Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012 1 TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI PEMBANGUNAN MASA DEPAN BERBASIS GREEN DEVELOPMENT Sangkertadi Akademisi, Arsitek, Greeenship Profesional Abstrak Melalui tulisan ini meskipun singkat berupaya secara komprehensip memaparkan berbagai definisi mengenai green development, serta menunjukkan latar belakang mengapa masyarakat dunia sepakat untuk menerapkan konsep green development sebagai suatu model bagi pembangunan sejak kini hingga masa-masa mendatang. Berbagai pemahaman mengenai Green Building, Green City, Green Industry, serta Green Economy juga diungkapkan secara praktis. Ditekankan bahwa sektor konstruksi memiliki peran kunci dalam penerapan Green Development ini karena sector konstruksi tetap eksis memenuhi siklus pembangunan untuk memenuhi kebutuhan fasilitas manusia di muka bumi. Karena itu, sektor konstruksi adalah pemegang kunci utama bagi keberhasilan penerapan konsep Green Development. Latar Belakang Green Development mulai marak diperbincangkan dunia sebagai suatu konsep pembangunan masa depan dalam menghadapi keberlanjutan kehidupan di muka bumi yang semakin kompleks disertai adanya indikasi penurunan kualitas lingkungan. Cikal bakal green development sebenarnya sudah dimulai dari dideklarasikannya istilah sustainable development pada tahun 1987, berasal dari laporan Brundtland Comission, yang mana arti sustainable development adalah: sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Hal mengenai perubahan iklim adalah akibat dari model pembangunan yang tidak berbasis pada keberlanjutan. Secara fikalis perubahan iklim terjadi karena peningkatan gas rumah kaca di atmosfir, dimana laju peningkatan gas rumah kaca tersebut berasal dari akibat lajunya proses pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. Pada Tahun 1992 hampir 180 negara bertemu di KTT Bumi (Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan) di Rio de Janeiro untuk membahas bagaimana mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Pertemuan tersebut menyetujui yang namanya “Deklarasi Rio” tentang Lingkungan & Pembangunan yang menetapkan 27
21
Embed
TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
1
TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI PEMBANGUNAN MASA
Abstrak Melalui tulisan ini meskipun singkat berupaya secara komprehensip memaparkan berbagai definisi mengenai green development, serta menunjukkan latar belakang mengapa masyarakat dunia sepakat untuk menerapkan konsep green development sebagai suatu model bagi pembangunan sejak kini hingga masa-masa mendatang. Berbagai pemahaman mengenai Green Building, Green City, Green Industry, serta Green Economy juga diungkapkan secara praktis. Ditekankan bahwa sektor konstruksi memiliki peran kunci dalam penerapan Green Development ini karena sector konstruksi tetap eksis memenuhi siklus pembangunan untuk memenuhi kebutuhan fasilitas manusia di muka bumi. Karena itu, sektor konstruksi adalah pemegang kunci utama bagi keberhasilan penerapan konsep Green Development.
Latar Belakang
Green Development mulai marak diperbincangkan dunia sebagai suatu konsep
pembangunan masa depan dalam menghadapi keberlanjutan kehidupan di muka
bumi yang semakin kompleks disertai adanya indikasi penurunan kualitas
lingkungan.
Cikal bakal green development sebenarnya sudah dimulai dari dideklarasikannya
istilah sustainable development pada tahun 1987, berasal dari laporan Brundtland
Comission, yang mana arti sustainable development adalah: sebagai pembangunan
yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Hal mengenai perubahan
iklim adalah akibat dari model pembangunan yang tidak berbasis pada keberlanjutan.
Secara fikalis perubahan iklim terjadi karena peningkatan gas rumah kaca di
atmosfir, dimana laju peningkatan gas rumah kaca tersebut berasal dari akibat
lajunya proses pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan.
Pada Tahun 1992 hampir 180 negara bertemu di KTT Bumi (Konferensi PBB tentang
Lingkungan dan Pembangunan) di Rio de Janeiro untuk membahas bagaimana
mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Pertemuan tersebut menyetujui yang
namanya “Deklarasi Rio” tentang Lingkungan & Pembangunan yang menetapkan 27
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
2
prinsip yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Juga disepakati rencana aksi,
Agenda 21, & rekomendasi bahwa semua negara harus menghasilkan strategi
pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Berangkat dari situasi tersebut, maka masyarakat dunia sekali lagi berkumpul di
Kyoto dan menghasilkan apa yang namanya “Kyoto Protocol”, yang pada dasarnya
adalah komitmen dunia untuk bersama-sama menurunkan laju emisi gas rumah
kaca. Salah satu bagian kesepakatan adalah perwujudan aksi “clean development
mechanism”. Indonesia, melalui UU No 17 Tahun 2004, telah turut mengesahkan
protocol Kyoto, yang dengan demikian, maka seyogyanya model pembangunan di
Indonesia adalah yang berorientasi model “pembangunan bersih” yang mampu
membantu mereduksi emisi gas rumah kaca. Pertanyaannya apakah segenap
lapisan masyarakat Indonesia sudah menyadarinya dan apakah sudah sadar untuk
turut berperan dalam proses pembangunan bersih sebagaimana amanat UU
tersebut. Ada memang yang sudah melaksanakannya namun, masih diperlukan
bentuk sosialisasi masal guna mencapai apa yang diamanatkan lewat UU tersebut.
Selanjutnya sebagaimana dijelaskan dalam bagian penjelasan UU tersebut, bahwa
“clean development mechanism” (mekanisme pembangunan bersih) merupakan
bentuk investasi baru di Negara berkembang yang bertujuan mendorong Negara
industri untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di Negara berkembang dan
membantu negara berkembang untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Mekanisme Pembangunan Bersih mencakup tiga kategori implementasi yaitu "Clean
Production" (Produksi Bersih), "Saving Energy" (Penghematan Energi) dan "Fuel
Switching" (Pengalihan Bahan Bakar). Terhadap ketiga kategori tersebut, menuju
pada bentuk realisasi berupa pengurangan produksi emisi gas rumah kaca dan/atau
penyerapan karbon.
Apa definisi Green Development ?
Terminology Green mengandung makna keberlanjutan yang didasari pada tema-
tema keramahan terhadap lingkungan, sedangkan terminology Development
mengarah pada definisi “pembangunan” dalam pandangan yang luas. Pembangunan
secara fisik jelas mengarah pada pembaharuan perwujudan fisik konstruksi dalam
skala kewilayahan, apa itu negara, provinsi, kabupaten, kota atau kawasan bahkan
sampai pada titik lokasi. Pembangunan dalam pandangan “mental” mengandung arti
pengembangan pola pikir masyarakat. Sedangkan pembangunan dalam pandangan
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
3
ekonomi, jelas mengandung arti peningkatan kesejahteraan. Jadi Green
Development dapat didefinisikan sebagai suatu model atau konsep pembangunan
yang berbasis pada kaidah “green”, atau suatu mental atau pola pikir untuk
mengembangkan masyarakat agar berperilaku menuju keberlanjutan. Namun
demikian green development tidak akan berarti apa-apa tanpa kita praktekkan dalam
kehidupan sehari-hari. Green development perlu dihargai sebagai basis dari segala
bentuk penerapan pembangunan untuk menghadapi perkembangan kehidupan yang
semakin kompleks di muka bumi ini.
Apa resiko bumi tanpa Green Development Strategy ?
Sampai sejauh ini, dunia telah mencanangkan bahwa model pembangunan yang
harus tetap diterapkan di masa depan adalah yang berbasis pada filosofi Green
Development. Dari berbagai sumber menunjukkan bahwa pada tahun 1900-an hanya
sekitar 10% penduduk dunia hidup di kawasan perkotaan, kemudian pada tahun
2010 diperkirakan sudah sekitar 60% penduduk bumi menempati kawasan kota, dan
diperkirakan bahwa tahun 2050 sekitar 75% penduduk dunia tinggal di kota. Betapa
kota harus menerima beban untuk menghidupi penduduk dunia. Kegiatan penduduk
di perkotaan yang berperilaku urban, telah menyebabkan emisi gas rumah kaca yang
berakibat pada pemanasan global Efek pemanasan global telah menaikkan suhu
rata-rata global sekitar 1.4 – 5.8 derajat celcius pada tahun 2100 (menurut para
spesialis). Selama kurun waktu dari tahun 1861 sampai 2005 telah terjadi kenaikan
suhu global rata-rata 0.6-0.7 derajat celcius, menurut dokumen IPCC
(Intergovernmental Panel and Climate Change). Akibat selanjutnya adalah peristiwa
mengkhawatirkan seperti mencairnya gunung-gunung es di kutub, sehingga muka air
laut meningkat, berbagai satwa mulai hilang sehingga ekosistem terganggu. Definisi
umum menjelaskan bahwa permanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata
di atmosfer, laut dan daratan di bumi. Penyebab dari peningkatan yang cukup drastis
ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi (yang
diolah menjadi bensin, minyak tanah, avtur, oli pelumas) dan gas alam sejenis yang
tidak dapat diperbaharui. Pembakaran dari bahan bakar fosil ini melepaskan
karbondioksida dan gas gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke
atmosfer bumi. Ketika atmosfir semakin banyak mengandung gas-gas rumah kaca
ini, maka atmosfir menjadi insulator yang menahan lebih banyak radiasi panas
matahari yang dipancarkan ke bumi.
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
4
Sementara itu, berbagai dokumen dan hasil kajian mengungkapkan bahwa bangunan
dapat memproduksi emisi gas karbon sampai lebih dari 40% di beberapa tempat di
dunia, sehingga setiap upaya mereduksi emisi gas karbon melalui bangunan,
menjadi langkah strategis untuk menahan laju pemanasan global, dimana klasifikasi
bangunan dibagi menurut jenis bangunan komersial, rumah tinggal dan bangunan
utilitas atau bangunan industri.
Sebagai catatan penting, kenaikan suhu global sampai 1 derajat celcius akan
menyebabkan 30 persen spesies mengalami resiko kepunahan, kenaikan suhu
permukaan air laut sampai 27 derajat celcius, beresiko menimbulkan badai tropis.
Pemanasan global telah terjadi dan diperkirakan akan terus melaju meningkat.
Harapan untuk menahan atau mengendalikan lebih banyak tergantung pada perilaku
manusia penghuni bumi ini. Upaya gerakan pembangunan berwawasan ”hijau” dan
penghijauan ”nyata” sambil menghambat laju deforestasi serta gerakan lain untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi andalan dalam menghadapi bencana
akibat pemanasan global tersebut. Para perencana bangunan, arsitek, seyogyanya
sudah memiliki kepekaan dalam menerapkan konsep atau ide desain bangunan yang
berwawasan lingkungan dimana dalam hal ini adalah berorientasi pada konsep
”green building”.
Kecenderungan lainnya, dipusat kota yang dipadati oleh bangunan-bangunan tinggi
yang tidak menerapkan konsep arsitektur hijau, dan bahkan saling berhimpitan,
menimbulkan resiko naiknya suhu udara, dikarenakan semakin banyaknya elemen
penebar pantulan panas matahari serta adanya panas dari hasil produksi kehidupan
seperti asap dapur, kendaraan bermotor dan lain-lain, yang diantaranya
memproduksi gas-gas rumah kaca seperti karbondioksida, CFC, dan metana.
Kondisi tersebut ditambah lagi dengan berkurangnya jumlah vegetasi yang berfungsi
sebagai penahan radiasi matahari sekaligus menyerap karbondioksida. Tingginya
suhu udara di pusat kota yang berbeda jauh dibandingkan dengan suhu udara di
pinggiran kota, dikatakan sebagai “urban heat island”.
Menurut dokumen OECD (2012), bahwa di negara berkembang (termasuk Indonesia)
diperkirakan tahun 2050 sekitar 3.5 juta anak beresiko meninggal akibat polusi di
ruang luar, kemudian sekitar 2.2 juta anak resiko meninggal akibat polusi udara
dalam ruangan. Bahkan penyakit malaria tetap mengancam kematian anak akibat
terganggunya ekosistim.
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
5
Meskipun saat ini kontribusi emisi gas rumah kaca dari negara berkembang, masih
dibawah dari negara maju, namun apabila negara berkembang tetap menerapkan
model pembangunan konvensional (non green concept), maka negara – negara
tersebut tetap mendorong laju peningkatan emisi gas rumah kaca, karena akibat
sebagai pertumbuhan ekonomi, industry serta pemakaian sumber daya alam
konvensional.
Gambar.1.
Prosentase rata-rata peningkatan emisi gas karbon beberapa negara 1997-2005 (Sangkertadi, 2010)
Apa Saja Yang Termasuk Dalam Green Development ?
Dalam rangka menghadapi masa depan yang harus berkelanjutan, kini sudah ramai
dibicarakan, disiapkan dan disediakan berbagai kerangka rencana dan aksi
pembangunan yang berbasis green development, seperti yang kita kenal dengan
istilah-istilah Green Building, Green Industry, Green Economy, Green City bahkan
sampai pada Green Behavior serta Green Growth.
Rata-rata Peningkatan Emisi Karbon Setiap Tahun
(1997 - 2005)
-2.00%
0.00%
2.00%
4.00%
6.00%
8.00%
10.00%
12.00%
14.00%
Amerika Serikat
Cina
Rusia
Jepang
Jerman
Indonesia
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
6
Tabel.1.
Konversi emisi CO2 dari beberapa kegiatan dan produk
Green Building.
Kehadiran Green Building ditengah tengah proses pembangunan, merupakan
jawaban sektor konstruksi yang turut berperan mereduksi emisi gas rumah kaca.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa sector bangunan dapat menyumbangkan
emisi gas rumah kaca sampai 40%, karena itu, kehadiran Green Building merupakan
jawabannya.
Green Building adalah konsep konstruksi bangunan yang menerapkan filosofi “green”
dari sejak tahap perencanaan sampai operasionalnya. Di AS yang pertama kali
menerbitkan metode LEED pada tahun 1994 yaitu suatu cara atau alat ukur (tool)
untuk membantu menentukan apakah suatu bangunan tergolong berkategori green
atau tidak. Melalui metode LEED (Leadership in Energy and Environmental Design),
dicapai suatu kriteria desain dan konstruksi bangunan hijau kedalam sertifikasi jenis
green yang ”silver”, ”gold”, atau ”platinum”, atau tidak green sama sekali. Prinsip
penilaian mengandung 8 komponen yaitu:
Produk / Kegiatan Satuan Kg ekivalen CO2
Listrik (interkoneksi dengan dominan PLTA) kWh 0.54
Elpiji (LPG) Liter 1.5
Bensin (kendaraan) Liter 2.33
Solar (kendaraan) Liter 2.67
Batubara kg 2.34
Listrik PLTU (Batubara) kWh 0.97
Air m3 0.3
Minyak Bakar liter 3
Limbah Karton & Kertas kg 1.5
Limbah Plastik kg 2
Limbah Aluminium Foils kg 10
Limbah Tekstil kg 8
Sampah Taman kg 1
Limbah dapur kg 4.5
Aneka Limbah padat rumah tangga kg 1.5
Pembuatan Batu Bata Tanah Liat kg 0.19
Pembuatan Semen kg 0.97
Pembuatan/ Pengolahan/ Pemotongan Besi kg 0.352
Pembuatan Gypsum kg 0.22
Pembuatan PVC kg 4.35
Pembuatan Lembar Aluminium kg 6.2
Pembuatan Kaca kg 1.73
Pembuatan Stainless Steel kg 5.4
Pupuk Fosfat kg 4.1
Pestisida kg 26
Daging Sapi/ Domba kg 36.4
Pernafasan Manusia kerja santai org/hari 2.4
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
7
1) aspek lokasi dan perencanaan;
2) kesinambungan lingkungan tapak;
3) efisiensi pemakaian air;
4) tentang energi dan lingkungan udara;
5) material dan sumber-sumber daya;
6) kualitas udara lingkungan dalam;
7) inovasi dan proses perancangan dan
8) keterkaitan dengan konteks prioritas pembangunan daerah.
Di Indonesia, perangkat penilaian untuk sertifikasi bangunan hijau yang dinamakan
”Greenship”, baru diluncurkan tahun 2010 oleh Green Building Council Indonesia
(didirikan 2009), yang juga bagian dari World Green Building Council.
Secara umum definisi bangunan hijau menurut Office of the Federal Environmental
Executive ,AS (1994), secara praktis adalah bangunan yang:
1) meningkatkan efisiensi bangunan dan lahannya terhadap penggunaan enerji,
air, dan bahan, dan
2) mengurangi dampak negative terhadap kesehatan, lingkungan melalui
penataan tapak, desain, konstruksi, operasional, pemeliharaan serta akibat
produk limbahnya.
Sepadan dengan pengertian menurut GBCI (Green Building Council Indonesia,
2010), bahwa bangunan hijau (green building) adalah bangnan baru yang
direncanakan dan dilaksanakan atau bangunan sudah terbangun yang dioperasikan
dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan/ekosistem dan memenuhi kinerja:
1) bijak guna lahan,
2) hemat air,
3) hemat energi,
4) hemat bahan kurangi limbah,
5) kualitas udara dalam ruangan.
6) tata kelola lingkungan
Adapun pengertian menurut India Green Building Council, bahwa bangunan hijau
harus hemat air, efisiensi energi, mengkonservasi sumberdaya alam, mengurangi
limbah, memberikan ruangan lebih sehat dibandingkan dengan bangunan
konvensional. Namun secara lebih teknis, bahwa suatu bangun arsitektur dikatakan
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
8
tergolong dalam klasifikasi arsitektur atau bangunan hijau secara “terukur” apabila
memiliki kapasitas atau kinerja “terukur” yakni untuk meminimalkan produksi ekivalen
CO2, baik ditinjau dari segi desain, saat pelaksanaan konstruksi maupun saat
beroperasi. Pada saat beroperasinya bangunan, indikator konsumsi energi listrik
dalam satuan kWh dikonversikan kedalam produk kg CO2, yang semakin hemat
energi listrik maka semakin baik kontribusinya untuk turut meredam peningkatan
pemanasan global, dan menyumbangkan suatu nilai tertentu dalam proses
kuantifikasi suatu bangunan agar termasuk dalam kualifikasi “bangunan hijau”
dengan rating atau star tertentu.
Negara-negara didunia telah menerbitkan berbagai perangkat ukur/ tools (Tabel.2)
untuk menetapkan apakah suatu bangunan tergolong dalam tipe bangunan hijau.
Tindakan tersebut merupakan bentuk kepedulian terhadap berbagai kesepakatan
internasional mengenai perlindungan lingkungan hidup dan mekanisme
pembangunan berkelanjutan. Dalam dokumen WBGC (World Green Bulding
Councils, 2012) sampai saat ini tercatat sebanyak 92 negara di dunia sudah
mendeklarasikan adanya tool atau metode untuk menghasilkan tipologi Green
Building. Ini berarti sudah hampir mayoritas negara di dunia menyatakan terlibat aktif
dalam upaya bersama-sama menerapkan konsep green development melalui green
building mechanism. Perosalannya, adalah apakah tool atau metode tersebut sudah
diketahui dan sudah diterapkan secara masal dan terkendali baik?. Sebagian besar
dari tool tersebut sifatnya masih terbatas hanya untuk tipologi konstruksi bangunan
tertentu, apakah hanya untuk tipe gedung bertingkat tinggi, atau hanya untuk tipe
gedung perkantoran, dll. Sehingga mesikupun tool sudah ada dihadapan para
pelaksana konstruksi namun, masih diperlukan tindakan yang arif bagi pelaksana
konstruksi untuk mencoba menterjemahkan tool tersebut agar dapat dipakai untuk
tipologi konstruksi bangunan yang lebih meluas. Diyakini bahwa suatu bangunan
yang menerapkan konsep Green Building, maka dalam tahap operasionalnya akan
lebih menguntungkan secara finansial dan dari segi kenyamanannya yakni dampak
dari penerapan kriteria efisiensi energy, indoor comfort, indoor health dalam proses
perencanaan Green Building.
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
9
Tabel.2. Tools untuk merating Green Building
No Nama Metode/ Tools Negara
1 Green Star Australia
2 LEED Canada & GRIHA Canada
3 DGNB Certification System Jerman
4 IGBC Rating System & LEED India India
5 CASBEE Jepang
6 Green Star NZ Selandia Baru
7 Green Star SA Afrika Selatan
8 BREEAM Inggris Raya
9 LEED Green Building Rating System USA
10 Greenship Indonesia
11 LEED Brasil/ AQUA Brasil
12 GBS / Green Building System Korea Selatan
13 GB Evaluation standard for Green Building Cina
14 PromisE Finlandia
16 Care & Bio, Chantier Carbone, HQE Perancis
17 HKBEAM Hongkong
18 VERDE Spanyol
19 SI-5281 Israel
20 Protocollo Itaca Italia
21 CMES Meksiko
22 BREEAM Netherlands Belanda
23 LiderA Protugal
24 Green Mark & CONQUAS Singapura
25 Minergie Swiss
26 Pearls Rating System Uni Emirat Arab
27 EEWH Taiwan
28 BERDE Philippines
29 GBI (Green Building Index) Malaysia
.... dll Dll
.... dll dll
Sumber: Sangkertadi (2010)
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
10
Green Industry
Definisi sederhana oleh UNIDO (United Nations Industrial Development Organization,
2012), bahwa Industri Hijau adalah industri produksi dan industri pembangunan yang
hadir dengan tidak mengorbankan kebersihan sistem alami atau tidak mengakibatkan
kerugian bagi kesehatan manusia. Industri Hijau ditujukan sebagai pengarah untuk
memberi pertimbangan lingkungan, iklim dan sosial ke dalam operasi perusahaan.
'Industri Hijau' diantaranya mengubah proses industri manufaktur dan sub sektor
industri lainnya dengan memperkenalkan metode penggunaan bahan baku agar lebih
efisien / produktif dan agar sector industry dapat berkontribusi lebih efektif untuk
pengembangan industri berkelanjutan. Industri hijau dengan demikian merupakan
sector strategis untuk mewujudkan ekonomi Hijau, menuju tercapainya
pembangunan berkelanjutan. Sejumlah industry sudah mengklaim dirinya
memproduksi hasil yang dinyatakan green, misalnya industri semen, baja, partisi,
pipa, dll. Mereka mengklaim bahwa dalam proses produksinya, telah diterapkan
teknologi yang mampu mereduksi emisi karbon, ramah lingkungan, dan hasil
produknya dinyatakan aman ditinjau dari berbagai aspek, seperti aspek kesehatan
dan keamanan. Para pelaku industry tersebut, perlu mengungkapkan bahwa
produknya adalah berkategori green, karena diharapkan apabila di pakai untuk suatu
produk pembangunan, maka hasilnya akan dapat dikategorikan green juga. Demikian
luasnya pemahaman industry di masa kontemporer ini, sedemikian hingga hal
mengenai transportasi, yang mengarah pada “Green Transportation”, adalah juga
dianggap bagian dari Green Industry. Green Transportation tentu saja suatu tatanan
transportasi yang bercirikan penggunaan bahan bakar terbarukan, efisiensi bahan
bakar, ramah lngkungan, aman dan nyaman.
Green City
Pada Tahun 2005, di San Fransisco, California saat World Environment Day,
dideklarasikan Green Cities: “Plan for the Planet “ dimana saat itu juga
dirumuskan Urban Environmental Accord yang berupa rencana aksi (action plan)
sebanyak 21 butir, dalam rangka menuju klasifikasi Green City. Rumusan 21
tindakan (Actions) tersebut, tersebar pada 7 sasaran sektor perkotaan untuk
mencapai Kota yang Berkesinambungan, Sehat, Nyaman, dan terjaganya Ekosistim.
Adapun sasaran tersebut meliputi:
1) Energi
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
11
2) Pengurangan Limbah
3) Urban Desain
4) Perlindungan Alam Urban
5) Transportasi
6) Kesehatan Lingkungan
7) Manajemen Penggunaan Air
Kesepakatannya bahwa pada periode 2005 hingga Tahun 2012 ini actions tersebut
sudah dijalankan secara terukur oleh kota-kota di dunia. Namun kenyataanya justru
sebagian besar negara-negara didunia baru memulai menerapkan kaidah menuju
Green City melalui berbagai cara, seperti penerapan aturan-aturan penataan ruang,
perijinan bangunan, dll. Ternyata untuk menerapkan secara terukur terhadap actions
tersebut, tidak dapat serta merta, karena harus didukung oleh berbagai bentuk
pengaturan lainnya, karena hal tersebut sudah menyangkut harkat masyarakat
banyak. Berbagai pihak penghuni kota mesti bersama-sama diajak bicara, diskusi,
untuk sama-sama menerapkan actions menuju green city tersebut. Melalui
penerapan konsep Green City, maka kota akan menjadi kota hidrologis, kota
bioklimatik, kota produktif, kota transit dan sebagai kota hunian yang nyaman dan
sehat.
Green Growth
Sebuah dokumen dari OECD 2012, mengangkat definisi Green Growth, sebagai
suatu cara pandang terintegratif yang Green terhadap kebijakan ekonomi dan
pembangunan berkelanjutan. Konsep pertumbuhan hijau, menyangkut dua kunci
penekanan yang teritegrasi: pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan untuk
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, dan pengelolaan
lingkungan yang lebih efisien yang diperlukan untuk mengatasi kelangkaan sumber
daya dan perubahan iklim. Jadi Green Growth adalah suatu model pertumbuhan
ekonomi yang terjadi berkat dukungan model pembangunan hijau dan berorientasi
pada tujuan tercapainya pembangunan berkelanjutan.
Negara-negara berkembang adalah kunci untuk mencapai pertumbuhan hijau skala
dunia (global) karena dua alasan utama. Pertama, dampak social ekonomi dan
potensi degradasi lingkungan adalah sangat penting bagi negara-negara
berkembang. Negara berkembang dianggap yang paling rentan terhadap perubahan
iklim dan cenderung lebih tergantung dari negara maju pada eksploitasi sumber daya
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
12
alam untuk pertumbuhan ekonomi. Sebagai tambahan banyak negara berkembang
menghadapi ancaman ekonomi, sosial dan ekologi yang parah dari ketidakamanan
energi, pangan dan air untuk menghadapi perubahan iklim dan risiko cuaca yang
ekstrim. Karena itu, maka focus Green Growth di utamakan pada kelompok Negara
Berkembang. Kini konsep pertumbuhan hijau telah muncul sebagai pendekatan baru
untuk membingkai ulang model pertumbuhan ekonomi secara konvensional dan
dapat dipakai untuk menilai ulang sejumlah keputusan investasi. OECD
mendefinisikan pertumbuhan hijau sebagai sarana untuk mendorong pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi sambil memastikan bahwa aset alam tetap mampu
menyediakan sumber daya dan layanan lingkungan di mana kesejahteraan kita
bergantung.
Green Economy
Satu lagi yang sedang marak diperbincangkan adalah istilah Green Economy, yang
definisinya sendiri sulit untuk dirumuskan secara spesifik. Karena, bagaimanapun,
ekonomi tidak berdiri sendiri, namun meliputi sector-sektor industry, perdagangan,
konstruksi, transportasi dll. Disampaikan oleh S Sudomo (2010) bahwa definisi
ekonomi hijau juga tidak mudah diungkapkan secara spesifik, namun dapat dilihat
dari ciri-cirinya dan pemahaman yang membedakannya dengan ekonomi
konvensional. Misalnya, bahwa Ilmu ekonomi hijau memperlebar lingkaran
kepeduliannya melampaui spesies manusia demi memperhatikan sistem planet Bumi
secara keseluruhan dengan semua ekologi dan spesies yang beragam. Selain itu
juga diungkapkan oleh Sudomo S (2010) beberapa ciri ekonomi hijau yang antara
lain bahwa ekonomi hijau akan menggantikan bahan bakar fosil dan sistem pertanian
intensif dengan pertanian organik, dan berbagai sistem seperti pertanian dengan
dukungan komunitas, dimana manusia terhubung lebih dekat dengan sumber
pangannya, selain bahwa suatu ekonomi hijau merupakan ekonomi berbasis lokal.
Mencermati tulisan Sudomo S tersebut, dan juga memperhatikan pemahaman green-
green yang lain, maka semestinya terdapat mata rantai yang terpadu dalam satu
kesatuan sistim “Green Development”, dimana terdapat hubungan linier dan interaksi
dimulai dari Green Behavior sampai pada Green Growth menuju tercapainya
Sustainibility (Gambar 2)
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
13
Gambar.2. Mata Rantai Green Development Tantangan Kesiapan Sektor Konstruksi Dalam masa kontemporer ini, dimana perihal efisiensi dan efektifitas dari suatu
program kegiatan menjadi perhatian utama berkat kemajuan teknologi, maka
siapapun yang ingin memenangkan suatu persaingan, tentu saja harus memiliki
kapasitas sebagai kompetitor yang mengandalkan kreasi menarik serta inovatif.
Kini semua sektor sudah secara massif mendengungkan berbagai anjuran efisiensi
dalam berbagai segi seperti energy, material dan finansial, namun apabila kita
hendak bertindak lebih dari itu, maka tindakan berdasar kreatifitas dan inovasilah
yang akan membantu mendudukkan kita pada posisi yang lebih “terhormat”.
Dalam sector konstruksi, sendi-sendi efisiensi adalah bagian yang sudah lajim dan
biasa dilakukan oleh para actor bidang konstruksi. Bahkan kreatifitas dan inovasi
mungkin sudah dilaksanakan juga oleh sejumlah kalangan tersebut. Nah, hal
teraktual yang kini juga menarik perhatian dunia, adalah yang dinamakan dengan
“sustainaibility” atau “keberlanjutan”. Artinya suatu tindakan yang sebelumnya
dianggap kreatif, efisiens dan inovatif belumlah cukup. Karena masih harus diberi
Green Growth
Green Industry
Green City
Green Building
Green Economy
Green Behavior
Planet
Sustainibility
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
14
tambahan nilai-nilai “keberlanjutan” dalam rangka menyelamatkan dunia dari
ancaman laju kerusakan yang mengkhawatirkan. Disinilah pentingnya peran sector
konstruksi yang menjadi bagian dari masyarakat dunia, tidak saja mengandalkan
kapasitas dalam hal efisiensi kinerja dan inovasi, namun juga perlu melaksakan
aktifitas berbasis pada nilai-nilai “keberlanjutan”, yang diantaranya ada suatu model
kegiatan konstruksi yang “ramah lingkungan”. Disini terkandung makna konstruksi
hijau, efisiensi energy, efisiensi bahan, dan bebagai istilah yang sering kita dengar
dalam berbagai forum mengenai pembangunan ramah lingkungan.
Dari sejumlah tools atau metode untuk menilai green atau tidaknya suatu konstruksi
bangunan, pada dasarnya mengandung sejumlah pemikiran yang sama, meliputi
perhatian pada aspek pra konstruksi yang bahkan bisa pada aspek pasca konstruksi
(Sangkertadi, 2010). Berikut ini diangkat suatu Best Practices peranan sektor
konstruksi dalam keikutsertaan menuju Indonesia Hijau, khususnya lewat penerapan
konsep green building.
Best Practices
Orientasi Green Building Pada Tahap Perencanaan (Pra Konstruksi)
a. pemilihan tapak dengan prioritas untuk pemilihan lokasi bangunan hijau
adalah yang terjangkau dengan sistim transportasi wilayah/kota, dilengkapi
dengan sarana dan prasarana kota, tidak membutuhkan pengolahan site yang
cukup berat, agar dapat menghemat pemakaian enerji transportasi
(pergerakan kendaraan dari lokasi site ke tempat lain, dll)
b. desain tata ruang dalam yang mengutamakan aspek kenyamanan sirkulasi
(hubungan ruang yang efektif), tidak menyebabkan kelelahan penghuni yang
dapat berakibat peningkatan CO2 dari pernafasan, kenyamanan dan
kesehatan dalam ruang.
c. desain taman, ruang hijau dengan KDH (Koefisien Dasar Hijau) yang minimal
mengikuti aturan tata ruang wilayah, serta memberi lokasi bagi penanaman
pohon peneduh untuk membantu penangkapan CO2, dan memberi peluang
yang memadai bagi serapan air permukaan.
d. desain struktur dan material, yakni menggunakan bahan hasil produksi jenis
”industri hijau”, yaitu bahan yang diproduksi dengan teknologi hijau yang
dibuktikan dengan suatu sertifikat tertentu (pemakaian bahan bangunan dapat
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
15
menyumbangkan sampai sekitar 15 – 20% dari total enerji gedung
dikarenakan ”embodied energy”); diutamakan pemakaian bahan yang
mendukung penghematan enerji operasional bangunan, misalnya bahan
dengan nilai sifat termal tertentu yang mendukung OTTV (Overall Transfer
Transmission Value) agar tidak lebih dari 45 watt/m2 (standar SNI)
e. desain utilitas berorientasi hemat enerji namun tidak mengorbankan
kenyamanan dan keamanan (enerji listrik penghawaan, penerangan), serta
sistim perpipaan yang tidak beresiko menimbulkan kemudahan kebocoran dan
hambatan aliran fluida (hemat air).
Orientasi Green Building Pada Tahap Pelaksanaan Pembangunan (Konstruksi)
a. penerapan sistim manajemen konstruksi untuk mendapatkan penghematan-
penghematan dari segi enerji, bahan, waktu dan keuangan
b. efisiensi pengangkutan material, diperhitungkan kapasitas angkut, dan jarak
asal bahan dengan pemakaian BBM dari kendaraan pengangkut.
c. memenuhi saran perencanaan green building, seperti penggunaan material
yang ramah lingkungan, berorientasi green material
d. efisiensi pemakaian air saat pelaksanaan konstruksi dan menerapkan
minimum limbah bahan bangunan, serta pemanfaatan kembali terhadap
limbah tersebut.
e. mengurangi proses pembakaran di lokasi pembangunan
Orientasi Green Building Pada Tahap Operasional dan Pemeliharaan Bangunan
a. terbuka peluang kemudahan penggantian material berusia tua dengan
material baru yang memiliki nilai material hijau atau berasal dari industri hijau,
termasuk penggantian lampu yang sudah mengalami penurunan efisiensinya.
b. senantiasa diadakan pemeriksaan terhadap kejadian kebocoran pipa, resiko
kebakaran (arus pendek, pipa gas, dll)
c. terbuka peluang memantau pemakaian enerji listrik dan air (meter listrik dan
air, pada posisi mudah dipantau)
d. terbuka peluang untuk pemeliharaan taman, dan penghijauan kembali
e. penggunaan kembali limbah yang masih dapat dimanfaatkan dalam skala
tertentu.
f. jaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan (debu, bau, sisa limbah, panas)
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
16
Orientasi Green Building Pada Tahap Perobohan/Penggantian Bangunan
a. penerapan sistim manajemen konstruksi untuk mendapatkan penghematan-
penghematan dari segi enerji, bahan, waktu dan keuangan saat kegiatan
perobohan dan desain kembali untuk fungsi tertentu
b. pengolahan kembali tanah agar berfungsi sebagai areal serapan air
permukaan dan lahan penghijauan
c. efisiensi pengangkutan material, diperhitungkan kapasitas angkut, dan jarak
asal bahan dengan pemakaian BBM dari kendaraan pengangkut ke lokasi
pembuangan
d. terbuka peluang penggunaan kembali terhadap sisa bahan yang masih layak
dipergunakan kembali dan tidak menimbulkan resiko keamanan dan
kesehatan pemakai.
Referensi .
1. ---------------------------------,2004, Sustainable Construction, Brief 2, DTI, UK
2. ---------------------------------,2012, Green Growth and Developing Countries. A Summary for Policy Makers, OECD, June 2012
3. Duran S, Fajardo J, 2010, The Sourcebook of Contemporary Green Architecture, Collins Design, NY
4. Mueller S, :Clean Energy”, 2008, dalam FuturArc Green Issue 2008, volume 10.
5. Naeem Irfan, Adnan Zahoor, Nadeemullah Khan, 2001, Minimising The Urban Heat Island Effect Through Lanscaping, NED Journal of Architecture and Planning, Vol One, Nov. 2001.
6. Wittman S, Architects Commitment Regarding Energy Efficient/ Ecological Architecture, Architectural Science Review, Vol. 41.No.2, June 1998.
7. Sadourny R, 1994, Le Climat de La Terre, Dominos Flammarion, Paris.
8. Sangkertadi, 2010, Peran Arsitektur Hijau dalam Mekanisme Pembangunan Bersih melalui upaya pengurangan emisi gass karbon, Seminar Nasional Teknologi Ramah Lingkungan Institut Teknologi Nasional – Malang – 15 Juli 2010
9. Sangkertadi, 2010, Perlu Kontribusi Tata Ruang Terhadap Urban Environmental Accord, Menuju Green City 2012, MATERI PRESENTASI
SEMINAR NASIONAL BIMBINGAN TEKNIS PELAKSANAAN PENATAAN RUANG SULAWESI UTARA, Manado, 22 September 2010
10. Stang A, Hawthorne C, 2005, The Green House, New Directions in Sustainable Architecture, Princeton Architectural Press, NY
11. Soedomo S, 2010, Economi Hijau: Pendekatan Kultural, dan Teknologi, Materi Diskusi “KONSEP EKONOMI HIJAU/PEMBANGUNAN EKONOMI YANG BERKELANJUTAN UNTUK INDONESIA”, di Kantor BAPPENAS, Jakarta, Juli 2010
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
17
12. Stitt F A (editor), 1999, Ecological Design Handbook, Sustainable Strategies for Architecture, Landscape Architecture, Interior Design, and Planning. Mc Graw Hill, NY
13. Sugandhy A, Hakim R, 2007, Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan, Bumi Aksara, Jakarta.
14. Woolley T, Kimmins S, Green Building Handbook, Vol 2, E & FN Spon, UK LAMPIRAN : BEBERAPA CONTOH GAMBAR HASIL PEMBANGUNAN TIPE GREEN BUILDING DI DUNIA (sumber diantarnya dari Duran & Fajardo, 2010, dll)
SIEEB-SINO Building, Beijing, 2006
Metropole, Parasol, Seville, 2010
Unilever Headquarters For Germany, Austria,
And Switzerland, Hamburg, 2009
Masdar City Center, Abu Dhabi, 2014
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
18
Az Vub University Hospital of Brussels
Manchester Civil Justice Center, 2008
Bendigo Bank Headquarters, Victoria, Australia, 2008
Kantor Kementerian PU, Indonesia, Jakarta, 2012
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
19
Beberapa Contoh GREEN CITY :
Vancouver
Malmoe
Rekjavik
Portland - Oregon
Curtiba- Brazil
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
20
Copenhagen
San Fransisco-California
London
Bahía de Caráquez, Ecuador
Austin Texas
Sidney Australia
Barcelona-Spain
Kampala - Uganda
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012
21
Tentang Penulis
Prof.Dr.Ir.Sangkertadi, DEA, adalah Arsitek (ITS, 1985), S2 (DEA, Genie Civil et Science de la
Conception, INSA Lyon, France, 1990), S3 (Doctorat, Methode de Conception en Batiment et
Technique Urbaines, INSA de Lyon, France, 1994). Pemegang setifikat anggota IAI – Madya,
dan Greesnship Profesional. Ketua Program Studi Studi S2 Arsitektur pada Pascasarjana