Pikiran akyat o Setasa C Rabu o Kamis o Jumat o Sabtu • Minggu ------- 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 19 20 21 22 23 24 25 @ 27 28 29 30 31 ---- OPeb o Mar OApr '~Mei OJun OJuJ OAgs OSep OOkt ONov _Des . - " ---w;- - ~rrr;r Tahun Dukacita DA dua titik tolak yang diajukan panitia untuk merefleksikan bu- daya tradisi Sunda 2010 berikut prediksinya pada tahun mendatang, yaitu (1) kematian beberapa seniman Sunda dan (2) fenomena menguat- nya identitas kesundaan, seperti yang tampak dalam Konferensi In- ternasional Budaya Sunda yang dise- lenggarakan beberapa bulan yang lalu. Sebagai makhluk biologis, kema- tian adalah sesuatu yang niscaya. Akan tetapi, kematian yang begitu dekat dari satu seniman ke seniman lain, dari satu tokoh ke tokoh lain dalam ranah budaya Sunda menjadi semakin penting untuk kita re- nungkan. Yang lebih penting bukan mengapa mereka meninggal dunia, tetapi bagaimana penghargaan kita terhadap mereka? Saya teringat ucapan sejarahwan Dr. Mumuh Muhsin pada 4 Desem- ber lalu, bertepatan dengan hari ke- lahiran Dewi Sartika. Menurut dia, jika Dewi Sartika dianggap kecil per- annya dibandingkan dengan tokoh lain, orang Sunda pasti marah. Na- mun ketika momentum untuk mem- bicarakannya datang, tak ada satu media pun yang menyambutnya. Padahal, menurut dia, "siapa yang menguasai hari ini akan menguasai masa lalu, dan siapa yang menguasai masa lalu akan menguasai masa de- pan." Hal inilah yang saya pertim- bangkan ketika menghadapi kema- tian seniman dan tokoh Sunda sepanjang 2010. Mulai dari Abah Us-us, seniman komedian senior (meninggal dunia 8 Mei 2010), Mi-: mi Rasinah, maestro tari topeng Cirebon (meninggal dunia 7Agustus 2010), Tatang Benyamin Koswara (meninggal dunia 14 Agustus 2010), Nano S. seniman karawitan (meninggal dunia 29 September 2010), dan Kang Thing(meninggal dunia 19 Agustus 2010). Selain mereka, kita pun kehilang- an Saleh Basarah, tokoh nasional marsekal TNI AU (meninggal dunia 11Maret 2010), Uka Tjandrasasmita, arkeolog Islam (meninggal dunia 22 Mei 2010), Wawan Juanda, promo- tor di dunia pertunjukan (meninggal dunia 5 Juli 2010), Achdiat K. Mi- hardja (meninggal dunia 8 Juli 2010), dan Setia Permana (mening- gal dunia 7Agustus 2010). Seperti dikatakan salah satu tokoh dalam drama "Pintu Tertutup" karya Sartre, kalau tidak lambat, kematian itu dirasakan manusia datang terlalu cepat. Akan tetapi, sebenarnya kita tidak perlu berandai-andai. Kita per- caya bahwa kematian seseorang se- lalu sesuai dengan takdirnya, baik waktu maupun tempatnya. Yang mesti kita renungkan adalah bagaimana penghargaan kita ter- hadap mereka. Siapakah yang akan merawat hasil karya mereka? Adakah lembaga yang menyimpan karya mereka? Apakah keluarga para seniman dan tokoh-tokoh itu mengerti arti penting karya mereka yang meninggal dunia? Mendokumentasikan karya mere- ka secara keseluruhan, mem- bicarakan capaian dan kegagalan mereka, dan menyosialisasikan --------~~~~~~---= Kllpin me. na o karya mereka kepada khalayak menjadi hal yang penting. Mumpung mereka belum terlalu lama meninggalkan kita. Saya per- nah punya pengalaman menemukan buku-buku milik Muh. Rustandi Kartakusumah di kaki lima Jalan Dewi Sartika. Buku-buku itu terce- cer ketika pemiliknya meninggalkan Bandung dan pergi ke Jakarta. Jika ada lembaga yang dapat dipercaya mampu merawat dan meman- faatkan karya-karya mereka, mungkin keluarganya dapat mewakafkan karya-karya para seni- man ke lembaga ini. Dengan begitu kita akan mengetahui, misalnya, mengapa Muh. Rustandi Kar- takusumah berkarya seperti itu, seperti apa idenya, siapa yang memengaruhinya, dan sebagainya. Bahwa karya-karya Muh. Rustandi Kartakusumah atau Nano S.,Abah Us-us, Kang Thingmerupakan karya seni Sunda yang tidak perlu di- ragukan lagi, tetapi sebagaimana gen di dalam tubuh kita, karya mereka pun mewarisi anasir dari karya seni lain atau pemikiran lain. Saya kira, jika karya mereka ditelaah secara ke- seluruhan, insya Allah kita akan menemukan hal tersebut. Jika demikian, inilah identitas sebuah karya yang analog dengan identitas individu dan analog juga dengan identitas suatu bangsa (atau suku bangsa). Identitas seperti inilah yang kita temukan dalam situs Batujaya. Menurut Hasan Djafar, berdasarkan ciri-ciri yang tampak dari struktur bangunan diketahui bahwa latar keagamaan di percandian itu adalah agama Buddha, tepatnya Buddha