1 TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA REPOSISI/OPERASI DISLOKASI ATAU FRAKTUR HUMERUS Oleh : I Gde Komang Agung Tresna Rahayudi NIM. 1302006130 Pembimbing : dr. Cynthia Dewi Sinardja,Sp.An. MARS DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP SANGLAH DENPASAR 2017
31
Embed
TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA ......pengganti untuk mendapatkan kembali fungsi siku. 5 Gambar 1 : Patah tulang midshaft humerus 6 BAB II PEMBAHASAN 1. Evaluasi pra Anestesia
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI
PADA REPOSISI/OPERASI DISLOKASI ATAU
FRAKTUR HUMERUS
Oleh :
I Gde Komang Agung Tresna Rahayudi
NIM. 1302006130
Pembimbing :
dr. Cynthia Dewi Sinardja,Sp.An. MARS
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2017
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
rahmat-Nya tinjauan pustaka yang berjudul ’’ Tata Laksana Anestesia dan Reaminasi
Pada Reposisi/Operasi Dislokasi Atau Fraktur Humerus ’’ ini dapat selesai tepat
waktu. Tinjauan pustaka ini merupakan salah satu tugas dalam rangka mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di SMF/Bagian Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Dalam penyusunan
Tinjauan Pustaka ini penulis banyak memperoleh bimbingan dan masukan dari berbagai
pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1. dr. I Ketut Sinardja, Sp.An, KIC selaku Kepala Bagian SMF Ilmu Anestesiologi dan
Reanimasi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
2. dr. Cynthia Dewi Sinardja, Sp.An. MARS, selaku pembimbing atas segala bimbingan
dan masukan beliau,
3. Residen serta rekan-rekan dokter muda yang bertugas di bagian Anestesiologi dan
Reanimasi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar yang telah ikut membantu penulis dalam
menyelesaikan tinjauan pustaka ini,
4. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu, yang dengan tulus telah
bersedia memberikan bantuan dan masukan.
Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan tinjauan pustaka ini. Semoga
tinjauan pustaka ini bermanfaat bagi pembaca.
Denpasar,12 Mei 2017
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
Batasan
Fraktur tulang Humerus atau patah tulang humerus adalah cedera yang sangat
serius. Fraktur ini dikaitkan dengan beberapa komplikasi dan bisa menjadi bencana
jika tidak dikelola dengan baik. Sebuah kecelakaan jatuh dengan tumpuan siku atau
lengan cukup untuk menyebabkan fraktur humerus untuk orang yang sudah tua. Hal
ini juga terlihat pada orang muda setelah kecelakaan di jalan atau jatuh dari
ketinggian atau cedera langsung ke lengan di tempat kerja. Kadang-kadang
juga disertai dengan dislokasi siku atau sendi bahu.
Anatomi Tulang Humerus
Humerus adalah tulang lengan panjang yang kokoh, yang membentang dari
bahu ke siku. Anatomi humerus terutama terkait dengan poros, ujung atas dan ujung
bawah. Ujung atas membentuk sendi bahu bulat dan berartikulasi dengan glenoid
rongga. Ujung bawah tidak teratur dalam bentuk karena untuk mendukung berbagai
gerakan, seperti siku menekuk (fleksi), rotasi (pronasi dan supinasi ). ujung bawah
juga disebut kondilus humeri, berartikulasi dengan radius tulang serta tulang ulna
untuk membentuk sendi siku. Beberapa otot-otot penting lengan berasal baik atau
melampirkan pada poros tulang humerus, seperti brachalis, trisep, dan sebagainya,
yang memberikan gerakan pada siku dan sendi bahu.
Jenis Fraktur Tulang Humerus
Karena panjang panjang tulang humerus dan tulang ini pun bekerja untuk
mendukung beberapa fungsi, maka ketika tulang ini patah atau terluka, maka akan
timbul masalah di beberapa lokasi, dengan konsekuensi yang sangat tergantung pada
lokasi fraktur. Hal penting lain ada lah dislokasi dari fragmen patah tulang, patah
tulang yang disertai dislokasi setidaknya memiliki hasil yang sangat buruk.
4
• Fraktur humerus proksimal umumnya karena jatuh pada bahu dan bisa disertai
dengan dislokasi bahu. Ini adalah cedera yang umum pada wanita lanjut usia
bahkan setelah jatuh sepele karena osteoporosis pasca menopause. Karena
sifat cancellous tulang humerus di bagian ini (seperti spons), tulang bagian ini
dapat ada dapat runtuh danterdeformasi bersama dengan fraktur, hal ini
menyebabkan perlunya reformasi tulang pada saat pengobatan.
• Fraktur Midshaft humerus sebagian besar terjadi setelah jatuh pada siku atau
kecelakaan di jalan. Saraf radialis berjalan sangat dekat ke bagian tulang
humerus sehingga dapat terluka karena trauma primer, atau karena terjebak
antara ujung tulang retak, atau bahkan selama pengobatan. Oleh karena itu,
perawatan harus dilakukan di setiap langkah untuk memastikan integritas dari
saraf radial dan bahkan kecurigaan sekecil apapun terhadap kelumpuhan saraf
radialis harus diikuti oleh eksplorasi pembedahan.
Fraktur humerus distal dapat berupa fraktur humerus suprakondilaris atau fraktur
humerus condylar. Sebuah fraktur humerus suprakondilaris berada di persimpangan
Kondilus (ujung bawah) dan poros, dan patah tulang siku yang paling umum pada
anak-anak. Sebuah fraktur condylar adalah fraktur humerus
parah yang umumnya terjadi karena cedera kecepatan tinggi, seperti kecelakaan
mobil atau jatuh dari ketinggian. Kecelakaan seperti ini sering mengakibatkan siku
tidak stabil bahkan setelah operasi dan sering memerlukan suatu operasi siku
pengganti untuk mendapatkan kembali fungsi siku.
5
Gambar 1 : Patah tulang midshaft humerus
6
BAB II
PEMBAHASAN
1. Evaluasi pra Anestesia dan Reaminasi
1.1 Batasan
Evaluasi praanestesia dan reaminasi adalah langkah awal yang dilakukan
sebelum rangkaian tindakan anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang
direncanakan untuk melakukan operatif.
1.2 Tujuan
• Mengetahui status fisik pasien preoperative.
• Mengetahui dan menganalisis jenis operasi.
• Memilih jenis/teknik anesthesia yang sesuai.
• Mememberitahu pasien apa yang akan menjadi kendala yang akan
mungkin terjadi selama operasi dan atau pasca bedah.
• Mempersiapkan alat-alat apa saja yang dibutuhkan pada waktu operasi dan
obat apa yang digunakan pada waktu kesulitan pada waktu oprasi.
1.3 Waktu Evaluasi
Pada kasus bedah elektif, evaluasi pra anesthesia dilakukan beberapa hari
sebelum oprasi, jadi disana melakukan pencatatan status pasien, anamnesis,
pemeriksaan fisik dan menginformasikan pasien baik buruknya pada waktu
oprasi. Kemudian evaluasi ulang dilakukan sehari menjelang operasi, keesokan
harinya pasien di lakukan pemeriksaan lagi sebelum masuk ke dalam kamar
operasi dan evaluasi akhir dilakukan dikamar persiapan instalasi bedah sentral
(IBS) gunanya untuk menentukan status fisik ASA pada pasien.
Pada kasus bedah darurat, evaluasi dilakukan pada saat itu juga
diruangan persiapan oprasi Instalasi Rawat Darurat (IRD), karena waktu yang
7
tersedia untuk evaluasi sangat terbatas, sehingga sering kali informasi tentang
penyakit yang diderita kurang akurat.
1.4 Tatalaksana Evaluasi
1.4.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan pasien sendiri atau kalau pasien
tidak bisa diajak komunikasi, wawancara heteroanamnesis yaitu
keluarga pasien atau kerabat dekat pasien, meliputi :
• Tanyakan identitas pasien atau biodata.
• Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang
mungkin menimbulkan gangguan fungsi organ atau gangguan
psikis pada pasien.
• Anamnesis umum, meliputi :
- Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau yang
sedang menderita penyakit sistemik selain penyakit bedah
yang diderita, yang bisa mempengaruhi anesthesia atau
dipengaruhi oleh anesthesia.
- Riwayat pemakaian obat atau alergi obat, tanyakan pada
pasien apakah ada obat yang sebelumnya diminum dan
tanyakan pada pasien apakah pasien ada alergi obat.
- Riwayat operasi/ anesthesia terdahulu.
- Tanyakan kepada pasien apakah pasien merokok,
meminum minuman alcohol, minum kopi, dan
mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
- Memberitahu pasien sebelum oprasi pasien harus puasa 8
jam sebelum oprasi dimulai.
• Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang dilakukan adalah :
- Pemeriksaan atau pengukuran status presen pasien,
meluputi: kesadaran pasien, nafas pasien, tekanan darah
8
atau tensi pasien, nadi, suhu tubuh, berat badan dan
tinggi badan pasien untuk menilai status gizi pasien
atau BMI pasien.
- Pemeriksaan fisik umum, meliputi pemeriksaan status :
❖ Psikis pasien : gelisah, takut atau kesakitan.
❖ Respirasi.
❖ Hemodinamik.
❖ Penyakit darah.
❖ Hepato-bilier.
❖ Urogenital dan saluran kencing.
❖ Metabolic dan endokrin.
❖ Cek lengan pasien (otot dan saraf)
• Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
- Pemeriksaan rutin
Ditujukan pada pasien yang dipersiapkan untuk oiprasi
kecil dan sedang. Hal-hal yang akan dipersiapkan:
1. Test darah pasien : Hb, Ht, Eritrosit, Leukosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan.
2. Urin : pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin.
3. Pemeriksaan radiologi : CT Scan, X-ray.
• Menentukan prognosis pasien perioperatif
Berdasarkan hasil evaluasi pra operatif tersebut diatas
maka dapat disimpulkan status fisik pasien pra anesthesia.
American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat
klasifikasi status fisik praanastesia menjadi 5 kelas, yaitu:
ASA 1 : Pasien penyakit bedah tanpa memiliki penyakit
sistemik.
ASA 2 : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik ringan sampai sedang.
9
ASA 3 : Pasien penyakir bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang disebabkan karena berbagai penyebab
tetapi tidak mengancam nyawa.
ASA 4 : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya.
ASA 5 : Pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit
sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi,
dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal.
ASA 6 : Pasien sudah mati batang otak, siap donorkan organ
yang masih berfungsi baik.
E : Pasien emergency yang harus di oprasi.
2. Masalah anestesi dan reanimasi
2.1 Sindrom emboli pada lemak
Emboli lemak biasanya terjadi pada patah tulang panjang dan dapat
berakibat fatal dengan angka mortalitas mencapai 10-20%. Kondisi ini
umumnya muncul dalam waktu 72 jam pada fraktur pelvis atau tulang
panjang dengan trias dyspnea, bingung dan petechiae. Emboli lemak timbul
karena terganggunya sel lemak pada tulang yang mengalami fraktur sehingga
percikan lemak (fat globules) banyak dilepaskan dan memasuki sirkulasi
melalui robekan pembuluh darah medula. Teori lain mengungkapkan bahwa
adanya perubahan metabolisme asam lemak mencetuskan terbentuknya
agregasi sirkulasi asam lemak bebas yang selanjutnya berkembang menjadi
emboli lemak. Peningkatan kadar asam lemak bebas dapat memilikki efek
toksik pada membran alveolar-kapiler yang memicu pelapasan vasoaktif amin
dan prostaglandin yang nantinya dapat berkembang menjadi acute respiratory
distress syndrome.2
10
2.2 Deep venous thrombosis dan Thromboembolism
DVT dan emboli paru bisa menyebabkan morbiditas dan mortalitas
saat berlangsungnya operasi orthopedi pada pelvis dan ekstremitas bawah.
Faktor risiko seperti obesitas, umur lebih dari 60 tahun, prosedur berlangsung
lebih dari 30 menit, penggunaan torniquet, fraktur ekstremitas bawah dan
imobilisasi lebih dari 4 hari. Insiden DVT dapat mencapai 40-80% pada
pasien yang tidak diberikan propilaksis. Patofisiologi yang mendasari
terjadinya DVT tersebut yakni stasis vena dengan hipercoagulable state
sebagai akibat dari respon inflamasi lokalis dan sistemik terhadap
pembedahan.2
2.3 Bone cement Implantation Syndrome
Bone cement, polymethylmethacrylate sering dibutuhkan untuk
arthroplasti sendi. Semen merekat di dalam celah tulang cancellous dan secara
kuat mengikat peralatan prosthetic ke tulang pasien. Pencampuran bubuk
polymerized methylmethacrylate dengan monomer cair methylmethacrylate
menyebabkan polimerisasi dan cross-linking rantai polimer. Reaksi
eksothermik memicu pengerasan semen dan ekspansi berlawanan dengan
komponen prosthetik. Absorpsi sistemik dari methylmethacrylate monomer
yang tersisa bisa menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi
pembuluh darah sistemik. Pelepasan jaringan thromboplastin bisa memicu
agregasi platelet, pembentukan mikrothrombus di paru dan ketidakstabilan
hemodinamik. Manifestasi klinis dari sindrom implantasi bone cement
meliputi hipoksia , hipotensi, aritmia, hipertensi pulmonal dan menurunnya
curah jantung. Emboli juga paling sering terjadi saat pemasangan prosthesis
femoral untuk arthroplasty panggul. Strategi terapi dalam mengantisipasi
emboli lemak ini adalah meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi,
memantau euvolemi, membuat lubang ventilasi di distal femur untuk
membebaskan tekanan intramedula, membuat tekanan lavage tinggi pada
femur untuk menghilangkan debris (potensi mikroemboli) atau menggunakan
komponen femur yang tidak membutuhkan semen. 2
11
2.4 Pneumatic Torniquet
Pemakaian torniquet pada ekstremitas mampu menekan perdarahan
sehingga memudahkan operator saat pembedahan berlangsung. Namun di sisi
lain torniquet dapat menciptakan masalah potensial seperti perubahan
hemodinamik, nyeri, perubahan metabolik, thromboembolisme arteri dan
emboli paru. Tekanan inflasi biasanya diatur kira-kira 100 mmHg lebih tinggi
dari batas bawah tekanan darah sistolik. Inflasi yang berkepanjangan (> 2
jam) secara rutin menyebabkan disfungsi otot transien dan bisa menghasilkan
rhabdomyolisis atau kerusakan saraf permanen. Inflasi torniquet juga
berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh pada pasien pediatri saat
mengalami operasi ekstremitas bawah.2
2.5 Perdarahan luka operasi
Pembedahan ortopedi berhubungan dengan adanya kehilangan darah,
khususnya pembedahan trauma, pembedahan punggung multiple,
pembedahan redo arthroplasty dan pembedahan tanpa menggunakan
torniquet.
2.6 Persiapan Praoperatif
2.6.1 Persiapan rutin
Persiapan pra anestesia dan reanimasi dapat dilakukan di
poliklinik dan di rumah sakit tempat pasien dirawat (pada pasien rawat
inap), ruang perawatan, ruang persiapan IBS dan kamar operasi yang
akan dijabarkan sebagai berikut :
a. Persiapan di ruang perawatan
Persiapan di ruang perawatan hampir sama dengan
persiapan di poliklinik dan di rumah pasien meliputi
12
persiapan psikis dan persiapan fisik. Persiapan psikis yang
dilakukan adalah (1) memberikan penjelasan kepada pasien
dan atau keluarga agar mengerti perihal rencana anestesi dan
pembedahan yang direncanakan sehingga pasien dan
keluarganya bisa tenang; (2) memberikan obat sedatif pada
pasien yang menderita stress berlebihan atau pasien yang
tidak kooperatif seperti pediatrik pada malam hari menjelang
tidur dan pada pagi hari, 60-90 menit sebelum ke IBS. Pada
persiapan fisik, perlu diinformasikan kepada pasien untuk :
(1) menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti merokok
minimal dua minggu sebelum anestesia atau minimal dimulai
sejak evaluasi pertama kali di poliklinik; (2) melepas segala
macam protesis dan asesoris seperti perhiasan; (3) melakukan
puasa dengan aturan sebagai berikut :3
Tipe Makanan/Minuman Lama Puasa yang
dibutuhkan
Cairan jernih • 2 jam
• Contoh air, jus buah
tanpa ampas buah, teh
jernih, kopi.
• Tidak termasuk alkohol
ASI 4 jam
Formula bayi 6 jam
Makanan ringan • 6 jam
• Contoh roti panggang
Makanan bergoreng/makanan
padat/makanan
berlemak/daging
8 jam
Table 2. Pemantauan pasien sebelum Oprasi
13
(4) membuat surat persetujuan untuk keluarga pasien untuk
melakukan tindakan oprasi atau medik; (5) jika keluarga
pasien sudah setuju ganti pakaian pasien yang dipakai dari
rumah dengan pakaian khusus kamar operasi.
b. Persiapan di ruangan IBS
Persiapan yang dilakukan meliputi evaluasi ulang status
presen dan catatan medik pasien serta perlengkapan lainnya,
konsultasi di tempat apabila diperlukan, memberi premedikasi
dan memasang infus.
c. Persiapan di kamar operasi
(1) Mempersiapkan mesin anestesi dan sistem aliran gasnya,
alat pantau tekanan darah, pulse oksimeter, EKG, tiang