Top Banner
513 TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN II TAHUN 2004 Oleh : Purwoko Abstract There are many problems in the implementation of decentralization and local autonomy in Indonesia, in terms of: (1) Authority and responsibility between central, provincial, regencial/municipal, village government; (2) Local leadership; (3) Representative/ Legislative and political party; (4) Local finance; (5) Democracy and village autonomy. Besides, there are many flaws, uncertainties, and anxieties in the concept of local autonomy, the function of central government and its organs, authority, organization structure and working order, local arrogance, leadership by the local- people, People’s Assembly, financial management, local financial management, and policy inconsistency. These problems have to be solved by among other shifting paradigm, from constructional paradigm to empowerment, to create self-reliance through social learning. The right implementation of decentralization and local autonomy will be beneficial for the central government, empower the society/government, guarantee heterogeneity and local plurality, create democracy, and enhance the people’s self-reliance and participation in development activities, besides enhancing the government’s responsiveness. Keywords: local autonomy, implementation A. PENDAHULUAN Desentralisasi dan Otonomi Daerah menjadi issue penting bagi rakyat Indonesia sejak terjadi pergantian rezim akibat krisis ekonomi tahun 1998 lalu. Mengapa Desentralisasi dan Otonomi Daerah demikian mencuat? Saat terjadi reformasi masyarakat segera merasakan bagaimana implemen- tasi desentralisasi dan otonomi daerah waktu itu (selama lebih dari 30 tahun) yang sesungguhnya adalah sentralisasi dan pseudo-otonomi . Sejak lahirnya Demokrasi Terpimpin pada masa Presiden Soekarno, demokrasi dan desentralisasi yang dijalankan pada dekade 1950-an mengalami kematian, digantikan oleh otoritarianisme dan sentralisasi yang semakin menguat pada masa Orde Baru Presiden Soeharto. UU Pemerintahan Daerah yang dibuat pada masa itu (UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 5 Tahun 1979), secara empirik tidak menunjukkan per- baikan substansial dalam arti merealisasikan desentralisasi dan demokratisasi. Penciptaan suatu struktur pemerintahan pada masa
23

TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

Oct 20, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

513

TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCAPILPRES PUTARAN II TAHUN 2004

Oleh : Purwoko

Abstract

There are many problems in the implementation of decentralization andlocal autonomy in Indonesia, in terms of: (1) Authority and responsibility betweencentral, provincial, regencial/municipal, village government; (2) Local leadership;(3) Representative/ Legislative and political party; (4) Local finance; (5)Democracy and village autonomy. Besides, there are many flaws, uncertainties,and anxieties in the concept of local autonomy, the function of central governmentand its organs, authority, organization structure and working order, local arrogance,leadership by the local- people, People’s Assembly, financial management, localfinancial management, and policy inconsistency. These problems have to besolved by among other shifting paradigm, from constructional paradigm toempowerment, to create self-reliance through social learning. The rightimplementation of decentralization and local autonomy will be beneficial for thecentral government, empower the society/government, guarantee heterogeneityand local plurality, create democracy, and enhance the people’s self-relianceand participation in development activities, besides enhancing the government’sresponsiveness.

Keywords: local autonomy, implementation

A. PENDAHULUANDesentralisasi dan Otonomi

Daerah menjadi issue penting bagirakyat Indonesia sejak terjadipergantian rezim akibat krisisekonomi tahun 1998 lalu. MengapaDesentralisasi dan Otonomi Daerahdemikian mencuat? Saat terjadireformasi masyarakat segeramerasakan bagaimana implemen-tasi desentralisasi dan otonomidaerah waktu itu (selama lebih dari30 tahun) yang sesungguhnya adalahsentralisasi dan pseudo-otonomi.Sejak lahirnya Demokrasi Terpimpin

pada masa Presiden Soekarno,demokrasi dan desentralisasi yangdijalankan pada dekade 1950-anmengalami kematian, digantikanoleh otoritarianisme dan sentralisasiyang semakin menguat pada masaOrde Baru Presiden Soeharto. UUPemerintahan Daerah yang dibuatpada masa itu (UU No. 5 Tahun 1974dan UU No. 5 Tahun 1979), secaraempirik tidak menunjukkan per-baikan substansial dalam artimerealisasikan desentralisasi dandemokratisasi. Penciptaan suatustruktur pemerintahan pada masa

Page 2: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

514

Orde Baru berdasarkan azasdesentralisasi bukan merupakanrefleksi pemihakan politik padagagasan pemencaran kekuasan,tetapi lebih sebagai instrumen untukmelayani kepentingan pembangunanekonomi yang menjadi agendautama Politik Orde Baru. Dengandemikian desentralisasi yang tertulisdiatas kertas UU No. 5/1974 dan UUNo. 5/1979 hanya merupakaninstrumen legitimasi Orde Baru untukmenunjukkan pada masyarakat dandunia luar bahwa pemerintahannyasecara formal dikelola secaradesentralistik (Sutoro Eko, 2002 : 6).

Namun setelah Desentralisasidan Otonomi Daerah yang diidam-idamkan dilaksanakan lewat UU No.22 Tahun 1999 ternyata banyakmenimbulkan kekecewaan dankegusaran. Muncul kecaman dankritikan bahwa Desentralisasi danOtonomi Daerah merupakan sumbermalapetaka. Seperti terjadinyabahaya separatisme, disintegrasi,konflik-konflik horizontal, pertikaianantar daerah, kesenjangan,meluasnya KKN ke daerah dansebagainya.

B. PEMBAHASANKe depan tantangan pelak-

sanaan Desentralisasi dan OtonomiDaerah masih akan menghadangkarena paradigma baru Desen-tralisasi dan Otonomi Daerah masihbersifat formalistik, pemahaman atasparadigma tersebut keliru, selain itukomitmen elite (baik politik maupunbirokrasi) sangat rendah dan

kepemimpinan nasional yang singkatdan lemah. Hal itu akan membuatmunculnya masalah-masalah, salahkaprah, kebingungan, dan kegama-ngan saat ini maupun di masa yangakan datang. Masalah-masalahtersebut menurut Sutoro Eko adalah(Sutoro Eko, 2002 : 22—27) :1. Masalah Kewenangan dan

Tanggung Jawab. Konflik kewe-nangan antara pusat, propinsi,kabupaten/kota dan juga desamerupakan masalah sehari-hariyang bisa didengar dan dilihat dimedia massa. Pangkal konflikadalah perebutan sumberdaya.Kalau menyangkut kewenangan,antar tingkat pemerintahan akanmelakukan klaim, tetapi begitusampai pada tanggungjawabatau kewajiban, mereka salingcuci tangan atau lempartanggungjawab. Antara pusat dandaerah kini terus berebut soalaset nasional di daerah sepertipelabuhan, bandara, pabrik/industri strategis, perkebunan,pertambangan, dan sebagainya.Padahal dalam pengelolaanpelabuhan dan bandara misalnyaterkait kemampuan dan se-sungguhnya pengelola menyedia-kan fasilitas dan memenuhipersyaratan lalu lintas udara/lautberstandard internasional.Dahulu, dari pengadaan sampaiperawatan terhadap aset-aset ituditanggung oleh pusat dan semuahasilnya disedot ke Jakarta.Sekarang diera reformasi oto-nomi daerah berhubung aset-

“Dialogue” JIAKP, Vol.1, No. 3, September 2004 : 513-535

Page 3: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

515

aset tersebut berada di daerah,maka daerah berusaha mere-butnya dari pusat. Tetapi kalausudah berurusan dengan saranadan prasarana yang rusak atauterjadi bencana alam antarapusat dengan daerah salinglempar tanggung jawab. Kete-gangan dan pertikaian antarpropinsi, Kabupaten/Kota tidakhanya terkait dengan sumberdaya tetapi juga politik, adminis-tratif, dan bahkan simbolik. Dimasa lalu konflik antar tingkatdaerah ini tidak pernah terjadikarena azas sentralisasi yangdianut secara ketat.

2. Kepemimpinan LokalRekrutmen politik lokal

secara formal dijamin lebihterbuka dan kompetitif. Tetapirekrutmen politik demikian bukanberarti tanpa masalah. Dalamrekrutmen Kepala Daerah yangterbuka dan demokratis seringterjadi “Money Politics terbuka”.Kalau dulu zaman Orde Barumoney politics yang mengikutipemilihan Kepala Daerah hanyapada jajaran elite birokrasi sajayakni Bupati/Walikotamadyamemberi upeti pada Gubernurdan Gubernur memberi upetipada Mendagri. Tetapi padamasa awal zaman Reformasipara calon Kepala Daerah harusmemberi upeti pada anggotaDPR yang akan memilihnya.Kelak jika UU mengenai Pemi-lihan Kepala Daerah telahdiundangkan, maka money

politics tersebut akan menetes kebawah yakni ke masyarakatlangsung. Sekilas hal ini sepertiberkah bagi rakyat tetapi Widelymoney politics tersebut berdam-pak buruk pada kinerjapemerintahan daerah. kepalaDaerah menjadi kurang pekaterhadap aspirasi masyarakatdan yang lebih buruk lagi adalahKepala Daerah menjadi rakus,tidak akuntabel dan tidaktransparan dalam mengelolakeuangan daerah. MenurutAugust Riewanto (Kompas,September 2004, hal D) ada 5problematika materiil RUUpengganti UU No. 22/1999, yaitu:a. Berkaitan dengan pintu

masuknya pencalonan;b. Aspek dana dan waktu

penyelenggaraan;c. Aspek putaran dalam

pemilihan;d. Pembatasan calon;e. Aspek penyelenggaraan dan

pengawasan.

Berkaitan dengan pintumasuk pencalonan tampaknyamayoritas anggota Panja DPRsepakat, pencalonan hanya dapatdilakukan melalui satu pintu yaknipartai politik. Kalau ketentuannyademikian berarti menutupkemungkinan munculnya calondari luar parpol. Padahal peranparpol di daerah tidak dirasakanoleh rakyat, selain itu rakyatdaerah juga bosan denganperilaku negatif dan tidak

Tantangan dan Prospek Otonomi Daerah Pasca Pilpres Putaran II (Purwoko)

Page 4: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

516

dewasanya elite parpol di DPRD.Pendeknya parpol di daerahbelum mampu melakukanrekrutmen calon pemimpin.

Adapun mengenai aspekdan waktu penyelenggaraan,muncul pemikiran untuk membuatstandart baku penggunaan danaminimal dan perlunya dana silangdari APBN dan APBD. Penye-lenggaraan pemilihan denganmenggunakan dana APBDmengundang kerawanan konflikpenyelenggaraan di daerahkarena APBD setiap daerahsangat variatif. Konflik akanmuncul jika daerah tidak mampumembiayai karena minimnyaanggaran pendapatan daerah.Jika kelak UU Otonomi Daerahjadi disahkan akhir tahun 2004 ini,perlu sosialisasi dalam jangkawaktu satu tahun sehinggapenyelenggara dapat memper-siapkan tata cara yang bersifatteknis tidak perlu ada kesera-gaman tahun kapan bagi tiapdaerah, cukup didasarkan padahabisnya masa kerja pimpinandaerah di wilayah masing-masing pasca terpilihnyapresiden baru.

Dalam hal putaran penye-lenggaraan Pilkada, terdapat duapemikiran pertama cukup satuputaran dengan maksud meng-hemat dana penyelenggaraandan implikasi sosial politiknya,namun cara ini memiliki keku-rangan yakni seorang calon (dari3 atau 4 orang calon) yang meraih

kemenangan tipis, dianggaptidak signifikan, sehingga kuranglegitimasinya. Kedua melalui duaputaran yang sudah barang tentuakan memakan waktu lebih lamadan menelan dana lebih besar,tetapi kelebihan dengan cara ini,suara (kemenangan) yang diraihseorang calon cukup signifikankarena tahap akhir merupakankristalisasi atau pengerucutankehendak rakyat atas dua calonyang lolos dari tahap pertama.

Mengenai perlu atau tidak-nya pembatasan calon setidak-nya terdapat dua gagasan.Pertama perlu pembatasan calonsehingga lebih mempermudahmekanisme administrasi pemi-lihan serta menghemat dana.

Kedua tidak membatasijumlah calon untuk memberikankebebasan kepada rakyat dalammemilih dan mengajukanalternatif calon pemimpin daerah,sehingga diharapkan dapatmenemukan pemimpin yangberkualitas/mampu dan diterimarakyat.

Tentang penyelenggaraandan pengawasan Pilkada, secaraumum wacana yang berkembangadalah mengukuhkan kembaliKPU di daerah sebagai penye-lenggara dan Panwas sebagaipengawasnya. Wacana ini perludiaspresiasi positif mengingatKPU dan Panwas adalahlembaga yang telah memilikibekal pengalaman yang cukupdalam penyelenggaraan Pemilu

“Dialogue” JIAKP, Vol.1, No. 3, September 2004 : 513-535

Page 5: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

517

dan Pilpres. Penyelenggaraandan pengawasan ini perludicermati mengingat pelang-garan-pelanggaran dan konflikdalam Pilkada langsung ini jauhlebih intens dan lebih kompleks.

3. Masalah PerwakilanKedudukan DPRD diera

otonomi sangat kuat. Akan tetapisecara empirik DPRD sekarangmengidap banyak kekurangandan kelemahan. Banyak sinyale-men yang menyatakan bahwalegislatif daerah sekarang ini jauhlebih kompleks “penyakitnya”.Kalau dulu mereka ini digambar-kan sebagai wakil rakyat 4D(datang, duduk, dengar, duit)maka sekarang mereka berbedasecara diametral. DPRD seringmelampaui batas-batas kewena-ngannya sebagai legislatif,berubah fungsi dari pengawasanmenjadi fungsi peradilan, lebiharogan, campur tangan terlalujauh dalam urusan birokrasi sipil,kurang becus, tidak pekaterhadap aspirasi rakyat, korup,dan sebagainya. Pengungkapankasus-kasus korupsi, manipulasi,dan mark-up anggaran gunakepentingan pribadi merekadibeberapa daerah sepertiSumatera Barat, Riau, JawaTengah, dan lain-lain menguatkansinyalemen diatas kekurangandan kelemahan DPRD bisadirunut pada asal muasalnyayakni partai politik, karena parpoladalah merupakan institusipemasok terbesar (kalau tidak

boleh disebut sebagai satu-satunya) anggota-anggotaDPRD.

Telah banyak ungkapanyang mengeluhkan penampilanparpol pada era pasca Pemilu1999, namun yang menarikbahwa ditengah merosotnyakepercayaan terhadap parpoldan elitenya jumlah parpol justrumeningkat. Sampai awal tahun2003 Depkeh dan HAM mencatatsebanyak 268 parpol yangmendaftarkan diri.

Setelah diseleksi jumlahparpol yang mengikuti pemilu2004 menyusut drastis hanyatinggal 24. Penciutan ataupenyusutan besar-besaran iniberkait implementasi secaraketat UU No. 31/2002 yangmengatur dan menentukanpersyaratan berat bagi parpolyang ikut dalam kontest politiktersebut.

Keberadaan parpol di-manapun dalam negara demo-kratis merupakan salah satu tiangutama, disamping tiang utamalain seperti LSM dan pers.Namun hanya parpollah satu-satunya pintu masuk (entry point)bagi orang yang berkeinginanmenjadi anggota legislatif.Idealnya parpol adalah suatuinstitusi bagi rekruitmenkepemimpinan yang sehat,media/wahana pendidikan politikyang baik bagi masyarakat,penyerap dan penerus aspirasidan tuntutan masyarakat, serta

Tantangan dan Prospek Otonomi Daerah Pasca Pilpres Putaran II (Purwoko)

Page 6: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

518

arena komunikasi politik timbalbalik, sebagaimana dikemuka-kan oleh Gabriel Almond danBingham Powell (RusadiKantaprawira, 1997 : 208), akantetapi realita menunjukkan bahwapanggang jauh dari api.

Paling kurang ada empat (4)kelompok kecenderungan yangmuncul dalam perilaku danperformance parpol. Pertama,berkembangnya kepemimpinanyang personal dan oligarkis.Kecenderungan ini dapatditemukan pada hampir semuapartai besar yang tengahmenikmati kekuasaan saat ini.Kasus partai PDIP dan PKBmungkin merupakan contohpaling tepat, karena hampirsemua pilihan politik partai iniberpulang pada keputusan akhirMegawati dan AbdulrahmanWahid. Ironisnya muncul pulakecenderungan di lingkunganelite parpol untuk menyelamatkankepentingan dan pilihan sangpemimpin besar ketimbangmempertaruhkan integritas,kepentingan parpol dan citrapublik parpol.

Kedua, parpol yang mesti-nya merupakan organisasimodern dan rasional, berkem-bang menjadi semacam pagu-yuban arisan bagi mobilitasvertikal para elite politik yangsaling bersaing dalam memper-sembahkan loyalitasnya ter-hadap sang pemimpin atau ketuaumum parpol. Tidak ada upaya

melembagakan tradisi berorga-nisasi secara rasional, kolegialdan demokratis serta bertang-gungjawab, karena tidak jarangkeputusan dan pilihan politikditentukan secara sepihak danoligarkis oleh segelintir elite ataubahkan satu orang yaknipemimpin partai politik.

Ketiga, merosotnya etikadan moralitas politik ke titik palingrendah menjadi kecenderunganyang paling memperhatikandibalik realitas perilaku partaidewasa ini. Ketiadaan etika danmoralitas itu pula yang bisamenjelaskan fenomena marak-nya kasus korupsi dan politikuang dikalangan parpol, legislatifdan eksekutif di pusat dan didaerah dewasa ini. Masa tekelumtahun 1998 anggota dan eliteparpol yang duduk di dalamDewan Perwakilan baik pusatmaupun daerah umumnya hanyamakmum saja jika diatur oleheksekutif, tetapi sekarangkecenderungan yang terjadiadalah anggota Dewan Per-wakilan yang notabene anggotaparpol mengatur eksekutif untukkeuntungan bersama lewatmacam-macam pos dalamAPBD seperti, studi banding,dana mobilitas, tali asih,kadeudeuh, purna bakti, dansebagainya. Yang jika tidakdipenuhi oleh eksekutif akan“diganggu” LPJ nya (LaporanPertanggung Jawaban).

“Dialogue” JIAKP, Vol.1, No. 3, September 2004 : 513-535

Page 7: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

519

Keempat, sebagian besarparpol kita pada umumnya miskinvisi tentang perubahan, sehinggayang muncul akhirnya retorika danslogan yang hampir sama bagisemua parpol. Hampir semuaparpol bicara tentang persatuan,keadilan, pembangunan, dankesejahteraan rakyat, tetapi tidakpernah jelas bagi masyarakat,apa perbedaan konsep keadilanpartai satu dengan lainnya. Begitupula partai bicara demokrasi danpemerintahan yang bersih, tetapitidak punya agenda spesifikoperasional dan implementatiftentang bagaimana demokrasidiwujudkan dan korupsi di-berantas. Akibatnya yang ber-langsung adalah kecenderunganpolitisi untuk bersembunyi dibaliksimbol-simbol kultural ideologisserta retorikat dan slogan yangbersifat membodohi ketimbangmencerdaskan masyarakat(Syamsudin Haris, Kompas Mei2004, hal 2).

4. Masalah KeuanganKeuangan daerah merupa-

kan problem yang sangat krusialdalam implementasi otonomidaerah. Masalah pertama yangpaling kontroversial adalahPemda sangat bernafsu mening-katkan PAD. Tampaknya jargonautonomy is outomoney merupa-kan dalil yang dipegang olehPemda.

Ada perasaan kuat bahwaotonomi akan benar-benar nyataapabila daerah bisa meningkat-

kan persentase PAD terhadapAPBD. Untuk meningkatkanPAD, Daerah berusaha melaku-kan intensifikasi dan eksten-sifikasi pungutan baik pajakmaupun retribusi. Kuatnyadorongan untuk meningkatkanPAD seringkali membuat Pemda“memungut” apapun dari siapa-pun. Sampai-sampai munculkeluhan dari calon investor didaerah bahwa belum-belumPemda sudah berusaha menarikpungutan padahal yang ber-sangkutan baru menjajagikemungkinan investasi di daerahitu.

Persoalan lain adalahmenyangkut Dana Alokasi Umum(DAU). DAU dimaksud untukpemerataan, yaitu untuk menga-tasi potensi ketimpangan antardaerah karena ketidakmerataanpenerimaan pajak maupunkelangkaan sumber-sumber dayaalam. Karena itu jumlah alokasiDAU ditentukan sekaligus olehkapasitas keuangan/fiskal danbeban pengeluaran dari daerah.Issue yang mencuat dewasa iniadalah keluhan dari beberapadaerah (terutama propinsi)bahwa jumlah DAU tidak men-cukupi sehingga sebagiankebutuhan belanja pegawai tidakterpenuhi. Masalah ini cenderungbermula dari pemahaman keliru,bahwa DAU itu dimaksudkan jugauntuk membiayai seluruh belanjapegawai daerah. Selain itukekurangan DAU banyak dikeluh-

Tantangan dan Prospek Otonomi Daerah Pasca Pilpres Putaran II (Purwoko)

Page 8: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

520

kan oleh propinsi karenamemang design formula di-rumuskan dengan asumsi bahwaotonomi berada di Kabupaten/Kota, sehingga beban untukpropinsi tidak terlalu berat.

5. Masalah Demokrasi danOtonomi Desa

UU No. 22/1999 berusahamendudukkan kembali desa ataudengan nama lain di beberapadaerah sebagai kesatuanmasyarakat hukum terendah yangmemiliki asal usul otonomi asliyang diakui dan dihormati olehsistem pemerintahan NegaraKesatuan RI. Hal ini berbedadengan UU No. 5 Tahun 1979yang mengatur pemerintahandesa secara seragam di seluruhIndonesia ala desa-desa di Jawa.UU No. 22/1999 juga menyata-kan penghapusan LembagaMusyawarah Desa (LMD) yangdigantikan oleh Badan Per-wakilan Desa (BPD) yangdiberikan kewenangan untukmelakukan legislasi desa,melakukan kontrol terhadappemerintah desa dan mengayomiadat istiadat setempat. Tetapi diatas kertas sebenarnya otonomidesa tidak memperoleh tempatyang memadai, karena ketentuandalam UU No. 22/1999 tidakkonsisten menegaskan bahwaotonomi daerah berhenti dikabupaten/kota dan pemberianotonomi desa sesuai aslinya.Tampaknya UU No. 22/1999mengakui otonomi desa, tetapi

tidak secara tegas memberikanjaminan tentang desentralisasikewenangan, tanggungjawab danfiskal dari Kabupaten/Kota. UUNo. 22/1999 ini bahkan tidaktegas mengatur batas-batasdesentralisasi antara Propinsi;Kabupaten/Kota dan Desa. UUini secara empirik digunakan olehKabupaten sebagai senjata untukmenghentikan otonomi diKabupaten dan tidak mengakuiotonomi desa. Desa dianggapsebagai wilayah yang beradadalam domain kekuasaan dankewenangan Kabupaten. Desatetap dipandang sebelah mataoleh banyak pihak, dan secaraempirik maupun normatif tetapmenjadi subordinat yang harustunduk pada perintah Kabupaten.Bahkan desa hampir hilang daripeta wacana, pemikiran, dankebijakan desentralisasi, padahaldesa mempunyai sejarah aslidan tradisi self-governingcommunity yang jauh lebih tuadaripada Kabupaten dan Negara.

Disamping masalah yangtelah dipaparkan diatas timbulpula praktik-praktik salah kaprah,kegamangan, kebingungan,kebimbangan dan lain-lain.Menurut Teguh Yuwono ada 10salah kaprah, 6 kebimbangandan 7 kebingungan (TeguhYuwono, 2002, hal 3).

Salah kaprah yang pertamaadalah tentang konsep otonomidaerah. Konsep otonomi daerahyang digunakan sekarang

“Dialogue” JIAKP, Vol.1, No. 3, September 2004 : 513-535

Page 9: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

521

sebetulnya bermaksud menganutperspektif political decentrali-zation tetapi sangat kentalberwarna administrative decen-tralization. Perspektif kedua iniberpendapat bahwa pengaturanhubungan kekuasaan antarapemerintah pusat dan daerahtidak harus dalam bentuk thedevolution of power tetapi dapatdalam bentuk transfer of authority(Cheema dan Rondinelli, 1983,hal 18). Tujuan utama daridesentralisasi ini adalah untukmewujudkan terciptanya efisiensidan efektivitas penyelenggaraanpemerintahan dan pembangunandi daerah. Sedangkan perspektifpolitical decentralization secarategas menyatakan bahwadesentralisasi adalah thedevolution of power from centralto local government (Mawhood,1987, hal 9).

Dalam devolusi politikterdapat prinsip bahwa unit-unitlokal berhak menentukankebijakan sendiri tampak banyakcampur tangan pemerintah pusat.Tujuan devolusi adalah agarkebijakan yang dibuat peme-rintah sesuai dengan aspirasimasyarakat. Untuk itu pemerintahdaerah yang dibentuk menurutazas ini harus mempunyailembaga legislatif yang otonom.Lembaga itu yang bertindak(bersama-sama dengan ekse-kutif) menentukan kebijakan didaerah supaya senantiasa sesuai

dengan aspirasi masyarakatlokal.

Karakteristik devolusi adalahsebagai berikut :1. Unit-unit pemerintah setempat

bersifat otonom mandiri dan jelas-jelas sebagai unit pemerintahanbertingkat yang terpisah daripusat. Pusat hanya melakukansedikit atau tidak ada kontrollangsung oleh pusat terhadap unit-unit tersebut;

2. Pemerintahan setempat mem-punyai batas-batas geografi yangjelas dan diakui secara hukum,dimana mereka menggunakankekuasaan dan menjalankanfungsi-fungsi publik;

3. Pemerintahan daerah mem-punyai status dan kekuasaanmengamankan sumber-sumberuntuk menjalankan fungsi-fungsinya;

4. Implikasi desentralisasi adalahkebutuhan mengembangkanpemerintahan lokal sebagaiinstitusi, yang dilihat wargasetempat sebagai organisasiyang memberikan pelayanan dansebagai unit pemerintahan yangmempunyai pengaruh.(Smith, 1985, hal 24, Dahl, hal 47,Mawhood, 1987, hal 22).

Salah kaprah kedua adalahpenafsiran atas fungsi pemerintahpusat dan organ-organnya. Meskipundaerah dalam rangka desentralisasimemiliki kewenangan mengatururusan rumah tangganya sendiri

Tantangan dan Prospek Otonomi Daerah Pasca Pilpres Putaran II (Purwoko)

Page 10: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

522

tetapi ada 5 (lima) fungsi pokok yangtetap dimiliki oleh pemerintah pusatdi negara manapun yakni fungsikoordinasi, fungsi supervisi, fungsistabilisasi, fungsi alokasi dandistribusi sumber daya dan fungsievaluasi kebijakan. Artinya peme-rintah pusat masih merupakan organyang berada di atas pemerintahdaerah dengan 5 fungsi pokoktersebut. Tidak ada alasan bagidaerah/pemerintah lokal untukmenolak koordinasi supervisi, danevaluasi yang dilakukan pemerintahpusat.

Salah kaprah ketiga menyang-kut kewenangan. Tentang kewe-nangan ini antara pusat dan daerahmasih banyak terjadi saling silangdan mereka memiliki intepretasiberbeda-beda sesuai denganmaksud dan kepentingan masing-masing. Sebagai sebuah negarakesatuan maka sumber kewenangandaerah sesungguhnya berasal daripemerintah pusat. Sementara dalamnegara federal, sumber kewe-nangannya berasal dari state ataunegara-negara bagian. Masing-masing state itu mengikat dirimereka dalam suatu federasikemudian menyerahkan “Sisakewenangan” kepada negarafederal. Dalam negara kesatuan,daerah berada dalam posisi inferiordibandingkan dengan pemerintahpusat. Oleh karena itu otoritasterakhir tentang kewenangan tetapberada ditangan pusat, walaupunmasih tetap terbuka bagi daerahuntuk melakukan bargaining (tawar-

menawar) kewenangan denganpusat sebagai konsekuensi azasdemokrasi. Soal kewenangan inisalah kaprahnya adalah bahwakewenangan wajib harus dijalankansemua daerah secara sama,walaupun kondisi daerah baikgeografi, demografi, sumber-sumberdaya alam tersebut satu dengan yanglain berbeda-beda. Ini adalahkesalahan pada konsep imple-mentasi dimana dasarnya adalahasumsi sama ratanya (uniformatif)kemampuan daerah, padahalrealitasnya tidak demikian.

Salah kaprah keempat tentangstruktur organisasi dan tata kerja. Halini masih berkaitan dengan soalkewenangan. Praktik yang terjadi didaerah adalah bahwa sebagianbesar daerah berpendapat jumlahorganisasi daerah harus samadengan jumlah kewenangan yangdimiliki. Artinya jika kewenangannya11 maka lembaga daerah (dinas)juga harus 11. Sebuah kesalahanpersepsi dalam manajemen.Sebenarnya tidak ada keharusanseperti itu, karena dimungkinkanbeberapa kewenangan ditanganioleh 1 dinas saja. Hanya masalahnyamemangkas dinas-dinas yang sudahterlanjur banyak (birokrasi yangbengkak), bukan merupakan peker-jaan gampang, karena menimbulkanmasalah baru seperti penurunansemangat kerja, persaingan tidaksehat, pertikaian dan bahkanpengangguran.

Salah kaprah kelima adalahtentang arogansi daerah. Karena

“Dialogue” JIAKP, Vol.1, No. 3, September 2004 : 513-535

Page 11: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

523

daerah memiliki apapun yang adadidaerahnya, maka menimbulkansemangat kedaerahan yang ber-lebihan. Sering terjadi suatu daerahyang memiliki sumber air/mata airdari daerah lain yang meman-faatkannya untuk PDAM atau irigasi,mengajukan klaim pungutan, disertaiancaman akan menutup mata air itujika tidak dikabulkan tuntutannya.Demikian juga klaim-klaim atasperairan laut yang kemudianmenimbulkan pengkaplingan wilayahlautan oleh daerah-daerah.

Salah kaprah keenam me-nyangkut konsep kepemimpinan olehputra daerah. Implementasi melen-ceng kebijakan otonomi daerahmelunturkan semangat nasionalismedan memperkuat semangat primor-dialisme (kedaerahan). Ada gejalabahwa sukuisme dan daerahismemenjadi dasar sistem perekrutan danpromosi kepegawaian daerah saatini. Akibatnya pada saat-saat awalpelaksanaan otonomi daerah,banyak daerah yang beramai-ramaimeminta putranya didaerah lain untukpulang kampung. Demikian puladalam hal pencalonan kepaladaerah. Calon atau kandidat harusberasal dari daerah tersebut. Suatuketentuan yang sulit bahkan absurduntuk diterapkan, mengingat batasanatau kriteria asli/berasal dari daridaerah tersebut sangat nisbi. Lahirdi daerah itu tetapi sudah berpuluh-puluh tahun menetap di daerah lainapakah dapat disebut putra daerah?Dilahirkan oleh orang tua daerahtersebut tetapi tidak pernah

menginjakkan kaki di daerahtersebut juga masih termasuk putradaerah?

Salah kaprah ketujuh menyang-kut DPRD. Dikatakan secara jelasdalam kebijakan UU No. 22/1999bahwa DPRD dan PemerintahDaerah (eksekutif) mempunyaikedudukan yang sejajar namundalam praktiknya tidak demikian. Halini karena DPRD sekarang inimempunyai kekuasaan/kewenanganuntuk memilih kepala daerah/wakilkepala daerah serta menilai kinerjakeduanya jika yang bersangkutanbermaksud memperpanjang masajabatannya. Karena itu DPRDmenjadi jauh lebih superiorketimbang kepala daerah. SehinggaDPRD seringkali bisa menginter-pensi fungsi-fungsi eksekutif danbahkan mengintimidasi eksekutifuntuk menuruti kemauannya.

Salah kaprah kedelapanadalah menyangkut manajemenkeuangan. Kalau mendasarkan diripada UU No. 5/1974 dengan adanyaSDO (Subsidi Daerah Otonom) danprogram-program Inpres (lebihkurang 7 jenis) maka dana pem-bangunan di daerah menjadi cukupbanyak dan berkembang. Hal inikarena daerah menerima dana SDOuntuk membayar gaji pegawai danprogram Inpres untuk membangundaerah. Tetapi dengan UU No. 22/1999, ternyata dana pembangunanini mandeg dan mungkin masihberada di pemerintah pusat. Hal inikarena DAU (Dana Alokasi Umum)tidak jauh berbeda dengan SDO

Tantangan dan Prospek Otonomi Daerah Pasca Pilpres Putaran II (Purwoko)

Page 12: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

524

yang digunakan untuk membayar gajipegawai. Sedangkan DAK (DanaAlokasi Khusus) hanya diberikanpada daerah tertentu yang berbedadengan dana Inpres dahulu.

Salah kaprah kesembilanmasih berkaitan dengan manajemenkeuangan daerah. Kenyataan me-nunjukkan anggaran pembangunanmenjadi lebih kecil atau sangat keciljika dibandingkan anggaran rutin.Kalau hal itu terjadi karena memangketerbatasan atau ketiadaan dana,tidak menjadi masalah. Bermasalahkarena pengalokasian dana rutinyang berlebihan. Kasus beberapapropinsi yang mengalokasikan dana-dana rutin sangat banyak me-nunjukkan sense of crisis para pelakusektor publik ini cukup rendah.Banyaknya dana-dana rutin yangdikemas dalam pelbagai postersebut sesungguhnya merupakandana publik yang semestinya bisadialokasikan untuk dana pem-bangunan juga.

Salah kaprah kesepuluhmenyangkut inkonsistensi kebijakan.Sebagian besar Peraturan Peme-rintah dengan otonomi daerah datangterlambat atau baru muncul karenapermasalahan itu sedang hangatterjadi di daerah. Hal ini berartidesain kebijakan publik tidak matangdan tidak direncanakan dengan baik.Permasalahan ini semakin komplekskarena keterlambatan itu ternyatabanyak diikuti oleh inkonsistensikebijakan, terbukti dari berbagaipasal ataupun penjelasannya yangberbeda. Inkonsistensi dalam UU No.

22/1999 dan PP No. 108/2000merupakan bukti atas kesalah-kaprahan ini. Inkonsistensi ini jugabisa dilihat dari durasi berlakunyasuatu UU atau suatu PP. Baru berjalanbeberapa tahun sudah direvisi dandirevisi kembali. Mengapa demi-kian? Karena dalam penyusunanRUU dan PP (yang biasanyamerupakan reaksi sesaat atas suatumasalah) kurang direnungkan dalam-dalam, implikasi-implikasi ataukonsekuensi-konsekuensi dariketentuan-ketentuan atau pasal-pasal yang ada dalam RUU tersebut.

Selain kesalahkaprahan-kesalahkaprahan di atas TeguhYuwono mencatat beberapakebimbangan :1. Pemerintah pusat tidak menyiap-

kan transsition plan implementasikebijakan dari UU No. 5 Tahun1974 ke UU No. 22/1999, berkali-kali diingatkan oleh banyak ahlibahwa tanpa transition plan yangmatang, jangan terlalu banyakberharap implementasi otonomidaerah akan sukses;

2. Pemerintah pusat juga tidakmenyiapkan perangkat-perang-kat peraturan perundangan yangharus disediakan sebelumnyabaik lewat Peraturan Pemerin-tahan (PP) Keputusan Presiden(Keppres) dan lain-lain yangmenyangkut implementasikebijakan otonomi daerah;

3. UU No. 22/1999 merupakan UUyang dibuat dalam suasanatergesa-gesa dan mungkindimotivasi oleh motif politik

“Dialogue” JIAKP, Vol.1, No. 3, September 2004 : 513-535

Page 13: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

525

tertentu, maka ketika dalamtahapan pelaksanaan bergantirezim, keinginan untuk menarikkembali otonomi daerah menjadisangat kuat;

4. Kebimbangan ini semakin terasaketika pemerintah pusat mener-bitkan berbagai PP atauKeppres, Surat Edaran Menteridan kebijakan sejenisnya yangsecara substansial bertentangandengan UU No. 22/1999.Persoalan kewenangan, khusus-nya dalam beberapa aspekseperti pertanahan, moneter, danfiskal merupakan bukti unwiling-ness (ketidaksungguhan);

5. Absorbsi pegawai pusat kedaerah yang menimbulkanberbagai persoalan tidakdidesain dan dilakukan secaraprofesional sehingga memuncul-kan efek-efek tidak produktifseperti issue ethno-centrisme,egoisme kedaerahan, dansejenisnya;

6. Kepemimpinan pemerintah pusatuntuk mentransformasikan danmengimplementasikan kebijakanotonomi daerah tidak berjalansecara baik, terbukti pemerintahpusat lebih banyak bermaindengan model komando, ketim-bang melakukan supervisi,pembinaan, pemberdayaan,pendampingan, dan evaluasilangsung (keteladanan) kedaerah. Implementasi kebijakandi Indonesia tanpa didukungketeladanan akan banyakmenemui kegagalan dalam

konteks masyarakat kita yangmasih berorientasi pada modelpatron-client relationship.

Selanjutnya dikemukakan olehTeguh Yuwono kebingungan lebihcocok untuk menggambarkan praktikkebijakan otonomi daerah saat ini.Walaupun hal itu mungkin masihdapat diperdebatkan, banyak buktimenunjukkan bahwa otonomi daerahsekarang ini menghasilkan kebingu-ngan bagi daerah.Kebingungan-kebingungan itumeliputi :1. Daerah berada dalam posisi

serba dilematis antara meres-pons kemauan pemerintah pusatatau merespons tuntutan masya-rakat daerahnya. Tidak tersedia-nya perangkat implementasi yangmengatur berbagai bidangkewenangan di daerah menye-babkan daerah penuh beban danpertanyaan, apakah lebih baikjalan terus, berhenti, menungguinstruksi atau masa bodoh;

2. Munculnya berbagai salah kaprahjuga banyak diakibatkan olehketiadaan perangkat imple-mentasi, keterbatasan, advokasidan supervisi, keteladananpemerintah pusat kepadadaerah;

3. Munculnya berbagai macamPerda yang dipandang berma-salah oleh pemerintah pusat jugadisebabkan karena kekosongankebijakan pusat terhadap ber-bagai persoalan kewenangan didaerah. Akibatnya daerah

Tantangan dan Prospek Otonomi Daerah Pasca Pilpres Putaran II (Purwoko)

Page 14: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

526

cenderung berdalih jika sudahdisepakati oleh DPRD makahabis perkara. Padahal cara pikirseperti itu tidak sepenuhnyabenar khususnya dalam kontekstata urutan perundangan diIndonesia;

4. Puncak kebingungan daerahmenimbulkan persepsi-persepsitidak tepat yang menghasilkanberbagai praktik yang mempri-hatinkan seperti arogansi daerah,arogansi DPRD, egoismekedaerahan dan sebagainya.Ekses-ekses negatif otonomidaerah tersebut harus dibenahi;

5. Dalam manajemen pemerintahandaerah, aparatur daerah diha-dapkan pada berbagai kebijakanpemerintah pusat yang berben-turan, banyak menimbulkan pro-kontra (kontroversial). Seringterjadi PP dan peraturan-peraturan dibawahnya berten-tangan dengan UU. Kalau terjadiseperti itu bagaimana kewiba-waan dan efektivitas perudang-undangan dan tata urutannya?

6. Inkonsistensi kebijakan di daerahterus terjadi karena sebagianbesar pelaksanaan UU No. 22/1999 bersifat lentur yang bisadiotak-atik sesuai dengankepentingan pelaksananya;

7. Kebingungan daerah saat inisemakin besar karena kegetolanpemerintah pusat untuk segeramerevisi UU No. 22/1999. KetikaMPR memutuskan untuk melaku-kan perintisan awal, pemerintah

pusat justru sangat bergairahuntuk merevisi total.

Prospek :Melihat banyaknya persoalan

dan masalah atau besarnyatantangan implementasi desentrali-sasi dan otonomi daerah, kadang-kala terbesit pertanyaan padasementara pihak. “Apakah kitamembutuhkan atau memerlukandesentralisasi atau otonomidaerah”? Bahkan ada yang lebihsinis menyatakan bahwa yangdiperlukan oleh rakyat sesungguhnyaadalah tercukupinya pangan,sandang, dan papan, mereka tidakbutuh desentralisasi dan otonomidaerah. Desentralisasi dan otonomidaerah hanya menimbulkan mala-petaka seperti terjadinya upayadisintegrasi, bahaya separatisme,konflik horizontal, pertikaian daerah,kesenjangan, meluasnya KKN dansebagainya.

Namun suara miring mengenaidesentralisasi dan otonomi daerah inidisanggah dengan argumentasi :Pertama, pemenuhan kebutuhanpangan, sandang, dan papan.Rakyat akan beres kalau negaramempunyai sumber daya (bacauang) melimpah, yang bisa di-bagikan secara merata. Tetapipersoalannya sumber daya itu sangatlangka dan terbatas, yang secaraempirik hanya dikuasai olehsebagian kecil lapisan masyarakatIndonesia. Hal ini berarti bahwanegara telah gagal mewujudkanpemerataan dan mengurangi

“Dialogue” JIAKP, Vol.1, No. 3, September 2004 : 513-535

Page 15: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

527

ketimpangan. Justru negara yangmempunyai andil terhadap terjadinyaketimpangan dan ketidakadilandalam masyarakat. Kegagalannegara karena kapasitas yangrendah, salah kebijakan, otori-tarianisme, KKN, sentralisasi, danlain-lain. Gambaran ini sepertisinyalemen Gunnar Myrdal dalamAsian Drama yang mengatakanbahwa kemiskinan yang melandanegara-negara di kawasan Asiaantara lain disebabkan olehkapasitas negara yang lemah ataudisebut soft state.

Kedua, rakyat Indonesia sudahlama dibuai oleh pemerintah diZaman Orde Baru, pemerintahsecara tidak langsung membuatrakyat tidak berdaya (powerless).Melalui kebijakan depolitisasi atauyang sangat populer saat itu dengansebutan massa mengambang(floating mass). Melalui kebijakan ini,pemerintah melarang rakyat untukbicara masalah-masalah politik(demokrasi, hak rakyat, otonomi,keadilan, dan sebagainya) dansekaligus memobilisasi rakyat untukgiat melaksanakan program-program pembangunan yangdisalurkan secara top-down dariJakarta. Mobilisasi pembangunan itudisertai dengan berbagai macambantuan, subsidi yang mengalir kedaerah/desa. Dampak negatif hal ituadalah rakyat jadi tidak kritis,tergantung oleh pemerintah, lebihmengutamakan pragmatismeketimbang prinsip, masyarakat lebihmemikirkan sembako meski

kebijakannya sentralistik, salah uruspembangunan dan pemerintahandidiamkan, partisipasi mandul danterjadi lingkaran setan kemiskinan.Oleh karena itu, kini saatnya untukmemenuhi kebutuhan hidup rakyat,harus dilakukan putar haluankebijakan pembangunan danpemerintahan yang memihak rakyatmiskin, demokrasi untuk mengakhiriautoritarianisme, desentralisasiuntuk mengganti sentralisasi sertapenguatan partisipasi rakyat untukmengakhiri mobilisasi dan melaku-kan pemberdayaan masyarakatuntuk menghilangkan kemelaratan.

Ketiga : Penerapan doktrinpolitics no economic yes secaraberlebihan membuat sebagian besarmasyarakat berfikir tentangkebutuhan dasar semata-mata(pangan, sandang, dan papan) yangberarti berpikir terlalu pragmatis dansimplistis. Indonesia adalah sebuahnegara yang heterogen ataupluralistis baik dari sisi kultur, maupundari sisi relasi politik (antar wargamasyarakat, antara masyarakatdengan negara, antar daerah, daerahdengan negara dan sebagainya).Masyarakat Indonesia tidak hanyabutuh pemenuhan kebutuhan primersemata tetapi juga membutuhkanaktualisasi dan pengembanganpotensi serta kreativitas. Untuk itudesentralisasi dan otonomi daerahadalah sebuah solusi yang pas danpermanen terhadap heterogenitasdan kompleksitas persoalan sosial,ekonomi, politik, dan budaya.Sebagai instrumen perubahan

Tantangan dan Prospek Otonomi Daerah Pasca Pilpres Putaran II (Purwoko)

Page 16: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

528

paradigma yang mendorongpemerataan dan keadilan. Otonomidaerah adalah suatu keniscayaanuntuk membantu terwujudnya humanwell being bagi rakyat Indonesia dimasa yang akan datang (Sutoro Eko,2002, hal 2-3).

Keniscayaan desentralisasidan otonomi daerah ini beranjak daridimensi internal state (negara) yaknimendekatkan negara kepadarakyatnya. Apapun definisinya, ujungdesentralisasi dan otonomi daerahharus bermuara pada peningkatanperan local state (bisa propinsi, bisakabupaten/kota) dan yang tidakboleh dilupakan adalah peningkatantersebut tetap mendudukkan localstate sebagai sub-set dari nationalstate. Kalau perubahan ini bisadigambarkan sebagai rekonfigurasiperan, hal ini dimaksudkan untukmendekatkan proses pengambilankeputusan kepada rakyatnya.

Dari kacamata pemerintahpusat, perubahan konfigurasi internaldalam negara yang terjadi dimaknaisebagai pengembangan polapenyelenggaraan pemerintahan darijauh (governing from a distance)atau pemerintahan tak langsung.(indirect rule) (Purwo Santoso &Amalinda Savirani, 2002, hal 7).Selanjutnya dijelaskan bahwa negaramemiliki beberapa lapis pengelolaankekuasaan yaitu lapis nasional danlapis lokal. Dalam kaitannya dengandesentralisasi dan otonomi daerah iniperlu ditegaskan bahwa unit yangmemiliki yurisdiksi terbatas (lebihkecil ketimbang negara) ini meme-

gang kewenangan-kewenanganoperasional yang jauh lebih luas darisebelumnya. Dengan demikiandesentralisasi memiliki nuansamendekatkan supply and demandpelayanan publik.

Dalam masing-masing lapisnegara kini telah ada lembaga-lembaga yang mengelola keuanganlegislatif, eksekutif, dan yudikatifsehubungan dengan hal itudesentralisasi dan otonomi daerahtidak cukup ditandai oleh adanyakewenangan pada organ yangdirancang untuk kepentingan lokalnamun juga ditandai denganbekerjanya organ-organ lokalsebagai andalan untuk mencapaitujuan nasional : melayani masya-rakat. Sehubungan dengan popula-ritas definisi desentralisasi danotonomi daerah sebagai persoalanpelimpahan kewenangan, makapembahasan berikutnya adalahmengurai persoalan bekerjanyaorgan-organ penyelenggara kekua-saan negara ditingkat lokal. Inilahyang menjadi tolak ukur kelang-sungan proses desentralisasi padadimensi pertama. Tata pemerintahanyang desentralistik mengharuskanspesifikasi dan komplementaritasperan national state dihadapan localstate. Karena pendekatannya(efektivitas dan efisiensi jangkauan)terhadap kehidupan rakyat, makalocal state bertanggung jawab untukmemegang peranan kunci padakegiatan operasional, khususnyadalam menyelenggarakan pelayananpublik. Muara dari pemerintah yang

“Dialogue” JIAKP, Vol.1, No. 3, September 2004 : 513-535

Page 17: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

529

responsif terselenggaranya pela-yanan publik yang optimal dibawahkendali langsung atau tidak langsungoleh eksponen local state. Keduanyajuga mengemukakan bahwasementara itu national statebertanggung jawab untuk mengem-bangkan berbagai infrastrukturkelembagaan atau pengembangansistem nasional yang memungkinkanmasing-masing local state bisaberfungsi secara optimal. UU No. 22/1999 menggariskan bahwa perannational state terbatas pada peru-musan pedoman standar dan kriteriayang harus dipegang teguh organ-organ negara pada level lokal.Dengan kata lain, dalam tatapemerintahan desentralistik, nationalstate dituntut untuk menyelenggara-kan pemerintahan dengan pende-katan indirect rule atau penye-lenggaraan pemerintahan dari jauh(governing from a distance).

Dimensi yang lain desen-tralisasi dan otonomi daerah adalahpeningkatan responsifitas (dayarespon/tanggap) masing-masinglocal state terhadap seting lokal yangmelingkupi. Hal ini berarti bahwadesentralisasi dan otonomi daerahharus terlihat dari berkembangnyacitra responsif state pada level lokal.Berkembangnya citra ini bukansekedar karena kampanye yangdilakukan, melainkan karenakinerjanya di mata masyarakat. Halini bisa terwujud kalau berlangsungproses policy making yangresponsif.

Telah bekerjanya organ-organlocal state tidak serta mertamengindikasikan keberhasilandesentralisasi dan otonomi daerah.Telah terisinya kursi DPRD melaluipemilu yang diselenggarakan, telahbekerjanya mereka dengan kewena-ngan sesuai peraturan perundang-undangan yang ada, tidak dengansecara otomatis berarti sistem yangdesentralistik berjalan dengan baik.

Misi desentralisasi menjadigagal kalau negara pada level lokaltidak semakin sensitif dan responsifterhadap aspirasi yang berkembang,permasalahan dan potensi masya-rakat setempat. Desentralisasi yangtidak menghasilkan format baruinteraksi penyelenggara negara yangsudah dilokalisir ini adalahdesentralisasi yang semu atau dalambahasa mereka desentralisasi yangmengecoh. (Purwo Santoso danAmalinda Savirani, 2002, hal 9).Desentralisasi bisa menghasilkankondisi yang buruk (malapetaka) jikalocal state senantiasa sibukmelayani dirinya sendiri. Merekaberdua mengingatkan bahwapraktek-praktek melayani dirinyasendiri yang biasa dilakukan dimasalalu tetap saja dipertahankan.Dicontohkan, para wakil rakyat hasilPemilu 1999 yang disebut berlang-sung secara demokratis, banyakyang sibuk memperjuangkanpeningkatan PAD melalui pelbagaipungutan pada rakyat, untukkemudian dibelanjakan oleh merekasendiri lewat bermacam-macamdalih kegiatan.

Tantangan dan Prospek Otonomi Daerah Pasca Pilpres Putaran II (Purwoko)

Page 18: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

530

Desentralisasi semu (lebihtepat lagi dikatakan oleh kedua ahliilmu politik/pemerintahan itu sebagaikecohan desentralisasi) meliputi limahal : Pertama local state bisa sajaterkesan telah sibuk menjalankanfungsinya, namun sebetulnya hanyamengabdi pada kepentingan diri atausegelintir elite lokal saja. Kedua;rekonfigurasi kekuasaan yangberlangsung tidak dengan sertamerta menghasilkan peningkatankinerja local state. Dalam banyakkasus rekonfigurasi kekuasaanhanya memindahkan biang keladi kesisi lain dalam ranah negara itusendiri. Ketiga, local state bisa jugatampak telah menjalankan berbagaiketentuan prosedural yang ditetap-kan, tetapi sebetulnya bekerjasekedar demi mengikuti prosedur itusaja.

Keempat, ketentuan-ketentuandesentralisasi dan otonomi yang adaseakan memberi ruang keleluasaanbagi local state namun masih cukupbanyak pasal dalam UU No. 22/1999yang menyisakan penyeragamandan pembakuan yang tidakdiperlukan. Dengan optimalisasikapasitas local state untukmelakukan pengambilan kebijakansecara kontekstual, yang diperlukanhanyalah toleransi bagi keaneka-ragaman model penyelenggaraanpemerintahan di tingkat lokal.National state cukup menggariskantujuan yang harus dicapai, cara untukmencapainya diserahkan padamasing-masing local state. Kelima,masih banyak proses policy-making

yang seolah-olah mengalamiperubahan substansial, tetapisemangat yang menggerakkanproses itu tidak lebih darimembahaskan ulang rumusan-rumusan yang sudah ditetapkan olehJakarta (mengingat proses policy-making lama yang top down tetapsaja berlaku), maka pedoman umum(hanya pedoman) itu akhirnya tetapsaja diperlakukan sebagai juklak(Petunjuk pelaksanaan).

Desentralisasi dan otonomi,pada dasarnya adalah pendaya-gunaan local state sedemikian rupasehingga handal dalam prosespolicy-making di tingkat lokal. Dayaguna local state ini bisa dioptimalkanjustru dengan meningkatkan flek-sibilitas proses-proses yang selamaini terbakukan. Dengan cara itulahpemerintahan lokal bisa meng-optimalkan kapasitas mengakomo-dasikan tuntutan-tuntutan yangberkembang dalam masyarakat.

Peran vital local state adalahmenyelenggarakan proses policy-making sedemikian rupa sehinggamasalah-masalah yang ada padatingkat lokal bisa diselesaikan olehyang bersangkutan. Atas dasar inilahprinsip subsisiaritas diberlakukan.Dengan prinsip ini kalau suatumasalah bisa diselesaikan ditingkat(lapis) paling bawah, maka lokalitasyang bersangkutan diberi kewe-nangan untuk menyelesaikannya.Otonomi daerah pada dasarnyaadalah otonomi dari local state untukmengambil langkah-langkah kebi-jakan tanpa harus menunggu

“Dialogue” JIAKP, Vol.1, No. 3, September 2004 : 513-535

Page 19: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

531

perintah atau pengesahan darinational state karena pihak pertamatelah mendapatkan jaminan dariketentuan perundang-undangan.Otonomi diberikan dengan asumsibahwa local state memilikiketajaman atau kepekaan lebihketimbang national state dalammengindera kondisi lokal. Disampingitu, local state juga memilikikemampuan dan peluang untukmendayagunakan potensi dan tatacara serta keunggulan komparatifmasing-masing. Dengan begitu,kreativitas, kearifan dan keberanianberinovasi dituntut dari local state.

Proses policy-making merupa-kan hal esensial dalam pengelolaanlocal state karena disitulah negaradan masyarakat berinteraksi dalammengelola kepentingan publik sepertidemokrasi diaktualisasikan, konflikdikelola dan masalah-masalah yangmuncul diatasi. Desentralisasidengan mudah dicemooh kinerjanyaketika transformasi pengelolaannegara tidak diikuti denganterlembaganya policy making yangresponsif. Seberapa jauh local statememiliki kapasitas kelembagaanuntuk menyelenggarakan policy-making yang responsif perlu dilacakdari tiga aspek : (Purwo Santosa danAmalinda Savirani, 2002, hal 14).a. Isi atau substansib. Prosesc. Konteks

Dari segi isi kebijakan, res-ponsif tidaknya suatu policy-makingharus dilacak dari lemah-kuatnyakorespondensi antara masalah yang

dipahami dan dirasakan olehmasyarakat dengan yang dipahamioleh policy-makers (eksekutif danlegislatif). Dalam rangka ini, disatusisi masyarakat dituntut untuk bisadan bersedia mengekspresikan apayang menjadi kehendaknya, disisilain para policy makers dituntut untuksensitif terhadap apa yang terjadidalam masyarakat. Dengan kondisiseperti itu maka opsi-opsi kebijakan/alternatif-alternatif kebijakandirumuskan menjadi suatu kebijakan.Atas dasar tujuan yang jelas dibalikopsi kebijakan yang ditetapkan ini,maka pemerintah kemudian memo-bilisasi dan mendayagunakansejumlah instrumen dan sumber dayauntuk mewujudkannya.

Dari segi proses, kebijakanyang baik dituntut harus sejauh dansedalam mungkin melibatkanmasyarakat, dengan harapan agarada konsensus yang kuat tentang apayang harus dilakukan dalammerumuskan dan mewujudkan tujuankebijakan. Hal ini berarti bahwaproses kebijakan bukan sekedarproses internal negara yang selamaini dibayangkan dan dipraktekkan.Ketika kita bicara formulasi kebijakanyang selama ini terbayang dibenakkita adalah apa yang difikirkan parapejabat eksekutif dan politisi dibadan legislatif, bukan apa yangdigagas anggota DPRD dengankonstituennya, bukan perdebatandraft yang dirumuskan pemerintahdengan komunitas yang lebih luasdalam berbagai forum. Dalamrangka meningkatkan kualitas

Tantangan dan Prospek Otonomi Daerah Pasca Pilpres Putaran II (Purwoko)

Page 20: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

532

kebijakan dari segi proses makaberbagai instrumen penggalangankonsensus menjadi tuntutan.

Dari segi konteks perluditegaskan bahwa kebijakan hanyabisa berjalan dan mencapai hasilyang dikehendaki kalau sensitifterhadap konteks kelangsungannya.Hal ini berarti kebijakan harus bisadibahasakan dan dikaitkan dengankeseharian mereka yang menjadisasaran kebijakan tersebut. Kebi-jakan justru bisa berjalan secaraefisien dan bahkan self-implentingketika telah menjadi komitmenmasyarakat lokal dan diseleng-garakan dengan mendayagunakaninstitusi-institusi sosial yangmengakar dalam masyarakat. Dalammasyarakat yang masih berpegangteguh pada adat istiadat, kebijakanyang sejalan dengan adat akandengan mudah diintegrasikandengan keseharian masyarakat.

Senada dengan pendapatdiatas adalah terminologi “membawanegara lebih dekat ke masyarakat”artinya dengan desentralisasi makajarak (penyampaian aspirasi maupunresponnya) menjadi semakin dekat,semakin intens dan semakin dapatmengetahui satu sama lain.Desentralisasi merupakan kecende-rungan dunia dewasa ini. Komitmendan tekanan global, menimbulkansebuah gelombang desentralisasidiseluruh dunia sejak dekade 70-an.Dibanyak negara berkembangdesentralisasi dan otonomi telahmengalami penyebaran yang meluaskarena berbagai sebab atau alasan.

Datangnya sistem politik multi partaidibeberapa negara Afrika, pen-dalaman demokratisasi lokal diAmerika Latin, transisi ekonomi danpolitik dari paradigma komando keekonomi pasar dan perestroika di exUni Soviet dan negara-negara EropaTimur yang lain (Sutoro Eko, 2002,hal 38).

Menurutnya langkah negaratetangga kita Filipina bisa dijadikanbahan perbandingan. Deklarasikebijakan Local Government Code(LGC) 1991 of the Philippinessecara tegas merumuskan prinsipdasar deklarasi kebijakan desentra-lisasi di Filipina. Pertama, LGCmenegaskan bahwa wilayah dansubdivisi negara harus menikmatiotonomi lokal yang otentik danbermakna, yang memungkinkanmereka mencapai pembangunansecara maksimal menuju keman-dirian masyarakat lokal, sertamembuat mereka menjadi mitra yanglebih efektif dalam mencapai tujuannasional. Untuk mencapai tujuanbesar itu negara harus mendorongpemerintahan lokal yang responsifdan bertanggungjawab yang dilem-bagakan melalui sebuah sistemdesentralisasi, dimana pemerintahdaerah harus diberi kekuasaan,kewenangan, tanggungjawab, dansumberdaya yang memadai.

Kedua, LGC adalah sebuahkebijakan negara untuk memastikanakuntabilitas unit-unit pemerintahdaerah melalui institusi yang efektifbagi mekanisme pemanggilan(recall), prakarsa local dan

“Dialogue” JIAKP, Vol.1, No. 3, September 2004 : 513-535

Page 21: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

533

referendum. Ketiga, LGC dimaksud-kan untuk mendorong lembaga-lembaga nasional untuk menyeleng-garakan konsultasi dengan unit-unitpemerintah lokal, NGO, organisasirakyat dan sektor-sektor masyarakatlain, sebelum program (proyek)dilaksanakan didalam wilayahyurisdiksinya.

Prospek dan peluang desen-tralisasi dan otonomi daerah diIndonesia sudah barang tentutergantung pula pada arah dinamikapolitik internal dalam arti, dapatkahdemokratisasi dan pemberdayaanmasyarakat yang sudah dimulai itusecara ajeg mendorong terwujudnyapemerintahan daerah yang kapabel,responsif, dan akuntabel.

C. PENUTUPDesentralisasi dan demokrasi

merupakan dua sisi mata uang yangtidak bisa dipisahkan. Berbicaratentang desentralisasi dan otonomitidak bisa lepas dari demokrasi dansebaliknya berbicara demokrasitidak bisa lepas dari desentralisasi.Demokrasi yang hanya berlangsungdilevel nasional sama sajamenjauhkan negara dari rakyat danmenjauhkan partisipasi masyarakatdalam proses politik. Sebaliknya,desentralisasi dan otonomi daerahtanpa demokratisasi sama sajamemindahkan otoritarianisme dansentralisasi dari pusat ke daerah.Ada optimisme bahwa desentralisasidan otonomi daerah akan berkem-bang menuju esensinya yang hakiki,namun untuk itu perlu tekanan terus

menerus dari masyarakat kepadanegara (national state) maupun localstate.

Hasil-hasil Pemilu (legislatif)dan Pilpres yang baru lalumenunjukkan bagaimana rakyat tidaklagi mengikuti referensi para elitepolitik, tetapi mereka mempunyaireferensi sendiri terhadap parakandidat/calon-calon anggotalegislatif maupun parpol yangmengikuti kontest politik tersebut.Demokratisasi yang berlangsungsejak tahun 1998 tersebut telahmembuat rakyat menggunakan hak-hak politik dengan “menghukum” elitemaupun parpol yang telah mengobraljanji tetapi mengingkarinya. Hasilpemilihan presiden juga hampir samaatau idem detto. Koalisi bentukanelite parpol ternyata tidak cukupampuh menuntun atau menggiringopini masyarakat. Hal ini terbuktidengan kekalahan Megawati-Hasyim Muzadi yang didukung koalisielite parpol tersebut hanyamengantongi 39,38% suaradibandingkan SBY-Yusuf Kalla yangmemperoleh 60,62% suara.

Kemajuan atau perkembangankita yang berhasil melakuanperombakan besar konstitusimembawa implikasi luar biasa.Beberapa hal penting yang bisadicatat adalah kembalinya kedau-latan rakyat ketangan mereka yakniPresiden/Wakil Presiden (dan kelakKepala Daerah) dipilih langsung olehrakyat. Selain itu jabatan Presiden/Wakil Presiden dibatasi hanyasampai 2 kali masa jabatan. Dengan

Tantangan dan Prospek Otonomi Daerah Pasca Pilpres Putaran II (Purwoko)

Page 22: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

534

dua hal ini ke depan diharapkanmasyarakat semakin berdaya.Setiap Presiden/Wakil Presidenterkontrol kinerjanya setiap limatahun, dan pada masa akhirjabatannya rakyat melakukanpenilaian apakah yang bersangkutanlayak atau tidak memimpin kembalinegara ini. Kalau pemerintah barukita yang kelak dibentuk padatanggal 20 Oktober mendatangmempunyai komitmen yang tinggidan bermakna terhadap otonomidaerah, maka paradigma pembi-naan itu (apalagi komando atauinstruksi) harus digeser menjadiparagdigma pemberdayaan. Darisudut pandang masyarakat,pemberdayaan punya arti berpusatpada rakyat, rakyat merupakansubyek, membangkitkan inisiatif(prakarsa) meningkatkan partisipasi,penghargaan terhadap keaneka-ragaman dan keunikan lokal,toleransi terhadap pluralisme,mewujudkan kemandirian melaluipembelajaran sosial.

Dalam konteks otonomi daerah,pemberdayaan masyarakat menyan-dang beberapa elemen penting :1. Pemerintah daerah harus

merubah pendekatan instruksi kependekatan fasilitasi yaknimendorong dan memberi ruanggerak bagi masyarakat untukmengembangkan inisiatif atauprakarsa dan kreativitasnya.

2. Pemerintah tidak melakukanpenyeragaman secara korporatismelainkan menghargai kebera-gaman konteks lokal.

3. Perencanaan pembangunan daribawah (bottom up) tidak hanyatertulis diatas kertas dan menjadislogan kosong namun harusdiwujudkan secara nyata.

4. Pemerintah daerah harusmengakui keterbatasan kemam-puannya sehingga perlu pem-belajaran timbal balik denganelemen-elemen masyarakatseperti forum kota, forum warga,koalisi perempuan, atau LSM/NGO dan lain-lain melalui prosesdialog yang mendorong pember-dayaan masyarakat (Sutoro Eko,2002, hal 49).

Semoga secercah optimismeterhadap masa depan desentralisasidan otonomi daerah ini tidakmeredup di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Almond, Gabriel. 1970. PoliticalDevelopment. Boston : Little, Brown,and Company.

Cheema, Shabbir. & DennisRondenelli. 1983. ImplementingDecentralization Policies dalamDecentralization and Development.New Delhi : Sage Publication.

Eko, Sutoro. 2002. “Mengkaji UlangOtonomi Daerah” Makalah dalamSeminar Dinamika Politik Lokal diIndonesia. Salatiga : Yayasan Percik.

“Dialogue” JIAKP, Vol.1, No. 3, September 2004 : 513-535

Page 23: TANTANGAN DAN PROSPEK OTONOMI DAERAH PASCA PILPRES PUTARAN ...

535

Mawhood, Philip. 1983. LocalGovernment in the Third World.Chichester : John Wiley and Sons.

Myrdall, Gunnar. 1986. Asian Drama.New York : Pantheon.

Rusadi, Kantaprawira. 1997. SistemPolitik Indonesia. Jakarta : BinaAksaraSantoso, Purwo. & AmalindaSavirani. 2002. “Kapasitas NegaraMerespons Konteks Lokal” Makalahdalam Seminar Dinamika PolitikLokal di Indonesia. Salatiga : YayasanPercik.

Smith, Brian C. 1985. Decentra-lization : The Territorial Demensionof the State. London : Allen andUnwin.

Yuwono Sumarwoto, Teguh. 2002.“Kontrovensi Revisi UU No. 22/1999”, Makalah dalam SeminarDinamika Politik Lokal di Indonesia.Salatiga Yayasan Percik.