Perbandingan Antara Operasi Secara Laparoskopi Preperitoneal
Transabdominal Dan Operasi Mesh Preperitoneal Pada Pasien Dengan
Hernia Inguinalis
Latarbelakang/Tujuan: Sejarah operasi hernia inguinalis bermula
pada zaman Mesir kuno, yang dimulai dengan menggunakan operasi cara
Bassini hingga operasi berbasis mesh secara terbuka dan laparoskopi
yang kita lakukan pada hari ini. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk membandingkan operasi laparoskopi preperitoneal
transabdominal (TAPP) dengan operasi mesh polypropylene
preperitoneal terbuka untuk pengobatan hernia inguinalis.
Pasien dan metode:Bermula dari Juni 2010 sehingga Juni 2012, 40
orang dewasa dengan hernia inguinal primer telah di pilih untuk
mengikuti studi ini dan iya nya telah di jalankan di New Damietta
University Hospital. Pasien- pasien tersebut telah dibagi secara
acak ke dalam 2 buah kelompok: Kelompok A menjalani operasi
laparaskopi TAPP mesh polypropylene preperitoneal dan kelompok B
menjalani operasi mesh polypropylene preperitoneal secara
terbuka.
Hasil:Rata- rata waktu follow up pasien adalah dalam 14.8 bulan.
Rata-rata waktu operasi adalah 66.8 menit pada kelompok A dan 47
menit pada kelompok B. Rata- rata waktu rawat inap pasien adalah
1.475 hari pada kelompok A dan 1.575 pada kelompok B. Secara klinis
kontralateral, terdapat hernia inguinal tersembunyi dan telah di
lakukan operasi pada 9 pasien (45%) pada kelompok TAPP. Pada
kelompok A, derajat nyeri yang ringan dikeluhkan oleh 12 orang
pasien (60%) postoperative inguinal, 7 orang pasien (35%) dengan
nyeri sedang dan 1 orang pasien (5%) dengan nyeri berat. Pada
kelompok B derajat nyeri yang ringan oleh 6 orang pasien (30%)
postoperative inguinal, 10 orang pasien (50%) dengan nyeri sedang
dan 4 orang pasien (20%) dengan nyeri berat.
Kesimpulan:Teknik TAPP merupakan teknik terbaik untuk
laparaskopi pada hernia inguinal. Prasyarat untuk mendapatkan hasil
yang terbaik adalah dengan secara tepat mengaplikasikan teknik yang
standar. Biar pada operator yang berpengalaman, semua jenis hernia,
termasuk hernia scrotalis yang besar bisa di operasi dengan kadar
morbiditas dan rekurren yang rendah. Walaubagaimana pun, untuk
mendapatkan hasil yang lebih menyenangkan, edukasi tentang program
laparaskopi yang baik sangat direkomendasikan.
PengenalanOperasi hernia inguinal dianggap sebagai prosedur
operasi yang paling sering dilakukan di seluruh dunia. Edoardo
Bassini adalah orang yang pertama melakukan operasi terhadap pasien
dengan hernia inguinal secara anatomis menggunakan teknik yang
menurunkan kadar mortalitas dan rekurren kurang dari 2%.
Nyhus dan Stoppa mengembangkan metode operasi preperitoneal pada
pasien dengan hernia inguinal untuk mengurangi tingkat rekuren yang
biasanya tinggi secara anterior.
Kugel mengembangkan teknik tension- free preperitoneal dan
menggabungkan pengunaan utilitas pada teknik operasi terbuka dengan
dengan memberikan kelebihan pada prosedur akses yang lebih minimal
(insisi yang kecil, kedudukan mesh preperitoneal, mengelakkan nyeri
neuropatik).
Operasi laparaskopi pada hernia inguinal di kembangkan pada awal
1990 an. Operasi hernia inguinal secara laparaskopi telah
diperkenalkan setelah operasi laparaskopi kolesistektomi.
Walaubgaimanapun, tidak seperti operasi laparaskopi kolesistektomi,
dimana secara mudah diterima oleh ahli bedah seluruh dunia, operasi
laparaskopi pada pasien dengan hernia inguinal masih belum di
aplikasikan secara menyeluruh. Teknik laparaskopi pada awalnya
dengan memotong cincin internal pada mesh atau dengam menutupi
cincin internal dengan stapler tidak lagi di aplikasikan kerana
menyebabkan tingkat rekurren yang tinggi.
Teknik laparaskopi dengan memperkuatkan dinding posterior dari
kanalis inguinal dengan meletakkan mesh secara preperitoneal
diambil berdasarkan konsep daripada prosedur Stoppa. Operasi
laparaskopi lebih sulit berbanding operasi terbuka dan terdapat
bukti learning curve dalam melakukan prosedur tersebut.
Pasien dan MetodeDi antara 30 Juni 2010 dan 30 Juni 20121, 40
orang dewasa laki-laki dengan hernia inguinal primer, unilateral
dan yang tidak disertai komplikasi telah dimasukkan sebagai subjek
dalam studi ini dimana ia dijalankan di New Damietta University
Hospital. Anak-anak, pasien dengan hernia inguinal rekuren,
bilateral dan yang disertai komplikasi, da pasien dengan riwayat
operasi pada abdominal bagian bawah telah di kecualikan dari
menjadi subjek dalam studi ini.
Empat puluh pasien dengan hernia inguinal primer telah dibagi
kepada 2 kelompok yang sama jumlahnya secara acak: dimana kelompok
A tersebut menjalani operasi laparaskopi polypropylene mesh TAPP
dan kelompok B menjalani operasi preperitoneal polypropylene mesh
terbuka. Acakan yang dilakukan adala berdasarkan urutan pasien
masuk ke rumah sakit. Pemeriksaan oleh departemen kardiologi dan
urologi serta pemeriksaan rutin telah dilakukan sebelum pasien
terpilih sebagai subjek. Antibiotik profilaksis juga telah
diberikan secara rutin sebagai induksi,Rincian operasi kelompok A:
Operasi laparaskopi polypropylene mesh TAPP telah dilakukan dengan
pasien berada di bawah anestesi general, disarankan untuk memasang
kateter Foley dan nasogastric tube sebelum operasi dijalankan.
Operator berdiri arah kontralateral dari kedudukan hernia inguinal.
Kepala pasien dimiringkan 15 untuk memudahkan pembentukan
pneumoperitoneum dan menjauhi bagian abdomen pasien jauh dari
bagian yang di operasi. Jarum Veress digunakan untuk membuat
pneumoperitoneum. Setelah pembuatan pneumoperitoneum yang memuaskan
bagi operator, jarum tersebut di buang dan 10 mm port telah
dipasang melalui insisi pada supraumbilical. Dua 5mm port telah
dipasang sebagai working port yang akan dipakai pada kiri dan kanan
tangannya operator, sejajar dengan umbilicus pada linea
midklavikular (Gambar 1).
Hernia di inspeksi terlebih dahulu untuk menentukan tipenya
(direk atau indirek) dengan memastikan posisi defek tersebut
berkolerasi dengan pembuluh epigastrik inferior dan struktur dari
cord (Gambar 2). Secara anatomi, pembuluh spermatic terletak di
lateral dan vas deferens bertemu dengan cincin internal secara
medial dan membentuk inversi V. Pembuluh epigastrik inferior bisa
terlihat bergerak ke atas daripada titik ini. Secara kontralateral,
jika terjadi hernia tersembunypada klinisnya iya nya gampang
terlihat. Isi dari hernia ini, jika ada, berkurang dengan adanya
bantuan dari attraumatic bowel forceps. Struktur pada dinding
abdomen posterior, dinamakn arteri iliaka external dan vena di
dalam triangle of doom, terlihat selepas berkurang nya isi dari
hernia tersebut.
Insisi pada peritoneum bermula pada titik tengah antara
umbilikus dan lipatan paha, secara umumnya kira-kira 2 cm di atas
cincin internal. Iya nya akan dilewati di atas spina iliaka
anterior superior sehingga ke ligamentum umbilikal medialis.
Dilakukan prosedur dimana flap dinaikkan dengan diseksi tajam dan
tumpul dari arah cephal ke caudal. Lebih mudah dinaikkan flap yang
di bawah berbanding menaikkan flap yang dibawah bersamaan dengan
yang di atas. Diseksi dilanjutkan sampai ke medial dari simfisis
pubis sampai kan terlihat Cave of Retzius.
Pada hernia direk, kantong hernia terdiri dari pouch yang keluar
dari peritoneal dengan berbagai jumlah dari lemak extraperitoneal,
yang dimana kadang- kadang sangat berlebihan. Setelah diseksi
medial, flap tersebut dinaikkan ke lateral dari cincin internal dan
setinggi spina iliaka anterior superior. Kantong dari hernia
terletak anterior dan lateral dari struktur cord dan disitu tempat
dimana diseksi dilakukan. Homeostasis harus terjamin. Polypropylene
mesh dengan ukuran 15cm (tansverse)x 12 cm (vertikal) digunakan
dalam operasi (Gambar 3). Mesh mulai dimasukkan saat operasi
melalui 10m di bagian umbilical dengan melepaskan telescope dan
setelah itu telescope dipasang kembali. Stapler digunakan untuk
melekatkan bagian medial dan atas dari mesh untuk memastikan iya
melekat dengan baik ke otot di bawahnya. Secara umumnya 3 jenis
stapler sudah mencukupi; satu di bagian medial, dua di bagian atas
hujung. Setelah meletakkan mesh tersebut, flap peritoneal
diletakkan diatas mesh supaya menutupi dengan baik dan dapat
menghalang perlengketan antara bowel dan omentum; bisa digunakan
dengan hektar ataupun suture. (Gambar 4). Gas karbon dioksida di
evakuasi untuk mengosongkan kavitas abdomen dan scrotum. Port di
buang setelah mengalihkan bagian dinding abdomen anterior. Lapisan
dari port kira-kira 10mm ditutp dengan suture vicryl. Insisi kulit
ditutup dengan sutur yang mudah.
Rincian operasi kelompok B: Operasi preperitoneal polypropylene
mesh terbuka dijalankan dengan pasien berada di bawah anestesi
regional. Insisi 5- 6 cm di buat dengan kedalam 1 inci diatas dua
pertiga medial dari ligamentum inguinal. Insisi dari aponeurosis
oblik externum, diikuti dengan memperlihat kan cord spermatikum dan
herniotomi dilakukan pada pasien dengan hernia indirek. Insisi pada
fasia transversal dari cincin inguinal yang dalam sehingga ke
tuberkel pubis disertai diseksi tumpul yang di lakukan untuk
memisahkan peritoneum dengan struktur yang berada di samping nya
untuk memperlihatkan ruang peritoneum, dengan mempreservasi
pembuluh epigastrikus inferior. ( Gambar 5).
Setelah melakukan diseksi dan mempelihatkan ruang yang
secukupnya, polypropylene mesh (12x15cm) diletakkan ke dalam ruang
peritoneum (Gambar 6) untuk memperkuatkan dinding posterior dari
kanalis inguinalis, cincin femoralis dan cincin inguinal internal.
Mesh tersebut kemudiannya diperbaiki ke dalam fasia transversal
dengan suture prolene (No 2-0). Fasia transversal kemudiannya
ditutup dengan suture vicryl. Kemudian lukanya ditutup lapis demi
lapis tanpa memerlukan pemasangan drainase.
Hasil Rata-rata follow up pasien dilakukan dalam 14.8 bulan
(range 5-23 bulan). Follow up yang dilakukan terdiri dari
pemeriksaan pasien setelah 1 minggu keluar dari rumah sakit,
diikuti dengan 1 bulan sebelum berakhir nya studi ini. Rata- rata
umur pasien adalah 39.37 tahun (range 18- 60 tahun). Semua pasien
yang terlibat dalam studi ini adalah laki- laki berdasarkan tipe
hernia, 13 orang pasien (32.5%) adalah pasien dengan hernia direk.,
21 orang pasien (52.5%) dengan hernia indirek dan 6 orang pasien (
15%) denga hernia pantaloon. Rata-rata waktu operasi adalah 66.8
menit pada kelompok A dan 47 menit pada kelompok B. Pemberian
nutrisi oral dilanjutkan pada pasien dengan post operasi dengan
rata- rata waktu nya adalah 12.15 jam pada operasi TAPP dan 10.5
jam pada pasien dengan operasi preperitoneal polypropylene mesh
terbuka. Rata rata jangka waktu rawat inap pasien dengan operasi
TAPP adalah 1.475 hari dan 1.575 hari pada pasien dengan operasi
preperitoneal polypropylene mesh terbuka.
Secara kontralateral, didapatkan klinis pada pasien dengan
hernia tersembunyi dan telah dilakukan operasi sebanyak 9 orang
pasien (45%) pada kelompok operasi TAPP. Pada kelompok A, derajat
nyeri yang ringan dikeluhkan oleh 12 orang pasien (60%)
postoperatif inguinal, 7 orang pasien (35%) dengan nyeri sedang dan
1 orang pasien (5%) dengan nyeri berat. Pada kelompok B derajat
nyeri yang ringan oleh 6 orang pasien (30%) postoperatif inguinal,
10 orang pasien (50%) dengan nyeri sedang dan 4 orang pasien (20%)
dengan nyeri berat. Nyeri post operatif di ukur dengan menggunakan
Visual Analogue Scale (VAS), dimana terdiri dari satu garis ,
kebiasaannya 100 mm panjang, dimana hujung nya di label dengan
nyeri hebat (tidak nyeri dan nyeri yang paling berat dirasakan).
Pasien disuruh menunjukkan dimana rasa nyeri yang dirasakan oleh
pasien tersebut..
Beberapa komplikasi dari post operasi dilaporkan, dimana seroma
dilaporkan terjadi pada 9 orang pasien (45%) setelah operasi TAPP
dan pada seorang pasien (5%) setelah operasi preperitoneal
polypropylene mesh terbuka. Seroma diobati secara konservatif yaitu
dengan memberikan bantuan pada scrotum dan iya biasanya membaik
secara spontan. Tidak ada infeksi superfisialis yang dilaporkan
pada pasien dengan pasien dari kelompok A, namun terdapat 7 orang
pasien (35%) didapatkan pada pasien kelompok B. Kadar rekuren
adalah 0% pada kedua- dua kelompok dalam studi ini. Rata- rata
waktu yang diambil oleh pasien sebelum mereka melakukan pekerjaan
mereka adalah 14.4 hari pada kelompok A dan 17.35 hari pada
kelompok B. Pengalihan ke operasi terbuka dari kelompok A tidak
pernah terjadi ketika studi ini dijalankan. Ketika studi ini
dijalankan, tidak terdapat kematian yang dicatatkan. Hasil dari
studi ini dapat dilihat pada tabel 1.
DiskusiSejarah operasi hernia inguinalis bermula pada zaman
Mesir kuno, yang dimulai dengan menggunakan operasi cara Bassini
sehingga operasi berbasis mesh secara terbuka dan laparaskopi yang
kita lakukan pada hari ini. Sejarah mengikuti berkembang secra
parallel terhadap evolusi dari segi pemahaman anatomis dan
perkembangan dari segi teknik dari operasi general. Operasi hernia
inguinal adalah merupakan operasi yang paling sering dilakukan
diseluruh dunia.
Secara idealnya, metode yang dipakai dalam operasi hernia
seharusnya memberikan ketidaknyamanan yang minimal kepada pasien,
baik ketika prosedur operasi dijalankan maupun ketika waktu post
operasi. Iya seharusnya suatu prosedur yang mudah dilakukan dan
dipelajari, dengan kadar komplikasi dan rekuren yang rendah, dan
mengalami perbaikan dalam jangka waktu yang pendek. Tambahan lagi,
harus dengan kos yang efektif.
Walaupun operasi mesh-based tension- free terbuka masih menjadi
kriteria standar pada pasien dengan hernia inguinal, laparaskopi
herniorraphy dilakukan oleh operator yang berpengalaman memberikan
hasil yang lebih bagus berbanding dengan operasi terbuka. Anestesi
regional dilakukan pada pasien dengan ooperasi terbuka, dan pada
pasien yang menjalani operasi laparaskopi mereka diberikan anestesi
general.
Dalam studi ini, pasien yang menjalani operasi laparaskopi dapat
beraktivitas lebih cepat berbanding pasien yang menjalani operasi
yang terbuka. Laporan yang sebelumnya menyatakan bahwa indikasi
dilakukan laparaskopi adalah hernia rekuren, hernia bilateral, dan
jika pasien mahu cepat kembali beraktivitas.
Dalam studi yang terkini, waktu operasi lebih lama pada operasi
TAPP. Kumat et al. melaporkan waktu operasi yang dilakukan pada
pasien dengan unilateral hernia inguinal primer lebih lama pada
pasien yang menjalani operasi laparaskopi berbanding yang menjalani
operasi terbuka.
Pada studi yang terbaru, tidak ada statistik yang jelas yang
menyatakan perbedaan diantara 2 kelompok ini tentang nutrisi oral
post operative dan lamanya rawat inap di observasi. Insidensi nyeri
post operastive kurang pada pasien yang menjalani operasi TAPP.
Hasil tersebut juga didapatkan dari studi Bignell et all, dimana
dilaporkan nilai rata-rata nyeri pada kelompok pasien yang
menjalani operasi laparaskopi adalah 2 dibandingkan dengan 3.5 pada
kelompok yang menjalani operasi terbuka, bagaimanapun hasilnya
tidak signifikan (P =0.0558). Menariknya, 4 orang pasien dari
kelompok yang menjalani operasi TAPP tidak mengalami nyeri sama
sekali selama 4 minggu dan 3 orang pasien malaporkan nyeri ringan.
Secara kontras nya, pada kelompok yang menjalani operasi terbuka,
semua pasien tersebut mengeluh nyeri yang berbesada-beda antara
nyeri ringan sehingga nyeri sedang. Follow up telah dijalankan
setelah 5 tahun post operasi dan didapatkan 1.9% pasien post
operasi TAPP dan 3.5% pasein yang menjalani operasi terbuka masih
merasakan nyeri sedang sampai berat.
Pada studi yang terbaru, seroma lebih sering diperhatikan
terjadi pada pasien yang menjalani opreasi TAPP dan dirawat secara
konservatif. Infeksi superficial pada luka lebih sering didapatkan
pada pasien yang menjalani operasi terbuka pada kelompok B. Secara
kontralateral, pasien yang dengan klinis hernia occult dilakukan
operasi TAPP dan tidak dengan operasi terbuka. Operasi TAPP di
lakukan dengan anetesi general manakal operasi terbuka dilakukan
anestesi regional
Terdapat banyak percobaan secara acak yang terkontrol, yang
membandingkan operasi laparaskopi dan operasi terbuka dengan
pelatihan yang secukupnya, laparaskopi memberikan hasil dimana
kadar rekuren yang sama tetapi mengurangi nyeri post operasi dan
memberikan jangka waktu untuk pasien kembali bekerja seperti sedia
kala lebih cepat.
Telah dilaporkan bahwa lebih dari 30% dari pasien dengan hernia
unilateral akan mengalami hernia pada bagian kontralateral.
Tambahan lagi, apabila diperiksa saat operasi, 10 25% dari pasien
didapatkan hernia occult pada bagian kontralateral. Pada operasi
TAPP kita bisa melakukan assesmen dan terapi pada bagian
kontralateral pada waktu operasi yang sama, tanpa perlu insisi
tambahan, dengan sedikit diseksi dan nyeri tambahan post operasi
yang minimum.
Kadar rekuren setelah operasi mesh terbuka agak sama dengan
teknik laparaskopi, bagaimanapun terdapat perbaikan yang signifikan
cepat setelah laparaskopi dan nyeri inguinal yang kronis. Studi
yang lain menyatakan bahwa kadar rekuren pada pasien dengan operasi
laparaskopi sangat berbeda denga operasi terbuka yang tradisional
maupun modern. Operasi laparaskopi lebih dipilih pada pasien dengan
hernia bilateral atau rekuren atau pada pasien dengan hernia
unilateral yang maukan disabilitas post operatif yang minimal.
Pada pasien dengan hernia unilateral pada pertama kali baik
dengan operasi laparaskopi atau mesh terbuka bisa memberikan hasil
yang bagus. Pada operasi laparaskopi, kekurangan yang mayor pada
teknik ini adalah operator perlu banyak menangani banyak kasus
seperti ini untuk lebih cekap dengan teknik- teknik nya.
Secara mudahnya, teknik TAPP adalah satu alat untuk pengobatan
secara laparaskopi pada pasien dengan hernia inguinal. Prasyarat
untuk mendapatkan hasil yang memuaskan adalah aplikasi yang bagus
pada teknik yang standar. Pada mereka yang berpengalaman, kesemua
jenis hernia inguinal, termasuk hernia scrotal yang besar bisa di
obati secara laparaskopi dengan kadar mobidity dan rekuren yang
rendah. Bagaimanapun, untuk mendapatkan hasil yang diinginkan,
program edukasi yang kuat tentang laparaskopi di rekomendasikan.
BAGIAN ILMU BEDAHJOURNAL READINGFAKULTAS KEDOKTERAN Maret
2015UNIVERSITAS HASANUDDIN
Laparoscopic Transabdominal Preperitoneal Repair Versus Open
Preperitoneal Mesh Repair For Inguinal HerniaAyman M. Elwan,
Mohammed A. Abomera, Mahmoud A. Abo Al Makaremand Abd Alhamed H.
MohammedainJournal of the Arab Society for Medical Research 2013,
8:3842
DISUSUN OLEHSiti Azureen Bt Abdul HalimC11110884PEMBIMBINGdr.
Suriadi NurdinSUPERVISORdr. Warsinggih, Sp.B- KBD.
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU
BEDAH SUBDIVISI BEDAH DIGESTIFFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
HASANUDDINMAKASSAR2015
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :Nama: Siti
Azureen Binti Abdul HalimNIM: C11110842Judul Journal: Laparoscopic
transabdominal preperitoneal repair versus open preperitoneal mesh
repair for inguinal herniaUniversitas:Universitas Hasanuddin
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada
Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, Maret 2015
Mengetahui,
Pembimbing Residen Supervisor
dr. Suriadi Nurdindr. Warsinggih, Sp.B-KBD
Daftar Isi
Lembar pengesahanDaftar IsiAbstrakLatarbelakang/Tujuan.Pasien
dan metode..HasilKonklusi.PengenalanPasien dan
MetodeHasil.Diskusi.
10