PRAGMATIC PARADOXES (THE VARIETIES, STYLES, AND STRUCTURES) A STUDY OF SOCIO PRAGMATICS AT MINANGKABAU I. INTRODUCTION A. Background of the Problem Normally, human being is enganged in the norm of the community where he or she lives which is known as politeness in speaking. The politeness is added to the process of communication with which the listener will be invited to respond. The response can be either positive or negative. If the norm is obeyed, the response can be positive or the speaker can be accepted, however, if it is broken, he may be rejected. Therefore, politeness is the most important aspect to apply in associating with people in one community In Minang Kabau, speaking politely is very urgent applied while communicating with other. The norm is derived from Minangkabaunese custom, popularized with “kato nan 4, such as kato mandaki, mandata, melereng, dan manurun. “Kato mandaki” is used wken speakindipakai bila
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PRAGMATIC PARADOXES (THE VARIETIES, STYLES, AND STRUCTURES)
A STUDY OF SOCIO PRAGMATICS AT MINANGKABAU
I. INTRODUCTION
A. Background of the Problem
Normally, human being is enganged in the norm of the community where he or
she lives which is known as politeness in speaking. The politeness is added to the
process of communication with which the listener will be invited to respond. The
response can be either positive or negative. If the norm is obeyed, the response can be
positive or the speaker can be accepted, however, if it is broken, he may be rejected.
Therefore, politeness is the most important aspect to apply in associating with people
in one community
In Minang Kabau, speaking politely is very urgent applied while communicating
with other. The norm is derived from Minangkabaunese custom, popularized with
“kato nan 4, such as kato mandaki, mandata, melereng, dan manurun. “Kato
mandaki” is used wken speakindipakai bila berbicara dengan orang yang lebih tua
atau dengan orang yang status sosialnya lebih tinggi. “Kato malereng” digunakan bila
berbicara dengan orang yang seumur atau selevel, tetapi saling menyegani, seperti
dengan ipar besan, “Kato mandata” dipakai bila berbicara dengan orang yang
seumur dan selevel . Sedangkan “kato manurun” dipakai bila berbicara dengan orang
yang statusnya lebih rendah atau umurnya lebih muda (Navis, 1984:262). Apabila
seseorang tidak memperhatikan aturan ini dalam berkomunkiasi maka dia akan
dianggap sebagai orang yang tidak beradat.
Aturan demikian diajarkan secara informal pada setiap keluarga. Orang tua
akan menegur anak-anaknya secara langsung, bila mendengar mereka berbicara
tidak pada tempatnya. Mereka meminta anaknya untuk menyapa setiap tamu yang
datang ke rumahnya atau menyapa orang yang bertemu dengan dia. Sebaliknya,
mereka akan melarang anaknya berbicara tidak sopan kepada orang lain,
meskipun yang dibicarakannnya benar.
Selain itu masrarakat Minangkabau terkenal dengan sikap gotong royong dan
saling membantu. Mereka suka mengerjakan perkerjaan secara bersama,
meskipun untuk kepentingan perorangan, misalnya dalam mendatarkan
perumahan pada waktu membangun rumah, penyelenggaraan pesta, peristiwa
kematian, dan sebagainya. Lebih dari itu, azas adat Minangkabau, “adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah”telah mengatur gaya dan cara hidup
mereka.. Sebagai penganut ajaaran Islam, mereka menjadikan ajaran Islam
sebagai landasan semua aturan adat. Oleh karena itu, pada dasarnya adat
Minangkabau tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Beberapa prinsip hidup yang diuraikan di atas dapat membentuk watak
masyarakat Minangkabau untuk memperhatikan aspek sopan santun dalam
berbahasa, yang kemudian menjadi budaya mereka, yaitu budaya basa-basi.
Namun, pada penelitian terhadap penggunaan bahasa dalam basa-basi yang
disebutnya dengan paradoks pragmatik, penulis menemukan bahwa tuturan basa-
basi lebih banyak dituturkan oleh orang dewasa dan tua yang wanita. dan pada
umumnya dituturkan oleh orang-orang yang mengerti basa-basi kepada orang
yang mengerti juga basa-basi (Yelfiz.a, 1999:176-179). Juga penulis menemukan
bahwa kepedulian kepada orang lain yang dipantulkan lewat tuturan ternyata ada
yang sesuai dengan ajaran Islam dan ada pula yang tidak sesuai, sedangkan
masyarakat penuturnya penganut ajaran Islam.
Hal lain yang juga mendorong penulis untuk mengkaji topik ini adalah
makin kurangnya perhatian masyarakat untuk bertutur kata yang sopan. Pada
pengamatan sekilas terhadap masyarakat Minangkabau, penulis melihat seiring
dengan perjalan waktu, sopan santun dalam bertutur kata dan pertimbangan
terhadap lawan bicara makin diabaikan. Berbicara dengan orang yang lebih tua
sudah sama saja dengan berbicara dengan orang yang lebih muda.
Untuk lebih jelasnya uraian di atas digambarkan dalam diagram berikut.
pragmatik sosilogi
basa-basi
paradoks pragmatik
aturan dan sikap bermasyarakat kenyataan
kato nan jiwa gotong ajaran sumber arah sesuai atau tutur sopan
ampek” royong Islam gol.tertentu or.tertentu tidak dg Islam berkurang
masalah
B. Identifikasi Masalah
Sebagaimana diungkapkan di atas, budaya berbahasa masyarakat Minangkabau
sangat unik, yang disebut basa-basi. Dari bentuk tuturannya, basa-basi dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu berbahasa sopan dengan memperhatikan
kato nan ampek (Navis, 1984) dan berbahasa sopan, yang dalam istilah pragmatik
disebut dengan paradoks pramatik (Yelfiza, 1999). Dari kedua bentuk basa-basi ini,
yang unik dan merupakan ciri khas orang Minangkabau adalah bentuk kedua, yaitu
basa-basi yang mengandung unsur pertentangan antar partisipan dengan maksud
untuk kesopanan .
Pada sisi lain, ilmu bahasa yang mengkaji hubungan antara bahasa dengan
konteknya disebut pragmatik (Levinson, 1985). Selanjutnya, pragmatik menurut
Leech (1983) berkaitan dengan dua aspek yang berbeda, yaitu aspek komunikasi dan
aspek bahasa. Keterkaitan pragmatik dengan aspek komunikasi dikaji dalam
sosiopragmatik, sedangkan keterkaitannya dengan aspek bahasa dikaji dalam
pragmalinguistik. Namun dalam penelitian ini hanya difokuskan pada kajian sosio
pragmaik saja. Penulis akan mengkaji pengggunaan tuturan paradoks pragmatik dan
kaitannya dengan aspek komonikasi.
C. Perumusan Masalah
Penelitian tentang basa-basi masyarakat Minangkabau belum banyak dilakukan,
terutama tentang basa-basi yang mengandung unsur pertentangan antar partisipan.
Yelfiza (1999) telah melakukan penelitian tentang fungsi tindak tutur, implikatur, dan
nilainya dari sudut ajaran Islam.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Sopan santun berbahasa terlihat
pada tuturan basa-basi yang mengandung pertentangan antar partisipan dalam
percakapan. Namun pertentangan tersebut keduanya dimaksudkan karena masing-
masing ingin berkata sopan kepada yang lainnya. Misalnya, A menawarkan sesuatu
kepada B karena ingin berterima kasih atas pertolongannya. Sebaliknya, B menolak
karena tidak ingin merepotkan A. Juga ditemukan basa-basi seperti ini hanya
dituturkan kepada orang dewasa dan berakal.
Temuan lain yang juga menjadi perhatian bagi penulis adalah adanya perbedaan
dan pertentangan makna antara yang diucapkan dengan yang terdapat dalam hatinya.
Sebagian dari isi tuturan pada basa-basi tidak bisa dimaknai berdasarkan kata dan
struktur kalimatnya, karena maknanya sangat dipengaruhi oleh unsur budaya
penuturnya. Misalnya tuturan yang sama yang diucapkan oleh penutur yang religious
dengan orang yang tidak religious mungkin mempunyai makna yang berbeda. Begitu
juga yang dituturkan oleh orang yang berpendidikan berbeda dengan orang tidak
berpendidikan. Dengan demikian, dapat dlihat bahwa pemahaman masyarakat tentang
budaya basa-basi sangat beragam, tergantung kepada budayanya secara individual,
sehingga penerapannya dalam berkomunikasipun beragam.
Beberapa penemuan di atas mendorong penulis untuk mengkaji lebih mendalam
tentang ragam, gaya, dan struktur paradoks pragmatik. Lebih jauh juga akan dilihat
proses perubahan dalam tuturan dan bentuk-bentuk perubahan, sehingga dapat
diterangkan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat yang mungkin menjadi
pemicu kurang diperhatikannya lagi sopan santun dalam berbahasa.
Skop penelitian ini akan dibatasi pada masyarakat Minangkabau yang menetap
pada daerah Pagaruyung, yang sudah mampu berkomunikasi dengan masyarakat
secara umum, minimal sudah berusia 17 tahun. Mereka dipilih dengan asumsi bahwa
daerah ini merupakan asal Minangkabau, sehingga diasumsikan budaya basa-basi asli
bisa ditemukan di sini. Juga dipertimbangkan bahwa pada usia ini mereka sudah
mampu membedakan yang baik dan yang buruk. Selanjutnya, Untuk melihat
perubahan sebagai pembanding, penulis akan melakukan penelitian terhadap generasi
muda Minangkabau yang tinggal di Padang, maksimal berumur 25 tahun. Kota
Padang sebagai ibu kota propinsi didiami oleh masyarakat yang beragam, sehingga
budaya individu akan saling mempengaruhi satu sama lain, yang selanjutnya
menimbulkan pergeseran dalam bertutur kata.
Berdasarkan kondisi yang digambarkan pada pendahuluan, penulis dapat
merumuskan masalah penelitian yaitu “Ada apa yang terjadi dengan basa-basi atau
paradoks pragmatik pada masyarakat Minangkabau? Berdasarkan rumusan masalah
itu, penulis ingin menjawab beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
(1) Bagaimana dan mengapa terdapat ragam paradoks pragmatik dalam basa-basi
masyarakat Minangkabau?
(2) Bagaimana gayanya dan kenapa terdapat berbagai gaya?
(3) Bagaimana strukturnya?
(4) Kenapa terjadi perubahan paradoks pragmatik ?
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ragam, gaya, dan struktur
paradoks pragmatik bahasa Minangkabau. Lebih jauh, penulis akan menganalisis
sistem pewarisan paradoks pragmatic untuk . Terakhir, akan dinalisis alasan makin
kurangnya penerapan sopan santun berbahasa dari generasi ke generasi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah linguistik, khususnya
di bidang pragmatik. Juga diharapkan dapat diterangkan bagaimana masyarakat
melaksanakan pendidikan budaya kepada generasi berikutnya, sehingga diketahui
penyebab terjadinya dekadensi moral dalam berkomunikasi.
Untuk lebih ringkasnya masalah penelitian dapat digambarkan seperti berikut ini:
Paradok pragmatik Minangkabau
Ragam gaya struktur
pewarisan
perubahan
Bab II. Tinjauan Pustaka
A. Basa-basi dan Paradoks Pragmatik
Basa-basi didefinisikan oleh Poerwadarminta (1993:94) sebagai adat sopan santun,
tata karma, tingkah laku, dan tutur kata yang baik. Dalam istilah yang lebih luas, basa-
basi mencakup bahasa kiasan. Selanjutnya, kemampuan mengutarakan pendapat dan
menanggapi kiasan termasuk pemahaman makna etika basa-basi atau budi bahasa (Navis,
1984:262).
Satu istilah yang berkaitan dengan basa-basi yang sering dipakai oleh masyarakat
adalah mampabasoan (menawarkan sesuatu kepada orang lain). Masyarakat menganggap
hal ini perlu diaplikasikan dalam hidup bermasyarakat. Misalnya, apabila akan makan,
dia akan menawarkan orang yang ada di sekitarnya untuk makan juga. Lawannya adalah
babaso (menolak tawaran dengan sopan), misalnya dengan mengatakan lah sudah. Ini
sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Leech sebagai paradoks pragmatik. Dia
menerangkan bahwa paradoks pragmatik adalah sikap yang bertentangan antar partisipan
dalam percakapan, sehingga timbul tekad keduanya untuk berprilaku sesopan mungkin
dengan cara yang berlawanan. Misalnya A menawarkan sesuatu kepada B, tetapi ditolak
oleh B karena yang ditawarkan itu dianggap merepotkan A Kemudian karena A tahu
alasan penolakan B, sehingga dia mengulangi tawarannya, dan begitu juga sebaliknya
(1983:111).
Yelfiza (1999:175-177), mengembangkan paradoks pragmatik melalui penelitiannya,
yang melihat fungsi tindak tuturnya, implikatur, serta nilai tuturannya ditinjau dari ajaran
Islam. Dalam penelitian ini dia menemukan 17 fungsi tindak tutur paradoks pragmatik,
yaitu mendekatkan hubungan, memaklumi keadaan orang, menunjukkan keakraban,
menyatakan penyesalan/tidak setuju, menyapa, menyatakan ingin berpisah,
mengungkapkan rasa segan, menyatakan perasaan malu, menghargai, menghormati,
menunjukkan rasa sayang, bermusyawarah, mengungkapkan janji, dan memberikan
kepercayaan. Namun setelah menganalisi konteknya, ternyata sebagian paradoks
pragmatik mempunyai makna yang sejalan dengan maknanya (makna denotatif), dan
yang lainnya mengandung makna yang bertentangan dengan fungsi tindak tuturnya.
(makna konotatif), sehingga perlu dipahami konteksnya secara menyeluruh. Lebih jauh
juga ditemukan bahwa paradoks pragmatik ada yang diungkapkan dengan tulus dan
sungguh-sungguh, sungguh-sungguh tetapi tidak tulus, pura-pura, dan tulus ikhlas karena
Allah (di luar jangkauan peneliti).
B. Konteks
Sebagaimana yang dinyatakan oleh levinson (1985:9) penggunaan bahasa tidak dapat
dipisahkan dengan konteksnya, sebab bahasa digunakan berdasarkan konteksnya. Istilah
konteks dapat dipahami dari definisi yang dikemukakan oleh Dijk (1998:6) berikut ini:
“Context is defined as the (mentally represented) structure of those properties of the
social situation that are relevant for the production or comprehension of discourse.”
Berdasarkan definisi diatas dapat dilihat bahwa konteks mencakup semua property
situasi social yang berkaitan dengan pengungkapan dan pemahaman wacana. Misalnya,
latar tempat ( tempat, waktu), tindakan yang berlangsung, partisipan, peran social dan
lembaga, juga termasuk gambaran mental seperti, tujuan, pengetahuan, pendapat, sikap,
dan ideology.
Wert dalam Yasin ( 1991:264-269 ) membagi konteks atas konteks situasional
(ekstra-linguistik) dan konteks linguistik. Konteks situasional adalah konteks yang
berkaitan langsung atau tidak langsung dengan partisipan. Konteks ini dibagi lagi
menjadi konteks budaya dan konteks langsung. Sebaliknya, konteks linguistic adalah
penanda kebahasaan yang dapat memberi petunjuk tentang hubungan antara penanda
tersebut dengan aspek bahasa yang ada di sekitarnya. Konteks ini dibedakan menjadi
konteks somotaktik dan konteks wacana. Konteks somotaktik dapat digunakan untuk
melihat kehosian dalam tutran/kalimat, sedangkan konteks wacana dapat digunakan
untuk melihat hubungan kekohesian antara gagasan dalam suatu wacana
C. Ragam Paradoks Pragmatik
Penelitian tentang ragam paradoks pragmatik sama saja dengan ragam bahasa
secara umum. Penelitian tentang ragam bahasa telah dimulai oleh Labov yang meneliti
tentang tinkatan bahasa Inggris di New York ( Fasold, 1990:223 ). Dalam penelitiannya
banyak diperoleh karakteristik penutur, sehingga dapat dibandingkannya dengan data
linguistik. Dalam penelitian tersebut dia menganalisis ciri-ciri variabel linguistik yang
disebut varian. Temuannya adalah pola tinkatan kelas. Varian tertentu paling sering
digunakan oleh kelas masyarakat yang tinggi statusnya, paling sedikit oleh masyarakat
yang statusnya paling rendah, dan sedang oleh masyarakat kelas menengah ( 1990:224 ).
Dalam penelitiannya di atas, analisis Labov difokuskan pada bahasa yang
dikaitkan dengan kelas masyarakat penuturnya. Namun dalam ragam paradoks pramatik,
analisis difokuskan pada penggunaan bahasa yang dikaitkan dengan konteks situasional.
Studi tentang ragan tuturan bertolak dari pandangan bahwa bahasa merupakan
manifistasi masyarakat. Oleh karena itu, ragam bahasa sosial tercermin pada bahasa yang
digunakan. Lebih jauh dikatakan bahwa pola tuturan berhubungan dengan perubahan
sosial ( William, 1992:66 ).
Dalam pembicaraannya tentang masyarakat bahasa, Labov (1992:71)
mendiskusikan bahwa kelompok umur yang berbeda dalam suatu masyarakat memiliki
masyarakat bahasa yang agak berbeda. Hasil penelitiannya juga mengungkapkan bahwa
kelas masyarakat bahasa rendah cendrung meningkatkan statusnya dengan mencontoh
kelas tinggi. Tindakan demikian akan membentuk norma masyarakat (William, 1992:72 )
Lebih jauh Ure dalam William (1992:75) menyatakan bahwa perubahan norma
masyarakat terjadi karena teknologi dan transisi individu serta masyarakat.
1. Pewarisan Budaya
a. Pendidikan Agama
b. Pendidikan formal
c. Pendidikan informal
2. Teori pertukaran
D. Gaya Paradoks Pragmatik
Tuturan diungkapkan oleh partisipan dengan berbagai gaya. Kadang-kadang
mereka serentak mengungkapkan tuturan mereka (berebut). Pada sisi lain, ada pula yang
antri (partisipan dengan tenang menunggu giliran mereka untuk berbicara). Percakapan
yang serentak dikatakan oleh Tannen dalam Fasold (1990:73) sebagai salah satu
karakteristik gaya tuturan yang keterlibatan partisipannya tinggi. Selanjutnya, dia
mengemukakan lima gaya tuturan , yaitu: 1) berbicara lebih cepat, 2) mempergunakan
giliran berbicara dengan cepat, 3) menghindari diam di antara tuturan, 4) serentak
menyelesaikan tuturan, 5) melibatkan kemampuan pendengaran.
E. Struktur Tuturan
Sebagaimana halnya tingkah laku yang terpola, tuturan juga terpola. Satu percakapan
tentang bisnis misalnya mempunyai pola seperti berikut ini: salam pertemuan-bisnis-
mengucapkan selamat jalan. Dalam interaksi tersebut pertama partisipan membangun
hubungan yang baik dengan menyapa, kemudian mereka masuk pada pembicaraan
tentang bisnis. Pada akhir pembicaraan mereka mengucaokan selamat jalan.
Struktur percakapan ditinjau dari giliran partisipan mencakup sistem manajemen
lokal, unit konstrusional, tempat transisi yang relevan (Levinson, 1985:297). Lebih
jauh, Couthard dalam Hudson (1985:131) mengemukakan struktur yang didasarkan
atas kenyataan bahwa orang bergiliran berbicara pada setiap berinteraksi. Mengenai
hal ini, dia mengemukakan beberapa pernyataan yang berhubungan dengan giliran,
yaitu 1) bagaimana pembicara memperlihatkan bahwa mereka mengakhiri
pembicaraannya, 2) bagaimana pendengar memperlihatkan bahwa mereka akan
memulai percakapan, 3) siapa yang menentukan pembicara yang akan dulu, 4) siapa
yang paling banyak bicara, dan 5) lain-lain.
Struktur tuturan juga bisa ditinjau dari pasangan terdekat. Pasangan terdekat
adalah suatu tipe tuturan pembicara yang membutuhkan bentuk tuturan tertentu dari
yang lain. Pasangan dekat yang paling banyak adalah pernyataan yang didiringi
dengan jawaban. Bentuk lainnya adalah sapaan+sapaan, keluhan=maaf,
panggilan+jawab, undangan+penerimaan, dan sebagainya.
F. Hakekat Interaksi
Semua orang mempunyai kebutuhan, keinginan, pandangan, dan nilai-nilai dalam
hidupnya. Mereka tidak bisa mendapatkan dan mengembangkan semua itu bila tidak
hidup bermasyarakat. Mereka dengan demikian, akan berinteraksi satu sama lain,
sehingga dapat mewujudkan semua hal di atas.
Interaksi akan efektif bila orang mampu memahami dirinya. Orang yang hidup di
tengah masyarakat yang memperhatikan tutur kata, perlu menyadari bahwa dirinya
merupakan bagian dari mereka sehingga mampu menyesuaikan diri. Apabila ini
dilupakan, maka dia akan dikeluarkan dari kelompoknya. Pendapat di atas didukung
oleh Cooley yang dikutip oleh Turner, et al (1998:344). Mereka mengemukakan tiga
proposisi tentang konsep diri. Pertama diri adalah proses memandang diri sebagai
objek yang hidup bersama objek lain di lingkungannya, Kedua, diri muncul dari
komunikasi dengan orang lain: ketika berinteraksi, orang menginterpretasikan isyarat
yang diberikan orang lain, sehingga dapat melihat dirinya dari cara pandang dan
penilaian orang lain terhadap dirinya, yang disebut berkaca diri. Ketiga, diri muncul
dari interaksi dengan kelompok yang mempunyai hubungan personal dan akrab untuk
pembentukan perasaan dan sikap diri.
Lain halnya dengan Dewey, yang melahirkan konsep tentang pikiran. Dia
menyatakan bahwa pikiran merupakan prosess dalam diri idividu untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Pikiran muncul melalui interaksi dengan
masyarakat sekitar (345). Teori ini kemudian dikembangkan oleh Mead yang
berasumsi bahwa orang perlu bekerjasama dengan orang lain untuk mempertahankan
hidupnya. Dia memperkenalkan konsep orang lain, yang mempunyai tiga elemen,
yaitu pikiran, diri social dan masyarakat. Pikiran adalah proses seleksi isyarat yang
ditampilkan oleh orang lain untuk penyesuaian diri, yang dilaksanakan secara triel
and error melalui pengarahan dari orang terdekat. Dengan menafsirkan isyarat dari
orang sekitar, dia bisa memperkirakan perspektif orang lain, sehingga bisa ditetapkan
alternative tindakannya untuk menyesuaikan diri. Dalam diri social, manusia
dipandang sebagai aktor simbolik pada lingkungannya dan menjadikan dirinya
sebagai objek secara simbolik. Dia menerangkan tiga tahap pengembangan diri sosial,
yaitu pada tahap bermain (mampu mengasumsi perspektif orang lain dalam jumlah
kecil), tahap game (mampu mengambil peran beberapa orang yang terlibat dalam
kegiatan yang terorganisir), contoh baseball game, di sini individu harus mampu
memperkirakan peran setiap orang dalam tim agar bisa berpartisipasi secara efektif.
Tahap ketiga, mampu mengambil peran orang lain yang disepakati. Dia sudah bisa
memperkirakan perspektif masyarakat secara menyeluruh, misalnya kepercayaan,
nilai-nilai dan norma mereka.
Elemen yang terakhir adalah masyarakat. Masyarakat atau lembaga merupakan
interaksi yang terorganisir dan terpola antara individu yang berbeda. Interaksi
tergantung pada pikiran. Tanpa kapasitas pikiran seperti yang diuraikan di atas, dia
tidak akan mampu mengkoordinir aktifitasnya (346-348).
Bab III. Metodologi Penelitian
A. Rancangan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah etnografi berbicara.
Sebagaimana yang dikemukakan Fasold (1990:47) tujuan etnografi berbicara adalah
untuk memperoleh pemahaman secara global tentang pandangan dan nilai-nilai yang
dianut oleh suatu masyarakat.
B. Informan Penelitian
Seperti yang diungkapkan pada pendahuluan, pada penelitian ini penulis ingin
mengumpulkan tuturan paradok pragmatik dari berbagai komunitas penutur, sehingga
bisa diperoleh ragam, gaya, dan strukturnya. Untuk itu, informannya adalah semua
penutur paradok pragmatik yang tuturannya menjadi data penelitian. Disamping itu,
juga akan digunakan informan kunci yaitu pemuka adat daerah tersebut serta beberapa
orang penutur paradok pragmatik untuk menemukan cara pewarisan paradok
pragmatik serta perubahan cara bertutur kata.
Sampel dipilih secara purposive terhadap informan yang menuturkan paradox
pragmatic. Dalam hal ini pengumpulan paradox pragmatic dilaksanakan sampai jenuh
(tidak lagi variasi yang ditemukan). Informan kunci dipilih dengan teknik snowball
sampling. Di sini penulis menginterview informan yang diasumsikan mengetahui
paradox pragmatic, cara pewarisannya, dan perubahan cara bertutur kata masyarakat
Minangkabau.
C. Teknik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan melalui etnometodologi untuk menghadirkan data paradoks
pragmatik, sehingga diketahui gaya, struktur, dan ragamnya. Peneliti akan
berpartisipasi langsung dengan partisipan sambil mengamati pandangan dan nilai yang
dianut mereka. Teknik ini menitikberatkan pada bagaimana caranya semua partisipan
menyepakati kesan terhadap suatu hal, seperti aturan, definisi, nilai-nilai, dan lain-lain
(415). Teknik ini akan disertai dengan teknik rekam terhadap tuturan paradok
pragmatik yang muncul.
Teknik kedua akan digunakan interview. Di sini penulis akan menginterview
informan kunci seperti pemuka adat, orang tua, serta partisipan yang tuturannya
dijadikan sebagai data. Melalui teknik ini, penulis akan mengetahui pandangan, sikap,
dan nilai-nilai yang mereka peroleh dari lingkungan mereka, yang mempengaruhi cara
mereka bertutur kata. Juga akan diperoleh data tentang perubahan-perubahan yang
terjadi dalam bertutur kata seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya
lingkungan yang mereka masuki.
D. Teknik Analisis Data
Dalam analisis data akan digunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan etik dan
emik. Pendekatan etik digunakan untuk menghindari resiko yang bisa muncul dalam
menginterpretasikan data (Hymes dikutip oleh Fasold, 1990:49). Dalam hal ini akan
digunakan kisi-kisi etik sebagai analisis prastruktural. Langkah-langkahnya adalah: 1)
mengelompokkan seluruh data yang dapat diperbandingkan ke dalam system tunggal,
2) menyediakan kriteria pengklasifikasian, 3) mengorganisasikan data yang sudah
diklasifikasikan ke dalam tipe-tipe, 4) mempelajari, menemukan, dan menguraikan
setiap data baru sebelum mempelajari kebudayaan data (Moleong, 1994:53).
Selanjutnya, pendekatan etik digunakan untuk mengaitkan data bahasa dan
kebudayaan yang diperoleh dengan data kebudayaan secara menyeluruh untuk
memahami sikap, motif, kesugguhan, respons, konflik, dan ain-lain yang terdapat pada
partisipan. Untuk itu, digunakan teknik hubung banding, menyamakan, membedakan,
dan menyamakan hal pokok (Sudaryanto, 1993: 25-7).
Langkah berikutnya adalah memeriksa keabsahan data. Teknik yang digunakan
adalah ketekunan pengamatan, triangulasi (dengan sumber data, metode, dan teori),