-
KEPSORP NAD NAGNATNAT
AISENODNI ID BARA ASAHAB NAKIDIDNEP
bahaW ludbA bibhuM helO
:
.
. .
.
,igolometsipe nagnabmegnep ,barA asahaB nakididneP ,kepsorP
,nagnatnaT :icnuK ataK
.barA asahab mulukiruk
golorP .A
id barA asahab iduts napak kajes nakitsamem gnay naitilenep
lisah ada muleb ini huajeS
awhab halada gnabmekreb ini amales gnay ismusA .nakgnabmekid nad
sitnirid ialum aisenodnI
helo tunaid nad lanekid malsI kajes aisenodnI asgnab helo
lanekid ialum hadus barA asahab
-ek daba adap atik takaraysam helo tunaid halet saulem araces
malsI akiJ .atik asgnab satiroyam
naapmujrep aneraK .daba 7 irad hibel hadus nakitsapid barA
asahab nakididnep aisu akam ,31
-
umat Islam Indonesia dengan bahasa Arab itu paralel dengan
perjumpaannya dengan Islam.
Dengan demikian, bahasa Arab di Indonesia jauh lebih tua dan
senior dibandingkan dengan
bahasa asing lainnya, seperti: Belanda, Inggris, Portugal,
Mandarin, dan Jepang.
Namun demikian, jika dibandingkan dengan bahasa Inggris yang
bercitra lebih baik,
mengapa citra dan apresiasi masyarakat Indonesia yang mayoritas
penduduk Muslim yang
merupakan komunitas Muslim terbesar di dunia-- terhadap bahasa
Arab tampaknya kurang
menggembirakan? Apakah posisi bahasa Arab sebagai bahasa kitab
suci al-Quran dan sunnah
Nabi Muhammad Saw. selama ini tidak cukup memberikan daya dorong
(inspirasi dan motivasi)
bagi umat Islam untuk mau mengkajinya secara lebih intens?
Apakah studi basaha Arab di
Indonesia hanya dipacu oleh semangat (motivasi) untuk memahami
ajaran Islam semata, dan
terbatas di kalangan kaum tradisional santri saja, sehingga
studi bahasa Arab kurang
mendapatkan momentum untuk berkembang sebagai sebuah disiplin
ilmu dan menarik minat
banyak kalangan? Dan jika bahasa Arab harus direfungsionalisasi,
baik secara ilmiah-akademik
maupun profesional-pragmatik, bagaimana hal ini dapat
dilakukan?
Sederetan pertanyaan reflektif tersebut menarik dikemukan karena
selama ini kita sebagai
pengkaji atau pendidik bahasa Arab tampaknya baru sekedar
memposisikan bahasa Arab sebagai
alat (waslah) untuk memahami teks keislaman yang berbahasa
Arab-- dan belum
memfungsikannya sebagai sebuah disiplin ilmu yang perlu
dikembangkan melalui berbagai
penelitian dan pembacaan kembali secara kritis. Pandangan kita
terhadap bahasa Arab selama ini
boleh jadi juga termakan oleh pendapat ulama masa lalu bahwa
bahasa Arab itu utamanya
nahwu dan sharaftelah matang dan terbakar[1], dalam arti bahwa
ilmu ini sudah sudah tidak
mungkin lagi dikembangkan dan diperbaharui. Betulkan
demikian?
Boleh jadi pertayaan tersebut ada benarnya, terutama jika
dihubungkan dengan kesan
sebagian besar orang bahwa bahasa Arab itu sulit (dipelajari,
dipahami, dipraktikkan; tidak
seperti misalnyabahasa Inggris atau Mandarin). Tingkat kesulitan
dalam mempelajari bahasa
Arab diduga kuat karena ilmu bahasa Arab itu sudah cukup matang,
komplit dan sekaligus
kompleks. Mitos apa yang sesungguhnya menghantui sulitnya
mempelajari dan menguasai
bahasa Arab?
-
Tulisan ini mencoba memberikan pemikiran ulang dan refleksi
(rethinking and reflecting)
mengenai tantangan dan prospek studi dan pendidikan bahasa Arab
di Indonesia. Tantangan apa
saja yang sesungguhnya dihadapi oleh para pegiat dan peminat
studi bahasa Arab di Indonesia
oleh dewasa ini? Bagaimana membuka peluang dan prospek yang
menarik bagi peminat studi
bahasa Arab di tengah persaingan global? Bagaimana pula lembaga
pendidikan tinggi Islam,
utamanya UIN dan IAIN, dapat mengembangkan epistemologi keilmuan
bahasa Arab yang
kokoh dan dinamis? Sikap, tradisi, dan etika akademis seperti
apakah yang perlu dirumuskan
untuk membangun keilmuan bahasa Arab sehingga dapat memberikan
prospek cerah di masa
depan?
B. Realitas dan Orientasi Pendidikan Bahasa Arab
Pendidikan bahasa Arab di Indonesia sudah diajarkan mulai dari
TK (sebagian) hingga
perguruan tinggi. Berbagai potret penyelenggaraan pendidikan
bahasa Arab di lembaga-lembaga
pendidikan Islam setidaknya menunjukkan adanya upaya serius
untuk memajukan sistem dan
mutunya. Secara teoritis, paling tidak ada empat orientasi
pendidikan bahasa Arab sebagai
berikut:
1. Orientasi Religius, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan
memahami dan memahamkan
ajaran Islam (fahm al-maqr). Orientasi ini dapat berupa belajar
keterampilan pasif
(mendengar dan membaca), dan dapat pula mempelajari keterampilan
aktif (berbicara
dan menulis).
2. Orientasi Akademik, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan
memahami ilmu-ilmu dan
keterampilan berbahasa Arab (istim, kalm, qirah, dan kitbah).
Orientasi ini
cenderung menempatkan bahasa Arab sebagai disiplin ilmu atau
obyek studi yang harus
dikuasai secara akademik. Orientasi ini biasanya identik dengan
studi bahasa Arab di
Jurusan Pendidikan bahasa Arab, Bahasa dan Sastra Arab, atau
pada program
Pascasarjana dan lembaga ilmiah lainnya.
3. Orientasi Profesional/Praktis dan Pragmatis, yaitu belajar
bahasa Arab untuk
kepentingan profesi, praktis atau pragmatis, seperti mampu
berkomunikasi lisan
-
(muhdatsah) dalam bahasa Arab untuk bisa menjadi TKI, diplomat,
turis, misi dagang,
atau untuk melanjutkan studi di salah satu negara Timur Tengah,
dsb.
4. Orientasi Ideologis dan Ekonomis, yaitu belajar bahasa Arab
untuk memahami dan
menggunaakan bahasa Arab sebagai media bagi kepentingan
orientalisme, kapitalisme,
imperialisme, dsb. Orientasi ini, antara lain, terlihat dari
dibukanya beberapa lembaga
kursus bahasa Arab di negara-negara Barat.[2]
Pendidikan Bahasa Arab (PBA) di Indonesia relatif sudah tersebar
di berbagai UIN,
IAIN, STAIN, dan sebagian PTAI swasta seperti Universitas Islam
Jakarta. Hanya saja, disiplin
keilmuan ini masih tergolong miskin sumber daya manusia dan
sumber-sumber studi
(referensi). Sementara ini, yang tergolong memiliki SDM PBA
cukup kuat adalah PBA FITK
Jakarta (4 profesor, 4 doktor, dan 8 Magister). Menurut
pengamatan penulis, yang agak
memperihatinkan, terutama bagi PBA di luar UIN Jakarta yang
masih miskin SDM, adalah
bagaimana lembaga-lembaga itu mampu meningkatkan kualitas SDM
dan memperkaya referensi
sebagai basis pembelajaran, penelitian dan pengembangan
ilmu-ilmu bahasa Arab.
Dalam hal ketersediaan sumber belajar (buku, jurnal, koran Arab,
media dan
sebagainya), PBA UIN Jakarta reletif tertolong oleh keberadaan
LIPIA (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Islam dan Arab) yang berafiliasi pada Universitas
al-Imm Muhammad ibn Sad
di Riydh. Lembaga ini tidak hanya mensuplay berbagai sumber
belajar yang relatif memadai,
melainkan juga membantu PBA memberikan native speaker dan
koran-koran berbahasa Arab
untuk PBA. Kalau saja LIPIA tidak ada atau jauh dari PBA UIN
Jakarta, mungkin nasib PBA
tidak jauh berbeda dengan PBA-PBA yang ada di luar Jakarta.
Kurikulum PBA pada UIN, IAIN, dan STAIN tampaknya merupakan
hasil ijtihad
institusional masing-masing, bukan merupakan ijtihad struktural
(baca: Depag RI). Sejauh ini
belum pernah ada konsensus atau kesepakatan bersama mengenai
pentingnya kerjasama atau
networking antarPBA untuk merumuskan epistemologi, arah
kebijakan, dan kurikulum PBA
secara lebih luas dan komprehensif. Meskipun PBA FITK menjadi
semacam lokomotif atau
kiblat bagi PBA-PBA lainnya antara lain karena berada di pusat
dan menjadi sasaran studi
banding bagi PBA-PBA lainnyanamun tuntutan dan kebutuhan untuk
memperbaharui
kurikulumnya sudah semakin mendesak, karena perkembangan
ilmu-ilmu bahasa Arab, sains,
teknologi, dan sistem sosial budaya cukup pesat.
-
Dalam masyarakat dewasa ini mulai timbul keluhan atau kritik
yang dialamatkan kepada
dunia pendidikan tinggi Islam, termasuk PBA, bahwa lulusan PBA
kurang memiliki kemandirian
dan keterampilan berbahasa yang memadai, sehingga daya saing
mereka rendah dibandingkan
dengan alumni lembaga lain. Kelemahan daya saing ini perlu
dibenahi dengan memberikan
aneka keterampilan plus, seperti: keterampilan berbahasa Arab
dan Inggris aktif (berbicara dan
menulis)[3], keterampilan mengoperasikan berbagai aplikasi
komputer, keterampilan meneliti,
keterampilan manajerial, dan keterampilan sosial.
C. Tantangan Pendidikan Bahasa Arab
Bahasa Arab di negara-negara Timur Tengah, seperti: Arab Saudi,
Mesir, Syria, Iraq,
Yordania, Qatar, Kuait, dapat dibedakan menjadi dua ragam, yaitu
Arab fushha dan Arab
mmyah. Keduanya digunakan dalam realitas sosial dengan konteks
dan nuansa yang berbeda.
Bahasa Arab fushha digunakan dalam forum resmi (kenegaraan,
ilmiah, akademik, jurnalistik,
termasuk khutbah); sedangkan bahasa Arab mmiyah digunakan dalam
komunikasi tidak resmi,
intrapersonal, dan dalam interaksi sosial di berbagai tempat
(rumah, pasar, kantor, bandara, dan
sebagainya). Frekuensi dan tendensi penggunaan bahasa Arab
mmiyah tampaknya lebih sering
dan lebih luas, tidak hanya di kalangan masyarakat umum,
melainkan juga kalangan masyarakat
terpelajar dan pejabat (jika mereka berkomunikasi dengan
sesamanya). Mereka baru
menggunakan bahasa Arab fushha jika audien bukan dari kalangan
mereka saja.
Menurut Abd al-Shabr Syhn, pendidikan bahasa Arab dewasa ini
dihadapkan pada
berbagai tantangan yang serius. Pertama, akibat globalisasi,
penggunaan bahasa Arab fushha di
kalangan masyarakat Arab sendiri mulai berkurang frekuensi dan
proporsinya, cenderung
digantikan dengan bahasa Arab mmiyah atau dialek lokal
(al-lahajt al-mahalliyah). Jika
jumlah negera Arab berjumlah 22 negera, berarti paling tidak ada
22 ragam bahasa mmiyah.
Hal ini belum termasuk dialek suku-suku dan kawasan-kawasan
tertentu. Misalnya, dialek lokal
Iskandaria (Alexandria) tidak sama dengan dialek Thantha, dan
sebagainya.[4]
Dewasa ini, terutama di kalangan generasi muda Arab, terdapat
kecenderungan baru, yaitu
munculnya fenomena al-fushamiyyah )(, campuran ragam fushha dan
mmiyah. Gejala
-
ini merupakan tantangan serius bagi dunia pendidikan karena
terjadi degramatisasi atau
pengeleminasian beberapa gramatika (qawid). Kaedah-kaedah bahasa
yang baku kurang
diperhatikan, sementara pembelajaran qawid pada umumnya tidak
efektif. Kultur fushamiyyah
lebih dominan daripadi kultur akademik yang memegang teguh
kaedah-kaedah berbahasa Arab.
Bahkan di kalangan perguruan tinggi Mesir, termasuk di Fakultas
Adab, sebagian besar
dosennya banyak menggunakan ragam baru ini. [5]
Kedua, masih menurut Syhn, realitas bahasa Arab dewasa ini juga
dihadapkan pada
tantangan globalisasi, tepatnya tanganan pola hidup dan
kolonialisasi Barat, termasuk
penyebarluasan bahasa Arab di dunia Islam. Kolonialisasi ini,
jika memang tidak sampai
menggatikan bahasa Arab, minimal dapat mengurasi prevalensi
penggunaan minat belajar bahasa
Arab di kalangan generasi muda.
Ketiga, derasnya gelombang pendangkalan akidah, akhlak, dan
penjauhan generasi muda
Islam dari sumber-sumber ajaran Islam melalui pencitraan buruk
terhadap bahasa Arab. Dalam
waktu yang sama terjadi kampanye besar-besaran atas nama
globalisasi untuk menyebarkan dan
menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa yang paling kompatibel
dengan kemajuan
teknologi.[6]
Fard al-Anshr menambahkan bahwa agenda neo-kolonialisasi
globalisme (al-istimr al-
awlam al-jadd) yang dilancarkan Barat terhadap dunia Islam
dewasa ini memang
dimaksudkan untuk membunuh karakter dan identitas budaya,
terutama Arab. Hal ini, antara
lain, dapat dilihat dari arogansi Amerika Serikat, baik
menyangkut kebijakan politik luar
negerinya maupun perilaku politiknya, terhadap dunia Islam,
khususnya Timur Tengah. Negara
Adidaya ini seringkali mencampuri urusan dalam negara-negara
Islam, baik melalui intervensi
langsung maupun melalui operasi agen-agen rahasianya yang
terkenal lihai dan licin. Salah satu
agenda yang diselundupkan ke dunia Arab adalah penghilangan atau
pendangkalan identitas
bahasa dan budaya Arab, marjinalisasi sumber-sumber ajaran Islam
dari sistem pendidikan di
dunia Islam, dan sekularisasi dalam berbagai aspek
kehidupan.[7]
Selain ada upaya penggantian huruf Arab dengan latin, bahasa
Arab pada lembaga
pendidikan di dunia Islam juga mulai digeser meskipun belum
sampai digantikanoleh bahasa
Inggris atau Perancis sebagai bahasa pengantar untuk
pembelajaran sains. Berbagai siaran
-
langsung olah raga di dunia Arab, terutama sepakbola, yang
disiarkan dari Barat (liga Inggris,
Spanyol, Italia, Perancis, atau Belanda) sudah banyak
menggunakan bahasa Inggris. Demikian
pula, mata acara atau program tayangan televisi di dunia Arab
juga sudah banyak dipengaruhi
oleh gaya dan pola hidup Barat yang sekuler dan
materialistik.[8] Akibatnya, minat dan motivasi
untuk mempelajari bahasa Arab secara serius menjadi menurun.
Semantara itu, di Indonesia, kita cenderung hanya mempelajari
bahasa Arab fushha,
dengan rasionalitas bahwa bahasa Arab fushha itu merupakan
bahasa Al-Quran dan Al-Sunnah,
karena tujuan utama studi bahasa Arab adalah untuk kepentingan
memahami sumber-sumber
ajaran Islam. Sebagian kalangan boleh jadi karena ketidaktahuan
bahasa Arab mmiyah
cenderung anti bahasa Arab mmiyah, karena mempelajari bahasa
Arab pasaran itu dapat
merusak bahasa Arab fushha. Betulkah demikian?
Menurut penulis, anggapan itu tidak sepenuhnya benar, karena
dalam kenyataannya,
masyarakat Arab yang terpelajar pun tetap menggunakan dua ragam
bahasa Arab tersebut secara
proporsional, sesuai dengan situasi dan kondisi. Banyak para
guru atau dosen di perguruan tinggi
di Mesir, Arab Saudi, Syria, dan lainnya tetap fasih berbahasa
fushha, meskipun dalam pergaulan
keseharian dengan sesamanya lebih cenderung menggunakan mmiyah.
Yang hendak
ditegaskan di sini adalah bahwa studi bahasa Arab diperguruan
tinggi Islam di Indonesia perlu
dikembangkan tidak hanya berorientasi penguasaan bahasa Arab
fushha semata, melainkan juga
bahasa Arab mmiyah perlu mendapat ruang dan waktu (porsi), meski
hanya sekedar
pengenalan dialek, agar para mahasiswa juga mampu berkomunikasi
secara alami dan efektif
dengan penutur bahasa Arab dalam situasi formal maupun
informal.
Tudingan sementara pihak bahwa upaya mengganti bahasa Arab
fushha dengan
mmiyah merupakan usaha kaum orientalis agar umat Islam menjauhi
atau tidak dapat
memahami al-Quran dengan baik juga tidak sepenuhnya benar.
Sebab, bagaimana mungkin
orientalis Barat mendiktekan kemauan mereka untuk berbahasa Arab
mmiyah,
sedangkan mereka sendiri (para orientalis) secara akademis
mempelajari bahasa Arab fushha
sebelum mengkaji budaya dan peradaban Timur (Islam)? Bahasa Arab
fushha akan tetap lestari
meskipun orang-orang Arab sendiri lebih suka berbahasa Arab
mmiyah. Kecenderungan
berbahasa Arab mmiyah tampaknya lebih didasari oleh kepentingan
dan tujuan pragmatis, yaitu:
komunikasi lisan yang lebih mengutamakan aspek kepraktisan,
simpel, dan cepat. Namun
-
demikian, maraknya penggunaan bahasa Arab mmiyah tetap merupakan
sebuah tantangan yang
dapat mengancam atau setidak-tidaknya mengurangi mutu kefashihan
bagi orang atau bangsa
Arab pada umumnya.[9]
Selain itu, studi bahasa Arab di lembaga pendidikan kita juga
mengalami disori- entasi:
tidak jelas arah dan tujuannya. Hal ini, antara lain, terlihat
pada struktur program kurikulum PBA
yang bermuatan beberapa mata kuliah yang tampaknya tidak
semuanya revelan dengan visi dan
misi PBA. Mata kuliah seperti: Nushsh Adabiyyah dan ilm al-Ardh
(Metrics) agaknya sudah
tidak revelan dengan kebutuhan riil mahasiswa maupun kebutuhan
pasar. Selain itu, antara satu
mata kuliah dengan lainnya terkesan kurang saling melengkapi dan
memperkuat basis dan
kerangka keilmuan. Sebagai contoh kasus, ketika membelajarkan
insy (composition), penulis
masih banyak disibukkan dengan urusan pembenahan dan pembekalan
kaedah-kaedah nahwu
dan sharaf, di samping penguatan pola berpikir logis. Hal ini
menunjukkan bahwa pembelajaran
nahwu dan sharaf belum mampu menuntaskan persoalan-persoalan
yang seharusnya dipecahkan
dalam perkuliahan itu. Pada saat yang sama, fakta ini juga
menunjukkan bahwa para mahasiswa
belum banyak menerima latihan (tadrbt nahwiyyah atau sharfiyyah)
yang jika
dikembangkansemestinya membuat mereka terlatih menyusun kalimat
baku secara baik dan
benar.
Orientasi studi bahasa Arab pada lembaga pendidikan kita tampak
masih mendua dan
setengah-setengah: antara orientasi kemahiran, dan orientasi
kailmuan. Keduanya memang perlu
dikuasasi oleh mahasiswa, namun salah satu dari keduanya perlu
dijadikan sebagai fokus: apakah
bahasa Arab diposisikan sebagai studi keterampilan yang
berorientasi kepada pemahiran
mahasiswa dalam empat keterampilan bahasa secara mumpuni?
Ataukah bahasa Arab
diposisikan sebagai disiplin ilmu yang berorientasi kepada
penguasaan tidak hanya kerangka
epistemologinya, melainkan juga substansi dan metodologinya.
Jika orientasi pertama yang dipilih, maka idealnya 70% mata
kuliah di PBA bermuara
pada pengembangan keterampilan: mendengar, berbicara, membaca,
menulis, dan
menerjemahkan. Sisanya, 30% untuk pengayaan materi keilmuan
bahasa Arab, kefakultasan dan
MKU (Mata Kuliah Umum/Universitas). Sebaliknya jika orientasi
kedua yang dipilih, maka
idealnya 70% mata kuliah di PBA bernuansa: ilm al-ashwt
(fonologi), ilm al-sharf
-
(morfologi), ilm al-nahwi (sintaksis), ilm al-dillah (semantik),
ilm al-mujam (leksikografi),
metodologi penelitian bahasa Arab, linguistik terapan (lm
al-lughah al-tathbq), sosiolinguistik
(ilm al-lughah al-ijtim), psikolinguistik (ilm al-lughah
al-nafs), linguistik teks (ilm lughat
al-nashsh), sejarah dan filsafat bahasa Arab, dan
sebagainya.[10]
Selain itu, kebijakan pendidikan dan pengajaran bahasa Arab di
madrasah dan lembaga
pendidikan lainnya, selama ini, juga tidak menentu.
Ketidakmenentuan ini dapat dilihat dari
beberapa segi. Pertama, dari tujuan, terdapat kerancuan antara
mempelajari bahasa Arab sebagai
tujuan (menguasai kemahiran berbahasa) dan tujuan sebagai alat
untuk menguasai pengetahuan
yang lain yang menggunakan bahasa Arab (seperti mempelajari
tafsir, fiqh, hadits, dan
sebagainya). Kedua, dari segi jenis bahasa Arab yang dipelajari,
apakah bahasa Arab klasik
(fushha turts), bahasa Arab modern/kontemporer (fushha mushirah)
atau bahasa Arab pasaran
(mmiyyah). Ketiga, dari segi metode, tampaknya ada kegamangan
antara mengikuti
perkembangan dan mempertahankan metode lama. Dalam hal ini,
bahasa Arab banyak diajarkan
dengan menggunakan metode qawid wa tarjamah.[11]
Tantangan lainnya yang juga tidak kalah pentingnya dalam
pengembangan pendidikan
bahasa Arab adalah rendahnya minat dan motivasi belajar serta
kecenderungan sebagai pelajar
atau mahasisiwa bahasa Arab untuk mengambil jalan yang serba
instan tanpa menulis proses
ketekunan dan kesungguhan. Hal ini terlihat dari karya-karya
dalam bentuk makalah dan skripsi
yang agaknya cenderung merosot atau kurang berbobot mutunya.
Mahasiswa yang sudah berada
di dunia PBA bahasa Arab seakan tidak betah dan ingin mencari
dunia lain, sehingga ini
perlu disurvei dan dibuktikan secara akademistidak sedikit yang
mengeluh bahwa jurusan
bahasa Arab itu sebetulnya bukan habitat mereka yang
sesungguhnya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jamsuri Muhammad Syamsuddin
dan Mahdi Masud
terhadap 30 mahasiswa Ilmu Politik (Humaniora) pada
International Islamic University
Malaysia mengenai kesulitan belajar bahasa Arab menunjukkan
bahwa penyebab kesulitan
belajar bahasa Arab ternyata bukan sepenuhnya pada substansi
atau materi bahasa Arab,
melainkan pada ketiadaan minat (100%), tidak memiliki latar
belakang belajar bahasa Arab
(87%), materi/kurikulum perguruan tinggi (83%), kesulitan
memahami materi bahasa Arab
(57%), dan lingkungan kelas yang tidak kondusif (50%). Lebih
dari itu, ditemukan bahwa 80%
-
penyebab kesulitan belajar bahasa Arab adalah faktor psikologis.
77% di antara mereka memiliki
kesan negatif terhadap bahasa Arab; dan 33% herregristasi mata
kuliah bahasa Arab dianggap
mempengaruhi belajar bahasa Arab mereka di kampus.[12] Jadi,
faktor penyebab kesulitan
belajar bahasa Arab bukan sepenuhnya bersumber dari bahasa Arab
itu sendiri (faktor internal
sistem bahasa Arab), melainkan lebih disebabkan oleh faktor
psikologis (minat, motivasi, tidak
percaya diri), edukatif, dan sosial. Karena itu, pendekatan dan
metode yang dipilih dalam
pembelajaran bahasa Arab seharusnya mempertimbangkan
faktor-faktor psikologis, edukatif, dan
sosial kultural.
Sumber-sumber dan literatur kebahasaaraban di lembaga pendidikan
kita juga masih
relatif kurang, jika tidak dikatakan terbatas. Hal ini, antara
lain, disebabkan oleh minimnya
perhatian pimpinan fakultas dan universitas untuk mengembangkan
pendidikan bahasa Arab; dan
juga disebabkan oleh kurangnya hubungan lintas-universitas atau
lembaga pendidikan dalam
bentuk kerjasama ilmiah kita dengan perguruan tinggi di Timur
Tengah, sehingga kita tidak
banyak mendapat pasokan sumber-sumber dan hasil-hasil penelitian
kebahasaaraban. Selain itu,
penting juga ditegaskan, bahwa perhatian negara-negara Arab
dalam bentuk penyediaan sumber
belajar, termasuk referensi dan literatur yang memadai, untuk
negara-negara berkembang seperti
Indonesia, relatif masih kurang[13], jika dibandingkan dengan
negara-negara Barat, seperti
Amerika dengan Amcor (American Corner)-nya.
D. Pengembangan Epistemologi dan Kurikulum Bahasa Arab
Tantangan dan berbagai persoalan yang dihadapi pendidikan bahasa
Arab tidak mungkin
dapat dipecahkan secara personal, tetapi harus melalui
pendekatan institusional dan melibatkan
banyak pihak. Namun yang mendesak untuk kita diskusikan secara
lebih mendalam adalah
pengembangan epistemologi dan kurikulum bahasa Arab pada jurusan
Pendidikan bahasa Arab.
Yang dimaksud dengan pengembangan epistemologi bahasa Arab
adalah pengokohan bangunan
keilmuan bahasa Arab agar arah pengembangan pengkajian bahasa
Arab lebih dinamis. Dari
bangunan epistemologi inilah, struktur keilmuan dapat
dikembangkan lebih jauh dalam
kurikulum bahasa Arab. Berikut ini adalah beberapa pokok pikiran
mengenai model
pengembangan epistemologi dan kurikulum bahasa Arab.
-
Pertama, revitalisasi sinergi ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu
lain yang mempunyai
kedekatan bidang kajian, sehingga terjadi proses take and give
(al-akhdz wa al-ath) seperti:
ilm al-Nashsh (tekstologi)[14], ilm al-makhaththt
(filologi)[15], ilm al-uslb[16] (stilistika)
dan sebagainya. Dengan demikian, ilmu bahasa Arab tidak hanya
menjadi basis studi, tetapi juga
mempunyai jaringan keilmuan yang lebih luas dan multifungsi.
Dalam konteks pengembangan
kurikulum, pokok-pokok bahasan masing-masing ilmu (baca: mata
kuliah) sebaiknya me
Kedua, pengembangan cabang-cabang bahasa Arab menjadi ilmu
mandiri, seperti: ilm
al-tarjamah, ilm al-insy, ilm ushl al-nahwi, ilm al-Mujam
(leksikografi) dan sebagainya,
sehingga ilmu-ilmu ini tidak hanya sekedar suplemen, tetapi
menjadi ilmu yang lebih
substantif, sistematis, dan mendalam.[17] Seiring dengan semakin
menguatnya basis dan tradisi
keilmuan, jika memungkinkan di suatu saat nanti, PBA dapat
membuka program studi atau
peminatan: metodologi penelitian bahasa Arab tarjamaah
Arab-Indonesia, metodologi
pembelajaran bahasa Arab, pengembangan kurikulum bahasa Arab,
teknologi pendidikan bahasa
Arab, dan sebagainya.
Ketiga, pembandingan, adaptasi, dan improvisasi ilmu bahasa Arab
dengan bahasa
Inggris dan Perancis yang saat ini lebih maju dan modern. Upaya
ini sebetulnya sudah dilakukan,
terutama dalam konteks pembagian metodologi pembelajaran bahasa
Arab. Namun tokoh-tokoh
pengembangnya relatif masih terbatas. Di antaranya adalah Kaml
Ibrhm Badr, Muhammad
Isml Shn, Rusyd Ahmad Thuaimah, Mahmd Kmil al-Nqah, Rusyd
Khathir, Mahmud
Fahm Hijazi, Tammm Hassn, dan Abduh al-Rajih.[18] Semua tokoh
tersebut pernah
mengenyam pendidikan tinggi di Barat, seperti Amerika, Perancis,
Inggris, dan Jerman.
Keempat, revitalisasi pendasaran dan pengaitan pengembangan
penelitian bahasa Arab
dengan nuansa Islam dan sumber utama ajaran Islam, yaitu:
al-Quran dan al-Sunnah. Dewasa
ini cukup marak dilakukan oleh para sarjana di perguruan tinggi
Arab. Beberapa karya yang
dapat disebut di sini, antara lain, adalah: al-Isytirk, al-Lafzh
fi al-Qurn al-Karm Baina al-
Nazhariyyah wa al-Tathbq, Al-Tarduf, fi al-Quran,Al-Karm, Baina
al-Nazhariyyah, wa al-
Thabq, Al-Tarduf, fi al-Qurn, al-Karm Baina al-Nazhariyyah wa
Al-Tathbq, ketiganya
karya Muhammad Nuruddn al-Munajjid (1999), al-Nahw al-Qurn:
Qawid wa
Syawhid karya Jaml Ahmad Dhafr (1998), dan al-Manhaj al-Islm fi
al-Naqd al-Adab karya
Sayyid Sayyid Abd al-Razzq (2001).
-
Kelima, penguatan penelitian dan pendidikan bahasa Arab melalui
aplikasi dan
improvisasi linguistik modern dan pengalaman positif di bidang
pembelajaran bahasa dari Barat
dengan tetap mempertahankan kekhususan atau karakteristik
ilmu-ilmu bahasa Arab, baik
fonologi, morfologi, sintaksis maupun semantiknya.[19] Upaya
semacam ini, antara lain, terlihat
dalam beberapa karya seperti: Dirsat Nahwiyyah wa Dilliyah wa
Falsafiyyah fi Dhaui al-
Lisniyyah al-Mushirah karya Mzin Al-War (2001), al-Dillah wa
Al-Harakah: Dirsah li
Afl Al-Harakah fi Al-Arabiyyah Al-Mushirah fi Ithr Al-Manhij
al-Hadtsah dan al-
Dilalah wa al-Kalm Dirsah li Afal Al-Harakah fi Al-Arabiyyah
Al-Mushirah fi Ithr Al-
Manhij al-Hadtsah keduanya karya Muhammad Muhammad Dwd
(2002).
E. Prospek Pendidikan Bahasa Arab
Setiap tantangan pasti memberikan peluang dan prospek jika kita
berusaha untuk
menghadapi tantangan itu dengan berpikir positif (al-tafkr
al-jb) dan bersikap penuh
kesungguhan dan kearifan, termasuk tantangan yang kini dihadapi
pendidikan bahasa Arab.
Menurut penulis, ada beberapa prospek studi bahasa Arab di masa
depan yang dapat diraih, jika
para penggiat dan peminat studi bahasa Arab secara bersama-sama
mau dan mampu
menekuninya dan mengubah tantangan menjadi peluang.
Pertama, peluang untuk pengembangan bahasa Arab semakin terbuka,
karena seseorang
yang menguasai bahasa Arab dapat dipastikan memiliki modal dasar
untuk mendalami dan
mengembangkan kajian Islam, atau setidak-tidaknya mengembangkan
studi ilmu-ilmu keislaman
seperti: fiqh, tafsir, hadits, sejarah Islam, filsafat Islam,
dan sebagainya, dengan merevitalisasi
penelusuran (eksplorasi) dan elaborasi sumber-sumber aslinya.
Dengan kata lain, bahasa Arab
dapat dijadikan sebagai alat dan modal hidup untuk mencari dan
memperoleh yang lain di luar
bahasa Arab, baik itu ilmu maupun keterampilan berkomunikasi
lisan.
Kedua, pengembangan profesi keguruan, yaitu: menjadi tenaga
pengajar bahasa Arab
yang profesional. Sebab yang mempunyai kompetensi dan kewenangan
akademik dan
profesional di MI/SD, MTs/SMP, dan MA/SMU atau lembaga
pendidikan yang sederajat adalah
lulusan Pendidikan Bahasa Arab, bukan lulusan BSA (Bahasa dan
Sastra Arab) atau lainnya,
-
meskipun belakangan ini ada kecenderungan lulusan BSA mengambil
Program Akta Mengajar
(Akta IV) untuk memperoleh kompetensi dan kewenangan menjadi
guru.
Ketiga, penggiatan dan pembudayaan tradisi penelitian dan
pengembangan metodologi
pembelajaran bahasa Arab. Hal ini perlu dilakukan agar ilmu
bahasa Arab dan metodologi
pembelajarannya semakin berkembang dinamis dan maju. Melalui
penggiatan penelitian, tentu
saja, karya akademik dapat dihasilkan, dan pada gilirannya
komunitas pendidikan bahasa Arab
menjadi lebih tercerahkan. Oleh karena yang selama ini menjadi
hambatan setidak-tidaknya
kurang mengundang minat menelitiadalah rendahnya dana
penelitian, maka dipandang penting
pimpinan UIN mewajibkan setiapkan dosen untuk meneliti dan/atau
menulis karya-karya
akademik yang relevan dengan bidang keilmuannya. Kebijakan wajib
meneliti ini, tentu saja,
harus dibarengi dengan pemberian insentif (ujrah) yang memadai:
membuat khusyu, tekun,
dan menikmati proses penelitiannya.
Keempat, intensifikasi penerjemahan karya-karya berbahasa Arab,
baik mengenai
keilmuan dan keislaman ke dalam bahasa Indonesia dan/atau
sebaliknya. Profesi ini cukup
menantang dan menjanjikan harapan, meskipun penerjemah relatif
belum mendapat apresiasi
yang sewajarnya. Menarik dicatat bahwa salah satu faktor yang
mempercepat kemajuan
peradaban Islam di masa klasik adalah adanya gerakan
penerjemahan besar-besaran, terutama
pada masa Hrn al-Rasyd (786-809 M) dan al-Mamn (786-833 M).
Gerakan penerjemahan
itu disosialisasikan dengan ditunjang oleh adanya pusat riset
dan pendidikan seperti Bait al-
Hikmah (Wisma Kebijaksanaan).
Kelima, intensifikasi akses dan kerjasama dengan pihak luar,
termasuk melalui
Departemen Luar Negeri, agar pos-pos yang bernuansa atau
berbasis bahasa Arab dapat diisi
oleh lulusan PBA, yang meminati karir di bidang diplomasi dan
politik. Jika program peminatan
atau konsentrasi yang terkait dengan bahasa Arab dapat
dikembangkan, makna peluang untuk
memperoleh lapangan pekerjaan bagi alumni pendidikan bahasa Arab
menjadi lebih terbuka dan
kompetetif. Oleh karena itu, pembenahan internal, terutama
penjaminan mutu akademik dan
peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM (tenaga pendidik) yang
mengabdikan diri pada
Pendidikan Bahasa Arab mutlak harus didisiplinkan, baik dari
segi keilmuan maupun
kesejahteraan.
-
Keenam, pengembangan media dan teknologi pembelajaran bahasa
Arab. Kita selama ini
masih lemah atau belum mumpuni dalam menciptakan produk media
dan teknologi, sehingga
proses pembelajaran bahasa Arab di lembaga kita masih belum
mendapat sentuhan modernitas
yang bercirikan: mudah, cepat, tepat, dan efektif. Karena itu,
tenaga yang menekuni bidang ini
perlu dihasilkan atau dimiliki oleh Pendidikan Bahasa Arab.
Dengan kata lain, kita perlu
bermitra dan bersinergi dengan SDM yang memiliki kompetensi
untuk mengembangkan
teknologi pendidikan dan pembelajaran bahasa Arab yang modern.
Dengan begitu, tampilan atau
performansi pembelajaran bahasa Arab akan memiliki nilai tambah
(added value) dan daya tarik
tersendiri.
Ketujuh, sudah saatnya Pendidikan Bahasa Arab melahirkan
karya-karya akademik
(hasil-hasil penelitian, teori-teori baru, buku, media, dan
sebagainya) yang dapat memberikan
pencerahan masyarakat. Lahan pemikiran pendidikan bahasa Arab
sejauh ini belum tergarap
dengan baik, sehingga dalam hal ini kita masih miskin
produktivitas keilmuan. Menurut
Mahmd Fahm Hijz, studi bahasa Arab masih terus memerlukan karya
terutama di bidang
pengembangan kosakata dan istilah-istilah modern, ensiklopedi,
bank istilah sains dan teknologi,
dan sebagainya, sehingga bahasa Arab tidak dianggap sebagai
bahasa yang tidak mampu
beradaptasi dengan perkembangan ilmu dan teknologi.[20]
F. Epilog
Dari uraian reflektif dan elaboratif di atas, dapat disimpulkan
bahwa banyak persoalan
dan tantangan pendidikan bahasa Arab yang perlu dihadapi,
disikapi, dan dicarikan solusinya
secara akademik dan dalam batas-batas tertentusecara politik.
Isu pencitraan buruk terhadap
bahasa Arab, penggantian fushh dengan mmiyah, rendahnya minat
dan motivasi sebagian
peserta didik dalam belajar bahasa Arab seharusnya menyadarkan
kita semua bahwa kita masih
harus berpikir, bersikap, dan berdedikasi lebih optimal
(dedicate more and more) untuk
kemajuan pendidikan bahasa Arab di Indonesia.
Tantangan internal maupun eksternal pendidikan bahasa Arab harus
kita jadikan sebagai
peluang yang dapat memberikan prospek yang lebih cerah dan
menjanjikan bagi peminat dan
-
penggiat studi bahasa Arab di masa depan. Epistemologi keilmuan
dan kurikulum perlu dibenahi
dan diorientasikan kepada pembentukan kamahiran yang kompetitif
di era global ini. Semua itu
menuntut banyak pihak untuk bersinergi dalam menyatukan visi,
misi, arah kebijakan dan
pengembangan yang dilandasi oleh kajian akademik yang mendalam.
Selama lembaga
pendidikan Islam masih eksis, prospek pendidikan bahasa Arab
tetap akan cerah dan menjadi
daya tarik tersendiri.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana kita dapat membentuk
tradisi keilmuan bahasa
Arab yang dinamis, termasuk tradisi melakukan penelitian, dan
upaya serius dari pemerintah
(Depag maupun Diknas) untuk lebih peduli dan berkomitmen untuk
memayungi kebijakan-
kebijakan tentang pendidikan bahasa Arab di Indonesia yang lebih
menguatkan posisi tawar
bahasa Arab. Menarik ditegaskan, bahwa pemerintah Malaysia di
bawah Perdana Menteri
Abdullah Badawi menerbitkan kebijakan berupa pewajiban bagi
semua lembaga pendidikan
(Islam, Kristen, Budha, Konghucu, dsb.) untuk mengajarkan bahasa
Arab pada tingkat dasar dan
menengah, karena pemerintah menghendaki para lulusan lembaga
pendidikannya itu mempunyai
daya saing dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutal
masyarakat global. Selain itu,
penggunaan bahasa Arab pada bandara internasional Kuala Lumpur
sebagai salah satu media
informasi (di samping bahasa Inggris, Mandarin, dan Melayu),
ternyata banyak mengundang
mengundang minat wisatawan dan investori dari Timur Tengah, di
samping membuka lapangan
kerja bagi lulusan pendidikan bahasa Arab.
Akhirnya, kita berharap pemerintah banyak belajar dari
pengalaman negara yang sudah
lebih maju (seperti Malaysia) dalam menerbitkan kebijakan yang
berkaitan dengan pendidikan
bahasa Arab. Jika setiap tahun kita memberangkatkan lebih dari
210 ribu jamaah haji ke Arab
Saudi dan sekian banyak TKI ke negara-negara Timur Tengah,
mengapa kita tidak banyak
berusaha menarik minat wisatawan dan investor dari kawasan Timur
Tengah? Jadi, pendidikan
bahasa Arab akan semakin memberi prospek yang cerah dan
mencerahkan jika kebijakan
pemerintah dalam bidang ini lebih visioner.
Daftar Pustaka
rif, Abd al-Rahmn Hasan (Ed.), Tammm Hassn Ridan Lughawiyyan,
Kairo: lam al-Kutub, Cet. I, 2002.
-
Inni, Muhammad, Fann al-Tarjamah, Kairo: al-Syarikah
al-Mishriyyah al-lamiyyah, 1992.
Abdul Wahab, Muhbib, Quo Vadis Pendidikan Bahasa Arab di Era
Globalisasi, Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari BEMJ PBA FITK
UIN Jakarta, 29 Mei 2006.
Ab Zaid, Nashr Hmid, Mafhm al-Nashsh: Dirsat fi Ulm al-Qurn,
Kairo: al-Haiah al-Mishriyyah al-mmah li al-Kitb, 1993.
Anshr, Fard, Ishlh al-Talm wa Azmah al-Lughah al-Arabiyyah fi
al-lam al-Islm, diakses dari
Http//:www.albayan-magazine.com/Dialogues/12.htm, 20 Agustus
2007.
Ansori, Imam, Menuju Kurikulum PSPBA yang Kompetitif di Era
Global, dalam dalam Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan Nurbayan (Ed.),
Seminar Internasional Bahasa Arab
dan Sastra Islam: Kurikulum dan Perkembangannya, Bandung: UIN
Bandung, 2007.
al-Dakhl, Hamd ibn Nshir, Maqlt wa ra fi al-Lughah al-Arabiyyah,
Riydh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 1994, Cet. IV..
Emzir, Kebijakan Pemerintah tentang Pengajaran Bahasa Arab di
Madrasah dan Sekolah Umum, dalam Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan
Nurbayan (Ed.), Seminar Internasional Bahasa Arab dan Sastra Islam:
Kurikulum dan Perkembangannya,
Bandung: UIN Bandung, 2007.
Hassn, Tammm, al-Lughah al-Arabiyyah: Manh wa Manh, Kairo:
al-Haiah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitb, Cet. III, 1985.
Hassn, Tammm, Ijtihdt Lughawiyyah, Kairo: lam al-Kutub, 2007.
Hijz, Mahmd Fahm, al-Lughah al-Arabiyyah fi al-Ashr al-Hadts: Qadhy
wa Musykilt,
Kairo: Dr Qub, Cet. I, 1998.
al-Jln, Ibrhm Badaw, Ilm al-Tarbiyah wa Fadhl al-Arabiyyah ala
al-Lught, Kairo: al-Maktab al-Arabi li al-Marif, 2000.
al-Khl, Amn, Manhij al-Tajdd fi al-Nahwi wa al-Balghah wa
al-Tafsr wa al-Adab, Kairo:
Dr al-Marif, Cet. I, 1961.
Maktab, Nazr Muhammad, al-Fushha fi Muwjahat al-Tahaddiyt,
Beirut: Dr al-Basyir al-Islmiyyah, 1991.
Manshr ibn Shlih al-Ysuf, al-Lughah al-Arabiyyah wa Tahaddiyat
al-Ashr, diakses dari
http://www.suhuf.net.sa/2000jaz/dec/10/ar8.htm, 23 Oktober
2007.
Muhammad al-Ddwi, Ilm al-Tarjamah Baina al-Nazhariyyah wa
al-Tathbq, Tunis; Dr al-Marifah, 1992.
Musadd, Abd al-Salm, al-Lughah al-Arabiyyah wa al-Tahaddiyt
al-Jaddah, diakses dari http://www.alriyadh.com/2005/05/12/article,
30 Juni 2007.
-
Syhn, Abd al-Shabr, al-Tahaddiyt al-lati Tuwjihu al-Lughah
al-Arabiyyah, dalam al-Tuwaijir (Ed.), al-Lughah al-Arabiyyah ila
aina?, Rabth: Isesco, 2006.
Syhn, Abd al-Shabr, al-Tahaddiyt al-lati Tuwjihu al-Lughah
al-Arabiyyah, dalam
http://www.isesco.org.ma/pub/arabic/Langue_arabe/p9.htm., 25 Juli
2007.
Syamsuddin, Jamsuri Muhammad dan Mahdi Masud, Shubat Taallum
al-Lughah al-Arabiyyah lada Thullb al-Ulm al-Insniyyah (Ilm
al-Siysah) fi al-Jmiah al-Islmiyyah al-lamiyyah bi Malaysia, dalam
Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan Nurbayan (Ed.), Seminar
Internasional: Bahasa Arab dan Sastra Islam Kurikulum dan
Perkembangannya, Bandung: UIN Bandung, 23-25 Agustus 2007.
van Dijk, Teun A., Ilm al-Nashsh: Madkhal al-Mutadkhil
al-Ikhtishsht, terj. dari Textwissenscaft, eine interdiziplinare
Einfuhrung oleh Said Hasan Buhairi, Kairo: Dr al-
Qhirah, 2002.
Penulis adalah dosen dan Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Arab
(PBA) FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Makalah ini sudah
dimuat dalam Jurnal Afaq Arabiyyah, Vol. 2, No.
1 Juni 2007: 1-18. Jurnal ini diterbitkan oleh Jurusan
Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[1]Ilmu bahasa Arab tradisional, oleh Amn al-Khl, dari segi
potensi pengembangannya dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu: (1) ilm nadhaja wa ihtaraqa (ilmu yang
sudah matang dan terbakar), seperti ilmu nahwu dan ilmu kalam
(teologi), (2) ilm la nadlaja wa la ikhtaraq (ilmu yang tidak
matang dan tidak terbakar), seperti tafsir dan ilm al-bayn; dan ilm
nadlaja wa ma ikhtaraqa (ilmu yang sudah matang tetapi tidak
terbakar), seperti: fiqh dan hadits. Lihat Amn al-Khl, Manhij
al-Tajdd fi al-Nahwi wa al-Balghah wa al-Tafsr wa al-Adab,
(Kairo:
Dr al-Marif, 1961), Cet. I, h. 127 Pendapat bahwa nahwu itu
sudah matang dan selesai disanggah oleh Tammm Hassn. Menurutnya,
nahwu sebagai ilmu tetap berkembang, bergantung pada perspektif dan
metode
penelitian yang digunakan. Metode deskriptif (manhaj washf) yang
disumbangkan oleh linguistik modern cukup
kompatibel untuk dijadikan sebagai media untuk melihat ulang
(idah al-nazhar) dan mengembangkan nahwu dan ilmu-ilmu bahasa Arab
lainnya. Lihat Tammm Hassn, al-Lughah al-Arabiyyah: Manh wa Manh,
(Kairo: al-Haiah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitb, 1985), Cet.
III, h. 7. Dalam karyanya yang terbaru, Ijtihdt Lughawiyyah, ia
menyerukan pentingnya ijtihad dalam pemikiran bahasa Arab, karena
pemikiran linguistik Arab
banyak terkungkung oleh sejarahnya itu sendiri, di samping
karena kurangnya daya kritis para ulama bahasa Arab
kontemporer terhadap warisan intelektual Arab klasik. Bahkan
menurut Abd al-Salm al-Musadd, hegemoni nahwu historis (al-nahwu
al-trkh) itu jauh lebih kuat dibandingkan dengan perkembangan
pengetahuan (al-
tathawwur al-marif). Maksudnya, warisan pemikiran nahwu yang
telah menyejarah itu, dengan aneka perbedaan pendapat dan aliran
yang ada berikut tokoh-tokohnya, lebih banyak diwacanakan daripada
substansi keilmuan
nahwu itu sendiri. Lihat Tammm Hassn, Ijtihdt Lughawiyyah,
(Kairo: lam al-Kutub, 2007); dan Abd al-Salm al-Musadd, al-Lughah
al-Arabiyyah wa al-Tahaddiyt al-Jaddah, diakses dari
http://www.alriyadh.com/2005/05/12/article, 30 Juni 2007.
-
[2] Muhbib Abdul Wahab, Quo Vadis Pendidikan Bahasa Arab di Era
Globalisasi, Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari BEMJ PBA FITK
UIN Jakarta, 29 Mei 2006.
[3] Ada kecenderungan untuk mengembangkan kurikulum yang
berbasis keterampilan
komunikasi global. Melalui kurikulum yang demikian lulusan PBA
diharapkan memiliki
kompetensi berbahasa Arab aktif. Program Studi Pendidikan Bahasa
Arab (PSPBA) Universitas
Negeri Malang (UNM) misalnya mengalokasikan 58 sks (46%) untuk
mata kuliah keterampilan
berbahasa dari total 126 sks mata kuliah bidang studi. Dari segi
kuantitas, jumlah tersebut jauh
lebih besar dibandingkan dengan 18 sks yang dialokasikan Jurusan
Pendidikan Bahasa Arab
Fakultas Tarbiyah UIN Yogyakarta. Selain itu, pembentukan
keterampilan berbahasa diawali
dengan program bahasa Arab intensif selama satu tahun dengan
bobot 24 sks. Lihat Imam
Ansori, Menuju Kurikulum PSPBA yang Kompetitif di Era Global,
dalam dalam Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan Nurbayan (Ed.), Seminar
Internasional Bahasa Arab dan Sastra
Islam: Kurikulum dan Perkembangannya, (Bandung: UIN Bandung,
2007), h. 143-4.
[4] Baca Abd al-Shabr Syhn, al-Tahaddiyt al-lati Tuwjihu
al-Lughah al-Arabiyyah, dalam al-Tuwaijir (Ed.), al-Lughah
al-Arabiyyah ila aina?, (Rabath: Isesco, 2006).
[5] Bandingkan Abd al-Shabr Syhn, al-Tahaddiyt al-lati Tuwjihu
al-Lughah al-Arabiyyah, dalam
http://www.isesco.org.ma/pub/arabic/Langue_arabe/p9.htm., 25 Juli
2007.
[6] Syhn, al-Tahaddiyt dalam http://www.isesco.org.ma 25 Juli
2007.
[7] Fard al-Anshr, Ishlh al-Talm wa Azmah al-Lughah al-Arabiyyah
fi al-lam al-Islm, diakses dari
Http//:www.albayan-magazine.com/Dialogues/12.htm, 20 Agustus
2007.
[8] Manshr ibn Shlih al-Ysuf, al-Lughah al-Arabiyyah wa
Tahaddiyat al-Ashr, diakses dari
http://www.suhuf.net.sa/2000jaz/dec/10/ar8.htm, 23 Oktober
2007.
[9] Lihat Nazr Muhammad Maktab, al-Fushha fi Muwjahat
al-Tahaddiyt, (Beirut: Dr
al-Basyir al-Islmiyyah, 1991).
[10] Harus diakui bahwa saat ini bahasa Arab sedang kalah
pasaran dibandingkan dengan bahasa internasional lainnya, seperti
bahasa Inggris dan Mandarin karena beberapa
sebab. Salah satunya adalah karena umat Islam saat ini
terbelakang dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan hegemoni bahasa Inggris yang
cukup kuat karena banyaknya negara yang pernah menjadi jajahan
Inggris, termasuk Amerika, yang kemudian menjadikan
bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa pengantar di
lembaga-lembaga pendidikan,
seperti di India, Malaysia, Singapura, di samping karena
stabilnya sistem politik dan
perekonomian negara ini.
[11] Emzir, Kebijakan Pemerintah tentang Pengajaran Bahasa Arab
di Madrasah dan Sekolah Umum, dalam Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan
Nurbayan (Ed.), Seminar Internasional Bahasa Arab dan Sastra Islam:
Kurikulum dan Perkembangannya, (Bandung:
UIN Bandung, 2007), h. 2-3.
-
[12]Jamsuri Muhammad Syamsuddin dan Mahdi Masud, Shubat Taallum
al-Lughah al-Arabiyyah lada Thullb al-Ulm al-Insniyyah (Ilm
al-Siysah) fi al-Jmiah al-Islmiyyah al-lamiyyah bi Malaysia, dalam
Dudung Rahmat Hidayat dan Yayan Nurbayan (Ed.), Seminar
Internasional: Bahasa Arab dan Sastra Islam Kurikulum dan
Perkembangannya, Bandung, 23-
25 Agustus 2007, h. 23-25.
[13] Diakui bahwa Universitas Islam al-Imam Muhammad Ibn Sad
yang berpusat di Riydh telah membuka Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam
dan Arab/LIPIA (Mahad al-Ulm al-Islmiyyah wa al-Arabiyyah) di
beberapa negara seperti: Jepang, Indonesia, Mauritania, Jibouti,
dan Amerika Serikat atas biaya Saudi. Lembaga ini, antara lain
bertujuan untuk
menyebarluaskan pendidikan bahasa Arab. Lembaga ini juga
menyediakan perpustakaan yang
relatif memadai. Namun, program semacam ini tidak diikuti oleh
negara-negara teluk lainnya
yang kaya minyak bumi seperti Kuwait, Uni Emirat Arab, dan
Qatar. Keberadaan LIPIA di
Jakarta cukup memberikan kontribusi positif bagi pendidikan
bahasa Arab di Indonesia, namun
belum cukup menjangkau dan memenuhi animo pelajar Muslim di
Indonesia karena keterbatasan
daya tampung dan lainnya. Ke depan, lembaga semacam LIPIA ini
diharapkan dapat didirikan
di Indonesia atas biaya beberapa negara Arab tersebut; atau
setidak-tidaknya dapat dibuka
Kuwait Corner, Qatar Corner, Emirat Corner, dan sebagainya,
sehingga tercipta al-tabdul al-
ilm wa al-tsaqf (pertukaran ilmu dan budaya). Baca Hamd ibn
Nshir al-Dakhl, Maqlt wa ra fi al-Lughah al-Arabiyyah, (Riydh:
Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 1994), Cet. IV, h. 83.
[14]Lihat Teun A. van Dijk, Ilm al-Nashsh: Madkhal al-Mutadkhil
al-Ikhtishsht, terj. dari Textwissenscaft, eine interdiziplinare
Einfuhrung oleh Said Hasan Buhairi, (Kairo: Dr al-
Qhirah, 2002).
[15] Kajian mengenai teks di dunia Arab cukup semarak karena
peradaban Islam mewariskan
teks yang sangat melimpah. Nashr Hmid Ab Zaid menyatakan bahwa
jika peradaban Mesir
kuno adalah peradaban pascakematian (Mummi, piramida, makam
raja-raja); peradaban Yunani
adalah peradaban nalar (akal, filsafat), maka peradaban Islam
adalah peradaban teks (nash).
Lihat Nashr Hamid Ab Zaid, Mafhm al-Nashsh: Dirsat fi Ulm
al-Qurn, (Kairo: al-Haiah al-Mishriyyah al-mmah li al-Kitb, 1993),
h. 11.
[16] Kajian mengenai stilistika pada merupakan bagian dari ilmu
balaghah. Seiring dengan
perkembangan ilmu bahasa dan sastra Arab, dan estetika
(keindahan, termasuk keindahan
bahasa), muncullah kajian yang lebih intensif dan mengarah
kepada pembentukan ilmu uslb. Di
antara karya yang berkaitan dengan ilmu ini adalah: al-Uslb:
Dirsah Balghiyyah Tahliliyyah
li Ushl al- Aslb al-Adabiyyah (1993) karya Ahmad al-Syyib; Ilm
al-Uslub: Mabadiuhu wa Ijraatuhu (1983) karya Shalh Fadhl; dan
Jamliyyah al-Uslb: al-Shrah al-Fanniyah fi al-Adab al-Arab karya
Fyiz al-Dyah.
[17]Tarjamah misalnya semula hanya merupakan salah satu cabang
bahasa Arab yang
disubordinasikankan dalam buku-buku pelajaran bahasa Arab. Dalam
perkembangannya, tarjamah kemudian menjadi sebuah mata kuliah, dan
belakangan menjadi sebuah program studi
seperti yang ada pada Fakultas Adab dan Humaniora. Demikian
pula, karya-karya tentang
tarjamah mula-mula misalnya hanya berupa fann (seni); belakangan
kata ilm disebutkan secara
-
tegas. Lihat misalnya, Muhammad Inni, Fann al-Tarjamah, (Kairo:
al-Syarikah al-Mishriyyah al-lamiyyah, 1992); Muhammad al-Ddwi, Ilm
al-Tarjamah Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbq, (Tunis; Dr
al-Marifah, 1992); dan Ibrhm Badaw al-Jln, Ilm al-Tarbiyah wa Fadhl
al-Arabiyyah ala al-Lught, (Kairo: al-Maktab al-Arabi li al-Marif,
2000).
[18] Pemikiran tokoh-tokoh tersebut juga sangat layak dijadikan
sebagai obyek penelitian,
baik dalam rangka penulisan skripsi, tesis, maupun disertasi. Di
antara tokoh pendidikan bahasa
Arab yang sangat produktif adalah Rusyd Ahmad Thuaimah. Selain
aktif di Isesco, dia adalah peneliti, dosen terbang di berbagai
perguruan tinggi di Timur Tengah. Di antara karyanya yang
banyak menjadi referensi dalam pendidikan bahasa Arab bagi
non-Arab adalah al-Marji fi Talm al-Lughah al-Arabiyyah li
al-Nthiqna bi Lught Ukhra (1986); Talm al-Kibar: Takhthth Barmijihi
wa Tadrs Mahrtihi (1999), Talim al-Lughah al-Arabiyyah li ghair
al-Nthiqna biha: Manhijuhu wa Aslbuhu (1989); Manhij Tadrs
al-Lughah al-Arabiyyah bi al-Talm al-Ass (2001); Talim al-Lughah
al-Arabiyyah wa al-Dn baina al-Ilm wa al-Fann (2000); dan yang
terbaru, Talm al-Lughah Ittishliyyan: Manhijuhu wa Istirjiyyatuhu
(2006).
[19] Dalam konteks ini, usaha Tammm Hassn (1918sekarang),
linguis Mesir kontemporer, untuk mengaplikasikan teori-teori
linguistik modern dalam kajian bahasa Arab
(terutama nahwu) cukup berhasil. Ia mendasarkan studinya dengan
membangun landasan ilmiah
terlebih, yaitu merumuskan Manhij al-Bahts fi al-Lughah (1955),
metodologi penelitian bahasa.
Setelah itu, ia membongkar (mendekonstruksi) warisan intelektual
klasik (nahwu), lalu
merekonstruksinya dengan menawarkan model kajian bahasa Arab
yang lebih realistis, rasional,
dan pragmatis. Pendekatan dalam kajian bahasan menurutnya sangat
luas dan luwes, sesuai
dengan fungsi bahasa itu sendiri. Bahasa Arab dapat didekati
dari perspektif pendidikan,
penelitian, sejarah, kritik, dan evaluasi. Berbagai pendekatan
tersebut, setelah diaplikasikan,
menghasilkan sejumlah karya yang cukup monumental. Di antaranya:
al-Lughah al-Arabiyyah: Manh wa Mabnh (1973), al-Ushl: Dirasah
Epistemolojiyyah li al-Fikr al-Lughawi Inda al-Arab: al-Nahw Fiqh
al-Lughah al-Balghah (1981); al-Tamhd fi Iktisb al-Lughah
al-Arabiyyah li Ghair al-Nthiqna bih (1984); al-Khulshah
al-Nahwiyyah (2000), al-Bayn fi Rawi al-Qurn (1993). Mengenai
biografi intelektualnya, lihat Abd al-Rahmn Hasan al-rif (Ed.),
Tammm Hassn Ridan Lughawiyyan, (Kairo: lam al-Kutub, 2002), Cet. I,
h. 13-33.
[20] Mahmd Fahm Hijz, al-Lughah al-Arabiyyah fi al-Ashr
al-Hadts: Qadhy wa Musykilt, (Kairo: Dr Qub, 1998), Cet. I, h.
79.