Page 1
SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN
INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI :
Studi Tafsir Klasik dan Kontemporer Mengenai Surat
Ali-‘Imrân Ayat 159
Tesis
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Magister Agama ( M. Ag )
Oleh
Attabik Hasan Ma’ruf
NIM: 21160340000017
ISBN : 978-602-5819-68-1
PROGRAM MAGISTER TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDIN UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020
Page 2
SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN
INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI :
Studi Tafsir Klasik dan Kontemporer Mengenai Surat
Ali-‘Imrân Ayat 159
Tesis
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Magister Agama ( M. Ag )
Oleh
Attabik Hasan Ma’ruf
NIM: 21160340000017
ISBN : 978-602-5819-68-1
PROGRAM MAGISTER TAFSIR HADIS FAKULTAS
USHULUDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020
Page 7
vi
ABSTRAK
SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA
DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik dan Kontemporer
Mengenai Surat Ali-‘Imrân : 159
Dalam sejarah penelitian, telah banyak yang mengkaji
mengenai demokrasi, syûrâ atau integrasi di antara keduanya.
Sebagian dari mereka menyatakan bahwa syûrâ dan demokrasi
tidak bisa disamakan, keduanya bersumber dari dua pusat
peradaban yang saling berseberangan, yaitu peradaban Timur
dan Barat. Negara–negara muslim sebelum mengenal demokrasi
sendiri mengalami kemunduran dengan munculnya sistem
kekuasaan yang otoriter, ketidakadilan dan hukum yang pilih–
pilih. Dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam demokrasi, ia
kemudian muncul sebagai solusi atas permasalahan–
permasalahan tersebut. Syûrâ dan demokrasi merupakan konsep
pemerintahan negara.
Dalam Islam, syûrâ dikenal sebagai sebuah konsep yang
bersumber langsung dari al-Qurân. Kemudian yang menjadi
permasalahan adalah, dalam khasanah pemikiran Islam klasik,
sebagian besar dari mereka menempatkan syûrâ sebagai
kewajiban yang harus dijalankan untuk masing-masing individu
tanpa menyentuh ranah politik, penafsiran–penafsiran klasik
mengenai tema syûrâ sangatlah tekstual dan terbatasi oleh
kondisi dan situasi politik negara–negara di dunia saat itu.
Berbeda tentunya kondisi negara muslim saat ini, sebagian besar
penafsir kontemporer menyuarakan demokrasi sebagai sebuah
ide dan konsep pemerintahan. Penulis melakukan penelitian ini
dengan metode tafsir maudû’i, kemudian penulis berusaha
membandingkan penafsiran Ulama klasik dan kontemporer
terhadap ayat-ayat syûrâ di dalam al-Qurân, lalu
membandingkan dan mengintegrasikan teori pemerintahan
demokrasi dan nilai-nilai syûrâ di dalam al-Qurân, lebih spesifik
lagi yaitu dalam Surat al-Imrân : 159 dan Surat as-Syûrâ : 38.
Penulis kemudian mencoba memunculkan nilai–nilai syûrâ
yang terintegrasi dengan konsep demokrasi dan mendapati
Page 8
vii
bahwa dalam prakteknya, ternyata banyak dari nilai–nilai
keduanya yang saling terintegrasi, sehingga tidak heran apabila
banyak Ulama muslim kontemporer yang mengatakan bahwa
demokrasi adalah konsep yang paling merepresentasikan konsep
syûrâ yang ada di dalam al-Qurân. Demikianlah penelitian ini
penulis lakukan untuk meminimalisir dikotomi anatara konsep
syûrâ dan demokrasi yang saat ini telah banyak digunakan oleh
negara-negara muslim.
Kata kunci : syûrâ, demokrasi, tafsir klasik, tafsir kontemporer,
Ali-Imran :159.
Page 9
viii
ABSTRACT
SHURA IN AL-QURÂN AND ITS INTEGRATION WITH
DEMOCRACY:: Study of Classical and Contemporary
Interpretation of Surah Ali-Imran: 159.
In the history of research, there have been many studies on
democracy, shura, or even integration between the two. Some of
them stated that shura and democracy cannot be equated, both
originating from two opposing centers of civilization, namely
Eastern and Western civilizations. Muslim countries before
coming to know democracy themselves suffered a setback with
the emergence of authoritarian systems of power, injustice and a
selective law. With the principles in democracy, it then appears
as a solution to these problems. Shura and democracy is a
concept of state government.
In Islam, shura is known as a concept that is directly
sourced from the Qur'an. Then the problem is, in the repertoire
of classical Islamic thought, most of them place shura as an
obligation that must be carried out for each individual without
touching the realm of politics, classical interpretations on the
theme of shura are very textual and limited by the conditions
and political situation of the state - countries in the world at that
time. Different from the current condition of Muslim countries,
most contemporary interpreters voice democracy as an idea and
concept of government. The author conducted this research with
the method of interpretation maudû'i, then the writer tried to
compare the interpretation of classical and contemporary Ulama
to the verses of shura in the Qur'an, then compare and integrate
the theory of democratic governance and shura values in the
Qur'an, more specifically again namely in Surat al-Imran: 159
and Surat as-Syr: 38.
The author then tries to bring up shura values integrated
with the concept of democracy and find that in practice,
apparently many of the values of both are mutually integrated,
so it is not surprising that many contemporary Muslim scholars
say that democracy is the embodiment of concept that best
Page 10
ix
represents the concept of shura which is in the Qur'an today.
Thus this research the author did to minimize the dichotomy
between the concepts of shura and democracy which are
currently widely used by Muslim countries.
Keywords: shura, democracy, Classical interpretation,
Contemporary interpretation, al-Imran: 159.
Page 11
x
KATA PENGANTAR
Assalâmu’alaikum wr.wb.
Segala puji hanya milik Allah SWT. Penguasa
seluruh alam. Dzat yang menentukan segala kebenaran. Hanya
dengan rahmat-Nya, penelitian dan penulisan tesis ini dapat
terselesaikan. Tesis ini berjudul ‚Syûrâ Dalam Al-Qurân Dan
Integrasinya Dengan Demokrasi : Studi Tafsir Klasik dan
Kontemporer Mengenai Surat Ali-‘Imrân : 159‛ Alhamdulillah
berkat rahmatNya, tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis ini diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Magister Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qurân
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa hormat dan menghaturkan terima kasih yang
sebesar-besarnya, kepada :
1. Ibu Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Hj.
Amany Lubis, MA, Bapak Dr. Abd. Muqsith Ghazali, MA.
dan Ibu Dr. Hj. Faizah Ali Syibramalisi, MA. atas
bimbingan, arahan dan waktu yang telah diluangkan kepada
penulis untuk berdiskusi selama menjadi dosen wali, dosen
pembimbing dan perkuliahan.
Page 12
xi
2. Ketua program studi Pascasarjana Fakultas Ushuluddin UIN
Jakarta Bapak Dr. Bustamin, SE. M.Si beserta Bapak Dr.
Fudhaili, M.Ag sebagai Sekretaris Program Studi.
3. Seluruh Dosen program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin
khususnya dosen Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al Quran yang telah
memberikan arahan dan bimbingan untuk mendalami ilmu al-
Qurân.
4. Ayahanda Drs. H. Yahya Hanafie MM, Ibunda Hj. Noor
Hasanah S.Pdi., Bapak dan Ibu mertua yang selalu mensuport
penelitian ini, Drs. H. Mirza Hasbullah M.Si., Hj. Nurjannah,
kakak – kakak saya, adik adik saya serta keponakan saya
yang lucu – lucu, atas segala dukungan dan doanya.
5. Istri saya Nazla Nafisah, atas segala motivasi, perhatian dan
doa nya serta kesabaran menunggu di rumah selama beberapa
waktu. Ananda tercinta Ahmad Shaquel Dzihnu Barkhiya,
abi sayang kalian.
6. Ibu Ojah, atas masukan dan bantuannya dalam karya tulis ini.
7. Bapak Tedy yang telah meluangkan waktu malam –
malamnya untuk selalu berbagi cerita.
8. Rekan rekan S-2 Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qurân Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2016 :
Apriadi Fauzan, Muhammad Aryadillah, Habib Husein
Ja’far, Arief, Hasiolan, Jalaluddin, Saofi, Zainur, Najib,
Mabda’, Fahri, Syakur, Reva, Aam, Misbah, Kholil, dan juga
Bapak Toto.
Page 13
xii
9. Seluruh civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta khususnya teman teman di Fakultas
Ushuluddin atas dukungan dan bantuannya.
10. Kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
Dengan keterbatasan pengalaman, ilmu maupun pustaka
yang ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak
kekurangan dan pengembangan lanjutan agar benar benar
bermanfaat.
Akhir kata, penulis berharap tesis ini memberikan manfaat
bagi kita semua terutama untuk pengembangan ilmu
pengetahuan.
Wassâlamu’alaikum wr.wb.
Jakarta, 08 Juli 2020
Attabik Hasan Ma’ruf
Page 14
xiii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ................. ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING………………….IV
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................ IV
ABSTRAK ........................................................................................... V
KATA PENGANTAR........................................................................ X
DAFTAR ISI ................................................................................. XIII
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................XVIII
BAB I PENDAHULUAN............................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah........................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................ 12
1. Identifikasi ...................................................................... 12
2. Pembatasan masalah ....................................................... 14
3. Perumusan masalah ........................................................ 15
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 16
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ..................................... 17
E. Penelitian Terdahulu .............................................................. 18
F. Metodologi Penelitian ........................................................... 24
1. Sumber data .................................................................... 25
2. Metode pendekatan......................................................... 28
3. Langkah operasional ....................................................... 30
G. Sistematika Penulisan ............................................................ 31
BAB II KONSEP SYÛRÁ DALAM AL-QURÁN ................... 33
A. Pengertian Syûrâ .................................................................... 33
1. Syûrâ dalam pengertian bahasa ...................................... 33
2. Syûrâ secara istilah ......................................................... 41
B. Syûrâ dan Derivasinya dalam Al-Qurân ................................ 46
Page 15
xiv
C. Nilai-nilai Musyawarah dalam Al-Qurân .............................. 48
D. Batasan-batasan dalam Musyawarah ..................................... 63
BAB III SYÛRÁ DALAM PERSPEKTIF ULAMA KLASIK
DAN KONTEMPORER SERTA DEMOKRASI SEBAGAI
SEBUAH KONSEP NEGARA...................................................... 76
A. Pandangan Ulama Klasik Mengenai Konsep Syûrâ .............. 76
B. Pandangan Ulama Kontemporer Mengenai Konsep Syûrâ. 115
C. Sejarah dan Nilai Demokrasi ............................................... 130
1. Sejarah Demokrasi.......................................................... 134
2. Nilai-nilai Demokrasi ..................................................... 138
D. Islam dan Demokrasi ........................................................... 139
BAB IV INTEGRASI SYÛRÁ DALAM DEMOKRASI .... 149
A. Integrasi Musyawarah Dengan Demokrasi dan Penerapannya
Dalam Sebuah Negara ......................................................... 149
B. Syûrâ Dalam Pandangan Ulama Klasik dan Integrasinya
Dengan Demokrasi.............................................................. 153
C. Syûrâ dan Demokrasi Dalam Pandangan Sarjana Muslim
Kontemporer ........................................................................ 161
D. Syûrâ dan Demokrasi Dilihat Dari Prinsip Keduanya ....... 180
BAB V PENUTUP ..................................................................... 187
A. Kesimpulan .......................................................................... 187
B. Saran dan Rekomendasi Penelitian Lanjutan ...................... 191
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 194
Page 17
xviii
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan pananannya dalam
aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ث
Ts te dan es ث
J Je ج
ẖ h dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha ر
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di baawah ص
Page 18
xix
ḏ de dengan garis di bawah ض
ṯ te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis bawah ظ
„ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ى
w We و
h Ha ه
Apostrof ` ء
y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia,
terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau
diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Page 19
xx
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal
Latin Keterangan
A Fatẖah
I Kasrah
U Ḏammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksranya
adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal
Latin Keterangan
ي ai a dan i
و au a dan u
3. Vokal panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam
bahasa Arab dilambangkan dengan harokat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal
Latin Keterangan
ا â Fatẖah س
ي î Kasrah س
û Ḏammah س ى
Page 20
xxi
4. Kata Sandang
Kata sandang,yang dalam sistem aksara Arab
dilmbangkan dengan huruf, yaiu di alihaksarakan menjadi huruf
/I/, baik di ikuti huruf syamsiah maupun uruf kamariah. Contoh:
al-rijal, al diwan bukan addiwan.
5. Syaddah (tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan
Arabdilambangkan dengn sebuah tanda (-) dalam alih aksara ini
di lambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf
yang di beri tandasyaddah itu.akan teapi, hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang di ikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya,
kata () tidak di tulis kata ad-darurah melainkan al-
darurah,demikian seterusnya.
6. Ta Marbutah
Berkaitan dengan alih aksara ini,jika ta marbutah terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal
yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut di ikuti kata
benda(ism), maka huruf tersebut di alihaksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Page 21
xxii
Ṯar îqah طريقت 1
al-jâmî‟ah al-islâmiyyah الجاهعت الإسلاهيت 2
Waḫdat al-wujûd وددة الىدىد 3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak di
kenal, dalam alih aksaraini huruf kapital tersebut juga digunakan,
dengan mengkuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa
Indonesia (EBI), antara lain menuliskan permulaan kalimat, huruf
awal nama tempat, nama bulan,nama diri, dan lain-lain.Jika nama
diri di dahului oleh kata sandang,maka yang di lis dengan huruf
kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau
kata sandangnya. Contoh: Abu Hamid al-Ghazali bukann Abu
Hamid Al- Ghozali, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat
di terapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai
huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold).Jika menurut
EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian
halnya dalam ahli aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama
tokoh yng berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak
dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab.
Page 22
xxiii
Misalnya ditulis Abdussamad al-palimbani, tidak „Abd al-Samad
al-Palimbani; Nurrudin al-Raniri, Nur al-Din al-Raniri.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟l), kata benda (ism),
maupun huruf (harf) diulis secra terpisah. Berikut adalah
beberapa contoh ahli aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa
Arab, dengan berpedoman pada ketenuan-keentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustâdzu ذهة اللأستاذ
tsabata al-ajru ثبج الأجر
عصريتالذرمت ال al-ḫarokah al-„asriyyah
asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh اشهد آى لا إله إلا لله
Maulânâ Mâlik al-Sâlîḫ هىلانا هلل الصالخ
yu‟ atstsirukum Allâh يؤثرمن الله
هر العقليتالوظا al-maẕâhir al-„aqliyyah
Penulisan nama oran harus sesuai dengan tulisan nama
diri mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang
Arab tidak perlu dialihaksarakan. Contoh: Nurcholis Madjid,
bukan Nur Khalis Majid; Mohamad Roem, bukan Muhammad
Rum; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahman.
Page 24
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Syûrâ merupakan salah satu tema al-Qurân yang
mempunyai penafsiran mengenai mekanisme pemerintahan1.
Dalam beberapa dekade, sejak penafsiran at-Tabarî, yang
dianggap sebagai masa penafsiran klasik, kemudian dengan
penafsiran Sayyid Abû al A’lâ al-Maudûdî dan Sayyid Qutb yang
direpresentasikan sebagai tonggak awal penafsiran
kontemporer2, syûrâ dianggap sebagai konsep utama dalam
pergulatan sistem politik Islam.
Telah banyak ulama dari masa ke masa yang menjelaskan
mekanisme syûrâ, seperti halnya Abû al-Hasan Alî ibn
Muhammad al-Mâwardi ( w. 450 H/1058 M ) dan Abû Hâmid al-
Ghazâlî ( w. 505 H/1111 M ), apa yang dilakukan oleh kedua
Ulama tersebut tidak bisa menampung dan menjabarkan konsep
syûrâ ke dalam konstelasi politik di kehidupan berbangsa dan
bernegara umat muslim saat ini3. Maka dari itu, bagi penulis
perlu ada kajian ulang mengenai syûrâ, untuk direlevansikan
dengan kondisi politik masyarakat muslim di masa ini.
1Al-Qurân Abad 21: Tafsir Kontekstual/karya Abdullah Saeed;
penerjemah, Evan Nurtawab; editor, Ahmad Baiquni ( Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2015) hlm 245.
2Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 247.
3Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 245.
Page 25
2
Konsep syûrâ dalam al-Qurân yang menjadi fokus kajian
adalah surat Al-Imrân ayat 159 :
‚ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.‛
Konteks turunnya perintah untuk bermusyawarah ini
sebenarnya merupakan penjelasan al-Qurân tentang kejadian
perang Uhud, dimana saat itu, umat Islam hampir saja
mengalami kekalahan. Konsep syûrâ merupakan gagasan utama
dari ayat-ayat tersebut, sedangkan musyawarah merupakan
perintah Tuhan kepada Muhammad saw4.
Penafsiran mengenai ayat ini di kalangan para mufasir
penuh dengan perdebatan makna dan konteksnya, sehingga perlu
kiranya penulis mengungkap kembali khasanah Islam yang
mengangkat tema syûrâ, tentu dengan berbagai perdebatannya,
4Penjelasan mengenai ayat-ayat tentang perang Uhud terbentang
kurang lebih dari mulai ayat 121 hingga ayat 175 pada surat al-Imrân.
Page 26
3
dengan melalui beberapa zaman dan tempat yang berbeda,
terjadi hal yang cukup rentan terhadap pemahamaan mengenai
konsep syûrâ, terlebih dalam pandangan para pemikir
kontemporer, terdapat sebuah konsep demokrasi yang sebagian
dari mereka mengatakan bahwa demokrasi merupakan bagian
dari konsep syûrâ, namun sebagian yang lain mengatakan bahwa
demokrasi sama sekali bukan bagian dari konsep syûrâ seperti
yang ada dalam konsep tata negara Islam selama ini.
Munculnya beberapa pendekatan penafsiran saat ini
membuat metodogi penafsiran al-Qurân mempunyai berbagai
alternatif untuk mengolah dan merepresentasikan ayat-ayat al-
Qurân. Salah satu pendekatan penafsiran yang saat ini banyak
digemari di kalangan muslim adalah pendekatan kontekstual,
sebuah pendekatan baru dalam menafsirkan al-Qurân bukan
untuk melemahkan signifikansi al-Qurân di masa kontemporer
seperti ini, melainkan justru berupaya untuk membuat al-Qurân
mampu untuk diterapkan dalam masa modern5.
5Penjelasan Abdulah Saeed dalam bukunya Al Qurân Abad 21 ‚
kelompok kontekstualis memberi nilai hermeneutik yang besar bagi konteks
historis saat pewahyuan al Qurân—awal abad ke- 7 M—dan penafsiran
setelahnya. Mereka berpendapat bahwa para sarjana semestinya sangat
sensitif dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, intelektual dan budaya pada
saat penurunan wahyu; begitu juga lingkungan sekitar tempat kegiatan
penafsiran dilakukan di masa lalu dan kini.Kelompok kontekstualis, karena
itu, cenderung melihat al Qurân sebagai sumber panduan praktis. Mereka
meyakini bahwa panduan tersebut seharusnya bias diimplementasikan dengan
cara-cara baru, apabila kondisi menuntutnya, dan sejauh penerepan
Page 27
4
Melihat penjelasan para mufasir, baik dari klasik hingga
masa modern, tema mengenai syûrâ sudah banyak sekali
pembahasan dan perdebatannya. Di sini penulis ingin
mengungkap kembali makna dan substansi dari perdebatan para
pemikir klasik hingga masa modern mengenai konsep syûrâ
kemudian penulis akan berusaha untuk merelevansikannya
dengan mengintregasikan konsep syûrâ dengan sistem
demokrasi6, terutama sistem demokrasi yang berkembang dan
digunakan dalam Negara Islam.
Konsep syûrâ mengacu ke dalam al-Qurân yang
bersumber pada penafsiran 3:159. Para pemikir muslim pada
masa klasik menafsirkan ayat ini sama sekali tidak
bersinggungan dengan konsep pemerintahan ataupun politik7.
Beberapa sarjana muslim kontemporer mengemukakan bahwa
para penafsir masa awal tidak menampilkan syûrâ sesuai dengan
pemahamaan yang baru tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip Islam. Inti
pendekatan kontekstual terletak pada gagasan mengenai konteks. Konteks
adalah konsepumum yang bias mencakup, misalnya, konteks linguistic, dan
juga ‚konteks makro‛. Konteks linguistik berkaitan dengan sebuah frase,
kalimat, atau teks pendek tertentu yang ditempatkan dalam teks yang lebih
besar. Biasanya ini mencakup upaya menempatkan teks yang tengah dikaji
dalam rangkaian teks yang mendahului atau mengikutinya. Yang lebih
berguna dan manarik bari pendekatan kontekstual adalah ‚konteks makro‛. Al
Qurân Abad 21, hlm 14.
6Abdullah Saeed, ‚demokrasi adalah sebuah gagasan menyangkut
negoisasi dalam konteks sosial, budaya dan politik tertentu. Al Qurân abad
21, hlm 256.
7Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 247.
Page 28
5
penggunaan konsep syûrâ seperti sekarang. Jangankan
menafsirkan ayat tersebut untuk masyarakat muslim secara lebih
luas, mereka justru membatasi syûrâ sebagai sebuah perintah
Tuhan yang hanya berkutat dalam masalah-masalah peperangan
dan juga mengenai perintah bermusyawarah kepada Nabi.
Mewakili tafsir pada masa klasik di sini penulis seperti
halnya penelitian terdahulu, mencoba mengkaji dengan beberapa
kitab tafsir di masa itu, seperti pendapat at-Tabârî ( w: 310 H ),
at-Tabârî dalam penafsirannya mengenai ayat ini menegaskan
bahwa perintah bermusyawarah adalah perintah kepada Nabi
untuk melakukannya dengan para sahabatnya8, at-Tabârî
mengutip beberapa hadis yang menyinggung penafsiran ayat
tersebut, namun tidak menyentuh ranah politik dalam
penjelasannya, ada penjelasannya yang menyatakan bahwa para
sahabat dan pengikut Nabi di masa itu akan saling
bermusyawarah9. Namun menurut penulis perhatian tersebut
lebih menyorot terhadap rasa tanggung jawab sebagai seorang
mukmin di masa Sahabat.
Kemudian dalam tafsir lain di masa klasik, penulis
mencoba membaca penafsiran Abû al-Qâsim Jârullâh Mahmûd
bin ‘Umar az-Zamakhsyarî al-Khawârizmî ( w: 534 H ), atau
8>Abu Ja’far Ibn Jarir At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân ‘An Takwîl Al-
Qurân Tafsîr At-Tabârî ( Kairo: Dar Al-Hadis, 2010 ), hlm 506.
9Dalam tafsir tersebut, At-Tabârî mengutip hadis yang diriwayat
oleh Qâsim, Husein, Mu’tamir bin Sulaiman, Iyâs bin Daghfal, dari Hasan.
Abu Ja’far Ibn Jarir At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân ‘An Takwîl Al- Qurân Tafsi>r
At-Tabârî, hlm 507.
Page 29
6
lebih dikenal dengan nama Zamakhsyarî, di sini ia menyatakan
bahwa perintah bermusyawarah ada dalam masa berperang saja
karena dalam masa peperangan tidak turun wahyu al-Qurân10
.
Penafsiran ayat ini masih berkutat mengenai wilayah
peperangan, ia tidak menyinggung masalah politik yang lebih
luas, namun ada keterangan yang disampaikan darinya bahwa
Nabi bisa bermusyawarah dengan para sahabat untuk
menentukan sebuah kebijakan11
. Ia juga mengutip beberapa
ragam teks yang ada dalam tafsirnya tersebut : ‚(a) Al-Hasan,
yang menyatakan bahwa Tuhan telah memerintahkan syûrâ
sebagai teladan yang baik bagi para Sahabat; (b) hadis Nabi yang
menyatakan bahwa ketika orang-orang bermusyawarah, mereka
dipandu menuju keputusan terbaik mereka; (c) pernyataan Abu
Hurairah: ma raitu ahadan aktsar musyâwaratan min ashâb al-
Rasul; (d) sebuah pernyataan (qîla) para pemimpin suku Baduy;
dan (e) pemahamaan (tafsir): wa syâwirhum fi ba’dh al-amr12‛.
Ada juga ar-Râzî ( w: 604 H ), seperti penafsiran
terdahulu, ia tidak banyak menyinggung syûrâ dalam kaitannya
terhadap konsep politik untuk masyarakat muslim. Dibanding
yang penulis sebutkan tadi—para penafsir masa pra-modern—ar-
Râzi memang lebih banyak mencakup pembahasan politik
10
Abu Al Qâsim Jârullâh Mahmud bin ‘Umar Az Zamakhsyarî Al
Khawârizmî, Al-Kasyâf ‘An Haqâiqi At-Tanzîl wa ‘Uyûni Al-Aqâwîl fi
Wujûhi At-Takwîl ( Mesir: Maktabah Mashr, 2000 ), hlm 393.
11Zamakhsyarî, Al-Kasyâf, hlm. 393.
12Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 249.
Page 30
7
ketimbang pendahulunya13
. Hal yang ia kutip di akhir penjelasan
nya ialah tentang Syâfi’î yang ia sebut mengatakan ‚sunnah‛
terhadap perintah bermusyawarah dalam ayat tersebut—hal ini
berbeda tentunya dengan teori ‚wajib‛ dalam ushûl fiqih apabila
terdapat lafadz perintah seperti dalam ayat tersebut14
. Di sini ar-
Râzî belum begitu menyinggung syûrâ sebagai sebuah konsep
politik muslim.
Dalam tradisi tafsir pra-modern, al Qurtubî ( w: 671 H )
dikenal sebagai penafsir yang banyak menuangkan gagasan-
13
‚Râzi mengidentifikasi sejumlah sub isu berkaitan dengan tema
ini, dan menekankan beberapa alasan atas syûrâ:
a. Musyawarah Nabi dengan para Sahabatnya adalah bukti ketinggian
budi pekertinya ( husn al-khuluq ).
b. Meski sang Nabi adalah makhluk yang paling sempurna, penegetahuan
makhluk tetaplah terbatas, sehingga ‚mungkin saja‛ bahwa pendapat
yang bagus bisa berasal dari manusia lain, khususnya dalam berbagai
urusan sehari-hari di kehidupan dunia.
c. Nabi Muhammad diperintahkan untuk melakukan musyawarah agar
menjadi teladan yang baik.
d. Tuhan telah memerintahkan Nabi untuk mencari nasihat demi
menunjukan bahwa tidak ada perasaan gundah dalam hatinya setelah
perang Uhud.
e. Hal ini untuk menunjukan bahwa para sahabat memeiliki nilai
tersendiri di sisi Tuhan.
f. Terakhir, untuk menunjukan bahwa para sahabat harus bergantung
kepada dukungan Tuhan dan ampunanNya kepada mereka‛ Abdullah
Saeed, Al-Quran Abad 21, hlm 249-250.
14Fakhru Ad-Dîn Ar-Râzi As-Syâfi’î, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu
Al-Ghaib ( Kairo, Al Maktabah At-Taufiqiyah, 2003 ). Juz 5. hlm 58.
Page 31
8
gagasan fiqihnya dalam kitab tafsirnya Al-Jâmi’ Li Ahkâm Al-
Qurân. Kaitannya dengan tema syûrâ ini, ia dianggap sebagai
penafsir masa pra-modern yang paling banyak menjelaskan ide
politis. Ia sebagai salah satu yang menganggap bahwa konsep
syûrâ merupakan kewajiban yang harus dilakukan untuk semua
umat muslim dalam kaitannya sebagai pondasi bernegara15
.
Ia sangat berbeda dengan beberapa pendahulunya di masa
pra-modern. Dengan cukup sistemik, ia menjabarkan gagasannya
tentang syûrâ dengan lebih politis. Pada awalnya, ia membagi
kaitannya konsep syûrâ dalam ayat ini menjadi 8 bagian16
,beberapa diantaranya sangat kentara akan penjelasan politis
yang ia gunakana antara lain :
1. Ia mengatakan bahwa syûrâ merupakan salah satu unsur
utama dalam syarî’ah—terutama dalam proses penerapan
hukum dalam konteks interaksi sosial, sehingga seorang
yang tidak mau melaksanakan konsep syûrâ maka wajib
baginya untuk diasingkan—di poin ini ia mengutip
pendapat Ibnu ‘Athiyyah yang ada dalam tafsirnya.
2. Ayat wa syâwirhum fil amri menunjukan kebolehan untuk
berijtihad dan menentukan sebuah permasalahan dengan
jalur musyawarah—minimal menurut pandangannya, di
sini ia menukil beberapa pendapat Ulama tentang makna
syûrâ dan bagaimana cara penerapan ayat tersebut. Seperti
15
Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 250.
16Abû Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Anshari Al Qurtubi, Al-
Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân ( Kairo: Maktabah Dar Al Hadis, 1994 ). Hlm 596.
Page 32
9
ia megutip Syâfi’î dalam hal menafsirkan ayat tersebut
merupakan kewajiban yang tidak hanya diperitahkan untuk
Nabi saja, melainkan kepada seluruh umatnya.
3. Dalam beberapa poin ia bahkan menentukan kriteria untuk
orang-orang yang hendak melakukan musyawarah.
4. Ia menjelaskan bahwa syûrâ berangkat dan berasal dari
sebuah perbedaan pendapat, kemudian orang-orang yang
hendak melaksanakan musyawarah melihat jalan
pemecahannya dengan mengamati mana yang paling sesuai
dengan al-Qurân 17
.
Melihat perdebatan di kalangan penafsir klasik, hanya al
Qurtubî yang paling dominan menjelaskan secara politis. penulis
berusaha untuk menganalisa teks, konteks dan kontekstualisasi
ayat tersebut.
Beranjak menuju masa modern, ada Abû al-A’lâ al-
Maudûdî ( w: 1979 M ) dan Sayyid Qutb ( w: 1966 M ) yang
juga mencoba menjelaskan peran syûrâ18
. Sayyid Qutb mencoba
menampilkan syûrâ sebagai sebuah kewajiban dan tanggung
jawab individu muslim untuk digunakan tidak hanya sebagai
sebuah sistem pemerintahan, tetapi jauh daripada itu sebagai
sebuah nilai ataupun ajaran yang masuk ke semua tatanan sosial
masyarakat muslim19
. Tidak berbeda jauh dengan Sayyid Qutb,
17
Al Qurtubî, Al-Jâmi’ Li Ahkâm Al-Qurân, jus 1. Hlm 597-600.
18Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 252.
19Sayyid Qutb Ibrâhîm. Fî Zilâli Al-Qurân, (Kairo: Dar As-Syûrûq
1978). Jus 1. Hal 501-504.
Page 33
10
al-Maudûdî juga menjelaskan beberapa hal mengenai konsep
syûrâ yang jauh dari hanya sekedar sebagai sebuah pijakan dalam
menggeluti sistem pemerintahan Islam. Ia lebih jauh
menjelaskan syûrâ sebagai sebuah ajaran agama yang masuk
dalam semua sisi kehidupan seorang muslim20
.
Melihat perdebatan penafsiran mengenai tema syûrâ,
maka isu utama yang ada dalam ayat ini adalah mengenai
perintah bermusywarah untuk Nabi sebagai manusia yang
sempurna, kepada para Sahabat sebagai generasi manusia yang
sangat baik tetapi dimungkinkan melakukan kekeliruan, adapun
penafsiran yang muncul pada masa pra-modern hanya al-Qurtubî
yang menjelaskan ayat ini sebagai sebuah pijakan politik,
sedangkan yang lain hanya menganggap ayat ini sebagai sebuah
perintah dari Tuhan untuk Nabi tanpa ada penjelasan politis.
Sedangkan pada masa modern, berangkat dari kondisi
perpolitikan yang jelas sudah sangat berubah dari masa klasik,
maka pendekatan yang dilakukan oleh para Ulama di masa ini
mempunyai perbedaan yang sangat signifikan. Ulama di masa
modern mencoba menjelaskan syûrâ tidak hanya sebuah ajaran
yang diperintakan untuk Nabi semata, atau bahkan
signifikansinya hanya berkutat dalam pengelolaan sistem
pemerintahan saja, tapi jauh dari pada itu, syu>ra> di masa ini
dimaknai hingga masuk ke dalam semua sendi kehidupan
muslim, dan lebih rinci dari pada itu, mekanisme dalam
20
Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 252.
Page 34
11
menjalankan syûrâ dalam tatanan pemerintahan muslim juga
dijelaskan21
.
Titik puncak permasalahan dalam penelitian ini muncul
ketika pembahasan ini sampai pada penyetaraan sistem syûrâ
dengan sistem demokrasi dan juga lembaga-lembaga dalam
sistem demokrasi yang digunakan di negara muslim saat ini
khususnya di Indonesia. Dalam beberapa pengertiannya
menenurut para ahli, demokrasi dimaknai sebagai sebuah
kekuasan ataupun kedaulatan yang bersumber dari rakyat22
.
Dalam literatur yang lain disebutkan bahwa demokrasi adalah
sebuah gagasan yang menyangkut negoisasi dalam bidang
kenegaraan, sosial, budaya dan politik tertentu23
.
Di sini penulis mendapati titik pangkal perbedaan
mengenai makna syûrâ dan demokrasi yaitu dari sisi sumber
penetapan hukum yang dianggap bergeser, yakni syûrâ yang oleh
para penafsir pra-modern dan sebagian Ulama modern berasal
dari Tuhan—dalam kebijakan mengenai hukum kenegaraan yang
bersumber dari Tuhan—sedangkan demokrasi yang berasal dari
barat, dimana mandat Tuhan dianggap bergeser kepada rakyat
sepenuhnya. Maka di sini penulis merasa perlu untuk melakukan
kajian kontekstual mengenai konsep syûrâ dengan menyorot isu-
isu yang berkaitan dengan ranah sosial dan politik di Negara-
21
Salah Eldeen Al Gorshy,‛ Deepening Democracy: A New Mission
ahead of Islamic Thought‛, Al Arabi, 456 ( 1997 ).
22Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 256.
23Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 256.
Page 35
12
negara muslim saat ini—khususnya Indonesia— yang
mengadopsi sistem demokrasi sebagai sebuah konsep politik
kenegaraannya. Meskipun telah dipaparkan di atas mengenai
beberapa macam pandangan Ulama kontemporer mengenai
demokrasi—bahwa demokrasi dianggap sebagai bagian dari
sistem syûrâ, namun penulis masih mendapati pemikiran Ulama
kontemporer yang menganggap bahwa demokrasi—
bagaimanapun disetujui sebagai sebuah konsep negara dan
disamakan dengan syûrâ—tetap saja dibedakan dengan syûrâ,
sehingga sampai saat ini masih ada persepsi bahwa demokrasi
bukanlah termasuk bagian dari nilai-nilai syûrâ.
Dalam penelitian ini, penulis berusaha membuktikan dua
hipotesa yang coba penulis buktikan yaitu: pertama pemahaman
tafsir pra-modern terkait konsep syûrâ untuk konteks politik
negara muslim modern tidak relevan sepenuhnya, karena dalam
peneltian yang penulis dapati, kebanyakan Ulama di zaman
klasik tidak menjelaskan syûrâ sebagai sebuah dasar sistem
Negara, kedua adalah sistem demokrasi beserta nilai-nilai di
dalamnya merupakan bagian dari syûrâ.
Disinilah penulis berusaha untuk mengintegrasikan bahwa
nilai-nilai syûrâ merupakan bagian dari sistem demokrasi,
sehingga tidak ada dikotomi yang menimbulkan perbedaan
secara menyeluruh di antara keduanya.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi
Page 36
13
Berdasarkan pemaparan dari latar belakang di atas, maka
perlu kiranya penulis untuk mengidentifikasi masalah yang akan
dibahas dalam penelitian nanti, dengan tujuan supaya penelitian
nanti lebih sistematis. Adapun identifikasi masalah yang akan
diuraiakan adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana untuk memahami dan mengintegrasikan ayat-
ayat syûrâ ?, maka kiranya perlu bagi penulis mengkaji dan
memaknai ayat-ayat tersebut dengan metode tematik
untuk memahami sebuah konsep syûrâ dengan kondisi
politik terkini.
b. Lalu langkah apa yang diteruskan dalam upaya
mengintegrasikan antara konsep demokrasi dan konsep
syûrâ dalam al-Qurân ?, sehingga di sini penulis mencoba
mengkaji sistem dan lembaga demokrasi yang digunakan di
Indonesia—sebagai representasi negara muslim yang
menggunakan demokrasi sabagai asas berpolitik negara.
c. Bagaimana bentuk integrasi yang dilakukan di antara
sistem demokrasi dan sistem syûrâ ?, maka penulis akan
mengkaji sistem demokrasi dan lembaganya kemudian
mencari nilai-nilai demokrasi yang selaras dengan nilai-
nilai dan prinsip syûrâ, dimana kedua sistem tersebut pada
kenyataannya digunakan sebagai konsep dasar berpolitik.
d. Kemudian bagaimana proses yang dilakukan untuk
mencari persamaan nilai dalam sistem demokrasi kedalam
sistem syûrâ dalam penerapannya sebagai sebuah dasar
bernegara ?, maka penulis akan menimbang sisi manfaat
Page 37
14
dan negatifnya tentang penggunaan demokrasi sebagai
sebuah dasar politik negara Islam.
2. Pembatasan masalah
Dengan tujuan supaya penletian ini lebih terarah dan
spesifik, maka penulis berniat membatasi masalah-masalah yang
akan diteliti.
Penulis akan mencoba membatasi penelitian ini dengan
mengkaji pemikiran pemikiran Ulama-ulama kontemporer dalam
upaya menafsirkan ulang konsep syûrâ, hal yang dominan karena
ini mengarah kepada hukum-hukum yang dihasilkan dari sistem
pemerintahan yang menggunakan konsep syûrâ dan
demokrasi.maka penulis juga akan karya-karya tafsir dari para
pemikir pra-modern—sebagaimana yang penulis lakukan dalam
bab latar belakang yaitu : at-Tabârî dalam tafsirnya Jâmi’u Al-
Bayân ‘An Takwîl Al-Qurân Tafsîr At-Tabârî, az-Zamakhsyâri
dengan Al-Kasyâf ‘An Haqâiqi At-Tanzîl wa ‘Uyûni Al-Aqâwîl fi
Wujûhi At-Takwîl, ar-Râzî dengan karyanya At-Tafsîr Al-Kabîr au
Mafâtîhu Al-Ghaib dan al-Qurthubî dalam Al Jâmi’ Li Ahka>m Al-
Qurân, Ibnu al-Katsîr dalam kitabnya Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm,
al-Alûsî dalam kitabnya Rûh al-Ma’ânî, al-Baidâwî dalam
tafsirnya tafsir al-Baidâwî, Syaikh Nawawî al-Jâwi dalam
tafsirnya Marah Labîd pada masing-masing sumber di atas,
penulis akan melihat penafsiran-penafsiran mereka dalam
menjelaskan konsep syûrâ, dan juga pemikiran Ulama
kontemporer seperti : tafsir Ibnu ‘Âsyûr, tafsir al-Manâr, tafsir
Fî Zilâl al-Qurân, tafsir al-Misbah, , tafsir al-Manâr, Safwah at-
Page 38
15
Tafâsîr, tafsir as-Sya’râwî dan beberapa gagasan syûrâ dan
demokrasi dari Ulama kontemporer seperti Abû al-‘Alâ al-
Madûdî, Grand Syaikh Al-Azhar Ahmad Tayyib, Quraish
Shihab, Abû al-Kalâm Azad dan lain-lain.
Di sini penulis juga akan menggunakan beberapa literatur
lain sebagai bahan meneliti penggunan sistem demokrasi,
lembaga dan kegunaanya dalam negara, seperti dari jurnal
ataupun sumber-sumber yang lain. Kemudian secara lebih
spesifik, ada beberapa variable ayat lain yang menjadi bahasan
utama dalam penelitian ini, yaitu surat Al Imran:159 dan surat
as-Syûrâ ayat 38 dan 10 yang berkaitan dengan tema syûrâ.
Secara menyeluruh kata syûrâ dan derivasinya dalam al-Qurân
ada 4 bagian, hal itulah yang juga akan menjadi pembahasan
dalam penelitian kali ini yaitu penafsiran tematik mengenai
konsep syûrâ.
3. Perumusan masalah
Dalam penulisan karya ilmiah, perumusan masalah
merupakan bagian yang harus ada, dengan tujuan penelitian
nanti lebih terarah dan sistematis. Perumusan masalah berupa
pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab sepanjang waktu
penulisan karya ilmiah.
Pertanyaan utama yang hendak dijawab oleh penulis
nanti adalah :
Apa integrasi antara sistem demokrasi dan sistem syûrâ
dalam perspektif kajian tafsir klasik dan kontemporer, kaitannya
dengan nilai-nilai yang relevan di antara keduanya ?
Page 39
16
Adapun dari pertanyaan utama di atas, maka akan
menjadi beberapa pertanyaan-pertanyaan lanjutan sebagai
penguat dan penjelas pertanyaan utama, yaitu :
1. Bagaimana pemahaman konsep syûrâ dalam al-Qurân
kemudian sejauh mana urgensitasnya dalam hal
perbandingannya dengan sistem demokrasi ?
2. Sejauh apa manfaat kajian tentang pendapat Ulama-
ulama klasik tentang konsep syûrâ terhadap penerapan
demokrasi saat ini ?
3. Apa urgensitas kajian terhadap pemikiran Ulama-ulama
kontemporer terhadap konsep syûrâ dan sistem demokrasi
?
4. Sejauh apa manfaat penggunaan sistem demokrasi dalam
konsep bernegara dan politik Islam saat ini ?
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana sudah dijelaskan dalam perumusan masalah,
maka tujuan penulisan ini adalah sebagai berkut:
1. Menjelaskan kembali konsep syûrâ dalam al-Qurân
dengan dari beberapa referensi yang diambil dari para
Ulama klasik hingga Ulama kontemporer.
2. Mengumpulkan dan menjelaskan pengertian-pengertian
demokrasi secara umum dalam pengertian barat,
kemudian membandingkannya dengan pemikiran
demokrasi dari sarjana muslim kontemporer.
Page 40
17
3. Mencoba mencari integrasi di antara konsep dan nilai-
nilai syûrâ dengan sistem demokrasi.
4. Penelitian ini dilakukan dalam rangka menyelesaikan
program magister di fakultas Ushuluddin program studi
Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Qurân UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Signifikansi dan manfaat penelitian ini dapat
dikategorikan dalam aspek akademik dan sisi praktis.
Dalam kaitanya dengan aspek akademik dari penelitian ini
yaitu :
1. Mengembangkan pemahamaan tentang konsep syûrâ
dalam al-Qurân dari sudut pandang kontemporer.
2. Menambah pemahamaan mengenai pengertian demokrasi
dari sudut pandang sarjana muslim kontemporer, juga
memahami perbandingannya dengan pengertian
demokrasi dari para sarjana barat.
3. Memperkaya khazanah keilmuan Islam tentang konsep
syûrâ dan sistem politik demokrasi.
Adapun kaitanya dalam tataran aspek praksisnya adalah:
1. Menambah pengetahuan kepada para pemeluk agama
Islam yang tinggal dalam Negara yang menganut sistem
demokrasi, tentang konsep syûrâ dan demokrasi keduanya
dari sudut pandang al-Qurân.
Page 41
18
2. Menguatkan pemahaman mengenai konsep syûrâ dan
demokrasi bahwa keduanya secara praksis berada dalam
ruang lingkup yang sama, sehingga demokrasi merupakan
sebuah sistem politik yang legal dalam konsep politik
Islam.
3. Menguatkan persepsi bahwa sistem demokrasi yang ada
di Indonesia sudah sesuai dengan konsep al-Qurân.
E. Penelitian Terdahulu
Dalam sebuah penelitian ilmah, penelitian terdahulu
merupakan sebuah hal yang sangat penting dan membantu kaitan
nya dalam proses pembandingan data, juga meminimalisir
plagiasi. Dengan judul dan tema karya ilmiah yang penulis buat
ini, maka penulis menyimpulkan bahwa tema-tema yang
berkaitan dengan penelitian terdahulu yaitu, tema mengenai
konsep syûrâ dalam al-Qurân yang terbentang melalui karya
tafsir klasik dan kontemporer, lalu tema mengenai sistem politik
Islam, kemudian mengenai penerapan sistem demokrasi dalam
negara Islam mayoritas.
Dalam kaitannya dengan tema-tema di atas, penulis
membagi menjadi kajian terdahulu khazanah tafsir al-Qurân
yang juga berperan sebagai sumber utama penelitian dan juga
beberapa karya ilmiah yang memang menjelaskan syûrâ dan
demokrasi sebagai sumber pembanding, namun tidak ditemukan
integrasi teori dan empiris dari beberapa karya ilmiah tersebut.
Salah satu yang menjelaskan mengenai syûrâ adalah:
Page 42
19
a. Penelitian terdahulu dari sumber primer :
Tafsir at-Tabari, dalam pandangan penulis, at-
Tabari tidak menempakkan tanda-tanda bahwa
musyawarah merupakan konsep untuk menjalankan
seuah roda pemerintahan, alih-alih menjelaskan
syûrâ sebagai sebuah konsep negara, menafsirkan
syûrâ keluar dari konteks selain di zaman Nabi dan
peperanganpun tidak.
Tafsir al-Kasyâf, Zamakhsyarî memandang bahwa
musyawarah merupakan perintah kepada Nabi dan
dapat dilakukan bersama para sahabatnya, apa yang
dijelasakan olehnya tidak mewakili syûrâ sebagai
sebuah konsep negara.
Mafâtîh al-Ghaib, ar-Râzî menjelaskan syûrâ sebagi
sebuah perintah dari Allah kepada Nabi, dengan
tujuan agar para sahabat Nabi mendapatkan
ketenagan dan menghargai peran mereka, adapun
terkait konteks syûrâ sebagai sebuah sistem
pemerintahan, maka tidak terdapat dalam
keterangannya.
Tafsir al-Qurtubi, dalam khazanah tafsir klasik, al-
Qurtubi penulis anggap sebagai seorang penafsir
yang paling jauh dalam menjelaskan konsep
musyawarah, ia beranjak dari tafsir mainstream
yang menjelaskan syûrâ sebagai sebuah perintah
Page 43
20
kepada Nabi, menjadi sebuah ide dalam mengelola
konflik di pemerintahan, namun sekali lagi, kondisi
saat itu tidak memungkinkan dirinya untuk lebih
jauh menafsirkan syûrâ.
Tafsir Fî Zilâl Al-Qurân, apa yang disampaikan
oleh Sayyid Qutb bagi penulis merupakan pembuka
gerbong pemahaman tafsir syûrâ di masa klasik
menuju masa kontemporer sekaligus relevansinya
dengan konsep demokrasi, meskipun secara
eksplisit ia tidak menyebut demokrasi, namun ia
mulai melihat kemungkinan-kemungkinan yang
mengarah kepada konsep alternatif dalam
pemerintahan selain syûrâ.
Tafsir At-Tahrîr wa At-Tanwîr, Ibnu ‘Ayûr
dianggap sebagai seorang pakar ilmu ushul al-fiqh,
ia menegaskan bahwa musyawarah merupakan
perkara ijtihâdî, hal itu yang mendasarinya
membentangkan kajian syûrâ ke dalam
permasalahan-permasalahan seperti rumah tangga,
suku, negara dan umat dengan status hukum wajib
dan sunnah. Dalam konteks negara, ia mewanti-
wanti pemerintah untuk tidak zalim terhadap
rakyatnya, sehingga kemudian dapat dipahami,
bahwa demokrasi selagi mampu untuk menciptakan
sebuah pemerintahan yang baik maka dibolehkan
bahkan menjadi suuatu hal yang wajib atau sunnah.
Page 44
21
b. Penelitian terdahulu dari sumber sekunder :
State, Politics, and Islam24. Dalam buku tersebut
hanya dijelaskan mengenai syûrâ yang merupakan
bagian dari konsep politik Islam dan sebagai sebuah
sistem, dijelaskan juga kedudukan syûrâ sebagai
dewan penasihat pemimpin. Buku tersebut cukup
sistematis dalam menjelaskan konsep dan prinsip
syûrâ, dalam sebuah kesempatan, Fazlurrahman
yang menjadi salah satu penulis dalam buku
tersebut menyuguhkan syûrâ dengan cukup
runtut25
, yaitu dari mulai awal digunakanya konsep
syûrâ hingga masa modern, namun ia tidak cukup
jeli membedakan dua terma utama yaitu demokrasi
dan syûrâ, alih-alih membuat klasifikasi diantara
keduanya, penjelasan nya justru membuat pembaca
menyamakan persepsi antara syûrâ dan demokrasi,
namun buku ini jelas menjadi salah satu rujukan
penting dalam penulisan ini. Lalu di sini penulis
mencoba menjelaskan pemahaman antara konsep
syûrâ dan demokrasi dengan membedakan di antara
keduanya, serta menjelaskan pengertian dan
penggunaan masing-masing.
24
Mumtaz Ahmad (ed): State, Politics, and Islam, (American Trust
Publication, Indianapolis 1986) hlm 59.
25 Mumtaz Ahmad (ed), State, Politics, and Islam, hlm 117.
Page 45
22
Fikih Politik Islam26. Dalam buku tersebut
dijelaskan dengan sangat rinci perihal konsep syûrâ,
baik dari mulai pengambilan dalil dari al-Qurân,
hinga penerapanya dalan konteks negara Islam.
Namun di dalamnya tidak dijelaskan sistem
demokrasi sebagai sebuah sistem bernegara yang
menjadi pembanding ataupun konsep baru dari
tema syûrâ. Di sini penulis melakukan pendekatan
yang berbeda dengan apa yang sudah dilakukan
oleh Farid Abdul Khaliq sebagai penulis buku,
yaitu perbandingan antara sistem demokrasi dan
konsep syûrâ dalam tataran historis, analisis dan
praksis.
Demokrasi atau Syûrâ27. Buku tersebut berjudul
asli Fiqhu As-Syûrâ wa Al-Istisyârah, dalam
pembahasan nya, karya ilmiah tersebut sangat
komprehensif dalam membahas konsep syûrâ, dari
sisi kajianya cukup kompleks dengan pembahasan
syûrâ yang dilihat dalam dimensi sosial—kaitanya
dengan demokrasi—agama dan penerapan politik.
Hal yang tidak terdapat dalam buku tersebut adalah
26
Farid Abdul Khaliq; Judul Asli : Fî Al-Fiqh Al-Islâmy Mabâdi’
Dustûriyyah As-Syûrâ Al-‘Adl Al-Musâwah, Dâr As-Syurûq, penerjemah
Faturahman A. Hamid, Lc. Penerbit Amzah, Jakarta, 2005.
27Taufiq Muhammad As-Syawi: Demokrasi atau Syûrâ; Gema Insani,
Jakarta, 2013.
Page 46
23
konsep demokrasi yang tidak dibahas dalam sub-
tema tersendiri. Secara spesifik mengenai negara
Islam yang akan penulis lakukan untuk menjadi
representasi mengenai tema sentral tulisan ini yaitu
Indonesia, sementara penulis mencoba menjelaskan
demokrasi dalam sebuah bab tersendiri.
Pemikiran Politik Islam Tematik28. Buku tersebut
menjelaskan cukup gamblang mengenai pemikiran
politik Islam dari masa klasik dan kontemporer,
didalamnya juga dijelaskan mengenai karakter dan
sistem pemertintahan Islam, juga terdapat
komparasi mengenai nilai-nilai politik Islam dan
beberapa bentuk lembaga hasil dari sistem politik
modern, bagaimana harmonisasi dari pemikiran
politik Islam dan lembaga-lembaga tersebut
dijelaskan di dalamnya. Yang membuat berbeda
dari penelitian penulis di sini adalah mengenai
penjelasan konsep syûrâ dan demokrasi yang
secara spesifik penulis jabarkan dalam penelitian
ini, lebih jauh yang penulis dapati bahwa tidak ada
dalam buku tersebut yang menjelaskan hubungan
ataupun integrasi antara sistem demokrasi kedalam
konsep atau sistem syûrâ.
28
Sukron Kamil: Pemikiran Politik Islam Tematik, Perpustakaan
Nasional, Jakarta, 2013.
Page 47
24
Itulah beberapa karya ilmah yang penulis anggap
mempunyai benang merah dengan karya ilmiah ini, sehingga
nantinya harap penulis, kajian ini akan melengkapi berbagai
karya ilmaih yang sudah ada sebelumnya. Ada banyak sekali
pembahasan mengenai syûrâ dan demokrasi dalam dunia
penelitian, baik itu yang berasal dari kampus atau dari peneliti di
luar kampus. Namun di sini penulis bukan tanpa alasan kembali
mengangkat tema ini untuk diteliti, dari sekian banyak karya
ilmiah yang penulis temukan, penulis merasa belum ada yang
mencoba untuk menawarkan sebuah kajian syûrâ yang dibedah
dan diklasifikasikan tentang perbedaan ulama dari masa klasik
dan kontemporer, lalu kemudian dijelaskan bagaimana nilai-nilai
syûrâ bisa diintegrasikan ke dalam sistem demokrasi. Pada
intinya, di sini penulis merasa bahwa hasil dari penelitian ini
akan menawarkan pandangan baru terkait persepsi yang selama
ini berkembang menganai syûrâ dan demokrasi. Juga
meminimalisir anggapan tentang dikotomi di antara keduanya.
F. Metodologi Penelitian
Dalam sebuah penelitian ilmiah terdapat cara atau metode
dalam proses penyusuanya, sehinga hasil dari penelitian tersebut
tersusun secara rapi, dinamis dan tepat sasaran.
Adapun dalam jenis peneilitian ini akan menggunakan tiga
sifat penelitian yaitu tematik ( penggalian data dari al-Qurân ),
deskriptif ( menuliskan data ) dan analisis ( menjabarkan
Page 48
25
pemahaman atas data-data yang didapat ) kemudian komparatif (
yaitu membandingkan beberapa data yang telah ditemukan )
kesemuanya dari jenis dan sifat penelitian ini untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam perumusan masalah.
Untuk memudahkan peneliti memahami proses penelitian maka
akan dijelaskan berapa metode yang digunakan yaitu sebagai
berikut :
1. Sumber data
Sumber data penelitian ini berasal dari berbagai macam
karya ilmiah lainnya seperti buku, jurnal, ensiklopedia, artikel
dan berbagai macam rujukan lain yang representatif untuk
dijadikan rujukan, juga menggunakan data penelitian
kepustakaan, yaitu sebuah penelitian yang sumber datanya
berasal dari studi pustaka dan literature dari perpustakaan.
Dalam prakteknya, proses penelitian ilmiah umumnya
menggunakan sumber data primer dan juga sumber data
sekunder. Sumber data primer dari peneltian ini adalah kitab-
kitab tafsir karangan Ulama klasik Islam seperti at-Tabârî dalam
tafsirnya Jâmi’u Al-Bayân ‘An Takwîl Al-Qurân Tafsîr At-Tabârî,
az-Zamakhsyarî dengan Al-Kasyâf ‘An Haqâiqi At-Tanzîl wa
‘Uyûni Al-Aqâwîl fi Wujûhi At-Takwîl, ar-Râzî dengan karyanya
At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib dan al-Qurtubî dalam Al-
Jâmi’ Li Ahkâm Al-Qurân Ibnu al-Katsîr dalam kitabnya Tafsîr
al-Qurân al-‘Azîm, al-Alûsî dalam kitabnya Rûh al-Ma’ânî, al-
Baidâwî dalam tafsirnya, Syaikh Nawawî al-Jâwi dalam
tafsirnya Marah Labîd. Kemudian penulis juga menggunakan
Page 49
26
rujukan utama dari buku tafsir kontemporer seperti tafsir Ibnu
‘Asyûr, tafsir al-Manâr, tafsir Fî Zilâl al-Qurân, tafsir al-Misbah,
tafsir al-Sya’rawî, juga karya pendukung lainnya seperti
Abdullah Saeed yaitu Reading the Qur’an in the Twenty-first
Century A Contextualist Approach29. Adapun sumber data
sekunder dari penelitian ini adalah dari karya-karya Ulama
muslim lain dari masa pra-modern dan masa modern dalam tema
syûrâ dan diskursus politik Islam, seperti buku yang berjudul
Fikih Politik Islam karya Farid Abdul Khaliq, Demokrasi atau
syûrâ karya Taufiq Muhammad As-Syâwî, juga beberapa sumber
rujukan dari barat dengan bingkai tema demokrasi baik dalam
bentuk buku, artikel ataupun jurnal. Untuk masa pra-modern dari
karangan para sarjana muslim, penulis terbatas hanya
menggunakan buku atau kitab sebagai sumber rujukan nya,
adapun dari para cendikiawan muslim di masa modern, penulis
menggunakan berbagai sumber rujukan dari mulai buku-buku,
artikel, jurnal ataupun seminar dari para tokoh yang
bersangkutan. Adapun sumber penelitian mengenai pengetian
demokrasi, penulis mengambil dari buku Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat Madani30, kemudian buku Demokrasi
29
Telah diterjemahkan dengan judul ‚Al-Qurân Abad 21: Tafsir
Kontekstual karya Abdullah Saeed; penerjemah, Evan Nurtawab; editor,
Ahmad Baiquni‛, kemudian diterbitkan oleh PT Mizan Pustaka tahun 2015.
30A. Ubaedillah dan Abdul Rozak: Pendidikan Kewarganegaraan
Edisi Ketiga Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.
Penerbit Prenada Media Group : Jakarta.2008.
Page 50
27
Konstitusional karya Adnan Buyung Nasution31
, dan beberapa
sumber lain yang nanti kemungkinan akan bertambah lagi sesuai
dengan perkembangan penelitian penulis. Ada beberapa
pertanyaan yang muncul kemudian mengenai cara penulis
memberikan klasifikasi antara tafsir klasik dan kontemporer,
alasan-alasan dalam memilih tafsir-tafsir di masa klasik dan
kontemporer, berikut penulis jelaskan :
Klasifikasi antara tafsir klasik dan kontemporer
dalam penelitian ini tidak hanya berdasar dari tahun
atau zaman seorang mufassir, tetapi juga mengacu
pada nuansa dan karakteristik penafsiran dari karya-
karya tersebut, tafsir klasik cenderung menjelaskan
ayat-ayat al-Qurân dengan metodologi regular,
sedang panafsiran modern mempunyai ciri khas
pendekatan kontekstual. Usaha penulis dalam
menentukan kitab-kitab tersebut ditentukan dengan
pengaruh kitab-kitab tafsir tersebut mengacu pada
tradisi keilmuan Islam.
Tafsir klasik dan kontemporer : alasan penulis
mengambil tafsir –tafsir yang penulis jadikan sumber
utama penelitian di atas adalah :
a. Tafsir-tafsir yang penulis sebutkan diatas
mewakili zaman awal perkembangan tafsir klasik
hingga sampai pada awal masa tafsir kontemporer
31
Adnan Buyung Nasution :Demokrasi konstitusional, editor :Tri
Agung Kristianto, Kompas ISBN, Jakarta. 2010.
Page 51
28
sampai sekarang, sehingga bagi penulis telah
cukup untuk dijadikan rujukan yang komprehensif
karena mampu menguhubungkan kultur sosial,
politik dan penafsiran itu sendiri dari tahun ke
tahun.
b. Tafsir-tafsir di atas telah mewakili corak dan
jenis-jenis tafsir secara komplit, seperti jenis tafsir
bi ar-ra’yi, tafsir bi al-ma’tsûr, tafsir al-adab wa
al-ijtimâ’î, sedangkan dalam corak tafsir telah
mewakili tafsir fiqih, tafsir tasawuf, tafsir
teologis, tafsir balaghah dan bahkan beberapa
madzhab teologis seperti Mu’tazilah dan Sunni
juga telah ada dalam tafsir-tafsir di atas.
c. Dalam rangka mengkombinasikan beberapa
sumber penafsiran yang sudah ada di atas dengan
politik, maka kemudian penulis mencoba untuk
menghadirkan beberapa pemikir yang mempunyai
latar belakang ataupun pengaruh politik yang
cukup kental seperti Abû al-‘Alâ al-Madûdî,
Grand Syaikh Al-Azhar Ahmad Tayyib, Abû al-
Kalâm Azad dan lain-lain.
2. Metode pendekatan
Peneltian ini merupakan bagian dari penelitian kualitatif.
Dengan dasar penelitian tersebut maka penulis menggunakan
metode deskriptif-komparatif sebagai bahan untuk menjelaskan
Page 52
29
permasalahan yang ada. Metode deskriptif yaitu menjelaskan
pemahamaan penulis dari berbagai sumber data yang telah digali
sebelumnya, baik itu dari sumber data primer ataupun sekunder.
Sedangkan metode komparatif yaitu menjelaskan data-data baik
yang telah melewati tahap deskiptif penulis atau masih dalam
tahap pemahaan awal ( pemikiran yang berasal dari sumber data
) untuk dibandingkan dengan berbagai sumber data yang lain.
Sedangkan metode selanjutnya di sini adalah metode kontekstual
yang telah dikembangkan secara lebih dinamis oleh Abdullah
Saeed, yaitu sebuah pendekatan yang mengedepankan konteks
masa turun nya wahyu—dengan perkembangan nya menjadi
konteks linguistik—dan konteks masa antara turun nya wahyu—
berbagai peristiwa relevan yang terekam dalam kekayaan
intelektual berupa kitab— hingga konteks terkini dari proses
tersebut yang disebut kontekstual.
Pada prinsipnya, penelitin ini mencoba mendeskripsikan
bagaimana masyarakat muslim yang secara mayoritas mendiami
sebuah sebuah negara dengan sistem politik demkorasi
memahami relevansinya dengan konsep syûrâ. Berangkat dari
pemahaman awal bahwa konsep syûrâ merupakan nilai utama
yang terkandung dalam al-Qurân kaitanya dengan konsep untuk
mencari solusi—berasal dari Tuhan sebagai entitas tunggal
untuk menentukan kebijakan, dengan sendirinya berkembang
sebagai sebuah konsep yang dipahami dan digunakan dalam
sistem negara sebagai sarana untuk menampung aspirasi
rakyat—yang terwakili dalam kelompok ahlu al-halli wa al-
Page 53
30
‘aqdi, maka penulis menggunakan metode kontekstual sebagai
sebuah pendekatan, terlebih dengan adanya konsep demokrasi
yang berkembang dan digunakan di kalangan masyarakat
muslim.
3. Langkah operasional
Langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam
melakukan penelitian nanti adalah sebagai berikut :
a. Mengklasifikasi peta pemikiran muslim dari masa pra-
modern dan masa kontemporer terkait pembahasan syûrâ
dan demokrasi.
b. Mencari variabel ayat al-Qurân, hadis ataupun ijtihad
ulama yang berkaitan dengan syûrâ.
c. Menjelaskan pendekatan kontekstual sebagai sebuah
penafsiran al-Qurân yang representatif.
d. Menentukan kitab-kitab tafsir yang merepresentasikan
pemahaman syûrâ.
e. Mencari dan menganalisa pemikiran-pemikiran modern
dari kalangan sarjana muslim kontemporer tentang
demokrasi.
f. Menjelaskan demokrasi secara umum baik dari kalangan
sarjana muslim ataupun non muslim.
g. Mengintregasikan pemahaman demokrasi dan konsep
syûrâ dengan data-data yang telah penulis dapatkan.
Page 54
31
G. Sistematika Penulisan
Dalam bab ini akan dijelaskn secara keseluruhan
mengenai bagian-bagian dari setiap bab yang ada dalam studi
penelitian ini, hal itu untuk memudahkan penulis dan membuat
struktur penelitian ini lebih sistematis dan terarah. Adapun isi
dan penjelasan dari masing-masing bab nanti adalah :
Bab pertama yaitu berisikan paparan dari penulis dalam
upaya menjelaskan latar belakang masalah, mengenai seberapa
besar signifikansi masalah ini kaitannya dengan proses penelitian
selanjutnya, juga berisikan tetang hal-hal yang menjadi batasan
untuk membatasi luas spektrum penelitian ini, sebelumnya tentu
dengan identifikasi masalah yang dibuat untuk mencari
permasalahan dan sekaligus merumuskannya dengan pertanyaan-
pertanyaan yang hendak penulis jawab selama proses penelitian
dalam bagian perumusan masalah. Selanjutnya di bagian ini,
penulis juga menjelaskan mengenai tujuan, manfaat dan
signifikansi dari kepenulisan ini. Penulis juga tidak lupa untuk
menjelaskan beberapa penilitian yang cukup relevean dengan
tema penelitian ini, penulis juga sudah membuat klasifikasi
mengenai batasan-batasan tema yang berhubungan dengan
penelitian ini. Pada bagian akhir dari bab pertama ini, penulis
memaparkan mengenai metode, langkah operasional dan
pendekatan yang akan dilakukan penulis dalam upaya
menyelesaikan penelitian ini, kemudian sistem penulisan yang
menggambarkan isi keseluruhan mengenai bab ini juga penulis
cantumkan, di bagian paling akhir penulis memasukan semua
Page 55
32
kajian kepustakaan yang menjadi bahan rujukan dalam penelitian
ini.
Bab kedua dalam studi ini berisikan tentang penjelasan
penulis mengenai makna syûrâ, mengenai konteks dari ayat
syûrâ ataupun variabel ayat-ayat lain yang memilki relevansi
dengan kajian ini. Di sini penulis juga akan membedah
pengertian syûrâ dalam perspektif dasar tafsir dari surat al Imran
ayat 159. Penulis juga berupaya untuk menjelaskan mengenai
perbedaan sarjana klasik dan modern dalam memahami
pengertian tentang khitâb dari ayat syûrâ apakah hanya tertuju
kepada Nabi dan temporitatif—mansûkh— atau muslim secara
umum yang meliputi ranah sosial-politik dan berkelanjutan.
Bab ketiga dari penelitian ini menjelaskan mengenai
penafsiran klasik dan penafsiran kontemporer yang diselingi
dengan kajian lain dari perspektif selain tafsir—seperti fikih
siyâsah dan lain sebagainya, sehingga terungkap penggunaan
konsep syûrâ dalam setiap masa yang terlewati. Dalam kaitanya
dengan pemaknaan syûrâ, penulis dalam bab ini juga akan
menjelaskan mengenai signifikansi kajian kontekstual dalam
upaya menafsirkan ulang konsep syûrâ, penulis juga mencoba
menjelaskan mengenai makna demokrasi dari sudut pandang
sarjana muslim modern, juga mencantumkan pengertian umum
dari sistem demokrasi dari sudut pandang barat.
Bab keempat dalam peneltian ini, penulis mencoba
menjelaskan mengenai relevansi konsep syûrâ dengan sistem
Page 56
33
demokrasi dalam penerapannya sebagai sebuah konsep dasar
bernegara.
Bab kelima dari studi ini berisi tentang kesimpulan dari
penelitian, saran dan rekomendasi kepada para peneliti yang
hendak melakukan penelitian dengan tema atau diskursus yang
sama.
Page 58
33
BAB II
KONSEP SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN
A. Pengertian Syûrâ
1. Syûrâ dalam pengertian bahasa
Dalam penggunaan katanya, syûrâ biasa diartikan
dengan memaparkan atau menjelaskan, bisa juga diartikan
dengan mengambil sesuatu1. Dalam kamus al-Munjid, syûrâ
diartikan sama dengan tasyâwara, yang berarti saling
bermusyawarah antara satu pihak dengan pihak lain2. Jika dilihat
dari sudut pandang bahasa, keduanya memiliki arti yang hampir
sama. Syûrâ dalam ilmu gramatikal arab adalah sîghat atau
bentuk masdar samâ’i ( kata benda yang diambil dari kata yang
sering diucapkan dan didengarkan )3. Kemudian apabila beralih
bentuknya menjadi masdar qiyâsi ( kata benda yang terbentuk
dengan kaidah ilmu sharaf ), kata syûrâ bermetamorfosa menjadi
musyâwarah, berarti meminta petunjuk terhadap sesuatu yang
dilakukan melalui jalan bersama-sama di antara dua belah pihak
1Abû Al-Husein Ahmad bin Fâris bin Zakariya, Mu‟jam Al-Maqâyîs
Al-Lughah. Beirut: Dar Al-Fikr. 1981.Jus 3. hlm. 226.
2Subhi Hamawi, Al-Munjid fî Al-Lughah Al-‘Arabiyah Al-
Mu’âsirah, Beirut, 2001. , hlm. 806.
3As-Syaikh Musthafa Al Ghulayyîni, Jâmi’u Ad-Durûs Al-‘Arabiyah,
Al-Maktabah Al ‘Ashriyah, Beirut, 1984. hlm.. 160 volume 1.
Page 59
34
atau lebih4. Kemudian ketika menjadi kata kerja atau fi’il—
dalam bahasa arab— menjadi syâwara yang menyimpan makna
saling diantara dua belah pihak. Adapun kata tasyâwur ketika
berubah menjadi kata kerja menjadi tasyâwara yang bermakna
sama dengan musyâwarah5. Jadi, penggunaan kata syûrâ dan
musyawarah adalah dua kata yang mempunyai makna sama dari
sisi bahasa. Namun dalam penggunaanya, menurut hemat
penulis, syûrâ lebih dekat penggunaanya dalam tataran teoritis
mengenai konsep tersebut, adapun musyawarah dalam
penggunaanya lebih dekat dengan tataran praktek.
Kata syûrâ, musyawarah dan derivasinya dalam al-
Qurân terbagi menjadi empat bagian. Ayat-ayat al-Qurân yang
tertulis secara eksplisit mengenai kata-kata tersebut pertama
dimulai dari surat al-Baqarah : 233, kemudian al-Imran : 159,
Maryam : 29 dan yang terakhir ada pada surat as-Syûrâ : 386.
Dalam masing-masing ayat tersebut, terdapat beberapa
perbedaan makna dan kedudukan bahasa dalam kaidah bahasa
arab, yang mana penulis dapatkan beberapa perbedaan tersebut,
yaitu :
a. Surat al-Baqarah : 233 :
4 Subhi Hamawi, Al-Munjid fî Al-Lughah., hlm.. 806.
5 Subhi Hamawi, Al-Munjid fî Al-Lughah., hlm. 806.
6Muhammad Fuâd ‘Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Faz
Al-Qurân, Dar Ihya Al-Kutub Al-’Arabiyah, Kairo: 1981. hlm.. 391.
Page 60
35
‚Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.‛
Dalam surat tersebut disebutkan lafadz tasyâwur, di situ
kata syûrâ atau musyawarah berarti saling bermusyawarah
antara ayah dan ibu mengenai seorang anak yang akan
Page 61
36
disapihnya7. Dari sisi bahasa, lafadz tasyâwur di atas menjadi
‘ataf ( kata yang dihubungkan ) dengan kata tarâdin, yang berada
sebelum kata tasyâwur8 dan dari sisi bentuknya, lafadz tasyâwur
di atas adalah sebuah kata benda yang beasal dari kata kerja
tasyâwur—di dalamn kata tersebut mempunyai makna saling.
Dalam pandangan penulis, penggunaan kata di sini lebih dekat
kepada musyawarah, yang berarti cara kerja dari sebuah konsep
yaitu syûrâ, dimana sepasang suami istri yang hendak menyapih
anaknya, untuk bermusyawarah terlebih dahulu satu sama lain,
dari sisi bahasa, makna syûrâ di sini merupakan perintah
Tuhan—untuk melakukan musyawarah— dalam tataran rumah
tangga, hal itu berarti bahwa konsep syûrâ—kaitanya tentang
objek atau khitab nya— tidak hanya meleulu soal prinsip dan
sitem pemerintahan semata, melainkan telah masuk ke dalam
sebuah tataran yang lebih kecil yaitu keluarga.
b. Surat al-Imran : 159 :
7Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahanya, Al-Jumanatu
Al-‘Ali, Bandung, 2007, hlm.. 37
8Muhyiu Ad-Din Ad-Darwîsy, I’rab Al-Qurân Al-Karîm, Dar Ibni
Katsir, Kairo, 2011. Jilid 1., hlm.. 305.
Page 62
37
‚Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.‛
Kata syûrâ di atas dari sisi bentuk katanya menjadi kata
kerja perintah, atau yang dalam tata bahasa arab disebut dengan
fi’il amr. Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kepada Nabi
Muhammad untuk bermusyawarah terhadap orang-orang yang
tidak mematuhi perintahnya dalam perang uhud9. Kata kerja di
atas berasal dari bentuk masdar musyâwarah yang menyimpan
makna saling. Adapun kata kerja dari kata benda musyawarah
adalah syâwara. Dalam kedudukannya sebagai bagian dari
jumlah atau kalimat, kata syâwir di atas menjadi ‘ataf—kata
yang dihubungkan dengan kata sebelumnya—dari kata fa’fu dan
istaghfir, dimana kedua kata tersebut terletak sebelum kata
9Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahanya, hlm. 72.
Page 63
38
syâwir dan sama-sama berbentuk fi’il amr10
. Di sini penulis
mendapati bahwa perintah untuk bermusyawarah terkhusus
untuk Nabi, namun terjadi banyak perbedaan pendapat dari para
ulama mengenai khitâb atau objek perintah bermusyawarah, baik
itu yang hanya menyangkut ayat ini, atau penggunaan konsep
syûrâ secara umum. Nantinya akan penulis jelaskan di bab lain.
Ayat ini menceritakan mengenai Maryam, seorang
wanita solehah, saudara perempuan Nabi Harun As, ibu dari
nabiyullah Isa As. Mereka—orang-orang menuduh Maryam telah
melakukan perbuatan keji dengan berzina sehingga mereka
mengatakan dan melontarkan tuduhan keji kepada Maryam.
Kemudian Maryam membawa bayi yang ada dalan gendonganya
seraya menunjuk ke arahnya, lalu orang-orang tersebut berkata
‚bagaimana mungkin kami akan berbicara kepada bayi
tersebut?‛, dalam lanjutan ayat tersebut kemudian diceritakan
bahwa Isa As yang saat itu masih bayi berbicara dengan sangat
fasih, bahwa ia merupakan utusan dari Allah Swt dengan
membawa kabar yang sangat nyata kebenarannya11
. Dari sisi
makna kebahasaan, derivasi makna syûrâ di atas dikutip dengan
redaksi asyârat yang berarti menunjukan, adapun bentuk dari
kata tersebut adalah kata kerja lampau atau yang dalam bahasa
10
Muhyiu Ad-Din Ad-Darwîsy, I’rab Al-Qurân Al-Karîm. Jilid 1,
hlm..558.
11 Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahanya, hlm. 307.
Page 64
39
arab disebut dengan fi’il mâdi, yang mempunya subjek atau
damîr perempuan atau muannats. Makna menunjukan tentang
sesuatu merupakan makna yang terkandang pula dalam kata atau
lafadz syûrâ. Sehingga kata asyârat di atas menjadi salah satu
makna yang dikaitkan dan mengandung makna dari kata syûrâ.
c. Surat as-Syûrâ : 38 :
‚Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.‛
Ayat di atas merupakan ayat yang mengutamakan dan
bahkan menunjukan kewajiban tentang konsep syûrâ12
. Dalam
ayat di atas juga menujukan bahwa lafadz syûrâ diartikan
sebagai makna syûrâ seperti yang difahami oleh para sarjana
muslim di zaman ini. Syûrâ ditafsirkan sekaligus dimaknai
sebagai sebuah solusi untuk menyelesaikan permasalahan suatu
kaum. Bahwa jika orang-orang akan menyelesaikan masalah
tanpa dengan musyawarah maka tidak akan menemukan jalan
keluar dari permasalahan tersebut. Makna syûrâ di atas diartikan
12
Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahanya, hlm. 307.
Page 65
40
sebagai musyawarah dalam arti yang sebenarnya, yang
dianjurkan dan bahkan diwajibkan oleh setiap muslim,
sebagaimana ketika terjadi peperangan dan mereka melakukan
musayawarah satu sama lain, seperti yang ada dalam surat al-
Imran : 159, mereka melakukan musyawarah secara bersama-
sama untuk menentreamkan hati mereka dan supaya menetepkan
keputusan yang baik brkait dengan peperangan yang sedenga
mereka lakukan. Sebagaimana pula yagn dilakukan oleh sahabat
Umar bin Khattab, bahwa ketika telah datang kepada beliau ajal,
para sahabat seperti ‘Utsman, Ali, Zubair, Sa’îd dan
Abdurrahman bin ‘Auf melalukan musyawarah untuk
memntukan siapa pengganti dari Sayyidina ‘Umar. Kemudian
diputuskan bahwa penggantinya adalah sahabat ‘Utsman bin
Affân RA13
.
Lafadz syûrâ di atas berada atau menjadi khabar dalam
susunan kalimat utuh ayat tersebut. Dalam hal susunan jumlah,
ayat di atas disendirikan atau dikhususkan penyebutanya—tidak
seperti susunan ‘ataf pada umumnya yang disebut secara
berurutan, untuk mengingatkan akan pentingnya melaksanakan
syûrâ, adapaun para Ulama berbeda pendapat mengenai objek
13
Al-Hâfidz ‘Imâduddîn Abî Al-Fidâ’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir
Al-Qursyi Ad-Damasyki, Tafsîr Al-Qurân Al-‘Adzîm, Dar Al-‘Aqidah, Kairo,
2008, hlm.. 141.
Page 66
41
dari konsep syûrâ, apakah bersifat umum atau hanya terbatas
untuk rasul dan para sahabatnya14
.
2. Syûrâ secara istilah
Ada beberapa pengertian syûrâ dari para ulama, menurut
Raghîb al-Ashfahâni dalam kitabnya Al-Mufradât fî Gharîb al-
Qurân mengatakan bahwa syûrâ adalah sebuah proses
mengemukakan pendapat yang disertai dengan saling merevisi
antara peserta syûrâ15
. Ibnu al ‘Arabi al-Mâliki dalam kitabnya
Ahkâm al-Qurân mengatakan bahwa syûrâ adalah sebuah
kegiatan berkumpul—karena suatu permasalahan—untuk
dimintai pendapat satu sama lain, kemudian masing-masing dari
peserta saling memberikan pendapatnya16
. Dalam pemikiran
sarjana kontemporer, pengertian syûrâ diambil dari sebuah kitab
yang berjudul As-Syûrâ fî> Zilli al-Hukmî al-Islâmî, disebutkan di
dalamnya bahwa syûrâ adalah proses menelusuri pendapat para
ahli dalam suatu permasalahan untuk mendekati kebenaran17
.
14
Muhyiu Ad-Din Ad-Darwisy, I’rab Al-Qurân Al-Karîm. Jilid 7,
hlm. 44
15Ar-Râghib Al-Asfahânî, Al-Mufradât Fî Gharîb Al-Qurân. Dâr Al-
Kutub Al-„Arabî, Mesir. 1972, hlm 207.
16Lajnah min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al-
Islâmiyah, hlm 19.
17Lajnah min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al-
Islâmiyah, hlm 19.
Page 67
42
Dalam pemikiran politik Islam, syûrâ atau musyawarah
merupakan konsep utama18
dalam bernegara yang melibatkan
peserta di dalamnya. Dalam khasanah Islam, peserta
musyawarah mempunyai cirri-ciri khusus yang ditetapkan. Pada
sebuah hadis shahih, disebutkan bahwa :
‚Orang yang dimintai pendapatnya atau peserta musyawarah adalah seorang yang bisa untuk dipercayai.‛
Dalam riwayat lain disebutkan :
‚Orang yang meminta pendapat adalah orang yang ditolong,‛
Sedangkan orang yang dimintai pendapatnya adalah
seorang yang dipercayai19
. Dari hadis di atas, dapat dikatakan
bahwa seorang meminta pendapat untuk bermusyawarah adalah
seorang yang membutuhkan pendapat dari seorang yang
dianggap mampu untuk memberikan pendapat, sehingga redaksi
dari hadis di atas menggunakan kata ‚meminta pertolongan‛ dan
‚dimintai pertolongan‛. Dari sini dapat diketahui bahwa
musyawarah merupakan dasar dalam pengaturan urusan publik
dan sistem hukum. Asas dalam musyawarah adalah menjamin
18
Al-Qurân Abad 21: Tafsir Kontekstual/karya Abdullah Saeed;
penerjemah, Evan Nurtawab; editor, Ahmad Baiquni ( Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2015). hlm. 255.
19Muhammad Salim Al-Awa, Fî An-Nizâm As-Siyâsî li Ad-Daulah
Al-Islâmiyyah, As-Syurûq Ad-Dauliyyah, 1975, hlm194.
Page 68
43
kebebasan sempurna dalam mengutarakan pendapat, selagi tidak
melanggar batas-batas akidah atau ibadah20
.
Syûrâ dalam perjalanan waktunya mengalami banyak
perubahan dan definisi yang terus dapat digunakan sebagai
konsep utama politik Islam. Kaitannya dengan itu, dari sisi
makna, syûrâ terus menerus mengalamai fase perkembangan.
Berangkat dari pengembangan pengertian syûrâ tersebut, maka
ia mampu untuk mengakomodir beberapa tawaran baru dalam
hal konsep berpolitik dalam Islam. Konsep-konsep yang
ditawarkan dari luar Islam, selagi tidak bertentangan dengan
prinsip utama syûrâ maka itu dapat diterima sebagai sebuah
bagian dari konsep musyawarah itu sendiri.
Syûrâ harus dibedakan menjadi tiga, yaitu dengan
memahaminya dalam arti luas atau umum, khusus dan sempit.
Syûrâ dalam arti luas yaitu memahami syûrâ dengan mencakup
segala bentuk penyampaian pendapat dan musyawarah yang di
dalamnya terdapat pula masyûrah dan istisyârah21. Syûrâ dalam
arti khusus, yang berarti ketentuan yang harus diamalkan sebagai
hasil dari keputusan bersama. Adapun syûrâ menurutnya dalam
arti sempit yaitu suatu hasil dari musyawarah yang terbatas
dalam ketentuan-ketentuan tertentu22
. Sebab dari perdebatan itu
20
Imam Muhammad Syaltût, Al-Islâm ‘Aqidatan wa Syari’atan , Dar
As-Syuruq. Mesir. 1966, hlm. 440.
21Taufiq Muhammad As-Syâwî; Demokrasi atau Syûrâ, Gema Insani,
Jakarta, 2013. hlm. 1.
22Taufiq Muhammad As-Syâwî; Demokrasi atau Syûrâ, Gema Insani,
Jakarta, 2013. hlm. 1.
Page 69
44
menurutnya adalah dari segi kewajiban mengamalkan syûrâ
sebagai perkara yang wajib diamalkan ( obligatif ), atau sebagai
sebuah konsep opsional dalam tataran masyûrah (
menyampaiakan pendapat ) dan istisyârah ( meminta pendapat
)23
.
Dalam risalahnya, Islam mempunyai beberapa pondasi
penting dalam membentuk dan mengatur umatnya24
. Dalam hal
ihwal hukum sosial dan tata negara yang mengatur umat
manusia, Islam disebutkan mempunyai pondasi utama yaitu
syûrâ25
. Al-Qurân sebagai sumber hukum Islam telah
memperhatikan betul bagaimana hukum-hukum bersosial dan
bernegara manusia itu diatur dengan ketentuan-ketentuan yang
bersumber darinya. Syûrâ sebagai salah satu pondasi hukum
tersebut, telah disebutkan secara langsung dalam al-Qurân,
dikhususkan bagi umat Nabi Muhammad Saw, dan secara umum
ditujukan kepada seluruh umat manusia26
. Islam sangat
memperhatikan perihal kosep syûrâ ini, hingga ia menjadi salah
satu nama surat di dalam al-Qurân, yaitu surat as-Syûrâ.
23
Taufiq Muhammad As-Syâwî, Demokrasi atau Syûrâ , hlm. 8.
24Lajnah min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al-
Islâmiyah, Maktabah Rasywan,Kairo, 2012, hlm. 16.
25Lajnah min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al-
Islâmiyah, hlm 17.
26Lajnah min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al-
Islâmiyah, hlm 18.
Page 70
45
Allah juga secara langsung memerintahkan kepada Nabi
Muhammad Saw untuk bermusyawarah dengan kaum muslimin,
yaitu ketika berfirman dalam al-Qurân surat al-‘Imrân : 159 :
Musyawarah juga dikatakan sebagai bentuk partisipasi
politik yang melibatkan berbagai unsur negara, dimana di
dalamnya terdapat rakyat sebagai bagian dari itu, maka wajib
hukumnya melibatkan rakyat sebagai bagian dari sistem tersebut.
Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyah :
“Semua kewenangan dalam Islam tujuanya adalah amar
ma‟ruf nahi munkar27
”.
Menurut Abdu al-Qâdir „Audah, ada dua tema besar yang
menjadi permasalahan pemerintahan di masa sekarang yaitu,
masalah kebebasan dan pangan, kemudian masalah keamanan
dari kelaparan dan rasa ketakutan, permasalahan tersebut disebut
sebagai perbedaan dari sistem pemerintahan yang terjadi di masa
27
Salim Al-Bahnasawi, Makânatul Mar’ah Bainal Islam wal Qawânîn
Al-‘Âlamiyah, Darul Al-Wafâ. 2003, hlm. 124.
Page 71
46
lalu dengan masa sekarang,28
. Sebagaimana telah dijelaskan
dalam al-Qurân dalam Surat al-Quraisy ayat 3-4 :
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik
rumah ini (Ka'bah), yang telah memberi makanan kepada mereka
untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari
ketakutan”.
B. Syûrâ dan Derivasinya dalam Al-Qurân
Al-Qurân telah menjelaskan bahwa syûrâ yang secara
eksplisit disebutkan di dalamnya, merupakan sebuah konsep
yang mengiringi manusia dalam kurun waktu yang sangat lama,
yaitu dari mulai diturunkanya ayat syûrâ hingga saat ini. Dalam
penjelasan penulis sebelumnya telah disebutkan pengertian
syûrâ, derivasi dan ayat-ayat yang menjelaskan tentangnya.
Dalam bagian ini, penulis akan mengungkapkan bagaimana al-
Qurân sebagai sumber utama umat Islam memahami dan
menjelaskan mengenai konsep syûrâ atau musyawarah ini.
Kata syûrâ, musyawarah dan derivasinya dalam al-Qurân
terdapat empat bagian. Ayat-ayat al-Qurân yang menulis secara
eksplisit mengenai padanan kata-kata tersebut pertama dimulai
dari surat al-Baqarah : 233 :
28
As-Syahîd ‘Abdu Al-Qâdir ‘Audah, Al-Islam wa Audâ’una As-
Siyasiyah, Dar Al-Kitabah Al-‘Arabi , Kairo. 1951. Hal 180.
Page 72
47
Kemudian Ali‘Imran : 159 :
Dan yang terakhir ada pada surat As-Syûrâ : 38 :
Seperti yang telah penulis jelaskan dalam bab
sebelumnya, bahwa dari keempat ayat di atas, yang secara
eksplisit menjelaskan mengani syûrâ dan musyawarah adalah di
surat a-Imran : 159 dan as-Syûrâ : 38.
Page 73
48
No Surat Kata Keterangan
1 Al-Baqarah : 233
Di ayat ini, al-Qurân
menjelaskan mengenai
musyawarah yang
dilakukan antara ibu
dan ayah untuk
menyapih anaknya
2 Ali‘Imran : 159
Terdapat perintah
bermusyawarah kepada
Nabi bersama dengan
sahabat-sahabatnya saat
kejadian perang Uhud
3 As-Syûrâ : 38
Makna syûrâ di atas
diartikan sebagai
musyawarah dalam arti
yang sebenarnya, yang
dianjurkan dan bahkan
diwajibkan oleh setiap
muslim, sebagaimana
ketika terjadi
peperangan dan mereka
melakukan
musayawarah satu sama
lain, seperti yang ada
dalam surat al-Imran :
159
C. Nilai-nilai Musyawarah dalam Al-Qurân
Al-Qurân telah menerangkan mengenai beberapa faktor
penting terkait bagaimana manusia menerapkan hukum atau
aturan-aturan Tuhan dalam menjalankan nilai-nilai Islam. Al-
Qurân menerangkan kepada manusia di seluruh belahan dunia
untuk menggunakan hukum-hukum yang terkandung di
Page 74
49
dalamnya, sebagai pondasi manusia dalam menentukan
kebijakan-kebijakan ataupun yang lainya. Terdapat enam poin
utama yang ada dalam al-Qurân, untuk digunakan manusia pada
setiap generasi dalam upaya mengarahkan manusia dalam sebuah
kebaikan baik di dunia amaupun di akhirat nanti29
. Dari keenam
poin tersebut di antaranya adalah mengenai prinsip keadilan,
ketaatan, persamaan, kebebasan, kebenaran dan musyawarah30
.
Musyawarah masuk ke dalam salah satu dari keenam prinsip
utama tersebut, sesuai dengan tema besar yang sedang penulis
kerjakan.
Al-Qurân jelas memberikan porsi khusus dalam upaya
menjelaskan nilai ataupun konsep musyawarah. Bahwa
ditegaskan di dalam al-Qurân, syûrâ merupakan sebuah nilai
yang seharusnya terdapat dalam diri setiap individu muslim yang
mentaati perintah dari Tuhannya31
. Seperti yang terdapat dalam
firman Allah surat as-Syûrâ : 38 :
29
Lajnah min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al-
Islâmiyah, hlm 16.
30Lajnah min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al-
Islâmiyah, hlm 16.
31 Lajnah min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al-
Islâmiyah, hlm 16.
Page 75
50
Secara umum, ayat tersebut menyatakan bahwa akan ada
kenikmatan abadi yang didapatkan oleh orang-orang yang benar-
benar mematuhi perintah dari Tuhanya, yaitu orang-orang yang
melaksanakan shalat dengan sempurna, yaitu seorang yang
shalat dengan kesadaran penuh, telah melakukan syarat dan
rukun dari shalat dan juga dibarengi dengan perasaan yang
khusyu’. Kemudian dilanjutkan mengenai sifat orang-orang yang
akan mendapat kenikmatan tersebut adalah orang-orang yang
melakukan musyawarah di antara mereka untuk menentukan
urusan-urusan yang ada di antara mereka32
. Saat mereka
memutuskan dengan musyawarah, maka berarti tidak ada sifat
yang otoriter di antara mereka yaitu tindakan memaksakan di
antara mereka.
Kata syûrâ bermakna mengambil dan menegeluarkan
pendapat yang terbaik dengan memperhadapkan satu pendapat
dengan pendapat lainya33
. Kata syûrâ terambil dari kalimat
syirtu al-‘asal yang berarti aku telah mengeluarkan madu dari
wadahnya, ini berarti mempersamakan musyawarah dengan
madu, yang bisa dimaknai bahwa musyawarah adalah proses
untuk mendapatkan sebuah madu, dari manapun madu itu
berasal atau dari siapapun34
, atau dengan kata lain, pendapat dari
siapapun yang paling baik maka itu yang akan diambil.
32
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 12, Lentera Hati.
Jakarta. 2002, hlm. 177.
33M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 178., v.12.
34M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 178., v.12.
Page 76
51
Kata yang terletak berbarengan dengan kata syûrâ dalam
ayat tersebut adalah amruhum, yang berarti urusan mereka,
menunjuka bahwa yang mereka musyawarahkan adalah hal-hal
yang berkaitan dengan urusan mereka serta berada dalam
wewenang mereka35
. Oleh karena itu, hal-hal atau urusan yang
berkaitan dengan ibadah mahdah, yang berada sepenuhnya dalam
urusan Allah tidaklah dapat untuk dimusyawarahkan.
Begitu juga seseorang yang tidak berkepentingan ataupun
mempunyai wewenang dalam suatu perkara maka tidaklah perlu
untuk ikut serta dalam musyawarah kecuali apabila
diikutsertakan untuk melakukan musyawarah maka boleh untuk
mengikuti proses musyawarah karena boleh jadi terdapat hal
yang rahasia yang akan dibicarakan di antara mereka. Ayat
tersebut turun pada masa periode Mekkah, berarti bahwa belum
ada sistem politik yang dibangun oleh Rasulullah di masa itu, hal
itu menunjukan bahwa Allah memberikan kekeuasan kepada
hambanya mengenai bentuk dan bagaimana sistem syûrâ yang
akan digunakan oleh hambanya pada setiap zaman yang berbeda-
beda36
.
Demikianlah al-Qurân sangat memperhatikan nilai atau
konsep tentang syûrâ ini, sehingga diabadikan menjadi salah satu
nama surat yang terdapat di dalamnya yaitu surat as-Syûrâ yang
ayatnya diawali dengan kata hâmîm ‘ain sîn qâf37.
35
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 178., v.12.
36M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 179., v.12.
37M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 179., v.12.
Page 77
52
Al-Qurân secara eksplisit memerintahkan umat muslim
untuk melakukan musyawarah dengan menyebutnya dalam surat
Ali Imran ayat 159. Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan
kepada Nabi Muhammad untuk bermusyawarah terhadap orang-
orang yang tidak mematuhi perintahnya dalam perang Uhud.
Melihat hubungan ayat di atas dari awal ayat sampai dengan
terakhir, maka dapat dilihat bahwa terdapat beberapa pokok
ajaran yang ditujukan kepada Nabi secara khusus dan umat Islam
secara umum. Salah satu pokok terpenting dalam ayat tersebut
adalah mengenai musyawarah.
Melihat konteks turunya ayat di atas, selain perintah
untuk melakukan musyawarah, kaum muslimin mengalami
kegagalan dalam perang Uhud setelah mereka melakukan
musyawarah. Hal tersebut mungkin menjadi alasan seseorang
dalam menganggap bahwa musyawarah bukan merupakan
perkara yang penting bagi umat Islam. Maka kemudian ayat ini
dipahami sebagai pesan untuk melakukan musyawarah, bukan
sebagai kewajiban untuk melaksanakannya. Karena kesalahan
yang dilakukan setelah melakukan musyawarah tidak sebesar
saat tidak melakukan musyawarah, kebenaran yang diraih
sendirian tidak sebaik kebenaran yang diraih bersama38
.
Menurut penulis, melihat akar kata dari musyawarah,
yang mengatakan bahwa musyawarah berasal dari kata syâwara
38M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 312., v.12.
Page 78
53
yang bermakna mengambil atau mengeluarkan madu dari
sarangnya, maka pada dasarnya musyawarah hanya dilakukan
untuk hal-hal yang baik. Manusia yang melakukan musyawarah
seperti lebah, makhluk yang sangat disiplin, kerjasamanya
mengagumkan, makananta sari bunga, hasilnya madu, tidak
pernah menganggu kecuali ketika diganggu, demikianlah maka
tidak heran Nabi menyamakan seorang mukmin dengan lebah.
Dalam menjalankan musyawarah, seorang mukmin
dituntut untuk melakukan beberapa sikap yang telah
dicontohkan oleh Rasûlullâh, sikap itu berurutan disebut dalam
surat al-‘Imrân ayat 159. Sikap tersebut yaitu :
Pertama, adalah berlaku lemah lembut, tidak kasar dan
tidak berhati keras. Para pelaku musyawarah khususnya
pemimpin musyawarah, diharuskan untuk tidak keras kepala,
karena jika tidak, maka para peserta musyawarah akan
meninggalkanya satu persatu, begitu jupa hal ini berlaku bagi
para peserta musyawarah yang lain, bahwa sikap lemah lembut
dan tidak keras kepala juga harus ditanamkan dalam melakukan
musyawarah, hal ini apabila tidak dilakukan maka akan merusak
kesepakatan dan komitmen dalam musyawarah39
, sebagaimana
firman Allah pada Surat Al-Imrân :159 :
39
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 179., v.12.
Page 79
54
Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru.
memberi maaf kepada pihak lain merupakan sebuah keharusan,
terlebih itu dilakukan ketika atau setelah melakukan musyawarah.
Maaf berarti menghapus, artinya menghapus perlakuan pihak lain
yang teah melukai hati atau berselisih pendapat antara satu
dengan yang lainya. Khusus dalam musyawarah, maka sebuah
kejernihan hati dan pikiran tidak akan terlaksana tanpa adanya
rasa berbaik sangka satu sama lain.
Dalam sebuah pepatah barat mengatakan : “akal memang
mengagumkan, ia mampu membatalkan satu argument dengan
argument yang lainya, akibatnya ia mampu untuk mengantarkan
kita kepada keraguan yang mengguncangkan etika dan nilai-nilai
kehidupan kita”. Demikian dikutip dari William James40
.
Dengan demikian, maka ada sesuatu yang dibutuhkan
bersamaan dengan akal oleh manusia dalam melakukan suatu
keputusan, baik itu bersifat sendiri atau bersama-sama. Sesuatu
tersebut biasa disebut dengan ilham, indera keenam atau yang
lainya yang bersumber dari keatajam hati manusia dengan sebab
kejernihan hati. Sesuatu inilah yang dibutuhkan oelah manusia
dalam menentukan keputusan-keputusan di dalam hidupnya.
Allah berfirman dalam surat al-Baqarah : 258 :
40
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 313., v.12.
Page 80
55
‚Bahwa Allah tidak akan memberikan hidayah kepada seseorang yang berbuat aniaya, baik itu kepada diri sendiri maupun orang lain‛.
Dalam ayat lain yaitu surat al-Baqarah : 264 :
‚Bahwa Allah tidak akan member hidayah terhadap orang-orang kafir‛.
Kemudian firman Allah yang lain yaitu surat al-Mâidah :
108 :
‚Yaitu Allah tidak akan memberi hidayah terhadap orang-orang yang berbuat fasiq atau bergelimang dosa‛.
Kemudian juga berfirman dalam surat al-Mu’min : 28 :
‚Allah tidak akan memberi hidayah terhadap orang-orang yang melebihi batas atau pendusta‛.
Lalu dalam surat Yusuf : 52 :
‚Bahwa Allah tidak akan memberi hidayahnya kepada orang-orang yang berkhianat antara satu dengan yang lainya‛.
Page 81
56
Kemudian firman Allah dalam surat az-Zumar : 3 :
‚Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk terhadap para pendusta dan orang kafir‛.
Demikianlah Allah memberikan petunjuk kepada para
hambanya, kecuali beberapa hambanya yang melakukan hal-hal
yang telah disebutkan dalam beberapa ayat di atas. Artinya,
sesuatu yang berupa hal-hal yang bersumber dari kejernihan hati
seorang manusia tersebut haruslah selalu menyertai orang-orang
yang melakukan musyawarah41
.
Ketiga, hal ketiga yang harus dilakukan para pelaku
musyawarah adalah rasa dekat dengan Tuhan, artinya seseorang
untuk mendapatkan sesuatu yang bersumber dari kejernihan hati
haruslah selalu menjaga hubungan baiknya dengan Allah, oleh
sebab itu, dalam surat al-Imrân ayat 159, yang terakhir
disebutkan sebelum Allah memerintahkan musyawarah adalah
kata maghfirah atau ampunan dari Allah, yang merupakan
pertanda bahwa seseorang sebelum melakukan musyawarah
haruslah selalu menjaga hubungan baiknya dengan Allah.
Petunjuk al-Qurân mengenai hal-hal yang dilakukan saat
melakukan musyawarah yaitu :
No Ayat Perintah
41
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 313., v.12.
Page 82
57
1
Para pelaku
musyawarah
khususnya
pemimpin
musyawarah,
diharuskan untuk
tidak keras kepala,
karena jika tidak,
maka para peserta
musyawarah akan
meninggalkanya
satu persatu, begitu
jupa hal ini berlaku
bagi para peserta
musyawarah yang
lain, bahwa sikap
lemah lembut dan
tidak keras kepala
juga harus
ditanamkan dalam
melakukan
musyawarah, hal ini
apabila tidak
dilakukan maka
akan merusak
kesepakatan dan
komitmen dalam
musyawarah
2
Maaf berarti
menghapus, artinya
menghapus
perlakuan pihak lain
yang telah melukai
hati atau berselisih
pendapat antara satu
dengan yang lainya.
Khusus dalam
musyawarah, maka
sebuah kejernihan
Page 83
58
hati dan pikiran
tidak akan
terlaksana tanpa
adanya rasa berbaik
sangka satu sama
lain.
3
Al-Baqarah : 258 :
Al-Baqarah : 264 :
Al-Mâidah : 108 :
Al-Mu’min : 28 :
Yusuf : 52 :
Az-Zumar : 3 :
Ada sesuatu yang
dibutuhkan
bersamaan dengan
akal oleh manusia
dalam melakukan
suatu keputusan,
baik itu bersifat
sendiri atau
bersama-sama.
Sesuatu tersebut
biasa disebut
dengan ilham,
indera keenam atau
yang lainya yang
bersumber dari
keatajam hati
manusia dengan
sebab kejernihan
hati. Sesuatu inilah
yang dibutuhkan
oelah manusia
dalam menentukan
keputusan-
keputusan di dalam
hidupnya.
Page 84
59
4
Seseorang untuk
mendapatkan
sesuatu yang
bersumber dari
kejernihan hati,
haruslah selalu
menjaga hubungan
baiknya dengan
Allah, yang
merupakan
pertanda selalu
menjaga hubungan
baiknya dengan
Allah adalah
senantiasa meminta
ampun kepada
Allah
Al-Qurân juga memberikan petunjuk mengenai sikap
yang harus ditanamkan di dalam musyawarah :
No Ayat Keterangan
1
As-Syu’âra ayat 215 :
Ayat di samping adalah sebuah
perintah kepada Nabi untuk
bersikap lemah lembut dan
tawadu’ terhadap orang-orang
yang mau mengikuti perintah
dan anjuran-anjuranya Ayat di
samping dapat dipahami pula
bahwa orang-orang yang
mengikuti perintah atau
menjalankan keputusan setelah
melakukan musyawarah
haruslah mendapat perlakukan
yang baik dari para peserta
musyawarah yang lain,
Page 85
60
2
Al-Hujarât ayat 10 :
Terdapat ajaran kepada orang
yang melakukan musyawarah
agar berlaku baik satu sama lain
sesama peserta musyawarah,
dengan landasan bahwa setiap
muslim adalah bersaudara,
sehingga patut kiranya para
peserta musyawarah yang terdiri
dari sesama muslim untuk
menganggap mereka layaknya
saudara seperti yang telah
dijelaskan dalam al-Qurân,
memperlakukan dengan sikap
baik di antara antara, kemudian
bersama-sama bertaqwa kepada
Allah untuk mendapatkan
rahmatNya.
3
Al-Kahfi ayat 110 :
Dalam ayat di atas, Allah
menegaskan bahwa Nabi
Muhammad adalah utusan yang
berasal dari golongan manusia,
ia terlahir ke dunia dalam
kondisi manusia pada umumnya,
dalam perspektif yang lain,
dijelaskan di awal ayat di atas
bahwa Nabi merupakan seorang
manusia biasa yang sangat
mungkin untuk melakukan
kesalahan dari sisi beliau adalah
seorang manusia biasa,
terkecuali dalam diri beliau
karena derajat seorang Nabi
yang terjaga dari kesalahan-
kesalahan, oleh karena itu,
seorang pemimpin dalam setiap
tingkatannya, maka diharuskan
untuk melakukan musyawarah
dalam upaya untuk
meminimalisir dirinya
Page 86
61
melakukan kesalahan-kesalahan.
4
Al-Imran ayat 64 :
Terdapat korelasi makna dalam
menjalankan proses
musyawarah dari ayat di atas,
yaitu, umat muslim supaya
menjalankan proses
musyawarah bersama-sama
dengan kaum Yahudi atau
Nasrani, juga dengan umat-umat
yang lain, bahwa apabila
terdapat sesuatu yang sama di
antara mereka sebuah perkara
yang menyangkut kepentingan
bersama-sama, untuk
didiskusikan bersama dalam
proses musyawarah
5
Qâf ayat 45 :
Ayat di atas menjelaskan bahwa
Allah mengetahui tentang hal-
hal yang dikatakan kaum Kafir
Quraisy, mereka tidak sekalipun
akan menerima perkataan dari
Nabi Muhammad untuk beriman
kepada Allah, maka dari itu
Nabi akhirnya diperintahkan
untuk mengajak hanya kepada
orang-orang yang takut akan
ancaman-ancaman Allah, ketika
melakukan proses musyawarah,
terlebih bersama-sama dengan
kaum yang tidak seagama maka
cukupkanlah, yaitu cukupkanlah
apabila mereka tidak mau untuk
menerima pendapat yang
Page 87
62
berkaitan dengan kepentingan
secara bersama, lanjutkan proses
tersebut dengan melanjutkan
proses musyawarah bersama-
sama dengan golongan yang
mau menerima perbedaan dan
mau untuk bersama-sama
membangun kemaslahatan.
Pesan terakhir dari al-Qurân setelah seseorang melakukan
musyawarah adalah berserah diri kepada Allah, seperti firman
Allah :
Dalam salah satu penggalan ayat tersebut, yaitu surat al-
Imran : 159, terdapat keterangan mengenai ruang lingkup
pelaksanaan musyawarah, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan
urusan peperangan, oleh karena itu, ada Ulama yang membatasi
bahwa urusan musyawarah hanya terbatas dalam urusan-urusan
tersebut, namun dalam praktiknya, hal tersebut tidak selaras
dengan ayat-ayat al-Qurân yang lain yang menjelaskan
musyawarah ataupun hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan
hal itu42
.
4242
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 313., v.12.
Page 88
63
D. Batasan-batasan dalam Musyawarah
Dalam hal amr atau urusan, dari al-Qurân ditemukan
bahwa ada urusan yang hanya menjadi wewenang Allah semata,
dan bukan merupakan wewenang manusia betapapun agungnya.
Ini antara lain terdapat dari jawaban Allah tentang ruh yaitu
dalam surat al-Isrâ’ : 85 :
Dijelaskan di atas bahwa urusan mengenai ruh adalah
urusan yang hanya dapat diketahui oleh Allah, artinya
pembahasan mengenai ruh bukan merupakan pembahasan atau
urusan yang akan dikerjakan oleh manusia.
Kemudian al-Qurân juga menjelaskan hal yang hanya
diketahui oleh Allah yaitu mengenai hari kiamat yang terdapat
dalam surat an-Nâzi’ât : 42 :
Pertanyaan mengenai hari kiamat yang hanya dapat
diketahui oleh Allah.
Kemudian juga mengenai taubat yaitu dalam surat al-
Imrân : 128 :
Page 89
64
Sebuah penegasan dari al-Qurân bahwa hal-hal seperti
taubat atau memberikan vonis dosa bukanlah wewenang dari
seorang manusia sekalipun ia merupakan seorang yang
mempunyai kedudukan tinggi.
Kemudian juga dijelaskan dalam surat al-An’âm : 57 :
Penjelasan bahwa vonis atau hukuman hanya merupakan
wewenang Allah, hukum yang mengatur atau menjadi dasar
hukuman adalah harus bersumber dari Allah.
Al-Qurân lalu menjelaskan mengenai ketetapan yang
Allah dan Rasulnya berikan kepada umat manusia, apapun itu,
haruslah ditaati oleh seluruh umat manusia tanpa membedakan
antara laki-laki ataupun perempuan, hal ini berkaitan dengan
ketentuan-ketentuan yang menjadi wewenang Allah tidaklah
patut bagi seorang yang mukmin baik dia laki-laki atau
perempuan untuk menyelisihinya, seperti yang terdapat dalam
surat al-Ahzâb : 36 :
Page 90
65
Dari ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa konteks
musyawarah adalah permasalahan atau persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan kemasyarakatan43
. Para sahabat sangat
memahami hal ini, oleh karena itu, mereka tidak menanyakan
hal-hal yang mana telah ada petunjuk dari Allah. Dalam sebuah
kasus misalnya, al-Khubbab Ibn al-Mundzir bertanya mengenai
lokasi perang yang dipilih oleh Nabi, kemudian ia berkata :
‚Apakah ini merupakan tempat yang dipilih oleh Allah ataukah ini merupakan pilihanmu dengan dasar pertimbangan strategi ?‛,
Lalu Rasul menjawab bahwa itu merupakan pilihan dan
pertimbanganya, oleh karena itu al-Khubbab mengusulkan
tempat lain yang ia nilai lebih memberikan manfaat untuk umat
muslim44
. Hal sebaliknya terjadi pada suatu ketika Umar Ibn al-
Khattab tidak menerima usulan dari Nabi terkait perjanjian
Hudaibiyah, menurutnya perjanjian tersebut terlalu merendahkan
agama Islam, lalu Rasul menimpali bahwa ia adalah utusan
43
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 315., v.12.
44M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 315., v.12.
Page 91
66
Allah, maka terdiamlah semua sahabat dan juga Umar
mendengar perkataan Nabi dan mereka menerima hal itu.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa musyawarah adalah hal-hal yang dapat dilaksanakan
apabila belum ada penjelasan atau keterangan yang bersumber
langsung dari Tuhan, namun apabila sudah ada penjelasan, maka
tidaklah hal tersebut perlu untuk dimusyawarahkan kembali.
Nabi sendiri dalam prakteknya melakukan musyawarah dengan
sahabat-sahabat beliau terhadap hal yang menyangkut urusan
masyarakat ataupun urusan pribadi beliau dan keluarganya.
Seperti peristiwa yang menyangkut isteri beliau yaitu ‘Aisyah,
dimana beliau bermusyawarah dengan salah seorang sahabat
untuk meminta pendapat terkait tuduhan yang dilamatkan
kepada ‘Aisyah. Kemudian turunlah surat an-Nûr agar Nabi
menampik semua tuduhan itu45
.
Pada awal bab ini, telah dijelaskan bahwa terdapat empat
ayat yang mengandung atau berasal dari akar kata syâra, dimana
dua di antaranya secara eksplisit menjelaskan makna syûrâ atau
musyawarah, yaitu dalam surat al-Imran : 159 dan as-Syûrâ :
38. Melihat ayat-ayat tersebut di atas, maka sepintas akan
dipahami bahwa al-Qurân tidak menjelaskan pengertian
musyawarah secara cukup, terlebih tentang bagaimana al-Qurân
menjelaskan mengenai sistem dari musyawarah tersebut. Namun
hal tersebut akan segera hilang apabila kita menggali lebih jauh
45
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 313., v.12.
Page 92
67
serta melihat bagaimana al-Qurân memberikan petunjuk
mengenai hal itu.
Dalam menjelaskan sesuatu yang yang sifatnya berubah
dan berkembang dari masa ke masa, al-Qurân menjelaskan hal
tersebut dengan prinsip umum agar manusia dapat mengambil
pelajaran dan memanfaatkannya sesuai dengan kondisi zaman
yang berbeda. Tentu menjadi hal yang sangat sulit apabila
menerapkan suatu sistem ataupun ajaran yang sama pada setiap
zaman, peraturan-peraturan ataupun sistem yang dijalankan di
tengah-tengah masyarakat haruslah sesuai dengan kondisi
masyarakat tersebut46
.
Jika diamati, penjelasan al-Qurân mengenai musyawarah
tidaklah mengandung ketentuan atau pola tertentu, bahkan
Nabipun tidak menetapkan sistem musyawarah dengan sesuatu
yang khusus, hal itu bisa dilihat dari suksesi kepemimpinan
setelah Nabi, empat khalifah setelahnya tidak menggunakan cara
yang sama dalam proses pengangkatanya, hal ini menunjukan
bahwa dari kedua sumber utama yaitu al-Qurân dan as-Sunnah
tidak terdapat pola khusus untuk diterapkan dalam musyawarah.
Selaras dengan perkataan Rasyid Ridha yang penulis
kutip dari tafsir al-Misbah anggitan Prof. Dr. Quraish Shihab,
MA. :
‚ Allah telah memberikan kepada kita kebebasan penuh dan sempurna dalam urusan dunia dan kepentingan masayarakat dengan jalan memberikan petunjuk untuk melakukan musyawarah, yakni yang dilakukan oleh orang-orang yang cakap
46
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 313., v.12.
Page 93
68
dan terpandang yang kita percayai, guna menetapkan bagi kita ( masyarakat ) pada setiap periode hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan masyarakat. Kita sering sekali mengikat diri kita dengan berbagai ikatan ( syarat ) yang kita ciptakan, kemudian namakan syarat itu ajaran agama, tetapi pada akhirnya kita terbelenggu oleh syarat-syarat itu sendiri ‚47.
Dalam al-Qurân, terdapat beberapa ayat yang
memberikan petunjuk untuk melakukan musyawarah sesuai
dengan ayat-ayat syûrâ di atas, sepeti dalam surat as-Syu’âra
ayat 215 :
Ayat di atas adalah sebuah perintah kepada Nabi untuk
bersikap lemah lembut dan tawadu’ terhadap orang-orang yang
mau mengikuti perintah dan anjuran-anjuranya48
. Ayat di atas
juga dapat dipahami bahwa orang-orang yang mengikuti perintah
atau menjalankan keputusan setelah melakukan musyawarah
haruslah mendapat perlakukan yang baik dari para peserta
musyawarah yang lain, juga dapat dipahami bahwa keputusan
musyawarah adalah keputusan yang harus ditaati semua elemen
yang menyangkut keputusan tersebut, meskipun mempunyai
47
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 318., v.12.
48 Kyai Bisyri Mustofa, Al-Ibriz Li Ma’rifati Al Quran Al-‘Aziz bi
Al-Lughah Al-Jawiyah, Lembaga Kajian Strategis ( LKS ). Wonosobo. 2013,
hlm 376.
Page 94
69
kedudukan yang tinggi dalam hal pemerintahan. Kemudian
dalam surat al-Hujarât ayat 10 :
Dijelaskan di atas bahwa setiap muslim adalah
bersaudara, kemudian juga terdapat perintah untuk muslim satu
dengan yang lainya supaya berlaku baik di antara mereka, di
bagian penutup ayat di atas, dijelaskan pula untuk bertaqwa
kepada Allah untuk mendapatkan rahmatNya49
, terdapat ajaran
kepada orang yang melakukan musyawarah agar berlaku baik
satu sama lain sesama peserta musyawarah, dengan landasan
bahwa setiap muslim adalah bersaudara, sehingga patut kiranya
para peserta musyawarah yang terdiri dari sesama muslim untuk
menganggap mereka layaknya saudara seperti yang telah
dijelaskan dalam al-Qurân, memperlakukan dengan sikap baik di
antara antara, kemudian bersama-sama bertaqwa kepada Allah
untuk mendapatkan rahmatNya. Begitupun dalam surat al-Kahfi
ayat 110 :
49
Kyai Bisyri Mustofa, Al-Ibriz , hlm. 521.
Page 95
70
Dalam ayat di atas, Allah menegaskan bahwa Nabi
Muhammad adalah utusan yang berasal dari golongan manusia,
ia terlahir di dunia dalam kondisi manusia sebagaimana manusia
pada umumnya, lalu diturunkan kepadanya wahyu-wahtu Tuhan
untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia, bahwa, ajaran
paling mendasar dari wahyu-wahyu Tuhan tersebut adalah
mengenai keimanan kepada Tuhan, keyakinan bahwa yang esa
hanyalah Allah Tuhan semesta alam, diwajibakn bagi seluruh
manusia di muka bumi untuk mengikuti wahyu-wahyu Tuhan
yang disampaiakn melalui lisan Nabi Muhammad, dalam relasi
ayat tersebut, di akhiri bahwa manusia yang telah mengenal
Tuhannya dan ingin berjumpa dengannya, maka diharuskan
untuk melakukan amal sholeh dan tidak menyekutukanNya
dengan cara menyembah kepada sesuatu apapun selain
kepadaNya50
.
Keterkaitan ayat tersebut dengan ayat-ayat syûrâ adalah,
bahwa Allah menjelaskan kepada umatnya yang melakukan
proses musyawarah untuk selalu meniatkan diri mereka
beribadah kepada Allah, dalam setiap langkah-langkah mereka
50
Kyai Bisyri Mustofa, Al-Ibriz ,hlm. 30
Page 96
71
untuk diniatkan mendekatkan diri kepada Allah, pun demikian
bahwa, tujuan dari proses bermusyawarah adalah untuk
menghasilkan sebuah kesepakatan yang berujung kepada
keyakinan kepada Allah, kemantapan hati bahwa Allah adalah
esa, tidak ada sesuatupun yang lain yang wajib untuk disembah
selain kepadaNya. Dalam perspektif yang lain, dijelaskan di awal
ayat di atas bahwa Nabi merupakan seorang manusia biasa yang
sangat mungkin untuk melakukan kesalahan dari sisi beliau
adalah seorang manusia biasa, terkecuali dalam diri beliau
karena derajat seorang Nabi yang terjaga dari kesalahan-
kesalahan, oleh karena itu, seorang pemimpin dalam setiap
tingkatannya, maka diharuskan untuk melakukan musyawarah
dalam upaya untuk meminimalisir dirinya melakukan kesalahan-
kesalahan. Dalam surat Ali-Imran ayat 64 dijelaskan :
Ayat di atas memerintahkan kepada Nabi Muhammad,
bahwa Nabi diutus untuk menyamakan persepsi di antara kaum
Yahudi dan Nasrani, yaitu sebuah kesamaan di antara mereka
bahwa Tuhan Allah adalah esa, tidak ada sekutu bagiNya yang
pantas untuk disembah, dan di antara mereka supaya tidak
Page 97
72
mengharap sesuatu yang berasal tidak dari Allah, apabila dalam
kenyataannya mereka yaitu kaum Yahudi dan Nasrani masih
tetap acuh akan ajakan Nabi, maka katakanlah kepada mereka
bahwa kami yaitu pengikut Nabi Muhammad adalah golongan
muslim51
. Terdapat korelasi makna dalam menjalankan proses
musyawarah dari ayat di atas, yaitu, umat muslim supaya
menjalankan proses musyawarah bersama-sama dengan kaum
Yahudi atau Nasrani, juga dengan umat-umat yang lain, bahwa
apabila terdapat sesuatu yang sama di antara mereka sebuah
perkara yang menyangkut kepentingan bersama-sama, untuk
didiskusikan bersama dalam proses musyawarah52
. Di sini terjadi
sebuah pemahaman mengenai proses pelaksanaan musyawarah,
bahwa untuk masalah-masalah yang menyangkut kepentingan
kemanusiaan, meskipun dalam konteks berbeda agama, maka
dianjurkan untuk melakukan proses musyawarah bersama-sama,
terlepas dari latar belakang bahwa tidak seluruh anggota
musyawarah adalah seorang muslim. Dalam hal ini, kepentingan
kemanusiaan, berbangsa dan bernegara selagi mempunyai
kepentingan yang sama di antara umat-umat beragama, maka
dalam perspektif muslim sendiri dibolehkan untuk melakukanya,
dengan catatan bahwa tidak ada unsur penghinaan dan
penindasan antara agama yang satu dengan yang lainnya terlebih
dari umat agama Islam. Dalam akhir surat Qâf yaitu ayat 45
juga dijelaskan :
51
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 318., v.12.
52 Kyai Bisyri Mustofa, Al-Ibriz ,hlm. 52.
Page 98
73
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah mengetahui
tentang hal-hal yang dikatakan kaum Kafir Quraisy, mereka
tidak sekalipun akan menerima perkataan dari Nabi Muhammad
untuk beriman kepada Allah, maka dari itu Nabi akhirnya
diperintahkan untuk mengajak hanya kepada orang-orang yang
takut akan ancaman-ancaman Allah, yaitu orang-orang yang
telah menerima dakwahnya, oleh karena mereka adalah golongan
yang dapat mengambil pelajaran dari al-Qurân53
. Dari ayat di
atas dapat disimpulkan bahwa ketika melakukan proses
musyawarah, terlebih bersama-sama dengan kaum yang tidak
seagama maka cukupkanlah, yaitu cukupkanlah apabila mereka
tidak mau untuk menerima pendapat yang berkaitan dengan
kepentingan secara bersama, lanjutkan proses tersebut dengan
melanjutkan proses musyawarah bersama-sama dengan golongan
yang mau menerima perbedaan dan mau untuk bersama-sama
membangun kemaslahatan.
Demikianlah al-Qurân menjelaskan mengenai prinsip
musyawarah dan prosesnya yang sama sekali tidak ditentukan
dengan keterangan-keterangan yang pasti baik dari al-Qurân
maupun Hadis. Al-Qurân merupakan pondasi utama dalam
53
Kyai Bisyri Mustofa, Al-Ibriz ,hlm. 526.
Page 99
74
sumber hukum Islam, ayat-ayat mengenai urusan hukum
pemerintahan, para pemangku jabatan atau mengenai etika-etika
yang tinggi dalam Islam terdapat dalam al-Qurân baik dengan
penjelasan secara umum atau secara khusus. dalil selanjutnya
adalah Sunnah. Seperti saat Nabi menyampaikan pidatonya di
saat haji wadâ‟:
”Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan harga diri
kalian, sangat terhormat bagi kalian, sebagaimana terhormatnya
hari kalian di bulan ini, hendaklah yang hadir di sini
menyampaikan kepada yang tidak hadir”54
.
Hal ini tentu memberikan banyak kelonggaran terhadap
umat untuk melakukan kajian dan pembaharuan dalam proses
pelaksanaan musyawarah, pada setiap zaman tidak bisa untuk
dilakukan musyawarah dengan sistem dan pelaksanaan yang
sama, melainkan harus terus berubah sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan yang diperlukan, itulah hikmah yang terdapat dengan
ketiadaan sistem pasti dalam al-Qurân atau Hadis mengenai
proses musyawarah. Namun demikian, ketika al-Qurân
memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan musyawarah,
maka batasan-batasan yang diberikan al-Qurân hanyalah
menyangkut hal sebagai berikut55
:
a. Bahwa al-Qurân selagi tidak menentukan hukum
pelaksanaan syûrâ, berarti bahwa tidak ada batasan-
54
Ibnu Hajar Al-‘Asqalânî, Fathu Al-Bârî Syarhu As-Sahîh Al-
Bukhârî. Dâr Al-Ma’rifah. Beirut. 1379. Juz 1, hlm 64. 55
Taufiq Muhammad As-Syawi: Demokrasi atau Syûrâ; Gema Insani,
Jakarta, 2013. hlm. 95.
Page 100
75
batasan mengenai proses pelaksanaannya, namun al-
Qurân membatasi hal yang paling esensial di dalamnya
yaitu, bahwa pelaksanaan syûrâ hanyalah menyangkut
masalah yang kaitanya dengan tujuan dan pelaksaan
syûrâ adalah untuk menggali sebuah keputusan bersama
terkait konteks kebijakan dan aturan-aturan yang akan
membantu umat dalam menyelesaiakan urusan-urusan
dunia.
b. Bahwa Rasul tidak memberikan petunjuk yang tegas dan
terperinci mengenai bagaimana konsep syûrâ
dilaksanakan, jika beliau sendiri yang meletakannya, ini
bertentangan dengan sistem musyawarah yang ada dalam
al-Qurân, sedagkan bila bersama dengan para sahabatnya
yang meletakannya, maka itupun hanya berlaku untuk
masa beliau saja, tidak berlaku perincian tersebut untuk
masa sesudahanya.
Page 101
76
BAB III
SYÛRÂ DALAM PERSPEKTIF ULAMA KLASIK
DAN KONTEMPORER SERTA DEMOKRASI
SEBAGAI SEBUAH KONSEP NEGARA
Dari beberapa pemikir yang penulis ketahui, maka banyak
ditemukan sebuah penilaian yang negatif terkait gagasan
demokrasi. Mereka mengatakan bahwa negara-negara seharusnya
berusaha untuk mengusung sistem yang bersumber langsung dari
al-Qurân yaitu syûrâ. Penulis melihat ada dikotomi antara syûrâ
dan demokrasi yang membuat keduanya seolah menjadi lawan
antara satu dengan yang lainnya. Dari sinilah penulis kemudian
mencoba untuk menjelaskan demokrasi dan syûrâ dengan dari
perspektif Ulama klasikdan kontemporer.
A. Pandangan Ulama Klasik Mengenai Konsep Syûrâ
Kajian utama mengenai konsep musyawarah dalam al-
Qurân merujuk pada teks al-Qurân yang tertuang dalam surat al-
‘Imran ayat 159 dan juga surat As-Syûrâ ayat 38. Di sini penulis
mencoba menampilkan pemikiran ulama klasik mengenai konsep
tersebut, khususnya yang tertuang dalam surat al-‘Imran ayat
159, dikarenakan para ulama sepakat mendasari ayat tersebut
merupakan titik pangkal dalam menjalankan konsep musyawarah
dalam Islam.
Page 102
77
Dalam ayat tersebut, dijelaskan mengenai peristiwa yang
menimpa umat muslim dalam perang Uhud ( 3 H / 625 M ).
Allah menjelaskan perang Uhud dan masa-masa peperangan
yang ada di dalamnya dimulai dari ayat 137 dan 138 dari surat
Ali ‘Imran, kedua ayat tersebut disebut sebagai penghubung ayat
sebelumnya untuk menjelaskan peristiwa perang Uhud pada
ayat-ayat selanjutnya1.
Klasifikasi antara Ulama klasik dan kontemporer berawal
berdasarkan dari periode tahun dan karakter pemikiran yang
tertuang dalam karya Ulama tersebut. Dalam perkembangan
periode sejarah pemikiran Islam, para ahli sepakat membagi
menjadi tiga periode, yaitu periode klasik, periode pertengahan
dan periode modern2. Pertama, periode klasik, ( 650-1250 M ),
disebut sebagai zaman kemajuan, kedua, periode pertengahan (
1250-1800 M ), disebut sebagai zaman kemunduran karena
mayoritas dalam periode tersebut mengalami kemunduran,
ketiga, periode modern ( 1800-seterusnya ) disebut sebagai
periode kebangitan.
Penulis telah mengklasifikasi beberapa Ulama di masa
pra modern atau masa klasik, yang penulis anggap telah
mewakili sebagian besar ulama di masa itu, seperti :
1. Ibnu Jarîr at-Tabarî
1M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 12, Lentera Hati.
Jakarta. 2002, hlm. 278., v.12.
2Elmansyah, Kuliah Ilmu Kalam Formula Meluruskan Keyakinan
Umat di EraDigital (Pontianak:IAIN Pontianak Press, 2017), hlm. 61-62.
Page 103
78
Kaitanya dengan konteks musyawarah, Ibnu Jarir at-
Tabarî ( w: 310 H )3 menjelaskan bahwa konsep syûrâ hanya
ditujukan kepada Nabi, dalam kajian kaitanya dengan konsep
musyawarah, ia menjelaskan bahwa hal yang paling tepat adalah
memaknai ayat ini ditujukan kepada Nabi untuk bermusyawarah
kepada para sahabatnya dalam urusan peperangan, dan bahwa
Tuhan bermaksud untuk menjadikan peristiwa ini sebagai
contoh4. Dalam penggalan kalimat wa syâwirhum fil amri,
setidaknya at-Tabarî mengutip enam hadis yang menjelaskan
mengenai konteks musyawarah tersebut.
Pertama saat ia mengutip hadis yang diriwayatkan
dari Basyâr, untuk menjelaskan bahwa Nabi
mendapat perintah dari langit berupa wahyu, untuk
bermusyawarah kepada para sahabatnya, agar mereka
mendapatkan kebaikan dan petunjuk pada diri
mereka5.
Kedua, hadis yang diriwayatkan dari ‘Ammâr, ia
mendapatkanya dari Abu Ja’far, dari bapaknya,
bahwa Allah mengutus Nabi untuk bermusyawarah
dengan para sahabatnya terhadap suatu perkara (
3Abdurrahmân „Utbah, Mausû‟ah Al-Masâdir wa Al-Marâji‟.
Maktabah Al-„Arabiyah :Syiria. 2007, hlm. 269.
4 Abu Ja’far Ibn Jarir At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân ‘An Takwîl Al-
Qurân Tafsîr At-Tabârî ( Kairo: Dar Al Hadis, 2010 ), hlm. 506.
5At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân, hlm. 506.
Page 104
79
dalam hal ini adalah musyawarah mengenai konteks
perang Uhud ), agar mereka mendapat kebaikan
dalam diri mereka, dan bahwa Nabi mendapat
perintah tersebut dari langit berupa wahyu6.
Ketiga, hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Humaid,
dari Salamah, dari ibnu Ishak, di hadis ini dijelaskan
bahwa Rasul diperintah untuk bermusyawarah kepada
para sahabatnya dikarenakan untuk menunjukan
kepada mereka bahwa ia mendengarkan pendapat-
pendapat mereka, juga untuk menunjukan bahwa
Rasul membutuhkan pertolongan dari mereka dalam
urusan peperangan, meskipun pada kenyataanya Nabi
bisa untuk tetap melanjutkan peperangan tanpa
melakukan musyawarah dengan para sahabat, tapi hal
itu juga bertujuan untuk menambah keyakinan dalam
diri para sahabat Nabi bahwa ia dibutuhkan oleh
Nabi7, menurut penulis, hal ini adalah sebuah contoh
yang ingin ditunjukan oleh Nabi, bahwa hal meminta
pendapat adalah nilai yang ada dalam al-Qurân untuk
memperkuat persatuan di kalangan umat muslim.
Keempat, hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Wâqi’,
dari bapaknya, dari Salâmah bin Nubait, dari ad-
Dahak bin Muzâhim, bahwasanya, tidaklah Allah
mengutus Nabi untuk melakukan musyawarah kecuali
6 At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân, hlm. 507.
7At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân, hlm. 507.
Page 105
80
Nabi telah mengetahui bahwa terdapat keutamaan di
dalamnya8.
Kelima, hadis yang diriwayatkan dari Qâsim dari
Husein, dari Mu’tamir bin Sulaiman, dari Iyâs bin
Daghfal, dari Hasan bahwa dikatakan tidaklah suatu
kaum melakukan suatu musyawarah apapun, kecuali
akan diberikan petunjuk mengenai urusan-urusan
mereka9.
Keenam, hadis yang dikutip dari Sawwâr bin Abdillah
al-’Anbarî, berkata Sufyan bin ‘Uyyînah, sebuah
anjuran bagi orang mukmin agar melakukan
musyawarah pada sebuah perkara yang tidak ada
petunjuk dari Nabi10
.
Melihat beberapa penjelasan dari at-Tabarî, menunjukan
bahwa ia mencoba memberi pengertian kepada kaum muslimin
bahwa perintah untuk bermusyawarah ditujukan kepada Nabi
dalam rangka membentengi hati kaum mukminin yang secara
keimanan tidak merata, sehingga tidak mudah terjerumus ke
dalam tipu daya musuh di dalam peperangan. Penulis
menganggap bahwa pemahaman syûrâ terkait khitabnya ( objek )
dalam tafsir at-Tabarî berkutat dalam diri Nabi dan para
sahabatnya dalam konteks peperangan saja.
8 At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân, hlm. 507.
9At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân, hlm. 507.
10 At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân, hlm. 507.
Page 106
81
Dari keenam hadis yang dikutip oleh at-Tabarî, sama
sekali ia tidak menjelaskan konteks musyawarah dalam tataran
pemerintahan, at-Tabarî beberapa kali menjelaskan perintah
langsung dari Allah dalam bentuk wahyu kepada Nabi, untuk
dilaksanakan Nabi bersama para sahabatnya, terutama agar para
sahabat tidak terjerumus dalam tipu daya musuh di dalam
peperangan. Di sini jelas bahwa, kajian at-Tabarî mengenai
konsep syûrâ belum menyentuh ranah politik sebagaimana saat
ini yang dipahami dalam wilayah politik dan pemerintahan.
Dalam satu pernyataan, ia mengungkapkan bahwa para
pemimpin mereka akan menemui kata sepakat, sedikit
menyinggung mengenai permasalahan politik, meskipun masih
sangat jauh dengan konteks saat ini. Bahkan, menurut hemat
penulis, at-Tabarî seharusnya mampu untuk lebih mengeksplor
pemahaman syûrâ minimal dengan penegasan bahwa konsep
syûrâ juga dianjurkan untuk dilakukan di luar peristiwa
peperangan, dengan detail-detail teknis pelaksanaan syûrâ,
namun begitu, darinpenjelasannya dapat dipahami bahwa syûrâ
adalah sebuah konsep yang akan dilakukan umat Islam dalam
merumuskan permasalahan agama dan kehidupan sehari-hari,
yang tergantung dengan bagaimana pelaku musyawarah
melakukannya dengan niat mencari petunjuk Tuhan.
2. Zamakhsyarî
Selanjutnya, apa yang dikaji oleh Zamakhsyarî> ( w : 538
H ). Hampir serupa dengan apa yang sudah dilakukan oleh at-
Tabarî, Zamakhsyarî mencoba memahami bahwa konsep syûrâ
Page 107
82
selain diperintahkan kepada Nabi pada saat peperangan, juga
menambahkan bahwa musyawarah dilakukan oleh Nabi dan para
sahabatnya, sehingga Nabi akan lebih mendapatkan kemudahan
dan meminimalisir terjadinya perpecahan11, hal ini menunjukan
bahwa Zamakhsyarî sedikit lebih maju penjelasannya terkait
konsep musyawarah ketimbang at-Tabarî, namun juga belum
cukup untuk menjadi dasar pemahaman politik umat muslim saat
ini. Ia dengan tegas menyatakan bahwa musyawarah berlaku
bagi Nabi saat terjadi peperangan, dan juga dapat dilakukan oleh
Nabi bersama para sahabatnya untuk mendapatkan saran dan
meminta pendapat12. Redaksi yang digunakan olehnya relatif
sedikit ketimbang apa yang sudah dilakukan oleh at-Tabarî,
dalam menafsirkan kalimat wa syâwirhum fi al-amri, dua hadis
dan satu atsâr yang tidak disebutkan sumbernya :
Pertama ia mengutip sebuah hadis yang
diriwayatakan dari Hasan, ditegaskan di dalamnya
Allah telah mengetahui bahwa Nabi sebenarnya tidak
membutuhkan saran ataupun masukan dari para
sahabatnya ketika terjadi peperangan,khususnya
seperti yang terjadi dalam perang Uhud, tetapi
penekananya justru terdapat dalam hal contoh yang
11
Az-Zamakhsyarî Al-Khawârizmî, Al-Kasyâf ‘An Haqâiqi At-Tanzîl
wa ‘Uyûn Al-Aqâwîl fî Wujûhi At-Takwîl ( Mesir: Maktabah Mashr, 2000 ),
hlm. 393.
12 Al-Qurân Abad 21: Tafsir Kontekstual/karya Abdullah Saeed;
penerjemah, Evan Nurtawab; editor, Ahmad Baiquni ( Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2015). hlm. 249.
Page 108
83
diberikan Nabi untuk golongan sesudahnya,
dilanjutkan oleh Zamakhsyarî dengan mengutip hadis
dari nabi, sebuah kaum tidak akan mendapatkan apa-
apa dalam proses musyawarah kecuali sebuah
petunjuk untuk memudahakan urusan-urusan
mereka13. Hadis ini menurut penulis menjadi sebuah
penegasan dari kajian Zamakhsyarî, bahwa ia sudah
mempunyai pandangan bahwa proses musyawarah
agar dilakukan oleh generasi umat Islam setelah masa
Nabi di dalam urusan-urusan selain peperangan.
Kedua adalah sebuah hadis yang bersumber dari Abû
Hurairah, dikatakan bahwa tidak pernah ia melihat
seseorang yang melakukan musyawarah melebihi dari
sahabat Nabi, dikatakan pula dalam redaksi
selanjutnya bahwa para pembesar Arab apabila
mereka tidak melakukan musyawarah dalam sebuah
urusan, mereka akan mendapatkan kesulitan dalam
urusan tersebut, maka dari sebab itulah Allah
menyuruh Nabi untuk bermusyawarah dengan para
sahabatnya, untuk menghindari hal yang memyulitkan
di antara mereka dan meminimalisir kesewenang-
wenangan dengan sebuah pendapat diantara mereka14.
Dalam hal ini sangat jelas bahwa Zamakhsyarî dalam
kajiannya mengenai proses musyawarah telah
13
Zamakhsyârî, Al-Kasyâf, hlm. 393.
14Zamakhsyârî, Al-Kasyâf, hlm. 393.
Page 109
84
mengindikasikan perluasan konteks pelaksanaan
musyawarah, tidak hanya sebatas di saat umat Islam
mengalami peperangan, namun sekali lagi, penjelasan
dari Zamakhsyarî belum cukup untuk mewakili
konteks pelaksanaan musyawarah di zaman ini.
3. Fakhruddin ar-Râzî
Dalam menjelaskan ayat ini, ar-Râzî sengaja ingin
mengemukakan gagasannya, bahwa Tuhan memerintahkan
musyawarah kepada Nabi dan semestinnya Nabi juga tidak perlu
melakukan syûrâ dengan para sahabatnya. Ia ingin
mengungkapkan gagasan syûrâ dalam al-Qurân yang merupakan
sebuah perintah dari Allah sebagai sebuah media bagi Nabi
untuk menenangkan hati para sahabatnya, terlepas dari
penjelasannya bahwa Nabi akan tetap mendapatkan sebuah
petunjuk dengan tanpa melakukan musyawarah dengan para
sahabatnya. Dalam menafsirkan konsep musyawarah, ar-Râzî
membaginya menjadi lima bagian yang masing-masing secara
bertahap menjelaskan pengertian syûrâ dan urgensitasnya bagi
para sahabat Nabi15.
Pertama, ia menjelaskan struktur bahasa dan
pengertian syûrâ, dengan mengatakan bahwa syûrâ
berasal dari syirtu al-‘asl, yang juga berarti
mengeluarkan isi madu dari sarang lebah. Ar-Râzî
juga mengutip kalimat-kalimat atau dialog-dialog lain
15
Fakhru Ad-Dîn Ar-Râzi As-Syâfi’i, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîh
Al-Ghaib ( Kairo, Al Maktabah At Taufiqiyah, 2003 ). Juz 5. Hal 58.
Page 110
85
yang diarahkan untuk menjelaskan pengertian dari
musyawarah itu sendiri. Di akhir penjelasannya dalam
bagaian pertama, ia memberikan pengertian, bahwa
demikianlah musyawarah dilaksanakan, yaitu untuk
mengetahui baik dan buruk dalam sebuah urusan-
urusan manusia16
.
Kedua dalam upaya menjelaskan makna musyawarah,
ia mulai beranjak dengan menjelaskan konteks
musyawarah dan beberapa detail tujuan dari perintah
Tuhan kepada Nabi untuk menjalankan musyawarah.
Selanjutnya pada bagian kedua, ar-Râzî menjelaskan
mengenai beberapa faedah dari perintah
bermusyawarah yang diberikan kepada Rasul, faedah-
faedah tersebut dibagi olehnya menjadi 8 bagian :
1) Bahwa proses musyawarah yang dilakukan oleh Nabi
kepada para sahabatnya, akan mengangkat derajat dan
kedudukan para sahabat secara umum, juga sebaliknya,
proses musyawarah yang dilakukan Nabi bersama mereka
akan menambah rasa cinta para sahabatnya, dan juga
menghindari sikap yang kurang baik kepada Nabi17
.
Penjelasan ar-Râzî dalam poin ini, menunjukan bahwa ia
menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan guna
menjelaskan sisi lain dari faedah musyawarah yang
16
Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 58.
17 Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 58.
Page 111
86
dilakukan pada saat itu, mengenai proses pendekatan
yang dilakukan olehnya, penulis menganggap hal ini
sangat membantu para sejarawan yang ingin melihat
lebih jauh kondisi sosial kemayarakatan pada saat itu,
signifikansi dari proses pendekatanya mengenai proses
musyawarah membantu para pengkaji tafsir setelahnya
untuk melihat sisi sosial pada waktu itu, namun lagi-lagi
realisasi mengenai relevansi konteks musyawarah saat
itu, belum banyak membantu untuk kajian musyawarah
pada zaman ini.
2) Nabi meskipun sebagai seorang manusia yang paling
sempurna, namun tetaplah pengetahuan seorang makhluk
ada batasnya, oleh karena itu, proses musyawarah yang
dilakukan Nabi bersama para sahabatnya, menunjukan
bahwa ia sangat memperhatikan keadaan para
sahabatnya, terlebih mengenai urusan dunia, oleh sebab
itu, ar-Râzî mengutip sebuah hadis yang berasal dari
Sayyidah ‘Âisyah :
‚ Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian, sedangkan aku lebih mengerti urusan agama kalian ‛
Kemudian ia melanjutkan dengan mengutip hadis
yang berbunyi :
‚ Tidaklah suatu kaum melakukan musyawarah, kecuali ia akan mendapatkan petunjuk dan kebenaran ‚18.
18
Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.
Page 112
87
Dari penjelasan di atas, ar-Râzî berusaha untuk
menguatkan bahwa sosok Nabi sebagai manusia paling
sempurna di dunia, juga membutuhkan proses
musyawarah untuk menghasilkan sebuah keputusan yang
berguna bagi masyarakat secara umum, ia mengutip
hadis-hadis yang menegaskan bahwa Nabi adalah seorang
yang menjadi rujukan dalam hal beragama, namun untuk
urusan dunia, dijelaskan di sini, bahwa Nabi melakukan
proses musyawarah guna mendapatkan sebuah keputusan
yang terbaik.
3) Pada poin tiga, ia mengutip pendapat yang dikemukakaan
oleh Hasan dan Sufyan bin ‘Ayyînah, bahwa tujuan dari
perintah yang dilakukan oleh Nabi dan sahabatnya dalam
proses musyawarah adalah untuk dijadikan contoh dalam
pelakasanaa syûrâ, sekaligus menjadi sunnah yang pada
prosesnya nanti akan dilakukan oleh umat muslim di
seluruh penjuru dunia19
. Ar-Râzî mulai beranjak dalam
menjelaskan konteks musyawarah, kutipan yang ia ambil
dari Hasan dan Sufyan bin ‘Ayyînah menunjukan bahwa
sebenarnya sangat mungkin baginya untuk menjelaskan
konteks penerapan syûrâ secara lebih jauh, namun sangat
disayangkan, hanya sebatas penjelasan sunnah ar-Râzî
tidak melanjutkan lebih jauh.
4) Di sini ar-Râzî menjelaskan bahwa Nabi bermusyawarah
bersama para sahabatnya, para sahabat beberapa
19
Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.
Page 113
88
menghendaki untuk keluar dari batas perang, sementara
Nabi condong kepada para sahabat supaya tetap tinggal
di tempat, namun kenyataannya mereka tetap keluar, dan
terjadilah seperti yang telah terjadi, umat muslim
mengalami kekalahan, jika Nabi meninggalkan
musyawarah bersama para sahabatnya setelah kejaian
tersebut, maka itu menunjukan bahwa Nabi akan
menyisakan sesuatu dalam hati, maka allah
memerintahkan kepada Nabi untuk melakukan
musyawarah dengan para sahabatnya, untuk
menghilangkan praduga bahwa masih membekas di hati
Nabi mengenai keputusan para sahabatnya yang keluar
dari batas peperangan20
. Ada sedikit penafsiran yang
menunjukan sisi politis di sini, namun sekedar melibatkan
Nabi dan para sahabatnya dalam evaluasi peperangan,
masih jauh dari konteks msuyawarah di zaman ini.
5) Pada poin ini, ar-Râzî menjelaskan mengenai motif
perintah bermusyawarah antara Nabi dan para
sahabatnya, dijelaskan olehnya bahwa Allah
memerintahkan kepada Nabi untuk bermusyawarah
bukan supaya Nabi mengambil manfaat berupa pendapat
dan ilmu, melainkan agar Nabi mengetahui di antara
sahabatnya, sejauah mana pengetahuan, pemahaman dan
kecintaan mereka kepada Nabi, juga untuk mengetahui
mana di antara sahabatnya yang mempunyai kedudukan
20
Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.
Page 114
89
serta keutamaan dalam hal-hal tersebut21
. Melihat uraian
ar-Râzî di sini, penulis menganggap bahwa ia
menggunakan pendekatan sosial keagamaan, berangkat
dari pemahaman dan penelusuran yang mendalam dari
hadis ataupun atsar yang menjelaskan proses
musyawarah, ia menampilkan bagian yang
melatarbelakangi perintah musyawarah yang ditujukan
kepadanya dengan sudut pandang sosial keagamaan yang
ada di masa itu.
6) Masih senada dengan poin sebelumnya, bahwa ar-Râzî
menjelaskan mengenai perintah dari bermusyawarah ini
bukanlah semata-mata Nabi membutuhkan sesuatu dari
para sahabatnya di waktu itu, melainkan agar Nabi
mampu mengeluarkan potensi yang ada dalam setiap jiwa
sahabatnya, mengeluarkan usulan-usulan untuk mencapai
kemaslahatan bersama, karena pada dasarnya, jiwa-jiwa
yang suci akan tergerak untuk melaksanakan sebuah
kebaikan yang dilakukan secara bersama-sama.
Demikianlah rahasia yang sebenarnya mengapa shalat
berjam’ah lebih utama daripada dilakukan sendiri22
. Ar-
Râzî kembali menjelaskan mengenai latarbelakang dari
perintah melakukan musyawarah, bahwa kemudian Nabi
dijelaskan akan dapat mengeluarkan potensi dari para
sahabatnya jika melakaukan musyawarah, ini
21
Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.
22Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.
Page 115
90
menunjukan bahwa ar-Râzî mencoba mengetengahkan
karakter Nabi sebagai seorang pendidik di antara
sahabatnya, meskipun dalam keadaan perang sekalipun,
hal ini menunjukan betapa melekatnya karakter-karakter
mulia yang senantiasa menempel dalam jiwa Nabi di
berbagai keadaan.
7) Ar-Râzî menjelaskan bahwa ketika Allah memerintahkan
proses musyawarah saat itu, menunjukan bahwa mereka
para sahabat telah dianggap mampu dihadapan Allah,
dihadapan Rasul serta dihadapan makhluk, untuk
melakukan proses musyawarah itu sendiri23
. Hal ini
menunjukan bahwa dalam kapasitas sahabat waktu itu,
mereka dianggap mampu untuk memberikan usulan-
usulan yang berkaitan dengan proses memberikan
pendapat untuk dicari yang paling benar, di sini ar-Râzî
menegaskan bahwa kemampuan sahabat pada waktu itu
telah diakui oleh Allah dan Rasulnya, sehingga turunlah
perintah tersebut. Untuk kajian selanjutnya mengenai
konsep musyawarah, penulis sepakat dengan penjelasan
yang telah dilakukan ar-Râzî mengenai pengakuan dari
Allah dan RasulNya kepada para sahabat, hal itu tentu
dapat dikatakan bahwa setiap dari perintah yang datang
dari Allah, berarti ada sebuah pengakuan yang secara
tidak langsung datang dari Allah untuk manusia secara
23
Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.
Page 116
91
umum, agar dapat melaksanakan perintah tersebut, selagi
tidak ada penjelasan lebih jauh mengenai perintah itu24
.
8) Pada poin ini ia menjelaskan bahwa seorang raja atau
pemimpin besar—di sini yang dimaksud oleh ar-Râzî
adalah Nabi, tidak pernah melakukan musyawarah
mengenai perkara-perkara penting, kecuali bersama
dengan orang-orang khususnya atau orang-orang
dekatnya, mereka orang-orang yang diajak musyawarah
apabila melakukan kesalahan akan diampuni oleh Allah,
maka dengan kedudukan yang istimewa tersebut, Allah
akan memaafkan mereka sebagai sebuah ganjaran yang
pantas mereka dapatkan. Kemudian Allah menjelaskan
bahwa keudukan tersebut tidak akan mereka peroleh
kecuali setelah melakukan taubat, bahkan ditambahkan,
bahwa Allah tidak memerintahkan Nabi untuk melakukan
meusyawarah, kecuali setelah kejadian mereka
melakukan kesalahan, lalu setelah itu Allah
memerintahkan Nabi untuk melakukan musyawarah, hal
itu bertujuan untuk menjelaskan bahwa mereka saat
setelah melakukan musyawarah menempati derajat yang
tinggi, yaitu dimana sebelumnya mereka masih
menggantungkan harapan mereka kepada amal dan
ketaatan mereka, namun setelah itu mereka
menggantungkannya pada keutamaan dan ampunan dari
24
Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.
Page 117
92
Allah25
. Di sini ar-Râzî menjelaskan bahwa orang-orang
yang melakukan musyawarah menempati kedudukan
yang tinggi, yaitu kedudukan khusus yang diberikan oleh
Allah kepada mereka, menarik di sini adalah penjelasan
ar-Râzî mengenai mereka yang melakukan musyawarah
adalah orang-orang yang sebelumnya telah melakukan
kesalahan, kemudian dengan ikutnya mereka dalam
proses musyawarah kedudukan mereka diangkat oleh
Allah. Ia menegaskan bahwa musyawarah sebagai sebuah
keutamaan yang didapatkan bagi orang-orang yang
melaksanakannya. Dalam konteks saat ini, penulis
menganggap bahwa kemuliaan yang dijelaskan oleh ar-
Râzî terhadap orang-orang yang melaksanakan proses
musyawarah merupakan hal yang subjektif, bagaimana
tidak, konteks musyawarah saat ini mengalami dikotomi
di antara umat muslim di seluruh dunia, hal inilah yang
menjadi tema besar dalam kepenulisan ini, dimana
sampai saat ini proses demokrasi masih menjadi
perdebatan mengenai eksistensinya sebagai sebuah sistem
kenegaraan yang mampu untuk diserap sebagai sebuah
sistem yang mampu menjalankan musyawarah dikalangan
umat Islam. Oleh karena itu, kembali kepada analisa
penjelasan ar-Râzî, maka menjadi kemuliaan yang
didapatkan oleh mereka yang melakukan musyawarah
25
Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.
Page 118
93
harus disepakati terlebih dahulu mengenai konteks
penerapan sistem syûrâ dan demokrasi saat ini.
Ketiga, ar-Râzî masuk dalam pembahasan mengenai
kajian fiqih musyawarah, ia mengutip beberapa
pendapat di antara ahli fiqih, konteks kajian ia
fokuskan pada persoalan yang menyangkut perintah
pelaksanaan musyawarah, apakah itu mencakup
keseluruhan persoalan baik persoalan yang telah ada
nash atau hanya tertuju pada persoalan-persoalan
yang belum ada ketentuannya di dalam al-Qurân.
Pada pertanyaan pertama para Ulama sepakat bahwa
untuk hal-hal yang telah ada penjelasannya dari al-
Qurân tidak diberbolehkan untuk dimusyawarahkan.
Namun pertanyaannya beranjak, yaitu pembahasan
mengenai konteks musyawarah yang belum ada
pembahasannya di dalam al-Qurân26
. Ia mengutip
penjelasan al-Kalbî dan beberapa ulama, bahwa
perintah musyawarah yang terdapat dalam ayat di
atas dikhususkan untuk masa peperangan atau ketika
mengahadapi musuh, ia juga menjelaskan mengenai
sisi bahasa mengenai kata al-amru, bahwa al yang ada
dalam kata tersebut bukanlah al li istighraq,
26
Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.
Page 119
94
melainkan al li al-’ahdiyah27, kemudian ia juga
menukil beberapa keterangan, bahwa Hubab bin
Mundzir pernah melakukan musyawarah bersama
Nabi saat terjadi pereng badar, begitu juga Sa’d bin
Mu’âdz dan Sa’d bin ‘Ubâdah saat melakukan
melakukan musyawarah di waktu perang Khandaq ia
kutip untuk menguatkan penjelasan yang ada di
bagian awal, yaitu keterangan mengenai pemahamaan
bahasa yang mengenai konteks pelaksanaan
musyawarah dari ayat di atas terkhususkan untuk
wilayah peperangan dan bila bertemu musuh saja.
Namun terdapat pendapat lain yang ia kutip, yaitu
mengenai penjelasan bahwa yang dimaksud di dalam
ayat tesebut bersifat umum, artinya, itu justru
dimaksudkan untuk hal-hal yang ada di luar
peperangan atau saat bertemu musuh seperti yang
telah dijelaskan oleh golongan pertama yang ia
kutip28
. Ar-Râzî mengutip ayat al-Qurân yaitu akhir
surat al Hasyr ayat 2 :
Lafaz ûlî al-absar yang terdapat dalam ayat
tersebut menjelaskan mengenai kemampuan
seseorang dalam melakukan kajian pada perkara yang
27
Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59. 28
Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.
Page 120
95
belum ada ketentuannya di dalam al-Qurân, oleh
karena itu diperlukan kajian musyawarah mengenai
perkara-perkara tersebut. Ia kembali mengutip ayat
lain, yaitu ayat ke 83 dari surat An-Nisâ´:
…
Bahwa seorang yang mempunyai kemampuan
dalam melakukan kajian bersama dengan beberapa
yang lain terhadap sebuah permasalahan dipuji oelh
Allah. Bahwa kebanyakan manusia adalah berakal
dan cerdas mengenai urusan mereka. Ini menunjukan
bahwa mereka diperintahkan untuk melakukan ijtihad
terhadap suatu perkara yang belum ada padanya suatu
keteragan dari al-Qurân, oleh karena kajian,
penelitian dan proses pelaksanaan ilmiahnya
membutuhkan perbandingan dan kesepakatan dari
beberapa orang, maka dari situ diwajibkanlah
musyawarah29
. Di sini kecondongan ar-Râzî terlihat
lebih memihak kepada golongan kedua yang
menganggap bahwa konteks pelaksanaan musyawarah
tidak hanya terfokus pada saat peperangan saja,
ataupun saat bertemu musuh, namun konteks
pelaksanaan musyawarah bisa untuk dilakukan pada
29
Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.
Page 121
96
setiap hal yang belum ada keterangan resminya dari
al-Qurân, itu ditandai dengan penjelasannya diakhir
bagian ini, bahwa takhsis al-Qurân dengan analogi
tidak diperbolehkan, seperti yang terjadi pada saat
iblis membandingkan mengenai penciptaan dirinya
dan manusia, kemudian karena hal itu ia dilaknat oleh
Allah30
. Di bagian ini, ar-Râzî mencoba untuk
menjelaskan konteks pelaksanaan syûrâ ditinjau dari
segi fiqihnya, bahwa kemudian ia membagi beberapa
pertanyaan-pertanyaan yang disusul dengan jawaban
yang ia nukil dari beberapa Ulama yang lebih dulu
membahasnya, kemudian di akhir kalimat ia
menjelaskan keberpihakannya di salah satu golongan.
Penafisiran ar-Râzî dalam beberapa penjelasannya
mengenai tema syûrâ harus diakui cukup kontekstual
jika melihat zaman yang mengiringi saat itu masuk
dalam kategori klasik dalam urusan sistem
pemerintahan, ia jauh melewati zamannya dalam
menjelaskan beberapa persoalan mengenai proses
musyawarah.
Keempat, ar-Râzî masih menjelaskan seputar masalah
fiqih, yaitu mengenai level hukum yang melingkupi
pelaksanaan musyawarah, ia mengutip pendapat
Syâfi’î yang mengatakan bahwa pelaksanaan
musyawarah dalam kalimat wa syâwirhum fi al amri
30
Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 60.
Page 122
97
merupakan hal yang sunnah, namun, ar-Râzî sendiri
menjelaskan di bagian awal, bahwa perintah tersebut
merupakan hal yang wajib31
. Di sini lagi-lagi ar-Râzî
tidak melakukan pembahasan lebih jauh, mungkin
karena ia penganut madzhab Syâfi’i sehingga urung
untuk melakukan perdebatan yang jauh menegnai hal
ini, sebagai bentuk ittiba’nya terhadap hasil ijtihad
Imam Syâfi’i, atau mungkin juga kondisi saat itu
belum memerlukan kajian yang jauh dari pada itu,
seandainya penafsiran ar-Râzî di sini menyentuh sisi
musyawarah di level pemerintahan saat itu, mungkin
akan menjadi hal yang sangat berguna bagi pengkaji
Islam di saat ini.
Kelima, ia mengkritik sebuah riwayat dari al-Wâhidî,
dari ‘Amru bin Dînâr dari Ibnu ‘Abbâs, bahwa apabila
yang dimaksud di dalamnya mengenai sahabat yang
diajak bermusyawarah olehnya adalah Abû Bakar dan
‘Umar bin Khattab merupakan sebuah kekeliruan, ia
menjelaskan bahwa para sahabat yang diajak
bermusyawarah saat itu adalah yang telah melakukan
kesalahan di dalam perang Uhud dan telah bertaubat,
sedangkan Abû Bakar dan ‘Umar tidak berada di
dalam golongan tersebut32
.
31
Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 60. 32
Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 60.
Page 123
98
4. Al-Qurtubî ( W 671 H )
Ia juga dianggap sebagai seorang mufassir yang paling
berkehendak memahami syûrâ untuk umat Islam secara
keseluruhan khususnya para pemimpinnya. Melaluinya, konsep
syûrâ tidak hanya terbatas pembahasannya melulu soal konteks
turun ayat, dibandingkan beberapa pendahulunya, al-Qurtubî
cukup berani menafsirkan syûrâ masuk dalam sistem
pemerintahan33
.
Penulis mencoba menganalisa penjelasan al-Qurtubî
terkait konsep syûrâ, secara khusus ia membagi pembahasan
mengenai ayat ini menjadi 8 bagian, namun khusus mengenai
syûrâ, ia hanya memberi penjelasan ke dalam 6 bagian saja. Pada
bagian pertama, ia mengutip penjelasan Ulama mengenai konsep
syûrâ, secara umum pada bagian ini, ia masih berkutat
pembahasannya mengenai syûrâ seperti pendahulu-pendahulunya
di kalangan mufasir. Dia menjelaskan motif dan keutamaan
mereka, yaitu keutamaan mendapat ampunan dari Allah, atau
sebaliknya, perintah syûrâ kepada para sahabat merupakan
pertanda bahwa mereka bersegera meminta ampun kepada Tuhan
setelah melakukan kesalahan di dalam perang Uhud.
Pertama, al-Qurtubî juga mengutip sisi bahasa dalam
kata syûrâ, dia menjelaskan bagaimana orang-orang
Arab pada awalnya mengutip menggunakan kalimat
33
Abdullah saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm. 250.
Page 124
99
syûrâ ini34
. Pada akhir bagian ini, al-Qurtubî
mengutip sebuah syair arab dari ‘Udai bin Zaid, :
‚ Seorang Syaikh mendengar dari orang yang berbicara dengannya, perumpamaan itu bagaikan seorang yang berhasil mendapatkan madu yang berwarna putih ‛35.
Apa yang dijelaskan al-Qurtubî pada bagian ini, masih
sama seperti apa yang dilakukan pendahulunya para ahli tafsir,
yaitu fokus pada pembahasan bahasa.
Kedua, al-Qurtubî mengutip pendapat Ibnu ‘Atiyah,
yang dinukil olehnya melalui Tafsir Ibnû’Atiyah36.
Dia menuliskan : bahwa syûrâ termasuk bagian dari
pondasi atau prinsip utama syarî’ah, maka
barangsiapa yang tidak menjalankan konsep syûrâ ini,
untuk diasingkan—sebagaimana pelaku dari
pelanggaran prinsip dasar syar’î37. Dalam redaksinya,
ia menegaskan bahwa pendapat Ibnû ‘Atiyah tersebut
merupakan ijmâ’ sehingga harus diikuti oleh semua
umat Islam, sebagaimana Allah memuji orang-orang
yang berbuat musyawarah, tertulis dalam firmannya
34
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Ansari Al-Qurtubi, Al-
Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân ( Kairo: Maktabah Dar Al Hadis, 1994 ). jus 1. Hal
597-600.
35 Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 597-600.
36 Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 597-600.
37 Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 597-600.
Page 125
100
yaitu, wasyâwirhum fil amri. Selanjutnya ia mengutip
sebuah perkatan dari seorang arab, ia tidak
menuliskan sumber terkait penukilan perkataan
tersebut, yaitu :
‚ Bahwa aku tidak sekalipun merasa dizalimi hingga kaumku terzalimi, yaitu aku tidak akan pernah melakukan sesuataupun hingga aku bermusyawarah bersama-sama dengan rakyatku ‛.38
Selanjutnya ia mengutip pendpat dari Ibnu Khuwaiz
mandâd :
‚ Wajib bagi para penguasa untuk bermusyawarah dengan para Ulama mengenai hal yang tidak dia ketahui, juga mengenai hal-hal yang dia sendiri sulit untuk memahaminya terkait urusan agama, juga urusan peperanagan agar bermusyawarah dengan para bala tentaranya, urusan yang terkait kemaslahatan manusia bersama orang-orang yang berkompeten di bidangnya, juga bermusyawarah bersamapara menterinya dalam urusan yang berkaitan dengan kemajuan dan kesejahteraan negara, ia melanjutkan : tidaklah ada penyesalan dari orang-orang yang telah melakukan proses musyawarah, barangsiapa yang menganggap kebenaran mutlak adalah pendapatnya maka dia termasuk orang yang sesat‛39.
Sangat menarik apa yang telah disampaikan oleh al-
Qurtubî, dibagian ini dia benar-benar telah memberikan
penjelasan yang sangat maju melewati zamannya. Penulis
menganggap bahwa penjelasan al-Qurtubî di sini merupakan
sebagian kecil Ulama yang berani mengeluarkan pemikiran yang
38
Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 597-600.
39 Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 597-600.
Page 126
101
anti mainstream di zaman itu. Bagaiamana dia berani
mengatakan bahwa syûrâ merupakan sebuah kewajiban bagi
setiap individu muslim, lebih jauh, dia dengan menukil
pandangan dari Ibnu Khuwaiz Mandâd, mewajibkan para
pemimpin untuk melakukan musyawarah terhadap orang-orang
pilihannya dalam urusan-urusan yang dia sendiri sulit dalam
memahaminya.
Ketiga, al-Qurtubî mengawalinya dengan mengutip
ayat yang sedang dikaji yaitu wasyâwirhum filamri,
di bagian ini, al-Qurtubî menghimpun beberapa
pendapat Ulama terdahulu mengenai hukum dan latar
belakang pelaksanaan musyawarah, setelah mengutip
ayat musyawarah di atas, kemudian ia
mengemukakan pendapatnya, jika ayat tersebut
menunjukan mengenai kebolehan berijtihad pada
beberapa perkara-perkara dan merumuskan sebuah
ketetapan mengenai sebuah masalah yang masih
diperdebatkan keabsahanya meskintelah turun wahyu
kepada masalah tersebut, namun dalam wilayah
zanni, karena Allah mengizinkan kepada Rasul untuk
melakukan hal tersebut40. Kemudian ia mengutip
beberapa pendapat ahli ta’wîl mengenai maksud dari
perintah Allah kepada Nabi mengenai konsep syûrâ
tersebut, sebagian besar sudah dijelaskan oleh para
mufasir sebelumnya. Secara gairs besar, al-Qurtubî
40
Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 598.
Page 127
102
membagi kelompok ahli ta’wîl yang dimaksud di atas
menjadi dua golongan, pertama diwakili oleh
Qutâdah, Rabi’, Ibnu Ishâq dan Syâfi’î, yaitu konteks
perintah tersebut tidaklah dimaksudkan bahwa Rasul
yang membutuhkan hasil dari musyawarah tersebut,
karena dengan turunnya wahyu sejatinya Rasul akan
mendapat jawaban terbaik dari urusan yang sedang
menimpanya, namun palaksanaan musyawarah
tersebut adalah untuk menguatkan eksistensi para
sahabat Nabi, sehingga bertambahlah kemantapan
hati mereka dalam memeluk agama Islam. Dijelaskan
pula, bahwa pelaksanaan musyawarah dilakukan
dalam keadaan penguatan strategi dalam peperangan,
sehingga munculah pendapat Syâfi’î yang
mengatakan hukum pelaksanaan musyawarah adalah
sunah. Kemudian golongan yang kedua diwakili oleh
Hasan Basri dan ad-Dahâk, yaitu mengani perintah
bermusyawarah tentang sebuah perkara, yang tidak
ada padanya wahyu, keduanya berkata :
‚ Tidaklah Allah memerintahkan musyawarah
kepada Nabi, dalam kondisi Nabi yang membutuhkan
pendapat mereka, tetapi justru untuk mengajari
mereka mengenai keutamaan bermusyawarah, dan
juga sebagai contoh kepada umat setelahnya ‛41.
41
Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 598.
Page 128
103
Di akhir bagian ini, ia mengutip sebuah qiraah
yang berasal dari sahabat Ibnu ‘Abbâs, yaitu
wasyâwirhum fî ba’di al-amri.
Keempat, al-Qurtubî mengutip sebuah hadis dari
Sunan Abû Dâwud, diriwayatkan dari sahabat Abû
Hurairah, bahwa Rasul pernah bersabda :
‚ Seorang yang diajak bermusyawarah hendaknya adalah orang yang amanah‛ .
Ia kemudian mengutip penjelasan seorang
Ulama, bahwa sifat ataupun syarat orang yang diajak
bermusyawarah dalam urusan hukum-hukum syari’at,
orang tersebut haruslah sebagai seorang yang ‘alim
dan taat dalam beragama, disyaratkan pula pandai
dalam menulis, syarat tersebut tidaklah berlaku untuk
seorang yang masuk kategori cerdas, ia melanjutkan
dengan mengutip pendapat dari Hasan :
‚ Seorang tidak sempurna agamanya jika tidak sempurna
akalnya‛ .
Seorang yang diminta untuk bermusyawarah,
kemudian terdapat tanda-tanda atau karakter seperti
yang telah disebutkan, apabila ia berijtihad dalam
sebuah perkara yang baik, mengerahkan segala
kemampuanya, lalu mendapat sebuah kesimpulan
Page 129
104
musyawarah yang salah, maka orang tersebut tidaklah
mendapat hukuman, ini seperti yang dikatakan oleh al-
Khitâbî42 dan lain-lain.
Kelima, al-Qurtubî mengutip beberapa bait syair arab
yang mengarah pada penjelasan bahwa musyawarah
adalah suatu perkara yang senantiasa akan
mendatangkan kebaikan, jika dilakukan bersama
orang-orang yang mempunyai beberapa kriteria.
Seperti sebauh bait syair arab yang ia kutip dari
Zubair bin ‘Abdi al Mutallib :
‚ Jikalau telah bengkok pintu perkara
kepadamu, maka bermusyawarahlah menegnai
perkara tersebut bersama orang yang cerdik pandai,
dan janganlah engkau berpaling dari keputusan yang
telah kau tetapkan bersamanya ‛43.
Melaksanakan musyawarah baginya adalah
sebuah keberkahan, seperti sebuah hadis yang ia kutip
dalam penjelasannya, yaitu :
‚ Tidaklah seorang akan menyesal dengan melaksanakan musyawarah, dan tidak pula seseorang
42
Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 598.
43 Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 598.
Page 130
105
akan melakukan hal yang sia-sia dalam sebuah pilihan ‛44.
Hadis di atas telah ditakhrîj oleh Dr. Mahmûd
Hamîd ‘Utsmân, dosen ushulul fiqhi di Fakultas
Syarî’ah dan Undang-undang Universitas Al-Azhar
cabang Tanta. Hadis tersebut merupakan hadis
maudû’î yang ada dalam kitab Al-Ausat dari at
Tabrânî dari Anas, namun dalam kitab Al-Jâmi’ As-
Sagîr jus lima halaman 92, oleh Alba>ni> hadis tersebut
berderajat da’îf45. Al-Qurtubî juga mengutip beberapa
hadis lain yang menguatkan pentingnya pelaksanaan
musyawarah, seperti hadis yang diriwayatkan Sahal
bin Sa’d as-Sa’îdî dari Rasulullah :
‚ Tidaklah seorang hamba akan celaka sepanjang ia melaksanakan musyawarah, dan tidaklah seorang akan beruntung sepanjang ia kerasa kepaa terhadap pendapatnya ‛46.
Selain hadis-hadis lain yang ia kutip untuk
menguatkan eksistensi pelaksanaan musyawarah, ia
mengutip penjelasan Bukhârî yang berada dalam kitab
Al-I’tisâm :
44
Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 598.
45 Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 599.
46Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 600.
Page 131
106
‚ Para pemimpin di zaman setelah wafatnya Nabi, melakukan musyawarah bersama para ahli ilmu mengenai sebuah urusan, untuk memudahkan mereka mengambil keputusan ‛47.
Banyak kemudian kutipan-kutipan yang nukil
untuk menguatkan penjelasanya mengenai hal ini.
Dalam analisa penulis, bagian kelima ini
merupakan penjelasan mengenai karakter-karakter yang
harus melekat pada diri para peserta musyawarah, al-
Qurtubî mencoba menggabungkan dua hal sekaligus
dalam bagian ini, yaitu mengenai kebaikan pelaksanaan
musyawarah dan karakter yang menjadi syarat bagai
para peserta musyawarah, al-Qurtubî mencoba mengutip
beberapa hadis ataupun atsar yang terkadang bahkan
tidak bersumber dari sumber yang jelas. Namun seiring
berjalannya waktu, penjelasan al-Qurtubî tetaplah
memberikan pengaruh yang besar bagi para penikmat
tafsir sampai zaman ini, secara khusus dalam
menjelaskan materi mengenai konsep musyawarah ini.
Keenam, penjelasan al-Qurtubî pada bagian ini
menurut penulis cukup menggambarkan bagaiamana
ia terlepas dari bayang-bayang para mufasir
sebelumnya yang kurang berani menggambarkan
momen pelaksanaan musyawarah, sekaligus
47
Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 600.
Page 132
107
menegaskan bahwa ia memang seorang ahli fiqih
terkemuka di zamannya, dengan corak fiqih yang
melekat dalam kitab tafsir itu. al-Qurtubî
menanamkan sebuah pesan yang akan terus dihadapi
orang-orang yang melakukan musyawarah, yaitu
perbedaan pendapat, ia bahkan menggunakan sebuah
susunan kalimat yang menjelaskan unsur utama dalam
pelaksanaan musyawarah, yaitu :
‚ Musyawarah terbangun dengan adanya perbedaan pendapat di antara pesertanya, lalu seorang di antara mereka—merupakan seorang yang menggagas musyawarah, jika memang menungkinkan, akan melihat perbedaan tersebut, mana yang paling mendekati al-Qurân dan al-Hadîs, jika kemudian telah ditentukan keputusan yang diambil, maka kemudian akan berlanjut dengan berpasrah dan menyerahkan hasil tersebut kepada Allah, inilah yang kemudian disebut dengan tawakkal ‛48.
5. Ibnu Katsîr ( W 774 H )
Ibnu Katsîr banyak mengutip Hadis-hadis yang
menjelaskan soal musyawarah Nabi dan para sahabatnya. Pada
awalnya ia menjelaskan bahwa Nabi melakukan musyawarah
dengan para sahabatnya pada waktu-waktu peperangan49
. Seperti
dalam penafsiran-penafsiran klasik, Ibnu Katsîr menyorot proses
musyawarah sebagai sebuah ‚treatment‛ dari Nabi kepada para
48
Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 598.
49Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-„Azim. Maktabah Dâr At-Tayyibah.
Kairo. 1999, hlm. 150.
Page 133
108
sahabatanya, agar mendapatkan kepercayaan diri dan
ketenangan, utamanya saat menghadapi peperangan. Ia
mencontohkan bahwa Nabi malakukan musyawarah pada saat
perang Badar, Khandaq, perjanjian Hudaibiyah dan perang Uhud
bersama dengan sahabat-sahabatnya50
.
Ibnu Katsîr juga mengutip kejadian al-ifq yang menimpa
isteri Nabi yaitu Sayyidah ‘Âisyah, dengan melakukan
musyawarah terkait masalah tersebut. Dalam tafsir tersebut juga
dijelaskan bahwa di kalangan Ulama, terbagi menjadi dua
pendapat dalam menghukumi musyawarah, sebagian
mengatakan wajib sedangkan yang lain mengatakan sunnah51
.
Namun ia tidak menyebutkna siapa-siapa Ulama yang terbagi ke
dalam dua kelompok di atas. Dilanjutkan penafsirannya terhadap
ayat ini, ia juga tidak luput untuk menjelaskan beberapa kriteria
peserta musyawarah. Juga menjelasakan bahwa seorang yang
melakukan musyawarah adalah seorang yang akan mendapatkan
jalan keluar dan kedaiamaian, seperti saat ia mengutip sebuah
hadis yaitu :
‚Orang-orang yang diajak untuk melakukan proses musyawarah hendaknya adalah terpercaya‛52.
Ibnu Katsîr menutup ayat ini dengan mengatakan bahwa
para pelaku musyawarah hendaknya menyerahkan semua
ketentuan dan kepastian hasilnya dengan bertawakkal kepada
50
Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-„Azim., hlm. 150. 51
Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-„Azim., hlm. 150. 52
Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-„Azim., hlm. 151.
Page 134
109
Allah SWT. Dalam menafsirkan Surat as-Syûrâ : 38 pun ia masih
tidak jauh pembahasannya mengenai konteks kewajiban
bermusyawarah ataupun hal-hal yang terkait dengan teknis
pelaksanaan musyawarah. Artinya, ia masih sama dengan para
penafsir-penafsir di masa klasik yang cenderung memahami
musyawarah sebagai sebuah ayat yang turun untuk mewajibkan
Nabi melakukan musyawarah, atau dalam beberapa kasus
memang dijelaskan bahwa Nabi tidak hanya melakukan
musyawarah saat terjadi peperangan, namun juga dalam
beberapa perjanjian dengan orang-orang musyrik dan bahkan
kasus-kasus yang menimpa keluarganya. Namun untuk mewakili
tema penelitian penulis, penafsirannya masih belum signifikan
untuk dijadikan rujukan.
6. Al-Baidâwî ( W. 791 H )
Al-Baidâwî menjelaskan makna perintah bermusyawarah
dalam surat ali-Imrân ayat 159 dengan sangat sederhana, masih
sama dengan pemaparan Ulama klasik, ia menjelaskan bahwa
ruang lingkup musyawarah dalam wilayah perang dan juga usaha
Nabi untuk meminta pendapat para sahabatnya dan sebagai
bentuk penghargaan kepada mereka sekaligus sebagai pelajaran
kepada umat bahwa musyawarah merupakan sunnah Nabi53
. Saat
menjelaskan musyawarah dalam surat as-Syûrâ ayat 38, ia
menjelaskan esesnsi syûrâ bagi para sahabat, bahwa pendapat
53
Al-Qâdî Al-Baidâwî, Anwâr At-Tanzîl wa Asrâr At-Takwîl, Maktabah Al-Usûlî, Damanhûr. 1418 H. Juz 1, hlm 466.
Page 135
110
yang digabungkan secara bersama-sama jauh lebih baik
ketimbang berpegang pada sebuah berpegang pada argumen saja,
hal itu dikarenakan pendapat kolektif lebih terverifikasi dan jauh
dari kesalahan-kesalahan fatal54
. Dari penjelasan al-Baidâwî di
atas, penulis beranggapan bahwa ia sama sekali tidak
menjelaskan syûrâ dalam konteks pemerintahan dan politik
secara luas, namun lebih kepada pemahaman syûrâ sebagai
sebuah solusi akan permasalahan yang menhinggapi kaum
muslimin dan keunggulan dari pelaksanaan musyawarah.
7. Al-Alûsî ( 1802-1854 M )
Secara periodik, Alûsî hidup di awal masa modern,
namun secara umum, karakter pemikirannya sangat condong
terhadap karakteristik Ulama klasik. Demikian halnya saat ia
menjelaskan ayat 159 dari surat ali-‘Imrân. Sebagaimana
penjelasan Ulama klasik lainnya, Alûsî menegaskan bahwa
musyawarah merupakan perintah yang saat adanya masa
peperangan. Namun Alûsî menjelaskan setelahnya bahwa
musyawarah merupakan kebiasaan yang dilakukan dalam hal-hal
yang semisal dengan peperangan, artinya ada potensi
musyawarah dilakukan di luar keadaan peperangan55
. Alûsî juga
menjelaskan mengenai batasan-batasan musyawarah, bahwa
musyawarah dilakukan pada hal-hal yang tidak ada ketetapan
wahyu di sebelumnya. Dalam penjelasan selanjutnya, ia
54
Al-Baidâwî, Anwâr At-Tanzîl wa Asrâr At-Takwîl, juz 5, hlm 63. 55
Mahmûd Al-Alusî, Rûh Al-Ma’ânî fi At-Tafsîr As-Sab’I Al-Matsânî, Dâr Al-Hadîts. Kairo, juz 4, hlm. 441.
Page 136
111
menegaskan bahwa musyawarah merupakan hal yang beruansa
mendidik dan sebagai contoh untuk umat, melihat kapasitas
Nabi, maka sebenarnya perintah bermusyawarah merupakan hal
yang ditujukan untuk menunjukan kedudukan tinggi para
sahabat Nabi, mereka para sahabat mempunyai derajat mujtahid
dan penegetahuan yang mendalam mengenai ajaran Islam, oleh
karena itu Nabi diperintahkan untuk berumsyawarah bersama
mereka. Hampir dalam setiap argumennya, ia menyelipkan
sumber dari hadits56
.
Penjelasannya mengenai musyawarah berlanjut dalam
penafsirannya terhadap surat as-Syûrâ ayat 38. Masih seperti
tradisi penafsiran klasik terhadap ayat ini, ia cenderung
menjelaskan syûrâ secara literal, segmen kebahasaan terasa
sangat dominan dalam penjelasannya, terlebih di awal bagian, ia
sedikit menyinggung konteks domain musyawarah, yaitu di
masa Nabi yang berkisar soal peperangan dan masa setelahnya
yang meluas ranahnya seperti memerangi orang murtad, orang
yang gagal mendapat waris dan lain sebagainya perihal hukum.
Di akhir penjelasannya, penulis mendapati bahwa ia sedikit
menyinggung soal musyawarah yang dikaitkan dengan pemimpin
yang ideal dengan mengutip sebuah hadis yang belakangan
diketahui da’îf57
.
8. Syekh Nawawî Al-Jâwî ( 1813-1897 M )
56
Mahmûd Al-Alusî, Rûh Al-Ma’ânî , juz 4, hlm. 446. Mahmûd Al-Alusî, Rûh Al-Ma’ânî, juz 25, hlm. 64.
Page 137
112
An-Nawawî sangat sederhana dalam menjelaskan
musyawarah dari surat ali-‘Imrân ayat 159. Di samping karakter
kitab tafsirnya yang memang cenderung sederhana, ia mengutip
bahwa proses musyawarah antara Nabi dan para sahabatnya
adalah bentuk perhatian dan kecintaannya kepada para sahabat,
sedangkan mengabaikan musyawarah merupakan bentuk
merendahkan terhadap para sahabat, ia juga menjelaskan tujuan
dari musyawarah di masa Nabi untuk mengangkat derajat para
sahabatnya dan menjadi sebuah sunnah yang bersumber langsung
dari Nabi. Penafsirannya di ayat ini menunjukan bahwa
pemikirannya cenderung dalam tipikal Ulama klasik, terlihat
bagaimana an-Nawawî sama sekali tidak menunjukan penafsiran
politik terhadap konsep syûrâ58
. Demikian juga dalam
menafsirkan surat as-Syurâ ayat 38, an-Nawawi juga hanya
menjelaskan sedikit mengenai musyawarah, dikatakan bahwa
kaum muslimin apabila memutuskan sebuah perkara maka
diperintahakan untuk melakukan musyawarah dan tidak tergesa-
gesa dalam keputusan tersebut, juga ada keterangan untuk tidak
berpegang hanya dalam satu pendapat saja tetapi merumuskan
semua pendapat yang ada59
. Secara umum, apa yang
disampaikan an-Nawawî tidak mewakili gagasan musyawarah
yang berkembang di masa modern, hal itu disebabkan karakter
penafsirannya sangat cenderung terhadap penafsiran klasik.
58
Syekh An-Nawawî Al-Jâwî, Marah Labîd. Maktabah Karya Tâhâ
Putera. Semarang. Juz 1, hlm, 127. 59
Syekh An-Nawawî Al-Jâwî, juz 2, hlm. 271.
Page 138
113
9. Hasan ‘Ali bin Muhammad Al-Mâwardî ( W 448H )
Al-Mâwardî tidak menyebut konteks pembicaraan
mengenai syûrâ secara khusus. Ia hanya menyampaikan beberapa
pelaksanaan dalam proses pemerintahan, mulai dari masa
pengangkatan pemimpin hingga dinamika-dinamika hukum yang
melekat pada pemimpin negara di waktu itu60.
Setelah membaca sebagian dari kitab tersebut, penulis
menganalisa bahwa kitab tersebut mempunyai hubungan dengan
tema yang sedang penulis kaji dalam bagian-bagian awal saja. Di
bab awal dalam kitabnya, al-Mâwardî telah menyinggung proses
pemilihan seorang pemimpin dalam sebuah negara. Ia mengutip
sebuah syair arab jahili dan beberapa ayat al-Qurân dan Hadîs
yang menegaskan bahwa posisi seorang pemimpin merupakan
sebuah keharusan, dengan level hukum fardhul kifayah.
Selanjutnya ia menjelaskan mekanisme pemilihan dalam
proses pengangkatan pemimpin, ia juga menjelaskan keberadaan
ahlu al-halli wa al-’aqdi sebagai sebuah lembaga yang
menginisiasi proses pemilihan pemimpin sekaligus sebagai
penentu, yang menarik di sini adalah, tercetusnya konsep ahlu al-
halli wa al-’aqdi adalah sebuah pilihan ketika sebuah negara
mengalami kekosongan kepemimpinan, di situ kemudian muncul
pilhan dalam diri masyarakat bahwa proses penentuan seorang
60
Aqdal Qudâh Abî Al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habîb Al-
Basrî Al-Baghdadî Al-Mâwardî, Al-Ahkâm As-Sultâniyyah, ( Indonesia: Al
Haramain Jaya . 2001).
Page 139
114
pemimpin ditentukan oleh dua golongan, yaitu golongan ahlu al-
halli wa al-’aqdi dan golongan yang memang dalam diri mereka
mempunyai kriteria seorang pemimpin sebuah negara61
. Di
golongan kedua inilah kemudian muncul ketetapan atas syarat-
syarat tersebut yang berjumlah tujuh, dimana salah satu
nasabnya yang berasal dari keturunan Quraisy menjadi
perdebatan panjang di kalangan umat Islam62
. Begitu seterusnya
al-Mâwardî menjelaskan konstelasi politik di zaman itu melalui
karyanya yang menjadi potret keadaan sosial budaya masyarakat
Islam masa lampau. Upaya penulis dalam melihat implementasi
konsep syûrâ di zaman itu agaknya cukup terpenuhi dengan
membaca karya al-Mâwardî ini, sebuah kesimpulan dari penulis
adalah, konsep syûrâ yang dijalankan oleh umat Islam di masa
itu memang sudah masuk dalam wilayah pemerintahan dan ikut
dilibatkan dalam sistem politik pemerintahan Islam. Al-Mâwardî
mengutip lembaga ahlu al-halli wa al-’aqdi dalam proses
penentuan seorang pemimpin negara yang menjadi bukti bahwa
konsep syûrâ sudah dijalankan dalam politik kenegaraan Islam
di waktu itu. Namun menurut penulis, karya tersebut belum
cukup mewakili konstelasi politik saat ini yang sudah jauh
berkembang dalam hal teknis pelaksanaan syûrâ, seperti
keberadaan DPR ( Dewan Perwakilan Rakyat ) yang juga pernah
berfungsi sebagai lembaga yang menentukan dalam proses
pemilihan pemimpin negara ataupun daerah, terlebih dengan
61
Al-Mâwardî, al-Ahkâm as-Sultâniyyah, hlm. 58. 62
Al-Mâwardî, Al-Ahkâm As-Sultâniyyah, hlm. 59.
Page 140
115
munculnya sistem demokrasi yang diadopsi oleh beberapa negara
muslim saat ini.
Kebanyakan Ulama di masa klasik tidak banyak
memberikan penafsiran politis yang dominan mengenai ayat ini,
jangankan membahas lebih jauh mengenai implikasi politik yang
terjadi dengan pelaksanaan syûrâ dalam sebuah sistem
pemerintahan, namun kebanyakan hanya berkutat pada implikasi
teologis atas pelaksanann sistem syûrâ, yaitu mengenai tujuan
Allah di balik perintah kepada Nabi dalam melaksanakan
musyawarah, ataupun mereka berbeda pendapat dalam wilayah
objek dari perintah ayat syûrâ tersebut, secara garis besar,
mereka hanya berdebat dalam masalah konteks ayat syûrâ
dengan latar belakang teologi yang sangat kuat, sehingga
menurut hemat penulis, apa yang sudah dilakukan oleh mereka
belum memberikan dampak yang signifikan dalam perspektif dan
konteks politik saat ini. Hal tersebut tentu didasari oleh kondisi
perpolitikan dan sistem bernegara yang berkembang di masa itu,
sehingga sama sekali penulis tidak berniat mengurangi
keagungan pemikiran para penafsir klasik tersebut.
B. Pandangan Ulama Kontemporer Mengenai Konsep Syûrâ
Masuk dalam masa kontemporer, terjadi perkembangan
yang sangat pesat mengenai pemahaman dan implementasi
konsep syûrâ. Hal itu terpengaruh dengan adanya konsep
demokrasi yang mulai digunakan oleh sebagian besar negara
Page 141
116
Islam63
. Di masa ini, al-Maudûdî dan Sayyid Qutb dianggap
mewakili pandangan para Ulama modern, sebagai Ulama yang
representatif, kaitannya dengan pembahasan konsep syûrâ64
.
1. Sayyid Qutb Ibrâhîm
Dalam tafsirnya atas ayat ini, Sayyid Qutb fokus pada
nasihat moral dan signifikansi perang Uhud bagi kaum beriman
dan pelajaran yang bisa diambil dalam perang tersebut dalam
rangka pembangunan umat65
. Di awal tafsirnya mengenai ayat
ini, ia menjelaskan mengenai sebuah konsep dasar dalam
kehidupan bermasayarakat umat Islam adalah musyawarah66
.
Lalu ia menjelaskan mengenai kejadian perang Uhud, asal mula
umat Islam mengalami kemunduran dalam perang tersebut
dikarenakan tidak satu komando, bagian awal dari penjelasan
Sayyid Qutb hanya menyinggung sedikit mengenai relevansi
syûrâ terhadap keberlangsungan dinamika sosial dan keagamaan
masyarakat muslim.
Apa yang disampaikan Sayyid Qutb di awal ayat ini
menunjukan bahwa ia mulai melihat kemungkin-kemungkinan
baru dalam sebuah sistem pemerintahan yang mampu diadaptasi
63
Abdul ‘Al-Ahmad ‘Utwah, Al-Madkhal ilâ Siyâsah As-Syar’iyah,
Al-Azhar Magazine, Kairo. 2013, hlm. 21. 64
Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 262.
65Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 255.
66Sayyid Qutb Ibrâhîm, Fi> Zilâl Al-Qurân, ( Kairo : Dâr As-Syurûq ).
1989. Juz 1 hlm. 500.
Page 142
117
dalam sistem musyawarah Islam. Ia tidak menyinggung secara
eksplisit mengenai sistem demokrasi, dengan sebuah redaksi
yang ia tulis bahwa syûrâ merupakan sebuah sistem yang diserap
secara pemahaman dan dipraktekkan baik dalam kategori
kelompok besar maupun dalam diri muslim dalam kelompok
kecil. Ia menyinggung konsep-konsep baru yang dirasa relevan
untuk menjadikan makna syûrâ terus berkembang dan
dipraktekkan oleh umat Islam demi kemaslahatan bersama. Ia
menegaskan bahwa setiap konsep-konsep yang selaras dan
menguatkan eksistensi musyawarah adalah bagian dari Islam67
.
Menurut penulis, hal yang paling berbeda dari tafsir
Sayyid Qutb di banding dengan tafsir-tafsir masa klasik adalah
gagasannya yang berani mengenai konteks pelaksanaan konsep
syûrâ. Hal itu terpengaruh dengan kondisi politik di masanya, di
mana banyak dari pemerintahan Islam yang mengalami
perubahan dalam tata kelola pemerintahannya, sebut saja
misalkan dinasti Turki ‘Utsmâni yang beralih dari sistem
pemerintahan monarki ke dalam bentuk sistem pemerintahan
republik, atau negara-negara lain yang mulai beralih ke dalam
sistem pemerintahan modern dan transparan. Hal-hal semacam
itu dalam pandangan Sayyid Qutb masih termasuk ke dalam
konsep musyawarah, di mana keberadaan konsep-konsep baru
dalam Islam bertujuan untuk menguatkan eksistensi konsep
musyawarah, maka menurutnya hal tersebut merupakan prinsip-
prinsip kenegaraan Islam, kajiannya menyimpulkan bahwa syûrâ
67
Sayyid Qutb, Juz 1 hal 501.
Page 143
118
sangat dibutuhkan oleh umat untuk mencapai proses
pendewasaan dan tanggung jawab politik.
2. Ibnu ‘Âsyûr
Salah satu karya monumentalnya ialah tafsir At-Tahrîr
wa At-Tanwîr. Sebagai seorang pakar ilmu ushûl al-fiqh, ia juga
menjadi salah satu barometer dalam dunia tafsir kontemporer.
Karyanya kitab At-Tahrîr wa At-Tanwîr menjadi salah satu
kitab tafsir modern yang banyak menjadi rujukan68
.
Penafsirannya mengenai syûrâ terkonsentrasi pada Surat
Al-Imrân ayat 159. Ia mengutip bahwa syûrâ sejatinya berasal
dari bahasa Persia yaitu nasykhûrâ bisa berarti sisa makanan
binatang69
. Ibnu ‚Âsyûr menjelaskan bahwa apa yang disebut
dengan musyawarah sebenarnya adalah meminta pendapat
kepada para peserta musyawarah, hal itu sesuai dengan lanjutan
ayat setelah perintah bermusyawarah yaitu : ‚faiza ‘azamta
fatawakkal ‘allâh‛70. Salah satu yang membedakannya dengan
para penafsir klasik adalah ia menyatakan konsep musyawarah
merupakan perintah yang diturunkan kepada Rasul agar
melakukan musyawarah dengan para sahabatnya baik dalam
perkara peperangan ataupun yang lainnya71
.
68
Syaiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur'an, Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, 2008, hlm. 128. 69
At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr. Tunisia: Ad-Dâr At-Tûnisiyyah. 1984, hlm. 147.
70At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 147.
71At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 147.
Page 144
119
Ibnu ‘Âsyûr juga membahas mengenai konteks
pelaksanaan syûrâ, baginya, syûrâ merupakan pembahasan di
ranah ijtihâdî, hal tersebut dikarenakan perkara-perkara yang
dibahas dalam musyawarah merupakan urusan yang tidak
ditentukan secara pasti di dalam al-Qurân, kecuali seorang
mujtahid, seorang mujtahid tidak diwajibkan untuk melakukan
musyawara72
. Dia memberikan contoh bahwa musyawarah
adalah perkara-perkara yang dilakukan guna membahas
mengenai kemaslahatan dan urusan-urusan umat, bahkan ia
menjelaskan bahwa melakukan musyawarah terhadap masalah-
masalah seperti itu sangat dipuji Allah, seperti yang dilakukan
para sahabat Muhâjirîn dan Ansâr73, kemudian mengutip
potongan ayat 38 dalam Surat as-Syûrâ.
Apa yang menarik dari pembahasan Ibnu ‘Âsyûr adalah
mengenai konteks pembahasan syûrâ yang membentang dari
mulai urusan rumah tangga, suku, negara dan umat dengan status
hukum wajib dan sunnah. Ia mengutip pendapat dari Mazhab
M^âlikî, Syâfi’î dan Hanafî, dimana Mâlikî mengatakan bahwa
proses musyawarah merupakan hal yang wajib dan terbagi
menjadi empat bagian:
Pertama, diwajibkan bagi para Ulama untuk
melakukan musyawarah terkait perkara agama.
Kedua, diwajibkan bagi pemimpin tentara untuk
bermusyawarah terkait peperangan.
72
At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 147. 73
At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 147.
Page 145
120
Ketiga, diwajibkan pemimpin umat untuk
bermusyawarah terkait kemaslahatan.
Keempat, diwajibkan bagi para pemangku kebijakan
hukum, politik dan kesejahteraan dalam sebuah
negara untuk bermusyawarah74
.
Adapun dalam pandangan Mazhab Syâfi’î dan Hanafî
menjelaskan bahwa musyawarah merupakan perkara sunnah.
Dalam Mazhab Syâfi’î sendiri ia mengutip pendapat Imâm an-
Nawawî dalam Syarah Sahîh Muslim untuk menyanggah bahwa
musyawarah bukanlah perkara sunnah melainkan wajib,
begitupun dalam Mazhab Hanafî, ia juga menyanggah pendapat
Hanafiyyah dengan mengutip pendapat al-Jasâs bahwa
musyawarah merupakan hal yang wajib 75
.
Bagi penulis, penafsiran Ibnu ‘Âsyûr mengenai
musyawarah sudah menjelaskan bahwa musyawarah merupakan
hal yang juga melekat dalam konteks pemerintahan sebuah
negara, hubungan dengan demokrasi adalah musyawarah
merupakan salah satu unsur yang harus dijalankan dalam sebuah
sistem pemerintahan, untuk menghindari kesewang-wenangan
pemimpin dalam menentukan kebijakan, tentu semua itu disertai
dengan konsekuensi hukum agama yang menyertainya76
.
3. Rasyîd Ridâ
Dalam mengawali penafsirannya mengenai konsep
musyawarah, Rasyîd Ridâ langsung tertuju pada pembahasan
74
At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 148. 75
At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 149. 76
At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 149.
Page 146
121
ranah musyawarah, ia menjelaskan bahwa musyawarah
merupakan sebuah strategi yang digunakan oleh umat untuk
mencari solusi akan permasalahan yang menyangkut semua
urusan dunia dan tidak terbatas hanya dalam urusan peperangan,
ia juga mengutip pendapat ‘Abduh sebagai gurunya yaitu,
musyawarah merupakan perintah yang berat untuk dilakukan
oleh umat, dikarenakan menyatukan persepsi akan suatu masalah
karena perbedaan pendapat yang sangat mungkin timbul sebab
beragamnya peserta musyawarah, oleh karena hal tersebut Allah
memerintahkan Nabi untuk melakukan musyawarah bersama
dengan para sahabatnya77
.
Ia juga mengaitkan akan perintah musyawarah kepada
Surat As-Syûrâ ayat 38, bahwa musyawarah merupakan perintah
yang diturunkan untuk mencapai kesepakatan bersama dalam
urusan dunia, tidak berlaku untuk hal-hal yang memang sudah
ada ketentuannya dalam urusan selain itu, seperti aqidah dan hal
lain yang sudah ada ketentuannya dari Allah, selanjutnya ia
menjelaskan beberapa contoh musyawarah yang dilakukan di
masa Nabi, seperti saat berakhirnya perintah hijrah yaitu zaman
fath al-Makkah yang melibatkan para pemimpin kelompok untuk
bermusyawarah dalam sebuah masjid dan juga saat perang
Uhud78
. Demikianlah menurutnya Nabi melakukan musyawarah
dalam hal yang tidak ada ketentuan wahyu di dalamnya.
77
Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr. Kairo: Al-Hai´ah Al-Misriyah Al-
„Âmmah li Al-Kitâb. 1990. Jus 4, hlm. 164. 78
Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 165.
Page 147
122
Rasyîd Ridâ menegaskan bahwa sesuatu yang telah ada
ketentuannya dari teks Al-Qurân, maka sudah tidak diperlukan
lagi untuk dimusyawarahkan, hal tersebut berlaku baik di masa
Nabi atupun di masa-masa sesudahnya79
. Dalam perspektif fikih,
pendapat semacam itu merupakan hal yang pasti dilakukan setiap
pengkaji fikih, dari zaman dahulu hingga masa saat ini. Dalam
prosesnya, penggalian hukum Islam juga melahirkan disiplin
ilmu baru yaitu ilmu ushul fikih—sebuah ilmu yang difokuskan
untuk mengkaji bagaiamana seorang mujtahid memproses suatu
permasalahan agama hingga menjadi sebuah produk hukum
agama yang dinamai juga dengan produk fikih80
.
Salah satu penjelasan Rasyîd Ridâ mengenai batasan atau
kaidah dalam pelaksanaan musyawarah, ia menegaskan bahwa
Nabi sama sekali tidak memberikan ketentuan mengenai
bagaimana musyawarah itu dilaksanakan, melainkan Nabi
dengan keistimewaannya, telah memprediksi bahwa perkara-
perkara umat akan semakin kompleks dan diperlukan
penanganan yang berbeda dari zamannya, oleh karena itu Nabi
memberikan keleluasaan bagi umatnya untuk menentukan pola
musyawarah sesuai dengan zamannya, perlu diketahui di sini
bahwa, sunnah sebagai sumber hukum terbagi menjadi dua
bagian penting, yaitu sunnah yang temporer—artinya ia terikat
dengan suatau keadaan dari kaum atau lingkungan tertentu, juga
79
Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 165. 80
Ramadhan Muhammad Haitami, Al-Mursyid Al-Hâdi fi Usul Al-
Fiqh Al-Islâmi, Maktabah Al-Azhar, Kairo, 2010, hlm. 5.
Page 148
123
sunnah yang umum, yang berarti ia berstatus mengikat secara
universal dalam dimensi hukumnya81
.
ia menjelaskan hal tersebut dengan mengutip beberapa
kejadian di masa Nabi, salah satunya adalah sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim :
‚Engkau lebih mengetahui urusan duniamu‛82.
Penulis mendapati hal yang menarik dari penafsiran
Rasyîd Ridâ mengenai musyawarah, dengan cukup detail, ia
menceritakan proses musyawarah yang dilakukan sahabat
setelah masa Nabi untuk menentukan penggantinya, bagaimana
Abû Bakar, ‘Umar, ‘Utsmân dan ‘Alî kesemuanya dipilih
sejatinya melalui proses musyawarah, mereka berempat telah
disepakati untuk memimpin umat sepeninggal Nabi dalam
sebuah proses musyawarah, adapun bai’at dilakukan setelah
lebih dulu disepakati dalam proses musyawarah83
. Namun
berbeda saat masa Khulafâ ar-Râsyidîn telah lewat, di masa-
masa daulah Bani Umayah dan Bani ‘Abbâsyiah, kecuali dalam
masa pemerintahan beberapa khilâfah—seperti Abdul Mâlik bin
Marwân dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz—yang memimpin,
seringkali terjadi pemerintahan yang sewenang-wenang dan
otoriter, hal tersebut tentu jauh dari spirit pemerintahan yang
dibawa oleh Nabi dan generasi Khulafâ ar-Râsyidîn, sehingga
Rasyîd Ridâ menegaskan bahwa nilai syûrâ akan berlaku
81
Farid Abdul Khaliq, Fikih politik Islam, Kreasindo Media Cita,
Jakarta, 2005, hlm. 1. 82
Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 165. 83
Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 167.
Page 149
124
selamanya bersamaan dengan nilai-nilai al-Qurân yang lain,
sedangkan sistem pemerintahan merupakan hal subjekif dan
temporetatif, dikembalikan kepada zaman dan kondisi umat
yang akan menjalaninya84
, dalam hal ini, perjuangan umat
sejatinya adalah mempertahankan nilai-nilai syûrâ dan
memerangi pemerintahan yang otoriter, ia juga sempat
menyinggung Pemilihan Umum yang terjadi belakangan di
kalangan umat yang mendiami negara Republik, baginya saat
terjadi Pemilihan Umum, yaitu proses pemilihan pemimpin yang
meninggalkan elemen ahlu al-halli wa al-‘aqdi, hal tersebut tidak
membatalkan keabsahan pemimpin yang terpilih, karena
baginya, sejatinya esensi musyawarah adalah kesepakatan umat
dalam suatu keputusan untuk kebaikan dan kepentingan
bersama85
.
4. M. Quraish Shihâb
Quraish Shihâb membuka penafsiran pada Surat Al-Imrân
ayat 159 dengan fokus yang mengarah kepada perang Uhud, hal
tersebut ia arahkan untuk masuk dalam kajian yang menurutnya
menjadi pokok penekanan pada ayat ini yaitu musyawarah86
.
Quraish Shihâb menjelaskan bahwa musyawarah merupakan
perintah yang ditujukan kepada Nabi, hal tersebut didasari
dengan suatu petaka yang terjadi di dalam perang Uhud yang
didahului oleh musyawarah, karena hal tersebut lantas membuat
beberapa menganggap bahwa musyawarah merupakan hal yang
84
Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 168. 85
Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 166. 86
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 312., v.2.
Page 150
125
tidak perlu untuk diadakan, lalau dalam penjelasannya ayat ini
adalah sebuah penegasan yang dilakukan untuk menegaskan
bahwa musyawarah tetaplah penting untuk dilaksanakan87
.
Dalam penjelasan-penjelasan selanjutnya terkait tema
musyawarah, Quraish Shihâb seperti halnya para mufasir secara
umum, yaitu menjelaskan musyawarah dari segi bahasa,
konsekuensi hukum yang melekat dari musyawarah dan syarat
atau sifat yang harus ada pada diri peserta atau pelaku
musyawarah88
. Satu hal yang menjadi catatan penulis adalah
penafsirannya mengenai musyawarah yang menjelaskan bahwa
sebuah musyawarah haruslah dikaitkan dengan hubungan yang
tulus dengan Tuhan, ia menjelaskan bahwa dalam sebuah
musyawarah sangat dimungkinkan munculnya ‚sesuatu‛ yang
datangnya dari Tuhan untuk memberikan sebuah solusi,
‚sesuatu‛ tersebut datang secara tiba-tiba begitupun saat ia
pergi. Artinya, setiap pelaku musyawarah haruslah berhati suci
dan bersih dari dosa-dosa yang membutakan mata hatinya,
karena ‚sesuatu‛ di atas hanya mungkin mengilhami seseorang
yang bersih dari suatu dosa-dosa89
. Ia mengaitkan penafsirannya
tersebut dengan mengutip perkataan seorang filosof dari
Amerika yaitu William James, yang mereduksi otoritas akal
dalam memahami musyawarah, yaitu :
‚Akal memang mengagumkan, ia dapat membatalkan satu argument dengan argument lainnya. Akibatnya ia dapat
87
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 312., v.2.
88M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 313., v.2.
89M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 314., v.2.
Page 151
126
mengantarkan kita kepada keraguan yang mengguncangkan etika dan nilai-niai hidup kita‛.90
Dari pendapat James di atas, Quraish Shihâb kemudian
menjelaskan bahwa musyawarah merupakan sebuah hal yang
akan sempurna dan tuntas apabila dihubungkan dengan
perspektif ketuhanan, hal itu ia kuatkan dengan mengaitkan ayat
musyawarah ini dengan beberapa ayat al-Qurân yang
menjelaskan akan perbuatan dosa dan sia-sia91
. Dalam Surat As-
Syûrâ ayat 38, ia kemudian menjelaskan bahwa musyawarah
merupakan hal yang turun ketika periode Mekah, masa dimana
belum terbentuknya negara Madinah, hal itu kemudian dipahami
bahwa musyawarah merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan tanpa ketentuan yang mengikat secara pasti dari al-
Qurân ataupun Hadis92
.
5. ‘Alî As-Sabûnî ( 1930 M )
Tipikal tafsir as-Sabûnî cenderung kepada metodologi
tafsir maudû’î, ia mencoba menjelaskan ayat dengan munâsabah
ayat sebelumnya, terkait penafsirannya terhada surat Âli-‘Imrân
ayat 159, ia menjelaskan bahwaayat ini termasuk ayat yang
menjelaskan mengenai perang Uhud, bagaimana Nabi dnegan
kelembutan hatinya tidak membalas sahabatnya yang
menagabaiakan perintahnya dengan kekerasan melainkan justru
90
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 313., v.2. 91
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 314., v.2. 92
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 179., v.12.
Page 152
127
melakukan musyawarah dengan para sahabatanya93
. ia hanya
menyinggung sedikit mengenai syûrâ, dengan menafsirkan
bahwa perintah musyawarah bersama para sahabatnya
dimaksudkan untuk membawa Nabi ke dalam jalan yang benar,
ia juga mengutip pendapat Hasan dari tafsir at-Tabarî yang
menyatakan bahwa seseorang akan selalu mendapat bimbingan
yangterbaik dari Allah selagi ia melakukan musyawarah, di akhir
penafsirannya, ia juga menyatakan bahwa nabi melakukan
banyak musyawarah dengan para sahabatnya94
.
Membuka penafsirannya mengenai surat as-Syûrâ ayat
38, ia menjelaskan kedudukan syûrâ, bahwa syûrâ merupakan
manhaj kaum muslimin dalam menrumuskan sebuah perkara
yang ada dalam kehidupan mereka, dimana syûrâ merupakan hal
yang sangat penting bagi kehidupan bersama kaum muslimin95
.
Dalam penegamatan penulis, penafsirannya terhadap konsep
musyawarah justru cenderung terhadap karakter pemikiran
klasik, dimana dalam hal ini, penjelasannya tidak mewakili syûrâ
sebagai sebuah konsep politik. Namun begitu, hal pailing
menarik dalam kajian tafsirnya adalah munâsabah ayat yang
menjadi ciri khas kitab tafsirnya.
6. Syekh Mutawalli as-Sya’rawî
93
‘Alî As-Sabûnî, Safwah At-Tafâsîr, Maktabah At-
Taufiqiyyah.Mesir. Juz 1, hlm. 219. 94
Alî As-Sabûnî, Safwah At-Tafâsîr ,hlm. 219. 95
Alî As-Sabûnî, Safwah At-Tafâsîr , hlm., juz 3, hlm 122.
Page 153
128
As-Sya’rawî menjelaskan syûrâ dalam surat Ali-‘Imrân ayat
159 dengan nuansa tasawufnya dan nilai sastra bahasanya yang
khas, seperti halnya para mufassir lain dalam menjelaskan syûrâ,
ia menjelaskan bahwa adanya musyawarah di masa itu tidak
berarti Nabi tidak mampu megatasi permasalahan yang ada saat
itu, melainkan sebagai bentuk penghargaan terhadap para
sahabatnya, namun as-Sya’rawi menambahkan bahwa perang
Uhud merupakan tempat untuk menempa umat Islam, bagaiman
umat dididik, ditempa dan dilatih dengan cobaan kala itu, namun
dari situlah kemudian Allah membrikan kaum muslimin solusi
berupa perintah musyawarah yang pada masa selanjutnya
menjadi hal yang dilakukan oleh umat Islam setelah masa Nabi.
Seperti yang dikutip oleh as-Sya’rawî mengenai tindakan Abu
Bakar dalam memerangi orang yang murtad, ia tidak luput dari
melakukan musyawarah bersama para sahabatnya, kesimopulan
dari tafsir as-Sya’rawî di sini adalah, ia menegaskan bahwa
musyawarah merupakan sebuah hasil dari tempaan kaum
muslimin bersama Nabi di dalam perang Uhud96
.
Pada bagian ini, penulis menangkap sebuah benang merah
antara para mufasir di masa klasik dan masa kontemporer.
Pertama, mereka sepakat dalam memaknai bahwa
syûrâ merupakan konsep yang berasal dari Tuhan
untuk Nabi Muhammad khususnya dan umat Islam
secara Umum agar bermusyawarah.
96
Muhammad Mutawalli As-Sya’rawî, Tafsîr As-Sya’rawî: Khawâtîr
Haul Al-Qurân, Akhbâr Al-Yaum. Kairo. Juz 3,hlm 1249.
Page 154
129
Kedua, latar belakang dari perintah pelaksanaan
musyawarah bukanlah disebabkan karena Nabi
Muhammad membutuhkan informasi lain dalam
melihat isu-isu yang berkembang di sekitarnya saat
itu97
.
Ketiga, tidak ada kepastian terkait teknis pelaksanaan
musyawarah.
Keempat, musyawarah dilakukan untuk mencapai
kesejahteraan umat dan terhindar dari hal-hal yang
menyebabkan keburukan.
Kelima, dalam melaksanakan musyawarah para
peserta diharuskan untuk memiliki sifat-sifat yang
relevan dengan persoalan yang dimusyawarahkan.
Keenam, menyerahkan hasil dalam musyawarah
tersebut kepada Allah, dengan kata lain, para peserta
musyawarah seyogyanya mempunyai hubungan hati
yang baik dengan Tuhan.
Penulis mengamati, di masa klasik hanya al-Qurtubî yang
mencoba membawa konteks pelaksanaan syûrâ ke dalam ranah
penguasa dan pemerintahan, al-Qurtubî berada satu langkah di
depan para mufasir lain di masa itu khusus mengenai
pembahasan konsep syûrâ. Di masa modern, pembahasan
mengenai konspen syûrâ telah jauh meninggalkan para Ulama
klasik terkait konteks penerapan, hal ini tentunya didorong oleh
kondisi politik yang berkembang di masa kontemprorer. Para
97
Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm. 255.
Page 155
130
Ulama di masa modern, banyak bergelut dengan situasi politik,
bahkan menjadi pelaku utama dalam konstelasi politik di
zamannya. Sebut saja misalkan Sayyid Qutb dan Abu al-A’lâ al-
Maudûdî, keduanya di samping mempunyai karya tafsir yang
utuh, juga menjadi pelaku utama di ranah politik, sehingga hal
itu mendasari perubahan-perubahan penafsiran dari penafsiran
ulama klasik yang sudah ada sebelumnya.
C. Sejarah dan Nilai Demokrasi
Seperti yang telah penulis jelaskan di awal bab ini, bahwa
penulis berusaha untuk menjelaskan asal usul demokrasi dengan
tujuan memberi keterangan yang seimbang antara konsep
demokrasi dan syûrâ.
Dari sisi bahasa, demokrasi berasal dari bahasa Yunani
dengan dua akar dua suku kata, yaitu ‚demos‛ yang berarti
rakyat dan ‚cretein‛ atau ‚cratos‛ yang berarti kekuasaan atau
kedaulatan. Jika dilihat dari asal kata tersebut, maka demos-
cretein atau demos-cratos adalah sebuah negara, dimana
kekuatan dan kedaulatan negara tersebut berada di tangan
rakyat, dilakukan oleh rakyat dan berasal dari komponen negara
yang bernama rakyat98
.
98
Dwi Sulisworo, Tri Wahyuningsih, Dikdik Baehaqi Arief, Hibah
Materi Pembelajaran Non Konvensional ‚Demokrasi‛, Yogyakarta:
Universitas Ahmad Dahlan. 2012, hlm. 2.
Page 156
131
Secara istilah ( terminologi )99
, demokrasi mempunyai
beberapa pengertian yang bersumber dari para ahli, yaitu :
a. Menurut Joseph A. Schemer
Demokrasi baginya dimaknai sebagai sebuah keputusan
politik yang bersifat institusional, dimana masing-masing
individu mempunyai peranan penting terkait gagasan-
gagasan yang melatar belakangi keputusan tersebut.
b. Sidney Hook
Demokrasi dimaknai olehnya sebagai sebuah ideology
yang dianut oleh sebuah negara, dimana keputusan-
keputusan penting di dalamnya, baik langsung ataupun
tidak langsung, berada sepenuhnya di tangan rakyat.
c. Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl
Demokrasi adalah sebuah sistem yang dianut oleh sebuah
negara, dimana pemangku kebijakan atau pemerintah
dimintai pertanggung jawaban oleh warganegara dalam
hal ini rakyat, terkait kebijakan-kebijakan yang mereka
lakukan di wilayah public, adapun proses pelaporan
tanggung jawab tersebut di lakukan melalui perwakilan-
perwakilan dari warganegara yang telah dipilih.
d. Henry B. Mayo
Demokrasi yang dimaknai sebagai sebuah sistem politik,
maka berarti pengawasan-pengawasan yang dilakukan
99
Dwi Sulisworo. Dkk, Hibah Materi Pembelajaran Non
Konvensional ‚Demokrasi‛ , hlm. 3.
Page 157
132
oleh rakyat kepada pemerintah, melalui sebuah lembaga
pengawas yang berisi wakil-wakil dari rakyat dimana
mereka dipilih melalui sebuah pemilihan berkala yang
diawasi langsung oleh rakyat secara efektif.
Berbeda dengan pengertian demokrasi yang ditulis di
atas, Arief Budiman memiliki pandangan lain terkat hal tersebut,
ia membedakan demokrasi menjadi tiga, yaitu : Pertama,
demokrasi terbatas; kedua, demokrasi pinjaman; ketiga,
demokrasi asli100
.
Pertama, yaitu demokrasi terbatas, demokrasi yang
mungkin terjadi apabila ada pluralisma di tingkat elit,
hal ini berfungsi untuk menguatkan posisi satu dan
lainnya, namun melemahkan pihak lain di kalangna
mereka.101
.
Kedua, demokrasi pinjaman, terjadi apabila ada
kebebasan yang berada di pihak rakyat, mereka bebas
untuk berpendapat, mengkritik, berorganisasi dan
sebagainya.
Ketiga, adalah demokrasi asli, demokrasi semacam ini
hanya akan terjadi dalam kondisi dimana masyarakat
sipil sudah mempunyai kekuatan mandiri dalam hal
mengawasi pemerintah dan bahkan menjatuhkan
100
Arief Budiman, Jalan Demokratis Ke Sosialis. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. 1987, hlm. 20.
101Arief Budiman, Jalan Demokratis Ke Sosialis, hlm. 24.
Page 158
133
pemerintahan apabila sudah tidak memihak
kepentingan-kepentingan masyarakat kecil.
Penulis berpendapat bahwa demokrasi adalah menifestasi
dari semangat bermegara yang diusung oleh Nabi Muhammad
SAW. Demokrasi merupakan sebuah nilai, merujuk pada
pengertian bahwa nilai merupakan hal yang akan berujung pada
sifat baik ataupun sifat buruk, maka bagi penulis, demokrasi
adalah sebuah konsep yang bertujuan untuk mengarahkan civil
society dalam melakukan nilai-nilai yang membantu menuju
kepada kebaikan bersama.
Dari beberapa pengertian istilah di atas, dapat dikatakan
bahwa demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang berada
dalam sebuh negara, yang bertujuan untuk mengawasi lembaga
pembuat keputusan yang disebut penguasa, untuk menjalankan
pemerintahan dalam sebuah negara dengan sebaik-baiknya.
Pada prakteknya pelaksanaan demokrasi pada sebuah
negara mengenal istilah trias politica. Trias politica terdiri dari
eksekutif, yudikatif dan legislatif102
. Ketiganya berperan sangat
penting dalam menajalankan sebuah negara. Eksekutif berisi
pemimpin sebuah negara yang menjalankan tugasnya dibantu
oleh para menteri yang dipilih langsung oleh presiden. Yudikatif
adalah sebuah lembaga yang menjaga dan mengawal proses
hukum yang telah disepakati semua elemen bangsa termasuk
102
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, BumiAksara. Jakarta. 2010, hlm.
85
Page 159
134
eksekutif dan legislatif. Sedangkan lembaga legislatif dari
sebuah negara berfungsi untuk mengawasi dan menajalankan
beberapa fungsi independen yang ada pada lembaga tersebut
yaitu, legalisator undang-undang, controller pemerintah, dan
pembuat kebijakan terkait budget keuangan negara.
Dari ketiga fungsi di atas, maka suara rakyat akan
terwakili oleh lembaga yang diistilahkan sebagai lembaga
legislatif, yaitu lembaga yang menampung keterwakilan dari
masyarakat, untuk menjalankan fungsi utama sebagai badan
pengawas pemerintah.
1. Sejarah Demokrasi
Dalam sejarahnya, demokrasi tampak sebagai sebuah
sistem pemerintahan yang mampu mengawal negara untuk
menuju kejayaan dan keadilan. Hukum, politik dan undang-
undang yang kredibel terangkum dalam demokrasi103
.
Herodotus, di Mesir kuno waktu itu, sekitar 3000 tahun
yang lalu telah memperkenalkan kepada dunia istilah demokrasi,
kemudian istilah tersebut dikembangkan oleh para pemikir
dariYunani kuno104
. Dalam sejarah, istilah demokrasi telah
dikenal sejak abad ke 5 SM, istilah itu timbul sebagai respon
103
David Held, Demokrasi dan Tatanan Global; Dari Negara Modern
Hingga Pemerintahan Kosmopolita. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004, hlm.
3.
104Muhammad Wahyuni Nafis dkk, (ed)., Konteksrtualisasi
Ajaran Islam: 70 tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta:
Paramadina, 1995), hal. 347
Page 160
135
terhadap bentuk pemerintahan kerajaan yang dianggap
melakukan tindakan semena-mena dalam kebijakan
pemerintahan dan juga pengalaman buruk atas penggunaan
sistem monarkhi di dalam pemerintahan waktu itu105
. Demokrasi
saat itu ditandai dengan adanya lembaga legislatif yang dibentuk
oleh seluruh rakyat dalam sebuah negara. Kondisi tersebut
dimungkinkan karena keseluruhan penduduk saat itu hanya
berkisar 10.000 jiwa, belum lagi wanita, anak-anak dan budak
tidak mempunyai hak politik waktu itu106
. Saat itu, tidak terjadi
pemisahan kekuasaan yang membedakan fungsi dan tugas
masing-masing pejabat, semua pejabat bertanggung jawab penuh
terhadap Majelis Rakyat yang mempunyai kewenangan dan
memenuhi syarat untuk menjalankan eksekutif, yudikatif dan
legislatif107
.
Selanjutnya, ide-ide demokrasi dalam istilah penggunaan
modern berkembang penggunaanya dengan lembaga dan ide
pencerahan yang dimulai pada abad ke 16 M108
. Ide-ide
demokrasi seperti yang telah ada saat ini, mulai bertahan sejak
105
Saifullah Idris, Islam dan Demokrasi; Respon Umat Islam
Indonesia Terhadap Demokrasi. Al-Fikr: Jurnal Pemikiran Islam. 1
September, 2011, hlm. 4.
106Saifullah Idris, Islam dan Demokrasi; Respon Umat Islam
Indonesia Terhadap Demokrasi, hlm. 3.
107Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, alih
bahasa: Wahib Wahab, (Yogyakarta: tiara Wacana Yogya, 1999), hal. 71.
108Saifullah Idris, Islam dan Demokrasi; Respon Umat Islam
Indonesia Terhadap Demokrasi, hlm. 4.
Page 161
136
masa revolusi Amerika pada tahun 1776 dan juga revolusi
Perancis pada tahun 1778109
.
Dari penjelasan di atas, perkembangan demokrasi di barat
dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, demokrasi zaman
Perikles; kedua, demokrasi zaman pencerahan atau Aufklarung;
ketiga, demokrasi masa perang dingin110
.
Pertama, yang dikenal di masa Perikles 495-429 SM,
ia banyak mengilhami teori-teri politik di masa
setelahnya. Pada masa itu, diketahui telah terdapat
majelis yang menampung anggota-anggota dari unsur
masyarakat, guna merumuskan kebijakan politik di
pusat pemerintahan, banyak dari anggota tersebut
dikatakan samapai 5000 hingga 6000 orang. Majelis
tersebut beranggotakan laki-laki dewasa tanpa
melibatkan wanita, anak-anak, orang asing dan budak.
Proses penentuan hukum yang ada dalam majelis
tersebut dilakukan menggunakan suara mayoritas dari
usulan para anggota tanpa dapat dibatai hukum
apapun, selain itu, di dalamnya juga terdapat
pengadilan, dimana prosesnya melibatkan sekitar 501
109
Harold H. Titus et.al., Persoalan-persoalan Filsafat, alih bahasa:
H. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal 45-46.
110Sri Rahayu Wilujeng, Meningkatkan Kualitas Kehidupan
Berbangsa Melalui Budaya Demokrasi. Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Diponegoro: HUMANIKA Vol. 19 No. 1. 2014, hlm. 147.
Page 162
137
anggota yang disebut dewan juri, mereka mengambil
keputusan suara mayoritas sebagai penentu vonis111
.
Kedua, Perkembangan demokrasi jenis kedua adalah
demokrasi yang mulai digagas oleh Aufklarung pada
sekitaran abad 17-18 M.
Ketiga, ditandai dengan selesainya perang dunia
kedua, atau demokrasi pasca perang dingin. Di masa
ini, demokrasi tidak hanya digunakan dalam konteks
politik semata, namun merasuki aspek-aspek lain
yang disebabkan banyaknya faktor-faktor lain di luar
pemerintahan negara yang ikut mengendalikan
demokrasi. Faktor-faktor semacam ekonomi sebagai
pertanda kemakmuran sebuah bangsa ikut berperan
besar dalam perkembangan demokrasi di masa itu, hal
ini karena demokrasi digunakan sebagai sebuah
sistem yang digunakan untuk sebuah kepentingan-
kepentingan tertentu, sehingga di masa ini, demokrasi
menuju kearah yang semakin rumit112
.
Penulis melihat perlu adanya pembenahan pada sebuah
bentuk pemerintahan di setiap periode tertentu, hal itu tentu
111
Sri Rahayu Wilujeng, Meningkatkan Kualitas Kehidupan
Berbangsa Melalui Budaya Demokrasi, hlm. 148.
112Sri Rahayu Wilujeng, Meningkatkan Kualitas Kehidupan
Berbangsa Melalui Budaya Demokrasi, hlm. 150.
Page 163
138
berdasarkan tolok ukur ataupun standar-standar tertentu yang
menjadi barometer keseimbangan sebuah negara.
Penulis sepakat bahwa, demokrasi sebagai sebuah sistem
pemerintahan yang digunakan bertahun-tahun atau bahkan
selamanya, berubah menjadi sebuah budaya, tidak seperti
konotasi makna budaya seni atau yang lainnya, namun
demokrasi berkembang menjadi sebuah budaya dikarenakan
penggunaannya yang berlangsung sangat lama dan
berkesinambungan untuk terus melakukan pembenahan dan
perbaikan terkait fungsinya sebagai sebuah bentuk
pemerintahan113
.
2. Nilai-nilai Demokrasi
Adapun beberapa praktek negara demokratis dapat dilihat
dari gaya hidup masyarakatnya serta tatanan hidup
msyarakatnya dalam menghadapi berbagai persoalan – persoalan
hidup, dalam hal ini suatau masyarakat demokratis mempunyai
nilai–nilai sebagai berikut114
:
a. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan
kelembagaan.
113
Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., Comprative Politics . Little and Brown Company; Boston dan Toronto. 1978, edisi kedua,
hlm.37-39. 114
Clifford Geertz, Local Knowledge: Further Essays in Interpretive
Anthropology. Basic Books. New York. 1993, hlm 222.
Page 164
139
b. Pemerintah mampu menjamin terjadinya perubahan tanpa
konflik dan gejolak, dalam mengeluarkan kebijakan –
kebijakannya.
c. Melakukan pergantian pemimpin secara teratur dalam
waktu – waktu yang telah ditentukan.
d. Meminimalisir terjadinya kriminalisasi atau kejahatan
kemanusiaan.
e. Adanya pengakuan dari keanekaragaman dalam
berbangsa dan bernegara.
f. Menjamin tegaknya keadilan.
Kehidupan negara demokratis yang dijelaskan di atas
merupakan hal yang seharusnya diupayakan oleh pemerintah
dalam rangka untuk mewujudkan negara yang demokratis, agar
setiap elemen negara mampu untuk menjalankan nilai–nilai
tersebut. Dari pengamatan penulis, terdapat keselarasan nilai-
nilai yang terkandung dalam penerapan konsep dmeokrasi dan
konsep syûrâ.
D. Islam dan Demokrasi
Sistem politik ataupun tata kelola pemerintahan yang
Islami telah dicontohkan oleh Nabi di masa awal Islam,
kemudian diteruskan oleh masa al-Khulafâ ar-Râsyidîn115.
115
Nasaruddin Umar, ‚Kata Pengantar Editor‛ dalam Abd. Muin
Salim, Fikih Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qurân
Jakarta: LSIK, 1994, hlm. 5.
Page 165
140
Memang ada aliran yang mengatakan bahwa Islam adalah murni
ajaran agama yang mengatur hubungan manusia denga
Tuhannya, tidak ada di dalamnya hal-hal yang mengajarakan
kepada pemeluknya urusan tata pemerintahan dan politik. Hal ini
adalah perspektif pemerintahan Islam yang sama seperti
pandangan pemikir Barat terhadap ajaran Islam, Muhammad
dianggap hanya sebagai penyampai ajaran Tuhan. Tokoh-tokoh
pemikir Islam di kelompok ini anatar lain; ‘Alî ‘Abd ar-Râziq
dan Taha Husein, aliran ini disebut juga sebagai aliran
sekularis116
.
Namun Islam sebagai sebuah ajaran agama juga
mengajarakan pemeluknya dalam menjalankan roda
pemerintahan, guna membentuk sebuah negara yang mampu
memberikan dampak kebaikan bagi rakyatnya secara luas117
. Al-
Qardâwî mengatakan dalam sebuah bukunya bahwa islam
apabila diterapkan dalam penerapan dan pemaknaan yang benar
tidak akan mengenal istilah kaum agamawan118
. Baginya setiap
individu muslim adalah seorang agamawan.
Dalam konteks kenegaraan, keberadaan tanah air atau
wilayah adalah sebuah keniscayaan yang harus menjadi bagian
dari sebuah tatanan negara119
. Di dalam al-Qurân, kata balad
116
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran dan Sejarah
Pemikirannya. Jakarta: UI Press, 1993, hlm. 1.
117Yusuf Qardhawy, Fiqih Negara. Jakarta: Robbani Press. 1997, hlm.
24.
118Yusuf Qardhawy, Fiqih Negara, hlm. 29.
119Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik, hlm. 38.
Page 166
141
terulang sebanyak 19 kali, termasuk derivasi makna yang ada
kesamaan makna dengannya120
. Dari berbagai macam
penyebutan kata balad di dalam al-Qurân, kesemuanya
mempunyai makna yang menjelaskan bahwa balad atau baldah
berarti negeri, tanah air, atau wilayah yang didiami oleh
komunitas manusia yang secara bersama-sama membangun
peradaban atau disebut dengan masyarakat. Melihat sisi bahasa
yang terkandung dari penjelasan di atas, maka setiap yang
berhubungan dengan wilayah yang ditinggali, yaitu sebuah
wikayah yang berupa tanah, yang dijadikan temapt tinggal oleh
manusia disebut dengan baldah atau balad121
.
Negara dengan ciri kekuasaan politik, dibagi menjadi
tiga bagian, pertama, negara hukum atau nomokrasi Islam; kedua
yaitu negara sekuler; ketiga yaitu negara republik122
. Tipe negara
hukum nomokrasi Islam diartikan sebagai negara yang
menggunakan al-Qurân dan al-Hadîs menjadi dasar pembentukan
nilai dari negara tersebut disamping akal untuk memahami
keduanya.
120
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jâm Al-Mufahras Li Al-
Faz Al-Qurân, Beirut: Dar al-Fikr. 1981, hlm. 134.
121Ibnu Fâris, Mu’jam Maqâyîs fî Al-Lughah. Beirut: Dar al-Ihya
al-Turats al-‘Arabi 2001, hlm. 136-137.
122Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, Suatu Studi tentang
Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada
Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Prenada Media. 2004, hlm.
15.
Page 167
142
Dalam sejarahnya, Islam telah menggunakan berbagai
macam sistem pemerintahan, seperti khilâfah ( model
pemerintahan Sunnî ), Imâmah ( Syî’ah ) dan juga monarki atau
sistem kerajaan123
. Dalam dunia Islam, terdapat istilah lain yang
digunakan dalam rangka menjalaskan sistem pemerintahan,
semacam Daulah, Hukûmah dan Khilâfah124
. Di dalam kosakata
umat Islam, daulah memang telah dikenal sebagai kata yang
menunjukan negara, dala bahasa Arab kontemporer, kata daulah
bahkan diartikan sebagai negara, maka dari itu, negara Islam
disebut di dalam bahasa Arab dengan Ad-Daulah Al-Islâmiyyah
dan negara Arab disebut dengan Ad-Daulah Al-’Arabiyah125
.
Dalam sebuah penjelasannya mengenai khalîfah, Mahfud
MD pernah mengatakan bahwa makna khalîfah bukan hanya
sebagai wakil, namun juga berarti amanah, artinya, manusia
bukan hanya dimaknai sebagai seorang yang menjadi wakil
Tuhan di bumi, akan tetapi sebagai pembawa amanah Allah yang
ada di bumi, oleh sebab itu, perwujudan khalîfah tidak hanya
diperuntukan bagi seorang pemimpin atau raja, tetapi untuk
123
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu
Taymiyah tentang Pemerintahan Islam, terj. Masrohin. Surabaya: Risalah
Gusti. 1995, hlm. 1-8.
124Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik, hlm. 40.
125Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Siyasah dalam Konteks
Perubahan Menuju Masyarakat Madani, Jurnal Ilmu Sosial Keagamaan,
Vol.1, No. 1, Juni 1999, hlm. 19
Page 168
143
setiap manusia mempunyai tanggung jawab dalam mengemban
amanah126
.
Dalam diskursus politik Islam kontemporer, terdapat
perbedaan antara konsep syûrâ dan demokrasi seacara diametral,
beberapa Ulama menganggap keduanya memiliki pola penerapan
politik yang sama dalam sebuah negara.
Pertama, dari Syarqawi Dhafir, ia mengatakan bahwa
di antara demokrasi dan syûrâ bukanlah sesuatu yang
berbeda, keduanya dalam pandangannya merupakan
hal yang pada hakikatnya sama.
Kedua mengatakan bahwa dalam sistem demokrasi
sangat jauh dari nilai-nilai spiritual, sedangkan syûrâ
merupakan konsep politik yang sarat akan nilai-nilai
spiritual, peerbandingan anatar keduanya tidaklah
akan menemui titik temu.
Ketiga, sebuah pendapat yang dikemukakan oleh
Hasbi as-Shiddieqy, baginya syûrâ dan demokrasi
memiliki persamaan, sehingga menurutnya,
pemahamaan yang tepat mengenai keduanya adalah,
demokrasi memang tidak sama dengan syûrâ, namun
dianatara keduanya terdapat unsur-unsur kemiripan
yang membuat keduanya terlihat sama127
.
126
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan
Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo, 2010, hlm. 276.
127Ahmad Sukardja dan Ahmad Sudirman Abbas, Demokrasi
dalam Perspektiif Islam: Studi Perbandingan Antara Konsep Syura dan
Page 169
144
Di saat gema dan semangat demokratisasi yang melanda
hampir di seluruh wilayah di dunia, ada beberapa pemikir Barat
yang mengatakan bahwa dunia Islam tidak mempunyai prospek
yang cukup handal untuk menjadi bagian dalam proses
demokratisasi dunia128
.
Hal yang patut untuk diingat akan proses pelaksanaan
demokrasi adalah mengenai keseimbangan yang terjadi antara
rakyat dan pemerintah, kesadaran rakyat dalam proses
partisipasi, dan kesadaran pemerintah dengan otoritasnya
merupakan hubungan yang disebut dengan power sharing,
kontrol penengah di antara keduanya itulah yang disebut dengan
demokrasi. Demokrasi yang diiringi dengan destabilisasi rakyat
dalam proses partisipasi akan menimbulkan anarkisme yang
cenderung pada tindak kriminal, bahkan lebih jauh, akan terjadi
kudeta yang mampu untuk menjatuhkan pemerintahan dengan
mosi tidak percaya dan kudeta konstitusional129
. Demokrasi
telah dianggap sebagai sebuah sistem negara yang akan
mengantarkan kepada keadilan, kebebasan, kesamaan hak,
keamanan dan pertumbuhan ekonomi. Demokrasi dianggap yang
paling menekankan kepada kepentingan rakyat secara bersama-
Demokrasi Barat dalam Kaitannya Dengan Demokrasi Pancasila. Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya. 2005, hlm. 136.
128A. Ubaedillah dan Abdul Rozak: Pendidikan Kewarganegaraan
Edisi Ketiga Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.
Jakarta: Penerbit Prenada Media Group. 2008, hlm. 85.
129Muhajir Efendi, Masyarakat Equiblirium. Yogyakarta: Bintang
Budaya. 2002, hlm. 21.
Page 170
145
sama karena di dalamnya terdapat prinsip partisipatif,
representatif dan akuntabel130
.
Dalam dunia pemikiran Islam, pembahasan mengenai
Islam dan demokrasi dapat dibedakan menjadi tiga bagian.
Pertama, Islam dan demokrasi merupakan dua konsep
politik kenegaraan yang berbeda131
. Di sini Islam
dianggap sebagai sebuah konsep yang berdiri sendiri
dan mempunyai keterkaitan hubungan eksklusif
dengan demokrasi. Pada kelompok yang memahami
Islam dan demokrasi seperti ini, maka demokrasi
diposisikan sebagai sebuah konsep kenegaraan yang
lebih unggul dari pada Islam, Integrasi keduanya
menempatkan Islam yang harus menyesuaiakan
dengan keberadaan konsep demokrasi.
Kedua, kelompok ini menyetujui adanya prinsip-
prinsip di dalam demokrasi yang sesuai dengan nilai-
nilai Islam, namun kelompok ini masih tetap
menganggap adanya perbedaan antara konsep
demokrasi dan nilai-nilai dalam sistem pemerintahan
Islam. Dalam pandangan kelompok ini, demokrasi
merupakan sebuah sistem yang sesuai dengan nilai-
130
Haryatmoko, Etika Politik dan Kebebasan. Jakarta: Kompas. 2003,
hlm. 91.
131A. Ubaidillah dan Abdul Rrozak Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani, hlm. 158.
Page 171
146
nilai Islam apabila telah diadakan penyesuaian
penafsiran dan pemahamaan132
. Tokoh-tokoh yang
mewakili kelompok ini seperti Maudûdi, Rasyid al-
Ghanaousi, Abdul Fattah Morou dan Taufiq as-
Syâwi. Di Indonesia diwakili oleh Moh. Natsir dan
Jalaluddin Rahmat.
Ketiga, kelompok ini mengatakan bahwa, Islam
menerima dan menjalankan sistem politik demokrasi
sebagaimana yang telah dipraktekan di negara
maju133
. Di dalam Islam, terdapat sebuah prinsip dan
ketentuan-ketentuan yang sangat demokratis, bukan
hanya karena Islam mengusung nilai musyawarah
sebagai pondasi sistem politik, namun karena di
dalam Islam juga terdapat ijma’ ( konsensus ) dan
ijtihad yang merupakan sumber penggalian hukum di
dalam Islam134
. Di Indonesia dan negara-negara
muslim lainnya kelompok ketiga tampaknya lebih
dominan dikarenakan sudah digunakan dan menjadi
bagian integral dalam sistem pemerintahan. Di antara
tokoh muslim yang mendukung pandangan ini adalah
Fahmi Huwaidi, al-‘Aqqad, M. Husain Haikal,
132
Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik.
ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Volume 14, Nomor 1, Juni 2014, hlm.
44.
133A. Ubaidillah dan Abdul Rrozak Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani, hlm. 158.
134Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik, hlm. 44.
Page 172
147
Zakaria Abdul Mun’im Ibrahim, Hamid Enayat,
Muhammad Abduh dan Jamaluddin al Afghani. Di
Indonesia diwakili oleh Nurcholis Madjid, Amin
Rais, Munawir Syadzali, Ahmad Syafi’i Ma’rif dan
Aburrahman Wahid135
.
Demokrasi dapat bermakna variatif karena sifatnya yang
interpretatif, setiap negara berhak untuk mengklaim bahwa
negara tersebut menggunakan sistem demokrasi, meskipun
pemerintahan yang dijalankan sangatlah jauh dari prinsip-prinsip
dasar demokrasi itu sendiri. Karena sifat dari demokrasi itu
sendiri yang interpretatif, maka munculah tipologi-tipologi
demokrasi yang berkembang di berbagai negara seperti
demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi proletar,
demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi
pancasila, demokrasi parlementer dan lain-lain136
. Dalam sebuah
negara penganut sistem demokrasi, demokrasi akan dikatakan
berjalan dengan baik apabila memenuhi tiga kriteria sebagai
berikut137
:
Pertama, adanya persaingan yang meluas, baik dari
golongan maupun individu, untuk mewujudkan
135
Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik, hlm. 45.
136Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat Kajian sejarah
Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama. 2001, hlm. 297.
137Mohtar Mas’ud, Negara Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1991, hlm. 12.
Page 173
148
prinsip kebebasan tanpa adanya paksaan yang
mempengaruhi penempatan jabatan-jabatan
pemerintahan yang strategis.
Kedua, terwujudunya partisipasi politik yang tinggi
dalam memilih pemimpin dan kebijakan-kebijakan hal
itu terjadi dengan adanya pemilihan yang adil dan
berkala, serta tidak adanya kelompok lain yang
dikucilkan.
Ketiga, adanya kebebasan sipil dan politik yang itu
terwujud melalui adanya kebebasan dalam pers,
kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat
yang itu menjamin integritas kompetisi dan
partisipasi pollitik.138
.
138
Mohtar Mas’ud, Negara Kapital dan Demokrasi., hlm. 12.
Page 174
149
BAB IV
INTEGRASI SYÛRÂ DALAM DEMOKRASI
Kali ini penulis berusaha menyajikan bagian inti dari
penelitian yang dilakukan. Pada bab ini, penulis membahas
mengenai materi utama yang berkaitan dengan integrasi antara
sistem musyawarah dan demokrasi. Sebelumnya, penulis
berusaha untuk menjelaskan penerapan sistem demokrasi dan
musyawarah dalam sebuah negara yang mayoritas muslim.
A. Integrasi Musyawarah Dengan Demokrasi dan Penerapannya
Dalam Sebuah Negara
Seperti yang telah penulis kemukakan pada awal bab ini,
syûrâ biasa diartikan dengan memaparkan atau menjelaskan, bisa
juga diartikan dengan mengambil sesuatu. Dalam kamus al-
Munjid, syûrâ diartikan sama dengan tasyâwara, yang berarti
saling bermusyawarah antara satu pihak dengan pihak lain1. Dari
sisi bahasa, demokrasi berasal dari bahasa Yunani dengan dua
akar dua suku kata, yaitu ‚demos‛ yang berarti rakyat dan
‚cretein‛ atau ‚cratos‛ yang berarti kekuasaan atau kedaulatan.
Jika dilihat dari asal kata tersebut, maka demos-cretein atau
demos-cratos adalah sebuah negara, dimana kekuatan dan
kedaulatan negara tersebut berada di tangan rakyat, dilakukan
1Subhi Hamawi, Al-Munjid fî al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’âshirah.
Beirut: Dar Al-Masyriq. 2001, hlm. 806.
Page 175
150
oleh rakyat dan berasal dari komponen negara yang bernama
rakyat2.
Dari segi bahasa, dapat dikatakan bahwa demokrasi dan
syûrâ merupakan dua hal yang berbeda , namun begitu, penulis
menganggap bahwa keduanya mempunyai persamaan dalam
pengertian etimologis, dilihat dari konteks bahwa keduanya
merupakan upaya yang dilakukan oleh sejumlah orang, untuk
memutuskan sebuah perkara. Maka di sini dapat dikatakan
persamaan demokrasi dan musyawarah adalah keduanya
merupakan upaya untuk mencari solusi terhadap suatu masalah
yang dilakukan oleh sejumlah atau sekelompok orang, dalam
konteks negara, syûrâ telah dianggap sebagai sebuah ideologi
negara seperti demokrasi.
No
. Syûrâ Demokrasi Integrasi
1
Sebagai ideologi
Negara
Sebagai ideologi
negara
Dalam
perkembangann
ya sama-sama
sebagai ideologi
negara
2
Pengawasan yang
melibatkan semua
unsur negara
termasuk oleh
rakyat sebagai
Pengawasan yang
berpusat pada
rakyat, dengan
melibatkan
instrumen negara
Sama-sama
melibatkan
rakyat sebagai
bagian penting
dalam
2Dwi Sulisworo, Tri Wahyuningsih, Dikdik Baehaqi Arief, Hibah
Materi Pembelajaran Non Konvensional ‚Demokrasi‛, Yogyakarta:
Universitas Ahmad Dahlan. 2012, hlm. 5.
Page 176
151
bagian dari negara yang lain seperti
hukum dan
pemerintahan
menjalankan
roda
pemerintahan,
3
Dalam memilih
pemimpin,
menentukan
hukum dan
meminta
pertanggungjawab
an penguasa, syûrâ
memilih beberapa
perwakilan dari
rakyat yang
berstatus orang-
orang dengan
syarat-syarat
tertentu dan
berfungsi
melakukan
musyawarah dan
mengontrol
penguasa yang
disebut ahlu al-halli wa al-‘aqdi
Dalam prakteknya
beberapa negara
yang menganut
asas demokrasi
memilih pemimpin
secara langsung,
namun untuk
menentukan
kebijakan hukum
dan meminta
pertanggungjawab
an penguasa,
mereka
mempunyai
perwakilan rakyat
yang disebut
dengan DPR yang
dipilih secara
langsung guna
mengontrol dan
bermusyawarah
dengan penguasa
Sama-sama
mempunyai
lembaga
perwakilan
rakyat yang
berfungsi
mengontrol
pemerintahan
serta melakukan
proses
musyawarah
untuk
menentukan
arah kebijakan
pemerintah
terkait hukum,
sosial dan
ekonomi negara
4
Mayoritas Ulama
mengatakan bahwa
musyawarah dalam
pemerintahan
hukumnya wajib
guna mencegah
pemerintahan yang
diktator dan zalim
dari pemerintah,
terlepas dari
pendapat sebagian
Ulama yang
mengatakan
musyawarah
Kesewenag-
wenangan
pemerintah akan
berujung pada
kediktatoran
pemerintahan, hal
ini yang sangat
ditentang oleh
demokrasi, oleh
sebab itu, dalam
negara demokrasi,
kebijakan
pemerintah yang
tidak didahului
Dalam syûrâ dan
demokrasi,
terdapat sebuah
proses yang
sama-sama
dilakukan
sebelum
menentukan
sebuah
kebijakan yaitu
proses
musyawarah
Page 177
152
adalah sunnah oleh proses
musyawarah
dengan lembaga
terkait atau rakyat
melalui perwakilan
dianggap sebagai
kebijakan yang
inkonstitusional
5
Batasan
musyawarah tidak
dijelaskan secara
tekstual dari al-
Qurân atupun
Hadîs, namun para
ulama sepakat
bahwa
musyawarah dapat
dilakukan dalam
konteks apapun
termasuk di
dalamnya konteks
pemerintahan
negara, selagi
tidak membahas
hal yang sudah ada
ketentuannya dari
al-Qurân dan
Hadîs
Demokrasi
memang berasal
dari hal yang
dikaitkan dengan
asas pemerintahan,
sehingga dalam
konteks ini,
demokrasi jelas
masuk di
dalamnya
Keduanya sama-
sama berfungsi
sebagai konsep
yang ditawarkan
untuk
pemerintahan
sebuah negara,
terlepas dalam
konsep syûrâ
terdapat hal-hal
krusial yang
tidak bisa
dirubah
kepeutusannya
6
Syûrâ tidak
terpaku pada pola
pemerintahan
sebelumnya, yang
berarti ia akan
terus berkembang
sesuai dengan
perubahan zaman
dan menyesuaikan
kebutuhan suatu
negara agar
Dalam demokrasi
tidak bisa
dipahami sebagai
sebuah konsep
baku
pemerintahan, ia
dipahami sebagai
budaya
pemerintahan yang
terus berkembang
untuk mendorong
Keduanya sama-
sama tidak
terpaku oleh
pola
pemerintahan
yang sudah ada
sebelumnya,
melainkan terus
berkembang
menyesuaiakan
zaman dan
Page 178
153
menjadi negara
yang lebih baik
sebuah negara
dengan
pemerintahan yang
maju dan
berperadaban
budaya negara
tersebut, tentu
dengan prinsip-
prinsip baku
yang tidak boleh
dihilangkan
dalam proses
perkembangann
ya
B. Syûrâ Dalam Pandangan Ulama Klasik dan
Integrasinya Dengan Demokrasi
Praktis dalam kajian sarjana muslim klasik tidak ada
satupun yang mencoba membandingkan antara syûrâ dan
demokrasi, rata–rata mereka hanya mencoba mamahami
pengertian syûrâ bahkan tanpa menyinggung ranah politik
kecuali beberapa saja, hal ini terutama dalam spesifikasi kajian
tafsir klasik. At-Tabarî, Zamakhsyarî, ar-Râzî, Ibnu Katsîr dan
al-Qurtubî, praktis hanya al-Qurtubî yang penafsirannya
mengenai ayat syûrâ menyinggung ranah politik, selebihnya,
hanya memahami syûrâ dalam hal yang bersifat perintah pada
saat peperangan saja, al-Qurtubî dalam penjelasannya mengenai
syurâ di dalam kitab tafsirnya, dianggap sebagai penafsir klasik
yang paling mendekati implementasi konsep syûrâ di masa
sekarang3.
3Al-Qurân Abad 21: Tafsir Kontekstual/karya Abdullah Saeed;
penerjemah, Evan Nurtawab; editor, Ahmad Baiquni ( Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2015), hlm. 250.
Page 179
154
Al-Qurtubî menjelaskan bahwa terdapat kebolehan untuk
lentur dan membuka ruang diskusi terhadap suatu permasalahan
yang meski telah terdapat teks dari al-Qurân dengan syarat
bersifat zanni dan bukan teks qath’î, namun di satu sisi juga
harus keras terhadap suatu permasalahan yang memang telah ada
wahyu qath’i untuk tidak kembali mendiskusikannya, hal ini
sebenarnya menggambarakan al-Qurtubî yang mengimani
kedua–keduanya, di sini penulis al-Qurtubî melakukan hal yang
demokratis, artinya ia mengemukakan pendapat yang selaras
dengan salah satu prinsip demokrasi seperti yang telah penulis
jelaskan yaitu musyawarah.
Al-Qurtubî menanamkan sebuah pesan yang akan terus
dihadapi orang-orang yang melakukan musyawarah, yaitu
perbedaan pendapat, ia bahkan menggunakan sebuah susunan
kalimat yang menjelaskan unsur utama dalam pelaksanaan
musyawarah, yaitu :
‚ Musyawarah terbangun dengan adanya perbedaan pendapat di antara pesertanya, lalu seorang di antara mereka—merupakan seorang yang menggagas musyawarah, jika memang menungkinkan, akan melihat perbedaan tersebut, mana yang paling mendekati al Qura>an dan al Hadis, jika kemudian telah ditentukan keputusan yang diambil, maka kemudian akan berlanjut dengan berpasrah dan menyerahkan hasil tersebut kepada Allah, inilah yang kemudian disebut dengan tawakkal ‛4.
Hal ini selaras dengan salah satu prinsip demokrasi dalam
melaksanakan musyawarah, bahwa dalam rangka mencapai
4Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân ( Kairo: Maktabah Dar Al
Hadis, 1994 ), jus 1, hlm. 598.
Page 180
155
keberhasilan dalam musyawarah diperlukan pemufakatan yang
jujur dan sehat, upaya untuk menjalankan pemufakatan yang
jujur dan sehat di awal juga merupakan hal yang harus dilakukan.
Sebuah pemufakatan yang dijalankan dengan kesadaran akan
kecurangan, kebobrokan nilai, cacat atau sakit justru bisa disebut
sebagai sebuah penghianatan dalam sebuah proses demokrasi dan
musyawarah. Ide demokrasi dan musyawarah hanya akan
tercapai apabila dalam diri masing-masing tertanam rasa yang
mengedepankan bahwa orang lain benar dan diri sendiri salah,
bahwa pada setiap orang terdapat nilai-nilai kebenaran dan
kebaikan. Dengan hal itulah rasa saling menghargai pendapat
orang lain akan tertanam dan tumbuh dengan baik.
Keberadaan ide musyawarah dalam praktek demokrasi
terdapat pada kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi yaitu
apa yang disebut dengan ‚partial finctioning of ideals‛, yaitu
sebuah pandangan belum tentu, tidak harus dan seluruh
keinginan sepenuhnya. Prinsip yang menyatu antara demokrasi
dan musyawarah terletak pada bagian dimana usulan atau
pendapat yang dikemukakan tidak bersifat dan mengikat secara
pasti5.
Kemudian al-Mâwardî tidak secara khusus menyebut
konteks pembicaraan mengenai syûrâ. Ia hanya menyampaikan
beberapa pelaksanaan dalam proses pemerintahan, mulai dari
masa pengangkatan pemimpin hingga dinamika-dinamika hukum
5Dwi Sulisworo. Dkk, Hibah Materi Pembelajaran Non Konvensional
‚Demokrasi‛ , hlm. 5.
Page 181
156
yang melekat sekaligus akan dilalui seorang pemimpin negara di
waktu itu. Al-Mâwardî telah menyinggung proses pemilihan
seorang pemimpin dalam sebuah negara. Ia mengutip sebuah
syair arab jahili dan beberapa ayat al-Qurân dan al-Hadîts yang
menegaskan bahwa posisi seorang pemimpin merupakan sebuah
keharusan, dengan level hukum fardhu al-kifâyah.
Selanjutnya ia menjelaskan mekanisme pemilihan dalam
proses pengangkatan pemimpin, ia juga menjelaskan keberadaan
ahlu al-halli wa al-’aqdi sebagai sebuah lembaga yang
menginisiasi proses pemilihan pemimpin sekaligus sebagai
penentu, yang menarik di sini adalah, tercetusnya konsep ahlu al-
halli wa al-’aqdi adalah sebuah pilihan ketika sebuah negara
mengalami kekosongan kepemimpinan, di situ kemudian muncul
pilhan dalam diri masyarakat bahwa proses penentuan seorang
pemimpin ditentukan oleh dua golongan, yaitu golongan ahlu al-
halli wa al-’aqdi dan golongan yang memang dalam diri mereka
mempunyai kriteria seorang pemimpin sebuah negara. Di
golongan kedua inilah kemudian muncul ketetapan atas syarat-
syarat tersebut yang berjumlah tujuh, dimana salah satunya
nasab yang berasal dari keturunan Quraisy menjadi perdebatan
panjang di kalangan umat Islam. Di sini terdapat pula nilai–nilai
demokrasi yang terkandung di dalamnya dari sudut pandang
penyaluran kehendak rakyat, demokrasi dapat diidentifikasikan
kedalam tiga macam bagian, yaitu demokrasi langsung,
demokrasi perwakilan atau demokrasi representatif dan
demokrasi perwakilan sistem referendum.
Page 182
157
Demokrasi langsung merupakan sebuah paham
demokrasi yang dilihat dari sudut pandang perwakilan rakyat,
demokrasi ini bermakna bahwa rakyat menyampaikan
pendapatnya di hadapan seluruh rakyat yang hadir dalam waktu
penyampaian pendapat tersebut. Demokrasi jenis ini pernah
digunakan di Athena pada zaman Yunani kuno ( abad IV M )6.
Dalam demokrasi perwakilan, rakyat berperan untuk memilih
para wakil mereka di dewan perwakilan, sehingga terjadi proses
demokrasi yang melibatkan rakyat secara langsung dalam tahap
pemilihan wakil rakyat. Model demokrasi perwakilan saat ini
sangat banyak digunakan oleh negara–negara pengusung konsep
demokrasi dikarenakan jumlah penduduk yang bertambah
banyak dan luas wilayah suatu negara yang jauh lebih luas dari
pada masa lampau. Demokrasi perwakilan sistem referendum
merupakan gabungan antara demokrasi langsung dan demokrasi
perwakilan. Dalam demokrasi perwakilan sistem referendum,
rakyat berpartisipasi untuk menentukan para wakil mereka
dengan memilih secara langsung melalui mekanisme pemilihan
yang telah diatur oleh undang–undang, tidak hanya sampai di
situ, dalam jenis demokrasi ini, rakyat mempunyai kontrol penuh
terhadap para wakil mereka di parlemen dan juga berhak untuk
memberhentikan mereka melalui sistem referendum.
Di sini dapat dikaitkan pemahaman al-Mâwardî dengan
nilai demokrasi yaitu fakta mengenai praktek dan nilai
6Fuad Hasan, Bab Pengantar, dalam Plato, Apologia: Pidato Socrates
yang Diabadikan Plato. Bulan-Bintang. Jakarta.1986, hlm. 29-31.
Page 183
158
demokrasi yang memiliki kesepahaman ide dengan nilai–nilai
syûrâ, saat ide musyawarah oleh al-Mâwardî menyuguhkan dua
hal yang terjadi dalam demokrasi, dilihat dari sudut pandang
penyaluran rakyat. Al-Mâwardî menjelasakan pemilihan
pemimpin dengan menggunakan konsep ahlu al-halli wa al-‘aqdi
atau menggunakan konsep pemilihan langsung dengan kriteria
yang telah ditentukan, meskipun secara praktek masih terdapat
perbedaan, namun tetap harus dipahami di sini bahwa ide dasar
sistem syûrâ dan demokrasi dalam menentukan pemimpin
mempunyai kesamaan, yaitu sama–sama mengusung pemimpin
dengan konsep pemilihan yang melibatkan rakyat atau
keterwakilan yang berasal dari rakyat, atau bahkan yang
melibatkan seluruh rakyat tanpa perwakilan.
Dari penelitian penulis mengenai integrasi nilai syûrâ dan
demokrasi dalam pandangan ulama klasik, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat nilai dan ide yang setara dalam
pamahaman ulama klasik mengenai syûrâ dan demokrasi, yaitu
nilai musyawarah, pemufakatan untuk menuju proses
musyawarah yang jujur dan adil, kebebasan berpendapat dengan
taat aturan dan di luar konteks pembahasan yang prinsipil atau
hal di luar ketentuan qat’î ( harus dilaksanakan perintahnya ).
Adapun ide yang selaras yaitu mengenai ide pemilihan
pemimpin, keduanya sama–sama mengusung konsep pemilihan
yang melibatkan rakyat sebagai konstituen, adapun syarat dan
ketentuan kriteria seorang pemimpin telah ditentukan terlebih
dahulu.
Page 184
159
NO Syûrâ Demokrasi Integrasi
1
Pada masa awal
Islam, syûrâ
banyak dipahami
sebagai media
meminta
pendapat dalam
konteks
peperangan saja
Demokrasi di
masa awal sudah
dirumuskan
sebagai sebuah
konsep yang
dilaksanakan
dalam prosedur
pemerintahan
Tidak terdapat
integrasi antara
syûrâ dan
demokrasi secara
konteks
pelaksanaan,
tetapi secara
nilai, keduanya di
masa sama-sama
dipahami sebagai
media untuk
meminta
pendapat
2
Syûrâ pada masa
awal melakukan
proses
pengambilan
pendapat dari
orang lain untuk
mencapai
kesepakatan
bersama, dengan
mengedepankan
nilai-nilai
kepercayaan dan
kemufakatan
Demokrasi
mengedepankan
prinsip partial finctioning of ideals, yang
berarti sesuatu
yang belum tentu,
bisa baik dan bisa
buruk, artinya
untuk
menghindari
keburukan
tersebut dalam
demokrasi selalu
mengedepankan
proses
musyawarah yang
diiringi dengan
pemufakatan
Keduanya sama-
sama
mengedepankan
proses
musyawarah
untuk mecapai
pemufakatan
bersama dan
menghindari
keburukan yang
terjadi tanpa
melakukan proses
musyawarah
3
Konsep
pengangkatan
pemimpin telah
dibahas di masa
awal Islam
Melalui demokrasi
langsung,
demokrasi
perwakilan dan
demokrasi
syûrâ dan
demokrasi dalam
menentukan
pemimpin
mempunyai
Page 185
160
dengan lembaga
ahlu al-halli wa al-‘aqdi sebagai
inisiatornya dan
juga kriteria
kepemimpinan
yang melekat
dalam diri
seseorang akan
membuatnya
dicalonkan
sebagai
pemimpin
referendum,
konsep
pengangkatan
wakil rakyat dan
pemimpin sudah
dilakukan di masa
awal demokrasi
kesamaan, yaitu
sama–sama
mengusung
pemimpin dengan
konsep pemilihan
yang melibatkan
rakyat atau
keterwakilan
yang berasal dari
rakyat, atau
bahkan yang
melibatkan
seluruh rakyat
tanpa perwakilan.
4
Terdapat hal-hal
yang tidak bisa
dimusyawarahkan
dikarenakan telah
ditentukan
melalui teks suci
al-Qurân dan
Hadîs
Dalam
melaksanakan
musyawarah,
tidak terikat hal-
hal tertentu
kecuali proses
musyawarah
dijalankan oleh
muslim, proses
musyawarah
dalam demokrasi
akan terikat
pembahasannya
dengan
kesepakatan
peserta
musyawarah
mengenai hal-hal
yang fundamental
seperti ketetapan
agama, hukum
adat dan
sebagainya
Mempunyai
batasan-batasan
tertentu perihal
sesuatu yang
dibolehkan untuk
dimusyawarahkan
Page 186
161
C. Syûrâ dan Demokrasi Dalam Pandangan Sarjana
Muslim Kontemporer
Di masa ini, al-Maudûdî dan Sayyid Qutb dianggap
mewakili pandangan para Ulama modern, sebagai Ulama yang
representatif, kaitannya dengan pembahasan konsep syûrâ7.
1. Sayyid Qutb
Apa yang disampaikan Sayyid Qutb di awal bagian
penjelasannya dalam ayat ini menunjukan bahwa ia mulai
melihat kemungkin-kemungkinan baru dalam sebuah sistem
pemerintahan yang mampu diadaptasi dalam sistem
musyawarah Islam. Ia menyinggung konsep-konsep baru
yang dirasa relevan untuk menjadikan makna syûrâ terus
berkembang dan dipraktekkan oleh umat Islam demi
kemaslahatan bersama. Ia menegaskan bahwa setiap
konsep-konsep yang selaras dan menguatkan eksistensi
musyawarah adalah bagian dari Islam8.
Menurut penulis, hal yang paling berbeda dari tafsir
Sayyid Qutb di banding dengan tafsir-tafsir masa klasik
adalah gagasannya yang berani mengenai konteks
pelaksanaan konsep syûrâ. Keberadaan ide demokrasi yang
juga mengusung dan selaras dengan gagasan – gagasan
Sayyid Qutb mengenai prinsip kenegaraan Islam
menandakan bahwa para pemikir kontemporer Islam
7 Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm. 262.
8 Sayyid Qutb, Fî Zilâli Al-Qurân, (Kairo: Dar As-Syûrûq 1978), juz
1, hlm. 501.
Page 187
162
sebagian menganggap demokrasi merupakan bagian dari
Islam itu sendiri.
2. Ibnu ‘Âsyûr
Karyanya kitab At-Tahrîr wa At-Tanwîr menjadi
salah satu kitab tafsir modern yang banyak menjadi
rujukan9. Ia mengawali tafsirnya mengenai konsep syûrâ di
ayat tersebut dengan penjelasan bahasa dari kata syûrâ itu
sendiri. Ia mengutip bahwa syûrâ sejatinya berasal dari
bahasa Persia yaitu nasykhûrâ bisa berarti sisa makanan
binatang10
. Ibnu ‘Âsyûr menjelaskan bahwa apa yang
disebut dengan musyawarah sebenarnya adalah meminta
pendapat kepada para peserta musyawarah, hal itu sesuai
dengan lanjutan ayat setelah perintah bermusyawarah yaitu
: ‚faiza ‘azamta fatawakkal ‘allâh‛11. Salah satu yang
membedakannya dengan para penafsir klasik adalah ia
menyatakan konsep musyawarah merupakan perintah yang
diturunkan kepada Rasul agar melakukan musyawarah
dengan para sahabatnya baik dalam perkara peperangan
ataupun yang lainnya12
.
Ibnu ‘Âsyûr juga membahas mengenai konteks
pelaksanaan syûrâ, baginya, syûrâ merupakan pembahasan
9Syaiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur'an, Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, 2008, hlm. 128. 10
At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr. Tunisia: Ad-Dâr At-Tûnisiyyah. 1984, hlm. 147.
11At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 147.
12At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 147.
Page 188
163
ranah ijtihâdî, hal tersebut dikarenakan perkara-perkara
yang dibahas dalam musyawarah merupakan urusan yang
tidak ditentukan secara pasti di dalam al-Qurân, kecuali
seorang mujtahid, seorang mujtahid tidak diwajibkan untuk
melakukan musyawara13
. Dia memberikan contoh seperti
yang dilakukan para sahabat Muhâjirîn dan Ansâr14,
kemudian mengutip potongan ayat 38 dalam Surat as-Syûrâ.
Apa yang menarik dari pembahasan Ibnu ‘Âsyûr
adalah mengenai konteks pembahasan syûrâ yang
membentang dari mulai urusan rumah tangga, suku, negara
dan umat dengan status hukum wajib dan sunnah. Ia
mengutip pendapat dari Mazhab M^âlikî, Syâfi’î dan Hanafî,
dimana Mâlikî mengatakan bahwa proses musyawarah
merupakan hal yang wajib dan terbagi menjadi empat
bagian: pertama, diwajibkan bagi para Ulama untuk
melakukan musyawarah terkait perkara agama, kedua,
diwajibkan bagi pemimpin tentara untuk bermusyawarah
terkait peperangan, ketiga, diwajibkan pemimpin umat
untuk bermusyawarah terkait kemaslahatan, keempat,
diwajibkan bagi para pemangku kebijakan hukum, politik
dan kesejahteraan dalam sebuah negara untuk
bermusyawarah15
.
Bagi penulis, penafsiran Ibnu ‘Âsyûr mengenai
musyawarah sudah menjelaskan bahwa musyawarah
13
At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 147. 14
At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 147. 15
At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 148.
Page 189
164
merupakan hal yang juga melekat dalam konteks
pemerintahan sebuah negara, hubungan antara demokrasi
dan musyawarah adalah, bahwa keduanya merupakan salah
satu unsur yang harus dijalankan dalam sebuah sistem
pemerintahan, untuk menghindari kesewang-wenangan
pemimpin dalam menentukan kebijakan, tentu semua itu
disertai dengan konsekuensi hukum agama yang
menyertainya16
.
3. Rasyîd Ridâ
Seorang Ulama yang mampu menggabungkan
khasanah keislaman klasik dan kontemporer dengan
baik17
. Dalam mengawali penafsirannya mengenai konsep
musyawarah, Rasyîd Ridâ langsung tertuju pada
pembahasan ranah musyawarah, ia menjelaskan bahwa
musyawarah merupakan sebuah strategi yang digunakan
oleh umat untuk mencari solusi akan permasalahan yang
menyangkut semua urusan dunia dan tidak terbatas hanya
dalam urusan peperangan, ia juga mengutip pendapat
‘Abduh yaitu, musyawarah merupakan perintah yang berat
untuk dilakukan oleh umat, dikarenakan menyatukan
persepsi akan suatu masalah karena perbedaan pendapat
yang sangat mungkin timbul sebab beragamnya peserta
16
At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 149. 17
Abdurrahmân „Utbah, Mausû‟ah Al-Masâdir wa Al-Marâji‟, hlm.
297.
Page 190
165
musyawarah, oleh karena hal tersebut Allah
memerintahkan Nabi untuk melakukan musyawarah
bersama dengan para sahabatnya18
.
Ia juga mengaitkan akan perintah musyawarah
kepada Surat As-Syûrâ ayat 38, bahwa musyawarah
merupakan perintah yang diturunkan untuk mencapai
kesepakatan bersama dalam urusan dunia, tidak berlaku
untuk hal-hal yang memang sudah ada ketentuannya
dalam urusan selain itu, seperti aqidah dan hal lain yang
sudah ada ketentuannya dari Allah, Demikianlah
menurutnya Nabi melakukan musyawarah dalam hal yang
tidak ada ketentuan wahyu di dalamnya.
Rasyîd Ridâ menegaskan bahwa sesuatu yang telah
ada ketentuannya dari teks Al-Qurân, maka sudah tidak
diperlukan lagi untuk dimusyawarahkan, hal tersebut
berlaku baik di masa Nabi atupun di masa-masa
sesudahnya19
. Ia menegaskan bahwa Nabi sama sekali
tidak memberikan ketentuan mengenai bagaimana
musyawarah itu dilaksanakan, melainkan Nabi dengan
keistimewaannya, telah memprediksi bahwa perkara-
perkara umat akan semakin kompleks dan diperlukan
penanganan yang berbeda dari zamannya, oleh karena itu,
Nabi memberikan keleluasaan bagi umatnya untuk
menentukan pola musyawarah sesuai dengan zamannya, ia
18
Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr. Kairo: Al-Hai´ah Al-Misriyah Al-
„Âmmah li Al-Kitâb. 1990. Jus 4, hlm. 164. 19
Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 165.
Page 191
166
menjelaskan hal tersebut dengan mengutip beberapa
kejadian di masa Nabi, salah satunya adalah sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
‚Engkau lebih mengetahui urusan duniamu‛20.
Dengan cukup detail, ia menceritakan proses
musyawarah yang dilakukan sahabat setelah masa Nabi
untuk menentukan penggantinya, bagaimana Abû Bakar,
‘Umar, ‘Utsmân dan ‘Alî kesemuanya dipilih sejatinya
melalui proses musyawarah, mereka berempat telah
disepakati untuk memimpin umat sepeninggal Nabi dalam
sebuah proses musyawarah, adapun bai’at dilakukan
setelah lebih dulu disepakati dalam proses musyawarah21
.
Berbeda saat masa Khulafâ ar-Râsyidîn telah lewat, di
masa-masa daulah Bani Umayah dan Bani ‘Abbâsyiah,
kecuali dalam masa pemerintahan beberapa khilâfah—
seperti Abdul Mâlik bin Marwân dan ‘Umar bin ‘Abdul
‘Azîz—yang memimpin, seringkali terjadi pemerintahan
yang sewenang-wenang dan otoriter, hal tersebut tentu
jauh dari spirit pemerintahan yang dibawa oleh Nabi dan
generasi Khulafâ ar-Râsyidîn, sehingga Rasyîd Ridâ
menegaskan bahwa nilai syûrâ akan berlaku selamanya
bersamaan dengan nilai-nilai al-Qurân yang lain,
20
Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 165. 21
Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 167.
Page 192
167
sedangkan sistem pemerintahan merupakan hal subjekif
dan temporetatif, dikembalikan kepada zaman dan kondisi
umat yang akan menjalaninya22
, dalam hal ini, perjuangan
umat sejatinya adalah mempertahankan nilai-nilai syûrâ
dan memerangi pemerintahan yang otoriter, ia juga
sempat menyinggung Pemilihan Umum yang terjadi
belakangan di kalangan umat yang mendiami negara
Republik, baginya saat terjadi Pemilihan Umum, yaitu
proses pemilihan pemimpin yang meninggalkan elemen
ahlu al-halli wa al-‘aqdi, hal tersebut tidak membatalkan
keabsahan pemimpin yang terpilih, karena baginya,
sejatinya esensi musyawarah adalah kesepakatan umat
dalam suatu keputusan untuk kebaikan dan kepentingan
bersama23
.
4. M. Quraish Shihâb
Quraish Shihâb menjelaskan bahwa musyawarah
merupakan perintah yang ditujukan kepada Nabi, hal
tersebut didasari dengan suatu petaka yang terjadi di
dalam perang Uhud yang didahului oleh musyawarah,
karena hal tersebut lantas membuat beberapa menganggap
bahwa musyawarah merupakan hal yang tidak perlu untuk
diadakan, lalau dalam penjelasannya ayat ini adalah
sebuah penegasan yang dilakukan untuk menegaskan
22
Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 168. 23
Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 166.
Page 193
168
bahwa musyawarah tetaplah penting untuk
dilaksanakan24
.
Dalam penjelasan-penjelasan selanjutnya terkait
musyawarah, Quraish Shihâb seperti halnya para mufasir
secara umum, yaitu menjelaskan musyawarah dari segi
bahasa, konsekuensi hukum yang melekat dari
musyawarah dan syarat atau sifat yang harus ada pada diri
peserta atau pelaku musyawarah25
. Satu hal yang menjadi
catatan penulis adalah penafsirannya mengenai
musyawarah yang menjelaskan bahwa sebuah musyawarah
haruslah dikaitkan dengan hubungan yang tulus dengan
Tuhan, ia menjelaskan bahwa dalam sebuah musyawarah
sangat dimungkinkan munculnya ‚sesuatu‛ yang
datangnya dari Tuhan untuk memberikan sebuah solusi,
‚sesuatu‛ tersebut datang secara tiba-tiba begitupun saat
ia pergi. Artinya, setiap pelaku musyawarah haruslah
berhati suci dan bersih dari dosa-dosa yang membutakan
mata hatinya, karena ‚sesuatu‛ di atas hanya mungkin
mengilhami seseorang yang bersih dari suatu dosa-dosa26
.
Ia mengaitkan penafsirannya tersebut dengan mengutip
perkataan seorang filosof dari Amerika yaitu William
James, yang mereduksi otoritas akal dalam memahami
musyawarah, yaitu :
24
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 12, Jakarta: Lentera
Hati. 2002, hlm. 312.
25M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume, hlm. 313., v.2.
26M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume, hlm. 314., v.2.
Page 194
169
‚Akal memang mengagumkan, ia dapat membatalkan satu argument dengan argument lainnya. Akibatnya ia dapat mengantarkan kita kepada keraguan yang mengguncangkan etika dan nilai-niai hidup kita‛.27
Dari pendapat James di atas, Quraish Shihâb
kemudian menjelaskan bahwa musyawarah merupakan
sebuah hal yang akan sempurna dan tuntas apabila
dihubungkan dengan perspektif ketuhanan, hal itu ia
kuatkan dengan mengaitkan ayat musyawarah ini dengan
beberapa ayat al-Qurân yang menjelaskan akan perbuatan
dosa dan sia-sia28
. Dalam Surat As-Syûrâ ayat 38, ia
kemudian menjelaskan bahwa musyawarah merupakan hal
yang turun ketika periode Mekah, masa dimana belum
terbentuknya negara Madinah, hal itu kemudian dipahami
bahwa musyawarah merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan tanpa ketentuan yang mengikat secara pasti
dari al-Qurân ataupun Hadis29
.
5. Syekh Mutawalli as-Sya’rawî
As-Sya’rawî menjelaskan syûrâ dalam surat Ali-‘Imrân ayat
159 dengan nuansa tasawufnya dan nilai sastra bahasanya yang
khas, seperti halnya para mufassir lain dalam menjelaskan syûrâ,
ia menjelaskan bahwa adanya musyawarah di masa itu tidak
berarti Nabi tidak mampu megatasi permasalahan yang ada saat
itu, melainkan sebagai bentuk penghargaan terhadap para
27
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume, hlm. 313., v.2. 28
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume, hlm. 314., v.2. 29
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume, hlm. 179., v.12.
Page 195
170
sahabatnya, namun as-Sya’rawi menambahkan bahwa perang
Uhud merupakan tempat untuk menempa umat Islam, bagaiman
umat dididik, ditempa dan dilatih dengan cobaan kala itu, namun
dari situlah kemudian Allah membrikan kaum muslimin solusi
berupa perintah musyawarah yang pada masa selanjutnya
menjadi hal yang dilakukan oleh umat Islam setelah masa Nabi.
Seperti yang dikutip oleh as-Sya’rawî mengenai tindakan Abu
Bakar dalam memerangi orang yang murtad, ia tidak luput dari
melakukan musyawarah bersama para sahabatnya, kesimopulan
dari tafsir as-Sya’rawî di sini adalah, ia menegaskan bahwa
musyawarah merupakan sebuah hasil dari tempaan kaum
muslimin bersama Nabi di dalam perang Uhud30
.
6. Pemikir Politik Muslim Kontempoer
Penulis mencantumkan beberapa tokoh muslim yang
concern terhadap perkembangan politik dan pemerintahan Islam,
bagi penulis pemilihan tokoh-tokoh berikut cukup untuk
mewakili beberapa pemikir yang pro dan kontra dengan gagasan
demokrasi sebagai kepanjangan dari konsep musyawarah.
Sebelum membedah pemikiran mereka mengenai syûrâ dan
demokrasi, acuan penulis adalah prinsip-prinsip yang menjadi
dasar Islam dalam mengadopsi sebuah konsep yang dianggap
masuk dalam standar konsep keislaman adalah prinsip keadilan,
30
Muhammad Mutawalli As-Sya’rawî, Tafsîr As-Sya’rawî: Khawâtîr
Haul Al-Qurân, Akhbâr Al-Yaum. Kairo. Juz 3,hlm 1249.
Page 196
171
kebebasan, ketaatan, persamaan dan musyawarah, adapun tokoh-
tokohnya yaitu :
a. Al-Maudûdî, dilahirkan pada 1903 M dan
wafat pada tahun 1979 M31
. Ia mengarahkan
diskusi mengenai syûrâ dalam kitabnya ke
dalam surat as-Syûrâ ayat 38. Penafsirannya
atas ayat al-Qurân tersebut dikategorikan
sangat politis32
. Al-Maudûdî cenderung
kepada sebuah pendapat yang mengatakan
bahwa syûrâ merupakan sebuah kewajiban
untuk kaum beriman, bahkan ia mengatakan
pengindahan terhadap konsep syûrâ
merupakan sebuah penyelewengan atas hukum
yang sudah dititahkan oleh Tuhan. Ia
mendasari argumen atas pendapatnya tersebut
dengan pandangan; Pertama, ia menjelaskan
bahwa keputusan satu orang merupakan
bentuk dari sebuah ketidakadilan saat
berhubungan dengan kepentingan umum.
Kedua, ia menjelaskan bahwa keputusan yang
hanya melibatkan satu orang saja merupakan
sebuah kesewenang-wenangan dan gambaran
nyata dari degradai moral yang sangat
menjijikan. Ketiga, memberi sebuah
31
Barsihannor, Pemikiran Abû Al-A’lâ Al-Maudûdî, UIN Alauddin:
Jurnal Abadiyah Volume. XIII, 2/2013, hlm. 139. 32
Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm. 254.
Page 197
172
keputusan ataupun kebijakan mengenai hal-hal
besar yang menyangkut kepentingan umum
adalah sebuah hal penting, oleh karena itu
harus ditentukan melalui proses
musyawarah33
.
Saat al-Maudûdî menolak mengatakan
bahwa demokrasi adalah bagian dari sistem
syûrâ, ia menjelaskan bahwa penerimaan umat
Islam akan demokrasi meupakan sebuah
kemunduran yang dialami muslim setelah ada
teori yang jelas dari sunni pra modern terkait
demokrasi. Menurutnya, setiap konsepsi Islam
mengenai demokrasi menjadi antitesis dengan
demokrasi barat yang sekuler, yang berusaha
mentransfer kedaulatan Tuhan berpindah ke
tangan rakyat34
.
Menurut penulis, demokrasi yang ada saat itu tidak
seperti demokrasi masa sekarang yang banyak
mengakomodir nilai–nilai atau budaya dari suatau daerah,
dimana hal itu berarti demokrasi telah mampu
menjembatani kekurangan–kekurangan yang belum ada di
masa Maudûdî, terlebih masalah mengenai kedaulatan yang
ia anggap berpindah dari tangan Tuhan menuju rakyat,
33
Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm. 254. 34
Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm.257.
Page 198
173
namun dalam demokrasi terkini, anggapan tersebut dapat
disangkal dengan adanya prinsip dan nilai demokrasi yang
jua mengusung ide musyawarah dan pemerintah yang
berdasarkan hukum.
b. Syaikh Ahmad Tayyib, dalam sebuah
pernyataannya yang dikeluarkan pada tahun
2011, mengenai maqâsid al-asyarî’ah, salah
satu poinnya menyatakan untuk
mempraktikan demokrasi, ia menganggap
bahwa demokrasi melindungi martabat semua
pihak. Syaikh menentang kepada yang
mengatakan bahwa demokrasi akan
menimbulkan permasalahan sosial35
. Hal ini
selaras dengan prinsip demokrasi yang
mengedepankan pembangunan ekonomi dan
menjunjung tinggi status masyarakat serta
berusaha mengatasi permasalahan–
permasalahan sosial dengan landasan
penegakan hukum yang seadil-adilnya.
c. Muhammad ‘Imârah, Seorang pemikir Mesir
mengatakan bahwa syûrâ adalah sebuah
konsep yang sebentuk dengan demokrasi. Ia
mengatakan bahwa seorang pemimpin
seharusnya diangkat, diawasi dan diturunkan
35
Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm.257.
Page 199
174
apabila tidak menjalankan tugas–tugasnya36
.
Hal ini menegaskan bahwa ia sepakat dengan
keterlibatan rakyat dalam proses menentukan
kebijakan, hal ini juga selaras dengan nilai
syûrâ yang mengusung proses musyawarah
dan pembentukan ahlu al-halli wa al-‘aqdi
dalam perkembangannya.
d. Hasan Turabi Ia menjelaskan bahwa syûrâ
bukanlah persamaan dari demokrasi, baik
secara konseptual atau praktikal. Namun lebih
lanjut, dia berpendapat bahwa pemikir muslim
seharusnya mengaitkannya kembali kepada al-
Qurân dan Sunnah sebagai fondasi. Ia
membuat perbedaan antara empat jenis syûrâ;
pertama, syûrâ universal, merupakan bentuk
syûrâ yang paling tinggi dan kuat, misalnya,
dalam berbagai referendum dan pemilihan
umum, jenis syûrâ semacam ini baginya
semacam konsensus di dalam sebuah bangsa
yang terikat secara hukum, sepanjang tidak
bertentangan dengan al-Qurân dan Sunnah.
Kedua, syûrâ yang di dasarkan pada
perwakilan rakyat di pemerintahan. Ketiga,
syûrâ yang di dasarkan oleh para ahli.
Keempat, syûrâ yang didasarkan pada jajak
36
Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm.258.
Page 200
175
pendapat37
. Dalam analisa penulis, apa yang
disampaikan olehnya sebenarnya untuk
menjelaskan bahwa secara sumber dan
pengertian, demokrasi dan syûrâ merupakan
hal yang berbeda, namun dalam beberapa teori
dan praktik, ada banyak nila–nilai syûrâ yang
terintegrasi dengan sistem demokrasi, seperti
yang telah ia jelaskan dalam syûrâ universal,
bahwa demokrasi dalam teori dan praktiknya
pun mengusung syûrâ universal tersebut,
dengan catatan, hukum yang mengikat
tersebut bagi para negara praktisi demokrasi
yang non muslim kadang bertentangan dengan
al-Qurân dan Sunnah, namun sebaliknya, para
praktisi demokrasi dalam negara yang
mayoritas muslim, punya kewenangan untuk
menyelaraskan hukum pengikat dengan nilai
al-Qurân dan Sunnah, dengan prinsip
keterwakilan rakyat di dalam pemerintahan,
yang dijelaskan oleh Hasan Turabi pada
klasifikasi di atas.
e. Sadek. J. Sulaiman, seorang sarjana Oman, ia
mengatakan bahwa demorasi dan syûrâ adalah
sinonim dalam hal konsep dan prinsip.
37
Hasan Turabi, Nazrât fî al-fiqh al-Siyâsî , Um Al-Fahim: Markaz
al-Dirasat Al-Mu’asirah, 1997, hlm. 117 – 118.
Page 201
176
Meskipun dia juga menambahkan bahwa, ada
kemungkinan keduanya berbeda dalam
bagaimana konsep tersebut dilaksanakan.
Dalam catatanya yang penulis anggap paling
penting adalah kesamaan antara syûrâ dan
demokrasi terletak pada pernyataan bahwa
keduanya sama–sama menolak akan
pemerintahan yang tidak mempunyai
legitimasi dari pemilihan umum yang bebas,
bertanggung jawab dan kekuatan rakyat38
.
Dan jelas bahwa, gagasan-gagasannya
mengenai syûrâ dan demokrasi selaras dengan
prinsip demokrasi yang juga menentang
bentuk pemerintahan yang otoriter.
f. Abû al-Kalâm Azad, ia mengidentifikasikan
kompabilitas antara demokrasi dan
musyawarah, yang merupakan konsep–konsep
syûrâ yang utama. Ia menjelaskan bahwa
kualitas atau sifat terbaik umat Islam adalah
tendensi mereka untuk saling bermusyawarah.
Dia menjelaskan bahwa Nabi Muhammad
sendiri terbiasa bermusyawarah dengan para
sahabatnya mengenai masalah–masalah yang
berkaitan dengan negara dan tata kelolanya39
.
38
Hasan Turabi, Nazrât fî al-fiqh al-Siyâsî, hlm. 260. 39
Mawla Abû al-Kalâm Azad, Tarjaman Al-Qurân, New Delhi:
Sahitya Academy, 1966, hlm. 334 – 335.
Page 202
177
Bagi penulis, hal ini tentu selaras dengan
prinsip syûrâ dan demokrasi yang sudah
penulis jelaskan sebelumnya yaitu
musyawarah, keberadaan ide musyawarah
dalam praktek demokrasi terdapat pada
kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi,
prinsip yang menyatu antara demokrasi dan
musyawarah terletak pada bagian dimana
usulan atau pendapat yang dikemukakan tidak
bersifat dan mengikat secara pasti.
Integrasi syûrâ dan demokrasi dalam pandangan
Islam kontemporer :
No Syûrâ Demokrasi Integrasi
1
Para pemikir
kontemporer
sepakat bahwa
syûrâ dapat
berkembang dan
mengadopsi
beberapa
ideologi lain
dengan syarat
mempunyai
spirit dan filosofi
yang sama
Demokrasi
merupakan bagian
dari sistem syûrâ,
dengan syarat
mampu
berkembang dan
melebur dengan
ketentuan-
ketentuan prinsipil
dalam Islam
Keduanya dalam
prakteknya
mampu melebur
dalam sebuah
kearifan lokal
dengan tetap
memegang
prinsip
filosofinya yang
saling terintegrasi
2
Musyawarah
adalah hal yang
berorientasi pada
sebuah
kesepakatan
untuk menuju
Demokrasi
berorientasi pada
sebuah kebijakan
bersama yang
didasari keadalian,
tranparansi dan
Keduanya sama-
sama berorientasi
pada hal yang
bertujuan untuk
kemajuan
bersama dengan
Page 203
178
kebaikan dengan
proses yang
melibatkan
seluruh unsur
negara
kekuatan rakyat,
yang oleh sebagian
Ulama dipahami
sebagai kehendak
Tuhan, dikarenakan
rakayat merupakan
jumlah mayoritas
didasari prinsip-
prinsip yang
selaras
3
Syûrâ dalam
pemerintahan
secara umum
bertujuan untuk
membangun
sebuah
peradaban yang
lebih baik
dengan
pembahasan
yang meliputi
kemajuan
ekonomi, sosial
dan keamanan
Demokrasi
dianggap selaras
dengan syûrâ
dengan sebuah asas
yang melekat di
dalamnya yaitu
mengenai
kestabilan
pemerintahan
dalam ranaha
sosial, ekonomi,
keamanan dan
kebebasan
berpendapat
warganya dijamin
oleh hukum
Dalam syûrâ dan
demokrasi sama-
samabertujuan
membangun
struktur sosial,
ekonomi dan
menjamin
keamanan
rakyatnya
4
Terdapat prinsip
pengawasan
kepada
pemerintah
untuk
menjalankan
pemerintahan
dengan baik dan
mampu
memberhentikan
pemeirntahan
dengan sebuah
lemabaga
perwakilan dari
rakyat
Rakyat sebagai
sentral dalam
sebuah
pemerintahan
negara, dalam
prakteknya fungsi
rakyat tidak jauh
sebagai unsur
negara yang
mampu untuk
mengontrol
pemerintahan
Sama-sama
menempatkan
rakyat sebagai
pengontrol
pemerintahan,
meskipun dengan
mekanisme yang
berbeda
Page 204
179
5
Dalam proses
pemilihan
pemimpin tidak
harus ditentukan
oleh lembaga
ahlu al-halli wa al-‘aqdi, melainkan
menerima
mekanisme-
mekanisme lain
yang masih
selaras dengan
prinsip
kemaslahatan
bersama dan
tidak melanggar
teks agama
Menggunakan
Pemilihan Umum,
baik langsung
ataupun tidak
langsung untuk
mengangkat
pemimpin
Sama-sama
memilih
pemimpin dengan
melibatkan rakyat
untuk menjadi
penguasa
6
Muncul beberapa
alternatif dalam
konsep syûrâ,
artinya dalam
menentukan
sebuah kebijakan
atau menentukan
pemimpin, bisa
dilakukan
dengan berbagai
cara yang diikuti
oleh semua unsur
negara, atau
hanya
perwakilan dari
masing-masing
unsur tersebut
dengan syarat
harus selaras
dengan al-Quran
dan Hadîs
Demokrasi di
negara-negara
muslim menjalani
proses
pengangkatan
pemimpin dengan
langsung yang
melibatkan seluruh
unsur negara,
kecuali beberapa
lembaga yang
diharuskan netral,
ataupun secara
tidak langsung
yang dipilih
melalui lembaga
perwakilan, adapun
dalam proses
menentukan
kebijakan,
demokrasi
Dalam syûrâ dan
demokrasi sama-
sama mempunyai
alternatif dalam
proses
pengangkatan
pemimpin
ataupun
menentukan
kebijakan negara
yang berorientasi
untuk
kemaslahatan
bersama
Page 205
180
melakukan proses
musyawarah yang
melibatakan
seluruh unsur
negara dalam
sebuah sidang, atau
jajak pendapat yang
melibatakan
seluruh komponen
negara secara
langsung
7
Menolak
pemerintahan
yang tidak
mempunyai
legitimasi dari
pemilihan yang
tanpa paksaan,
bertanggung
jawab dan tidak
berasal dari
keterlibatan
berbagai elemen
negara termasuk
rakyat dan
menolak
pemerintahan
yang zâlim
Tidak menerima
pemerintahan tanpa
legitimasi yang
bersumber dari
rakyat dan tanpa
asas jujur dan adil
dalam proses
pelaksanaannya,
juga menolak
bentuk
pemerintahan yang
otoriter
Sama-sama
mensyaratkan
pemerintahan
yang sah dengan
asas kejujuran,
keadilan dan
keterbukaan dan
juga menolak
sebuah
pemerintahan
yang sewenang-
wenang
D. Syûrâ dan Demokrasi Dilihat Dari Prinsip Keduanya
Pembahasan mengenai prinsip demokrasi dan syûrâ
menjadi sebuah hal yang sangat penting mengingat tolok ukur
kesuksesan negara dilihat dari seberapa kuat negara tersebut
menerapkan prinsip-prinsipnya. Oleh kiranya perlu bagi penulis
Page 206
181
menjelaskan beberapa prinsip–prinsip keduanya yang berlaku
secara umum :
a. Syûrâ dalam prinsipnya, bisa dipahami dengan sebuah
upaya untuk membentuk negara yang mempunyai
pemerintahan yang penuh dengan tanggung jawab bersama,
juga menekankan adanya tindak pengawasan untuk
menjaga penguasa dari berbuat sewenang-wenang, ataupun
penyalahgunaan kekuasaan dari sebuah pengawasan yang
dilakukan oleh rakyat dalam penentuan kebijakan, karena
pada dasarnya, pemerintah mempunyai kekuasaan yang
evaluatif dalam hal-hal yang menyangkut tata kelola
pemerintahan secara luas, sehingga apabila tidak diawasi
dengan pengawasan yang berkesinambungan maka akan
mengabaikan prinsip ataupun kedudukan musyawarah40
,
dalam hal ini demokrasi juga mengusung prinsip yang
mampu untuk melaksanakan keinginan ataupun maksud
dari syûrâ secara lebih detail, yaitu mencoba untuk
mengontrol pemerintahan dengan :
1) Melakukan pergantian pemimpin secara teratur dalam
waktu–waktu yang telah ditentukan.
2) Adanya pengakuan dari keanekaragaman dalam
berbangsa dan bernegara, keberagaman yang masih
dalam keragka persatuan dan kesatuan berbangsa dan
40
Farid Abdul Khaliq, Fikih politik Islam, Jakarta: Kreasindo Media
Cita, 2005, hlm.39.
Page 207
182
bernegara, hal ini juga sesuai dengan nilai persatuan dan
kesatuan yang diusung pemerintahan Islam.
3) Menjamin tegaknya keadilan.
b. Syûrâ menjadi salah satu prinsip yang terus dipegang
umat Islam dalam menjalankan pemerintahan secara
konstitusional41
. Dalam kaitanya mengatur sistem
pemerintahan, Islam menganggap bahwa ada unsur hak-
hak Allah yang harus dilibatkan dalam setiap keputusan
poitik, hak-hak itu menjadi semacam prinsip
konstitusional dalam berpolitik dan bernegara42
. Adapun
dalil-dalil prinsip konstitusional Islam yang pertama
adalah al-Qurân, Kemudian dalil selanjutnya adalah
Sunnah, hadis yang menjelaskan mengenai prinsip-prinsip
konstitusional terdapat begitu banyak43
. Musyawarah
dianggap oleh sebagian Ulama berada pada ruang lingkup
yang terdapat pada hal-hal yang tidak terkait dengan
teks. Lalu bagaimana dengan demokrasi?, meski
demokrasi tidak sekalipun disebut di dalam al-Qurân
secara eksplisit, namun bukan berarti Islam secara mutlak
menolak demokrasi sebagai sistem pemerintahan dalam
sebuah negara, terdapat nilai kejujuran, keadilan,
keterbukaan dan ketaatan pada sebuah kepemimpinan
41
Farid Abdul Khaliq, Fikih politik Islam, hlm. 1. 42
Farid Abdul Khaliq, Fikih politik Islam, hlm. 1. 43
Farid Abdul Khaliq, Fikih politik Islam, hlm. 3.
Page 208
183
yang sah yang sama persis dengan prinsip syûrâ dalam
Islam.
c. Poin inti dalam proses musyawarah adalah melakukannya
bersama dengan para ahli dan tidak melakukan hal-hal
lain di luar musyawarah tersebut. Dari sini dapat
diketahui bahwa musyawarah merupakan dasar dalam
pengaturan urusan publik dan sistem hukum. Asas dalam
musyawarah adalah menjamin kebebasan sempurna
dalam mengutarakan pendapat, selagi tidak melanggar
batas-batas akidah atau ibadah44
. Sesuai dengan faktor
kemunculan pertama demokrasi yang mengarah kepada
kepada ide atau sistem yang tertanam dalam sebuah
negara. Dalam upaya untuk menyatakan pendapat di
muka umum, baik dalam bentuk lisan ataupun tulisan,
maka negara perlu untuk menjamin kebebasan di
dalamnya. Kebebasan rakyat untuk menyatakan pendapat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan
syarat yang harus dipenuhi oleh negara yang menuju
untuk menjadi negara demokratis dan selaras dengan
nilai–nilai Islam.
Dimulai dari abad ke 20, umat Islam mengkaji ulang
konsep syûrâ dengan pertimbangan–pertimbangan yang
membuat para sarjana muslim kontemporer menerima sistem
demokrasi sebagai salah satu alternatif untuk melanggengkan
44
Imam Muhammad Syaltut, Al-Islam ‘Aqidatan wa Syari’atan ,
Mesir: Dar As-Syuruq. 1966, hlm. 440.
Page 209
184
sistem syûrâ. Mereka mengkaji syûrâ dari sudut pandang politik,
ekonomi, sosial dan budaya yang berkembang dengan
pendekatan tafsir kontekstual. Integrasi prinsip syûrâ dan
demokrasi :
No Syûrâ Demokrasi Integrasi
1
Syûrâ dalam
prinsipnya, bisa
dipahami dalam
sebuah
pengertian, yaitu
upaya
membentuk
negara agar
mempunyai
pemerintahan
yang penuh
dengan tanggung
jawab bersama,
juga menekankan
akan adanya
tindak
pengawasan
untuk menjaga
penguasa dari
berbuat
sewenang-
wenang, dari
sebuah
pengawasan
melibatkan
rakyat sehingga
apabila tidak
diawasi dengan
pengawasan yang
berkesinambunga
Demokrasi
mengusung prinsip
untuk melaksanakan
keinginan ataupun
maksud dari syûrâ
secara lebih detail,
demokrasi mencoba
untuk mengontrol
pemerintahan
dengan :
- Melakukan
pergantian
pemimpin secara
teratur dalam
waktu–waktu yang
telah ditentukan.
- Adanya pengakuan
dari
keanekaragaman
dalam berbangsa
dan bernegara,
keberagaman yang
masih dalam
keragka persatuan
dan kesatuan
berbangsa dan
bernegara, hal ini
juga sesuai dengan
nilai persatuan dan
Dalam
demokrasi
ataupun syûrâ
sama-sama
mengususng
sebuah prinsip
yang
menjunjung
tinggi
pemerintahan
yang
bertanggung
jawab dan
penuh tanggung
jawab dengan
sebuah
pengawasan
yang
melibatakan
rakyat, adapun
demokrasi
dalam
prakteknya,
mampu
menjabarkan
ide-ide syûrâ
dengan konsep
yang lebih
detail untuk
menjabarkan
Page 210
185
n maka akan
mengabaikan
prinsip ataupun
kedudukan
musyawarah
kesatuan yang
diusung
pemerintahan Islam.
- Menjamin tegaknya
keadilan.
prinsip syurâ
seperti;
pergantian
pemimpin
secara teratur,
unity in
diversity dan
jaminan untuk
tegaknya
keadilan
2
Syûrâ menjadi
salah satu prinsip
yang dipegang
umat Islam untuk
menjalankan
pemerintahan
secara
konstitusional.
Islam
menganggap
bahwa ada unsur
hak-hak Allah
yang terekam
dalam teks-teks
al-Qurân dan
Hadîs yang harus
dilibatkan dalam
setiap keputusan
poitik, hak-hak
itu menjadi
semacam prinsip
konstitusional
dalam berpolitik
dan bernegara,
namun
musyawarah
dianggap oleh
sebagian Ulama
berada pada
Meski demokrasi
tidak sekalipun
disebutkan di dalam
al-Qurân, namun
bukan berarti Islam
menolak demokrasi
sebagai sistem
pemerintahan dalam
sebuah negara,
terdapat nilai
kejujuran, keadilan,
keterbukaan dan
ketaatan pada sebuah
kepemimpinan yang
sah dengan paying
hukum, hal tersebut
sama persis dengan
prinsip syûrâ dalam
Islam.
Syûrâ dan
demokrasi
sama-sama
menjadi prinsip
yang dipegang
untuk
menjalankan
pemerintahan
secara
konstitusional,
keduanya
dalam
bernegara
berpegang
kepada hukum
yang mengatur
pola dan
mekanisme
pemerintahan
negara yang
telah disepakati
Page 211
186
ruang lingkup
yang terdapat
pada hal-hal yang
tidak terkait
dengan teks.
3
Poin inti dalam
proses
musyawarah
adalah
melakukannya
bersama dengan
para ahli dan
tidak melakukan
hal-hal lain di
luar musyawarah
tersebut. Asas
dalam
musyawarah
adalah menjamin
kebebasan
sempurna dalam
mengutarakan
pendapat, selagi
tidak melanggar
batas-batas
akidah atau
ibadah
Sesuai dengan faktor
kemunculan
demokrasi yang
mengarah kepada ide
atau sistem yang
tertanam dalam
sebuah negara.
Dalam upaya untuk
menyatakan
pendapat di muka
umum, baik dalam
bentuk lisan ataupun
tulisan, maka negara
perlu untuk
menjamin kebebasan
di dalamnya.
Kebebasan rakyat
untuk menyatakan
pendapat dalam
kehidupan berbangsa
dan bernegara
merupakan syarat
yang harus dipenuhi
oleh negara yang
bertujuan untuk
menjadi negara
demokratis dan
selaras dengan nilai–
nilai Islam.
Syurâ dan
demokrasi
menjamin
kebebasan
berpendapat,
untuk menuju
sebuah negara
baik, diperlukan
sebuah
kebebasan
berpendapat,
tentu kebebasan
tersebut
mengarah
kepada
kepentingan
negara secara
luas ataupun
parsial, dalam
hal ini sebuah
negara akan
dikatakan
sebagaisebuah
negara yang
demokratis dan
islami apabila
mampu untuk
menjamin
kebebasan
berpendapat
Page 212
187
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syûrâ dianggap sebagai konsep utama dalam
pemerintahan Islam. Telah banyak ulama dari masa ke masa
yang menjelaskan mekanisme syûrâ, seperti halnya al-Mâwardî (
w. 450 H/1058 M ) dan al-Ghazâlî ( w. 505 H/1111 M ), apa
yang dilakukan oleh Ulama di zaman tersebut, tidak
menjabarkan konsep syûrâ ke dalam konstelasi politik di
kehidupan berbangsa dan bernegara bagi umat muslim pada saat
ini.
Menurut hemat penulis, perlu ada kajian ulang mengenai
konsep syûrâ, untuk direlevansikan dengan kondisi politik
masyarakat muslim di masa ini. Pada mulanya, sebelum penulis
melakukan kajian tafsir tematik yang berhubungan dengan ayat–
ayat syûrâ, penulis tertarik dengan perkembangan penafsiran
mengenai ayat–ayat syûrâ yang ada di dalam al-Qurân.
Pada masa–masa awal penafsirannya, para Ulama sepakat
untuk mengatakan bahwa syûrâ merupakan tema yang berasal
dari al-Qurân secara mutlak. Ia dijelaskan dan bahkan disebut
beberapa kali di dalam al-Qurân, adapun kata syûrâ, musyawarah
dan derivasinya al-Qurân terdapat empat bagian. Ayat- ayat al-
Qurâan yang menjelaskan secara eksplisit mengenai padanan
kata-kata tersebut pertama dimulai dari Surat al-Baqarah : 233,
Page 213
188
188
kemudian ali-‘Imran : 159, Maryam : 29 dan yang terakhir ada
pada surat as-Syûrâ : 38.
Bersumber dari empat ayat di atas yang secara khusus
membahas mengenai syûrâ, kemudian penulis beranjak
melakukan penelitian mengenai ayat–ayat syûrâ yang ada di
dalam al-Qurân, dalam penelitian ini, penulis berusaha
membuktikan dua hipotesa yaitu:
Pertama, pemahaman tafsir pra-modern atau tafsir
klasik terkait konsep syûrâ untuk konteks politik
negara muslim modern tidak relevan sepenuhnya,
karena dalam penelitian yang penulis dapatkan,
kebanyakan Ulama di zaman klasik tidak menjelaskan
syûrâ sebagai sebuah dasar sistem Negara, penulis
meneliti dalam kajian tafsir turâts ( tafsir klasik ),
tercatat hanya al-Qurtubî dan al-Mâwardî yang
menjelaskan syûrâ dalam konteks yang lebih luas,
yaitu ranah negara dan politik.
Menurut penulis, penjelasan Ulama klasik belum cukup
mewakili konstelasi politik saat ini yang sudah jauh berkembang
dalam hal teknis pelaksanaan syûrâ, seperti keberadaan DPR (
Dewan Perwakilan Rakyat ), yang juga pernah berfungsi sebagai
lembaga yang menentukan dalam proses pemilihan pemimpin
negara ataupun daerah, terlebih dengan munculnya sistem
demokrasi yang diadopsi oleh beberapa negara muslim dewasa
ini, namun tentu pemikiran cemerlang dari al-Qurtubî dan al-
Page 214
189
Mâwardî telah memberikan sumbangsih yang besar bagi dunia
politik Islam pada masa – masa setelahnya.
Kedua, adalah sistem demokrasi beserta prinsip-
prinsip di dalamnya mempunyai relasi dengan syûrâ.
Hal yang kemudian menjadi sebab perbandingan antara
demokrasi dan musyawarah adalah, karena keduanya merupakan
sebuah konsep tata kelola pemerintahan yang memang datang
dari dua sumber yang berbeda. Berawal dari hal tersebut,
kemudian muncul dikotomi di antara keduanya, syûrâ dianggap
mewakili Islam, sedangkan demokrasi mewakili Barat, sebagian
opini yang berkembang saat ini adalah perbedaan diametral,
keduanya di tempatkan untuk saling berhadap–hadapan sehingga
tidak bertemu titik persamaannya.
Berangkat dari fenomena di atas, penulis mencoba untuk
menjelaskan bahwa demokrasi dapat diamati dengan dua dimensi
yang saling menguatkan :
Pertama, yaitu dimensi epistimologi, yang dipahami
bahwa demokrasi merupakan sebuah ide
kebersamaan dalam upaya membentuk sebuah sistem
bernegara suatu masyarakat tertentu, yang kemudian
ia menjadi sebuah ilmu tatanegara yang
dikembangkan di Barat, guna mengatur kepentingan
kekuasaan secara bersama-sama dalam unsur utama
sebuah negara yaitu keterlibatan rakyat, hukum dan
penguasa terhadap berlangsungnya sebuah sistem dan
era pemerintahan.
Page 215
190
Kedua. yaitu dimensi praktek, di sini demokrasi
dipahami sebagai sebuah budaya, sehingga dalam
pelaksanaannya, demokrasi mampu untuk melebur
dan menjadi pondasi sistem pemerintahan dalam
sebuah negara. Tanpa mendahulukan demokrasi yang
dipahami sebagai sebuah budaya, maka aktualisasi
demokrasi dari sebuah ide menuju sebuah sistem yang
dilaksanakan akan mustahil untuk terwujud, hal itu
dikarenakan demokrasi akan terbatas pada hal-hal
teoritis dan bahkan terkungkung dari ide-ide atau
budaya demokrasi yang berasal dari Barat, yang
terkadang sama sekali berbeda dengan budaya Timur
atau yang lainnya, sehingga benturan-benturan yang
berakar dari perbedaan budaya akan sangat sukar
untuk ditolelir.
Penulis mencoba menjadikan Indonesia sebagai contoh
dalam penelitian ini yang mengusung konsep Pancasila sebagai
dasar ideologinya. Oleh karena itu, sebagai sebuah dasar ideologi
negara, Pancasila ditempatkan dalam pandangan bahwa ia adalah
dasar ideologi negara yang terbuka dalam menerima konsep
terhadap sistem negara yaitu konsep demokrasi. Dalam
menempatkan Pancasila sebagai sebuah dasar ideologi negara
yang besifat terbuka, kita harus melakukan langkah coba dan
gagal ( try and error ), yang berfungsi untuk membuka
kemungkinan–kemungkinan terbaik untuk diterapkan di dalam
negara Indonesia, baik dalam hal tatanan pemerintahan ataupun
Page 216
191
yang bersinggungan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan
budaya. Menurut hemat penulis, keterbukaan Pancasila sebagai
ideologi negara yang mempunyai filter melalui karakter bangsa
menjadi sebuah ‚rem‛ agar tidak terjadi penyimpangan budaya.
Dengan masuk melalui pemahaman bahwa demokrasi
merupakan budaya, yang berarti demokrasi adalah sebuah sistem
pemerintahan negara yang muncul dan berkembang dari tempat
di mana demokrasi itu dilaksanakan, dan kita juga harus sepakat
untuk bersama–sama menerima, bahwa demokrasi merupakan
sebuah sistem pemerintahan yang mengusung nilai–nilai yang
juga menjadi spirit dari syûrâ itu sendiri.
B. Saran dan Rekomendasi Penelitian Lanjutan
Ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan kepada
para pembaca studi syûrâ dan demokrasi, juga para peneliti
selanjutnya yang berkeinginan untuk meneliti syûrâ dan
demokrasi :
1. Syûrâ dalam prakteknya dewasa ini telah berkembang
menjadi konsep utama sistem pemerintahan Islam, dimana
hal yang paling diusung olehnya adalah proses
musyawarah, untuk menuju sebuah pemerintahan yang
penuh dengan nilai–nilai luhur al-Qurân, seperti keadilan,
kemakmuran, keterbukaan, kesejahteraan dan prinsip–
prinsip persamaan hak dan kewajiban, oleh karena itu,
keberadaan proses musyawarah dalam sebuah negara
muslim—negara yang mengusung nilai–nilai keislaman
Page 217
192
atau negara dengan mayoritas penduduknya adalah
muslim— merupakan keharusan.
2. Penerapan syûrâ dalam sebuah negara muslim sebagai
sebuah konsep pemerintahan harus dipahami sebagai hal
yang ijtihâdi, hal itu berarti penerapan syûrâ dalam sebuah
negara berkonsekuensi bahwa ia juga harus menerima ide
atau konsep lain yang lebih berguna untuk membangun
sebuah peradaban kemanusiaan yang lebih baik, seperti
nilai–nilai atau prinsip demokrasi.
3. Kajian tafsir tematik dan juga penelitian terhadap konsep
demokrasi yang penulis lakukan membuktikan bahwa,
adanya nilai–nilai syûrâ yang terdapat dalam konsep
negara demokrasi, hal itu menunjukan adanya integrasi
antara konsep demokrasi dengan nilai–nilai syûrâ, yang
keduanya harus saling dikuatkan bagi negara yang saat ini
sedang menjalankan konsep negara demokrasi.
4. Perbedaan yang paling mendasar antara konsep demokrasi
dan konsep syûrâ adalah pada tataran pengertian
etimologis dan terminologis, pada tahap prinsip dan
implementasi, keduanya merupakan hal yang saling
berintegrasi, bahkan sebagian kalangan pemikir
kontemporer mengatakan keduanya merupakan satu
kesatuan teori, oleh karena itu, upaya integrasi konsep
demokrasi dengan nilai–nilai syûrâ harus sampai pada
pembahasan prinsip nilai dan implementasi.
Page 218
193
5. Indonesia sebagai sebuah negara yang mengusung konsep
demokrasi, namun dalam ideologi kenegaraannya tetap
mengusung nilai–nilai Islam, yang tertuang dalam
Pancasila dan UUD, untuk negara–negara yang
berpemahaman bahwa syu>ra> dan demokrasi adalah dua
konsep negara yang saling berintegrasi, maka sangat layak
untuk mencontoh penerepan keduanya seperti di Indonesia.
Untuk para pengkaji studi syûrâ dan demokrasi
selanjutnya, penulis memberikan beberapa rekomendasi yaitu :
1. Meneliti negara–negara pengusung konsep demokrasi,
kemudian membuat analisa mengenai implementasi
demokrasi dalam negara tersebut apakah terintegrasi
dengan konsep syûrâ?
2. Membuktikan bahwa negara demokratis adalah negara
ideal yang dimaksud di dalam Islam, atau oleh bahasa al-
Qurân dikenal dengan baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafûr.
3. Membuktikan bahwa konsep demokrasi merupakan konsep
negara yang paling dekat secara prkatek dengan nilai–nilai
syûrâ ketimbang konsep–konsep negara yang lain yang
telah digunakan di negara–negara Islam di zaman dulu atau
yang saat ini masih bertahan.
Page 219
194
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna. Penerjemah: Wahib Wahab. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1999.
Abdul Baqi, Muhammad Fuad. Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Faz Al-Qurân . Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Abul Majdi . Ahmad Kamal. Hiwâr lâ Muwâjahah. Kairo : Dar
As-Syuruq, 1988.
Ahmad ,Mumtaz (ed). State, Politics, and Islam. Indianapolis :
American Trust Publication, 1986.
Al-‘Asqalânî, Ibnu Hajar. Fathu Al-Bârî Syarhu As-Sahîh Al-Bukhârî. Dâr Al-Ma’rifah. Beirut. 1379 H.
Al-Alusî, Mahmûd, Rûh Al-Ma’ânî fi At-Tafsîr As-Sab’I Al- Matsânî. Dâr Al-Hadîts. Kairo. 2005.
Al-Ansâri Al-Qurtubî, Abû Abdillah Muhammad bin Ahmad. Al Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Kairo: Maktabah Dar Al Hadis,
1994.
Al-Asfahânî, Ar-Râghib. Al-Mufradât Fî Gharîb Al-Qurân. Dâr
Al-Kutub Al-„Arabî, Mesir. 1972,
Al-Awa, Muhammad Salim. Fî An-Nizâm As Siyasi li Ad Daulah Al Islamiyah. Kairo: Dar Syuruq Ad-Dauliyah,
1975.
‘Audah, ‘Abdu Al-Qâdir. Al-Islâm wa Awdâ’una As-Siyâsah.
Kairo: Al-Mukhtar Al-Islam, 1978.
At-Tabarî, Abu Ja’far Ibn Jarir. Jâmi’u Al-Bayân ‘An Takwîl Al-Qurân Tafsîr At-Tabarî. Kairo: Dar Al Hadis, 2010 .
Azad, Mawla Abû al-Kalâm. Tarjaman Al-Qurân. New Delhi:
Sahitya Academy, 1966.
Page 220
195
Azhari, Muhammad Tahir. Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta : Prenada Media, 2004.
Al-Bahnasawi, Salim. Makânatul Mar’ah Bainal Islam wal Qawânîn Al-‘Âlamiyah, Darul Al-Wafâ. 2003.
Al-Baidâwî, Al-Qâdî, Anwâr At-Tanzîl wa Asrâr At-Takwîl, Maktabah Al-Usûlî. Damanhûr. 1418 H..
Barsihannor. Pemikiran Abû Al-A‟lâ Al-Maudûdî. UIN Alauddin:
Jurnal Abadiyah. Volume. XIII, 2/2013.
Al-Mâwardî. Al-Ahka>m As-Sultâniyyah. Indonesia: Al
Haramain Jaya, 2001.
Budiman, Arief. Jalan Demokratis Ke Sosialis. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta: 1987.
Busroh, Abu Daud, Ilmu Negara. BumiAksara. Jakarta. 2010.
Departemen Agama, RI. Al-Qurân dan Terjemahanya, Al-
Jumanatu Al-‘Ali, Bandung, 2007.
Efendi, Muhajir. Masyarakat Equiblirium . Yogyakarta: Bintang
Budaya, 2002.
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta : Paramadina, 1998.
Elmansyah, Kuliah Ilmu Kalam Formula Meluruskan Keyakinan Umat di EraDigital..IAIN Pontianak Press. Pontianak.
2017.
Fâris , Ibnu. Mu’jam Maqâyis fî Al-Lughah. Beirut: Dar al-Ihya
al-Turas al‘Arabi 2001.
Page 221
196
Geertz, Clifford, Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology. Basic Books. New York.
1993.
Ghofur, Syaiful Amin. Profil Para Mufasir Al-Qur'an.
Pustaka Insan Madani. Yogyakarta. 2008.
Al-Ghulayyîni, As-Syaikh Musthafa. Jâmi’u Ad-Durûs Al- ‘Arabiyah, Beirut : Al-Maktabah Al ‘Ashriyah. 1984.
Al-Gorshy, Salah Eldeen. Deepening Democracy: A New Mission ahead of Islamic Thought. Al Arabi, 1997.
Haitami, Ramadhan Muhammad. Al-Mursyid Al-Hâdi fi Usul Al-Fiqh Al-Islâmi, Kairo: Maktabah Al-Azhar. 2010.
Hamawi, Subhi. Al-Munjid fî al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’âshirah. Beirut: Dar Al-Masyriq. 2000.
Haryatmoko. Etika Politik dan Kebebasan. Jakarta: Kompas,
2003.
Hasan, Fuad, Bab Pengantar, dalam Plato, Apologia: Pidato Socrates yang Diabadikan Plato. Bulan-Bintang.
Jakarta.1986.
Held, David. Demokrasi dan Tatanan Global; Dari Negara Modern Hingga Pemerintahan Kosmopolitan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Ibnu „Âsyûr, At-Tâhir. At-Tahrîr wa At-Tanwîr. Tunisia: Ad-Dâr
At-Tûnisiyyah. 1984.
Ibrâhîm, Sayyid Qutb. Fî Zilâli Al-Qurân. Kairo: Dar As-Syûrûq
1978.
Idris, Saifullah. Islam dan Demokrasi; Respon Umat Islam Indonesia Terhadap Demokrasi. Al-Fikr: Jurnal
Pemikiran Islam. 1 September, 2011.
Page 222
197
Al-Jâwî, Syekh An-Nawawî, Marah Labîd. Maktabah Karya
Tâhâ Putera. Semarang. Tt.
Jindan, Khalid Ibrahim. Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taymiyah tentang Pemerintahan Islam, terj. Masrohin.
Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Jurnal CITA HUKUM VOL. I NO. 2 DESEMBER 2013
Diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta bekerjasama dengan Pusat Studi Konstitusi dan
Legislasi Nasional (POSKO-LEGNAS) UIN Jakarta.
Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik. Jakarta :
Perpustakaan Nasional, 2013.
Katsîr, Ibnu. Tafsîr Al-Qurân Al-„Azim. Maktabah Dâr At-
Tayyibah. Kairo. 1999.
Al-Khâliq, Abdurrahmân Abdu. As-Syûrâ fî Zilli al-Hukmi Al-
Islâmi. Kuwait: Dar Al-Qalam. 1997.
Khaliq, Farid Abdul. Judul Asli Fî Al-Fiqh Al-Islâmî Mabâdi’ Dustûriyyah As-Syûrâ Al-‘Adl Al-Musa>wah, Dâr As-Syurûq, penerjemah Faturahman A.Hamid, Lc. Jakarta:
Penerbit Amzah, 2005.
Lajnah Min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al- Islâmiyah, Kairo: Maktabah Rasywan. 2012.
Mas’ud, Mohtar. Negara Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1991.
Al-Mâwardî. Al-Ahkâm As-Sultâniyyah, Indonesia: Al
Haramain Jaya . 2001.
MD, Moh. Mahfud. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo, 2010.
Page 223
198
Al-Munawar, Said Agil Husin. Fikih Siayasah dalam Konteks Perubahan Menuju Masyarakat Madani. Jurnal Ilmu
Sosial Keagamaan. Vol.1, No. 1, Juni 1999.
Mustofa, Kyai Bisyri. Al-Ibrîz Li Ma’rifti Al-Qurân Al-‘Aziz bi Al-Lughah Al-Jawiyah. Wonosobo: Lembaga Kajian
Strategis ( LKS ), 2013.
Nafis, Muhammad Wahyuni dkk, (ed).,‚Konteksrtualisasi Ajaran Islam: 70 tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA.‛ Jakarta: Paramadina, 1995.
Nasution , Adnan Buyung. Demokrasi konstitusional, editor : Tri
Agung Kristianto. Jakarta: Kompas ISBN, 2010.
Penyusun ,Tim. Pedoman Penulisan, Skripsi, Tesis, Disertasi. Jakarta: UIN Jakarta, 2000.
Powell, Gabriel A. Almond dan G. Bingham, Jr., Comprative Politics. Little and Brown Company; Boston dan
Toronto. 1978.
Qardâwy, Yusuf . Fiqih Negara. Jakarta: Robbani Press, 1997.
Ar-Râzî As-Syâfi’î, Al-Imâm Fakhru Ad-Dîn Muhammad bin
‘Umar bin Husain bin Hasan bin ‘Ali At-Tamîmî Al-
Bakri. At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Kairo: Al-Maktabah At-Taufîqiyah, 2003.
Ridâ, Rasyîd. Tafsîr Al-Manâr, Al-Hai´ah Al-Misriyah Al-
„Âmmah li Al-Kitâb: Kairo. 1990.
Rozak, A. Ubaedillah. dan Abdul. Pendidikan Kewarganegaraan Edisi Ketiga : Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta :Penerbit Prenada Media
Group , 2008.
As-Sabûnî, ‘Alî, Safwah At-Tafâsîr, Maktabah At-Taufiqiyyah.
Mesir.2009.
Page 224
199
As-Sya’rawî, Muhammad Mutawalli. Tafsîr As-Sya’rawî: Khawâtîr Haul Al-Qurân. Akhbâr Al-Yaum: Kairo. 1411
H/1991 M.
Saeed, Abdullah. Al-Qurân Abad 21: Tafsir Kontekstual. Penerjemah, Evan Nurtawab; editor, Ahmad Baiquni.
Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah Volume 12. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat Kajian sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001).
Sukardja, Ahmad dan Ahmad Sudirman Abbas. Demokrasi dalam Perspektiif Islam : Studi Perbandingan Antara Konsep Syura dan Demokrasi Barat dalam Kaitannya Dengan Demokrasi Pancasila. Jakarta : Pedoman Ilmu
Jaya, 2005.
Sulisworo, Dwi. Dkk. Hibah Materi Pembelajaran Non Konvensional ‚Demokrasi‛. Universitas Ahmad Dahlan.
Yogyakarta: 2012.
Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara; Ajaran dan Sejarah Pemikirannya. Jakarta: UI = Press, 1993.
Syaltut, Imâm Muhammad. Al-Islâm ‘Aqîdatan wa Syarî’atan .
Mesir : Dâr As-Syurûq, 1966.
As-Syâwî, Taufîq Muhammad. Fiqhu as-Syûrâ Wal Istisyârat. Penerjemah Djamaludin. Jakarta: Gema Insani Press,
1997.
Titus, Harold H. et.al. Persoalan-persoalan Filsafat. Penerjemah:
H. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Turabi, Hasan. Nazrât fî Al-fiqh Al-Siyâsî. Um al-Fahim:
Markaz al-Dirâsat al-Mu’âsirah, 1997.
Page 225
200
Umar, Nasaruddin. ‚Kata Pengantar Editor‛ dalam Abd. Muin
Salim. Fikih Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qurân. Jakarta: LSIK, 1994.
„Utbah, Abdurrahmân. Mausû‟ah Al-Masâdir wa Al-Marâji‟.
Syiria : Maktabah Al-„Arabiyah. 2007.
Wilujeng, Sri Rahayu. Meningkatkan Kualitas Kehidupan Berbangsa Melalui Budaya Demokrasi. Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Diponegoro: HUMANIKA Vol. 19
No. 1. 2014.
Zakariya, Abû Al-Husein Ahmad bin Fâris bin. Mu‟jam Al-
Maqâyîs Al-Lughah. Beirut: Dar Al-Fikr. 1981.
Az-Zamakhsayari. Al-Kasyâf ‘An Haqâiqi At-Tanzîl wa ‘Uyûni Al-Aqâwîl fî Wujûhi At-Takwîl . Mesir: Maktabah
Mashr, 2000.
Zuhraini. Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik. ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Volume 14, Nomor
1, Juni 2014.
Page 226
201
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Attabik Hasan Ma’ruf lahir di desa
Parakancanggah, Banjarnegara Jawa
Tengah, tepatnya pada tanggal 16
Desember 1989. Riwayat pendidikan
penulis, RA Al-Fatah 1992-1995, MI Al-Fatah1995-2002, MTs
Al-Fatah 2002-2005 kemudian melanjutkan pendidikan
Madrasah Aliyahnya di MAKN Yogyakarta I 2005-2008. Setelah
lulus Aliyah, penulis melanjutkan pengembaraan studinya ke
negeri seribu menara Mesir, untuk melanjutkan kuliah di
Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dari tahun 2009-2014. Lalu
penulis melanjutkan pendidikan S2 di Magister UIN Jakarta
2016-2020.
Selama menjalani studi sampai sekarang, penulis aktif di
berbagai organisasi sekolah, kampus dan organisasi afiliatif.
Menjabat sebagai Ketua Osis Mts Al-Fatah 2003-2004, sebagai
Bendahara Majelis Permusyawaratan Siswa MAN Yogyakarta I,
sebagai Qismu al-Lughah Organisasi Santri Ma’had Al-Hakim
Yogyakarta, sebagai Koordinator Pendidikan & Kebudayaan
KSW Mesir, sebagai anggota LTNU PCINU Mesir, sekarang
sebagai Ketua Rijalul Ansor PC. GP Ansor Kab. Banjarnegara
dan juga Wakil Ketua LDNU PC. NU Kab Banjarnegara.