SENI DAN TEKNOLOGI DALAM REALITAS BUDAYA MODERN Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi Seni Oleh: Nadia Sigi Prameswari NIM. 1220699412 Dosen pengampu: Prof. Dr. Y. Sumandiyo Hadi
SENI DAN TEKNOLOGI DALAM REALITAS
BUDAYA MODERN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi Seni
Oleh:
Nadia Sigi Prameswari
NIM. 1220699412
Dosen pengampu:
Prof. Dr. Y. Sumandiyo Hadi
MINAT UTAMA DESAIN KOMUNIKASI VISUALPROGRAM STUDI PENGKAJIAN SENI PASCASARJANA
INSTITUT SENI INDONESIAYOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi di Indonesia telah membuka cakrawala
baru dalam dunia seni dan budaya, khususnya terciptanya
realitas baru objek dan estetik, sebagai akibat globalisasi
ekonomi dan informasi yang melanda dunia. Kondisi tersebut
menjadikan kompleksitas dalam seni semakin meningkat. Ruang
lingkup seni menjadi semakin meluas, karya seni semakin
beraneka ragam, teknologi kebudayaan menjadi semakin tinggi,
idiom-idiom kebudayaan menjadi semakin terfragmentasi dan
bahasa-bahasa kebudayaan semakin terdiferensiasi.
Bila dilihat ke belakang secara historis, perjalanan seni
dari era imitasi (mimesis) zaman klasik, ke era representasi
Abad Pertengahan dan kini menuju era simulasi masyarakat
postmodern telah mengubah bersamanya karya-karya seni sebagai
satu realitas. Bila pada era mimesis, karya seni merupakan
tiruan dari realitas; pada era representasi ia merupakan
penanda (signifier) dari realitas, maka pada era simulasi
2
postmodern karya seni adalah realitas itu sendiri (Yasraf Amir
Piliang, 2006:261).
Kemajuan teknologi khususnya Informasi memberikan dampak
perubahan pandangan hidup yang sangat besar pada kehidupan
masyarakat sehari-hari. Kemajuan ini adalah salah satu hal
yang mendorong seniman banyak menciptakan karya-karya seni
bernuansa elektronik dan juga membuat jaringan kerja seni
virtual. Bentuk seni baru ini kemudian dikenal sebagai seni
media baru. Seni ini semakin banyak diminati oleh sebagian
besar kawula muda, karena terdukung selain kemajuan teknologi
video card dan komputer yang bisa menampilkan gambar bergerak
yang hyper realist, juga semakin majunya teknologi komunikasi yang
sangat beragam, seperti: fotografi digital, animasi, video art,
dan multimedia.
Wacana estetik kontemporer memasuki satu kondisi di mana
di dalamnya, tabir antara realitas dan fantasi semakin tipis.
Banyak hal yang sebelumnya dianggap fantasi kini menjadi
realitas, dan ini akan mempengaruhi karya seni dari realitas
menuju hiperealitas budaya baru. Hiperealitas kebudayaan
menggiring masyarakat kontemporer kita pada semacam
pendangkalan budaya. Pendangkalan budaya dan estetika dapat
tercermin pada karya seni yang mendapat sentuhan dari
kecanggihan teknologi, seperti: fotografi digital, animasi,
video art, iklan televisi dan multimedia. Berbagai rangkaian
image muncul dan menghilang dalam kecepatan tinggi, serta
kontradiktif satu sama lainnya, sehingga mengaburkan maknanya.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Perkembangan Teknologi
Secara etimologis, akar kata teknologi adalah “techne”
yang berarti serangkaian prinsip atau metode rasional yang
berkaitan dengan pembuatan suatu objek, atau kecakapan
tertentu, atau pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau metode
dan seni Istilah teknologi sendiri untuk pertama kali dipakai
oleh Philips pada tahun 1706 dalam sebuah buku berjudulTeknologi:
Diskripsi Tentang Seni-Seni, Khususnya Mesin (Technology: A Description Of The
Arts, Especially The Mechanical).
William F. Ogburn mengusulkan suatu pandangan mengenai
perubahan sosial yang didasarkan pada teknologi. Menurutnya
teknologi mengubah masyarakat melalui 5 proses, yaitu:
1. Penciptaan (Invensi)
Ogburn mendefinisikan penciptaan sebagai suatu kombinasi
unsur dan bahan yang ada untuk membentuk unsur dan bahan yang
baru.
2. Penemuan (Discovery)
Obgurn mengidentifikasikan penemuan sebagai suatu cara
baru melihat kenyataan, sebagai suatu proses perubahan kedua.
5
Kenyataannya sendiri sudah ada, tetapi orang baru melihatnya
untuk pertama kali.
3. Difusi (Diffusion)
Ogburn menekankan bahwa difusi penyebaran suatu
penciptaan dan penemuan dari suatu wilayah ke wilayah lain,
dapat berakibat besar pada kehidupan orang. Difusi juga
mencakup pula penyebaran ide. Konsep kesetaraan gender
sekarang sedang dikumandangkan di seluruh dunia.
4. Akumulasi
Akumulasi dihasilkan dari lebih banyaknya unsur baru yang
ditambahkan kepada satu kebudayaan dibanding dengan unsur-
unsur lama yang lenyap dari kebudayaan bersangkutan.
5. Penyesuaian
Penyesuaian mengacu pada masalah yang timbul dari saling
ketergantungan seluruh aspek kebudayaan. Sebagai contoh,
penemuan di bidang ekonomi tanpa terelakkan akan mempengaruhi
pemerintah menurut cara tertentu, pemerintah terpaksa
menyesuaikan diri terhadap situasi yang dihadapkan oleh
perubahan ekonomi. Atau teknologi baru akan mempunyai dampak
terhadap keluarga, memaksa keluarga menyesuaikan diri dengan
perubahan lingkungan, meskipun penemuan teknologi berkaitan
langsung dengan keluarga.
6
B. Teori Seni
1. Seni Sebagai Bentuk Mimesis (Plato & Aristoteles)
Plato menganggap bahwa seni adalah sebuah tiruan dari
kenyataan. Ide yang dimiliki manusia terhadap suatu hal
merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Ide
merupakan dunia ideal yang terdapat pada manusia. Ide oleh
manusia hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin
untuk dilihat atau disentuh dengan pancaindra. Ide bagi Plato
adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah (Bertens,
1979: 13). Ide mengenai bentuk bulat, ia hanya satu, tetapi
dapat ditransformasikan dalam lukisan yang bergambarkan buah
apel. Ide mengenai bentuk bulat tersebut tidak dapat berubah,
tetapi lukisan yang bergambarkan apel dapat dikembangkan.
Dengan adanya Penciptaan (Invensi) dan Penemuan (Discovery) dalam
dunia teknologi, maka hasil karya lukisan yang bergambar
apel, kini dapat memiliki kombinasi unsur dan bahan yang ada
untuk membentuk unsur dan bahan yang baru. Kenyataannya
sendiri sudah ada, tetapi orang baru melihatnya untuk pertama
kali. Dengan adanya penemuan camera digital, computer, dan mesin
cetak, lukisan apel dapat divisualisasikan dalam berbagai
teknik baru. (Lihat gambar 1 &2)
7
Gambar 1. Lukisan apel sebagai hasil karya mimesis
Gambar 2. Karya seni setelah munculnya penemuan camera digital dan komputer
Menurut Plato, mimesis hanya terikat pada ide pendekatan.
Tidak pernah menghasilkan tiruan sungguhan. Mimesis yang
dilakukan oleh seniman tidak mungkin mengacu secara langsung
terhadap dunia ideal (Teew, 1984: 220). Hal itu disebabkan
pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada
sesuatu yang ada secara faktual (kenyataan) seperti yang
telah disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah
8
dijelaskan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya
menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan
rasio (Teew. 1984:221).
Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan
Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang pandangan
rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa
seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan
emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu
yang bisa meninggikan akal budi. Teew (1984: 221) mengatakan
bila Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, penyucian
terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap
menimbulkan kekhawatiran dan rasa kasihan yang dapat
membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya.
Aristoteles menganggap seniman yang melakukan mimesis
tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah
proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan
sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan
indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul
Poetica (Luxemberg,1986: 17).
Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis
dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan ide-ide.
Aristoteles menganggap ide-ide manusia bukan sebagai
kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idelah yang
tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa
yang tidak dapat berubah adalah benda-benda jasmani itu
sendiri (Bertens, 1979: 13).
9
2. Seni Sebagai Bentuk Ekspresionis
Menurut Susanne K. Langer dalam buku estetika Philosophy is a
New Key, Langer merumuskan seni sebagai penciptaan bentuk
yang menyimbolkan perasaan manusia. Inilah sebabnya teori
seninya sering disebut sebagai teori simbolisme ekspresif.
Suatu symbol mengekspresikan perasaan manusia, melalui
abstraksi. Symbol dalam terminology Langer ini termasuk
symbol ikonok, yakni symbol yang dalam beberapa hal
menyerupai sesuatu yang ditunjukannya.
Langer sendiri membedakan symbol seni dan symbol dalam
seni. Symbol seni adalah symbol secara keseluruhan, dan
karya seni belum tentu mengandung symbol. Symbol bagi Langer
adalah alat untuk memungkinkan kita membuat suatu abstraksi.
Semua karya seni adalah symbol seni yang memiliki
representasi dan ekspresi artistic.
Dengan masuknya pengaruh Difusi (Diffusion) dan Akumulasi
dalam perkembangan teknologi menjadikan sebuahkarya seni
dilukiskan dalam symbol yang memiliki representasi. (Lihat
gambar 3)
10
Gambar 3. Representasi ide dalam sebuah logo Machintos
3. Seni Sebagai Obyektif (bentuk/struktur) – Pragmatis
(usefulness/fungsi)
Teori ini memandang seni sebagai suatu yang dimaksudkan
untuk tujuan tertentu yang bergubungan dengan
penontonnya/penikmatnya. Tujuan berupa santapan estetis
kepuasan batin/psikis, tujuan-tujuan fungsional yang
berkaitan dengan nilai. Penilaian terhadap seni hendaknya
dihubungkan dengan dampaknya terhadap penikmatnya.
11
Gambar 4. Desain kemasan dengan bentuk apel
Gambar 5. Film animasi dengan tokoh apel
Gambar 6. Game “Shoot the Apple”
12
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
William F. Ogburn mengusulkan suatu pandangan mengenai
perubahan sosial yang didasarkan pada teknologi. Menurutnya
teknologi mengubah masyarakat melalui 5 proses, yaitu:
Penciptaan (Invensi), Penemuan (Discovery), Difusi (Diffusion),
Akumulasi, Penyesuaian. Kemajuan Teknologi khususnya Informasi
di Indonesia ternyata memberi dampak perubahan pandangan hidup
yang sangat besar pada kehidupan masyarakat sehari-hari.
Kemajuan ini adalah salah satu hal yang mendorong seniman
banyak menciptakan karya-karya seni bernuansa elektronik dan
juga membuat jaringan kerja seni virtual. Bentuk seni baru ini
kemudian dikenal sebagai seni media baru. Seni ini semakin banyak
diminati oleh sebagian besar kawula muda, karena terdukung
selain kemajuan teknologi Video card dan computer yang bisa
menampilkan gambar bergerak yang hyper realist. Bentuknya pun
13
sangat beragam dari animasi, video art, photography digital, digital
imaging, hingga karya graphic design.
2. Saran
Metode penciptaan karya seni dengan adanya kemajuan
teknologi menjadi sangat beragam. Teknologi yang ada oleh
seniman tidak selalu dijadikan dasar penciptaan tetapi dianggap
sebagai pendukung gagasan dalam perwujudan. Berkarya seni
dengan komputer misalnya, sekali lagi bukan sekedar klik-klik
lalu jadi, tetapi juga dengan banyak pertimbangan lain.
Kemudahan berkarya dengan komputer, camera digital, harga yang
terjangkau, kebiasaan berapresiasi dengan peralatan elektronik
tentunya dapat dijadikan sebagai media ekspresi masyarakat.
Teknologi hanyalah sebatas media yang dapat mempercepat atau
mempermudah proses penciptaan ide dalam karya seni. Sesuatu
yang sangat esensial adalah kembali pada kreatifitas ide
seniman itu sendiri yang berlandaskan pada filosofis dan
kedalaman makna, dengan kata lain teknologi bukanlah sesuatu
yang harus didewakan.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin Hasan, 2003. “Sedikit Catatan Media Baru” dalam 15 Years Cemeti Art House Exploring Vacuum, Cemeti Art House, p. 153.
Gouzali Saydam, 2005, Teknologi Telekomunikasi, Perkembangan dan Aplikasi, Bandung: Penerbit Alfabeta, , p. 52.
14
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dari banyaknya tabloid, majalah komputer yang isinya lebih banyak menawarkan produk baru (Komputek, PC Plus, Chips dll)
J. Haryatmoko, 1986, Manusia dan Sistem, Pandangan tentang manusia dalam sosiologi Talcott Parsons, Yogyakarta: Kanisius, p. 18
Lebih lanjut lihat pada http://www.pterodon.cz.
Claudia Dona, 1988 ,”Invisible Design” dalam John Thackara, Design After Modernism, Thames&Hudson, , p.152
Freud, Sigmund. 2001. Tafsir Mimpi (terjemahan). Yogyakarta: Penerbit Jendela. Hal. 386-387.]
Mas’ud Zavarzadeh, 1991,Seeing Films Politically, New York:Sunny Press, p.p 41-92.
Yasraf A. Piliang, ‘Realitas Baru Estetik Prespektif Seni dan Disain menuju abad ke 21′ dalam Jurnal Seni No. VI/01- Mei 1998.p. 9
15