologi sosial untuk
bertahun – tahun, seperti yang dikatakan oleh Cooper & Croyle pada
tahun 1984 dan dalam Vaughan & Hogg tahun 2005.
Sementara, Judee Burgoon dan Steven Jones pertama kali
merancang Teori Pelanggaran Harapan, atau yang pada umumnya
lebih dikenal sebagai Teori Pelanggaran Harapan Nonverbal
(Nonverbal Expectancy Violation Theory / NEV Theory) yang mana
bertujuan Untuk menjelaskan konsekuensi dari perubahan jarak dan
ruang pribadi selama interaksi komunikasi antar pribadi.
Nonverbal Expectancy Violation (NEV) Theory adalah salah
satu teori pertama tentang komunikasi nonverbal yang
dikembangkan oleh sarjana komunikasi. NEV Theory secara terus
menerus ditinjau kembali dan diperluas. Dewasa ini teori NEV
46
Page 50
digunakan untuk menjelaskan suatu cakupan luas dari hasil
komunikasi yang dihubungkan dengan pelanggaran harapan tentang
perilaku komunikasi nonverbal.
NEV Theory, menyimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor
yang saling berhubungan untuk mempengaruhi bagaimana kita
bereaksi terhadap pelanggaran dari jenis perilaku nonverbal yang
kita harapkan untuk menghadapi situasi tertentu . Ada tiga konstruk
pokok dari teori ini yakni : Harapan (Expectancies), Valensi
Pelanggaran (Violations Valence), dan Valensi Ganjaran
Komunikator (Communicator Reward Valence).
B. Saran
Didalam artian Teori Disonansi Kognitif dan Teori
Pelanggaran Harapan, merupakan suatu hal yang harus dijaga dan
harus dihindari sewaktu seseorang menjalin Komunikasi dengan
orang lain. Atas dasar tersebut, seseorang yang bertindak sebagai
pelaku Komunikasi harus menjaga tutur kata, tutur bahasa, sikap dan
sifat yang juga menjadi bagian daripada Komunikasi itu sendiri.
Bagaimanapun didalam berlangsungnya sebuah Komunikasi antara
Komunikator dan Komunikan harus ada keselarasan dan
kesinambungan, sebab diantara keduanya harus merasa nyaman
ketika menjalin sebuah Interaksi tersebut.
So, Let’s to Learn Science of Communication from Now !
Thank You !
47
Page 51
DAFTAR PUSTAKA
- West, Richard dan Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori
Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: PT. Salemba
Humanika. Bab 7.
- Severin, Werner J., Teori Komunikasi “Sejarah, Metode Dan
Terapan Dalam Media Massa”, terj. Sugeng Hariyanto, Jakarta :
Kencana, 2005.
- Sarwono, Sarlito. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba
Himanika
- Berhm. S.S. & Kassin, S.M. 1990. Social Psychology. Boston:
Houghton Mifflin Company, 1990.
- Griffin Emory A., 2003, A First Look at Communication Theory,
Singapore : McGraw-Hill
- Littlejohn, S.W. (1996). Theories of Human Communication, Fifth
edition. Belmont CA: Wadsworth.
- Venus, Antar, (2004). Nonverbal Expectancy Violation Theory,
Jurnal Komunikasi dan Informasi, Volume 3, Nomor 2, 0ktober
2004
- Hafied Cangara, 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi. PT Rajawali
Grafindo Persada. Jakarta
- Deddy Mulyana, 2006. Ilmu Komunikasi sebagai suatu
Pengantar. PT Remaja Rosdakarya. Bandung
- Ruben Brent D dan Lea P Stewart. (2006). Communication and
Human Behavior. United States: Allyn and Bacon
48
Page 52
- Komala, Lukiati. 2009. Ilmu Komunikasi: Perspektif, Proses, dan
Konteks. Bandung: Widya Padjadjaran
- Rohim,Syaiful.2009. Teori Komunikasi: Perspektif,Ragam, &
Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta
- West, Richard & Lynn H. Turner. 2007. Introducing
Communication Theory. Third Edition. Singapore: The McGrow
Hill companies
- Larry Gonick, Kartun (non) Komunikasi, guna dan salah guna
informasi dalam dunia modern. Kepustakaan Populer Gramedia,
Juli 2007. (diterjemahkan dari Guide to (non) Communication
HarperClollins Publisher, Inc copyright 1993. ISBN 978-979-
9100-75-7
- Wiryanto,Dr. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jilid I. Jakarta:
PT Gramedia Widiasarana Indonesia
- Rochmawati, Lusa. 2009. Faktor mempengaruhi Komunikasi
- Fang, Irving. 1997. A History of Mass Communication, Six
Information Revolutions. USA: Focal Press
- Nasution, Zulkarimein. 1989. Teknologi Komunikasi dalam
Perspektif. Jilid 1. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
- S. Sunarjo, Djoenaesih. 1991. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jilid
1. Yogyakarta: Liberty
- Tandowidjojo, John. 2000. Era Komunikasi Menjelang 2000.
Sanggar Bina Tama
49
Page 53
- Effendi, Onong Uchjana. (1993). Ilmu, Teori, dan Filsafat
Komunikasi. Bandung: PT.Citra Aditya bakri
- Prajarto, Nunung. (2002). Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik:
Komunikasi, Akar Sejarah dan Buah Tradisi Keilmuan.
Yogyakarta
- Bouman, P.J. 1965. Ilmu Masyarakat Umum. PT pembangunan.
Jakarta
- Severin, Werner J, Tankard, James W. 2005. Teori Komunikasi,
Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa. Kencana.
Jakarta
- Devito, Joseph,. A. 1997. Komunikasi Antarmanusia Edisi
Kelima,. Penerjemah, Agus Maulana. Jakarta, Profesional Books
- Fisher, B Aubrey, 1986. Teori-Teori Komunikasi. Penerjemah
Soejono Trimo. ML. Bandung. Remaja Rosdakarya
Website Linked :
- id.wikipedia.org/wiki/Teori_disonansi_kognitif (20 / 03 / 2014)
©Copyright by [email protected]
50