Top Banner
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Blok Farmakologi adalah blok ke-12 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Kasus yang dipelajari tentangfarmakologi anestesi. B. Maksud dan Tujuan Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu: 1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. 2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis pembelajaran diskusi kelompok. 3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial. C. Data Tutorial 1. Tutor : dr. Reagan, Sp. PD. 2. Moderator : Azora Kartika 1
32

TBC mtb

Feb 13, 2016

Download

Documents

BimaIndra

mtb tbc
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: TBC mtb

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Blok Farmakologi adalah blok ke-12 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi

Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Pada

kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran

untuk menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Kasus

yang dipelajari tentangfarmakologi anestesi.

B.  Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu:

1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari

sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Palembang.

2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode

analisis pembelajaran diskusi kelompok.

3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial. 

C.  Data Tutorial

1.    Tutor                              : dr. Reagan, Sp. PD.

2.    Moderator                      : Azora Kartika

3.    Sekertaris                       : Defina Yunita

4.    Waktu                             :  1. Selasa,  10 November 2015

2. Kamis, 12 November 2015

Pukul 07.30 – 10.00 WIB

Pukul 07.30 – 10.00 WIB

1

Page 2: TBC mtb

BAB II

LAPORAN

A. Skenario

Nona C 21 tahun berobat ke puskesmas dengan benjolan sebesar telur puyuh pada

leher kiri yang terasa membesar sejak 1 bulan terakhir. Berat bada dirasa

menurun, nafsu makan dirasa menurun sejak 1 bulan yang lalu. Dicurigai ada

kontak dengan penderita TB dirumah (bapak). Riwayat keganasan pada keluarga

tidak ada. C datang sambil membawa hasil aspirasi jarum halus dengan kesan

radang kronik spesifik granulomatous kemungkinan infeksi tuberkulosa disertai

catatan untuk control ulang. Aspirasi jarum halus 1 buln setelah terapi.

Pemeriksaan fisik : tampak sakit sedang, sensorium kompos mentis, BB : 43 kg,

TB : 155 cm, sedikit anemis, RR : 24x/menit, nadi : 72x/menit, temperature : 370C

Pemeriksaan spesifik : status lokalis : colli sinistra teraba 2 nodul ukuran 2x2 cm

& 2x1 cm berbatas tegas

Pemeriksaan lab rutin , Hb : 11,4g%, leukosit : 10.200/dl, LED : 43 mm/jam,

Diff.Count : 0/1/4/50/40/5

Bagaimana tindakan anda sebagai dokter umum di puskesmas

B. KlarifikasiIstilah

Benjolan : tanda pertama peradangan; pembesaran abnormal

TB : penyakit infeksi yanga disebabkan Mycobacterium dicirikan dengan

pembentukan tuberkel dengan pembentukan nekrosis kaseosa pada jaringan

Keganasan : kanker nepolasma atau tumor yang tumbuh secara tidak

terkontrol dan dapat menyerang jaringan didekatnya atau menyebar ke area

lain dari tubuh

Aspirasi jarum halus : prosedur biopsy yang menggunakan jarm sangat tipis

yang melekat pada jarum suntik untuk sejumlah kecil jaringan dari lesi

abnormal

Radang kronik spesifik granulomatous : kumpulan histiosit epiteloid sebagai

akibat tidak dapat dihancurkannya substansi tertentu oleh makrofag, yang

disebabkan oleh Mycobacterum tuberculosis

2

Page 3: TBC mtb

Sensorium kompos mentis : kesadaran normal, sadar sepenuhnya

Anemis : penurunan jumlah eritrosit, kuantitas hemoglobin, atau volume

packed red cell darah dibawah normal

Colli sinistra : regio leher kiri

Status lokalis : pemeriksaan setempat

Nodul : sebuah simpul kecil atau benjolan kecil, sebuah perbandingan dari

sedikit kumpulan jaringan

LED : Laju dimana eritrosit mengendap dari specimen darah vena dikur dari

atas tabung hingga ke bawah dimana eritrosit jatuh, peningkatan biasanya

disebabkan oleh meningkatnya protein plasma biasanya pada kasus inflamasi

hipergamaglobulinemia dan anemia

Diff. Count : hitung jenis leukosit untuk mengetahui jumlah berbagai jenis

leukosit yakni eosinophil, basophil, neutrophil batang, neutrophil segmen,

limfosit, monosit

C. Identifikasi Masalah

1. Nona C 21 tahun berobat ke puskesmas dengan benjolan sebesar telur puyuh

pada leher kiri yang terasa membesar sejak 1 bulan terakhir. Berat bada dirasa

menurun, nafsu makan dirasa menurun sejak 1 bulan yang lalu.

2. Dicurigai ada kontak dengan penderita TB dirumah (bapak). Riwayat

keganasan pada keluarga tidak ada.

3. C datang sambil membawa hasil aspirasi jarum halus dengan kesan radang

kronik spesifik granulomatous kemungkinan infeksi tuberkulosa disertai

catatan untuk control ulang. Aspirasi jarum halus 1 bulan setelah terapi.

4. Pemeriksaan umum: tampak sakit sedang, sensorium kompos mentis, BB : 43

kg, TB : 155 cm, sedikit anemis, RR : 24x/menit, nadi : 72x/menit,

temperature : 370C

5. Pemeriksaan spesifik : status lokalis : colli sinistra teraba 2 nodul ukuran 2x2

cm & 2x1 cm berbatas tegas

6. Pemeriksaan lab rutin , Hb : 11,4g%, leukosit : 10.200/dl, LED : 43 mm/jam,

Diff.Count : 0/1/4/50/40/5

3

Page 4: TBC mtb

D. Analisis Masalah

1. Nona C 21 tahun berobat ke puskesmas dengan benjolan sebesar telur puyuh

pada leher kiri yang terasa membesar sejak 1 bulan terakhir. Berat bada dirasa

menurun, nafsu makan dirasa menurun sejak 1 bulan yang lalu.

Apa yang menyebabkan timbulnya benjolan pada leher kiri ?

Jawab :

Benjolan pada leher kiri Nona C disebabkan karena respon dari infeksi

tuberkulosis. Paparan terhadap bakteri akan mengaktifkan germinal center.

Tujuannya untuk meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel limfosit guna

meningkatkan pertahanan tubuh terhadap patogen. Akibatnya, ukuran

germinal center dan lymphoid folikel membesar (mengalami hiperplasia).

Membesarnya lymphoid folikel akan mengakibatkan ukuran kelenjar getah

bening ikut membesar (teraba sebagai benjolan). Keadaan ini dikenal sebagai

folikuler limfoid reaktif hiperplasia.

Mekanisme lain : Bakteri tuberkulosis, terutama yang berhasil berproliferasi

dalam makrofag, masuk ke cairan limfe (menyebar secara limfogenik) dan

terbawa ke kelenjar getah bening terdekat. Pada kelenjar getah bening, kuman

akan mengakibatkan peradangan (limfadenitis kronik spesifik). Limfadenitis

mengakibatkan benjolan pada KGB.

Apa yang menyebabkan berat badan dan nafsu makan menurun?

Jawab :

TNF-alfa memicu metabolisme dengan 5 cara:

o menghambat uptake dari asam lemak bebas dan menyetimulasi

lipogenesis

o menginduksi lipolisis

o menghambat metabolisme lipid yang terikat enzim

o mengatur metabolisme kolesterol

o mengatur turunan adiposit adipokin

4

Page 5: TBC mtb

Gambar 1

Apa saja kemungkinan konsistensi dari benjolan tersebut?

Bagaimana mekanisme timbulnya benjolan tersebut pada kasus?

Jawab :

Bakteri tuberkulosis, terutama yang berhasil berproliferasi dalam makrofag,

masuk ke cairan limfe (menyebar secara limfogenik) dan terbawa ke kelenjar

getah bening terdekat. Pada kelenjar getah bening, kuman akan

mengakibatkan peradangan (limfadenitis kronik spesifik). Limfadenitis

mengakibatkan benjolan pada KGB. Limfadenitis adalah presentasi klinis

paling sering dari TB ekstrapulmoner. Limfadenitis TB juga dapat merupakan

manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien biasanya datang dengan

keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Oleh karena itu,

5

Page 6: TBC mtb

infeksi mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis banding dari

pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang endemis.

Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis,

kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal,

aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis

(Mohapatra, 2004).

Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral,

tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan

berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling

sering berlokasi di regio servikalis. Beberapa pasien dengan limfadenitis TB

dapat menunjukkan gejala sistemik yaitu seperti demam, penurunan berat

badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak

menunjukkan gejala sistemik. Limfadenopati tuberkulosis perifer dapat

diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:

1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.

2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan

sekitar oleh karena adanya periadenitis.

3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening)

akibat pembentukan abses.

4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.

5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.

Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar

limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi sekunder

bakteri, (ii) pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi dengan

infeksi HIV. Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran ≥ 2 cm

biasanya disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2

cm biasanya disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup

kemungkinan pembengkakan tersebut disebabkan oleh M.tuberculosis

(Narang, 2005).

Bagaimana predisposisi umur terhadap munculnya benjolan pada kasus?

6

Page 7: TBC mtb

2. Dicurigai ada kontak dengan penderita TB dirumah (bapak). Riwayat

keganasan pada keluarga tidak ada.

Bagaimana tranmisi penyakit TB?

Apa hubungan keganasan dengan timbulnya benjolan?

bagaimana korelasi keganasan dengan hereditas?

Bagaimana mekanisme pertahanan tubuh dalam menghadapi TB?

3. C datang sambil membawa hasil aspirasi jarum halus dengan kesan radang

kronik spesifik granulomatous kemungkinan infeksi tuberkulosa disertai

catatan untuk control ulang. Aspirasi jarum halus 1 bulan setelah terapi.

Bagaimana prosedur pemeriksaan aspirasa jarum halus?

Bagaimana gambaran mikroskopik dari radang kronik spesifik

granulomatous?

Jawab :

Sediaan dari KGB, dijumpai tuberkel (granuloma) terdiri dari nekrosis

kaseosa di bagian sentral yang dikelilingi oleh sel-sel epithelioid dengan

infiltrasi sel radang limfosit, sel plasma, fibroblast dan sel datia langhans

(giant cell Langhans) serta PMN.

7

Page 8: TBC mtb

Apa saja yang dapat diperiksa dengan aspirasi jarum halus?

Bagaimana mekanisme timbulnya granuloma karena infeksi TB?

Jawab :

Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB

pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan

menjadi TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB

primer sering terjadi pada anak-anak sehingga sering disebut child-type

tuberculosis, sedangkan TB post-primer (sekunder) disebut juga adult-type

tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa, walaupun faktanya TB

primer dapat juga terjadi pada orang dewasa (Raviglione, 2010). Basil

8

Page 9: TBC mtb

tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut

sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ

ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar

getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan

perikardium.

TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil

tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru dengan cara

inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag

dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit

oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar

secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen.

Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe

regional di hilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan

reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe

regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 – 4

minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini

akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB

dalam makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon.

Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki

imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya imunitas

seluler akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer

disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB

primer, basil TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran

limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ (Datta, 2004). Basil TB juga

dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru.

Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk

melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh

makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di

leher (Datta, 2004).

Bagaimana proses penyembuhan penyakit pada kasus?

9

Page 10: TBC mtb

Apa saja terapi yang digunakan dalam penyembuhan penyakit pada kasus?

Jawab :

Pengobatan TBC Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak,

tidak menderita TBC) dan II (Terinfeksi TBC/test tuberkulin (+), tetapi tidak

menderita TBC (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan

bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10

mg/kgbb/hari.

1. Pencegahan (profilaksis) primer

Anak yang kontak erat dengan penderita TBC BTA (+).

INH minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin (-).

Terapi profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang menjadi (-) atau

sumber penularan TB aktif sudah tidak ada.

2. Pencegahan (profilaksis) sekunder

Anak dengan infeksi TBC yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala sakit

TBC. Profilaksis diberikan selama 6-9 bulan.

Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu :

o Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin,

Pirazinamid.

Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat

ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.

o Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,

Kapreomisin dan Kanamisin.

Dosis obat antituberkulosis (OAT)

Obat Dosis harian (mg/kgbb/hari)

Dosis 2x/minggu (mg/kgbb/hari)

Dosis 3x/minggu(mg/kgbb/hari)

10

Page 11: TBC mtb

INH 5-15 (maks 300 mg) 15-40 (maks. 900 mg) 15-40 (maks. 900 mg)

Rifampisin 10-20 (maks. 600 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 15-20 (maks. 600 mg)

Pirazinamid 15-40 (maks. 2 g) 50-70 (maks. 4 g) 15-30 (maks. 3 g)

Etambutol 15-25 (maks. 2,5 g) 50 (maks. 2,5 g) 15-25 (maks. 2,5 g)

Streptomisin 15-40 (maks. 1 g) 25-40 (maks. 1,5 g) 25-40 (maks. 1,5 g)

4. Pemeriksaan umum: tampak sakit sedang, sensorium kompos mentis, BB : 43

kg, TB : 155 cm, sedikit anemis, RR : 24x/menit, nadi : 72x/menit,

temperature : 370C

Apa interpretasi dari pemeriksaan umum?

Bagaimana hubungannya dengan kasus? (penyebab, mekanisme)

5. Pemeriksaan spesifik : status lokalis : colli sinistra teraba 2 nodul ukuran 2x2

cm & 2x1 cm berbatas tegas

Apa kemungkinan nodul yang teraba?

Mengapa timbul pada regio colli sinistra? Bisakah tumbuh di tempat lain?

Mengapa ukuran kedua nodul dapat berbeda?

Bagaimana karakteristik nodul pada TB?

6. Pemeriksaan lab rutin , Hb : 11,4g%, leukosit : 10.200/dl, LED : 43 mm/jam,

Diff.Count : 0/1/4/50/40/5

Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan lab?

Jawab:

1. Hemoglobin :

Anak anak : 11-13 gram/dl.

Lelaki dewasa : 14-18 gram/dl.

Perempuan dewasa : 12-16 gram/dl.

Lelaki tua : 12.4-14.9 gram/dl.

11

Page 12: TBC mtb

Perempuan tua : 11.7-13.8 gram/dl

2. Hematokrit :

Pria berkisar 40,7% - 50,3%.

Wanita berkisar 36,1% - 44,3%.

3. Leukosit (White Blood Cell / WBC) :

Nilai normal leukosit berkisar 4.000 - 10.000 sel/ul darah.

4. Trombosit (platelet) :

Nilai normal trombosit berkisar antara 150.000 - 400.000 sel/ul darah.

5. Eritrosit (Red Blood Cell / RBC) :

Nilai normal eritrosit pada pria berkisar 4,7 juta - 6,1 juta sel/ul darah.

Nilai normal eritrosit pada wanita berkisar 4,2 juta - 5,4 juta sel/ul darah.

6. Laju Endap Darah :

Nilai normal LED pada metode Westergreen :

Laki-laki : 0 – 15 mm/jam 

Perempuan : 0 – 20 mm/jam

7. Hitung Jenis Leukosit (Diff Count) :

Nilai normal :

12

Page 13: TBC mtb

Eosinofil 1-3%.

Netrofil 55-70%.

Limfosit 20-40%.

Monosit 2-8%.

Bagaimana hubungannya dengan kasus?

Mengapa tidak digunakan pemeriksan Ziehl Neelsen?

Jawab :

Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan

kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.

Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsi aspirasi.

Dengan pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya basil mikobakterium

pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat

positif (Mohapatra, 2009; Bayazit, 2004). Diperlukan waktu beberapa minggu

untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa, M.tuberculosis

adalah penyebab tersering, diikuti oleh M.bovis (Bayazit, 2004).

7. Pemeriksaan tambahan yang harus dilakukan

Foto thoraks

Pemeriksaan sputum BTA

13

Page 14: TBC mtb

E. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan

No. Learning Issue What I

know

What I

don’t

know

What I

have to

prove

Media

Pembelajaran

1. Succinylcholine V Internet

Textbook

Jurnal

IT

2. Halothane V

3. Malignant

Hyperthermia

V

4. Appendicitis V

F. Keterikaitan Antar Masalah

14

Tn. Ahmad mengalami Malignant Hyperthermia

Diberikan succinylcholine dan halothane

Page 15: TBC mtb

G. Learning Issue

Radang kronik

Meskipun sulit untuk didefinisikan dengan pasti, peradangan kronik dianggap

sebagai peradangan yang durasinya memanjang (mingguan atau bulanan) berupa

peradangan aktif, kerusakan jaringan, dan upaya perbaikan yang berlangsung

secara bersamaan. Meskipun dapat terjadi setelah peradangan akut, seperti yang

telah dijelaskan, peradangan kronik sering berawal secara samar, sebagai respon

berderajat ringan yang terus-menerus, tetapi asimtomatik. Peradangan kronik tipe

terakhir ini merupakan penyebab kerusakan jaringan pada sebagian dari penyakit

manusia yang tersering dan paling menimbulkan kecacatan, seperti artritis

reumatoid, arterosklerosis, tuberkulosis, dan penyakit paru kronik.

Penyebab Peradangan Kronik

Peradangan kronik timbul pada keadaan-keadaan berikut ini.

o Infeksi persisten oleh mikroorganisme tertentu, seperti basil tuberkel,

Treponema pallidum (penyebab sifilis), dan virus, jamur, dan parasit tertentu.

Organisme-organisme ini memiliki toksisitas rendah dan memicu suatu reaksi

imun yang disebut hipersensitivitas tipe lambat (delayed type

hypersensitivity). Respon peradangan kadang-kadang mengambil pola

spesifik yang disebut reaksi granulomatosa.

o Pajanan berkepanjangan oleh agen yang berpotensi toksik, baik dari luar

maupun dalam sel. Contoh agen eksogen adalah partkel silika, yakni suatu

benda mati tidak teruraikan yang, jika terhirup dalam jangka waktu lama,

dapat menyebabkan penyakit peradangan paru yang disebut silikosis.

Aerosklerosis terjadi akibat proses peradangan kronik di dinding arteri yang

dipicu, palng tidak sebagian, oleh komponen lemak plasma toksik endogen.

o Autoimunitas. Dalam kondisi tertentu, terbentuk reaksi imun terhadap

jaringan tubuh sendiri dan menyebabkan penyakit autoimun. Pada penyakit

ini, autoantigen memicu timbulnya reaksi mun yang terus memperkuat

dirinya dan menimbulkan peradangan dan kerusakan jaringan kronik. Reaksi

imun berperan penting pada beberapa penyakit peradangan kronik, seperti

artritis reumatoid dan lupus eritematosus.

15

Page 16: TBC mtb

Penyembuhan radang kronik (bima, Tania, ican, didik)

Infeksi TBC (azhari, mbak fit, eka)

Pemeriksaan pada radang kronik (Bima, sharoon, Tania, eka, ican, didik,

aufar, ahari, mbak fit, gemi, yeyik)

16

Page 17: TBC mtb

H. Kerangka Konsep

17

Apendiktomi

Pembedahan Intra abdomen

Tn. Ahmad 28 tahun

Pemberian halothane Pemberian succinylcholine

Pengeluaran ion Ca2+ terus menerus dari Retikulum

Sarkoplasma

Eksitasi dan kontraksi otot skeletal terus menerus

Sel otot lisis Hipermetabolic cell

Kekakuan otot

Produksi panas meningkatKebutuhan ATP meningkat

Pelepasan myoglobulin

Hiperkalemia

Kreatine kinase meningkat

Cola-colored urine

O2 turun, CO2 naik di darah

Takikardi Hipertensi

Hipertremia

Aktivasi glikogenolisis

Peningkatan H+ pada darah

pH < 7.25 Base deficit >8

Page 18: TBC mtb

I. Sintesis

Pada kasus, Tn. Ahmad diberikan succinylcholine intravena dan inhalasi halothane.

Pemberian halothane dan succinylcholinemerupakan pemberian yang paling sering

pada operasi karena onset yang cepat dan kerjanya sinergis. Succinylcholine

memiliki waktu paruh yang cepat akan tetapi efek succinylcholine berlangsung

sekitar 4-6 menit.

Succinylcholine disintesis di hati dan ada dalam plasma. BCHE (plasma

cholinesterase and pseudocholinesterase, terletak pada 3q26.1–26.2) menghidrolisis

SCH ke succinylmonocholine, succinic acid, dan kolin. Dalam fungsinya,

suksinilkolin menggantikan asetilkolin dalam membuka kanal-kanal bergerbang

asetilkolin. Mekanisme kerja suksinilkolin teridiri atas dua fase yakni fase

depolarisasi dan fase desensitisasi.

Dalam fase depolarisasi, kerja suksinilkolin mirip dengan asetilkolin, namun bedanya

asetilkolin akan dimetabolisme oleh kolinesterase untuk menghentikan ikatan dengan

reseptor kanal. Namun, karena kolinesterase tidak mampu memetabolisme

suksinilkolin, maka suksinilkolin tetap terus berikatan dengan reseptor kanal dan

mengakibatkan kanal terus terbuka.

Dalam fase desensitisasi, akibat pemaparan dengan suksinilkolin terus menerus,

depolarisasi perlahan-lahan akan menurun dan terjadilah proses repolarisasi. Untuk

memulai suatu depolarisasi baru, dibutuhkan asetilkolin agar kanal terbuka kembali.

Namun karena telah terpapar suksinilkolin, asetilkolin tidak mampu mendepolarisasi

otot kembali.

Pemberian halothane dan succinylcholine akan memberikan dampak yang berbeda

apabila dilakukan pada penderita dengan mutasi kromosom 19q 12.1-13.2.

Mekanisme terjadinya kontraksi pada otot dibantu oleh gen RYR1 (ryanodine

receptor 1). Gen ini menginstruksikan pembuatan suatu protein yang disebut protein

ryanodine reseptor 1. Protein ini akan membentuk chanel yang bertanggung jawab

terhadap transpor kalsium pada sel. Dengan sinyal tertentu, RYR1 chanel akan

membuat kalsium keluar dari retikulum sarkoplasma menuju sitoplasma.

18

Page 19: TBC mtb

Peningkatan kalsium membuat proses kontraksi otot dimulai. Proses ini disebut

proses E-C coupling.

Pada kondisi terjadinya mutasi gen pada kromosom 19 terjadi peningkatan resiko

malignant hipertermia. Mutasi ini terjadi dan menyebabkan perubahan pada regio di

ryanodine receptor 1 protein. Perubahan ini menyebabkan RYR1 channel membuka

dengan lebih mudah, dan sukar untuk menutup pada anetesi dan obat relaksasi otot

tertentu. Penimbunan kalsium yang berlebihan akibat masalah di RYR1 channel ini

menyebabkan otot hiperkontraksi yang pada akhirnya menyebabkan kekakuan otot

dan gejala-gejala lainnya yang lebih dikenal sebagai malignan hipertermia.

Pemakaian succinylcholine dilakukan bersamaan dengan halothane yang berfungsi

untuk memperpanjang efek dari succinylcholine. Sebelum pemberian

halothane dan succinylcholine, dilakukan pemeriksaan terhadap penyakit jantung dan

paru karena penderita penyakit jantung dan paru merupakan kontraindikasi dalam

penggunaan obat anestesi ini.

Intubasi perlu dilakukan karena efek succinylcholine yang melumpuhkan otot-otot

pernapasan, pasien memerlukan ventilasi mekanis dan pemantauan ketat selama

kelumpuhan.

Saat dilakukan pembedahan, terjadi kekakuan pada otot, suhu tubuh meningkat

sampai 41oC dan tekanan darah menjadi 180/90 mmHg dan denyut jantung 128

kali/menit. Gejala tersebut merupakan Malignant Hyperthermia. Mekanisme secara

molekular yang menyebabkan terjadinya kondisi ini belum ditemukan. Hal ini

disebabkan oleh adanya mutasi pada genetik yang menyebabkan kelainan pada

reseptor ryanodin tipe 1 (RyR1).

Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan datrolene sebelum pemberian

anestesi (secara teori), namun hal ini jarang dilakukan. Pemberian datrolene pra

anestesi dengan dosis 2,5 mg/kgBB. Calcium-channel blockers dapat menyebabkan

hiperkalemia apabila digukanan bersama dantrolene, serta tidak

direkomendasikan. Selain itu, untuk menangani tanda yang terjadi, dapat dilakukan

dengan total body cooling, pendinginan dihentikan jika suhu badan telah mencapai

38,5°C, penghentian pemakaian obat anestesi, pemberian oksigen 100%,

19

Page 20: TBC mtb

memperbaiki asidosis yang terjadi, dan insulin dan glukosa untuk mengatasi

hiperkalemia.

20

Page 21: TBC mtb

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Tn. Ahmad (28 tahun) mengalami Malignant hyperthermia karena pemberian

succinylcholine dan halothane saat operasi.

21

Page 22: TBC mtb

Daftar Pustaka

A. Latief, Said. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Alvarellos, Maria L., Ellen M. McDonagh, Sephalie Patel, Howard L. McLeod, Russ B.

Altman, Teri E. Klein. 2015. “Succinylcholine Pathway,

Pharmacokinetics/Pharmacodynamics”,

https://www.pharmgkb.org/pathway/PA166122732#, diunduh pada 10 November

2015

Chapin, James W. 2014. “Malignant Hyperthermia”.

http://emedicine.medscape.com/article/2231150-overview#a6. Diakses pada 11

November 2015. 20:32 WIB.

Drugs.com. 2015. “Succinylcholine”, http://www.drugs.com/cdi/succinylcholine.html,

diunduh pada 10 November 2015

Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC.

Herwana, Elly. 1999. Peranan Kelainan Butirilkolinesterase terhadap Metabolisme

Suksinilkolin. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Hopkins, P.M. “Malignant hyperthermia: pharmacology of triggering”. British Journal of

Anaesthesia 107 (1): 48–56 (2011)

http://ghr.nlm.nih.gov/gene/RYR1 , diakses pada 12 November 2015

http://www.drugs.com/monograph/succinylcholine-chloride.html (diakses pada tanggal 10

November 2015)

http://www.drugs.com/monograph/halothane.html(diakses pada tanggal 10 November 2015)

http://www.drugs.com/cg/types-of-anesthesia.html , (diakses pada tanggal 10 November

2015)

http://www.drugs.com/uk/pdf/leaflet/509064.pdf(diakses pada tanggal 10 November 2015)

http://www.hop

kinsmedicine.org/healthlibrary/conditions/surgical_care/types_of_anesthesia_and_you

r_anesthesiologist_85,P01391/ (diakses pada tanggal 10 November 2015)

http://www.mayomedicallaboratories.com/test-catalog/Clinical+and+Interpretive/

8336(diakses pada tanggal 10 November 2015)

http://www.rxlist.com/succinylcholine-chloride.html(diakses pada tanggal 10 November

2015)

http://www.rxlist.com/halothane.html(diakses pada tanggal 10 November 2015)

22

Page 23: TBC mtb

http://www.rxlist.com/malignant_hyperthermia.html(diakses pada tanggal 10 November

2015)

Jurkat-Rott, Karin. “GENETICS AND PATHOGENESIS OF MALIGNANT

HYPERTHERMIA”. John Wiley & Sons, Inc. Muscle Nerve 23: 4–17 (2000)

Katzung, B.G., Masters, S.B., Trevor, A.J. 2009. Basic & Clinical Pharmacology, 11th Ed. New

York:McGraw-Hill.

Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An, (2010), Buku Ajar Ilmu Anestesi dan

Reanimasi, PT. Indeks, Jakarta

Tanu, Ian. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik

Falkutas Kedokteran Universitas Indonesia.

Tanto, chris. ed. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 Jilid 1 Halaman 213-214. Jakarta:

Media Aesculapius

Tanto, chris. ed. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 Jilid 2. Jakarta: Media

Aesculapius.

Wibowo, Andry. 2009. Studi Banding Kejadian Nausea Vomitus antara Penggunaan

Isofluran dan Halothane sebagai Anestesi Inhalasi. Surakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret

23