Top Banner
17 BAB II LANDASAN PEMIKIRAN me urban-mal, fenomena lajang kota dan fenomena globalisasi dan glokalisasi. 2.1 merupakan tema sentral dalam konsep produksi budaya/budaya produksi. Bab ini berisi tentang landasan pemikiran yang diacu dalam penelitian ini. Landasan pemikiran tersebut tediri atas beberapa konsep, teori dan konteks produksi chick lit Indonesia. Beberapa konsep yang digunakan untuk menjelaskan produksi chick lit Indonesia antara lain konsep produksi budaya (production of culture) dan budaya produksi (cultures of production), konsep industri budaya (culture industy) dan ekonomi budaya (cultural economy). Teori yang akan dipakai untuk menganalisis adalah teori artikulasi Stuart Hall. Selanjutnya bab ini akan menjelaskan konteks produksi chikc lit Indonesia. Beberapa konteks produksi tersebut antara lain: booming chick lit luar di Indonesia, ’selebritisasi’ perempuan muda penulis, konsumeris Production of Culture dan Cultures of Production Sebelum terlalu jauh berbicara tentang produksi chick lit Indonesia maka ada baiknya untuk mempertegas perbedaan antara konsep production of culture (produksi budaya) dan cultures of production (budaya produksi). Menurut Du Gay (1997:4), yang dimaksud dengan produksi budaya (production of culture) adalah ”...how analysing the production of a cultural artefact in the present day involves not only understanding how that object is produced technically, but how it is produced culturally; how it is made meaningful – what we term ’encoded’ with particular meanings – during the production process.” Produksi budaya, dengan demikian, dapat dimaknai sebagai segala hal yang berkaitan dengan proses produksi sebuah benda budaya (cultural artefact) —tidak hanya bagaimana sebagai sebuah benda budaya (cultural artefact) ia diproduksi secara teknis (technically), tetapi juga bagaimana sebagai sebuah produk industri ia diproduksi secara kultural (culturally)—dan bagaimana ia menjadi bermakna (menyandang makna-makna tertentu) dalam proses produksinya. Makna (meaning), dengan demikian, Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010
21

T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

Jan 12, 2017

Download

Documents

buikien
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

17

BAB II

LANDASAN PEMIKIRAN

me urban-mal, fenomena lajang kota dan

fenomena globalisasi dan glokalisasi.

2.1

merupakan tema sentral dalam konsep produksi budaya/budaya

produksi.

Bab ini berisi tentang landasan pemikiran yang diacu dalam penelitian ini.

Landasan pemikiran tersebut tediri atas beberapa konsep, teori dan konteks

produksi chick lit Indonesia. Beberapa konsep yang digunakan untuk menjelaskan

produksi chick lit Indonesia antara lain konsep produksi budaya (production of

culture) dan budaya produksi (cultures of production), konsep industri budaya

(culture industy) dan ekonomi budaya (cultural economy). Teori yang akan

dipakai untuk menganalisis adalah teori artikulasi Stuart Hall. Selanjutnya bab ini

akan menjelaskan konteks produksi chikc lit Indonesia. Beberapa konteks

produksi tersebut antara lain: booming chick lit luar di Indonesia, ’selebritisasi’

perempuan muda penulis, konsumeris

Production of Culture dan Cultures of Production

Sebelum terlalu jauh berbicara tentang produksi chick lit Indonesia maka ada

baiknya untuk mempertegas perbedaan antara konsep production of culture

(produksi budaya) dan cultures of production (budaya produksi). Menurut Du Gay

(1997:4), yang dimaksud dengan produksi budaya (production of culture) adalah

”...how analysing the production of a cultural artefact in the present day involves

not only understanding how that object is produced technically, but how it is

produced culturally; how it is made meaningful – what we term ’encoded’ with

particular meanings – during the production process.” Produksi budaya, dengan

demikian, dapat dimaknai sebagai segala hal yang berkaitan dengan proses

produksi sebuah benda budaya (cultural artefact) —tidak hanya bagaimana

sebagai sebuah benda budaya (cultural artefact) ia diproduksi secara teknis

(technically), tetapi juga bagaimana sebagai sebuah produk industri ia diproduksi

secara kultural (culturally)—dan bagaimana ia menjadi bermakna (menyandang

makna-makna tertentu) dalam proses produksinya. Makna (meaning), dengan

demikian,

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 2: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

18

Sedangkan budaya produksi (cultures of production), menurut Du Gay

(1997:4), adalah: ”...the ways in which practices of production are inscribed with

particular meanings. This concern with the culture of production takes us back

once again to questions of representation and identity, but also forward to

questions of consumption.” Budaya produksi, dengan demikian, merupakan

segala budaya tertentu yang mengandung makna-makna7, nilai-nilai tertentu,

praktik-praktik sehari-hari (a particular set of values, meanings and working

practices) yang melatarbelakangi sebuah produksi budaya. Pembicaraan mengenai

produksi budaya, dengan demikian, tidak terlepaskan dari pembicaraan mengenai

representasi dan identitas, dan sekaligus membawa kita nantinya pada

pembahasan tentang konsumsi.

2.2 Circuit of Culture

Pembahasan tentang produksi tidak dapat dilepaskan dari konsep circuit of

culture. Produksi merupakan salah satu elemen dari beberapa elemen yang

terdapat dalam circuit of culture, antara lain: produksi (production), konsumsi

(consumption), regulasi (regulation), representasi (representasion), dan identitas

(identity). Hubungan antara satu elemen dengan elemen yang lain dalam circuit

of culture merupakan hubungan yang dialogis dan tidak mempunyai pola yang

pasti, absolut dan esensial. Produksi hanyalah salah satu elemen dalam circuit of

culture yang tidak dapat dipisahkan dari isu representasi, identitas, konsumsi, dan

regulasi. Penjelasan ini, dengan demikian, merupakan bantahan terhadap

perspektif ‘produksionis’ (‘productionist’) yang menyatakan produksi sebagai

satu-satunya faktor terpenting dalam produksi makna (Negus, dalam Du Gay,

1997:83).

7 Stuart Hall mendefinisikan makna (meaning) sebagai berikut: “Meaning is not a transparent reflection of the world in language but arises through the differences between the terms and categories, the systems of reference, which classify out the world and allow it to be in this way appropriated into social thought, common sense.” (lihat Hall dalam “Signification, Representation, Ideology: Althusser and the Post-Structuralist Debates”, 1985:108)

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 3: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

19

Keterangan Garis Artikulasi

Gambar 2. Circuit of Culture

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 4: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

20

Dalam konteks penelitian ini, produksi chick lit Indonesia di dalam penerbit

GagasMedia tidak hanya ditentukan dalam momen produksi semata melainkan

juga berkaitan dengan momen-momen diluar produksi yang terjadi di dalamnya.

Produksi chick lit Indonesia, sebagai sebuah artefak budaya, dengan demikian

tidak dapat dilepaskan dari momen konsumsi, regulasi, representasi dan identitas

dalam konsep lingkaran budaya (circuit of culture). Namun, perlu disampaikan

bahwa penelitian ini hanya akan menganalisi artikulasi yang terjadi antara

momen-momen produksi, baik dengan budaya produksi di dalamnya maupun

dengan momen-momen yang lain di luarnya. Artinya, penelitian ini membatasi

dirinya untuk tidak akan memasuki wilayah artikulasi antara ‘momen lain di luar

produksi’ dengan momen yang lainnya, misalnya momen regulasi dengan momen

konsumsi atau momen representasi dengan momen konsumsi dan sebagainya.

2.3 Industri Budaya (Culture Industry) dan Ekonomi Budaya (Cultural

Economy)

Produksi budaya tidak dapat dilepaskan dari konsep industri budaya (culture

industry) dan ekonomi budaya (cultural economy). Konsep industri budaya

pertama-tama diusung oleh Frankfurt School, khususnya Theodor W. Adorno dan

Max Horkheimer. Konsep industri budaya menyatakan tentang intervensi industri

dalam produksi benda budaya (cultural artefact). Pada zaman pra-industri, sebuah

benda budaya diproduksi secara otonom/murni (autonomous realm). Dalam

artian, tidak ada campur tangan industri dengan segala sistem pasar dalam proses

produksi sebuah benda budaya. Pemenuhan terhadap kebutuhan massa (mass

consumption) dalam sebuah industri tidak menjadi faktor penentu dalam proses

produksi tersebut. Benda budaya, oleh karenanya, selalu diandaikan dipenuhi

dengan nilai-nilai tinggi seperti seni tinggi (high art), otentik (authenticity), dan

kebenaran (truth). Di sisi yang lain, produk industri selalu diandaikan sebagai

banal, penuh perhitungan laba (profit), dan bersifat massal (consumer goods).

Adorno dan Horkheimer melihat perubahan telah terjadi manakala industri telah

mulai menjamah produksi benda budaya (cultural artefact). Industri budaya

(cultural industri), dengan demikian, dapat dikatakan sebagai bertemunya antara

“yang indutrial (industry)” dan “yang kultural (culture)” dalam sebuah konteks

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 5: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

21

waktu dan ruang tertentu, dalam hal ini konteks kapitalisme modern. (Negus,

dalam Du Gay, 1997: 70).

Negus dalam Du Gay (1997: 74) menyatakan tentang dua konsep terpenting

dalam industri budaya (culture industry) yang dinyatakan Adorno dan

Horkheimer, yaitu standardisasi (standardization) dan pseudo-individualitas

(pseudo-individuality). Standardisasi merupakan bentuk penyeragaman

(uniformity) yang terjadi dalam mekanisme industri budaya. Semua produk

budaya yang dihasilkan telah diseragamkan dengan standard-standard tertentu.

Hal tersebut dikarenakan semua prosedur organisasi produksi diarahkan hanya

pada satu tujuan, yaitu keuntungan/laba (profit oriented). Argumen yang

melatarbelakangi standardisasi adalah tidak adanya spontanitas (nothing

spontaneous) dalam proses produksi. Semua mekanisme sudah diatur sedemikian

rupa secara rutin dengan mengaplikasikan formula-formula tertentu (specific

formulae). Industri budaya telah menyingkirkan produk-produk budaya yang

mempunyai kualitas-kualitas yang unik/khas (any unique qualities) tapi tidak

memiliki daya jual (marketable). Industri budaya, dengan demikian, sangat lekat

dengan istilah budaya massa (mass culture) yang berarti bahwa semua mekanisme

yang ada didalamnya hanya untuk satu tujuan yaitu memenuhi kebutuhan

konsumen (consumer goods).

Sedangkan pseudo-individualitas (pseudo-individuality) diartikan sebagai cara

industri budaya merancang produk-produk budaya yang seringkali diklaim

sebagai orisinal (‘originality’) meskipun sebenarnya hanya menciptakan

perbedaan-perbedaan yang sifatnya superfisial belaka (superficial differences).

Salah satu contoh pseudo-individualitas yang diberikan Adorno terjadi dalam

industri musik jazz. Kritik Adorno dalam industri musik jazz adalah klaim ”free

improvization” oleh para pemain jazz (permormers). Menurut Adorno,

sesungguhnya yang terjadi adalah spontanitas yang sudah dirancang sedemikan

rupa dengan berbagai macam presisi mesin. Jazz telah diatur sedimikian rupa oleh

’ahlinya’ (the ’experts’) dalam industri budaya yang mempunyai instrumen-

instrumen dalam mengubah jazz dari sekadar elemen-elemen formal pada dirinya

sendiri menjadi sebuah komoditas (commodities). Secara umum, industri musik

hanya menghasilkan apa yang oleh Adorno disebut sebagai kategori ’easy

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 6: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

22

listening’. Oleh karena itu, bagi Adorno semua benda budaya yang dihasilkan

industri budaya tidak mengandung nilai-nilai estetik dan membuat pola konsumsi

menjadi pasif. Dalam artian, konsumer dibuat menjadi pasif dan tidak mempunyai

daya kritis sehingga dengan mudah dapat dimanipulasi untuk kepentingan-

kepentingan pengiklanan maupun propaganda (Negus, dalam Du Gay, 1997: 75-

77).

Sedangkan konsep ekonomi budaya (cultural economy) disampaikan oleh Du

Gay untuk membedakan secara tajam dengan konsep ekonomi politik (political

economy). Pendekatan ekonomi politik merepresentasikan proses dan praktik

ekonomi sebagai “sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri” (“things in

themselves”) atau dengan kata lain hal-hal yang mengandung makna “objektif”

tertentu (certain ‘objective’ meanings). Faktor manusia—dengan segala budaya,

makna dan nilai-nilai yang cair dan tidak stabil—tidak diperhitungkan dan proses

ekonomi hanya dihitung menggunakan angka-angka yang beku dan kaku, seperti

distribusi pemasukan (distribution of income), akumulasi modal (capital

accumulation), mekanisme kontrol dan kepemilikan perusahaan (corporate

ownership and control), dan sebagainya. Sebaliknya, pendekatan ekonomi budaya

merupakan antitesis dari pendekatan ekonomi politik. Ekonomi budaya melihat

praktik-praktik ekonomi sebagai sebuah fenomena budaya karena ia bekerja

melalui bahasa dan representasi yang membutuhkan makna (meaning) dari praktik

sehari-hari pelaku-pelaku ekonomi di dalamnya. Misalnya, bagaimana budaya

sehari-hari yang melingkupi manajer, pegawai dan pola budaya komunikasi di

antara manajer dan pegawai. Dengan demikian, wacana tentang ekonomi

merupakan wacana yang mengandung makna (carry meaning)—sebagaimana

wacana seksualitas, ras dan nasionalisme (Du Gay, 1997: 3-4).

2.4 Teori Artikulasi

Teori Artikulasi merupakan tanggapan Stuart Hall atas perdebatan antara

kaum neo-Marxian (dalam hal ini diwakili oleh Louis Althusser) dan kaum post-

strukturalist (dalam hal ini diwakili oleh Michel Foucault dan Jacques Derrida)

tentang ”perbedaan” (difference) dan ”persatuan” (unity). Althusser berpendapat

tentang kemungkinan adanya ”persatuan yang kompleks atas perbedaan” atau

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 7: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

23

”perbedaan dalam persatuan yang komplek” (difference in complex unity).

Sedangkan kaum post-strukturalis berpendapat tentang pesimisme terhadap

kemungkinan adanya persatuan (unity). Althusser, dalam pandangan Hall,

memiliki cara pandang yang membedakannya baik dari kaum Marxian ortodoks

dan juga dari kaum Post-strukturalis (Hall, 1985:93). Terhadap kaum Marxian

ortodoks, Althusser berbeda pendapat tentang pengakuannya terhadap adanya

”perbedaan” (difference). Dalam hal ini, Althusser berpendapat bahwa sebuah

fenomena (sosial/budaya/politik) tidak hanya dapat dipandang dari hanya satu

sudut pandang struktur (ekonomi) melainkan juga dipengaruhi oleh berbagai

macam hal di luar ekonomi (suprastruktur/ide/nilai-nilai). Dengan demikian,

terdapat berbagai macam faktor yang berbeda-beda yang menggerakkan sebuah

fenomena tersebut. Sedangkan terhadap kaum post-strukturalis, Althusser

menolak pesimisme atas mungkinnya ”persatuan” atas ”perbedaan-perbedaan”

yang begitu dirayakan oleh para pendukung post-strukturalis. Althusser percaya

bahwa persatuan yang kompleks (complex unity) atas perbedaan-perbedaan

tersebut masih mungkin terjadi pada kondisi-kondisi tertentu (under certain

conditions) dan tidak sama dalam setiap fenomena8. Hubungan antar berbagai

macam ”perbedaan-perbedaan” tersebut yang membentuk satu ”persatuan” dalam

kondisi-kondisi tertentu dan tidak mempunyai rumus yang baku itulah yang

dinamakan oleh Hall sebagai ”artikulasi”. Dalam sebuah footnote, Hall

mendefinisikan “artikulasi” sebagai berikut: ”By the term, ”articulation,” I mean

a connection or link which is not necessarily given in all cases, as a law or a fact

of life, but which requires particular conditions of existence to appear at all,

which has to be positively sustained by specific processes, which is not “eternal”

but has constantly to be renewed, which can under some circumstances disappear

or be overthrown, leading to the old linkages being dissolved and new

connections—re-articulations—being forged. It is also important that an

articulation between different practices does not mean that they become identical 8 Contoh kongkret “artikulasi” adalah peristiwa Revolusi Rusia 1917. Revolusi Rusia bukanlah

semata-mata hasil perjuangan kaum proletariat Rusia, juga bukan merupakan hasil kerja satu ideologi revolusioner tertentu dan juga bukan semata-mata karena aliansi tertentu dari kaum pekerja, petani, tentara dan kaum intelektual. Revolusi Rusia, Hall mengutip kata-kata Lenin, terjadi: “as a result of an extremely unique historical situation, absolutely dissimilar currents, absolutely heterogeneous class interests, absolutely contrary political and social strivings … merged … in a strikingly ‘harmonious’ manner.” (Hall, 1985:95)

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 8: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

24

or that the one is dissolved into the other. Each retains its distinct determinations

and conditions of existence. However, once an articulation is made, the two

practices can function together, not as an “immediate identity” (in the language

of Marx’s “1857 Introduction”) but as “distinctions within a unity.” (Hall, 1985:

113-114).

Dalam konteks circuit of culture, teori artikulasi dengan demikian menyatakan

tentang koneksitas antara dua atau lebih elemen circuit of culture yang berbeda

dalam pembentukan makna (meaning) sebuah produk budaya selalu terjadi pada

sebuah kondisi tertentu (under certain conditions). Teori ini menjelaskan bahwa

produksi makna (production of meaning) tidak terjadi hanya pada salah satu

elemen (produksi, misalnya) melainkan dari kombinasi proses antar elemen-

elemen dalam circuit of culture: produksi (production), konsumsi (consumption),

regulasi (regulation), representasi (representasion), dan identitas (identity).

Semua proses yang sangat kompleks tersebut terjadi pada kondisi dan bentuk

masing-masing yang berbeda satu dengan yang lainnya. Artinya, proses tersebut

tidak mempunyai pola yang pasti/tetap. ”This would be to think of the process as

a ’complex structure in dominance’, sustained through the articulation of

connected practices, each of which, however, retains its distinctiveness and has its

own specific modality, its own forms and conditions of existence.” (Hall,

1980:115).

Teori ini merupakan anti-tesis dari pespektif sosiologis ‘produksionis’ yang

menyatakan bahwa produksi merupakan elemen pertama dan terakhir yang

memproduksi makna. Teori artikulasi, dengan demikian, menyatakan tentang

hubungan (linkage) yang tidak bersifat tetap, esensialis dan absolut antar berbagai

macam elemen yang berbeda tersebut. Hubungan di antara elemen-elemen

tersebut merupakan hubungan dialogis yang terjadi pada kondisi-kondisi

kebetulan yang sangat spesifik. Oleh karena itu, pembentukan makna merupakan

hubungan yang dialogis antar berbagai bagian dalam lingkaran tersebut dan

bersifat selalu dalam proses. ”By the term ’articulation’ we are referring to the

process of connecting disparate elements together to form a temporary unity. An

’articulation’ is thus the form of the connection that can make a unity of two or

more different or distinct elements, under certain conditions.” (Du Gay, 1997: 3).

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 9: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

25

Contoh paling kongkret dari artikulasi adalah hubungan antara produksi

(production) dan konsumsi (consumption). Hubungan antara produksi dan

konsumsi merupakan hubungan yang saling terkait dan saling tumpang tindih

(overlap). Khusus mengenai hubungan kedua elemen tersebut Karl Marx, seperti

dikutip dalam Du Gay, Hall, Janes, Mackay, Negus (1997:52), menyatakan:

“Production is... at the same time consumption, and consumption is at the same

time production.” Bertolak dari anggapan dasar Marx tersebut, Stuart Hall

menamakan hubungan (linkage) tersebut sebagai ‘artikulasi’, yaitu proses

koneksitas antar berbagai macam momen-momen dari elemen yang berbeda

secara bersama-sama dalam sebuah lingkaran elemen. Misalnya, sebuah lingkaran

produksi mengandung di dalamnya artikulasi antara momen-momen produksi itu

sendiri dengan momen-momen konsumsi, momen-momen realisasi dan memen-

momen reproduksi pada saat yang sama. “’articulation’ – a process of connecting

together – in which the dynamic of the ‘circuits of production’ can be understood

as involving an ‘articulation of the moments of production’ with the moments of

consumption, with the moments of realization, with the moments of reproduction.”

(Hall with Cruz and Lewis, 1994, p. 255). (Du Gay, Hall, Janes, Mackay, Negus,

1997:52)

Dalam konteks penelitian ini, teori artikulasi berguna membantu menjelaskan

hubungan antara berbagai momen produksi dalam penerbit GagasMedia, baik

dengan penulis maupun dengan konsumen (pembaca). Dalam hal ini, bagaimana

sebuah momen produksi chick lit Indonesia tidak dapat terlepaskan dari momen

konsumsi dan juga dari momen-momen lainnya dalam circuit of culture. Teori

artikulasi menunjukkan hubungan yang tidak absolut/esensial antara momen-

momen dalam lingkaran produksi budaya chick lit Indonesia tersebut. Khususnya,

secara lebih jelas teori artikulasi berguna dalam menganalisis tahap cultural

intermediary dalam produksi chick lit Indonesia, seperti halnya desain dan lay-

out. Cultural intermediary merupakan tahap yang menghubungkan antara

produksi dan konsumsi. Atau secara lebih sederhana, dapat dikatakan sebagai

tahap “pengemasan” sebuah produk budaya dengan memanfaatkan teknologi yang

ada. Pada tahap “pengemasan” inilah, terlihat secara lebih jelas bagaimana

sebagai artefak budaya chick lit Indonesia diproduksi secara teknis dan bagaimana

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 10: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

26

sebagai produk industri chick lit Indonesia diproduksi secara kultural. Teori

artikulasi, dengan demikian, dalam penelitian ini menunjukkan pola hubungan

yang tidak stabil, sangat bersifat “kebetulan” dan tidak absolut/esensial dalam

produksi chick lit Indonesia.

2.5 Konteks Produksi Chik Lit Indonesia

Konteks produksi chick lit Indonesia penting sekali untuk diketahui karena

akan memberikan suatu gambaran bahwa chick lit Indonesia lahir dan ada karena

sebuah keadaan tertentu dan berada dalam sebuah ruang dan waktu tertentu yang

bersifat unik/khas. Beberapa konteks produksi tersebut antara lain: booming chick

lit luar di Indonesia, ’selebritisasi’ perempuan muda penulis, konsumerisme

urban-mal, fenomena lajang kota dan fenomena globalisasi dan glokalisasi.

2.5.1 Booming Terjemahan Chick Lit Luar di Indonesia

Seperti yang sudah dijelaskan di latar belakang penelitian, masuknya chick lit

Inggris ke Indonesia dimulai dengan terjemahan karya-karya tersebut ke dalam

bahasa Indonesia. Beberapa karya terjemahan awal adalah empat judul pertama

yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2003. Empat karya

tersebut adalah Buku Harian Bridget Jones, Buku Harian Sang Calon Pengantin,

Pengakuan si Gila Belanja, dan Jemima J. (”Chick-Lit, Kompas, 17 April 2004,

dikutip oleh Mochtar, 2008:13). Karya-karya tersebut mendapatkan sambutan

yang sangat baik di pasar pembaca Indonesia. Hingga saat ini puluhan judul chik

lit terjemahan mengisi rak-rak toko buku. Perkembangan tersebut disinyalir

menjadi pemicu bagi perkembangan penulisan, penerbitan dan penjualan chick lit

Indonesia.

Larisnya karya-karya chick lit terjemahan tersebut dipicu oleh beberapa hal.

Pertama, cerita yang ditawarkan oleh chick lit terjemahan tersebut sangat dekat

dengan realitas dan pengalaman sehari-hari masyarakat metropolitan, khususnya

perempuan lajang kota. Kedua, kosongnya bahan bacaan hiburan bagi masyarakat

kontemporer pada saat itu. Pada awal tahun 2000an, sebagaimana di dalam dunia

perfilman Indonesia yang sedang mulai bangkit, dunia kesusastraan Indonesia

juga mengalami kebangkitan. Lahirnya beberapa penulis baru dengan karya-karya

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 11: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

27

baru di luar konvensi, seperti polemik sastra wangi, merupakan salah satu bukti

kebangkitan itu.

Keadaan Indonesia pasca reformasi merupakan bagian penting dalam proses

perkembangan tersebut. Namun demikian, dapatlah dikatakan bahwa

perkembangan sastra tersebut hanya terjadi pada wilayah ”sastra serius”. Pada

akhir 1990an menjelang 2000an, produksi karya yang digolongkan ke dalam

”sastra serius” semakin meningkat, tetapi tidak dengan ”sastra hiburan” yang

masih terbatas. ”Sastra hiburan” di sini lebih diartikan sebagai karya sastra yang

lebih banyak muatan hiburan (entertainment) untuk mengisi waktu luang dan

bukan karya yang menuntut perenungan dan pemikiran yang mendalam

pembacanya. Dalam konteks seperti itulah, barangkali karya-karya chick lit

terjemahan mendapatkan momentumnya. Juga tentu saja tidak dapat dilepaskan

dari konteks Indonesia pasca reformasi yang telah membuka kran informasi yang

semakin lebar bagi masyarakat. Komunikasi dan arus informasi yang semakin

mudah dan cepat dengan perkembangan teknologi (internet, telpon seluler) telah

membuka berbagai macam alternatif (pilihan) dalam segala hal dari belahan dunia

manapun. Salah satunya tak terkecuali adalah bahan bacaan. Masuknya chick lit

Inggris ke Indonesia dan kemudian diterjemahkannya karya-karya tersebut ke

dalam bahasa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks tersebut.

Fenomena booming chick lit terjemahan tersebut merupakan salah satu faktor

penting atas kelahiran chick lit Indonesia. Konsumsi yang sangat tinggi atas chick

lit terjemahan akhirnya telah menimbulkan kegairahan bagi sebagian perempuan

muda untuk melahirkan chick lit Indonesia. Hal tersebut biasanya bermula dari

kesadaran bahwa ternyata persoalan perempuan di belahan dunia manapun

tidaklah jauh berbeda. Ketika para perempuan kota di Indonesia membaca karya

chick lit terjemahan mereka mendapati bahwa persoalan mereka sebagai

perempuan Indonesia ternyata tidak jauh berbeda dengan perempuan Inggris atau

Amerika. Seolah-olah mereka membaca cerita tentang diri mereka sendiri. Icha

Rahmanti—seorang pembaca yang kemudian beralih menjadi penulis chick lit—

menyatakan pengalamannya tersebut sebagai berikut:

”...Dari kesukaan saya membaca macam-macam buku, saya akhirnya berkenalan dengan buku bergenre chicklit ini dan saya suka karena merasa ceritanya “gue banget”. Dari suka, saya jadi gemas karena pada

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 12: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

28

waktu itu chicklit didominasi oleh buku terjemahan atau buku luar. Padahal penggemarnya mulai banyak.”9

Kesadaran lain juga timbul dari sebagian perempuan Indonesia yang

menganggap bahwa persoalan perempuan Indonesia dengan segala macam

budaya, adat, norma sosial, agama dan sebagainya sebenarnya jauh lebih komplek

dari pada perempuan barat (Inggris dan Amerika). Semakin lama akhirnya timbul

kesadaran bahwa perempuan Indonesia harus menulis ceritanya sendiri yang

lokal, khas dan unik meskipun tetap di bawah payung nama chick lit yang berasal

dari luar. Kesadaran ini telah menimbulkan gairah menulis yang semakin besar

bagi penulisnya dan juga gairah membaca yang semakin tinggi bagi pembacanya.

Pengalaman Icha Rahmanti—sebagai penulis chick lit Indonesia yang bermula

sebagai pembaca setia chick lit luar—barangkali dapat menggambarkan kondisi

tersebut.

”Gemas karena akhirnya saya berkesimpulan bahwa mungkin di belahan dunia manapun perempuan itu sama, ada sisi yang perempuan banget yang mengikat kita. Nah, gemasnya karena saya merasa cerita perempuan perkotaan Indonesia juga nggak kalah banyak, malah mungkin lebih kaya karena begitu pindah setting lokasi kita akan menemukan local content yang berbeda-beda karena budaya atau agama. Perempuan-perempuan perkotaan di sini malah mungkin lebih mendapat banyak tekanan karena secara rentang umur untuk mengakhiri masa lajang di sini kan relatif lebih singkat ketimbang di luar. Jadi perempuan perkotaan di sini malah lebih rentan dengan quarter life crisis, karena banyak benturan sosial, budaya, dan agama. Makanya saya bilang lebih kaya. Jadi dengan memilih genre itu, saya kepengen sharing juga tag line: Waktunya perempuan Indonesia punya ceritanya sendiri!”10

2.5.2 ”Selebritisasi” Perempuan Muda Penulis

Pada kurun waktu yang bersamaan dengan fenomena booming chick lit

terjemahan luar dan menyusul chick lit Indonesia (2000an), di Indonesia terjadi

fenomena perempuan muda penulis yang sukses seperti Ayu Utami, Dewi Lestari,

Djenar Maesa Ayu, dan Fira Basuki. Fenomena tersebut saya sebut sebagai

”selebritisasi” perempuan muda penulis. Karya-karya mereka digolongkan

9 http://rahmanti.com10 http://rahmanti.com

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 13: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

29

sebagai ”sastrawangi” (fragrant literature)11. Polemik pro-kontra mengenai karya

mereka berjalan cukup lama memenuhi ruang perdebatan di kolom-kolom rubrik

sastra surat kabar nasional. Karya-karya yang diterbitkan oleh mereka sekitar

tahun 1998 hingga 2000 mendapatkan respon yang sangat positif oleh pasar di

Indonesia. Usia mereka rata-rata 20 hingga 30-an tahun dengan penampilan yang

sangat metropolis, berparas cantik, intelektualitas yang cukup tinggi dan

kemampuan menulis yang mumpuni (Mochtar, 2008:64).

Fenomena perempuan muda penulis berujung pada lahirnya tokoh idola baru

bagi perempuan muda di Indonesia. Perempuan muda penulis –tentu tidak

semuanya— kemudian menjadi selebriti baru bagi kaum perempuan di Indonesia,

khususnya bagi perempuan muda. Perempuan muda penulis –seperti Ayu Utami,

Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari dan Fira Basuki—kerap sekali masuk ke dalam

berita-berita gosip-infotainment (gossip) di stasiun televisi dan majalah-majalah.

Generasi perempuan muda penulis ini mesejajarkan diri mereka dengan bintang

film, artis sinetron, bintang iklan dalam dunia hiburan (entertainment) Indonesia.

Penulis, yang dahulu dianggap konvensional dan tradisonal, kini menjadi profesi

yang penuh prestise dan sangat diperhitungkan. Hal ini juga dapat dilihat dalam

fenomena penulis laki-laki sebagai tokoh selebritis baru. Setidak-tidaknya kita

dapat mencatat dua nama penulis laki-laki selebritis, yaitu Habiburrahman al-

Shirazy dan Andrea Hirata. Habiburrahman al-Shirazy dengan novelnya berjudul

Ayat-ayat Cinta dan Andrea Hirata dengan novelnya Laskar Pelangi telah

menjelma sebagai tokoh selebritis baru yang dipuja-puji penggemarnya di seluruh

Indonesia. Terlebih lagi setelah kedua novel tersebut dengan judul yang sama

telah berhasil diangkat ke dalam layar lebar dan sangat sukses di pasar bioskop

tanah air.

Yang juga membedakan generasi perempuan muda penulis angkatan 2000-an

ini dengan generasi perempuan penulis sebelumnya adalah topik-topik aktual

perempuan masa kini yang mereka angkat sering dianggap tabu (taboo) untuk

dibicarakan oleh perempuan pada generasi sebelumnya. Jika perempuan

11 Sastrawangi (fragrant literature) merupakan sebuah nama atau julukan yang dilekatkan kepada

jenis sastra yang ditulis beberapa perempuan penulis angkatan 2000-an yang banyak berbicara tentang perempuan dan hal-hal yang masih dianggap tabu untuk dibicarakan perempuan, misalnya tentang kelamin, peresetubuhan, lesbianisme, selingkuh, dan lain-lain.

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 14: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

30

pengarang fiksi sebelumnya lebih banyak menulis tentang hal-hal yang berbau

”roman picisan” semacam cinta, takdir, harapan, kesedihan dan tema-tema

romantis lainnya, maka perempuan penulis fiksi generasi 2000-an lebih banyak

menulis tentang hal-hal yang dianggap tabu bagi perempuan (apalagi dibicarakan

oleh perempuan) misalnya tentang seks, kelamin, persenggamaan, lesbianisme,

feminisme dan tak jarang juga bicara tentang politik—tema yang sering dianggap

jauh dari jangkauan perempuan penulis fiksi maupun perempuan pembaca

sebelum kurun 2000an. Kita dapat membandingkannya melalui judul-judul karya

perempuan penulis fiksi beda generasi tersebut. Di era 70-an hingga 90-an, kita

dapat mencatat novel Karmila (Marga T.), Kabut Sutera Ungu (Ike Supomo),

Takdir (La Rose), Ketika Cinta Harus Memilih (Mira W.), Masih Ada Kereta

yang Akan Lewat (Mira W.), dan Di Balik Dinding Kelabu (Maria A. Sardjono)12.

Bandingkan dengan karya-karya perempuan penulis angkatan 2000-an: Saman,

Larung (Ayu Utami), Supernova, Akar, Filsafat Kopi (Dewi Lestari), Mereka

Bilang Saya Monyet!, Jangan Main-main dengan Kelaminku (Djenar Maesa

Ayu), Trilogi Jendela-jendela, Pintu, Atap (Fira Basuki), dan lain-lain. Perubahan

orientasi tema atau topik yang dibicarakan oleh perempuan penulis pada era 2000-

an juga dapat dibaca sebagai sebuah faktor penting dalam perkambangan

penulisan dan penerbitan di Indonesia.

Di sisi yang lain, terdapat sebuah fenomena yang cukup menarik yaitu

fenomena kalangan selebritis (artis sinetron, penyanyi, bintang iklan, bintang film,

dan sebagainya) yang berbondong-bondong menulis buku, khususnya selebritis

perempuan. Sebut saja beberapa buku: Kamu sadar, saya punya alasan untuk

selingkuh kan sayang? (Tamara Geraldine), 10 Arrrrrgh (Melly Goeslaw), Ups!,

Renungan Kloset (Rieke Dyah Pitaloka), Mae (Intan Nuraini) dan Pulang (Happy

Salma). Produksi chick lit tentu saja tidak dapat dilepaskan dari konteks

perkembangan sastra saat itu (2000-an) dan fenomena selebritisasi perempuan

muda penulis dengan segala macam ”tabu” tentang mereka dan yang dituliskan

juga oleh mereka. Perempuan dalam generasi ini, dengan demikian, telah menjadi

subyek sekaligus obyek dalam karya-karya yang mereka tulis dan terbitkan.

12 Sapardi Djoko Damono, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan, Jakarta:

Gramedia, 1983, h. 3-17.

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 15: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

31

”Selebritisasi” perempuan muda penulis barangkali memberikan dampak yang

cukup signifikan bagi merangsangnya perkembangan produksi perempuan penulis

di Indonesia. Salah satu fenomena yang muncul hampir secara bersamaan dengan

fenomena ”selebritisasi” tersebut–seperti yang dituliskan oleh Jenny Mochtar—

adalah booming novel chick lit Indonesia di pasar pembaca, seperti Cintapuccino

(Icha Rahmanti), Jodoh Monica (Alberthiene Endah), serial ”Indiana Chronicle”

(Clara Ng), serial ”Quarter Life” (Primadona Endah) dan serial ”Ms. B” (Fira

Basuki). Perempuan-perempuan muda penulis chick lit ini dapat dikatakan sebagai

generasi kedua ”penulis perempuan selebritis” setelah generasi Ayu Utami dan

kawan-kawan. Meskipun tidak sepenuhnya penggenerasian ini tepat sasaran. Hal

ini dikarenakan beberapa penulis chick lit Indonesia sebelumnya sudah menulis

novel-novel ’serius’ seperti Alberthiene Endah dan Fira Basuki. Demikian juga,

pengaruh atau dampak ”selebritisasi” tersebut dapat dibaca melalui banyaknya

karya-karya (baik chick lit Indonesia maupun novel romantis) yang semakin hari

semakin bertambah banyak ditulis oleh perempuan muda. Sebagai gambaran dari

perkembangan ini, GagasMedia misalnya, pada tahun 2008 telah menolak sekitar

900 naskah13. Meskipun akhirnya semua penulis harus berhadapan dengan hukum

alam—ada yang terkenal (populer), survive dan karyanya laku di pasaran tetapi

ada juga yang tidak terkenal, sekali muncul dan karyanya tidak diterima pasar.

Perempuan muda penulis, kemudian, tidak hanya menjadi sebuah pekerjaan

sampingan yang disepelekan tetapi mendapatkan ’image’ baru sebagai pekerjaan

profesional-karir dan bahkan penuh prestise dan popularitas. Fenomena

”selebritisasi” penulis tersebut –baik perempuan maupun laki-laki— pantas

dicatat sebagai salah satu faktor penting dalam perkembangan dunia penulisan dan

penerbitan di Indonesia tahun 2000-an, termasuk penerbitan chick lit Indonesia di

dalamnya. Perkembangan kebudayaan macam tersebut –fenomena selebritisasi—

telah menjadi salah satu lanskap budaya produksi chick lit Indonesia di penerbit

GagasMedia.

13 Wawancara dengan Christian Simamora, anggota Dewan Redaksi—editor desk chick lit, teen lit

dan fiksi remaja lainnya.

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 16: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

32

2.5.3 Konsumerisme Urban: ”Anak Mal” Menulis Chick lit Indonesia

Christian Simamora14 menyatakan bahwa 55% dari penjualan (pasar) chick lit

adalah Jakarta, selebihnya (45%) tersebar di luar Jakarta. Berdasarkan informasi

tersebut kita dapat membaca bahwa pasar pembaca terbesar adalah Jakarta dengan

segala budaya urban metropolitan di dalamnya. Di dalam budaya urban

metropolitan tersebut, dapat kita jumpai fenomena mal dan konsumerisme yang

mewabah di dalamnya. Didirikannya mal-mal hampir di semua sudut Jakarta (dan

kota-kota besar lainnya) telah melahirkan budaya konsumerisme yang sangat

masif. Bahkan oleh sebagian pihak dapat dikatakan sebagai hiperkonsumerisme,

seperti halnya nama-nama mal tersebut semisal ’hypermart’.

Fenomena mal dengan budaya konsumerisme di dalamnya merupakan faktor

penting dalam perkembangan kebudayaan masyarakat urban kota Jakarta.

Beberapa sumber menyatakan bahwa perkembangan jumlah mal di Jakarta sudah

sedemikian pesatnya dan beberapa pengamat menyatakan sebagai ”melebihi batas

kewajaran”. Salah satu sumber datang dari Andreas Kartawinata, Ketua Asosiasi

Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia DKI Jakarta. Saat konferensi pers di

Plaza Semanggi, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (7/6/2007), Andi

menyatakan bahwa saat ini (tahun 2007) jumlah mal di Jakarta sebanyak 40 dan

disekitar Jakarta mencapai 25. Khusus untuk Jakarta, diperkirakan akan ada 12

mal baru. Pemain ritel asing pun mulai gencar masuk seperti dari AS, Eropa,

Thailand dan Australia (detikfinance.com, 07/06/2007, 19:08 WIB)15. Sumber

lain datang datang dari A Stefanus Ridwan S, Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi

Pengelolaan Pusat Belanja Indonesia (APPBI), dalam seminar bertajuk

'Perkembangan Mal dan Pusat Perbelanjaan di DKI' di Hotel Borobudur, Jl

Lapangan Banteng, Jakarta, Selasa (29/11/2006). Stefanus menyatakan bahwa

saat ini (tahun 2006) Jakarta sudah mempunyai 60 mal dan akan berkembang lagi

jumlahnya mencapai 90 pada tahun 2008 (detikNews.com, 29/11/2006, 13:04

WIB)16.

14 Wawancara dengan Christian Simamora 15http://www.detikfinance.com/read/2007/06/07/190832/790952/4/jumlah-mal-akan-bertambah-

22(Rabu, 28/10/2009. 15.39) 16http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/11/tgl/29/time/130448/idnews

/714103/idkanal/10 (Rabu, 28/10/2009, jam 11.40)

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 17: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

33

Sumber terakhir datang dari Yayat Supriatna, seorang planolog Universitas

Trisakti Jakarta. Yayat menilai saat ini (tahun 2009) Jakarta sebagai kota

megapolitan yang mempunyai jumlah mal terbanyak di dunia (Waspada Online,

25 August 2009, 00:40)17. Yayat, yang juga sekretaris jenderal (sekjend) Ikatan

Ahli Perencanaan (IAP), menyatakan jumlah mal di Jakarta mencapai angka 130,

melebihi jumlah pusat belanja di sejumlah kota besar lain di dunia yang tidak

mencapai 100 mal. Perbedaan data jumlah mal dari berbagai sumber tersebut

tidaklah berpengaruh dalam penelitian ini. Data-data tersebut hanya membantu

menegaskan tentang perkembangan mal yang sedemikian pesatnya di Jakarta

dengan budaya konsumerisme yang dibawanya. Fenomena tersebut merupakan

salah satu perkembangan yang sangat penting bagi perkembangan budaya urban

masyarakat kota, khususnya Jakarta.

Di antara komponen utama penyangga budaya urban mal dengan segala

konsumerismenya tersebut, perempuan lajang kota merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari kehidupan mal. Kehidupan karir perempuan lajang kota menuntut

pertemuan-pertemuan yang membutuhkan tempat yang enak, nyaman dan

bergengsi. Mal dengan segala macam isinya menawarkan tempat-tempat yang

sangat nyaman bagi perempuan karir untuk sekadar kongkow-kongkow,

nongkrong, meeting dan sebagainya. Biasanya pada malam hari sembari

menunggu macetnya Jakarta atau pada siang hari saat jam istirahat kantor atau

pada pertemuan-pertemuan khusus dengan kolega atau rekan bisnis.

Pembaca chick lit terbesar dilahirkan dari komunitas mal yang lahir di kota

metropolitan macam Jakarta ini. Hal tersebut tentulah karena faktor kedekatan

realitas yang ditawarkan dalam tema-tema dan isi chick lit tersebut dengan realitas

yang membumi dengan budaya masyarakat urban metropolitan, khususnya

perempuan lajang kota atau wanita karir yang belum bersuami. Hal ini juga

dinyatakan dalam dalam dua fakta yang dinyatakan oleh Christian Simamora

mengenai budaya urban dalam chick lit: pertama, suasana urban di dalam chick lit

hanya sesuai dengan masyarakat urban. Kedua, penulis-penulis chick lit berasal

dari masyarakat Urban. Kedekatan realitas tersebut, diperkuat lagi oleh Windy

17http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=47294:jumlah-

mal-di-jakarta-terbanyak-di-dunia&catid=17&Itemid=30 (Rabu, 28/10/2009. 15.35)

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 18: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

34

Ariestanty dan Moammar Emka18, disebabkan rata-rata penulis chick lit berasal

dari komunitas mal-urban-metropolitan tersebut. Emka menambahkan bahwa

hampir semua penulis chick lit, baik yang dilahirkan GagasMedia maupun

penerbit lain, merupakan anak mal –khususnya sebagai pengunjung setia kafe.

Penulis chick lit dengan demikian merupakan orang yang sudah sangat akrab dan

mengenal dunia mal, kafe, dan budaya urban metropolitan yang melingkupinya.

2.5.4 Chick lit Indonesia dan Perempuan Lajang Kota: Cermin Sosial

Perempuan lajang kota merupakan istilah bagi perempuan muda yang bekerja

dan tinggal di tengah hiruk pikuk kota mertopolitan semacam Jakarta dan

Bandung. Secara khusus, Mochtar (2008: 90-93) membahas definisi lajang

sekaligus fenomena perempuan lajang kota dalam disertasinya. Perempuan lajang

memiliki konotasi positif. Biasanya perempuan lajang digambarkan sebagai

cantik, langsing, pintar, berwawasan dan sukses dengan pekerjaannya.

Selanjutnya Mochtar mengikuti Brown (1962), Whitehead ( 2003), Israel (2003)

dan Blanco (2005) menyatakan bahwa ”perempuan lajang memiliki lebih banyak

waktu luang dan uang untuk dipakai bagi diri sendiri, dan gejala itu ditangkap

oleh pasar, sehingga pasar menawarkan produk-produk tertentu, seperti

apartemen, jenis makanan, hingga media dan beragam produk budaya populer,

dipasarkan khusus untuk perempuan lajang”. Salah satu produk budaya populer

tersebut yaitu chick lit Indonesia.

Di sisi yang lain, kebanyakan penulis chick lit Indonesia merupakan

perempuan lajang kota. Mereka sangat mengerti budaya yang berkaitan dengan

dunia perempuan lajang yang tinggal di kota. Hal ini disebabkan status mereka

yang juga masih lajang (single) saat menulis chick lit Indonesia atau setidak-

tidaknya pernah merasakan hidup melajang di tengah budaya urban metropolitan

semacam itu. Beberapa penulis chick lit Indonesia saat menulis chick lit Indonesia

ada yang masih berstatus lajang ada pula yang sudah berumah tangga. Namun,

rata-rata dari semuanya pernah mengalami sendiri hidup melajang di tengah

kepungan budaya urban kota metropolitan dengan mal dan konsumerisme sebagai

tiang penyangga utamanya. Hampir semua penulis chick lit Indonesia merupakan

18 Wawancara dengan Windy Ariestanty dan Moammar Emka

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 19: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

35

perempuan yang tinggal di kota-kota metropolitan, yaitu Jakarta dan Bandung.

Sebutlah beberapa nama: Icha Rahmanti (seorang produser dan penyiar OZ FM di

Bandung, dan arsitek freelance), Alberthiene Endah (delapan tahun bekerja di

majalah Femina dan kini Redaktur Pelaksana majalah Prodo), dan Fira Basuki

(pimpinan tabloid wanita muda Spice!).

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa realitas mal dengan segala

konsumerisme di dalamnya telah menjadi realitas acuan bagi para perempuan

muda penulis chick lit Indonesia dalam menciptakan realitas isi (content) di dalam

karya-karya mereka. Realitas isi tersebut, dengan demikian pula, di depan

pembaca chick lit Indonesia kembali menjadi diterima secara mudah sebagai suatu

acuan yang sangat dekat dengan realitas mereka yang memang sudah sangat dekat

dengan dunia mal-urban-metropolitan. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa

sesungguhnya semua realitas –baik realitas isi chick lit, realitas penulis, realitas

pembaca dan barangkali juga realitas penerbit (dalam hal ini Dewan Redaksi)—

mengacu kepada realitas mal dengan segala budaya urban kontemporer di

dalamnya. Lanskap kebudayaan urban kontemporer macam inilah yang menjadi

salah satu pijakan budaya produksi chick lit Indonesia, khususnya yang diproduksi

oleh GagasMedia. Seperti dikatakan di bagian terdahulu bahwa hampir semua

penulis chick lit Indonesia adalah perempuan lajang kota atau setidak-tidaknya

perempuan yang pernah melajang dan tinggal di kota metropolitan.

Dapatlah dikatakan bahwa chick lit Indonesia merupakan curahan hati para

perempuan lajang kota. Fenomena curahan hati perempuan lajang kota tersebut

berkorelasi dengan fakta tentang naiknya jumlah perempuan lajang di kota-kota

besar, khususnya Jakarta. Mochtar (2008:75) menunjukkan beberapa penelitian

tentang fenomena perempuan lajang kota, diantaranya yang dilakukan oleh Jones

(2002), Adioetomo (2006) dan Utomo (2006), yang menyatakan tentang naiknya

jumlah perempuan lajang di Indonesia dan Asia Tenggara. Meskipun penelitian-

penelitian tersebut tetap menunjukkan bahwa pernikahan tetap menjadi pilihan

utama perempuan Indonesia tetapi telah terjadi perubahan gaya hidup perempuan

masa kini dalam hal pencapaian pendidikan, penundaan pernikahan dan karir.

Mochtar menuturkannya sebagai berikut:

“Walaupun ada kecenderungan perempuan lebih lambat memasuki jenjang pernikahan, dan menghabiskan waktu lebih lama untuk belajar

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 20: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

36

dan bekerja, penelitian Jones dan Adioetomo dan Utomo menunjukkan bahwa di Indonesia pernikahan tetap merupakan pilihan utomo dengan menunjukkan bahwa pada usia 40, hampir semua perempuan Indonesia telah menikah. Jones melihat bahwa pendidikan pernikahan dan karier sangat berkaitan dalam menentukan gaya hidup perempuan masa kini.”

Dengan melihat hasil penelitian di atas dan membandingkannya dengan

karakter kisah curhat chick lit Indonesia, dapatlah dikatakan bahwa fenomena

perempuan lajang kota merupakan sebuah fenomena yang sudah umum (dan

menjadi budaya baru) di dalam masyarakat urban kota. Dengan demikian, dapat

pula dikatakan bahwa fenomena tersebutlah yang menjadi salah satu penggerak

utama industri chick lit Indonesia. Sehingga dapat digambarkan, perempuan

lajang kota menulis curhat dalam novel chick lit-nya yang bercerita tentang

seorang perempuan lajang kota dan kemudian akhirnya dibaca juga oleh

komunitas perempuan lajang kota. Demikianlah, siklus atau alur industri chick lit

Indonesia yang tak terlepaskan dari salah satu fenomena global kelajangan

perempuan urban kota tersebut.

2.5.5 Globalisasi dan Glokalisasi

Globalisasi bukanlah wacana baru dalam perbendaharan baik akademik

maupun praktik sehari-hari kita. Globalisasi dengan segala perkembangan

kebudayaan yang menyertainya telah melanda seluruh negara di dunia ini. Arus

masuk dari dunia global kepada setiap negara tidak dapat dielakkan. Khususnya,

perkembangan teknologi transportasi, informasi dan komunikasi yang semakin

memudahkan manusia untuk menjangkau belahan dunia yang lain—juga untuk

mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia yang lain. Namun, globalisasi juga

bukan hadir tanpa cacat. Yaitu, adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara

negara maju, negara berkembang dan negara terbelakang. Globalisasi, sebagai

anak kandung modernisme, yang semula dipuja sebagai yang akan membawa

kabar gembira bagi peradaban, perdamaian dan kesetaraan umat manusia ternyata

mengandung sebuah cacat, yaitu ketidakseimbangan kekuatan (power) di antara

pihak yang saling berinteraksi.

Posmodernisme, sebagai counter atas modernisme yang melahirkan

globalisasi tersebut, datang dengan cita-cita atas penegakan kembali martabat dan

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010

Page 21: T 26714-Produksi budaya-Literatur.pdf

37

harga diri “yang lokal”. “Yang lokal” selama ini dilemahkan (untuk tidak

mengatakan sebagai dihilangkan) oleh “yang global”. Posmodernisme datang

mengabarkan bahwa posisi yang tidak setara antara “yang lokal” dan “yang

global” harus dihilangkan. Keduanya harus mendapatkan posisi yang setara.

Sementara menghilangkan atau memutus jalur globalisasi merupakan pekerjaan

yang hampir musatahil. Perkembangan teknologi komunikasi (internet,

handphone dan sebagainya) tak bisa membuat manusia terputus dari dunia di

seberang yang paling jauh sekalipun. Oleh karena itu, glokalisme lahir sebagai

jalan tengah yang ditempuh. Di satu sisi, “yang lokal” tetap harus ada dan

berkembang. Di sisi yang lain, “yang global” berhak masuk dan berkembang.

“Yang lokal” dan “yang global” melahirkan sebuah hibrida, yaitu ”yang glokal”.

Glokalisasi kemudian menjadi jalan tengah bagi kedua arus yang sama-sama tak

terbendung itu.

Dalam konteks chick lit Indonesia, kita tahu bahwa chick lit berakar dari

Inggris—sebuah representasi dari “yang global”. Chick lit Inggris telah masuk ke

Indonesia melalui baik karya-karya aslinya maupun karya terjemahan. Dalam era

globalisasi seperti sekarang ini, membeli buku-buku luar negeri (semacam chick

lit) tersebut bukanlah hal yang sulit. Terlebih lagi, fasilitas internet yang semakin

memudahkan manusia untuk melakukan transaksi secara online. Masuknya chick

lit Inggris tersebut, baik yang asli maupun yang terjemahan, memberikan inspirasi

bagi beberapa perempuan Indonesia untuk menulis chick lit Indonesia. Pada

umumnya, mereka juga merupakan pembaca setia chick lit luar negeri, baik dari

Inggris maupun Amerika. Dunia industri penerbitan menangkap peluang tersebut.

Terlebih lagi melihat antusiasme masyarakat terhadap chick lit dari luar negeri

tersebut. Chick lit yang semula hanya ada di Inggris dan kemudian Amerika tiba-

tiba menjadi ada di Indonesia dengan ciri khas dan keunikannya sendiri. Chick lit

Indonesia, dengan demikian, merupakan contoh kongkret atas fenomena

glokalisasi. “Chick lit” itu sendiri merupakan produk dari “yang global”.

Sedangkan “Indonesia” menunjukkan tentang “yang lokal”, “yang khas”, “yang

unik”. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa chick lit Indonesia merupakan

situs kebudayaan popular penting yang dapat dipakai untuk melihat fenomena

glokalisasi secara kongkret yang kian tak terbendung akhir-akhir ini.

Universitas Indonesia Produksi budaya..., Muhammad Taufiqurrohman, FIB UI, 2010