Top Banner
TANTANGAN DAN PROSPEK PENDIDIKAN BAHASA ARAB DI INDONESIA Oleh Muhbib Abdul Wahab خص البحث: مللغةيم ال إن تعلية لغة صعبة أن العرب سيئة مفادها صورةها نشر بينحديات عدة، منة يواجه ت العربي جي. والحق أن التكنولوعلمي وواكبة التقدم ال عاجزة عن مم، وهي لغةتعل ال مواده شأن تعليميم العربية شأن تعلفية. فصعوبة العربية ليستجتماعية وثقا ية وا تربو امل نفسية و يتوقف على عدة عو أخرى راجعة إلى صعوبةاتهم عن دية معلومستها ومحدومين إلى درامتعل دوافع ال هي راجعة إلى ضعفت، وإنمالذالغوية با الدها مواميةستعليمية اهد اللمعامسلمين وا في واقع ال تأملنا أشبه ذلك. وإذاي، وماتعليم اللعربية، ومنهجها اأن مستقبل نتفاءل با أن حقن منيسيا، فإن بإندون نامها أنهرا، وذلك بشروط أهلعربية سيكون بالغة ايم ال تعللشبكاتمية، وتنمية اكادي استوى أعمالنا وترقية معلمي البحث ال روح تطوير نبذل جهودنا في أن بد منلعربية بإندونيسيا.لغة ايم النهوض بتعللمعنية بالطراف اونية مع التعا اKata Kunci: Tantangan, Prospek, Pendidikan Bahasa Arab, pengembangan epistemologi, kurikulum bahasa Arab. A. Prolog Sejauh ini belum ada hasil penelitian yang memastikan sejak kapan studi bahasa Arab di Indonesia mulai dirintis dan dikembangkan. Asumsi yang selama ini berkembang adalah bahwa bahasa Arab sudah mulai dikenal oleh bangsa Indonesia sejak Islam dikenal dan dianut oleh mayoritas bangsa kita. Jika Islam secara meluas telah dianut oleh masyarakat kita pada abad ke- 13, maka usia pendidikan bahasa Arab dipastikan sudah lebih dari 7 abad. Karena perjumpaan
20

Tantangan Dan Prospek Pendidikan Bahasa Arab

Sep 04, 2015

Download

Documents

wildi adila
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • KEPSORP NAD NAGNATNAT

    AISENODNI ID BARA ASAHAB NAKIDIDNEP

    bahaW ludbA bibhuM helO

    :

    .

    . .

    .

    ,igolometsipe nagnabmegnep ,barA asahaB nakididneP ,kepsorP ,nagnatnaT :icnuK ataK

    .barA asahab mulukiruk

    golorP .A

    id barA asahab iduts napak kajes nakitsamem gnay naitilenep lisah ada muleb ini huajeS

    awhab halada gnabmekreb ini amales gnay ismusA .nakgnabmekid nad sitnirid ialum aisenodnI

    helo tunaid nad lanekid malsI kajes aisenodnI asgnab helo lanekid ialum hadus barA asahab

    -ek daba adap atik takaraysam helo tunaid halet saulem araces malsI akiJ .atik asgnab satiroyam

    naapmujrep aneraK .daba 7 irad hibel hadus nakitsapid barA asahab nakididnep aisu akam ,31

  • umat Islam Indonesia dengan bahasa Arab itu paralel dengan perjumpaannya dengan Islam.

    Dengan demikian, bahasa Arab di Indonesia jauh lebih tua dan senior dibandingkan dengan

    bahasa asing lainnya, seperti: Belanda, Inggris, Portugal, Mandarin, dan Jepang.

    Namun demikian, jika dibandingkan dengan bahasa Inggris yang bercitra lebih baik,

    mengapa citra dan apresiasi masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduk Muslim yang

    merupakan komunitas Muslim terbesar di dunia-- terhadap bahasa Arab tampaknya kurang

    menggembirakan? Apakah posisi bahasa Arab sebagai bahasa kitab suci al-Quran dan sunnah

    Nabi Muhammad Saw. selama ini tidak cukup memberikan daya dorong (inspirasi dan motivasi)

    bagi umat Islam untuk mau mengkajinya secara lebih intens? Apakah studi basaha Arab di

    Indonesia hanya dipacu oleh semangat (motivasi) untuk memahami ajaran Islam semata, dan

    terbatas di kalangan kaum tradisional santri saja, sehingga studi bahasa Arab kurang

    mendapatkan momentum untuk berkembang sebagai sebuah disiplin ilmu dan menarik minat

    banyak kalangan? Dan jika bahasa Arab harus direfungsionalisasi, baik secara ilmiah-akademik

    maupun profesional-pragmatik, bagaimana hal ini dapat dilakukan?

    Sederetan pertanyaan reflektif tersebut menarik dikemukan karena selama ini kita sebagai

    pengkaji atau pendidik bahasa Arab tampaknya baru sekedar memposisikan bahasa Arab sebagai

    alat (waslah) untuk memahami teks keislaman yang berbahasa Arab-- dan belum

    memfungsikannya sebagai sebuah disiplin ilmu yang perlu dikembangkan melalui berbagai

    penelitian dan pembacaan kembali secara kritis. Pandangan kita terhadap bahasa Arab selama ini

    boleh jadi juga termakan oleh pendapat ulama masa lalu bahwa bahasa Arab itu utamanya

    nahwu dan sharaftelah matang dan terbakar[1], dalam arti bahwa ilmu ini sudah sudah tidak

    mungkin lagi dikembangkan dan diperbaharui. Betulkan demikian?

    Boleh jadi pertayaan tersebut ada benarnya, terutama jika dihubungkan dengan kesan

    sebagian besar orang bahwa bahasa Arab itu sulit (dipelajari, dipahami, dipraktikkan; tidak

    seperti misalnyabahasa Inggris atau Mandarin). Tingkat kesulitan dalam mempelajari bahasa

    Arab diduga kuat karena ilmu bahasa Arab itu sudah cukup matang, komplit dan sekaligus

    kompleks. Mitos apa yang sesungguhnya menghantui sulitnya mempelajari dan menguasai

    bahasa Arab?

  • Tulisan ini mencoba memberikan pemikiran ulang dan refleksi (rethinking and reflecting)

    mengenai tantangan dan prospek studi dan pendidikan bahasa Arab di Indonesia. Tantangan apa

    saja yang sesungguhnya dihadapi oleh para pegiat dan peminat studi bahasa Arab di Indonesia

    oleh dewasa ini? Bagaimana membuka peluang dan prospek yang menarik bagi peminat studi

    bahasa Arab di tengah persaingan global? Bagaimana pula lembaga pendidikan tinggi Islam,

    utamanya UIN dan IAIN, dapat mengembangkan epistemologi keilmuan bahasa Arab yang

    kokoh dan dinamis? Sikap, tradisi, dan etika akademis seperti apakah yang perlu dirumuskan

    untuk membangun keilmuan bahasa Arab sehingga dapat memberikan prospek cerah di masa

    depan?

    B. Realitas dan Orientasi Pendidikan Bahasa Arab

    Pendidikan bahasa Arab di Indonesia sudah diajarkan mulai dari TK (sebagian) hingga

    perguruan tinggi. Berbagai potret penyelenggaraan pendidikan bahasa Arab di lembaga-lembaga

    pendidikan Islam setidaknya menunjukkan adanya upaya serius untuk memajukan sistem dan

    mutunya. Secara teoritis, paling tidak ada empat orientasi pendidikan bahasa Arab sebagai

    berikut:

    1. Orientasi Religius, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami dan memahamkan

    ajaran Islam (fahm al-maqr). Orientasi ini dapat berupa belajar keterampilan pasif

    (mendengar dan membaca), dan dapat pula mempelajari keterampilan aktif (berbicara

    dan menulis).

    2. Orientasi Akademik, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami ilmu-ilmu dan

    keterampilan berbahasa Arab (istim, kalm, qirah, dan kitbah). Orientasi ini

    cenderung menempatkan bahasa Arab sebagai disiplin ilmu atau obyek studi yang harus

    dikuasai secara akademik. Orientasi ini biasanya identik dengan studi bahasa Arab di

    Jurusan Pendidikan bahasa Arab, Bahasa dan Sastra Arab, atau pada program

    Pascasarjana dan lembaga ilmiah lainnya.

    3. Orientasi Profesional/Praktis dan Pragmatis, yaitu belajar bahasa Arab untuk

    kepentingan profesi, praktis atau pragmatis, seperti mampu berkomunikasi lisan

  • (muhdatsah) dalam bahasa Arab untuk bisa menjadi TKI, diplomat, turis, misi dagang,

    atau untuk melanjutkan studi di salah satu negara Timur Tengah, dsb.

    4. Orientasi Ideologis dan Ekonomis, yaitu belajar bahasa Arab untuk memahami dan

    menggunaakan bahasa Arab sebagai media bagi kepentingan orientalisme, kapitalisme,

    imperialisme, dsb. Orientasi ini, antara lain, terlihat dari dibukanya beberapa lembaga

    kursus bahasa Arab di negara-negara Barat.[2]

    Pendidikan Bahasa Arab (PBA) di Indonesia relatif sudah tersebar di berbagai UIN,

    IAIN, STAIN, dan sebagian PTAI swasta seperti Universitas Islam Jakarta. Hanya saja, disiplin

    keilmuan ini masih tergolong miskin sumber daya manusia dan sumber-sumber studi

    (referensi). Sementara ini, yang tergolong memiliki SDM PBA cukup kuat adalah PBA FITK

    Jakarta (4 profesor, 4 doktor, dan 8 Magister). Menurut pengamatan penulis, yang agak

    memperihatinkan, terutama bagi PBA di luar UIN Jakarta yang masih miskin SDM, adalah

    bagaimana lembaga-lembaga itu mampu meningkatkan kualitas SDM dan memperkaya referensi

    sebagai basis pembelajaran, penelitian dan pengembangan ilmu-ilmu bahasa Arab.

    Dalam hal ketersediaan sumber belajar (buku, jurnal, koran Arab, media dan

    sebagainya), PBA UIN Jakarta reletif tertolong oleh keberadaan LIPIA (Lembaga Ilmu

    Pengetahuan Islam dan Arab) yang berafiliasi pada Universitas al-Imm Muhammad ibn Sad

    di Riydh. Lembaga ini tidak hanya mensuplay berbagai sumber belajar yang relatif memadai,

    melainkan juga membantu PBA memberikan native speaker dan koran-koran berbahasa Arab

    untuk PBA. Kalau saja LIPIA tidak ada atau jauh dari PBA UIN Jakarta, mungkin nasib PBA

    tidak jauh berbeda dengan PBA-PBA yang ada di luar Jakarta.

    Kurikulum PBA pada UIN, IAIN, dan STAIN tampaknya merupakan hasil ijtihad

    institusional masing-masing, bukan merupakan ijtihad struktural (baca: Depag RI). Sejauh ini

    belum pernah ada konsensus atau kesepakatan bersama mengenai pentingnya kerjasama atau

    networking antarPBA untuk merumuskan epistemologi, arah kebijakan, dan kurikulum PBA

    secara lebih luas dan komprehensif. Meskipun PBA FITK menjadi semacam lokomotif atau

    kiblat bagi PBA-PBA lainnya antara lain karena berada di pusat dan menjadi sasaran studi

    banding bagi PBA-PBA lainnyanamun tuntutan dan kebutuhan untuk memperbaharui

    kurikulumnya sudah semakin mendesak, karena perkembangan ilmu-ilmu bahasa Arab, sains,

    teknologi, dan sistem sosial budaya cukup pesat.

  • Dalam masyarakat dewasa ini mulai timbul keluhan atau kritik yang dialamatkan kepada

    dunia pendidikan tinggi Islam, termasuk PBA, bahwa lulusan PBA kurang memiliki kemandirian

    dan keterampilan berbahasa yang memadai, sehingga daya saing mereka rendah dibandingkan

    dengan alumni lembaga lain. Kelemahan daya saing ini perlu dibenahi dengan memberikan

    aneka keterampilan plus, seperti: keterampilan berbahasa Arab dan Inggris aktif (berbicara dan

    menulis)[3], keterampilan mengoperasikan berbagai aplikasi komputer, keterampilan meneliti,

    keterampilan manajerial, dan keterampilan sosial.

    C. Tantangan Pendidikan Bahasa Arab

    Bahasa Arab di negara-negara Timur Tengah, seperti: Arab Saudi, Mesir, Syria, Iraq,

    Yordania, Qatar, Kuait, dapat dibedakan menjadi dua ragam, yaitu Arab fushha dan Arab

    mmyah. Keduanya digunakan dalam realitas sosial dengan konteks dan nuansa yang berbeda.

    Bahasa Arab fushha digunakan dalam forum resmi (kenegaraan, ilmiah, akademik, jurnalistik,

    termasuk khutbah); sedangkan bahasa Arab mmiyah digunakan dalam komunikasi tidak resmi,

    intrapersonal, dan dalam interaksi sosial di berbagai tempat (rumah, pasar, kantor, bandara, dan

    sebagainya). Frekuensi dan tendensi penggunaan bahasa Arab mmiyah tampaknya lebih sering

    dan lebih luas, tidak hanya di kalangan masyarakat umum, melainkan juga kalangan masyarakat

    terpelajar dan pejabat (jika mereka berkomunikasi dengan sesamanya). Mereka baru

    menggunakan bahasa Arab fushha jika audien bukan dari kalangan mereka saja.

    Menurut Abd al-Shabr Syhn, pendidikan bahasa Arab dewasa ini dihadapkan pada

    berbagai tantangan yang serius. Pertama, akibat globalisasi, penggunaan bahasa Arab fushha di

    kalangan masyarakat Arab sendiri mulai berkurang frekuensi dan proporsinya, cenderung

    digantikan dengan bahasa Arab mmiyah atau dialek lokal (al-lahajt al-mahalliyah). Jika

    jumlah negera Arab berjumlah 22 negera, berarti paling tidak ada 22 ragam bahasa mmiyah.

    Hal ini belum termasuk dialek suku-suku dan kawasan-kawasan tertentu. Misalnya, dialek lokal

    Iskandaria (Alexandria) tidak sama dengan dialek Thantha, dan sebagainya.[4]

    Dewasa ini, terutama di kalangan generasi muda Arab, terdapat kecenderungan baru, yaitu

    munculnya fenomena al-fushamiyyah )(, campuran ragam fushha dan mmiyah. Gejala

  • ini merupakan tantangan serius bagi dunia pendidikan karena terjadi degramatisasi atau

    pengeleminasian beberapa gramatika (qawid). Kaedah-kaedah bahasa yang baku kurang

    diperhatikan, sementara pembelajaran qawid pada umumnya tidak efektif. Kultur fushamiyyah

    lebih dominan daripadi kultur akademik yang memegang teguh kaedah-kaedah berbahasa Arab.

    Bahkan di kalangan perguruan tinggi Mesir, termasuk di Fakultas Adab, sebagian besar

    dosennya banyak menggunakan ragam baru ini. [5]

    Kedua, masih menurut Syhn, realitas bahasa Arab dewasa ini juga dihadapkan pada

    tantangan globalisasi, tepatnya tanganan pola hidup dan kolonialisasi Barat, termasuk

    penyebarluasan bahasa Arab di dunia Islam. Kolonialisasi ini, jika memang tidak sampai

    menggatikan bahasa Arab, minimal dapat mengurasi prevalensi penggunaan minat belajar bahasa

    Arab di kalangan generasi muda.

    Ketiga, derasnya gelombang pendangkalan akidah, akhlak, dan penjauhan generasi muda

    Islam dari sumber-sumber ajaran Islam melalui pencitraan buruk terhadap bahasa Arab. Dalam

    waktu yang sama terjadi kampanye besar-besaran atas nama globalisasi untuk menyebarkan dan

    menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa yang paling kompatibel dengan kemajuan

    teknologi.[6]

    Fard al-Anshr menambahkan bahwa agenda neo-kolonialisasi globalisme (al-istimr al-

    awlam al-jadd) yang dilancarkan Barat terhadap dunia Islam dewasa ini memang

    dimaksudkan untuk membunuh karakter dan identitas budaya, terutama Arab. Hal ini, antara

    lain, dapat dilihat dari arogansi Amerika Serikat, baik menyangkut kebijakan politik luar

    negerinya maupun perilaku politiknya, terhadap dunia Islam, khususnya Timur Tengah. Negara

    Adidaya ini seringkali mencampuri urusan dalam negara-negara Islam, baik melalui intervensi

    langsung maupun melalui operasi agen-agen rahasianya yang terkenal lihai dan licin. Salah satu

    agenda yang diselundupkan ke dunia Arab adalah penghilangan atau pendangkalan identitas

    bahasa dan budaya Arab, marjinalisasi sumber-sumber ajaran Islam dari sistem pendidikan di

    dunia Islam, dan sekularisasi dalam berbagai aspek kehidupan.[7]

    Selain ada upaya penggantian huruf Arab dengan latin, bahasa Arab pada lembaga

    pendidikan di dunia Islam juga mulai digeser meskipun belum sampai digantikanoleh bahasa

    Inggris atau Perancis sebagai bahasa pengantar untuk pembelajaran sains. Berbagai siaran

  • langsung olah raga di dunia Arab, terutama sepakbola, yang disiarkan dari Barat (liga Inggris,

    Spanyol, Italia, Perancis, atau Belanda) sudah banyak menggunakan bahasa Inggris. Demikian

    pula, mata acara atau program tayangan televisi di dunia Arab juga sudah banyak dipengaruhi

    oleh gaya dan pola hidup Barat yang sekuler dan materialistik.[8] Akibatnya, minat dan motivasi

    untuk mempelajari bahasa Arab secara serius menjadi menurun.

    Semantara itu, di Indonesia, kita cenderung hanya mempelajari bahasa Arab fushha,

    dengan rasionalitas bahwa bahasa Arab fushha itu merupakan bahasa Al-Quran dan Al-Sunnah,

    karena tujuan utama studi bahasa Arab adalah untuk kepentingan memahami sumber-sumber

    ajaran Islam. Sebagian kalangan boleh jadi karena ketidaktahuan bahasa Arab mmiyah

    cenderung anti bahasa Arab mmiyah, karena mempelajari bahasa Arab pasaran itu dapat

    merusak bahasa Arab fushha. Betulkah demikian?

    Menurut penulis, anggapan itu tidak sepenuhnya benar, karena dalam kenyataannya,

    masyarakat Arab yang terpelajar pun tetap menggunakan dua ragam bahasa Arab tersebut secara

    proporsional, sesuai dengan situasi dan kondisi. Banyak para guru atau dosen di perguruan tinggi

    di Mesir, Arab Saudi, Syria, dan lainnya tetap fasih berbahasa fushha, meskipun dalam pergaulan

    keseharian dengan sesamanya lebih cenderung menggunakan mmiyah. Yang hendak

    ditegaskan di sini adalah bahwa studi bahasa Arab diperguruan tinggi Islam di Indonesia perlu

    dikembangkan tidak hanya berorientasi penguasaan bahasa Arab fushha semata, melainkan juga

    bahasa Arab mmiyah perlu mendapat ruang dan waktu (porsi), meski hanya sekedar

    pengenalan dialek, agar para mahasiswa juga mampu berkomunikasi secara alami dan efektif

    dengan penutur bahasa Arab dalam situasi formal maupun informal.

    Tudingan sementara pihak bahwa upaya mengganti bahasa Arab fushha dengan

    mmiyah merupakan usaha kaum orientalis agar umat Islam menjauhi atau tidak dapat

    memahami al-Quran dengan baik juga tidak sepenuhnya benar. Sebab, bagaimana mungkin

    orientalis Barat mendiktekan kemauan mereka untuk berbahasa Arab mmiyah,

    sedangkan mereka sendiri (para orientalis) secara akademis mempelajari bahasa Arab fushha

    sebelum mengkaji budaya dan peradaban Timur (Islam)? Bahasa Arab fushha akan tetap lestari

    meskipun orang-orang Arab sendiri lebih suka berbahasa Arab mmiyah. Kecenderungan

    berbahasa Arab mmiyah tampaknya lebih didasari oleh kepentingan dan tujuan pragmatis, yaitu:

    komunikasi lisan yang lebih mengutamakan aspek kepraktisan, simpel, dan cepat. Namun

  • demikian, maraknya penggunaan bahasa Arab mmiyah tetap merupakan sebuah tantangan yang

    dapat mengancam atau setidak-tidaknya mengurangi mutu kefashihan bagi orang atau bangsa

    Arab pada umumnya.[9]

    Selain itu, studi bahasa Arab di lembaga pendidikan kita juga mengalami disori- entasi:

    tidak jelas arah dan tujuannya. Hal ini, antara lain, terlihat pada struktur program kurikulum PBA

    yang bermuatan beberapa mata kuliah yang tampaknya tidak semuanya revelan dengan visi dan

    misi PBA. Mata kuliah seperti: Nushsh Adabiyyah dan ilm al-Ardh (Metrics) agaknya sudah

    tidak revelan dengan kebutuhan riil mahasiswa maupun kebutuhan pasar. Selain itu, antara satu

    mata kuliah dengan lainnya terkesan kurang saling melengkapi dan memperkuat basis dan

    kerangka keilmuan. Sebagai contoh kasus, ketika membelajarkan insy (composition), penulis

    masih banyak disibukkan dengan urusan pembenahan dan pembekalan kaedah-kaedah nahwu

    dan sharaf, di samping penguatan pola berpikir logis. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran

    nahwu dan sharaf belum mampu menuntaskan persoalan-persoalan yang seharusnya dipecahkan

    dalam perkuliahan itu. Pada saat yang sama, fakta ini juga menunjukkan bahwa para mahasiswa

    belum banyak menerima latihan (tadrbt nahwiyyah atau sharfiyyah) yang jika

    dikembangkansemestinya membuat mereka terlatih menyusun kalimat baku secara baik dan

    benar.

    Orientasi studi bahasa Arab pada lembaga pendidikan kita tampak masih mendua dan

    setengah-setengah: antara orientasi kemahiran, dan orientasi kailmuan. Keduanya memang perlu

    dikuasasi oleh mahasiswa, namun salah satu dari keduanya perlu dijadikan sebagai fokus: apakah

    bahasa Arab diposisikan sebagai studi keterampilan yang berorientasi kepada pemahiran

    mahasiswa dalam empat keterampilan bahasa secara mumpuni? Ataukah bahasa Arab

    diposisikan sebagai disiplin ilmu yang berorientasi kepada penguasaan tidak hanya kerangka

    epistemologinya, melainkan juga substansi dan metodologinya.

    Jika orientasi pertama yang dipilih, maka idealnya 70% mata kuliah di PBA bermuara

    pada pengembangan keterampilan: mendengar, berbicara, membaca, menulis, dan

    menerjemahkan. Sisanya, 30% untuk pengayaan materi keilmuan bahasa Arab, kefakultasan dan

    MKU (Mata Kuliah Umum/Universitas). Sebaliknya jika orientasi kedua yang dipilih, maka

    idealnya 70% mata kuliah di PBA bernuansa: ilm al-ashwt (fonologi), ilm al-sharf

  • (morfologi), ilm al-nahwi (sintaksis), ilm al-dillah (semantik), ilm al-mujam (leksikografi),

    metodologi penelitian bahasa Arab, linguistik terapan (lm al-lughah al-tathbq), sosiolinguistik

    (ilm al-lughah al-ijtim), psikolinguistik (ilm al-lughah al-nafs), linguistik teks (ilm lughat

    al-nashsh), sejarah dan filsafat bahasa Arab, dan sebagainya.[10]

    Selain itu, kebijakan pendidikan dan pengajaran bahasa Arab di madrasah dan lembaga

    pendidikan lainnya, selama ini, juga tidak menentu. Ketidakmenentuan ini dapat dilihat dari

    beberapa segi. Pertama, dari tujuan, terdapat kerancuan antara mempelajari bahasa Arab sebagai

    tujuan (menguasai kemahiran berbahasa) dan tujuan sebagai alat untuk menguasai pengetahuan

    yang lain yang menggunakan bahasa Arab (seperti mempelajari tafsir, fiqh, hadits, dan

    sebagainya). Kedua, dari segi jenis bahasa Arab yang dipelajari, apakah bahasa Arab klasik

    (fushha turts), bahasa Arab modern/kontemporer (fushha mushirah) atau bahasa Arab pasaran

    (mmiyyah). Ketiga, dari segi metode, tampaknya ada kegamangan antara mengikuti

    perkembangan dan mempertahankan metode lama. Dalam hal ini, bahasa Arab banyak diajarkan

    dengan menggunakan metode qawid wa tarjamah.[11]

    Tantangan lainnya yang juga tidak kalah pentingnya dalam pengembangan pendidikan

    bahasa Arab adalah rendahnya minat dan motivasi belajar serta kecenderungan sebagai pelajar

    atau mahasisiwa bahasa Arab untuk mengambil jalan yang serba instan tanpa menulis proses

    ketekunan dan kesungguhan. Hal ini terlihat dari karya-karya dalam bentuk makalah dan skripsi

    yang agaknya cenderung merosot atau kurang berbobot mutunya. Mahasiswa yang sudah berada

    di dunia PBA bahasa Arab seakan tidak betah dan ingin mencari dunia lain, sehingga ini

    perlu disurvei dan dibuktikan secara akademistidak sedikit yang mengeluh bahwa jurusan

    bahasa Arab itu sebetulnya bukan habitat mereka yang sesungguhnya.

    Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jamsuri Muhammad Syamsuddin dan Mahdi Masud

    terhadap 30 mahasiswa Ilmu Politik (Humaniora) pada International Islamic University

    Malaysia mengenai kesulitan belajar bahasa Arab menunjukkan bahwa penyebab kesulitan

    belajar bahasa Arab ternyata bukan sepenuhnya pada substansi atau materi bahasa Arab,

    melainkan pada ketiadaan minat (100%), tidak memiliki latar belakang belajar bahasa Arab

    (87%), materi/kurikulum perguruan tinggi (83%), kesulitan memahami materi bahasa Arab

    (57%), dan lingkungan kelas yang tidak kondusif (50%). Lebih dari itu, ditemukan bahwa 80%

  • penyebab kesulitan belajar bahasa Arab adalah faktor psikologis. 77% di antara mereka memiliki

    kesan negatif terhadap bahasa Arab; dan 33% herregristasi mata kuliah bahasa Arab dianggap

    mempengaruhi belajar bahasa Arab mereka di kampus.[12] Jadi, faktor penyebab kesulitan

    belajar bahasa Arab bukan sepenuhnya bersumber dari bahasa Arab itu sendiri (faktor internal

    sistem bahasa Arab), melainkan lebih disebabkan oleh faktor psikologis (minat, motivasi, tidak

    percaya diri), edukatif, dan sosial. Karena itu, pendekatan dan metode yang dipilih dalam

    pembelajaran bahasa Arab seharusnya mempertimbangkan faktor-faktor psikologis, edukatif, dan

    sosial kultural.

    Sumber-sumber dan literatur kebahasaaraban di lembaga pendidikan kita juga masih

    relatif kurang, jika tidak dikatakan terbatas. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh minimnya

    perhatian pimpinan fakultas dan universitas untuk mengembangkan pendidikan bahasa Arab; dan

    juga disebabkan oleh kurangnya hubungan lintas-universitas atau lembaga pendidikan dalam

    bentuk kerjasama ilmiah kita dengan perguruan tinggi di Timur Tengah, sehingga kita tidak

    banyak mendapat pasokan sumber-sumber dan hasil-hasil penelitian kebahasaaraban. Selain itu,

    penting juga ditegaskan, bahwa perhatian negara-negara Arab dalam bentuk penyediaan sumber

    belajar, termasuk referensi dan literatur yang memadai, untuk negara-negara berkembang seperti

    Indonesia, relatif masih kurang[13], jika dibandingkan dengan negara-negara Barat, seperti

    Amerika dengan Amcor (American Corner)-nya.

    D. Pengembangan Epistemologi dan Kurikulum Bahasa Arab

    Tantangan dan berbagai persoalan yang dihadapi pendidikan bahasa Arab tidak mungkin

    dapat dipecahkan secara personal, tetapi harus melalui pendekatan institusional dan melibatkan

    banyak pihak. Namun yang mendesak untuk kita diskusikan secara lebih mendalam adalah

    pengembangan epistemologi dan kurikulum bahasa Arab pada jurusan Pendidikan bahasa Arab.

    Yang dimaksud dengan pengembangan epistemologi bahasa Arab adalah pengokohan bangunan

    keilmuan bahasa Arab agar arah pengembangan pengkajian bahasa Arab lebih dinamis. Dari

    bangunan epistemologi inilah, struktur keilmuan dapat dikembangkan lebih jauh dalam

    kurikulum bahasa Arab. Berikut ini adalah beberapa pokok pikiran mengenai model

    pengembangan epistemologi dan kurikulum bahasa Arab.

  • Pertama, revitalisasi sinergi ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu lain yang mempunyai

    kedekatan bidang kajian, sehingga terjadi proses take and give (al-akhdz wa al-ath) seperti:

    ilm al-Nashsh (tekstologi)[14], ilm al-makhaththt (filologi)[15], ilm al-uslb[16] (stilistika)

    dan sebagainya. Dengan demikian, ilmu bahasa Arab tidak hanya menjadi basis studi, tetapi juga

    mempunyai jaringan keilmuan yang lebih luas dan multifungsi. Dalam konteks pengembangan

    kurikulum, pokok-pokok bahasan masing-masing ilmu (baca: mata kuliah) sebaiknya me

    Kedua, pengembangan cabang-cabang bahasa Arab menjadi ilmu mandiri, seperti: ilm

    al-tarjamah, ilm al-insy, ilm ushl al-nahwi, ilm al-Mujam (leksikografi) dan sebagainya,

    sehingga ilmu-ilmu ini tidak hanya sekedar suplemen, tetapi menjadi ilmu yang lebih

    substantif, sistematis, dan mendalam.[17] Seiring dengan semakin menguatnya basis dan tradisi

    keilmuan, jika memungkinkan di suatu saat nanti, PBA dapat membuka program studi atau

    peminatan: metodologi penelitian bahasa Arab tarjamaah Arab-Indonesia, metodologi

    pembelajaran bahasa Arab, pengembangan kurikulum bahasa Arab, teknologi pendidikan bahasa

    Arab, dan sebagainya.

    Ketiga, pembandingan, adaptasi, dan improvisasi ilmu bahasa Arab dengan bahasa

    Inggris dan Perancis yang saat ini lebih maju dan modern. Upaya ini sebetulnya sudah dilakukan,

    terutama dalam konteks pembagian metodologi pembelajaran bahasa Arab. Namun tokoh-tokoh

    pengembangnya relatif masih terbatas. Di antaranya adalah Kaml Ibrhm Badr, Muhammad

    Isml Shn, Rusyd Ahmad Thuaimah, Mahmd Kmil al-Nqah, Rusyd Khathir, Mahmud

    Fahm Hijazi, Tammm Hassn, dan Abduh al-Rajih.[18] Semua tokoh tersebut pernah

    mengenyam pendidikan tinggi di Barat, seperti Amerika, Perancis, Inggris, dan Jerman.

    Keempat, revitalisasi pendasaran dan pengaitan pengembangan penelitian bahasa Arab

    dengan nuansa Islam dan sumber utama ajaran Islam, yaitu: al-Quran dan al-Sunnah. Dewasa

    ini cukup marak dilakukan oleh para sarjana di perguruan tinggi Arab. Beberapa karya yang

    dapat disebut di sini, antara lain, adalah: al-Isytirk, al-Lafzh fi al-Qurn al-Karm Baina al-

    Nazhariyyah wa al-Tathbq, Al-Tarduf, fi al-Quran,Al-Karm, Baina al-Nazhariyyah, wa al-

    Thabq, Al-Tarduf, fi al-Qurn, al-Karm Baina al-Nazhariyyah wa Al-Tathbq, ketiganya

    karya Muhammad Nuruddn al-Munajjid (1999), al-Nahw al-Qurn: Qawid wa

    Syawhid karya Jaml Ahmad Dhafr (1998), dan al-Manhaj al-Islm fi al-Naqd al-Adab karya

    Sayyid Sayyid Abd al-Razzq (2001).

  • Kelima, penguatan penelitian dan pendidikan bahasa Arab melalui aplikasi dan

    improvisasi linguistik modern dan pengalaman positif di bidang pembelajaran bahasa dari Barat

    dengan tetap mempertahankan kekhususan atau karakteristik ilmu-ilmu bahasa Arab, baik

    fonologi, morfologi, sintaksis maupun semantiknya.[19] Upaya semacam ini, antara lain, terlihat

    dalam beberapa karya seperti: Dirsat Nahwiyyah wa Dilliyah wa Falsafiyyah fi Dhaui al-

    Lisniyyah al-Mushirah karya Mzin Al-War (2001), al-Dillah wa Al-Harakah: Dirsah li

    Afl Al-Harakah fi Al-Arabiyyah Al-Mushirah fi Ithr Al-Manhij al-Hadtsah dan al-

    Dilalah wa al-Kalm Dirsah li Afal Al-Harakah fi Al-Arabiyyah Al-Mushirah fi Ithr Al-

    Manhij al-Hadtsah keduanya karya Muhammad Muhammad Dwd (2002).

    E. Prospek Pendidikan Bahasa Arab

    Setiap tantangan pasti memberikan peluang dan prospek jika kita berusaha untuk

    menghadapi tantangan itu dengan berpikir positif (al-tafkr al-jb) dan bersikap penuh

    kesungguhan dan kearifan, termasuk tantangan yang kini dihadapi pendidikan bahasa Arab.

    Menurut penulis, ada beberapa prospek studi bahasa Arab di masa depan yang dapat diraih, jika

    para penggiat dan peminat studi bahasa Arab secara bersama-sama mau dan mampu

    menekuninya dan mengubah tantangan menjadi peluang.

    Pertama, peluang untuk pengembangan bahasa Arab semakin terbuka, karena seseorang

    yang menguasai bahasa Arab dapat dipastikan memiliki modal dasar untuk mendalami dan

    mengembangkan kajian Islam, atau setidak-tidaknya mengembangkan studi ilmu-ilmu keislaman

    seperti: fiqh, tafsir, hadits, sejarah Islam, filsafat Islam, dan sebagainya, dengan merevitalisasi

    penelusuran (eksplorasi) dan elaborasi sumber-sumber aslinya. Dengan kata lain, bahasa Arab

    dapat dijadikan sebagai alat dan modal hidup untuk mencari dan memperoleh yang lain di luar

    bahasa Arab, baik itu ilmu maupun keterampilan berkomunikasi lisan.

    Kedua, pengembangan profesi keguruan, yaitu: menjadi tenaga pengajar bahasa Arab

    yang profesional. Sebab yang mempunyai kompetensi dan kewenangan akademik dan

    profesional di MI/SD, MTs/SMP, dan MA/SMU atau lembaga pendidikan yang sederajat adalah

    lulusan Pendidikan Bahasa Arab, bukan lulusan BSA (Bahasa dan Sastra Arab) atau lainnya,

  • meskipun belakangan ini ada kecenderungan lulusan BSA mengambil Program Akta Mengajar

    (Akta IV) untuk memperoleh kompetensi dan kewenangan menjadi guru.

    Ketiga, penggiatan dan pembudayaan tradisi penelitian dan pengembangan metodologi

    pembelajaran bahasa Arab. Hal ini perlu dilakukan agar ilmu bahasa Arab dan metodologi

    pembelajarannya semakin berkembang dinamis dan maju. Melalui penggiatan penelitian, tentu

    saja, karya akademik dapat dihasilkan, dan pada gilirannya komunitas pendidikan bahasa Arab

    menjadi lebih tercerahkan. Oleh karena yang selama ini menjadi hambatan setidak-tidaknya

    kurang mengundang minat menelitiadalah rendahnya dana penelitian, maka dipandang penting

    pimpinan UIN mewajibkan setiapkan dosen untuk meneliti dan/atau menulis karya-karya

    akademik yang relevan dengan bidang keilmuannya. Kebijakan wajib meneliti ini, tentu saja,

    harus dibarengi dengan pemberian insentif (ujrah) yang memadai: membuat khusyu, tekun,

    dan menikmati proses penelitiannya.

    Keempat, intensifikasi penerjemahan karya-karya berbahasa Arab, baik mengenai

    keilmuan dan keislaman ke dalam bahasa Indonesia dan/atau sebaliknya. Profesi ini cukup

    menantang dan menjanjikan harapan, meskipun penerjemah relatif belum mendapat apresiasi

    yang sewajarnya. Menarik dicatat bahwa salah satu faktor yang mempercepat kemajuan

    peradaban Islam di masa klasik adalah adanya gerakan penerjemahan besar-besaran, terutama

    pada masa Hrn al-Rasyd (786-809 M) dan al-Mamn (786-833 M). Gerakan penerjemahan

    itu disosialisasikan dengan ditunjang oleh adanya pusat riset dan pendidikan seperti Bait al-

    Hikmah (Wisma Kebijaksanaan).

    Kelima, intensifikasi akses dan kerjasama dengan pihak luar, termasuk melalui

    Departemen Luar Negeri, agar pos-pos yang bernuansa atau berbasis bahasa Arab dapat diisi

    oleh lulusan PBA, yang meminati karir di bidang diplomasi dan politik. Jika program peminatan

    atau konsentrasi yang terkait dengan bahasa Arab dapat dikembangkan, makna peluang untuk

    memperoleh lapangan pekerjaan bagi alumni pendidikan bahasa Arab menjadi lebih terbuka dan

    kompetetif. Oleh karena itu, pembenahan internal, terutama penjaminan mutu akademik dan

    peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM (tenaga pendidik) yang mengabdikan diri pada

    Pendidikan Bahasa Arab mutlak harus didisiplinkan, baik dari segi keilmuan maupun

    kesejahteraan.

  • Keenam, pengembangan media dan teknologi pembelajaran bahasa Arab. Kita selama ini

    masih lemah atau belum mumpuni dalam menciptakan produk media dan teknologi, sehingga

    proses pembelajaran bahasa Arab di lembaga kita masih belum mendapat sentuhan modernitas

    yang bercirikan: mudah, cepat, tepat, dan efektif. Karena itu, tenaga yang menekuni bidang ini

    perlu dihasilkan atau dimiliki oleh Pendidikan Bahasa Arab. Dengan kata lain, kita perlu

    bermitra dan bersinergi dengan SDM yang memiliki kompetensi untuk mengembangkan

    teknologi pendidikan dan pembelajaran bahasa Arab yang modern. Dengan begitu, tampilan atau

    performansi pembelajaran bahasa Arab akan memiliki nilai tambah (added value) dan daya tarik

    tersendiri.

    Ketujuh, sudah saatnya Pendidikan Bahasa Arab melahirkan karya-karya akademik

    (hasil-hasil penelitian, teori-teori baru, buku, media, dan sebagainya) yang dapat memberikan

    pencerahan masyarakat. Lahan pemikiran pendidikan bahasa Arab sejauh ini belum tergarap

    dengan baik, sehingga dalam hal ini kita masih miskin produktivitas keilmuan. Menurut

    Mahmd Fahm Hijz, studi bahasa Arab masih terus memerlukan karya terutama di bidang

    pengembangan kosakata dan istilah-istilah modern, ensiklopedi, bank istilah sains dan teknologi,

    dan sebagainya, sehingga bahasa Arab tidak dianggap sebagai bahasa yang tidak mampu

    beradaptasi dengan perkembangan ilmu dan teknologi.[20]

    F. Epilog

    Dari uraian reflektif dan elaboratif di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak persoalan

    dan tantangan pendidikan bahasa Arab yang perlu dihadapi, disikapi, dan dicarikan solusinya

    secara akademik dan dalam batas-batas tertentusecara politik. Isu pencitraan buruk terhadap

    bahasa Arab, penggantian fushh dengan mmiyah, rendahnya minat dan motivasi sebagian

    peserta didik dalam belajar bahasa Arab seharusnya menyadarkan kita semua bahwa kita masih

    harus berpikir, bersikap, dan berdedikasi lebih optimal (dedicate more and more) untuk

    kemajuan pendidikan bahasa Arab di Indonesia.

    Tantangan internal maupun eksternal pendidikan bahasa Arab harus kita jadikan sebagai

    peluang yang dapat memberikan prospek yang lebih cerah dan menjanjikan bagi peminat dan

  • penggiat studi bahasa Arab di masa depan. Epistemologi keilmuan dan kurikulum perlu dibenahi

    dan diorientasikan kepada pembentukan kamahiran yang kompetitif di era global ini. Semua itu

    menuntut banyak pihak untuk bersinergi dalam menyatukan visi, misi, arah kebijakan dan

    pengembangan yang dilandasi oleh kajian akademik yang mendalam. Selama lembaga

    pendidikan Islam masih eksis, prospek pendidikan bahasa Arab tetap akan cerah dan menjadi

    daya tarik tersendiri.

    Persoalannya kemudian adalah bagaimana kita dapat membentuk tradisi keilmuan bahasa

    Arab yang dinamis, termasuk tradisi melakukan penelitian, dan upaya serius dari pemerintah

    (Depag maupun Diknas) untuk lebih peduli dan berkomitmen untuk memayungi kebijakan-

    kebijakan tentang pendidikan bahasa Arab di Indonesia yang lebih menguatkan posisi tawar

    bahasa Arab. Menarik ditegaskan, bahwa pemerintah Malaysia di bawah Perdana Menteri

    Abdullah Badawi menerbitkan kebijakan berupa pewajiban bagi semua lembaga pendidikan

    (Islam, Kristen, Budha, Konghucu, dsb.) untuk mengajarkan bahasa Arab pada tingkat dasar dan

    menengah, karena pemerintah menghendaki para lulusan lembaga pendidikannya itu mempunyai

    daya saing dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutal masyarakat global. Selain itu,

    penggunaan bahasa Arab pada bandara internasional Kuala Lumpur sebagai salah satu media

    informasi (di samping bahasa Inggris, Mandarin, dan Melayu), ternyata banyak mengundang

    mengundang minat wisatawan dan investori dari Timur Tengah, di samping membuka lapangan

    kerja bagi lulusan pendidikan bahasa Arab.

    Akhirnya, kita berharap pemerintah banyak belajar dari pengalaman negara yang sudah

    lebih maju (seperti Malaysia) dalam menerbitkan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan

    bahasa Arab. Jika setiap tahun kita memberangkatkan lebih dari 210 ribu jamaah haji ke Arab

    Saudi dan sekian banyak TKI ke negara-negara Timur Tengah, mengapa kita tidak banyak

    berusaha menarik minat wisatawan dan investor dari kawasan Timur Tengah? Jadi, pendidikan

    bahasa Arab akan semakin memberi prospek yang cerah dan mencerahkan jika kebijakan

    pemerintah dalam bidang ini lebih visioner.

    Daftar Pustaka

    rif, Abd al-Rahmn Hasan (Ed.), Tammm Hassn Ridan Lughawiyyan, Kairo: lam al-Kutub, Cet. I, 2002.

  • Inni, Muhammad, Fann al-Tarjamah, Kairo: al-Syarikah al-Mishriyyah al-lamiyyah, 1992.

    Abdul Wahab, Muhbib, Quo Vadis Pendidikan Bahasa Arab di Era Globalisasi, Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari BEMJ PBA FITK UIN Jakarta, 29 Mei 2006.

    Ab Zaid, Nashr Hmid, Mafhm al-Nashsh: Dirsat fi Ulm al-Qurn, Kairo: al-Haiah al-Mishriyyah al-mmah li al-Kitb, 1993.

    Anshr, Fard, Ishlh al-Talm wa Azmah al-Lughah al-Arabiyyah fi al-lam al-Islm, diakses dari Http//:www.albayan-magazine.com/Dialogues/12.htm, 20 Agustus 2007.

    Ansori, Imam, Menuju Kurikulum PSPBA yang Kompetitif di Era Global, dalam dalam Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan Nurbayan (Ed.), Seminar Internasional Bahasa Arab

    dan Sastra Islam: Kurikulum dan Perkembangannya, Bandung: UIN Bandung, 2007.

    al-Dakhl, Hamd ibn Nshir, Maqlt wa ra fi al-Lughah al-Arabiyyah, Riydh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 1994, Cet. IV..

    Emzir, Kebijakan Pemerintah tentang Pengajaran Bahasa Arab di Madrasah dan Sekolah Umum, dalam Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan Nurbayan (Ed.), Seminar Internasional Bahasa Arab dan Sastra Islam: Kurikulum dan Perkembangannya,

    Bandung: UIN Bandung, 2007.

    Hassn, Tammm, al-Lughah al-Arabiyyah: Manh wa Manh, Kairo: al-Haiah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitb, Cet. III, 1985.

    Hassn, Tammm, Ijtihdt Lughawiyyah, Kairo: lam al-Kutub, 2007. Hijz, Mahmd Fahm, al-Lughah al-Arabiyyah fi al-Ashr al-Hadts: Qadhy wa Musykilt,

    Kairo: Dr Qub, Cet. I, 1998.

    al-Jln, Ibrhm Badaw, Ilm al-Tarbiyah wa Fadhl al-Arabiyyah ala al-Lught, Kairo: al-Maktab al-Arabi li al-Marif, 2000.

    al-Khl, Amn, Manhij al-Tajdd fi al-Nahwi wa al-Balghah wa al-Tafsr wa al-Adab, Kairo:

    Dr al-Marif, Cet. I, 1961.

    Maktab, Nazr Muhammad, al-Fushha fi Muwjahat al-Tahaddiyt, Beirut: Dr al-Basyir al-Islmiyyah, 1991.

    Manshr ibn Shlih al-Ysuf, al-Lughah al-Arabiyyah wa Tahaddiyat al-Ashr, diakses dari http://www.suhuf.net.sa/2000jaz/dec/10/ar8.htm, 23 Oktober 2007.

    Muhammad al-Ddwi, Ilm al-Tarjamah Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbq, Tunis; Dr al-Marifah, 1992.

    Musadd, Abd al-Salm, al-Lughah al-Arabiyyah wa al-Tahaddiyt al-Jaddah, diakses dari http://www.alriyadh.com/2005/05/12/article, 30 Juni 2007.

  • Syhn, Abd al-Shabr, al-Tahaddiyt al-lati Tuwjihu al-Lughah al-Arabiyyah, dalam al-Tuwaijir (Ed.), al-Lughah al-Arabiyyah ila aina?, Rabth: Isesco, 2006.

    Syhn, Abd al-Shabr, al-Tahaddiyt al-lati Tuwjihu al-Lughah al-Arabiyyah, dalam http://www.isesco.org.ma/pub/arabic/Langue_arabe/p9.htm., 25 Juli 2007.

    Syamsuddin, Jamsuri Muhammad dan Mahdi Masud, Shubat Taallum al-Lughah al-Arabiyyah lada Thullb al-Ulm al-Insniyyah (Ilm al-Siysah) fi al-Jmiah al-Islmiyyah al-lamiyyah bi Malaysia, dalam Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan Nurbayan (Ed.), Seminar Internasional: Bahasa Arab dan Sastra Islam Kurikulum dan

    Perkembangannya, Bandung: UIN Bandung, 23-25 Agustus 2007.

    van Dijk, Teun A., Ilm al-Nashsh: Madkhal al-Mutadkhil al-Ikhtishsht, terj. dari Textwissenscaft, eine interdiziplinare Einfuhrung oleh Said Hasan Buhairi, Kairo: Dr al-

    Qhirah, 2002.

    Penulis adalah dosen dan Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Makalah ini sudah dimuat dalam Jurnal Afaq Arabiyyah, Vol. 2, No.

    1 Juni 2007: 1-18. Jurnal ini diterbitkan oleh Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu

    Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    [1]Ilmu bahasa Arab tradisional, oleh Amn al-Khl, dari segi potensi pengembangannya dikelompokkan

    menjadi tiga, yaitu: (1) ilm nadhaja wa ihtaraqa (ilmu yang sudah matang dan terbakar), seperti ilmu nahwu dan ilmu kalam (teologi), (2) ilm la nadlaja wa la ikhtaraq (ilmu yang tidak matang dan tidak terbakar), seperti tafsir dan ilm al-bayn; dan ilm nadlaja wa ma ikhtaraqa (ilmu yang sudah matang tetapi tidak terbakar), seperti: fiqh dan hadits. Lihat Amn al-Khl, Manhij al-Tajdd fi al-Nahwi wa al-Balghah wa al-Tafsr wa al-Adab, (Kairo:

    Dr al-Marif, 1961), Cet. I, h. 127 Pendapat bahwa nahwu itu sudah matang dan selesai disanggah oleh Tammm Hassn. Menurutnya, nahwu sebagai ilmu tetap berkembang, bergantung pada perspektif dan metode

    penelitian yang digunakan. Metode deskriptif (manhaj washf) yang disumbangkan oleh linguistik modern cukup

    kompatibel untuk dijadikan sebagai media untuk melihat ulang (idah al-nazhar) dan mengembangkan nahwu dan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya. Lihat Tammm Hassn, al-Lughah al-Arabiyyah: Manh wa Manh, (Kairo: al-Haiah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitb, 1985), Cet. III, h. 7. Dalam karyanya yang terbaru, Ijtihdt Lughawiyyah, ia menyerukan pentingnya ijtihad dalam pemikiran bahasa Arab, karena pemikiran linguistik Arab

    banyak terkungkung oleh sejarahnya itu sendiri, di samping karena kurangnya daya kritis para ulama bahasa Arab

    kontemporer terhadap warisan intelektual Arab klasik. Bahkan menurut Abd al-Salm al-Musadd, hegemoni nahwu historis (al-nahwu al-trkh) itu jauh lebih kuat dibandingkan dengan perkembangan pengetahuan (al-

    tathawwur al-marif). Maksudnya, warisan pemikiran nahwu yang telah menyejarah itu, dengan aneka perbedaan pendapat dan aliran yang ada berikut tokoh-tokohnya, lebih banyak diwacanakan daripada substansi keilmuan

    nahwu itu sendiri. Lihat Tammm Hassn, Ijtihdt Lughawiyyah, (Kairo: lam al-Kutub, 2007); dan Abd al-Salm al-Musadd, al-Lughah al-Arabiyyah wa al-Tahaddiyt al-Jaddah, diakses dari http://www.alriyadh.com/2005/05/12/article, 30 Juni 2007.

  • [2] Muhbib Abdul Wahab, Quo Vadis Pendidikan Bahasa Arab di Era Globalisasi, Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari BEMJ PBA FITK UIN Jakarta, 29 Mei 2006.

    [3] Ada kecenderungan untuk mengembangkan kurikulum yang berbasis keterampilan

    komunikasi global. Melalui kurikulum yang demikian lulusan PBA diharapkan memiliki

    kompetensi berbahasa Arab aktif. Program Studi Pendidikan Bahasa Arab (PSPBA) Universitas

    Negeri Malang (UNM) misalnya mengalokasikan 58 sks (46%) untuk mata kuliah keterampilan

    berbahasa dari total 126 sks mata kuliah bidang studi. Dari segi kuantitas, jumlah tersebut jauh

    lebih besar dibandingkan dengan 18 sks yang dialokasikan Jurusan Pendidikan Bahasa Arab

    Fakultas Tarbiyah UIN Yogyakarta. Selain itu, pembentukan keterampilan berbahasa diawali

    dengan program bahasa Arab intensif selama satu tahun dengan bobot 24 sks. Lihat Imam

    Ansori, Menuju Kurikulum PSPBA yang Kompetitif di Era Global, dalam dalam Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan Nurbayan (Ed.), Seminar Internasional Bahasa Arab dan Sastra

    Islam: Kurikulum dan Perkembangannya, (Bandung: UIN Bandung, 2007), h. 143-4.

    [4] Baca Abd al-Shabr Syhn, al-Tahaddiyt al-lati Tuwjihu al-Lughah al-Arabiyyah, dalam al-Tuwaijir (Ed.), al-Lughah al-Arabiyyah ila aina?, (Rabath: Isesco, 2006).

    [5] Bandingkan Abd al-Shabr Syhn, al-Tahaddiyt al-lati Tuwjihu al-Lughah al-Arabiyyah, dalam http://www.isesco.org.ma/pub/arabic/Langue_arabe/p9.htm., 25 Juli 2007.

    [6] Syhn, al-Tahaddiyt dalam http://www.isesco.org.ma 25 Juli 2007.

    [7] Fard al-Anshr, Ishlh al-Talm wa Azmah al-Lughah al-Arabiyyah fi al-lam al-Islm, diakses dari Http//:www.albayan-magazine.com/Dialogues/12.htm, 20 Agustus 2007.

    [8] Manshr ibn Shlih al-Ysuf, al-Lughah al-Arabiyyah wa Tahaddiyat al-Ashr, diakses dari http://www.suhuf.net.sa/2000jaz/dec/10/ar8.htm, 23 Oktober 2007.

    [9] Lihat Nazr Muhammad Maktab, al-Fushha fi Muwjahat al-Tahaddiyt, (Beirut: Dr

    al-Basyir al-Islmiyyah, 1991).

    [10] Harus diakui bahwa saat ini bahasa Arab sedang kalah pasaran dibandingkan dengan bahasa internasional lainnya, seperti bahasa Inggris dan Mandarin karena beberapa

    sebab. Salah satunya adalah karena umat Islam saat ini terbelakang dalam bidang ilmu

    pengetahuan dan teknologi, dan hegemoni bahasa Inggris yang cukup kuat karena banyaknya negara yang pernah menjadi jajahan Inggris, termasuk Amerika, yang kemudian menjadikan

    bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan,

    seperti di India, Malaysia, Singapura, di samping karena stabilnya sistem politik dan

    perekonomian negara ini.

    [11] Emzir, Kebijakan Pemerintah tentang Pengajaran Bahasa Arab di Madrasah dan Sekolah Umum, dalam Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan Nurbayan (Ed.), Seminar Internasional Bahasa Arab dan Sastra Islam: Kurikulum dan Perkembangannya, (Bandung:

    UIN Bandung, 2007), h. 2-3.

  • [12]Jamsuri Muhammad Syamsuddin dan Mahdi Masud, Shubat Taallum al-Lughah al-Arabiyyah lada Thullb al-Ulm al-Insniyyah (Ilm al-Siysah) fi al-Jmiah al-Islmiyyah al-lamiyyah bi Malaysia, dalam Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan Nurbayan (Ed.), Seminar Internasional: Bahasa Arab dan Sastra Islam Kurikulum dan Perkembangannya, Bandung, 23-

    25 Agustus 2007, h. 23-25.

    [13] Diakui bahwa Universitas Islam al-Imam Muhammad Ibn Sad yang berpusat di Riydh telah membuka Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab/LIPIA (Mahad al-Ulm al-Islmiyyah wa al-Arabiyyah) di beberapa negara seperti: Jepang, Indonesia, Mauritania, Jibouti, dan Amerika Serikat atas biaya Saudi. Lembaga ini, antara lain bertujuan untuk

    menyebarluaskan pendidikan bahasa Arab. Lembaga ini juga menyediakan perpustakaan yang

    relatif memadai. Namun, program semacam ini tidak diikuti oleh negara-negara teluk lainnya

    yang kaya minyak bumi seperti Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Keberadaan LIPIA di

    Jakarta cukup memberikan kontribusi positif bagi pendidikan bahasa Arab di Indonesia, namun

    belum cukup menjangkau dan memenuhi animo pelajar Muslim di Indonesia karena keterbatasan

    daya tampung dan lainnya. Ke depan, lembaga semacam LIPIA ini diharapkan dapat didirikan

    di Indonesia atas biaya beberapa negara Arab tersebut; atau setidak-tidaknya dapat dibuka

    Kuwait Corner, Qatar Corner, Emirat Corner, dan sebagainya, sehingga tercipta al-tabdul al-

    ilm wa al-tsaqf (pertukaran ilmu dan budaya). Baca Hamd ibn Nshir al-Dakhl, Maqlt wa ra fi al-Lughah al-Arabiyyah, (Riydh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 1994), Cet. IV, h. 83.

    [14]Lihat Teun A. van Dijk, Ilm al-Nashsh: Madkhal al-Mutadkhil al-Ikhtishsht, terj. dari Textwissenscaft, eine interdiziplinare Einfuhrung oleh Said Hasan Buhairi, (Kairo: Dr al-

    Qhirah, 2002).

    [15] Kajian mengenai teks di dunia Arab cukup semarak karena peradaban Islam mewariskan

    teks yang sangat melimpah. Nashr Hmid Ab Zaid menyatakan bahwa jika peradaban Mesir

    kuno adalah peradaban pascakematian (Mummi, piramida, makam raja-raja); peradaban Yunani

    adalah peradaban nalar (akal, filsafat), maka peradaban Islam adalah peradaban teks (nash).

    Lihat Nashr Hamid Ab Zaid, Mafhm al-Nashsh: Dirsat fi Ulm al-Qurn, (Kairo: al-Haiah al-Mishriyyah al-mmah li al-Kitb, 1993), h. 11.

    [16] Kajian mengenai stilistika pada merupakan bagian dari ilmu balaghah. Seiring dengan

    perkembangan ilmu bahasa dan sastra Arab, dan estetika (keindahan, termasuk keindahan

    bahasa), muncullah kajian yang lebih intensif dan mengarah kepada pembentukan ilmu uslb. Di

    antara karya yang berkaitan dengan ilmu ini adalah: al-Uslb: Dirsah Balghiyyah Tahliliyyah

    li Ushl al- Aslb al-Adabiyyah (1993) karya Ahmad al-Syyib; Ilm al-Uslub: Mabadiuhu wa Ijraatuhu (1983) karya Shalh Fadhl; dan Jamliyyah al-Uslb: al-Shrah al-Fanniyah fi al-Adab al-Arab karya Fyiz al-Dyah.

    [17]Tarjamah misalnya semula hanya merupakan salah satu cabang bahasa Arab yang

    disubordinasikankan dalam buku-buku pelajaran bahasa Arab. Dalam perkembangannya, tarjamah kemudian menjadi sebuah mata kuliah, dan belakangan menjadi sebuah program studi

    seperti yang ada pada Fakultas Adab dan Humaniora. Demikian pula, karya-karya tentang

    tarjamah mula-mula misalnya hanya berupa fann (seni); belakangan kata ilm disebutkan secara

  • tegas. Lihat misalnya, Muhammad Inni, Fann al-Tarjamah, (Kairo: al-Syarikah al-Mishriyyah al-lamiyyah, 1992); Muhammad al-Ddwi, Ilm al-Tarjamah Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbq, (Tunis; Dr al-Marifah, 1992); dan Ibrhm Badaw al-Jln, Ilm al-Tarbiyah wa Fadhl al-Arabiyyah ala al-Lught, (Kairo: al-Maktab al-Arabi li al-Marif, 2000).

    [18] Pemikiran tokoh-tokoh tersebut juga sangat layak dijadikan sebagai obyek penelitian,

    baik dalam rangka penulisan skripsi, tesis, maupun disertasi. Di antara tokoh pendidikan bahasa

    Arab yang sangat produktif adalah Rusyd Ahmad Thuaimah. Selain aktif di Isesco, dia adalah peneliti, dosen terbang di berbagai perguruan tinggi di Timur Tengah. Di antara karyanya yang

    banyak menjadi referensi dalam pendidikan bahasa Arab bagi non-Arab adalah al-Marji fi Talm al-Lughah al-Arabiyyah li al-Nthiqna bi Lught Ukhra (1986); Talm al-Kibar: Takhthth Barmijihi wa Tadrs Mahrtihi (1999), Talim al-Lughah al-Arabiyyah li ghair al-Nthiqna biha: Manhijuhu wa Aslbuhu (1989); Manhij Tadrs al-Lughah al-Arabiyyah bi al-Talm al-Ass (2001); Talim al-Lughah al-Arabiyyah wa al-Dn baina al-Ilm wa al-Fann (2000); dan yang terbaru, Talm al-Lughah Ittishliyyan: Manhijuhu wa Istirjiyyatuhu (2006).

    [19] Dalam konteks ini, usaha Tammm Hassn (1918sekarang), linguis Mesir kontemporer, untuk mengaplikasikan teori-teori linguistik modern dalam kajian bahasa Arab

    (terutama nahwu) cukup berhasil. Ia mendasarkan studinya dengan membangun landasan ilmiah

    terlebih, yaitu merumuskan Manhij al-Bahts fi al-Lughah (1955), metodologi penelitian bahasa.

    Setelah itu, ia membongkar (mendekonstruksi) warisan intelektual klasik (nahwu), lalu

    merekonstruksinya dengan menawarkan model kajian bahasa Arab yang lebih realistis, rasional,

    dan pragmatis. Pendekatan dalam kajian bahasan menurutnya sangat luas dan luwes, sesuai

    dengan fungsi bahasa itu sendiri. Bahasa Arab dapat didekati dari perspektif pendidikan,

    penelitian, sejarah, kritik, dan evaluasi. Berbagai pendekatan tersebut, setelah diaplikasikan,

    menghasilkan sejumlah karya yang cukup monumental. Di antaranya: al-Lughah al-Arabiyyah: Manh wa Mabnh (1973), al-Ushl: Dirasah Epistemolojiyyah li al-Fikr al-Lughawi Inda al-Arab: al-Nahw Fiqh al-Lughah al-Balghah (1981); al-Tamhd fi Iktisb al-Lughah al-Arabiyyah li Ghair al-Nthiqna bih (1984); al-Khulshah al-Nahwiyyah (2000), al-Bayn fi Rawi al-Qurn (1993). Mengenai biografi intelektualnya, lihat Abd al-Rahmn Hasan al-rif (Ed.), Tammm Hassn Ridan Lughawiyyan, (Kairo: lam al-Kutub, 2002), Cet. I, h. 13-33.

    [20] Mahmd Fahm Hijz, al-Lughah al-Arabiyyah fi al-Ashr al-Hadts: Qadhy wa Musykilt, (Kairo: Dr Qub, 1998), Cet. I, h. 79.