UNIVERSITAS INDONESIA PERBANDINGAN PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PT. KERETA API (PERSERO) MELALUI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN PENYELESAIAN SENGKETA TANAH MELALUI PENGADILAN NEGERI (Studi pada putusan Mahkamah Agung Nomor 292.K/TUN/2008 dan putusan PK Nomor 607PK/Pdt/2010) T E S I S Oleh METTY LINDRIJANI 1006828786 FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS INDONESIA JANUARI 2013
169
Embed
T E S I S - lontar.ui.ac.idlontar.ui.ac.id/file?file=digital/20334334-T32601-Metty+Lindrijani.pdf · Pengadilan Tata Usaha Negara ... 2.3.2.4.2 Tingkat Peninjauan Kembali ... tugas
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
UNIVERSITAS INDONESIA
PERBANDINGAN PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PT. KERETA API (PERSERO) MELALUI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
DENGAN PENYELESAIAN SENGKETA TANAH MELALUI PENGADILAN NEGERI
(Studi pada putusan Mahkamah Agung Nomor 292.K/TUN/2008 dan
putusan PK Nomor 607PK/Pdt/2010)
T E S I S
Oleh
METTY LINDRIJANI
1006828786
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS INDONESIA JANUARI 2013
i
UNIVERSITAS INDONESIA
PERBANDINGAN PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PT. KERETA API (PERSERO) MELALUI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
DENGAN PENYELESAIAN SENGKETA TANAH MELALUI PENGADILAN NEGERI
(Studi pada putusan Mahkamah Agung Nomor 292.K/TUN/2008 dan
putusan PK Nomor 607PK/Pdt/2010)
T E S I S
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Kenotariatan
Oleh
METTY LINDRIJANI
1006828786
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS INDONESIA JANUARI 2013
Universitas Indonesia ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Metty Lindrijani, S.H.
NPM : 1006828786
Tanda Tangan :
Tanggal : 18 Januari 2013
Universitas Indonesia iii
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh
Nama : Metty Lindrijani
NPM : 100 682 8786
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : Perbandingan Penyelesaian Sengketa Tanah PT Kereta Api
(Persero) Melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Dengan
Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Negeri
(Studi pada putusan Mahkamah Agung Nomor
292.K/TUN/2008 dan putusan PK Nomor 607PK/Pdt/2010)
Telah berhasil dipertahankan dihadapan dewan penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Dr. F.X. Arsin Lukman, SH ( )
Penguji : Enny Koeswarni, SH., M.Kn ( )
Penguji : Wenny Setiawati, SH., M. LI ( )
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 18 Januari 2013
iv
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar
Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi
saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada:
1) Bapak Dr. F.X. Arsin Lukman, SH., selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan tesis ini.
2) Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, SH., MH., selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
3) Seluruh Staf Pengajar pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia dan seluruh Staf Administrasi Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
4) Orang tua, Saudara dan keponakan-keponakan Penulis yang selalu
memberikan semangat, support dan doa dalam segala kegiatan Penulis.
5) Rekan-rekan sekantor Penulis di lingkungan Direktorat Pengaturan dan
Pengadaan Tanah Pemerintah, Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia.
6) Sahabat terdekat Penulis, Anna Purnamasari dan Enny Puryani yang selalu
memberikan semangat, support dan doa dalam segala kegiatan Penulis dan
para sahabat lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
v
7) Seluruh rekan-rekan Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Indonesia
Salemba angkatan 2010 yang selalu memberikan semangat dan dukungan
untuk belajar bersama dimasa perkuliahan maupun dalam proses penyelesaian
Tesis ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu.
Depok, 18 Januari 2013
Penulis
Universitas Indonesia vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini :
Nama : Metty Lindrijani
NPM : 1006828786
Program Studi : Program Magister Kenotariatan
Fakultas : Hukum
Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalty Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
“PERBANDINGAN PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PT. KERET A
API (PERSERO) MELALUI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
DENGAN PENYELESAIAN SENGKETA TANAH MELALUI
PENGADILAN NEGERI. (Studi pada putusan Mahkamah Agung Nomor
292.K/TUN/2008 dan putusan PK Nomor 607PK/Pdt/2010)”
Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak
menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data
(database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin
dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan
sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada Tanggal : 18 Januari 2013
( Metty Lindrijani, S.H.)
Universitas Indonesia vii
A B S T R A K
Nama : Metty Lindrijani Program Studi : Magister Kenotariatan Judul : Perbandingan Penyelesaian Sengketa Tanah PT Kereta Api
(Persero) Melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Dengan Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Negeri (Studi pada putusan Mahkamah Agung Nomor 292.K/TUN/2008 dan putusan PK Nomor 607PK/Pdt/2010)
Sengketa pertanahan merupakan perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih dimana salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lainnya dan masing-masing memperjuangkan kepentingannya dengan objek yang sama, yakni tanah beserta benda-benda lain yang berada diatas tanah tersebut. yang penyelesaiannya dilakukan melalui musyawarah atau melalui pengadilan. Konflik pertanahan terjadi hampir diseluruh Indonesia karena tuntutan hak atas status tanah maupun kepemilikan ganda, dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sengketa pertanahan satu sisi sebagai Keputusan Tata Usaha Negara dan sisi lainnya sebagai tanda bukti hak keperdataan (kepemilikan) seseorang atas tanah, sehingga apabila terjadi sengketa penyelesaiannya dapat ditempuh melalui dua jalur peradilan, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Negeri. Akan tetapi tujuan akhir dari tuntutan itu adalah siapa yang lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas tanah sengketa tersebut. Pada Putusan Kasasi dan Putusan peninjauan Kembali Pertimbangan hukum hakim dalam putusan tersebut sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan memberikan Hak Pengelolan kepada PT Kereta Api (Persero) atas tanah yang menjadi sengketa.
Kata Kunci : Sengketa, Pertanahan, Pengadilan
Universitas Indonesia viii
A B S T R A C T
Name : Metty Lindrijani Study Program : Master Degree of Notary Title : Comparison study of PT Kereta Api (Persero) land dispute
settlement through State Administrative Court and through State Court (A study on Supreme Court Decision number 292.K/TUN/2008 and Judicial Review number 607PK/Pdt/2010)
Land dispute is a conflict between two parties or more where one party feels aggrieved by the other party and each party fight for their interests in the same object such as a piece of land and other objects on the land and the settlement is done through consultation or through court. Land disputes occur in most part of Indonesia in the form of land ownership status as well as dual ownership, with expectation of getting settlement according to existing law. Land dispute in one side is State Administrative Court decision and on the other side as individual ownership right of a land, so when conflict occur, claim could be settled either through State Administrative Court or State Court. But the end result of the claim is who has more ownership right (priority) of the land. On the Supreme Court decision and Judicial Review (PK), the decision has already been inconformity with current regulations by giving the ownership right of land being dispute to PT Kereta Api (Persero). Keywords: Dispute, Land, Court
Universitas Indonesia ix
DAFTAR ISI
Halaman Judul …. ........................................................................................... i
Halaman Pernyataan Orisinalitas ................................................................. ii
Halaman Pengesahan ....................................................................................... iii
Kata Pengantar ............................................................................................... iv
Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi ................................................ vi
Abstrak ............................................................................................................. vii
Abstract ............................................................................................................. viii
Daftar Isi ........................................................................................................... ix
Daftar Lampiran ............................................................................................. xii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
DAFTAR REFERENSI ................................................................................ ... 87
LAMPIRAN
Universitas Indonesia xii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 10 Desember 2007 Nomor
59/G/2007/PTUN-JKT,
2. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 22 Mei 2008
Nomor 43/B/2008/PT.TUN-JKT,
3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 10 Desember 2008 Nomor
292.K/TUN/2008,
4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 2 September 2008 Nomor
09/Pdt.G/2008/PN-Jkt.Ut,
5. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 2 Desember 2009 Nomor
1880.k/PDT/2009
6. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 2 Desember 2009 Nomor
1880.k/PDT/2009
7. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Perkara Kasasi Perdata tanggal 29
April 2011 Nomor 607 PK/Pdt/2010.
1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya,
termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi air dan ruang
angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat
penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana yang
dicita-citakan.
Untuk mencapai cita-cita Negara tersebut diatas maka dibidang agraria
perlu adanya suatu rencana mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan
bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara.
Rencana umum yang meliputi seluruh wilayah Indonesia yang kemudian diperinci
menjadi rencana-rencana khusus dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya rencana
tersebut itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur
sehingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa tanah sebagai sumber utama bagi
kehidupan manusia, yang telah dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai
tumpuan masa depan kesejahteraan bagi manusia itu sendiri dan tanah merupakan
salah satu unsur yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional,
karena setiap kegiatan pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah,
perusahaan swasta nasional, maupun masyarakat tidak dapat lepas dari kebutuhan
akan tanah sebagai sarana dan prasarana dalam kegiatannya1.
1 Sri Sayekti, Hukum Agraria Nasional, (Bandar Lampung : Universitas Lampung, 2000),
hlm.1.
2
Universitas Indonesia
Tanah sebagai salah satu bagian dari unsur negara menjadi bagian yang
sangat penting bagi kesejahteraan bangsa. Dalam kaitan itu, Negara mempunyai
tugas dan wewenang untuk menggariskan nilai-nilai dalam upaya menata struktur
pertanahan yang berkeadilan dan berwawasan kesejahteraan, sebagai berikut2 :
semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial;
a. Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan;
b. Tanah harus dikerjakan sendiri secara aktif oleh pemiliknya dan mencegah
cara-cara pemerasan;
c. Usaha dalam bidang agraria tidak boleh bersifat monopoli;
d. Menjamin kepentingan golongan ekonomi lemah, dan
e. Untuk kepentingan bersama.
Pertambahan jumlah penduduk dari tahun ke tahun semakin meningkat,
namun peningkatan jumlah penduduk ini bertolak belakang dengan kondisi
tanahnya itu sendiri, karena luas tanah tersebut mustahil akan mengalami
peningkatan atau perluasan, sehingga dengan adanya kontradiksi yang demikian
ini sering memicu timbulnya benturan dan gesekan kepentingan yang berkaitan
dengan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Hal tersebut akan mengakibatkan
timbulnya suatu sengketa di bidang pertanahan.
Sebagai bukti yaitu terjadinya kasus sengketa pertanahan di Indonesia
relatif cukup tinggi jika dibandingkan dengan kasus-kasus lainnya, baik di tingkat
pertama Pengadilan Negeri (PN) maupun di tingkat kasasi Mahkamah Agung
(MA). Salah satu ciri khas negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman
(judicial power) yang merdeka. Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). Karena itu,
mengkaji kekuasaan kehakiman di Indonesia, pertama-tama harus didekati dari
landasan kostitusional. Pendekatan konstitusional tersebut bertumpu pada
ketentuan Pasal 24 dan 25 Undang-undang Dasar 1945.
Pasal 24 ayat (1) : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-
undang.
2 W. Muliawan, Pemberian Hak Milik untuk Rumah Tinggal, (Jakarta : Cerdas Pustaka Publisher, 2009), hlm. 84.
3
Universitas Indonesia
Pasal 24 ayat (2) : Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur
dengan Undang-undang.
Pasal 25 : Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan
sebagai hakim ditetapkan dengan Undang-undang.
Dari muatan kedua pasal Undang-undang Dasar 1945 tersebut dapat
disimak 2 (dua) hal penting. Pertama, mengenai pelaksanaan kekuasaan
kehakiman. Undang-undang Dasar 1945 tidak menentukan berapa jumlah badan
kehakiman (peradilan) di Indonesia, kecuali mengenai Mahkamah Agung. Kedua,
mengenai susunan dan kekuasaan badan-badan peradilan, syarat menjadi dan
diberhentikan sebagai hakim semuanya diatur dan ditetapkan dengan Undang-
undang. Pengaturan melalui perangkat hukum demikian menunjukkan peranan
Undang-undang sebagai instrumen negara hukum3. Seringnya timbul kasus
persengketaan tanah ini, berkaitan dengan benturan dan gesekan berbagai pihak
yang berkepentingan dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah, karena
kebutuhan terhadap tanah sebagai bagian dari sumber daya pertanahan ini
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan yang
objeknya justru memanfaatkan lahan tanah. Namun demikian, ada
ketidakseimbangan antara persediaan tanah yang terbatas dengan kebutuhan akan
tanah yang sangat besar sebagai akibat dari semakin bertambahnya jumlah
penduduk dari tahun ke tahun.
Oleh karena itu, perlu adanya suatu pengaturan yang jelas, tegas, dan
mempunyai kepastian hukum mengenai pemenuhan kebutuhan akan tanah untuk
kepentingan pembangunan ini. Karena dalam UUD 1945 telah secara tegas
menyatakan, bahwa keberadaan tanah ini dipergunakan untuk kemakmuran
rakyat. Sebagai inplementasi dari UUD 1945 tersebut, pada tanggal 24 September
1960 telah dibentuk UU No. 5 Tahun 1969 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. Saat ini Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sudah berusia 52 tahun
dan telah banyak peraturan perundangan yang dibuat sebagai peraturan
pelaksanaannya.
3 Philipus M. Hadjon, Ide Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia, Makalah diolah kembali dari makalah: “Perlindungan Hukum dalam Negara Hukum Pancasila” disampaikan pada Simposium tentang Politik Hak Asasi dan Pembangunan dalam rangka Dies Natalis XL/Lustrum VIII Universitas Airlangga, Surabaya 3 November 1994, hlm. 5.
4
Universitas Indonesia
Namun sampai saat ini pula, bahwa UUPA masih dirasakan belum dapat
memenuhi rasa keadilan masyarakat para pencari keadilan di bidang pertanahan,
bahkan UUPA yang baru sebagai peraturan yang dicita-citakan oleh banyak pihak
untuk memperbaharui dalam pengelolaan sumber daya pertanahan ini, belum juga
nampak tanda-tandanya untuk segera diselesaikan oleh para pembuat undang-
undang. Maka dengan demikian, tidaklah heran apabila kita secara terus menerus
disuguhi berbagai permasalahan dan persengketaan di bidang pertanahan ini.
Dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 itu bersifat Imperatif ,
karena mengandung perintah kepada Negara agar bumi (tanah), air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, yang berada di bawah penguasaan negara
dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh
rakyat Indonesia. Namun dalam hal ini jangan disalah artikan, bahwa perkataan
“Dikuasai Negara atau Berada Di Bawah Penguasaan Negara“ ini bukan berati
“Dimiliki oleh Negara“, akan tetapi merupakan pengertian yang memberikan
kewenangan kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia,
yaitu4 :
1. Untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, penyediaan,
dan pemeliharaan bumi (tanah), air, dan ruang angkasa;
2. Untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara rakyat /
masyarakat dengan bumi (tanah), air, dan ruang angkasa;
3. Untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
rakyat/masyarakat dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi (tanah),
air, dan ruang angkasa.
Dan hal ini diwujudkan dalam ketentuan UUPA, bahwa hak atas tanah itu
terdiri dari Hak Publik, yaitu yang merupakan kewenangan Negara berupa hak
untuk “Menguasai“ dari Negara, dan Hak Perorangan, yaitu berupa hak-hak yang
dapat dimiliki oleh setiap orang, seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak
Guna Usaha, dan hak-hak lainnya, serta dapat pula untuk melakukan hubungan
hukum dan perbuatan hukum, seperti melakukan jual-beli, melakukan sewa-
menyewa, melakukan penghibahan.
4 Goenawan Wanaradja, “Sorot” Pikiran Merdeka, (12 Mei 2012):6.
5
Universitas Indonesia
Pada umumnya sengketa tanah terjadi sebagai akibat tumpang tindihnya
penggunaan tanah yang terkait dengan kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan
tanah, yaitu pemanfaatan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruangnya. Seperti
pemberian izin oleh Pemerintah Daerah setempat untuk berdirinya sebuah pabrik,
mall, atau perumahan di atas kebun atau sawah yang produktif, berdirinya pabrik
di komplek perumahan, berdirinya mall di areal tempat peribadatan, berdirinya
perumahan di tengah-tengah kawasan industri.
Masalah kualitas sumber daya manusia dari aparat pelaksana peraturan
pertanahan, yaitu BPN dalam melaksanakan tugasnya melakukan penyimpangan
terhadap peraturan perundangan yang berlaku dalam hal proses penerbitan
sertipikat tanah, dan tercium berbau KKN sehingga tidak heran apabila kita
menemukan ada sertipikat tanah yang ganda atau sertipikat yang bukan atas nama
pemiliknya yang sah menurut hukum, karena aparat pelaksana ini lebih
memperhatikan kepentingan para pemilik modal daripada kepentingan pemilik
tanah yang sah.
Seiring dengan perjalanan waktu, kasus sengketa tanah ini pun terkadang
timbul sebagai akibat dari perubahan pola pikir masyarakat itu sendiri, karena
masyarakat telah beranggapan bahwa tanah tersebut adalah sebagai asset
pembangunan, maka pola pikir masyarakat kita telah berubah dalam hal
penguasaan tanah ini, yaitu masyarakat tidak lagi menempatkan tanah sebagai
sumber produksi, seperti dijadikan ladang atau sawah, akan tetapi menjadikan
tanah sebagai sarana untuk investasi atau komoditas ekonomi sehingga dengan
adanya fenomena yang demikian, saat ini banyak masyarakat kita cenderung
untuk berbondong-bondong menginvestasikan dananya di bidang pertanahan.
Dalam hal kasus sengketa tanah ini, objek-objek sengketa bidang
pertanahan ini dapat diidentifikasikan berkaitan dengan5:
1. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah;
2. Pengadaan tanah, baik untuk kepentingan umum atau kepentingan perusahaan
swasta;
3. Penguasaan atau pemilikan tanah yang melampaui batas maksimal, baik untuk
kepentingan pertanian atau non-pertanian;
5 Muchsin, “Pembaruan Agraria”, (makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Pertanahan 2002, Jogjakarta, 16 Juli 2002), hlm. 5.
6
Universitas Indonesia
4. Tumpang tindih penggunaan tanah untuk kepentingan pertanian, industri,
perumahan, dan sebagainya;
5. Tidak adanya jaminan kepeastian hukum dan perlindungan hukum terhadap
hak-hak rakyat atas tanah;
6. Pengusahaan hutan dan pertambangan yang melanggar hak-hak rakyat
terhadap tanah.
Dalam menyelesaikan sengketa di bidang pertanahan, ada dua macam cara
yang dapat ditempuh oleh para pihak yang bersengketa, yaitu pertama, melalui
jalur “Litigasi“ atau peradilan dan kedua, melalui jalur “Non-Litigasi“ atau
musyawarah. Menurut hemat penulis, jalur Non Litigasi ini adalah merupakan
cara penyelesaian perkara di luar pengadilan yang tidak memerlukan waktu yang
lama sehingga dapat menghemat tenaga, pikiran, dan biaya.
Sedangkan jika melalui jalur Litigasi adalah jalur peradilan yang harus
ditempuh berdasarkan prosedur beracara di pengadilan sehingga memerlukan
proses yang sangat panjang, disamping itu banyak mengeluarkan biaya, tenaga,
dan pikiran, serta penyelesaiannya pun berlangsung dalam waktu yang relatif
lama. Oleh karena itu jika terjadi sengketa pertanahan, sebaiknya diselesaikan
secara komprehensif dengan lebih mengedepankan prinsip “ Win Win Solution “
melalui jalur Non-Litigasi. Sedangkan jalur Litigasi adalah merupakan upaya
terakhir apabila sengketa tanah itu tidak dapat diselesaikan dengan cara jalur Non-
Litigasi. Dalam penyelesaian kasus sengketa tanah ini harus dilihat kasus per
kasus, baik mengenai alas hak dari cara perolehannya tanah tersebut maupun
aturan-aturan hukum yang terkait dengan prosedurnya
Apabila sengketa tanah diselesaikan melalui jalur Litigasi, maka lembaga
peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa tanah sesuai dengan
kompetensinya, yaitu melalui Peradilan Umum (Pengadilan Negeri) apabila
sengketa tanah tersebut menyangkut hak kepemilikan atas tanah, melalui
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), apabila menyangkut sengketa terhadap
putusan TUN Pejabat BPN, misalnya prosedur penerbitan sertipikat tanah, dan
melalui Peradilan Agama (Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah ), apabila
sengketa tanah itu menyangkut tanah Wakaf.
7
Universitas Indonesia
Sebagai contoh kasus yang dijadikan objek penelitian ini adalah sengketa
tanah yang telah diselesaikan dan diputus di Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta dengan nomor register perkara Nomor 292.K/TUN/2008 dan Pengadilan
Negeri Jakarta Utara dengan nomor register perkara Nomor 607PK/Pdt/2010
adalah sengketa antara PT. Kereta Api (Persero) dengan PT. Lingga Karisma.
Permasalahannya bermula dari PT. Kereta Api adalah pemilik bidang tanah yang
terpeta dalam grondkaart No. 1B yang kemudian diperbaharui dengan Peta Bumi
A Nomor 33 yang letaknya dikelilingi HP Nomor 295/Pademangan Barat, luas
58.375 Ha, Gambar Situasi (GS) Nomor 2376/1988 terdaftar atas nama
Departemen Perhubungan Republik Indonesia Cq. PT. Kereta Api (Persero) Daop
I Jakarta; terletak di Jl. R.E. Martadinata, kel. Pademangan Barat, Kec.
Pademangan, Kodya Jakarta Utara yang sampai sekarang masih terdaftar dalam
aktiva Asset PT. Kereta Api (Persero) serta belum ada pelepasan oleh Menteri
Keuangan Negara. PT. Kereta Api (Persero) pernah mengajukan surat pada
PT. Lingga Karisma dengan Nomor D.I/JAB/6355/1993 tanggal 25 Mei 1993
memohon agar berkas sertipikat HP Nomor 436, 437 dan 438/Pademangan Barat
a.n PT. Lingga Karisma di blokir karena lokasinya berada dalam sertipikat HP
Nomor 295/Pademangan Barat A.n PT. Kereta Api (Persero) dan merupakan
tanah PT. Kereta Api (Persero) yang terpeta dalam Grondkaart Peta Bumi Nomor
33. Namun kemudian PT. Lingga Karisma mengajukan gugatan cabut blokir
kepada Kepala BPN atas surat keputusan kepala BPN Nomor 500-1946 DIII
tanggal 24 Juni 1994 sebagaimana terdaftar dalam register perkara Nomor
35/G.TUN/2004/PTUN DKI JKT jo. Nomor 342 K/TUN/2005 dimana PT. Kereta
Api (Persero) merasa berkepentingan terhadap tanah yang dimaksud.
Berdasarkan uraian diatas, terungkap bahwa kasus yang dijadikan objek
penelitian telah diputus sampai pada upaya hukum terakhir atau luar biasa yaitu
Peninjauan Kembali. Penulis memberi judul tesis ini PERBANDINGAN
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PT. KERETA API (PERSERO)
MELALUI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH MELALUI PENGADILAN NEGERI
(Studi pada putusan Mahkamah Agung Nomor 292.K/TUN/2008 dan putusan PK
Nomor 607PK/Pdt/2010).
8
Universitas Indonesia
1.2 Perumusan Permasalahan
Adapun yang menjadi pokok–pokok permasalahan dalam penelitian ini
adalah :
a. Bagaimanakah status penguasaan tanah oleh PT Kereta Api (Persero)?
b. Bagaimanakah perbandingan penyelesaian sengketa tanah PT. Kereta Api
(Persero) melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai oleh penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui, meneliti dan mengkaji bagaimana status penguasaan tanah
milik PT Kereta Api (Persero);
b. Untuk mengetahui, meneliti dan mengkaji masalah sengketa yang menyangkut
kepemilikan tanah Instansi Pemerintah apakah masuk dalam kompetensi
Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara.
1.4 Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mengungkapkan
kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Sistematis artinya
menggunakan sistem tertentu, metodologis artinya menggunakan metode atau cara
tertentu dan konsistensi berarti tidak ada hal yang bertentangan dalam kerangka
tertentu6. Penelitian sangat diperlukan untuk memperoleh data yang akurat
sehingga dapat menjawab permasalahan sesuai dengan fakta atau data yang ada
dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
1.4.1 Jenis dan Tipe Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari
berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan
komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi
6 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 2.
9
Universitas Indonesia
pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu Undang-undang serta bahasa
hukum yang digunakan tetapi tidak mengkaji aspek terapan ataupun
implementasinya7.
Tipe penelitian adalah tipe penelitian deskriptif, yaitu dengan memaparkan
secara jelas dan sistematis isi putusan Mahkamah Agung Nomor
292.K/TUN/2008 dan putusan PK Nomor 607PK/Pdt/2010 dalam bentuk laporan
penelitian berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
1.4.2 Tipologi Penelitian
Tipologi penelitian yang digunakan adalah eksplanatoris8, yaitu penelitian
yang bertujuan untuk menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam suatu gejala,
dengan kata lain mempertegas hipotesa yang ada9.
1.4.3 Sumber dan Jenis Data
Data yang diperlukan dalam penelitian hukum ini adalah data sekunder,
yaitu data yang secara tidak langsung memberi kajian terhadap permasalahan
penelitian dari bahan bahan hukum berupa dokumen, arsip, peraturan
perundangan dan berbagai literatur lainnya.
Data sekunder ini diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier yang meliputi:10
a. Bahan hukum primer, yang dalam hal ini adalah Peraturan Perundang-
Undangan, konvensi-konvensi internasional, putusan pengadilan dan
peraturan-peraturan lainnya yang berlaku mengikat yang terkait dengan
penulisan tesis ini.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-
komentar atas putusan pengadilan11. Bahan hukum sekunder yang akan
digunakan dalam penulisan ini adalah : buku-buku atau literatur-literatur
7 Ibid. Hlm. 101-102. 8 Sri Mamudji, et al., Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakart : Badan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4. 9 Ibid. Hlm. 4 10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : 1986, hlm 51-52. 11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2008), hlm. 141.
10
Universitas Indonesia
mengenai pertanahan, majalah-majalah hukum dan bahan-bahan dari internet
yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
c. Bahan hukum tersier, yang meliputi media massa, seperti majalah, surat kabar
dan lain-lain yang memuat penulisan yang dapat dipergunakan sebagai
informasi bagi penelitian ini.
1.4.4 Alat Pengumpulan Data
Untuk melakukan pengumpulan data yang diperlukan dalam menyusun
penelitian ini maka pengumpulan data yang dipergunakan, yaitu Penelitian
Kepustakaan (Library Research)12, yaitu suatu cara memperoleh data melalui
penelitian kepustakaan yang dalam penulisan laporan penelitian ini penulis
mencari data dan keterangan-keterangan dengan membaca putusan pengadilan,
buku-buku, bahan kuliah, karya ilmiah dan berbagai peraturan Perundang-
Undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
1.4.5 Analisis Data
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia
yang didapat dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Semua data
yang diperoleh akan dianalisa sedemikian rupa sehingga data tersebut mempunyai
makna dan bermanfaat untuk menjawab permasalahan dan pertanyaan penelitian.
Berikutnya setelah data selesai dianalisis, akan ditarik kesimpulan menggunakan
metode berfikir induktif, yaitu pola fikir yang mendasarkan pada hal-hal yang
bersifat khusus, kemudian dari hal-hal yang bersifat khusus tersebut ditarik suatu
kesimpulan yang bersifat umum13.
1.5 Sistematika Penulisan
Dalam menyusun penelitian ini, maka sistematika penulisan untuk
membahas materi dalam penelitian ini terbagi dalam 3 (tiga) bab, yaitu sebagai
berikut:
12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986, hlm. 66-67. 13 Paulus Hadisuprapto, Kuliah Metode Penelitian Hukum, UNDIP, 2008.
11
Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini merupakan bab pendahuluan yang berisikan antara lain latar
belakang masalah, pokok permasalahan, metode penelitian dan sistematika
penulisan tesis ini.
BAB II Perbandingan Penyelesaian Sengketa Tanah PT Kereta Api (Persero) Melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Dengan Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Negeri.
Membahas mengenai hasil penelitian data primer dan sekunder tentang
prosedur penyelesaian sengketa tanah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan
Pengadilan Negeri serta kekuatan hukum dari kedua putusan tersebut dan
perbandingan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Tata Usaha Negara dan
Pengadilan Negeri.
BAB III PENUTUP
Dalam bab penutup ini merupakan bagian terakhir dari seluruh
pembahasan penelitian dan akan disajikan kesimpulan dan saran-saran yang
diperoleh dari hasil penelitian yang dituangkan dalam penulisan ini.
12
BAB II
PERBANDINGAN PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PT
KERETA API (PERSERO) MELALUI PENGADILAN TATA
USAHA NEGARA DENGAN PENYELESAIAN
SENGKETATANAH MELALUI PENGADILAN NEGERI
2.1. Tinjauan Umum Hak Atas Tanah
Hak atas tanah adalah hak perorangan atas suatu bidang tanah yang
memberi wewenang untuk menggunakan tanah, baik untuk ditanami maupun
untuk dibangun.1 Aspek publik dalam penguasaan Hak Atas Tanah menurut
Hukum Tanah Nasional adalah ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar
1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa hubungan hukum
antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terdapat di wilayah
Indonesia diberi pranata Hak Menguasai Negara. Isi kewenangan Hak Menguasai
Negara tersebut secara resmi dijabarkan oleh pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Pokok Agraria, yang menyatakan Hak Menguasai Negara memberi wewenang
kepada negara untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; dan
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.2
2.1.1. Macam-Macam Hak Atas Tanah
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok
Agraria membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk :
1. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer
1Irene eka Sihombing, Segi-Segi Hukum Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, (Jakarta : Trisakti, 2005), hal. 19 2Oloan Sitorus, Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah, Mitra Kebijakan Tanah
Indonesia, (Yogyakarta, 2004), Hal. 14.
13
Universitas Indonesia
2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder
Pengertian hak-hak atas tanah yang bersifat primer adalah hak-hak atas
tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan
hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindah tangankan kepada orang
lain atau ahli warisnya.3 Hal ini senada dengan Ali Ahmad Chomzah yang
berpendapat bahwa hak atas tanah dapat dibedakan menjadi 2 kelompok,
diantaranya Hak atas tanah yang bersifat primer dan sekunder. Hak-hak atas tanah
yang bersifat primer (orginair) yaitu hak atas tanah yang langsung diberikan oleh
Negara kepada subyek hak yang terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai.4
1. Hak-hak Atas Tanah yang bersifat primer
yaitu hak atas tanah yang langsung bersumber pada Hak Bangsa :
a. Hak Milik
Hak Milik berdasarkan pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria
adalah hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah yang mempunyai fungsi sosial. Hak milik menurut pasal 6 Undang-
Undang Pokok Agraria adalah hak milik yang mempunyai fungsi sosial seperti
juga semua hak atas tanah lainnya, sehingga hal ini mengandung arti bahwa hak
milik atas tanah tersebut disamping hanya memberikan manfaat bagi pemiliknya,
harus diusahakan pula agar sedapat mungkin dapat bermanfaat bagi orang lain
atau kepentingan umum bila keadaan memang memerlukan. Penggunaan hak
milik tersebut tidak boleh menggangu ketertiban dan kepentingan umum.5
Sedangkan menurut Irene Eka Sihombing Hak milik adalah hak untuk memakai
tanah yang sifatnya sangat khusus, yang bukan sekedar berisikan kewenangan
untuk memakai suatu bidang tanah tertentu, yang dihaki, tetapi juga mengandung
hubungan psikologis-emosional antara pemegang hak dengan tanah yang
bersangkutan.6
3 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm. 64. 4 Ali Ahmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Seri
Hukum Pertanahan I, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002), hlm. 2. 5 Purnadi Halim Purbacaraka, Sendi-Sendi Hukum Agraria, (Jakarta : Ghalia Indonesia,
Subyek hukum tanah hak milik adalah berdasarkan pasal 21 undang-
undang pokok agraria yakni Warga Negara Indonesia tunggal dan Badan Hukum
yang ditunjuk oleh pemerintah melalui peraturan pemerintah.7 Pemegang hak
milik yang bersumber dari hak milik adat pada dasarnya berkewajiban untuk:
1. Menggunakan tanahnya secara semestinya menurut tujuannya.
2. Menjaga agar penggunaan tanah tersebut tidak mengganggu atau merugikan
kepentingan orang lain atau kepentingan umum, dan
3. Memelihara tanah tersebut dengan baik sehingga tanahnya dapat berfungsi
sosial, sebagaimana hal ini sudah menjadi jiwa asli yang melandasi Hukum
Adat Indonesia.8
b. Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara selama jangka waktu tertentu, guna perusahaan pertanian,
perikanan dan peternakan.9 Sedangkan menurut Prof. Subekti, SH dan R.
Tjitrosudibio, SH hak guna usaha adalah suatu hak kebendaan untuk menarik
penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik
orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap
tahun.10 Sedangkan yang menjadi Subyek hukum dari Hak Guna Bangunan adalah
Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum ndonesia.
c. Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu tertentu
yaitu 20 tahun atau 30 tahun.11 Menurut Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Pokok
Agraria Subyek Hukum dari Hak Guna Bangunan ini adalah Warga Negara
Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
d. Hak Pakai
7Indonesia, Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang undang No 5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043 Tahun 1960 Pasal 21.
8Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-sendi Hukum Agraria (Jakarta : Ghalia Indonesia,1984), Cet.1, hal.32
9 Indonesia, Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Ibid, Pasal 28 10 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta :
Pradnya Paramita, 1985), hal. 189 11 Indonesia, Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Ibid., Pasal
28
15
Universitas Indonesia
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari
tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam Surat Keputusan
Pemberian Hak atau perjanjian dengan pemiliknya yang bukan sewa menyewa
atau perjanjian pengolahan.12 Subyek Hukum dari Hak Pakai adalah Warga
Negara Indonesia, Warga Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia, Badan
Hukum Indonesia, dan Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia.
e. Hak Pengelolaan
Hak Pengelolaan dapat dirumuskan sebagai suatu hak atas permukaan
bumi yang disebut dengan tanah yang merupakan pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada suatu lembaga pemerintah, atau pemerintah daerah,
badan hukum pemerintah, atau pemerintah daerah untuk:
1. merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;
2. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya
3. menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga menurut
persyaratan yang ditentukan oleh pemegang hak pengelolaan tersebut, yang
meliputi segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya,
dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang
bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang menurut
Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 6 Tahun 1972 Tentang Pelimpahan
Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah, sesuai dengan peraturan yang
berlaku.13
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang
Tata Cara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian
Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya menyebutkan subjek hak
pengelolaan itu pada Pasal 2, 5 dan Pasal 7 yaitu pemerintah daerah, lembaga,
instansi dan atau badan, badan hukum (milik) pemerintah atau pemerintah daerah
untuk pembangunan, dan pengembangan wilayah pemukiman, wilayah industri
12 Indonesia, Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Ibid., Pasal
41 13 Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem Undang-Undang Pokok Agraria, (Jakarta :
Rineka Cipta , 1995), hal. 57
16
Universitas Indonesia
dan pariwisata. Dalam pada itu oleh Pasal 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 1 Tahun 1977 disebutkan pula subjek hak pengelolaan itu adalah lembaga,
instansi pemerintah atau badan/badan hukum Indonesia yang seluruh modalnya
dimiliki oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang bergerak dalam kegiatan-
kegiatan usaha sejenis dengan perusahaan industri dan pelabuhan.14
1. Hak-hak Atas Tanah yang bersifat Sekunder
Hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak atas tanah yang
bersumber pada hak atas tanah primer dan diberikan oleh subyek hak atas tanah
primer tersebut atau hak untuk menggunakan tanah milik pihak lain, atau dengan
kata lain penggunaan suatu jenis hak-hak atas tanah yang bersumber dari Hak
Milik, yang terdiri dari: Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Gadai,
Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang.15 Hak Atas Tanah sekunder terdiri dari:
a. Hak Gadai
Hak Gadai adalah hubungan hukum antara seseorang (pemegang gadai)
dengan tanah milik orang lain (pemberi gadai) yang telah menerima uang gadai
daripadanya, yang memberi wewenang untuk menggunakan tanah tersebut selama
belum dilakukan penebusan. Hak Gadai diatur dalam Undang-Undang Pokok
Agraria Pasal 53, namun terhadap pasal tersebut dibatasi dengan Undang-Undang
Nomor 56/Prp/1960 sepanjang mengenai hak gadai tanah pertanian, yang
diperjelas dengan PMPA Nomor 20/1963, dan pengaturan lebih lanjut Hak Gadai
diatur dalam hukum adat (Pasal 58 jo Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria).
b. Hak Sewa
Hak Sewa adalah hak untuk mempergunakan tanah milik orang lain untuk
keperluan bangunan atau usaha pertanian dengan membayar sejumlah uang
sebagai sewa. Menurut Pasal 44 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria,
pembayaran uang sewa dapat dilakukan satu kali atau pada tiap-tiap waktu
tertentu, sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan. Jadi hak sewa itu adalah
hak pakai, tapi ada kekhususannya, yaitu ada uang sewa dan tidak bisa diberikan
oleh Negara. Dan pengaturan hak sewa diatur dalam Pasal 44-45 (tanah
bangunan) dan Pasal 53 (tanah pertanian). Selebihnya masih berlaku hukum adat
berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria.
14 Ibid., hal 66. 15 Ali Ahmad Chomzah, Ibid. hal. 2
17
Universitas Indonesia
c. Hak Usaha Bagi Hasil
Hak Usaha Bagi Hasil adalah hak seseorang/badan hukum (penggarap)
untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pihak lain (pemilik),
dengan pembagian hasilnya disepakati antara kedua belah pihak. Tanah pihak lain
tersebut biasanya adalah tanah Hak Milik, Hak Pakai, Hak Sewa, atau pun Hak
Gadai. Sama seperti Hak Sewa, Hak Usaha Bagi Hasil sebenarnya adalah Hak
Pakai. Bedanya adalah pada Hak Sewa imbalan yang diterima pemilik tanah
sudah pasti nilainya, sedang pada hak usaha bagi hasil masih tergantung pada
hasil tanah yang akan diperoleh. Pengaturan hak usaha bagi hasil diatur dalam
Pasal 53 Undang-Undang Pokok Agraria.
d. Hak Menumpang
Hak Menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang
untuk mendirikan dan menempati rumah di atas tanah pekarangan orang lain. Hak
menumpang ini diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Pokok Agraria dan
selebihnya diatur dalam Hukum Adat berdasarkan Pasal 58 jo pasal 5 Undang-
Undang Pokok Agraria. Dari keempat hak tersebut menurut Pasal 53 Undang-
Undang Pokok Agraria bersifat sementara dan akan dihapuskan, karena dianggap
tidak sesuai dengan azas-azas hukum Agraria yang baru, yaitu bertentangan
dengan Pasal 10 dan mengandung unsur pemerasan (bagi Hak Gadai, Hak Sewa,
dan Hak Usaha Bagi Hasil). Sedangkan Hak Menumpang mengandung unsur
feodal, dimana rakyat hanya mengggarap tanah yang semuanya dimiliki raja.
Untuk membatasi sifat-sifat tersebut antara lain diadakan Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil dan Undang-Undang Nomor 56/
Prp/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
2.1.2. Hapusnya Hak Atas Tanah
Ketentuan tentang hapusnya hak milik ini dapat ditemukan dalam
rumusan Pasal 27 Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi sebagai berikut
hak milik hapus bila tanahnya jatuh kepada negara atau tanahnya musnah.
Adapun maksud dari perumusan pasal tersebut sebagai berikut :
a. Tanahnya jatuh kepada negara
1) Pencabutan hak berdasarkan Pasal 18;
18
Universitas Indonesia
Pasal 18 Undang-Undangn Pokok Agraria menjelaskan bahwa untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti
kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur undang-undang. Hal ini sebagai
pengakuan hak atas tanah sebagai hak pribadi dari warga Negara, karena
sebelumnya Negara jugalah yang telah menetapkan hak itu kepada warga
pemegang hak atas tanah itu, baik melalui pemberian hak maupun pengakuan
hak.16
Agar pencabutan tersebut mengikat pada pihak ketiga, ketentuan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 20/1961 Tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan
Beserta Benda-benda Yang Ada Diatasnya menentukan bahwa :
a). Surat Keputusan tentang pencabutan hak tersebut, diumumkan di dalam
Berita Negara Republik Indonesia dan turununannya disampaikan kepada
yang berhak atas tanah dan/atau benda-benda yang haknya dicabut itu. Isinya
diumumkan melalui surat-surat kabar.
b). Biaya pengumuman tersebut ditanggung oleh yang berkepentingan.
Jika terjadi perselisihan mengenai penetapan yang berhubungan
dengan pencabutan hak atas tanah tersebut, ketentuan Pasal 8 hingga Pasal 10
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 menentukan bahwa jika yang berhak atas
tanah dan/atau benda-benda yang haknya dicabut itu tidak bersedia menerima
ganti kerugian sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Surat Keputusan
Presiden tersebut, karena dianggapnya jumlahnya kurang layak, maka ia dapat
minta banding kepada Pengadilan Tinggi, yang daerah kekuasaannya meliputi
tempat letak tanah dan/atau menetapkan jumlah ganti kerugiannya.
Setelah ditetapkannya Surat Keputusan pencabutan hak tersebut dan
setelah dilakukannya pembayaran ganti kerugian kepada yang berhak, maka
tanah yang haknya dicabut itu menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara, untuk segera diberikan kepada yang berkepentingan dengan suatu
hak yang sesuai.
2) Penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
16 Muhammad Yamin Lubis dan Rahim Lubis, Pencabutan Hak, Pembebasan, dan
Pengadaan Tanah (Bandung : Mandar Maju, 2011), hal. 21.
19
Universitas Indonesia
Hapusnya Hak Milik Karena Penyerahan Sukarela Penyerahan sukarela
ini menurut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sengaja dibuat
untuk kepentingan negara, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh pemerintah.
3) Ditelantarkan;
Hapusnya hak milik karena ditelantarkan berdasarkan ketentuan Pasal 21
(3) dan Pasal 26 (2) Undang-Undang Pokok Agraria. Tanah yang terlantar yang
dimaksud adalah :
a). Tanah yang tidak dimanfaatkan dan atau dipelihara dengan baik;
b). Tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat atau tujuan dari
pemberian haknya tersebut.
b. Tanahnya musnah.
Pada dasarnya pemilik tanah berkewajiban menggunakan atau
mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif. Namun demikian Undang-Undang
Pokok Agraria mengatur bahwa Hak Milik atas tanah dapat digunakan atau
diusahakan oleh bukan pemiliknya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 24 Undang-
Undang Pokok Agraria yaitu penggunaan tanah Hak Milik oleh bukan pemiliknya
dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan. Beberapa bentuk penggunaan
atau pengusahaan tanah Hak Milik oleh bukan pemiliknya, yaitu :
1). Milik atas tanah dibebani Hak Guna Bangunan;
2). Hak Milik atas tanah dibebani Hak Pakai;
3). Hak Sewa untuk Bangunan;
4). Hak Gadai (Gadai Tanah);
5). Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil);
6). Hak Menumpang;
7). Hak Sewa Tanah Pertanian.17
c. Pendaftaran Hapusnya Hak Milik :
Hapusnya Hak Milik juga wajib di daftarkan, hal ini dinyatakan dengan
tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah. Hapusnya Hak Milik karena dikuasai atau dialihkan kepada
17 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, (Jakarta : Kencana, 2005), hal. 94.
20
Universitas Indonesia
subjek hukum yang tidak berhak memangku kedudukan hak milik atas tanah yang
dilakukan melalui setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan
wasiat dan perbuatan - perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau
tidak langsung memindahkan Hak Milik kepada orang asing, kepada seorang
warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan
oleh pemerintah termaksud dalam Pasal 21 (2), adalah batal karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima
oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
2.1.3 Pendaftaran dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data
fisik dan data yuridis, mengenai tanah-tanah tertentu yang ada diwilayah tertentu
dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya.18
Untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah, dalam Pasal 19 Undang-
Undang Pokok Agraria telah diatur ketentuan dasar pendaftaran tanah sebagai
berikut :
(1) Untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, menurut ketentuan yang diatur
dengan peraturan pemerintah.
(2) Pendaftaran tanah tersebut pada ayat (1) meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.19
18 Indonesia, Peraturan PemerintahTentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997,
LNRI No. 59 Tahun 1997, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1). 19 Indonesia, Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Ibid., Pasal
19
21
Universitas Indonesia
Kepastian hukum yang dimaksud dalam ketentuan diatas meliputi
kepastian mengenai subyek hak atas tanah yaitu kepastian mengenai orang atau
badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah tersebut dan kepastian
mengenai obyek hak atas tanah yaitu kepastian mengenai letak tanah, batas-batas
tanah, panjang dan lebar tanah.20 Berdasarkan hal-hal diatas, maka jelaslah bahwa
maksud dan tujuan pemerintah mendaftarkan tanah atau mendaftarkan hak atas
tanah adalah guna menjamin adanya kepastian hukum berkenaan dengan hal ihwal
sebidang tanah yaitu dalam rangka pembuktian jika ada persengketaan dan atau
dalam rangka membuka hal ihwal tanah tersebut. Berdasarkan asas publisitas dan
asas spesialitas dalam pelaksanaan suatu pendaftaran tanah atau pendaftaran hak
atas tanah di Indonesia. 21
Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman,
terjangkau, mutakhir, dan terbuka. Demikian sebagaimana disebutkan pada Pasal
2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Adapun obyek pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 9 PP Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah meliputi 1. bidang-bidang tanah yang dipunyai
dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai, 2. tanah
hak pengelolaan, 3. tanah wakaf, 4. hak milik atas satuan rumah susun, 5. hak
tanggungan dan 6. tanah negara.
Tujuan diadakannya Pendaftaran tanah dinyatakan dalam Pasal 3 PP
Nomor 24 Tahun 1997 bertujuan :
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain
yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan;
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
20 Effendi, Bachtiar, Pendaftaran Tanah Di Indonesia Dan Peraturan Pelaksanaannya.
kesalahan perhitungan luas, (vii) terdapat tumpang tindih hak atas tanah, (viii)
data yuridis atau data fisik tidak benar, atau (ix) kesalahan lainnya yang bersifat
hukum administratif.
Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif
dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena (i) permohonan dari yang
berkepentingan atau (ii) Pejabat yang berwenang tanpa permohonan. Pembatalan
hak atas tanah karena cacat hukum administratif melalui permohonan dari yang
berkepentingan diajukan langsung kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk atau
melalui Kepala Kantor Pertanahan, yakni Badan Pertanahan Nasional di tingkat
Kabupaten/Kota. Sedangkan, pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum
administratif tanpa melalui permohonan oleh Pejabat yang berwenang
dilaksanakan apabila diketahui adanya cacat hukum administratif dalam proses
penerbitan keputusan pemberian hak atau sertipikatnya tanpa adanya permohonan.
2. Pembatalan hak atas tanah karena putusan pengadilan
Keputusan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan atas
permohonan yang berkepentingan, dimana permohonan tersebut diajukan
langsung kepada Menteri atau Kepala Kantor Wilayah atau melalui Kantor
Pertanahan. Ada beberapa proses dalam tata cara pembatalan hak atas tanah,
sebagai berikut:22
1. Kantor Pertanahan
Permohonan pembatalan hak atas tanah diajukan secara tertulis kepada
Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak
tanah yang bersangkutan, dengan dilampiri berkas-berkas, berupa: (i) fotocopy
surat bukti identitas dan surat bukti kewarganegaraan (perorangan) atau fotocopy
akta pendirian (badan hukum); (ii) fotocopy surat keputusan dan/atau sertipikat;
(iii) surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.
Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan: (i)
memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik; (ii) mencatat
22 http://www.hukumproperti.com/pembatalan-hak-atas-tanah/ diakses pada tanggal 10 Desember 2012
24
Universitas Indonesia
dalam formulir isian; (iii) memberikan tanda terima berkas permohonan; (iv)
memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi data yuridis dan data fisik
apabila masih diperlukan.
2. Kantor Wilayah
Dalam hal permohonan pembatalan hak telah dilimpahkan kepada Kepala
Kantor Wilayah, Kepala Kantor Wilayah akan mencatat dalam formulir tertentu
yang telah ditetapkan dan memeriksa serta meneliti kelengkapan data yuridis dan
data fisik, dan apabila belum lengkap, segera meminta Kepala Kantor Pertanahan
yang bersangkutan untuk melengkapinya. Dalam hal permohonan pembatalan hak
telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Wilayah
menerbitkan keputusan pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau keputusan
penolakan disertai dengan alasan penolakannya.
3. Menteri
Setelah menerima berkas permohonan, Menteri memerintahkan pejabat
yang berwenang untuk memeriksa meneliti kelengkapan data yuridis dan data
fisik, dan apabila belum lengkap, segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan untuk melengkapinya serta mencatat dalam formulir tertentu yang
telah ditetapkan. Menteri memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan
keputusan pembatalan hak atau penolakan disertai dengan alasan penolakannya.
2.1.4. Kompetensi Sengketa Perdata
Istilah perkara atau sengketa perdata lazim dikenal dan dipergunakan
dalam bahasa sehari-hari. Namun, hingga saat ini belum terdapat definisi yang
jelas dan tepat mengenai perkara perdata yang menurut Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 masuk dalam lingkup kewenangan Badan Peradilan
Umum. Definisi yang ada sekadar mengidentifikasi hubungan-hubungan hukum
atau objek apa saja yang masuk dalam perkara perdata dan menjadi lingkup
kewenangan hakim atau pengadilan perdata.
Berikut dikemukakan beberapa pendapat mengenai perkara Perdata:
a. Menurut Sudikno Mertokusumo:23
23 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal. 27 - 28.
25
Universitas Indonesia
Kekuasaan pengadilan dalam perkara perdata meliputi semua sengketa tentang
hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya, hutang-piutang atau hak-hak
keperdataan lainnya.
b. Menurut Resna24
Kekuasaan hukum dari pengadilan sepanjang mengenai pengadilan perdata,
ialah "segala perselisihan tentang hak kepunyaan (eigendom) dan hak-hak
yang ke luar daripadanya, tentang tuntutan hutang-piutang atau hak-hak
berdasarkan hukum perdata.
c. Menurut Subekti25
Semua perselisihan mengenai hak milik, hutang-piutang atau warisan seperti
tersebut di atas atau juga dinamakan perselisihan mengenai hak-hak perdata
(artinya: hak-hak yang berdasarkan "hukum perdata" atau hukum sipil adalah
semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang Hakim atau Pengadilan
untuk me-mutuskannya, dalam hal ini Hakim atau Pengadilan Perdata.
Batasan mengenai perkara perdata yang diformulasikan sebagai
kewenangan hakim atau pengadilan perdata tersebut bersumber pada ketentuan
Pasal 2 ayat (1) Rechterlijk Organisatie (RO). Batasan tersebut terbatas pada
sengketa atau perselisihan perdata (contensius). Padahal, ruang lingkup perkara
perdata bukan hanya soal sengketa atau perselisihan, melainkan juga perkara-
perkara nonsengketa (voluntair).
Tugas hakim dalam perkara perdata permohonan menurut Abdulkadir
Muhammad,26 termasuk "jurisdictio voluntaria". Sedangkan dalam perkara
perdata gugatan, tugas hakim "jurisdictio contentiosa". Jurisdictio voluntaria
adalah suatu kewenangan memeriksa perkara yang tidak bersifat mengadili, tetapi
bersifat administratif saja. Jurisdictio contentiosa adalah kewenangan mengadili
dalam arti yang sebenarnya untuk memberikan suatu putusan keadilan dalam
suatu sengketa.
Tuntutan hak atau tuntutan perdata (burgerlijk vordering) dalam Pasal 118
ayat (1) Het Herziene Inlandsch Reglement/Pasal 142 ayat (1) RBg menurut
24 Tresna, R., Peradilan di Indonesia, dari Abad ke Abad. (Pradnya Paramita. Jakarta. 1977,
cet. Ke-2), hal. 136. 25 Subekti, R., Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980, cet. Ke-5, hal. 5. 26 Periksa Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia. Alumni
Bandung, 1990, hal. 18-19.
26
Universitas Indonesia
Sudikno Mertokusumo27 merupakan tuntutan hak yang mengandung sengketa dan
lazim disebut gugatan. Gugatan dapat diajukan secara tertulis [Pasal 118 ayat (1)
Het Herziene Inlandsch Reglement/ Pasal ayat 142 ayat (1) RBg] dapat pula
diajukan secara lisan (Pasal 120 Het Herziene Inlandsch Reglement/Pasal 144
RBg). Het Herziene Inlandsch Reglement dan RBg tidak mengatur mengenai isi
gugatan. Persyaratan mengenai isi gugatan dijumpai dalam Pasal 8.3 R.V yang
mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat:
a. Identitas para pihak;
b. Fundamentum petendi (posita);
c. Petitum atau apa yang dituntut.
Persyaratan isi gugatan dalam perkara atau sengketa perdata pada
prinsipnya sama dengan (lebih tepat diambil alih) rumusan Pasal 56 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 untuk persyaratan isi gugatan dalam sengketa Tata
Usaha Negara. Kecuali, mengenai kualitas dan posisi para pihak dalam identitas
gugatan Tata Usaha Negara telah di-tentukan secara pasti.
Dalam setiap perkara perdata gugatan, minimal terdapat 2 (dua) pihak
yang bersengketa: penggugat dan tergugat. Penggugat dan tergugat dalam perkara
perdata tidak terbatas pada pribadi atau badan hukum perdata, tetapi juga pejabat
atau badan Tata Usaha Negara. Berbeda dengan sengketa Tata Usaha Negara -
Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara selalu berkualitas sebagai Tergugat, dalam
perkara perdata -pejabat atau Badan Tata Usaha Negara dapat menggugat dan
dapat pula digugat.
Fundamentum petendi atau posita gugatan merupakan bagian yang
memuat alasan dan dasar gugatan. Berikut dikemukakan pendapat sejumlah
sarjana mengenai hal ini:
1. Sudikno Mertokusumo:28
Fundamentum petendi atau dasar gugatan terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu
bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa dan bagian
yang menguraikan tentang hukum. Uraian tentang kejadian merupakan
penjelasan duduknya perkara, sedang uraian tentang hukum ialah uraian
pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. BPN
dahulu dikenal dengan sebutan Kantor Agraria. BPN diatur melalui Peraturan
Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Struktur
Organisasi Badan Pertanahan Nasional diatur dalam Pasal 4 terdiri dari :
a). Kepala;
b). Sekretariat Utama;
c). Deputi Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan;
d). Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah;
e). Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan;
f). Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat;
g). Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan;
h). Inspektorat Utama.
a. Tugas BPN
Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.32
Dalam melaksanakan tugas Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan
fungsi :
1. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
2. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
3. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
4. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
5. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang
pertanahan;
6. Pelaksanaan pendaf taran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
7. Pengaturan dan penetapan hak -hak atas tanah;
8. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-
wilayah khusus;
9. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah
bekerjasama dengan Departemen Keuangan;
10. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
11. Kerjasama dengan lembaga-lembaga lain;
32 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional, diakses tanggal 18 Oktober 2011
29
Universitas Indonesia
12. Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di
bidang pertanahan;
13. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
14. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang
pertanahan;
15. Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
16. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
17. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang
pertanahan;
18. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
19. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang
pertanahan;
20. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan
hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
21. Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Fungsi BPN
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, BPN
menyelenggarakan fungsi:
1. Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional.
2. Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran, serta sertifikasi tanah
secara menyeluruh di seluruh Indonesia.
3. Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah (land tenureship).
4. Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam
dan daerah-daerah konflik.
5. Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik
pertanahan di seluruh Indonesia secara sistematis.
6. Membangun Sistem Informasi Pertanahan Nasional (SIMTANAS), dan sistem
pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia.
7. Menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat.
30
Universitas Indonesia
8. Membangun data base pemilikan dan penguasaan tanah skala besar.
9. Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan
Pertanahan yang telah ditetapkan.
10. Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional.
11. Mengembangkan dan memperbarui politik, hukum dan kebijakan Pertanahan.
c. Wewenang BPN
1) Kewenangan Pemerintah Pusat
Pengelolaan pertanahan di Indonesia didasarkan pada arah dan kebijakan
dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 di mana sampai dengan
Amandemen yang ke IV secara redaksional tidak mengalami perubahan. Pasal 33
ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa : “bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Berdasarkan landasan ini
kemudian diundangkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Pokok Agraria yang di kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan
Undang-Undang Pokok Agraria.
Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan:
a) Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1, bu mi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat;
b) Hak menguasai dari negara dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang:
i. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
ii. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa;
iii. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan
perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
2) Kewenangan Pemerintah Daerah Di Bidang Pertanahan
Pasal 18 ayat 5 UUD 1945 merumuskan Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
31
Universitas Indonesia
Pasal 2 Ayat (3) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok
Agraria) menyebutkan: Hak menguasai negara tersebut di atas pelaksanaannya
dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-ma-syarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.
Penjelasan Pasal 2 menyebutkan “Dengan demikian maka pelimpahan
wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara atas tanah itu adalah
merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut
keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan sumber
keuangan bagi daerah itu. Pasal 10 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan Pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang undang ini ditentukan menjadi urusan
pemerintah.
Sedangkan ayat 3 nya menyebutkan : Urusan pemerintahan yang menjadi
urusan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Politik luar negeri;
b. Pertahanan;
c. Keamanan
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiskal nasional; dan
f. Agama.
Pasal 14 ayat (1) huruf k menyebutkan : Urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang
berskala kabupaten/ kota meliputi: huruf k. Pelayanan pertanahan.
Pasal 237 menyebutkan Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan
menyesuaikan pengaturannya pada undang-undang ini.
Berdasarkan paparan peraturan perundang-undangan tersebut di atas maka
dapat diuraikan pembahasan sebagai berikut. Dari ketentuan Pasal 2 Undang-
Undang Pokok Agraria yang merupakan pelaksanaan amanat Pasal 33 ayat (3)
32
Universitas Indonesia
Undang-undang Dasar 1945 dapat disimpulkan bahwa bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, artinya kekuasaan
negara disini di jalankan oleh pemerintah berdasarkan hak yang disebut sebagai
hak menguasai atas seluruh tanah yang ada di wilayah Republik Indonesia.
Pengertian hak menguasai Negara dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah
memberi hak kepada Negara untuk meguasai tanah sementara kemudian
mendistribusikannya sesuai dengan prinsip-prinsip kepentingan umum dan tidak
merugikan kepentingan rakyat.33 Yang dikuasai dengan hak menguasai di sini
baik berupa tanah hak (Hak masyarakat hukum adat, hutan-hutan, hak-hak
perorangan berupa hak atas tanah dan sebagainya) maupun tanah negara.
Hubungan antara Negara dengan tanah yang ada bersifat sentralistis. Ketentuan
Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria memberikan peluang untuk di
jadikan dasar hukum pemberian kewenangan pengelolaan pertanahan kepada
daerah. Dengan demikian sebenarnya pengelolaan pertanahan yang menurut
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan wewenang daerah mendapat
penguatan dengan adanya ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Pokok
Agraria.
2.1.6.2. Kewenangan BPN Dalam Hal Terjadi Sengketa Hak Atas Tanah
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan
Kasus Pertanahan, setiap kasus pertanahan yang disampaikan kepada Badan
Pertanahan Nasonal maka dilakukan pengelolaan pengkajian dan penanganan
kasus pertanahan karena hal tersebut karena merupakan salah satu fungsi yang ada
pada Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik
Pertanahan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia khususnya pada
Direktorat Sengketa Pertanahan, pada Subdit Sengketa Yuridis sesuai dengan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2006 dalam rangka menanggulangi sengketa, konflik dan perkara pertanahan guna
mewujudkan kebijakan pertanahan bagi keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan pengkajian dan penanganan kasus pertanahan merupakan sarana
33 Subekti Mahanani, Kedudukan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 da Pengelolaan Sumber Daya Agraria Di Tengah Kapitalisasi Negara, (Bandung : Akatiga, 2001), hlm. 25
33
Universitas Indonesia
untuk menyelesaikan sengketa, konflik dan perkara pertanahan dan memperkecil
potensi timbulnya masalah pertanahan. Kasus Pertanahan adalah
sengketa/konflik/perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan penyelesaian sesuai
perkara-pertanahan-diindonesia diakses pada tanggal 9 Desember 2012
43
Universitas Indonesia
yang berorientasi kepada kesejahteraan umum sebagaimanan tersurat dan tersirat
dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam bentuk
negara yang demikian, maka setiap usaha pemerintah mau tidak mau akan
memasuki hampir seluruh aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat, baik
sebagai perorangan, badan hukum maupun sebagai masyarakat. Sehingga
pembentukan hak dan kewajiban akan selalu terjadi. Masyarakat selalu ingin
mempertahankan hak-haknya, sedangkan pemerintah juga harus menjalankan
kepentingan terselenggaranya kesejahteraan umum bagi warga masyarakat.
Sengketa-sengketa demikian tidak dapat diabaikan dan harus ditangani sngguh-
sungguh karena dapat membahayakan kehidupan masyarakat, terganggunya
tujuan negara serta program pemerintah itu sendiri. 35
Timbulnya sengketa hukum bermula dari pengaduan suatu pihak baik
perorangan maupun badan hukum yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan
hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya
dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai
dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Akan tetapi tujuan akhir dari tuntutan
itu pihak yang melakukan pengaduan adalah yang lebih berhak dari yang lain
(prioritas) atas tanah sengketa, oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum
terhadap sengketa tersebut tergantung dari masalah yang diajukan sehingga
prosesnya akan memerlukan beberapa tahap sebelum diperoleh suatu
keputusan. 36
Menurut Sarjita, sengketa pertanahan adalah Perselisihan yang terjadi
antara dua pihak atau lebih yang merasa atau dirugikan pihak-pihak tersebut untuk
penggunaan dan penguasaan hak atas tanahnya, yang diselesaikan melalui
musyawarah atau melalui pengadilan.37 Senada dengan itu Ali Achmad
berpendapat Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang
berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang
35 Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung, Alumi, 1991),
hlm. 1 36 Op.Cit. hlm. 22 37 Sarjita, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan, (Yogyakarta : Tugujogja
Pustaka, 2005), hlm 8.
44
Universitas Indonesia
dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.38 Dari kedua pendapat dapat
dikatakan bahwa sengketa adalah perilaku pertentangan antara dua orang atau
lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi
sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
Pada hakikatnya, sengketa hak atas tanah merupakan benturan kepentingan
(conflict of interest) di bidang pertanahan antara perorangan dengan perorangan,
perorangan dengan badan hukum, badan hukum dengan badan hukum dan lain
sebagainya. Sehubungan dengan hal itu, guna kepastian hukum yang diamanatkan
Undang-Undang Pokok Agraria, maka terhadap sengketa hak atas tanah diberikan
penyelesaian kepada yang berkepentingan. Secara garis besar munculnya kasus-
kasus pertanahan tersebut sangat bervariasi menurut Rusmadi Murad
permasalahan dari suatu sengketa secara umum ada beberapa macam antara lain :
1. Masalah atau persoalan yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan
sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak, atau atas tanah
yang belum ada haknya.
2. Bantahan terhadap sesuatu alas hak atau bukti perolehan yang digunakan
sebagai dasar pemberian hak.
3. Kekeliruan atau kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan
peraturan yang kurang atau tidak benar.
4. Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis dan
bersifat strategis. 39
Menurut Mudjiono Secara umum, sengketa tanah timbul akibat adanya
beberapa faktor, antara lain:
1. Peraturan yang belum lengkap
2. Ketidaksesuaian peraturan
3. Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah
yang tersedia
4. Data yang kurang akurat dan kurang lengkap
5. Data tanah yang keliru
38 Ali. Achmad Chomzah, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak Atas
Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2003), hlm. 14
39 Rusmadi Murad, Op.Cit. hlm. 23
45
Universitas Indonesia
6. Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa
tanah
7. Transaksi tanah yang keliru
8. Ulah pemohon hak adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga terjadi
tumpang tindih kewenangan.40
Sedangkan menurut Kepala BPN Pusat setidaknya ada beberapa hal
utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah yang meliputi :
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada
tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertipikat masing-masing.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam
distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan
pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis
maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya
petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi
tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik
dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau
tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga
murah
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal
(sertipikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal
(de jure), boleh jadi banyak tanah bersertipikat dimiliki oleh perusahaan atau
para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik
tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian
orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan
sengketa tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus
segera di carikan solusinya.
Sehingga pada dasarnya sengketa hukum hak atas tanah didasarkan
adanya pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak-
hak lain atas suatu prioritas atau adanya suatu ketetapan yang merugikan orang
atau badan hukum. Guna kepastian hukum yang diamanatkan oleh undang-
undang, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud dapat diberikan respons,
40Mudjiono, Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia Melalui Revitalisasi Fungsi Badan Peradilan, Jurnal Hukum Nomor 3 Vol 14 Tahun 2007, hlm.464
46
Universitas Indonesia
reaksi, penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah),
berupa solusi melalui Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Solusi penyelesaian sengketa tanah pada kasus ini ditempuh melalui beberapa
cara yaitu melalui Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
2.2.1 Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Melalui Pengadilan Negeri
Masalah tanah adalah masalah yang sangat menyentuh keadilan karena
sifat tanah yang langka dan terbatas, dan merupakan kebutuhan dasar setiap
manusia, tidak selalu mudah untuk merancang suatu kebijakan pertanahan yang
dirasakan adil untuk semua pihak. Suatu kebijakan yang memberikan kelonggaran
yang lebih besar kepada sebagian kecil masyarakat dapat dibenarkan apabila
diimbangi dengan kebijakan serupa yang ditujukan kepada kelompok lain yang
lebih besar.41
Di Indonesia, sengketa pertanahan yang ada diselesaikan melalui
Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh karenanya pada kasus
sengketa hak atas tanah dalam penelitian ini penyelesaiannya ditempuh melalui
Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Tujuan mengajukan suatu
tuntutan adalah satu pihak merasa lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas tanah
sengketa, oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa hak atas
tanah tergantung dari masalah yang diajukan sehingga prosesnya akan
memerlukan beberapa tahap sebelum diperoleh suatu keputusan. Tetapi pada
akhirnya penyelesaian hukum sengketa hak atas tanah harus memperhatikan dan
didasarkan pada peraturan yang berlaku, memperhatikan kepentingan para pihak,
menegakan keadilan hukumnya serta penyelesaiannya harus tuntas.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, tugas Hakim Pasal 2 ayat (3) Peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan, Pasal 3 ayat (1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. Pasal 4 ayat
(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat,
dan biaya ringan dan Pasal 10 ayat (1) Pengadilan dilarang menolak untuk
41 Maria S.W. Sumardjono, kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta : Kompas, 2007), hlm. 19.
47
Universitas Indonesia
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
Sedangkan Sumber Hukum formal dalam peradilan perdata Het Herziene
Inlandsch Reglement (HIR), Stb. 1941 Nomor 44, Rechtsreglement Buitengewestern
(RBg), Stb. 1927 Nomor 27, R.V. = Recht Verordering berlaku untuk golongan
Eropa. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman UU
Nomor 3 Tahun 2009 dan UU Nomor5 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-undang
Nomor14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung UU Nomor 49 Tahun 2009 dan UU
Nomor 8 Tahun 2004 Perubahan atas undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang
Peradilan dan Undang-undang Khusus lainnya dan peraturan-peraturan pelaksana lainnya
dalam bidang peradilan.
Tahapan-Tahapan Penyelesaian Dalam Peradilan Umum:
A. Tahap Administratif
a. Penggugat memasukkan surat gugatan ke Pengadilan Negeri yang berwenang
menurut Het Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”), Stb. 1941 Nomor 44 pasal
118 Het Herziene Inlandsch Reglement, ditentukan bahwa kewenangan
Pengadilan Negeri yang berhak untuk memeriksa perkara adalah:
1. Pengadilan Negeri dimana terletak tempat diam (domisili) Tergugat
2. Apabila Tergugat lebih dari seorang, maka tuntutan dimasukkan kedalam
Pengadilan Negeri di tempat diam (domisili) salah seorang dari Tergugat
tersebut. Atau apabila terdapat hubungan yang berhutang dan penjamin,
maka tuntutan disampaikan kepada Pengadilan Negeri tempat domisili
sang berhutang atau salah seorang yang berhutang itu.
3. Apabila Tergugat tidak diketahui tempat domisilinya atau Tergugat tidak
dikenal, maka tuntutan dimasukkan kepada Pengadilan Negeri tempat
domisili sang Penggugat atau salah seorang Penggugat. Atau apabila
tuntutan tersebut mengenai barang tetap, maka tuntutan dimasukkan ke
dalam Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya barang tersebut
terletak.
4. Tuntutan juga dapat dimasukkan ke Pengadilan Negeri yang telah
disepakati oleh pihak Penggugat
48
Universitas Indonesia
b. Penggugat membayar biaya perkara,
c. Penggugat mendapatkan bukti pembayaran perkara,
d. Penggugat menerima nomor perkara (roll).
B. Tahap Persiapan Sidang
Ketua pengadilan menunjuk majelis hakim untuk menyidangkan perkara
tersebut dengan penetapan. Kemudian Hakim yang ditunjuk menentukan hari
sidang dengan penetapan dan memerintahkan panitera/jurusita untuk memanggil
para pihak agar menghadap pada sidang pada hari sidang yang telah ditetapkan
dengan membawa saksi-saksi serta bukti-bukti yang diperlukan (pasal 121 ayat
(1) Het Herziene Inlandsch Reglement.). Pemanggilan dilaksanakan oleh Jurusita.
Surat panggilan tersebut dinamakan exploit. Exploit beserta salinan surat gugat
diserahkan kepada tergugat pribadi di tempat tinggal/diamnya (pasal 121 ayat (2)
jo. 390 ayat (1) Het Herziene Inlandsch Reglement.). Jika tergugat tidak
diketemukan, surat panggilan tersebut disampaikan kepada Lurah/Kepala Desa
yang bersangkutan untuk diteruskan kepada tergugat (pasal390 ayat (1) Het
Herziene Inlandsch Reglement.). Apabila tempat tinggal/diam tergugat tidak
diketahui, maka surat panggilan disampaikan kepada Bupati dan untuk
selanjutnya surat panggilan tersebut ditempelkan pada papan pengumuman di
Pengadilan Agama yang bersangkutan (pasal 390 ayat (3) Het Herziene Inlandsch
Reglement., untuk perkara perceraikan berlaku pasal 27 PP. Nomor9/1975),
sebagai lex specialis. Pasal 126 Het Herziene Inlandsch Reglement. memberi
kemungkinan untuk memanggil tergugat yang tidak hadir sekali lagi sebelum
perkaranya diputus oleh hakim. Setelah melakukan pemanggilan, jurusita harus
menyerahkan relaas (risalah) panggilan kepada hakim yang akan memeriksa
perkara yang bersangkutan. Pada hari sidang yang telah ditentukan, sidang
pemeriksaan perkara dimulai. Selanjutnya dapat diikuti bahasan proses
persidangan
C. Proses Persidangan
a. Susunan Persidangan
Susunan persidangan berbentuk Majelis yang terdiri dari seorang ketua
dan dua orang hakim anggota, dibantu seorang panitera/panitera pengganti yang
Rapat permusyawaratan yang disebut juga dengan Proses Dismissal atau
tahap penyaringan yang merupakan wewenang Ketua Pengadilan, diatur
dalam Pasal 62. Dalam proses dismissal ini Ketua Pengadilan, setelah melalui
pemeriksaan administrasi di kepaniteraan, memeriksa gugatan yang masuk.
Apakah gugatan tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur
58
Universitas Indonesia
dalam UU Peratun dan apakah memang termasuk wewenang Pengadilan Tata
Usaha Negara untuk mengadilinya. Dalam proses dismissal Ketua Pengadilan
berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan tidak diterima atau
tidak berdasar, apabila :
2. Pokok gugatan, yaitu fakta yang dijadikan dasar gugatan, nyata-nyata tidak
termasuk wewenang Pengadilan.
3. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi
oleh penggugat sekalipun ia telah diperingatkan.
4. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
5. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat.
6. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya. Penetapan
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara mengenai hal ini diucapkan dalam rapat
permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan, dengan memanggil
kedua belah pihak. Terhadap penetapan ini dapat diajukan perlawanan kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu
14 (empat belas) hari sesudah diucapkan. Perlawanan tersebut harus dengan
memenuhi syarat-syarat seperti gugatan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal
56. Perlawanan diperiksa oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dengan acara
singkat, yang dilakukan oleh Majelis Hakim. Apabila perlawanan tersebut
diterima atau dibenarkan oleh Pengadilan yang bersangkutan melalui acara
singkat, maka Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara yang diambil
dalam rapat permusyawaratan tersebut dinyatakan gugur demi hukum dan
pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.
Terhadap putusan pengadilan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan
upaya hukum seperti banding dan kasasi, karena putusan tersebut dianggap
sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir, sehingga telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
b. Pemeriksaan Persiapan
Pemeriksaan persiapan diadakan mengingat posisi Penggugat di Peratun
pada umumnya adalah warga masyarakat yang diasumsikan mempunyai
59
Universitas Indonesia
kedudukan lemah dibandingkan dengan Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha
Negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Dalam posisi yang lemah
tersebut sangat sulit bagi Penggugat untuk mendapatkan informasi dan data yang
diperlukan untuk kepentingan pengajuan gugatan dari Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang digugat.
Pemeriksaan Persiapan dilakukan di ruang tertutup bukan di ruang
persidangan yang terbuka untuk umum. Dalam Pemeriksaan Persiapan Hakim
wajib dan berwenang untuk :
1). Memberikan nasehat atau arahan-arahan kepada Penggugat untuk
memperbaiki gugatannya dan melengkapi surat-surat atau data-data yang
diperlukan dalam tenggang waktu 30 hari.
2). Meminta penjelasan kepada pihak Tergugat mengenai segala sesuatu yang
mempermudah pemeriksaan sengketa di persidangan. Apabila jangka waktu
30 hari yang ditetapkan untuk memperbaiki gugatannya tersebut tidak
dipenuhi oleh Penggugat, maka Majelis Hakim akan memberikan putusan
yang menyatakan gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, dan atas
putusan tersebut tidak ada upaya hukum, namun masih dapat diajukan gugatan
baru.
c. Pemeriksaan Tingkat Pertama
Pemeriksaan di tingkat pertama pada umumnya dilakukan di Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN), terkecuali untuk sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan, sengketa tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui upaya administratif sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 48 UU Peratun, maka pemeriksaan di tingkat pertama dilakukan oleh
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Pemeriksaan ditingkat pertama
ini dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara :
1) Pemeriksaan dengan acara biasa.
2) Pemeriksaan dengan acara cepat.
d. Putusan Pengadilan
Dalam hal pemeriksaan sengketa telah selesai, mulai dari jawab
menjawab, penyampaian surat-surat bukti dan mendengarkan keterangan saksi-
saksi, maka selanjutnya para pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan
60
Universitas Indonesia
kesimpulan yang merupakan pendapat akhir para pihak yang bersengketa (Pasal
97 ayat 1). Setelah kesimpulan disampaikan, kemudian hakim menunda
persidangan untuk bermusyawarah guna mengambil putusan. Putusan pengadilan
yang akan diambil oleh hakim dapat berupa ( Pasal 97 ayat (7) ) :
1) Gugatan ditolak;
2) Gugatan dikabulkan;
3) Gugatan tidak diterima;
4) Gugatan gugur.
Terhadap gugatan yang dikabulkan, maka pengadilan akan menetapkan
kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan kepada Badan atau Pejabat TUN
selaku Tergugat, yaitu berupa ( Pasal 97 ayat (9) ) :
1) Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan.
2) Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan
TUN yang baru.
3) Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.
Disamping kewajiban-kewajban tersebut pengadilan juga dapat
membebankan kewajiban kepada Tergugat untuk membayar ganti rugi dan
pemberian rehabilitasi dalam hal menyangkut sengketa kepegawaian.
6. Upaya Hukum
a. Upaya Hukum Banding
Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan
pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU Nomor 5
Tahun 1986 terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan
banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PTTUN). Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh
pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang
menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.
Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan
pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak
bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha
Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah
61
Universitas Indonesia
mereka menerima pemberitahuan tersebut. Para pihak dapat menyerahkan memori
atau kontra memori banding, disertai surat-surat dan bukti kepada Panitera
Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa
salinan memori dan kontra memori banding diberikan kepada pihak lawan dengan
perantara Panitera Pengadilan (Pasal 126). Pemeriksaan banding di Pengadilan
Tinggi TUN dilakukan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim.
Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan
Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat
mengadakan sendiri untuk pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan
Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan
tambahan. Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh
Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi
TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan
putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-
surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam pemeriksaan tingkat
pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan
(Pasal 127).
Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan
setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh
Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan
pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun
tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum
lampau (Pasal 129).
b. Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali.
Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya
hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur
dalam pasal 131 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat
terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan
kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut
ketentuan UU Nomor14 Tahun 1985 Jo. UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung.
62
Universitas Indonesia
Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi
untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau
oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut
ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang
lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka
Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung.
Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas
terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat
ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah
Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 132 UU Peratun,
yang menyebutkan bahwa :
Ayat (1): “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada
Mahkamah Agung.”
Ayat (2): “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut
ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.”
7. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam Pasal
115 UU Nomor 5 Tahun 1986. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap artinya bahwa terhadap putusan tersebut telah tidak ada lagi upaya hukum,
atau dapat juga masih ada upaya hukum akan tetapi oleh para pihak upaya hukum
tersebut tidak ditempuh dan telah lewat tenggang waktu yang ditentukan oleh UU.
Mengenai mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam Pasal 116 s/d 119
UU Nomor 5 Tahun 1986. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian
sebelumnya, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, putusan
Peratun telah mempunyai kekuatan eksekutabel. Hal ini dikarenakan adanya
sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi terhadap Badan
atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan Peratun.45
45 http://edrasatmaidi2010.wordpress.com/2010/07/15/penyelesaian-sengketa-tun-melalui-ptun/ diakses tanggal 9 Desember 2012
63
Universitas Indonesia
2.3. Posisi Kasus dan Pembahasan
2.3.1 Posisi Kasus Pada Pegadilan Tata Usaha Negara
Dalam mengajukan gugatan harus dicantumkan apa yang menjadi dasar
gugatan tersebut atau dasar tuntutan tersebut, sehingga dengan adanya dasar
gugatan tersebut, menjadi landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara. Akan
tetapi dalam pemeriksaan dan penyelesaian tidak boleh menyimpang dari dalil
gugatan tersebut. Bahwa di dalam dasar gugatan itu tidak hanya dirumuskan
peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan tetapi juga harus dijelaskan
mengenai fakta-fakta yang mendahului adanya peristiwa hukum yang menjadi
penyebab timbulnya peristiwa tersebut.
Obyek yang menjadi sengketa pada pengadilan tata usaha Negara dalam
kasus ini adalah penolakan secara diam-diam (fiktif negatif). Fiktif Negatif adalah
sikap diam Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara yang tidak mengeluarkan
keputusan Tata Usaha Negara yang dimohonkan oleh orang atau badan hukum
perdata, dalam kurun waktu tertentu, sedangkan hal tersebut menjadi
kewajibannya. Dalam kasus ini sikap diam Kepala Badan Pertanahan Nasional
Jakarta Utara terhadap surat permohonan Hak Pengelolaan atas nama PT Kereta
Api (Persero) yang diajukan PT Kereta Api (Persero) pada tanggal 21 Desember
2006 disertai Permohonan agar dapat dinyatakan sertipikat Hak Pakai Nomor
436/Pademangan Barat, seluas 1.784 M2, sesuai Gambar Situasi Nomor :
3423/1982 tanggal 13 Oktober 1984, Hak Pakai Nomor 437/Pademangan Barat,
seluas 1.392 M2, sesuai Gambar Situasi Nomor : 3425/1982 tanggal 13 Oktober
1984, Hak Pakai Nomor 438/Pademangan Barat, seluas 1.719 M2, sesuai Gambar
Situasi Nomor : 3424/1982 tanggal 13 Oktober 1984, Kesemuanya tercatat atas
nama PT Lingga Karisma tidak berlaku lagi atau tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Sikap diam Kepala Badan Pertanahan Nasional Jakarta Utara diuji
keabsahannya di peradilan Tata Usaha Negara, dan apabila penolakan dengan
sikap diam tersebut mengundang cacat hukum, maka pengadilan menyatakan
batal atau tidak sah atau memerintahkan agar pejabat atau badan Tata Usaha
Negara untuk menerbitkan atau mengeluarkan keputusan sebagaimana
dimohonkan oleh penggugat. Sesungguhnya Objek gugatan ini adalah tidak
64
Universitas Indonesia
berwujud, tetapi suatu sikap tidak mengeluarkan Keputusan yang telah
dimohonkan kepadanya sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka sikap
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dijadikan sebagai objek gugatan
di Pengadilan Tata Usaha Negara.
2.3.1.1 Sebab-sebab terjadinya sengketa
Adapun sebab-sebab PT Kereta Api (Persero) mengajukan gugatan pada
Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Utara akan penulis uraikan sebagai
berikut :
PT Kereta Api (Persero) adalah pemilik bidang tanah yang terpeta dalam
grondkaart Nomor 1B yang kemudian diperbaharui dengan Peta Bumi A Nomor
33 yang letaknya dikelilingi HP Nomor 295/Pademangan Barat, luas 58.375 Ha,
Gambar Situasi (GS) Nomor 2376/1988 terdaftar atas nama Departemen
Perhubungan Republik Indonesia Cq. PT. Kereta Api (Persero) Daop I Jakarta;
terletak di Jl. R.E. Martadinata, kel. Pademangan Barat, Kec. Pademangan, Kodya
Jakarta Utara yang sampai sekarang masih terdaftar dalam aktiva Asset PT.
Kereta Api (Persero) serta belum ada pelepasan oleh Menteri Keuangan Negara.
Sebagian luas tanah yang ada dalam Peta Bumi A Nomor 33 seluas +
4.895 M2 terbit sertipikat :
1) Hak Pakai Nomor 436/Pademangan Barat, seluas 1.784 M2, sesuai Gambar
Situasi Nomor : 3423/1982 tanggal 13 Oktober 1984, berakhir haknya tanggal
12 Oktober 1994, tercatat atas nama PT Lingga Karisma.
2) Hak Pakai Nomor 437/Pademangan Barat, seluas 1.392 M2, sesuai Gambar
Situasi Nomor : 3425/1982 tanggal 13 Oktober 1984, berakhir haknya tanggal
12 Oktober 1994, tercatat atas nama PT Lingga Karisma.
3) Hak Pakai Nomor 438/Pademangan Barat, seluas 1.719 M2, sesuai Gambar
Situasi Nomor : 3424/1982 tanggal 13 Oktober 1984, berakhir haknya tanggal
12 Oktober 1994, tercatat atas nama PT Lingga Karisma.
PT Kereta Api (Persero) pernah mengajukan surat pada Kepala Kantor
Pertanahan Kotamadya Jakarta Utara dengan Nomor surat D.I/JAB/6355/1993
tanggal 25 Mei 1993 memohon agar berkas sertipikat Hak Pakai Nomor 436, 437,
dan 438/Pademangan Barat atas nama PT Lingga Karisma diblokir, karena
lokasinya berada dalam sertipikat Hak Pakai Nomor 295/Pademangan Barat yang
65
Universitas Indonesia
terdaftar atas nama PT Kereta Api (Persero) dan merupakan tanah PT Kereta Api
(Persero) yang terpeta dalam Grondkaart Peta Bumi A Nomor 33.
Kemudian PT Lingga Karisma mengajukan gugatan pencabutan
pemblokiran kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Karena PT Kereta Api
(Persero) merasa berkepentingan terhadap tanah dimaksud mengajukan intervensi,
setelah ada amar putusannya tanggal 21 Juli 2004 Nomor
035/G.TUN/2004/PTUN DKI, tanggal 3 Februari 2005 Nomor :
230/b/2004/PT.TUN Jkt dan tanggal 28 April 2006 Nomor 342 K/TUN/2005
ternyata terhadap putusan tersebut sesuai tenggang waktu yang ditentukan oleh
undang-undang diketahui tidak ada upaya hukum dari pihak-pihak, sehingga
PT Kereta Api (Persero) mengajukan permohonan Eksekusi Putusan Hukum
kepada pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Sebelum putusan kasasi Nomor 342 K/TUN/2005 tanggal 28 April 2006
turun, PT Kereta Api (Persero) mengajukan permohonan Hak Pengelolaan dan
pengukuran tanggal 14 Desember 2005 dan atas permohonan Hak Pengelolaan
yang diajukan PT Kereta Api, Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional
Kotamadya Jakarta Utara Telah memberikan surat jawaban Nomor 2188/09.05-
HAT tertanggal 30 September 2005 yang intinya berbunyi terhadap bidang tanah
yang dimohonkan sedang dalam perkara dan sedang dalam pemeriksaan Kasasi
oleh karenanya permohonan pengukuran dan permohonan haknya belum dapat
dilaksanakan.
Setelah adanya putusan kasasi terhadap perkara dimaksud turun PT Kereta
Api (Persero) mengajukan kembali permohonan Hak Pengelolaan tertanggal
18 Desember 2006 dengan disertai lampiran syarat-syarat yang dikehendaki oleh
Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Utara namun surat tidak ada tanda
terimanya oleh karenanya PT Kereta Api (Persero) mengajukan kembali surat
permohonan tertanggal 21 Desember 2006 Nomor 48/SI.H/XII/2006/Jkt mengenai
pemberian Hak Pengelolaan pada PT Kereta Api (Persero) yang mana surat
diterima pada tanggal 21 Desember 2006 oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kotamadya Jakarta Utara tetapi terhadap permohonan surat dimaksud tidak ada
respon jawaban dan tidak ada tindak lanjut dari Kepala Kantor Pertanahan
Kotamadya Jakarta Utara. Sehingga PT Kereta Api merasa punya kepentingan
66
Universitas Indonesia
terhadap tanah dimaksud sangat dirugikan oleh perbuatan sewenang-wenang yang
dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Utara.
Berdasarkan pasal 3 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dengan tidak dijawabnya permohonan PT
Kereta Api (Persero) oleh Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Utara
dalam tenggang waktu 4 bulan sejak diterimanya permohonan, maka Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan
keputusan penolakan secara diam-diam (fiktif negatif) dan telah melanggar asas-
asas kepastian hukum yang baik.
2.3.1.2 Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tanggal
10 Desember 2007 Nomor 59/G/2007/PTUN-JKT, Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta pada tingkat pertama, dalam perkara antara PT. Kereta Api (Persero),
berkantor Pusat di Jalan Perintis Kemerdekaan Nomor 1 Bandung, selanjutnya
disebut Penggugat, melawan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Utara,
berkedudukan di Jalan Laksda Yos Sudarso Nomor 27-29, Jakarta Utara,
selanjutnya disebut Tergugat dan PT. Lingga Karisma berkedudukan di Jalan
K.H. Hasyim Ashari Nomor 50-50A Jakarta, selanjutnya disebut Tergugat II
Intervensi dan telah memeriksa, memutus dan mengadili:
1. Dalam Eksepsi: menolak eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi
seluruhnya.
2. Dalam Pokok Perkara :
a. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
Menyatakan batal sikap diam Tergugat terhadap surat Penggugat tanggal
21 September 2006 tentang Permohonan Hak Pengelolaan atas nama
PT. Kereta Api (Persero) dan menyatakan agar sertipikat bekas Hak Pakai
Nomor 436, Hak Pakai Nomor 437 dan Hak Pakai Nomor 438/Kelurahan
Pademangan Barat atas nama PT. Lingga Karisma tidak berlaku lagi;
b. Mewajibkan kepada Tergugat untuk menindaklanjuti surat Penggugat
tanggal 21 September 2006 tentang Permohonan Hak Pengelolaan atas
nama PT. Kereta Api (Persero) dan menyatakan agar sertipikat bekas Hak
67
Universitas Indonesia
Pakai Nomor 436, Hak Pakai Nomor 437 dan Hak Pakai Nomor
438/Kelurahan Pademangan Barat atas nama PT. Lingga Karisma tidak
berlaku lagi, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. Menghukum Tergugat dan Tergugat II Intervensi membayar biaya perkara
secara tanggung renteng sebesar Rp. 2.803.000,- (dua juta delapan ratus
tiga ribu rupiah).
2.3.1.3 Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta
tanggal 22 Mei 2008 Nomor 43/B/2008/PT.TUN-JKT, Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara Jakarta telah memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara
dalam perkara antara Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Utara,
berkedudukan di Jalan Laksda Yos Sudarso Nomor 27-29 Jakarta Utara,
selanjutnya disebut Tergugat/Pembanding dan PT. Lingga Karisma berkedudukan
di Jalan K.H. Hasyim Ashari Nomor 50-50A Jakarta, selanjutnya disebut Tergugat
II Intervensi/Pembanding, melawan PT. Kereta Api (Persero), berkantor Pusat di
Jalan Perintis Kemerdekaan Nomor 1 Bandung, selanjutnya disebut
Penggugat/Terbanding. Dan telah memeriksa, memutus dan mengadili:
1. Dalam Eksepsi : menolak eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi
seluruhnya.
2. Dalam Pokok Perkara :
a. Menerima permohonan banding dari Tergugat/Pembanding serta Tergugat
II Intervensi/Pembanding;
b. Menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tanggal
10 Desember 2007 Nomor 59/G/2007/PTUN-JKT yang dimohonkan
banding;
c. Menghukum Tergugat/Pembanding dan Tergugat II Intervensi/
Pembanding untuk membayar biaya sengketa dalam dua tingkat
pengadilan secara tanggung renteng yang untuk tingkat banding sebesar
Rp. 159.000,- (seratus lima puluh sembilan rupiah).
2.3.1.4 Putusan Mahkamah Agung
68
Universitas Indonesia
Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
tanggal 10 Desember 2008 Nomor 292.K/TUN/2008, Mahkamah Agung Republik
Indonesia yang memeriksa perkara Tata Usaha Negara dalam tingkat kasasi telah
memutuskan dalam perkara antara pada tingkat pertama, telah menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara dalam perkara antara PT. Lingga Karisma
berkedudukan di Jalan K.H. Hasyim Ashari Nomor 50-50A Jakarta, selanjutnya
disebut sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat II Intervensi/Pembanding,
melawan PT. Kereta Api (Persero), berkantor Pusat di Jalan Perintis Kemerdekaan
Nomor 1 Bandung, selanjutnya disebut sebagai Termohon Kasasi dahulu
Penggugat/Terbanding; dan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Utara,
berkedudukan di Jalan Laksda Yos Sudarso Nomor 27-29 Jakarta Utara,
selanjutnya disebut sebagai Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat/Terbanding.
Dan telah memeriksa, memutus dan mengadili: Menolak permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi PT. Lingga Karisma tersebut dengan perbaikan amar putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 22 Mei 2008 Nomor
43/B/2008/PT.TUN-JKT yang menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta tanggal 10 Desember 2007 Nomor 59/G/2007/PTUN-JKT,
sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan batal sikap diam Tergugat terhadap surat Penggugat tanggal
21 September 2006 tentang Permohonan Hak Pengelolaan atas nama PT.
Kereta Api (Persero) dan menyatakan agar sertipikat bekas Hak Pakai Nomor
436, Hak Pakai Nomor 437 dan Hak Pakai Nomor 438/Kelurahan
Pademangan Barat atas nama PT. Lingga Karisma tidak berlaku lagi;
3. Memerintahkan Tergugat untuk memproses surat Penggugat tentang
Permohonan Pemberian Hak Pengelolaan atas nama PT. Kereta Api (Persero)
diatas tanah sertipikat bekas Hak Pakai Nomor 436, Hak Pakai Nomor 437
dan Hak Pakai Nomor 438/Kelurahan Pademangan Barat;
4. Menghukum Tergugat dan Tergugat II Intervensi membayar biaya perkara
secara tanggung renteng sebesar Rp. 2.803.000,- (dua juta delapan ratus tiga
ribu rupiah).
2.3.2 Posisi Kasus Pada Pengadilan Negeri Jakarta
69
Universitas Indonesia
PT Lingga Karisma mengajukan gugatan pencabutan pemblokiran kepada
Badan Pertanahan Nasional Kotamadya Jakarta Utara atas sertipikat Hak Pakai
Nomor 436/Pademangan Barat, Hak Pakai Nomor 437/Pademangan Barat, Hak
Pakai Nomor 438/Pademangan Barat. Karena pemblokiran yang dilakukan Badan
Pertanahan Nasional Kotamadya Jakarta Utara tidak didasarkan pada ketentuan
Pasal 126 peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi sebagai berikut :
Ayat (1) : Pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah
bahwa suatu hak atas tanah atau Hak Milik Atas satuan Rumah
Susun akan dijadikan objek gugatan di pengadilan dengan
menyampaikan salinan surat gugatan yang bersangkutan.
Ayat (2) : Catatan tersebut hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang
minta pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum waktu
tersebut berakhir.
Dengan demikian pemblokiran yang dilakukan tanpa didasarkan pada
ketentuan pasal 126 ayat (2) peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan tidak mengabulkan permohonan
perpanjangan hak atas sertipikat sertipikat Hak Pakai Nomor 436/Pademangan
Barat, Hak Pakai Nomor 437/Pademangan Barat, Hak Pakai Nomor
438/Pademangan Barat tercatat atas nama PT Lingga Karisma mengakibatkan
kerugian bagi PT Lingga Karisma. Sehingga dijadikan objek gugatannya pada
Pengadilan Negeri.
2.3.2.1 Sebab-sebab terjadinya sengketa
PT Lingga Karisma adalah pemilik tanah Sertipikat Hak Pakai Nomor
436/Pademangan Barat, seluas 1.784 M2, sesuai Gambar Situasi Nomor :
3423/1982 tanggal 13 Oktober 1984, berakhir haknya tanggal 12 Oktober 1994.
Hak Pakai Nomor 437/Pademangan Barat, seluas 1.392 M2, sesuai Gambar
Situasi Nomor : 3425/1982 tanggal 13 Oktober 1984, berakhir haknya tanggal
12 Oktober 1994. Hak Pakai Nomor 438/Pademangan Barat, seluas 1.719 M2,
70
Universitas Indonesia
sesuai Gambar Situasi Nomor : 3424/1982 tanggal 13 Oktober 1984, berakhir
haknya tanggal 12 Oktober 1994, terletak di Jalan RE Martadinata, Kelurahan
Pademangan Barat, Kecamatan Pademangan, Kotamadya Jakarta Utara, semuanya
tercatat atas nama PT Lingga Karisma.
Yang diperoleh PT Lingga karisma masing-masing berdasarkan akta jual
beli Nomor 589/X/Penjaringan/1990 tanggal 30 Oktober 1990, Nomor
588/X/Penjaringan/1990 tanggal 30 Oktober 1990, dan Nomor
438/IV/Penjaringan/1990 tanggal 24 April 1990 yang dibuat dihadapan Drs H.
Saidus Sjahar, SH Pejabat Pembuat Akta Tanah wilayah Jakarta Utara.
PT Lingga Karisma membeli tanah a quo tersebut karena atas tanah
tersebut diatas belum pernah dibatalkan oleh Putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap karena dinyatakan cacat hukum. Dan karena atas bidang
tanah tersebut diatas akan habis masa berlakunya tahun 1994, berdasarkan
ketentuan Pasal 47 ayat (1) Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 46
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah yang berbunyi permohonan perpanjangan jangka waktu hak pakai atau
pembaharuan diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka
waktu hak pakai tersebut. Kemudian PT Lingga Karisma tahun 1990 mengajukan
permohonan perpanjangan atas tanah dimaksud.
Terhadap permohonan perpanjangan atas bidang tanah dimaksud Badan
Pertanahan Kotamadya Jakarta Utara merekomendasikan untuk mengurus SIPPT
(Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah) dengan alasan tanah a quo milik
PT Lingga Karisma berada dalam kategori jalan protokol atau jalan besar yang
padat lalu lintasnya, dan prosedur untuk mengurus SIPPT meliputi mengajukan
pengukuran yang dikeluarkan oleh Dinas Tata Kota, mengajukan pengukuran
yang dikeluarkan oleh BPN, Mengajukan permohonan Surat Keterangan
Pendaftaran Tanah dan Mengajukan rencana penggunaan tanah. Kemudian
PT Lingga Karisma mengajukan Permohonan SIPPT pada Badan Pertanahan
Nasional Kotamadya Jakarta Utara. Dan berdasarkan surat Nomor
72/V/PGT/2/JU/1991 tanggal 17 Januari 1991, Badan Pertanahan Nasional
Kotamadya Jakarta Utara mengirimkan surat rekomendasasi pada Badan
Pertanahan Nasional Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang intinya
71
Universitas Indonesia
menyatakan tanah a quo adalah milik PT Lingga Karisma yang dimohonkan untuk
ruko, kantor dan fasilitasnya. Selanjutnya Badan Pertanahan Nasional Wilayah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan surat Nomor : 1.711.52/328/31/PPT/1999
tanggal 7 Januari 1999, mengirimkan surat rekomendasi ke Gubernur DKI Jakarta
melalui Kepala Dinas Tata Kota Jakarta yang intinya menyatakan bahwa tanah a
quo tercatat atas nama PT Lingga Karisma dan dikuasai oleh PT Lingga Karisma.
Kemudian Tahun 2002 PT Lingga Karisma mengajukan permohonan
perpanjangan atas sertipikat Hak Pakai Nomor 436/Pademangan Barat, Hak Pakai
Nomor 437/Pademangan Barat dan Hak Pakai Nomor 438/Pademangan Barat,
setelah melalui proses yang telah ditentukan oleh Badan Pertanahan Nasional
Kotamadya Jakarta Utara yang berdasarkan hasil penelitian dan pengukuran di
lapangan ternyata tanah a quo benar tercatat atas nama PT Lingga Karisma.
Bahwa hasil penelitian dan pengukuran di lapangan berdasarkan Berita
Acara Penelitian/Pengukuran Tanah Nomor : 324/Pen/XI/KH/2003 untuk
sertipikat hak pakai nomor 436/Pademangan Barat sebagian di atas tanah
436/Pademangan Barat didirikan bangunan oleh Walikotamadya Jakarta Utara cq
Suku Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan Kotamadya Jakarta Utara berupa
pagar tembok dan sebuah bangunan batu (gardu listrik). Selain itu sertipikat Hak
Pakai Nomor 436/Pademangan Barat, Hak Pakai Nomor 437/Pademangan Barat
dan Hak Pakai Nomor 438/Pademangan Barat tidak dapat diurus karena terhadap
ketiga sertipikat tersebut telah dilakukan pemblokiran oleh Badan Pertanahan
Nasional Kotamadya Jakarta Utara sehingga PT Lingga Karisma mengalami
banyak kerugian.
2.3.2.2 Putusan Pengadilan Negeri
Bahwa berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal
2 September 2008 Nomor 09/Pdt.G/2008/PN-Jkt.Ut, Pengadilan Negeri Jakarta
Utara yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada peradilan tingkat
pertama, telah menjatuhkan putusan dalam perkara antara PT. Lingga Karisma
berkedudukan di Jalan K.H. Hasyim Ashari Nomor 50-50A Jakarta, selanjutnya
disebut Penggugat, melawan PT. Kereta Api (Persero) cq. PT. Kereta Api
(Persero) Daerah Operasi I Jakarta yang berkedudukan di Jalan Stasiun Kota
Nomorl Jakarta, untuk selanjutnya disebut Tergugat I, Hotel Eksekutif yang
72
Universitas Indonesia
berkedudukan di Jalan RE Martadinata Nomor2 Jakarta Utara, untuk selanjutnya
disebut Tergugat II, Badan Pertanahan Nasional cq Badan Pertanahan Nasional
Wilayah DKI Jakarta cq Badan Pertanahan Nasional Kotamadya Jakarta Utara
yang berkedudukan di Jalan Laksda Yos Sudarso Nomor 27-29 Jakarta Utara,
untuk selanjutnya disebut Turut Tergugat I, Walikotamadya Jakarta Utara cq Suku
Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan Kotamadya Jakarta Utara yang
berkedudukan di Jalan Laksda Yos Sudarso Nomor 27-29 Jakarta Utara, untuk
selanjutnya disebut Turut Tergugat II, Walikotamadya Jakarta Utara cq Suku
Dinas Tata Kota Kotamadya Jakarta Utara yang berkedudukan di Jalan Laksda
Yos Sudarso Nomor 27-29 Jakarta Utara, untuk selanjutnya disebut Turut
Tergugat III. Dan telah memeriksa, memutus dan mengadili
1. Dalam Konpensi dan Dalam Provisi:
Menolak gugatan Provisi
2. Dalam Eksepsi:
Menolak Eksepsi yang diajukan oleh Tergugat I dan Tergugat II, dan Turut
Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III untuk seluruhnya
3. Dalam Pokok Perkara:
a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
b. Menyatakan bahwa Tergugat I dan Tergugat II, dan Turut Tergugat I telah
melakukan perbuatan melawan hukum;
c. Menyatakan tanah yang terletak di Jalan RE Martadinata
Kelurahan Pademangan Barat, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara
dengan total seluas 4.895 M2 berdasarkan sertipikat Hak Pakai Nomor
436/Pademangan Barat, sertipikat Hak Pakai Nomor 437/Pademangan
Barat dan sertipikat Hak Pakai Nomor 438/Pademangan Barat adalah milik
Penggugat;
d. Menghukum Tergugat I untuk segera mengosongkan dan membongkar
bangunan yang berdiri diatas tanah milik penggugat berdasarkan sertipikat
Hak Pakai Nomor 436/Pademangan Barat, sertipikat Hak Pakai Nomor
437/Pademangan Barat dan sertipikat Hak Pakai Nomor 438/Pademangan
Barat serta mengembalikan tanah tersebut kepada Penggugat;
73
Universitas Indonesia
e. Menghukum Tergugat II segera mengosongkan dan membongkar
bangunan yang berdiri diatas tanah milik Penggugat berdasarkan sertipikat
Hak Pakai Nomor 436/Pademangan Barat serta mengembalikan tanah
tersebut kepada Penggugat;
f. Menyatakan batal demi hukum perjanjian sewa menyewa tanah antara
Tergugat I dan Tergugat II atas sebagian tanah milik Penggugat
berdasarkan sertipikat Hak Pakai Nomor 436/Pademangan Barat;
g. Menyatakan blokir yang dikabulkan oleh Turut Tergugat I terhadap
sertipikat Hak Pakai Nomor 436/Pademangan Barat, sertipikat Hak Pakai
Nomor 437/Pademangan Barat dan sertipikat Hak Pakai Nomor
438/Pademangan Barat telah berakhir; Memerintahkan Turut Tergugat I
untuk mengabulkan permohonan perpanjangan Hak Pakai Nomor
436/Pademangan Barat, sertipikat Hak Pakai Nomor 437/Pademangan
Barat dan sertipikat Hak Pakai Nomor 438/Pademangan Barat yang
diajukan oleh Penggugat;
h. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II serta Turut Tergugat I secara
tanggung renteng untuk membayar ganti rugi immaterial kepada
Penggugat sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);
i. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk
membayar kepada Penggugat uang paksa sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus
lima puluh ribu rupiah) setiap hari keterlambatan melaksanakan putusan
ini terhitung sejak putusan berkekuatan hukum tetap;
j. Menolak yang lain dan selebihnya.
2.3.2.3 Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
Bahwa berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 6 Maret
2009 Nomor 53/PDT/2009/PT.JKT; Pengadilan Tinggi Jakarta yang memeriksa
dan mengadili perkara perdata dalam peradilan tingkat banding, telah
menjatuhkan putusan dalam perkara antara:
1. PT. Kereta Api Indonesia (Persero) cq. PT. Kereta Api Indonesia (Persero)
Daerah Operasi I Jakarta yang berkedudukan di Jalan Stasiun Kota Nomor l
Jakarta;
74
Universitas Indonesia
2. Hotel Eksekutif yang berkedudukan di Jalan RE Martadinata Nomor2 Jakarta
Utara, selanjutnya disebut sebagai Pembanding I dan Pembanding II semula
Tergugat I dan Tergugat II;
3. Walikotamadya Jakarta Utara cq Suku Dinas Penataan dan Pengawasan
Bangunan Kotamadya Jakarta Utara yang berkedudukan di Jalan Laksda Yos
Sudarso Nomor 27-29 Jakarta Utara;
4. Walikotamadya Jakarta Utara cq Suku Dinas Tata Kota Kotamadya Jakarta
Utara yang berkedudukan di Jalan Laksda Yos Sudarso Nomor 27-29 Jakarta
Utara, selanjutnya disebut sebagai Pembanding III dan Pembanding V semula
Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III;
5. Badan Pertanahan Nasional cq Badan Pertanahan Nasional Wilayah DKI
Jakarta cq Badan Pertanahan Nasional Kotamadya Jakarta Utara yang
berkedudukan di Jalan Laksda Yos Sudarso Nomor 27-29 Jakarta Utara,
selanjutnya disebut sebagai Pembanding V semula Turut Tergugat I.
Melawan :
PT. Lingga Karisma berkedudukan di Jalan K.H. Hasyim Ashari Nomor
50-50A Jakarta, selanjutnya disebut sebagai Terbanding semula Penggugat.
Mengadili:
a. Menerima permohonan banding dari Pembanding I semula Tergugat I,
Pembanding II semula serta Turut Tergugat II, Pembanding III semula Turut
Tergugat II, Pembanding IV semula Turut Tergugat III, dan Pembanding V
semula Tergugat I;
b. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Nomor
09/Pdt.G/2008/PNJKT.UT tanggal 2 September 2008 yang dimohonkan
banding tersebut;
c. Menghukum Pembanding semula Tergugat I, Pembanding II semula Tergugat
II, Pembanding III semula Turut Tergugat II, Pembanding TV semula Turut
Tergugat III dan Pembanding V semula Turut Tergugat I secara tanggung
renteng untuk membayar biaya perkara dalam dua tingkat peradilan, dalam
tingkat banding ditetapkan sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu
rupiah).
2.3.2.4.1 Putusan Mahkamah Agung
75
Universitas Indonesia
2.3.2.4.2 Tingkat Kasasi
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal
2 Desember 2009 Nomor 1880.K/PDT/2009, Mahkamah Agung Republik
Indonesia yang memeriksa perkara perdata dalam peradilan tingkat kasasi, telah
memutuskan dalam perkara antara:
1. Badan Pertanahan Nasional cq Badan Pertanahan Nasional Wilayah DKI
Jakarta cq Badan Pertanahan Nasional Kotamadya Jakarta Utara, yang
berkedudukan di Jalan Laksda Yos Sudarso Nomor 27-29 Jakarta Utara,
selanjutnya disebut sebagai Pemohon Kasasi I dahulu Turut Tergugat
I/Pembanding V;
2. Walikotamadya Jakarta Utara cq Suku Dinas Penataan dan Pengawasan
Bangunan Kotamadya Jakarta Utara yang berkedudukan di Jalan Laksda Yos
Sudarso Nomor 27-29 Jakarta Utara, selanjutnya disebut sebagai Pemohon
Kasasi II dahulu Turut Tergugat II/Pembanding III;
3. Walikotamadya Jakarta Utara cq Suku Dinas Tata Kota Kotamadya Jakarta
Utara, yang berkedudukan di Jalan Laksda Yos Sudarso Nomor 27-29 Jakarta
Utara, selanjutnya disebut sebagai Pemohon Kasasi II dahulu Turut
Tergugat III/Pembanding IV;
4. Hotel Eksekutif yang berkedudukan di Jalan RE Martadinata Nomor2 Jakarta
Utara, selanjutnya disebut sebagai Pemohon Kasasi III dahulu Tergugat
II/Pembanding II;
5. PT. Kereta Api Indonesia (Persero) cq. PT. Kereta Api Indonesia (Persero)
Daerah Operasi I Jakarta, berkedudukan di Jalan Stasiun Kota Nomorl Jakarta,
selanjutnya disebut sebagai Pemohon Kasasi IV dahulu Tergugat
I/Pembanding I.
Melawan:
PT. Lingga Karisma berkedudukan di Jalan K.H. Hasyim Ashari Nomor
50-50A Jakarta, selanjutnya disebut sebagai Termohon Kasasi
dahulu Penggugat/Terbanding.
Mengadili:
a. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I Badan Pertanahan
Nasional cq. Badan Pertanahan Nasional Wilayah DKI Jakarta cq. Badan
76
Universitas Indonesia
Pertanahan Nasional Kotamadya Jakarta Utara; Pemohon Kasasi II,
Walikotamadya Jakarta Utara cq. Suku Dinas Penataan dan Pengawasan
Bangunan Kotamadya Jakarta Utara dan Wlikotamadya Jakarta Utara cq Suku
Dinas Tata Kota Kotamadya Jakarta Utara, Pemohon Kasasi III, Hotel
Eksekutif, serta Pemohon Kasasi IV, PT. Kereta Api Indonesia (Persero) cq.
PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi I Jakarta.
b. Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor
53/PDT/2009/PT.JKT tanggal 6 Maret 2009 yang telah menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 2 September 2008 Nomor
09/Pdt.G/2008/PN-Jkt.Ut.
2.3.2.4.2 Tingkat Peninjauan Kembali
Berdasarkan Salinan Putusan Perkara Kasasi Perdata tanggal 29 April
2010 Nomor 607 PK/Pdt/2010, Mahkamah Agung Republik Indonesia yang
memeriksa perkara perdata dalam tingkat peninjauan kembali, telah memutuskan
dalam perkara antara :
PT. Lingga Karisma berkedudukan di Jalan K.H. Hasyim Ashari Nomor
50-50A Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada Nuriaty sitompul, SH.,
Mauliate Sitompul, SE., SH., Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum
Sitompul and Partners, berkantor di Wisma Sejahtera Jalan Let. Jend. S. Parman
Kav. 75 Ground Floor/Basement Suite 1E2 Jakarta Barat, berdasarkan surat kuasa
khusus tanggal 14 Maret 2010, Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Termohon
Kasasi/Penggugat/Terbanding
Melawan:
1. Badan Pertanahan Nasional cq Badan Pertanahan Nasional Wilayah DKI
Jakarta cq Badan Pertanahan Nasional Kotamadya Jakarta Utara;
2. Walikotamadya Jakarta Utara cq Suku Dinas Penataan dan Pengawasan
Bangunan Kotamadya Jakarta Utara (dalam surat kuasa tersebut Suku Dinas
Pengawasan dan Penertiban Bangunan Jakarta Utara);
3. Walikotamadya Jakarta Utara cq Suku Dinas Tata Kota Kotamadya Jakarta
Utara (dalam surat kuasa tersebut Suku Dinas Tata Ruang Jakarta Utara); 1
sampe dengan 3 berkedudukan Jalan Laksda Yos Sudarso Nomor 27-29
Jakarta Utara;
77
Universitas Indonesia
4. Hotel Exsecutive, berkedudukan di Jalan RE Martadinata Nomor2 Kecamatan
Pademangan, Kotamadya Jakarta Utara;
5. PT. Kereta Api Indonesia (Persero) cq. PT. Kereta Api maonesia Daerah
Operasi I Jakarta, berkedudukan di Jalan Stasiun Kota Nomor l Jakarta, Para
Termohon Peninjauan Kembali dahulu para Pemohon Kasasi/Turut
Tergugat I, II, III dan Tergugat I dan II/Para Pembanding.
Mengadili:
1. Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali:
PT. LINGGA KARISMA, tersebut.
2. Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara
dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta
lima ratus ribu rupiah).
2.4. Pembahasan
2.4.1. Status Penguasaan Tanah PT Kereta Api (Persero)
Sebelum dilaksanakan pembangunan jalan kereta api oleh Staats
Spoorwegen disingkat SS, terlebih dahulu telah dilakukan penyerahan penguasaan
tanah Negara kepada SS. Penyerahan penguasaan tanah (bestemming) kepada SS
dilakukan berdasarkan ordonansi yang dimuat dalam Staatsblad Nederlansch
Indie. Setiap lintas jalan kereta api dibestemmingkan kepada SS dan dimuat dalam
Staatsblad masing-masing. Berdasarkan Staatsblad-Staatsblad tersebut Pemerintah
telah menyerahkan penguasaan tanah kepada SS. Tanah itu kemudian berada di
bawah penguasaaan (in beheer) pada SS.
Tanah-tanah yang sudah dibestemmingkan kepada SS, lalu diukur,
dipetakan dan diuraikan dalam grondkaart. Pembuatan grondkaart dilakukan
menurut teknik geodesi oleh Landmester (Petugas Pengukuran Kadaster). Untuk
memenuhi legalitas sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka setiap grondkaart
disahkan oleh Kepala Kantor Kadaster dan Residen setempat. Grondkaart
menguraikan dan menjelaskan secara konkrit batas-batas tanah yang sudah
diserahkan kepada SS berdasarkan ordonansi yang dimuat dalam staatsblad
masing-masing. Tanah-tanah yang diuraikan dalam grondkaart tersebut statusnya
adalah tanah Negara, namun kualitasnya sudah menjadi kekayaan Negara aset SS,
78
Universitas Indonesia
sehingga terhadap tanah tersebut berlaku peraturan perundang-undangan
perbendaharaan Negara.
Pengukuran dan pembuatan peta tanah pada umumnya dilakukan oleh
Landmester (Petugas Pengukuran Kadaster) untuk berbagai keperluan, baik untuk
keperluan isntansi pemerintah maupun untuk keperluan orang dan badan hukum
swasta. Pengukuran dan pemetaan untuk keperluan orang atau badan hukum
swasta, hasilnya disebut “Meetbrief” terjemahannya Surat Ukur, yang berfungsi
sebagai lampiran untuk memohon sesuatu hak atas tanah kepada pemerintah.
Meetbrief ini baru mempunyai nilai yuridis setelah diterbitkan surat keputusan
dari Residen. Pengukuran dan pemetaan untuk keperluan SS hasilnya disebut
grondkaart yaitu merupakan hasil final yang tidak perlu ditindaklanjuti dengan
surat keputusan pemberian hak oleh Pemerintah.
Berdasarkan azas domein dalam hukum agrarian sebagaimana yang
termuat dalam Agrarische Wet (Staatsblad 1870 Nomor 55) dan Agrarisch Besluit
(Staatsblad 1870 Nomor118), kepada Instansi Pemerintah tidak diberikan surat
tanda bukti hak. Sesuai dengan azas domein tersebut, maka yang diwajibkan
untuk mempunyai tanda bukti hak atas tanah hanyalah orang atau badan hokum
swasta. Sedangkan bukti yang diperlukan oleh Instansi Pemerintah cukup
penyerahan penguasaan tanah (bestemming) saja berdasarkan Staatsblad 1911
Nomor 110 dan Staatsblad 1940 Nomor 430 dijelaskan bahwa tanah yang sudah
dibestammingkan itu otomatis menjadi asset Instansi Pemerintah yang
bersangkutan.
Berdasarkan azas hukum tersebut di atas, maka kepada SS tidak pernah
diberikan surat tanda bukti hak atas tanah. Tanah-tanah yang sudah diserahkan
penguasaan tanahnya kepada SS ditindaklanjuti dengan pembuatan grondkaart.
Tanah-tanah yang sudah diuraikan dalam grondkaart itu menjadi kekayaan
Negara, sehingga tidak dapat diberikan kepada pihak lain sebelum mendapat izin
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan Pembina Umum
Kekayaan Negara.
Sejak terbentuknya Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI)
pada tanggal 28 September 1945 maka semua asset SS yang diuraikan dalam
grondkaart otomatis menjadi asset DKARI. Kemudian berdasarkan Pengumuman
79
Universitas Indonesia
Menteri Perhubungan Tenaga Kerja dan Pekerjaan Umum Nomor 2 Tahun 1950,
dibentuk Djawatan Kereta Api (DKA) yang berda di bawah naungan Departemen
Perhubungan Tenaga Kerja dan Pekerjaan Umum sehingga asset SS otomatis
menjadi asset DKA, selanjutnya menjadi asset PNKA, PJKA, PERUMKA,
sekarang menjadi asset PT Kereta Api (Persero).
2.4.2. Putusan Kasasi Nomor 292 K/TUN/2008
Putusan pada Pengadilan Tata Usaha Negara mengabulkan gugatan
PT Kereta Api (Persero) sedangkan pada tingkat banding di pengadilan tinggi tata
usaha negara menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Menurut hukum menolak secara fiktif negatif, tidak tegas dan tidak nyata
adalah salah karena tidak ada alasan hukum bila mempertahankan keberadaan
ketiga sertipikat bekas Hak Pakai Nomor 436, 437 dan 438/Pademangan Barat
yang sudah habis masa berlakunya tanggal 12 Oktober 1994 dan tidak dapat
diperpanjang, karena sertipikat yang habis masa berlakunya dan tidak
diperpanjang seharusnya kembali menjadi Tanah Negara, apalagi dalam kasus ini
ada pengelolanya yakni PT Kereta Api (Persero).
Disamping itu terhadap masalah kepemilikan hak atas tanah sudah ada
putusan hukumnya. Secara proporsional penolakan secara diam-diam tersebut
adalah salah karena prosedur permohonan hak oleh PT Kereta Api (Persero) sudah
tepat, tetapi Kepala Badan Pertanahan Kotamadya Jakarta Utara tidak
menghiraukan permohonan PT Kereta Api (Persero) oleh karenanya Kepala
Badan Pertanahan Kotamadya Jakarta Utara telah berbuat sewenang-wenang,
terlebih lagi lahan yang dimohonkan tersebut adalah masih terdaftar sebagai
aktiva Asset PT Kereta Api (Persero).
Sehingga pada tingkat kasasi pada mahkamah agung mengabulkan
gugatan PT Kereta Api (Persero) dengan amar putusannya menyatakan batal sikap
diam Tergugat terhadap surat Penggugat tanggal 21 September 2006 tentang
Permohonan Hak Pengelolaan atas nama PT. Kereta Api (Persero) dan
menyatakan agar sertipikat bekas Hak Pakai Nomor 436, Hak Pakai Nomor 437
dan Hak Pakai Nomor 438/Kelurahan Pademangan Barat atas nama PT. Lingga
Karisma tidak berlaku lagi dan Memerintahkan Tergugat untuk memproses surat
80
Universitas Indonesia
Penggugat tentang Permohonan Pemberian Hak Pengelolaan atas nama
PT. Kereta Api (Persero) Pademangan Barat serta menghukum tergugat
membayar biaya perkara secara tanggung renteng.
2.4.3. Putusan Peninjaun Kembali Nomor 607 PK/Pdt/2010
Putusan pada tingkat pengadilan Negeri mengabulkan gugatan PT Lingga
Karisma sedangkan dalam tingkat banding putusan Pengadilan Tinggi
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta yang dimohonkan oleh
Pembanding PT Kereta Api (Persero).
Pemblokiran yang diajukan PT Kereta Api (Persero) berakhir dengan
sendirinya pada hari ke 30 sejak tanggal diterimanya permohonan pemblokiran
dan bukan merupakan alasan tidak memproses permohonan PT Lingga Karisma,
sehingga dalam hal ini blokir dimaksud bukan lagi sebagai pokok persoalan
melainkan Surat Ijin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) yang harus
dilengkapi PT Lingga Karisma dalam rangka permohonan pembaruan hak atas
tanah yang menjadi pertimbangan utama dan persyaratan tersebut belum
dilengkapi oleh PT Lingga Karisma.
Hal lainnya Surat Keterangan atau surat rekomendasi yang menjadi dasar
untuk memproses sertipikat Hak Pakai Nomor 436, 437 dan 438/Pademangan
Barat tersebut dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang untuk itu yaitu
kepala bagian jalan dan bangunan. Seharusnya menurut ketentuan pelepasan aset
negara termasuk BUMN seperti halnya perumka harus dilakukan oleh Direktur
Jenderal Pembinaan BUMN atas nama Menteri Keuangan Republik Indonesia
sebagaimana diatur dalam undang-undang perbendaharaan negara, karena
mengenai kekayaan negara berupa tanah kualitasnya sebagai kekayaan negara
tidak akan hapus walaupun hak atas tanah tersebut sudah berakhir atau tanah
tersebut belum bersertipikat sehingga terhadap tanah yang menjadi objek sengketa
adalah tanah negara.
Kemudian pada tingkat kasasi membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
Jakarta yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
selanjutnya pada Permohonan peninjauan kembali majelis hakim menolak
permohonan peninjauan kembali tersebut.
81
Universitas Indonesia
Adapun alasan hukum diajukannya Permohonan Peninjauan Kembali oleh
PT Lingga Karisma dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah
Adanya novum atau bukti surat baru yang menunjukan kebenaran dalil-dalil yang
diungkapkan pemohon peninjauan kembali dan adanya suatu kekhilafan Hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata dalam putusannya.
Tetapi berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
607 PK/Pdt/2010 tanggal 16 September 2011 alasan-alasan peninjauan kembali
PT Lingga Karisma tidak dibenarkan dengan alasan putusan Judex Juris sudah
tepat dan benar serta tidak adanya novum baru, dan terhadap tanah yang
disengketakan merupakan tanah Negara yang telah diperuntukan untuk
penguasaan PT Kereta Api (Persero), sehingga bukan merupakan tanah Negara
biasa tetapi tanah Negara tidak bebas dan tidak boleh diberikan pada pihak lain.
Penguasaan tanah atas ketiga bidang tanah yang menjadi sengketa saat ini
telah dikuasai PT Kereta Api (Persero) baik secara yuridis maupun fisik. Karena
sudah mendapatkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), hal
mana dibuktikan dengan :1) Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
tanggal 10 Desember 2007 Nomor 59/G/2007/PTUN-JKT, 2) Putusan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 22 Mei 2008 Nomor
43/B/2008/PT.TUN-JKT, 3) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
tanggal 10 Desember 2008 Nomor 292.K/TUN/2008, 4) Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Utara tanggal 2 September 2008 Nomor 09/Pdt.G/2008/PN-Jkt.Ut,
5) Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Tanggal 6 Maret 2009 Nomor
53/PDT/2009/PT.JKT 6) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal
2 Desember 2009 Nomor 1880.k/PDT/2009 7) Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Perkara Kasasi Perdata tanggal 29 April 2011 Nomor
607 PK/Pdt/2010 8) Bahwa Sesuai hasil pengukuran kadasteral tanah seluas
4.895 M2 sebagaimana diuraikan pada Surat Ukur tanggal 20 Juli 2010 Nomor
00046/Pademangan Barat/2010 Nomor Identifikasi Bidang Tanah
09.05.07.02.04726 yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota
Administrasi Jakarta Utara yang dimohonkan Hak Pengelolaan tercatat atas nama
PT Kereta Api (Persero), secara yuridis Maupin fisik masih dikuasai PT Kereta
Api Indonesia (Persero) dan tidak ada keberatan dari pihak lain sebagaimana
82
Universitas Indonesia
diuraikan dalam Risalah Pemeriksaan Tim Peneliti Tanah kantor Pertanahan Kota
Administrasi Jakarta Utara tanggal 30 September 2010 Nomor 1835-
30527/TPT/PTP/JU/2010. 9) Bahwa terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta, Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dan
Putusan mahkamah Agung Nomor 292.K/TUN/2008 tanggal 18 Maret 2009,
dengan telah berakhir haknya pada tanggal 12 Oktober 1994, atas sertipikat Hak
Pakai Nomor 436,437 dan 438/Pademangan barat tercatat atas nama PT Lingga
Karisma batal dengan sendirinya dan menjadi tanah Negara.
Sehingga terhadap bidang tanah sertipikat Hak Pakai Nomor
436/Pademangan Barat, seluas 1.784 M2, sesuai Gambar Situasi Nomor :
3423/1982 tanggal 13 Oktober 1984, Sertipikat Hak Pakai Nomor
437/Pademangan Barat, seluas 1.392 M2, sesuai Gambar Situasi Nomor :
3425/1982 tanggal 13 Oktober 1984, dan Sertipikat Hak Pakai Nomor
438/Pademangan Barat, seluas 1.719 M2, sesuai Gambar Situasi Nomor :
3424/1982 tanggal 13 Oktober 1984, telah mempunyai alasan yang cukup baik
dilihat dari aspek administrasi, aspek yuridis, aspek Fisik dan aspek prosedural
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk memberikan dan
menetapkan Hak Pengelolaan pada PT Kereta Api (Persero) atas tanah seluas
4.895 M2, yang terletak di Kelurahan Pademangan Barat, Kecamatan
Pademangan, Kota Jakarta Utara, Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Berdasarkan uraian-uraian yang peneliti kemukakan, sengketa Tata Usaha
Negara maupun sengketa perdata, menjadi media untuk menuntut hak dengan cara
mengajukan gugatan. Isi gugatan terdiri dari bagian identitas para pihak,
fundamentum petendi (posita) dan petitum. Perbedaan pertama pada identitas
tergugat, dalam sengketa Tata Usaha Negara, Tergugat selalu pejabat atau Badan
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Penggugat selalu orang atau badan hukum perdata. Perbedaan kedua pada alasan
gugatan. Perbedaan ketiga pada dasar untuk menguji objek gugatan. Dalam
sengketa tata usaha negara, alasan dan dasar gugatan sudah ditentukan secara
limitative dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Undang-undang pokok Agraria tidak hanya sebagai landasan bagi
pemberian dan peraturan peruntukan semata-mata, melainkan juga dapat
83
Universitas Indonesia
memberikan wewenang bagi pemerintah untuk menghentikan hak-hak atas tanah
apabila syarat-syarat yang terkandung didalamnya tidak keliru dijalankan baik
baik oleh masyarakat sebagai subjek hak maupun pemerintah sebagai instansi
yang diberikan wewenang untuk menyelenggarakan tugas atau fungsi tersebut
dalam hal ini Direktorat Jenderal Agraria.
Dari uraian di atas juga dapat diketahui bahwa penyelesaian sengketa
tanah di lingkungan Peradilan Umum dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara berdasarkan jenis perkara atau jenis sengketa, dalam penerapannya
mengalami kendala. Hal ini dikarenakan tidak semua perkara atau sengketa dapat
diidentifikasi sebagai murni sengketa Tata Usaha Negara atau sengketa perdata.
Persamaan antara Hukum Acara Pengadilan Negeri (Perdata) dengan Hukum
Acara PTUN, keduanya bertujuan untuk melindungi hak dan kepentingan yang
dilanggar oleh pihak lain sehingga dapat merugikan salah satu pihak. Sedangkan
perbedaan di antara keduanya adalah kebenaran yang dicari dalam pemeriksaan
perkara perdata di Pengadilan Negeri adalah kebenaran formil, sedangkan dalam
PTUN adalah kebenaran materil sehingga hakim berperan lebih aktif. Sedangkan
yang dapat dituntut di muka PTUN terbatas pada satu macam tuntutan pokok
berupa tuntutan agar keputusan TUN yang telah merugikan kepentingan
Penggugat dinyatakan batal atau tidak sah.
Pertimbangan hukum hakim dalam putusan tersebut sudah sesuai dengan
peraturan yang berlaku dan penelitian ini menyimpulkan bahwa sertipikat tanah
mempunyai sisi ganda, satu sisi sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
dan disisi lainnya sebagai tanda bukti hak keperdataan (kepemilikan) seseorang
atau badan hukum atas tanah, sehingga apabila terjadi sengketa sertipikat
ganda/overlapping, penyelesaiannya dapat ditempuh melalui 2 (dua) jalur
peradilan, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Negeri. Kemudian
dualisme pengajuan perkara gugatan pembatalan sertipikat tanah tersebut menarik
untuk dikaji lebih lanjut. Obyek sengketa dalam kedua perkara tersebut sama,
yaitu sertipikat hak atas tanah. Fundamentum petendi gugatan dalam kedua
perkara tersebut sama-sama mengungkapkan adanya aspek perdata dan aspek tata
usaha negara dengan petitum gugatan sama-sama menuntut pembatalan sertipikat
tanah.
84
Universitas Indonesia
Dua kasus di atas memunculkan titik singgung kewenangan mengadili
antara Badan Peradilan Umum dan Badan Peradilan Tata Usaha Negara. Hal
tersebut tidak terlepas dari sisi ganda Sertipikat Tanah. Di satu sisi sebagai
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), sedangkan di sisi lain sebagai Tanda
Bukti Hak Keperdataan. Titik singgung kewenangan tersebut menarik untuk dikaji
lebih lanjut.
Universitas Indonesia 85
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Berdasarkan analisis data yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya,
penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a. Penguasaan tanah oleh PT Kereta Api (Persero) yang dahulu dikenal dengan
nama Staats Spoorwegen disingkat SS dilakukan berdasarkan ordonansi yang
dimuat dalam Staatsblad Nederlansch Indie yang lalu kemudian dilakukan
pengukuran, dipetakan dan diuraikan dalam grondkaart. Pembuatan
grondkaart dilakukan menurut teknik geodesi oleh Landmester (Petugas
Pengukuran Kadaster). Untuk memenuhi legalitas sesuai dengan peraturan
yang berlaku, maka setiap grondkaart disahkan oleh Kepala Kantor Kadaster
dan Residen setempat. Tanah-tanah yang diuraikan dalam grondkaart tersebut
statusnya adalah tanah Negara, namun kualitasnya sudah menjadi kekayaan
negara aset SS sehingga terhadap tanah tersebut berlaku peraturan perundang-
undangan perbendaharaan Negara. Sejak terbentuknya Djawatan Kereta Api
Republik Indonesia (DKARI) pada tanggal 28 September 1945 maka semua
asset SS yang diuraikan dalam grondkaart otomatis menjadi asset DKARI.
Kemudian berdasarkan Pengumuman Menteri Perhubungan Tenaga Kerja dan
Pekerjaan Umum Nomor 2 Tahun 1950, dibentuk Djawatan Kereta Api
(DKA) yang berda di bawah naungan Departemen Perhubungan Tenaga Kerja
dan Pekerjaan Umum sehingga asset SS otomatis menjadi asset DKA,
selanjutnya menjadi asset PNKA, PJKA, PERUMKA, sekarang menjadi asset
PT Kereta Api (Persero).
87
Universitas Indonesia
b. Terhadap sengketa hak atas tanah dalam kasus ini yang disidangkan di
Pengadilan Negeri, yang menjadi objek perkara dalam sengketa adalah bukan
Keputusan Tata Usaha Negara atau bukan Sertifikat hak atas tanah tersebut
melainkan hak-hak atau kepentingan-kepentingan masyarakat yang dirugikan
dan dilanggar sebagai akibat keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara atau
keluarnya sertipikat tersebut. Sedangkan yang menjadi objek perkara pada
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara. Hal ini
disebabkan sertipikat Hak atas Tanah yang mengeluarkan adalah Badan
Pertanahan Nasional (BPN), BPN merupakan Jabatan Tata Usaha Negara,
sehingga jika ada sengketa terhadap Sertifikat Hak atas Tanah yang berhak
memeriksa dan mengadili adalah PTUN sesuai dengan kompetensi atau
kewenangan absolutenya. Sehingga permohonan hak atas tanah yang diajukan
ke BPN, jika tidak mendapat tanggapan oleh BPN maka BPN dianggap telah
mengeluarkan penetapan tertulis yang berisi penolakan permohonan tersebut.
Oleh karena itu terhadap BPN yang dianggap telah mengeluarkan penetapan
tertulis, penolakan tersebut dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara
dengan jangka waktu 90 hari dihitung setelah pejabat TUN yang bersangkutan
dianggap mengeluarkan putusan. Sengketa hak atas tanah dalam penelitian ini
terjadi akibat adanya suatu keputusan tata usaha Negara yang merugikan
penggugat. Setelah melalui proses pengajuan gugatan dan pemeriksaan, proses
yang paling utama dari rangkaian proses beracara di peradilan adalah
pelaksanaan putusan atau eksekusi terhadap putusan yang telah inkracht atau
berkekuatan hukum tetap. Yakni mengembalikan hak-hak PT Kereta api
(Persero) yang telah dilanggar oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
3.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis memberikan saran-saran sebagai
berikut :
a. Dasar penguasaan tanah oleh PT. Kereta Api (Persero) berupa grondkaart
tersebut statusnya adalah tanah Negara. Untuk mengurangi sengketa
kepemilikan tanah yang seringkali timbul, maka sebaiknya PT. Kereta Api
(Persero) mendaftarkan kepemilikan tanahnya tersebut pada Kantor
Pertanahan dimana letak tanahnya tersebut berada dan selalu menjaga dan
87
Universitas Indonesia
memonitoring penguasaan tanah tersebut secara fisik dan yuridis agar tanah
tersebut tidak diakui oleh pihak manapun.
b. Hendaknya Hakim dalam memeriksa dan memutuskan kasus sengketa hak
atas tanah pada Pengadilan Perdata maupun Pengadilan Tata Usaha Negara,
lebih cermat dan teliti serta selalu berkoordinasi dengan Kantor Pertanahan
dimana letak tanah yang menjadi objek sengketa berada serta instansi terkait
lainnya untuk dapat menentukan kompetensi absolut pengadilan mana yang
harusnya menjadi kewenangan dari sengketa kasus pertanahan tersebut dan
untuk memberikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan di
pengadilan. Badan Pertanahan Nasional juga perlu meningkatkan kemampuan
dan keahlian dalam bidang hukum dan kajiannya yang berkaitan dengan tugas
dan wewenangnya di bidang pertanahan sehingga kasus sengketa hak atas
tanah dalam penelitian ini tidak terulang kembali. Karena sudah menjadi
tanggung jawabnya untuk menyelesaikan dan mengimplementasikan urusan-
urusan pertanahan dan melaksanakannya secara konsisten sesuai peraturan
hukum yang berlaku.
88
DAFTAR REFERENSI
1. Buku Bachtiar, Effendi. (1993). Pendaftaran Tanah Di Indonesia Dan Peraturan
Pelaksanaannya. Bandung : Alumni. Chomzah Ali, Achmad. (2003). Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak
Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah. Jakarta : Prestasi Pustaka.
Hadjon, Philipus. Ide Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia, (Surabaya, 1994). Mamudji, Sri et al. (2005). Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta :
Fakultas Hukum. Mahanani Subekti. (2001). Kedudukan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 dan
Pengelolaan Sumber Daya Agraria Di Tengah Kapitalisasi Negara. (Bandung : Akatiga)
Mertokusumo, Sudikno. (2007). Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta :
Liberty. Muhammad Yamin Lubis dan Rahim Lubis. (2011). Pencabutan Hak, Pembebasan, dan
Pengadaan Tanah. Bandung : Mandar Maju. Muhammad, Abdulkadir. (2004). Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung : Citra
Aditya Bakti. Murad Rusmadi. (1991). Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah. Bandung : Alumi. Oloan Sitorus. (2004). Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah. Yogyakarta : Mitra
Kebijakan Tanah Indonesia. Philippus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara, (Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2001)
89
Purbacaraka Purnadi dan Halim Ridwan, (1984). Sendi-sendi Hukum Agraria. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Rahardjo, R. ( 2008). Himpunan Istilah pertanahan dan yang terkait,. Jakarta,
Djambatan. Santoso Urip, (2005). Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana. Sarjita. (2005). Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan. Yogyakarta :
Tugujogja Pustaka. Sayekti, Sri. (2000). Hukum Agraria Nasional, (Bandar Lampung : Universitas
Lampung. Sangadji, Z.A.. 2003). Kompetensi Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha
Negara. Bandung : Citra Aditya Bakti. Santoso, Urip. (2010). Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah. Jakarta : Kencana
Prenada Media. Sutedi, Adrian. (2010). Peralihan Hak atas Tanah dan pendaftarannya. Jakarta : Sinar
Grafika. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji.(2007). Penelitian Hukum Normatif. Jakarta :
Radja Grafindo Persada. Soekanto, Soerjono. (2007). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. Soemardjono, Maria. (2008). Mediasi Sengketa Tanah. Jakarta : Gramedia. Soimin, Soedharyo. (2004). Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta : Sinar Grafika. Sihombing Irene eka. (2005). Segi-Segi Hukum Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan. Jakarta : Trisakti. Subekti R. dan Tjitrosudibio R.(1985). Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta :
Pradnya Paramita. Sumardjono Maria S.W. (2007). Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implementasi. Jakarta : Kompas. Supriadi. (2008). Hukum Agraria. Jakarta : Sinar Grafika. Thalib, Hambali. (2009). Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan. Jakarta :
Prenada Media.
90
Zein Ramli. 1995). Hak Pengelolaan Dalam Sistem Undang-Undang Pokok Agraria. Jakarta : Rineka Cipta.
2. Jurnal Mudjiono. (2007). Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia Melalui
Revitalisasi Fungsi Badan Peradilan. Jurnal Hukum Nomor 3 Vol 14. 3. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Badan Pertanahanan Nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah. Kementerian Perhubungan. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 Tentang
Penyelenggaraan Perkeretaapian Indonesia, Presiden. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan
Pertanahan Nasional. Kementerian Negara Agraria. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1999
Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Kementerian Dalam Negeri. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977
Tentang Tata Cara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan.
Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7
Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah.
91
Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan.
Badan Pertanahan Nasional. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.
Kementerian Negara Agraria. Surat Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan
Nasional tanggal 19 Februari 1997 Nomor 560 – 378.
Badan Pertanahan Nasional. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 4 Mei 1992 Nomor 500 – 1255.
4. Internet
http://edrasatmaidi2010.wordpress.com/2010/07/15/penyelesaian-sengketa-tun-melalui-ptun/ diakses tanggal 9 Desember 2012