perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh SHINTA UTAMI NIM.E0007211 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
96
Embed
TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN …eprints.uns.ac.id/6063/1/208161111201105271.pdf · UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN
DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN
RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN
1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN
1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh
SHINTA UTAMI
NIM.E0007211
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN
DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN
RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN
1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN
1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI)
Oleh
Shinta Utami
NIM.E0007211
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 20 Juli 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
PERNYATAAN
Nama : Shinta Utami
NIM : E0007211
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN
DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN
RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN
1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN
1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya
saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan
dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum
(skripsi) ini.
Surakarta, Maret 2011
yang membuat pernyataan
Shinta Utami
NIM.E0007211
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
ABSTRAK
Shinta Utami, E0007211. 2011. TELAAH SINKRONISASI HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sinkronisasi hukum mengenai pengaturan kewenangan dalam hal penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan yang mengaturnya. Penulisan hukum ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif, mengkaji bagaimana pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi serta taraf sinkronisasi hukum mengenai kewenangan tersebut berdasarkan peraturan yang mengaturnya yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 8 tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sumber penelitian sekunder yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan sumber bahan hukum yang digunakan yaitu studi kepustakaan dan rujukan internet. Analisis penelitian yang digunakan adalah silogisme deduktif dengan pengumpulan sumber penelitian untuk menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi serta sinkronisasi hukum mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yaitu terdapat didalam Pasal 1 angka 8 sampai dengan 13 UU Kepolisian, Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (1) KUHAP, Pasal 6, Pasal 7 huruf a, Pasal 8 ayat (2), (3), (4), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 serta Pasal 43 sampai dengan Pasal 45 UU KPK, Pasal 25, 26, 28, 29, 30, 32, dan 33 UU Tipikor. Sedangkan taraf sinkronisasi horosontal kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan yang telah mengaturnya sesungguhnya terdapat sinergisitas antar instansi yang menanganinya sesuai dengan aturan yang telah mengaturnya. Kata Kunci : sinkronisasi hukum, kewenangan penyelidikan dan penyidikan, tindak pidana korupsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
ABSTRACT
Shinta Utami, E0007211. 2011. A STUDY OF LAW SYNCHRONIZATION OF PERUSAL AND INVESTIGATION COMPETENCE OF CORRUPTION CRIMINALITY (A STUDY TOWARDS UU NO. 2 YEAR 2002 ABOUT REPUBLIK OF INDONESIA POLICE DEPARTEMENT, UU NO. 16 YEAR 2004 ABOUT HOUSE OF PROSECUTION, UU NO. 8 YEAR 1981 ABOUT KUHAP, UU NO. 30 YEAR 2002 ABOUT CORRUPTION CRIMINALITY DISMISS COMISSION, UU NO. 31 YEAR 1999 jo UU NO. 20 YEAR 2001 ABOUT CORRUPTION CRIMINALITY DISMISS). Faculty of Law of SEBELAS MARET UNIVERSITY. This law essay is aimed at finding how the synchronization of law about the regulation of competence in perusal and investigation towards corruption criminality based on the rule that regulate it. This law essay is a normatuve law research prescription, that examine how the rule about perusal and investigation fowards corruption criminality ang law synchronization degree about that compentence based on the rule that regulate it, that is UU No. 2 Year 2002 about Republik Of Indonesia Police Departement, UU No. 16 Year 2004 about House Of Prosecution, UU No. 8 Year 1981 about KUHAP, UU No. 30 Year 2002 about Corruption Criminality Dismiss Comission, UU No. 31 Year 1999 Jo UU No. 20 Year 2001 about Corruption Criminality Dismiss. Secondary source used is primary law materials, secondary law materials and tertiary law materials. The law material source collection technique used is literature study and internet recomendation. The research analysis used in this reaserch is deductive syllogism with research source is processed and is analyzed to solve the problem examined. The last stage is infering all the research source processed, so it can be found about the perusal and investigation competence towards corruption criminality and the synchronization of law about perusal and investigation competence towards corruption criminality. Based on the research, it can be infer that the regulation about perusal and investigation competence towards corruption criminality that is stated in Chapter 1 number 8 until 13 UU Republik of Indonesia Police, Chapter 30 verse (1) letter d UU House of Prosecution, Chapter 1 verse (4) and Chapter 6 verse (1) KUHAP, Chapter 6, Chapter 7 letter a, Chapter 8 verse (2), (3), (4), Chapter 9, Chapter 10, Chapter 11, Chapter 12, Chapter 38 until Chapter 41, Chapter 43 until Chapter 45 UU Corruption Criminality Dismiss Comission, Chapter 25, 26, 28, 29, 30, 32, and 33 UU Corruption Criminality Dismiss.. meanwhile, the horizontal synchronization degree of perusal on investigation towards corruption criminalitybased on the regulation that had been regulated is in fact there is a synergy between instances that handle it based on the regulation that regulate it. Key words: Law synchronization, perusal and investigation competence, corruption criminality.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
MOTTO
Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kebaikannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan kalau kamu memutar balikkan kenyataan atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S.An-Nisa 4 : 135 ) Hiduplah bersama Al-quran, baik dengan cara menghafal, membaca, mendengarkan, maupun merenungkannya. Sebab ini obat yang mujarab untuk mengusir kesedihan dan kedukaan. (Dr. Aidh Al Qarni, La Tahzan) Terkadang Tuhan memberikan kita cukup kebahagiaan untuk membuat kita belajar bagaimana untuk tidak melupakan-Nya dengan bersyukur dan memberikan cukup cobaan membuat kita belajar bagaimana untuk tetap kuat dan berproses. (Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
PERSEMBAHAN Karya kecil ini Penulis persembahkan kepada : · Allah SWT, Dzat yang Maha Sempurna, Maha mendengar doa manusia dan memberi jalan untuk setiap kesulitan dan kemudahan hamba-NYA · Baginda Rasulullah Muhammad SAW, yang telah menyampaikan kebenaran-kebenaran dari Allah SWT kepada kita hamba-Nya yang terlalu kecil di hadapan-Nya · Ibu dan Bapak, doamu adalah energiku dan harapanmu adalah kekuatanku · Simbah, sujud dan doamu adalah semangatku · Kakakku teman berbagiku, gudang pengalamanku · Fakultas Hukum UNS
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas setiap
kasih sayang-Nya, berkah dan rahmat-NYA sehingga Penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan Penulisan Hukum yang berjudul “TELAAH SINKRONISASI
HUKUM KEWENANGAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 2002
TENTANG KEPOLISIAN RI, UU NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG
KEJAKSAAN, UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP, UU NO. 30
TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI, UU NO. 31 TAHUN 1999 jo UU NO. 20 TAHUN 2001
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)”. Shalawat
dan salam semoga selalu tercurah kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Penulisan Hukum atau Skripsi merupakan tugas wajib yang harus diselesaikan
oleh setiap mahasiswa untuk melengkapi syarat memperoleh derajat sarjana dalam
Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penanganan tindak pidana korupsi seperti halnya dengan tindak pidana lain di
awali dengan penyelidikan dan penyidikan. Tindak pidana korupsi merupakan
salah satu tindak pidana khusus, dalam penanganan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana korupsi (tindak pidana khusus) dimiliki oleh beberapa instansi yang
memiliki kewenangan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi,
diantaranya alah Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di atur
di dalam beberapa aturan perundang-undangan yaitu UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian RI, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 8
tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga terlihat
seperti adanya tumpang tindik kewenangan antar instansi dalam penanganan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
sinkronisasi hukum kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
korupsi untuk menjelaskan sinergisitas kewenangan antar instansi-instansi yang
berwenang tersebut
Untuk itu, mengenai pengaturan kewenangan penyelidikan dan penyidikan
terhadap tindak pidana korupsi harus diatur secara jelas agar terlihat sinergisitas
antar pihak yang mempunyai kewenangan tersebut dan tidak terlihat adanya
tumpang tindih kewenangan dalam penanganan korupsi di Indonesia dan dapat
tetap berjalan secara maksimal.
Penulis menyadari bahwa terselesainya Penulisan Hukum ini tidak terlepas dari
bantuan baik moril maupun materiil serta doa dan dukungan berbagai pihak,
dalam kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku pembimbing I yang telah
memberikan banyak masukan, saran dan motivasi bagi Penulis untuk
menyelesaikan penulisan hukum ini.
3. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H.,M.H., selaku pembimbing II yang dengan
sabar memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi serta bersedia
menyediakan waktu, pemikiran dan berbagi ilmu dengan penulis.
4. Ibu Kus Sunaryatun, S.H.,M.H., selaku pembimbing akademis, atas nasehat
yang berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum UNS.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan
skripsi ini.
6. Ketua Bagian PPH Bapak Lego Karjoko S.H., M.Hum., dan Mas Wawan
anggota PPH yang banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.
7. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Hukum UNS, yang telah membantu
menyediakan bahan referensi yang berkaitan dengan topik penulisan hukum.
8. Ibu dan Bapak tercinta yang selalu mengantarkan kepergianku dengan penuh
doa, harapan dan nasehat-nasehatnya serta selalu menyambut kepulanganku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
dengan senyum dan perhatiannya. Terima kasih atas setiap cinta, doa, kasih
sayang, perhatian, harapan, dukungan, motivasi, semangat dan segala yang
telah kalian berikan yang tidak ternilai harganya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum ini.
9. Simbah tercinta, terimakasih disela-sela setiap sujud dan doamu tak lupa
selalu ada doa untukku.
10. Kakak terbaik didunia, Sulistyo Utomo teman berbagi yang telah memberikan
pandangan dan bantuan cukup ilmu bagi Penulis dalam menyelesaikan
penulisan hukum ini.
11. Saudara-saudara dan keluarga besar atas doa dan dukungan yang luar biasa
kepada penulis.
12. Sahabat-sahabat motivasiku, Lina “partner in crime” sahabat yang selalu
memberikan bantuan dan informasi selama hampir 4 tahun ini, Venni sahabat
ceriaku teman berbagi cerita, Tyas sahabat saling menopang teman untuk
saling menguatkan. Suka, duka, tawa dan tangis pernah mewarnai
kebersamaan kita dan kita selalu bertahan dalam keadaan apapun untuk tetap
menjadi satu dari awal sampai ujung kapanpun dibawah pedoman yang selalu
kita ingat bersama “Perbedaan Itu Indah!!”.
13. Sahabat-sahabat yang dipertemukan ketika Magang di Kejaksaan Negeri
Karanganyar : Mey, Wawan, Mas Agung, Mas Sukma, Puspita, Dhika,
Mardiyan. Tak akan pernah sekeping kenanganpun akan terlupakan dari
kebersamaan kita yang hanya 1 bulan saja.
14. Sahabat malamku, Mey, Wawan, Mas Agung dan Mas Sukma terimakasih
untuk hari-hari dan setiap malam yang kita lewati bersama. Walau hanya
sekedar kopi yang terkadang selalu menjadi teman bekumpul kita tapi rajutan
impian selalu terukir untuk menjadi semangat dan batu loncatan kita.
Tarimakasih dan maav atas segala kejutan yang terkadang menimbulkan tawa
ataupun amarah itu semua tak luput dari kealpaan dari diri pribadi untuk
kebersamaan kita.
15. Sahabat perjuangan, kawan untuk saling berproses : Dayat, Gopal, Padank,
Refi, Yuda, Mia, Citra, Dina, Riri, Desi, Hangga keluarga dalam satu tubuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
Pengurus HMI Kom FH UNS serta mas-mas yang telah membagi banyak ilmu
dan pandangan hidup untuk merubah dunia : Mas Didit, Mas Yasser, Mas
Anung, Mas Ridho, Mas Aldi, Mas Okki, Mas Aji, Mas Arman, Yedi, Mas
Martin, Mas Wisnu.
16. Keluarga keduaku, teman hidup bersama di kota Solo yang menumbuhkan arti
keluarga antara kita “Kethoprak” : Wulan, Lina, Dasri, Duden, Nopek, Nia,
Huzna, Dek Aning. Terimakasih atas perhatian dan bantuan serta canda tawa
yang mewarnai rumah kontrakan kita, walau hanya sekedar “gubuk” tetapi
banyak cerita tertoreh bersama.
17. Rahadian Anhar Ansori “kawan dalam bersaing” makasih untuk semua
waktunya sudah menjadi teman berbagi, menjadi pendengar dan penasehat
yang baik dan terimakasih untuk selalu mengingatkan tentang ajaran agama.
18. Sahabat senyum dan tawa : Prisil, Enggar, Lisa, Radit walau tak bisa
menempuh ilmu di kota yang sama dengan kalian tetapi terimakasih untuk
semua waktu, canda, tawa, cerita yang telah kalian luangkan dan bagi
bersama. Terima kasih untuk mau menampungku di Jogja ketika Solo
terkadang membuat lengah. Tetap saling berbagi semangat dalam keadaan
apapun. Bangkitkan kawan disaat dia terjatuh.
19. Teman-teman angkatan 2007 Fakultas Hukum UNS, teman-teman PETITUM
menganggap perlu dapat diadakan pertemuan dengan penyidik lainnya.
Jaksa yang berfungsi sebagai penuntut umum, juga merupakan
penyidik atau pengusut yang paling luas dan penting karena tugasnya
pengusutan dari permulaan sampai akhir, penyidikan lanjutan dan
mengawasi serta mengkoordinasikan alat penyidikan terhadap perkara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
tertentu. Untuk itu jaksa wajib melengkapi berkas pemerikasaan perkara
tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik. Maka dalam perkara tindak pidana korupsi, pihak
Kejaksaan juga mempunyai peran dalam hal melakukan penyidikan.
3. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi dalam KUHAP
Berdasar Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini. Menurut Pasal 1 ayat (4) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penyelidik adalah pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini untuk melakukan penyelidikan. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (5)
KUHAP di atas, maka tugas pokok penyelidik adalah mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
Dari ketentuan Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 5 KUHAP dapat
diperinci terhadap fungsi dan wewenang penyelidik adalah (Lilik
Mulyadi, 2000:37-38):
a. Apabila dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan
hukum dapat berupa:
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
2) Mencari keterangan dan barang bukti;
3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
b. Apabila dilihat dari fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan
perintah penyidik dapat berupa:
1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan;
2) Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik
c. Apabila dilihat dari hasil membuat dan menyampaikan laporan
pelaksanaan tindakan penyelidik kepada penyidik:
Untuk itu, penjelasan Pasal 5 huruf a angka 4 KUHAP
menyebutkan yang dimaksud ”tindakan lain” adalah tindakan
penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:
1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan;
3) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya;
4) Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;dan
5) Menghormati hak asasi manusia.
Sedangkan mengenai penyidikan atau ”opsporing” itu menurut
ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan sebagai serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menentukan tersangkanya. Mengenai personil dari penyidik sebagaimana
ditentukan Pasal 6 ayat (1) KUHAP adalah pejabat polisi negara
Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
wewenang khusus oleh undang-undang. Sedangkan mengenai syarat
kepangkatan pejabat sebagaimana tersebut diatas berdasarkan ketentuan
Pasal 6 ayat (2) KUHAP dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP dapat disebutkan
bahwa syarat kepangkatan pejabat polisi negara RI itu sekurang-
kurangnya Pembantu Letnan Dua Polisi, sedangkan pejabat pegawai
negeri sipil yang diberi wewenang penyidikan adalah berpangkat
sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat I (Gol II/b) atau yang
disamakan dengan itu.
Apabila dalam suatu daerah tidak terdapat pejabat penyidik
berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi ke atas, maka berdasarkan
Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara dibawah
Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatan adalah penyidik. Penyidik
pejabat polisi negara tersebut ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain
(Pasal 2 ayat (3), (4) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983).
Sedangkan untuk penyidik pegawai negeri sipil berdasarkan ketentuan
Pasal 2 ayat (5) dan (6) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
diangkat oleh Menteri Kehakiman RI atas usul departemen yang
membawahi pegawai tersebut. Wewenang pengangkatan ini dapat
dilimpahkan (didelegasikan) Menkeh RI sebagaimana ditentukan
Kepmenkeh RI Nomor: M.08-UM.01.06 Tahun 1963 sebelum
pengangkatan tersebut dilakukan oleh Menkeh RI, terlebih dahulu
meminta pertimbangan Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolisian RI.
Adapun apabila dilihat fungsi dan wewenang penyidik
berdasarkan ketentuan Pasal 7 KUHAP maka dapat berupa:
a) Penyidik pejabat polisi negara RI karena kewajibannya mempunyai
wewenang:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tendang adanya
tindak pidana.
2) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.
3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal tersangka.
4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan.
5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
ataupun saksi.
8) Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara.
9) Mengadakan penghentian penyidikan.
10) Melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung
jawab
b) Penyidik pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang mempunyai wewenang
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP sesuai dengan
undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan
dalam pelaksanaanya berada di bawah koordinasi dan pengawasan
penyidik tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf a KUHAP. Apabila melalui visi tugas dan wewenang, maka
sebenarnya antara Penyelidikan dan Penyidikan merupakan fungsi
yang tidak dapat dipisahkan. Penyelidikan merupakan salah satu cara
atau metoda yang menyatu dengan fungsi penyidikan sebagaimana
ditentukan Pedoman Pelaksanaan KUHAP berikut ini (Departemen
Kehakiman Republik Indonesia, 1982:27):
”Penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan,melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metoda atau sub daripada fungsi penyidikan, yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan; tindakan pemeriksaan penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Latar belakang, motivasi dan urgensi diintrodusirnya fungsi penyelidikan, antara lain adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi, dikaitkan bahwa tidak setiap peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu menampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan dengan konsekuensi digunakannya upaya paksa perlu ditentukan terlebih dahulu berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.”
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan suatu penyidikan
diperlukan adanya taktik dan teknik sehingga apa yang menjadi modus
operandi dari tindak pidana tersebut dapat diungkap sekaligus dengan
tersangkanya.
4. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi dalam UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal
2 dan 3 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam
ketentuan ini yang dimaksud ”kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang
dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif,
legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
atau keadaan dan situasi apapun dengan alasan apapun (Ermansjah Djaja,
2008 : 185).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK mempunyai
kekuatan ekstra dibandingkan aparat penegak hukum lainnya. Selain dapat
melaksanakan fungsi penyelidikan dan penyidikan (fungsi yang selama ini
dipegang oleh Polisi), KPK juga dapat melaksanakan fungsi penuntutan
(fungsi yang selama ini di pegang oleh Kejaksaan). Berdasarkan alasan-alasan
tertentu, KPK bahkan diberi kewenangan untuk mengambil alih proses
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan atas suatu tindak pidana korupsi
yang sebelumnya ditangani oleh aparat penegak hukum lainnya (Kepolisian
dan Kejaksaan) untuk dilaksanakan sendiri oleh KPK.
Mengenai ketentuan umum kewenangan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana korupsi berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Pasal 6, Pasal 7
huruf a, Pasal 8 ayat (2), (3), (4), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan
Pasal 38 sampai dengan Pasal 41.
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas-tugas sebagaimana
diatur di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai
berikut:
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
c. Melakukan penyelidikan, peenyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi.
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi dan
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Untuk menjelaskan Pasal 6 huruf a mengenai koordinasi tersebut maka
Pasal 7 huruf a menyebutkan bahwa:
”Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.”
Pasal 8 yang menyatakan tentang kewenangan Komisi pemberantasan
Korupsi dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi tercantum
dalam ayat (2), (3), (4) yaitu:
(2) Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih
penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korusi yang
sedang dilakukan Kepolisian dan Kejaksaan.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan
atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka
dan seluruh berkas beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak
tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Penyerahan dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara
penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau
kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Pasal 9 menyatakan bahwa pengambilalihan penyidikan dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi dengan alasan :
a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti.
b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yangs esungguhnya.
d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung korupsi.
e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif, atau legislatif, atau
f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Pasal 10 menyatakan bahwa:
”Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.”
Pasal 11 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
yang:
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau
c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
Pasal 12 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
bepergian ke luar negeri.
c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang
keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa.
d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk
memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka,
terdakwa atau pihak lain yang terkait.
e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.
f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa
kepada instansi yang terkait.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan,
dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta
konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang
diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan
tindak pidana korupsi yang sedang dipriksa.
h. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara
lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan barang bukti
di luar negeri.
i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam
perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Sedangkan isi dari Pasal 38 sampai dengan Pasal 42 juga mengenai
ketentuan umum dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pada Komisi
Pemberantasan Korupsi. Pasal 38 menyatakan bahwa:
(1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik,
penyidik dan penuntut umum pada Komisi Pemberantsan Korupsi.
(2) Ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku
bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun
2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “yang berkaitan dengan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan” dalam ketentuan ini antara lain,
kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan
dan pemeriksaan surat.
Pasal 39 menyatakan bahwa:
(1) Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini.
(2) Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
dilakukan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(3) Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada
Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi
Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Selanjutnya dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 42 menyatakan
bahwa:
a. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat
perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak
pidana korupsi.
b. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan
lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang
telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Dalam penjelasan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “lembaga penegak hukum
negara lain”, termasuk kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan badan-badan
khusus lain dari negara asing yang menangani perkara tindak pidana
korupsi.
c. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan
mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana
korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada
peradilan militer dan peradilan umum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
a. Ketentuan mengenai penyelidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi
Pengaturan mengenai penyelidikan perkara tindak pidana korupsi
pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 43
dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, adalah sebagai
berikut :
Pasal 43
(1) Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi
yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan fungsi
penyelidikan tindak pidana korupsi.
Pasal 44
(1) Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti
permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah
ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak
terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima,
atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.
(3) Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti
permulaan yang cukup yaitu sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti,
penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan
(4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara
tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan
penyidikan sendiri atau dapat dilimpahkan perkara tersebut kepada
penyidik kepolisian atau kejaksaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
(5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi kepada Kepolisian atau Kejaksaan, maka Kepolisian atau
kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan
perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantsan Korupsi.
b. Ketentuan mengenai penyidikan tindak pidana korupsi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi
Pengaturan mengenai penyidikan perkara tindak pidana korupsi pada
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 45
sampai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, adalah
sebagai berikut :
Pasal 45
(1) Penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang
diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan fungsi
penyidikan tindak pidana korupsi.
Pasal 46
(1) Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut
prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka
diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku
berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ini.
(2) Pemeriksaan tersangka dengan berdasarkan Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002, dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka.
Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “prosedur khusus” adalah
kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara tertentu untuk
dapat dilakukan pemeriksaan.
Pasal 47
(1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti pemulaan yang cukup,
penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan
Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
(2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur
mengenai tindak penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang- undang
Nomor 30 Tahun 2002.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat berita
acara penyitaan pada hari penyitaan sekurang-kurangnya memuat :
a. Nama, jenis dan jumlah barang atau benda berharga lain yang
disita.
b. Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan dan tahun
dilakukan penyitaan.
c. Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau
benda berharga lain tersebut.
d. Tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan,
dan
e. Tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai
barang tersebut.
(4) Salinan berita acara penyitaan barang atau benda berharga lain
disampaikan kepada tersangka atau keluarganya.
Pasal 48
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidan korupsi wajib
memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya
dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.
Pasal 49
Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan
disampaikan kepada kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
untuk segera ditindaklanjuti.
Pasal 50
(1) Dalam hal tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan
Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut
telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari hari kerja terhitung sejak
tanggal dimulainya penyidikan.
(2) Penyidikan suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian
atau kejaksaan wajib dilakukan koordinasi secara terus-menerus
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan
penyidikan suatu tindak pidana korupsi, kepolisian atau kejaksaan
tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.
(4) Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian
dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan
yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera
dihentikan.
Dalam penjelasan Pasal 50 ayat (4) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “dilakukan secara
bersamaan” adalah dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang sama
dimulainya penyidikan
5. Pengaturan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi diatur dalam Pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 25 menyatakan bahwa:
”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya”.
Di dalam penjelasan Pasal 25 disebutkan bahwa ”apabila terdapat 2
(dua) atau lebih perkara yang oleh undang-undang ditentukan untuk
didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
pada setiap lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan”. Makna dari
kalimat tersebut adalah penyelesaian yang secepatnya pada waktu melakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan di sidang pengadilan terhadap
perkara tindak pidana korupsi daripada penyelesaian penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan tindak pidana yang bukan tindak pidana korupsi. Walaupun
pada dasarnya semua perkara hukum yang diproses sampai di sidang
pengadilan harus dilakukan dengan cepat sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, tetapi berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 penyelesaian perkara tindak pidana korupsi tetap harus didahulukan
dibanding perkara tindak pidana yang lain walaupun perkara pidana yang lain
tetap juga harus diselesaikan secepatnya sebagaimana yang diamanatkan Pasal
5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Pasal 26 menyatakan bahwa:
”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Didalam Pasal 26 tersebut yang dimaksud dengan ”hukum acara pidana
yang berlaku” adalah:
a. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap tersangka tindak
pidana korupsi yang statusnya adalah masyarakat sipil.
b. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer terhadap tersangka tindak pidana
korupsi yang statusnya adalah anggota militer.
Adapun yang dimaksud dengan ”kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang ini” adalah bahwa yang menjadi dasar hukum untuk melakukan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
dalam perkara tindak pidana korupsi adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
a. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana
korupsi.
b. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana
korupsi.
Pasal 28 menyatakan bahwa:
”Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan/atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka”.
Rumusan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sama persis dengan rumusan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni:
”Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidan korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka”.
Pasal 29 menyatakan bahwa:
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang
pengadilan, penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang meminta
keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau
terdakwa.
(2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diajukan kepada Gubernur Jenderal Bank Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
(3) Gubernur Bank Indonesia berkewajiban memenuhi permintaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya
3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara
lengkap.
(4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk
memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga
hasil dari korupsi.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak
diperoleh bukti yang cukup atas permintaan penyidik, penuntut umum,
atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran.
Di dalam penjelasan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan bahwa ketentuan ini
bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyidikan, penuntutan,
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap memperhatikan koordinasi
lintas sektoral dengan instansi terkait. Demikian pula dalam alinea ke-1
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dijelaskan bahwa untuk memperlancar proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi undang-undang ini
mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan
tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan
mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia. Dengan
berdasarkan kepada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi tersebut bahwa penyidik dan penuntut umum Komisi
Pemberantasan Korupsi, dan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk
meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau
terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi.
Pasal 30 menyatakan bahwa:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
”Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi”.
Dalam penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dijelaskan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi
kewenangan kepada penyidik dalam rangka mempercepat proses penyidikan
yang pada dasarnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
untuk membuka, memeriksa atau menyita surat harus memperoleh izin
terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal 32 ayat (1) menyatakan bahwa:
”Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan”.
Pasal 33 menyatakan bahwa:
”Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan padahal secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.
B. Taraf Sinkronisasi Horisontal Pengaturan Kewenangan Penyelidikan
dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Kepolisian, UU
hanya dalam hal tindak pidana khusus salah satunya yaitu tindak pidana
korupsi. Namun dalam hal kewenangan penyidikan yang di miliki oleh
Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi, didalam kewenangan
penyidikan tersebut juga melekat kewenangan penyelidikan terhadap tindak
pidana korupsi. Setelah lahirnya Undang-Undang Kepolisian yang baru tahun
2002 yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI
membuat semakin rancu lagi kewenangan yang telah ada, dimana terdapat
arahan bahwa polisi memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan
dan merupakan penyidik tunggal terhadap segala bentuk tindak pidana (baik
tindak pidana umum maupun khusus). Pengaturan mengenai kewenangan
dalam penanganan tindak pidana korupsi menimbulkan pertentangan
perundang-undangan yang melahirkan tumpang tindih kewenangan, sehingga
timbul kesan perebutan penanganan perkara tindak pidana khusus, dalam hal
ini perkara korupsi. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang dimiliki
oleh kedua institusi tersebut dapat juga diambil alih oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun
dengan diambil alihnya kewenangan penyelidikan dan penyidikan dari
Kepolisian atau Kejaksaan oleh KPK tidak menghilangkan permasalahan
kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara tindak pidana
korupsi, karena ketiga instansi tersebut secara yuridis-normatif sama-sama
mempunyai kewenangan terhadap perkara tindak pidana korupsi. Dengan
hadirnya KPK yang mempunyai kewenangan jauh lebih besar dari Kepolisian
atau Kejaksaan, KPK dapat melakukan pengambilalihan penyelidikan dan
penyidikan yang sedang ditangani Kepolisian atau Kejaksaan, walau
pengambilalihan tersebut harus disebabkan alasan tertentu, namun dirasakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
oleh Kepolisian atau Kejaksaan dalam menangani penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana korupsi telah berjalan dengan baik dan sesuai
dengan prosedur serta tidak menimbulkan alasan tertentu yang dapat
diambilalih penyelidikan dan penyidikan oleh KPK, KPK kadang
memandang penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan baik oleh
Kepolisian maupun Kejaksaan tersebut kurang baik sehingga perlu diambil
alih penyelidikan dan penyidikannya.
Pihak Kepolisian dan Kejaksaan sebagai bagian dari sistem peradilan
pidana terpadu memang mempunyai kewenangan yang sama dalam rangka
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi karena kedua pihak
tersebut mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam sistem
peradilan pidana, polisi dan jaksa merupakan dua institusi penegak hukum
yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Kedua institusi ini
seharusnya dapat bekerja sama dan saling berkoordinasi dengan baik untuk
mencapai tujuan dari sistem ini yaitu menanggulangi kejahatan atau
mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
yang dapat diterima masyarakat.
Berlakunya Undang-Undang Kepolisian yang baru yaitu Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 dimana dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g
menyebutkan :
“Kepolisian Negara RI bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”.
Pengaturan mengenai wewenang penyelidikan oleh pihak Kepolisian juga
diatur dalam Pasal 1 butir 4 KUHAP yaitu:
“Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan”.
Sedangkan wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana diatur
dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
Hal ini berarti kewenangan penyelidikan dan penyidikan semua jenis tindak
pidana termasuk tindak pidana khusus (tindak pidana korupsi) dimiliki oleh
Kepolisian, padahal Kejaksaan juga mempunyai kewenangan penyidikan
terhadap tindak pidana korupsi dimana didalam kewenangan penyidikan
tersebut melekat pula kewenangan penyelidikan yang di lakukan oleh bagian
Intelejen di tubuh Kejaksaan. Kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan
dalam melakukan penyidikan diatur didalam Pasal 30 ayat (1) huruf d
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang
menyebutkan :
“Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”.
Dimana dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan kewenangan tersebut mengenai
kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dengan ketentuan dari Pasal tersebut sehingga
memperlihatkan dengan jelas akan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.
Berdasarkan penjelasan yang telah diungkapkan diatas, maka baik
Kepolisian maupun Kejaksaan mempunyai kewenangan dalam melakukan
penyelidikan dan penyidikan tehadap tindak pidana korupsi dan dalam hal
kewenangan ini, kedua institusi tersebut mempunyai dasar hukum yang
mengatur mengenai kewenangan yang dimiliki baik oleh Kepolisian maupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Kejaksaan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi sesuai
dengan yang telah dijelaskan diatas. Maka terlihat bahwa antara Kepolisian
dan Kejaksaan memiliki kewenangan yang sama dalam penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana korupsi, hal tersebut dapat dianggap adanya
tumpang tindih kewenangan dalam menangani suatu perkara. Meskipun
kedua institusi tersebut mempunyai kewenangan yang sama dalam
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dan kewenangan yang
dimiliki oleh kedua institusi tersebut diatur didalam peraturan perundang-
undangan yang didalamnya mengatur mengenai kewenangan yang dimiliki
oleh masing-masing institusi tersebut namun sesungguhnya tidak terjadi
tumpang tindih kewenangan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi yang dimiliki baik oleh Kepolisian dan Kejaksaan karena
kedua pihak tersebut mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan
dalam sistem peradilan pidana, Kepolisian dan Kejaksaan merupakan dua
institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat.
Kedua institusi ini harus dapat bekerja sama dan saling berkoordinasi dengan
baik dalam penanganan suatu tindak pidana (baik tindak pidana umum
maupun khusus).
Jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana terutama
korupsi juga mempunyai landasan dasar hukum yaitu pasal 17 Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. KUHAP yang
dikenal sebagai karya agung bangsa Indonesia karena telah melakukan
perubahan fundamental dalam Hukum Acara Pidana melalui Undang-Undang
No. 8 tahun 1981 perubahan fundamental tersebut antara lain di bidang
Penyidikan. Pada waktu HIR Penyidikan dapat dilakukan oleh banyak
instansi, kedudukan Jaksa sebagai Penuntut dapat sekaligus sebagai,
Koordinator Penyidikan. Setelah berlakunya KUHAP wewenang Penyidikan
dialihkan kepada Polri sebagai Penyidik Utama dan PPNS dengan
kewenangan terbatas sesuai dengan Undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya. Dalam pelaksanaan Penyidikan di bawah Koordinasi Penyidik
Polri dengan memberikan pengawasan, petunjuk dan bantuan Penyidikan
Ketentuan-ketentuan dalam KUHAP sudah merupakan sistem Peradilan
Pidana Terpadu dan adanya saling kontrol dengan menempatkan para
penegak Hukum pada fungsi, tugas dan wewenangnya masing-masing. Pasal
284 KUHAP merupakan pasal mengenai Ketentuan Peralihan, suatu
ketentuan untuk menjamin agar tidak terjadi kekosongan dalam hukum
(rechts vacuum) dengan menghubungkan ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang yang lama HIR dan Undang-undang yang baru
KUHAP. Fungsinya sebelum dapat dilaksanakannya seluruh ketentuan yang
berada dalam Undang-undang yang baru, maka terbitlah Ketentuan Peralihan
Pasal 284 KUHAP yang berbunyi :
1. Terhadap perkara yang ada sebelum Undang-Undang ini diundangkan, sejauh mungkin diberlakukan Undang-Undang ini.
2. Dalam waktu dua tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan Undang-Undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
Penjelasan Pasal 284 ayat (2) berbunyi :
1. Yang dimaksud dengan semua perkara adalah perkara yang telah
dilimpahkan ke pengadilan.
2. Yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu ialah
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara
lain : a. Undang-Undang tentang pengusutan, penuntutan dan
peradilan tindak pidana ekonomi (Undang-Undang No. 7 Drt
Tahun 1955). b. Undang-Undang tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi (Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 yang telah
diubah menjadi Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001). Dengan catatan bahwa semua
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
Rumusan ayat (2) pasal 284 KUHAP dengan menjelaskan bahwa
terhadap semua perkara setelah 2 (dua) tahun berlakunya KUHAP, mutlak
dilakukan sebagaimana diatur oleh KUHAP. Adapun batasan-batasan
terhadap pengecualian adalah bersifat sementara, sehingga kata “Sementara“
dan “Sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi“
merupakan keharusan untuk tidak membiarkan ketentuan-ketentuan tersebut
tetap berlaku, dan harus segera disesuaikan dengan ketentuan KUHAP yang
menginginkan adanya kodifikasi dan unifikasi. Peraturan pemerintah No. 27
tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, dalam peraturan pemerintah ini
mengenai penyidikan terhadap tindak pidana tertentu sebagaimana diatur
dalam pasal 17 yang berbunyi:
“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik Jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan ”.
Pasal 284 ayat (2) KUHAP sebagai pasal ketentuan peralihan dari
periode HIR ke KUHAP masih menyisakan kewenangan penyidikan kepada
penuntut umum sepanjang mengenai tindak pidana tertentu. Terlepas dari
ketentuan peralihan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHAP khususnya
mengenai peraturan peralihan yang disebut dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP
sebab peraturan peralihan ini mempunyai kaitan yang agak khusus terhadap
fungsi dan wewenang jaksa sebagai penuntut umum. Karena peraturan
peralihan pada ayat ( 2 ) melibatkan jaksa / penuntut umum sebagai penyidik
dalam tindak pidana tertentu, justru jaksa yang berwenang melakukan
penyidikan. Namun di dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa:
“Dalam waktu 2 ( dua ) tahun setelah undang-undang ini, diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Dalam beberapa tindak pidana khusus, masih ada wewenang Jaksa
melakukan penyidikan, oleh karena undang-undang tindak pidana khusus itu
sendiri menyebut secara tegas tentang wewenang Jaksa melakukan
penyidikan, seperti Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Korupsi, dan
lain-lain. Meskipun begitu, adanya pengecualian tersebut di atas sama sekali
bukan berarti mengurangi keabsahan penerapan KUHAP sebagai hukum
acara pidana bagi semua perkara tindak pidana, termasuk tindak pidana
khusus sepanjang tindak pidana khusus tersebut tidak mengatur sendiri
hukum acaranya secara keseluruhan. Juga sama sekali tidak mengurangi
prinsip diferensasi fungsional yang memberi wewenang tunggal kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai instansi yang diberi
wewenang penyidikan. Berkaitan dengan hal tersebut apa yang diatur pada
Pasal 284 ayat (2) KUHAP sebagai pengecualian atas prinsip umum diatas,
dimaksudkan:
1. Untuk menjaga jangan terjadi kevakuman pelaksanaan penyidikan,
disebabkan undang-undang tindak pidana khusus sendiri telah
melimpahkan wewenang penyidikan kepada jaksa / penuntut umum. Hal
ini, disebabkan karena Polri saat itu tidak dapat menjangkaunya,
sehingga bisa menimbulkan kekosongan hukum dalam penegakan
hukum.
2. Pengecualian ini tidak mengurangi arti prinsip-prinsip umum secara
permanen dalam ketentuan Pasal 284 ayat (2), yakni:
a) Pengecualian tersebut bersifat sementara.
b) Hanya mengenai ketentuan-ketentuan khusus acara pidana yang
terdapat pada undang-undang pidana khusus.
c) Sampai adanya perubahan atau dinyatakan tidak berlaku lagi
ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP tersebut.
Kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang
dimiliki baik oleh Kepolisian dan Kejaksaan bukanlah suatu hal yang dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
dianggap perebutan kewenangan di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan, namun
hubungan fungsional yang sangat erat antara Kepolisian dan Kejaksaan dapat
menciptakan suatu koordinasi diantara dua institusi tersebut. Begitu juga
dalam hal penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, apabila
terdapat suatu tindak pidana korupsi maka untuk menghindari perebutan
maupun tumpang tindih kewenangan dalam penanganan penyelidikan dan
penyidikannya maka sebelumnya antara Kepolisian dan Kejaksaan
melakukan koordinasi terlebih dahulu untuk menentukan apakah Kepolisian
atau Kejaksaan yang akan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
perkara korupsi tersebut.
Selain itu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memiliki kewenangan untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Dalam
penanganan tindak pidana korupsi sebenarnya telah ada instansi-instansi yang
telah mempunyai kewenangan berdasarkan hukum untuk menangani kasus
korupsi, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan, namun KPK ini dibentuk karena
lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi dirasa
belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana
korupsi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai Ketentuan lain-lain yang
menyebutkan bahwa:
1. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.
4. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-Undang.
Walaupun KPK memiliki kewenangan yang sama dengan Kepolisian
dan Kejaksaaan dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi
namun kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan
juga penuntutan yaitu terhadap tindak pidana korupsi yang tertera di dalam
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu antara lain:
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
Sehingga untuk tindak pidana korupsi yang tidak tergolong dalam ketiga
kategori diatas penanganan penyelidikan dan penyidikannya dapat dilakukan
oleh Kepolisian atau Kejaksaan walaupun tidak menutup kemungkinan juga
tindak pidana korupsi yang tergolong dalam kategori diatas juga dapat
ditangani oleh Kepolisian ataupun Kejaksaan selama ada koordinasi antara
ketiga instansi tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat mengambil alih penyidikan
atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang
dilakukan oleh Kepolisian ataupun Kejaksaan, alasan pengambilalihan
wewenang penanganan ini diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang tentang
KPK yaitu:
1. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
2. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.
4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.
5. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
6. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tersebut
maka Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau
penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang
ditangani. Pasal 68 Undang-Undang KPK mengenai Ketentuan Peralihan
juga menegaskan:
“Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan
1. Pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap
perkara tindak pidana korupsi diatur didalam beberapa peraturan perundang-
undangan antara lain:
a. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI,
salah satu tugas dan wewenang Kepolisian yaitu melakukan penyelidikan
dan penyidikan terhadap suatu tindak pidana. Hal ini termuat di dalam
Pasal 1 angka 8 sampai dengan 13.
b. Berdasar Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan bahwa di bidang pidana,
Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang salah satunya mengenai
penyidikan yaitu melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang, dimana dalam penjelasannya kewenangan
tersebut mengenai kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penyelidikan. Mengenai personil dari penyidik sebagaimana ditentukan
Pasal 6 ayat (1) KUHAP.
d. Mengenai ketentuan umum kewenangan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana korupsi berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Pasal 6, Pasal 7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
huruf a, Pasal 8 ayat (2), (3), (4), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan
Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Pengaturan mengenai penyelidikan
perkara tindak pidana korupsi pada Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagaimana diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44 sedangkan pengaturan
mengenai penyidikan perkara tindak pidana korupsi pada Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 sampai dengan
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
e. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengenai
kewenangan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi
diatur dalam Pasal 25, 26, 28, 29, 30, 32, dan 33.
2. Penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi diawali dengan adanya
proses penyelidikan dan penyidikan. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan
dalam penanganan tindak pidana korupsi dimiliki oleh beberapa lembaga
negara antara lain: Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), sedangkan pengaturan mengenai kewenangan penyelidikan dan
penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi tersebut diatur didalam
beberapa peraturan perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pembahasan tentang kewenangan dalam sistem peradilan pidana terpadu, tidak
lepas dari hukum acara pidana sebagai tata cara untuk melaksanakan hukum
meteriil. Posisi Kejaksaan dalam peradilan pidana terpadu adalah
melaksanakan fungsi penuntutan terhadap suatu perkara. Semenjak
diberlakukannya KUHAP kewenangan penyidikan Kejaksaan hanya dalam hal
tindak pidana khusus salah satunya yaitu tindak pidana korupsi. Kewenangan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang dimiliki baik oleh
Kepolisian dan Kejaksaan bukanlah suatu hal yang dapat dianggap perebutan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
kewenangan di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan, namun hubungan fungsional
yang sangat erat antara Kepolisian dan Kejaksaan dapat menciptakan suatu
koordinasi diantara dua institusi tersebut. Begitu juga dalam hal penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana korupsi, apabila terdapat suatu tindak pidana
korupsi maka untuk menghindari perebutan maupun tumpang tindih
kewenangan dalam penanganan penyelidikan dan penyidikannya maka
sebelumnya antara Kepolisian dan Kejaksaan melakukan koordinasi terlebih
dahulu untuk menentukan apakah Kepolisian atau Kejaksaan yang akan
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara korupsi tersebut.
Dengan hadirnya KPK yang mempunyai kewenangan jauh lebih besar dari
Kepolisian atau Kejaksaan, KPK dapat melakukan pengambilalihan
penyelidikan dan penyidikan yang sedang ditangani Kepolisian atau
Kejaksaan, walau pengambilalihan tersebut harus disebabkan alasan tertentu,
hal ini diatur dalam Pasal 8, 9, dan 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
mengatur kewenangan penyelidikan dan penyidikan pada Pasal 26 yaitu
dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku ataupun ditentukan
lain dalam undang-undang tersebut.
B. Saran
1. Perlu adanya ketegasan dan pengaturan yang jelas mengenai kewenangan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi pada Undang-Undang
Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun
Hukum Acara Pidana sehingga tidak terluhat adanya tumpang tindih
kewenangan dalam menanganinya.
2. Adanya pembagian kewenangan antara Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK
yang diatur secara jelas baik dalam Undang-Undang yang mengatur tiap
instansi tersebut maupun di dalam Undang-Undang hukum acara pidana dan
tindak pidana korupsi sehingga dapat tumbuh sinergisitas antar instansi
tersebut dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi.