Tekhnik Instrumentasi Pada Persimpangan Craniocervical
Pendahuluan
Fiksasi craniocervical junction telah banyak digunakan sebagai
penanganan terhadap berbagai kondisi patologis yang menimbulkan
ketidakstabilan. Teknik operasi awal untuk menstabilkan
persimpangan craniocervical yang terlibat adalah dengan pemasangan
instrumentasi eksternal yang membantu fusi. Fusi jenis ini bersifat
efektif tetapi membutuhkan imobilisasi berkepanjangan dengan rompi
halo. Selain Itu terdapat tekhnik instrumentasi internal yang
menyediakan stabilitas langsung dan memungkinkan pasien untuk lepas
dari penggunaan rompi halo berkepanjangan untuk mencapai tingkat
fusi yang lebih tinggi. Salah Satu instrumentasi interna yang
sering digunakan adalah dengan pemasangan tongkat fiksasi yang
dibengkokan dan difiksasikan ke daerah craniocervical dengan
menggunakan kabel sublaminar (Gbr.1).
Gambar 1. Contoh pemasangan Fusi Internal, dan berbagai contoh
kondisi patologis yang mampu menimbulkan ketidak stabilan
persimpangan cranio cervical.
Secara klasik instrumentasi yang sering dilakukan dengan cara
menghubungkan kawat sublaminar dan memfisasikannya ke suboksipital.
Kesulitan yang sering terjadi dalam pemasangan instrumentasi
berhubungan dengan posisi alat instrumentasi menyebabkan
perkembangan alat untuk fusi occipitocervical berupa plate dan alat
instrumentasi berbasis sekrup. Plate dan alat instrumentasi
berbasis sekrup secara signifikan memiliki keuntungan lebih
dikarenakan lebih kaku dibandingkan cara klasik sebelumnya dengan
menggunakan kawat sublaminar. Grob et al melaporkan penggunaan
plate dan sekrup transarticular atau subaxial sekrup, lateral mass
memiliki hasil fusi craniocervical dengan hasil yang sangat
baik.
Pemilihan Pasien
Berbagai macam kondisi patologi mempengaruhi persimpangan
craniocervical termasuk kelainan bawaan, trauma, tumor, dan kondisi
degeneratif seperti rheumatoid arthritis. (Gambar 1 dan 2). Gejala
klinis yang timbul akibat penyakit penyakit yang menyebabkan
ketidakstabilan di persimpangan craniocervical dapat bervariasi
dari nyeri, myelopathy, dan kecacatan yang progresif. Hasil
instrumentasi craniocervical dapat menimbulkan kerugian berupa
kehilangan gerak fungsional yang signifikan, oleh karena itu semua
tindakan bedah dan pemasangan instrumentasi harus dipertimbangkan
dengan seksama.Secara fisiologis, rotasi dari cervical hingga 56
derajat terjadi di persimpangan C1 C2 dan 8 derajat pada
persimpangan occipital dan tulang atlas. Daerah persimpangan
craniocervical juga bertanggung jawab terhadap rotasi secara
sagital terhadap gerakan fleksi dan ekstensi.Dalam tindakan
pemasangan instrumentasi, bila memungkinkan pemasangan alat
instrumentasi hanya dibatasi pada tulang C1 C2, tanpa memfiksasi
tulang occipital, hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan
kemampuan rotasi dari cervical dan fleksi dan ekstensi dari tulang
cervical. Instrumentasi craniocervical diperlukan ketika
ketidakstabilan melibatkan segmen occipital dan tulang atlas dan
ketika instrumentasi C1-2 tidak dapat dilakukan. Sebuah dekompresi
ventral transoral mungkin diperlukan dalam hubungannya dengan
instrumentasi craniocervical.
Gambar 2. Contoh kasus basilar invaginasi dimana os odontoid
menimbulkan penekanan terhadap spinal cord
Indikasi :1. Occipitoatlantal instability :a. Cranial settling,
basilar invaginationb. Dislokasi Occipitoatlantalc. Destruksi
occipitoatlantal joints2. Atlantoaxial instability dengan
ketidakmampuan untuk fiksasi C1, C2, atau keduanyaKontra Indikasi
:1. Osteoporosis Berat (kontra indikasi relatif)2. Permukaan tulang
untuk pemasangan alat yang destruksi (occiput, C1, C2)
Persiapan Preoperative
Pemasangan fusi harus diusahakan sependek mungkin namun mencakup
semua segmen yang patologis. Jika ditemukan ketidakstabilan
subaxial tambahan, fusi mungkin harus diperluas untuk menyertakan
tulang belakang leher yang lebih rendah. Jika stabilisasi tulang
belakang leher yang lebih rendah perlu dilakukan, seperti pada
kasus osteoporosis parah dan rematik arthritis, terutama dengan
kyphotic deformitas, mungkin perlu dipertimbangkan untuk melakukan
instrumentasi hingga menyertakan persimpangan cervicothoracic dan
memperluas fusi hingga vertebra tulang belakang dada bagian atas
(upper thorasik). Studi pencitraan termasuk foto polos fleksi /
ekstensi penting dilakukan dalam menilai kesejajaran (alignment)
sagital pasien secara keseluruhan. Traksi servikal pra operasi
dapat dilakukan untuk pasien pasien dengan deformitas servikal.
Prosedur Operatif
PositioningPasien ditempatkan dalam posisi tertelungkup (prone).
Pada pasien pasien yang dicurigai terdapat ketidak stabilan tulang
belakang cervical, kesejajaran (alignment) servikal diperiksa
dengan menggunakan fluoroskopi atau dilakukan foto polos x ray
setelah pasien diposisikan telungkup bahkan jika diperlukan,
reduksi tertutup dapat dilakukan. Dalam melakukan tindakan hal yang
paling kita perhatikan adalah posisi netral terhadap persimpangan
craniocervical. Kesejajaran (alignment) cervical harus lah tetap
terjamin dan memungkinkan pasien untuk melihat lurus ke depan
dengan nyaman setelah operasi. Fleksi yang berlebihan dapat
menyebabkan kesulitan untuk menelan dan mempertahankan tatapan ke
depan. Status neurologis dapat dimonitor menggunakan pemantauan
elektrofisiologi termasuk somatosensori evoked potensial (SEP) dan
motorik evoked potensial (MEP). setiap perubahan di SEP atau MEP
pemantauan setelah pasien diposisikan mungkin menunjukkan perlu
reposisi.
1. Posisi tengkurap2. Leher sedikit menekuk keposisi netral dan
kepala netral. Memposisikan kepalasangatlah penting untuk tindakan
fusi occipitocervical dari operasi servikal lainnya hal ini
dikarenakan posisi kepala pasien akan tetap untuk sisa hidupnya.
Jika tetap menjadi ekstensi, pasien akan memiliki kesulitan besar
melihat kebawah, dan mengalami kesulitan besar terhadap aktivitas
hidup sehari-hari, seperti berpakaian dan kebersihan pribadi
(aktifitas mandi, cuci, kakus (MCK)). Jika tetap menjadi fleksi,
dapat berkembang nyeri leher kronis dan sakit punggung kronis dari
keharusan untuk terus melakukan hyperextensi leher dan kepala untuk
melihat lurus ke depan. Dalam beberapa kasus, kondisi fleksi yang
tetap dapat menyebabkan disfagia.3. Pemantauan somatosensorievoked
potensial 4. Pemantauan fluoroskopi secara lateral (C-arm) 5.
Fiksasi kepala secara rigid (halo brace atau Mayfield)6. Traksi
untuk mengurangi penekanan oleh tulang tengkorak7. Ccomputed
tomography (CT) dengan rekonstruksi angiografi pre operasi untuk
menilai ketebalan puncak oksipital dan integritas tulang servikal
dan untuk menyingkirkan anomaly arteri vertebralis
ApproachDilakukan sebuah sayatan posterior garis tengah. Bagian
tulang Oksipital; cincin posterior atlas, bagian posterior C2;
prosesus spinosus, arkus vertebrae, dan lateral mass pada bagian
cervical bawah dilakukan diseksi sampai dengan lapisan
subperiosteally yang direncanakan untuk dilakukan fusi
terekspose(bahkan dapat diperluas hingga ekspose C4 C5). Pada
bagian C1 kita harus memliki perhatian khusus terhadap a.
vertebralis C1 untuk menghindari cedera pada arteri vertebralis
lateral dekat lengkungan C1. Sumber perdarahan besar lainnya yang
perlu diperhatikan adalah pleksus vena besar di sekitar arteri
vertebralis pada craniocervical junction untuk mengurangi resiko
kehilangan darah. Paparan lateral terhadap tulang oksiput lebih
baik tidak kurang dari 4 cm terutama dari titik inion. Dekompresi
dari kanalis spinalis dilakukan jika diperlukan. Graft tulang dari
krista iliaka posterior diambil secara terpisah.
InstrumentasiBeberapa sistem instrumentasi tersedia untuk
fiksasi instrument pada craniocervical junction. Sistem yang ada
dapat berupa pemasangan instrument yang melibatkan midline
oksipital plate, Y -plate, atau rod - plate(Gambar 3). Tulang
occipital pada bagian midline akan lebih tebal dibandingkan tulang
occipital bagian lateral. Bagian lateral oksipital memiliki
ketebalan kurang dari 5 mm. Tulang oksipital bagian tengah dan
central merupakan bagian yang paling tebal, hal ini memungkinkan
untuk pemasangan sekrup superior dengan risiko yang lebih kecil
untuk terjadiunya robeknya dura saat dilakukan pemasangan
instrumentasi.
Gambar 3. Model instrumentasi Saw Bone
Awalnya, dilakukan bor dril dengan bor berdiameter 2,5 mm yang
pada awalnya dilakukan sedalam 6 mm dan dilanjutkan secara perlahan
hingga 2 mm sampai dirasakan telah menembus sisi posterior
dilanggar. Dilakukan pemasangan sekrup bicortical (lebih disukai
karena sekrup bicortical memiliki kekuatan penarikan 50% lebih
besar dari unicortical dengan kepanjangan yang sama), meskipun
sekrup unicortical yang dipasang secara sentral dapat juga
memungkinkan bila dipasang dengan kedalaman minimal 8 mm (Gambar
4). Panjang sekrup sisi oksipital biasanya 10 mm. Pada sudut
craniocervical kadangkala dibutuhkan drill atau sekrup yang
bersifat fleksible agar instrumentasi dapat dilakukan tegak lurus
terhadap tulang oksipital. (Gbr. 5). Pondasi paling baik adalah
dengan menghubungkan antara sekrup ke transarticular C1-2 atau
lateral mass yang terpasang pada sisi subaxial (Gbr. 6 dan Gbr. 7).
Sekrup Polyaxial dapat ditempatkan sesuai dengan teknik standar
dengan membentuk rod penghubung sesuai dengan kontur dan sehingga
memfiksasi baik sekrup lateral mass dan oksipital plate. Daerah
oksipital lateral dan lateral mass yang terpaksa dibuang dapat
diganti dengan autograft. Cara alternative lain dengan menempatkan
strip tulang corticocancellous antara oksiput dan C2.Beberapa
tekhnik instrumentasi yang dapat dilakukan antara lain : Y- plate
instrumentation Fiksasi Transarticular C1 C2 Oksipital screw plate
Oksipital screw plate dilanjutkan dengan lateral mass screw
Occipito cervical wiring dengan pemasangan threaded Steinmann pin
Sekrup transarticular occipitoatlantal
Gambar 6. Instrumentasi cranicervical pada foto polos leher
lateral dan AP
Gambar 7. Penampakan intra operative pemasangan instrumentasi
craniocervical
Gambar 8. Pemasangan Y-plate, ilustrasi, intra operative,
radiografi post operasi
Gambar 9. C1 C2 sekrup trans articular, radiografi post
operasi
Gambar 10. Occipital screw plate device dengan konektor,
radiologi post op
Gambar 11. Pemasangan lateral mass screw
Gambar 12. Occipito cervical wiring dengan pemasangan threaded
Steinmann pin
Gambar 13. Sekrup transarticular occipitoatlantal
Post Operative Management
Instrumentasi craniocervical umumnya memiliki toleransi dengan
baik terhadap tingkat fusi dengan angka keberhasilan fusi dengan
sekrup dan plate adalah 95 sampai 100%. Studi biomekanik
menunjukkan sekrup dan pelat konstruksi secara umum lebih kaku dan
memberikan kekuatan dibandingkan kawat sublaminar dan sistem rod,
terutama dalam memberikan fiksasi posisi tengkorak. Instrumentasi
kaku telah terbukti meniadakan kebutuhan untuk orthosis eksternal
(fiksasi eksternal) secara tetap serta bertahap meningkatkan
tingkat fusi. Tingkat fusi secara signifikan dapat menunjukkan
peningkatan bahkan dalam kaitannya dengan patologi yang mendasari.
Bahkan pasien rheumatoid arthritis dan pasien yang menjalani terapi
kortikosteroid secara kronis yang umumnya memiliki kadar
penyembuhan yang kurang baik telah menunjukkan tingkat fusi tinggi
dengan fiksasi occipitocervical fiksasi. Komplikasi dapat terjadi
pada 30% dari pasien (Tabel 2). Komplikasi dini terjadi pada 15%
pasien dan termasuk infeksi pada bekas luka (5%), infeksi daerah
cangkok tulang (bone graft) (5%), dan komplikasi medis umum (5%)
yang paling umum pneumonia. Komplikasi langsung berhubungan dengan
operasi jarang terjadi. Namun cedera arteri vertebral akibat
instrumentasi atau pemaparan mungkin terjadi. Kesulitan menelan
mungkin terjadi jika pasien tetap dalam posisi craniocervical yang
tertekuk. Sebuah penutupan luka teliti diperlukan, terutama jika
ditemukan kebocoran LCS terlihat pada saat pemasangansekrup
oksipital. Komplikasi akhir yang sangat jarang terjadi antara lain
termasuk pseudarthrosis, kegagalan instrumentasi, dan degenerasi
vertebrae pada level yang berdekatan (Gbr. 13).
Gambar 13. Contoh kegagalan instrumentasi dan table komplikasi
yang sering terjadi
Kesimpulan
Teknik instrumentasi modern untuk fusi occipitocervical,
termasuk plate - screw, rod - screw, dan trans articular
screw,dapat memberikan fiksasi kaku dan menghindari penggunaan
kawat sublaminar dan instrumentasi lain yang dapat mencederai
kanalis spinalis. Teknik-teknik ini adalah pilihan yang sangat baik
untuk pasien yang memiliki beberapa atau lamina yang retak atau
destruksi yang menghalangi fiksasi dengan kabel. Fusi dapat
direstrukturisasi semata-mata untuk segmen yang terlibat ataupun
meluas kesegmen dibawahnya. Metode ini secara teknis menuntut,
membutuhkan presisi operasi, dan keahlian yang mumpuni dengan
beberapa teknik fiksasi.1