BAHAN AJAR TEKNIK PENDAMPINGAN DAN MANAJEMEN KONFLIK DISAJIKAN PADA DIKLAT FASILITATOR PENDAMPINGAN HUTAN TANAMAN RAKYAT 0
BAHAN AJAR
TEKNIK PENDAMPINGAN DAN MANAJEMEN KONFLIK
DISAJIKAN PADA
DIKLAT
FASILITATOR PENDAMPINGAN HUTAN TANAMAN RAKYAT
BALAI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN
MAKASSAR, APRIL 2012
0
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu dari enam kebijakan prioritas pembangunan kehutanan tahun
2010-2014 adalah Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan.
Pemanfaatan hutan alam dalam memenuhi kebutuhan industri kehutanan saat
ini sudah tidak dapat diharapkan lagi. Kondisi hutan alam yang terdegradasi
baik akibat illegal logging dan kebakaran hutan, berimpilkasi pada berkurangnya
suplai kayu untuk industri kehutanan. Pengembangan hutan tanaman, baik
hutan tanaman industri maupun hutan tanaman rakyat merupakan salah cara
untuk memenuhi kebutuhan industri kayu nasional.
Sejak tahun 2007 Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan
menggiatkan program Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Kebijakan HTR terkait
dengan kebijakan Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan (pro-poor),
menciptakan lapangan kerja baru (pro-job) dan memperbaiki kualitas
pertumbuhan melalui investasi yang proporsional antar pelaku ekonomi (pro-
growth). Kebijakan HTR memberikan akses lebih kepada masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya hutan.
Salah satu kelemahan berbagai program yang dilakukan oleh pemerintah,
termasuk Kementerian Kehutanan adalah kurangnya perhatian pada proses
pembelajaran, baik bagi masyarakat maupun para pihak yang terlibat dalam
program tersebut. Diperlukan suatu pra kondisi agar masyarakat dapat
memanfaatkan akses yang disediakan dengan sebaik-baiknya, dan dapat
berpartisipasi, meningkatkan kapasitas dan kesejahteraannya melalui akses
yang didapat tersebut. Untuk mempersiapkan pra kondisi masyarakat tersebut
dibutuhkan proses pendampingan secara intensif.
Dalam mewujudkan pelaksanaan pendampingan yang efektif, agar
tercapai program HTR yang efisien dan efektif, maka pendamping perlu
memahami teknik pendampingan dan manajemen konflik sehingga dalam
pelaksanaan pendampingan terutama dalam pelaksanaan fisik di lapangan,
penguatan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat akan dapat diperoleh
hasil sesuai dengan yang diharapkan dan direncanakan.
B. Maksud dan Tujuan
1
Penyampaian mata diklat ini dimaksudkan untuk memberi pengetahuan
pada peserta diklat tentang teknik pendampingan dan manajemen konflik.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pembahasan mata diklat ini meliputi tujuan dan fungsi
pendampingan, prinsip-prinsip pendampingan, metode dan teknik
pendampingan, pengertian konflik, respon dan gaya tanggapan konflik, langkah-
langkah penyelesaian konflik.
D. Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti pembelajaran mata diklat ini diharapkan peserta diklat
mampu memahami teknik pendampingan dan manajemen konflik.
E. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti pembelajaran mata diklat ini perserta diharapkan mampu:
1. Menjelaskan tujuan dan fungsi pendampingan
2. Menjelaskan dan menerapkan prinsip-prinsip pendampingan
3. Menjelaskan dan menerapkan metode dan teknik pendampingan
4. Menjelaskan tugas/peran pendamping
5. Menjelaskan pengertian konflik
6. Menjelaskan dan menerapkan respon dan gaya tanggapan konflik
7. Menjelaskan dan menerapkan langkah-langkah penyelesaian konflik
II. TUJUAN DAN FUNGSI PENDAMPINGAN
Program HTR memerlukan proses pembelajaran bersama, baik bagi
masyarakat maupun para pihak yang terlibat dalam program tersebut, sehingga
dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Bagi masyarakat, diperlukan suatu pra
kondisi agar masyarakat memiliki kapasitas sehingga dapat memanfaatkan
akses yang disediakan dengan sebaik-baiknya, berpartisipasi secara aktif, dan
dapat meningkatkan taraf kesejahteraan hidupnya. Untuk mempersiapkan pra
kondisi masyarakat tersebut dibutuhkan proses pendampingan.
2
A. Pengertian Pendampingan
Ada banyak definisi pendampingan yang digunakan oleh Kementerian
Kehutanan, antara lain:
1. Proses belajar bersama dalam mengembangkan hubungan kesejajaran,
hubungan pertemanan atau persahabatan, antara dua subyek yang dialogis
untuk menempuh jalan musyawarah dalam memahami dan memecahkan
masalah, sebagai suatu strategi mengembangkan partisipasi masyarakat
menuju kemandirian (Permenhut No. P.03/Menhut-V/2004);
2. Kegiatan yang dilakukan bersama-sama masyarakat dalam mencermati
persoalan nyata yang dihadapi di lapangan selanjutnya didiskusikan
bersama untuk mencari alternatif pemecahan ke arah peningkatan
kapasitas dan produktivitas masyarakat (Kepmenhut 132/Menhut-II/2004);
3. Pendampingan adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang yang peduli terhadap masyarakat yang sedang
menghadapi masalah dan berusaha memfasilitasi masyarakat untuk
mengatasinya Pendampingan adalah suatu proses pencerdasan
masyarakat dan merupakan salah satu model penyuluhan dalam rangka
pemberdayaan masyarakat (Pusbinluhhut, 2002).
4. Kegiatan yang dilakukan oleh agen pembangunan (Pemerintah, LSM,
Perguruan Tinggi, Swasta) bersama-sama masyarakat dalam mencermati
persoalan nyata yang dihadapi persoalan nyata yang dihadapi di lapangan
selanjutnya didiskusikan bersama untuk mencari alternatif pemecahan ke
arah peningkatan kapasitas dan produktivitas masyarakat (Perdirjen BPK
P.01/VI-B).
Pengertian pendampingan lainnya, adalah:
1. Kegiatan memfasilitasi proses pembelajaran secara nonfomal untuk
mencapai keberdayaan masyarakat.
2. Upaya yang dilakukan oleh fasilitator untuk membantu dan memfasilitasi
petani (dan kelompok tani) dalam pengembangan usaha di bidang
kehutanan untuk meningkatkan kemampuan, kemandirian, keterampilan
dan kelembagaannya agar secara mandiri mengembangkan jejaring dan
kemitraan usahanya dengan pihak-pihak yang berkompeten. Pendampingan
juga merupakan strategi mengembangkan partisipasi masyarakat menuju
kemandirian
3
3. Petugas pendamping/fasilitator adalah orang yang ditugaskan khusus
sebagai pendamping dalam upaya pelaksanaan fisik, penguatan
kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat.
B. Tujuan Pendampingan
Tujuan pendampingan pada dasarnya mencakup dua elemen pokok yaitu
tumbuhnya kemandirian dan partisipasi aktif masyarakat. Kemandirian
merupakan kemampuan untuk pelepasan diri dari keterasingan, atau
kemampuan untuk bangkit kembali pada diri manusia yang mungkin sudah
hilang karena adanya ketergantungan, eksploitasi dan sub ordinasi (Najiyati
et.al, 2005). Kemandirian adalah perwujudan kemampuan seseorang untuk
memanfaatkan potensi dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
yang dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang
terbaik. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah kondisi
yang menunjukkan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya
secara bebas, sesuai dengan pilihan dan kemauannya sendiri, dan kemampuan
melakukan kerja sama dengan pihak di luar dirinya untuk mencapai kehidupan
yang lebih baik.
Partisipasi aktif masyarakat merupakan proses keterlibatan
masyarakat secara aktif dalam keseluruhan proses pendampingan, mulai dari
pengambilan keputusan dalam identifikasi masalah dan kebutuhan,
perencanaan program, pelaksanaan program serta evaluasi dan menikmati hasil.
Masyarakat akan terlibat secara aktif dalam kegiatan pendampingan bila
didasari oleh adanya kesadaran masyarakat tentang penting dan bermanfaatnya
kegiatan tersebut. Oleh karenanya proses pendampingan penting sekali
didahului dengan proses penyadaran masyarakat, sehingga tidak menghasilkan
partisipasi yang semu.
Bila dikaitkan dengan pembangunan HTR, tujuan pendampingan meliputi:
1. Pendampingan teknis kegiatan pembangunan HTR,
2. Penguatan kelembagaan KTH,
3. Membangun jaringan usaha maupun hubungan kemitraan dengan
pemerintah dan stakeholder lainnya.
4. Keberhasilan pelaksanaan pembangunan HTR dan pengembalian dana
pinjaman.
4
C. Fungsi Pendampingan
Dilihat dari tujuannya, terdapat empat fungsi utama pendampingan, Yakni:
1. Fungsi fasilitasi, berupa sekumpulan kegiatan yang pada intinya
memudahkan dan melancarkan sutau proses/kegiatan sehingga dapat
berjalan dengan baik dan dilakukan dengan penuh kesadaran.
2. Fungsi edukasi, berupa sekumpulan kegiatan yang pada intinya memberikan
bimbingan, pengajaran dan latihan sehingga terjadi perubahan pengetahuan,
sikap dan keterampilan masyarakat.
3. Fungsi mediasi, yang pada intinya menjembatani beberapa pihak untuk dapat
bekerjasama secara sinergik.
4. Fungsi advokasi yang pada intinya mempengaruhi pendapat dan
meningkatkan kesadaran di antara pengambil keputusan dan masyarakat
atas sebuah masalah dalam rangka menghasilkan berbagai perubahan
kebijakan dan perbaikan situasi yang lebih berpihak pada kepentingan
masyarakat serta mengakui bahkan melindungi hak masyarakat dengan tidak
mengabaikan kepentingan yang lebih besar
Ketiga fungsi tersebut dapat dielaborasi menjadi lebih operasional sebagai
berikut:
1. Menjaga agar semangat, kemauan, ide-ide dan gagasan kelompok tani tetap
tinggi sehingga kegiatan HTR lancar.
2. Memacu dan meningkatkan kegiatan kelompok tani sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan kelompok tani
3. Membangkitkan kesadaran, memberikan informasi dan mentransfer
pengetahuan sehingga masyarakat tahu akan adanya inovasi dan
meningkatkan kemampuan masyarakat.
4. Mengurangi, menghentikan dan mengingatkan apabila ada kegiatan atau
sikap yang menyimpang dan tidak mendukung kegiatan HTR
5. mendinginkan konflik dan ketegangan yang merugikan kelompok lain
6. Membantu kelompok tani dalam menaghadapi permasalahan yang muncul
7. Membimbing kelompok tani untuk mencapai tujuan yang disepakati bersama
8. Mengembangkan jaringan kerjasama dalam kelompok, antar kelompok,
instansi terkait, lembaga keuangan dan mitra lainnya.
5
9. Memberikan masukan kepada pengambil kebijakan atas persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat dan memberi saran penyelesaian atas persoalan
tersebut sehingga dapat diambil keputusan yang tepat.
D. Karakteristik Pendamping
Pekerjaan sebagai pendamping bukan suatu tugas yang mudah.
Pendampingan adalah suatu keahlian dan dapat dianggap sebagai suatu misi.
Sedikitnya terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi pendamping,
yaitu :
1. Pendamping harus memiliki kompetensi dan kapasitas kognitif serta
pengetahuan yang dalam dan luas di bidangnya;
2. Pendamping memiliki komitmen profesional, motivasi serta kematangan
emosional yang ditujukan dalam pekerjaan-pekerjaan yang akan dilakukan;
dan
3. Pendamping memiliki kemauan yang sangat kuat untuk membagi apa yang
dianggapnya baik bagi sesamanya (orang lain).
III.PRINSIP-PRINSIP PENDAMPINGAN
A. Pengertian Prinsip
Secara etimologi, prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok. Prinsip
dapat juga diartikan sebagai permulaan, tempat pemberangkatan, titik tolak.
Dengan demikian, prinsip adalah asas/dasar/landasan/pokok pikiran yang
dijadikan pijakan atau titik tolak untuk bertindak. Prinsip dijadikan pedoman
petunjuk agar tindakan yang dilakukan memiliki koridor yang jelas.
Prinsip, dapat difahami sebagai ketentuan yang harus ada atau harus
dijalankan. Atau boleh juga dan dapat berarti suatu aturan umum yang
dijadikan sebagai panduan (misalnya untuk dasar perilaku). Prinsip berfungsi
sebagai dasar (pedoman) bertindak, bisa saja sebagai acuan proses dan
dapat pula sebagai target capaian. Prinsip biasanya mengandung hukum
kausalitas atau hubungan sebab-akibat. Sebagai contoh: bila permintaan kayu
meningkat maka pasokan kayu juga harus meningkat, Apapun pekerjaan kita
6
waktu untuk bersantai atau rilek harus ada. Apapun bentuk program kehutanan,
harus mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
B. Prinsip-Prinsip Pendampingan
Ada beragam pendapat mengenai prinsip-prinsip pendampingan, tetapi
secara esensial beberapa prinsip penting yang perlu diperhatikan dalam
pendampingan HTR antara lain:
1. Keterbukaan antara pendamping dan kelompok tani yang didampingi;
2. Demokratisasi dalam setiap kegiatan pendampingan yang dilaksanakan;
3. Adanya kepastian hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan
pembangunan HTR;
4. Mendorong masyarakat memecahkan masalahnya sendiri;
5. Menggali dan mengembangkan potensi kelompok tani untuk melaksanakan
pembangunan HTR;
6. Kesetaraan dan kesejajaran antara pendamping dan kelompok tani yang
didampingi dalam proses belajar bersama;
7. Tidak memaksakan sesuatu di luar kemampuan dan kebiasaan yang dimiliki
kelompok tani dan anggotanya;
8. Saling melengkapi antara pendamping dan kelompok tani serta anggotanya;
9. Membuka dialog dan kerjasama dengan pemerintah dan pihak-pihak lainnya
IV.METODE DAN TEKNIK PENDAMPINGAN
Salah satu aspek yang dapat menentukan keberhasilan kegiatan
pendampingan HTR adalah pemilihan dan penggunaan metode dan teknik
pendampingan yang tepat sehingga kegiatan HTR dapat berjalan dengan efisien
dan efektif sebagaimana yang diharapkan. Ketepatan dalam memilih dan
menerapkan metode bergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi oleh
petugas pendamping. Tidak semua metode dan teknik dapat dilakukan, tetapi
sifat lokalitas daerah yang didampingi menjadi acuan yang penting dalam
pemilihan metode dan teknik pendampingan. Artinya, tidak ada satupun metode
dan teknik pendampingan yang ampuh untuk keberhasilan program HTR. Setiap
metode dan teknik memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing, oleh
7
karena itu kombinasi beberapa metode dan teknik merupakan cara yang tepat
agar berbegarai metode dan teknik tersebut saling melengkapi.
A. Metode Fasilitasi/Pendampingan
Beberapa metode pendampinga/fasilitasi yang dapat digunakan dalam
kegiatan pendampingan pembangunan HTR meliputi:
1. Metode Ceramah
Metode ceramah yang dimaksud disini adalah ceramah dengan kombinasi
metode yang bervariasi. Mengapa disebut demikian, sebab ceramah dilakukan
dengan ditujukan sebagai pemicu terjadinya kegiatan yang partisipatif (curah
pendapat, pleno, penugasan, studi kasus, dll). Selain itu, ceramah yang
dimaksud disini adalah ceramah yang cenderung interaktif, yaitu melibatkan
peserta melalui adanya tanggapan balik atau perbandingan dengan pendapat
dan pengalaman peserta. Media pendukung yang digunakan, seperti handouts,
transparansi yang ditayangkan dengan OHP, bahan presentasi yang ditayangkan
dengan LCD, tulisan-tulisan di kartu metaplan dan/kertas plano, dll.
2. Metode Diskusi
a. Diskusi Umum (Diskusi Kelas)
Metode diskusi umum (diskusi kelas)
bertujuan untuk tukar menukar
gagasan, pemikiran,
informasi/pengalaman diantara
peserta, sehingga dicapai kesepakatan
pokok-pokok pikiran (gagasan, kesimpulan). Untuk mencapai kesepakatan
tersebut, para peserta dapat saling beradu argumentasi untuk meyakinkan
peserta lainnya. Kesepakatan pikiran inilah yang kemudian ditulis sebagai
hasil diskusi. Diskusi biasanya digunakan sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari penerapan berbagai metode lainnya, seperti: penjelasan
(ceramah), curah pendapat, diskusi kelompok, permainan, dan lain-lain.
b.Diskusi Kelompok
Sama seperti diskusi, diskusi kelompok
adalah pembahasan suatu topik
dengan cara tukar pikiran antara dua
orang atau lebih, dalam kelompok-
kelompok kecil, yang direncanakan
8
untuk mencapai tujuan tertentu. Metode ini dapat membangun suasana
saling menghargai perbedaan pendapat dan juga meningkatkan partisipasi
peserta yang masih belum banyak berbicara dalam diskusi yang lebih luas.
Tujuan penggunaan metode ini adalah mengembangkan kesamaan pendapat
atau kesepakatan atau mencari suatu rumusan terbaik mengenai suatu
persoalan. Setelah diskusi kelompok, proses dilanjutkan dengan diskusi
pleno. Pleno adalah istilah yang digunakan untuk diskusi kelas atau diskusi
umum yang merupakan lanjutan dari diskusi kelompok yang dimulai dengan
pemaparan hasil diskusi kelompok.
Kesuksesan proses diskusi pada dasarnya bergantung pada keterampilan
pendamping dalam memberikan serangkaian pertanyaan yang memandu
kelas/kelompok dalam perjalanan dialognya. Rangkaian pertanyaan ini
membawa kelompok melalui empat tingkatan kesadaran: Obyektif, Reflektif,
Interpretatif, dan Keputusan yang disingkat ORIK. Struktur tersebut
memungkinkan kelompok untuk melaju dari diskusi di tingkat permukaan sampai
ke tingkat kedalaman pandangan dan makna
3. Metode Curah Pendapat (Brainstorming)
Metode curah pendapat adalah suatu
bentuk diskusi dalam rangka
menghimpun gagasan, pendapat,
informasi, pengetahuan, pengalaman,
dari semua peserta. Berbeda dengan
diskusi, dimana gagasan dari
seseorang dapat ditanggapi (didukung, dilengkapi, dikurangi, atau tidak
disepakati) oleh peserta lain, pada penggunaan metode curah pendapat
pendapat orang lain tidak untuk ditanggapi. Tujuan curah pendapat adalah untuk
membuat kompilasi (kumpulan) pendapat, informasi, pengalaman semua
peserta yang sama atau berbeda. Hasilnya kemudian dijadikan peta informasi,
peta pengalaman, atau peta gagasan (mindmap) untuk menjadi pembelajaran
bersama.
4. Metode Bermain Peran (Role-Play)
Bermain peran pada prinsipnya merupakan metode untuk ‘menghadirkan’
peranperan yang ada dalam dunia nyata ke dalam suatu ‘pertunjukan peran’ di
dalam kelas/pertemuan, yang kemudian dijadikan sebagai bahan refleksi agar
peserta memberikan penilaian terhadap. Misalnya: menilai keunggulan maupun
9
kelemahan masing-masing peran tersebut, dan kemudian memberikan
saran/alternatif pendapat bagi pengembangan peran-peran tersebut. Metode ini
lebih menekankan terhadap masalah yang diangkat dalam ‘pertunjukan’, dan
bukan pada kemampuan pemain dalam melakukan permainan peran.
5. Metode Simulasi
Metode simulasi adalah bentuk metode praktek yang sifatnya untuk
mengembangkan keterampilan peserta belajar (keterampilan mental maupun
fisik/teknis). Metode ini memindahkan suatu situasi yang nyata ke dalam
kegiatan atau ruang belajar karena adanya kesulitan untuk melakukan praktek di
dalam situasi yang sesungguhnya. Misalnya: sebelum melakukan praktek
penanaman, petani melakukan melakukan simulasi penanaman terlebih dahulu
(belum benar-benar menanam). Situasi yang dihadapi dalam simulasi ini harus
dibuat seperti benar-benar merupakan keadaan yang sebenarnya (replikasi
kenyataan). Contoh lainnya, dalam sebuah pelatihan pendampingan/fasilitasi,
seorang peserta melakukan simulasi suatu metode pembelajaran seakan-akan
tengah melakukannya bersama kelompok yang didampinginya. Pendamping
lainnya berperan sebagai kelompok dampingan yang benar-benar akan ditemui
dalam keseharian peserta (ibu tani, bapak tani, pengurus kelompok, dsb.).
Dalam contoh yang kedua, metode ini memang mirip dengan bermain peran.
Tetapi dalam simulasi, peserta lebih banyak berperan sebagai dirinya sendiri
saat melakukan suatu kegiatan/tugas yang benar-benar akan dilakukannya.
6. Metode Sandiwara
Metode sandiwara seperti memindahkan ‘sepenggal cerita’ yang
menyerupai kisah nyata atau situasi sehari-hari ke dalam pertunjukkan.
Penggunaan metode ini ditujukan untuk mengembangkan diskusi dan analisa
peristiwa (kasus). Tujuannya adalah sebagai media untuk memperlihatkan
berbagai permasalahan pada suatu tema (topik) sebagai bahan refleksi dan
analisis solusi penyelesaian masalah. Dengan begitu, ranah penyadaran dan
peningkatan kemampuan analisis dikombinasikan secara seimbang.
7. Metode Demonstrasi
Demonstrasi adalah metode yang digunakan untuk membelajarkan
peserta dengan cara menceritakan dan memperagakan suatu langkah-langkah
pengerjaan sesuatu. Demonstrasi merupakan praktek yang diperagakan kepada
peserta. Karena itu, demonstrasi dapat dibagi menjadi dua tujuan: demonstrasi
proses untuk memahami langkah demi langkah; dan demonstrasi hasil untuk
10
memperlihatkan atau memperagakan hasil dari sebuah proses.Biasanya, setelah
demonstrasi dilanjutkan dengan praktek oleh peserta sendiri. Sebagai hasil,
peserta akan memperoleh pengalaman belajar langsung setelah melihat,
melakukan, dan merasakan sendiri. Tujuan dari demonstrasi yang
dikombinasikan dengan praktek adalah membuat perubahan pada rana
keterampilan.
8. Metode Praktek Lapangan
Metode praktik lapangan bertujuan untuk
melatih dan meningkatkan kemampuan
peserta dalam mengaplikasikan
pengetahuan dan keterampilan yang
diperolehnya. Kegiatan ini dilakukan di
‘lapangan’. Keunggulan dari metode ini adalah pengalaman nyata yang
diperoleh bisa langsung dirasakan oleh peserta, sehingga dapat memicu
kemampuan peserta dalam mengembangkan kemampuannya. Sifat metode
praktek adalah pengembangan keterampilan.
9. Metode Permainan (Games)
Permainan (games), populer dengan berbagai sebutan antara lain
pemanasan (ice-breaker) atau penyegaran (energizer). Arti harfiah ice-breaker
adalah ‘pemecah es’. Jadi, arti pemanasan dalam proses belajar adalah pemecah
situasi kebekuan fikiran atau fisik peserta. Permainan juga dimaksudkan untuk
membangun suasana belajar yang dinamis, penuh semangat, dan antusiasme.
Karakteristik permainan adalah menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan (fun) serta serius tapi santai (sersan). Permainan digunakan
untuk penciptaan suasana belajar dari pasif ke aktif, dari kaku menjadi gerak
(akrab), dan dari jenuh menjadi riang (segar). Metode ini diarahkan agar tujuan
belajar dapat dicapai secara efisien dan efektif dalam suasana gembira
meskipun membahas hal-hal yang sulit atau berat.Sebaiknya permainan
digunakan sebagai bagian dari proses belajar, bukan hanya untuk mengisi waktu
kosong atau sekedar permainan. Permainan sebaiknya dirancang menjadi suatu
‘aksi’ atau kejadian yang dialami sendiri oleh peserta, kemudian ditarik dalam
proses refleksi untuk menjadi hikmah yang mendalam (prinsip, nilai, atau
pelajaran-pelajaran). Wilayah perubahan yang dipengaruhi adalah rana sikap-
nilai.
B. Keterampilan Dasar/Teknik Fasilitasi/Pendampingan
11
Efisiensi dan efektivitas penerapan metode pendampingan/fasilitasi
bergantung pada teknik atau keterampilan dasar fasilitasi yang dimiliki oleh
pendamping/fasilitator. Keterampilan dasar fasilitasi tersebut pada hakekatnya
merupakan kemampuan komunikasi (verbal dan non verbal). Kemampuan dasar
fasilitasi (komunikasi) tersebut kemudian diimplementasikan ke dalam konteks
interpersonal dan kelompok/organisasi. Keterampilan dasar fasilitasi tersebut
meliputi:
1. Bersifat netral (Stay neutral on content): Ketikan menjalankan fungsi
fasilitasi, pendamping harus memfokuskan diri pada proses bukan pada
isi/materi (content) dan menghindari memberikan pendapat terhadap topik
yang didiskusikan.
2. Mendengarkan secara aktif (listen actively): pendamping harus
mendengarkan apa yang sedang dikatakan oleh orang lain dan gunakan
komunikasi non verbal seperti: memandangi mata lawan bicara, serta
gunakan bahasa tubuh yang menunjukan kepenuhperhatian, dan biarkan
lawan bicara mengetahui bahwa kita bersungguh-sungguh memperhatikan
apa yang sedang ia bicarakan. Pandangi orang yang berbicara, dekati untuk
menunjukkan ketertarikan atas apa yang disampaikan, dan gunakan
keterampilan failitasi lainnya untuk mendorong terciptanya partisipasi penuh.
3. Memandang/mengamati lawan bicara secara seksama (look thoroughly):
Pendamping perlu memperhatikan komunikasi non verbal lawan bicara untuk
mencocokan komunikasi verbal dan nonverbal dalam rangka mengurai
kesesuaian materi dan emosi lawan bicara. Tempatkan diri seolah-olah kita
berada pada posisi lawan bicara, dengan mengajukan pertanyaan kepada diri
sendiri: “Bagaimana perasaan saya jika saya berada pada posisi lawan
bicara?”. Coba tafsirkan pesan yang disampaikan berdasarkan pola pikir
lawan bicara, tidak dengan pola pikir kita.
4. Bertanya (ask question): Keterampilan ini adalah yang terpenting. Ketika
pendamping berusaha memahami orang lain, pendamping perlu
menggajukan beberapa pertanyaan. Pengajuan pertanyaan dimaksudkan
untuk mengundang timbulnya partisipasi (misal: sudah anda siapkah anda
untuk berdiskusi), memperoleh kejelasan informasi (misal: apa yang anda
maksud dengan saya belum mengerti),) menguji asumsi/dugaan (misal: Kalau
tidak salah anda mengatakan bahwa anda mengalami kesulitan dalam
memperoleh pupuk), untuk mengetahui perasaan orang lain (misal: apakah
anda merasa terbebani dengan kegiatan ini), dan sebagainya.
12
5. Penggalian informasi lebih dalam (probing): Keterampilan untuk menggali
lebih jauh suatu gagasan atau pikiran seseorang. Keteerampilan ini dilakukan
untuk membantu memahami lebih mendalam pernyataan peserta. Teknik ini
digunakan untuk memperoleh lebih banyak informasi dan mendorong peserta
lebih banyak berdiskusi. Teknik dapat membantu kelompok dalam mencari
akar masalah, membantu orang lain memahami lebih jauh, dan mendorong
peserta berpikir lebih mendalam. Sangat penting diketahui kapan teknik ini
digunakan. Jika diterapkan secara terbuka dan hati-hati, probing sangat
penting dan bermanfaat. Sebaliknya, bila dilakukan berlebihan dapat
membuat pesrta merasa diinterogasi atau ada peserta lain yang merasa
diabaikan. Di samping itu pendamping/fasilitator juga terlihat tidak netaral
atau arah diskusi malah tidak jelas.
6. Membuat Ikhtisar/parafrase (Paraphrase): Pendamping harus terampil
mengulang apa yang disampaikan oleh orang lain dengan kata-kata (bahasa)
sendir sehingga menjadi lebih sederhana dan komunikatif tanpa
menghilangkan atau mengubah makna aslinya. Selain bermanfaat untuk
memastikan oemahaman pendamping, teknik ini juga memberitahukan pada
masyarakat bahwa pendamping mendengar mereka, dan memberikan
kesempatan kepada orang lain untuk mendengarkan poin yang disampaikan
untuk kedua-kalinya sehingga dapat memperjelas ide. Teknik ini juga
memberikan kesempatan kepada pendamping untuk memastikan apakah ia
telah mendengar, apa yang disampaikan, dengan baik atau belum (salah
interpretasi).
7. Menyimpulkan (summarize) Setelah mendengarkan pendapat atau ide dari
semua pihak, pendamping seharusnya menawarkan kesimpulan. Kesimpulan
dibuat secara partisipatif dan berdasarkan pada ide-ide yang muncul dalam
diskusi. Pembuatan kesimpulan juga berfungsi sebagai koridor agar
pembicaraan tetap fokus pada topik, tidak terlalu melebar dari sebelumnya.
Keterampilan membuat kesimpulan selain membantu pendamping mengerti
maksudnya, juga memudahkan peserta lain untuk turut memahaminya. Cara
mudah untuk membuat kesimpulan adalah dengan mengambil kata-kata
kunci dari subyek pembicaraan. Namun perlu berhati-hati untuk tidak
meyederhanakan pemikiran seseorang. Pembuatan kesimpulan juga
merupakan cara yang baik untuk membangkitkan kembali diskusi atau
mengakhiri diskusi ketika diskusi kelihatannya hampir selesai.
13
Lantai tiga : Mendukung perencanaan tindak lanjutKomunikasi Dukungan, monitoring dan evaluasi diriInterpersonal Memantau proses pertemuan Membantu penyusunan agenda yang realistis Mengusulkan proses pertemuan
BANGUNAN FASILITASI
Lantai dua: Mendukung penyelesaian konflikTeknik-teknik Menciptakan solusi inklusifKomunikasi kelompok Mendorong pemecahan bersama Memantau peran dan tahapan kelompok Membangun dinamika kelompok dan semangat kerja Mendorong partisipasi penuh Memberi dan menerima umpan balik Membangun kepercayaan dan percaya diriLantai satu: Mendorong diskusiKomunikasi ParafraseInterpersonal Probing atau menggali lebih dalam Bertanya dan menjawab pertanyaan Mengamati dan menyimakLantai dasar : sikap-sikap dasar bekerja dengan orang lainEmpati Minat Selalu bersikap positif Selalu percaya pada potensi Klp
Penggunaan keterampilan komunikasi bersifat gradasi (bertingkat),
dimana setiap tingkatan keterampilan dasar tersebut berisi teknik-teknik
fasilitasi yang memiliki peran dalam menjaga efisiensi dan efektivitas metode
pendampingan yang digunakan.
Setiap tingkatan keterampilan fasilitasi dapat diibaratkan sebagai arsitek
dan penjaga bangunan bertingkat dengan fondasi tiga lantai. Setiap tingkat dari
rumah bertingkat tersebut merupakan proses atau tahapan yang terjadi dalam
penerapan suatu metode pendampingan.
V. TUGAS/PERAN PENDAMPING
14
A. Persyaratan Pendamping
Persyaratan pendamping dalam pembangunan HTR (Permenhut Nomor:
P.9/Menhut-II/2008) adalah:
1. Penyuluh Lapangan Kehutanan, Koperasi/Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM)/Tenaga Kerja Sarjana Terdidik (TKST)/Tenaga Kerja Sosial yang
memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam bidang pembangunan usaha
HTR
2. Diprioritaskan Penyuluh Kehutanan Pegawai Negeri Sipil, dan
3. Ditunjuk oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk oleh Bupati atau pejabat
yang ditunjuk.
B. Tugas/Peran Pendamping
Tugas dan peran pendamping pada hakekatnya merupakan
opresionalisasi dari fungsi pendampingan sebagaimana telah dinyatakan di atas.
Namun, demikian dalam Pembangunan HTR tugas dan peran pendamping dapat
dikerucutkan sebagai bertikut:
1. Pendampingan pelaksanaan teknis pembangunan HTR
Pendampingan pelaksanaan teknis pembangunan HTR dimulai dari tahap
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan HTR hingga pemasaran hasil
produksi, antara lain dengan cara:
Mengenali Potensi dan Usaha Masyarakat / KTH
Mencari Informasi Teknis Pembangunan HTR
Memberikan Informasi dan Melatih Masyarakat / KTH untuk keberhasilan
pembangunan HTR dan peningkatan kualitas produksi
2. Pendampingan penguatan kelembagaan KTH.
Pendampingan penguatan kelembagaan KTH dapat dilakukan dengan cara
memfasilitasi anggota kelompok agar memiliki keterampilan yang dipandang
perlu untuk pengembangan kelompok, seperti:
a) Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan/Organisasi
b) Pembagian Peran dan Tugas
c) Pembuatan Aturan/Kesepahaman/Kesepakatan
d) Menggalang Kerjasama
e) Membangun Kebersamaan dan Keterbukaan
15
f) Tertib Administrasi dan Pelaporan
Pembinaan terhadap tertib administrasi (pembukuan) dan pelaporan
kelompok, seperti: 1) Admnistrasi kegiatan, meliputi: identitas anggota, pihak
lain yang telah berkunjung (buku tamu) hasil rapat/pertemuan kelompok
(notulen rapat), kegiatan kelompok, agenda surat masuk dan keluar dan
daftar inventaris kelompok dan 2) Administrasi keuangan, meliputi:
pembukuan keuangan kelompok terdiri atas: buku catatan pengeluaran dan
pemasukan, buku kas harian, arsip tanda bukti; dan pembukuan keuangan
simpan pinjam (jika ada kegiatan simpan pinjam), terdiri atas: buku catatan
pengeluaran dan pemasukan, buku simpan-pinjam anggota, buku kas harian,
arsip tanda bukti.
Perangkat adminitrasi dan pelaporan kelompok yang baik dan benar
diperlukan sebagai bahan informasi bagi kelompok maupun pihak lain yang
berkaitan dengan kelompok itu, seperti: usaha, permodalan, jaringan
kerjasama dan lain-lain.
3. Pendampingan usaha (produktivitas) dan kemitraan
Pendampingan usaha (produkrivitas) dan kemitraan dimaksudkan untuk
membantu masyarakat/KTH :
1) Mengenali potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia
2) Mencermati peluang usaha
3) Mengenali informasi peluang pasar
4) Mencara atau menjembatani mitra kerja dengan masyarakat
5) Membantu proses pembutan kesepakatan (MoU) dengan pemerintah,
dunia usaha dan stakeholder lainnya
6) Menggalang kerjasama untuk meningkatkan posisi tawar dengan
masyarakat
VI.PENGERTIAN KONFLIK
“Hal yang terpenting bukanlah terjadi atau tidaknya
konflik, tetapi bagaimana konflik tersebut dihadapi dan
dikelola untuk dapat diselesaikan dan diarahkan pada
terciptanya perubahan yang lebih baik”
16
Konflik merupakan fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat.
Masyarakat desa pun tidak terlepas dari libatan fenomena tersebut. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Sajogyo dan Sajogyo (1995) bahwa di masyarakat
desa sering muncul peluang terjadinya pertengkaran dan peledakan peristiwa
yang disebabkan oleh masalah-masalah tanah, kedudukan dan gengsi, sekitar
hal perkawinan, perbedaan paham antara kaum tua dengan kaum muda tentang
adat, dan perbedaan antara pria dan wanita.
Mengingat konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat,
maka konflik tidak mungkin dihilangkan, melainkan hanya dapat diatur
mekanisme penyelesaiannya. Sesungguhnya konflik itu eksis didalam kehidupan
mikro dan makro sosiologis masyarakat. Selama konflik tidak berpotensi
kekerasan hal tersebut merupakan fenomena yang lumrah, namun apabila
berpotensi terjadinya kekerasan akan berdampak negatif terhadap bangsa dan
negara.
Menangani konflik yang ada dalam masyarakat bukanlah pekerjaan yang
mudah, terutama bagaimana memelihara konflik agar tetap berada pada kadar
tertentu yang tidak membahayakan semua elemen. Oleh karena itu, seorang
fasilitator/pendamping diharapkan mampu mencermati potensi-potensi konflik
yang ada dalam masyarakat untuk kemudian dapat diarahkan kepada hal-hal
yang bersifat konstruktif. Konflik yang sudah terjadi diharapkan dengan bantuan
fasilitator dapat diselesaikan sehingga tidak terjadi hal-hal yang bersifat anarkis
atau destruktif. Untuk itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman manajemen
konflik untuk kemudian dapat diterapkan dalam aktivitas pekerjaannya sebagai
fasilitator/ pendamping masyarakat. Manajemen konflik adalah suatu
penanganan proses pembentukan (kemunculan) konflik yang diarahkan untuk
meningkatkan kinerja suatu kelompok masyarakat atau organisasi.
A. Pengertian Konflik
Berbagai pengertian konflik telah dinyatakan oleh banyak pakar yang
berasal dari kalangan akademisi, sosiolog, pengamat sosial serta praktisi/pekerja
sosial/pendamping masyarakat. Berikut ini beberapa pengertian tentang konflik:
1. Hubungan antara dua pihak atau lebih/individu atau kelompok, yang
memiliki atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher,
2001).
17
2. Pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok
berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang fihak lawan
yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan (Soekanto, 1996).
3. konflik adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih, yang dapat terjadi
pada konteks antarindividu, antarkelompok kecil bahkan antabangsa dan
negara (Sarwono, 2005)
4. Konflik merupakan suatu situasi dimana tindakan salah satu fihak bersifat
menghalangi, menghambat atau mengganggu tindakan fihak lain. Konflik
dapat menjadikan kita sadar tentang adanya suatu persoalan yang perlu
dipecahkan dalam hubungan dengan individu lain, sehingga menyadarkan
dan mendorong kita untuk melakukan perubahan dalam diri kita dan
memecahkan persoalan yang kita tidak sadari (Johnson dalam Edhar, 2003).
5. Konflik timbul saat beberapa fihak percaya aspirasi mereka tidak dapat diraih
bersama-sama, atau merasa adanya perbedaan dalam tata nilai, kebutuhan
atau kepentingan mereka. Dan sengaja menggunakan kekuasaan mereka
dalam usaha saling menyingkirkan atau mengubah untuk melindungi atau
mengatakan kepentingan mereka dalam interaksi ini (Anstey, 1997).
6. Pertentangan kekuatan yang berlawanan yang meliputi gagasan,
sumberdaya, kepentingan, harapan atau motivasi (Smith dan Berg, 1987).
7. Ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul
sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perbedaan sosial yang muncul
bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Namun cara kita
menangani konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan (Mill, 2002).
Dari berbagai pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
pada prinsipnya konflik terjadi karena adanya perbedaan. Perbedaan ini
disebabkan oleh adanya kepentingan, ide, pemaknaan simbol maupun penyebab
lainnnya. Perbedaan tersebut kemudian dipertentangkan.
B. Jenis-Jenis Konflik
Terjadi perbedaan tinjauan dari para ahli mengenai jenis konflik.
Perbedaan ini disebabkan sudut pandang atau titik tolak pengkajian mengenai
konflik tersebut berbeda-beda, yang dilatarbelakangi oleh bidang keilmuwan
yang berbeda-beda dari masing-masing pakar tersebut. Berikut diberikan
beberapa jenis konflik berasarkan pandangan dari beberapa pakar, yaitu:
Pada dasarnya konflik sosial dapat dibagi menjadi dua jenis ( Surata dan
Taufik, 2001), yaitu:
18
1. Konflik Sosial Vertikal
Konflik yang terjadi antara masyarakat dan negara.
2. Konflik Sosial Horizontal
Konflik sosial horizontal, yaitu konflik yang terjadi dalam masyarakat
sebagai akibat interaksi-interaksi sosial yang berlaku dalam masyarakat
tersebut. Konflik horizantal ini dapat terjadi antar individu dalam kelompok, antar
individu dengan kelompok, dan antar kelompok bahkan secara lebih luas antar
negara. Konflik horizantal ini terwujud dalam bentuk konflik antaretnis, suku,
golongan (agama) atau antar kelompok masyarakat (antarkampung,
antarpemuda dan lain-lain). Konflik horizontal, khususnya antar etnik, terjadi bisa
disebabkan oleh adanya kecemburuan sosial.
Soetrisno (2003), menyebutkan bahwa terdapat dua jenis konflik
berdasarkan sifatnya, yaitu:
1. Konflik yang bersifat destruktif /disfungsional
Konflik yang dipicu oleh rasa kebencian yang tumbuh didalam diri individu
atau kelompok yang masing terlibat konflik. Munculnya rasa kebencian itu
disebabkan berbagai hal. Salah satu sebab adalah adanya kecemburuan sosial.
Konflik ini biasanya mengarah pada anarkisme.
2. Konflik yang fungsional
Konflik yang menghasilkan suatu perubahan atau konsensus/kesepakatan
baru yang berakhir pada perbaikan. Konflik ini biasanya disebabkan hanya
karena adanya perbedaan pendapat dalam memandang suatu masalah yang
sama-sama dihadapi.
Beebe dan Masterson (1989), mengidentifikasi tiga jenis konflik
interpersonal yang terjadi dalam suatu kelompok kecil, yaitu::
1. Pseudo conflict atau konflik palsu
Yaitu konflik yang terjadi karena adanya salah
pengertian/misunderstanding. Sebenarnya, keduabelah pihak sama-sama setuju
atau mempunyai pandangan dan pendapat yang sama terhadap suatu masalah,
namun terjadi salah pengertian sehingga yang terlihat atau yang nampak adalah
ketidaksamaan.
2. Simple conflict atau konflik yang sesungguhnya
19
Konflik yang terjadi karena keduabelah pihak “benar-benar” mempunyai
tujuan, kepentingan dan pandangan yang berbeda. Keduanya saling mencegah
atau menghalangi dalam pencapaian tujuan masing-masing.
3. Ego conflict atau konflik ego
Konflik ini terjadi karena seseorang, secara emosional, bersikap dan
berprilaku defensif karena menganggap bahwa posisinya akan tergeser atau
terganggu oleh orang lain.
Menurut Mastenbroek (1982) bahwa konflik dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa jenis yaitu :
1. Konflik instrumental
Yang merupakan masalah dalam konflik ini adalah tujuan-tujuan dan cara-
cara juga penentuan struktur dan prosedur-prosedur dalam rangka memenuhi
tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Konflik ini tidak bersifat pribadi dan
mengarah pada tugas, namun dapat mempunyai banyak bentuk: prioritas-
prioritas yang tak jelas atau priotas-priotas yang tidak hanya cukup dengan
mufakat saja, salah pengertian, penggunaan bahasa yang berbeda, kemampuan
berkomunikasi yang minim, adanya prosedur-prosedur yang tak memadai dalam
menangani masalah-asalah, kurangnya saling bertukar pendapat dan saling
menyesuaikan diri.
2. Konflik sosial emosional
Konflik ini muncul jika identitas diri menjadi masalah. Konflik ini berkaitan
dengan citra diri yang dimiliki seseorang, prasangka, masalah kepercayaan, dan
cara menangani hubungan-hubungan pribadi.
3. Konflik kepentingan
Konflik ini berhubungan dengan penyelamatan atau penguatan posisi
individu dengan cara menuntut posisi yang layak yang sesuai dengan potensi
atau kemampuan yang dimiliki.
Kelly dalam Koehler et al (1976) membagi konflik, bedasarkan
penyebabnya atau terjadinya, menjadi empat tingkatan:
1. Konflik dalam Individu
Konflik yang diakibatkan oleh rasa frustasi dan agresi perorangan.
2. Konflik dalam Kelompok
Konflik yang terjadi dikarenakan adanya perbedaan sistem nilai dan
ketidakpuasan terhadap pemenuhan kebutuhan.
20
3. Konflik dalam organisasi
Berhubungan dengan pembagian kekuasaan dan penghargaan yang tidak
seimbang pada tiap level struktural dan pada pengelolaan fungsi-fungsi
organisasi tersebut.
4. Konflik dalam masyarakat
Dikarenakan adanya ketidakadilan antar kelas sosial dan antar kelompok
etnis.
VII. RESPON DAN GAYA TANGGAPAN KONFLIK
Setiap individu dalam kelompok, organisasi, atau masyarakat akan
menyikapi dan bereaksi terhadap timbul dan berkembangnya konflik dengan
respon dan gaya tanggapan yang berbeda-beda.
A. Respon terhadap Konflik
Respon adalah tingkah laku balasan (reaksi) terhadap
stimulus/rangsangan yang datang pada individu. Bentuk reaksi balas atau
jawaban ini bergantung pada stimulus atau merupakan hasil stimulus tersebut.
Respon seseorang dapat dalam bentuk baik atau buruk, positif atau negatif.
Apabila stimulusnya berupa konflik, terdapat beberapa cara individu merespon
konflik tersebut, yaitu:
1. Konfrontasi agresif
Reaksi yang bersifat emosional berupa perilaku menantang dan
menentang secara terang-terangan, terbuka, berhadap-hadapan dan memiliki
kecenderungan menyerang pihak lain yang dianggap sebagai lawan atau musuh.
Respon seperti ini pada suatu saat dapat membahayakan pihak lain. Dalam
konteks diskusi dalam kelompok, respon terlihat dalam bentuk pernyataan dan
pendapat yang saling menyerang. Pihak-pihak dalam suatu forum diskusi secara
langsung satu sama lain saling menyatakan pendapat dan menyerang pendapat
pihak lain dengan tujuan menjatuhkan atau mengeliminasi pendapat lawan.
2. Melakukan manuver negatif
21
Respon ini mirip dengan respon sebelumnya yaitu adanya upaya
menantang dan menentang, bedanya respon ini dilakukan secara tidak secara
terang-terangan atau berhadap-hadapan melainkan dalam bentuk gerakan-
gerakan, kegiatan atau perilaku lain yang bersifat memberontak dan
mengganggu yang pada intinya menunjukkan ketidaksukaan terhadap lawan.
Dalam konteks diskusi, respon ini dapat berupa kegiatan tidak memperhatikan
topik yang sedang dibicarakan oleh lawan bicara, membuat gaduh/rebut, dan
kegiatan atau perilaku negatif lainnya.
3. Penundaan terus menerus
Reaksi yang dilakukan oleh individu dengan cara berdiam diri, tidak
memperlihatkan respon yang bersifat nyata (kasat mata). Respon ini dilakukan
karena konflik yang muncul cenderung belum mengarah pada kerugian yang
berarti pada pihak yang bersangkutan. Selama konflik masih terlihat wajar dan
belum merugikan maka penundaan terus dilakukan. Penundaan ini bertujuan
untuk melihat perkembangan konflik sambil menunggu adanya kesempatan atau
celah untuk bereaksi secara nyata.
4. Bertempur secara pasif.
Respon ini dianalogikan dengan berperang tanpa senjata. Bertempur
tanpa menyerang. Wujud dari respon ini dalam suatu diskusi termanisfestasi
dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang “pada hakekatnya” tidak menyetujui
atas pendapat lawan namun disampaikan secara halus atau tersirat, sehingga
lawan tidak merasa diserang. Atau dapat dilakukan dengan cara menggalang
dukungan dari berbagai pihak lain agar pihak-pihak lain tersebut tidak sejalan
dengan pihak yang yang menjadi lawan. Pihak-pihak lain tersebut yang
selanjutnya melakukan serangan terhadap lawan.
Ada pula anggota kelompok yang merespon konflik dari segi positif.
Konflik dianggap sebagai sesuatu yang wajar terjadi sepanjang tidak mengarah
pada sesuatu yang bersifat destruktif, bahkan konflik dianggap sebagai sesuatu
yang dapat mengarahkan pada integrasi kelompok dan meningkatkan efektivitas
kelompok, apabila dikelola dengan baik. Apabila hal ini yang terjadi maka
pemecahan konflik mengarah ke hal yang positif, radar untuk respon tersebut
adalah mengarahkan energi secara sehat dan langsung untuk memecahkan
masalah atau tidak ada reaksi secara emosional, melakukan upaya yang
menanggapinya dengan cara rasional. Respon yang tepat ini akan memperkuat
kelompok kerja dan melancarkan jalan untuk mengatasi konflik.
22
KOMPETISI KOLABORASI
KOMPROMI
PENGABAIAN AKOMODASI
assetiv
en
ess
cooperativeness
B. Gaya Tanggapan Konflik Konflik
Marshall (1995) mengkategorikan gaya penanganan konflik bersandar
pada dua variabel, yaitu cooperativeness (derajat upaya satu pihak untuk
memuaskan kepentingan pihak lain dan assertiveness (derajat upaya satu pihak
untuk memuaskan kepentingannya sendiri) orang akan menyikapi. Perpaduan
dua variabel tersebut menghasilkan lima gaya tanggapan konflik sebagai
berikut:
1.Pengabaian (Penghindaran)
Suatu tindakan untuk menghindari konflik yang dinilai akan menindas atau
menciptakan konflik yang berkepanjangan. Cara mengatasi konflik dengan
menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul.
Penghindaran/pengabaian bisanya dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan
yang lebih tinggi dan menilai bahwa pihak lain memiliki kekuatan yang tidak
signifikan.
23
Atau bisa juga karena kedua belah pihak tidak sepakat untuk
menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik
tersebut. Satu pihak tidak memaksakan keinginannya pada pihak lain dan
sebaliknya tidak terlalu menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai pihak
lain.
Cara ini sebetulnya hanya bisa dilakukan untuk potensi konflik yang
ringan dan tidak terlalu penting. Jadi agar tidak menjadi beban dalam pikiran
atau kehidupan individu dan kelompok, sebaiknya memang setiap potensi konflik
harus dapat segera diselesaikan.
2.Akomodasi
Suatu tindakan untuk meredakan tekanan pihak lain dengan cara
menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Tindakan
ini lazim diambil oleh pihak yang lebih lemah dalam situasi konflik. Dengan kata
lain pihak yang bersangkutan kalah sedangkan pihak lain menang. Ini berarti
pihak yang bersangkutan berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi
kepentingan pihak lain.
Gaya ini digunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih
besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan
akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang diinginkan.
Mengalah dalam hal ini bukan berarti kalah, tetapi demi menciptakan suasana
yang memungkinkan penyelesaian yang paripurna terhadap konflik yang timbul
antara kedua pihak. Mengalah memiliki esensi kebesaran jiwa dan memberi
kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau mengakomodasi kepentingan
pihak lain sehingga selanjutnya pihak-pihak yangb berkonflik dapat bersama bisa
menuju ke arah kolaborasi.
3.Kompetisi (Menang/Kalah)
Tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk memuaskan
kepentingannya tanpa mempertimbangkan pengaruhnya terhadap kepentingan
pihak lain, dengan kata lain satu pihak memastikan bahwa dia yang
memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Keputusan berkompetisi ini lazimnya
muncul jika: (a) pihak yang bersangkutan menilai bahwa dirinya memiliki
kekuatan yang cukup untuk melakukan kompetisi. (b) pihak yang bersangkutan
menilai bahwa pihak lain akan bersikap sama dengan dirinya.
Pihak yang bersangkutan menggunakan kekuasaan atau pengaruhnya
untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut ia yang keluar sebagai
24
pemenang. Dalam konteks diskusi kelompok, biasanya pihak yang kalah akan
lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah
suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak.
Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi
pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga
sebaiknya hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan
penyelesaian yang cepat dan tegas.
4.Kompromi
Tindakan bersama yang bersifat mencari jalan tengah yang dapat diterima
oleh pihak-pihak yang berkonflik. Dalam tindakan ini, tidak jelas siapa yang
menang dan siapa yang kalah. Dalam tindakan kompromi kepuasan yang sejati
biasanya tidak tercapai.
5.Kolaborasi (Penyelesaian Masalah)
Tindakan yang diambil oleh semua pihak yang berkonflik untuk
menghasilkan tindakan yang memuaskan semua pihak yang terlibat. Tindakan
kolaborasi dilakukan melalui proses klarifikasi perbedaan dan bukan sekedar
mengakomodasi kepentingan. Kolaborasi merupakan tindakan: “menang-
menang”. Dengan demikian, tujuannya adalah mengatasi konflik dengan
menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang
mengikat semua pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama
memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang
biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya.
Tindakan kolaborasi lazimnya dilakukan pada kondisi tidak memungkinkan
untuk berkompetisi, karena kompetisi akan lebih merugikan pihak yang terlibat,
dan intensitas konfliknya sudah mencapai tahap yang tidak mungkin dihindari.
VIII. LANGKAH-LANGKAH PENYELESAIAN KONFLIK
Suatu konflik atau masalah yang dihadapi jika dibiarkan dan tidak segera
diselesaikan bisa berubah menjadi suatu krisis dan menghambat kemajuan
kelompok, organisasi, atau masyarakat. Terdapat beberapa tahapan atau
langkah penyelesaian konflik yang harus dilalui oleh pihak yang berkonflik.
Langkah-langkah tersebut meliputi:
25
1. Mengakui Adanya Konflik
Langkah ini merupakan langkah awal untuk penyelesaian konflik, tanpa
diakui adanya konflik maka masalah tidak akan terpecahkan. Setiap pihak yang
terlibat dalam suatu kerjasama atau kelompok perlu mencermati dan menyadari
serta membahas secara dini jika timbul masalah, kendala yang mengarah pada
munculnya konflik sehingga tidak merupakan penghalang bagi keberhasilan
bersama. Untuk itu diperlukan kearifan dan kaktifan dari semua pihak.
2. Mengidentifikasi Konflik Secara Sebenarnya
Langkah ini dalam kegiatan penelitian sering disebut dengan identifikasi
masalah. Kegiatan ini sangat diperlukan dan memerlukan keahlian khusus.
Konflik dapat muncul dari akar masalah, tetapi juga karena masalah emosi, perlu
memilah antara masalah inti dengan emosi. Masalah inti adalah masalah yang
mendasari suatu konflik, misalkan ketidaksepakatan
adanya tugas, sedangkan isu emosional merupakan masalah yang akan
memperumit masalah tersebut, sehingga apabila terjadi hal yang demikian
disarankan agar masalah inti diselesaikan terlebih dahulu.
3. Dengar Semua Pendapat
Lakukan kegiatan sumbang saran dengan melibatkan mereka yang
terlibat konflik guna mengungkapkan pendapatnya, hindarilah pendapat benar
dan salah. Bahas juga mengenai dampak konflik terhadap kelompok serta kinerja
kelompok. Fokus pembicaraan pada fakta dan perilaku bukan pada perasaan
atau unsur pribadi. Hindari mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi temukan
mana yang terbaik jika dipandang dari sisi positif.
4. Bersama Mencari Cara Penyelesaian Konflik
Dalam kegiatan ini diskusi terbuka sangat diharapkan karena dengan
diskusi terbuka bisa memperluas informasi dan alternatif serta bisa
mengarahkan pada rasa percaya dan hubungan yang sehat diantara yang
terlibat. Dalam sebuah kerjasama kelompok atau tim yang efektif tidak seluruh
anggota kelompok menyukai satu sama lain, terkadang ada anggota yang tidak
menyukai anggota lain, tetapi yang utama adalah mampu bekerja sama secara
efektif.
5. Mendapatkan Kesepakatan Dan Tanggung Jawab Untuk Menemukan
Solusi
26
Memaksakan kesepakatan akan berakibat fatal, oleh karena itu doronglah
anggota kelompok untuk bekerja sama memecahkan masalah secara terbuka
dan kekeluargaan. Berusaha seluruh anggota kelompok menyenangi solusi yang
dihasilkan. Salah satu cara yang disarankan agar orang lain mau menerima
saran yang diajukan adalah memposisikan dirinya pada peran orang lain,
masing-masing anggota kelompok mempresentasikan pandangan orang lain.
6. Menjadwal Sesi tindak Lanjut Untuk Mengkaji Solusi
Pemberian tanggungjawab untuk melaksanakan komitmen sangat
dihargai oleh anggota kelompok. Mengkaji resolusi sangat diperlukan untuk
mengetahui tingkat keefektifan resolusi yang telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Beebe SA, Masterson JT. 1989. Communcating in Small Groups: Principles and Practices. Ed. Ke-3. New York: HarperCollinsPublisher
Fisher S et al . 2001 . Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak (edisi Bahasa Indonesia). Jakarta: SMK Grafika Desa Putra.
Ife J. 1995 . Community Development. Melbourne: Longman
Marshall E.M. 1995. Transformating the Way We Work: The Power of the Collaborative Workplace. Newyork: American Managemen Association.
Mastenbroek WFG . 1986 . Penanganan Konflik dan Pertumbuhan Organisasi. Jakarta: UI Press.
Mill H. et.al. 2002. Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konlik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, terj. Tri Budhi Sastrio. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Pusat Pengembangan Penyuluhan Kehutanan. 2011. Pendampingan Hutan Tanaman Rakyat. Jakarta: Pusat Pengembangan Penyuluhan Kehutanan-BP2SDMK
Sarwono SW. 2005. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan Jakarta: Balai Pustaka
Soekanto S . 1998 . Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Surata A dan Taufiq AT . 2001 . Atasi Konflik Etnis . Jogjakarta: Global Pustaka Utama bekerjasama dengan Gharba dan UPN “Veteran”.
27