i TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP GANTI KERUGIAN PENGEMBALIAN UANG ATAS PEMBATALAN PENERBANGAN SECARA SEPIHAK RESPONSIBILITY OF AIRLINES COMPANY ON REFUND COMPENSATION FOR ONE PARTY FLIGHT CANCELLATION RAHMAWATI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015
136
Embed
tanggung jawab maskapai penerbangan terhadap ganti
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP GANTIKERUGIAN PENGEMBALIAN UANG ATAS PEMBATALAN
PENERBANGAN SECARA SEPIHAK
RESPONSIBILITY OF AIRLINES COMPANY ON REFUNDCOMPENSATION FOR ONE PARTY FLIGHT CANCELLATION
RAHMAWATI
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2015
ii
TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP GANTIKERUGIAN PENGEMBALIAN UANG ATAS PEMBATALAN
PENERBANGAN SECARA SEPIHAK
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program StudiKENOTARIATAN
Disusun dan Diajukan oleh
RAHMAWATI
Kepada
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2015
iii
\
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Nama : RAHMAWATI
Nim : P3600212062
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul
“TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP GANTI
KERUGIAN PENGEMBALIAN UANG ATAS PEMBATALAN
PENERBANGAN SECARA SEPIHAK” adalah benar-benar karya sendiri.
Hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya di atas tidak
benar, maka sy bersedia menerima sanksi akademik yang berupa
pencabutan tesis dan gelar yang telah diperoleh dari tesis tersebut.
Makassar, 27 Mei 2015
Yang membuat pernyataan,
RAHMAWATI
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr Wb.,
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, Dzat yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Pencipta Ilmu dan pengetahuan
yang Maha Mengetahui. Shalawat dan salam senantiasa penulis
hanturkan kepada Rasullullah SAW, keluarga dan para sahabatnya.
Alhamdulillah dengan pertolongan Allah SWT dan rahmatNya,
penulis dapat menyelesaikan tesis yang merupakan salah satu syarat
untuk menyelesaikan studi pada Program Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Universitas Hasanuddin Makassar.
Dalam pembuatan tesis ini, penulis mendapatkan banyak bantuan
dari berbagai pihak hingga tesis ini dapat selesai. Untuk itu penulis
dengan kerendahan hati menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya
dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Ayahanda dan Ibunda penulis yang tercinta, Haji Ibrahim dan Hajjah
Marhumi yang selama ini telah sabar membesarkan dan mendidik
penulis untuk menjadi pribadi yang tekun, jujur dan sabar dalam
menuntut ilmu serta senantiasa memberi semangat dan doa hingga
selesainya tesis ini.
2. Suamiku tercinta dan Anakku yang saya banggakan, Herman Winata
dan Fazila Elvina Faida yang selalu setia, berkorban, serta selalu
mendoakan yang terbaik untuk penulis.
vi
3. Mertuaku, Ibunda Sukarti yang senantiasa memberi semangat dan
doa hingga selesainya tesis ini.
4. Kakak kandung dan Kakak Ipar tersayang, Muhammad Rusdan,
Burhaen, Mbak Nur, Mbak See dan Mas Agus yang senantiasa
memberikan semangat dan tawa di kala penulis mengalami rintangan
dalam penyelesaian tesis ini.
5. Rektor Universitas Hasanuddin dan segenap jajarannya
6. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin beserta Pembantu Dekan I, Prof. Dr.
Ahmadi Miru, S.H.,M.S., Pembantu Dekan II, DR. Syamsuddin
Muchtar S.H.,M.H., dan Pembantu Dekan III, Dr. Hamzah
Halim,S.H.,M.H.
7. Dr. Nurfaidah Said, S.H.,M.H.,M.Si., selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan, dan Kahar Lahae, S.H.,M.H., selaku
Sekertaris Program Studi Magister Kenotariatan, beserta staff Alfiah
Firdaus dan Aksa atas bantuannya selama penulis menempuh
pendidikan Magister Kenotariatan.
8. Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H.,M.S., selaku Ketua Komisi Penasehat
dan Dr. Nurfaidah Said, S.H.,M.H.,M.Si., selaku Anggota Komisi
Penasehat yang telah menyediakan waktunya untuk membimbing
penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
vii
9. Prof. Dr. Abdullah Marlang,S.H.,M.H., Prof. Dr. Badriyah Rifai, S.H.,
dan Dr. Oky Deviany, S.H.,M.H., selaku komisi penguji yang telah
memberikan saran dan kritik dalam penyempurnaan tesis ini.
10. Bapak/Ibu tim pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan
yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang
bermanfaat kepada penulis.
11. Muhammad Said Sutomo (ketua YLKI Surabaya) beserta Staf, Siti
Mulyani (Kepala Bagian Umum dan Data BPKN Jakarta) beserta staf,
Yohannes L. Tobing (Anggota Majelis Konsumen BPKS Jakarta)
beserta stafnya yang telah baik hati memberikan informasi terkait
tesis penulis
12. Tante Riani, Tante Ida, Nenek Ani, Om Fikar, Sepupuku Risma dan
Sopyan yang telah memberikan tumpangan tempat tinggal dan
membantu menjaga anak penulis disaat penulis sibuk diluar rumah.
13. Sahabatku, Ija, Mami Ija, Ega, Ati, Nunu, Kendy, Rani, dan teman-
teman di Moment yang telah menjadi sahabat sekaligus
penyemangat penulis untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
14. Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Hasanuddin angkatan Tahun 2012 khususnya Amirah
Lahaya yang telah baik hati meluangkan waktunya untuk berdiskusi
serta anak-anak gazebo kampus yang senantiasa memberikan
saran, semangat, tawa dan tempat diskusi yang menyenangkan
viii
dalam menyelesaikan tesis ini dan semua pihak yang tidak sempat
penulis sebutkan satu persatu.
Makassar, 27 Mei 2015
RAHMAWATI
ix
x
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................ ...................... I
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................... II
PERNYATAN KEASLIAN TESIS ................................ ... III
KATA PENGANTAR ................................ .................... IV
ABSTRAK ................................ ................................ .. VI
ABSTRACT ................................ ................................ VII
DAFTAR ISI ................................ ........................... VIII
BAB I PENDAHULUAN............................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ...................................................... 8
D. Manfaat Penulisan .................................................... 8
E. Keaslian Penulisan ................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTKA ..................................................... 11
A. Hukum Perlindungan Konsumen Penerbangan........ 11
B. Para Pihak dalam Penerbangan....................... ........ 32
C. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Penerbangan........ 37
D. Kerangka Pikir .......................................................... 48
E. Definisi Operasional.................................................. 52
BAB III METODE PENELITIAN................................................... 54
A. Lokasi Penelitian....................................................... 54
xii
B. Tipe Penelitian.......................................................... 54
C. Populasi dan Sampel................................................ 55
D. Jenis dan Sumber Data ............................................ 56
E. Tekhnik Pengumpulan Data ..................................... 56
F. Analisis Data............................................................. 57
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................... 58
A. Tanggung Jawab Ganti Rugi Materil dan Immateriil
Penyedia Jasa Kepada Konsumen Penerbangan Jika
Terjadi Pembatalan Penerbangan Secara Sepihak .. 58
B. Penyelesaian Sengketa Pembatalan Penerbangan
Melalui Jalur Litigasi dan Non Litigasi....................... 88
BAB V PENUTUP....................................................................... 118
A. Kesimpulan............................................................... 118
B. Saran ........................................................................ 119
DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 120
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara
kepulauan yang terdiri dari beribu pulau, terletak memanjang di
garis khatulistiwa, di antara dua benua dan dua samudera, serta
ruang udara yang luas. Kedudukan Indonesia sebagai negara
kepulauan mengharuskan Indonesia untuk mempunyai sarana
yang memfasilitasi keadaan tersebut.
Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional
sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, mewujudkan Wawasan Nusantara
serta memantapkan ketahanan nasional, diperlukan sistem
transportasi nasional yang memiliki posisi penting dan strategis
dalam pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan.
Transportasi juga merupakan sarana dalam memperlancar roda
perekonomian, membuka akses ke daerah pedalaman atau
terpencil, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa,
menegakkan kedaulatan negara, serta mempengaruhi semua
aspek kehidupan masyarakat.1
1 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
2
Pentingnya transportasi tercermin pada semakin
meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta
barang di dalam negeri, dari dan ke luar negeri, serta berperan
sebagai pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah dan
pengembangan wilayah. Oleh karena itu penyelenggaraan
penerbangan harus ditata dalam satu kesatuan sistem transportasi
nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa
transportasi yang seimbang dengan tingkat kebutuhan, selamat,
aman, efektif, dan efisien.2
Berkembangnya industri di bidang angkutan udara dewasa
ini berdampak pada semakin banyaknya maskapai penerbangan
komersial (airlines) di Indonesia. Peningkatan maskapai
penerbangan yang pesat ini berawal dari diratifikasinya World
Trade Organization/General Agreement on Tariffs and Trade
Service (WTO/GATTs) oleh Indonesia yang menyebabkan
pemerintah Indonesia dilarang melakukan monopoli dibidang
perusahaan jasa penerbangan. Hal tersebut berdampak kepada
para pelaku usaha yang berlomba-lomba untuk mendirikan
perusahaan angkutan udara hinga pada tahun 2007 terdapat
sekitar dua puluh maskapai domestik baik berjadwal maupun tidak
berjadwal yang telah berdiri.3
2 Ibid3 Syaifullah Wiradipraja. 2006. Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan terhadap
penumpang menurut hukum udara Indonesia. Jurnal Hukum Bisnis Volume 25. Hal 5
3
Tingginya tingkat persaingan di bidang transportasi
penerbangan Indonesia mengakibatkan para pelaku usaha dalam
hal ini masakapai penerbangan semakin meningkatkan produk
mereka baik dari aspek pelayanan maupun harga. Hal ini
menyebabkan munculnya berbagai perusahaan penerbangan yang
menerapkan pola penerbangan berbiaya murah atau yang dapat
disebut dengan Low Cost Carrier (LCC) seperti PT Lion Mentari
Airlines (biasa dikenal dengan Lion Air).
Low Cost Carrier sering juga dikenal dengan sebutan no
frills, discout atau budget carrier adalah angkutan udara berjadwal
yang dalam menjalankan kegiatannya dikelompokkan dalam
pelayanan dengan standar minimum (no frills). LCC adalah sebutan
bagi maskapai penerbangan yang menawarkan biaya penerbangan
yang relatif lebih murah dibandingkan maskapai penerbangan pada
umumya. Dalam pola LCC tingkat pelayanan yang diberikan
kepada konsumen sangat terbatas, misalnya tidak tersedia
pelayanan selama penerbangan, seperti makanan dan minuman.4
Peraturan mengenai penerbangan di Indonesia secara
umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
Tentang Penerbangan (untuk selanjutnya disingkat Undang-
Undang Penerbangan). Aturan ini memberikan definisi mengenai
angkutan udara niaga yang artinya adalah angkutan udara untuk
4 Saefullah Wiradipraja. 1999. Hukum Transportasi Udara dari Warsawa 1929 keMontreal. Bandung. PT. Kiblat Buku Utama. Hal 21
4
umum dengan memungut pembayaran. Maskapai penerbangan
Lion Air merupakan salah satu angkutan udara niaga tersebut.
Terdapat dua pihak penting dalam pelaksanaan kegiatan
penerbangan yaitu penumpang dan maskapai penerbangan.
Penumpang dan maskapai penerbangan terikat dalam suatu
hubungan perjanjian yaitu perjanjian pengangkutan. Pihak
penumpang berkewajiban untuk membayar sejumlah uang dan
pihak maskapai penerbangan berkewajiban mengantarkan
penumpang dengan selamat ke tempat tujuan yang telah
disepakati.
Pelaksanaan penerbangan seringkali tidak dapat dilakukan
baik dari pihak penumpang, maupun dari pihak maskapai
penerbangan. Pembatalan penerbangan yang dilakukan oleh pihak
maskapai penerbangan merupakan salah satu bentuk
keterlambatan angkutan udara selain dari keterlambatan
penerbangan dan tidak terangkutnya penumpang dengan alasan
kapasitas pesawat udara. Berdasarkan Pasal 2 (e) Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung
Jawab Pengangkut Angkutan Udara (untuk selanjutnya disingkat
PerMenHub 77/2011) mengatur bahwa pengangkut yang
mengoprasikan angkutan udara wajib bertanggungjawab atas
kerugian terhadap keterlambatan angkutan udara.
5
Mengenai keterlambatan penerbangan yang dilakukan oleh
maskapai penerbangan sebelumnya juga telah diatur dalam
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Angkutan Udara (selanjutnya disingkat
PerMenHub 25/2008). Aturan ini mewajibkan maskapai
penerbangan untuk memberikan sejumlah ganti rugi baik berupa
minuman, makanan, atau dialihkan pada penerbangan berikutnya
atau dipindahkan pada maskapai penerbangan lainnya.5
Selanjutnya, dalam PerMenHub 77 Tahun/2011, Maskapai
penerbangan diwajibkan untuk memberikan ganti rugi sebesar
Rp.300.000 (tiga ratus ribu rupiah) kepada penumpang jika terjadi
keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam. Aturan ini juga mewajibkan
kepada pihak maskapai penerbangan untuk mengembalikan
seluruh uang tiket yang telah dibayarkan oleh penumpang jika
dilakukan pembatalan penerbangan yang pembatalannya
diberitahukan kepada penumpang paling lambat 7 (tujuh) hari
sebelum pelaksanaan penerbangan.6
Terkait Pengaturan mengenai pengembalian uang tiket telah
diatur dalam Pasal 12 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Nomor 77
Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara yaitu:
1. Dalam hal terjadi pembatalan penerbangan, pengangkut wajib
memberitahukan kepada penumpang paling lambat 7 (tujuh)
hari kelender sebelum pelaksanaan penerbangan.
2. Pembatalan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pengakutan wajib mengembalikan seluruh uang tiket yang
telah dibayarkan oleh penumpang.
Peraturan Menteri tersebut jelas mensyaratkan bahwa
maskapai penerbangan selaku pelaku usaha memiliki tanggung
jawab untuk memberikan informasi akan pembatalan suatu
penerbangan kepada penumpang sesuai dengan waktu yang telah
ditentukanyaitu 7 (tujuh) hari.
Aturan terkait ganti rugi kepada penumpang yang mengalami
keterlambatan pengakutan akibat kesalahan maskapai
penerbangan pada kenyataannya cenderung rumit dan
mempersulit penumpang. Keluhan terhadap penundaan
penerbangaan, pelayanan jika terjadi penundaan penerbangan,
serta pengembalian uang tiket jika terjadi pembatalan penerbangan
seringkali dialami oleh penumpang.7
Pembatalan penerbangan yang dilakukan oleh maskapai
penerbangan disebabkan beberapa faktor/alasan tertentu sehingga
maskapai tersebut tidak dapat mengoperasikan penerbangan
seperti yang sudah dijadwalkan. Salah satu alasan maskapai
7 Pra Penelitian pada Bulan Desember 2013
7
penerbangan tidak dapat melaksanakan penerbangan adalah faktor
yang berada di luar kendali manusia atau force majeur seperti
cuaca buruk atau rusaknya sistem pesawat atau dengan kata lain
karena alasan teknis dimana pesawat tersebut tidak dapat terbang
sebagaimana yang sudah dijadwalkan sebelumnya. Apabila
pembatalan penerbangan yang terjadi akibat cuaca buruk dan
alasan teknis, pengangkur atau maskapai penerbangan tidak
diberikan kewajiban untuk bertanggung jawab atau memberikan
ganti kerugian kepada penumpangnya. Selain itu, faktor niaga yang
dapat menyebabkan terjadinya pembatalan penerbangan dari
maskapai penerbangan adalah karena proses boarding yang
bermasalah dan karena kelebihan penumpang akibat overbooking.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis menemukan
issu hukum bahwa ada kecenderungan tanggung jawab terkait
ganti rugi akibat keterlambatan pengangkutan belum berjalan
sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, penulis perlu menganalisis
dan mengkaji lebih lanjut mengenai permasalahan ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah tanggung jawab penyedia jasa kepada
konsumen penerbangan jika terjadi pembatalan penerbangan
secara sepihak?
8
2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa antara penyedia jasa
dengan konsumen penerbangan jika terjadi pembatalan
penerbangan secara sepihak?
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui dan memahami tanggung jawab penyedia
jasa kepada konsumen penerbangan jika terjadi pembatalan
penerbangan secara sepihak.
b. Untuk mengetahui dan memahami penyelesaian sengketa
antara penyedia jasa dengan konsumen jasa penerbangan jika
terjadi pembatalan penerbangan secara sepihak.
D. Manfaat Penulisan
a. Kegunaan Teoretik
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya tentang
perlindungan konsumen terhadap ganti kerugian pengembalian
uang atas pembatalan penerbangan secara sepihak sekaligus
sebagai bahan kepustakaan bagi penelitian yang berkaitan
dengan judul dan permasalahan yang akan dibahas dalam
tesis. Disamping itu diharapkan bermanfaat pula bagi
pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu
hukum pada khususnya.
9
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini dimaksudkan dapat dipakai sebagai masukan
kepada masyarakat sehingga dapat dipakai sebagai bahan
pertimbangan untuk menghindarkan hal-hal yang dapat
merugikan masyarakat pengguna jasa penerbangan serta
memberikan sumbangan pemikiran juridis terhadap
pertanggungjawaban penyedia jasa dalam pengangkutan
penumpang melalui jasa penerbangan.
E. Orisinalitas Penelitian
Dari hasil penelusuran yang telah dilakukan terhadap tulisan atau
penelitian mengenai ”Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan
Terhadap Ganti Kerugian Pengembalian Uang Atas Pembatalan
Penerbangan Secara Sepihak”, belum pernah ada yang melakukan
penelitian sebelumnya. Akan tetapi pernah ada yang meneliti
berkaitan dengan tanggung jawab perusahaan penerbangan, yaitu
Penulis Skripsi Mutmainnah Maggu, Program Studi Sarjana Hukum
bagian Perdata, Universitas Hasanuddin dengan judul “Tanggung
Jawab Perusahaan Penerbangan Atas Tindakan yang
menimbulkan Kerugian Terhadap Penumpang”. Skripsi tersebut
membahas lebih luas menengai tanggung jawab perusahaan
penerbangan terkait segala kerugian yang ditimbulkan oleh
perusahaan penerbangan dengan sampel Merpati Airlines yang
mengacu pada pasal 144 ayat (1) Undang – undang Nomor 1
10
Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Pasal 42 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara.
Sedangkan Tesis Penulis membahas mengenai tanggung jawab
maskapai penerbangan terhadap ganti kerugian pengembalian
uang atas pembatalan penerbangan secara sepihak yang mengacu
pada Permenhub 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab
Pengangkutan Udara.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Perlindungan Konsumen Penerbangan
Perkembangan hukum penerbangan di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh perkembangan hukum penerbangan di dunia
internasional. Secara formil, hukum penerbangan internasional lahir
sejak Konvensi Paris tahun 1919. Konvensi Paris ini dikenal
dengan nama Convention Relating to International Aerial
Navigation yang ditanda tangani pada tanggal 13 Oktober 1919 di
Paris.8
Konvensi ini kemudian disempurnakan dengan Konvensi
Havana 1928 yang dikenal pula dengan nama Convention on
Commercial Aviation yang ditanda tangani di Havana tanggal 20
Pebruari 1928. Pada akhirnya, konvensi ini terdiri dari 96 pasal,
dimana hanya 5 pasal yang mengatur bisnis transportasi udara dan
selebihnya mengatur mengenai keselamatan penerbangan dan
organisasi Penerbangan Sipil International (International Civil
Aviation Organization disingkat ICAO)9
Secara formil, hukum penerbangan di Indonesia lahir pada
tahun 1933 dengan Staatsblad 1933 No. 118. Staatsblad ini
8 Kamis Martono, Introduction to The International and National Air Law (Jakarta : JointKaw Socialisation between Departement of law and Human Right and Indonesia Aviation StudyIntitute, 2005) hlm. 22)9 Ibid, hlm. 23
12
kemudian disempurnakan dengan Staatsblad 1936 No. 425 dan
Staatsblad 1936 No. 246. Pada tahun 1958 lahirlah Undang-
undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan, yang
kemudian diganti Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan, dan tahun 2009 kembali tentang undang-undang
penerbangan tersebut disempurnakan dalam Undang-undang No, 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Penerbangan yang mempunyai karakteristik dan keunggulan
tersendiri, perlu dikembangkan agar mampu meningkatkan
pelayanan yang lebih luas, baik domestik maupun internasional.
Pengembangan penerbangan ditata dalam satu kesatuan sistem
dengan mengintegrasikan dan mendinamisasikan prasarana dan
sarana penerbangan, metoda, prosedur, dan peraturan sehingga
berdaya guna serta berhasil guna10.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan perlu disempurnakan guna menyelaraskan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan
paradigma dan lingkungan strategis, termasuk otonomi daerah,
kompetisi di tingkat regional danglobal, peran serta masyarakat,
persaingan usaha, konvensi internasional tentang penerbangan,
perlindungan profesi, serta perlindungan konsumen.
10 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Penerbangan
13
Dalam penyelenggaraan penerbangan, Undang-Undang ini
bertujuan mewujudkan penerbangan yang tertib, teratur, selamat,
aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktek
persaingan usaha yang tidak sehat, memperlancar arus
perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan
mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka
memperlancar kegiatan perekonomian nasional, membina jiwa
kedirgantaraan, menjunjung kedaulatan negara, menciptakan daya
saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan
udara nasional, menunjang, menggerakkan, dan mendorong
pencapaian tujuan pembangunan nasional, memperkukuh kesatuan
dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan
Nusantara, meningkatkan ketahanan nasional, dan mempererat
hubungan antarbangsa, serta berasaskan manfaat, usaha bersama
dan kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, keserasian dan
keamanan, perlindungan bandar udara, pesawat udara, dan
fasilitas navigasi, pengendalian dan penjaminan keamanan
terhadap orang dan barang di pesawat udara, penanggulangan
tindakan melawan hukum, penyesuaian sistem keamanan
terhadap tingkat ancaman keamanan, dan pengawasan
keamanan penerbangan.
6. Dalam upaya memberikan jaminan pelayanan sertifikasi dan
inspeksi keselamatan yang kredibel, transparan, dan akuntabel,
serta meningkatkan kompetensi sumber daya manusia untuk
penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik, Undang-Undang
ini mengatur pembentukan penyelenggara pelayanan umum
yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan pola
21
penganggaran berbasis kinerja dengan skala prioritas, efisiensi,
dan efektivitas.
7. Untuk mengetahui penyebab setiap kecelakaan dan kejadian
serius pesawat udara sipil dan dalam rangka menegakkan etika
profesi, melaksanakan mediasi, dan menafsirkan penerapan
regulasi di bidang penerbangan untuk mencegah terjadinya
kecelakaan dengan penyebab yang sama, diatur pula
pembentukan komite nasional yang bertanggung jawab kepada
Presiden, dan untuk keperluan penyelidikan lanjutan, komite
tersebut membentuk majelis profesi penerbangan.
8. Dalam Undang-Undang ini diatur pula sistem informasi
penerbangan melalui jaringan informasi yang efektif, efisien, dan
terpadu dengan memanfaatkan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi. Selanjutnya dalam rangka
meningkatkan penyelenggaraan penerbangan secara optimal,
diatur peran serta masyarakat dengan prinsip keterbukaan dan
kemitraan.12
Selanjutnya pengaturan mengenai penerbangan khususnya
terkait penyelenggaraan angkutan udara, pemerintah telah
menerbitkan Permenhub 25/2008 untuk mengatur secara umum
mengenai angkutan udara niaga di Indonesia. Sedangkan dalam
Permenhub 77/2011, pemerintah mengatur mengenai tanggung
12 Ibid, Op,.Cit
22
jawab maskapai penerbangan kepada penumpang. Ketiga regulasi
tersebut merupakan aturan terkait tanggung jawab maskapai
penerbangan yang sampai saat ini masih berlaku di Indonesia.
Kata perlindungan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
memiliki arti “tempat berlindung (bersembunyi dsb), atau perbuatan
(hal dsb) melindungi; pertolongan (penjagaan dsb)”13. Sedangkan
pengertian hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah sebagai
suatu himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa,
berisikan suatu perintah, larangan atau izin untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu, serta dengan maksud untuk mengatur tata
tertib dalam kehidupan bermasyarakat14
Berdasarkan hal di atas, pengertian perlindungan hukum
dalam arti sempit adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada
subjek hukum dalam bentuk perangkat-perangkat hukum, baik yang
bersifat preventif maupun bersifat represif, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis. Dengan kata lain bahwa perlindungan
hukum sebagai suatu gambaran dan fungsi hukum adalah suatu
konsep dimana hukum dapat memberikan keadian, ketertiban,
kepastian, kemanfaatan, kedamaian bagi segala kepentingan
manusia yanga ada dalam masyarakat, sehingga di dalamnya
tercipta keselarasan dan keseimbangan hidup dalam masyarakat.
13 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1995, Kamus Umum Bahasa Indonesia, BalaiPustaka, Jakarta, hlm. 59514 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, hlm. 37
23
Dalam arti luas, lingkup perlindungan hukum tidak saja diberikan
kepada subjek hukum, akan tetapi dapat juga diberikan kepada
lingkungan dan alam semesta beserta seluruh isinya. Jadi
perlindungan konsumen berfungsi untuk menyeimbangkan
kedudukan konsumen dan pelaku usaha, dengan siapa mereka
saling berhubungan dan saling membutuhkan. Keadaan seimbang
tersebut, lebih menerbitkam dan menserasikan keselarasan
materiil, tidak sekedar formil, dan dalam kehidupan manusia
indonesia seutuhnya sebagaimana dikehendaki oleh falsafah
bangsa dan negara indonesia.15
M.J.Leder berkomentar mengenai hukum konsumen yaitu Ina sense there is no such creature as consumer law.16
Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukumkonsumen dan hukum perlindungan konsumen itu sepertiyang dinyatakan oleh Lowe yakni : rules of law whichrecognize the bergaining weakness of the individualconsumer and which ensure that weakness in not unfairlyexploited.17
Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus
dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum itu
adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada
masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit
dipisahkan dan ditarik batasnya.
15 Az Nasution, Op.Cit,. Hlm. 1616 M.J.Leder, Cunsumer Law (Plymouth: Macdonald and Evans), 1980, Hlm. 1 dalam Shidarta, Ibid.17 R. Lowe, Commeercial Law,ed. 6 (London : sweet & Maxwell, 1983), 23 dalam Shidarta,Ibid
24
Ada juga yang berpendapat bahwa hukum perlindungan
konsumen merupakan bagian dari perlindungan konsumen yang
lebih luas itu. Az Nasution misalnya, Ia berpendapat bahwa hukum
konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat
mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi sifat yang
melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen
diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum
yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu
sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di
dalam pergaulan hidup.18
Az Nasution mengakui bahwa asas-asas dan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu
tersebar dalam berbagai bidang baik tertulis maupun tidak tertulis.
Ia menyebutkan, seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum
pidana, hukum administrasi negara, dan hukum internasional
terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-
kepentingan konsumen.
Adapun yang masih belum jelas dari pernyataan Az Nasution
berkaitan dengan kaidah-kaidah hukum perlindungan konsumen
yang senantiasa bersifat mengatur. Apakah kaidah yang bersifat
memaksa, tetapi memberikan perlindungan kepada konsumen tidak
18 Shidarta, Op.Cit, Hlm 9-10
25
termasuk dalam hukum perlindungan konsumen? Untuk itu jelasnya
dapat dilihat ketentuan Pasal 383 KUHP berikut ini :
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahunempat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadappembeli : (1) karena sengaja menyerahkan barang laindaripada yang ditunjuk pembeli, (2) mengenai jenis keadaanatau banyaknya barang yang diserahkan denganmenggunakan tipu muslihat.
Seharusnya ketentuan memaksa dalam Pasal 383 KUHP
juga memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam wilayah hukum
perlindungan konsumen. Artinya, ini persoalannya bukan terletak
pada kaidah kaidah yang harus mengatur atau memaksa.
Dengan demikian, seyogianya dikatakan, hukum konsumen
berkala lebih luas meliputi aspek hukum yang terdapat kepentingan
pihak konsumen di dalamnya. Kata aspek hukum ini sangat
bergantung pada kemauan kita mengartikan.
Asas hukum perlindungan konsumen termuat dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen selanjutnya disingkat Undang-undang Perlindungan
Konsumen yang berbunyi :
“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan, dan keselamatan kosumen serta
kepastian hukum.”
26
Artinya, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai
usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam
pembangunan nasional, yaitu :
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa
segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat
dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelauku usaha,
dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan
untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha
maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
27
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen serta
negara menjamin kepastian hukum.
Memperhatikan substansi Pasal 2 Undang-undang
Perlindungan Konsumen demikian pula penjelasannya, tampak
bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan
nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang
berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia.19
Sedangkan tujuan dari perlindungan konsumen termuat dalam
Pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen sebagai berikut :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
19 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hlm. 26
28
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen ini
merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 2 sebelumnya karena tujuan perlindungan konsumen
yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam
pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan
konsumen.
Ahmad Ali mengatakan masing-masing undang-undang
memiliki tujuan khusus.20 Hal itu juga tampak dari pengaturan Pasal
3 Undang-undang Perlindungan Konsumen yang mengatur tujuan
khusus perlindungan konsumen sekaligus membedakan dengan
tujuan umum sebagaimana dikemukakan berkenaan dengan
ketentuan Pasal 2 di atas.
Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen disebutkan
bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum maka
tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan
huruf c dan huruf e. Sementara tujuan untuk memberikan
kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a dan huruf b
termasuk huruf c dan d serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang
diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan
huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak karena seperti
yang dapat kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan
huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasi sebagai tujuan
ganda.21
Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus
sebagaimana dikemukakan sebelumnya menjadikan sejumlah
tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dari Pasal 3
tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal apabila didukung
oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam
undang-undang ini tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan
kondisi masyarakat. Termasuk dalam hal ini substansi ketentuan
Pasal demi Pasal yang akan diuraikan dalam Pasal selanjutnya.
Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan
dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum yang
seterusnya menentukan efektivitas Undang-undang Perlindungan
Konsumen sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali bahwa
kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas perundang-
undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.22
Adapun beberapa aspek perlindungan konsumen pada
penerbangan adalah : 23
1. Aspek Keselamatan Penerbangan
21 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit. Hlm. 3422 Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, Yarsif Watampone, Jakarta,Hlm.19123 E. Suherman, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, (Bandung : Alumni, 1984), hlm. 163
30
Tujuan utama kegiatan penerbangan komersil adalah
keselamatan penerbangan. Aspek ini berkaitan dengan
perlindungan konsumen terhadap penggunan jasa transportasi
udara. Dalam konteks ini, maka semua perusahaan
penerbangan wajib untuk mengantisipasi segala kemungkinan
yang dapat mencelakakan penumpangnya. Oleh karena itu,
setiap perusahaan penerbangan komersil dituntut untuk
menyediakan armada pesawatnya yang handal dan dalam
keadaan layak terbang.
Keselamatan penerbangan berkaitan erat dengan fisik pesawat
terbang serta aspek pemeliharaan sehingga terpenuhi
persyaratan teknik penerbangan. Selain itu, aspek keselamatan
penerbangan juga berkenaan erat dengan faktor sumber daya
manusia yang terlibat dalam penerbangan. Keselamatan
penerbangan merupakan hasil keseluruhan dari berbagai
kombinasi faktor yaitu faktor pesawat udara, personil, sarana
penerbangan, operasi penerbangan dan badan-badan pengatur
penerbangan. 24
2. Aspek Keamanan Penerbangan.
Secara fisik aspek keamanan merupakan suatu aspek yang
paling terasa oleh konsumen pengguna jasa angkutan udara di
24 Ibid.
31
samping aspek kecelakaan pesawat udara.25 Keamanan
penerbangan maksudnya adalah aman dari berbagai gangguan,
baik secara teknis maupun gangguan dari perampokan,
perampasan dan serangan teroris. Dalam aspek keamanan ini
perusahaan penerbangan wajib menjamin keamanan selama
melakukan penerbangan.
3. Aspek Kenyamanan Selama Penerbangan
Dalam aspek kenyamanan dalam penerbangan, terkandung
makna bahwa keseimbangan hak dan kewajiban diantara para
pihak baik pengangkut maupun penumpang.
4. Aspek Pengajuan Klaim
Dalam kegiatan penerbangan seringkali terjadi risiko kecelakaan
yang menimbulkan kerugian bagi penumpang. Sehubungan
dengan hal tersebut, diperlukan perlindungan konsumen bagi
penumpang yaitu adanya prosedur penyelesaian klaim yang
mudah, cepat, dan memuaskan. Prosedur yang mudah berarti
bahwa penumpang atau ahli warisnya yang sudah jelas haknya
tidak perlu menempuh prosedur yang berbelit dan rumit dalam
merealisasikan hak-haknya. Sedangkan prosedur yang murah
berarti para penumpang atau ahli waris yang mengalami
kecelakaan tidak perlu mengeluarkan biaya-biaya yang mahal
untuk menyelesaikan ganti rugi. Penyelesaian sengketa yang
25 E.Suherman, Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan (Himpunan Makalah 1961-1995),(Bandung : Mandar Madju, 2000) hal 195
32
cepat mengandung makna bahwa prosedurnya tidak memakan
waktu yang lama. Dalam kaitan ini, menggunakan penyelesaian
sengketa melalui jalur pengadilan memakan waktu lama.
5. Aspek Perlindungan Melalui Asuransi
Pada umumnya perusahaan penerbangan mengasuransikan
dirinya terhadap risiko-risiko yang kemungkinan akan timbul
dalam penyelenggaraan kegiatan penerbangan
mengasuransikan risiko tanggung jawab terhadap penumpang.
Di samping asuransi yang ditutup oleh perusahaan penerbangan
tersebut, di Indonesia dikenal juga Asuransi Jiwa Jasa Raharja.
Dalam asuransi ini, yang membayar adalah penumpang sendiri
sedangkan perusahaan penerbangan hanyalah bertindak
sebagai pemungut saja.26
B. Para Pihak dalam Penerbangan
a. Penumpang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan,
Ordonasi Pengangkutan Udara maupun Konvensi Warsawa tidak
memberikan definisi tentang “penumpang”. Namun, beberapa
upaya untuk memperbaiki Perjanjian Warsawa antara lain
dengan dibuatnya Draft Convencion 1950, yang membuat
definisi sebagai berikut : “Penumpang adalah setiap orang yang
diangkut dalam suatu pesawat udara berdasarkan suatu
26 Ibid., hlm 201
33
perjanjian pengangkutan”. Dari pengertian tersebut, yang
dikategorikan penumpang tidak mencakup orang-orang yang ada
hubungan kerja dengan pengangkut udara, yang diangkut
karena tugas mereka. Sedangkan Draft Convention 1964,
memberikan pengertian seagai berikut : “Penumpang, adalah
setiap orang yang diangkut dalam pesawat udara kecuali awak
pesawat (termasuk cabin crew) sedangkan pegawai pengangkut
udara baik dalam tugas maupun tidak, dianggap sebagai
penumpang.
Meskipun tidak ada aturan yang menjelaskan secara pasti
definisi dari penumpang, namun secara umum penumpang dapat
dikategorikan sebagai konsumen, sehingga definisi dari
penumpang juga dapat dilihat dari definisi konsumen itu sendiri.
Dalam UUPK dijelaskan pengertian konsumen dalam Pasal 2
yakni : “Setiap orang pemakai barang dan / atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.”
Dari definisi di atas, menjelaskan bahwa yang dapat
dikategorikan sebagai penumpang hanyalah orang yang
membeli jasa dari perusahaan penerbangan,sedangkan pilot dan
34
awak pesawat lainnya masuk dalam kategori personel
penerbangan. 27
b. Maskapai Penerbangan
Menurut R.S. Damardjati dalam bukunya Istilah-Istilah Dunia
Pariwisata (2001: 06)28 mengemukakan pengertian perusahaan
penerbangan sebagai berikut :
“Perusahaan penerbangan adalah perusahaan miliki swastaatau pemerintah yang khusus menyelenggarakan pelayananangkutan udara untuk penumpang umum baik yang berjadwal(schedule service / regular flight) maupun yang tidak berjadwal(non schedule service). Penerbangan berjadwal menempuhrute penerbangan berdasarkan jadwal waktu, kota tujuanmaupun kota-kota persinggahan yang tetap. Sedangkanpenerbangan tidak berjadwal sebaliknya, dengan waktu, rute,maupun kota-kota tujuan dan persinggahan bergantungkepada kebutuhan dan permintaan pihak penyewa.”
Dari F.X. Widadi A. Suwarno (2001 : 7)29 berpendapat bahwa
“Perusahaan penerbangan atau airlines adalah perusahaan
penerbangan yang menerbitkan dokumen penerbangan untuk
mengangkut penumpang beserta bagasinya, barang kiriman
(kargo), benda pos (mail) dengan pesawat udara.”
Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
perusahaan penerbangan adalah suatu perusahaan angkutan
udara yang memberikan dan menyelenggarakan pelayanan jasa
angkutan udara yang mengoperasikan dan menerbitkan
27 Martono, 2000, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Status Hukum dan TanggungJawab Awak Pesawat Udara Sipil. Jakarta, hal.80
28 http://necel.wordpress.com/2009/06/28/pengertian-perusahaan-penerbangan/(diakses, Selasa 12 Desember 2014)29 Ibid
35
dokumen penerbangan dengan teratur dan terencana untuk
mengangkut penumpang, bagasi penumpang, barang kiriman
(kargo), dan benda pos ketempat tujuan.30
Sedangkan undang-undang No.1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, memberikan definisi tentang perusahaan
penerbangan dalam pasal 1 ayat (20), yakni :
“Badan Usaha Angkutan Udara adalah badan usaha miliknegara, badan usaha milik daerah, atau badan hukumIndonesia berbentuk perseroan terbatas atas koperasi, yangkegiatan utamanya mengoperasikan pesawat udara untukdigunakan mengangkut penumpang, kargo, dan / atau denganmemungut pembayaran.
Hak dari pemakai jasa angkutan penumpang udara pada
umumnya adalah :
1. Penumpang atau pemakai jasa angkutan dapat naik pesawat
terbang atau udara sampai ke tujuan yang dikehendaki.
2. Penumpang atau ahli waris dapat menuntut ganti rugi apabila
mendapat kerugian yang diakibatkan kecelakaan pesawat
terbang dalam penerbangan, dan kelalaian pengangkutan.
Berdasarkan Pasal 4 UUPK, hak-hak konsumen sebagai
berikut:31
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang / jasa.
30 Ibid31 Happy Susanto, 2008. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta Selatan : Transmedia
Pustaka, hal 23.
36
2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang / jasa sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang / jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang /
jasa yang digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesain sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau
penggantian, jika barang / jasayang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Hak dan Kewajiban Maskapai Penerbangan
Sebagai salah satu pihak dalam perjanjian angkutan udara maka
penumpang memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut :
1. Membayar uang angkutan, kecuali ditentukan sebaliknya.
2. Mengindahkan petunjuk-petunjuk dari pengangkut udara atau
dari pegawai-pegawainya yang berwenang untuk itu.
3. Menunjukkan tiketnya kepada pegawai-pegawai pengangkut
udara setiap saat apabila diminta.
37
4. Tunduk kepada peraturan-peraturan pengangkut udara
mengenai syarat-syarat umum perjanjian angkutan muatan
udara yang disetujui.
5. Memberitahukan kepada pengangkut udara tentang barang-
barang berbahaya atau barang-barang terlarang yang dibawa
naik sebagai bagasi tercatat atau sebagai bagasi tangan,
termasuk pula barang-barang terlarang yang ada pada dirinya.
Secara umum penumpang sebagai konsumen atau suatu jasa
juga memiliki kewajiban, seperti yang terdapatdalam pasal 5
UUPK, yaitu :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan
pemanfaatan barang / jasa. Tujuannya adalah untuk menjaga
keamanan dan keselamatan bagi konsumen itu sendiri.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang /
jasa. Itikad baik sangat diperlukan ketika konsumen akan
bertransaksi.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
Konsumen perlu membayar barang dan jasa yang telah dibeli,
tentunya dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum dan sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
38
C. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Penerbangan
Prinsip tanggung jawab merupakan perihal yang sangat
penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus
pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam
menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa
tangung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.32
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum
penerbangan adalah sebagai berikut :
1. Prinsip Tanggung Jawab Hukum Berdasarkan Kesalahan (Based
on Fault Liability
Tanggung jawab hukum atas dasar kesalahan terdapat dalam
pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal
tersebut yang dikenal sebagai tindakan melawan hukum
(onrechtsmatigdaad) berlaku umum terhadap siapa pun juga,
termasuk perusahaan penerbangan. Menurut pasal tersebut
setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian
terhadap orang lain mewajibkan orang yang karena
perbuatannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian (to
compensate the damage). Berdasarkan kententuan tersebut
setiap orang harus bertanggung jawab secara hukum atas
perbuatan sendiri artinya apabila orang karena perbuataanya
mengakibatkan kerugian kepada orang lain, maka orang tersebut
32 Shidarta, Op.Cit.,hlm.72
39
harus bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian yang
diderita oleh orang tersebut.
Menurut pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
tanggung jawab hukum kepada orang yang menderita kerugian
tidak hanya terbatas kepada perbuatan sendiri, melainkan juga
perbuatan karyawan, pegawai, agen, perwakilannya apabila
menimbulkan kerugian kepada orang lain, sepanjang orang
tersebut bertindak sesuai dengan tugas dan kewajiban yang
dibebankan kepada orang tersebut. Tanggung jawab atas dasar
kesalahan harus memenuhi unsur ada kesalahan, ada kerugian,
yang membuktikan adalah korban yang menderita kerugian,
kedudukan tergugat dengan penggugat sama tinggi dalam arti
saling dapat membuktikan, bilamana terbukti ada kesalahan
maka jumlah ganti kerugian tidak terbatas. Apabila ada
kesalahan, tetapi tidak mengakibatkan kerugian, maka
perusahaan tidak akan bertanggung jawab, demikian pula ada
kerugian tetapi tidak ada hubungannya dengan kesalahan
pengangkutan, maka perusahaan juga tidak akan
bertanggungjawab.33
2. Prinsip Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumption of
Liability)
33 K. Marton dan Amad Sudiro, Hukum Angkutan Udara beradasarkan UU RI No. 1 Tahun2009, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011), hal. 219-221
40
Menurut konsep tanggung jawab hukum atas dasar praduga
bersalah (presumption of liability), Bahwa seorang pengangkut
atau perusahaan penerbangan dianggap bertanggung jawab
atas kerugian yang ditimbulkan pada penumpang dan/atau
pengiriman barang tanpa dibuktikan kesalahan lebih dahulu,
kecuali perusahaan penerbangan membuktikan tidak bersalah.
Jadi penumpang dan/atau pengirim barang yang dirugikan tidak
perlu membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, cukup
memberi tahu adanya kerugian yang terjadi pada saat
kecelakan.34
3. Prinsip Tanggung Jawab Hukum Tanpa Bersalah (Presumption
of Non Liability)
Prinsip ini dijumpai dalam Konvensi Warsawa dan Ordonansi
Pengangkutan udara, meskipun tidak dengan tegas-tegas
dinyatakan, dan berlaku untuk apa yang disebut “bagasi tangan”,
yaitu barang-barang yang di bawah pengawasan penumpang
sendiri, sebagai istilah lawan dari “bagasi tercatat”, yaitu bagasi
yang oleh penumpang sebelum keberangkatan pesawat udara
diserahkan kepada pengangkut untuk diangkut. Dalam Konvensi
Warsawa dinyatakan bahwa mengenai barang-barang yang di
34 K. Martono dan Agus Pramono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 13
41
bawah pengawasan sendiri, tidak tunduk pada konvensi,
penumpanglah yang mengawasi dan menanggung risikonya35
Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas
setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang
diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya
kesalahan pengangkut. Prinsip ini tidak mengenal beban
pembuktian dan unsur kesalahan dari tanggung jawab dengan
alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu.36
5. Prinsip Tanggung Jawab Terbatas (Limitation of Liability)
Prinsip ini menguntungkan para pelaku usaha karena
mencantukna klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang
dibuatnya. Prinsip ini dilarang berdasarkan pasal 18 ayat 1 huruf
a dan g Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Shidarta mengatakan bahwa :37
Prinsip tanggung jawab terbatas ini sangat merugikankonsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelakuusaha. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumenyang baru, seharusnya pelaku usaha pelaku usaha tidakboleh secara sepihak menentukan klausula yangmerugikan konsumen, termasuk membatasi maksimaltanggung jawab. Jika ada pembatasan mutlak harusberdasarkan pada peraturan perundang-undangan.
35 E. Suherman, 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara danBeberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan, Bandung : Offset Alumni
36 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, (Bandung, Citra Aditya Bakti ;2008), hal. 5637 Shidarta, Op.Cit., hlm 50
42
Sebelum membahas mengenai bentuk-bentuk pelanggaran
dalam penyelengaraan jasa penerbangan perlu diketahui terlebih
dahulu pengertian pelanggaran menurut pendapat sarjana.
Andi Hamzah berpendapat bahwa :
“Pelanggaran adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh
peraturan perundang-undangan namun tidak memberikan
efek yang berpengaruh secara langsung kepada orang lain.”
Moeljatno berpendapat bahwa :
“Pelanggaran hukum merupakan tindakan yang terjadi karen
adanya keinginan untuk mencari celah hukum terhadap
ketentuan yang diatur dalam undang-undang.”
Adapun yang menjadi kriteria sebuah perbuatan dapat
dinyatakan sebagai suatu pelanggaran hukum :38
1. Adanya ketidaksesuaian antara perbuatan yang dilakukan
dengan kriteria-kriteria serta ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam undang-undang.
2. Adanya pertentangan yang menimbulkan ketidak sesuaian
dengan rasa dan kepribadian yang ada dalam masyarakat
sehingga menimbulkan perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan undang-undang.
3. Adanya sikap batin dari seseorang yang terkadang ingin
melakukan tindakan untuk mencari celah hukum dari ketentuan
kepadapenumpang paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sebelum
pelaksanaanpenerbangan. Pembatalan penerbangan yang
dilakukan kurang dari 7 (tujuh) hari kelender sampai dengan
waktu keberangkatan yang telah ditetapkan apabila maskapai
47 Wawancara dengan Nur Amelia pada tanggal 23 Oktober 201448 Penumpang Rolas budiman tidak terangkut menuju Makassar karena kursi penumpang yangpenuh. Hukumonline.com dalam artikel Lion Air ganti rugi ultah penumpang
62
penerbangan melakukan perubahan jadwal penerbangan
(retimingatau rescheduling).
Aturan ini membedakan antara pembatalan penerbangan
dengan keterlambatan penerbangan dan tidak terangkutnya
penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara. Akan
tetapi menurut penulis, salah satu bentuk pembatalan
penerbangan khususnya pembatalan penerbangan yang
dilakukan pada hari keberangkatan penumpang adalah
penundaan penerbangan (delay) dan tidak terangkutnya
penumpang karena over seat. Hal ini disebabkan, baik
pembatalan penerbangan maupun penundaan penerbangan dan
tidak terangkutnya penumpang karena over seat memiliki
kesaamaan yaitu tidak diberangkatkannya penumpang ke tempat
tujuan.
Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa penundaan
penerbangan dan tidak terangkutnya penumpang karena over
seat merupakan bentuk pembatalan penerbangan secara
sepihak dari pihak maskapai penerbangan. Bahkan, dari hasil
penulusuran penulis, penumpang yang mengalami penundaan
penerbangan49 dan tidak terangkutnya penumpang karena over
seat, seringkali membatalkan tiketnya dan akibat dari
pembatalan tiket tersebut menjadi tanggunggan penumpang
49 Masnaida Said, Penumpang Lion Air pada tanggal 14 Oktober 2014 tujuan Jakartamembatalkan penerbangannya yang mengalami penundaan hingga 2 jam
63
yang mana seharusnya merupakan tanggung jawab maskapai
penerbangan.
Hal ini menunjukkan bahwa pihak maskapai penerbangan secara
tidak langsung membatalkan penerbangan dengan adanya
pembatalan penerbangan yang dilakukan oleh pihak penumpang
karena adanya penundaan penerbangan (delay) dan tidak
terangkutnya penumpang karena over seat.
Hubungan hukum antara penumpang dan maskapai
penerbangan adalah hubungan hukum yang terjadi karena
adanya perjanjian antara penumpang dan maskapai
penerbangan. Hubungan tersebut menimbulkan hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak. Sesuatu yang menjadi hak
pada satu pihak merupakan kewajiban di pihak lainnya dan
kewajiban pada satu pihak merupakan hak di pihak lainnya.
Penumpang berkewajiban membayar biaya pengangkutan yang
merupakan hak dari maskapai penerbangan dan sebaliknya
maskapai penerbangan berkewajiban mengangkut penumpang
dengan selamat hingga tempat tujuan merupakan hak dari
penumpang.
Hak konsumen secara umum diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Hak konsumen yang diatur dalam Pasal
4 UUPK, jika dikaitkan dengan hak konsumen penerbangan yaitu:
64
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barangdan/atau jasa;
Hak konsumen ini, jika dikaitkan dengan uraian mengenai
keterlambatan yang dilakukan oleh maskapai penerbangan Lion
Air, maka penulis berpendapat bahwa pihak Lion Air telah
melanggar hak atas kenyamanan konsumen. Fakta-fakta yang
diuraikan sebelumnya bahwa pihak Lion Air membiarkan
konsumen dalam kondisi yang tidak pasti karena tidak adanya
penjelasan kepada penumpang mengenai penundaan
keberangkatan. Para penumpang merasa tidak nyaman karena
tidak diberikan arahan tempat untuk menunggu dan lama waktu
penundaan. Selain ketidaknyamanan dalam menunggu
ketidakpastian keberangkatan, pihak maskapai Lion Air juga
tidak menyediakan ganti rugi berupa pemberian makanan dan
minuman kepada para penumpang.
Penumpang Oktaviona dan Zulfikar yang merupakan
penumpang maskapai Lion Air dengan tujuan Surabaya-
Makassar, mengalami penundaan keberangkatan selama 2 jam,
mengaku sangat tidak nyaman atas kondisi yang tidak pasti pada
saat terjadi delay keberangkatan.50
50 Wawancara dengan Oktaviona dan Zulfikar pda tanggal 16 Oktober 2014
65
2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan
Dalam kasus tidak terangkutnya penumpang, Rolas budiman,
yang tidak dapat berangkat dengan alasan kursi penuh atau
overseat telah melanggar hak konsumen untuk mendapatkan
jasa sesuai dengan yang dijanjikan.
Penumpang yang seharusnya berangkat dengan jadwal
penerbangan yang telah dijanjikan tidak dapat diberangkatkan
karena kesalahan pihak maskapai Lion Air dalam hal kapasitas
kursi penumpang yang penuh atau overseat. Kejadian ini
sepatutnya tidak terjadi pada penumpang, khususnya kepada
penumpang yang akan berangkat pada hari keberangkatan.
Merupakan kesalahan dari maskapai penerbangan dalam hal
mengecek jumlah penumpang dan jumlah kursi yang tersedia.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa
Para penumpang Lion Air mempunyai hak untuk mengetahui
kondisi jasa penerbangan yang diberikan oleh Maskapai
penerbangan. Informasi tersebut dapat berupa tipe pesawat
yang digunakan, terminal tempat pemberangkatan atau semua
hal yang berkaitan dengan jasa penerbangan. Hak informasi
penumpang juga meliputi alasan-alasan pembatalan atau
66
penundaan keberangkatan penerbangan sesuai dengan jadwal
yang telah disepakati oleh para pihak dalam tiket.
Tindakan pihak Lion Air yang tidak memberikan penjelasan
kepada penumpang mengenai alasan pembatalan
keberangkatan merupakan pelanggaran hak atas informasi bagi
penumpang. Pelanggaran hak atas informasi juga terjadi apabila
pihak maskapai Lion Air tidak memberikan penjelasan mengenai
tindakan yang seharusnya dilakukan oleh penumpang jika terjadi
pembatalan penumpang. Pihak Lion Air harus menjelaskan
prosedur yang ditempuh bagi penumpang dalam menuntut hak-
haknya. Membiarkan penumpang dalam kondisi yang tidak jelas
akan membuat penumpang panik dan tidak tenang.
Dalam beberapa kasus pembatalan atau penundaan pihak Lion
Air sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, Pihak Lion Air
hanya mengumumkan penundaan atau pembatalan
penerbangan. Para penumpang hanya mengetahui penundaan
tersebut melalui pengumuman suara dan melalui layar TV yang
disediakan di Bandara. Penulis menganggap hal tersebut belum
memenuhi hak untuk memperoleh informasi yang layak bagi
para penumpang. Pihak Lion Air setidaknya harus
mengumumkan hal-hal sebagai berikut:
a. Alasan penundaan atau pembatalan
b. Lama waktu penundaan atau pembatalan
67
c. Hak-hak para penumpang misalnya makan danminum, uang
ganti rugi, dan penginapan
d. Langkah-langkah yang ditempuh oleh para penumpang untuk
mendapatkan hak-hak tersebut.
Namun, jika melihat fakta yang terjadi, para penumpang sendiri
yang banyak mendatangi pihak Lion Air untuk meminta
informasi. Pihak Lion Air yang seharusnya aktif memberikan
informasi bukan hanya saat penumpang mendatangi dan
meminta informasi.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
Hak ini erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi
yang benar. Hak ini diberikan karena seringkali informasi yang
diberikan oleh pihak penyedia jasa tidak cukup memuaskan
konsumen. Oleh karena itu konsumen berhak mengajukan
permintaan informasi lebih lanjut.
Para penumpang memiliki hak untuk memberikan pendapat dan
memberikan keluhan atas jasa penerbangan Pihak Lion Air.
Keluhan tersebut dapat berupa layanan jasa Pihak Lion Air yang
tidak sesuai dengan penawarannya. Kondisi jasa penerbangan
dapat dilihat pada tiket atau iklan yang publikasikan pihak Lion
Air. Ketidaksesuaian kondisi antara tiket atau iklan dengan
layanan yang diberikan kepada penumpang dapat menjadi
68
alasan bagi penumpang untuk memberikan keluhan kepada
pihak Lion Air.
Beberapa kasus penundaan atau pembatalan dapat
mengakibatkan masalah jika pihak Lion Air tidak segera
mendengarkan keluhan-keluhan yang disampaikan oleh para
penumpang. Pihak Lion Air harus cepat merespon jika terdapat
keluhan dari penumpang.
Kurangnya respon dari pihak Lion Air akan membuat para
penumpang bertindak menyampaikan keluhannya dengan cara
demonstrasi yang tentunya hal ini juga akan merugikan pihak
Lion Air. Oleh karena itu pihak penyedia jasa seharusnya
menyediakan cara untuk menyalurkan hak para penumpang
untuk menyampaikan keluhan atas pelayanan yang telah
diberikan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengkata perlindungan konsumen secara patut;
Penumpang Lion Air seharusnya mendapatkan sarana untuk
menyelesaikan masalah yang dialaminya dengan maskapai
penerbangan khususnya terkait keterlambatan penerbangan.
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
Bentuk dari pemenuhan hak ini adalah memberikan
pengetahuan mengenai prosedur untuk pengembalian ganti rugi
yang dilakukan oleh maskapai penerbangan jika terjadi
69
keterlambatan penerbangan. Penumpang Lion Air seharusnya
diberikan penjelasan mengenai tata cara untuk mendapatkan
hak mereka yaitu ganti rugi dari maskapai penerbangan.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
Pelaku usaha harus memberikan pelayanan yang sama kepada
semua konsumennya jika terjadi keterlambatan penerbangan.
Pihak maskapai penerbangan seharusnya melayani dan
memperlakukan penumpang secara benar dan jujur, baik
mengenai alasan keterlambatan maupun prosedur untuk
mendapatkan ganti rugi jika terjadi keterlambatan penerbangan.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
Hak ini secara jelas menunjukkan bahwa pelaku usaha memiliki
kewajiban untuk memenuhi hak penumpang dalam hal
mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian jika
terjadi keterlambatan penerbangan.
Bentuk-bentuk tanggung jawab penyedia jasa penerbangan, yaitu :
1. Tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari
maskapai penerbangan kepada penumpang.
70
Tanggung jawab ini terdapat pada tiket penerbangan yang
merupakan perjanjian pengangkutan antara pihak Maskapai Lion
Air dan pihak penumpang.
2. Tanggung jawab perdata atas kerugian yang dialami konsumen
akibat menggunakan jasa maskapai penerbangan.
Pertanggungjawaban ini didasarkan pada perbuatan melawan
hukum. Unsur dalam perbuatan melawan hukum ini adalah
kesalahan, kerugian dan hubungan kasualitas antara perbuatan
melawan hukum dengan kerugian yang timbul.
Tanggung jawab ini terjadi jika salah satu pihak melakukan
kesalahan yang merugikan pihak lainnya. Dalam hal ini
kesalahan tertundanya keberangkatan, tidak terangkutnya
penumpang dengan alasan overseat dan pembatalan
penerbangan merupakan kesalahan dari pihak maskapai
sehingga menjadi tanggung jawabnya kepada pihak yang
dirugikan yaitu penumpang.
Kewajiban maskapai penerbangan yang menjadi tanggung
jawabnya terhadap konsumen terdiri dari:
1. Pihak maskapai penerbagan wajib memberikan informasi atas
semua hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan jasa
penerbangan yang ditawarkan kepada konsumen, agar
konsumen memahami benar dalam pemanfaatan jasa
penerbangan tersebut. Ketentuan umum mengenai informasi
71
yang harus di beritahukan kepada konsumen adalah mengenai
harga, jenis atau kelas penerbangan, jadwal penerbangan, dan
keterangan-keterangan lain yang dapat membantu konsumen
dalam memutuskan untuk membeli tiket penerbangan sesuai
dengan kebutuhannya.
2. Pihak maskapai penerbangan wajib bertanggungjawab atas
kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan jasanya
secara langsung.
3. Penyelenggaraan jasa penerbangan harus memiliki kemampuan
untuk menjamin kenyamanan dan keamanan dalam
pelaksanaannya. Pelaku usaha harus menyediakan mekanisme
yang aman dan nyaman serta pelayanan yang maksimal pada
penumpang.
Selanjutnya, dalam konsep tanggung jawab, pihak maskapai
penerbangan yang merupakan pelaku profesional dalam pelayanan
jasa pengangkutan memiliki tanggung jawab profesional.
Tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab hukum
dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada
klien. Tanggung jawab profesional ini dapat timbul karena para
penyedia jasa profesional tidak memenuhi perjanjian yang mereka
sepakati dengan klien mereka atau akibat dari kelalaian penyedia
72
jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan
hukum.51
Profesional itu, pertama bertanggung jawab kepada diri
sendiri, artinya dia bekerja karena integritas moral, intelektual dan
profesional sebagai bagian dari kehidupannya dan kepada
masyarakat. Kedua, bertanggung jawab kepada masyarakat.
Artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa
membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan cuma-
cuma serta menghasilkan pelayanan yang bermutu, yang
berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak
semata-mata bermotif keuntungan, melainkan juga pengabdian
kepada sesama manusia. Kelalaian dalam melaksanakan profesi
menimbulkan dampak yang membahayakan atau mungkin
merugikan diri sendiri, orang lain, dan berdosa kepada tuhan.52
Tanggung jawab merupakan suatu refleksi tingkah laku
manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol
jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan
intelektualnya, atau mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah
diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian dari tanggung jawab
dan akibat pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu
51 Shidarta. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,Jakarta. Edisi Revisi. GramediaWidiasarana Indonesia. Hal 8252 Abdul Kadir Muhammad. 2001. Etika Profesi Hukum. Bandung. Citra Aditya Bakti. Hal 60
73
dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah
dipimpin oleh kesadaran intelektualnya.53
Mengkaji konsep tanggung jawab profesional jika dikaitkan
dengan tindakan maskapai penerbangan lion air yang melakukan
penundaan penerbangan, tidak terangkutnya penumpang karena
overseat, dan pembatalan penerbangan adalah tindakan yang tidak
profesional.
Prinsip tanggung jawab, dalam doktrin hukum pengangkutan
khususnya pengangkutan udara, pengangkut dapat dibebaskan
dari tanggung jawabnya dalam hal, yaitu :
1. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab ini,
jika kerugian yang timbulkan oleh hal-hal diluar kekuasaanya.
2. Pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab jika ia dapat
membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan
untuk menghindari kerugian.
3. Pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab jika ia dapat
membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya.
4. Pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab jika ia dapat
membuktikan, jika kerugian disebabkan kelalaian/kesalahan
penumpang.
53 Mashyur Efendi. 1994. Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional danInternasional. Jakarta. Ghalia Indonesia. Hal 121
74
Maskapai penerbangan dapat dibebaskan dari tanggung
jawabnya jika memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 142 UU Penerbangan yaitu:
1. Pengangkut tidak bertanggung jawab dan dapat menolak untuk
mengangkut calon penumpang yang sakit, kecualidapat
menyerahkan surat keterangan dokter kepadapengangkut yang
menyatakan bahwa orang tersebut diizinkan dapat diangkut
dengan pesawat udara.
2. Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
didampingi oleh seorang dokter atau perawat yang bertanggung
jawab dan dapat membantunya selama penerbangan
berlangsung.
Penjelasan mengenai pembebasan tanggung jawab jika
terjadi kerugian atas keterlambatan penerbangan diluar kuasa
pengangkut, diatur dalam Undang-Undang Penerbangan dan
PerMenHub 77/2011.
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau
kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa
keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis
operasional.54
54 Lihat Pasal 146 Undang-Undang Penerbangan
75
Lebih lanjut, pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab
atas ganti kerugian akibat keterlambatan penerbangan dalam hal:55
1. Faktor cuaca antara lain hujan Iebat, petir, badai, kabut, asap,
jarak pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin
yang melampaui standar maksimal yang mengganggu
keselamatan penerbangan.
2. Teknis Operasional antara lain:
a. bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat
digunakan operasional pesawat udara;
b. lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu
fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran;
c. terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off),
mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan
(departure slot time)di bandar udara; atau
d. keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling).
Sedangkan yang tidak termasuk dengan teknis operasional
antara lain:
1. keterlambatan pilot, co pilot, dan awak kabin;
2. keterlambatan jasa boga (catering);
3. keterlambatan penanganan di darat;
55 Lihat Pasal 13 PerMenHub 77/2011
76
4. menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in),
pindah pesawat (transfer) atau penerbangan lanjutan
(connecting flight); dan
5. ketidaksiapan pesawat udara.
Aturan tersebut telah memberikan pembatasan dalam hal
pembebasan tanggung jawab maskapai penerbangan yang berarti
jika memang pihak maskapai Lion Air memilki alasan keterlambatan
penerbangan yang diperbolehkan oleh undang-undang maka pihak
Lion Air dapat menyampaikannya secara langsung kepada
penumpang. Akan tetapi, tidak adanya penjelasan yang diberikan
oleh pihak maskapai Lion Air mengindikasikan bahwa
keterlambatan penerbangan tersebut disebabkan oleh kesalahan
dari maskapai Lion Air.
Salah satu kasus keterlambatan penerbangan, dialami oleh
penumpang Lion Air, Jubedah, dengan tujuan Surabaya-Jakarta.
Jubaedah harus menunggu selama 2 jam tanpa adanya alasan
yang jelas mengenai penyebab keterlambatan penerbangan
tersebut.56
Penjelasan mengenai pembebasan tanggung jawab tersebut
jika dikaitkan dengan konsep tanggung jawab yang ada dalam
Undang-Undang Penerbangan maka tanggung jawab maskapai
penerbangan adalah tanggung jawab hukum praduga bersalah
56 Wawancara dengan Jubaedah Tanggal 23 Oktober 2014
77
(Presumption of Liability) dengan sistem beban pembuktian terbalik.
Dasar pemikiran teori ini adalah seorang dianggap bersalah,
sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya,
sehingga jika teori ini digunakan maka yang berkewajiban untuk
membuktikan kesalahan itu ada pada maskapai penerbangan.
Penumpang secara otomatis memperoleh ganti rugi dari maskapai
penerbangan tanpa perlu membuktikan kesalahan pihak maskapai
penerbangan. Namun dalam konsep ini posisi konsumen selalu
terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha.
Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UUPK, pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan,
pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkannya atau diperdagangkannya.
Pasal ini secara umum mengatur bahwa maskapai penerbangan
bertanggungjawab terhadap kerugian yang dialami oleh
penumpang.
Tanggung jawab atas ganti kerugian yang dialami oleh
penumpang secara umum terdapat dalam Pasal 146 Undang-
Undang Penerbangan yaitu, pengangkut bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan
penumpang, bagasi,atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat
membuktikanbahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor
cuaca dan teknis operasional.
78
Kalimat pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang dapat
diartikan secara luas. Menurut penulis, kerugian yang dimaksud
dalam Pasal ini bukan hanya meliputi kerugian senilai tiket tetapi
meliputi kerugian akibat keuntungan yang akan didapatkan jika
tidak terjadi keterlambatan penerbangan. Kerugian dalam hukum
dapat berupa kerugian materil dan kerugian imateril.
1. Tanggung Jawab Kerugian Materil
Ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) UUPK
dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan
kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya, terkait keterlambatan pengangkutan yang dilakukan
oleh pihak maskapai penerbangan Lion Air dengan aturan yang
berlaku maka beberapa hal yang perlu dikaji yaitu:
a. Keterlambatan penerbangan
Ganti rugi yang wajib diberikan oleh maskapai penerbangan
kepada penumpang sebelumnya telah diatur dalam Pasal 36
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara (Permenhub
25/2008) yaitu:
79
1. Keterlambatan lebih dari 30 (tiga puluh) menit sampai
dengan 90 (sembilan puluh) menit, maskapai penerbangan
wajib memberikan minuman dan makanan ringan;
2. Keterlambatan lebih dari 90 (sembilan puluh) menit sampai
dengan 180 (seratus delapan puluh) menit, maskapai
penerbangan wajib memberikan minuman, makanan
ringan, makan siang atau malam dan memindahkan
penumpang ke penerbangan berikutnya atau ke maskapai
penerbangan lainnya, apabila diminta oleh penumpang;
Keterlambatan penerbangan ini dialami oleh Ahmad
Syaifullah, penumpang yang mengalami penundaan
keberangkatan selama 2 jam (120 menit). Penumpang
dengan tujuan Makassar-Surabaya ini tidak mendapatkan
ganti rugi dalam bentuk apapun dari pihak maskapai Lion
Air.57
Lebih lanjut, penumpang pada penerbangan yang sama
yaitu Haslindah Hasan, membatalkan penerbangan
tersebut disebabkan penundaan keberangkatan yang
dilakukan oleh pihak Lion Air.58
3. Keterlambatan lebih dari 180 (seratus delapan puluh) menit,
maskapai penerbangan wajib memberikan minuman,
makanan ringan, makan siang atau malam dan apabila
57 Wawancara dengan Ahmad Syaifullah pada tanggal 5 maret 201558 Wawancara dengan Haslindah Hasan pada tangal 5 Mei 2015
80
penumpang tersebut tidak dapat dipindahkan ke
penerbangan berikutnya atau ke maskapai penerbangan
lainnya, maka kepada penumpang tersebut wajib diberikan
fasilitas akomodasi untuk dapat diangkut pada
penerbangan hari berikutnya.
Keterlambatan penerbangan ini dialami oleh Nur Amelia,
penumpang yang mengalami penundaan selama lebih dari
4 jam (240 menit). Nur Amelia tidak mendapatkan ganti rugi
dalam bentuk apapun dari pihak maskapai Lion Air.59
Kemudian, pemerintah melengkapi ketentuan ganti rugi yang
diatur dalam Pasal 10 PerMenHub 77/2011, yaitu:
1. Keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam diberikan ganti rugi
sebesar Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per
penumpang;
2. Ganti kerugian sebesar 50% (lima puluh persen) dari
ketentuan di atas apabila pengangkut menawarkan tempat
tujuan lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir
penumpang (re-routing), dan pengangkut wajib
menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau menyediakan
transportasi lain sampai ke tempat tujuan apabila tidak ada
moda transportasi selain angkutan udara;
59 Wawancara dengan Nur Amelia pada tanggal 23 Oktober 2014
81
3. Dalam hal dialihkan kepada penerbangan berikutnya,
penumpang dibebaskan dari biaya tambahan, termasuk
peningkatan kelas pelayanan (up grading class) atau
apabila terjadi penurunan kelas atau sub kelas pelayanan,
maka terhadap penumpang wajib diberikan sisa uang
kelebihan dari tiket yang dibeli.
Aturan mengenai ganti rugi yang wajib diberikan oleh
maskapai penerbangan terkait keterlambatan penerbangan,
baik yang diatur oleh PerMenHub 25/2008 maupun
PerMenhub 77/2011 menunjukkan bahwa penumpang yang
mengalami penundaan selama lebih dari 4 jam memiliki
beberapa hak. Hak tersebut berupa mendapatkan minuman,
makanan ringan, makan siang, dan makan malam serta ganti
rugi sebesar Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah).
Hak penumpang tersebut, jika dikaitkan dengan keterlambatan
penerbangan yang dialami oleh Nur Amelia, penumpang yang
tidak mendapatkan ganti kerugian dalam bentuk apapun,
menunjukkan bahwa aturan ini tidak dilaksanakan oleh pihak
maskapai Lion Air. Demikian pula dengan penundaan
keterlambatan lainnya seperti yang telah diuraikan
sebelumnya.
Selain itu, terkait keterlambatan pengangkutan udara yang
penumpangnya merupakan penumpang lanjutan untuk
82
penerbangan berikutnya pernah dialami oleh Tommy
Suprapto, penumpang maskapai Lion Air dengan tujuan
Surabaya-Makassar.
Penumpang Tommy Suprapto mengalami penundaan
keberangkatan dari Surabaya menuju Makassar selama 2 jam
padahal penumpang tersebut harus melanjutkan
penerbangannya menuju Jayapura dengan jadwal yang hanya
berselang 1 jam 30 menit dari waktu kedatangannya di
Makassar. Keterlambatan penerbangan yang dilakukan oleh
pihak Lion Air secara otomatis akan mempengaruhi jadwal
kedatangannya di Makassar sehingga penumpang tersebut
tidak dapat berangkat untuk penerbangannya menuju
Jayapura.60
Pihak Lion Air yang diwakili oleh Indah, pegawai kantor pusat
Lion Air Jakarta, mengatakan bahwa pihak Lion Air tidak
bertanggungjwab atas penumpang lanjutan yang
menggunakan jasa penerbangan selain Lion Air. Pihak Lion
Air hanya bertanggungjawab jika maskapai penerbangan
lanjutan yang digunakan oleh penumpang juga menggunakan
Lion Air.61
Dari penjelasan di atas, kejadian yang dialami oleh
penumpang Tommy Suprapto tentu sangat merugikan. Pihak
60 Wawancara dengan Tommy Suprapto Tanggal 23 Oktober 201461 Wawancara dengan Indah tanggal 25 Oktober 2014
83
Lion seharusnya bertanggungjawab terhadap keterlambatan
yang berakibat tidak terangkutnya penumpang pada
penerbangan lanjutannya.Ganti rugi tersebut setidaknya harus
menyediakan penerbangan lanjutan yang seharusnya diikuti
oleh penumpang tersebut meskipun maskapai penerbangan
yang digunakannya berbeda.
b. Tidak Terangkutnya Penumpang Dengan Alasan Kapasitas
Pesawat Udara (Denied Boardingpassanger);
Ganti rugi akibat tidak terangkutnya penumpang dengan
alasan kapasitas pesawat udara diatur dalam Pasal 11
PerMenHub 77/2011 yaitu:
1. mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya
tambahan; dan/atau
2. memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi
apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan;
Kasus tidak terangkutnya penumpang karena kursi penuh
atau overseat yang dialami oleh penumpang Lion Air,
Prasetyo Agung Wahyu dan Budi Santoso sampai kepada
pengadilan menunjukkan lambatnya tindakan yang diberikan
oleh pihak maskapai Lion Air sehingga kedua penumpang
tersebut harus menuntut ganti rugi melalui pengadilan.
Padahal sudah sepatutnya pihak Lion Air untuk segera
mengalihkan penumpang ke penerbangan lainnya jika kursi
84
penumpang pada penerbangan tersebut penuh atau
overseat.62
c. Pembatalan Penerbangan
Ganti rugi akibat pembatalan penerbangan telah diatur dalam
Pasal 12 PerMenHub 77/2011 yaitu:
1. Pembatalan penerbangan yang dilakukan paling lambat 7
(tujuh) hari kalender sebelum pelaksanaan penerbangan
wajib mengembalikan seluruh uang tiket yang telah
dibayarkan oleh penumpang.
2. Pembatalan penerbangan yang dilakukan kurang dari 7
(tujuh) hari kelender sampai dengan waktu keberangkatan
yang telah ditetapkan berlaku ketentuan Pasal 10 huruf b
dan c.
3. Pembatalan penerbangan yang dilakukan kurang dari 7
(tujuh) hari kelender sampai dengan waktu keberangkatan
apabila maskapai penerbangan melakukan perubahan
jadwal penerbangan (retimingatau rescheduling).
Mengenai pembatalan penerbangan yang dilakukan paling
lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari keberangkatan dan ganti
rugi senilai harga tiket, menurut penulis , sudah cukup adil
karena dapat memberikan kesempatan kepada penumpang
62 Penumpang Prasetyo Agung Wahyu dan Budi Santoso tidak terangkut menuju Manado karenakursi penumpang yang penuh. Hukumonline.com dalam artikel Lion Air ganti rugi ultahpenumpang
85
untuk mecari alternatif penerbangan lainnya. Akan tetapi, jika
pembatalan tersebut dilakukan kurang dari 7 (tujuh) hari maka
ada beberapa hal perlu dikaji yaitu:
1. PerMenHub 77/2011 hanya memperbolehkan pembatalan
penerbangan yang dilakukan kurang dari 7 (tujuh) hari jika
maskapai penerbangan ingin melakukan perubahan jadwal
penerbangan. Hal ini berarti pembatalan di luar perubahan
jadwal penerbangan tidak diperbolehkan.
2. Ketentuan ganti rugi akibat pembatalan penerbangan pada
Pasal 12 ayat (3) yaitu, pembatalan yang dilakukan kurang
dari 7 (hari) berlaku ketentuan Pasal 10 huruf (b) dan (c).
Pasal 10 huruf (b) mengatur diberikan ganti kerugian
sebesar 50% (lima puluh persen) dari ketentuan huruf (a)
apabila pengangkut menawarkan tempat tujuan lain yang
terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang (re-
routing),dan pengangkut wajib menyediakan tiket
penerbangan lanjutan atau menyediakan transportasi lain
sampai ke tempat tujuan apabila tidak ada moda
transportasi selain angkutan udara;
Ketentuan dalam Pasal ini tidak jelas yang dapat
menimbulkan penafsiran yang berbeda. Pertama, jika
menyesuaikan dengan maksud Pasal 10 huruf (b) bahwa
diberikan ganti kerugian sebesar 50% dari huruf (a) yaitu Rp.
86
300.000 apabila pengangkut menawarkan tempat tujuan lain
yang terdekat dari tujuan penerbangan akhir, maka tentu
nominal ganti ruginya sangat kecil yaitu 50% dari Rp 300.000
yaitu Rp 150.000. Selain itu, Pasal ini juga menggunakan
kata apabila yang artinya ganti rugi tersebut merupakan
pilihan yang dapat digunakan pengangkut sehingga tidak
ada kewajiban untuk mengikuti ketentuan tersebut. Akan
tetapi tidak jelas mengenai berapa jumlah nominal ganti rugi
yang diberikan oleh pihak pengangkut jika tidak menawarkan
penerbangan dengan tujuan terdekat dari penerbangan
akhir. Kedua, jika yang dimaksudkan oleh Pasal ini adalah
50% dari harga tiket apabila pengangkut menawarkan
tempat tujuan lain yang terdekat dari tujuan penerbangan
akhir, maka selain hanya merupakan pilihan dan bukan
kewajiban pihak pengangkut, nominal ganti rugi jika tidak
menawarkan penerbangan dengan tujuan terdekat dari
penerbangan akhir juga tidak jelas. Lebih lanjut, jika yang
dimaksudkan oleh Pasal ini adalah ganti rugi yang sama
dengan nilai harga tiket maka aturan dalam Pasal ini tidak
memiliki perbedaan dengan pembatalan penerbangan yang
dilakukan paling lambat 7 (hari). Pasal 12 ayat (3) ini hanya
memberikan pilihan lain kepada pengangkut jika terjadi
pembatalan kurang dari 7 (tujuh) hari dari hari
87
keberangkatan. Hal ini menunjukkan bahwa ganti rugi yang
diberikan kepada penumpang yang mengalami pembatalan
penerbangan kurang dari 7 (tujuh) hari adalah tidak adil.
Seharusnya aturan ini memberikan ganti kerugian yang lebih
besar nominalnya kepada penumpang yang mengalami
pembatalan kurang dari 7 (tujuh) hari.
Penggunaan prinsip tanggung jawab mutlak dalam
kasus keterlambatan pengangkutan oleh pihak maskapai
penerbangan terdapat penerapan yang disebut risk liability
yang mempunyai arti kewajiban untuk mengganti kerugian
serta beban pembuktian ada pada pelaku usaha dalam hal
ini maskapai penerbangan. Pembatalan penerbangan secara
sepihak harus memenuhi beberapa kriteria agar dapat
dikatakan sebagai suatu pelanggaran hukum yang dapat
dimintai pertanggungjawabanya antara lain terjadinya
keterlambatan penerbangan tersebut menyebabkan
terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konsumen.
Keterlambatan penerbangan oleh pihak Lion Air dalam
bentuk penundaan atau pembatalan penerbangan berlaku
tanggung jawab mutlak bagi pihak Lion Air. Seharusnya
pihak Lion Air segera memberikan kompensasi atau ganti
rugi kepada para penumpang karena berlaku prinsip
tanggung jawab mutlak. Apalagi jika melihat tidak adanya
88
alasan yang pasti terkait penundaan atau pembatalan
penerbangan yang dilakukan oleh pihak Lion Air bukan
karena factor cuaca atau alasan teknis operasional. Dengan
demikian tidak ada alasan bagi pihak Lion Air untuk tidak
memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada para
penumpangnya.
2. Tanggung Jawab Kerugian Immateriil
Keterlambatan pengangkutan dapat menimbulkan
kerugian yaitu kerugian materil dan kerugian immaterial.
Kerugian immaterial adalah kerugian moril yang tidak bisa dinilai
dalam jumlah yang pasti meskipun tetap dinilai secara materil
atau uang. Contoh kerugian immaterial rasa ketakutan,
kehilangan kenyamanan atau kehilangan kesenangan.
Tanggung jawab terhadap kerugian immaterial seperti
yang dialami oleh Victoria yang mengalami keterlambatan dalam
menghadiri perkawinan cucunya, dan kasus Rolas yang tidak
dapat berangkat ke Manado untuk melaksanakan ulang tahun
anaknya.63
B. Penyelesaian Sengketa antara Penyedia Jasa dengan
Konsumen Penerbangan jika Terjadi Pembatalan Penerbangan
secara Sepihak
63 Wawancara dengan Victoria pada tanggal 23 Oktober 2014 dan artikel mengenai Lion Air gantiultah penumpang Rolas Budiman pada hukumonine.com
89
Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UUPK, setiap konsumen
yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum. Pasal ini melanjutkan ketentuan dalam Pasal 4
huruf (f) UUPK mengenai hak konsumen untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya.
Konsumen diberikan pilihan untuk menyelesaikan sengketa
konsumen yaitu melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam penyelesaian sengketa konsumen
dapat ditempuh melalui pengadilan (litigasi) atau di luar pengadilan
(non litigasi) sesuai dengan pilihan para pihak yang bersengketa.
1. Penyelesaian Sengketa secara Litigasi
Penumpang yang mengajukan gugatan di peradilan umum
dalam hal ini adalah peradilan perdata yang berada di
Pengadilan Negeri. Dalam kasus perdata di Pengadilan
Negeri, bukan hanya pihak konsumen yang diberikan hak untuk
mengajukan gugatan. Menurut Pasal 46 UUPK mengatur yaitu:
90
a. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan
oleh:
1. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan;
2. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang
sama;
3. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum
atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan
sesuai dengan anggaran dasarnya;
4. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan
mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau
korban yang tidak sedikit.
b. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen,
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau
pemerintah diajukan kepada peradilan umum.
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar
dan/atau korban yang tidak sedikit diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
91
Pada klasifikasi kedua, gugatan dapat dilakukan oleh
sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang
sama. Ketentuan ini harus dibedakan dengan gugatan yang
mewakilkan kepada orang lain seperti diatur dalam Pasal 123
ayat (1) HIR. Penjelasan Pasal 46 UU No 8 Tahun 1999
menyebutkan gugatan kelompok ini dengan istilah class action.
Pada kasus pembatalan penerbangan yang dilakukan oleh
Pihak Lion Air, konsumen yang merasa dirugikan lebih dari satu
orang dapat mengajukan gugatan dengan menggunakan
mekanisme gugatan class action. Model gugatan class action
bertujuan agar para penumpang dalam jumlah yang banyak
dan memiliki fakta serta kerugian yang sama diwakili oleh
perwakilan kelompok. Class action lebih memudahkan para
penegak hukum khususnya hakim dalam menyelesaikan
perkara. Jumlah penggugat yang banyak akan membuat
penyelesaian kasus yang rumit karena harus mengidentifikasi
para penggugat.
Gugatan penumpang yang diajukan di pengadilan merupakan
sengketa yang masuk dalam lingkup hukum perdata.
Persengketaan perdata adalah persengkataan yang dapat
terjadi pada perseorangan atau badan hukum. Dalam sengketa
perdata di pengadilan, Sebelum menempuh penyelesaian
melalui jalur persidangan, disarankan untuk menyelesaikan
92
sengketa yang terjadi melalui proses musyawarah /mediasi.
Bila ternyata mediasi tidak dapat menyelesaikan sengketa yang
ada, barulah penyelesaian sengketa dapat melalui pengadilan.
Tahapan-tahapan dalam proses peradilan perdata di
pengadilan apabila para penumpang ingin mengajukan gugatan
di pengadilan:
a. Pentaran Gugatan; Jika surat gugatan telah dibuat dan telah
Rbg, Zegelverordening 1921), maka surat gugatan tersebut
kemudian ditarkan ke panitera pengadilan di wilayah
pengadilan yang ingin dituju untuk mendapatkan nomor
perkara dan oleh panitera kemudian akan diajukan kepada
ketua pengadilan negeri.
b. Pengajuan Gugatan; Langkah selanjutnya adalah
mengajukan gugatan di lokasi yang tepat. Untuk menentukan
pengadilan yang tepat untuk mengadili perkara yang
diajukan, maka haruslah berdasarkan kompetensi absolute
dan kompetensi relatif yang ada sehingga perkara perdata
tersebut dapat segera cepat ditangani.
c. Persiapan Sidang; Dengan surat penetapan, Hakim yang
menangani perkara anda akan menentukan hari sidang dan
melalui juru sita akan memanggil para pihak agar
menghadap ke pengadilan pada hari yang telah ditetapkan.
93
d. Persidangan; Susunan persidangan perdata yang lazim
adalah sebagai berikut :
1. Sidang Pertama; Pada sidang pertama Hakim akan
membuka persidangan dengan menanyakan identitas
para pihak, kemudian mengusahakan dan menghimbau
para pihak untuk melakukan mediasi/perdamaian. Bila
mediasi tidak tercapai maka persidangan akan dilanjutkan
ke tahap berikutnya. Namun bila mediasi tercapai maka
akan dibuat akta perdamaian dan persidangan selesai.
2. Sidang Kedua; Pada sidang kedua agendanya adalah
penyerahan jawaban dari pihak Tergugat atas gugatan
dari pihak Penggugat.
3. Sidang Ketiga; Agenda sidang ketiga adalah penyerahan
Replik. Replik adalah tanggapan Penggugat terhadap
jawaban dari Tergugat.
4. Sidang Keempat; Agenda sidang keempat adalah
penyerahan Duplik. Duplik adalah tanggapan Penggugat
terhadap Replik.
5. Sidang Kelima; Agenda sidang kelima adalah acara
pembuktian oleh pihak Penggugat terhadap dalil-dalil
(posita) yang telah ia kemukakan sebelumnya untuk
menguatkan gugatannya.
94
6. Sidang Keenam; Agenda sidang keenam adalah acara
pembuktian oleh pihak Tergugat untuk menguatkan
jawabanya.
7. Sidang Ketujuh; Agenda sidang ketujuh adalah
penyerahan kesimpulan oleh para pihak sebagai langkah
akhir untuk menguatkan dalil masing-masing sebelum
hakim menjatuhkan putusan.
8. Sidang Kedelapan; Agenda sidang kedelapan adalah
putusan Hakim.
e. Eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim dalam
sengketa perdata. Setelah Hakim membacakan putusan dan
membagikannya kepada para pihak, maka saat itu jugalah
putusan tersebut berlaku dan dapat dilaksanakan eksekusi.
Terdapat 3 (tiga) jenis pelaksanaan putusan eksekusi:
1. Eksekusi untuk membayar sejumlah uang
2. Eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan
3. Eksekusi Riil
f. Upaya Hukum; Apabila saat menerima putusan terdapat
salah satu pihak yang merasa tidak puas terhadap hasil
putusan yang ada, maka pihak tersebut dapat melakukan
upaya hukum. Terdapat 4 (empat) upaya hukum, yaitu :
Banding Kasasi Peninjauan Kembali (PK)
95
Sengketa konsumen yang diajukan langsung di
pengadilan mengikuti hukum acara perdata sebagaimana yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun ada hal
yang khusus dalam sengketa konsumen yang ditentukan oleh
UUPK yaitu;
1. Kompetensi Relatif pengadilan negeri yang mengadili
sengketa tersebut adalah pengadilan negeri tempat
konsumen berdomisili. Hal ini bertujuan untuk lebih
melindungi konsumen. Para penumpang yang mengajukan
ganti rugi berdasarkan UU no 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen mengajukan gugatan di pengadilan
negeri tempat konsumen berdomisili. Prinsip mengabaikan
prinsip actor sequitor forum rei yaitu dimana tempat tergugat
berdomisili maka pengadilan yang berwenang mengadili
adalah tempat tergugat. Namun UU No 8 Tahun 1999 adalah
ketentuan khusus yang mengenyampingkan atauran umum
mengenai kompetensi relatif.
2. Mengenai sistem pembuktian. Dalam prinsip umum hukum
acara perdata yang harus dibebani pembuktian adalah pihak
penggugat. Namun jika didasarkan pada UU No 8 Tahun
1999 tentang perlindungan konsumen, maka yang harus
membuktikan adalah pelaku usaha dalam hal ini Pihak Lion
Air.
96
Penyelesaian kasus melalui pengadilan telah diupayakan
oleh beberapa penumpang Maskpai Lion Air, yaitu:
1. Kasus penundaan keberangkatan yang dialami oleh
penumpang Maskapai Lion Air, David Tobing, selama 3 jam
30 menit. David Tobing menggugat pihak Lion Air atas
penundaan keberangkatan (delay) yang dilakukan oleh Lion
Air. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum
pihak Lion Air untuk membayar ganti rugi Rp 718.500 (Tujuh
Ratus Delapan Belas Ribu Lima Ratus)64
2. Kasus Lion Air yang tidak mengangkut penumpang Rolas
Budiman menuju Manado dengan alasan kursi penuh atau
overseat. Rolas Budiman menggugat Pihak Maskpai Lion Air
untuk membayar ganti rugi material sebesar Rp 25.814.000
(Dua Puluh Lima Juta Delapan Ratus Empat Belas Ribu
Rupiah) dan ganti rugi immaterial sebesar Rp 500.000.000
(Lima Ratus Juta Rupiah). Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat menghukum pihak Lio Air untuk mebayar ganti rugi
sebesar 23.528.000 (Dua Puluh Tiga Juta Lima Ratus Dua
Puluh Delapan Ribu Rupiah)65
3. Kasus pembatalan penerbangan secara sepihak yang
dialami oleh De Neve Mizan Allan yang membeli tiket pada
23 Mei 2011 dengan rute Papua ke Jakarta. Namun, pada
64 Hukumonline.com dalam artikel David Tobing ajukan Aanmaning atas perkara delay pesawat65 Hukumonline.com dalam artikel Lion Air ganti rugi ultah penumpang
97
tanggal 24 Mei 2011, Lion Air melakukan refund atau
pembatalan tiket penerbangan tersebut tanpa ada
pemberitahuan kepada penumpang tersebut. De Neve Mizan
Allan menggugat Lion Air untuk membayar ganti rugi materil
sebesar Rp 1.800.000 (Satu Juta Delapan Ratus Ribu
Rupiah) dan ganti rugi immaterial Rp 10.000.000.000
(Sepuluh Miliar Rupiah). Tuntutan tersebut didasarkan
penumpang mengalami keterlambatan dan pengeluaran
biaya tambahan.66
Pada tingkat pengadilan negeri, hakim menolak gugatan dari
penumpang dengan pertimbangan tindakan yang dilakukan
oleh Lion Air adalah wanprestasi dan bukan perbuatan
melawan hukum. Sampai saat ini proses hukum yang
berlanjut hingga kasasi belum mendapat putusan yang
pasti.67
4.Kasus penumpang, Umbu S. Samapathy yang menggugat
Maskapai Lion Air karena telah menghilangkan koper
miliknya. Kasus yang terjadi Tahun 2012 ini, dalam
gugatannya menuntut pihak Lion Air untuk membayar ganti
rugi senilai Rp 2.900.000.000 (Dua Miliar Sembilan Ratus
Juta Rupiah). Akan tetapi pada putusan Pengadilan Negeri
66 Hukumonline.com dalam artikel kasus penumpang vs Lion Air masuk kasasi67 Ibid
98
Jakarta Pusat, Hakim hanya menghukum Maskapai Lion Air
untuk membayar senilai Rp 4.000.000 (Empat Juta Rupiah)68
Kelemahan dari sistem penyelesaian sengketa di
pengadilan menurut penulis adalah proses penyelesaiannya
yang sangat lama. Upaya hukum yang tersedia mulai dari
tingkat pengadilan negeri sampai dengan mahkamah agung
memungkinkan prosesberperkara di pengadilan berlangsung
lama. Jika semua upaya hukum yang tersedia itu ditempuh
maka proses berperkara dapat berlangsung selama bertahun-
tahun. Para penumpang yang ingin haknya dipenuhi oleh pihak
lion Air harus menunggu selama bertahun-tahun jika
menggunakan penyelesaian sengketa di Pengadilan. Proses di
pengadilan ini selain lama juga membutuhkan biaya yang
besar.
Pada umumnya tujuan untuk memperkarakan suatu
sengketa yaitu:
a. Untuk menyelesaikan masalah dengan memuaskan
b. Penyelsaian masalah denga cara yang mudah, cepat dan
biaya murah
Jika mengacu tujuan penyelesaian sengketa di atas
maka penyelesaian sengketa melalui pengadilan tidak
memenuhi tujuan penyelesaian sengketa sebagaimana yang
68 Hukumonline.com dalam artikel Kalah gugatan Lion Air tidak dihukum Miliaran
99
disebutkan tersebut. Hal ini karena penyelesaian sengketa di
pengadilan kurang memberikan rasa keadilan atau tidak
memberikan kepuasan kepada para pihak. Berdasarkan kasus-
kasus yang diuraikan sebelumnya Penyelesaian sengketa
melalui pengadilan justru akan membuat lebih lama karena
banyak prosedur yang harus diikuti. Biaya yang dikeluarkan
bahkan lebih banyak dibandingkan dengan ganti rugi yang
diterima oleh para penumpang melalui putusan pengadilan.
Para penumpang dalam hal ini konsumen pihak Lion Air
yang merasa hak-haknya dilanggar atau tidak dipenuhi dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan agar hak-hak tersebut
dapat dipenuhi oleh pihak tergugat atau Lion Air. Gugatan yang
diajukan ke Pengadilan disebut sebagai penyelesaian sengketa
di pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan
adalah model penyelesaian sengketa yang sering digunakan
oleh masyarakat.
2. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan (Non
Litigasi)
Berdasarkan Pasal 47 UUPK, penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
dan/atau mengenai tidankan tertentu untuk menjamin tidak
akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian
100
yang diderita oleh konsumen. Pasal ini mengatur bahwa tujuan
dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah untuk
mencapai kesepakatan antara pelaku usaha dan konsumen
terkait ganti rugi juga untuk menjamin yaitu dalam bentuk
pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa perbuatan yang
telah merugikan konsumen tersebut tidak akan terulang
kembali.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), dan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga-
lembaga yang memiliki peranan penting dalam perlindungan
konsumen dan penyelesaian sengketa konsumen.
a. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Pada Tahun 2014 pengaduan mengenai terhadap Maskapai
Penerbangan yang diterima oleh YLKI berupa kehilangan
bagasi dan penundaan penerbangan (delay).69
Proses dan mekanisme penanganan pengaduan di YLKI
yaitu:
1. Pengaduan melalui saran telepon, surat atau datang
lansung. Pengaduan melalui telepon dikategorikan
menjadi dua yaitu:
69 Wawancara dengan Muhammad Said Sutomo, Ketua YLKI Surabaya pada tanggal 14 Oktober2014
101
a. Meminta informasi atau saran (advice), maka
pengaduan itu dijawab secara langsung dan diberikan
saran. Pengaduan selesai pada saat itu
b. Meminta pengaduannya untuk ditindaklanjuti. Jika
konsumen meminta pengaduannya ditindaklanjuti,
maka si penelepon diharuskan mengirim surat
pengaduan secara tertulis ke YLKI yang berisi :
1. Identitas dan alamat lengkap konsumen
2. kronologis kejadian yang dialami sehingga
merugikan konsumen
3. menyertakan barang bukti atau fotocopy dokumen
pelengkap lainnya (kwitansi pembelian, kartu
garansi, surat perjanjian, dll)
4. mencantumkan tuntutan dari pengaduan konsumen
Jika konsumen belum pernah mengajukan pengaduan
kepada pelaku usaha yang bersangkutan, maka
konsumen dianjurkan untuk melakukan pengaduan secara
tertulis ke pelaku usaha terlebih dahulu.
2. Setelah surat pengaduan diterima oleh YLKI, maka surat
tersebut akan diregister (register I) dan diberikan kepada
Pengurus Harian dan akan dikategorikan menjadi:
a. ditindaklanjuti/ tidak ditindaklanjuti
b. bukan sengketa konsumen
102
c. bukan skala prioritas.
Selanjutnya surat akan diserahkan ke Bidang Pengaduan
Konsumen sebagai data pengaduan (register II)
3. Setelah surat sampai keBidang Pengaduan Konsumen
akan dilakukan seleksi kelengkapan administrasi.
4. Setelah proses administrasi dilanjutkan dengan analisis
substansi, yaitu korespondensi kepada pelaku usaha dan
instansi terkait pengaduan konsumen.
Pada tahap pertama korespodensi, akan diminta
tanggapan dan penjelasan mengenai kebenaran dan
pengaduan konsumen tersebut. YLKI akan memberikan
kesempatan untuk mendengarkan kedua belah pihak yaitu
versi konsumen dan versi pelaku usaha. Dalam tahap ini
umumnya masing-masing pihak akan memberikan
jawaban surat kepada YLKI yang isinya merupakan
permintaan maaf kepada konsumen dan sudah dilakukan
penyelesaian langsung kepada konsumennya.Namun
demikian, tidak menutup kemungkinan dalam
korespodensi ini masing-masing pihak tidak menjawab
persoalan dan tetap pada pendapatnya. Dalam kondisi ini
YLKI akan mengambil inisiatif dan pro aktif untuk menjadi
mediator. YLKI membuat surat undangan untuk mediasi
103
kepada para pihak yang sedang bersengketa untuk
mencari solusi terbaik.
5. Proses Mediasi; YLKI memberi kesempatan kepada
kedua belah pihak untuk menjelaskan duduk perkara yang
sebenarnya. Setelah masing-masing pihak menyampaikan
masalahnya, maka YLKI memberikan waktu untuk
klarifikasi dan koreksi tentang apa yang disampaikan oleh
masing-masing pihak.
Setelah permasalahannya diketahui, maka masing-masing
pihak berhak menyampaikan opsi atau tuntutan yang
diinginkan, sekaligus melakukan negosiasi atas opsi atau
tuntutan tersebut untuk mencapai kesepakatan. Apabila
telah dicapai kesepakatan, maka isi kesepakatan itu
dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan. Tahap akhir
dari proses mediasi adalah mengimplementasikan hasil
kesepakatan.
Dalam melakukan penyelesaian kasus secara mediasi,
ada dua kemungkinan yang bisa terjadi yaitu :
a. terjadinya kesepakatan berarti selesai
b. tidak terjadi kesepakatan alias deadlock, artinya kasus
selesai dalam tingkatan litigasi.
Dari kasus yang ditemui di bidang pengaduan, mayoritas
kasus dapat diselesaikan dengan tercapainya
104
kesepakatan damai. Walaupun juga terdapat beberapa
kasus yang mengalami deadlock.
b. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
BPKN menyediakan fasilitas callcenter untuk memfasilitasi
konsumen dan masyarakat yang membutuhkan pelayanan.
Konsumen dapat memanfaatkan layanan callcenter di nomor
153 selain melakukan pengaduan secara konvensional.
Pada Tahun 2014, BPKN menerima 250 (dua ratus lima
puluh) pengaduan konsumen. Pengaduan perbankan
sejumlah 123 (seratus dua puluh tiga)
pengaduan.Pengaduan ini berupa permintaan penjadwalan
ulang pembayaran angsuran konsumen, keterlambatan
mengangsur kredit karena kondisi ekonomi yang menurun
dan mengenai akumulasi bunga berbunga yang dibebankan
tidak dimengerti cara perhitungannya oleh komsumen.70
Pengaduan komoditi pembiayaan konsumen sebanyak 87
(delapan puluh tujuh) aduan, pengaduan terkait perumahan
atau properti sebanyak 6 (enam), asuransi sebanyak 4
(empat)aduan, dan listrik sebanak 3(tiga) aduan.Pada
komoditi perumahan, konsumen mengeluh adanya
pengurangan fasilitas-fasilitas apartemen tidak seperti yang
dijanjikan. Sedangkan pada asuransi konsumen mengeluh
70 Wawancara dengan Siti Mulyani, Kepala Bagian Umum dan Data BPKN tanggal 13 Oktober2014
105
mengenai klaim asuransi yang dipersulit perusahaan
asuransi, serta untuk listrik konsumen mengeluhkan tagihan
yang tidak sesuai pemakain dengan catatan meteran
petugas PLN.71
Selanjutnya pengaduan di komoditi provider selular
sebanyak 3 (tiga) aduan, TV berbayar dan transportasi ada
2(dua) aduan. Pada provider selular, konsumen
mengeluhkan soal lonjakan tagihan akibat roaming. Untuk
TV berbayar konsumen mengadu karena adanya saluran
televisi yang tidak sesuai, dan pengaduan mengenai
transportasi mengenai informasi yang tidak jelas terhadap
fasilitas kapal laut.72
Kemudian pada komoditi alat kesehatan, PDAM, kendaraan
bermotor, travel dan restoran masing-masing mendapat satu
keluhan dari konsumen. Keluhan terhadap komoditi tersebut
berupa pembayaran dan barang yang tidak sesuai apa yang
dijanjikan, seperti khasiat alat kesehatan yang tidak sesuai,
kendaraan yang dijual tidak sesuai promosinya dan
pembayaran yang tidak sesuai tagihan serta struk belanja
yang membingungkan konsumen. BPKN juga menerima 15
(lima belas) keluhan lainnya misalnya penipuan undian
71 Ibid72 Ibid
106
berhadiah, permintaan bantuan hukum dan perikatan jual
beli.73
Berdasarkan data yang diuraikan diatas, tidak terdapat
keluhan secara khusus kepada Maskapai Lion Air baik
mengenai keterlambatan penerbangan (delay) maupun
pembatalan penerbangan. Hal ini menunjukkan bahwa
konsumen yang mengalami keterlambatan pengangkutan
tidak menggunanakan layanan yang disediakan oleh BPKN
untuk melakukan pengaduan.
c. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara
mediasi atau konsiliasi atau arbitrasi dilakukan atas pilihan
dan persetujuan para pihak yang bersangkutan.
Penyelesaian sengketa konsumen ini bukan merupakan
proses penyelesaian sengketa secara berjenjang.
Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi
dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan
didampingi oleh majelis yang bertindak pasif sebagai
konsiliator. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara
mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa
dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif sebagai
mediator. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara
73 Ibid
107
arbitrasi dilakukan sepenuhnya dan diputuskan oleh majelis
yang bertindak sebagai arbiter.
Majelis dibentuk oleh Ketua BPSK, yang jumlah anggotanya
ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) yang memenuhi semua
unsur, yang unsur pemerintah, unsur pelaku usaha dan
unsur konsumen, serta dibantu oleh seorang panitera.
Putusan majelis bersifat final dan mengikat.
Prosedur Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK
yaitu:
1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepada
BPSK, baik secara tertulis maupun lisan melalui
sekretariat BPSK.
Berkas permohonan tersebut, baik tertulis maupun
tidak tertulis dicatat oleh sekretariat BPSK dan dibubuhi
tanggal dan nomor registrasi. Permohonan penyelesaian
sengketa konsumen secara tertulis harus memuat secara
benar dan lengkap mengenai:
a. Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau
kuasanya disertai bukti diri;
b. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha;
c. Barang atau jasa yang diadukan;
d. Bukti perolehan (bon, kwitansi dan dokumen bukti lain);
108
e. Keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh
barang dan jasa tersebut;
f. Saksi yang mengetahui barang dan jasa tersebut
diperoleh;
g. Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila
ada.
2. Dalam hal permohonan diterima, maka dilanjutkan dengan
lengkap. Dalam surat panggilan dicantumkan secara jelas
mengenai hari, jam dan tempat persidangan serta
kewajiban pelaku usaha untuk memberikan surat jawaban
terhadap penyelesaian sengketa konsumen dan
disampaikan pada hari persidangan pertama, yang
dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke-7
(tujuh) terhitung sejak diterimanya permohonan
penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK. Majelis
bersidang pada hari, tanggal dan jam yang telah
ditetapkan, dan dalam persidangan majelis wajib menjaga
ketertiban jalannya persidangan.
109
3. Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK
untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa dan
penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Majelis
dalam menyerahkan sengketa konsumen dengan cara
konsiliasi mempunyai tugas:
a. Memangggil konsumen dan pelaku usaha yang
bersangkutan;
b. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha,
perihal peraturan perundan-undangan dibidang
perlindungan konsumen;
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara
konsiliasi adalah:
a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian
sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yang
bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah
ganti rugi;
b. Majelis bertindak sebagai konsiliator;
c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan
pelaku usaha dan mengeluarkan keputusan;
4. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen
di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai
110
penasihat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para
pihak. Dalam persidangan dengan cara mediasi, majelis
dalam menyelesaikan sengketa dengan cara mediasi,
mempunyai tugas:
a. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang
bersengketa;
b. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha
yang bersengketa;
d. Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku
usaha yang bersengketa;
e. Secara aktif memberikan saran atau anjuran
penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan
konsumen.
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara
mediasi adalah:
a. Majelis menyerhkan sepenuhnya proses penyelesaian
sengketa konsumen dan pelaku usaha yang
bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah
ganti rugi;
111
b. Majelis bertindak aktif sebagai mediator dengan
memberikan nasihat, petunjuk, saran dan upaya-upaya
lain dalam menyelesaikan sengketa;
c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan
pelaku usaha dan mengeluarkan kekuatan;
5. Arbitrasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen
di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang
bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian
sengketa kepada BPSK. Dalam penyelesaian sengketa
konsumen dengan cara arbitrasi, para pihak memilih
arbitrator dari anggota BPSK yang berasal dari unsur
pelaku usaha, unsur pemerintah dan konsumen sebagai
anggota majelis. Arbitrator yang dipilih oleh para pihak,
kemudian memilih arbitrator ke-tiga dari anggota BPSK
yang berasal dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis.
Di dalam persidangan wajib memberikan petunjuk kepada
konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan. Dengan
izin ketua majelis, konsumen dan pelaku usaha yang
bersangkutan dapat mempelajari semua berkas yang
berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan
seperlunya.
Pada hari persindangan 1 (pertama), ketua majelis wajib
mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa, dan
112
bilamana tidak tercapai perdamaian, maka persidangan
dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen dan
surat jawaban pelaku usah. Ketua majelis memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha yang
bersengketa untuk menjelaskan hal-hal yang
persengketakan.
Pada hari persindangan 1 (pertama) sebelum pelaku
usaha memberikan jawabannya, konsumen dapat
mencabut gugatannya dengan membuat surat
pernyataan. Dalam hal gugatan dicabut oleh konsumen,
maka dalam persindangan, pertama majelis wajib
mengumumkan bahwa gugatan dicabut. Apabila dalam
proses penyelesaian sengketa konsumen terjadi
perdamaian antara konsumen dan pelaku usaha yag
bersengketa, majelis membuat putusan dalam bentuk
penetapan perdamaian.
Dalam hal pelaku usaha dan konsumen tidak hadir pada
hari persidangan 1 (pertama) majelis memberikan
kesempatan terakhir kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk hadir pada persidangan 2 (kedua) dengan
membawa alat bukti yang diperlukan. Persidangan ke 2
(kedua) diselenggarakan selambat-lambatnya dalam
waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak hari persidangan
113
1 (pertama) dan diberitahukan dengan surat panggilan
kepada konsumen dan pelaku usaha oleh sekretariat
BPSK. Bilamana pada persidangan ke 2 (dua),
konsumen tidak hadir, maka gugatannya dinyatakan
gugur demi hukum, sebalikmya bila pelaku usaha yang
tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh
majelis tanpa kehadiran pelaku usaha.
Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan
konsiliasi atau mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis
yang ditanda tangani oleh konsumen dan pelaku usaha.
Perjanjian tertulis dikuatkan dengan keputusan majelis
yang ditanda- tangani oleh ketua dan anggota majelis.
Begitu juga, hasil penyelesaian konsumen dengan cara
arbitrasi dibuat dalam bentuk putusan majelis yang
ditanda-tangani oleh ketua dan anggota majelis. Putusan
majelis adalah putusan BPSK. Putusan BPSK dapat
berupa:
a. Perdamaian;
b. Gugatan ditolak dan
c. Gugatan dikabulkan.
Dalam hal kegiatan dikabulkan, maka amar putusan
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku
usaha. Kewajiban tersebut berupa pemenuhan:
114
a. Ganti rugi;
b. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi
paling banyak Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
Ketua BPSK memberitahukan putusan majelis secara
tertulis kepada alamat konsumen dan pelaku usaha yang
bersengketa, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
sejak putusan dibacakan. Dalam waktu 14 (empat belas)
hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan,
konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib
menyatakan menerima dan menolak putusan BPSK.
Konsumen dan pelaku usaha yang menolak putusan
BPSK dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan
negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak keputusan BPSK
dibacakan. Tata cara pengajuan keberatan terhadap
putusan BPSK diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2006. Di sisi lain, pelaku usaha yang
menyatakan menerima putusan BPSK, wajib
melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
menyatakan menerima putusan BPSK. Pelaku usaha
yang menolak putusan BPSK, tetapi tidak mengajukan
keberatan, setelah batas waktu 7 (tujuh) hari dianggap
115
menerima putusan dan wajib melaksanakan putusan
selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah batas
waktu mengajukan keberatan dilampaui. Apabila pelaku
usaha tidak menjalankan kewajibannya, maka BPSK
menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk
melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Terhadap
perbuatan BPSK, dimintakan penetapan eksekusi oleh
BPSK kepada pengadilan negeri di tempat konsumen
yang dirugikan. Eksekusi atau pelaksanaan sudah
mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak
mau menaati putusan itu secara sukarela, sehingga
putusan harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan
kekuatan hukum.74 Penetapan eksekusi diatur juga
dalam Pasal 7 Perma Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata
Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Konsumen mengajukan permohonan eksekusi atas
putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan kepada
pengadilan negeri di tempat kedudukan hukum
74 R.Subekti. 1989. Hukum Acara Perdata. Bandung. Bina Cipta. Hal 130
116
konsumen yang bersangkutan atau dalam wilayah
hukum BPSK yang mengeluarkan putusan. Permohonan
eksekusi atas putusan BPSK yang telah diperiksa
melalui prosedur keberatan, ditetapkan oleh pengadilan
negeri yang memutus perkara keberatan bersangkutan.
Pengadilan negeri wajib mengeluarkan putusan atas
keberatan dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh
satu) hari sejak diterimanya keberatan. Terhadap
putusan pengadilan negeri tersebut, para pihak dalam
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah
Agung wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan
kasasi.
Berdasarkan Data dari BPSK, terdapat beberapa
pengaduan terkait maskapai penerbangan Lion Air yaitu
keterlambatan penerbangan (delay), kehilangan bagasi,
ketinggalan pesawat tanpa ada pemberitahuan, dan
pembatalan penerbangan.75
Kasus kehilangan bagasi yang dialami oleh Noviana
Dewi Utari yang berisi seragam sebanyak 40 buah.
Kasus ini ditangani oleh Badan Penyelesaian Sengketa
75 Wawancara dengan Yohannes L. Tobing, Anggota Majelis Konsumen BPSK Jakarta pada tanggal13 Oktober 2014
117
Surabaya dengan cara mediasi. Mediasi yang dilakukan
sebanyak 5 (lima) kali dimulai sejak tanggal 27 Februari
2014 hingga 10 April 2014, telah memperoleh
kesepakatan dan memutuskan bahwa pihak Lion Air
harus membayar ganti rugi senilai Rp 8.000.000
(delapan juta rupiah) kepada penumpang tersebut.
Nominal ganti rugi tersebut senilai dengan harga dari
bagasi yang hilang.
118
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tanggung jawab pihak maskapai penerbangan Lion Air kepada
pihak penumpang jika terjadi pembatalan sepihak yang
merupakan salah satu bentuk keterlambatan penerbangan
adalah tanggung jawab kerugian materil dan tanggung jawab
kerugian immateriil. Tanggung jawab kerugian materil yaitu
tanggung jawab terhadap kerugian tiket pesawat dan kerugian
terhadap keuntungan yang dapat diperoleh jika tidak terjadi
keterlambatan penerbangan. Sedangkan kerugian immaterial
merupakan kerugian moril berupa kehilangan kenyamanan atau
kesenangan akibat keterlambatan penerbangan.
2. Bentuk penyelesaian sengketa yang dapat diupayakan oleh
penumpang maskapai Lion Air untuk menuntut ganti kerugian
akibat keterlambatan penerbangan yaitu dengan melalui
pengadilan (litigasi) dan diluar pengadilan (non litigasi).
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan yaitu penyelesaian
dengan mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri tempat
konsumen berdomisili sedangkan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yaitu melalui Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI), Badan Perlindungan Konsumen Nasional
(BPKN), dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
119
Penyelesaian tersebut dapat berupa Mediasi, Konsiliasi, dan
Arbitrasi.
B. SARAN
Sebagai akhir dari penulisan tesis ini, penulis akan menyampaikan
beberapa saran yang dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam mencermati permasalahan pengangkutan
udara yang menyangkut tanggung jawab perusahaan penerbanan
terhadap penumpang, yaitu :
1. Pihak Maskapai penerbangan harus lebih meningkatkan
profesionalisme kinerjanya dalam hal penanganan penumpang
jika terjadi keterlambatan penerbangan agar hak-hak dari
penumpang dapat terpenuhi.
2. Hendaknya pemerintah dapat bersikap tegas dan memberikan
sanksi terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
penyedia jasa penerbangan.
3. Hendaknya masyarakat khususnya Notaris, mengetahui haknya
sebagai penumpang jika terjadi keterlambatan pengangkutan
dan sarana yang dapat digunakan dalam menyelesaikan
sengketa dengan pihak maskapai penerbangan.
120
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad. 2001. Etika Profesi Hukum. Bandung. Citra AdityaBakti.
______. 2008. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung. PT. Citra AdityaBakti
Ahmadi Miru. 2001. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumendi Indonesia. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Ahmadi Miru dan Yodo Sutarman. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen.Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Ahmad Ali. 1996. Menguak Tabir Hukum. Jakarta. Chandra Pratama.
____. 1998. Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. Jakarta. YarsifWatampone.
Andi Hamzah. 1988. Pelanggaran dalam Undang-undang. Jakarta. PTGrafindo.
Happy Susanto. 2008. Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan. JakartaSelatan. Transmedia Pustaka
Martono K, Introduction. 2005. To The International and National Air Law(Jakarta : Joint Kaw Socialisation between Departement of lawand Human Right and Indonesia Aviation Study Intitute.
Martono K dan Amad Sudiro. 2009. Hukum Angkutan Udara beradasarkanUU RI No. 1 Tahun. Jakarta. RajaGrafindo Persada.
Martono K dan Agus Pramono. 2013. Hukum Udara Perdata Internasionaldan Nasional. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Nasution, Az. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar.Jakarta. Diadit Media.
Suherman, E. 1979. Masalah Tanggung Jawab Pada Charter PesawatUdara dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan.Bandung. Offset Alumni.
______. 1984. Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara. Bandung. PTAlumni.
121
Suherman, E. 2000. Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan (HimpunanMakalah 1961-1995). Bandung. PT Mandar Madju.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. 2000. Hukum tentang PerlindunganKonsumen. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Purwositjipto, H. M. N. 1991. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia.Jakarta. PT Djambatan.
Ridwan. 2000. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung. Alfabet
Subekti. 2002. Hukum Perjanjian. Jakarta. PT Intermasa
Saefullah Wiradipradja. 2008. Hukum Transportasi Udara dari Warsawa1929 ke Montreal 1999. Bandung. PT Kiblat Buku Utama.
Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta. PTGrasindo.
______. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta.Gramedia Widiasarana Indonesia
Siahaan, N. H. T. 2005. Hukum Konsumen. Jakarta. PT Pantai Rei.
MAKALAH dan JURNAL
Agus Brotosusilo, makalah “ Aspek-aspek Perlindungan terhadapKonsumen dalam Sistem Hukum di Indonesia”, dalam percakapantentang pendidikanKonsumen dan kurikulum Fakultas Hukum,Editor Yusuf Shofie, (Jakarta : YLKI-USAID, 1998).
Johannes Gunawan, Product Liability” dalam Hukum Bisnis Indonesia, proJustitia, Tahun XII, Nomor 2, April 1994.
Wiradipradja Saefullah, Tanggung Jawab Perusahaan PenerbanganTerhadap Penumpang menurut Hukum Udara Indonesia, JurnalHukum Bisnis, Volume 25, No.1, 2006
Nurmadjito, 2000, Makalah “Kesiapaan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan tentang Perlindungan Konsumen dalam MenghadapiEra Perdagangan Bebas” dalam Buku Hukum PerlindunganKonsumen, Mandar Maju, Bandung.
http://id.wikipedia.org/wiki/Klausula_Baku diakses tanggal 17 Januari 2014
http://kartono-13.blogspot.com, diakses tanggal 17 Januari 2014
http://bataviase.co.id/node/354137, diakses tanggal 17 Januari 2014
Hukum online - Lion Air Ganti Rugi Ultah Penumpang(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50f6831f68f14/lion-air-ganti-rugi-ultah-penumpang) diakses tanggal 24 November 2014
Hukum online - David TobingajukanAanmaningatasperkara delaypesawat(http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20535/david-tobing-ajukan-aanmaning-atas-perkara-idelayi-pesawat-) diakses24 November 2014
Hukum online - Kasuspenumpang Vs Lion Air masuk kasasi(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51a167d2c75c1/kasus-penumpang-ivs-i-lion-air-masuk-kasasi) diakses 24 November2014
Hukum online - Kalahgugatan Lion Air tidak dihukum Miliaran(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50e443a42a876/kalah-gugatan--lion-air-tidak-dihukum-miliaran) diakses 24 November2014
123
124
TABEL 1. Daftar Penumpang Lion Air yang mengalami keterlambatan penerbangan dan bentuk ganti ruginya
TABEL 2. Daftar Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Pengadilan Oleh Penumpang Lion Air
No Nama PenumpangJenis Gugatan Tuntutan Ganti
RugiGanti Rugi
yang diperolehKeterlambatan Tidak Terangkut Pembatalan KehilanganBagasi
1 David Tobing Keterlambatanselama 3 jam Rp Rp 718.500
2 Rolas Budiman Over Seat Rp 525.814.000 Rp 23.528.000
3 Sutan Erwin SihombingPembatalan
pada harikeberangkatan
2 miliar 75 jutarupiah 40 juta rupiah
4 Umbu S. Samapathy Kehilangankoper
2,9 MiliarRupiah Rp 4.000.000
NO Nama Penumpang
KeterlambatanPenerbangan
Bentuk ganti rugi yang seharusnyadiperoleh Bentuk ganti rugi yang diperoleh
< 4 jam > 4 jam Minuman/makanan
PengalihanPenerbangan
UangRp 400.000
Minuman/makanan
PengalihanPenerbangan
UangRp 400.000
1 Marhumi 2 jam √ √ Tidak ada Tidak ada2 Nur Amelia 4 jam 10 menit √ √ √ Tidak ada Tidak ada Tidak ada3 Oktaviona 2 jam √ √ Tidak ada Tidak ada4 Zulfikar 2 jam √ √ Tidak ada Tidak ada5 Jubaedah 2 jam √ √ Tidak ada Tidak ada6 Ahmad Syaefullah 2 jam √ √ Tidak ada Tidak ada7 Haslindah Hasan 2 jam √ √ Tidak ada Tidak ada8 Tommy Suprapto 2 jam √ √ Tidak ada Tidak ada9 Victoria 3 jam √ √ Tidak ada Tidak ada10 Usman 1 jam √ Tidak ada