BAB IPENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari
berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan
keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan
hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan
anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus
dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental
dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan
persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan
anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan,
tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.Tonsilitis kronis
merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan
kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari
tonsil. Pada tonsillitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar
sedemikian sehingga disebut tonsillitis kronis hipertrofi.
Mengingat dampak yang ditimbulkan maka tonsilitis kronis hipertrofi
yang telah menyebabkan sumbatan jalan napas harus segera ditindak
lanjuti dengan pendekatan operatif tonsilektomi. Tonsilektomi
didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil palatina. Beragam
teknik tonsilektomi terus berkembang mulai dari abad 21 diantaranya
diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan bipolar,
skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan
tonsilektomi dengan coblation.Pemilihan jenis anestesi untuk
tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi kesehatan
dan keadaan umum, sarana dan prasarana. Di Indonesia, tonsilektomi
masih dilakukan di bawah anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak
digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan dengan tujuan
untuk pendidikan. Mengingat tonsilektomi merupakan tindakan bedah
yang dilakukan dengan anestesi umum maupun lokal, komplikasi yang
ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan
anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi
meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi anestesi setelah
operasi. Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan
pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa
laringospasme, gelisah pasca operasi, mual, muntah, kematian pada
saat induksi pada pasien dengan hipovolemia, hipersensitif terhadap
obat anestesi serta hipotensi dan henti jantung terkait induksi
intravena dengan pentotal.
BAB IILAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIENNama: Tn. NJenis Kelamin: Laki-lakiUsia: 35
tahunBerat Badan: 90 kgAgama: IslamAlamat: Grogol, CilegonNo. RM:
241xxxDiagnosis: Tonsilitis Kronik
B. ANAMNESISAnamnesis dilakukan tanggal 29 Mei 2015, pukul
06.30. Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis.a. Keluhan utama:
Nyeri Menelanb. Riwayat penyakit sekarang:Pasien datang ke
Poliklinik THT RSUD Cilegon pada tanggal 25 Mei 2015 dengan keluhan
nyeri menelan yang dirasakan sejak 2 tahun sebelum masuk rumah
sakit (SMRS). Pasien juga mengeluh nyeri menelan dirasakan saat
makan, minum ataupun menelan ludah, pasien juga mengeluhkan sering
demam berulang hampir setiap bulan. Nyeri menelan disertai dengan
ngorok maupun nafas tersengal-sengal saat tidur. 3 bulan sebelum
masuk rumah sakit (SMRS) pasien periksa ke dokter umum dengan
keluhan yang sama dan dikatakan mengalami radang amandel. Dalam 1
bulan terakhir kambuh 2 kali. Bila kambuh pasien merasakan nyeri
tenggorokan, susah menelan, disertai demam. Keluhan terasa terutama
setelah pasien mengkonsumsi minuman dingin dan makanan berminyak.
Saat ini pasien tidak mengalami demam, batuk, pilek, hidung
tersumbat, nyeri di kedua telinga maupun kurang pendengaran.c.
Riwayat penyakit dahulu:1) Riwayat asma disangkal2) Riwayat alergi
makanan dan obat disangkal3) Riwayat pernah operasi disangkal4)
Riwayat Hipertensi disangkal5) Riwayat DM disangkald. Riwayat
penyekit keluarga:Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang
sama dengan pasien disangkal.
C. PEMERIKSAAN FISIKDilakukan pada 29 Mei 2015GCS:E4V5M6 =
15Vital Sign:Tekanan darah: 120/80 mmHgNadi: 82 x/menit Suhu:
36,6CPernafasan:16 x/menit Status Generalisa. Kulit:Warna kulit
sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit cukup,
capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba hangat. b.
Kepala:Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, distribusi
merata dan tidak mudah dicabut. Tonsil membesar T4-T3, kripte
melebar, detritus (-).c. Mata:Konjungtiva tidak anemis dan sklera
tidak ikterikd. Pemeriksaan Leher1) Inspeksi:Tidak terdapat jejas
2) Palpasi:Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran
kelenjar tiroid. Teraba pembesaran limfonodi submandibula.i.
Pemeriksaan Thorax1) Jantunga) Inspeksi: Tampak ictus cordis 2cm
dibawah papila mamae sinistrab) Palpasi : Ictus cordis teraba kuat
angkatc) Perkusi :i. Batas atas kiri :SIC II LPS sinsitraii. Batas
atas kanan :SIC II LPS dextraiii. Batas bawah kiri :SIC V LMC
sinistraiv. Batas bawah kanan :SIC IV LPS dextrad) Auskultasi : S1
S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.2) Parua)
Inspeksi:Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta
tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.b)
Palpasi:Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan tidak
terdapat ketertinggalan gerak.c) Perkusi:Sonor kedua lapang parud)
Auskultasi:Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua paru. Tidak
terdengar suara wheezing j. Pemeriksaan Abdomena) Inspeksi:Perut
membuncit, simetris, tidak terdapat jejas dan massab)
Auskultasi:Terdengar suara bising usus dalam batas normal.c)
Perkusi:Timpanid) Palpasi:Supel, tidak terdapat nyeri tekan dan
nyeri lepas. Hepar dan lien tidak teraba.k.Pemeriksaan Ekstremitas
: Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis Turgor
kulit cukup, akral hangat
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Pemeriksaan25-05-2015Nilai
normal
Hematologi
Hemoglobin16,614-18 g/dL
Leukosit75805000-10000/L
Hematokrit47,840-48%
Trombosit185000150000-450000/L
CT125-15 menit
BT21-6 menit
Gol. DarahO Rh(+)
Kimia Klinik
SGOT17< 37 U/L
SGPT28< 41 U/L
Ureum1817-43 mg/dL
Creatinin0,80,7-1,1 mg/dL
GDS86 200 mg/dL
Seroimmunologi
HbsAgAnti-HIVNegatifNon ReaktifNegatifNon Reaktif
Elektrolit
Natrium140,6135-155 mmol/l
Kalium3,883,0-5,5 mmol/l
Klorida101,895-107 mmol/l
E. KESAN ANESTESILaki-laki 35 tahun menderita Tonsilitis Kronik
dengan ASA I
F. PENATALAKSANAANPenatalaksanaan yaitu :a. Intravena fluid drip
(IVFD) RL 20 tpmb. Pro Tonsilectomyc. Informed Consent Operasid.
Konsul ke Bagian Anestesie. Informed Consent Pembiusan Dilakukan
operasi dengan general anestesi dengan status ASA I
BAB IIILAPORAN ANESTESI
A. 1.Preoperatif Informed Consent (+) Puasa (+) kurang lebih 6-8
jam Tidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsu IV line
terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancar Keadaan umum
tampak sakit sedang Kesadaran Compos Mentis Tanda Vital: TD: 120/80
mmHg RR: 16 x/menit Nadi: 72 x/menit Suhu: 36,6C
B. Premedikasi AnestesiSebelum dilakukan tindakan anestesi
diberikan Ondansentron 4 mg secara bolus IV.
C. Tindakan AnestesiTanggal 29 Mei 2015 jam 09:00, Tn. N, 35
tahun tiba di ruang operasi dengan terpasang infus RL 20 tpm.
Dilakukan pemasangan dan pemeriksaan vital sign dengan hasil TD
120/80 mmHg; Nadi 72x/menit, dan SpO2 99%. Pukul 09:15. Diberikan
premedikasi dengan injeksi Ondancentron 4 mg secara intravena.
Setelah diberikan premedikasi dilakukan induksi dengan injeksi
Fentanyl 200 g, propofol 150 mg intavena yang dilanjutkan dengan
pemberian obat pelumpuh otot injeksi Rocurorium Bromida 40 mg
intavena. Bersamaan dengan itu, pasien disungkupkan dengan sungkup
muka yang telah terpasang pada mesin anestesi yang mengalirkan
oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging
selama kurang lebih 2 menit untuk menekan pengembangan paru dan
juga menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah
dilakukannya pemasangan endotrakheal tube. Setelah pasien
terinduksi dengan tanda reflek bulu mata menghilang, diberikan
oksigen 100% selama 3 menit. Kemudian setelah fasikulasi hilang dan
leher pasien sudah tidak kaku dilakukan pemasangan ET (endotracheal
tube) tipe non kinkink no. 30 dengan menggunakan laringoskop.
Setelah intubasi dilakukan ET dikunci dengan menggembungkan balon
ET dengan udara dalam spuit hingga suara desis napas hilang,
kemudian connector ET dihubungkan dengan mesin anestesi untuk
mendapatkan O2. Setelah itu dilakukan auskultasi paru kanan dan
kiri untuk mengetahui apakah ET sudah terpasang dengan benar.
Dilakukan pemeliharaan anestesi dengan kombinasi inhalasi O2, N20
dan isoflurane. Inhalasi N2O : O2 diberikan dengan perbandingan
50:50. Pada pasien ini diberikan N2O sebesar 2 liter/menit dan O2
sebesar 2 liter/menit. Isoflurane diberikan sebanyak vol 2%. Bila
anestesinya terlalu dalam maka isoflurane diturunkan begitu pula
sebaliknya. Kombinasi dinaikkan dan diturunkan perlahan-lahan
sesuai dengan keadaan pasien. Ventilasi dilakukan dengan bagging
dengan laju napas 20 x/ menit hingga operasi selesai. Selama
maintenance diperhatikan monitor tanda-tanda vital, vital sign
diset otomatis dan dicatat setiap 5 menit. Selama operasi , tekanan
darah dan nadi di monitor tiap 5 menit dengan hasil: lima menit
I:122/60 mmHg, nadi 89x/mnt, SpO2 99% lima menit II:117/56 mmHg,
nadi 92x/mnt, SpO2 99% lima menit III :110/70 mmHg, nadi 99x/mnt,
SpO2 99% lima menit IV :120/72 mmHg, nadi 91x/mnt, SpO2 99% lima
menit V :130/80 mmHg, nadi 90x/mnt, SpO2 99% lima menit VI :130/80
mmHg, nadi 92x/mnt, SpO2 99% lima menit VII:125/77 mmHg, nadi
88x/mnt, SpO2 99% lima menit VIII:130/75 mmHg, nadi 92x/mnt, SpO2
99% lima menit IX:130/80 mmHg, nadi 82x/mnt, SpO2 99% lima menit
X:127/77 mmHg, nadi 86x/mnt, SpO2 99%
Respirasi rate 22x/menit. Perdarahan selama operasi 25 cc.
Pasien tidak tampak hipoksia, sesak napas maupun hipovolemik.
Pembedahan dilakukan selama 35 menit. Intake IVFD RL 250 cc.Setelah
operasi selesai isoflurane diturunkan secara bertahap sampai
mencapai 0 vol%, N2O diturunkan hingga 0 liter/menit, sementara itu
O2 dinaikkan menjadi 6 liter/menit. Sesaat sebelum pasien sadar
dilakukan ekstubasi. Sebelum ET dilepas dilakukan pembersihan jalan
napas dari lendir dengan menggunakan suction sampai bersih supaya
pernapasan lancar, kemudian balon ET dikempeskan kemudian baru
dilepaskan. Setelah ekstubasi pasien tetap diberikan O2 selama
kurang lebih 5-10 menit. Pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
(recovery room), dilakukan pemantauan keadaan umum, tingkat
kesadaran, dan vital sign hingga stabil. Pulse oximetry dimonitor
hingga pasien sadar penuh sampai pemulihan anestesi maksimal.
Setelah berada di recovery room dilakukan penilaian aldrete score,
hingga nilai > 8, maka pasien dapat dipindahkan ke ruang
perawatan (bangsal)
BAB IVAnalisa Kasus
Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, maka pasien dapt diklasifikasikan ke dalam ASA I, yaitu
pasien normal dan hanya menderita penyakit yang akan dioperasi
tanpa penyakit sistemik lainnya. Persiapan yang dilakukan sebelum
operasi yaitu memastikan pasien dalam keadaan baik, memasang infus,
dan pasien dalam keadaan puasa selama 6-8 jam sebelum operasi untuk
meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama
anestesi.Menjelang operasi pasien dalam keadaan tampak sakit ringan
dan kesadaran compos mentis. Jenis anestesi yang akan dilakukan
yaitu general anestesi dengan teknik SCCS dengan ETT. Dari anamnesa
diketahui bahwa psien belum pernah menjalankan operasi apapun.
Pasien direncanakan untuk operasi tonsilektomi elektif.Sebelum
operasi dimulai, pasien dipersiapkan terlebih dahulu yaitu
memastikan infus berjalan lancar, ini dimaksudkan karena pada saat
operasi sebagian besar obat-obatan diberikan melalui jalur
intravena, kemudian pemasangan alat-alat tanda vital seperti tensi,
alat saturasi yang bertujuan untuk melihat tekanan darah pasien
karena beberapa obat anestesi dapat mempengaruhi perubahan tekanan
darah. Alat saturasi bertujuan untuk memantau suplai oksigen.
Kemudian memastikan pasien dalam keadaan tenang dan
kooperatif.Pasien diberikan obat premedikasi yaitu Ondansetron 4 mg
secara bolus IV, yang bertujuan agar pasien tidak mual dan muntah
karena obat-obat anestesi dapat merangsang muntah pada pasien.
Ondansetron adalah suatu antagonis reseptor Serotonin 5
Hydroxytriptamine (5HT3) selektif. 5HT3 merupakan zat yang akan
dilepaskan jika terdapat toksin dalam saluran cerna, berikatan
dengan reseptornya dan akan merangsang saraf vagus menyampaikan
rengsangan ke CTZ (Chemoreseptor Trigger Zone) dan pusat muntah dan
kemudian terjadi mual muntah.Kemudian dilakukan anestesi general
kepada pasien dengan menggunakan Fentanyl, Propofol, dan Rocurorium
Bromida. Fentanyl sebagai analgesik adalah analgesik narkotika yang
poten, bisa digunakan sebagai tambahan untuk general anestesi
maupun sebagai awalan anestesi. Fentanil memiliki kerja cepat dan
efek durasi kerja kurang lebih 30 menit setelah dosis tunggal IV
100 g. Fentanil bergantung dari dosis dan kecepatan pemberian, bisa
menyebabkan rigiditas otot, euforia, miosis, dan bradikardi.
Profopol bekerja sebagai sedasi atau hipnotik. Dosis induksi
menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat
menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek analgesik. Pada
pemberian dosis induksi (2 mg/kgBB) pemulihan berlangsung cepat.
Recurorium Bromida sebagai relaksan otot yang bersifat opioid.
Sebagai tambahan pada anestesi umum untuk mempermudah intubasi
endotrakeal dan memberikan relaksasi otot rangka selama
pembedahan.Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan
tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi. Teknik anestesi yang
dianjurkan adalah menggunakan pipa endotrakeal, karena dengan ini
saturasi oksigen bisa ditingkatkan, jalan napas terjaga bebas,
dosis obat anestesi dapat dikontrol dengan mudah. Intubasi
endotrakea dilakukan dalam anestesi inhalasi yang dalam atau
dibantu dengan pelemas otot nondepolarisasi kerja pendek.Pada kasus
ini digunakan maintenance N2O dan O2 dengan perbandingan 50:50 (N20
2 liter per menit : O2 2 liter per menit) serta Sevofluran vol 2
%.Berdasarkan kepustakaan disebutkan bahwa anestesi yang ideal akan
bekerja secara cepat dan dapat mengembalikan kesadaran dengan
segera setelah pemberian dihentikan serta mempunyai batas keamanan
yang cukup besar dan efek samping minimal. Hal ini tidak dapat
dicapai bila diberikan secara tunggal. Oleh karena itu perlu
anestesi dalam bentuk kombinasi. Umumnya obat anestesi umum
diberikan secara intravena dan inhalasi. Selama anestesi
berlangsung, pasien diberikan Tramadol 100 mg secara bolus IV.
Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat.
Tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem
saraf pusat sehingga menghentikan sensasi nyeri dan respon terhadap
nyeri. Di samping itu juga menghambat pelepasan neurotransmiter
dari saraf aferen yang bersifat sensitif terhadap rangsang, akibat
impuls nyeri terhambat.Ekstubasi dilakukan sesaat sebelum pasien
sadar. Namun sebelum ET dilepas dilakukan pembersihan jalan napas
dari lendir dengan menggunakan suction sampai bersih supaya
pernapasan lancar, kemudian balon ET dikempeskan selanjutnya baru
dilepaskan. Setelah ekstubasi dipasang guedel dan pasien tetap
diberikan O2 selama kurang lebih 5-10 menit. Terapi cairan durante
operasi pada pasien ini dipilih menggunakan Ringer Laktat yang
merupakan cairan yang paling fisiologis ketika volume besar
diperlukan.Setelah operasi selesai, pemantauan dilanjutkan di RR
(Recovery Room). Tampak kondisi pasien stabil, sadar penuh,
tanda-tanda vital dalam batas normal, idak tampak adanya tanda
syok, dan penilaian respon motorik pascaanestesi dengan menggunakan
skor Bromage didapatkan skor 5 tahun dengan balon (cuffed).A:
Airway Pipa mulut faring (guedel, oro-tracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah
saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat
jalan napas.T: Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut.I: Introducer Mandrin atau stilet dari
kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokan untuk
pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.C : Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.S : Suction penyedot
lendir, ludah, dan lain-lainnya.Macam-macam induksi pada anestesi
umum yaitu:a. Induksi intravena Paling banyak dikerjakan. Indikasi
intravena dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan
terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara
30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan
tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen.
Dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Obat-obat induksi
intravena: Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000
mgSebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% (1 ml = 25 mg). Hanya digunakan untuk intravena
dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam
30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hipnosis, anestesi,
atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan
likuor, tekanan intrakranial, dan diduga dapat melindungi otak
akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesik.
Propofol (diprivan, recofol)Dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml =
10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg
intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan
untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam, dan dosis sedasi
untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. Pengenceran hanya boleh dengan
dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada
wanita hamil.
Ketamin (ketalar)Kurang digemari karena sering menimbulkan
takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, serta pasca
anestesi dapat timbul mual-muntah, pandangan kabur, dan mimpi
buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena
dan untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuskuler 3-10 mg. Ketamin
dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml =
50 mg), 10% (1 ml = 100 mg). Opioid (morfin, petidin, fentanyl,
sufentanyl)Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskuler
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan
jantung. Untuk anestesi opioid digunakan fentanyl dosis 20-50 mg/kg
dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.b. Induksi
intramuskulerSampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat
diberikan secara intramuskuler dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah
3-5 menit pasien tidur.c. Induksi inhalasi N2O (gas gelak, laughing
gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)Berbentuk gas, tidak
berwarna, bau manis, tidak iritasi, tidak terbakar, dan beratnya
1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%.
Bersifat anastetik lemah dan analgesi kuat sehingga sering
digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada
anestesi inhalasi jarang digunakan tunggal, sering dikombinasi
dengan salah satu cairan anastetik lain seperti halotan. Halotan
(fluotan)Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil, dan sebelum tindakan diberikan
analgesik semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring-laring.
Kelebihan dosis dapat menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks
baroreseptor. Merupakan analgesik lemah tetapi anestesi kuat.
Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar
gula darah. Enfluran (etran, aliran)Efek depresi napas lebih kuat
dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif disbanding halotan.
Depresi sirkulasi lebih kuat dibanding halotan tetapi lebih jarang
menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik
dibanding halotan. Isofluran (foran, aeran)Meninggikan aliran darah
otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan
tekanan intrakranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah
otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal
sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. Desfluran
(suprane)Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%)
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek
depresi napas seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas
atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi. Sevofluran
(ultane)Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas
sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi di samping
halotan.d. Induksi per rektalCara ini hanya untuk anak atau bayi
menggunakan tiopental atau midazolam.
e. Induksi mencuriDilakukan pada anak atau bayi yang sedang
tidur. Induksi inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak kita
tempelkan pada muka pasien tetapi kita berikan jarak beberapa
sentimeter sampai pasien tertidur baru sungkup muka kita
tempelkan.f. Pelumpuh otot non-depolarisasi Tracurium 20 mg
(Atracurium) Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik tetapi
tidak menyebabkan depolarisasi hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Dosis awal
0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi selama 20-45
menit, kecepatan efek kerjanya 2 menit. Tanda-tanda kekurangan
pelumpuh otot: Cegukan (hiccup) Dinding perut kaku Ada tahanan pada
inflasi paru3. Rumatan anestesi (maintenance)Dapat dikerjakan
secara intravena (anestesi intravena total), dengan inhalasi, atau
dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada
trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar,
analgesik cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
menimbulkan nyeri, dan relaksasi otot lurik yang cukup.Rumatan
intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanyl 10-50
g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan
analgesik cukup sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh
otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa
tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg/kgBB/jam.
Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot, dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan
udara + O2 atau N2O + O2.Rumatan inhalasi biasanya menggunakan
campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2
vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran
2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu, atau
dikendalikan.4. Tatalaksana jalan napasHubungan jalan napas dan
dunia luar melalui 2 jalan: Hidung menuju nasofaring Mulut menuju
orofaringHidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum
durum dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di
hipofaring. Hipofaring menuju esofagus dan laring dipisahkan oleh
epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan
tiroid, krikoid, epiglottis, dan sepasang aritenoid, kornikulata,
dan kuneiform.a. Manuver tripel jalan napasTerdiri dari:1) Kepala
ekstensi pada sendi atlanto-oksipital2) Mandibula didorong ke depan
pada kedua angulus mandibula3) Mulut dibukaDengan maneuver ini
diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas sehingga gas atau
udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.b. Jalan napas
faringJika maneuver tripel kurang berhasil maka dapat dipasang
jalan napas mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau
jalan napas lewat hidung (naso-pharyngeal airway).c. Sungkup
mukaMengantar udara atau gas anestesi dari alat resusitasi atau
sistem anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian
rupa sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan
tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat
mulut atau hidung.d. Sungkup laring (laryngeal mask)Merupakan alat
jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang
dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkainya
dapat berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek dengan spiral
untuk menjaga supaya tetap paten.Dikenal 2 macam sungkup laring:1)
Sungkup laring standar dengan 1 pipa napas.2) Sungkup laring
dengan2 pipa yaitu 1 pipa napas standar dan lainnya pipa tambahan
yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus.e. Pipa trakea
(endotracheal tube)Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea
dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa
trakea dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau
melalui hidung (nasotracheal tube).f. LaringoskopiFungsi laring
ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop merupakan alat
yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita
dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis
besar dikenal 2 macam laringoskop:1. Bilah, daun (blade) lurus
(Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa.2. Bilah lengkung (Miller,
Magill) untuk anak besar-dewasa.Klasifikasi tampakan faring pada
saat membuka mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal
menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi.Gradasi Pilar
faringUvulaPalatum Molle
1+++
2-++
3--+
4---
g. IntubasiIntubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea
ke dalam trakea melalui rima glotis sehingga ujung distalnya berada
kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio
trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai
berikut:1) Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapunKelainan
anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan
napas, dan lain-lainnya.2) Mempermudah ventilasi positif dan
oksigenasiMisalnya saat resusitasi memungkinkan penggunaan relaksan
dengan efisien, dan ventilasi jangka panjang.3) Pencegahan terhadap
aspirasi dan regurgitasiAdapun prosedur dalam pelaksanaan intubasi
meliputi: Persiapan1) Persiapan alat yang dibutuhkan seperti:
laringoskop, ET, stilet, dan lain-lain.2) Masih siap pakai atau
alat bantu napas.3) Obat induksi seperti: pentotal, ketalar,
diprivan, dan lain-lain. 4) Obat pelumpuh otot seperti: suksinil
kolin, atrakurium, pavulon, dan lain-lain.5) Obat darurat seperti:
adrenalin (efinefrin), SA, mielon, dan lain-lain. Tindakan1)
Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap.2) Induksi sampai
tidur, berikan suksinil kolin fasikulasi (+).3) Jika fasikulasi (-)
ventilasi dengan O2 100% selama kira-kira 1 menit.4) Batang
laringoskop dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong
kepala sedikit ekstensi mulut membuka.5) Masukan laringoskop
(bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit,
menyelusuri kanan lidah, dan menggeser lidah ke kiri.6) Cari
epiglotis tempatkan bilah di depan epiglotis (pada bilah bengkok)
atau angkat epiglotis (pada bilah lurus).7) Cari rima glotis (dapat
dengan bantuan asisten dengan menekan trakea dar luar).8) Temukan
pita suara warnanya putih dan sekitarnya merah.9) Masukan ET
melalui rima glotis.10) Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi
dan atau alat bantu napas (alat resusitasi) Adapun kesulitan dalam
intubasi yaitu: Leher pendek berotot Mandibula menonjol Maksila
atau gigi depan menonjol Uvula tidak terlihat Gerak sendi
temporo-mandibular terbatas Gerak vertebra servikal terbatasAdapun
komplikasi pada intubasi yaitu:1) 30
2) Selama intubasi Trauma gigi geligi Laserasi bibir, gusi,
laring Merangsang saraf simpatis Intubasi bronkus Intubasi esofagus
Aspirasi Spasme bronkus
3) Setelah ekstubasi Spasme laring Aspirasi Gangguan fonasi
Edema glotis-subglotis Infeksi laring, faring, trakea
Sedangkan untuk pelaksanaan ekstubasi harus memperhatikan
hal-hal berikut ini:1) Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar
sadar jika: Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan Pasca
ekstubasi ada risiko aspirasi2) Ekstubasi dikerjakan pada umumnya
pada anestesi sudah ringan dengan catatan tidak akan terjadi spasme
laring.3) Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring
dari sekret dan cairan lainnya. 5. Pasca anestesiSebelum pasien
dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang
menggunakan anestesi umum maka perlu melakukan penilaian terlebih
dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke
ruangan atau masih perlu diobservasi di ruang recovery room
(RR).
a. Aldrete scoreNilai warna Merah muda 2 Pucat 1 Sianosis
0Pernapasan Dapat bernapas dalam dan batuk 2 Dangkal tetapi
pertukaran udara adekuat 1 Apnea atau obstruksi 0Sirkulasi Tekanan
darah menyimpang < 20% dari normal 2 Tekanan darah menyimpang
20-50% dari normal 1 Tekanan darah menyimpang > 50% dari normal
0Kesadaran Sadar, siaga, dan orientasi 2 Bangun tetapi cepat
kembali tertidur 1 Tidak berespons 0Aktivitas Seluruh ekstremitas
dapat digerakkan 2 Dua ekstremitas dapat digerakkan 1 Tidak
bergerak 0Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke
ruangan.b. Steward score (anak-anak)Pergerakan Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1 Tidak bergerak 0Pernapasan Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan napas 1 Perlu bantuan 0Kesadaran Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1 Tidak bereaksi 0Jika jumlah > 5,
penderita dapat dipindahkan ke ruangan.
F. Kontraindikasi Anestesi UmumAdapun kontraindikasi dalam
anestesi umum meliputi:1. Mutlak: dekompensasio kordis derajat
III-IV dan AV blok derajat II total (tidak ada gelombang P).2.
Relatif: hipertensi berat atau tidak terkontrol (diastolik >110
mmHg), diabetes melitus tidak terkontrol, infeksi akut, sepsis, dan
glomerulonefritis akut.Kontraindikasi mutlak ialah pasien sama
sekali tidak boleh diberikan anestesi umum sebab akan menyebabkan
kematian, apakah kematian DOT (death on the table) meninggal di
meja operasi atau selain itu. Kemudian kontraindikasi relatif ialah
pada saat itu tidak bisa dilakukan anestesi umum tetapi melihat
perbaikan kondisi pasien hingga stabil mungkin baru bisa diberikan
anestesi umum.
BAB VIKESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap
operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti
memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan
masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya.Pada
makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada
operasi tonsilektomi pada penderita Laki-laki, usia 35 tahun,
status fisik ASA I, dengan diagnosis tonsilitis kronik yang
dilakukan teknik anestesi semi closed dengan ET no. 30 respirasi
spontan.Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya
permasalahan yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga
kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal
mungkin.Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada
hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan
operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang
memerlukan penanganan serius.Secara umum pelaksanaan operasi dan
penanganan anestesi berlangsung dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association. 2009. Cardiopulmonary Resuscitaion.
Diakses dari
http://www.americanheart.org/presenter.jhtml?identifier=4479.
American Heart Association. 2010. Highlights of the 2010
American Heart Association Guidelines for CPR and ECC.
Dachlan, R., dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Dar, A.B. 2008. Cardiopulmonary Resuscitation. India: Associate
Prof of Medicine.
Latief, S.A. & Suryadi. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Omuigui. 1995. The Anaesthesia Drugs Handbook 2nd Ed. Mosby year
Book Inc.