TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG MERAH VARIETAS LEMBAH PALU Edisi Pertama Tim Penulis: Muhammad Ansar Pasigai Abdul Rahim Thaha Burhanuddin Nasir Sri Anjar Lasmini Maemunah Bahrudin Editor: Prof. Ir. Zainuddin Basri, Ph.D. (Universitas Tadulako) Penerbit 2016
199
Embed
TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG MERAH VARIETAS LEMBAH PALUrepository.untad.ac.id/3057/1/Buku Budidaya Bawang Merah... · 2019. 12. 19. · Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG MERAH VARIETAS LEMBAH PALU
Edisi Pertama
Tim Penulis: Muhammad Ansar Pasigai
Abdul Rahim Thaha Burhanuddin Nasir Sri Anjar Lasmini
Maemunah Bahrudin
Editor: Prof. Ir. Zainuddin Basri, Ph.D.
(Universitas Tadulako)
Penerbit
2016
Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’ - 2016
lembah Palu Editor : Zainuddin Basri Layout Isi : - Desain Sampul : - Cetakan : Pertama 1. Non Fiksi i. Judul ii. Zainuddin Basri
Penerbit: UNTAD Press Jl. Soekarno Hatta KM. 9 Palu Sulawesi Tengah 94118
Kutipan Pasal 72: Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Hal Cipta No. 19 Tahun 2002 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayar (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah)
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’ - 2016
iii
TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG MERAH VARIETAS LEMBAH PALU
KATA PENGANTAR
Bawang merah varietas ‘lembah lalu’ telah dilepas
Kementerian Pertanian Republik Indonesia pada tahun
2011, sebagai varietas unggul nasional. Bawang merah
varietas ‘lembah palu’ sudah dikenal luas sebagai bahan
baku utama industri bawang goreng di Sulawesi Tengah.
Bawang goreng Palu yang diproduksi dari bawang merah
‘lembah palu’ selain memiliki rasa, aroma dan tekstur
yang khas, juga memiliki kualitas yang tetap baik
walaupun disimpan dalam jangka waktu lama (hingga
satu tahun), bila dikemas dengan cara yang baik.
Sentra pengembangan bawang merah di Sulawesi
Tengah, adalah kawasan Lembah Palu yang meliputi
wilayah Kota Palu, serta sebagian wilayah Kabupaten Sigi
dan Donggala. Pada umumnya bawang merah ‘lembah
palu’ diusahakan pada dataran rendah kurang dari 300 m
di atas permukaan laut dengan berbagai
permasalahannya, terutama ketersediaan air dan
kesuburan tanah yang rendah seringkali menjadi faktor
pembatas produksi. Rata-rata produktivitas tanaman
Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’ - 2016
iv
bawang merah ‘lembah palu’ masih rendah yaitu hanya
berkisar 4,0-4,5 t/ha, sedangkan potensi hasilnya adalah
9,7 t/ha. Masih rendahnya produktivitas bawang merah
‘lembah palu’ selain disebabkan oleh kondisi lingkungan
tumbuh, juga disebabkan penerapan teknologi budidaya
yang belum optimal.
Komoditas bawang merah ‘lembah palu’ telah
ditetapkan sebagai salah satu komoditas unggulan daerah
yang perlu mendapat prioritas pengembangannya secara
berkelanjutan. Sekaitan hal tersebut Fakultas Pertanian
Universitas Tadulako telah menjadikan bawang merah
varietas ‘lembah palu’ sebagai komoditas kajian unggulan
bagi mahasiswa dan dosen agar komoditas bawang merah
‘lembah palu’ semakin berkembang di tengah masyarakat,
khususnya di Sulawesi Tengah.
Kehadiran buku “Teknologi Budidaya Bawang Merah
Varietas Lembah Palu’ ini merupakan sebuah kerinduan
atas ketersediaan referensi, khusunya tentang teknologi
budidaya bawang merah ‘lembah palu’ yang saat ini masih
sangat sulit ditemukan. Disamping itu, buku ini disusun
guna memenuhi kebutuhan mahasiswa dan peneliti serta
petani dan masyarakat dalam memperoleh informasi
teknologi budidaya bawang merah yang baik dan sesuai
dengan kondisi agroekosistem lahan sentra
pengembangan bawang merah di Lembah Palu.
Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’ - 2016
v
Dalam hal penulisan dan isi buku “Teknologi
Budidaya Bawang Merah varietas Lembah Palu” edisi
perdana ini, penulis menyadari terdapat sejumlah
kekurangan dan kelemahannya. Untuk itu sangat
diharapkan sumbang saran yang bermanfaat bagi
perbaikan pada edisi revisi selanjutnya.
Atas segala partisipasi dari semua pihak, terutama
bapak Prof. Ir. Zainuddin Basri, Ph.D selaku Dekan
Fakultas Pertanian dan juga sebagai editor buku ini, atas
motivasi dan dorongannya yang tiada henti sehingga buku
ini dapat hadir dihadapan pembaca, penulis senantiasa
menyampaikan banyak terima kasih. Semoga kehadiran
buku ini dapat menambah khasanah keilmuan kita,
khususnya dalam mengembangkan komoditas bawang
merah ‘lembah palu’ yang menjadi kebangggan
masyarakat Sulawesi Tengah.
Palu, Agustus 2016
Tim Penyusun
Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’ - 2016
vi
TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG MERAH VARIETAS LEMBAH PALU
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul i
Prakata ii
Daftar Isi iv
Daftar Tabel vi
Daftar Gambar viii
Daftar Lampiran ix
1 PENDAHULUAN 1
1.1. Sejarah tanaman bawang merah
lembah palu 1
1.2. Karakteristik bawang merah lembah
palu 3
1.3. Kondisi pertanaman bawang merah
‘lembah palu’ 5
1.4. Nilai ekonomi bawang merah lembah
palu 7
1.5. Prospek dan kendala pengembangan
bawang merah lembah palu 8
2 GAMBARAN LOKASI DAN POTENSI
PENGEMBANGAN BAWANG MERAH
LEMBAH PALU 11
2.1. Iklim dan nerca air tahunan di
Lembah Palu. 11
Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’ - 2016
vii
2.2. Karakteristik dan potensi sumber daya
lahan di Lembah Palu 15
2.3. Kondisi fisika kimia tanah di Lembah
Palu 18
2.4. Potensi pengembangan bawang merah
di Lembah Palu 19
3 BOTANI DAN SYARAT TUMBUH BAWANG
MERAH LEMBAH PALU 22
3.1. Botani bawang merah 22
3.2. Syarat tumbuh bawang merah secara
umum 26
3.3. Syarat agronomi tanaman bawang
merah lembah palu 31
4 PENGELOLAAN BENIH BAWANG MERAH 33
4.1. Pengantar 33
4.2. Syarat dan karakteristik benih bawang
merah ‘lembah palu’ 38
4.3. Sistem produksi benih bawang merah
‘lembah palu’ 49
4.4. Pengendalian mutu dan Penangkaran
Benih 57
5 PENGELOLAAN TANAH UNTUK
BUDIDAYA BAWANG MERAH 76
5.1. Pengantar 76
5.2. Syarat dan karakteristik tanah untuk
budidaya bawang merah ‘lembah palu’ 76
5.3. Peranan pengolahan tanah dalam
budidaya bawang merah ‘lembah palu’ 80
Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’ - 2016
viii
5.4. Cara pengolahan tanag pada
pertanaman bawang merah ‘lembah
palu’ 82
5.5. Pola tanam dalam pertanaman
bawang merah ‘lembah palu’ 84
6. PENGELOLAAN AIR UNTUK BUDIDAYA
BAWANG MERAH 90
6.1. Pengantar 90
6.2. Kebutuhan air tanaman bawang
merah ‘lembah palu’ 91
6.3. Pengololaan air dalam budidaya
bawang merah ‘lembah palu’ 93
6.4. Cara pengairan pada pertanaman
bawang merah ‘lembah palu’ 97
6.5. Pengaruh Cara Pemberian Air serta
Lebar dan Tinggi Bedengan 100
7. KESUBURAN TANAH DAN PEMUPUKAN
BAWANG MERAH 106
7.1. Pengantar 106
7.2. Kebutuhan hara tanaman bawang
merah ‘lembah palu’ 108
7.3. Jenis Pupuk dan Peranannya dalam
budidaya bawang merah ‘lembah palu’ 111
7.4. Pemupukan pada tanaman bawang
merah ‘lembah palu’. 121
7.5. Cara Pemupukan pada tanaman
bawang merah ‘lembah palu’ 128
Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’ - 2016
ix
8. PENGELOLAAN HAMA DAN PENYAKIT
BAWANG MERAH 130
8.1. Pengantar 130
8.2. Pengaruh hama dan penyakit pada
pertanaman bawang merah ‘lembah
palu’. 133
8.3. Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap tingkat serangan hama dan
penyakit pada pertanaman bawang
merah ‘lembah palu’ 134
8.4. Hama-hama penting tanaman bawang
merah ‘lembah palu’ dan cara
pengendaliannya
135
8.5. Penyakit tanaman bawang merah
‘lembah palu’ dan cara
pengendaliannya 142
9. PANEN DAN PASCA PANEN BAWANG
MERAH LEMBAH PALU 157
9.1. Pengantar 157
9.2. Umur panen dan kriteria panen
bawang merah ‘lembah palu’ 158
9.3. Cara panen bawang merah ‘lembah
palu’
161
9.4. Penanganan pasca panen pada
pertanaman bawang merah ‘lembah
palu’. 161
DAFTAR PUSTAKA / REFERENSI
1
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1. Sejarah tanaman bawang merah ‘lembah palu’
Bawang merah varietas ‘lembah palu’ (Allium cepa
L. Var. Aggregatum) merupakan salah satu komoditas
hortikultura yang mempunyai kandungan gizi dan
senyawa yang tergolong zat non gizi serta enzim yang
berfungsi untuk terapi, meningkatkan dan
mempertahankan kesehatan tubuh serta memiliki aroma
khas yang digunakan untuk penyedap masakan dan
bahan baku utama industri bawang goreng.
Di Propinsi Sulawesi Tengah, khususnya di Lembah
Palu terdapat komoditas bawang merah unggul lokal
daerah yang sudah cukup dikenal sebagai sumber bahan
baku bawang goreng dan dikenal sangat khas
dibandingkan dengan bawang lain yang ada di tanah air.
Jenis bawang merah lokal Palu saat ini banyak diusahakan
di Lembah Palu (wilayah Kota Palu serta sebagian wilayah
Kab. Sigi dan Donggala).
Secara khusus ada dua jenis bawang lokal Palu
yang terdapat di kawasan Lembah Palu dan masyarakat
Sulawesi Tengah (suku kaili) memberikan nama untuk
jenis yang pertama adalah bawang “papaya” atau bawang
“tasima” dan jenis kedua adalah bawang “batu” atau
“tatua” yaitu bawang merah dengan umbi berwarna
2
keputih-putihan. Jika dibandingkan dengan jenis bawang
lainnya di Indonesia, jenis bawang merah lokal Palu
sangat baik sebagai bahan baku bawang goreng dengan
aroma yang khas, tekstur yang padat, rasanya gurih dan
tahan dalam penyimpanan setelah digoreng.
Secara umum produktivitas bawang merah ‘lembah
palu’ lebih rendah dari jenis bawang merah lainnya.
Bawang merah varietas Bima, Brebes, Philipine itu dapat
mencapai 20 t/ha, namun bawang merah ‘lembah palu’
hanya memiliki potensi produktivitas 9,7 t/ha, dan pada
tingkat petani produktivitas bawang merah ‘lembah palu’
hanya berkisar 4-5 ton/ha. Rendahnya produktivitas
bawang merah ‘lembah palu’ menyebabkan kebutuhan
bahan baku belum mampu dipenuhi secara kontinyu
industri bawang goreng yang ada di Kota Palu dan
sekitarnya. Rendahnya produktivitas bawang merah
‘lembah palu’ disebabkan penerapan teknik budidaya yang
belum sesuai standar teknis yang dianjurkan atau
direkomendasikan.
Upaya peningkatan hasil usahatani bawang merah,
tidak saja dinilai dari aspek kuantitasnya tetapi yang
paling utama adalah kualitasnya. Untuk dapat
memperoleh kuantitas dan kualitas hasil yang tinggi perlu
diikuti dengan penerapan Praktek Pertanian yang Baik
(Good Agriculture Practices/GAP) yang dapat diperoleh
melalui penerapan SOP (Standard Operating Procedure)
yang disusun secara spesifik untuk kondisi lahan,
3
tanaman dan sasaran pasar tertentu. Penerapan SOP
untuk budidaya bawang merah lokal Palu merupakan
suatu hal yang sangat penting, untuk memudahkan
komoditi ini meraih pasar ekspor, karena tujuan dari
penerapan GAP/SOP diantaranya adalah: (1)
meningkatkan produksi dan produktivitas, (2)
meningkatkan mutu produksi termasuk keamanan
konsumen, (3) meningkatkan efisiensi dan daya saing
Solouve, Guntarano, Bulupontu Jaya dan Olobojo. Hasil
penelitian Bahrudin dkk (2014) menunjukkan bahwa
terjadi perbedaan nyata asal benih dengan vigor dan
viabilitanya, dimana benih bawang merah asal Solouwe
memiliki viabilitas dan vigor tinggi ditunjukkan dengan
daya kecambah, kecepatan berkecambah, indeks vigor
hipotetik dan berat kering tanaman lebih tertinggi, diikuti
oleh umbi yang berasal dari Tavanjuka, Duyu dan
Kayumalue. Benih bawang merah ‘lembah palu’ asal
Bulupontu Jaya dan Olobojo memiliki viabilitas dan vigor
sangat rendah dibandingkan dengan lokasi sumber umbi
lainnya di Lembah Palu.
39
Faktor utama penyebab produktivitas bawang
merah ‘lembah palu’ semakin rendah adalah karena
kemurnian bibit yang diusahakan pada beberapa sentra
semakin menurun karena tercampur dengan bibit bawang
merah lain yang produktivitas dan mutunya rendah dan
tidak lagi sesuai dengan karaktaristik bawang merah
‘lembah palu’.
Bawang merah varietas Lembah Palu, merupakan
bawang yang tidak dapat berbunga. Akibatnya, bawang
ini tidak memiliki biji sehingga memiliki keragaman
genetik yang sempit. Hingga saat ini perbanyakan bawang
Lembah Palu diperbanyak secara vegetatif menggunakan
umbi. Perbanyakan dengan umbi memiliki kelemahan
dimana umbi tersebut kemungkinan telah terinfeksi
patogen. Cara perbanyakan lain adalah dengan biji yang
lebih murah namun penyediaan biji bawang merah
Lembah Palu tidak dapat dilakukan, hal ini disebabkan
oleh genetik dari bawang tersebut. Teknik in vitro
merupakan cara lain yang dapat menyediakan sejumlah
bibit tanaman dalam waktu yang relatif cepat, bebas dari
patogen (jamur dan bakteri) atau virus, klonal dan
tersedia tanpa dipengaruhi musim.
Penelitian dasar yang telah dilakukan dalam rangka
penyediaan benih bermutu antara lain: mencari
lingkungan mikro yang sesuai untuk pembentukan benih
bawang merah dan upaya melindungi dari gangguan
organisme pengganggu tanaman (OPT). Mencari lokasi
40
adaptif untuk pembentukan dan penyimpanan umbi benih.
Dari beberapa hasil penelitian diperoleh bahwa ada
keterkaitan antara kearifan lokal masyarakat dengan
ketersedian benih bawang merah. Berdasarkan hal
tersebut maka penelitian selanjutnya merujuk dan
memadukan antara kearifan lokal dan teknologi produksi
benih serta teknologi kultur jaringan guna penyediaan
benih bawang merah.
Untuk menemukan tanaman induk sebagai bahan
eksplan maka dilakukan penelitian disentra pertanaman
bawang merah. Pertanaman bawang merah di Lembah
Palu tersebar di 21 lokasi pada tiga wilayah kabupaten
yaitu: Kota Madya Palu, Kabupaten Donggala dan
Kabupaten Sigi, namun dari 21 lokasi tersebut hanya
enam wilayah yang kontinyu melakukan pertanaman,
ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh berbagai wilayah produksi sumber benih terhadap: jumlah anakan, jumlah umbi (buah), diameter umbi (cm) dan hasil (t ha-1)
41
Upaya untuk mengetahui wilayah adaptif,
kebutuhan hara kalium dan ukuran umbi calon umbi benih
telah dilakukan seperti ditujukkan pada Tabel 4 dan Tabel
5.
Tabel 5. Pengaruh ketinggian tempat tanam, ukuran umbi dan dosis kalium terhadap hasil (t ha-1)
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing kombinasi perlakuan berarti tidak berbeda nyata (Duncan’s multiple range test P<0,05). U1=1,7 g/umbi - 2,3 g/umbi, U2= 2,4 g/umbi – 3,0 g/umbi.
Untuk menguji serta mengkaji calon umbi benih
yang telah dibudidayakan pada berbagai wilayah
ketinggian, maka dilanjutkan dengan penyimpanan calon
umbi benih tersebut pada ketinggian yang sama dan
hasilnya ditunjukkan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Untuk
menguji serta mengkaji calon umbi benih yang telah
dibudidayakan dan disimpan pada berbagai wilayah
ketinggian, maka dilakukan penanaman umbi benih
42
tersebut pada ketinggian 300 m dpl dan hasilnya
ditunjukkan pada Tabel 4. Lokasi ketinggian tempat
penanaman dan penyimpanan adaptif, penggunaan
ukuran umbi benih dan pemberian kalium sesuai
kebutuhan tanaman. Kombinasi tersebut merupakan
suatu kombinasi yang tidak dapat terpisahkan dalam
memperbaiki dan meningkatkan mutu umbi benih
bawang merah Lembah Palu. Usaha untuk memperoleh
benih bebas virus maka dilakukan penelitian peningkatan
kualitas benih melalui teknologi kultur jaringan, seperti
yang terlihat pada Gambar 3 dan Gambar 4, Tabel 5 dan
Tabel 7.
Gambar 3.a. Permukaan umbi yang mulai berubah membentuk struktur seperti kalus. b. Bentuk seperti tunas abnormal dari watery callus. c. Kalus globular yang muncul lebih lambat. d. Kalus embrigenik sebagai sumber explan.
Kalus berbentuk globular, berwarna kekuningan,
remah sampai agak kompak, terbentuk lebih lambat,
sekitar minggu ke 3-4, mula-mula sekitar bagian pangkal
umbi yang mulai kehilangan bentuk aslinya (Gambar 3c).
Kalus tipe inilah yang bersifat embriogenik, yang
kemudian berkembang menjadi tunas (Gambar 3d).
43
Tabel 6. Pengaruh ketinggian tempat tanam, ukuran umbi dan dosis kalium terhadap kekerasan umbi (mm N-1)
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing- masing kombinasi perlakuan berarti tidak berbeda nyata (Duncan’s multiple range test, P<0,05). U1= 1,7 g/umbi - 2,3 g/umbi, U2= 2,4 g/umbi – 3,0 g/umbi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan
kinetin sampai 0.50 mg/L pada media dasar MS, memacu
embrio globular untuk beregenerasi membentuk embrio
dewasa berbentuk bipolar. Struktur bipolar dari embrio
tersebut kemudian berkecambah membentuk bakal tunas
mikro (Gambar 4).
44
Gambar 4. A. Embryo globular sebagai eksplan. B. Embryo bipolar. C. Tunas Dari watery callus. D. Tunas dari kalus embriogenik.
Hasil analisis keragaman terhadap persentase
embrio dewasa, yaitu embrio yang beregenerasi
membentuk embrio bipolar menunjukkan bahwa
konsentrasi kinetin yang diaplikasikan sangat nyata
mempengaruhi persentase embrio dewasa 6 minggu
setelah kultur.
Tabel 7. Persentase embrio dewasa 6 minggu setelah kultur.
Perlakuan Rata-rata persentase embrio dewasa (%)*
Kinetin 0,00 ppm 2,960b
Kinetin 0,25 ppm 26,173a
Kinetin 0,50 ppm 26,913a
*Keterangan: Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada DMRT 1%.
Hasil uji lanjut DMRT pada taraf 1% atas perbedaan
rata-rata persentase embrio dewasa akibat penambahan
kinetin dapat dilihat pada Tabel 7 di atas. Hasil analisis
keragaman terhadap persentase embrio dewasa yang
berkecambah, yaitu embrio dewasa yang membentuk
45
tunas menunjukkan bahwa konsentrasi kinetin yang
diaplikasikan sangat nyata mempengaruhi persentase
embrio dewasa yang bertunas 8 minggu setelah kultur.
Sementara itu 2,4-D yang diaplikasikan pada kisaran
konsentrasi yang sama dan interaksi antara kedua zat
pengatur tumbuh tersebut, tidak berpengaruh pada
persentase embrio dewasa yang bertunas seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 8.
Tabel 8. Pengaruh ketinggian tempat simpan, asal mutu benih dan cara simpan terhadap total padatan terlarut (obrix) 8 MSP
Keterangan: Nilai yang diikuti huruf sama pada masing- masing kombinasi
perlakuan berarti tidak berbeda nyata (DMRT, P<0,05). U1= umbi kecil, U2= umbi besar, K1= 100 kg KCl/ha, K2= 150 kg KCl/ha, K3= 200 kg KCl/ha, K4= 250 kg.
46
Tabel 9. Persentase embrio dewasa berkecambah 8 minggu setelah kultur
Perlakuan Rata-rata persentase
embrio dewasa berkecambah(%)*
Kinetin 0,00 ppm 0,000 b
Kinetin 0,25 ppm 43,220 a
Kinetin 0,50 ppm 43,318 a
*Keterangan: Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada DMRT 1%.
Tabel 10. Pengaruh ketinggian tempat simpan, asal mutu benih dan cara simpan terhadap persentase umbi rusak (%)
47
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-
masing kombinasi perlakuan berarti tidak berbeda nyata (Duncan’s multiple range test, P<0,05). U1= umbi kecil, U2= umbi besar, K1= 100 kg KCl/ha, K2= 150 kg KCl/ha, K3= 200 kg KCl/ha, K4= 250 kg KCl/ha
48
Tabel 11.
Budid
aya d
an P
ascapanen
Pro
duksi B
enih
Baw
ang M
era
h
L
em
bah
Palu
pad
a W
ilayah 3
00 m
dpl
Kete
rangan:
DT=
daya t
um
buh,
KB=
kecepata
n b
erk
ecam
bah,
KA=
kadar
air,
T
PT=
tota
l padata
n t
erl
aru
t, KU
= k
ekera
san u
mbi, M
ST=
min
ggu s
ete
lah t
anam
.
49
Tabel 12. Pengaruh asal mutu benih terhadap kadar air umbi (%), kekerasan umbi (mmN-1), total padatan terlarut (obrix), berat kering tanaman (g), dan hasil (t ha-1)
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing- masing kombinasi perlakuan berarti tidak berbeda nyata (Duncan’s multiple range test, P<0,05). T1= 100 m dpl, T2= 300 m dpl, T3=500 m dpl, U1= umbi kecil, U2= umbi besar, K1= 100 kg KCl/ha K2= 150 kg KCl/ha, K3= 200 kg KCl/ha, K4= 250 kg KCl/ha.
4.3. Syarat dan karakteristik benih bawang merah Lembah Palu
Bawang merah di Indonesia terdapat 165 klon dan
26 klon diantaranya yang tersebar di Sumatera, Jawa
Barat dan Sulawesi merupakan klon bawang wakegi. Asal
mula bawang wakegi berasal dari hibridisasi alami antara
Allium fistulosum dan Allium ascalonicum Berdasarkan
dendogram hubungan kekerabatan berdasarkan kariotipe
dan analisis RAPD bawang merah Lembah Palu, berada
satu kluster dengan bawang Sumenep dan Palasa
50
merupakan dan merupakan kelompok bawang Wakegi.
Jumlah kromosom bawang Lembah Palu yaitu: 2n = 16,
dengan rumus kariotipe 12 m + 4 sm. Bawang wakegi
yang banyak dibudidayakan di Indonesia tidak dapat
berbunga, akibatnya, bawang wakegi memiliki
keragaman genetik yang sempit. Apabila ditanam secara
terus menerus menggunakan umbinya dapat menurunkan
produksi bawang wakegi.
Untuk menghasilkan benih bermutu tinggi, maka
produksi benih hendaknya dilakukan di daerah yang
memiliki persyaratan lingkungan yang sesuai, yaitu
lingkungan yang paling adaftif bagi budidaya dan
pascapanen bawang merah.Umumnya perbanyakan benih
bawang merah ditingkat petani dilakukan secara
konvensional, dengan melakukan perbanyakan dengan
dua tujuan yaitu umbi untuk komsumsi dan umbi untuk
benih.
Tabel 13. Spesifikasi persyaratan mutu umbi
51
Standarisasi mutu benih berdasarkan mutu fisik
umbi untuk bawang merah sampai saat ini belum
tersedia. Persyaratan mutu umbi yang dikeluarkan oleh
Pemerintah (SNI 2004 a-c) umumnya menekankan pada
penyakit dan jamur yang terikut pada umbi (Tabel 13).
Benih diperoleh dari tanaman induk melalui proses
seleksi calon benih sejak dipertanaman hingga panen.
Kegiatan seleksi tersebutbertujuan untuk memilih umbi
yang sehat, warna cerah, menyisihkan umbi tipe
simpang,dan umbi berwarna kusam dan cacat.
Dalam memproduksi benih bermutu tidak terlepas
dari penentuan masak fisiologis,karena waktu panenyang
tepat menentukan tingkat mutu fisiologis suatu
benih.Tolok ukur yang digunakanuntuk menentukan jika
benih tersebut telah mencapai tingkat masak fisiologis
pada umbi antara lain: berat kering benih, persentase
kandungan kadar air, daya tumbuh dan kecepatan
berkecambah. Selanjutnya pada calon umbi benih bawang
merah terukur melalui kandungan total padatan terlarut
atau total soluble solid (TSS), tingkat kekerasan umbi dan
kadar air.
Ukuran benih merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi perbedaan vigor, hasil dan mutu. Ukuran
benih menjadi faktor penting dalam memaksimalkan hasil
dan sering dipakai sebagai indikasi benih bermutu.
Sebaliknya ukuran umbi benih merupakan salah satu
faktor penentu mutu umbi bawang merah. Umumya pada
52
umbi benih berukuran besar terdapat kecenderungan
untuk dapat menyediakan cadangan makanan yang lebih
banyak. Pada varietas bawang merah berukuran besar
membutuhkan umbi benih sekitar 1,3 - 2,6 t ha-1. Benih
yang digunakan terseleksi dari pertanaman sehat, dan
dipanen jika telah mencapai tingkat masak fisiologis yaitu
pada umur ± 70 - 75 hari.
Umbi benih yang berukuran besar mempunyai
berat umbi yang lebih besar dibanding umbi benih
berukuran kecil. Dengan demikian, berat umbi suatu
benih juga akan memberi pengaruh terhadap kevigoran
umbi benih. Umbi yang lebih besar dapat menghasilkan
ukuran kecambah dua kali lipat dengan kemampuan
berfotosintesis lebih tinggi dibandingkan dengan umbi
kecil.
Ukuran umbi benih berkorelasi positif dengan
kandungan cadangan makanan. Cadangan makanan akan
mempengaruhi berat suatu benih. Kondisi ini akan
mempengaruhi kecepatan tumbuh benih dan hasil per
hektar. Umbi benih yang berukuran besar akan memiliki
persediaan stock makanan yang lebih banyak dan pada
akhirnya berpotensi menghasilkan perkecambahan
tanaman yang sempurna.
Jumlah umbi bawang per rumpun berkisar 2–8
umbi, berarti semakin banyak jumlah umbi yang
dihasilkan maka berat dan ukuran per umbinya semakin
kecil. Berat umbi benih siap tanam per rumpun berkisar
53
2,6 g - 14,8 g. Umbi untuk benih sebaiknya diambil dari
tanaman yang anakannya tidak terlalu banyak.
Untuk mematahkan dormansi umbi maka calon
benih dilakukan penyimpanan selama ±2 bulan. Benih
bawang berumur pendek mudah kehilangan viabilitas dan
vigornya, terutama apabila penyimpanannya kurang baik.
Viabilitas dan vigor benih akan mundur bila dibiarkan
dalam tempat terbuka. Setelah panen benih disimpan
dalam waktu kurang lebih dua bulan pada suhu kamar.
Mundurnya viabilitas benih juga disebabkan oleh kondisi
lingkungan yang tidak optimum. Proses kemunduran
benih akan terus berlangsung selama penyimpanan
sampai akhirnya mati. Salah satu indikasi dari
kemunduran benih adalah penurunan perkecambahan dan
perkecambahan benih tidak normal.
Penyimpanan benih bertujuan untuk
mempertahankan viabilitas dari suatu benih atau lot benih
dalam periode simpan yang sepanjang mungkin. Viabilitas
benih yang dipertahankan adalah viabilitas maksimum
benih yang dicapai pada saat benih mencapai tingkat
masak fisiologis. Selain itu penyimpanan benih bertujuan
untuk menyediakan cadangan atau stock benih bermutu
dari satu musim ke musim berikutnya, serta untuk
menyediakan benih dengan mutu yang tetap baik untuk
musim tanam berikutnya. Penyimpanan juga dilakukan
apabila jumlah benih yang diproduksi lebih banyak dari
pada jumlah yang dibutuhkan. Sebaliknya untuk bawang
54
merah penyimpanan umbi benih juga bertujuan untuk
mematahkan dormansinya. Dormansi umbi dapat
berlangsung ± 60 hari – 80 hari.
Hasil penelitian Muhammad Ansar dkk. (2015)
menunjukkan bahwa umur panen 65-70 hari setelah
tanam dengan lama simpan 30-40 hari setelah panen
menghasilkan vigor dan viabilitas umbi bawang merah
varietas ‘lembah palu’ lebih baik, yakni memiliki daya
kecambah tertinggi (100%), sebaliknya umur panen 75
hari setelah tanam mengalami penurunan daya kecambah
6-17%, jika disimpan selama 50-60 hari setelah panen;
serta waktu tumbuh dan kecepatan berkecambah lebih
baik dibandingkan perlakuan lainnya.
Daya simpan benih adalah kemampuan benih untuk
dapat mempertahankan viabilitasnya selama kurun
waktu tertentu, dan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain faktor genetik misalnya struktur, komposisi
kimia benih. Pada faktor lapang misalnya cara
memproduksi benih di lapang, sedangkan faktor kondisi
penyimpanan benih misalnya tempat penyimpanan benih.
Penyimpanan benih memerlukan berapa pertimbangan
dalam hal kadar air, hal ini diakibatkan oleh persentase
kandungan kadar air benih. Penyimpanan benih yang
berkadar air tinggi beresiko untuk terserang cendawan
lebih tinggi.
55
Benih memiliki kemampuan untuk
menyeimbangkankan kandungan kadar air dengan
lingkungan sekitarnya, akibatnya benih akan mengalami
deteorasi tergantung dari besar kecilnya faktor
kelembaban relatif udara dan suhu lingkungan dimana
benih tersebut disimpan. Dalam lot benih yang telah
mundur, benih tersebut akan mengalami kehilangan daya
tumbuh yang paling awal. Mundurnya viabilitas benih
merupakan proses yang berjalan bertingkat dan kumulatif
akibat perlakuan yang diberikan kepada benih tersebut.
Benih bawang merah Lembah Palu setelah
penjemuran memiliki kadar air sekitar 76%-80%. Kadar
air tinggi menyebabkan benih tersebut mudah
berkecambah (45 hari setelah panen), dan terserang
mikroba (benih busuk) di penyimpanan. Hal ini menjadi
permasalahan pada pembenihan bawang merah antara
lain : umur simpan sangat pendek 45 - 60 hari; susut
bobot sangat tinggi lebih dari 30%; serangan hama dan
penyakit di penyimpanan.
Penyimpanan bawang merah pada suhu 30OC
memberikan kualitas baik, karena setelah delapan minggu
penyimpanan kekerasan umbinya masih tinggi (2,5
mm/50 g/10”), kerusakan rendah (5%) dan VRS tinggi
(69,01 mikrogrek/g). Bawang merah yang disimpan pada
suhu 20OC lebih baik dibanding penyimpanan pada suhu
0OC dan 10OC.
56
Persentase kadar air dan nilai susut umbi benih
bawang merah Lokal Palu selama penyimpanan untuk
pematahan dormansi tergantung pada varietas dan
lamanya benih tersebut disimpan. Varietas Lembah Palu
dan Palasa yang disimpan selama 60 hari, persentase
kadar airnya menurun sekitar 74% – 76%, namun
persentase nilai susut varietas Lembah Palu lebih besar
yaitu: 50%, sedangkan varietas Palasa hanya: 35%. Daya
tumbuh varietas varietas Lembah Palu dan Palasa setelah
mengalami penyimpanan selama 60 hari semakin baik
pada kelembaban udara 61% dan Suhu 310C.
Mutu bawang menurun dicirikan dengan penurunan
kadar air tinggi, tumbuhnya tunas, pelunakan umbi,
tumbuhnya akar, busuk, susut bobot sangat tinggi lebih
dari 30%. Ciri lain mutu umbi yang mulai menurun adalah
rendahnya toleransi terhadap kondisi simpan yang kurang
sesuai dan kondisi sub optimum selama perkecambahan.
Umur simpan umbi yang sangat pendek tidak dapat
dirubah karena memang secara genetis umbi bawang
merah berair. Kriteria umbi benih bermutu bawang merah
Lembah Palu ditunjukkan pada Tabel 14.
57
Tabel 14. Kriteria umbi benih bermutu bawang merah Lembah Palu
menjadi sangat rapuh dan rnudah retak, yaitu ketika
kandungan airnya dibawah 20% (Currah dan Proctor
1990).
Secara tradisional, hasil panen bawang
merah disimpan di ruang dapur dengan
menggantungkannya pada rentangan tali. Penyimpanan
demikian dapat bertahan selama 6 bulan karena udara di
sekitarnya dikeringkan oleh panas tungku dapur, sehingga
bakteri dan cendawan tidak dapat berkembang dengan
baik.
Karmakar dan Joshi (1941), dikutip dalam
Salunkhe dan Desai (1990), melaporkan bahwa
penyimpanan bawang merah pada suhu 30°C tidak
169
akan mengurangi jumlah padatan terlarut tetapi akan
menurunkan kandungan gula reduksi. Pada tingkat
kemasakan optimal, umbi bawang biasanya berada
dalam masa dorman. Waktu dorman (istirahat)
berbeda untuk setiap jenis bawang, serta bergantung
pada lahan tempat tumbuh dan kondisi penyimpanan.
c.1. Penyimpanan di Atas Perapian
Penyimpanan di atas perapian merupakan cara
yang umum dilakukan oleh petani yang sebagian besar
ditujukan untuk penyediaan bibit. Selain Iebih murah
dan mudah dilakukan, cara penyimpanan ini relatif
dapat mempertahankan mutu. Hubungannya terhadap
perlindungan mutu diduga oleh terbakarnya
selulosa/lignin ungu sehingga terurai menjadi senyawa
yang dapat merupakan bahan pengawet, mencegah
pertunasan dan serangan hama. Namun demikian,
ternyata cara ini menimbulkan kehilangan hasil yang
cukup tinggi (20-70%) selama 2 bulan penyimpanan
(Musaddad dan Sinaga 1995).
c.2. Penyimpanan di Ruang Berventilasi
Kondisi ruang/gudang penyimpanan yang baik
adalah bersih, kering dan tidak lembab. Kondisi ini
dapat diperoleh dengan menciptakan sirkulasi dan
ventilasi udara yang memadai. Kelembaban yang terlalu
tinggi disertai suhu yang tinggi, dapat menyebabkan
terjadinya pembusukan umbi atau tumbuhnya tunas.
170
Suhu yang baik untuk menyimpan bawang merah
adalah 30-34°C dan kelembabannya 65-75% (Wibowo,
1993).
Gambar 22.
Cara penyimpanan umbi bawang merah dengan cara
menggantung pada rak dalam gudang penyimpanan
Gambar 23. Cara penyimpanan umbi
bawang merah dengan cara menghamparkan pada rak
dalam gudang penyimpanan
Menurut Rukrnana (1994) ikatan bawang merah
dapat disimpan dalam rak-rak di gudang penyimpanan
yang bersuhu 25-30°C, kelembaban 70-80%, sedangkan
Rahayu dan Berlian (1998) menyatakan bahwa suhu
ruang penyimpanan bawang merah hendaknya berkisar
antara 25-30°C, kelembabannya 60-80%. Dalam kondisi
yang baik, bawang merah ‘lembah palu’ dapat disimpan
selama 4 bulan.
Hasil penelitian Musaddad dan Sinaga (1994)
menunjukkan bahwa penyimpanan bawang merah pada
suhu 30°C dan kelembaban 70% memberikan kualitas
yang baik, karena setelah 8 minggu penyimpanan
diperoleh kekerasan yang rnasih tinggi (2,5
mm/50g/10") kerusakan rendah (5%) dan VRS tinggi
171
69,01 mikrogrek/gram). Sedangkan Sinaga dan Hartuti
(1991) menyimpulkan bahwa cara penyimpanan terbaik
ditunjukkan oleh bawang merah berdaun yang
digantung, karena selama penyimpanan diperoleh
tingkat kerusakan, susut bobot dan kadar air yang
rendah serta kadar total padatan terlarut yang tinggi.
c.3. Penyimpanan Dingin
Kondisi penyimpanan dingin untuk bawang merah
adalah pada suhu sekitar 0°C dan kelembabannya 65%.
Pada suhu 10-15°C umbi bawang merah akan cepat
tumbuh dan membentuk tunas (Wibowo 1999).
Penyimpanan dingin untuk bawang merah yang
dianjurkan oleh Pantastico (1993 ) adalah pada suhu 0°C
dengan RH 70-75%. Pada kondisi ini umur simpan
bawang merah 20-24 minggu.
Bahan dapat didinginkan menggunakan udara
dingin, air dingin, kontak evaporatif, pendinginan
vakum). Wills et al. (1981) mengemukakan bahwa laju
pendinginan hasil segar tergantung pada 5 faktor:
1) Kecepatan transfer panas dari bahan (tergantung
bentuk dan ukuran).
2) Perbedaan suhu antara bahan dan medium
pendingin.
3) Kecocokan medium pendingin dan komoditas.
4) Kecepatan aliran medium pendingin.
5) Sifat medium pendingin.
172
d. Keadaan gudang atau ruang penyimpanan
Ruang penyimpanan atau gudang harus memiliki
ventilasi agar pertukaran udara didalamnya berjalan
lancer sehingga ruangan cukup kering dan tidak lembap.
Gudang atau ruang penyimpanan harus bersih dari segala
kotoran agar hama atau bibit-bibit penyakit tidak
terbawa. Bangunan gudang dibuat dari bahan pilihan yang
dapat berfungsi sebagai isolator, misalnya papan kayu,
agar udara di dalam tidak banyak yang keluar sehingga
temperaturnya tetap stabil. Atap dibuat dari bahan yang
dapat menyerap panas, misalnya seng, dapat
menciptakan temperature ruang yang sesuai. Selain itu,
gudang atau ruang penyimpanan sebaiknya dibangun di
tempat terbuka agar dapat menerima sinar matahari
secara langsung sehingga dapat menyerap panas lebih
banyak. Gudang sebaiknya dilengkapi dengan rak-rak
untuk menempatkan bawang merah yang hendak
disimpan, baik dalam bentuk protolan maupun dalam
bentuk ikatan.
Sebelum digunakan, seluruh ruangan dalam
gudang harus difumigasiterlebih dahulu dengan pestisida
tablet, yaitu Photoxin 55% dengan dosis 1-3 tablet untuk
setiap 1 m3 ruangan. Pengasapan atau fumigasi harus
dilakukan dengan hati-hati karena pestisida ini sangat
berbahaya dan dapat meracuni pemakainya. Oleh sebab
itu, gunakan masker atau penutup hidung ketika
melakukan fumigasi agar terhindar dari keracunan.
173
Setelah semua persyaratan teknis terpenuhi, bawang
merah dapat segera dimasukkan untuk disimpan dalam
gudang pada para-para yang telah disiapkan.
e. Suhu dan kelembapan ruangan
Suhu dan kelembapan dalam gudang sangat
berpengaruh terhadap tingkat kerusakan bawang merah
selama dalam penyimpanan. Suhu dan kelembapan yang
terlalu tinggi dapat mempercepat busuknya umbi dan
tumbuhnya tunas sehingga kualitasnya menjadi jelek. Jika
udara dalam gudang terlalu kering (suhu tinggi) dan
kelembapan udara rendah, basahi lantai dengan air atau
alirkan/hembuskan uap air ke dalam ruangan agar
kelembapan udara dapat meningkat. Jika kelembapan
terlalu tinggi, turunkan dengan cara mengalirkan zat yang
bersifat higroskopis, yaitu CaCl2 atau berikan batu kapur
di lantai gudang. Suhu ruang yang baik untuk
penyimpanan bawang merah berkisar antara 30oC-34oC,
dengan kelembapan udara nisbi antara 65%-75%.
f. Keadaan bawang merah
Keadaan atau kondisi bawang merah yang akan
disimpan dalam gudang sangat berpengaruh terhadap
daya simannya. Bawang merah yang masih basah lebih
pendek daya simpannya, walaupun gudang atau ruang
penyimpanan telah memenuhi persyaratan teknis. Umbi
bawang merah yang kadar airnya masih tinggi mudah
terserang oleh penyakit busuk umbi yang disebabkan oleh
174
cendawan Aspergillus niger. Demikian pula, bila dalam
penyimpanan terdapat bawang merah yang rusak atau
terkena penyakit, maka daya simpannya juga menjadi
lebih pendek karena tertular oleh penyakit. Oleh sebab
itu, bawang merah yang akan disimpan dalam gudang
harus cukup kering dan kadar airnya sekitar 80%-85%
atau beratnya sudah susut sekitar 15%-20%. Selain itu,
bawang merah yang baik dan akan disimpan harus sudah
benar-benar bebas dari bawang merah yang rusak dan
terkena penyakit.
Sortasi dan Grading
Setelah umbi bawang merah kering, selanjutnya
dilakukan sortasi atau grading. Kegiatan sortasi
dimaksudkan untuk memilah-milahkan umbi yang
bermutu baik dari umbi yang bermutu rendah.
Jika akan langsung dikonsumsi, bawang merah
segera dipotong daun batangnya sekitar ±0,5 cm diatas
umbi. Demikian juga akar-akar yang masih panjang.
Pemotongan dilakukan dengan menggunakan pisau yang
tajam atau gunting. Selanjutnya, bawang merah dipisah-
pisahkan menurut standar mutu. Sementara, jika akan
disimpan, bawang merah biasanya diikat
(kaili=dibembeng) setelah sebagian daun dipotong hingga
tinggal setengahnya.
175
DAFTAR REFERENSI
Agata J. Just M V. Jadwiga Z. 2005. Characterization Of A Nucleopolyhedrovirus Isolated From The Labolatory Rearing Of The Beet Armyworm Spodoptera exigua (Hbn.) In Poland. Journal of Plant Protection Research 44 (4).
Aitkenhead, P., Baker, C.R.B and Chickera, G.W.D. (1974) An outbreak of Spodoptera litura, a new pest under glass in Britain. Plant Pathol. 23:117-118.
Andi. M. A dan Syarifuddin, 2007. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan, PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI dan Masagena Press. Makasar.
Arifin, M. 1991. Bioekologi, serangan dan pengendalian hama pemakan daun kedelai.Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Malang, 8-11Agustus 1991.
Arifin, N.S. and Okubo, H. 1996. Geographical distribution of allozyme patterns in shallot (Allium cepavar. ascalonicumBacker) and wakegi onion (A. × wakegi Araki). Euphytica. Vol.9(1): 305-313.
Bahrudin, I. Wahyudi, Muhammad-Ansar dan S. Sanrang, 2009. Kajian SOP (Standard Operating Procedure) Sistem Budidaya dan Pasca Panen Bawang Merah Lokal Palu di Sulawesi Tengah. Hibah kompetitip Penelitian Sesuai Prioritas Nasional BATCH II. Laporan Penelitian LPPM Universitas Tadulako. Palu.
Bahrudin, Muhammad-Ansar dan I. Madauna, 2014. Kajian Viabilitas dan Vigor Benih Asal Dari Berbagai Sentra Bawang Merah Varietas Lembah Palu. Prosiding Seminar Nasional PERHORTI, Universitas Brawijaya. Malang.
176
Bahrudin dan Muhammad-Ansar, 2015. Aplikasi Sungkup Plastik Dan Mulsa Untuk Meningkatkan Adaptasi Tanaman Bawang Merah Varietas ‘Lembah Palu’ Pada Dataran Medium. Prosiding Seminar Nasional PERHORTI, IPB Bogor, 19-21 Nopember 2015.
Bakhri, S., Chatidjah, A. Ardjanhar, dan J.G. Kindangen. 2000. Penerapan paket teknologi budi daya bawang merah dan kentang di Sulawesi Tengah. Prosiding Aplikasi Paket Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. hlm. 37–46.
Basuki, R.S.2010. Sistem pengadaan dan distribusi bibit bawang merah pada tingkat Petani di Kabupaten Brebes. J. Hort. 20 (2) : 186 – 195.
Benkeblia, N., P. Varoquaux, N. Shiomi, and H. Sakai. 2002. Storage technology of onion bulbs c.v. Rouge Amposta: effects of irradiation, maleic hydrazide and carbamate isopropyl, N- phenyl (CIP) on respiration rate and carbohydrates. International Journal of Food Science and Technology. 37: 169 – 175.
BPTP Sulteng. 2004. Satu Dasawarsa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta.
Brady, N.C. 1990. The nature and properties of soils. The MacMillan Publishing Company. New York.
Buckle KA., RA. Edward, GH. Fleet, M. Woott. 1987. Ihnu Pangan. N Pumomo dan Adiono, penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: Food Science.
177
Budi, A.S., Afandhi, A. and Puspitarini, R.D. (2013) Patogenisitas Jamur Entemopatogen Beauveria bassiana Balsamo (Deuteromycetes : Moniliales) Pada Larva Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera : Noctuidae). Jurnal HPT Volume 1 Nomor 1.
Burton WG. 1982. Post Harvest Physiology of Food Crops. UK: Longman. Hartow.
Cahyono, B. 1996. Budidaya Bawang merah Dataran Rendah Usaha Mengembangkan,Memasarkan dan Analisis Produksi. C.V. Aneka: Solo.
Comadug, V. S and M.B. Simon. 2002. Storage duration, growth & yield of shallot. Philippine Journal of Crop Science. 27(3): 15-21.
Curah L, FJ Proctor. 1990. Onion in Tropical Regions. Natural Recources Institut (NRI). Buletin XII (35): 65-70
Cys, E van Ranst, J. Debaveye and F. Beernaert. 1993. Land evaluation. Part III Crop Requirements. Agricultural Publications–No 7; General Administration for Development Cooperation. Belgium.
Dinas Pertanian Kab. Donggala, 2006. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kab. Donggala. Donggala.
Dinas Pertanian Kota Palu, 2006. Data Base Pertanian, Kehutanan dan Kelautan Kota Palu. Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kelautan Kota Palu. Palu.
Diperta Sulteng. 2009. Standard Operating Procedure (SOP) Budidaya Bawang Merah Varietas Palu. Dinas Pertanian Propinsi Sulawesi Tengah. Palu.
Diperta Sulteng. 2010. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Sulawesi Tengah.
Dwidjoseputro, D. 1981. Pengantar fisiologi tumbuhan. Gramedia. Jakarta.
178
Erythrina., 2011. Perbenihan dan budidaya bawang merah. Seminar nasional inovasi teknologi pertanian untuk menunjang ketahanan pangan dan swasembada beras berkelanjutan di Sulawesi Utara. Hlm: 74- 84.
Ganet, J., 1994. Allodiploid nature of Allium wakegi Araki revealed by genomic in situ hybridization and localization of 5S and 18S rDNAs. Biological Institute, Faculty of Education, Ehime University, Matsuyama, Japan. Aug:69(4):407-15.
Gomez, K.A. and A.A.Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Terjemahan: Endang Syamsuddin and Justika S. Baharsjah. UI-Press. Jakarta. Hlm: 342-360.
Hadid,A. dan Maemunah, 2001. Pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah dengan modifikasi iklim mikro. J.Agroland 8(4): 377-384.
Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.R. Saul, M.A. Diha, G.B. Hong & H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar ilmu tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Hartati, 2009 dalam Siti.F 2011. Toksisitas Nematoda Entomopatogen (Steinernema Spp) Hasil Biakan Pada Media Kuning Telur Terhadap Hama Tanaman Sawi (Spodoptera Litura). Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Surabaya 2011.
Havlin, J. L., J. D. Beaton, S. L. Tisdale and W. L. Nelson. 2005. 2005. Soil Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management. Pearson Education, Inc., Upper Sadle River, New Jersey 07458.
Henderson SM, RL Perry. 1976. Agricultural Process Enginering. USA: The AVI Publi. Company incorporatiaon. Westport Connecticut.
179
Hidayat, A. 2004. Budidaya Bawang Merah. Beberapa hasil Penelitian di Kabupaten Brebes. Makalah disampaikan pada Temu Teknologi Budidaya Bawang Merah. Direktorat Tanaman Sayuran dan Bio Farmaka, Brebes 3 September 2004.
Histifarina D, D Musaddad. 1998. Pengaruh Cara Pelayuan Daun, Pengeringan, dan Pemangkasan Daun Terhadap Mutu dan Daya Simpan Bawang Merah. J. Hort. 8 (1): 1036-1047.
Humberto, B. C., dan JS. Alan. 2013. Implications of Inorganik Fertilization of Irrigated Corn on Soil Properties: Lessons Learned after 50 years, Journal of Environment Quality, Vol 42, no. 3, pp. 861.
Islam, M.A., A.T.M. Shamsuddoha, M.S.I. Bhuiyan and M. Hasanuzzaman. 2008. Response of summer onion to potash and its application Methods. American- Eurasian Journal of Agronomy. 1 (1): 10 – 15.
Jumin, H.B. 2002. Agroekologi. Suatu pendekatan fisiologis. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Kalshoven, L.G.E. (1981) The Pets of Crops In Indonesia. Revised And Translated by P.A. Van der Laan. PT. Ictiar Baru. Van Hoeve. Jakarta.
Kalshoven. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve.
Kementerian Pertanian. 2015. Berita Resmi PVT Pendaftaran Varietas Lokal Bawang Merah Lembah Palu. No. Publikasi: 040/BR/PVL/ 04/2015.
Kramer, P.J. 1980. Plant and soil water relationships. A Modern Synthesis. TataMcGrow-Hill. Publ. Co. LTD. New Delhi.
Lasa R. Caballero P. Williams T. 2007.A Juvenile Hormone Analogs Greatly Increase The Production of A Nucleopolyhedrovirus. Journal of Bio. Control 4 (1): 389-396.
180
Levitt, L. 1980. Responses of plants to environment stresses. Dep. Of Plant Biology. Carnages Ins. Of Washington Standford, California, MD.
Limbongan, J. an A. Monde. 1999. Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap pertumbuhan dan produksi bawan merah kultivar Palu. J. Hortikultura 9 (3): 212-219.
Limbongan, J. dan Maskar, 2003. Potensi pengembangan dan ketersediaan teknologi bawang merah Lembah Palu di Sulawesi Tengah. J. Litbang Pertanian. 22 (3) ): 103-108.
Limbongan, J. dan Maskar, 2003. Potensi pengembangan dan ketersediaan teknologi bawang merah Palu di Sulawesi Tengah. Jurnal Litbang Pertanian 22(3):103-108.
Maemunah dan Bustami, M.U., 2013. Strategi perbanyakan bawang merah Lembah Palu melalui kultur jaringan untuk menyediakan benih berkualitas. Laporan akhir penelitian Hibah Bersaing 2013. Universitas Tadulako. Palu.
Maemunah dan M.S. Saleh. 2007. Potensi pengembangan dan hasil penelitian bawang merah unggulan Sulawesi Tengah.. Prosiding Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan di Sulawesi Tengah.hal. 108-113.
Maemunah dan M.S. Saleh. 2007. Potensi pengembangan dan hasil penelitian bawang merah unggulan Sulawesi Tengah.. Prosiding Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan di Sulawesi Tengah.hal. 108-113.
Maemunah dan Nurhayati. 2011. Vigor kekuatan tumbuh (vkt) bibit bawang goreng lokal Palu terhadap kekeringan. J.Agrivigor. 11(1): 8 – 16.
Maemunah, 2015. Perbaikan teknologi produksi bawang merah Lembah Palu. Disertasi. Program Doktoral Sains Pertanian. Universitas Brawijaya, Malang.
181
Maemunah, dan Ramal Yusuf., 2015. Perbanyakan embrio somatik bawang merah Lembah Palu sebagai upaya penyediakan benih berkualitas. Laporan akhir penelitian Hibah Bersaing 2015. Universitas Tadulako. Palu.
Maemunah, 2010. Viabilitas dan vigor bibit bawang merah pada berbagai varietas setelah penyimpanan. J.Agroland 17 ( 1): 18 – 22.
Maemunah, 2014. Produksi benih dan kearifan lokal dalam perbaikan mutu benih bawang lokal Palu. Prosiding seminar nasional “PERHORTI, Malang 5-7 November 2014 ISBN 978-979-508-017-6 226.
Maemunah, Hadid, A, Lapanjang, I., Nurhayati, Yusuf, R., Bustami, M.U. 2016. Perkembangan teknologi produksi benih dan kearifan lokal dalam perbaikan mutu benih bawang lokal Palu. Prosiding seminar nasional “PERAGI BOGOR ,27 April 2016. ISBN 978-979-508-017-6 226.
Maemunah, T.Wardiyati, B.Guritno and A. N. Sugiarto, 2015. The influence of storage area, storage method and seed quality character on the quality of shallot seed. Int. J. Adv. Res. Biol.Sci. 2(1): (2015): 158–164.
Marwoto dan Suharsono. (2008) Strategi dan Komponen Teknologi Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabricius) pada Tanaman Kedelai. J. Litbang. Pertanian. 27: 131-136.
Maskar dan Y.P. Rahardjo. 2008. Budidaya Bawang Merah Lokal Palu dalam Petunjuk Teknis Teknologi Pendukung Pengembangan Agribisnis di Desa P4MI inAmran Muis, C. Khairani, Sukarjo dan Y. P. Rahardjo (ed), Prosiding. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. hal. 64–76.
182
Maskar, Sumarni, A. Kadir dan Chatijah. 1999. Pengaruh ukuran bibit dan jarak tanam terhadap hasil panen bawang merah verietas lokal Palu. Prosiding Seminar Nasional. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah.hal. 25-28.
Mentan. 2011. Surat keputusan menteri pertanian tentang pelepasan bawang merah varietas Lembah Palu sebagai varietas unggul. Menteri Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Miyahara, Y., Wakikado, T. and Tanaka, A. (1971) [Seasonal changes in the number and size of the egg-masses of Prodenia litura]. Japanese J.Appl. Entomol. Zool. 15: 139-143.
Moekasan, T.K. dan L. Prabaningrum. 1997. Panduan Teknis : Penerapan PHT pada sistem tanam tumpanggilir bawang merah dan cabai. Kerjasama Balitsa dengan Novartis Crop Protection. 70 hal.
Muchtadi D. 1992. Fisiologi Pascapanen Sayuran dan Buah-buahan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
Muhammad, H. , S. Sabihan, A. Rachim, dan H. Adijuwana. 2003. Pengaruh Pemberian Sulfur dan Blotong terhadap pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah pada Tanah Inceptisol. J.Hort. 13 (2): 95-104.
Muhammad Ansar, 2008. Pengaruh lama waktu pemberian air dan dosis pupuk kalium terhadap pertumbuhan dan hasil bawang merah. Jurnal AgroUPY Yogyakarta. Volume 2, Nomor 1.
Muhammad Ansar, 2009. Kajian aspek fisiologi tiga varietas lokal bawang merah pada keragaman ketinggian tempat. Prosiding Kongres dan Semnas Perhorti. IPB. Bogor.
Muhammad Ansar, 2011. Pertumbuhan, hasil dan kualitas umbi bawang merah pada kadar air tanah dan ketinggian tempat berbeda. Jurnal Agrivigor UNHAS. Volume 10, Nomor 2.
183
Muhammad-Ansar, Tohari, B.H. Sunarjanto dan E. Sulistyani. 2011. Pengaruh lengas tanah terhadap pertumbuhan dan hasil tiga varietas lokal bawang merah pada ketinggian tempat berbeda. J. Agroland.18 (1): 8 – 14.
Muhammad-Ansar, 2012. Pertumbuhan dan hasil bawang merah pada keragaman ketinggian tempat. Disertasi. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Muhammad-Ansar, Bahrudin dan I. Wahyudi, 2013. Modifikasi Lingkungan Mikro Menggunakan Sungkup Plastik dan Mulsa Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah Varietas Lembah Palu Pada Agroekosistem Lahan Sawah. Jurnal Agroland UNTAD. Volume 20, Nomor 1.
Muhammad-Ansar, Bahrudin dan I. Wahyudi, 2014. Pengujian Pemupukan Spesifik Pada Kondisi Agroekosistem Lahan Kering Sentra Pengembangan Bawang Merah Varietas Lembah Palu. Prosiding Seminar Nasional PERHORTI. Universitas Brawijaya. Malang.
Muhammad-Ansar, Bahrudin dan I. Wahyudi, 2015. Pengaruh Umur Panen dan Lama Penyimpanan Terhadap Viabilitas Dan Vigor Benih Bawang Merah ‘Lembah Palu’. Prosiding Seminar Nasional PERHORTI, IPB Bogor, 19-21 Nopember 2015.
Murata and Tojo. (2002) Utilization of Lipid for Flight and Reproduction Spodoptera litura (Lepidoptera : Noctuidae). J. Entomol. 99: 221-224.
Musaddad D, RM Sinaga. 1994. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Umbi Bawang Merah (Allium ascalonicunzL.).Bul. Pend. Hort. 26 (2) :134-141.
184
Musaddad D, RM Sinaga. 1995. Panen dan Penanganan Segar Bawang Merah. Di dalam Teknologi Produksi Bawang Merah. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Mutia. O., 2013. Pengaruh Konsentrasi Pupuk Organik Cair Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Bawang Merah (Allium ascalonicum L.). Universitas Tamansiswa. Padang.
Nabi, Ghulam., S.J. Rab A, Abbas, Farhattullah, F. Munsif and I.H. Shah. 2010. Influence of different dosis of potash on the quantity, quality and storage life of onion bulbs. J. Bot. 42(3): 2151-2163.
Nasir, B. 2007. Penggunaan Bioinsektisida Berbahan Aktif Beauveria bassiana Untuk Pengendalian Hama Spodoptera exiqua Hubner (Lepidoptera : Noctuidae) pada Tanaman Bawang Merah. J. AGROLAND (14)1:312-319.
Nasir, B. dan A. Wahid, 1998. Pengendalian Hama Ulat Bawang (Spodoptera exigua Hbn.) Dengan Bioinsektisida Bacillus thuringiensis Berl. dan Beauveria bassiana. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Tadulako. Palu.
Nasir, B. dan A. Wahid, 1998. Pengendalian Hama Ulat Bawang (Spodoptera exigua Hbn.) Dengan Bioinsektisida Bacillus thuringiensis Berl. dan Beauveria bassiana. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Tadulako. Palu
Nasir, B., 2004. Penggunaan Bioinsektisida Berbahan Aktif Beauveria bassiana Untuk Pengenndalian Hama Spodoptera exiqua Hubner. (Lepidoptera : Noctuidae) pada Tanaman Bawang Merah J. AGROLAND Vol 11(1): 56-62.
185
Nasir, B., F. Pasaru dan Nurlela 2005. Efektivitas Berbagai Jenis Bioinsektisida Berbahan Aktif Bacillus thuringiensis Berl. Terhadap Perkembangan Populasi dan Tingkat Serangan Hama Ulat Bawang (Spodoptera exiqua, Hubner. Fakultas Pertanian Untad. Palu.
Nasir, B., Zulkifly dan Zalri 2008. Virulensi Isolat Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. (Deuteromycetes: Moniliales) pada Berbagai Masa Inkubasi terhadap Mortalitas Larva Spodoptera exigua Hbn. (Lepidoptera: Noctuidae). Fakultas Pertanian Untad. Palu.
Notohardiprawiro, R.M.T. 1983. Selidik cepat ciri tanah di lapangan. Lab. Pedologi Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta. Ghalia Indonesia. 94p.
Nuralam, M,. 2011. Strategi penyediaan bibit bawang merah Lembah Palu di Desa Bulupontu Jaya Kecamatan Birimaru Kabupaten Sigi. Agroland.18 (2) : 134 – 142.
Pantastico ERB. 1993. Fisiologi Pascapanen,. Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Kamarijani, penerjemah. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Terjemahan dart: Postharvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical and Sub Tropical Fruits and vegetables.
Patena, L.F., Bernardita A dela Rosa and Teresita L. Rosario, 1991. In vitro respon of garlic (Allium sativum L.) and shallot (Allium ascalonicum L.) to 6-benzylaminopurine, kinetin, 2-isopentenyladenine, 1-naphthalene acetic acid and mannitol. Phillip J. Crop Sci. 26 (1) Pg 25-28.
Pracaya. 2005. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta.
186
Pratama,Y .S. 2008. Pembuatan Pupuk Organik dan Anorganik Cair Dari Limbah Sayuran. 50 Hal.
Purnomo, J., S. Sutomo, W. Hartatik dan A. Rachman, 2007. Pengelolaan Kesuburan Tanah untuk Bawang Merah di Kabupaten Donggala. Proceeding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Lahan Marginal. Balai Penelitian Tanah Bogor.
Puslitbangtanak. 2000. Atlas sumberdaya tanah. Explorasi Indonesia skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Puslitbangtanak. 2004. Profil Sumberdaya Lahan Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Rahayu, E. dan N. Berlian, V.A. 1998. Bawang Merah. Bogor: Penebar Swadaya.
Rahayu, E. dan N. Berlian, V.A.. 2004. dalam Fauzi, Baharuddin A. 2014. Efektivitas Nematoda Entomopatogen pada Hama Bawang Merah Spodoptera exigua. Skripsi, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang. Dr. Ir. Dyah Rini Indriyanti, M.P dan Dr. Sri Ngabekti, M.S.
Rahayu, E. dan N. Berlian, V.A. 2007. Bawang Merah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rahim, A.,S. Baja, M. Mustafa dan B. Ibrahim. 2012. Daya adaptasi dan potensi hasil bawang merah varietas Lembah Palu. http:/pasca.unhas.ac.id/jurnal/files. (03/03/ 2012).
Raihan, S. dan Nurtiyanti. 2002. Pengaruh Pemberian Bahan Organik Terhadap N dan P Tersedia Tanah Serta Hasil Beberapa Varietas Jagung di Lahan Pasang Surut Sulfat Masam. Agrivita 23 : 13-19.
Ramakrishnan, M., S. Antony Ceasar, V. Duraipandiyan, Melvin A. Daniel and S. Ignacimuthu, 2013. Efficacious somatic embryogenesis and fertile plant recovery from shoot apex explants of onion (Allium cepa L.). In Vitro Cell.Dev.Biol.
Rauf, 2003. dalam R. Rustam dkk. 2009. Studi Lalat Penggorok Daun Liriomyza spp. Pada Pertanaman Bawang Daun, dan Parasitoid Opius chromatomyiae Belokobyskij dan Wharton (Hymenoptera:Braconidae). J hpt Tropika, ISSN 1411-7525 Vol. 9, No.1:22-31, Maret 2009.
Rauf, A. 1999. Dinamika Populasi Spodoptera exigua (Hubner) (Lepidoptera:Noctuidae) Pada Pertanaman Bawang Merah Di Dataran Rendah.Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 11(2):39-47(1999).
Rukmana R. 1994. Bawang Merah Budidaya dan Pengolahan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta.
Ryal AL, WJ Lipton. 1972. Handling, Transportation and Storage of Fruit and Vegetables. USA: AVI Publishing Inc. Westport. Connecticut.
Saidah, 2001. Kajian Pemberian Kasting dan ZA terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah Kultivar Lokal Palu. Thesis Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Saidah. 2002. Pengaruh pemberian kascing dan ZA terhadap produksi bawang merah kultivar lokal Palu. J. Agroland 9 (4): 354-360. Desember 2002.
Salunke DK, BB Desai. 1984. Postharvest Biotechnology of Vegetables. Volume I. Florida: CRC Press. Inc.
Sanchez, P.A. 1992. Properties and Management of soils in the tropics (Sifat dan pengelolaan tanah tropika). Alih bahasa: Dra. J.T. Jayadinata, M.Sc.). Penerbit ITB. Bandung.
188
Sanguansri P, LU Gould. 1992. Onion, Artificial Curing System and Obyective Quality Evaluation. Di dalam: Horticultur abstract 62 (11) : 1071
Sarjiman dan Mulyadi. 2011. Analisis Neraca Air Lahan Kering pada Iklim Kering untuk Mendukung Pola Tanam. http;//www.yahoo.com.dikunjungi 11 April 2011.
Sasrodarsono, S. dan T. Takeda. 1978. Hidrologi pengairan. PT. Pradnya Paramitra. Jakarta. 226 hal.
Setiadi, 2004., Bertanam Cabai. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Setyowati, M. Sulistyaningsih, E. Dan Purwantoro, A. 2013. Induksi poliploidi dengan kolkisina pada kultur meristem batang bawang wakegi (Allium x wakegi Araki) Ilmu Pertanian. Vol.16 (1): 58–76.
Setyobudi, L. 1984. Bawang merah. Balai Penelitian Tanaman Horticultura. Malang, 4h.
Sinaga RM, N Hartuti. 1991. Pengaruh Cara Penyimpanan terhadap Mutu Bawang Merah. Bul. Penel. Hort. 20 (1).
Singh, S.P. and A.B. Verma. 2001. Response of onion (Allium cepa) to potassium application. Indian Journal of Agronomy. 46:182-185.
Sintim, H.O., Tashiro, T. and Motoyama, N. (2009) Response of the cutworm Spodoptera litura to sesame leaves or crude extracts in diet. 13pp. J.Insect Sci. 9: 52.
Soetiarso, TA. 1998. Pen2asaran Bawang Merah dan Cabai Merah. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Hal 21-65. Dalam A. Adimihardja et al., (penyunting). Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
189
Subhan dan N. Nurtika. 2004. Penggunaan Pupuk NP Cair dan NPK (15-15-15) untuk Meningkatkan Hasil dan Kualitas Buah Tomat Varietas Oval. Jurnal Hortikultura. Vol 14 (4) : 253-257.
Sulistyaningsih, E., Y. Takatori, S. Isshiki and Y. Tashiro. 2008. Identification of wakegi onion in Indonesia by GISH. Spring Meeting Japanese Sociaty for Horticultural Science. Japan. P 070.
Sumiati, E.,N. Sumarni dan Hidayat. 2004. Perbaikan teknologi produksi umbi bibit bawang merah dengan ukuran umbi bibit, aplikasi ZPT, dan unsur hara mikroelement. J. Hort. 14 (1) : 25 – 32.
Sunaryono, H. dan P. Soedomo. 1983. Budidaya Bawang Merah. CV. Sinar Baru, Bandung.
Suriadikarta., D. Ardi., dan R.D.M. Simanungkalik. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Jawa Barat.
Suseno, H. 1974. Fisiologi Tumbuhan. Metabolisme dasar dan beberapa aspeknya. Departemen Botani, Institur Pertanian Bogor. Bogor.
Wibowo S. 2004. Budidaya Bawang. Jakarta : Penebar Swadaya.
Wibowo. 1988. Budidaya Bawang Putih, Bawang Merah dan Bawang Bombay. Penebar Swadaya. Jakarta.
Wills RH, Lee TH Lee, D Grajham, WB Mc Glasson, EG. Ha11.1981. Postharvest An Introduction to the physiology and Handling of Fruit and Vegetable. Australia: New South Wales University Press.