D ikanalkomunikasimana pun kekhawatiran akan pelemahan nilai rupiah kian kuat, terlebih di media sosial. Banyak yang percaya pelemahan nilai rupiah adalah masalahkredibilitaspemerintah. Sebaliknya, ada yang mampu mengaitkannya dengan posisi Indonesia yang masih lebih baik dibandingkan negara lain sekali- pun rupiah melemah. Ada juga yang menyatakan bahwa bukan pemerintah yang perlu disalah- kan,tetapiBankIndonesiamesti jauh lebih agresif dan jangan menganggap bahwa harga pasar rupiah masih pada kisaran RP13.400. Apa pun yang terjadi, yang jelas memasuki dua kuartal tahun ini tentunya tidak usah kita ratapi. Amal terbaik adalah berusaha sekeras mungkin me- lihatmasalahyangadadanmem- balikkannya menjadi kesempat- an. Sebab, pada masa krisis, penurunan ekonomi itu juga melahirkan banyak usaha yang justru mengalami kemajuan yang tinggi. Tantangan dan Keberpihakan Ekonomi Indonesia jelas ekonomiskalakecil.Usahamikro, kecil dan menengah (UMKM) mendominasi lebih kurang 99% dari struktur bisnis yang ada. Mereka pada umumnya kuat menghadapi krisis karena sasaran struktur produksi se- derhana, beroperasi di mana tersedia potensi permintaan yang besar, maka eksistensi mereka justru perlu lebih di- perbesar dan berkeadilan. Ketika penulis menyiapkan sebuah buku Minang Entre- preneur, jelas contoh-contoh kasus yang diperlihatkan ada- lah mereka yang justru menjadi ujung tombak bisnis ritel yang berasaldaridarahMinangseperti rumah makan dan pedagang pakaian. Mereka justru pada umumnya terlatih menghadapi masalah dan cepat menyesuai- kan bisnis. Mereka bukanlah sebagai karyawan “anak mama” yang menunggu tanggal gajian. Mereka terasah mempunyai naluri dan segera mengambil tindakan dengan risiko yang tinggi. Mengingat proses melahir- kan wirausaha itu penting, ke- berpihakan terhadap wirausaha lokal sangatlah diperlukan. Dua hal yang sangat menonjol untuk mengubah wawasan berpikir para wirausaha lokal menjadi sangat urgen dilahirkan. Pertama, sekalipun Indonesia memerlukan investor untuk membiayai infrastruktur, ke- berpihakan terhadap wirausaha lokal sangat diperlukan. Indo- nesia adalah salah satu negara sasaran investasi. Data menun- jukkan ada kecenderungan proses pembentukan investasi periode 1995-2008 lebih di- kuasai oleh China, Korea Selatan, Vietnam, dan berbagai negara Eropa Timur. Nilai inves- tasi mereka bisa mencapai di atas 34% dari GNP (The World Bank, Atlas of Global Development, 2011). Pada periode 2008-2015, Indonesia akan menjadi salah satu tujuan investasi. Hal ini terlihat pada kenyataan bahwa akhir-akhir ini banyak sekali proyek investasi mulai dikuasai China. Katakan proyek-proyek model Turnkey Projects di sektor kelistrikan dan infrastruktur sebagai pemenang tender. Wirausaha lokal mesti di- lahirkan untuk membidik pekerjaan turunan dari proses investasi itu. Jika tidak, foreign direct investment (FDI) dengan sistem sejalan antara peme- nangan proyek dengan penye- diaan tenaga kerja hanyalah menguntungkan kesempatan kerja akibat China kelebihan suplai tenaga kerja berketeram- pilan khusus. Pada analisis se- belumnya penulis sudah meng- usulkan ini dapat dilakukan dengan mengakomodasi pihak yayasan dalam membuat program-program pelatihan tenaga kerja besertifikasi. Kedua, Indonesia ini bukan Jakarta (Jawa). Namun terdiri dari banyak suku bangsa yang tersebar luas dengan capaian pembangunannya yang ber- beda-beda. Daerah-daerah mesti didorong untuk aktif mencari alternatif investasi dengan inovasi agar tumbuh dan berkembang. Untuk membuat agar mun- culnya efek sebar dari ekonomi, para wirausaha lokal justru jauh lebih penting dilahirkan. Jika tidak, kemajuan pendidikan akan menyebabkan terjadinya arus migrasi yang tinggi ke pusat pemerintahan. Misalnya selama ini arus migrasi yang tinggi justru dari pulau-pulau utama menuju daerah Jabodetabek. Data migrasi internasional sepertiMeksiko,China,Pakistan, IndiadanFilipinaadalah5negara yang menikmati remittances dan akan menjadi salah satu sumber pengganti FDI. Indonesia tidak sebesar negara itu nilai remittance internasionalnya walau remittance lokalnya ma- sih besar dan diharapkan se- bagai sumber pembiayaan bisnis di daerah-daerah. Selama ini proyek peme- rintah memang sudah mulai mengarah kepada memajukan sektor perdesaan. Berbagai skema program pemerintah antara lain program PNPM, program perdesaan, program prioritas pertanian, dan sejenisnya. Akan tetapi untuk men- dukung pertumbuhan sektor perdesaan, persoalan yang muncul adalah semakin ter- batasnya jumlah anak muda yang mau menjadi wirausaha di sektor pertanian atau mulai menginisiasi untuk membuka usaha-usaha yang baru yang selama ini belum kelihatan. Sebagaimana persoalan per- tama, persoalan kedua sangat diperlukan dengan kembali mendorong agar dapat kemu- dahan dalam menghasilkan usaha baru, startup business. Salah satunya adalah skema pembiayaan yang merangsang agar anak muda berani memulai usaha. Laporan American Economic Review (April 2015) menemukan jumlah entre- preneur berkurang pada tahun 2010 sebagai akibat Pemerin- tah AS mengurangi pembiaya- an pada usaha-usaha startup business pada 2000. ● 6 OPINI SENIN 7 SEPTEMBER 2015 TAJUK A da sesuatu yang tak biasa di balik mutasi Komjen Pol Budi Waseso (Buwas) yang digeser dari posisi kabareskrim Polri ke kepala BNN. Pencopotan Buwas ini dinilai banyak kalangan penuh muatan politis. Langkah Buwas yang berani dan tegas mengusut dugaan korupsi di sejumlah lembaga dianggap meng- ganggu kepentingan orang-orang tertentu. Kebijakan pencopotan atas desakan pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan oleh sepak terjang Buwas ini tentu akan membawa dampak yang kurang baik dari eksistensi dan mental anggota Polri ke depan, terutama dalam upaya pemberantasan korupsi. Bisa jadi langkah “membungkam” Buwas ini menyebabkan trauma di lingkungan kepolisian. Mereka akan berpikir seribu kali untuk menyentuh lembaga-lembaga yang selama ini ditengarai menjadi sarang koruptor. Karena mereka akan takut di-buwas-kan jika berani membongkar kasus korupsi kelas kakap. Bagaimanapun harus diakui sejak Bareskrim dipegang Buwas, wibawa kepolisian kembali sedikit terangkat. Ada secercah harapan Polri mulai “garang” mengusut kasus korupsi yang sebelumnya hampir nihil dilakukan korps baju cokelat tersebut. Namun apa yang dialami Buwas ini akhirnya akan memunculkan pesimisme kembali di masyarakat bahwa Polri akan berani berlaku “buas” lagi untuk membongkar kasus korupsi. Selanjutnya yang dikhawatirkan adalah prajurit Bhayangkara lebih memilih bermain aman atau bahkan bisa saja mereka lebih memilih melindungiataubersekutudaripadamengusutnya. Pemerintahboleh saja mengelak disebut mengintervensi dalam pencopotan Buwas ini. Namun kalau dari awal kita jujur mencermati, aroma intervensi memang begitu kental. Mereka seakan takut dengan sepak terjang Buwasinimengganggukepentingannyasehinggaharus“dimatikan”di tengah jalan. Intervensi pemerintah ini tentu sangat kontraproduktif bagi upaya penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi di Indonesia. Kita patut menyesalkan pergantian penegak hukum dengan cara seperti itu. Bagaimana mungkin langkah pemberantasan korupsi yang seharusnya diapresiasi malah dinilai menimbulkan kegaduhan yang menggangguperekonomiannegara.Akalyangsehatpastiakanberpikir sebaliknya bahwa yang mengganggu perekonomian nasional adalah masih bercokolnya para koruptor yang tak tersentuh hukum. Logika ini yang seharusnya menjadi kepedulian kita semua agar di kemudian hari kejadian serupa tak terulang. Kini, Bareskrim Polri memiliki nakhoda yang baru, Anang Iskandar, yang sebelumnya memimpin BNN. Semoga saja Bareskrim di bawah Anang bisa meneruskan keberanian yang dimulai Buwas dalam menghajar para koruptor. Tentunya Anang bisa mencontoh Buwas dari kebijakannya yang baik-baik saja. Karena ada juga kebijakan Buwas yang kontroversial yang tak perlu diteruskan Anang. Banyak kalangan menanti gebrakan Polri untuk ikut dalam pemberantasan korupsi yang memang sudah sangat membudaya di negaraini.KarenaselamainiPolridankejaksaandinilaimanduldalam memberangus para koruptor. Itu mengapa KPK akhirnya menjadi primadona di masyarakat karena lembaga antirasuah tersebut aktif dalam menjebloskan koruptor ke terali besi. Memang akhir-akhir ini KPKsempatdidugaadapimpinannyaterseretikutaruspolitikpraktis. Ini bisa kita lihat dari sejumlah kasus yang bermuatan politis dalam penetapantersangkanya.Akibatnya,adapengusutankasusyangbaru dilakukan setelah lebih dari setahun dari waktu penetapan tersangka. Dampak lainnya, KPK kalah setelah dipraperadilankan oleh tersangka. Semoga kekeliruan ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi para pimpinan KPK ke depan bahwa jangan sampai penegak hukum dijadikan alat politik pihak tertentu. Bareskrim di bawah Anang pun diharapkan nanti mampu bersinergi dengan kejaksaan dan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. Janganlah kasus “cicak versus buaya” (KPK vs Polri) terulang untuk ke- empatkalinya.KPKyangdinilailebihmumpunidalampemberantasan korupsi harus melakukan supervisi terhadap Polri dan kejaksaan. Hal inipentingdilakukanagarpemberantasankorupsibenar-benarefektif untuk melenyapkan para koruptor dari bumi Indonesia. ● Pencopotan Buwas dan Trauma Polri K ontras dengan kebijakan negara-negara di Eropa yang memproteksi pe- kerjaan kasar (low-skilled jobs) untuk warganya, kita justru mulai membuka keran tersebut seluas-luasnya. Pascakrisis ke- uangan global 2008, isu imigrasi di Eropa memang semakin santer didengungkan. Partai- partai yang mengusung penge- tatan pintu imigrasi sering mendapat perhatian publik dan meraih tambahan suara yang cukup signifikan. Salah satu contoh yang paling menarik adalah melonjaknya perolehan suara Partai UKIP ( UK Independence Party) di Inggris Raya (the United Kingdom/UK) yang terkenal sebagai partai yang paling tegas dalam menentang arus imigrasi di negeri mereka. Konsisten mengusung isu ini, padaPemiluInggrisRayaterakhir (2015), UKIP menjelma menjadi partai ketiga terbesar setelah Partai Konservatif (36,9%) dan Buruh (30,4%) dengan perolehan 12,6% suara populer (popular votes) atau naik empat kali lipat dibanding pemilu sebelumnya. Inilah gambaran nyata bahwa isu imigrasi dapat meng- ubah peta politik suatu negara secara signifikan. Melindungi Buruh Lokal Untuk menopang biaya hidup ketika melanjutkan studi magister di Inggris Raya tahun lalu, penulis menyempatkan diri bekerja paruh waktu se- bagai pelayan restoran (waiter). Teman-teman Indonesia lain- nya juga banyak yang bekerja paruh waktu sebagai cleaning service, penjaga perpustakaan, atau pelayan restoran/toko. Setiap mahasiswa di sana memang diperbolehkan untuk bekerja paruh waktu maksimal 20 jam dalam seminggu. Namun, terhitung tahun ini, Pemerintah Inggris Raya telah mencabut peraturan ini se- hingga tidak hanya mahasiswa, para pendamping mahasiswa (dependent) yang awalnya bahkan dapat bekerja full time, kini hanya dapat bekerja sesuai dengan keahliannya masing- masing atau dengan kata lain para mahasiswa ini sudah tidak dapat lagi bekerja sebagai pekerja kasar. Inilah salah satu cara Pemerintah Inggris Raya melindungi lapangan pekerja- an kasar bagi rakyatnya. Meskipun tergolong me- miliki performa ekonomi yang baik relatif terhadap negara- negara Eropa lainnya, Inggris Raya memang sedang gencar- gencarnya mengontrol ketat imigrasi mereka, khususnya imigrasi dari orang-orang non- Eropa dan Eropa Timur. Pengetatan imigrasi ini sebagai salah satu cara Pemerintah Inggris Raya untuk menekan dampak negatif yang ditimbul- kan para imigran seperti turun- nya tingkat upah, naiknya harga sewa rumah, jebolnya anggaran negara akibat klaim jaminan sosial (social benefits) oleh para imigran, dan semakin terbatas- nya lapangan pekerjaan (kasar) bagi masyarakat menengah bawah. Di sisi lain, Pemerintah Inggris Raya juga sangat mem- buka keran pekerjaan yang membutuhkan keahlian tinggi (high-skilled jobs). Kehadiran para tenaga kerja asing (TKA) berkeahlian tinggi memang secara agregat, sebagaimana dibuktikan oleh banyak studi, memiliki dampak positif (net benefit) terhadap perekonomi- an Inggris Raya itu sendiri karena para pekerja ini memiliki produktivitas yang tinggi, me- nambah lapangan pekerjaan, menciptakan inovasi, berujung pada peningkatan nilai tambah (added value) perekonomian. Kebijakan semacam ini tidak hanya diterapkan di Inggris Raya, tetapi juga negara-negara maju lainnya seperti Eropa dan Amerika Serikat. Secara sederhana, kebijakan imigrasi mereka didasarkan pada dua pertimbangan utama. Pertama, mereka membuka pintu seluas- luasnya bagi para TKA yang me- miliki keahlian tinggi. Kedua, di sisi lain, pekerjaan kasar dibuka untuk para TKA ketika pe- kerjaan tersebut tidak diminati oleh para penduduk asli negara tersebut (native people). Persyaratan Bahasa Kontras dengan negara- negara maju yang mensyarat- kan para pekerja imigran dapat berbahasa lokal, kita justru mencabut aturan tersebut. Ber- dasarkan Peraturan Kementeri- an Tenaga Kerja/Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 yang merevisi Permenaker Nomor 12 Tahun 2013, pemerintah telah mencabut syarat bahwa setiap TKA tidak wajib dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia jika ingin bekerja di sini. Kebijakan ini jelas sangat pro-TKA dan merugikan para tenaga kerja Indonesia (TKI). Pemerintah berargumen bahwapenghapusanpersyaratan kemahiran berbahasa Indonesia lantaran permintaan para investor yang merasa kesulitan untuk memenuhi persyaratan ini ketika melakukan investasi di Indonesia. Dengan meng- hilangkan persyaratan ini, pe- merintah berharap tingkat investasi (asing) di Indonesia dapat naik signifikan. Faktanya, hambatan utama investasi di Indonesia bukanlah kendala kewajiban berbahasa Indonesia atau tidak. Menurut studi dari LPEM FEUI (2007), hambatan utama melakukan bisnis( doingbusiness) diIndonesia dari perspektif para pelaku usaha adalah instabilitas makro- ekonomi,buruknyainfrastruktur (energi, listrik, jalan, pelabuhan), korupsi, dan inkonsistensi ke- bijakan pemerintah. Inilah pe- kerjaan utama pemerintah yang seharusnya segera diselesaikan terlebih dahulu, bukan justru menggadang-gadang persoalan penguasaan bahasa Indonesia semata. Penghilangan persyaratan kemahiran berbahasa Indonesia ini semakin mengakomodasi ekspansi imigran, khususnya dari China, yang bekerja kasar (low-skilled labours) di negeri kita yang makin masif. Tidak heran jika pada Selasa, 1 September 2015,paraburuhmenggelaraksi besar-besaran mengkritik ke- bijakan ngawur ini di seluruh Indonesia, khususnya Jakarta. Wajar jika para buruh se- makin khawatir akan masa depan mereka ketika tren imigrasi TKA ini semakin masif. Konsekuensi yang paling jelas adalah semakin terbatasnya lapangan pekerjaan bagi para TKI akibat infiltrasi TKA ini. Belum lagi, di tengah kondisi perekonomian yang sedang memburuk, gelombang PHK yang terus bertambah dan biaya hidup yang semakin mening- kat. Hal ini semakin membuat nasib TKI Indonesia bertambah kelabu dan sulit. Gelombang protes terhadap kebijakan ini tidak hanya berasal dari para buruh, namun juga dari para politisi baik dari partai oposisi maupun koalisi pemerintah. Beberapa politisi dari partai penguasa (PDIP) juga menolak kebijakan ini. Dalam konteks Indonesia yang memiliki begitu banyak kelebihan tenaga kerja (labour surplus) atau masih tingginya angka pengangguran, sangat- lah tidak bijak jika pemerintah membuka keran TKA di level pekerjaan kasar. Para buruh di level ini akan semakin sulit mendapatkan pekerjaan lan- taran kompetisi yang semakin ketat. Secara teoritis, layaknya di pasar lainnya, meningkatnya kompetisi di sektor ini akan mendorong efisiensi ekonomi. Buruh-buruh akan didorong untuk memiliki keahlian lebih mahir dan produktivitas lebih tinggi. Namun, pertanyaannya adalah apakah pemerintah sudah memberikan bekal yang cukup kepada para buruh kita untuk bersaing? Apakah sistem pendidikan dan sistem per- buruhan kita sudah mencetak tenaga kerja yang mampu ber- daya saing? Jika jawaban dari kedua pertanyaan tersebut adalah tidak, tidak adil rasanya bagiparaburuhkitamenghadapi gempuran ini, bak diminta ber- perang tanpa senjata. ● Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Unand ELFINDRI Ekonom Indef Tantangan Lahirkan Wirausaha Lokal Mengantisipasi Gempuran Tenaga Kerja Asing DZULFIAN SYAFRIAN