TEOLOGI TRANSFORMATIF (STUDI PEMIKIRAN MANSOUR FAKIH) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam Oleh: RONI SAPUTRA 08510016 JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2013
43
Embed
TEOLOGI TRANSFORMATIF (STUDI PEMIKIRAN MANSOUR …digilib.uin-suka.ac.id/12816/1/BAB I, VI, DAFTAR PUSTAKA.pdf · sebagai mentransformasikan tafsir teosentris menjadi ... Kesulitan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TEOLOGI TRANSFORMATIF
(STUDI PEMIKIRAN MANSOUR FAKIH)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Filsafat Islam
Oleh:
RONI SAPUTRA 08510016
JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
v
MOTTO
“Bersikap Pasif terhadap ketidakadilan dan bentuk-bentuk eksploitasi, sama halnya berkolusi dengan para penindas.” 1 (Asghar Ali Engineer)
“Dalam dunia yang tidak adil, sikap netral dan tidak memihak justru dianggap terlibat dan bersalah karena melanggengkan ketidakadilan.”2 (Mansour Fakih)
1 Asghar Ali Angineer, Islam Masa Kini, terjm. Tim FORSTUDIA, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hlm. XV. 2 Mansour Fakih, Jalan Lain: Manifestasi Intelektual Organik, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002, hlm. 31.
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
Bangsa Indonesia
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq,
dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda
Rasullullah SAW, yang telah membawa umatnya dari zaman jahiliyah menuju
zaman Islamiyah.
Penyusunan skripsi ini merupakan kajian singkat tentang “Teologi
Transformatif (Studi Pemikiran Mansour Fakih)”. Penulis menyadari bahwa
penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan
dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati
pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Musa Asy’arie
2. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Studi Pemikiran Agama Yogyakarta, Dr.
H. Syaifan Nur, MA.
3. Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Studi
Pemikiran Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. M. Zuhri, M. Ag.
4. Prof. Dr. H. Iskandar Zulkarnain, selaku Dosen Pembimbing Skripsi,
terimakasih atas motivasi, perbaikan dan arahannya, sehingga skripsi ini
dapat selesai.
5. Dr. Alim Roswantoro, M.Ag. selaku Dosen Penasihat Akademik, yang
telah memberikan dukungan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
viii
6. Bapak Fahruddin Faiz, S.Ag., M.Ag. yang ketika penulis melakukan
seminar proposal, beliau masih menjabat sebagai Ketua Jurusan Aqidah
dan Filsafat. dan trimakasih atas masukan dan motivasinya.
7. Kedua orang tua tercinta, Ayah dan Ibu terimakasih atas kasih sayang dan
do’a yang dipanjatkan setiap saat beserta dukungan lahir dan batin. penulis
tidak akan pernah bisa membalas jasa dan kebaikan keduanya.
8. Kakak tercinta, Kak Roma, atas motivasi dan desakannya yang terus
diberikan. Dan keponakan serta adik-adik yang tersayang.
9. Buat Om Firdaus, Ante Erni Yati, Om Ibnu, Om Naf, Om Al, Om Il,
Agung dan keluarga besar semuanya. Terimakasih banyak atas dukungan
dan bantuannya, baik Materiil dan Moril. Semoga Allah memberikan
keberkahan yang berlimpah untuk kita semua.. Amien
10. Pak Budi Hadi, S. Ag., Ibu Budi, Pak Sahudi, Bu Marni, Pak Paryono,
PakWisnu, Pak Hari, Pak Teguh, Pak Welas, Keluarga Besar Ponpes
Muhammadiyah Manafi’ul Ulum. Terimakasih banyak atas didikannya.
Terutama untuk Pak Budi, terimakasih banyak karna sudah ‘menyesatkan’
penulis dalam Lembah Filsafat, sejak masih di Pondok.
11. Adinda Yunita Furi Aristyasari, yang telah banyak meluangkan waktunya,
menyisakan kesabarannya, kasih-sayang, doa dan berbagai saran serta
masukannya dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.
12. Terimakasih banyak untuk Mas M. Fahmi, yang telah member inspirasi
untuk penulis mengambil tema tentang skripsi ini, bantuan sumber-sumber
datanya, diskusi-diskusi serta masukannya. Mas Bahtiar, Mas Rangga, mas
Bot, Mas Huda, Mas Kasyadi dan beberapa senior (alumni) di IMM
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
ix
13. Terimakasih banyak buat teman-teman seperjuangan di IMM Komisariat
Ushuluddin, Fauzi Ishlah, Maryono, Lukman Hakim; sebagai teman
seperjuangan. Dan kader-kader penerus IMM Uy: Ifta, Sofi, Arman,
Fauzan, Ahmad, Leo, dan sebagainya.
14. Terimakasih banyak buat dinamika dan kebersamaannya saudara-saudari
Roni Saputra. Teologi Transformatif (Studi Pemikiran Mansour Fakih). Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam, 2013
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kehadiran globalisasi yang dianggap berbeda oleh beberapa kalangan. Salah satunya menganggap bahwa globalisasi merupakan ancaman yang sangat berpotensi menghancurkan harkat hidup manusia. Hal ini didasari karena semakin banyaknya masyarakat yang termarjinalkan dan tak mampu mengakses perkembangan zaman. Akibatnya ‘globalisasi’ tidak hanya dicurigai sebagai sesuatu yang hanya ‘ditujukan’ kepada orang-orang yang mampu mengaksesnya, namun juga diklaim memiliki cacat bawaan, yang bersifat sistemik dan struktural. Untuk itu perlu adanya transformasi sistem dan struktur sosial yang mampu menyembuhkan cacat bawaan tersebut. Kalangan yang menghendaki tersebut disebut sebagai kalangan berparadigma ‘transformatif’. Kalangan paradigma transformatif ini meliputi berbagai bidang kemasyarakatan; ekonomi, sosial-politik, budaya dan keagamaan (teologi). Penelitian ini mencoba membahas kalangan transformatif dari sudut pandang ‘teologi’. selain karena teologi tidak berwajah tunggal dalam merespon ‘globalisasi’, juga karena adanya kalangan transformatif yang menggunakan agama (teologi) sebagai spirit untuk transformasi sosial, salah satunya Mansour Fakih yang diduga penulis memiliki pandangan keagamaan yang berorientasi transformatif (teologi transformatif). Penulis lebih tertarik kepada Mansour Fakih karena beliau dianggap tokoh yang sangat getol dan provokatif dalam menghimbau perlunya transformasi sosial melalui perannya sebagai aktivis dan karya-karyanya yang banyak mendorong terciptanya transformasi sosial.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan konsep teologi transformatif Mansour Fakih dan implikasinya dalam perubahan sosial menurut Mansour Fakih. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan murni dengan pendekatan teologi sosial. Adapun metode yang digunakan penelitian ini meliputi: pengumpulan data, pengolahan data dan interpretasi data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran teologi Mansour Fakih termasuk dalam kategori teologi transformatif. Adapun istilah yang digunakan Mansour Fakih dalam pemikiran teologinya adalah dengan sebutan ‘Teologi Kaum Tertindas’. Sisi transformatif daripada ‘Teologi Kaum Tertindas’ ini meliputi: (1). Kesesuaian dalam melihat akar persoalan yang menjangkit umat Islam saat ini, terutama keterbelakangan dan kemiskinan yang diakibatkan oleh adanya struktur dan sistem yang tidak adil. Secara prosedural pun, sama-sama menyakini bahwa transformasi sosial yang dicita-citakan tidak akan terwujud tanpa adanya perubahan yang holistik. (2). Mansour mencoba menjadikan penafsiran agama yang lebih memiliki kepedulian sosial. Dengan kata lain, sebagai mentransformasikan tafsir teosentris menjadi tafsir liberatif. (3). Keadilan menjadi prinsip fundamental dari paradigma transformatif. Teologi Kaum Tertindas memiliki peran dalam perubahan sosial yang berimplikasi pada empat aspek, yaitu: implikasi sosiologis, implikasi politik, implikasi ekonomi dan implikasi teologi.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di tengah-tengah arus globalisasi kapital dewasa ini, memperjuangkan
rakyat miskin bukanlah hal yang mudah. Terlebih dalam menciptakan suatu
negara yang “makmur dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyatnya”.
Kesulitan mewujudkan cita-cita yang sesuai asas Pancasila tersebut seolah
berlapis ganda. Pertama, karena globalisasi sebagai tantangan atas sistem
yang sudah berlevel internasional/ trans-nasional. Dari perspektif ekonomi,
tentu perusahaan trans-nasional ini berparadigma “bagaimana caranya
menghasilkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya meski harus
dihadapkan dengan perusahaan lokal ataupun perekonomian rakyat.
Implikasinya adalah keberadaan perusahaan trans-nasional akan sangat
mempengaruhi kebijakan nasional yang seharusnya memihak kepada
kepentingan perekonomian kerakyatan menjadi memihak kepada
kepentingan perusahaan transnasional.
Kedua, adalah manakala negara dalam hal ini pemerintah seolah alfa
dalam memperjuangkan ketahanan rakyatnya terhadap dampak negatif
globalisasi, bahkan justru negara malah menjelma sebagai tangan panjang
dari pada sistem global tersebut. Akibatnya tidak hanya memarjinalkan
mayoritas rakyat miskin, tetapi juga akan berhadapan dengan kepentingan
dan nasib para petani kecil, nelayan, pedagang sektor informal, serta
masyarakat adat, khususnya dalam hal perebutan sumber daya alam,
2
terutama tanah, hutan, dan laut. Dengan kata lain, Negara tidak lagi bisa
dijadikan tempat berlindung. Sementara keharusan Negara adalah
melindungi segenap harkat hidup rakyatnya dalam berbagai aspek
kehidupan; ekonomi, hukum, politik, dan sebagaainya.
Sesungguhnya ancaman globalisasi itu sudah bisa dirasakan sejak
zaman Orde Baru. Misalnya, krisis moneter yang menghantam Indonesia di
penghujung rezim Orba (Orde Baru). Ini menjadikan sebagian kalangan
lebih yakin bahwa apa yang di usung Orba, yaitu paham developmentalism
(pembangunan) adalah hal yang sangat merugikan rakyat.1 Para pengguna
teori dependensia dan Teori Konflik misalnya, menganggap
developmentalism sebagai salah satu penyebab utama atas masalah ini. Hal
ini didasari pada asumsi bahwa ‘pembangunan’ atau developmentalism itu
sendiri bukanlah istilah yang netral, melainkan merupakan suatu manifestasi
dari ideologi dan teori tertentu. Yaitu bentuk lain dari ideologi kapitalisme
atau disebut sebagai “state-led-Development” (kapitalisme Negara) yang
merupakan bagian dari perjalanan dominasi dan eksploitasi manusia atas
manusia. Maka tak heran jika Revrisond Baswir menyebut pemerintahan
Soeharto adalah pemerintahan kesayangan kolonial. Karena menurut
pandangannya, orientasi dan perjalanan ekonomi saat itu adalah bagian
1 Sebagaimana menuru Manfred Stanley yang dikutip oleh Budhy Munawar-Rachman,
“Manfred Stanley pernah mengemukakan bahwa dalam perspektif filsafat, arti developmentalisme telah menjadi bahan konflik masyarakat modern. Konflik itu di satu pihak berasumsi bahwa, arti developmentalisme itu diterima begitu saja oleh orang sebagai suatu pengembangan sumber daya sosial ekonomi yang diarahkan pada transformasi kehidupan manusia ke arah formasi sosial yang lebih baik sesuai perkembangan sains dan teknologi modern. Tetapi, di lain pihak beranggapan bahwa, developmentalisme itu tidak lebih hanya sekedar “proses imperialism kebudayaan”. (Budhy Munawa-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm.,431).
3
integral dari kolonialisme. Selain itu aspek ekonomi adalah aspek utama
dari kolonialisme.2
Seolah tidak mengambil hikmah atas kegagalan yang dialami
pemerintahan Orba. Reformasi yang digadang-gadang sebagai titik awal
pemerintahan Indonesia baru untuk menjadi negara yang lebih baik dan adil,
ternyata tidak membuahkan perubahan sosial sesuai yang diharapkan. Justru
timbul kesan, bahwa hasil dari reformasi 1998 lalu hanya menjadi hidangan
ni’mat para elit politik tertentu. Dari sudut pandang kalangan ekonom dan
sosiolog, terutama kalangan anti-kapitalisme yang memperjuangkan hak-
hak rakyat miskin, perubahan (reformasi) tersebut layaknya “keluar dari
mulut macan masuk ke dalam mulut buaya”. Setidaknya perumpamaan
tersebut sebagai simbol yang menunjukkan bahwa reformasi –pada
mayoritas kalangan– telah salah mengidentifikasi kesalahan Orba, yaitu
semata-mata akibat pemerintahan yang buruk dan korup. Berbeda dengan
kalangan transformatif, kesalahannya adalah tidak hanya kondisi
pemerintahan yang saat itu buruk dan korup (individu/ oknum), melainkan
juga dikarenakan ideologi (paham) perekonomian yang melandasinya
adalah bentuk lain dari pada kapitalisme (sistem) yang bersifat eksploitatif,
menindas dan berakibat pada ketidakadilan (ketidakadilan sistemik), yaitu
suatu analisis yang lebih mempersoalkan relasi dan sistem sosial yang
digunakan.
2 Revrisond Baswir, Bahaya Neoliberalisme (Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 2009), hlm. 24-
25.
4
Contohnya, meskipun KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sudah
diadakan sebagai lembaga peradilan yang independen, dengan tujuan
menciptakan pemerintahan yang bersih agar terbentuk suatu negara yang
lebih baik, makmur dan berkeadilan. Namun kenyataannya tingkat
kemiskinan dan pengangguran masih pada tingkatan yang
mengkhawatirkan, jurang pemisah antara si miskin dan si kaya semakin
lebar. Sementara itu, hingga saat ini korupsi justru semakin menggurita
bahkan menyusup hampir diseluruh elemen tata negara ini; eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Tak heran jika ada sebutan bahwa “persoalan
korupsi adalah persoalan yang paling mengasikkan bagi negara-negara
Dunia Ketiga”.
Hal ini menjelaskan, bahwa pemerintahan yang bersih saja tidak
cukup menjadikan suatu negara menjamin kemakmuran dan kesejahteraan
seluruh masyarakatnya. Namun diperlukannya kesadaran pada tingkat
sistem, ideologi maupun kebijakan yang berpihak kepada rakyat miskin
secara umum, dan dijalankan dengan tujuan menciptakan kesejahteraan bagi
seluruh rakyatnya. Namun demikian, bukan berarti perkara korupsi
bukanlah persoalan yang penting. Bagaimana pun korupsi tetap harus
dihilangkan, karena merupakan bentuk pencurian dan merugikan negara dan
masyarakat.
Sebagaimana Menurut Muchtar Effendi Harahap, bertolak dari
kampanye yang pertama ( Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I /2004-2009),
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih dikatakan
5
gagal memenuhi janji-janjinya tersebut terutama dalam hal perekonomian
dan kesejahteraan rakyat.3 Sementara itu, pada Kabinet Indonesia Bersatu
Jilid II ini, Publik dikhawatirkan dengan posisi Wakil Presiden saat ini,
yaitu Boediono yang diklaim sebagai penganut paham ekonomi
Neoliberalisme.4 Tentunya hal ini akan semakin mengkhawatirkan masa
depan bangsa Indonesia terutama dalam upaya melepaskan diri dari
kemiskinan sosial.
Bertolak dari kondisi sosial yang cukup memprihatinkan dewasa
ini. Rasanya sangat perlu dilakukannya suatu refleksi dan evaluasi besar-
besaran. Suatu sikap yang meninjau ulang sekaligus melakukan perubahan
atas kepengurusan kenegaraan ini, yang bersifat holistik dan meliputi
seluruh aspek; baik itu tata nilai, sistem sosial, kebijakan, struktur dan
3 Penjelasan mengenai kegagalan SBY dalam memenuhi janji-janjinya bisa dilihat pada
ketidaksesuaian antara janji-janjinya dengan target yang sudah dicapai, lebih jelas Muchtar mengungkapkan datanya sebagai berikut: “Saat kampanye pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden SBY-JK berjanji meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mencapai 7,6 % pada 2009. Angka kemiskinan diprediksikan turun dari 17,14 % menjadi 8,7 % pada 2009. Janji-janji kampanye itu kembali dinyatakan melalui pidato kenegaraan tatkala SBY-JK ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Menurut para penggugat, dalam kenyataannya Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat memenuhi janji-janji kampanye sehingga dikatagorikan “wanprestasi”. Saat itu, tingkat pertumbuhan ekonomi baru mencapai 5,5 %, tidak mencapai peningkatan menjadi 7,6 %. Tingkat kemiskinan mencapai 17,7 % pada 2005, dan 15,54 % pada 2008, tidak mencapai penurunan menjadi 8,7 %”. (Di akses dari http://www,muchtareffendiharahap.blogspot.com, pada tanggal 16 maret 2013).
4 Menurut Revrisond Baswir, persoalan klaim neoliberalisme terhadap Boediono adalah berdasarkan track record-nya dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan sebelum ia menjadi Wakil Presiden. Memang pada era 1980 selagi masih sebagai civitas akademika tulen di Fakultas Ekonomi UGM, Boediono termasuk dalam kalangan yang mempopulerkan ekonomi Pancasila. Namun seletah ia bergabung dengan Bappenas pada pertengahan 1980-an, ia mengalami perubahan layaknya seorang birokrat sekaligus pergeseran orientasi-praksis ekonominya. Sejak ia berkarier era pemerintahan Habibie, kemudian Pemerintahan Megawati, hingga SBY-JK, dan terakhir dipromosikan oleh SBY sebagai Gubernur Bank Indonesia, tidak bisa dipungkiri keterlibatan Boediono dalam pelaksanaan agenda ekonomi neoliberal. Misalnya saja ketika ia menjabat sebagai Mentri Keuangan pada 2001-2004, Boedionolah yang sangat getol memperjuangkan IMF sebagai dokter penyelamat perekonomian Indonesia. padahal kontrak IMF yang seharusnya berakhir pada 2002, secara diam-diam diperpanjang selama setahun oleh Boediono. ( lihat Revrisond Baswir, Bahaya Neoliberalisme, hlm. 29-32).
6
konstruksi sosial yang hingga saat ini masih langgeng membudaya. Ini
adalah suatu bentuk upaya transformasi sosial, dalam rangka menciptakan
tatanan masyarakat yang lebih baik dan berkeadilan sosial, sebagaimana
yang tercantum pada asas-asas Pancasila. Atau pun sebagai bentuk
mensiasati arus negatif globalisasi yang dewasa ini solah terelakkan lagi.
Misalkan saja dalam bentuk menawarkan paradigma yang lebih bersifat
alternatif, dalam hal ini tanpa terkecuali teologi.
Teologi tanpa terkecuali memiliki peran penting dalam melakukan
transformasi sosial, terutama teologi Islam. Teologi sebagai sistem
keyakinan, tentu sangat mempengaruhi sikap hidup umat beragama.5 Selain
itu, umat Islam di Indonesia tak kurang dari 85%.6 Ini artinya teologi
(Islam) bisa menjadi kekuatan sosial tersendiri dalam melakukan
transformasi sosial. Sebagaimana menurut Asghar Ali, teologi sebagai suatu
bentuk dari “keyakinan mendalam” akan memberikan inspirasi pada
seseorang untuk berkorban lebih banyak. Ini karena manusia akan bertindak
dengan antusias hanya pada saat ia memiliki kualitas keyakinan yang
mendalam terhadap tindakan-tindakannya.7
5 Umumnya teologi dibagi ke dalam dua aspek: pertama adalah teologi sebagai ‘sistem
keyakinan’. Sebagai sistem keyakinan teologi adalah seperangkat doktrin yang diyakini dalam suatu agama, dan dijalankan secara penuh sadar oleh pemeluknya. Sebagai ‘sistem keyakinan’, teologi akan lebih bersifat historis dan kontekstual; kedua adalah teoloogi sebagai ‘kajian’. Sebagai sebuah kajian, teologi menunjuk pada wacana yang dikembangkan dari studi, telaah, dan pendekatan atas konsep-konsep ketuhanan. Sebagai kajian, teologi akan lebih bersifat kritis daripada normatif. (lihat, Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibn’Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan (Yogyakarta: LKIS, 2012), hlm. 63-64.
6 Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia pada tanggal 6 April 2013 pukul 13.00 wib.
7 Asghar Ali Angineer, Islam Masa Kini, terjm, Tim FORSTUDIA (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.XI.
7
Kesadaran akan potensi teologi sebagai faktor yang mempengaruhi
transformasi sosial ini sekaligus menjadi pelengkap terhadap teori-teori
sosial yang mengabaikan peran teologi (agama) dan berasumsi bahwa
agama sebagai penghambat kemajuan peradaban manusia, ataupun yang
berparadigma agama hanya sebagai candu atau ilusi. Karena tidak bisa
dipungkiri sebagaimana yang diistilahkan oleh Karen Amstrong, bahwa
manusia adalah homo religious, yaitu makhluk yang memiliki naruli
religious, dan ini sudah dibuktikan oleh sejarah peradaban manusia selama
beribu-ribu tahun.
Lantas persoalannya adalah teologi yang bagaimanakah yang mampu
menjadi kekuatan dalam transformasi sosial? Selama ini di Indonesia,
teologi (terutama Islam) diwarnai dua corak mainstream yang mendominasi
dalam aktualisasinya di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pertama,
teologi yang memiliki orientasi mempertahankan Status Quo. Teologi yang
seperti ini lebih menekankan paradigma politik dalam mendefinisikan
ajaran-ajaran keagamaan. Secara teoritis penafsiran yang demikian disebut
sebagai “nalar tafsir politis”, yaitu pembacaan atau penafsiran atas kitab suci
maupun ajaran-ajaran keagamaan yang hanya berkutat pada pengukuhan
terhadap paham, aliran, mazhab tertentu (terutama kesesuaian dengan
mazhab yang diyakini sang penafsir). Sehingga, agama dijadikan sebagai
alat legitimasi pengukuhan status quo-nya. Akibatnya teologi secara aktual
lupa terhadap problem-problem riil yang dihadapi manusia saat ini. Dalam
kasus ini, bisa dilihat dengan jelas pada era Orde Baru. Gerak-gerik dan
8
desas-desus teologis yang mencoba mempertanyakan posisi status quo
selalu berakhir dengan kehancuran dan ancaman atau dikebiri. Dengan
mengatasnamakan stabilitas dan keamanan nasonal penafsiran-penafsiran
teologis yang dirasa mengancam kedudukan status quo dikebiri serta
dialihkan orientasinya penafsirannya dan isu-isu yang dikembangkan adalah
yang memiliki harmonisasi terhadap program-program yang diusungnya
saat itu.
Kedua, Penafsiran teologis yang bertolak dari anggapan bahwa
persoalan teologi hanya seputar persoalan ketuhanan semata. Pemaknaan
tersebut dikarenakan pemahaman terhadap teologi yang cenderung hanya
mendefinisikan teologi secara etimologis saja. Yaitu teologi sebagai ilmu
tentang Tuhan. Secara teoritis penafsiran yang demikian disebut sebagai
“nalar tafsir teosentris”. Teologi yang demikian hanya dipenuhi dengan
tema-tema ketuhanan; dzat, sifat dan kehendak-Nya, persoalan eskatologi,
surga-neraka dan sebagainya. Teologi ini bersifat lebih rumit, akibatnya
corak teologi yang demikian hanya menjadi pemuas intelektualitas (akal)
semata, meskipun pada tujuan akhirnya adalah keimanan. Model teologi
yang demikian seiring berjalannya waktu justur menjadikan agama menjadi
disorientasi. Yaitu agama yang seharusnya menjadi petunjuk sekaligus
penyelesaian terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi manusia secara
umum, menjadi teologi yang bersifat elitis, dikarenakan hanya sebagaian
orang yang mengerti. Teologi yang demikian memposisikan diri seolah-olah
netral terhadap fenomena sosio-politik-ekonomi umatnya. Dalam
9
melukiskan teologi yang demikian, Asghar Ali Engineer menyebutnya
dengan, “teologi yang cenderung sangat ritualis, dogmatis dan bersifat
metafisis yang membingungkan adalah Teologi yang mendukung status
quo.”8 Anggapan yang demikian dilandaskan oleh Asgar Ali pada
pendapatnya bahwa, “Bersikap Pasif terhadap ketidakadilan dan bentuk-
bentuk eksploitasi, sama halnya berkolusi dengan para penindas,” dalam hal
ini, tanpa terkecuali teologi .9 dalam kasus teologi yang demikian, akan
sering dijumpai dilembaga-lembaga pendidikan, tanpa terkecuali
universitas-universitas Islam.
Jika bertolak dari dua corak teologi dominan sebagaimana yang
telah dipaparkan diatas, maka bisa diperkirakan bahwa teologi tersebut tidak
hanya menjadi beban sejarah transformasi sosial, melainkan bisa menjelma
sebagai penghambat sekaligus penentang dalam mewujudkan tatanan sosial
yang lebih berkeadilan dan egaliter. Untuk itu perlu kiranya rekonstruksi
teologi yang memiliki kesamaan nafas dengan visi transformasi sosial.
Secara teoritis teologi yang memiliki kesamaan dengan visi pembebasan
tersebut adalah teologi yang dalam konstruksinya didasari pada “nalar tafsir
liberatif”, yaitu suatu pandangan teologis yang dalam mendefinisikan
ajaran-ajaran keagamaan menjadikan problem kemanusiaan sebagai lokus
tafsirnya. Model tafsir liberatif ini memiliki semangat emansipatoris dalam
8 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, trjm. Agung Prihantoro
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.32. 9 Asghar Ali Angineer, Islam Masa Kini, terjm. Tim FORSTUDIA (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hlm. XV.
10
membebaskan umat manusia dari berbagai sistem dan budaya yang
menindas dan memperbudak ataupun ketidakadilan.
Konstruksi teologi emansipatoris yang didasarkan pada nalar tafsir
liberatif sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, pada dasarnya adalah
bentuk dasar daripada teologi sosial. Yaitu teologi yang memiliki
keterkaitan erat dengan realitas yang dihadapi masyarakat sesuai zamannya.
Namun perlu dipahami bahwa kategori teologi sosial itu memiliki cakupan
varian yang cukup beragam. Misalnya: Teologi Feminisme, Teologi
Kiranya cukup banyak cendekiawan baik dari kalangan aktivis
ataupun intelektual Indonesia ini yang memiliki kepedulian tinggi terhadap
masa depan kemanusiaan terkhusus untuk bangsa Indonesia. Namun dalam
penelitian ini, penulis lebih menaruh minat pada sosok Mansour Fakih.
Menurut pandangan peneliti, Mansour Fakih adalah tokoh yang sangat
penting diperhitungkan kaitannya dalam upaya perubahan sosial. Ia sangat
mencita-citakan adanya transformasi sosial ke arah yang lebih baik. Ini bisa
dilihat dalam kiprah beliau dalam dunia pergerakan sosial ±25 tahun sejak
tahun 1979 hingga wafatnya.
Beliau juga memiliki pandangan tersendiri dalam melihat Islam jika
dihadapkan dengan problem kemiskinan dewasa ini. Setidaknya menurut
Mansour ada 4 (empat) paradigma Islam dalam merespon problem
kemiskinan (Kapitalisme).11 Paradigma tersebut meliputi: Paradigma
Tradisionalis, Paradigma Modernis atau Islam Liberal, Paradigma Revivalist
atau Fundamentalis, dan yang terakhir Paradigma Transformatif Islam Kiri.
Dari keempat paradigma yang dijabarkan oleh Mansour Fakih, paradigma
transformatif lah yang tepat sebagai paradigma yang cocok menjadikan
islam sebagai alternatif jika dihadapkan dengan globalisasi kapitalisme.
Selain itu, Beliau juga banyak menghasilkan karya yang mendorong
pada upaya transformasi sosial. Dan beliau juga mencoba menciptakan
ruang-ruang dialog yang tujuannya adalah demi masa depan bangsa ini dan
yang cukup monumental adalah, disertasi beliau tentang pergolakan
11 Mansour Fakih, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
& Insist Press, 2002), hlm. 241-264.
12
Ideologi LSM di Indonesia sebagai bentuk keseriusan beliau pada dunia
pergerakan sosial, yaitu suatu penelitian yang mencoba merumuskan dan
merefleksikan kembali duduk persoalan yang saat itu menjadi masa kritis
bagi dunia LSM di Indonesia, dengan harapan menemukan suatu jalan
alternatif untuk keberhasilan pergerakan LSM-LSM.
Secara lebih spesifik, penulis akan mencoba meneliti bagaimana
konsep “Teologi Transformatif” dalam pemikiran Mansour Fakih.
Meskipun Mansour Fakih di kalangan umum; baik di kalangan aktivis
maupun para akademisi, ia lebih dikenal atas pemikiran-pemikirannya yang
cenderung pada teori-teori sosiologis dan gender (ini bisa dilihat dari
sebagian besar karya beliau yang lebih bertemakan teori-teori sosial
transformatif), namun penulis betolak dari asumsi latar belakang beliau yang
sempat mengenyam institusi perguruan tinggi islam di Ciputat, selain itu ia
juga sempat menghasilkan beberapa karya yang menyangkut keharusan
bentuk teologi yang sesuai dengan semangat transformasi sosial. Oleh sebab
itu, penulis mengambil penelitian ini dengan judul Pemikiran Teologi
Transformatif Mansour Fakih.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diurai di atas, maka permasalahan penelitian
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep teologi transformatif menurut pemikiran Mansour
Fakih?
13
2. Bagaimana peran teologi transformatif terhadap perubahan sosial di
Indonesia menurut pemikiran Mansour Fakih?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
Dengan pemetaan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini
mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Mendeskripsikan konsep teologi transformatif menurut
pemikiran Mansour Fakih.
b. Mendeskripsikan peran teologi transformatif terhadap perubahan
sosial di Indonesia (khususnya) menurut pemikiran Mansour
Fakih.
2. Adapun kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Upaya penggeseran teologi statis menuju teologi yang
transformatif sebagai wujud keprihatinan terhadap
kecenderungan diskursus teologi islam yang selama ini kurang
memperhatikan realitas sosial.
b. Melalui penelitian ini, peneliti mencoba meneguhkan kembali
Tri Dharma Perguruan Tinggi; yang meliputi pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
c. Untuk memperkaya wacana kepada segenap masyarakat,
khususnya para aktivis gerakan sosial, berkaitan dengan
perjuangannya mengenai masalah ketidakadilan sosial dan
segala bentuk proses dehumanisasi.
14
D. Telaah Pustaka
Penelitian tentang pemikiran Mansour Fakih dalam dunia akademis
UIN Sunan Kalijaga bukanlah hal yang baru, setidaknya ada sudah ada 4
(empat) penelitian yang berupa skripsi yang mengkaji pemikiran Mansour
Fakih dari 2 (dua) perspektif yang dominan, yaitu dari perspektif
‘pendidikan’ dan perspektif ‘gender’. Penelitian tentang pemikiran Mansour
Fakih dari perspektif pendidikan meliputi 3 skripsi: Pendidikan Popular
Sebagai Strategi Pengembangan Masyarakat; Telaah atas Pemikiran
Mansour Fakih, oleh Tri Hariyono, Dakwah, 2006; Pendidikan Humanis
Mansour Fakih dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam, oleh Hadi
Ismawanto, Tarbiyah, 2007; Pendidikan dan Perubahan Sosial; Telaah
Konseptual Pemikiran Pendidikan Mansour Fakih, oleh Alpan, Tarbiyah,
2010. Sementara itu, penelitian dari perspektif gender dilakukan oleh
Hartati, dengan judul Kedudukan Perempuan dalam Islam; Studi atas
Pemikiran Dr. Masour Fakih, Ushuluddin, 2007.
Pertama, Pendidikan Popular Sebagai Strategi Pengembangan
Masyarakat (Telaah atas Pemikiran Mansour Fakih), skripsi oleh Tri
Hariyono, Dakwah, 2006. Dalam skripsi tersebut, Tri Hariyono memusatkan
perhatian tentang Konsep Pendidikan Popular menurut Mansour Fakih dan
tujuannya, sekaligus relevansi pendidikan popular tersebut sebagai strategi
terhadap pengembangan Masyarakat. Penelitian ini termasuk jenis penelitian
kepustakaan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosio-historis.
15
Dalam penelitiannya, Tri Hariyono mengungkapkan bahwa apa yang
dimaksud konsep pendidikan popular menurut Mansour Fakih adalah
konsep pendidikan yang menekankan pada dua hal, yang pertama adalah
subjek pendidikan yaitu rakyat keseluruhan, dan kedua, tujuan pendidikan
yaitu untuk penyadaran terhadap masyarakat (membangun kesadaran
kritis).12 Pendidikan popular yang berintikan penyadaran ini menggunakan
metode dialogis, dan bersifat ‘pemberdayaan’, yaitu mengembangkan
kekuatan-kekuatan atau kemampuan (daya), potensi sumber daya rakyat
agar mampu membela dirinya sendiri.13 Di samping itu, Tri Haryono
mengungkap pendidikan popular Mansour Fakih hanya melingkupi 4
(empat) bidang penyadaran saja; penyadaran gender, penyadaran HAM,
penyadaran Politik, dan Penyadaran Lingkungan Hidup. Adapun Mengenai
penyadaran Teologi tidak diungkapkan.
Kedua, Kedudukan Perempuan dalam Islam (Studi atas Pemikiran Dr.
Mansour Fakih), skripsi yang disusun oleh Hartati, Fakultas Ushuluddin,
2007. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan dengan
menggunakan pendekatan filosofis.14 Dalam penelitiannya, Hartati
memfokuskan permasalahan tentang kedudukan perempuan dalam Islam
menurut Mansour Fakih dan isu gender serta faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan sosial menurut Mansour Fakih. Temuan yang
12 Tri Hariyono, Pendidikan Popular sebagai Strategi Pengembangan Masyarakat (Telah atas Pemikiran Mansour Fakih), Skripsi, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2006, hlm. 112.
13 Ibid., hlm. 56. 14 Hartati, Kedudukan Perempuan dalam Islam (Studi atas Pemikiran Dr. Mansour Fakih),
Skripsi, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2007, hlm. 15.
16
dihasilkan dari penelitian ini adalah bahwa al-Qur’an pada dasarnya
mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah adil karena
keduanya diciptakan dari satu nafs dimana yang satu tidak memiliki
keunggulan terhadap yang lain. Menurut Mansour Fakih, prinsip al-Qur’an
terhadap hak dan kedudukan kaum perempuan adalah sama, di mana hak
istri adalah diakui secara adil dengan hak suami. 15 Isu-isu gender yang
mempengaruhi perubahan sosial menurut Mansour Fakih berkaitan dengan
ketidakadilan, seperti subordinasi terhadap perempuan, stereotype,
kekerasan, marginalisasi dan beban ganda terhadap perempuan.16
Ketiga, Pendidikan dan Perubahan Sosial; Telaah Konseptual
Pemikiran Pendidikan Mansour Fakih, skripsi oleh Alpan, Tarbiyah, 2010.
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan. Dalam
penelitian tersebut, Alpan memfokuskan penelitian pada konsep pendidikan
menurut Mansour Fakih, dan peran pendidikan dalam perubahan sosial
dalam konsep pemikiran pendidikan Mansour Fakih. Sebenarnya penelitian
ini hampir tidak jauh berbeda dengan penelitian yang sudah dilakukan oleh
Tri Haryono, jika ditinjau dari rumusan masalah yang dirumuskannya.
Keempat, Pendidikan Humanis Mansour Fakih dan Implikasinya
terhadap Pendidikan Islam, skripsi yang disusun oleh Hadi Ismawanto,
Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Penelitian ini
termasuk jenis penelitian kepustakaan dengan menggunakan pendekatan
15 Ibid., hlm. 76. 16 Ibid.
17
historis faktual.17 Fokus penelitian ini adalah pada konsep pendidikan
humanis Mansour Fakih dan implikasinya terhadap pendidikan Islam. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa konsep pendidikan Mansour Fakih terbagi
menjadi dua tema besar, yaitu konsep manusia menurut Mansour Fakih dan
konsep tentang pendidikan pembebasan Mansour Fakih yang berintikan
konsentiasi atau proses penyadaran. Sedangkan implikasinya terhadap
pendidikan Islam terbagi ke dalam empat kategori besar, yaitu: (1) Konsep
manusia menurut pendidikan Islam sejalan dengan manusia subyektif
Mansour Fakih, (2) Falsafah dasar iqra’ mengimplikasikan adanya
pendidikan pembebasan, (3) Implikasi yang tampak pada segi tujuan,
pendidik, peserta didik, materi, metode dan evaluasi, (4) Konsep pendidikan
Islam transformatif memiliki kesamaan terhadap pendidikan kritis Mansour
Fakih.18
Keempat penelitian di atas memiliki perbedaan dengan penelitian
yang akan dilakukan oleh penulis, yaitu dalam segi tinjauan perspektif yang
digunakan. Secara garis besar, penelitian-penelitian yang telah mendahului
di atas memiliki kecenderungan mengkaji pemikiran Mansour Fakih dengan
kurang ataupun mengenyampingkan aspek teologi dalam konstruksi
pemikiran Mansour Fakih. Oleh karena itu, penelitian ini dengan judul
Pemikiran Teologi Transformatif Mansour Fakih dapat dikatakan penelitian
yang mengkaji Mansour Fakih dari perspektif Teologi.
17 Hadi Ismawanto, Pendidikan Humanis Mansour Fakih dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam, Skripsi, Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007, hlm. 15.
18 Ibid., hlm. 76.
18
E. Metode Penelitian
Suatu metodologi mendefinisikan bagaimana orang akan meneliti
tentang suatu fenomena. Dapat juga disebut dengan teknik penelitian
spesifik.19 Jika dilihat dari objek kajiannya, jenis penelitian ini termasuk
penelitian kualitatif yang lebih khusus penelitian ini disebut dengan
penelitian kepustakaan murni (library research) dengan menggunakan
pendekatan teologi sosial. Teologi sosial yaitu pemikiran teologis yang
memiliki keterkaitan erat dengan realitas problematika yang dihadapi
masyarakat dan berorientasi untuk memberikan solusi atas problem yang
dihadapi masyarakat, seperti penindasan, ketidakadilan, keterbelakangan,
problem kesetaraan hak laki-laki dan perempuan ataupun pluralisme
agama.20
Adapun metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini
setidaknya ada tiga tahapan yaitu: pengumpulan data, pengolahan data dan
interpretasi data, atau bisa disebut dengan gabungan metode deskriptif dan
eksplanatoris secara bersamaan.
1. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini kategori penelitian kepustakaan murni
(library research), maka teknik yang digunakan dalam tahap awal
penelitian ini adalah pengumpulan data literal, yaitu menggali setiap