Top Banner
Edisi XV/Oktober 2011 - diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com Kiky Achmad Rizqi & Aditia Purnomo FOTO: RAHMAT/INSTITUT Perjuangan dalam mempertahankan Student Government (SG) yang selama ini dilakukan mahasiswa kini tak tam- pak lagi. Justru sebagian dari mereka, kini menyatakan tak yakin bahkan me- rasa putus asa dapat mempertahankan SG. Ketidakyakinan tersebut disebab- kan ketidaksolidan mahasiswa dalam menghadapi persoalan lembaga kema- hasiswaan. Ketidakyakinan tersebut diungkap- kan Pantden Mohammad Noor, Ketua Kongres Mahasiswa Universitas (KMU). Menurutnya, tidak adanya tekanan yang dilakukan mahasiswa dalam menindak- lanjuti permasalahan SG yang menjadi faktor utama ketidakyakinan dirinya un- tuk mempertahankan SG. “Kalau pressure group-nya (kelompok penekan, red) tidak ada, ya jangan harap SG bakalan gol,” tambahnya (5/10). Ia melanjutkan, kalau dikalangan maha- siswanya tidak ada dukungan dalam mempertahankan SG maka semua yang dilakukan akan sia-sia. Senada dengan Pantden, Fadli Ferr- yansyah, Anggota Tim Perumus dari Fraksi Partai Progresif, menyatakan tidak yakin draft tersebut akan disetujui, karena melihat kurangnya audiensi yang dilakukan setelah selesainya workshop. Ia menambahkan, jika draf lembaga kemahasiswaan tidak disetujui, maka mahasiswa yang aktif di lembaga kema- hasiswaan akan berkurang karena tidak adanya ruang untuk beraktifitas. Menanggapi hal tersebut, Ahmad Ta- brizi, Ketua Dewan Perwakilan Maha- siswa Universitas (DPMU), menya-yang- kan sikap mahasiwa yang sulit untuk diajak berkonsolidasi untuk menyelesai- kan masalah tersebut. “Kalau kita mau maju, ayo kita maju bareng. Kalaupun kita demo, ayo kita demo bareng. Namun, kenyataannya ke- tika diajak kumpul, yang datang hanya beberapa orang saja,” tegasnya. Bersambung ke halaman 15 kol 2 Mahasiswa Belum Siap Pertahankan SG EDITORIAL Halaman 12 Halaman 3 Sosok Eko Khotib Mencoba Memanusiakan Manusia •Laporan Utama Tunggu Draf, Masa Kepengurusan Diperpanjang •Laporan Khusus UIN Jakarta Tetap di Kemenag Halaman 2 •Pustaka Memahami Media Melalui Semiotika Halaman 7 Menunggu Bola SEMUA DIAM. Semua menunggu keputusan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis), tentang Draft Pedoman Or- ganisasi Kemahasiswaan (POK). Setelah berjibaku dengan pra-workshop, workshop, sampai perumusan Undang-undang Stu- dent Government (SG) yang baru. Para elit mahasiswa tiba-tiba lelah dengan semua- nya. Mereka memilih diam, terserah apa- pun nanti yang terjadi. Tak ada kelanju- tan dalam memperjuangkan kepentingan mahasiswa. Tinggal tunggu saja, apakah bolanya akan jatuh ke kaki? Atau malah masuk ke gawang sendiri? Ketika secara tidak langsung rektorat mem-pressure lembaga kemahasiswaan dengan adanya kebijakan yang aneh-aneh, alih-alih para elit mahasiswa dan jajaran- nya terlihat berjalan sendiri-sendiri. Tak ada kolektifitas demi kepentingan maha- siswa. Ternyata benar, mereka akan peduli hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Jika begitu, persetan dengan bola itu mas- uk ke gawang sendiri. Ingin belajar dewa- sa, tapi tidak mau bekerja sama? Sisi lain, ada yang optimis, ada pula yang pesimis. Seharusnya dua kata itu tidak perlu ada. Karena memang cuma bisa harap-harap cemas, tak ada upaya pe- nyelesaian sampai akhir persoalan carut marut Student Government. Padahal maha- siswa tak mau yang muluk-muluk, sekedar ada ruang aktivitas di luar perkuliahan, de- ngan diberikan kebebasan untuk berkarya, yang biasanya rektorat memandang sebe- lah mata. Apa para elit mahasiswa bodoh, sampai-sampai tak tahu hal sederhana itu? Banyak persoalan rumit tentang nasib Student Government di kampus ini. Salah satunya tentang ditunggunya draf dari Diktis itu. Bukankah dalam POK sendiri, tiap kampus bebas menentukan lembaga kemahasiswaan apapun? Jadi untuk apa kita menunggu yang tak jelas juntrungan- nya? Ketika ditelusuri pun, di Kementrian Agama (Kemenag) tidak ada surat-surat tentang draf Pedoman Lembaga Kemaha- siswaan. Ada apa ini? Apa masih mau diam dengan keadaan seperti itu? Mungkin, kita harus kena ba- tunya dahulu, baru kemudian kita bangun dan sadar bahwa kita telah ditimpuk. Lucu sekali teman-teman para elit mahasiswa ini. Yang jelas, ini menjadi Pekerjaan Ru- mah (PR) bersama. Tinggal kita lebih suka mana, mau menyelesaikan sendiri-sendiri, atau bersama-sama? Tenang saja, tidak ke- tahuan dosen. Tidak berlebihan, pada dasarnya kita sedang belajar membangun sebuah budaya demokrasi mahasiswa. Kita tak bisa terus disuapi bak anak bayi baru lahir. Kita su- dah bisa jalan sendiri. Bukan congkak, tapi maksud baiknya adalah menimbulkan ke- mandirian yang dewasa. Tanpa arogansi. Jika melihat fakta di lapangan, belajar kita baru sebatas mengeja, belum bisa mem- baca. Apakah kita masih ingin diam dan menunggu bola?
16

TABLOID INSTITUT EDISI 15

Apr 07, 2016

Download

Documents

 
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: TABLOID INSTITUT EDISI 15

Edisi XV/Oktober 2011 - diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com

Kiky Achmad Rizqi & Aditia Purnomo

FO

TO

: RA

HM

AT

/IN

STIT

UT

Perjuangan dalam mempertahankan Student Government (SG) yang selama ini dilakukan mahasiswa kini tak tam-pak lagi. Justru sebagian dari mereka, kini menyatakan tak yakin bahkan me-rasa putus asa dapat mempertahankan SG. Ketidakyakinan tersebut disebab-kan ketidaksolidan mahasiswa dalam menghadapi persoalan lembaga kema-hasiswaan.

Ketidakyakinan tersebut diungkap-kan Pantden Mohammad Noor, Ketua Kongres Mahasiswa Universitas (KMU). Menurutnya, tidak adanya tekanan yang dilakukan mahasiswa dalam menindak-

lanjuti permasalahan SG yang menjadi faktor utama ketidakyakinan dirinya un-tuk mempertahankan SG.

“Kalau pressure group-nya (kelompok penekan, red) tidak ada, ya jangan harap SG bakalan gol,” tambahnya (5/10). Ia melanjutkan, kalau dikalangan maha-siswanya tidak ada dukungan dalam mempertahankan SG maka semua yang dilakukan akan sia-sia.

Senada dengan Pantden, Fadli Ferr-yansyah, Anggota Tim Perumus dari Fraksi Partai Progresif, menyatakan tidak yakin draft tersebut akan disetujui, karena melihat kurangnya audiensi yang dilakukan setelah selesainya workshop.

Ia menambahkan, jika draf lembaga

kemahasiswaan tidak disetujui, maka mahasiswa yang aktif di lembaga kema-hasiswaan akan berkurang karena tidak adanya ruang untuk beraktifitas.

Menanggapi hal tersebut, Ahmad Ta-brizi, Ketua Dewan Perwakilan Maha-siswa Universitas (DPMU), menya-yang-kan sikap mahasiwa yang sulit untuk diajak berkonsolidasi untuk menyelesai-kan masalah tersebut.

“Kalau kita mau maju, ayo kita maju bareng. Kalaupun kita demo, ayo kita demo bareng. Namun, kenyataannya ke-tika diajak kumpul, yang datang hanya beberapa orang saja,” tegasnya.

Bersambung ke halaman 15 kol 2

Mahasiswa Belum Siap Pertahankan SG

EDITORIALHalaman 12Halaman 3

•Sosok

Eko KhotibMencoba Memanusiakan Manusia

•Laporan Utama Tunggu Draf, Masa Kepengurusan Diperpanjang

•Laporan Khusus UIN Jakarta Tetap di Kemenag

Halaman 2

•Pustaka Memahami Media Melalui Semiotika

Halaman 7

Menunggu BolaSEMUA DIAM. Semua menunggu

keputusan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis), tentang Draft Pedoman Or-ganisasi Kemahasiswaan (POK). Setelah berjibaku dengan pra-workshop, workshop, sampai perumusan Undang-undang Stu-dent Government (SG) yang baru. Para elit mahasiswa tiba-tiba lelah dengan semua-nya. Mereka memilih diam, terserah apa-pun nanti yang terjadi. Tak ada kelanju-tan dalam memperjuangkan kepentingan mahasiswa. Tinggal tunggu saja, apakah bolanya akan jatuh ke kaki? Atau malah masuk ke gawang sendiri?

Ketika secara tidak langsung rektorat mem-pressure lembaga kemahasiswaan dengan adanya kebijakan yang aneh-aneh, alih-alih para elit mahasiswa dan jajaran-nya terlihat berjalan sendiri-sendiri. Tak ada kolektifitas demi kepentingan maha-siswa. Ternyata benar, mereka akan peduli hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Jika begitu, persetan dengan bola itu mas-uk ke gawang sendiri. Ingin belajar dewa-sa, tapi tidak mau bekerja sama?

Sisi lain, ada yang optimis, ada pula yang pesimis. Seharusnya dua kata itu tidak perlu ada. Karena memang cuma bisa harap-harap cemas, tak ada upaya pe-nyelesaian sampai akhir persoalan carut marut Student Government. Padahal maha-siswa tak mau yang muluk-muluk, sekedar ada ruang aktivitas di luar perkuliahan, de-ngan diberikan kebebasan untuk berkarya, yang biasanya rektorat memandang sebe-lah mata. Apa para elit mahasiswa bodoh, sampai-sampai tak tahu hal sederhana itu?

Banyak persoalan rumit tentang nasib Student Government di kampus ini. Salah satunya tentang ditunggunya draf dari Diktis itu. Bukankah dalam POK sendiri, tiap kampus bebas menentukan lembaga kemahasiswaan apapun? Jadi untuk apa kita menunggu yang tak jelas juntrungan-nya? Ketika ditelusuri pun, di Kementrian Agama (Kemenag) tidak ada surat-surat tentang draf Pedoman Lembaga Kemaha-siswaan. Ada apa ini?

Apa masih mau diam dengan keadaan seperti itu? Mungkin, kita harus kena ba-tunya dahulu, baru kemudian kita bangun dan sadar bahwa kita telah ditimpuk. Lucu sekali teman-teman para elit mahasiswa ini. Yang jelas, ini menjadi Pekerjaan Ru-mah (PR) bersama. Tinggal kita lebih suka mana, mau menyelesaikan sendiri-sendiri, atau bersama-sama? Tenang saja, tidak ke-tahuan dosen.

Tidak berlebihan, pada dasarnya kita sedang belajar membangun sebuah budaya demokrasi mahasiswa. Kita tak bisa terus disuapi bak anak bayi baru lahir. Kita su-dah bisa jalan sendiri. Bukan congkak, tapi maksud baiknya adalah menimbulkan ke-mandirian yang dewasa. Tanpa arogansi. Jika melihat fakta di lapangan, belajar kita baru sebatas mengeja, belum bisa mem-baca. Apakah kita masih ingin diam dan menunggu bola?

Page 2: TABLOID INSTITUT EDISI 15

Assalamualaikum Wr. WbSalam INSTITUTSeiring waktu berjalan, kami terus

menjumpai Anda para pembaca setia kami, melalui Tabloid INSTITUT ini. Tentu intensitas ini bukan hanya dari jerih payah kami, tapi justru kepercayaan Andalah yang membuat kami terus ada sampai kapan pun. Adanya kami karena adanya kampus ini, jiwa kami selalu ter-bang ke langit mencari puing-puing awan yang mulai menghitam. Selama pers mahasiswa hidup, awan itu akan terus diputihkan oleh jiwa dan raga.

Yang pasti, kami ada karena kegeli-sahan, bukan gelisah karena cinta yang selalu dibuat kecil manusia. Atau juga bukan karena hal yang menguntungkan diri semata, tapi kami mengejar kedama-ian bersama. Di sinilah kedamaian be-gitu berguna. Ketika manusia merasakan ketidakdamaian, mereka mencari yang berbeda dan berlawanan.

Dalam proses itulah, kami mengambil posisi di antara keduanya. Lalu bertanya kenapa dan selalu kenapa. Rasa ingin tahu terus bergulir dalam diri kami, dan tak tahu sampai mana rasa ini ada batas-nya. Mungkin hanya ajal yang berperan sebagai garis batasnya.

Melalui tabloid INSTITUT edisi XV ini pula, kami memberikan buah dari pera-saan tersebut. Terkait dengan berita-be-rita seputar kampus kita dan sekitarnya, disajikan ragam info dari berbagai nu-ansa. Pada halaman depan, berhubungan dengan tindakan mahasiswa terhadap sis-tem kelembagaan yang masih tidak jelas seperti sekarang. Memang, sistem kelem-bagaan ini membuat gamang beberapa pihak.

Akhirnya, dengan edisi ini bukan be-rarti kami tidak memiliki kekurangan. Karenanya, kami selalu membuka ru-ang kritik dan saran dari berbagai pihak. Kami hanya manusia yang sedang beru-saha menjalankan roda ini. Selayaknya membaca ini dengan teman diskusi lain-nya dan tentunya kopi atau minuman jenis lainnya. Terima kasih.

Wassalamualaikum wr. wb

Salam Redaksi

Edisi XV/Oktober 2011LAPORAN UTAMA2

Tunggu Draf, Masa Kepengurusan Diperpanjang

tuturnya.

Nasib draf Student Government (SG)Penyebab adanya surat edaran tentang

perpanjangan masa kepengurusan BEM-FA tidak lepas dari belum jelasnya nasib Pedoman Lembaga Kemahasiswaan UIN. Hal tersebut dikarenakan belum adanya kepastian dari Kementerian Agama (Keme-nag) mengenai pembahasan tentang draf SG yang telah dirumuskan di UIN Jakarta.

Terkait dengan draf SG, Kepala Sub Bagian (Kasubag) Bidang Kemahasiswaan Ja’far Sanusi yang ditemui INSTITUT di kantornya mengatakan, pihaknya sedang menunggu Surat Keputusan Direktorat Jen-deral (SK Dirjen) mengenai Pedoman Lem-baga Kemahasiswaan yang baru.

Ja’far menjelaskan bahwa Dirjen Pen-didikan Islam (Pendis) meminta masukan- masukan dari perguruan-perguruan tinggi yang lain melalui diskusi dan pembicaraan langsung. Kemudian dibuatlah draf yang sesuai dengan hasil diskusi dan pembicaraan yang didapatkan.

“Yang diharapkan bukan keputusan Dirjen Pendis melainkan keputusan Menteri Agama (Menag) langsung,” tutur Ja’far. Draf yang disahkan Menag akan menjadi lebih kuat karena sama dengan keputusan Kemen-terian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) tentang organisasi mahasiswa, tambah Ja’far, (11/10).

Kemudian ketika INSTITUT menelu-suri kejelasan draf yang diajukan oleh UIN Jakarta ke Kementerian Agama (Kemenag), ditemukan bahwa draf yang dimaksudkan tidak ada di bagian Tata Usaha (TU).

“Tidak ada surat yang masuk dari UIN mengenai draf seperti yang anda maksud, (draft pedoman lembaga kemahasiswaan, red),” tutur Restu, salah seorang staf TU Di-rektorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis). Dia menambahkan, surat yang masuk dari UIN Jakarta hanya surat-surat permohonan beasiswa, (13/10).

Lalu, INSTITUT mencoba menelusuri lebih lanjut ke Direktur Diktis yang baru dilantik, Dede Rosyada, dengan via telepon tidak mendapatkan jawaban dikarenakan nomor kontak yang didapatkan INSTITUT tidak aktif.

Pembantu Dekan (Pudek) Kemaha-siswaan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Raden Yaniah Wardani optimis bahwa draf tersebut akan disahkan pada bu-lan Desember 2011. Namun di lain pihak, Ketua Kongres Mahasiswa UIN (KMU) Pantden M. Noor mengungkapkan, “Saya nggak yakin draf itu (pedoman lembaga ke-mahasiswaan, red) nggak akan goal,” (9/10).

Rektorat mengeluarkan surat edaran untuk memperpanjang masa jabatan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMFA), periode 2010-2011, yang seharusnya sudah habis. Surat edaran tersebut dikeluarkan karena belum ditetapkannya mekanisme baru untuk pemilihan pengurus lem-baga kemahasiswaan.

Pada surat edaran tersebut tertulis, masa jabatan pengurus BEMFA diperpanjang hingga Desember 2011 sambil menunggu ditetapkannya Pedoman Lembaga Kemaha-siswaan UIN yang baru.

Sabir Laluhu, Presiden BEM Fakul-tas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (FID-KOM), menyatakan bahwa dia tidak setuju dengan isi surat edaran nomor Un.01/R/PP.03.1/628/2011 perihal Pengurus BEM- FA. Menurutnya, secara de facto masa kepe-ngurusan BEMFA sudah berakhir sejak Mei 2011 lalu, satu periode masa kepengurusan itu satu tahun semenjak dia dilantik.

Dengan tegas dia menambahkan, “Apa hak rektorat memperpanjang itu? Bukan dia

yang memilih kita. Tapi kalau mahasiswa yang meminta, why not?”

Sosialisasi perpanjangan masa jabatan BEMFA tidak merata. Hal tersebut diketahui ketika INSTITUT menemui Presiden BEM-FA Sains dan Teknologi (FST) Evan Fernan-dez, (14/10). Dia mengungkapkan, “Saya sih sudah dengar ada isu tentang perpanjangan masa jabatan, tapi saya belum tahu kalau ada suratnya.”

Meskipun belum mengetahui dengan jelas mengenai hal tersebut, Evan mengata-kan bahwa dia kurang setuju. Karena me-nurutnya sistem kepengurusan akan kacau dan akan banyak orang yang mempertanya-kan statusnya yang masih menjabat sebagai presiden BEMFA.

Namun, karena masih banyak program yang belum terealisasikan, dia mengakui bahwa di sisi lain dia juga menyetujui per-panjangan masa jabatannya. “Saya pribadi akan tetap menjalankan tugas saya secara moral sebagai pertanggungjawaban saya,”

Makhruzi Rahman & Rifki Sulviar

Surat edaran nomor Un.01/R/PP.03.1/628/2011 tentang kepengurusan BEMFA

Koordinatur Liputan: Ema Fitriyani Reporter: Aam Mari-

yamah, Achmad Faruq A, Aditia Purnomo, Aditya Widya Pu-

tri, Aprilia Hariani, Ema Fitriyani, Jaffry Prabu Prakoso, Kiky

Achmad Rizqi, Makhruzi Rahman, Muhammad Umar, Muji

Hastuti, Rahayu Oktaviani, Rahmat Komaruddin, Rifki Sul-

viar, Trisna Wulandari Fotografer: INSTITUTERS Desain

Visual & Tata Letak: Dika, Rizqi Editor: Oby, Umar, Lilis,

Hilman, Haris , Egi, Fajar, Rina Ilustrator: Omen, Trisna

Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung

Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95

Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 085-697-091-557 Web:

www.lpminstitut.com Email: [email protected].

Setiap reporter INSTITUT dibekali Tanda Pengenal serta

tidak dibenarkan memberikan Insentif dalam bentuk apa-

pun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.

Diterbitkan olehLembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta

SK. Rektor No.23 Th. 1984Terbit Pertama Kali 1 Desember 2006

Pemimpin Umum: Khalisotussurur | Sekre-

taris: Egi Fajar Nur Ali | Bendahara Umum:

Rina Dwihana Fitriani | Pemimpin Redaksi:

Muhammad Fanshoby | Redaktur Pelaksana:

Umar Mukhtar | Artistik : Dika Irawan | Pem-

impin Perusahaan: Noor Rahma Yulia | Iklan &

Sirkulasi: Ibnu Affan | Marketing & Promosi:

Fajar Ismail | Pemimpin Litbang: Hilman Fauzi

| Penelitian & Riset: Abdul Kharis | Pengem-

bangan SDM: Iswahyudi.

Page 3: TABLOID INSTITUT EDISI 15

Edisi XV/Oktober 2011 LAPORAN KHUSUS 3

Jaffry Prabu Prakoso

Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta telah resmi menjadi sebuah universitas beberapa tahun silam. Sebelum menjadi sebuah universitas, kampus ini dikenal dengan sebutan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan status kedudukannya di bawah Kementrian Agama (Kemenag) sam-pai sekarang.

Namun, pada 2011 ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) komisi X sedang merencanakan perpin-dahan seluruh UIN yang ada di Indonesia, ke bawah naungan Ke-menterian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Tapi, pihak UIN Jakarta berkeinginan tetap di bawah naungan Kemenag.

Keinginan tersebut diucapkan oleh Pembantu Rektor (Purek) I bagian akademik Matsna. Alasan-nya terkait dengan historis UIN Jakarta. “UIN bisa ada karena se-belumnya berbentuk institut yang berada di bawah Depag,” tuturnya (10/10).

Selain soal sejarah, juga karena melihat sedikitnya universitas Is-lam yang berstatus negeri. Masih menurut Matsna, UIN Jakarta juga ingin membantu siswa yang

kurang mampu karena kuliah di UIN Jakarta termasuk murah.

Matsna mengatakan, yang mem-bedakan UIN dengan universitas lain adalah pemahaman tentang agama. Matsna membandingkan Fakultas Kedokteran UIN dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). “Moral pendidi-kan agama kedokteran UIN Jakar-ta bisa diadu dengan kedokteran UI, itu yang menjadi nilai lebih dari UIN Jakarta,” ujarnya.

Namun berbagai pernyataan di atas dibantah oleh Ahmad Danial, selaku staf ahli wakil ketua komi-si X DPR RI, yang juga alumni IAIN JAkarta. Menurutnya, sete-lah IAIN Jakarta berubah menjadi UIN Jakarta, mahasiswa tidak me-merdulikan sejarah IAIN.

Ia mengatakan, mahasiswa UIN Jakarta sekarang yang mengena-kan jilbab, pakaiannya seperti tak berjilbab. “Jadi sekarang kita nggak bisa lagi melihat sejarah IAIN Ja-karta,” tegasnya (11/10).

Dengan berpindahnya UIN ke Kemendiknas, itu tidak akan menghilangkan pendidikan ten-tang keagamaan. “Sebenarnya itu bukan alasan yang tepat,” tambah Danial.

Danial yang merupakan staf Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Direk-torat Pendidikan Tinggi (Dikti), sebenarnya menginginkan kemu-dahan untuk UIN sendiri. Hal tersebut karena banyak keun-tungan yang didapat setelah di bawah naungan Kemendiknas. “Keuangan yang didapat juga leb-ih besar,” ungkapnya (12/10).

Hal tersebut dikarenakan keuangan yang diberikan pemer-

intah untuk Kemendiknas khusus untuk pendidikan saja. Namun, berbeda dengan Kemenag, uang tersebut dibagikan lagi ke berbagai bagian. Itulah yang menyebabkan uang pendidikan dari Kemendik-nas lebih besar dari Kemenag.

Selain keuangan yang lebih be-sar, prosedur untuk mendirikan jurusan umum lebih mudah. UIN yang masih di bawah Kemenag, harus mendapatkan persetujuan dulu dari Depag, kemudian diberi-

kan Kemendiknas, lalu ke Keme-nag lagi. “Jadi kita ingin memutus prosedur itu, sehingga langsung mengajukan saja ke Kemendik-nas,” tukas Danial.

Danial mengakui saat terjadi perpindahan dari Kemenag ke Kemendiknas, akan terjadi sedikit perubahan yang terjadi di UIN. Seperti status kepegawaian yang masih di Depag. Tapi menurutnya itu adalah masalah teknis, dan hal tersebut dapat diselesaikan kurang dari dua tahun. “Pemerintah su-dah biasa mengurusi hal tersebut,” paparnya.

Matsna pun mengakui, meski UIN menolak untuk pindah ke Kemendiknas, tapi jika RUU telah disahkan, maka UIN harus mengi-kuti RUU tersebut. “Hanya saja kan di Kemendiknas sendiri tidak ada orang yang ahli dalam pendid-ikan agama,” tukas Matsna.

Ia khawatir, karena pembinaan fakultas-fakultas agama yang ada di UIN belum dipahami betul oleh Kemendiknas, maka UIN se-harusnya berada di bawah Keme-nag. “Anggota DPR tidak paham persoalan seperti ini, makanya membuat RUU seperti itu,” je-lasnya.

Kinerja program kelas interna-sional di beberapa fakultas dinilai kurang maksimal. Hal ini bertolak belakang dengan isi SK Rektor Nomor Un.01/R/HK.005/199/2011 menge-nai Pedoman Penyelenggaraan Kelas Internasional UIN Jakarta, yang ber-tujuan mempercepat internasionalisa-si program tersebut. Di UIN Jakarta, terdapat tiga fakultas yang memiliki kelas internasional, yaitu Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Faku-tas Ilmu Sosial Politik (FISIP), dan Fakultas Sains dan Teknologi (FST).

Menurut Dimas Seto Pujionto, mahasiswa jurusan Teknik Infor-matika (TI) kelas internasional, pihak penyelenggara Kelas inter-nasional harus lebih detil meren-canakan semua aspek yang terkait dengan kelas internasional. Hal tersebut dimaksudkan agar maha-siswa kelas internasional merasa terfasilitasi dengan baik.

“Semuanya harus terencana dengan jelas. Misalkan, kelas in-ternasional itu ada program double degree, visiting students dan sandwich program. Pihak penyelenggara ke-las internasional harus merincikan atau menyosialisasikan juga biaya kuliah di sana, biaya hidup dan lain-lain,” tutur mahasiswa yang beberapa bulan lalu baru selesai mengikuti progam visiting di Uni-versitas Malaysia.

Senada dengan Dimas, maha-siswa jurusan Hubungan Inter-nasional (HI) kelas internasional

Yurizka Nur Rahmah menilai, ke-las internasional memang sangat perlu menyosialisasikan progam-progam yang ada pada kelas in-ternasional agar mahasiswa tidak salah penafsiran dalam memaha-mi progam-progam tersebut

Selain itu, kekecewaan menge-nai kelas internasional datang pula dari mahasiswi jurusan Manaje-men kelas internasional, Vera Suciati. Mahasiswi ini mengaku, fasilitas yang diberikan untuk mahasiswa internasional hampir sama dengan mahasiswa reguler. ”Pembedanya hanya bahasa peng-antar aja, bahasa Inggris. Selebihn-ya sama saja kayak mahasiswa reg-uler. Padahal bayaran kita itu lebih tinggi beberapa kali lipat dengan mahasiswa reguler,” tuturnya.

Menanggapi hal tersebut, Ria Hari Gusmita selaku koordinator teknis program internasional FST menuturkan, pihak fakultas telah berupaya memberikan fasilitas yang sesuai untuk mahasiswa ke-las internasional.

“Dalam hal progam, kami ha-nya memfasilitasi kerjasama den-gan universitas luar negeri, seperti yang sudah kita lakukan dengan International Islamic University of Malaysia (IIUM). Untuk masalah finansial, itu sepenuhnya ditang-gung oleh mahasiswa,” tuturnya.

Friane Aurora, koordinator teknis kelas internasional FISIP menuturkan, pihak fakultas mera-

sa tidak pernah menyosialisasikan bahwa progam studi keluar negeri sepenuhnya ditanggung pihak uni-versitas.

“Saat orientasi mahasiswa, kami seluruh jajaran dekanat sudah me-nyosialisasikan mengenai fasilitas, tenaga pengajar, hingga mengenai studi keluar negeri. Mahasiswa en-tah di mana kupingnya,” jelasnya ketika ditemui INSTITUT di ru-angannya (11/10).

Menurut Suwito, mantan Pem-bantu Rektor bidang Pengem-bangan Lembaga tahun 2007 yang vokal dalam mempertahan-

kan kelas internasional di UIN semasa menjabat, mengatakan, pihak fakultas seharusnya memi-liki konsep yang serius dalam hal merancang suatu progam studi ke luar negeri. Mahasiswa pun harus mempersiapkan diri ketika masuk kelas internasional.

“Mahasiswa yang ingin masuk kelas internasional harus memiliki TOEFL lebih dari lima ratus. Lalu peran orang tua dalam menyedia-kan biaya juga perlu. Nah, lebih penting lagi, pihak fakultas perlu memaparkan semua hal, termasuk biaya dan sarana untuk studi ke

luar negeri. Jika demikian, saya yakin UIN nantinya akan mampu menjadi universitas bertaraf inter-nasional,” ujarnya.

”Memang sih banyak maha-siswa yang mengartikan program studi ke luar negeri, berdasarkan beasiswa atau biaya tidak sepe-nuhnya ditanggung sendiri, untuk itu perlu ada penjelasan lebih ten-tang itu dari pihak fakultas,” tam-bahnya.

Kelas Internasional Kurang Maksimal

Salah satu fasilitas ruangan kelas internasional di Fakultas Sains dan Teknologi yang dirasa kurang maksimal

FOTO

: ULA

N/IN

STITUT

Aprilia Hariani

UIN Jakarta Ingin Tetap di Kemenag

Moh. Matsna pembantu rektor 1 bidang akademik

FOTO

: JA

FFRY

/IN

STIT

UT

Page 4: TABLOID INSTITUT EDISI 15

Edisi XV/Oktober 2011LAPORAN KHUSUS4

Status Facebook Menyebabkan SkorsingEma Fitriyani

Dialihkan ke Reguler, SPP Nonreguler HI Tetap

Program nonreguler yang dilak-sanakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sedikit berbeda dengan yang dilaksanakan fakultas-fakultas lainnya. Pasalnya, fakultas ini menerapkan jadwal perkuliahan yang dimulai pagi hari, layaknya program reguler.

Menurut Ahmad Sodik, maha-siswa semester 7 jurusan Hubun-gan Internasional (HI) FISIP, ke-tika menginjak semester 3 lalu, dirinya dan teman-teman sesama program nonreguler diberitahu bahwa akan dipindahkan ke program reguler, karena jadwal perkuliahannya akan dipindah-kan ke pagi. Dengan adanya kebijakan tersebut, banyak ma-hasiswa nonreguler yang bekerja memilih untuk tidak melanjut-kan kuliah. Sodik pun kini tidak bekerja lagi.

Namun, ketika meminta pemo-tongan biaya perkuliahan (yang sedianya berjumlah Rp 2,55 juta ) untuk menjadi setara dengan biaya perkuliahan mahasiswa ju-rusan HI program reguler (yang berjumlah Rp 1,7 juta) mereka menghadapi birokrasi yang sulit, padahal jadwal perkuliahannya tidak bisa dikembalikan lagi ke malam hari.

Pun ketika ditinjau kembali ke pihak fakultas saat mereka sudah memulai perkuliahan pagi, status mereka dikatakan tetap sebagai

mahasiswa program nonreg-uler, karena untuk menjadi ma-hasiswa reguler, mereka harus mengikuti ujian ulang.

Selain itu, pihak akademik be-ralasan, NIM yang mereka miliki masih dalam susunan nonreguler (diawali dengan angka 2) dan bu-kan dengan susunan seperti ma-hasiswa reguler (diawali dengan angka 1).

Sementara itu, Sekretaris Ju-rusan Hubungan Internasional Agus Nilmada Azmi mengata-kan, nonreguler HI kini telah berstatus reguler, terhitung sejak penerapan jadwal perkuliahan mereka ke pagi.

Ia pun mengungkapkan, masalah perpindahan status pro-gam perkuliahan tersebut telah dikomunikasikannya dengan mahasiswa. Dikarenakan maha-siswa yang bekerja hanya bebera-pa orang, maka yang tidak bisa mengikuti jadwal baru memilih keluar, namun 90% di antaranya menyetujui kebijakan tersebut.

Agus menjelaskan, sebenarnya mahasiswa tersebut malah di-untungkan, karena tidak perlu banyak kompetisi untuk masuk ke reguler. Namun, meski secara akademik sudah tercatat seba-gai mahasiswa reguler, mereka masih dicatat sebagai mahasiswa nonreguler di bagian keuangan pusat, sehingga jumlah biaya

perkuliahan yang harus mereka bayar tidak dapat disamakan dengan mahasiswa HI reguler lainnya.

”Perihal keuangan, dari FISIP sendiri tidak ada kewenangan untuk mengubah jumlah SPP, itu kewenangan bagian keuangan pusat. Namun prosedurnya kan sulit. Saya saja tidak tahu apa-kah bisa diubah atau tidak,” ujar Agus.

Pembantu Rektor bidang Aka-demik Muhammad Matsna me-nambahkan, kesenjangan jum-lah SPP yang harus dibayarkan dengan fasilitas yang diterima merupakan ketetapan yang su-dah berlaku dari awal. Selain itu, kebijakan mengenai jumlah SPP yang tidak berubah merupakan bentuk dispensasi dari penjad-walan perkuliahan menjadi pagi hari. “Perubahan jadwal kuliah menjadi pagi itu kan agar mem-permudah proses pembelajaran,” tukasnya.

Sementara itu, Dekan Fakul-tas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Dede Rosada mengata-kan bahwa fakultasnya kini me-nerapkan kebijakan passing out. Dengan kata lain, program non-reguler yang tengah berlangsung dijalankan sesuai dengan pera-turan awal berlakunya hingga angkatan noreguler terakhir ini lulus.

Menurut Muhammad Rokib, mahasiswa nonreguler semes-ter 7 jurusan IPS FITK, dahulu mahasiswa jurusannya per-nah dikumpulkan untuk pem-beritahuan wacana mengenai pengalihan jadwal ke pagi. Na-mun, karena di antara mereka banyak yang bekerja, kebijakan tersebut tidak jadi diterapkan. ”Memangnya pihak kampus mau memberi beasiswa (untuk membayar perkuliahan, red)?” ujarnya. Lagi pula, menurut Rokib, kelas yang tersedia tidak mencukupi, sehingga wacana itu tidak mungkin direalisasikan.

Senada dengan Rokib, ma-hasiswa nonreguler semester 7

jurusan Manajemen Keuangan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Vicky Fadillah mengung-kapkan, beberapa tahun yang lalu, sempat ada wacana men-genai pemindahan program ke reguler dan pengalihan jadwal ke pagi. Namun, karena terben-tur masalah mahasiswa yang be-kerja, wacana tersebut tidak jadi direalisasikan.

Sama halnya dengan kondisi kelas di FITK, Kepala Sub Bagi-an Akademik FEB Rahmatullah mengatakan, alasan lain batalnya pemindahan jadwal perkuliahan mahasiswa nonreguler di FEB adalah tidak cukupnya jumlah kelas di fakultas tersebut.

Trisna Wulandari

Pepatah lama mengatakan bahwa mulutmu adalah harimaumu. Nam-paknya kini mengalami pergeseran kata menjadi facebookmu adalah harimaumu. Maraknya tulisan kasar yang dipublikasikan di akun jejaring sosial nampaknya tidak lagi mengh-erankan. Lantas bagaimana jika per-kataan amoral itu dilakukan oleh anak UIN Jakarta yang terkenal Islaminya?

Pada 16 Maret 2010 saat hari raya Nyepi berlangsung, umat

Hindu dikagetkan Ibnu Rachal Farhansyah yang menulis “Nyepi sepi sehari kaya (maaf) tai” di la-man facebooknya. Nama Ibnu pun mendadak menjadi Daftar Pencar-ian Orang (DPO) oleh kepolisian Bali, seperti yang ditulis Ahmad Fuady pada Kompasiana.

Pemilik nama Jazima Fajrina pun mendadak menjadi sorotan fakultasnya lantaran me-nuliskan status kekecewaannya terhadap Kepala Jurusan Ilmu

Ekonomi dan Studi Pembangunan (Kajur IESP) yang merupakan Pembimbing Akademiknya. Di statusnya, Ririn, begitu panggilan akrabnya, menulis kata umpatan pada Rabu, 7 September lalu.

Status Ririn akhirnya sampai ke telinga Utami Baroroh, Sekretaris Jurusan (Sekjur) IESP. “Awalnya orang dari jurusan Manajemen menelpon saya, katanya ada yang menulis status kasar tentang Kajur di facebook oleh pemilik akun ber-nama Ririn Fajrina,“ lanjutnya (12/10).

“Mengkritik boleh saja tetapi tidak dengan kata-kata yang kasar seperti itu, jelas tidak pantas sama sekali,” geram Utami. Akan teta-pi, Ririn sendiri mengaku pada saat itu dirinya memang kecewa atas sikap Kajurnya yang sukar ditemui. “Hari Jumat gue datang sekitar pukul 09.00, kata orang jurusannya tunggu sampai pukul 13.00 siang. Tapi ternyata sampai pukul 13.00 bapaknya sudah pu-lang. Terus Senin dan Selasa gue datang lagi karena batas waktu pengumpulan KRS hanya dari tanggal 5-9 September untuk juru-san IESP, sampai akhirnya Rabu

gue posting status itu,” ungkapnya.Menurut Indoyama, salah satu

dosen FEB yang juga merasa per-nah dihujat oleh Ririn di facebook me-ngatakan bahwa kalau Ririn mau dihargai oleh orang lain, dia juga harus mau menghargai orang lain dengan ucapannya. “Apalagi ini di lingkungan UIN, kami dari pihak dosen pun mempunyai be-ban dalam mendidik mahasiswa. Masak anak UIN bicaranya kasar seperti itu sih? Sangat disayang-kan,” tandasnya (12/10).

Secara moril, Ririn pun men-gaku sudah pasrah kalau memang tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan perkuliahan pada se-mester ini, “Gue memang sudah menerima kalau diskors,” katanya sehabis menyelesaikan surat medi-asinya di Kajur IESP.

Sementara Ririn menerima sanksi yang dijatuhkan ke-padanya, Reksa Ardiansyah, ketua BEM-FEB mengatakan sangat menyayangkan pemutu-san sementara perkuliahan Ririn. Pasalnya, menurutnya jika Ririn membicarakan ke BEM terlebih dahulu pasti masih bisa dipertim-bangkan sanksi skors tersebut.

“Ini memang kelalaian kita yang terlambat mengetahui kasus ini.Terlebih waktu itu ketua BEMJ-IESP Syaifullah sudah bertemu ibu Utami sembari menunjukan pasal-pasal mengenai pelanggaran mahasiswa,” ungkapnya (14/10).

Tentang pelanggaran yang di-lakukan Ririn sebenarnya terda-pat dalam BAB V Pasal 9 yakni a. berkata dan/atau berbuat amoral yang bentuk sanksinya terdapat dalam BAB VI Pasal 11 yakni Berkata dan Berbuat Amoral Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 9 a dikenakan sanksi berupa teguran secra lisan an/atau tertu-lis.

Terkait pasal tersebut, Indoyama mengatakan apa yang diterima Ri-rin saat ini (skors, red) menurutnya sudah pantas dalam hal untuk mendidik Ririn. “Terima dan syukuri saja, karena sebenarnya perkataan Ririn itu membawa in-stitusi dan sebenarnya dia bisa saja dilaporkan ke kepolisian terkait pencemaran nama baik, tetapi kampus tidak ingin ia diperkara-kan hukumnya,” ucapnya.

Jurusan Hubungan Internasional Program Nonreguler Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang dialihkan ke Reguler.

Status facebook yang ditulis Jazima Fajrina alias Ririn Fajrna pada 7 Sempteber 2011 yang menyebabkan dirinya diskorsing semester ini.

FO

TO

: UT

AM

I B

AR

OR

OH

FOTO

: ULA

N/I

NST

ITU

T

Page 5: TABLOID INSTITUT EDISI 15

Edisi XV/Oktober 2011 LAPORAN KHUSUS 5

Parkir Semerawut, Rektorat Janji Bangun Gedung ParkirAam Maryamah

Muhammad Umar

pembangunan diselesaikan den-gan cepat. Mengingat dana yang dikeluarkan besar, 30 milyar. “Mungkin dua tahun baru sele-sai,” tandasnya.

Ia menginginkan setelah diba-ngun gedung parkir. Tidak ada lagi mahasiswa, dosen, maupun pimpinan yang membawa ken-daraan ke dalam kampus. “Semua parkir di luar. Nah, orang-orang jalan kaki ke sini. Supaya di sini

hilangan helm, ia tak mau lagi memarkirkan motor di depan ge-dung FITK. “Sekarang kalo mau aman, ya helmnya dititipin ke kan-tin (KOPMA, red),” ujar pemilik Jupiter MX ini sambil memasang sarung tangan.

Masalah itu pun dirasakan mahasiswa di kampus II. Seper-ti Nadidah Zahrani, mahasiswa Psikologi semester V, ia menye-butkan belum ada pengontrolan dalam perparkiran. Sambil me-nunjuk motor-motor yang diparkir sembarangan. Ia menambahkan, seharusnya pihak perparkiran lebih peduli dengan kondisi per-parkiran di kampus II.

Rahmat Hidayat, koordinator lapangan UIN Parking mengata-kan, pihak parkir perlu kerja sama dengan mahasiswa maupun den-gan pihak security. “Kawan-kawan (mahasiswa, red) yang salah kan kalau kita tegor, eh malah galakan dia. Selain itu, kita kekurangan tenaga untuk pengamanan. Ma-kanya, dibutuhkan bantuan secu-rity, apalagi di kampus II, butuh pengontrolan dari security karena di sana karyawan UIN Parking sangat minim,” (11/10) paparnya sambil tersenyum.

Menanggapi semua keluhan

tersebut, Abdul Shomad, Ketua UIN Parking, menjelaskan bahwa dibanding dengan Dumparking, UIN Parking sudah jauh mengala-mi perubahan. “Kalau masalah lecet- lecet, susah untuk membuk-tikannya. Siapa yang buat lecet? Petugas kan tidak berbuat apa- apa,” katanya.

Menurutnya, perparkiran di UIN Jakarta, sudah tercapai 3 K, yakni Keteraturan yang dibukti-kan dengan sudah satu arah. Kein-dahan parkir sudah ada dan sudah nyaman. Keamanan yang me-ningkat karena jumlah kehilangan lebih sedikit.

Amsal Bakhtiar, Pembantu Re-ktor II Bidang Adminstrasi pun menambahkan, “Pembangunan gedung parkir sebenarnya bisa terlaksana tahun ini, tapi karena negara punya kebijakan lain, da-nanya diambil lagi. Dan nggak jadi dibangun. Diusahakan ta-hun depan. Konsepnya, lapangan sepak bola di belakang Triguna akan dibangun gedung berting-kat dua. Bawahnya untuk arena parkir. Atasnya untuk lapangan sepak bola. Jadi itu, sebagai sta-dion mini. Kita sedang mengusa-hakan dana dari APBN.”

Amsal belum bisa menjamin

Seorang wanita berjilbab putih, berbalut jaket merah, mengham-piri salah satu sepeda motor yang berada di lapangan parkir Student Center (SC), Senin (10/10). Ia sedikit tertegun melihat posisi mo-tornya diapit dua motor lain. Sem-pit. Membuat motor milik wanita bernama Witri Amillah ini susah keluar.

Ia mencoba mengeluarkan mo-tornya secara perlahan. “Parkir-nya berantakan, banyak motor yang keluar dari jalur yang telah ditandai, jadi motor susah keluar deh, padahal sedang buru-buru mau jemput adik. Udah gitu, mo-tor pada lecet- lecet tergores motor lain,” ungkap mahasiswa semester VII Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Jurusan Fisika ini dengan kesal.

Kekecewaan pun dirasakan A. Harun Ar Rasyid, mahasiswa FITK yang jarak parkir motor-nya tak jauh dari Witri. Ia merasa bahwa perlu perluasan lahan per-parkiran karena jumlah kendaraan sepeda motor kian banyak. “Jam 8 saja, di depan Tarbiyah udah penuh,” ujarnya. Selain itu, ia berharap agar keamanan dapat di-tingkatkan.

Alih-alih pernah dua kali ke-

bebas polusi, kan sehat. Kalo bisa ya nanti disiapkan sepeda. Seperti di UI,” tandasnya.

Untuk Kampus II, Amsal men-erangkan, parkiran akan dilokasi-kan di depan gedung Psikologi lama. Yang nantinya akan diberi blok-blok di bawah pohon-pohon. Diperkirakan memuat 500 unit motor.

Siang hari, matahari masih terik, 20 orang anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTI-TUT UIN Jakarta, menunggu kereta jurusan Jakarta-Semarang di Stasiun Tanah Abang, Jakarta (22/7). Keberadaan kami disana berniat untuk mengunjungi be-berapa Pers Mahasiswa (Persma) di kota Semarang.

Perjalanan ini dilakukan teruta-ma untuk anggota baru LPM IN-STITUT. Tujuannya agar mereka mengetahui dapur keredaksian

dan keorganisasian dari Persma yang dikunjunginya sebagai pem-belajaran. Selain itu, kunjungan ini juga untuk menjalin tali silatu-rahmi sesama insan Persma.

Untuk menuju semarang, kami menggunakan kereta kelas ekono-mi Tawang Jaya. Perjalanan dari Jakarta menuju Semarang mema-kan waktu kurang lebih 12 jam sehingga kami tiba di stasiun Pon-col Semarang pada Jumat (23/7) dini hari. Karena hari sudah ham-pir pagi, kami memutuskan untuk

beristirahat di stasiun.Saat fajar merekah, kami ber-

benah untuk menuju sekretariat Badan Penerbitan dan Pers Maha-siswa (BP2M) Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang terletak di gedung Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Unnes lantai dua. Dua mobil angkutan umum disewa untuk mengantar kami menuju kecamatan Gunung Pati, kampus Unnes.

Sekitar Pukul 09.00, kami tiba di Unnes. Di sana kami disam-but dengan hangat oleh beberapa anggota BP2M Unnes. Setelah pe-nyambutan selesai, kita bertukar informasi mengenai keredaksian dan keorganisasian. Mereka pun memaparkan beberapa terbitan BP2M Unnes antara lain yaitu News Letter Express, Tabloid Nu-ansa, dan Majalah Kompas Ma-hasiswa. Namun mereka tak mau meyebut jumlah anggaran yang tersedia untuk menerbitkannya.

Setelah itu, kami meneruskan perjalanan menuju LPM EDU-KASI IAIN Walisongo. Perjala-nan memakan waktu lebih dari satu jam, dan kami tiba sekitar pukul dua siang. Lalu disambut secara resmi di sekretariat LPM EDUKASI.

Sesudah penyambutan, mereka lalu menjelaskan bahwa LPM EDUKASI adalah LPM tingkat fakultas, yaitu Fakultas Tarbi-yah. Terbitan mereka diantaranya News Letter EDUKASI, Majalah EDUKASI, Jurnal EDUKASI, dan Bulletin Sastra EDUKASI. Kami berdiskusi banyak disana sehingga tak terasa sudah meng-habiskan waktu tiga jam, sampai Akhirnya diskusi yang menarik itu disudahi sekitar pukul lima sore.

Sehabis magrib, kami berangkat menuju Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT yang juga pers-ma IAIN Walisongo. Perbedaan-nya yaitu SKM AMANAT meru-pakan LPM tingkat universitas. Dalam kunjungan ini kami tidak hanya membicarakan mengenai keorganisasian dan keredaksian tetapi juga tentang posisi Persma dalam konteks pers mainstream. Setelah itu mereka menjelaskan beberapa terbitan mereka se-perti tabloid AMANAT dan bu-letin sastra Soeket Teki. Sehabis berbincang dengan anggota SKM AMANAT, kami berpamitan dan kembali ke sekretariat LPM EDU-KASI untuk bermalam di sana.

Saat pagi tiba, Sabtu (24/7) seki-tar pukul 08.00 kami bersiap-siap

untuk melanjutkan perjalanan menuju LPM Manunggal, Uni-versitas Diponegoro, Semarang. Sebelumnya kami memberikan cinderamata kepada kepada LPM EDUKASI dan berpamitan.

Pukul 10.00, kami telah sam-pai di sekretariat LPM Manung-gal. Kami sampai satu jam lebih awal dari yang sudah dijanjikan se-hingga kami hanya disambut oleh satu anggota LPM Manung-gal. Sambil menunggu anggota LPM Manunggal yang lain, kami beristirahat sejenak di kantor sek-retariatnya.

Ketika sudah berkumpul, se-perti biasa, kami membicarakan hal yang sama yaitu mengenai keredaksian dan keorganisasian. Dalam diskusi itu mereka mem-beberkan beberapa terbitannya antara lain news letter Joglo post, tabloid Manunggal dan majalah Manunggal.

Usai diskusi, kami ditemani be-berapa anggota LPM Manunggal melihat karnaval seni budaya ka-rena bersamaan dengan HUT kota semarang. Sampai akhirnya kami pamit pulang setelah menyaksikan karnaval itu. Dan besyukur, kami tiba di kampus UIN Jakarta, min-ggu (25/7) dini hari.

Menyambangi Kawan Persma di Semarang

Kondisi Perparkiran UIN Jakarta, Kamis (13/10)

FOTO

: AA

M/I

NST

ITU

T

Foto bersama LPM INSTITUT dengan Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BP2M) di Universitas Negeri Semarang (23/7).

DO

K. I

NST

ITU

T

Page 6: TABLOID INSTITUT EDISI 15

Edisi XV/Oktober 2011KAMPUSIANA6

orang-orang yang mencari pang-gung,” tuturnya.

Ia juga menambahkan saat ini media Indonesia sudah menikmati deretan pers yang san-gat baik jadi tidak perlu ada kon-trol dari pemerintah, yang perlu adalah kontrol oleh masyarakat, ada kode etik dan ada masyarakat memiliki hak untuk mengontrol.

Namun, ia juga menjelaskan bahwa wartawan Indonesia-Malaysia mempunyai hubungan yang sangat baik, terbukti pada pertemuan terakhir di Bukit Tinggi beberapa minggu kemarin yang pada intinya mereka mem-buat kode etik bersama dan yang jelas dengan kondisi apapun me-dia mereka tetap akan terus ber-jalan.

Saiful juga berharap ada semacam juru bicara yang bisa menengahi hubungan antar ke-dua negara tersebut dan sama-sama mempunyai kedutaan besar yang berani dan bisa turun lang-sung ketika ada suatu permasala-han.

Sementara itu, Ambasador Dato mengungkapkan pent-ingnya menumbuhkan sepema-haman antara pemuda-pemudi Indonesia-Malaysia yang menu-

rut pandangannya pemudalah yang nantinya bisa meneruskan hubungan antara kedua negara tersebut.

Menanggapi beberapa usul di atas, ia berharap organisasi, NGO, asosiasi dan beberapa in-stansi yang lain dapat membantu Malaysia lebih baik, dan dari rekomendasi tersebut juga bisa disampaikan langsung kepada pihak kerajaan.

Menurut Syaiful Hadi, pihak-nya juga terus akan melakukan terobosan baru demi terciptanya hubungan yang baik antara dua negara tersebut, “Kemarin kami mengundang sepuluh pasukan Islam atau beberapa ormas dari Indonesia ke Malaysia mulai dari perwakilan NU, Muhammadiah, HMI, PMII, IMM dan beberapa ormas lainnya untuk dipertemu-kan dengan pihak Malaysia un-tuk mengikis kebuntuan politik”.

Acara tersebut mendapat res-pon positif dari Malaysia. Dan, ia sangat berharap hal yang serupa juga bisa dilakukan oleh Malay-sia untuk dipertemukan dengan ormas-ormas di Indonesia yang bertujuan demi kesepemahaman antara dua negara.

NICT, INSTITUT- Seminar In-ternasional dengan tema ”The Future Of Indonesia-Malaysia Relations and ASEAN”, Kamis (13/10). Yang menghadirkan Drs Hasyim Jalal, Expert on Interntional Law. Syaiful Hadi, Editor In-Chief Berita ANTA-RA, H,E.Abasador Dato Redzuan Khusairi, Deputy Chairman FPSG dan Prof.Dr BA Hamzah, Dosen Uni-versity Malaya.

Prof. Bahtiar Effendy, De-kan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) menyambut acara dengan sangat antusias, ia berharap dengan terlaksananya acara seminar yang merupakan seminar lanjutan dari Kuala Lumpur tersebut bisa menghasil-kan hubungan antara Indonesia-Malaysia menjadi lebih baik.

Dalam seminar tersebut, Hasy-im Djalal menyatakan bahwa ter-dapat beberapa faktor yang men-dasari terjadinya kerenggangan hubungan antara Indonesia-Ma-laysia. Batas dasar laut yang tidak jelas, isu Tenaga Kerja Indonesia (TKI), keragaman budaya yang hampir sama dan faktor ekonomi yang sama-sama berpotensi lebih baik.

Ia juga menyarankan, sejak

20 tahun terahir ini kita harus hati-hati dengan isu-isu yang bergelembung, ”Mostly, pandan-gan kita kurang tepat, makanya di sinilah pentingnya seminar ini,” ungkapnya.

Hal ini sependapat dengan Hamzah yang menyatakan ada permainan media terhadap kurang baiknya hubungan In-donesia-Malaysia yang terlalu menggembar-gemborkan isu yang kurang benar.

”Di Malaysia juga banyak ter-dapat permasalahan-permasala-han kekerasan, pembunuhan dan lain sebagainya, tapi media dis-ana tidak membesar-besarkann-ya,” ungkapnya.

Sehubungan dengan peran media, Saiful Hadi menjelaskan bahwa media itu adalah industri. ”Jika mereka menulis yang biasa-biasa saja tidak akan ada yang lihat dan otomatis tidak laku, kita tahu media itu juga diisi oleh

Meluruskan Isu Hubungan Indonesia-MalaysiaAhmad Faruk

Ujang Suparman, salah satu pengunjung tengah memerhatikan foto Bung Karno di Galeri Cipta II TIM Jakarta, (19/6)

FOTO:INSTITUT

Bedah Novel “Muhammad: Para Pengeja Hujan”Rahmat Kamaruddin

UIN, INSTITUT. “Jika suatu saat nanti dengan buku ini akan timbul perbedaan pendapat, orang akan mencaci maki saya, melempari saya dengan batu, saya akan meyakini bahwa mereka melakukan itu ka-rena mereka mencintai Nabi, dan saya juga menulis buku ini karena hal yang sama,” ujar Tasaro GK, di tengah diskusi bedah novel biografis karyanya yang berlangsung ramai di Aula Student Center (8/10).

Pria bernama asli Taufik Saptoto Rohadi ini, selain bercerita tentang sisi kehidupan di Mekkah dan Madi-nah, juga mengangkat kisah dua im-perium yang ada pada saat itu, Ro-mawi dan Persia. “Persia memiliki blue print sangat luar biasa dalam membangun peradaban, dan itu me-narik bagi saya, dan saya memilih Persia untuk memunculkan tokoh yang melakukan pencarian sosok Akhir Zaman Terakhir,” terangnya.

Alkisah, tokoh utama lelaki berna-ma Kashva. Kashva diceritakan oleh penulis dengan latar waktu hidup sejaman dengan Nabi Muhammad, semasa hidupnya Kashva melaku-kan pencarian terhadap sosok Akhir Zaman, Maitreya atau sang Al-Amin yang ternyata telah dikisahkan oleh kitab sucinya.

Pria asal desa Gunung Kidul, Yo-gyakarta, yang juga mantan Warta-

wan tersebut mengatakan buku ini menyuarakan pesan perbedaan dan toleransi, karena di dalam ber-bagai kitab baik dari agama Hindu, Budha, Kristen, maupun Yahudi ter-dapat kisah Nabi Muhammad. Dan hal tersebut menjadi benang merah yang sangat menarik dari novel ini sehingga dapat memunculkan se-buah dialog antar agama.

Buku novel biografis “Muham-mad: Para Pengeja Hujan” adalah novel kedua dari “Muhammad: Le-laki Penggenggam Hujan”. Tasaro menjelaskan bahwa hujan adalah analogi dari wahyu. Para pengeja hujan yang dimaksud pada novel kedua di sini ialah para sahabat yang mencoba memahami wahyu dengan konteks mereka masing-masing, se-hingga menimbulkan berbagai per-bedaan dan perpecahan.

Saat beberapa peserta bertanya tentang kebenaran kisah Muham-mad dalam novel tersebut, Tasaro menjawab meskipun ditulis dalam bentuk sebuah novel dan menghad-irkan dua tokoh fiktif dari Persia, na-mun seluruh kisah yang mencerita-kan Muhammad tetap sesuai dengan fakta sejarah, “Seluruh hal yang ber-bicara tentang Muhammad dalam buku ini, itu bukan fiktif, tidak ditu-lis dengan pendekatan fiktif, tidak!” tegasnya.

Rosida Erowati, Dosen Bahasa dan Satra Indonesia FITK, sebagai narasumber dalam acara tersebut berpendapat bahwa novel ini me-miliki teknik bertutur orang kedua dengan fokalisasi pada tokoh Nabi Muhammad dan Fathimah, sehing-ga mengantarkan misi sang penulis pada batas yang penulis inginkan, yaitu menulis kisah Muhammad se-bagai wujud kecintaannya pada sang Nabi.

Menurut Rosida, novel tersebut sangat terkesan ambisius, karena memasukkan tiga tokoh dan ruang waktu dalam satu cerita, Muham-mad, Kasvha dan Atusa atau Astu. Tapi di satu sisi, daya kreatifitas dalam menggunakan diksi terutama pada sisi morfologis telah men-jadikan karya Tasaro tersebut lebih berkualitas.

Sakti Wibowo, Novelis dan Penu-lis naskah skenario, sebagai pembic-ara juga mengatakan tentang ban-yaknya tokoh dalam karya Tasaro, “Saya kurang suka karena setiap momen itu, pelakunya itu satu RT, pembantunya, tetangga pembantu-nya dikasih nama semua,“ ujar Sakti sembari melirik, melempar canda ke arah Tasaro, suasana diskusi pun berubah cair oleh ramai suara tawa penonton.

Satu hal berbeda dengan pe-

nulisan ini, menurut Sakti, keberani-annya menghadirkan tokoh Kasvha menyebabkan sudut pandang lebih maju dan lengkap dari yang sudah ada sebelumnya, sebab selama ini Muhammad banyak diketahui han-ya dari kisah yang dituturkan oleh sahabat Nabi.

“Ini semakin memperkaya, ke-beraniannya menghadirkan sosok

Kasvha akan menambah referensi kita,” ujar Sakti. “Muhammad tam-pak lebih total, Muhammad tampak lebih dekat dengan orang Indonesia. Buku tentang Muhammad untuk orang Indonesia itu ya buku ini, ka-rena pendekatan kultur dan emos-inya Indonesia banget!” imbuhnya semangat.

Penulis, Tasaro GK (bertopi) saat diskusi bedah novel “Muhammad: Para Pengeja Hujan” berlangsung di Aula Student Center (8/10).

Page 7: TABLOID INSTITUT EDISI 15

Edisi XV/Oktober 2011 RESENSI 7

Perlawanan Sekawanan KeraApa yang terjadi jika ratusan

kera berkeliaran di tengah kota, hingga membuat petugas kea- manan kerepotan. Tidak sampai disitu, ratusan kera tersebut beru-saha sekuat tenaga membuat se-buah revolusi untuk mengambil ahli dunia. Dimana sebelumnya, kera-kera tersebut mendapat-kan perlakuan yang tidak layak seperti diperlakukan kasar oleh umat manusia pada mereka.

Mungkin, banyak yang mengira bahwa film Rise of the Planet of the Apes ini merupakan sebuah sekuel dari film Planet of The Apes. Padahal tidak ada ke-sangkutpautan film ini dengan film sebelumnya. Film arahan Rupert Wyatt ini hanya meru-pakan reboot dari film Planet of the Apes. Diperankan oleh James Franco, Freida Pinto, John Lith-gow, Brian Cox, Tom Felton dan Andy Serkis

Kisah ini diawal dari Will Rod-man (James Franco), seorang Il-muan yang menghabiskan lebih dari lima tahun terakhir, untuk mencari obat untuk penyakit Alz-heimer (Penyakit pikun berat) yang diderita ayahnya, Charles Rodman (John Lithgow).

Komposisi obat yang Will cip-takan akan diuji coba pada seekor kera. Akhirnya seekor kera yang Will jadikan uji coba membuah-kan keberhasilan dan kemajuan. Namun, tanpa diketahui kera tersebut sedang hamil.

Setelah melahirkan, insting keibuan kera tersebut menjadi lebih agresif dan protektif kepada anaknya. Saat kera tersebut dili-hat perkembangannya oleh penel-iti, kera itu marah dan membuat kerusuhan di ruang laboratorium, serta menghancurkan kandang kera yang ada. Dengan terpaksa, untuk mengembalikan keadaan semula, semua kera dibunuh.

Kecuali Caesar (Andy Serkis – lewat penggunaan performance-capture technology), kera yang baru saja lahir saat kejadian berlang-sung, diselamatkan oleh Will. Tanpa diduga, Ceasar mengalami penurunan genetik dan mengala-mi peningkatan kecerdasan, se-bagai efek dari obat yang pernah diberikan kepada ibunya.

Caesar tumbuh bahagia dengan ayah Will, Namun kesenangan itu hanya berlangsung singkat. Saat Caesar berumur enam ta-hun, ia dipisahkan dari keluarga

Will ke tempat penampungan kera. Disebabkan karena caesar menyerang tetangga Will, saat tetangganya sedang memukuli Charles yang tidak sengaja mena-brak mobilnya.

Ditempat penampungan itulah, Caesar mendapatkan perlakuan buruk manusia, sehingga men-jadikannya depresi dan sedih. Merasa dirinya diperlakukan dengan tidak sewajarnya, Cae-sar yang mempunyai kecerdasan layaknya manusia berkonspirasi dengan kera lainnya yang juga dikurung dalam penampungan tersebut.

Caesar dan para kera lainnya mencoba menyusun kekuatan un-tuk menggulingkan ras manusia yang dianggapnya sebagai musuh dari kaum kera. maka terjadilah pergolakan besar-besaran yang terjadi di pusat kota.

Animasi yang digunakan cukup membuat film ini lebih hidup, ditambah dengan efek suara yang ditimbulkan yang membuat penonton lebih mera-sa terbawa dalam suasana film tersebut. Tidak hanya itu, penon-ton dapat mencerna dengan mu-dah pesan yang diharapkan sutra-

Rahayu Oktaviani

Judul : Rise of the Planet of the ApesGenre : Fiksi IlmiahDirilis : 5 Agustus 2011

Pemain: James Franco, Freida Pinto, John Lith gow, Brian Cox, Tom Felton, Andy Serkis

dara.Potongan cerita dalam film Rise

of the Planet of the Apes ini, men-jadi sebuah pesan kepada umat manusia untuk tidak melakukan eksploitasi terhadap binatang-bi-

natang, dengan memperlakukan seenaknya. Dengan menitikberat-kan pada penggambaran pertum-buhan Caesar dari kecil hingga besar.

Pelbagai tipe media me-miliki makna tersendiri yang dibungkus de-

ngan cermat, lalu dibuang ke masyarakat. Bungkusan itu bisa berupa isi dari televisi, media ce-tak, film, iklan, dan semacamnya. Masyarakat pun jadi lebih mudah memperoleh dan mengakses infor-masi, serta mendapatkan pengeta-huan yang luas. Lalu, apakah kita sadar akan pengaruh informasi

tersebut? Di tengah zaman informa-

tika ini, pelbagai informasi dapat memengaruhi pikiran manusia secara tidak langsung. Pada a-khirnya, manusia dapat tereduksi identitasnya. Hal ini pulalah yang menjadi kekhawatiran Marshall McLuhan, bahwa media dapat membangkitkan adanya alienasi pada banyak orang. Karenanya, Marcel Danesi, seorang profesor

semiotika dan antropologi linguis-tik, menyajikan pelbagai tipe me-dia masa kini ditinjau dari sudut semiotika melalui buku karangan-nya ini.

Semiotika dan Media MassaDi buku ini penulis memapar-

kan bahwa dalam teori semiotika, bentuk fisik sebuah representasi, pada umumnya disebut penanda. Lalu, makna yang dibangunnya, disebut petanda. Makna yang berpotensi untuk diambil dari rep-resentasi ini dalam sebuah ling-kungan budaya tertentu, disebut sebagai sistem penandaan.

Dalam proses pembuatan pe-nanda, digunakanlah medium berupa gambar, suara, dan seba-gainya untuk menampilkan ulang sesuatu yang diindra, dibayang-kan, atau dirasakan dalam bentuk fisik. Proses inilah di mana media berusaha membangun sesuatu (bentuk X) dalam rangka men-galihkannya ke sesuatu yang lain (bentuk Y) baik itu material atau pun konseptual. Dengan kalimat lain, mereka berusaha agar X = Y. Untuk mencapainya, si pembuat bentuk penanda memasukkan konteks historis, sosial, atau segala hal yang terkait dengan pembua-tan bentuk ini.

Marcel memberikan contoh tentang representasi ini. Seks, se-cara semiotika, dapat dijadikan

sebagai referen (sesuatu yang dirujuk), karena menjadi hal yang ingin kita rujuk. Referen ini bisa direpresentasikan dalam bentuk yang lain; misal ada yang merep-resentasikan seks dengan film-film erotis; ada yang representasinya berupa potret dua orang yang se-dang berciuman dengan mesra; atau bisa juga melalui puisi-puisi yang berisi aspek-aspek seks secara vulgar.

Dalam memaknai representasi ini, tidak bisa terpatok pada satu makna saja, atau memilah pelba-gai makna untuk diberlakukan pada satu kelompok tertentu. Be-gitu banyak hal lain seperti kon-vensi sosial, pengalaman komu-nal, dan faktor kontekstual lainnya yang membatasi pelbagai pilihan makna. Karena, analisis semiotika adalah upaya untuk menggambar-kan pelbagai pilihan makna yang tersedia. Semiotika cenderung menggunakan interperetasi un-tuk memaknai gambaran tertentu (hal.5).

Penulis juga menjelaskan ten-tang tipe-tipe media, mulai dari media cetak, media audio, film, televisi, komputer dan internet, dan iklan. Fokus dari tiap bab ini menjelaskan awal mula kemun-culan dan perkembangan dari tiap media tersebut. Dari aspek perkembangan itu, dilihat dari sudut pandang semiotika un-

tuk menguraikan pengaruh-pe-ngaruhnya terhadap tatanan ke-hidupan masyarakat.

Melalui buku ini pula, penulis memaparkan dampak-dampak so-sial media dengan disertai contoh-contoh kasus di Amerika Utara. Sekaligus menunjukkan bahwa media massa secara langsung bisa memengaruhi perilaku manusia, yang dinamakan ‘Teori jarum sun-tik’.

Sebagai pengantar, buku ini bagus bagi yang ingin memulai mempelajari semiotika secara praktis terkait dengan media. Ka-rena penulis tidak banyak mem-berikan teori, tapi lebih kepada studi kasus berdasarkan sudut pandang semiotika yang dijelas-kan secara ringkas.

Meski begitu, buku ini me-nyajikan perbedaan pandangan beberapa tokoh semiotika seputar pemahamannya terhadap perkem-bangan media. Hal ini yang terka-dang membuat para pembaca pemula bingung untuk memilih mana pandangan yang lebih baik. Tetapi, dalam keadaan demikian penulis mengambil posisi dengan memberikan pandangannya yang menengahi perbedaan tersebut.

Bagi yang ingin memahami struktur makna yang disebarkan media ke dalam sistem kehidupan modern sehari-hari, buku ini dapat dijadikan rujukan.

Judul Buku : Pengantar Memahami Semiotika MediaTeks Asli : Understanding Media Semiotics (London: Arnold Publisher, 2002)Penerjemah : A. Gunawan Admiranto Penulis : Marcel DanesiPenerbit : Jalasutra, YogyakartaCetakan : I, 2010 Tebal : xii + 308 halamanISBN : 978-602-8252-50-8

Memahami Media Melalui SemiotikaUmar Mukhtar

Page 8: TABLOID INSTITUT EDISI 15

Edisi XV/Oktober 2011KOLOM8

Belum lama ini, saya menden-gar kabar bahwa ada mahasiswi UIN Jakarta yang dicutikan men-dadak oleh pihak fakultasnya sendiri. Alasannya cukup seder-hana, karena si mahasiswi me-lakukan komplain atas sistem akademik -yang terkadang tidak bisa diakses, terkadang juga masih tetap susah diakses di hari kemu-diannya- di sebuah jejaring sosial. Saya sendiri cukup kaget ketika mendengarnya, kok bisa ya maha-siswi itu dicutikan mendadak? Pa-dahal dia hanya mengungkapkan kekesalannya berupa kritik atas kinerja sistem yang memang patut di’kritik’. Kok bisa?

Kisah di atas hanya sebagai contoh kecil saja mengenai krisis yang tengah terjadi di kampus kita ini. Kenapa saya menyebutnya sebagai sebuah krisis? Karena memang dalam kurun dua tahun belakangan ini berbagai persoalan silih ganti menerpa kampus. Dari mulai kekisruhan dalam pelak-sanaan pemira yang telah berlalu, tidak jelasnya sistem lembaga ke-mahasiswaan yang sedang dan akan diterapkan, sampai pada per-soalan pelaksanaan propesa atau

sekarang menjadi OAK yang bisa dibilang “lucu”, bahkan “aneh”, dan masih banyak lagi yang tak mungkin saya sebut satu persatu di dalam tulisan yang terbatas ini.

Berangkat dari sana, terlihat bahwa dewasa ini yang namanya “kritik” itu sangat mahal, karena begitu langka dan begitu besar ongkos yang akan dikeluarkan nantinya. Bila kita membuka mata, hati dan pikiran kita dengan seksama, maka kita akan melihat banyak persoa-lan yang perlu dikritisi pada kampus ini. Dalam hal ini tentu mahasiswalah yang harus berperan aktif dalam melakukan kritik kepada pemegang kebija-kan kampusnya. Tentunya de-ngan mengkritisi sesuatu dengan objektif dan tiada maksud untuk memperkeruh keadaan, tapi demi mencapai suatu yang baik pada akhirnya.

Apa lacur sebuah penerapan kebijakan yang katakanlah masih rabun, lalu kita diam tiada kritik? Saya kira sebuah hal yang lumrah ketika mahasiswa mengkritisi para elit kampusnya. Tak ada yang tabu dalam hal ini, apa lagi untuk dita-

ku-t i . J a n g a n s a m p a i mahasiswa menjadi tiada daya, mengikuti arahan yang diberikan tanpa ada satu dua kritikan. Kes-annya mahasiswa itu seperti ker-bau saja, manut pada si pemegang pecut. Apa mau disebut kerbau? Saya kira tentu tidak ingin.

Sebagai mahasiswa yang ditun-tut mengatur diri dalam segala

hal, selayaknya kondisi ini kita jadikan momen untuk mencoba melakukan pembenahan terha-dap kesemerawutan yang terjadi selama ini. Selain itu perlu juga

untuk turut aktif dalam me-nyuarakan berbagai aspirasi,

serta aktif mengawasi dan mengkritisi secara masif kebijakan-kebijakan yang diterapkan dalam kampus.

Kita perlu tegaskan di sini, bahwa sebuah uni-versitas merupakan bagian dari masyarakat. Sehingga kebijakan-kebijakan sampai

persoalan penentuan masa depan universitas tidak hanya

berasal dari pihak rektor, lem-baga-lembaga pemerintah, dan akademisi. Tetapi juga para maha-siswa, bila perlu sejumlah organ-isasi masyarakat sipil turut serta. Dari hal itu akan terlihat sebuah upaya demokratisasi kampus, seh-ingga segala kebijakan yang dipu-tuskan diambil secara demokra-tis. Tentunya ini demi penentuan masa depan sebuah universitas yang baik.

Tentu bukanlah suatu yang mu-dah demi menciptakan kondisi

yang kondusif dan tertata dengan baik, karena tidak bisa dikesam-pingkan akan adanya sebuah kon-flik. Kritik sendiri menunjukkan adanya gejala ke arah sana, tapi tidak semua konflik itu buruk. Tidak terlalu salah juga kita untuk menjalankan sebuah peran, ka-rena kehidupan kampus menun-tut kita untuk bergerak lebih dari sekarang.

Mengenai kritik sendiri, saya teringat dengan kutipan dari Soe Hok Gie (1942-1969), pemuda yang sangat kritis pada masanya. Semenjak dari bangku sekolah dasar hingga bangku kuliah sa-ngat aktif dalam mengkritisi sega-la hal yang menurutnya patut un-tuk dikritisi. Menurutnya, “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.” Selamat mengkri-tik.

*Mahasiswa dari tegal yang kuliah di UIN Jakarta, dan PSDM LPM INSTITUT

Krisis Kritis (2)Iswah Yudi*

Dalam lintasan sejarah nusantara, praktik korupsi telah berlangsung. Di era kerajaan, para pembesar istana memperkaya dirinya den-gan saling menjatuhkan saudaran-ya untuk memperebutkan kekua-saan. Diikuti tingkah para pejabat bawahannya, yang mematok pun-gutan liar pada rakyat kecil. Tidak berhenti di situ saja. Di masa pendudukan Belanda, momok ko-rupsi diperlihatkan dengan bang-krutnya VOC, orga-nisasi dagang Belanda yang telah menduduki Indonesia ratusan tahun. Kebang-krutannya tidak lain disebabkan skandal korupsi di antara para pegawainya. Sesudah Indonesia berdaulat dan merdeka, korupsi kian menggila di masa pemerintahan orde baru. Para oknum yang korup memodi-fikasi dan menginovasi praktik ko-rupsi warisan zaman kerajaan dan penjajah Belanda. Jika di masa kerajaan dan era 50-an, korupsi di-lakukan secara individu, di masa orde baru, Suharto telah membuat praktik korupsi sebagai sistem yang sifatnya berjamaah. Pegawai Negeri Sipil (PNS) sen-gaja diberi gaji kecil dan proyek-proyek untuk menambah peng-hasilan mereka di luar gaji pokok. Akibatnya, selama 32 tahun Su-harto berkuasa, dan tidak ada satu pun lembaga pemerintah yang berani menegur. Tak ada maling

yang teriak maling. Sebab mung-kin, karena pada dasarnya semua maling. Kekayaan negara telah dikuras habis-habisan oleh Suharto dan kroni-kroninya. Hal terparah sepeninggalan rezim orde baru,

yakni kehancuran moral bangsa, dengan menganggap wajar praktik korupsi yang ada di masyarakat. Beberapa bulan ke belakang saya kehilangan buku tabungan, karena buku itu sangat dibutuhkan, saya melapor ke kantor polisi terdekat.

Di situlah kenyataan dari pelega-lan korupsi saya buktikan sendiri. Tanpa basa-basi, seseorang yang kehilangan motor di samping saya menjelaskan, setiap orang yang melapor sebenarnya tidak dikena-kan biaya. Tapi untuk memperlan-car registrasinya, atau istilahnya uang ketik, kertas dan sebagainya, sepantasnyalah memberi uang.Saya hanya menelan ludah mendengarnya. Wajar saja banyak orang kehilangan kendaraan, tapi tak mau berurusan dengan polisi. Jika melapor, maka akan dua kali lipat kehilangannya.Iklim perkorupsian di Indonesia kian subur karena banyak hal yang mendasari perkembangannya. Di berbagai sendi kehidupan, praktik ini seperti lumrah dilakukan. Dari masalah keterlambatan masuk kerja, tidak antri, uang pelicin, sogok, perjalanan fiktif, mark up harga sampai penggarongan uang negara secara besar-besaran. Saya sedikit pesimis dengan kead-aan sekarang ini. Walaupun ada lembaga superbody seperti KPK yang siap menangkap para per-ampok negara, tapi lembaga ini tidak akan menjangkau korupsi di tingkatan bawah seperti di masyarakat.Akar korupsi tidak lagi berada pada tingkat penguasa saja. mel-ainkan juga merambah ke dalam sendi kehidupan masyarakat.

Akar itu menghujam kuat ke alam bawah sadar setiap orang. Karenanya, tanpa mengedukasi masyarakat, pemberantasan ko-rupsi hanya terkesan seperti men-cukur rumput ilalang yang dalam sekejap akan tumbuh kembali.Pada akhirnya, generasi mudalah yang bertanggung jawab mem-beri pengertian pada masyarakat. Rasanya sudah cukup kita mem-busungkan dada, mengaku seba-gai bangsa yang dikenal dengan budaya luhur, nilai kesopanan, ramah tamah, penuh kekeluar-gaan, dan entah apalagi.Sebagai orang yang sadar akan dampak yang ditimbulkan ko-rupsi, kita jangan sampai mengi-kuti arus yang sudah ada, Setiap orang harus punya keberanian untuk menjalankan hidup bersih dari korupsi. Seperti petuah karu-hun Sunda “Urang aya di dieu lain palid ku cikih, tapi ku wawanen”. Artinya, kita berada di sini bukan hanyut bersama air kencing, mel-ainkan dengan keberanian.

* Mahasiswa Jurusan Manaje-men, FEB, dan Sekretaris Umum LPM INSTITUT

Korupsi Dari Masa ke MasaEgi Nur Fajar Ali*

Page 9: TABLOID INSTITUT EDISI 15

Moh. Halil*

Edisi XV/Oktober 2011 OPINI 9

Sejak lengsernya Orde Baru pada tahun 1998 terbuka pula kekangan yang selama

kurun waktu tiga puluh dua ta-hun menghantui dan membajak negara bangsa yang kita sebut Indonesia, pemerintahan demok-ratis biasanya dibangun di atas puing-puing pemerintahan otorit-er yang merupakan proes transisi menuju kegerbang konsolidasi demokratisasi.

Proses perjalanan negara bangsa dari pemerintahan otorit-er ke pemerintahan demokratis tidak semudah membalikkan tel-apak tangan, lihat saja kejadian di negara bangsa ini, pada tahun 1998 yang merupakan titik tolak dari demokratisasi. Ada bebera-pa tahap dimana demokratisasi akan berlaju dan menuju kearah yang lebih baik atau mungkin sampai pada apa yang kita an-gan-anagankan bersama. Samuel P. Hantington dalam bukunya Gelombang Demokrasi Ketiga menyebutkan bahwa perjalanan demokrasi akan mengalami dua tahap, tahap pertama proses tran-sisi demorasi dan tahap kedua konsilidasi demokrasi yakni demokrasi yang diyakini dan di-patuhi sebagai peraturan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Samuel proses transisi demokra-

si diawali dengan runtuhnya pemerintahan otoriter yang dia-tas puing-puingnya dibangun pemerintahan demokratis, transi-si demokrasi merupakan hal yang paling penting yang kritis karena merupakan titik awal dari demok-ratisasi, walaupun fase tersebut tidak memberikan geransi menu-ju kearah yang lebih baik. Ketika suatu negara sudah berada pada keadaan transisi demokrasi dan menjalankan prosedur-prosedur baku yakni salah satunya ada-lah pemilihan umum dan meru-pakan has dari pemerintahan demokratis, selanjutnya menurut tesis Samue P. Hantington akan berlabuh ke tahap Konsolidasi demokrasi yang akan tercapai ke-tika suatu prosedur demokratisasi sudah dialami yang kedua kalin-ya, yakni pemilihan umum lima tahunan seperti di Indonesia.

Pemilihan umum di negara bangsa sudah dijalankan sebagai salah satu prosedur demokrati-sasi bahkan sudah beberapakali dilaksanakan, akan tetapi seo-lah-olah Konsolidasi Demokrasi yang dibayangkan Samuel P. Hantington bahwa setelah terca-pai pemilu yang kedua kalinya maka konsolidasi demokrasi akan tercapai, namu seakan telah terbantahkan oleh demokratisasi

yang dialami negara bangsa, ka-rena fase konsolidasi demokrasi masih terlalu jauh dan bahkan tidak sedikitpun mendekatinya. Stagnanisasi demokrasi yang terus-menerus berkutat pada fase transisi demokrasi yang bahkan cenderung hancur merupakan gambaran bagaimana pembena-han dalam tubuh pemeritahan tidak secara sungguh-sungguh diperbaiki, lihat saja korupsi yang sudah menjalar ke segala lemba-ga pemerintahan, seperti halnya di tubuh perpajakan yang dibin-tangi Gayus Tambunan walau mungkin masih banyak Gayus-Gayus yang berkeliaran, bahkan yang menyebut dirinya sebagai Pemberantas korupsi tidak luput dari penyakit tersebut.

Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 telah berhasil men-umabangkan simbol keotoriteran di negara bangsa, namun sakan-akan tidak berhasil mengantar-kan kearah kesejahteraan yang dibayangkan oleh masyarakat arus bawah, hal ini ditandai pula penyalah gunaan kekuasaan yang sudah menjalar kesegala lini, bahkan seakan-akan sudah biasa menjadi sarapan mentah setiap media masa yang membeberkan kelakuan tidak bermural peting-gi-petinggi negara bangsa. Keber-

hasilan demokratisasi selalu di-ukur dengan bentuk formal saja, demorasi prosedural yakni pemil-ihan umum lima tahunan yang menjadi tolak ukur demokratisasi seakan-akan berjalan dengan se-mastinya, walaupun banyak para demagog yang tampil dan seolah-olah menyuarakan kepentingan rakyat akan tetapi ada agenda terselebung yakni memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.

Kiranya salah satu hal paling urgen yang mengancam eksisten-si negara bangsa adalah kebobro-kan moral yang ditandai dengan korupsi berantai. Salah satu men-gapa kelakuan yang kurang terpu-ji seperti korupsi yang menjangkit pada banyak partai politik saat ini ialah, kecenderungan para wakil rakyat mementingkan diri sendiri ketimbang mendengarkan kelu-han rakyat dan menjembatani kebutuhannya, walau pun masih ada segelintir wakil rakyat yang konsisten menyuarakan aspirasi rakyat ketika ikut serta mengam-bil kebijakan, namun yang tidak kalah penting dan sangat berpo-tensi mengarah kepada perilaku yang sangat merugikan bangsa (korupsi) ialah Higt kost perjala-nan partai politk yang semakin melunjak dan merupakan hal penting yang perlu dibenahi, li-

hat saja ketika seseorang dalam sekop daerah saja mencalonkan bupati atau gubernur sudah me-makan biaya milliyaran rupiah untuk menggolkannya, apalagi presiden.

Terlepas dari banyak hal yang perlu dibenahi kembali dalam tubuh negara bangsa ini, salah satunya adalah memberantas ko-rupsi sampai keakarnya tampa memandang bulu, seperti kon-sep medis yang dikemukakan filosof Machiavelli bahwa segala yang mengancam eksistensi ne-gara harus dipotong,walau pun tidak dapat dihapus secara ber-sih setidaknya diberantas sampai mendekati titik nol demi kelang-sungan negara dan perlu sesung-guhnya pemerintah memberi batasan biaya kampanya partai politik, sebab ini merupakan salah satu yang paling berpo-tensi korupsi. Sehingga cita-cita demokrasi akan berjalan menga-lir dengan semastinya, dan hal tersebut bukan mustahil tidak terwujud dengan catatan pemer-intah baik yang ada di ekskutif atau yang lainnya bersungguh-sungguh dalam membenahi ne-gara bangsa kearah yang lebih baik.

*Mahasiswa Ilmu Politik, UIN Jakarta

Stagnanisasi Demokrasi

kepada retorat, entah kenapa kami merasa disulitkan dengan beribu-ribu alasan yang tidak jelas dari rektorat, apakah ini bukti kesenga-jaan bahwa rektorat ingin mema-tikan kreatifitas mahasiswa? Atau ada proyek dibalik semua itu? Semoga saja tidak.

Dan harapan kami dari forum UKM agar rektorat mau mencair-kan dana sebagai bentuk dukun-gan terhadap kegiatan kami meng-ingat acara tinggal menghitung hari.

Rizki Mulia Pradana, Ketua Pelaksana UKM EXPO dan Perwaki-lan Forum UKM.

Pada tanggal 19-21 Oktober 2011, Forum Unit Kegiatan Mahasiswa akan menggelar

acara “UKM EXPO” acara terse-but bertujuan untuk memperk-enalkan UKM-UKM yang ada di kampus ini kepada mahasiswa baru. Karena selama ini, maha-siswa baru belum mengenal apa itu UKM dan apa saja kegiatan UKM. Acara ini juga tidak hanya mengenal UKM saja, seminar-seminar yang bertujuan mena-namkan jiwa kebangsaan akan ada selama tiga hari berturut-turut.

Untuk mensukseskan acara ini yang jelas tidak terlepas dari keuangan. Dalam pencairan dana

Saya ingin mengeluhkan Sis-tem AIS, yang sudah satu ta-hun ini digunakan Kampus

UIN. Sebenarnya cukup banyak persoalan, apalagi pasca Ujian Akhir Semester (UAS). Mulai dari belum masuknya nilai, SKS, dan sebagainya.

Namun ada beberapa menurut saya penting untuk diketahui ba-gian Sistem Informasi. Pertama, tentang AIS yang masih sering error, apalagi buat yang sekarang, ketika kemaren, masuk semester

Sulitnya Mencairkan Dana

ganjil. Kesannya AIS itu masih manual. Jika begitu, buat apa ada sistem online?

Kedua, tentang pembayaran SKS, di FST, masa yang ambil SKS lebih sedikit, bayaran sama dengan SKSnya yang banyak. Harap persoalan seperti ini men-dapat perhatian bagi yang bertang-gung jawab. Terima Kasih.

Endang S., Fakultas Sains dan Teknologi, Jurusan Sistem Informasi. Semester V.

Surat Pembaca...

Sistem AIS Masih Manual

Menerima:

Tulisan berupa opini, esai, tekno, puisi, cerpen dan surat pembaca. Opini, cerpen, tekno dan Esai: 3000 karakter. Puisi dan Surat Pembaca 2000 karakterUntuk esai, temanya seputar seni dan budaya. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengu-rangi maksudnya.

Tulisan dikirim melalui email : [email protected]

RedaksiLPM INSTITUT

Bang Peka

Page 10: TABLOID INSTITUT EDISI 15

Edisi XV/Oktober 2011SASTRA10

Serupa 9 BintangAam Maryamah*

Langit malam ini benar- benar mencuri perhatian. Ada Sembilan titik terang, berkerling genit padaku. Seperti digerakkan sebuah remote control jarak jauh, perlahan titik- ti-tik itu mulai bergerak, bergeser. Mas-ing- masing titik mencari koordinat sudut laiknya rasi bintang.

Secercah sinar tiba- tiba menghinggapi mataku, silau. Kuangkat telapak tangan kiriku menghalau hempasan sinar itu. “Sebenarnya apa ini?” keluh hatiku penasaran. Mencoba me-mahami apa yang terjadi, kubuka kelopak mata dan takjub den-gan apa yang terjadi. Kusadari, sinar itu membentuk siluet garis, merangkai sembilan titik menjadi ukiran sebuah bentuk, sebuah nama….

“Hrgggggghhh,,,,,” rutukku. Spontan aku bangkit dari posisi tidur. Mimpi. Detak jantung berpacu dengan kencangnya. Dahiku mulai bercucuran kerin-gat. Kurasakan tanganku dingin, membeku. Perasaan aneh mulai merayap dalam diri. Membakar aliran darah di arteri. Kuluap-kan semua kesakitan itu dengan isakan tangis. Perih. Rapuh. Ku harap pagi cepat menjelang.

Saat bola mata ini mulai terbuka, ngilu kurasakan di seluruh sendi tubuhku. Rupanya, guncangan mimpi semalam membuatku tertidur dalam posisi bungkuk. Dengan lunglai, kupak-sakan bangkit. Ku pandangi diri di cermin. Lingkaran hitam di sekeliling mata dan rona lebam pipi menghiasi wajah yang kini terlihat tak berdaya.

“I don’t believe in You!” maki-ku pada cermin yang tak berdosa. Kurasakan amarah itu muncul lagi. Refleks tanganku bergerak mengambil sebuah gelas, kuhan-tam penuh emosi ke arah cermin. “praangg!!” cermin tinggal jadi serpihan kaca. Kuabaikan.

Kubiarkan dingin air meman-jakan tubuhku. Dan mengkikis cerita sendu malam ini. “Per-setan semuanya!” mencoba menguatkan hatiku. Kutunjuk-kan aku tegar. Kuambil kemeja kerjaku. Rapi. Dengan senyum yang dipaksakan ku langkahkan kaki ini meninggalkan kosan

yang telah dua bulan aku tempati di Jakarta.

Aku berhenti tepat di depan warung Bi Inang. Wanita pemi-liki warung bertubuh tambun itu, sedang sibuk memotong wortel saat kuhampiri. “Sara-pan, Ndun?” ucapnya tanpa menoleh kepadaku. “Nda, Bi,” acuhku sambil berlalu. Ku ambil kursi yang masih tersusun rapi di pojok ruangan. Kupilih posisi menghadap ke jalan. Memandang jalanan yang masih sepi. Ada yang menarik. Sem-bilan lelaki berdiri di seberang jalan. Putih. Bercahaya. Sorot mataku menajam.

Sembilan cahaya. Pikirku melayang masuk dimensi malam itu. Aku terperanjat. Bangkit. Dan mundur beberapa langkah. Kurasakan punggungku meny-entuh sebuah tubuh. Bi Inang. “Ada apa, Ndun?” tanyanya. Ter-diam. Dia melirik ke belakangku untuk melihat apa yang terjadi. “Kamu lihat apa? Astaghfirullah, wajahmu pucet, Ndun?” tangan-nya meraih pipiku. “Kamu sakit?” aku tetap diam. “Sarapan dulu yuk!” ia menarik tanganku. “Nda, Bi, Ndun mau berangkat kerja. Permisi!” kulepaskan tangan Bi Inang dan pergi.

Kutinggalkan Bi Inang yang menatapku dengan cemas. Walau baru dua bulan kenal, Bi Inang sudah seperti ibu kandungku. Bahkan aku merasa, dia lebih baik dari itu. Kupercepat langkah kaki menuju tempat kerja. Lari. Tepat di depan pintu, seorang wanita berkerudung mengham-piriku. Menyerahkan selembar brosur berwarna biru. Kuper-hatikan setiap kata yang tertulis dalam wujud brosur itu. Mataku terpaku pada sebuah lambang. Perisai biru berbintang sembilan. Bercahaya.

Badanku bergetar. Kurobek- robek kertas itu penuh emosi. Tidak, tidak, tidak bisa!. Musta-hil. Ingin sekali kumaki wanita itu. Mataku berputar mencarin-ya. “Apa?” pekikku kaget. Sembi-lan lelaki bercahaya. Memandan-gku. Tersenyum. Tiba- tiba dunia gelap.

Aku membuka mata. Pusing. Sadar, sudah tak berada di toko.

“Dimana ini?” ujarku serak. “Ndun, wes sadar?” Bi Inang membelai rambutku. “Astaghfir-ullah, Ndo, ndo, kok bisa pingsan depan toko. Kenapa toh ndo?” masih membelai rambutku. Air mataku pun meledak di pelukan Bi Inang. Kuluapkan semua yang ada dalam otakku. Sakit.

“Itu hidayah, Ndun. Bukan hal buruk. Allah SWT tunjukan kuasa-Nya. Piye, masi ra per-coyo ?” celoteh Bi Inang sambil menatapku dalam- dalam. “Lah, pikir, sopo sing gawe tampang ayumu iku? Sopo sing gawe lubang irungmu loro? Gayus? Hah, sembrono!!! Pikir Ndun!!” kini nada bicaranya berat, seberat timbunan lemak diperutnya. Tetap membelaiku.

Sejak kecil, aku telah dihadapi dengan pergulatan hidup manu-sia- manusia dewasa. Ayahku yang suka mengaji siang malam, masuk penjara karena mengge-lapkan dana pembangunan masjid. Ibuku yang selalu hilir mudik dari satu masjid ke masjid lain dalam bentuk pengajian, tiap harinya hanya menggunjing jan-da muda yang kebetulan tinggal di samping rumah. Itulah agama menurutku. Tak punya fungsi pasti dalam mengatur perilaku manusia. Tak berguna.

Nike, sahabatku. Aku tak per-nah tahu apa agamanya. Bahkan dia tak pernah melakukan ritual- ritual keagamaan seperti yang selalu dituntut orang tuaku. Dia baik. Sopan. Jujur. Dan tampan. Itu pula agama menurutku. Tak dibutuhkan. Karena menurutku yang terpenting adalah bagaima-na kita berhubungan dengan individu yang lain. Aku ingin seperti dia.

Aku pun pengagum karya-karya Nietzsche. Bahkan aku mengadopsi salah satu slogannya sebagai motto hidupku. “Tuhan telah mati”. Aku tak pernah ingin menghadirkan bentuk Tuhan dalam diriku. Menurutku, ada atau tidak adanya Tuhan tak pernah mempengaruhi duni-aku. Aku membangun duniaku sendiri. Aku tak butuh Tuhan untuk memuaskan hatiku.

Namun, sembilan lelaki itu, serupa sembilan bintang, ber-cahaya. Mengusik ketenangan hidupku. Kini keberanianku terengguh. Kuresapi celotehan Bi Inong. Diam. Otakku terus kupacu. Benarkah Tuhan ada? Benarkah itu nabi dan para sahabatnya? sengaja menyam-paikan pesan padaku agar aku mengakui keberadaan-Nya. Seperti yang dikatakan Bi Inang? Ah, mustahil!!! Tapi,,, “Argggah-hhh.”

Kurebahkan lagi tubuhku. Lunglai. Nada dering hand-pondku berbunyi, kuraih, kulihat satu panggilan. Nomor yang yak

tak kukenal. “Ya, Halo?? Siapa?” sapaku lemah. “Assalamualai-kum, Ndun!!” terdengar jawaban dari sebrang. Lelaki. “Siapa ya?” tak ku gubris salam itu. Pena-saran. “Ini aku, ukhti!! Sahabat kecilmu,” tuturnya membuatku gugup. “Nike???? Kamu kah disana?” tanyaku gagap, tak men-yangka ia sahabatku. Sahabatku yang atheis. Mungkinkah dia sudah? Jantungku terasa lemah. Mungkinkah?

“Ndun, aku merindukanmu.”ucapnya hangat. Sama hangatnya, seperti dulu, ketika aku pulang berlibur dari rumah kakekku. “Kamu ????” suaraku parau. “Oh, Ndun, maaf aku baru memberimu kabar. Se-

lama ini aku tinggal di pesantren. Ternyata pencarianku selama ini ada hasilnya. Aku menemukan ketenangan dari-Nya, Ndun, bagaimana kabarmu?”

“Apa yang kamu temukan, Nike?” jawabku tanpa mem-perdulikan pertanyaannya. “Ketenangan jiwa, Ndun. Ke-bahagiaan hakiki.” Mantap ia menjawab. Perih. Tak mampu lagi kubendung air mata ini. “Aku ingin ketenangan itu, Nike.” Ku tahu Nike tersenyum.“ “Kamu sudah mendapatkannya, ukhti. Alhamdulillah.”

*Mahasiswa Semester V Jurusan Ilmu Perpustakaan, FAH.

Cerpen...

Rizqi Kamil*

Kalau saja kau bukan kaupasti aku sudah aku

seperti bintangmenerima pantulan cahaya

menari-nari di sisi rembulandan kita,

menari dalam kemilau rasa-rasarasa aku, rasa kamu

mungkin waktu yang melemahkan atau yang justru menguatkan

Hanya saja suasana waktu yang sulit ditebaksering tercium abstrak

karena rasa selalu saja tak tetapmembuat tubuh kita terlalu kaku untuk memberontak

memberontak terhadap takdir yang sudah sekian abad terlekatakankah kita bisa laksana perisai ?

tatapmu sambaran petirmembelah bumi dadaku

perutku tubuhku

sel-sel darahku otakku

urat sarafkufikiranku

aku ingin kaukau aku inginingin aku kaumungkin kauingin pun aku

kini kau tak hanya hisapi jemaritapi mencairkan emosi

sudahkah kau ikuti kata hati ?Dan kalau saja kau bukan kau

pasti aku sudah aku.

*Anggota Teater Syahid

Aku dan kauPuisi...

Page 11: TABLOID INSTITUT EDISI 15

Asyiknya Jakarta, Asoynya Kampung Metropolitan

Asoy geboy ngebut di jalanan ibukota.

Dipayungi lampu kota di sekitar kita.

Sepenggal lirik lagu Naif tadi rupanya sangat menggambarkan keadaan Jakarta yang sumpek, Jakarta yang macet, Jakarta yang kotor, dan kompleks.

Namun bagaimana jadinya jika kota metropolitan tadi disulap menjadi sebuah perkampungan yang jauh dari keriuhan dan kepadatan kota? Itulah yang coba dituangkan Yaqub Elka dengan percikan-percikan cat airnya dalam kanvas.

Jelang 19 Dari Titik Nol adalah suatu perjalanan dirinya yang berkesenian kurang lebih 19 tahun lamanya. Baginya, pameran tung-gal ke-14 ini mempunyai arti yang sangat luas, di mana dirinya mel-akukan perbandingan luar dalam, keseimbangan kanan-kiri, kon-templasi, dan perenungan untuk melihat sejauh mana ia melangkah dari titik awal.

Dalam liukan kuasnya, Yakub mencoba menampilkan sisi lain dari Kota Jakarta, di mana ia men-coba membuat kisah sebuah kota yang nyaman, asri, teduh, dan sepi. Anak-anak bermain hampir di tiap jalan-jalannya yang belum

macet.Seperti di beberapa lukisannya

yang berjudul “Persahabatan” dan “Aku dan Dunia Udara”, penikmat seolah disuguhi gam-baran keakraban anak-anak dan masyarakat kota Jakarta yang su-dah sangat sulit ditemui sekarang ini.

Akidah Gauzillah, salah seorang penikmat yang ditemui INSTITUT (9/10) mengatakan bahwa lukisan-lukisan karya Yakub Elka seperti refleksi kehidupannya. “Saya suka lukisan di ruang pertama, mengin-gatkan masa kecil dulu.”

“Namun, ketika menuju ruang kedua, saya melihat mungkin alur hidup dari Yakub sudah mulai kompleks karena lukisannya juga mulai abstrak. Seperti cerminan diri saya sekarang, mulai kom-pleks memikirkan hidup,” ujarnya terkekeh.

Selain menampilkan kehidupan yang jauh dari image Jakarta seka-rang ini, beberapa lukisan Yakub juga memperlihatkan sisi aktual yang tetap dipadukan gaya klasik kota Jakarta. Terlihat pada lukisan berjudul “Generasi Megapolitan” dan “Aku dan Dunia Udara II”.

Dalam lukisan tersebut, Jakarta sudah mulai terlihat padat. De-ngan latar belakang gedung-ge-

dung bertingkat dan pesawat yang berseliweran di sekitar subjek ma-nusia membuat alur cerita dalam lukisan Yakub tetap up to date.

Walau begitu, lukisan tadi masih menghadirkan subjek manusia yang harmonis dan riang. Jauh dari segala ke-stres-an yang biasa menghimpit masyarakat kota. Ia mencoba memberi pemahaman bahwa meskipun objek kehidupan sekitar banyak berubah, sebuah subjek harus tetap dinamis dan tidak meninggalkan hakikat diri sebagai mahluk sosial.

Pameran yang diadakan di Galeri Cipta II selama sepuluh hari itu telah menyedot banyak perhatian penikmat seni lukis, khususnya para mahasiswa. “Kita (pengurus Galeri Cipta II, red) mau memfasilitasi pameran ini dengan tujuan memberi wawasan dan pengajaran kepada masyarakat luas,” tutur Bambang Subagiono, pengurus Galeri Cipta II.

Menurut pria setengah baya ini, seni lukis harus menjadi sumber pendidikan di masyarakat, karena

seni adalah penyeimbang kehidu-pan. Terlebih lagi, latar belakang si pelukis adalah seorang dosen yang juga harus mengabdikan ilmunya kepada masyarakat.

Dan, tampaknya hal tersebut sukses ditanamkan Yakub lewat lukisan-lukisannya. Terbukti dengan semangat Akidah me-neruskan bakat lukisnya setelah melihat pameran. “Saya yakin bisa lebih dari ini. Kelak saya juga akan buat pameran tunggal,” tuturnya dengan mata berbinar.

Edisi XV/Oktober 2011 SENI BUDAYA 11

Aditya Putri

“Membela kebenaran dan keadilan kemudian berjuang untuk menyele-saikan revolusi tahun 1945 sampai tuntas”.

Itulah visi misi yang diharap-kan para pejuang dari komunitas Sanggar Bumi Tarung (SBT). Anggota SBT menyosialisasikan visi misinya melalui lukisan-lukisan yang kemudian dipamer-kan kepada orang banyak. Dalam hal ini, anggota SBT menghara-pkan agar para generasi muda

bisa menjalankan dan mengem-bangkan semangat mereka untuk membangun negeri ini. Tutur Misbach Tamrin, salah satu ang-gota SBT.

Sejarahnya, Amrus Naltasyalah yang memberikan nama Bumi Tarung. Karena menurut perupa Bumi Tarung tersebut, dunia ini ada dua unsur, yaitu baik dan buruk, penindas dan yang ditin-das. Ini sesuai teori revolusioner Bumi Tarung tentang kontradiksi.

Mereka percaya kalau dua unsur itu selalu berlaku untuk saling bertarung, dan akan selalu begitu. Maka dari itu dinamakan Sang-gar Bumi Tarung.

Komunitas SBT berdiri setelah negara Indonesia merdeka, yaitu sejak tahun 1961 di Yogyakarta. Komunitas ini bergerak dibidang seni dan sastra. Orang-orang yang berkecimpung di komunitas ini biasanya seperti pelukis, perupa, pematung, dan pencukil (orang yang membuat lukisan dengan teknik menyungkil).

Sanggar Bumi Tarung Fans Club (SBTFC) juga bagian dari komunitas SBT. SBTFC ini generasi terbaru dari SBT, karena SBT anggotanya sudah lanjut usia, maka bergantilah dan diteruskan kepada generasi muda. Dari SBT ke SBTFC.

Sholahuddin Al-Ayyubi, biasa dipanggil Yubi, dia sebagai anggota Sanggar Bumi Tarung Fans Club (SBTFC) senang bisa mengikuti komunitas tersebut. Bagi Yubi semangat orang tua seperi Misbach Tamrin seperti anak muda, sehingga dengan mengikuti SBTFC maka dia bisa mengambil semangatnya.

Tak berbeda halnya dengan Yubi, Saeful Bachri yang saat ini mengikuti SBTFC, ia pun meng--ikuti komunitas ini karena ingin melihat semangat dari anggota SBT. Serta ingin mempelajari semangat yang dilakukan ang-gota SBT.

Kendati demikian, Yubi tak hanya mengambil semangatnya saja, namun ilmunya di bidang rupa, serta lukisan Bumi Tarung yang mempunyai aliran realis, sehingga apa yang dilihat oleh mata itu langsung dituangkan ke dalam lukisan.

Selain melukis, pameran lukisan juga salah satu kegiatan yang dilakukan SBT maupun SBTFC. Dan dalam pameran ini mereka menampilkan lukisan yang bertujuan untuk menyo-sialisasikan visi misi SBT. Tak hanya pameran, SBT juga sudah membuat beberapa buku untuk mengenalkan tentang perjuangan visi misi SBT itu sendiri.

Komunitas SBT menerima siapa saja yang ingin masuk kedalamnya, namun tak banyak mahasiswa yang mengikuti ko-munitas tersebut. “Kurang lebih sepuluh mahasiswa UIN yang

mengikuti komunitas ini, dari kampus I lima orang dan kampus II juga lima orang,” ujar Yubi selaku anggota SBTFC.

Dalam hal ini SBT tidak mengadakan pascagenerasi. Selanjutnya, generasi yang ingin mengikuti komunitas ini tidak disebut SBT melainkan SBTFC. SBTFC pun tak harus mem-bawa nama SBT, namun sema-ngatnyalah yang harus dibawa. Ungkap anggota SBT, Misbach Tamrin.

Sifat dari komunitas ini sebe-narnya untuk memperjuangkan seni kerakyatan, yang menyata-kan bahwa revolusi pada tanggal 17 Agustus 1945 masih belum selesai reformasi. Hal itu meru-pakan sebuah landasan dari sifat komunitas ini. Sesuai dengan bidang seni rupa mereka pun mempunyai motto, “Seni adalah akhlak untuk memenangkan re-volusi.” Dikarenakan revolusi be-lum selesai, mereka pun mewakili bangsa Indonesia di mana mereka mempunyai argumen bahwa negara ini harus diperjuangkan. “Karena revolusi belum selesai,” papar Firdaus Akbar selaku ketua SBTFC sambil tersenyum.

Semangat yang diwarisi dari Pejuang Seni RupaMuji Hastuti

Komunitas...

FOTO

:TYA/IN

STITUT

Seorang pengunjung tengah menikmati lukisan Yakub Elka di Galeri Cipta II (9/10).

DO

K. P

RIBA

DI

Page 12: TABLOID INSTITUT EDISI 15

Edisi XV/Oktober 2011SOSOK12

Mencoba Memanusiakan ManusiaAditia Purnomo

Sumber: Litbang INSTITUT

Penelitian...

FOTO

. AD

IT/INSTITU

T

Survei AIS UIN Jakarta

FOTO

: AD

IT/I

NST

ITU

T

Kampus UIN Syarif Hidayatullah Ja-karta telah memberikan porsi be-sar terhadap kemajuan teknologi

dengan menerapkan Akademik Informasi Sistem (AIS) untuk menunjang tata kelola data dengan baik. Namun selama 2 tahun terakhir sejak diterapkannya AIS, banyak nada yang sumbang yang keluar dari ma-hasiswa maupun dosen terhadap sistem yang ada. Guna memberikan masukan terhadap sistem yang ada, Litbang LPM INSTITUT melakukan survai kepada se-luruh civitas akademika UIN untuk mem-berikan kritik dan saran terhadap perbai-

kan AIS kedepannya.Hasil survai yang didapat sebanyak

62% koresponden menyatakan pelay-anan AIS sudah cukup baik, 22% baik, dan 16% buruk. Hal ini berbanding ter-balik ketika mengukur tingkat kepuasan-nya, 58% mahasiswa mengatakan kurang puas dengan sistim sekarang, dari keban-yakan mahasiswa mengeluh akses masuk web yang sering error pada waktu pengi-sian KRS berlangsung, prosedur pengisian yang dipersulit dengan harus tatap muka ke dosen PA dan kajur, perbedaan antara nilai yang diberikan dosen dengan yang

ada di AIS, singkatnya waktu pengisian, dan sering terjadi perubahan jadwal se-cara sepihak dari kampus.

Pergantian SIMPERTI ke AIS bertujuan untuk mengejar ketertinggalan dari kam-pus lain tapi karena kurangnya sosialisasi dan persiapan yang matang membuat shock culture bagi mahasiswa. Sebanyak 57% mengaku tidak pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan AIS secara detail sehingga sebagus apapun sistem yang ada manakala sumberdaya manusianya tidak menguasasi dengan baik akan per-cuma saja.

Selain mahasiswa survai juga dilakukan kepada dosen dari setiap fakultas, sebe-sar 76% dosen mengatakan AIS mem-permudah bagi dosen untuk melayani mahasiswa, dan hampir seluruh dosen di UIN juga dapat dipastikan mampu men-goprasikan AIS dengan baik. Hanya 16% dosen yang tidak dapat menggunakan AIS dan kebanyakan dari mereka termas-uk dosen yang telah lanjut usianya.

Penggunaan AIS bagi dosen Penggunaan AIS bagi mahasiswa

Memulai hidup di dunia teater sejak 1995, Achmad Chotib atau yang lebih akrab dengan panggilan Eko Chotib, kini dikenal sebagai salah satu sutradara yang cukup disegani dalam lingkup teater di Jakarta Selatan. Berbagai karya yang telah dipentaskan diberbagai ajang membuat namanya semakin dikenal. Karyanya yang terbaru ialah pementasan “Kapai-kapai” bersama sebuah teater independen, eL-Na’ma, mampu lolos dalam ba-bak regional Jakarta selatan untuk mengikuti Festifal Teater Jakarta tahun ini.

Melalui sebuah ciri khas religius yang telah melekat dalam setiap karyanya, ia berusaha menampilkan sesuatu yang berbeda dari karya yang sudah pernah ditampilkan teater lain. Baginya, karena setiap orang memiliki ciri khas masing-masing, maka karya yang dihasilkan pun akan berbeda satu sama lainnya. “Tergan-tung bagaimana pribadi mampu meng-

hadirkan dirinya dalam suatu karya,” ujarnya (12/10)

Selain itu, melalui karyanya, ia juga berusaha menyampaikan sebuah pesan kepada masyarakat. Baginya teater ada-lah sebuah sarana untuk memanusiakan kembali manusia. Melalui karyanya, ia kerap menampilkan hal-hal yang meng-ingatkan kembali bagaimana manusia berhubungan dengan sesama manusia dan berhubungan dengan Tuhannya. “Menguatkan kembali hablun minallah dan hablun minannas,” tegasnya.

Hal tersebutlah yang membuatnya ter-tarik pada dunia teater. Baginya, melalui teater ia mampu menyadari bahwa manu-sia itu berbeda dan memiliki ciri khas.dan melalui teaterlah ia mengalami pengala-man yang luar biasa dalam mengenal dirinya sebagai manusia.

Oleh karena kecintaannya pada dunia teater, setelah ia menyelesaikan pen-didikannya di kampus, ia bersama istri mendirikan sebuah grup teater independ-en eL-Na’ma. Dedikasi yang begitu tinggi juga ia tunjukan ketika ia memilih untuk

bekerja di sebuah production house. Pada saat itu, ia diharuskan mampu membagi waktu antara pekerjaan dan kecintaannya pada teater.

Namun hal tersebut mampu ia lewati dengan memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Baginya, hal tersebut juga dapat dijalani dengan manajemen waktu yang baik. Ia menambahkan, bahwa manusia sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa. Namun, potensi tersebut tertutupi oleh rasa malas dan takut yang dimiliki seseorang.

Meskipun Eko Chotib telah banyak memiliki pengalaman dalam dunia teater, namun ia masih belum puas dengan apa yang telah ia lakukan. Ia menambahkan, dengan segala keterbatasan dalam setiap pementasan menjadi tantangan bagi seorang sutradara untuk membuatnya menarik. Baginya, ada tiga hal yang mesti diperhatikan dalam setiap pementasan, yaitu baik, bagus, dan benar. “Baik pesan yang disampaikan, bagus estetika, dan benar metode pementasannya,” ucapnya.

Survai dilakukan oleh Litbang LPM INSTITUT dengan metode Random sampling acak terhadap 150 mahasiswa dari setiap Fakultas yang disesuaikan dengan jumlah mahasiswa, dan 55 dosen yang ada di fakultas masing2. pertanyaan yang diajukan bersifat tertutup dan terbuka,. Lama waktu penelitian 12-14 Oktober 2011. Estimasi error sebesar 0.01%

Page 13: TABLOID INSTITUT EDISI 15

Edisi XV/Oktober 2011 WAWANCARA 13

Student Government yang dulu menjadi harga mati bagi mahasiswa saat ini telah menjadi slogan kosong yang tak berarti. Draft yang dihasilkan dari workshop lembaga kema-hasiswaan, telah dipegang rektorat. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut yang kongkret untuk lembaga kemahasiswaan yang selama ini mengalami Vacum of power.

Berikut petikan wawancara Ahmad Rizqi, reporter INSTITUT di Cafe Cangkir dengan Pantden Mohammad Noor, selaku Ketua Kon-gres Mahasiswa Universitas.

Bagaimana kelanjutan dari draft work-shop lembaga kemahasiswaan yang dikirim ke rektorat?

Kalau hasil obrolan kawan-kawan yang lain masih melalui jalur hukum, karena kan kita sama-sama tahu rektorat itu maunya apa. Sudah jelas rektorat tidak menginginkan pemira sementara kita masih berharap men-girim surat ke Departemen Agama (Depag) supaya ditanda tangan, kan lucu.

Memang hasil workshop kemarin dibentuk suatu draft dan diserahkan langsung ke rek-torat dengan harapan rektor menyerahkan ke Depag. Sempat mendapatkan info sebelum lebaran, draft itu belum diserahkan ke Depag

Sebenarnya, apa yang menjadi inti permasalahan?

Masalahnya itu kan tergantung pressure group-nya (kelompok penekan, red), se-harusnya kita ada gerakan yang ekstra parle-men jangan melalui jalur hukum. Kalaupun dibilang tidak mungkin, iya, tapi kalaupun dibilang putus asa, iya juga. Kalau tidak ada yang melakukan dorongan dari bawah dan

di luar jalur hukum, omong kosong juga lah semuanya, walaupun mau mengadakan seminar beberapa kali.

Lalu, bagaimana sistem yang berlaku di lembaga kemahasiswaan sekarang?

Kalau ditanya sistem yang berlaku seka-rang, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan draft workhop kemarin, itu pun hanya ada beberapa penambahan seperti Lembaga Semi Otonom (LSO).

Bagaimana tindakan selanjutnya?Dalam waktu dekat ini, akan ada sidang

kongres KMU didorong untuk evaluasi agenda-agenda yang sudah dilalui misalnya, tentang workshop. Dan workshop ini secara teoritis, SG paling layak untuk dijalankan tinggal menunggu follow up-nya. Terus men-genai budgeting keuangan seperti apa dan menentukan Pemilu Raya (Pemira) juga.

Bagaimana menurut anda, melihat mahasiswa yang tidak ada pergerakannya bahkan diam saja?

Selama ini dari pertemuan-pertemuan yang pernah saya jalani, sebagian dari mahasiswa masih menginginkan supaya kita berpikiran positif terhadap jajaran rektorat. Dan secara pribadi saya tidak yakin kalau SG bisa dipertahankan. Tapi ini kan berbicara lem-baga, lalu bagaimana cara mengakomodir mahasiswa yang masih berpikiran positif, semuanya masih ingin mempertahankan SG dan semuanya masih ingin mempertahan-kan kedaulatan.

Baca!

Pressure Group Untuk SG

Pantden Mohammad Noor, Kongres Mahasiswa Universitas (KMU)

FOTO

: RIZKY/IN

STITUT

Cp: 087884907104

Page 14: TABLOID INSTITUT EDISI 15

Edisi XV/Oktober 2011TEKNO14

What’s Up dengan WHATSAPP !!!

Konsultasi Kecantikan Dokter AngelRubrik ini bekerjasama dengan klinik Angel dr Angela W, Dipl. CIBTAC (Cosmetologist)

Majunya teknologi abad ini membuat kita selalu merasa dekat dengan orang di sekitar kita. Meskipun keberadaan mereka jauh, berkirim pesan merupakan cara alternatif untuk mendekatkan kita. Aplikasi messenger dewasa ini makin me-manjakan kita sebagai pengguna handphone, terutama smartphone. Menjamurnya demam smart-

phone, makin menjadikan lahan subur bagi developer (pengem-bang, red) untuk saling berlomba memproduksi aplikasi yang user friendly (bersahabat, red) bagi para pengguna gadget pintar satu ini.

Saat ini, ada lima aplikasi messenger yang mengadopsi sistem seperti pada BBM (Black-berry Messenger), yaitu Pingchat,

Cnectd, LiveProfil, pMessenger, dan WhatsApp. Namun aplikasi yang sedang booming yaitu Whatsapp. Apa itu Whatsapp? Whatsapp awalnya hanya disediakan untuk Iphone saja. Akan tetapi, seka-rang dapat berjalan di Blackberry, Android dan Symbian. Dilihat dari integrasi sistem, fitur, stabilitas system serta pengembangan, Whatsapp masih yang terbaik

saat ini dari lima aplikasi di atas.Berbagai fitur terdapat pada

aplikasi Whatsapp. Pertama, “not text only” (tidak hanya teks, red). Aplikasi ini dapat mengirim gambar, video, suara, dan lokasi Global Positioning System (GPS) via hardware GPS atau Gmaps. Media dapat ditampilkan secara langsung tidak berupa link atau hortlink.

Kedua, terintegrasi langsung ke dalam sistem sehingga kita tidak perlu membuka aplikasi tersebut untuk menerima sebuah pesan. Tentunya aplikasi ini harus ter-install dahulu di hand-phone anda. Walaupun handphone kita off, chat kita akan masuk saat handphone kita hidup. Pemberi- tahuannya sangat simple, seperti Short Message Service (SMS).

Ketiga, status pesan. Whats-app akan menunjukkan lambang-lambang saat kita mengirim pesan. Misalnya, jam merah untuk proses loading, tanda centang satu jika chat atau pesan terkirim ke jaringan, tanda centang ganda jika pesan sudah terkirim ke teman kita. Namun jika pesan gagal di kiri maka muncul silang merah.

Keempat, kita bisa buat group chat di dalam Whatsapp untuk berbagi informasi ke sesama

group atau komunitas. Kelima, Whatsapp ini irit dalam bandwith. Aplikasi ini akan melakukan standby jika aplikasinya di tutup dan hanya akan hidup jika ada pesan masuk. Meskipun akan terkoneksi ke internet, Whatsapp hanya menyerap sedikit bandwith. Dalam proses standbynya, biasa-nya hanya akan menyedot 10kb/jam bahkan bisa 30kb/12jam di handphone tertentu.

Whatsapp ini mengguna-kan jaringan internet GPRS/EDGE/3G/WIFI. Jika di BBM anda akan dimintai pin di What-sapp anda hanya akan menggu-nakan nomor handpone sebagai pin, dan Whatsapp ini akan men-trasfer kontak secara otomatis di phonebook anda. Ibarat pepatah banyak pilihan menuju Roma, begitu pun dalam messenger. Banyak pilihan aplikasi yang bisa kita gunakan. Pilihan terakhir ada ditangan anda.

*Penulis adalah mahasiswa fakultas Sains dan Teknologi jurusan Teknik Informasi Semester 5

Kukuh Tri Asmoro*

Kata Ahli...

Kulit bersih dan bebas jera-wat pasti didambakan setiap perempuan mau-

pun laki-laki. Namun, seringkali sengatan matahari dan kosmetik yang digunakan menyebabkan timbulnya flek di wajah. Flek tersebut akan membuat wajah tampak kusam dan tidak menarik. Namun, ada beberapa cara agar flek dan noda hitam di wajah tak kembali.

Dok, umur saya 20 tahun, tetapi su-dah ada flek hitam di wajah saya. Apakah flek hitam memang muncul pada umur 20 tahun? Apa penyebabn-ya? Dan bagaimana solusinya?Terima kasih.

(Jayu Juliastuti, Mahasiswi FEB)

Dear Jayu,Salah satu yang berperan dalam pembentukan warna kulit manu-

sia adalah melanin. Pembentukan melanin yang berlebihan dapat bermanifestasi sebagai flek hitam. Penyebabnya bersifat multifakto-rial mulai dari faktor genetik, pa-paran sinar matahari, perubahan hormonal, pemakaian kosmetika, obat-obatan, dan lain-lain. Jadi, perlu ditelusuri dahulu apa yang menjadi penyebab flek pada kulit Jayu.Solusinya,Yang pertama adalah mengetahui penyebab utama terjadinya flek tersebut dan kemudian meng-hindari/mengatasi penyebabnya.Selanjutnya, melakukan pencega-han yaitu dengan menghindari pajanan matahari, mengguna-kan topi atau pakaian yang tertu-tup, dan menggunakan tabir surya pada pagi sampai sore hari bahkan dalam keadaan mendung sekali-pun

Sebagai pilihan terakhir dapat dipertimbangan suatu bahan atau produk yang dapat menghilang-kan flek tersebut, tentunya setelah dipastikan keamanannya. Semoga bermanfaat.

Dok, kulit saya cepat sekali kusam apabila terkena sinar matahari, pa-dahal kulit muka saya terbilang putih bersih. Bagaimana cara me-nyegarkan kembali kulit muka yang kusam?Terima kasih.

(Hanifah, Mahasiswi FISIP)

Dear Hanifah,Sinar matahari matahari yang sampai ke bumi mengandung si-nar ultraviolet. Pajanan kronis terutama dengan intensitas tinggi dapat merusak sel, jaringan, dan enzim-enzim tertentu pada kulit, sehingga menimbulkan berbagai keluhan seperti kulit kering, ter-

bakar, kusam, permukaan kulit kasar, dan lain-lain.Cara mengatasinya:1.Menjaga pola makan dan pola hidup yang teratur2.Banyak minum air putih (mini-mal 2 L/hari)3.Lakukan perawatan kulit wajah dengan langkah sebagai berikut:-Bersihkan wajah dengan pember-sih yang sesuai jenis kulit. Untuk pencerahan gunakan yang men-gandung essence vitamin C.-Gunakan moisturizer untuk men-jaga kelembaban kulit-Gunakan tabir surya 15-30 menit sebelum beraktifitas.-Pada malam hari gunakan krim malam untuk memberi nutrisi pada kulit.-Lakukan eksfoliasi/scrub/peel-ing satu kali seminggu untuk membantu proses regenerasi kulit.Selamat mencoba.

http://t2.gstatic.com

Page 15: TABLOID INSTITUT EDISI 15

Edisi XV/Oktober 2011 WISATA KAMPUS 15

Bendungan Situ GintungRahmat Kamaruddin

pemandangan Situ Gintung dan mem-beli berbagai makanan dan minuman di sekitar bendungan tersebut.

Bendungan Situ Gintung terletak di Tangerang Selatan, Ciputat, tepatnya di desa Cirendeu. Akses menuju ke sana cukup mudah. Dari depan kampus UIN Jakarta, pengunjung dapat menggunakan angkutan umum arah Lebak Bulus, cukup dengan Rp 2000, minta turun di lampu merah Situ Gintung. Bagi pengunjung bersepeda motor, di sana harus memba-yar biaya parkir sebesar Rp 2000.

Tempat ini seringkali digunakan nongkrong oleh pengunjung dari berbagai usia. Jika cuaca sedang cerah, setiap sore Bendungan Situ Gintung ramai, terlebih di hari Minggu pagi, hal itu disampaikan Indah (15), siswi kelas 1 SMK Thamrin Cirendeu, yang tengah duduk santai ber-sama teman-temannya sepulang sekolah. “Kalau mau yang ramai, malam Minggu ke sini aja,” imbuh Yanni (15), teman Indah.

Pengunjung Situ Gintung juga banyak yang datang untuk memancing ikan. Biasanya mereka membawa perlengka-pan pancing dari rumah. Bagi yang ingin menyewa perlengkapan pancing, di hari Minggu ada beberapa warga setempat yang menyewakan jasa alat pemancin-

gan.Di sepanjang Bendungan Situ Gin-

tung dapat dijumpai penjual makanan dan minuman seperti somay, bakso, mie ayam, cimol, roti bakar, tahu petis, kopi susu, es kelapa, es teh dan lain seba-gainya. Menurut Ibu Eva (43), penjual

minuman, pada hari Sabtu sore bendun-gan ini juga ramai didatangi oleh pen-gunjung, terutama kalangan muda mudi. “Hari minggu pagi paling ramai, di dekat tugu ada acara senam bersama, olahraga pagi, jogging, bersepeda, tapi kalau cuaca buruk ya sepi,” tuturnya.

Kenyataan lahirkan kesadaranMenghalau keraguan..Saat ini kita menuai cintaMaka biarkanlah waktu berjalanApa adanya...

Alunan lagu Tony Q. Rastafara meng-hangatkan suasana santai Jarot (20) dan beberapa kawannya di bibir Situ Gintung. Aziz (19) dengan rancak memetik gitar, terus bersenandung bersama indah mata-hari sore yang sedang terbenam. Sesekali menyeruput kopi hitam di sampingnya, lalu menghisap rokok di tangannya (13/10).

“Kopi, Bro!” tutur Hasan (19) kepada orang berlalu di sekitarnya sembari kem-bali bernyanyi. Matanya menatap jauh ke arah danau Situ Gintung. Sekelompok mahasiswa Universitas Pamulang yang sedang duduk santai tersebut mengatakan sering berkumpul bersama di Bendungan Situ Gintung. “Lagi cari angin, ya, sam-bil nongkrong bareng teman-teman”.

Situ Gintung, setelah direnovasi akibat tragedi jebolnya bendungan pada 27 Maret tiga tahun silam, kini kembali diminati oleh pengunjung dari berba-gai daerah Tangerang dan sekitarnya. Pengunjung dapat bersantai menikmati

Beberapa pengunjung tengah bercengkrama menikmati pemandangan Danau Situ Gintung (12/10)

FOTO

: RA

HM

AT/I

NST

ITU

T

Sambungan.... Mahasiswa Belum Siap Pertahankan SGUpaya Mempertahankan SG

Sementara itu, Wasis Handoko, Ang-gota Tim Perumus dari Fraksi Parma, berkeyakinan akan disetujuinya draf yang dikirim ke Departemen Agama (Depag). “Saya pernah bertanya kepada orang De-pag, keputusan kelembagaan mahasiswa itu semua ada di rektorat, tidak ada lagi kaitannya sama Departemen Agama yang penting bagaimana rektor itu mau menan-datangani kelembagaan yang baru ini,” tegasnya (13/10).

Ia menambahkan, seandainya draf tersebut tidak di setujui, maka semua lem-baga kemahasiswaan akan melakukan konsolidasi ke pihak rektorat. Ia melan-jutkan, ada kesan meremehkan dari pihak rektorat terhadap draf yang dikirim ma-hasiswa. Hal itu dibuktikan ketika pihak

rektorat meminta kembali draf yang telah diberikan sebelumnya.

Di lain pihak, Surya Vandiantara, Ang-gota Tim Perumus dari Fraksi Partai Bo-enga juga mengungkapkan keyakinannya terhadap disetujuinya draf tersebut. “Saya merasa yakin SG bisa dipertahankan, ka-rena membangun SG kan bukan sekadar dari obrolan-obrolan yang sederhana, melainkan sudah melalui proses yang pan-jang,” ungkapnya (14/10).

Namun, menurut Nofrizal Fahmi, Anggota Tim Perumus dari Fraksi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), yang ter-penting untuk mempertahankan SG ada-lah langkah dari lembaga kemahasiswaan. “Elit-elit yang duduk di KMU dan DPMU harus dige-rakin,” tegasnya (13/10).

FOTO

: RA

HM

AT/I

NST

ITU

T

Bendungan Situ Gintung

Page 16: TABLOID INSTITUT EDISI 15

Edisi XV/Oktobwe 2011 TUSTEL 16

Kirim foto Anda ke [email protected] untuk dipamer-kan di rubrik Tustel, foto dalam format JPEG beserta nar-

asinya. Tema tustel untuk tabloid selan-jutnya adalah ‘Pahla-

wan’.

Refleksi UIN dalam air Situ Kuru.

Foto Oleh:Makien KamaludienMahasiswa Jurusan AkuntansiSemester Akhir

UIN dalam rintik hujan.

Air