Top Banner
SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik dan Kontemporer Mengenai Surat Ali-‘Imrân Ayat 159 Tesis Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama ( M. Ag ) Oleh Attabik Hasan Ma’ruf NIM: 21160340000017 ISBN : 978-602-5819-68-1 PROGRAM MAGISTER TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2020
226

SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

Nov 17, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN

INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI :

Studi Tafsir Klasik dan Kontemporer Mengenai Surat

Ali-‘Imrân Ayat 159

Tesis

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Magister Agama ( M. Ag )

Oleh

Attabik Hasan Ma’ruf

NIM: 21160340000017

ISBN : 978-602-5819-68-1

PROGRAM MAGISTER TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDIN UNIVERSITAS

ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H/2020

Page 2: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN

INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI :

Studi Tafsir Klasik dan Kontemporer Mengenai Surat

Ali-‘Imrân Ayat 159

Tesis

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Magister Agama ( M. Ag )

Oleh

Attabik Hasan Ma’ruf

NIM: 21160340000017

ISBN : 978-602-5819-68-1

PROGRAM MAGISTER TAFSIR HADIS FAKULTAS

USHULUDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2020

Page 3: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik
Page 4: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

iii

Page 5: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

iv

Page 6: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

v

Page 7: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

vi

ABSTRAK

SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA

DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik dan Kontemporer

Mengenai Surat Ali-‘Imrân : 159

Dalam sejarah penelitian, telah banyak yang mengkaji

mengenai demokrasi, syûrâ atau integrasi di antara keduanya.

Sebagian dari mereka menyatakan bahwa syûrâ dan demokrasi

tidak bisa disamakan, keduanya bersumber dari dua pusat

peradaban yang saling berseberangan, yaitu peradaban Timur

dan Barat. Negara–negara muslim sebelum mengenal demokrasi

sendiri mengalami kemunduran dengan munculnya sistem

kekuasaan yang otoriter, ketidakadilan dan hukum yang pilih–

pilih. Dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam demokrasi, ia

kemudian muncul sebagai solusi atas permasalahan–

permasalahan tersebut. Syûrâ dan demokrasi merupakan konsep

pemerintahan negara.

Dalam Islam, syûrâ dikenal sebagai sebuah konsep yang

bersumber langsung dari al-Qurân. Kemudian yang menjadi

permasalahan adalah, dalam khasanah pemikiran Islam klasik,

sebagian besar dari mereka menempatkan syûrâ sebagai

kewajiban yang harus dijalankan untuk masing-masing individu

tanpa menyentuh ranah politik, penafsiran–penafsiran klasik

mengenai tema syûrâ sangatlah tekstual dan terbatasi oleh

kondisi dan situasi politik negara–negara di dunia saat itu.

Berbeda tentunya kondisi negara muslim saat ini, sebagian besar

penafsir kontemporer menyuarakan demokrasi sebagai sebuah

ide dan konsep pemerintahan. Penulis melakukan penelitian ini

dengan metode tafsir maudû’i, kemudian penulis berusaha

membandingkan penafsiran Ulama klasik dan kontemporer

terhadap ayat-ayat syûrâ di dalam al-Qurân, lalu

membandingkan dan mengintegrasikan teori pemerintahan

demokrasi dan nilai-nilai syûrâ di dalam al-Qurân, lebih spesifik

lagi yaitu dalam Surat al-Imrân : 159 dan Surat as-Syûrâ : 38.

Penulis kemudian mencoba memunculkan nilai–nilai syûrâ

yang terintegrasi dengan konsep demokrasi dan mendapati

Page 8: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

vii

bahwa dalam prakteknya, ternyata banyak dari nilai–nilai

keduanya yang saling terintegrasi, sehingga tidak heran apabila

banyak Ulama muslim kontemporer yang mengatakan bahwa

demokrasi adalah konsep yang paling merepresentasikan konsep

syûrâ yang ada di dalam al-Qurân. Demikianlah penelitian ini

penulis lakukan untuk meminimalisir dikotomi anatara konsep

syûrâ dan demokrasi yang saat ini telah banyak digunakan oleh

negara-negara muslim.

Kata kunci : syûrâ, demokrasi, tafsir klasik, tafsir kontemporer,

Ali-Imran :159.

Page 9: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

viii

ABSTRACT

SHURA IN AL-QURÂN AND ITS INTEGRATION WITH

DEMOCRACY:: Study of Classical and Contemporary

Interpretation of Surah Ali-Imran: 159.

In the history of research, there have been many studies on

democracy, shura, or even integration between the two. Some of

them stated that shura and democracy cannot be equated, both

originating from two opposing centers of civilization, namely

Eastern and Western civilizations. Muslim countries before

coming to know democracy themselves suffered a setback with

the emergence of authoritarian systems of power, injustice and a

selective law. With the principles in democracy, it then appears

as a solution to these problems. Shura and democracy is a

concept of state government.

In Islam, shura is known as a concept that is directly

sourced from the Qur'an. Then the problem is, in the repertoire

of classical Islamic thought, most of them place shura as an

obligation that must be carried out for each individual without

touching the realm of politics, classical interpretations on the

theme of shura are very textual and limited by the conditions

and political situation of the state - countries in the world at that

time. Different from the current condition of Muslim countries,

most contemporary interpreters voice democracy as an idea and

concept of government. The author conducted this research with

the method of interpretation maudû'i, then the writer tried to

compare the interpretation of classical and contemporary Ulama

to the verses of shura in the Qur'an, then compare and integrate

the theory of democratic governance and shura values in the

Qur'an, more specifically again namely in Surat al-Imran: 159

and Surat as-Syr: 38.

The author then tries to bring up shura values integrated

with the concept of democracy and find that in practice,

apparently many of the values of both are mutually integrated,

so it is not surprising that many contemporary Muslim scholars

say that democracy is the embodiment of concept that best

Page 10: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

ix

represents the concept of shura which is in the Qur'an today.

Thus this research the author did to minimize the dichotomy

between the concepts of shura and democracy which are

currently widely used by Muslim countries.

Keywords: shura, democracy, Classical interpretation,

Contemporary interpretation, al-Imran: 159.

Page 11: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

x

KATA PENGANTAR

Assalâmu’alaikum wr.wb.

Segala puji hanya milik Allah SWT. Penguasa

seluruh alam. Dzat yang menentukan segala kebenaran. Hanya

dengan rahmat-Nya, penelitian dan penulisan tesis ini dapat

terselesaikan. Tesis ini berjudul ‚Syûrâ Dalam Al-Qurân Dan

Integrasinya Dengan Demokrasi : Studi Tafsir Klasik dan

Kontemporer Mengenai Surat Ali-‘Imrân : 159‛ Alhamdulillah

berkat rahmatNya, tesis ini dapat diselesaikan.

Tesis ini diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Magister Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qurân

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis

menyampaikan rasa hormat dan menghaturkan terima kasih yang

sebesar-besarnya, kepada :

1. Ibu Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Hj.

Amany Lubis, MA, Bapak Dr. Abd. Muqsith Ghazali, MA.

dan Ibu Dr. Hj. Faizah Ali Syibramalisi, MA. atas

bimbingan, arahan dan waktu yang telah diluangkan kepada

penulis untuk berdiskusi selama menjadi dosen wali, dosen

pembimbing dan perkuliahan.

Page 12: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

xi

2. Ketua program studi Pascasarjana Fakultas Ushuluddin UIN

Jakarta Bapak Dr. Bustamin, SE. M.Si beserta Bapak Dr.

Fudhaili, M.Ag sebagai Sekretaris Program Studi.

3. Seluruh Dosen program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin

khususnya dosen Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al Quran yang telah

memberikan arahan dan bimbingan untuk mendalami ilmu al-

Qurân.

4. Ayahanda Drs. H. Yahya Hanafie MM, Ibunda Hj. Noor

Hasanah S.Pdi., Bapak dan Ibu mertua yang selalu mensuport

penelitian ini, Drs. H. Mirza Hasbullah M.Si., Hj. Nurjannah,

kakak – kakak saya, adik adik saya serta keponakan saya

yang lucu – lucu, atas segala dukungan dan doanya.

5. Istri saya Nazla Nafisah, atas segala motivasi, perhatian dan

doa nya serta kesabaran menunggu di rumah selama beberapa

waktu. Ananda tercinta Ahmad Shaquel Dzihnu Barkhiya,

abi sayang kalian.

6. Ibu Ojah, atas masukan dan bantuannya dalam karya tulis ini.

7. Bapak Tedy yang telah meluangkan waktu malam –

malamnya untuk selalu berbagi cerita.

8. Rekan rekan S-2 Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qurân Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2016 :

Apriadi Fauzan, Muhammad Aryadillah, Habib Husein

Ja’far, Arief, Hasiolan, Jalaluddin, Saofi, Zainur, Najib,

Mabda’, Fahri, Syakur, Reva, Aam, Misbah, Kholil, dan juga

Bapak Toto.

Page 13: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

xii

9. Seluruh civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta khususnya teman teman di Fakultas

Ushuluddin atas dukungan dan bantuannya.

10. Kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu.

Dengan keterbatasan pengalaman, ilmu maupun pustaka

yang ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak

kekurangan dan pengembangan lanjutan agar benar benar

bermanfaat.

Akhir kata, penulis berharap tesis ini memberikan manfaat

bagi kita semua terutama untuk pengembangan ilmu

pengetahuan.

Wassâlamu’alaikum wr.wb.

Jakarta, 08 Juli 2020

Attabik Hasan Ma’ruf

Page 14: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

xiii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ................. ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING………………….IV

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................ IV

ABSTRAK ........................................................................................... V

KATA PENGANTAR........................................................................ X

DAFTAR ISI ................................................................................. XIII

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................XVIII

BAB I PENDAHULUAN............................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah........................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................ 12

1. Identifikasi ...................................................................... 12

2. Pembatasan masalah ....................................................... 14

3. Perumusan masalah ........................................................ 15

C. Tujuan Penelitian ................................................................... 16

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ..................................... 17

E. Penelitian Terdahulu .............................................................. 18

F. Metodologi Penelitian ........................................................... 24

1. Sumber data .................................................................... 25

2. Metode pendekatan......................................................... 28

3. Langkah operasional ....................................................... 30

G. Sistematika Penulisan ............................................................ 31

BAB II KONSEP SYÛRÁ DALAM AL-QURÁN ................... 33

A. Pengertian Syûrâ .................................................................... 33

1. Syûrâ dalam pengertian bahasa ...................................... 33

2. Syûrâ secara istilah ......................................................... 41

B. Syûrâ dan Derivasinya dalam Al-Qurân ................................ 46

Page 15: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

xiv

C. Nilai-nilai Musyawarah dalam Al-Qurân .............................. 48

D. Batasan-batasan dalam Musyawarah ..................................... 63

BAB III SYÛRÁ DALAM PERSPEKTIF ULAMA KLASIK

DAN KONTEMPORER SERTA DEMOKRASI SEBAGAI

SEBUAH KONSEP NEGARA...................................................... 76

A. Pandangan Ulama Klasik Mengenai Konsep Syûrâ .............. 76

B. Pandangan Ulama Kontemporer Mengenai Konsep Syûrâ. 115

C. Sejarah dan Nilai Demokrasi ............................................... 130

1. Sejarah Demokrasi.......................................................... 134

2. Nilai-nilai Demokrasi ..................................................... 138

D. Islam dan Demokrasi ........................................................... 139

BAB IV INTEGRASI SYÛRÁ DALAM DEMOKRASI .... 149

A. Integrasi Musyawarah Dengan Demokrasi dan Penerapannya

Dalam Sebuah Negara ......................................................... 149

B. Syûrâ Dalam Pandangan Ulama Klasik dan Integrasinya

Dengan Demokrasi.............................................................. 153

C. Syûrâ dan Demokrasi Dalam Pandangan Sarjana Muslim

Kontemporer ........................................................................ 161

D. Syûrâ dan Demokrasi Dilihat Dari Prinsip Keduanya ....... 180

BAB V PENUTUP ..................................................................... 187

A. Kesimpulan .......................................................................... 187

B. Saran dan Rekomendasi Penelitian Lanjutan ...................... 191

DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 194

Page 16: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik
Page 17: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

xviii

PEDOMAN TRANSLITERASI

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan pananannya dalam

aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ث

Ts te dan es ث

J Je ج

ẖ h dengan garis bawah ح

Kh ka dan ha ر

D De د

Dz de dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy es dan ye ش

S es dengan garis di baawah ص

Page 18: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

xix

ḏ de dengan garis di bawah ض

ṯ te dengan garis di bawah ط

ẕ zet dengan garis bawah ظ

„ عKoma terbalik di atas hadap

kanan

gh ge dan ha غ

f Ef ف

q Ki ق

k Ka ك

l El ل

m Em م

n En ى

w We و

h Ha ه

Apostrof ` ء

y Ye ي

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia,

terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau

diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah

sebagai berikut:

Page 19: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

xx

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal

Latin Keterangan

A Fatẖah

I Kasrah

U Ḏammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksranya

adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal

Latin Keterangan

ي ai a dan i

و au a dan u

3. Vokal panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam

bahasa Arab dilambangkan dengan harokat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal

Latin Keterangan

ا â Fatẖah س

ي î Kasrah س

û Ḏammah س ى

Page 20: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

xxi

4. Kata Sandang

Kata sandang,yang dalam sistem aksara Arab

dilmbangkan dengan huruf, yaiu di alihaksarakan menjadi huruf

/I/, baik di ikuti huruf syamsiah maupun uruf kamariah. Contoh:

al-rijal, al diwan bukan addiwan.

5. Syaddah (tasydid)

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan

Arabdilambangkan dengn sebuah tanda (-) dalam alih aksara ini

di lambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf

yang di beri tandasyaddah itu.akan teapi, hal ini tidak berlaku

jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang di ikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya,

kata () tidak di tulis kata ad-darurah melainkan al-

darurah,demikian seterusnya.

6. Ta Marbutah

Berkaitan dengan alih aksara ini,jika ta marbutah terdapat

pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal

yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut di ikuti kata

benda(ism), maka huruf tersebut di alihaksarakan menjadi huruf

/t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

Page 21: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

xxii

Ṯar îqah طريقت 1

al-jâmî‟ah al-islâmiyyah الجاهعت الإسلاهيت 2

Waḫdat al-wujûd وددة الىدىد 3

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak di

kenal, dalam alih aksaraini huruf kapital tersebut juga digunakan,

dengan mengkuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa

Indonesia (EBI), antara lain menuliskan permulaan kalimat, huruf

awal nama tempat, nama bulan,nama diri, dan lain-lain.Jika nama

diri di dahului oleh kata sandang,maka yang di lis dengan huruf

kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau

kata sandangnya. Contoh: Abu Hamid al-Ghazali bukann Abu

Hamid Al- Ghozali, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat

di terapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai

huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold).Jika menurut

EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian

halnya dalam ahli aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama

tokoh yng berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak

dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab.

Page 22: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

xxiii

Misalnya ditulis Abdussamad al-palimbani, tidak „Abd al-Samad

al-Palimbani; Nurrudin al-Raniri, Nur al-Din al-Raniri.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‟l), kata benda (ism),

maupun huruf (harf) diulis secra terpisah. Berikut adalah

beberapa contoh ahli aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa

Arab, dengan berpedoman pada ketenuan-keentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

dzahaba al-ustâdzu ذهة اللأستاذ

tsabata al-ajru ثبج الأجر

عصريتالذرمت ال al-ḫarokah al-„asriyyah

asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh اشهد آى لا إله إلا لله

Maulânâ Mâlik al-Sâlîḫ هىلانا هلل الصالخ

yu‟ atstsirukum Allâh يؤثرمن الله

هر العقليتالوظا al-maẕâhir al-„aqliyyah

Penulisan nama oran harus sesuai dengan tulisan nama

diri mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang

Arab tidak perlu dialihaksarakan. Contoh: Nurcholis Madjid,

bukan Nur Khalis Majid; Mohamad Roem, bukan Muhammad

Rum; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahman.

Page 23: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik
Page 24: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Syûrâ merupakan salah satu tema al-Qurân yang

mempunyai penafsiran mengenai mekanisme pemerintahan1.

Dalam beberapa dekade, sejak penafsiran at-Tabarî, yang

dianggap sebagai masa penafsiran klasik, kemudian dengan

penafsiran Sayyid Abû al A’lâ al-Maudûdî dan Sayyid Qutb yang

direpresentasikan sebagai tonggak awal penafsiran

kontemporer2, syûrâ dianggap sebagai konsep utama dalam

pergulatan sistem politik Islam.

Telah banyak ulama dari masa ke masa yang menjelaskan

mekanisme syûrâ, seperti halnya Abû al-Hasan Alî ibn

Muhammad al-Mâwardi ( w. 450 H/1058 M ) dan Abû Hâmid al-

Ghazâlî ( w. 505 H/1111 M ), apa yang dilakukan oleh kedua

Ulama tersebut tidak bisa menampung dan menjabarkan konsep

syûrâ ke dalam konstelasi politik di kehidupan berbangsa dan

bernegara umat muslim saat ini3. Maka dari itu, bagi penulis

perlu ada kajian ulang mengenai syûrâ, untuk direlevansikan

dengan kondisi politik masyarakat muslim di masa ini.

1Al-Qurân Abad 21: Tafsir Kontekstual/karya Abdullah Saeed;

penerjemah, Evan Nurtawab; editor, Ahmad Baiquni ( Bandung: PT Mizan

Pustaka, 2015) hlm 245.

2Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 247.

3Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 245.

Page 25: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

2

Konsep syûrâ dalam al-Qurân yang menjadi fokus kajian

adalah surat Al-Imrân ayat 159 :

‚ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku

lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.‛

Konteks turunnya perintah untuk bermusyawarah ini

sebenarnya merupakan penjelasan al-Qurân tentang kejadian

perang Uhud, dimana saat itu, umat Islam hampir saja

mengalami kekalahan. Konsep syûrâ merupakan gagasan utama

dari ayat-ayat tersebut, sedangkan musyawarah merupakan

perintah Tuhan kepada Muhammad saw4.

Penafsiran mengenai ayat ini di kalangan para mufasir

penuh dengan perdebatan makna dan konteksnya, sehingga perlu

kiranya penulis mengungkap kembali khasanah Islam yang

mengangkat tema syûrâ, tentu dengan berbagai perdebatannya,

4Penjelasan mengenai ayat-ayat tentang perang Uhud terbentang

kurang lebih dari mulai ayat 121 hingga ayat 175 pada surat al-Imrân.

Page 26: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

3

dengan melalui beberapa zaman dan tempat yang berbeda,

terjadi hal yang cukup rentan terhadap pemahamaan mengenai

konsep syûrâ, terlebih dalam pandangan para pemikir

kontemporer, terdapat sebuah konsep demokrasi yang sebagian

dari mereka mengatakan bahwa demokrasi merupakan bagian

dari konsep syûrâ, namun sebagian yang lain mengatakan bahwa

demokrasi sama sekali bukan bagian dari konsep syûrâ seperti

yang ada dalam konsep tata negara Islam selama ini.

Munculnya beberapa pendekatan penafsiran saat ini

membuat metodogi penafsiran al-Qurân mempunyai berbagai

alternatif untuk mengolah dan merepresentasikan ayat-ayat al-

Qurân. Salah satu pendekatan penafsiran yang saat ini banyak

digemari di kalangan muslim adalah pendekatan kontekstual,

sebuah pendekatan baru dalam menafsirkan al-Qurân bukan

untuk melemahkan signifikansi al-Qurân di masa kontemporer

seperti ini, melainkan justru berupaya untuk membuat al-Qurân

mampu untuk diterapkan dalam masa modern5.

5Penjelasan Abdulah Saeed dalam bukunya Al Qurân Abad 21 ‚

kelompok kontekstualis memberi nilai hermeneutik yang besar bagi konteks

historis saat pewahyuan al Qurân—awal abad ke- 7 M—dan penafsiran

setelahnya. Mereka berpendapat bahwa para sarjana semestinya sangat

sensitif dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, intelektual dan budaya pada

saat penurunan wahyu; begitu juga lingkungan sekitar tempat kegiatan

penafsiran dilakukan di masa lalu dan kini.Kelompok kontekstualis, karena

itu, cenderung melihat al Qurân sebagai sumber panduan praktis. Mereka

meyakini bahwa panduan tersebut seharusnya bias diimplementasikan dengan

cara-cara baru, apabila kondisi menuntutnya, dan sejauh penerepan

Page 27: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

4

Melihat penjelasan para mufasir, baik dari klasik hingga

masa modern, tema mengenai syûrâ sudah banyak sekali

pembahasan dan perdebatannya. Di sini penulis ingin

mengungkap kembali makna dan substansi dari perdebatan para

pemikir klasik hingga masa modern mengenai konsep syûrâ

kemudian penulis akan berusaha untuk merelevansikannya

dengan mengintregasikan konsep syûrâ dengan sistem

demokrasi6, terutama sistem demokrasi yang berkembang dan

digunakan dalam Negara Islam.

Konsep syûrâ mengacu ke dalam al-Qurân yang

bersumber pada penafsiran 3:159. Para pemikir muslim pada

masa klasik menafsirkan ayat ini sama sekali tidak

bersinggungan dengan konsep pemerintahan ataupun politik7.

Beberapa sarjana muslim kontemporer mengemukakan bahwa

para penafsir masa awal tidak menampilkan syûrâ sesuai dengan

pemahamaan yang baru tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip Islam. Inti

pendekatan kontekstual terletak pada gagasan mengenai konteks. Konteks

adalah konsepumum yang bias mencakup, misalnya, konteks linguistic, dan

juga ‚konteks makro‛. Konteks linguistik berkaitan dengan sebuah frase,

kalimat, atau teks pendek tertentu yang ditempatkan dalam teks yang lebih

besar. Biasanya ini mencakup upaya menempatkan teks yang tengah dikaji

dalam rangkaian teks yang mendahului atau mengikutinya. Yang lebih

berguna dan manarik bari pendekatan kontekstual adalah ‚konteks makro‛. Al

Qurân Abad 21, hlm 14.

6Abdullah Saeed, ‚demokrasi adalah sebuah gagasan menyangkut

negoisasi dalam konteks sosial, budaya dan politik tertentu. Al Qurân abad

21, hlm 256.

7Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 247.

Page 28: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

5

penggunaan konsep syûrâ seperti sekarang. Jangankan

menafsirkan ayat tersebut untuk masyarakat muslim secara lebih

luas, mereka justru membatasi syûrâ sebagai sebuah perintah

Tuhan yang hanya berkutat dalam masalah-masalah peperangan

dan juga mengenai perintah bermusyawarah kepada Nabi.

Mewakili tafsir pada masa klasik di sini penulis seperti

halnya penelitian terdahulu, mencoba mengkaji dengan beberapa

kitab tafsir di masa itu, seperti pendapat at-Tabârî ( w: 310 H ),

at-Tabârî dalam penafsirannya mengenai ayat ini menegaskan

bahwa perintah bermusyawarah adalah perintah kepada Nabi

untuk melakukannya dengan para sahabatnya8, at-Tabârî

mengutip beberapa hadis yang menyinggung penafsiran ayat

tersebut, namun tidak menyentuh ranah politik dalam

penjelasannya, ada penjelasannya yang menyatakan bahwa para

sahabat dan pengikut Nabi di masa itu akan saling

bermusyawarah9. Namun menurut penulis perhatian tersebut

lebih menyorot terhadap rasa tanggung jawab sebagai seorang

mukmin di masa Sahabat.

Kemudian dalam tafsir lain di masa klasik, penulis

mencoba membaca penafsiran Abû al-Qâsim Jârullâh Mahmûd

bin ‘Umar az-Zamakhsyarî al-Khawârizmî ( w: 534 H ), atau

8>Abu Ja’far Ibn Jarir At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân ‘An Takwîl Al-

Qurân Tafsîr At-Tabârî ( Kairo: Dar Al-Hadis, 2010 ), hlm 506.

9Dalam tafsir tersebut, At-Tabârî mengutip hadis yang diriwayat

oleh Qâsim, Husein, Mu’tamir bin Sulaiman, Iyâs bin Daghfal, dari Hasan.

Abu Ja’far Ibn Jarir At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân ‘An Takwîl Al- Qurân Tafsi>r

At-Tabârî, hlm 507.

Page 29: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

6

lebih dikenal dengan nama Zamakhsyarî, di sini ia menyatakan

bahwa perintah bermusyawarah ada dalam masa berperang saja

karena dalam masa peperangan tidak turun wahyu al-Qurân10

.

Penafsiran ayat ini masih berkutat mengenai wilayah

peperangan, ia tidak menyinggung masalah politik yang lebih

luas, namun ada keterangan yang disampaikan darinya bahwa

Nabi bisa bermusyawarah dengan para sahabat untuk

menentukan sebuah kebijakan11

. Ia juga mengutip beberapa

ragam teks yang ada dalam tafsirnya tersebut : ‚(a) Al-Hasan,

yang menyatakan bahwa Tuhan telah memerintahkan syûrâ

sebagai teladan yang baik bagi para Sahabat; (b) hadis Nabi yang

menyatakan bahwa ketika orang-orang bermusyawarah, mereka

dipandu menuju keputusan terbaik mereka; (c) pernyataan Abu

Hurairah: ma raitu ahadan aktsar musyâwaratan min ashâb al-

Rasul; (d) sebuah pernyataan (qîla) para pemimpin suku Baduy;

dan (e) pemahamaan (tafsir): wa syâwirhum fi ba’dh al-amr12‛.

Ada juga ar-Râzî ( w: 604 H ), seperti penafsiran

terdahulu, ia tidak banyak menyinggung syûrâ dalam kaitannya

terhadap konsep politik untuk masyarakat muslim. Dibanding

yang penulis sebutkan tadi—para penafsir masa pra-modern—ar-

Râzi memang lebih banyak mencakup pembahasan politik

10

Abu Al Qâsim Jârullâh Mahmud bin ‘Umar Az Zamakhsyarî Al

Khawârizmî, Al-Kasyâf ‘An Haqâiqi At-Tanzîl wa ‘Uyûni Al-Aqâwîl fi

Wujûhi At-Takwîl ( Mesir: Maktabah Mashr, 2000 ), hlm 393.

11Zamakhsyarî, Al-Kasyâf, hlm. 393.

12Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 249.

Page 30: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

7

ketimbang pendahulunya13

. Hal yang ia kutip di akhir penjelasan

nya ialah tentang Syâfi’î yang ia sebut mengatakan ‚sunnah‛

terhadap perintah bermusyawarah dalam ayat tersebut—hal ini

berbeda tentunya dengan teori ‚wajib‛ dalam ushûl fiqih apabila

terdapat lafadz perintah seperti dalam ayat tersebut14

. Di sini ar-

Râzî belum begitu menyinggung syûrâ sebagai sebuah konsep

politik muslim.

Dalam tradisi tafsir pra-modern, al Qurtubî ( w: 671 H )

dikenal sebagai penafsir yang banyak menuangkan gagasan-

13

‚Râzi mengidentifikasi sejumlah sub isu berkaitan dengan tema

ini, dan menekankan beberapa alasan atas syûrâ:

a. Musyawarah Nabi dengan para Sahabatnya adalah bukti ketinggian

budi pekertinya ( husn al-khuluq ).

b. Meski sang Nabi adalah makhluk yang paling sempurna, penegetahuan

makhluk tetaplah terbatas, sehingga ‚mungkin saja‛ bahwa pendapat

yang bagus bisa berasal dari manusia lain, khususnya dalam berbagai

urusan sehari-hari di kehidupan dunia.

c. Nabi Muhammad diperintahkan untuk melakukan musyawarah agar

menjadi teladan yang baik.

d. Tuhan telah memerintahkan Nabi untuk mencari nasihat demi

menunjukan bahwa tidak ada perasaan gundah dalam hatinya setelah

perang Uhud.

e. Hal ini untuk menunjukan bahwa para sahabat memeiliki nilai

tersendiri di sisi Tuhan.

f. Terakhir, untuk menunjukan bahwa para sahabat harus bergantung

kepada dukungan Tuhan dan ampunanNya kepada mereka‛ Abdullah

Saeed, Al-Quran Abad 21, hlm 249-250.

14Fakhru Ad-Dîn Ar-Râzi As-Syâfi’î, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu

Al-Ghaib ( Kairo, Al Maktabah At-Taufiqiyah, 2003 ). Juz 5. hlm 58.

Page 31: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

8

gagasan fiqihnya dalam kitab tafsirnya Al-Jâmi’ Li Ahkâm Al-

Qurân. Kaitannya dengan tema syûrâ ini, ia dianggap sebagai

penafsir masa pra-modern yang paling banyak menjelaskan ide

politis. Ia sebagai salah satu yang menganggap bahwa konsep

syûrâ merupakan kewajiban yang harus dilakukan untuk semua

umat muslim dalam kaitannya sebagai pondasi bernegara15

.

Ia sangat berbeda dengan beberapa pendahulunya di masa

pra-modern. Dengan cukup sistemik, ia menjabarkan gagasannya

tentang syûrâ dengan lebih politis. Pada awalnya, ia membagi

kaitannya konsep syûrâ dalam ayat ini menjadi 8 bagian16

,beberapa diantaranya sangat kentara akan penjelasan politis

yang ia gunakana antara lain :

1. Ia mengatakan bahwa syûrâ merupakan salah satu unsur

utama dalam syarî’ah—terutama dalam proses penerapan

hukum dalam konteks interaksi sosial, sehingga seorang

yang tidak mau melaksanakan konsep syûrâ maka wajib

baginya untuk diasingkan—di poin ini ia mengutip

pendapat Ibnu ‘Athiyyah yang ada dalam tafsirnya.

2. Ayat wa syâwirhum fil amri menunjukan kebolehan untuk

berijtihad dan menentukan sebuah permasalahan dengan

jalur musyawarah—minimal menurut pandangannya, di

sini ia menukil beberapa pendapat Ulama tentang makna

syûrâ dan bagaimana cara penerapan ayat tersebut. Seperti

15

Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 250.

16Abû Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Anshari Al Qurtubi, Al-

Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân ( Kairo: Maktabah Dar Al Hadis, 1994 ). Hlm 596.

Page 32: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

9

ia megutip Syâfi’î dalam hal menafsirkan ayat tersebut

merupakan kewajiban yang tidak hanya diperitahkan untuk

Nabi saja, melainkan kepada seluruh umatnya.

3. Dalam beberapa poin ia bahkan menentukan kriteria untuk

orang-orang yang hendak melakukan musyawarah.

4. Ia menjelaskan bahwa syûrâ berangkat dan berasal dari

sebuah perbedaan pendapat, kemudian orang-orang yang

hendak melaksanakan musyawarah melihat jalan

pemecahannya dengan mengamati mana yang paling sesuai

dengan al-Qurân 17

.

Melihat perdebatan di kalangan penafsir klasik, hanya al

Qurtubî yang paling dominan menjelaskan secara politis. penulis

berusaha untuk menganalisa teks, konteks dan kontekstualisasi

ayat tersebut.

Beranjak menuju masa modern, ada Abû al-A’lâ al-

Maudûdî ( w: 1979 M ) dan Sayyid Qutb ( w: 1966 M ) yang

juga mencoba menjelaskan peran syûrâ18

. Sayyid Qutb mencoba

menampilkan syûrâ sebagai sebuah kewajiban dan tanggung

jawab individu muslim untuk digunakan tidak hanya sebagai

sebuah sistem pemerintahan, tetapi jauh daripada itu sebagai

sebuah nilai ataupun ajaran yang masuk ke semua tatanan sosial

masyarakat muslim19

. Tidak berbeda jauh dengan Sayyid Qutb,

17

Al Qurtubî, Al-Jâmi’ Li Ahkâm Al-Qurân, jus 1. Hlm 597-600.

18Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 252.

19Sayyid Qutb Ibrâhîm. Fî Zilâli Al-Qurân, (Kairo: Dar As-Syûrûq

1978). Jus 1. Hal 501-504.

Page 33: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

10

al-Maudûdî juga menjelaskan beberapa hal mengenai konsep

syûrâ yang jauh dari hanya sekedar sebagai sebuah pijakan dalam

menggeluti sistem pemerintahan Islam. Ia lebih jauh

menjelaskan syûrâ sebagai sebuah ajaran agama yang masuk

dalam semua sisi kehidupan seorang muslim20

.

Melihat perdebatan penafsiran mengenai tema syûrâ,

maka isu utama yang ada dalam ayat ini adalah mengenai

perintah bermusywarah untuk Nabi sebagai manusia yang

sempurna, kepada para Sahabat sebagai generasi manusia yang

sangat baik tetapi dimungkinkan melakukan kekeliruan, adapun

penafsiran yang muncul pada masa pra-modern hanya al-Qurtubî

yang menjelaskan ayat ini sebagai sebuah pijakan politik,

sedangkan yang lain hanya menganggap ayat ini sebagai sebuah

perintah dari Tuhan untuk Nabi tanpa ada penjelasan politis.

Sedangkan pada masa modern, berangkat dari kondisi

perpolitikan yang jelas sudah sangat berubah dari masa klasik,

maka pendekatan yang dilakukan oleh para Ulama di masa ini

mempunyai perbedaan yang sangat signifikan. Ulama di masa

modern mencoba menjelaskan syûrâ tidak hanya sebuah ajaran

yang diperintakan untuk Nabi semata, atau bahkan

signifikansinya hanya berkutat dalam pengelolaan sistem

pemerintahan saja, tapi jauh dari pada itu, syu>ra> di masa ini

dimaknai hingga masuk ke dalam semua sendi kehidupan

muslim, dan lebih rinci dari pada itu, mekanisme dalam

20

Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 252.

Page 34: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

11

menjalankan syûrâ dalam tatanan pemerintahan muslim juga

dijelaskan21

.

Titik puncak permasalahan dalam penelitian ini muncul

ketika pembahasan ini sampai pada penyetaraan sistem syûrâ

dengan sistem demokrasi dan juga lembaga-lembaga dalam

sistem demokrasi yang digunakan di negara muslim saat ini

khususnya di Indonesia. Dalam beberapa pengertiannya

menenurut para ahli, demokrasi dimaknai sebagai sebuah

kekuasan ataupun kedaulatan yang bersumber dari rakyat22

.

Dalam literatur yang lain disebutkan bahwa demokrasi adalah

sebuah gagasan yang menyangkut negoisasi dalam bidang

kenegaraan, sosial, budaya dan politik tertentu23

.

Di sini penulis mendapati titik pangkal perbedaan

mengenai makna syûrâ dan demokrasi yaitu dari sisi sumber

penetapan hukum yang dianggap bergeser, yakni syûrâ yang oleh

para penafsir pra-modern dan sebagian Ulama modern berasal

dari Tuhan—dalam kebijakan mengenai hukum kenegaraan yang

bersumber dari Tuhan—sedangkan demokrasi yang berasal dari

barat, dimana mandat Tuhan dianggap bergeser kepada rakyat

sepenuhnya. Maka di sini penulis merasa perlu untuk melakukan

kajian kontekstual mengenai konsep syûrâ dengan menyorot isu-

isu yang berkaitan dengan ranah sosial dan politik di Negara-

21

Salah Eldeen Al Gorshy,‛ Deepening Democracy: A New Mission

ahead of Islamic Thought‛, Al Arabi, 456 ( 1997 ).

22Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 256.

23Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 256.

Page 35: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

12

negara muslim saat ini—khususnya Indonesia— yang

mengadopsi sistem demokrasi sebagai sebuah konsep politik

kenegaraannya. Meskipun telah dipaparkan di atas mengenai

beberapa macam pandangan Ulama kontemporer mengenai

demokrasi—bahwa demokrasi dianggap sebagai bagian dari

sistem syûrâ, namun penulis masih mendapati pemikiran Ulama

kontemporer yang menganggap bahwa demokrasi—

bagaimanapun disetujui sebagai sebuah konsep negara dan

disamakan dengan syûrâ—tetap saja dibedakan dengan syûrâ,

sehingga sampai saat ini masih ada persepsi bahwa demokrasi

bukanlah termasuk bagian dari nilai-nilai syûrâ.

Dalam penelitian ini, penulis berusaha membuktikan dua

hipotesa yang coba penulis buktikan yaitu: pertama pemahaman

tafsir pra-modern terkait konsep syûrâ untuk konteks politik

negara muslim modern tidak relevan sepenuhnya, karena dalam

peneltian yang penulis dapati, kebanyakan Ulama di zaman

klasik tidak menjelaskan syûrâ sebagai sebuah dasar sistem

Negara, kedua adalah sistem demokrasi beserta nilai-nilai di

dalamnya merupakan bagian dari syûrâ.

Disinilah penulis berusaha untuk mengintegrasikan bahwa

nilai-nilai syûrâ merupakan bagian dari sistem demokrasi,

sehingga tidak ada dikotomi yang menimbulkan perbedaan

secara menyeluruh di antara keduanya.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi

Page 36: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

13

Berdasarkan pemaparan dari latar belakang di atas, maka

perlu kiranya penulis untuk mengidentifikasi masalah yang akan

dibahas dalam penelitian nanti, dengan tujuan supaya penelitian

nanti lebih sistematis. Adapun identifikasi masalah yang akan

diuraiakan adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana untuk memahami dan mengintegrasikan ayat-

ayat syûrâ ?, maka kiranya perlu bagi penulis mengkaji dan

memaknai ayat-ayat tersebut dengan metode tematik

untuk memahami sebuah konsep syûrâ dengan kondisi

politik terkini.

b. Lalu langkah apa yang diteruskan dalam upaya

mengintegrasikan antara konsep demokrasi dan konsep

syûrâ dalam al-Qurân ?, sehingga di sini penulis mencoba

mengkaji sistem dan lembaga demokrasi yang digunakan di

Indonesia—sebagai representasi negara muslim yang

menggunakan demokrasi sabagai asas berpolitik negara.

c. Bagaimana bentuk integrasi yang dilakukan di antara

sistem demokrasi dan sistem syûrâ ?, maka penulis akan

mengkaji sistem demokrasi dan lembaganya kemudian

mencari nilai-nilai demokrasi yang selaras dengan nilai-

nilai dan prinsip syûrâ, dimana kedua sistem tersebut pada

kenyataannya digunakan sebagai konsep dasar berpolitik.

d. Kemudian bagaimana proses yang dilakukan untuk

mencari persamaan nilai dalam sistem demokrasi kedalam

sistem syûrâ dalam penerapannya sebagai sebuah dasar

bernegara ?, maka penulis akan menimbang sisi manfaat

Page 37: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

14

dan negatifnya tentang penggunaan demokrasi sebagai

sebuah dasar politik negara Islam.

2. Pembatasan masalah

Dengan tujuan supaya penletian ini lebih terarah dan

spesifik, maka penulis berniat membatasi masalah-masalah yang

akan diteliti.

Penulis akan mencoba membatasi penelitian ini dengan

mengkaji pemikiran pemikiran Ulama-ulama kontemporer dalam

upaya menafsirkan ulang konsep syûrâ, hal yang dominan karena

ini mengarah kepada hukum-hukum yang dihasilkan dari sistem

pemerintahan yang menggunakan konsep syûrâ dan

demokrasi.maka penulis juga akan karya-karya tafsir dari para

pemikir pra-modern—sebagaimana yang penulis lakukan dalam

bab latar belakang yaitu : at-Tabârî dalam tafsirnya Jâmi’u Al-

Bayân ‘An Takwîl Al-Qurân Tafsîr At-Tabârî, az-Zamakhsyâri

dengan Al-Kasyâf ‘An Haqâiqi At-Tanzîl wa ‘Uyûni Al-Aqâwîl fi

Wujûhi At-Takwîl, ar-Râzî dengan karyanya At-Tafsîr Al-Kabîr au

Mafâtîhu Al-Ghaib dan al-Qurthubî dalam Al Jâmi’ Li Ahka>m Al-

Qurân, Ibnu al-Katsîr dalam kitabnya Tafsîr al-Qurân al-‘Azîm,

al-Alûsî dalam kitabnya Rûh al-Ma’ânî, al-Baidâwî dalam

tafsirnya tafsir al-Baidâwî, Syaikh Nawawî al-Jâwi dalam

tafsirnya Marah Labîd pada masing-masing sumber di atas,

penulis akan melihat penafsiran-penafsiran mereka dalam

menjelaskan konsep syûrâ, dan juga pemikiran Ulama

kontemporer seperti : tafsir Ibnu ‘Âsyûr, tafsir al-Manâr, tafsir

Fî Zilâl al-Qurân, tafsir al-Misbah, , tafsir al-Manâr, Safwah at-

Page 38: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

15

Tafâsîr, tafsir as-Sya’râwî dan beberapa gagasan syûrâ dan

demokrasi dari Ulama kontemporer seperti Abû al-‘Alâ al-

Madûdî, Grand Syaikh Al-Azhar Ahmad Tayyib, Quraish

Shihab, Abû al-Kalâm Azad dan lain-lain.

Di sini penulis juga akan menggunakan beberapa literatur

lain sebagai bahan meneliti penggunan sistem demokrasi,

lembaga dan kegunaanya dalam negara, seperti dari jurnal

ataupun sumber-sumber yang lain. Kemudian secara lebih

spesifik, ada beberapa variable ayat lain yang menjadi bahasan

utama dalam penelitian ini, yaitu surat Al Imran:159 dan surat

as-Syûrâ ayat 38 dan 10 yang berkaitan dengan tema syûrâ.

Secara menyeluruh kata syûrâ dan derivasinya dalam al-Qurân

ada 4 bagian, hal itulah yang juga akan menjadi pembahasan

dalam penelitian kali ini yaitu penafsiran tematik mengenai

konsep syûrâ.

3. Perumusan masalah

Dalam penulisan karya ilmiah, perumusan masalah

merupakan bagian yang harus ada, dengan tujuan penelitian

nanti lebih terarah dan sistematis. Perumusan masalah berupa

pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab sepanjang waktu

penulisan karya ilmiah.

Pertanyaan utama yang hendak dijawab oleh penulis

nanti adalah :

Apa integrasi antara sistem demokrasi dan sistem syûrâ

dalam perspektif kajian tafsir klasik dan kontemporer, kaitannya

dengan nilai-nilai yang relevan di antara keduanya ?

Page 39: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

16

Adapun dari pertanyaan utama di atas, maka akan

menjadi beberapa pertanyaan-pertanyaan lanjutan sebagai

penguat dan penjelas pertanyaan utama, yaitu :

1. Bagaimana pemahaman konsep syûrâ dalam al-Qurân

kemudian sejauh mana urgensitasnya dalam hal

perbandingannya dengan sistem demokrasi ?

2. Sejauh apa manfaat kajian tentang pendapat Ulama-

ulama klasik tentang konsep syûrâ terhadap penerapan

demokrasi saat ini ?

3. Apa urgensitas kajian terhadap pemikiran Ulama-ulama

kontemporer terhadap konsep syûrâ dan sistem demokrasi

?

4. Sejauh apa manfaat penggunaan sistem demokrasi dalam

konsep bernegara dan politik Islam saat ini ?

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana sudah dijelaskan dalam perumusan masalah,

maka tujuan penulisan ini adalah sebagai berkut:

1. Menjelaskan kembali konsep syûrâ dalam al-Qurân

dengan dari beberapa referensi yang diambil dari para

Ulama klasik hingga Ulama kontemporer.

2. Mengumpulkan dan menjelaskan pengertian-pengertian

demokrasi secara umum dalam pengertian barat,

kemudian membandingkannya dengan pemikiran

demokrasi dari sarjana muslim kontemporer.

Page 40: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

17

3. Mencoba mencari integrasi di antara konsep dan nilai-

nilai syûrâ dengan sistem demokrasi.

4. Penelitian ini dilakukan dalam rangka menyelesaikan

program magister di fakultas Ushuluddin program studi

Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Qurân UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Signifikansi dan manfaat penelitian ini dapat

dikategorikan dalam aspek akademik dan sisi praktis.

Dalam kaitanya dengan aspek akademik dari penelitian ini

yaitu :

1. Mengembangkan pemahamaan tentang konsep syûrâ

dalam al-Qurân dari sudut pandang kontemporer.

2. Menambah pemahamaan mengenai pengertian demokrasi

dari sudut pandang sarjana muslim kontemporer, juga

memahami perbandingannya dengan pengertian

demokrasi dari para sarjana barat.

3. Memperkaya khazanah keilmuan Islam tentang konsep

syûrâ dan sistem politik demokrasi.

Adapun kaitanya dalam tataran aspek praksisnya adalah:

1. Menambah pengetahuan kepada para pemeluk agama

Islam yang tinggal dalam Negara yang menganut sistem

demokrasi, tentang konsep syûrâ dan demokrasi keduanya

dari sudut pandang al-Qurân.

Page 41: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

18

2. Menguatkan pemahaman mengenai konsep syûrâ dan

demokrasi bahwa keduanya secara praksis berada dalam

ruang lingkup yang sama, sehingga demokrasi merupakan

sebuah sistem politik yang legal dalam konsep politik

Islam.

3. Menguatkan persepsi bahwa sistem demokrasi yang ada

di Indonesia sudah sesuai dengan konsep al-Qurân.

E. Penelitian Terdahulu

Dalam sebuah penelitian ilmah, penelitian terdahulu

merupakan sebuah hal yang sangat penting dan membantu kaitan

nya dalam proses pembandingan data, juga meminimalisir

plagiasi. Dengan judul dan tema karya ilmiah yang penulis buat

ini, maka penulis menyimpulkan bahwa tema-tema yang

berkaitan dengan penelitian terdahulu yaitu, tema mengenai

konsep syûrâ dalam al-Qurân yang terbentang melalui karya

tafsir klasik dan kontemporer, lalu tema mengenai sistem politik

Islam, kemudian mengenai penerapan sistem demokrasi dalam

negara Islam mayoritas.

Dalam kaitannya dengan tema-tema di atas, penulis

membagi menjadi kajian terdahulu khazanah tafsir al-Qurân

yang juga berperan sebagai sumber utama penelitian dan juga

beberapa karya ilmiah yang memang menjelaskan syûrâ dan

demokrasi sebagai sumber pembanding, namun tidak ditemukan

integrasi teori dan empiris dari beberapa karya ilmiah tersebut.

Salah satu yang menjelaskan mengenai syûrâ adalah:

Page 42: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

19

a. Penelitian terdahulu dari sumber primer :

Tafsir at-Tabari, dalam pandangan penulis, at-

Tabari tidak menempakkan tanda-tanda bahwa

musyawarah merupakan konsep untuk menjalankan

seuah roda pemerintahan, alih-alih menjelaskan

syûrâ sebagai sebuah konsep negara, menafsirkan

syûrâ keluar dari konteks selain di zaman Nabi dan

peperanganpun tidak.

Tafsir al-Kasyâf, Zamakhsyarî memandang bahwa

musyawarah merupakan perintah kepada Nabi dan

dapat dilakukan bersama para sahabatnya, apa yang

dijelasakan olehnya tidak mewakili syûrâ sebagai

sebuah konsep negara.

Mafâtîh al-Ghaib, ar-Râzî menjelaskan syûrâ sebagi

sebuah perintah dari Allah kepada Nabi, dengan

tujuan agar para sahabat Nabi mendapatkan

ketenagan dan menghargai peran mereka, adapun

terkait konteks syûrâ sebagai sebuah sistem

pemerintahan, maka tidak terdapat dalam

keterangannya.

Tafsir al-Qurtubi, dalam khazanah tafsir klasik, al-

Qurtubi penulis anggap sebagai seorang penafsir

yang paling jauh dalam menjelaskan konsep

musyawarah, ia beranjak dari tafsir mainstream

yang menjelaskan syûrâ sebagai sebuah perintah

Page 43: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

20

kepada Nabi, menjadi sebuah ide dalam mengelola

konflik di pemerintahan, namun sekali lagi, kondisi

saat itu tidak memungkinkan dirinya untuk lebih

jauh menafsirkan syûrâ.

Tafsir Fî Zilâl Al-Qurân, apa yang disampaikan

oleh Sayyid Qutb bagi penulis merupakan pembuka

gerbong pemahaman tafsir syûrâ di masa klasik

menuju masa kontemporer sekaligus relevansinya

dengan konsep demokrasi, meskipun secara

eksplisit ia tidak menyebut demokrasi, namun ia

mulai melihat kemungkinan-kemungkinan yang

mengarah kepada konsep alternatif dalam

pemerintahan selain syûrâ.

Tafsir At-Tahrîr wa At-Tanwîr, Ibnu ‘Ayûr

dianggap sebagai seorang pakar ilmu ushul al-fiqh,

ia menegaskan bahwa musyawarah merupakan

perkara ijtihâdî, hal itu yang mendasarinya

membentangkan kajian syûrâ ke dalam

permasalahan-permasalahan seperti rumah tangga,

suku, negara dan umat dengan status hukum wajib

dan sunnah. Dalam konteks negara, ia mewanti-

wanti pemerintah untuk tidak zalim terhadap

rakyatnya, sehingga kemudian dapat dipahami,

bahwa demokrasi selagi mampu untuk menciptakan

sebuah pemerintahan yang baik maka dibolehkan

bahkan menjadi suuatu hal yang wajib atau sunnah.

Page 44: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

21

b. Penelitian terdahulu dari sumber sekunder :

State, Politics, and Islam24. Dalam buku tersebut

hanya dijelaskan mengenai syûrâ yang merupakan

bagian dari konsep politik Islam dan sebagai sebuah

sistem, dijelaskan juga kedudukan syûrâ sebagai

dewan penasihat pemimpin. Buku tersebut cukup

sistematis dalam menjelaskan konsep dan prinsip

syûrâ, dalam sebuah kesempatan, Fazlurrahman

yang menjadi salah satu penulis dalam buku

tersebut menyuguhkan syûrâ dengan cukup

runtut25

, yaitu dari mulai awal digunakanya konsep

syûrâ hingga masa modern, namun ia tidak cukup

jeli membedakan dua terma utama yaitu demokrasi

dan syûrâ, alih-alih membuat klasifikasi diantara

keduanya, penjelasan nya justru membuat pembaca

menyamakan persepsi antara syûrâ dan demokrasi,

namun buku ini jelas menjadi salah satu rujukan

penting dalam penulisan ini. Lalu di sini penulis

mencoba menjelaskan pemahaman antara konsep

syûrâ dan demokrasi dengan membedakan di antara

keduanya, serta menjelaskan pengertian dan

penggunaan masing-masing.

24

Mumtaz Ahmad (ed): State, Politics, and Islam, (American Trust

Publication, Indianapolis 1986) hlm 59.

25 Mumtaz Ahmad (ed), State, Politics, and Islam, hlm 117.

Page 45: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

22

Fikih Politik Islam26. Dalam buku tersebut

dijelaskan dengan sangat rinci perihal konsep syûrâ,

baik dari mulai pengambilan dalil dari al-Qurân,

hinga penerapanya dalan konteks negara Islam.

Namun di dalamnya tidak dijelaskan sistem

demokrasi sebagai sebuah sistem bernegara yang

menjadi pembanding ataupun konsep baru dari

tema syûrâ. Di sini penulis melakukan pendekatan

yang berbeda dengan apa yang sudah dilakukan

oleh Farid Abdul Khaliq sebagai penulis buku,

yaitu perbandingan antara sistem demokrasi dan

konsep syûrâ dalam tataran historis, analisis dan

praksis.

Demokrasi atau Syûrâ27. Buku tersebut berjudul

asli Fiqhu As-Syûrâ wa Al-Istisyârah, dalam

pembahasan nya, karya ilmiah tersebut sangat

komprehensif dalam membahas konsep syûrâ, dari

sisi kajianya cukup kompleks dengan pembahasan

syûrâ yang dilihat dalam dimensi sosial—kaitanya

dengan demokrasi—agama dan penerapan politik.

Hal yang tidak terdapat dalam buku tersebut adalah

26

Farid Abdul Khaliq; Judul Asli : Fî Al-Fiqh Al-Islâmy Mabâdi’

Dustûriyyah As-Syûrâ Al-‘Adl Al-Musâwah, Dâr As-Syurûq, penerjemah

Faturahman A. Hamid, Lc. Penerbit Amzah, Jakarta, 2005.

27Taufiq Muhammad As-Syawi: Demokrasi atau Syûrâ; Gema Insani,

Jakarta, 2013.

Page 46: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

23

konsep demokrasi yang tidak dibahas dalam sub-

tema tersendiri. Secara spesifik mengenai negara

Islam yang akan penulis lakukan untuk menjadi

representasi mengenai tema sentral tulisan ini yaitu

Indonesia, sementara penulis mencoba menjelaskan

demokrasi dalam sebuah bab tersendiri.

Pemikiran Politik Islam Tematik28. Buku tersebut

menjelaskan cukup gamblang mengenai pemikiran

politik Islam dari masa klasik dan kontemporer,

didalamnya juga dijelaskan mengenai karakter dan

sistem pemertintahan Islam, juga terdapat

komparasi mengenai nilai-nilai politik Islam dan

beberapa bentuk lembaga hasil dari sistem politik

modern, bagaimana harmonisasi dari pemikiran

politik Islam dan lembaga-lembaga tersebut

dijelaskan di dalamnya. Yang membuat berbeda

dari penelitian penulis di sini adalah mengenai

penjelasan konsep syûrâ dan demokrasi yang

secara spesifik penulis jabarkan dalam penelitian

ini, lebih jauh yang penulis dapati bahwa tidak ada

dalam buku tersebut yang menjelaskan hubungan

ataupun integrasi antara sistem demokrasi kedalam

konsep atau sistem syûrâ.

28

Sukron Kamil: Pemikiran Politik Islam Tematik, Perpustakaan

Nasional, Jakarta, 2013.

Page 47: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

24

Itulah beberapa karya ilmah yang penulis anggap

mempunyai benang merah dengan karya ilmiah ini, sehingga

nantinya harap penulis, kajian ini akan melengkapi berbagai

karya ilmaih yang sudah ada sebelumnya. Ada banyak sekali

pembahasan mengenai syûrâ dan demokrasi dalam dunia

penelitian, baik itu yang berasal dari kampus atau dari peneliti di

luar kampus. Namun di sini penulis bukan tanpa alasan kembali

mengangkat tema ini untuk diteliti, dari sekian banyak karya

ilmiah yang penulis temukan, penulis merasa belum ada yang

mencoba untuk menawarkan sebuah kajian syûrâ yang dibedah

dan diklasifikasikan tentang perbedaan ulama dari masa klasik

dan kontemporer, lalu kemudian dijelaskan bagaimana nilai-nilai

syûrâ bisa diintegrasikan ke dalam sistem demokrasi. Pada

intinya, di sini penulis merasa bahwa hasil dari penelitian ini

akan menawarkan pandangan baru terkait persepsi yang selama

ini berkembang menganai syûrâ dan demokrasi. Juga

meminimalisir anggapan tentang dikotomi di antara keduanya.

F. Metodologi Penelitian

Dalam sebuah penelitian ilmiah terdapat cara atau metode

dalam proses penyusuanya, sehinga hasil dari penelitian tersebut

tersusun secara rapi, dinamis dan tepat sasaran.

Adapun dalam jenis peneilitian ini akan menggunakan tiga

sifat penelitian yaitu tematik ( penggalian data dari al-Qurân ),

deskriptif ( menuliskan data ) dan analisis ( menjabarkan

Page 48: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

25

pemahaman atas data-data yang didapat ) kemudian komparatif (

yaitu membandingkan beberapa data yang telah ditemukan )

kesemuanya dari jenis dan sifat penelitian ini untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam perumusan masalah.

Untuk memudahkan peneliti memahami proses penelitian maka

akan dijelaskan berapa metode yang digunakan yaitu sebagai

berikut :

1. Sumber data

Sumber data penelitian ini berasal dari berbagai macam

karya ilmiah lainnya seperti buku, jurnal, ensiklopedia, artikel

dan berbagai macam rujukan lain yang representatif untuk

dijadikan rujukan, juga menggunakan data penelitian

kepustakaan, yaitu sebuah penelitian yang sumber datanya

berasal dari studi pustaka dan literature dari perpustakaan.

Dalam prakteknya, proses penelitian ilmiah umumnya

menggunakan sumber data primer dan juga sumber data

sekunder. Sumber data primer dari peneltian ini adalah kitab-

kitab tafsir karangan Ulama klasik Islam seperti at-Tabârî dalam

tafsirnya Jâmi’u Al-Bayân ‘An Takwîl Al-Qurân Tafsîr At-Tabârî,

az-Zamakhsyarî dengan Al-Kasyâf ‘An Haqâiqi At-Tanzîl wa

‘Uyûni Al-Aqâwîl fi Wujûhi At-Takwîl, ar-Râzî dengan karyanya

At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib dan al-Qurtubî dalam Al-

Jâmi’ Li Ahkâm Al-Qurân Ibnu al-Katsîr dalam kitabnya Tafsîr

al-Qurân al-‘Azîm, al-Alûsî dalam kitabnya Rûh al-Ma’ânî, al-

Baidâwî dalam tafsirnya, Syaikh Nawawî al-Jâwi dalam

tafsirnya Marah Labîd. Kemudian penulis juga menggunakan

Page 49: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

26

rujukan utama dari buku tafsir kontemporer seperti tafsir Ibnu

‘Asyûr, tafsir al-Manâr, tafsir Fî Zilâl al-Qurân, tafsir al-Misbah,

tafsir al-Sya’rawî, juga karya pendukung lainnya seperti

Abdullah Saeed yaitu Reading the Qur’an in the Twenty-first

Century A Contextualist Approach29. Adapun sumber data

sekunder dari penelitian ini adalah dari karya-karya Ulama

muslim lain dari masa pra-modern dan masa modern dalam tema

syûrâ dan diskursus politik Islam, seperti buku yang berjudul

Fikih Politik Islam karya Farid Abdul Khaliq, Demokrasi atau

syûrâ karya Taufiq Muhammad As-Syâwî, juga beberapa sumber

rujukan dari barat dengan bingkai tema demokrasi baik dalam

bentuk buku, artikel ataupun jurnal. Untuk masa pra-modern dari

karangan para sarjana muslim, penulis terbatas hanya

menggunakan buku atau kitab sebagai sumber rujukan nya,

adapun dari para cendikiawan muslim di masa modern, penulis

menggunakan berbagai sumber rujukan dari mulai buku-buku,

artikel, jurnal ataupun seminar dari para tokoh yang

bersangkutan. Adapun sumber penelitian mengenai pengetian

demokrasi, penulis mengambil dari buku Demokrasi, Hak Asasi

Manusia dan Masyarakat Madani30, kemudian buku Demokrasi

29

Telah diterjemahkan dengan judul ‚Al-Qurân Abad 21: Tafsir

Kontekstual karya Abdullah Saeed; penerjemah, Evan Nurtawab; editor,

Ahmad Baiquni‛, kemudian diterbitkan oleh PT Mizan Pustaka tahun 2015.

30A. Ubaedillah dan Abdul Rozak: Pendidikan Kewarganegaraan

Edisi Ketiga Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.

Penerbit Prenada Media Group : Jakarta.2008.

Page 50: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

27

Konstitusional karya Adnan Buyung Nasution31

, dan beberapa

sumber lain yang nanti kemungkinan akan bertambah lagi sesuai

dengan perkembangan penelitian penulis. Ada beberapa

pertanyaan yang muncul kemudian mengenai cara penulis

memberikan klasifikasi antara tafsir klasik dan kontemporer,

alasan-alasan dalam memilih tafsir-tafsir di masa klasik dan

kontemporer, berikut penulis jelaskan :

Klasifikasi antara tafsir klasik dan kontemporer

dalam penelitian ini tidak hanya berdasar dari tahun

atau zaman seorang mufassir, tetapi juga mengacu

pada nuansa dan karakteristik penafsiran dari karya-

karya tersebut, tafsir klasik cenderung menjelaskan

ayat-ayat al-Qurân dengan metodologi regular,

sedang panafsiran modern mempunyai ciri khas

pendekatan kontekstual. Usaha penulis dalam

menentukan kitab-kitab tersebut ditentukan dengan

pengaruh kitab-kitab tafsir tersebut mengacu pada

tradisi keilmuan Islam.

Tafsir klasik dan kontemporer : alasan penulis

mengambil tafsir –tafsir yang penulis jadikan sumber

utama penelitian di atas adalah :

a. Tafsir-tafsir yang penulis sebutkan diatas

mewakili zaman awal perkembangan tafsir klasik

hingga sampai pada awal masa tafsir kontemporer

31

Adnan Buyung Nasution :Demokrasi konstitusional, editor :Tri

Agung Kristianto, Kompas ISBN, Jakarta. 2010.

Page 51: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

28

sampai sekarang, sehingga bagi penulis telah

cukup untuk dijadikan rujukan yang komprehensif

karena mampu menguhubungkan kultur sosial,

politik dan penafsiran itu sendiri dari tahun ke

tahun.

b. Tafsir-tafsir di atas telah mewakili corak dan

jenis-jenis tafsir secara komplit, seperti jenis tafsir

bi ar-ra’yi, tafsir bi al-ma’tsûr, tafsir al-adab wa

al-ijtimâ’î, sedangkan dalam corak tafsir telah

mewakili tafsir fiqih, tafsir tasawuf, tafsir

teologis, tafsir balaghah dan bahkan beberapa

madzhab teologis seperti Mu’tazilah dan Sunni

juga telah ada dalam tafsir-tafsir di atas.

c. Dalam rangka mengkombinasikan beberapa

sumber penafsiran yang sudah ada di atas dengan

politik, maka kemudian penulis mencoba untuk

menghadirkan beberapa pemikir yang mempunyai

latar belakang ataupun pengaruh politik yang

cukup kental seperti Abû al-‘Alâ al-Madûdî,

Grand Syaikh Al-Azhar Ahmad Tayyib, Abû al-

Kalâm Azad dan lain-lain.

2. Metode pendekatan

Peneltian ini merupakan bagian dari penelitian kualitatif.

Dengan dasar penelitian tersebut maka penulis menggunakan

metode deskriptif-komparatif sebagai bahan untuk menjelaskan

Page 52: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

29

permasalahan yang ada. Metode deskriptif yaitu menjelaskan

pemahamaan penulis dari berbagai sumber data yang telah digali

sebelumnya, baik itu dari sumber data primer ataupun sekunder.

Sedangkan metode komparatif yaitu menjelaskan data-data baik

yang telah melewati tahap deskiptif penulis atau masih dalam

tahap pemahaan awal ( pemikiran yang berasal dari sumber data

) untuk dibandingkan dengan berbagai sumber data yang lain.

Sedangkan metode selanjutnya di sini adalah metode kontekstual

yang telah dikembangkan secara lebih dinamis oleh Abdullah

Saeed, yaitu sebuah pendekatan yang mengedepankan konteks

masa turun nya wahyu—dengan perkembangan nya menjadi

konteks linguistik—dan konteks masa antara turun nya wahyu—

berbagai peristiwa relevan yang terekam dalam kekayaan

intelektual berupa kitab— hingga konteks terkini dari proses

tersebut yang disebut kontekstual.

Pada prinsipnya, penelitin ini mencoba mendeskripsikan

bagaimana masyarakat muslim yang secara mayoritas mendiami

sebuah sebuah negara dengan sistem politik demkorasi

memahami relevansinya dengan konsep syûrâ. Berangkat dari

pemahaman awal bahwa konsep syûrâ merupakan nilai utama

yang terkandung dalam al-Qurân kaitanya dengan konsep untuk

mencari solusi—berasal dari Tuhan sebagai entitas tunggal

untuk menentukan kebijakan, dengan sendirinya berkembang

sebagai sebuah konsep yang dipahami dan digunakan dalam

sistem negara sebagai sarana untuk menampung aspirasi

rakyat—yang terwakili dalam kelompok ahlu al-halli wa al-

Page 53: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

30

‘aqdi, maka penulis menggunakan metode kontekstual sebagai

sebuah pendekatan, terlebih dengan adanya konsep demokrasi

yang berkembang dan digunakan di kalangan masyarakat

muslim.

3. Langkah operasional

Langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam

melakukan penelitian nanti adalah sebagai berikut :

a. Mengklasifikasi peta pemikiran muslim dari masa pra-

modern dan masa kontemporer terkait pembahasan syûrâ

dan demokrasi.

b. Mencari variabel ayat al-Qurân, hadis ataupun ijtihad

ulama yang berkaitan dengan syûrâ.

c. Menjelaskan pendekatan kontekstual sebagai sebuah

penafsiran al-Qurân yang representatif.

d. Menentukan kitab-kitab tafsir yang merepresentasikan

pemahaman syûrâ.

e. Mencari dan menganalisa pemikiran-pemikiran modern

dari kalangan sarjana muslim kontemporer tentang

demokrasi.

f. Menjelaskan demokrasi secara umum baik dari kalangan

sarjana muslim ataupun non muslim.

g. Mengintregasikan pemahaman demokrasi dan konsep

syûrâ dengan data-data yang telah penulis dapatkan.

Page 54: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

31

G. Sistematika Penulisan

Dalam bab ini akan dijelaskn secara keseluruhan

mengenai bagian-bagian dari setiap bab yang ada dalam studi

penelitian ini, hal itu untuk memudahkan penulis dan membuat

struktur penelitian ini lebih sistematis dan terarah. Adapun isi

dan penjelasan dari masing-masing bab nanti adalah :

Bab pertama yaitu berisikan paparan dari penulis dalam

upaya menjelaskan latar belakang masalah, mengenai seberapa

besar signifikansi masalah ini kaitannya dengan proses penelitian

selanjutnya, juga berisikan tetang hal-hal yang menjadi batasan

untuk membatasi luas spektrum penelitian ini, sebelumnya tentu

dengan identifikasi masalah yang dibuat untuk mencari

permasalahan dan sekaligus merumuskannya dengan pertanyaan-

pertanyaan yang hendak penulis jawab selama proses penelitian

dalam bagian perumusan masalah. Selanjutnya di bagian ini,

penulis juga menjelaskan mengenai tujuan, manfaat dan

signifikansi dari kepenulisan ini. Penulis juga tidak lupa untuk

menjelaskan beberapa penilitian yang cukup relevean dengan

tema penelitian ini, penulis juga sudah membuat klasifikasi

mengenai batasan-batasan tema yang berhubungan dengan

penelitian ini. Pada bagian akhir dari bab pertama ini, penulis

memaparkan mengenai metode, langkah operasional dan

pendekatan yang akan dilakukan penulis dalam upaya

menyelesaikan penelitian ini, kemudian sistem penulisan yang

menggambarkan isi keseluruhan mengenai bab ini juga penulis

cantumkan, di bagian paling akhir penulis memasukan semua

Page 55: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

32

kajian kepustakaan yang menjadi bahan rujukan dalam penelitian

ini.

Bab kedua dalam studi ini berisikan tentang penjelasan

penulis mengenai makna syûrâ, mengenai konteks dari ayat

syûrâ ataupun variabel ayat-ayat lain yang memilki relevansi

dengan kajian ini. Di sini penulis juga akan membedah

pengertian syûrâ dalam perspektif dasar tafsir dari surat al Imran

ayat 159. Penulis juga berupaya untuk menjelaskan mengenai

perbedaan sarjana klasik dan modern dalam memahami

pengertian tentang khitâb dari ayat syûrâ apakah hanya tertuju

kepada Nabi dan temporitatif—mansûkh— atau muslim secara

umum yang meliputi ranah sosial-politik dan berkelanjutan.

Bab ketiga dari penelitian ini menjelaskan mengenai

penafsiran klasik dan penafsiran kontemporer yang diselingi

dengan kajian lain dari perspektif selain tafsir—seperti fikih

siyâsah dan lain sebagainya, sehingga terungkap penggunaan

konsep syûrâ dalam setiap masa yang terlewati. Dalam kaitanya

dengan pemaknaan syûrâ, penulis dalam bab ini juga akan

menjelaskan mengenai signifikansi kajian kontekstual dalam

upaya menafsirkan ulang konsep syûrâ, penulis juga mencoba

menjelaskan mengenai makna demokrasi dari sudut pandang

sarjana muslim modern, juga mencantumkan pengertian umum

dari sistem demokrasi dari sudut pandang barat.

Bab keempat dalam peneltian ini, penulis mencoba

menjelaskan mengenai relevansi konsep syûrâ dengan sistem

Page 56: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

33

demokrasi dalam penerapannya sebagai sebuah konsep dasar

bernegara.

Bab kelima dari studi ini berisi tentang kesimpulan dari

penelitian, saran dan rekomendasi kepada para peneliti yang

hendak melakukan penelitian dengan tema atau diskursus yang

sama.

Page 57: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik
Page 58: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

33

BAB II

KONSEP SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN

A. Pengertian Syûrâ

1. Syûrâ dalam pengertian bahasa

Dalam penggunaan katanya, syûrâ biasa diartikan

dengan memaparkan atau menjelaskan, bisa juga diartikan

dengan mengambil sesuatu1. Dalam kamus al-Munjid, syûrâ

diartikan sama dengan tasyâwara, yang berarti saling

bermusyawarah antara satu pihak dengan pihak lain2. Jika dilihat

dari sudut pandang bahasa, keduanya memiliki arti yang hampir

sama. Syûrâ dalam ilmu gramatikal arab adalah sîghat atau

bentuk masdar samâ’i ( kata benda yang diambil dari kata yang

sering diucapkan dan didengarkan )3. Kemudian apabila beralih

bentuknya menjadi masdar qiyâsi ( kata benda yang terbentuk

dengan kaidah ilmu sharaf ), kata syûrâ bermetamorfosa menjadi

musyâwarah, berarti meminta petunjuk terhadap sesuatu yang

dilakukan melalui jalan bersama-sama di antara dua belah pihak

1Abû Al-Husein Ahmad bin Fâris bin Zakariya, Mu‟jam Al-Maqâyîs

Al-Lughah. Beirut: Dar Al-Fikr. 1981.Jus 3. hlm. 226.

2Subhi Hamawi, Al-Munjid fî Al-Lughah Al-‘Arabiyah Al-

Mu’âsirah, Beirut, 2001. , hlm. 806.

3As-Syaikh Musthafa Al Ghulayyîni, Jâmi’u Ad-Durûs Al-‘Arabiyah,

Al-Maktabah Al ‘Ashriyah, Beirut, 1984. hlm.. 160 volume 1.

Page 59: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

34

atau lebih4. Kemudian ketika menjadi kata kerja atau fi’il—

dalam bahasa arab— menjadi syâwara yang menyimpan makna

saling diantara dua belah pihak. Adapun kata tasyâwur ketika

berubah menjadi kata kerja menjadi tasyâwara yang bermakna

sama dengan musyâwarah5. Jadi, penggunaan kata syûrâ dan

musyawarah adalah dua kata yang mempunyai makna sama dari

sisi bahasa. Namun dalam penggunaanya, menurut hemat

penulis, syûrâ lebih dekat penggunaanya dalam tataran teoritis

mengenai konsep tersebut, adapun musyawarah dalam

penggunaanya lebih dekat dengan tataran praktek.

Kata syûrâ, musyawarah dan derivasinya dalam al-

Qurân terbagi menjadi empat bagian. Ayat-ayat al-Qurân yang

tertulis secara eksplisit mengenai kata-kata tersebut pertama

dimulai dari surat al-Baqarah : 233, kemudian al-Imran : 159,

Maryam : 29 dan yang terakhir ada pada surat as-Syûrâ : 386.

Dalam masing-masing ayat tersebut, terdapat beberapa

perbedaan makna dan kedudukan bahasa dalam kaidah bahasa

arab, yang mana penulis dapatkan beberapa perbedaan tersebut,

yaitu :

a. Surat al-Baqarah : 233 :

4 Subhi Hamawi, Al-Munjid fî Al-Lughah., hlm.. 806.

5 Subhi Hamawi, Al-Munjid fî Al-Lughah., hlm. 806.

6Muhammad Fuâd ‘Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Faz

Al-Qurân, Dar Ihya Al-Kutub Al-’Arabiyah, Kairo: 1981. hlm.. 391.

Page 60: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

35

‚Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama

dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.‛

Dalam surat tersebut disebutkan lafadz tasyâwur, di situ

kata syûrâ atau musyawarah berarti saling bermusyawarah

antara ayah dan ibu mengenai seorang anak yang akan

Page 61: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

36

disapihnya7. Dari sisi bahasa, lafadz tasyâwur di atas menjadi

‘ataf ( kata yang dihubungkan ) dengan kata tarâdin, yang berada

sebelum kata tasyâwur8 dan dari sisi bentuknya, lafadz tasyâwur

di atas adalah sebuah kata benda yang beasal dari kata kerja

tasyâwur—di dalamn kata tersebut mempunyai makna saling.

Dalam pandangan penulis, penggunaan kata di sini lebih dekat

kepada musyawarah, yang berarti cara kerja dari sebuah konsep

yaitu syûrâ, dimana sepasang suami istri yang hendak menyapih

anaknya, untuk bermusyawarah terlebih dahulu satu sama lain,

dari sisi bahasa, makna syûrâ di sini merupakan perintah

Tuhan—untuk melakukan musyawarah— dalam tataran rumah

tangga, hal itu berarti bahwa konsep syûrâ—kaitanya tentang

objek atau khitab nya— tidak hanya meleulu soal prinsip dan

sitem pemerintahan semata, melainkan telah masuk ke dalam

sebuah tataran yang lebih kecil yaitu keluarga.

b. Surat al-Imran : 159 :

7Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahanya, Al-Jumanatu

Al-‘Ali, Bandung, 2007, hlm.. 37

8Muhyiu Ad-Din Ad-Darwîsy, I’rab Al-Qurân Al-Karîm, Dar Ibni

Katsir, Kairo, 2011. Jilid 1., hlm.. 305.

Page 62: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

37

‚Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.‛

Kata syûrâ di atas dari sisi bentuk katanya menjadi kata

kerja perintah, atau yang dalam tata bahasa arab disebut dengan

fi’il amr. Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kepada Nabi

Muhammad untuk bermusyawarah terhadap orang-orang yang

tidak mematuhi perintahnya dalam perang uhud9. Kata kerja di

atas berasal dari bentuk masdar musyâwarah yang menyimpan

makna saling. Adapun kata kerja dari kata benda musyawarah

adalah syâwara. Dalam kedudukannya sebagai bagian dari

jumlah atau kalimat, kata syâwir di atas menjadi ‘ataf—kata

yang dihubungkan dengan kata sebelumnya—dari kata fa’fu dan

istaghfir, dimana kedua kata tersebut terletak sebelum kata

9Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahanya, hlm. 72.

Page 63: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

38

syâwir dan sama-sama berbentuk fi’il amr10

. Di sini penulis

mendapati bahwa perintah untuk bermusyawarah terkhusus

untuk Nabi, namun terjadi banyak perbedaan pendapat dari para

ulama mengenai khitâb atau objek perintah bermusyawarah, baik

itu yang hanya menyangkut ayat ini, atau penggunaan konsep

syûrâ secara umum. Nantinya akan penulis jelaskan di bab lain.

Ayat ini menceritakan mengenai Maryam, seorang

wanita solehah, saudara perempuan Nabi Harun As, ibu dari

nabiyullah Isa As. Mereka—orang-orang menuduh Maryam telah

melakukan perbuatan keji dengan berzina sehingga mereka

mengatakan dan melontarkan tuduhan keji kepada Maryam.

Kemudian Maryam membawa bayi yang ada dalan gendonganya

seraya menunjuk ke arahnya, lalu orang-orang tersebut berkata

‚bagaimana mungkin kami akan berbicara kepada bayi

tersebut?‛, dalam lanjutan ayat tersebut kemudian diceritakan

bahwa Isa As yang saat itu masih bayi berbicara dengan sangat

fasih, bahwa ia merupakan utusan dari Allah Swt dengan

membawa kabar yang sangat nyata kebenarannya11

. Dari sisi

makna kebahasaan, derivasi makna syûrâ di atas dikutip dengan

redaksi asyârat yang berarti menunjukan, adapun bentuk dari

kata tersebut adalah kata kerja lampau atau yang dalam bahasa

10

Muhyiu Ad-Din Ad-Darwîsy, I’rab Al-Qurân Al-Karîm. Jilid 1,

hlm..558.

11 Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahanya, hlm. 307.

Page 64: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

39

arab disebut dengan fi’il mâdi, yang mempunya subjek atau

damîr perempuan atau muannats. Makna menunjukan tentang

sesuatu merupakan makna yang terkandang pula dalam kata atau

lafadz syûrâ. Sehingga kata asyârat di atas menjadi salah satu

makna yang dikaitkan dan mengandung makna dari kata syûrâ.

c. Surat as-Syûrâ : 38 :

‚Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.‛

Ayat di atas merupakan ayat yang mengutamakan dan

bahkan menunjukan kewajiban tentang konsep syûrâ12

. Dalam

ayat di atas juga menujukan bahwa lafadz syûrâ diartikan

sebagai makna syûrâ seperti yang difahami oleh para sarjana

muslim di zaman ini. Syûrâ ditafsirkan sekaligus dimaknai

sebagai sebuah solusi untuk menyelesaikan permasalahan suatu

kaum. Bahwa jika orang-orang akan menyelesaikan masalah

tanpa dengan musyawarah maka tidak akan menemukan jalan

keluar dari permasalahan tersebut. Makna syûrâ di atas diartikan

12

Departemen Agama RI, Al-Qurân dan Terjemahanya, hlm. 307.

Page 65: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

40

sebagai musyawarah dalam arti yang sebenarnya, yang

dianjurkan dan bahkan diwajibkan oleh setiap muslim,

sebagaimana ketika terjadi peperangan dan mereka melakukan

musayawarah satu sama lain, seperti yang ada dalam surat al-

Imran : 159, mereka melakukan musyawarah secara bersama-

sama untuk menentreamkan hati mereka dan supaya menetepkan

keputusan yang baik brkait dengan peperangan yang sedenga

mereka lakukan. Sebagaimana pula yagn dilakukan oleh sahabat

Umar bin Khattab, bahwa ketika telah datang kepada beliau ajal,

para sahabat seperti ‘Utsman, Ali, Zubair, Sa’îd dan

Abdurrahman bin ‘Auf melalukan musyawarah untuk

memntukan siapa pengganti dari Sayyidina ‘Umar. Kemudian

diputuskan bahwa penggantinya adalah sahabat ‘Utsman bin

Affân RA13

.

Lafadz syûrâ di atas berada atau menjadi khabar dalam

susunan kalimat utuh ayat tersebut. Dalam hal susunan jumlah,

ayat di atas disendirikan atau dikhususkan penyebutanya—tidak

seperti susunan ‘ataf pada umumnya yang disebut secara

berurutan, untuk mengingatkan akan pentingnya melaksanakan

syûrâ, adapaun para Ulama berbeda pendapat mengenai objek

13

Al-Hâfidz ‘Imâduddîn Abî Al-Fidâ’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir

Al-Qursyi Ad-Damasyki, Tafsîr Al-Qurân Al-‘Adzîm, Dar Al-‘Aqidah, Kairo,

2008, hlm.. 141.

Page 66: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

41

dari konsep syûrâ, apakah bersifat umum atau hanya terbatas

untuk rasul dan para sahabatnya14

.

2. Syûrâ secara istilah

Ada beberapa pengertian syûrâ dari para ulama, menurut

Raghîb al-Ashfahâni dalam kitabnya Al-Mufradât fî Gharîb al-

Qurân mengatakan bahwa syûrâ adalah sebuah proses

mengemukakan pendapat yang disertai dengan saling merevisi

antara peserta syûrâ15

. Ibnu al ‘Arabi al-Mâliki dalam kitabnya

Ahkâm al-Qurân mengatakan bahwa syûrâ adalah sebuah

kegiatan berkumpul—karena suatu permasalahan—untuk

dimintai pendapat satu sama lain, kemudian masing-masing dari

peserta saling memberikan pendapatnya16

. Dalam pemikiran

sarjana kontemporer, pengertian syûrâ diambil dari sebuah kitab

yang berjudul As-Syûrâ fî> Zilli al-Hukmî al-Islâmî, disebutkan di

dalamnya bahwa syûrâ adalah proses menelusuri pendapat para

ahli dalam suatu permasalahan untuk mendekati kebenaran17

.

14

Muhyiu Ad-Din Ad-Darwisy, I’rab Al-Qurân Al-Karîm. Jilid 7,

hlm. 44

15Ar-Râghib Al-Asfahânî, Al-Mufradât Fî Gharîb Al-Qurân. Dâr Al-

Kutub Al-„Arabî, Mesir. 1972, hlm 207.

16Lajnah min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al-

Islâmiyah, hlm 19.

17Lajnah min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al-

Islâmiyah, hlm 19.

Page 67: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

42

Dalam pemikiran politik Islam, syûrâ atau musyawarah

merupakan konsep utama18

dalam bernegara yang melibatkan

peserta di dalamnya. Dalam khasanah Islam, peserta

musyawarah mempunyai cirri-ciri khusus yang ditetapkan. Pada

sebuah hadis shahih, disebutkan bahwa :

‚Orang yang dimintai pendapatnya atau peserta musyawarah adalah seorang yang bisa untuk dipercayai.‛

Dalam riwayat lain disebutkan :

‚Orang yang meminta pendapat adalah orang yang ditolong,‛

Sedangkan orang yang dimintai pendapatnya adalah

seorang yang dipercayai19

. Dari hadis di atas, dapat dikatakan

bahwa seorang meminta pendapat untuk bermusyawarah adalah

seorang yang membutuhkan pendapat dari seorang yang

dianggap mampu untuk memberikan pendapat, sehingga redaksi

dari hadis di atas menggunakan kata ‚meminta pertolongan‛ dan

‚dimintai pertolongan‛. Dari sini dapat diketahui bahwa

musyawarah merupakan dasar dalam pengaturan urusan publik

dan sistem hukum. Asas dalam musyawarah adalah menjamin

18

Al-Qurân Abad 21: Tafsir Kontekstual/karya Abdullah Saeed;

penerjemah, Evan Nurtawab; editor, Ahmad Baiquni ( Bandung: PT Mizan

Pustaka, 2015). hlm. 255.

19Muhammad Salim Al-Awa, Fî An-Nizâm As-Siyâsî li Ad-Daulah

Al-Islâmiyyah, As-Syurûq Ad-Dauliyyah, 1975, hlm194.

Page 68: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

43

kebebasan sempurna dalam mengutarakan pendapat, selagi tidak

melanggar batas-batas akidah atau ibadah20

.

Syûrâ dalam perjalanan waktunya mengalami banyak

perubahan dan definisi yang terus dapat digunakan sebagai

konsep utama politik Islam. Kaitannya dengan itu, dari sisi

makna, syûrâ terus menerus mengalamai fase perkembangan.

Berangkat dari pengembangan pengertian syûrâ tersebut, maka

ia mampu untuk mengakomodir beberapa tawaran baru dalam

hal konsep berpolitik dalam Islam. Konsep-konsep yang

ditawarkan dari luar Islam, selagi tidak bertentangan dengan

prinsip utama syûrâ maka itu dapat diterima sebagai sebuah

bagian dari konsep musyawarah itu sendiri.

Syûrâ harus dibedakan menjadi tiga, yaitu dengan

memahaminya dalam arti luas atau umum, khusus dan sempit.

Syûrâ dalam arti luas yaitu memahami syûrâ dengan mencakup

segala bentuk penyampaian pendapat dan musyawarah yang di

dalamnya terdapat pula masyûrah dan istisyârah21. Syûrâ dalam

arti khusus, yang berarti ketentuan yang harus diamalkan sebagai

hasil dari keputusan bersama. Adapun syûrâ menurutnya dalam

arti sempit yaitu suatu hasil dari musyawarah yang terbatas

dalam ketentuan-ketentuan tertentu22

. Sebab dari perdebatan itu

20

Imam Muhammad Syaltût, Al-Islâm ‘Aqidatan wa Syari’atan , Dar

As-Syuruq. Mesir. 1966, hlm. 440.

21Taufiq Muhammad As-Syâwî; Demokrasi atau Syûrâ, Gema Insani,

Jakarta, 2013. hlm. 1.

22Taufiq Muhammad As-Syâwî; Demokrasi atau Syûrâ, Gema Insani,

Jakarta, 2013. hlm. 1.

Page 69: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

44

menurutnya adalah dari segi kewajiban mengamalkan syûrâ

sebagai perkara yang wajib diamalkan ( obligatif ), atau sebagai

sebuah konsep opsional dalam tataran masyûrah (

menyampaiakan pendapat ) dan istisyârah ( meminta pendapat

)23

.

Dalam risalahnya, Islam mempunyai beberapa pondasi

penting dalam membentuk dan mengatur umatnya24

. Dalam hal

ihwal hukum sosial dan tata negara yang mengatur umat

manusia, Islam disebutkan mempunyai pondasi utama yaitu

syûrâ25

. Al-Qurân sebagai sumber hukum Islam telah

memperhatikan betul bagaimana hukum-hukum bersosial dan

bernegara manusia itu diatur dengan ketentuan-ketentuan yang

bersumber darinya. Syûrâ sebagai salah satu pondasi hukum

tersebut, telah disebutkan secara langsung dalam al-Qurân,

dikhususkan bagi umat Nabi Muhammad Saw, dan secara umum

ditujukan kepada seluruh umat manusia26

. Islam sangat

memperhatikan perihal kosep syûrâ ini, hingga ia menjadi salah

satu nama surat di dalam al-Qurân, yaitu surat as-Syûrâ.

23

Taufiq Muhammad As-Syâwî, Demokrasi atau Syûrâ , hlm. 8.

24Lajnah min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al-

Islâmiyah, Maktabah Rasywan,Kairo, 2012, hlm. 16.

25Lajnah min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al-

Islâmiyah, hlm 17.

26Lajnah min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al-

Islâmiyah, hlm 18.

Page 70: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

45

Allah juga secara langsung memerintahkan kepada Nabi

Muhammad Saw untuk bermusyawarah dengan kaum muslimin,

yaitu ketika berfirman dalam al-Qurân surat al-‘Imrân : 159 :

Musyawarah juga dikatakan sebagai bentuk partisipasi

politik yang melibatkan berbagai unsur negara, dimana di

dalamnya terdapat rakyat sebagai bagian dari itu, maka wajib

hukumnya melibatkan rakyat sebagai bagian dari sistem tersebut.

Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyah :

“Semua kewenangan dalam Islam tujuanya adalah amar

ma‟ruf nahi munkar27

”.

Menurut Abdu al-Qâdir „Audah, ada dua tema besar yang

menjadi permasalahan pemerintahan di masa sekarang yaitu,

masalah kebebasan dan pangan, kemudian masalah keamanan

dari kelaparan dan rasa ketakutan, permasalahan tersebut disebut

sebagai perbedaan dari sistem pemerintahan yang terjadi di masa

27

Salim Al-Bahnasawi, Makânatul Mar’ah Bainal Islam wal Qawânîn

Al-‘Âlamiyah, Darul Al-Wafâ. 2003, hlm. 124.

Page 71: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

46

lalu dengan masa sekarang,28

. Sebagaimana telah dijelaskan

dalam al-Qurân dalam Surat al-Quraisy ayat 3-4 :

“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik

rumah ini (Ka'bah), yang telah memberi makanan kepada mereka

untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari

ketakutan”.

B. Syûrâ dan Derivasinya dalam Al-Qurân

Al-Qurân telah menjelaskan bahwa syûrâ yang secara

eksplisit disebutkan di dalamnya, merupakan sebuah konsep

yang mengiringi manusia dalam kurun waktu yang sangat lama,

yaitu dari mulai diturunkanya ayat syûrâ hingga saat ini. Dalam

penjelasan penulis sebelumnya telah disebutkan pengertian

syûrâ, derivasi dan ayat-ayat yang menjelaskan tentangnya.

Dalam bagian ini, penulis akan mengungkapkan bagaimana al-

Qurân sebagai sumber utama umat Islam memahami dan

menjelaskan mengenai konsep syûrâ atau musyawarah ini.

Kata syûrâ, musyawarah dan derivasinya dalam al-Qurân

terdapat empat bagian. Ayat-ayat al-Qurân yang menulis secara

eksplisit mengenai padanan kata-kata tersebut pertama dimulai

dari surat al-Baqarah : 233 :

28

As-Syahîd ‘Abdu Al-Qâdir ‘Audah, Al-Islam wa Audâ’una As-

Siyasiyah, Dar Al-Kitabah Al-‘Arabi , Kairo. 1951. Hal 180.

Page 72: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

47

Kemudian Ali‘Imran : 159 :

Dan yang terakhir ada pada surat As-Syûrâ : 38 :

Seperti yang telah penulis jelaskan dalam bab

sebelumnya, bahwa dari keempat ayat di atas, yang secara

eksplisit menjelaskan mengani syûrâ dan musyawarah adalah di

surat a-Imran : 159 dan as-Syûrâ : 38.

Page 73: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

48

No Surat Kata Keterangan

1 Al-Baqarah : 233

Di ayat ini, al-Qurân

menjelaskan mengenai

musyawarah yang

dilakukan antara ibu

dan ayah untuk

menyapih anaknya

2 Ali‘Imran : 159

Terdapat perintah

bermusyawarah kepada

Nabi bersama dengan

sahabat-sahabatnya saat

kejadian perang Uhud

3 As-Syûrâ : 38

Makna syûrâ di atas

diartikan sebagai

musyawarah dalam arti

yang sebenarnya, yang

dianjurkan dan bahkan

diwajibkan oleh setiap

muslim, sebagaimana

ketika terjadi

peperangan dan mereka

melakukan

musayawarah satu sama

lain, seperti yang ada

dalam surat al-Imran :

159

C. Nilai-nilai Musyawarah dalam Al-Qurân

Al-Qurân telah menerangkan mengenai beberapa faktor

penting terkait bagaimana manusia menerapkan hukum atau

aturan-aturan Tuhan dalam menjalankan nilai-nilai Islam. Al-

Qurân menerangkan kepada manusia di seluruh belahan dunia

untuk menggunakan hukum-hukum yang terkandung di

Page 74: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

49

dalamnya, sebagai pondasi manusia dalam menentukan

kebijakan-kebijakan ataupun yang lainya. Terdapat enam poin

utama yang ada dalam al-Qurân, untuk digunakan manusia pada

setiap generasi dalam upaya mengarahkan manusia dalam sebuah

kebaikan baik di dunia amaupun di akhirat nanti29

. Dari keenam

poin tersebut di antaranya adalah mengenai prinsip keadilan,

ketaatan, persamaan, kebebasan, kebenaran dan musyawarah30

.

Musyawarah masuk ke dalam salah satu dari keenam prinsip

utama tersebut, sesuai dengan tema besar yang sedang penulis

kerjakan.

Al-Qurân jelas memberikan porsi khusus dalam upaya

menjelaskan nilai ataupun konsep musyawarah. Bahwa

ditegaskan di dalam al-Qurân, syûrâ merupakan sebuah nilai

yang seharusnya terdapat dalam diri setiap individu muslim yang

mentaati perintah dari Tuhannya31

. Seperti yang terdapat dalam

firman Allah surat as-Syûrâ : 38 :

29

Lajnah min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al-

Islâmiyah, hlm 16.

30Lajnah min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al-

Islâmiyah, hlm 16.

31 Lajnah min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al-

Islâmiyah, hlm 16.

Page 75: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

50

Secara umum, ayat tersebut menyatakan bahwa akan ada

kenikmatan abadi yang didapatkan oleh orang-orang yang benar-

benar mematuhi perintah dari Tuhanya, yaitu orang-orang yang

melaksanakan shalat dengan sempurna, yaitu seorang yang

shalat dengan kesadaran penuh, telah melakukan syarat dan

rukun dari shalat dan juga dibarengi dengan perasaan yang

khusyu’. Kemudian dilanjutkan mengenai sifat orang-orang yang

akan mendapat kenikmatan tersebut adalah orang-orang yang

melakukan musyawarah di antara mereka untuk menentukan

urusan-urusan yang ada di antara mereka32

. Saat mereka

memutuskan dengan musyawarah, maka berarti tidak ada sifat

yang otoriter di antara mereka yaitu tindakan memaksakan di

antara mereka.

Kata syûrâ bermakna mengambil dan menegeluarkan

pendapat yang terbaik dengan memperhadapkan satu pendapat

dengan pendapat lainya33

. Kata syûrâ terambil dari kalimat

syirtu al-‘asal yang berarti aku telah mengeluarkan madu dari

wadahnya, ini berarti mempersamakan musyawarah dengan

madu, yang bisa dimaknai bahwa musyawarah adalah proses

untuk mendapatkan sebuah madu, dari manapun madu itu

berasal atau dari siapapun34

, atau dengan kata lain, pendapat dari

siapapun yang paling baik maka itu yang akan diambil.

32

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 12, Lentera Hati.

Jakarta. 2002, hlm. 177.

33M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 178., v.12.

34M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 178., v.12.

Page 76: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

51

Kata yang terletak berbarengan dengan kata syûrâ dalam

ayat tersebut adalah amruhum, yang berarti urusan mereka,

menunjuka bahwa yang mereka musyawarahkan adalah hal-hal

yang berkaitan dengan urusan mereka serta berada dalam

wewenang mereka35

. Oleh karena itu, hal-hal atau urusan yang

berkaitan dengan ibadah mahdah, yang berada sepenuhnya dalam

urusan Allah tidaklah dapat untuk dimusyawarahkan.

Begitu juga seseorang yang tidak berkepentingan ataupun

mempunyai wewenang dalam suatu perkara maka tidaklah perlu

untuk ikut serta dalam musyawarah kecuali apabila

diikutsertakan untuk melakukan musyawarah maka boleh untuk

mengikuti proses musyawarah karena boleh jadi terdapat hal

yang rahasia yang akan dibicarakan di antara mereka. Ayat

tersebut turun pada masa periode Mekkah, berarti bahwa belum

ada sistem politik yang dibangun oleh Rasulullah di masa itu, hal

itu menunjukan bahwa Allah memberikan kekeuasan kepada

hambanya mengenai bentuk dan bagaimana sistem syûrâ yang

akan digunakan oleh hambanya pada setiap zaman yang berbeda-

beda36

.

Demikianlah al-Qurân sangat memperhatikan nilai atau

konsep tentang syûrâ ini, sehingga diabadikan menjadi salah satu

nama surat yang terdapat di dalamnya yaitu surat as-Syûrâ yang

ayatnya diawali dengan kata hâmîm ‘ain sîn qâf37.

35

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 178., v.12.

36M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 179., v.12.

37M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 179., v.12.

Page 77: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

52

Al-Qurân secara eksplisit memerintahkan umat muslim

untuk melakukan musyawarah dengan menyebutnya dalam surat

Ali Imran ayat 159. Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan

kepada Nabi Muhammad untuk bermusyawarah terhadap orang-

orang yang tidak mematuhi perintahnya dalam perang Uhud.

Melihat hubungan ayat di atas dari awal ayat sampai dengan

terakhir, maka dapat dilihat bahwa terdapat beberapa pokok

ajaran yang ditujukan kepada Nabi secara khusus dan umat Islam

secara umum. Salah satu pokok terpenting dalam ayat tersebut

adalah mengenai musyawarah.

Melihat konteks turunya ayat di atas, selain perintah

untuk melakukan musyawarah, kaum muslimin mengalami

kegagalan dalam perang Uhud setelah mereka melakukan

musyawarah. Hal tersebut mungkin menjadi alasan seseorang

dalam menganggap bahwa musyawarah bukan merupakan

perkara yang penting bagi umat Islam. Maka kemudian ayat ini

dipahami sebagai pesan untuk melakukan musyawarah, bukan

sebagai kewajiban untuk melaksanakannya. Karena kesalahan

yang dilakukan setelah melakukan musyawarah tidak sebesar

saat tidak melakukan musyawarah, kebenaran yang diraih

sendirian tidak sebaik kebenaran yang diraih bersama38

.

Menurut penulis, melihat akar kata dari musyawarah,

yang mengatakan bahwa musyawarah berasal dari kata syâwara

38M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 312., v.12.

Page 78: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

53

yang bermakna mengambil atau mengeluarkan madu dari

sarangnya, maka pada dasarnya musyawarah hanya dilakukan

untuk hal-hal yang baik. Manusia yang melakukan musyawarah

seperti lebah, makhluk yang sangat disiplin, kerjasamanya

mengagumkan, makananta sari bunga, hasilnya madu, tidak

pernah menganggu kecuali ketika diganggu, demikianlah maka

tidak heran Nabi menyamakan seorang mukmin dengan lebah.

Dalam menjalankan musyawarah, seorang mukmin

dituntut untuk melakukan beberapa sikap yang telah

dicontohkan oleh Rasûlullâh, sikap itu berurutan disebut dalam

surat al-‘Imrân ayat 159. Sikap tersebut yaitu :

Pertama, adalah berlaku lemah lembut, tidak kasar dan

tidak berhati keras. Para pelaku musyawarah khususnya

pemimpin musyawarah, diharuskan untuk tidak keras kepala,

karena jika tidak, maka para peserta musyawarah akan

meninggalkanya satu persatu, begitu jupa hal ini berlaku bagi

para peserta musyawarah yang lain, bahwa sikap lemah lembut

dan tidak keras kepala juga harus ditanamkan dalam melakukan

musyawarah, hal ini apabila tidak dilakukan maka akan merusak

kesepakatan dan komitmen dalam musyawarah39

, sebagaimana

firman Allah pada Surat Al-Imrân :159 :

39

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 179., v.12.

Page 79: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

54

Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru.

memberi maaf kepada pihak lain merupakan sebuah keharusan,

terlebih itu dilakukan ketika atau setelah melakukan musyawarah.

Maaf berarti menghapus, artinya menghapus perlakuan pihak lain

yang teah melukai hati atau berselisih pendapat antara satu

dengan yang lainya. Khusus dalam musyawarah, maka sebuah

kejernihan hati dan pikiran tidak akan terlaksana tanpa adanya

rasa berbaik sangka satu sama lain.

Dalam sebuah pepatah barat mengatakan : “akal memang

mengagumkan, ia mampu membatalkan satu argument dengan

argument yang lainya, akibatnya ia mampu untuk mengantarkan

kita kepada keraguan yang mengguncangkan etika dan nilai-nilai

kehidupan kita”. Demikian dikutip dari William James40

.

Dengan demikian, maka ada sesuatu yang dibutuhkan

bersamaan dengan akal oleh manusia dalam melakukan suatu

keputusan, baik itu bersifat sendiri atau bersama-sama. Sesuatu

tersebut biasa disebut dengan ilham, indera keenam atau yang

lainya yang bersumber dari keatajam hati manusia dengan sebab

kejernihan hati. Sesuatu inilah yang dibutuhkan oelah manusia

dalam menentukan keputusan-keputusan di dalam hidupnya.

Allah berfirman dalam surat al-Baqarah : 258 :

40

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 313., v.12.

Page 80: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

55

‚Bahwa Allah tidak akan memberikan hidayah kepada seseorang yang berbuat aniaya, baik itu kepada diri sendiri maupun orang lain‛.

Dalam ayat lain yaitu surat al-Baqarah : 264 :

‚Bahwa Allah tidak akan member hidayah terhadap orang-orang kafir‛.

Kemudian firman Allah yang lain yaitu surat al-Mâidah :

108 :

‚Yaitu Allah tidak akan memberi hidayah terhadap orang-orang yang berbuat fasiq atau bergelimang dosa‛.

Kemudian juga berfirman dalam surat al-Mu’min : 28 :

‚Allah tidak akan memberi hidayah terhadap orang-orang yang melebihi batas atau pendusta‛.

Lalu dalam surat Yusuf : 52 :

‚Bahwa Allah tidak akan memberi hidayahnya kepada orang-orang yang berkhianat antara satu dengan yang lainya‛.

Page 81: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

56

Kemudian firman Allah dalam surat az-Zumar : 3 :

‚Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk terhadap para pendusta dan orang kafir‛.

Demikianlah Allah memberikan petunjuk kepada para

hambanya, kecuali beberapa hambanya yang melakukan hal-hal

yang telah disebutkan dalam beberapa ayat di atas. Artinya,

sesuatu yang berupa hal-hal yang bersumber dari kejernihan hati

seorang manusia tersebut haruslah selalu menyertai orang-orang

yang melakukan musyawarah41

.

Ketiga, hal ketiga yang harus dilakukan para pelaku

musyawarah adalah rasa dekat dengan Tuhan, artinya seseorang

untuk mendapatkan sesuatu yang bersumber dari kejernihan hati

haruslah selalu menjaga hubungan baiknya dengan Allah, oleh

sebab itu, dalam surat al-Imrân ayat 159, yang terakhir

disebutkan sebelum Allah memerintahkan musyawarah adalah

kata maghfirah atau ampunan dari Allah, yang merupakan

pertanda bahwa seseorang sebelum melakukan musyawarah

haruslah selalu menjaga hubungan baiknya dengan Allah.

Petunjuk al-Qurân mengenai hal-hal yang dilakukan saat

melakukan musyawarah yaitu :

No Ayat Perintah

41

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 313., v.12.

Page 82: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

57

1

Para pelaku

musyawarah

khususnya

pemimpin

musyawarah,

diharuskan untuk

tidak keras kepala,

karena jika tidak,

maka para peserta

musyawarah akan

meninggalkanya

satu persatu, begitu

jupa hal ini berlaku

bagi para peserta

musyawarah yang

lain, bahwa sikap

lemah lembut dan

tidak keras kepala

juga harus

ditanamkan dalam

melakukan

musyawarah, hal ini

apabila tidak

dilakukan maka

akan merusak

kesepakatan dan

komitmen dalam

musyawarah

2

Maaf berarti

menghapus, artinya

menghapus

perlakuan pihak lain

yang telah melukai

hati atau berselisih

pendapat antara satu

dengan yang lainya.

Khusus dalam

musyawarah, maka

sebuah kejernihan

Page 83: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

58

hati dan pikiran

tidak akan

terlaksana tanpa

adanya rasa berbaik

sangka satu sama

lain.

3

Al-Baqarah : 258 :

Al-Baqarah : 264 :

Al-Mâidah : 108 :

Al-Mu’min : 28 :

Yusuf : 52 :

Az-Zumar : 3 :

Ada sesuatu yang

dibutuhkan

bersamaan dengan

akal oleh manusia

dalam melakukan

suatu keputusan,

baik itu bersifat

sendiri atau

bersama-sama.

Sesuatu tersebut

biasa disebut

dengan ilham,

indera keenam atau

yang lainya yang

bersumber dari

keatajam hati

manusia dengan

sebab kejernihan

hati. Sesuatu inilah

yang dibutuhkan

oelah manusia

dalam menentukan

keputusan-

keputusan di dalam

hidupnya.

Page 84: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

59

4

Seseorang untuk

mendapatkan

sesuatu yang

bersumber dari

kejernihan hati,

haruslah selalu

menjaga hubungan

baiknya dengan

Allah, yang

merupakan

pertanda selalu

menjaga hubungan

baiknya dengan

Allah adalah

senantiasa meminta

ampun kepada

Allah

Al-Qurân juga memberikan petunjuk mengenai sikap

yang harus ditanamkan di dalam musyawarah :

No Ayat Keterangan

1

As-Syu’âra ayat 215 :

Ayat di samping adalah sebuah

perintah kepada Nabi untuk

bersikap lemah lembut dan

tawadu’ terhadap orang-orang

yang mau mengikuti perintah

dan anjuran-anjuranya Ayat di

samping dapat dipahami pula

bahwa orang-orang yang

mengikuti perintah atau

menjalankan keputusan setelah

melakukan musyawarah

haruslah mendapat perlakukan

yang baik dari para peserta

musyawarah yang lain,

Page 85: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

60

2

Al-Hujarât ayat 10 :

Terdapat ajaran kepada orang

yang melakukan musyawarah

agar berlaku baik satu sama lain

sesama peserta musyawarah,

dengan landasan bahwa setiap

muslim adalah bersaudara,

sehingga patut kiranya para

peserta musyawarah yang terdiri

dari sesama muslim untuk

menganggap mereka layaknya

saudara seperti yang telah

dijelaskan dalam al-Qurân,

memperlakukan dengan sikap

baik di antara antara, kemudian

bersama-sama bertaqwa kepada

Allah untuk mendapatkan

rahmatNya.

3

Al-Kahfi ayat 110 :

Dalam ayat di atas, Allah

menegaskan bahwa Nabi

Muhammad adalah utusan yang

berasal dari golongan manusia,

ia terlahir ke dunia dalam

kondisi manusia pada umumnya,

dalam perspektif yang lain,

dijelaskan di awal ayat di atas

bahwa Nabi merupakan seorang

manusia biasa yang sangat

mungkin untuk melakukan

kesalahan dari sisi beliau adalah

seorang manusia biasa,

terkecuali dalam diri beliau

karena derajat seorang Nabi

yang terjaga dari kesalahan-

kesalahan, oleh karena itu,

seorang pemimpin dalam setiap

tingkatannya, maka diharuskan

untuk melakukan musyawarah

dalam upaya untuk

meminimalisir dirinya

Page 86: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

61

melakukan kesalahan-kesalahan.

4

Al-Imran ayat 64 :

Terdapat korelasi makna dalam

menjalankan proses

musyawarah dari ayat di atas,

yaitu, umat muslim supaya

menjalankan proses

musyawarah bersama-sama

dengan kaum Yahudi atau

Nasrani, juga dengan umat-umat

yang lain, bahwa apabila

terdapat sesuatu yang sama di

antara mereka sebuah perkara

yang menyangkut kepentingan

bersama-sama, untuk

didiskusikan bersama dalam

proses musyawarah

5

Qâf ayat 45 :

Ayat di atas menjelaskan bahwa

Allah mengetahui tentang hal-

hal yang dikatakan kaum Kafir

Quraisy, mereka tidak sekalipun

akan menerima perkataan dari

Nabi Muhammad untuk beriman

kepada Allah, maka dari itu

Nabi akhirnya diperintahkan

untuk mengajak hanya kepada

orang-orang yang takut akan

ancaman-ancaman Allah, ketika

melakukan proses musyawarah,

terlebih bersama-sama dengan

kaum yang tidak seagama maka

cukupkanlah, yaitu cukupkanlah

apabila mereka tidak mau untuk

menerima pendapat yang

Page 87: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

62

berkaitan dengan kepentingan

secara bersama, lanjutkan proses

tersebut dengan melanjutkan

proses musyawarah bersama-

sama dengan golongan yang

mau menerima perbedaan dan

mau untuk bersama-sama

membangun kemaslahatan.

Pesan terakhir dari al-Qurân setelah seseorang melakukan

musyawarah adalah berserah diri kepada Allah, seperti firman

Allah :

Dalam salah satu penggalan ayat tersebut, yaitu surat al-

Imran : 159, terdapat keterangan mengenai ruang lingkup

pelaksanaan musyawarah, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan

urusan peperangan, oleh karena itu, ada Ulama yang membatasi

bahwa urusan musyawarah hanya terbatas dalam urusan-urusan

tersebut, namun dalam praktiknya, hal tersebut tidak selaras

dengan ayat-ayat al-Qurân yang lain yang menjelaskan

musyawarah ataupun hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan

hal itu42

.

4242

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 313., v.12.

Page 88: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

63

D. Batasan-batasan dalam Musyawarah

Dalam hal amr atau urusan, dari al-Qurân ditemukan

bahwa ada urusan yang hanya menjadi wewenang Allah semata,

dan bukan merupakan wewenang manusia betapapun agungnya.

Ini antara lain terdapat dari jawaban Allah tentang ruh yaitu

dalam surat al-Isrâ’ : 85 :

Dijelaskan di atas bahwa urusan mengenai ruh adalah

urusan yang hanya dapat diketahui oleh Allah, artinya

pembahasan mengenai ruh bukan merupakan pembahasan atau

urusan yang akan dikerjakan oleh manusia.

Kemudian al-Qurân juga menjelaskan hal yang hanya

diketahui oleh Allah yaitu mengenai hari kiamat yang terdapat

dalam surat an-Nâzi’ât : 42 :

Pertanyaan mengenai hari kiamat yang hanya dapat

diketahui oleh Allah.

Kemudian juga mengenai taubat yaitu dalam surat al-

Imrân : 128 :

Page 89: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

64

Sebuah penegasan dari al-Qurân bahwa hal-hal seperti

taubat atau memberikan vonis dosa bukanlah wewenang dari

seorang manusia sekalipun ia merupakan seorang yang

mempunyai kedudukan tinggi.

Kemudian juga dijelaskan dalam surat al-An’âm : 57 :

Penjelasan bahwa vonis atau hukuman hanya merupakan

wewenang Allah, hukum yang mengatur atau menjadi dasar

hukuman adalah harus bersumber dari Allah.

Al-Qurân lalu menjelaskan mengenai ketetapan yang

Allah dan Rasulnya berikan kepada umat manusia, apapun itu,

haruslah ditaati oleh seluruh umat manusia tanpa membedakan

antara laki-laki ataupun perempuan, hal ini berkaitan dengan

ketentuan-ketentuan yang menjadi wewenang Allah tidaklah

patut bagi seorang yang mukmin baik dia laki-laki atau

perempuan untuk menyelisihinya, seperti yang terdapat dalam

surat al-Ahzâb : 36 :

Page 90: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

65

Dari ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa konteks

musyawarah adalah permasalahan atau persoalan-persoalan yang

berkaitan dengan kemasyarakatan43

. Para sahabat sangat

memahami hal ini, oleh karena itu, mereka tidak menanyakan

hal-hal yang mana telah ada petunjuk dari Allah. Dalam sebuah

kasus misalnya, al-Khubbab Ibn al-Mundzir bertanya mengenai

lokasi perang yang dipilih oleh Nabi, kemudian ia berkata :

‚Apakah ini merupakan tempat yang dipilih oleh Allah ataukah ini merupakan pilihanmu dengan dasar pertimbangan strategi ?‛,

Lalu Rasul menjawab bahwa itu merupakan pilihan dan

pertimbanganya, oleh karena itu al-Khubbab mengusulkan

tempat lain yang ia nilai lebih memberikan manfaat untuk umat

muslim44

. Hal sebaliknya terjadi pada suatu ketika Umar Ibn al-

Khattab tidak menerima usulan dari Nabi terkait perjanjian

Hudaibiyah, menurutnya perjanjian tersebut terlalu merendahkan

agama Islam, lalu Rasul menimpali bahwa ia adalah utusan

43

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 315., v.12.

44M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 315., v.12.

Page 91: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

66

Allah, maka terdiamlah semua sahabat dan juga Umar

mendengar perkataan Nabi dan mereka menerima hal itu.

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan

bahwa musyawarah adalah hal-hal yang dapat dilaksanakan

apabila belum ada penjelasan atau keterangan yang bersumber

langsung dari Tuhan, namun apabila sudah ada penjelasan, maka

tidaklah hal tersebut perlu untuk dimusyawarahkan kembali.

Nabi sendiri dalam prakteknya melakukan musyawarah dengan

sahabat-sahabat beliau terhadap hal yang menyangkut urusan

masyarakat ataupun urusan pribadi beliau dan keluarganya.

Seperti peristiwa yang menyangkut isteri beliau yaitu ‘Aisyah,

dimana beliau bermusyawarah dengan salah seorang sahabat

untuk meminta pendapat terkait tuduhan yang dilamatkan

kepada ‘Aisyah. Kemudian turunlah surat an-Nûr agar Nabi

menampik semua tuduhan itu45

.

Pada awal bab ini, telah dijelaskan bahwa terdapat empat

ayat yang mengandung atau berasal dari akar kata syâra, dimana

dua di antaranya secara eksplisit menjelaskan makna syûrâ atau

musyawarah, yaitu dalam surat al-Imran : 159 dan as-Syûrâ :

38. Melihat ayat-ayat tersebut di atas, maka sepintas akan

dipahami bahwa al-Qurân tidak menjelaskan pengertian

musyawarah secara cukup, terlebih tentang bagaimana al-Qurân

menjelaskan mengenai sistem dari musyawarah tersebut. Namun

hal tersebut akan segera hilang apabila kita menggali lebih jauh

45

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 313., v.12.

Page 92: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

67

serta melihat bagaimana al-Qurân memberikan petunjuk

mengenai hal itu.

Dalam menjelaskan sesuatu yang yang sifatnya berubah

dan berkembang dari masa ke masa, al-Qurân menjelaskan hal

tersebut dengan prinsip umum agar manusia dapat mengambil

pelajaran dan memanfaatkannya sesuai dengan kondisi zaman

yang berbeda. Tentu menjadi hal yang sangat sulit apabila

menerapkan suatu sistem ataupun ajaran yang sama pada setiap

zaman, peraturan-peraturan ataupun sistem yang dijalankan di

tengah-tengah masyarakat haruslah sesuai dengan kondisi

masyarakat tersebut46

.

Jika diamati, penjelasan al-Qurân mengenai musyawarah

tidaklah mengandung ketentuan atau pola tertentu, bahkan

Nabipun tidak menetapkan sistem musyawarah dengan sesuatu

yang khusus, hal itu bisa dilihat dari suksesi kepemimpinan

setelah Nabi, empat khalifah setelahnya tidak menggunakan cara

yang sama dalam proses pengangkatanya, hal ini menunjukan

bahwa dari kedua sumber utama yaitu al-Qurân dan as-Sunnah

tidak terdapat pola khusus untuk diterapkan dalam musyawarah.

Selaras dengan perkataan Rasyid Ridha yang penulis

kutip dari tafsir al-Misbah anggitan Prof. Dr. Quraish Shihab,

MA. :

‚ Allah telah memberikan kepada kita kebebasan penuh dan sempurna dalam urusan dunia dan kepentingan masayarakat dengan jalan memberikan petunjuk untuk melakukan musyawarah, yakni yang dilakukan oleh orang-orang yang cakap

46

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 313., v.12.

Page 93: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

68

dan terpandang yang kita percayai, guna menetapkan bagi kita ( masyarakat ) pada setiap periode hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan masyarakat. Kita sering sekali mengikat diri kita dengan berbagai ikatan ( syarat ) yang kita ciptakan, kemudian namakan syarat itu ajaran agama, tetapi pada akhirnya kita terbelenggu oleh syarat-syarat itu sendiri ‚47.

Dalam al-Qurân, terdapat beberapa ayat yang

memberikan petunjuk untuk melakukan musyawarah sesuai

dengan ayat-ayat syûrâ di atas, sepeti dalam surat as-Syu’âra

ayat 215 :

Ayat di atas adalah sebuah perintah kepada Nabi untuk

bersikap lemah lembut dan tawadu’ terhadap orang-orang yang

mau mengikuti perintah dan anjuran-anjuranya48

. Ayat di atas

juga dapat dipahami bahwa orang-orang yang mengikuti perintah

atau menjalankan keputusan setelah melakukan musyawarah

haruslah mendapat perlakukan yang baik dari para peserta

musyawarah yang lain, juga dapat dipahami bahwa keputusan

musyawarah adalah keputusan yang harus ditaati semua elemen

yang menyangkut keputusan tersebut, meskipun mempunyai

47

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 318., v.12.

48 Kyai Bisyri Mustofa, Al-Ibriz Li Ma’rifati Al Quran Al-‘Aziz bi

Al-Lughah Al-Jawiyah, Lembaga Kajian Strategis ( LKS ). Wonosobo. 2013,

hlm 376.

Page 94: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

69

kedudukan yang tinggi dalam hal pemerintahan. Kemudian

dalam surat al-Hujarât ayat 10 :

Dijelaskan di atas bahwa setiap muslim adalah

bersaudara, kemudian juga terdapat perintah untuk muslim satu

dengan yang lainya supaya berlaku baik di antara mereka, di

bagian penutup ayat di atas, dijelaskan pula untuk bertaqwa

kepada Allah untuk mendapatkan rahmatNya49

, terdapat ajaran

kepada orang yang melakukan musyawarah agar berlaku baik

satu sama lain sesama peserta musyawarah, dengan landasan

bahwa setiap muslim adalah bersaudara, sehingga patut kiranya

para peserta musyawarah yang terdiri dari sesama muslim untuk

menganggap mereka layaknya saudara seperti yang telah

dijelaskan dalam al-Qurân, memperlakukan dengan sikap baik di

antara antara, kemudian bersama-sama bertaqwa kepada Allah

untuk mendapatkan rahmatNya. Begitupun dalam surat al-Kahfi

ayat 110 :

49

Kyai Bisyri Mustofa, Al-Ibriz , hlm. 521.

Page 95: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

70

Dalam ayat di atas, Allah menegaskan bahwa Nabi

Muhammad adalah utusan yang berasal dari golongan manusia,

ia terlahir di dunia dalam kondisi manusia sebagaimana manusia

pada umumnya, lalu diturunkan kepadanya wahyu-wahtu Tuhan

untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia, bahwa, ajaran

paling mendasar dari wahyu-wahyu Tuhan tersebut adalah

mengenai keimanan kepada Tuhan, keyakinan bahwa yang esa

hanyalah Allah Tuhan semesta alam, diwajibakn bagi seluruh

manusia di muka bumi untuk mengikuti wahyu-wahyu Tuhan

yang disampaiakn melalui lisan Nabi Muhammad, dalam relasi

ayat tersebut, di akhiri bahwa manusia yang telah mengenal

Tuhannya dan ingin berjumpa dengannya, maka diharuskan

untuk melakukan amal sholeh dan tidak menyekutukanNya

dengan cara menyembah kepada sesuatu apapun selain

kepadaNya50

.

Keterkaitan ayat tersebut dengan ayat-ayat syûrâ adalah,

bahwa Allah menjelaskan kepada umatnya yang melakukan

proses musyawarah untuk selalu meniatkan diri mereka

beribadah kepada Allah, dalam setiap langkah-langkah mereka

50

Kyai Bisyri Mustofa, Al-Ibriz ,hlm. 30

Page 96: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

71

untuk diniatkan mendekatkan diri kepada Allah, pun demikian

bahwa, tujuan dari proses bermusyawarah adalah untuk

menghasilkan sebuah kesepakatan yang berujung kepada

keyakinan kepada Allah, kemantapan hati bahwa Allah adalah

esa, tidak ada sesuatupun yang lain yang wajib untuk disembah

selain kepadaNya. Dalam perspektif yang lain, dijelaskan di awal

ayat di atas bahwa Nabi merupakan seorang manusia biasa yang

sangat mungkin untuk melakukan kesalahan dari sisi beliau

adalah seorang manusia biasa, terkecuali dalam diri beliau

karena derajat seorang Nabi yang terjaga dari kesalahan-

kesalahan, oleh karena itu, seorang pemimpin dalam setiap

tingkatannya, maka diharuskan untuk melakukan musyawarah

dalam upaya untuk meminimalisir dirinya melakukan kesalahan-

kesalahan. Dalam surat Ali-Imran ayat 64 dijelaskan :

Ayat di atas memerintahkan kepada Nabi Muhammad,

bahwa Nabi diutus untuk menyamakan persepsi di antara kaum

Yahudi dan Nasrani, yaitu sebuah kesamaan di antara mereka

bahwa Tuhan Allah adalah esa, tidak ada sekutu bagiNya yang

pantas untuk disembah, dan di antara mereka supaya tidak

Page 97: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

72

mengharap sesuatu yang berasal tidak dari Allah, apabila dalam

kenyataannya mereka yaitu kaum Yahudi dan Nasrani masih

tetap acuh akan ajakan Nabi, maka katakanlah kepada mereka

bahwa kami yaitu pengikut Nabi Muhammad adalah golongan

muslim51

. Terdapat korelasi makna dalam menjalankan proses

musyawarah dari ayat di atas, yaitu, umat muslim supaya

menjalankan proses musyawarah bersama-sama dengan kaum

Yahudi atau Nasrani, juga dengan umat-umat yang lain, bahwa

apabila terdapat sesuatu yang sama di antara mereka sebuah

perkara yang menyangkut kepentingan bersama-sama, untuk

didiskusikan bersama dalam proses musyawarah52

. Di sini terjadi

sebuah pemahaman mengenai proses pelaksanaan musyawarah,

bahwa untuk masalah-masalah yang menyangkut kepentingan

kemanusiaan, meskipun dalam konteks berbeda agama, maka

dianjurkan untuk melakukan proses musyawarah bersama-sama,

terlepas dari latar belakang bahwa tidak seluruh anggota

musyawarah adalah seorang muslim. Dalam hal ini, kepentingan

kemanusiaan, berbangsa dan bernegara selagi mempunyai

kepentingan yang sama di antara umat-umat beragama, maka

dalam perspektif muslim sendiri dibolehkan untuk melakukanya,

dengan catatan bahwa tidak ada unsur penghinaan dan

penindasan antara agama yang satu dengan yang lainnya terlebih

dari umat agama Islam. Dalam akhir surat Qâf yaitu ayat 45

juga dijelaskan :

51

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 318., v.12.

52 Kyai Bisyri Mustofa, Al-Ibriz ,hlm. 52.

Page 98: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

73

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah mengetahui

tentang hal-hal yang dikatakan kaum Kafir Quraisy, mereka

tidak sekalipun akan menerima perkataan dari Nabi Muhammad

untuk beriman kepada Allah, maka dari itu Nabi akhirnya

diperintahkan untuk mengajak hanya kepada orang-orang yang

takut akan ancaman-ancaman Allah, yaitu orang-orang yang

telah menerima dakwahnya, oleh karena mereka adalah golongan

yang dapat mengambil pelajaran dari al-Qurân53

. Dari ayat di

atas dapat disimpulkan bahwa ketika melakukan proses

musyawarah, terlebih bersama-sama dengan kaum yang tidak

seagama maka cukupkanlah, yaitu cukupkanlah apabila mereka

tidak mau untuk menerima pendapat yang berkaitan dengan

kepentingan secara bersama, lanjutkan proses tersebut dengan

melanjutkan proses musyawarah bersama-sama dengan golongan

yang mau menerima perbedaan dan mau untuk bersama-sama

membangun kemaslahatan.

Demikianlah al-Qurân menjelaskan mengenai prinsip

musyawarah dan prosesnya yang sama sekali tidak ditentukan

dengan keterangan-keterangan yang pasti baik dari al-Qurân

maupun Hadis. Al-Qurân merupakan pondasi utama dalam

53

Kyai Bisyri Mustofa, Al-Ibriz ,hlm. 526.

Page 99: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

74

sumber hukum Islam, ayat-ayat mengenai urusan hukum

pemerintahan, para pemangku jabatan atau mengenai etika-etika

yang tinggi dalam Islam terdapat dalam al-Qurân baik dengan

penjelasan secara umum atau secara khusus. dalil selanjutnya

adalah Sunnah. Seperti saat Nabi menyampaikan pidatonya di

saat haji wadâ‟:

”Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan harga diri

kalian, sangat terhormat bagi kalian, sebagaimana terhormatnya

hari kalian di bulan ini, hendaklah yang hadir di sini

menyampaikan kepada yang tidak hadir”54

.

Hal ini tentu memberikan banyak kelonggaran terhadap

umat untuk melakukan kajian dan pembaharuan dalam proses

pelaksanaan musyawarah, pada setiap zaman tidak bisa untuk

dilakukan musyawarah dengan sistem dan pelaksanaan yang

sama, melainkan harus terus berubah sesuai dengan kondisi dan

kebutuhan yang diperlukan, itulah hikmah yang terdapat dengan

ketiadaan sistem pasti dalam al-Qurân atau Hadis mengenai

proses musyawarah. Namun demikian, ketika al-Qurân

memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan musyawarah,

maka batasan-batasan yang diberikan al-Qurân hanyalah

menyangkut hal sebagai berikut55

:

a. Bahwa al-Qurân selagi tidak menentukan hukum

pelaksanaan syûrâ, berarti bahwa tidak ada batasan-

54

Ibnu Hajar Al-‘Asqalânî, Fathu Al-Bârî Syarhu As-Sahîh Al-

Bukhârî. Dâr Al-Ma’rifah. Beirut. 1379. Juz 1, hlm 64. 55

Taufiq Muhammad As-Syawi: Demokrasi atau Syûrâ; Gema Insani,

Jakarta, 2013. hlm. 95.

Page 100: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

75

batasan mengenai proses pelaksanaannya, namun al-

Qurân membatasi hal yang paling esensial di dalamnya

yaitu, bahwa pelaksanaan syûrâ hanyalah menyangkut

masalah yang kaitanya dengan tujuan dan pelaksaan

syûrâ adalah untuk menggali sebuah keputusan bersama

terkait konteks kebijakan dan aturan-aturan yang akan

membantu umat dalam menyelesaiakan urusan-urusan

dunia.

b. Bahwa Rasul tidak memberikan petunjuk yang tegas dan

terperinci mengenai bagaimana konsep syûrâ

dilaksanakan, jika beliau sendiri yang meletakannya, ini

bertentangan dengan sistem musyawarah yang ada dalam

al-Qurân, sedagkan bila bersama dengan para sahabatnya

yang meletakannya, maka itupun hanya berlaku untuk

masa beliau saja, tidak berlaku perincian tersebut untuk

masa sesudahanya.

Page 101: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

76

BAB III

SYÛRÂ DALAM PERSPEKTIF ULAMA KLASIK

DAN KONTEMPORER SERTA DEMOKRASI

SEBAGAI SEBUAH KONSEP NEGARA

Dari beberapa pemikir yang penulis ketahui, maka banyak

ditemukan sebuah penilaian yang negatif terkait gagasan

demokrasi. Mereka mengatakan bahwa negara-negara seharusnya

berusaha untuk mengusung sistem yang bersumber langsung dari

al-Qurân yaitu syûrâ. Penulis melihat ada dikotomi antara syûrâ

dan demokrasi yang membuat keduanya seolah menjadi lawan

antara satu dengan yang lainnya. Dari sinilah penulis kemudian

mencoba untuk menjelaskan demokrasi dan syûrâ dengan dari

perspektif Ulama klasikdan kontemporer.

A. Pandangan Ulama Klasik Mengenai Konsep Syûrâ

Kajian utama mengenai konsep musyawarah dalam al-

Qurân merujuk pada teks al-Qurân yang tertuang dalam surat al-

‘Imran ayat 159 dan juga surat As-Syûrâ ayat 38. Di sini penulis

mencoba menampilkan pemikiran ulama klasik mengenai konsep

tersebut, khususnya yang tertuang dalam surat al-‘Imran ayat

159, dikarenakan para ulama sepakat mendasari ayat tersebut

merupakan titik pangkal dalam menjalankan konsep musyawarah

dalam Islam.

Page 102: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

77

Dalam ayat tersebut, dijelaskan mengenai peristiwa yang

menimpa umat muslim dalam perang Uhud ( 3 H / 625 M ).

Allah menjelaskan perang Uhud dan masa-masa peperangan

yang ada di dalamnya dimulai dari ayat 137 dan 138 dari surat

Ali ‘Imran, kedua ayat tersebut disebut sebagai penghubung ayat

sebelumnya untuk menjelaskan peristiwa perang Uhud pada

ayat-ayat selanjutnya1.

Klasifikasi antara Ulama klasik dan kontemporer berawal

berdasarkan dari periode tahun dan karakter pemikiran yang

tertuang dalam karya Ulama tersebut. Dalam perkembangan

periode sejarah pemikiran Islam, para ahli sepakat membagi

menjadi tiga periode, yaitu periode klasik, periode pertengahan

dan periode modern2. Pertama, periode klasik, ( 650-1250 M ),

disebut sebagai zaman kemajuan, kedua, periode pertengahan (

1250-1800 M ), disebut sebagai zaman kemunduran karena

mayoritas dalam periode tersebut mengalami kemunduran,

ketiga, periode modern ( 1800-seterusnya ) disebut sebagai

periode kebangitan.

Penulis telah mengklasifikasi beberapa Ulama di masa

pra modern atau masa klasik, yang penulis anggap telah

mewakili sebagian besar ulama di masa itu, seperti :

1. Ibnu Jarîr at-Tabarî

1M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 12, Lentera Hati.

Jakarta. 2002, hlm. 278., v.12.

2Elmansyah, Kuliah Ilmu Kalam Formula Meluruskan Keyakinan

Umat di EraDigital (Pontianak:IAIN Pontianak Press, 2017), hlm. 61-62.

Page 103: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

78

Kaitanya dengan konteks musyawarah, Ibnu Jarir at-

Tabarî ( w: 310 H )3 menjelaskan bahwa konsep syûrâ hanya

ditujukan kepada Nabi, dalam kajian kaitanya dengan konsep

musyawarah, ia menjelaskan bahwa hal yang paling tepat adalah

memaknai ayat ini ditujukan kepada Nabi untuk bermusyawarah

kepada para sahabatnya dalam urusan peperangan, dan bahwa

Tuhan bermaksud untuk menjadikan peristiwa ini sebagai

contoh4. Dalam penggalan kalimat wa syâwirhum fil amri,

setidaknya at-Tabarî mengutip enam hadis yang menjelaskan

mengenai konteks musyawarah tersebut.

Pertama saat ia mengutip hadis yang diriwayatkan

dari Basyâr, untuk menjelaskan bahwa Nabi

mendapat perintah dari langit berupa wahyu, untuk

bermusyawarah kepada para sahabatnya, agar mereka

mendapatkan kebaikan dan petunjuk pada diri

mereka5.

Kedua, hadis yang diriwayatkan dari ‘Ammâr, ia

mendapatkanya dari Abu Ja’far, dari bapaknya,

bahwa Allah mengutus Nabi untuk bermusyawarah

dengan para sahabatnya terhadap suatu perkara (

3Abdurrahmân „Utbah, Mausû‟ah Al-Masâdir wa Al-Marâji‟.

Maktabah Al-„Arabiyah :Syiria. 2007, hlm. 269.

4 Abu Ja’far Ibn Jarir At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân ‘An Takwîl Al-

Qurân Tafsîr At-Tabârî ( Kairo: Dar Al Hadis, 2010 ), hlm. 506.

5At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân, hlm. 506.

Page 104: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

79

dalam hal ini adalah musyawarah mengenai konteks

perang Uhud ), agar mereka mendapat kebaikan

dalam diri mereka, dan bahwa Nabi mendapat

perintah tersebut dari langit berupa wahyu6.

Ketiga, hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Humaid,

dari Salamah, dari ibnu Ishak, di hadis ini dijelaskan

bahwa Rasul diperintah untuk bermusyawarah kepada

para sahabatnya dikarenakan untuk menunjukan

kepada mereka bahwa ia mendengarkan pendapat-

pendapat mereka, juga untuk menunjukan bahwa

Rasul membutuhkan pertolongan dari mereka dalam

urusan peperangan, meskipun pada kenyataanya Nabi

bisa untuk tetap melanjutkan peperangan tanpa

melakukan musyawarah dengan para sahabat, tapi hal

itu juga bertujuan untuk menambah keyakinan dalam

diri para sahabat Nabi bahwa ia dibutuhkan oleh

Nabi7, menurut penulis, hal ini adalah sebuah contoh

yang ingin ditunjukan oleh Nabi, bahwa hal meminta

pendapat adalah nilai yang ada dalam al-Qurân untuk

memperkuat persatuan di kalangan umat muslim.

Keempat, hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Wâqi’,

dari bapaknya, dari Salâmah bin Nubait, dari ad-

Dahak bin Muzâhim, bahwasanya, tidaklah Allah

mengutus Nabi untuk melakukan musyawarah kecuali

6 At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân, hlm. 507.

7At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân, hlm. 507.

Page 105: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

80

Nabi telah mengetahui bahwa terdapat keutamaan di

dalamnya8.

Kelima, hadis yang diriwayatkan dari Qâsim dari

Husein, dari Mu’tamir bin Sulaiman, dari Iyâs bin

Daghfal, dari Hasan bahwa dikatakan tidaklah suatu

kaum melakukan suatu musyawarah apapun, kecuali

akan diberikan petunjuk mengenai urusan-urusan

mereka9.

Keenam, hadis yang dikutip dari Sawwâr bin Abdillah

al-’Anbarî, berkata Sufyan bin ‘Uyyînah, sebuah

anjuran bagi orang mukmin agar melakukan

musyawarah pada sebuah perkara yang tidak ada

petunjuk dari Nabi10

.

Melihat beberapa penjelasan dari at-Tabarî, menunjukan

bahwa ia mencoba memberi pengertian kepada kaum muslimin

bahwa perintah untuk bermusyawarah ditujukan kepada Nabi

dalam rangka membentengi hati kaum mukminin yang secara

keimanan tidak merata, sehingga tidak mudah terjerumus ke

dalam tipu daya musuh di dalam peperangan. Penulis

menganggap bahwa pemahaman syûrâ terkait khitabnya ( objek )

dalam tafsir at-Tabarî berkutat dalam diri Nabi dan para

sahabatnya dalam konteks peperangan saja.

8 At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân, hlm. 507.

9At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân, hlm. 507.

10 At-Tabârî, Jâmi’u Al-Bayân, hlm. 507.

Page 106: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

81

Dari keenam hadis yang dikutip oleh at-Tabarî, sama

sekali ia tidak menjelaskan konteks musyawarah dalam tataran

pemerintahan, at-Tabarî beberapa kali menjelaskan perintah

langsung dari Allah dalam bentuk wahyu kepada Nabi, untuk

dilaksanakan Nabi bersama para sahabatnya, terutama agar para

sahabat tidak terjerumus dalam tipu daya musuh di dalam

peperangan. Di sini jelas bahwa, kajian at-Tabarî mengenai

konsep syûrâ belum menyentuh ranah politik sebagaimana saat

ini yang dipahami dalam wilayah politik dan pemerintahan.

Dalam satu pernyataan, ia mengungkapkan bahwa para

pemimpin mereka akan menemui kata sepakat, sedikit

menyinggung mengenai permasalahan politik, meskipun masih

sangat jauh dengan konteks saat ini. Bahkan, menurut hemat

penulis, at-Tabarî seharusnya mampu untuk lebih mengeksplor

pemahaman syûrâ minimal dengan penegasan bahwa konsep

syûrâ juga dianjurkan untuk dilakukan di luar peristiwa

peperangan, dengan detail-detail teknis pelaksanaan syûrâ,

namun begitu, darinpenjelasannya dapat dipahami bahwa syûrâ

adalah sebuah konsep yang akan dilakukan umat Islam dalam

merumuskan permasalahan agama dan kehidupan sehari-hari,

yang tergantung dengan bagaimana pelaku musyawarah

melakukannya dengan niat mencari petunjuk Tuhan.

2. Zamakhsyarî

Selanjutnya, apa yang dikaji oleh Zamakhsyarî> ( w : 538

H ). Hampir serupa dengan apa yang sudah dilakukan oleh at-

Tabarî, Zamakhsyarî mencoba memahami bahwa konsep syûrâ

Page 107: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

82

selain diperintahkan kepada Nabi pada saat peperangan, juga

menambahkan bahwa musyawarah dilakukan oleh Nabi dan para

sahabatnya, sehingga Nabi akan lebih mendapatkan kemudahan

dan meminimalisir terjadinya perpecahan11, hal ini menunjukan

bahwa Zamakhsyarî sedikit lebih maju penjelasannya terkait

konsep musyawarah ketimbang at-Tabarî, namun juga belum

cukup untuk menjadi dasar pemahaman politik umat muslim saat

ini. Ia dengan tegas menyatakan bahwa musyawarah berlaku

bagi Nabi saat terjadi peperangan, dan juga dapat dilakukan oleh

Nabi bersama para sahabatnya untuk mendapatkan saran dan

meminta pendapat12. Redaksi yang digunakan olehnya relatif

sedikit ketimbang apa yang sudah dilakukan oleh at-Tabarî,

dalam menafsirkan kalimat wa syâwirhum fi al-amri, dua hadis

dan satu atsâr yang tidak disebutkan sumbernya :

Pertama ia mengutip sebuah hadis yang

diriwayatakan dari Hasan, ditegaskan di dalamnya

Allah telah mengetahui bahwa Nabi sebenarnya tidak

membutuhkan saran ataupun masukan dari para

sahabatnya ketika terjadi peperangan,khususnya

seperti yang terjadi dalam perang Uhud, tetapi

penekananya justru terdapat dalam hal contoh yang

11

Az-Zamakhsyarî Al-Khawârizmî, Al-Kasyâf ‘An Haqâiqi At-Tanzîl

wa ‘Uyûn Al-Aqâwîl fî Wujûhi At-Takwîl ( Mesir: Maktabah Mashr, 2000 ),

hlm. 393.

12 Al-Qurân Abad 21: Tafsir Kontekstual/karya Abdullah Saeed;

penerjemah, Evan Nurtawab; editor, Ahmad Baiquni ( Bandung: PT Mizan

Pustaka, 2015). hlm. 249.

Page 108: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

83

diberikan Nabi untuk golongan sesudahnya,

dilanjutkan oleh Zamakhsyarî dengan mengutip hadis

dari nabi, sebuah kaum tidak akan mendapatkan apa-

apa dalam proses musyawarah kecuali sebuah

petunjuk untuk memudahakan urusan-urusan

mereka13. Hadis ini menurut penulis menjadi sebuah

penegasan dari kajian Zamakhsyarî, bahwa ia sudah

mempunyai pandangan bahwa proses musyawarah

agar dilakukan oleh generasi umat Islam setelah masa

Nabi di dalam urusan-urusan selain peperangan.

Kedua adalah sebuah hadis yang bersumber dari Abû

Hurairah, dikatakan bahwa tidak pernah ia melihat

seseorang yang melakukan musyawarah melebihi dari

sahabat Nabi, dikatakan pula dalam redaksi

selanjutnya bahwa para pembesar Arab apabila

mereka tidak melakukan musyawarah dalam sebuah

urusan, mereka akan mendapatkan kesulitan dalam

urusan tersebut, maka dari sebab itulah Allah

menyuruh Nabi untuk bermusyawarah dengan para

sahabatnya, untuk menghindari hal yang memyulitkan

di antara mereka dan meminimalisir kesewenang-

wenangan dengan sebuah pendapat diantara mereka14.

Dalam hal ini sangat jelas bahwa Zamakhsyarî dalam

kajiannya mengenai proses musyawarah telah

13

Zamakhsyârî, Al-Kasyâf, hlm. 393.

14Zamakhsyârî, Al-Kasyâf, hlm. 393.

Page 109: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

84

mengindikasikan perluasan konteks pelaksanaan

musyawarah, tidak hanya sebatas di saat umat Islam

mengalami peperangan, namun sekali lagi, penjelasan

dari Zamakhsyarî belum cukup untuk mewakili

konteks pelaksanaan musyawarah di zaman ini.

3. Fakhruddin ar-Râzî

Dalam menjelaskan ayat ini, ar-Râzî sengaja ingin

mengemukakan gagasannya, bahwa Tuhan memerintahkan

musyawarah kepada Nabi dan semestinnya Nabi juga tidak perlu

melakukan syûrâ dengan para sahabatnya. Ia ingin

mengungkapkan gagasan syûrâ dalam al-Qurân yang merupakan

sebuah perintah dari Allah sebagai sebuah media bagi Nabi

untuk menenangkan hati para sahabatnya, terlepas dari

penjelasannya bahwa Nabi akan tetap mendapatkan sebuah

petunjuk dengan tanpa melakukan musyawarah dengan para

sahabatnya. Dalam menafsirkan konsep musyawarah, ar-Râzî

membaginya menjadi lima bagian yang masing-masing secara

bertahap menjelaskan pengertian syûrâ dan urgensitasnya bagi

para sahabat Nabi15.

Pertama, ia menjelaskan struktur bahasa dan

pengertian syûrâ, dengan mengatakan bahwa syûrâ

berasal dari syirtu al-‘asl, yang juga berarti

mengeluarkan isi madu dari sarang lebah. Ar-Râzî

juga mengutip kalimat-kalimat atau dialog-dialog lain

15

Fakhru Ad-Dîn Ar-Râzi As-Syâfi’i, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîh

Al-Ghaib ( Kairo, Al Maktabah At Taufiqiyah, 2003 ). Juz 5. Hal 58.

Page 110: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

85

yang diarahkan untuk menjelaskan pengertian dari

musyawarah itu sendiri. Di akhir penjelasannya dalam

bagaian pertama, ia memberikan pengertian, bahwa

demikianlah musyawarah dilaksanakan, yaitu untuk

mengetahui baik dan buruk dalam sebuah urusan-

urusan manusia16

.

Kedua dalam upaya menjelaskan makna musyawarah,

ia mulai beranjak dengan menjelaskan konteks

musyawarah dan beberapa detail tujuan dari perintah

Tuhan kepada Nabi untuk menjalankan musyawarah.

Selanjutnya pada bagian kedua, ar-Râzî menjelaskan

mengenai beberapa faedah dari perintah

bermusyawarah yang diberikan kepada Rasul, faedah-

faedah tersebut dibagi olehnya menjadi 8 bagian :

1) Bahwa proses musyawarah yang dilakukan oleh Nabi

kepada para sahabatnya, akan mengangkat derajat dan

kedudukan para sahabat secara umum, juga sebaliknya,

proses musyawarah yang dilakukan Nabi bersama mereka

akan menambah rasa cinta para sahabatnya, dan juga

menghindari sikap yang kurang baik kepada Nabi17

.

Penjelasan ar-Râzî dalam poin ini, menunjukan bahwa ia

menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan guna

menjelaskan sisi lain dari faedah musyawarah yang

16

Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 58.

17 Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 58.

Page 111: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

86

dilakukan pada saat itu, mengenai proses pendekatan

yang dilakukan olehnya, penulis menganggap hal ini

sangat membantu para sejarawan yang ingin melihat

lebih jauh kondisi sosial kemayarakatan pada saat itu,

signifikansi dari proses pendekatanya mengenai proses

musyawarah membantu para pengkaji tafsir setelahnya

untuk melihat sisi sosial pada waktu itu, namun lagi-lagi

realisasi mengenai relevansi konteks musyawarah saat

itu, belum banyak membantu untuk kajian musyawarah

pada zaman ini.

2) Nabi meskipun sebagai seorang manusia yang paling

sempurna, namun tetaplah pengetahuan seorang makhluk

ada batasnya, oleh karena itu, proses musyawarah yang

dilakukan Nabi bersama para sahabatnya, menunjukan

bahwa ia sangat memperhatikan keadaan para

sahabatnya, terlebih mengenai urusan dunia, oleh sebab

itu, ar-Râzî mengutip sebuah hadis yang berasal dari

Sayyidah ‘Âisyah :

‚ Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian, sedangkan aku lebih mengerti urusan agama kalian ‛

Kemudian ia melanjutkan dengan mengutip hadis

yang berbunyi :

‚ Tidaklah suatu kaum melakukan musyawarah, kecuali ia akan mendapatkan petunjuk dan kebenaran ‚18.

18

Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.

Page 112: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

87

Dari penjelasan di atas, ar-Râzî berusaha untuk

menguatkan bahwa sosok Nabi sebagai manusia paling

sempurna di dunia, juga membutuhkan proses

musyawarah untuk menghasilkan sebuah keputusan yang

berguna bagi masyarakat secara umum, ia mengutip

hadis-hadis yang menegaskan bahwa Nabi adalah seorang

yang menjadi rujukan dalam hal beragama, namun untuk

urusan dunia, dijelaskan di sini, bahwa Nabi melakukan

proses musyawarah guna mendapatkan sebuah keputusan

yang terbaik.

3) Pada poin tiga, ia mengutip pendapat yang dikemukakaan

oleh Hasan dan Sufyan bin ‘Ayyînah, bahwa tujuan dari

perintah yang dilakukan oleh Nabi dan sahabatnya dalam

proses musyawarah adalah untuk dijadikan contoh dalam

pelakasanaa syûrâ, sekaligus menjadi sunnah yang pada

prosesnya nanti akan dilakukan oleh umat muslim di

seluruh penjuru dunia19

. Ar-Râzî mulai beranjak dalam

menjelaskan konteks musyawarah, kutipan yang ia ambil

dari Hasan dan Sufyan bin ‘Ayyînah menunjukan bahwa

sebenarnya sangat mungkin baginya untuk menjelaskan

konteks penerapan syûrâ secara lebih jauh, namun sangat

disayangkan, hanya sebatas penjelasan sunnah ar-Râzî

tidak melanjutkan lebih jauh.

4) Di sini ar-Râzî menjelaskan bahwa Nabi bermusyawarah

bersama para sahabatnya, para sahabat beberapa

19

Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.

Page 113: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

88

menghendaki untuk keluar dari batas perang, sementara

Nabi condong kepada para sahabat supaya tetap tinggal

di tempat, namun kenyataannya mereka tetap keluar, dan

terjadilah seperti yang telah terjadi, umat muslim

mengalami kekalahan, jika Nabi meninggalkan

musyawarah bersama para sahabatnya setelah kejaian

tersebut, maka itu menunjukan bahwa Nabi akan

menyisakan sesuatu dalam hati, maka allah

memerintahkan kepada Nabi untuk melakukan

musyawarah dengan para sahabatnya, untuk

menghilangkan praduga bahwa masih membekas di hati

Nabi mengenai keputusan para sahabatnya yang keluar

dari batas peperangan20

. Ada sedikit penafsiran yang

menunjukan sisi politis di sini, namun sekedar melibatkan

Nabi dan para sahabatnya dalam evaluasi peperangan,

masih jauh dari konteks msuyawarah di zaman ini.

5) Pada poin ini, ar-Râzî menjelaskan mengenai motif

perintah bermusyawarah antara Nabi dan para

sahabatnya, dijelaskan olehnya bahwa Allah

memerintahkan kepada Nabi untuk bermusyawarah

bukan supaya Nabi mengambil manfaat berupa pendapat

dan ilmu, melainkan agar Nabi mengetahui di antara

sahabatnya, sejauah mana pengetahuan, pemahaman dan

kecintaan mereka kepada Nabi, juga untuk mengetahui

mana di antara sahabatnya yang mempunyai kedudukan

20

Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.

Page 114: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

89

serta keutamaan dalam hal-hal tersebut21

. Melihat uraian

ar-Râzî di sini, penulis menganggap bahwa ia

menggunakan pendekatan sosial keagamaan, berangkat

dari pemahaman dan penelusuran yang mendalam dari

hadis ataupun atsar yang menjelaskan proses

musyawarah, ia menampilkan bagian yang

melatarbelakangi perintah musyawarah yang ditujukan

kepadanya dengan sudut pandang sosial keagamaan yang

ada di masa itu.

6) Masih senada dengan poin sebelumnya, bahwa ar-Râzî

menjelaskan mengenai perintah dari bermusyawarah ini

bukanlah semata-mata Nabi membutuhkan sesuatu dari

para sahabatnya di waktu itu, melainkan agar Nabi

mampu mengeluarkan potensi yang ada dalam setiap jiwa

sahabatnya, mengeluarkan usulan-usulan untuk mencapai

kemaslahatan bersama, karena pada dasarnya, jiwa-jiwa

yang suci akan tergerak untuk melaksanakan sebuah

kebaikan yang dilakukan secara bersama-sama.

Demikianlah rahasia yang sebenarnya mengapa shalat

berjam’ah lebih utama daripada dilakukan sendiri22

. Ar-

Râzî kembali menjelaskan mengenai latarbelakang dari

perintah melakukan musyawarah, bahwa kemudian Nabi

dijelaskan akan dapat mengeluarkan potensi dari para

sahabatnya jika melakaukan musyawarah, ini

21

Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.

22Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.

Page 115: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

90

menunjukan bahwa ar-Râzî mencoba mengetengahkan

karakter Nabi sebagai seorang pendidik di antara

sahabatnya, meskipun dalam keadaan perang sekalipun,

hal ini menunjukan betapa melekatnya karakter-karakter

mulia yang senantiasa menempel dalam jiwa Nabi di

berbagai keadaan.

7) Ar-Râzî menjelaskan bahwa ketika Allah memerintahkan

proses musyawarah saat itu, menunjukan bahwa mereka

para sahabat telah dianggap mampu dihadapan Allah,

dihadapan Rasul serta dihadapan makhluk, untuk

melakukan proses musyawarah itu sendiri23

. Hal ini

menunjukan bahwa dalam kapasitas sahabat waktu itu,

mereka dianggap mampu untuk memberikan usulan-

usulan yang berkaitan dengan proses memberikan

pendapat untuk dicari yang paling benar, di sini ar-Râzî

menegaskan bahwa kemampuan sahabat pada waktu itu

telah diakui oleh Allah dan Rasulnya, sehingga turunlah

perintah tersebut. Untuk kajian selanjutnya mengenai

konsep musyawarah, penulis sepakat dengan penjelasan

yang telah dilakukan ar-Râzî mengenai pengakuan dari

Allah dan RasulNya kepada para sahabat, hal itu tentu

dapat dikatakan bahwa setiap dari perintah yang datang

dari Allah, berarti ada sebuah pengakuan yang secara

tidak langsung datang dari Allah untuk manusia secara

23

Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.

Page 116: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

91

umum, agar dapat melaksanakan perintah tersebut, selagi

tidak ada penjelasan lebih jauh mengenai perintah itu24

.

8) Pada poin ini ia menjelaskan bahwa seorang raja atau

pemimpin besar—di sini yang dimaksud oleh ar-Râzî

adalah Nabi, tidak pernah melakukan musyawarah

mengenai perkara-perkara penting, kecuali bersama

dengan orang-orang khususnya atau orang-orang

dekatnya, mereka orang-orang yang diajak musyawarah

apabila melakukan kesalahan akan diampuni oleh Allah,

maka dengan kedudukan yang istimewa tersebut, Allah

akan memaafkan mereka sebagai sebuah ganjaran yang

pantas mereka dapatkan. Kemudian Allah menjelaskan

bahwa keudukan tersebut tidak akan mereka peroleh

kecuali setelah melakukan taubat, bahkan ditambahkan,

bahwa Allah tidak memerintahkan Nabi untuk melakukan

meusyawarah, kecuali setelah kejadian mereka

melakukan kesalahan, lalu setelah itu Allah

memerintahkan Nabi untuk melakukan musyawarah, hal

itu bertujuan untuk menjelaskan bahwa mereka saat

setelah melakukan musyawarah menempati derajat yang

tinggi, yaitu dimana sebelumnya mereka masih

menggantungkan harapan mereka kepada amal dan

ketaatan mereka, namun setelah itu mereka

menggantungkannya pada keutamaan dan ampunan dari

24

Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.

Page 117: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

92

Allah25

. Di sini ar-Râzî menjelaskan bahwa orang-orang

yang melakukan musyawarah menempati kedudukan

yang tinggi, yaitu kedudukan khusus yang diberikan oleh

Allah kepada mereka, menarik di sini adalah penjelasan

ar-Râzî mengenai mereka yang melakukan musyawarah

adalah orang-orang yang sebelumnya telah melakukan

kesalahan, kemudian dengan ikutnya mereka dalam

proses musyawarah kedudukan mereka diangkat oleh

Allah. Ia menegaskan bahwa musyawarah sebagai sebuah

keutamaan yang didapatkan bagi orang-orang yang

melaksanakannya. Dalam konteks saat ini, penulis

menganggap bahwa kemuliaan yang dijelaskan oleh ar-

Râzî terhadap orang-orang yang melaksanakan proses

musyawarah merupakan hal yang subjektif, bagaimana

tidak, konteks musyawarah saat ini mengalami dikotomi

di antara umat muslim di seluruh dunia, hal inilah yang

menjadi tema besar dalam kepenulisan ini, dimana

sampai saat ini proses demokrasi masih menjadi

perdebatan mengenai eksistensinya sebagai sebuah sistem

kenegaraan yang mampu untuk diserap sebagai sebuah

sistem yang mampu menjalankan musyawarah dikalangan

umat Islam. Oleh karena itu, kembali kepada analisa

penjelasan ar-Râzî, maka menjadi kemuliaan yang

didapatkan oleh mereka yang melakukan musyawarah

25

Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.

Page 118: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

93

harus disepakati terlebih dahulu mengenai konteks

penerapan sistem syûrâ dan demokrasi saat ini.

Ketiga, ar-Râzî masuk dalam pembahasan mengenai

kajian fiqih musyawarah, ia mengutip beberapa

pendapat di antara ahli fiqih, konteks kajian ia

fokuskan pada persoalan yang menyangkut perintah

pelaksanaan musyawarah, apakah itu mencakup

keseluruhan persoalan baik persoalan yang telah ada

nash atau hanya tertuju pada persoalan-persoalan

yang belum ada ketentuannya di dalam al-Qurân.

Pada pertanyaan pertama para Ulama sepakat bahwa

untuk hal-hal yang telah ada penjelasannya dari al-

Qurân tidak diberbolehkan untuk dimusyawarahkan.

Namun pertanyaannya beranjak, yaitu pembahasan

mengenai konteks musyawarah yang belum ada

pembahasannya di dalam al-Qurân26

. Ia mengutip

penjelasan al-Kalbî dan beberapa ulama, bahwa

perintah musyawarah yang terdapat dalam ayat di

atas dikhususkan untuk masa peperangan atau ketika

mengahadapi musuh, ia juga menjelaskan mengenai

sisi bahasa mengenai kata al-amru, bahwa al yang ada

dalam kata tersebut bukanlah al li istighraq,

26

Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.

Page 119: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

94

melainkan al li al-’ahdiyah27, kemudian ia juga

menukil beberapa keterangan, bahwa Hubab bin

Mundzir pernah melakukan musyawarah bersama

Nabi saat terjadi pereng badar, begitu juga Sa’d bin

Mu’âdz dan Sa’d bin ‘Ubâdah saat melakukan

melakukan musyawarah di waktu perang Khandaq ia

kutip untuk menguatkan penjelasan yang ada di

bagian awal, yaitu keterangan mengenai pemahamaan

bahasa yang mengenai konteks pelaksanaan

musyawarah dari ayat di atas terkhususkan untuk

wilayah peperangan dan bila bertemu musuh saja.

Namun terdapat pendapat lain yang ia kutip, yaitu

mengenai penjelasan bahwa yang dimaksud di dalam

ayat tesebut bersifat umum, artinya, itu justru

dimaksudkan untuk hal-hal yang ada di luar

peperangan atau saat bertemu musuh seperti yang

telah dijelaskan oleh golongan pertama yang ia

kutip28

. Ar-Râzî mengutip ayat al-Qurân yaitu akhir

surat al Hasyr ayat 2 :

Lafaz ûlî al-absar yang terdapat dalam ayat

tersebut menjelaskan mengenai kemampuan

seseorang dalam melakukan kajian pada perkara yang

27

Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59. 28

Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.

Page 120: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

95

belum ada ketentuannya di dalam al-Qurân, oleh

karena itu diperlukan kajian musyawarah mengenai

perkara-perkara tersebut. Ia kembali mengutip ayat

lain, yaitu ayat ke 83 dari surat An-Nisâ´:

Bahwa seorang yang mempunyai kemampuan

dalam melakukan kajian bersama dengan beberapa

yang lain terhadap sebuah permasalahan dipuji oelh

Allah. Bahwa kebanyakan manusia adalah berakal

dan cerdas mengenai urusan mereka. Ini menunjukan

bahwa mereka diperintahkan untuk melakukan ijtihad

terhadap suatu perkara yang belum ada padanya suatu

keteragan dari al-Qurân, oleh karena kajian,

penelitian dan proses pelaksanaan ilmiahnya

membutuhkan perbandingan dan kesepakatan dari

beberapa orang, maka dari situ diwajibkanlah

musyawarah29

. Di sini kecondongan ar-Râzî terlihat

lebih memihak kepada golongan kedua yang

menganggap bahwa konteks pelaksanaan musyawarah

tidak hanya terfokus pada saat peperangan saja,

ataupun saat bertemu musuh, namun konteks

pelaksanaan musyawarah bisa untuk dilakukan pada

29

Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 59.

Page 121: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

96

setiap hal yang belum ada keterangan resminya dari

al-Qurân, itu ditandai dengan penjelasannya diakhir

bagian ini, bahwa takhsis al-Qurân dengan analogi

tidak diperbolehkan, seperti yang terjadi pada saat

iblis membandingkan mengenai penciptaan dirinya

dan manusia, kemudian karena hal itu ia dilaknat oleh

Allah30

. Di bagian ini, ar-Râzî mencoba untuk

menjelaskan konteks pelaksanaan syûrâ ditinjau dari

segi fiqihnya, bahwa kemudian ia membagi beberapa

pertanyaan-pertanyaan yang disusul dengan jawaban

yang ia nukil dari beberapa Ulama yang lebih dulu

membahasnya, kemudian di akhir kalimat ia

menjelaskan keberpihakannya di salah satu golongan.

Penafisiran ar-Râzî dalam beberapa penjelasannya

mengenai tema syûrâ harus diakui cukup kontekstual

jika melihat zaman yang mengiringi saat itu masuk

dalam kategori klasik dalam urusan sistem

pemerintahan, ia jauh melewati zamannya dalam

menjelaskan beberapa persoalan mengenai proses

musyawarah.

Keempat, ar-Râzî masih menjelaskan seputar masalah

fiqih, yaitu mengenai level hukum yang melingkupi

pelaksanaan musyawarah, ia mengutip pendapat

Syâfi’î yang mengatakan bahwa pelaksanaan

musyawarah dalam kalimat wa syâwirhum fi al amri

30

Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 60.

Page 122: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

97

merupakan hal yang sunnah, namun, ar-Râzî sendiri

menjelaskan di bagian awal, bahwa perintah tersebut

merupakan hal yang wajib31

. Di sini lagi-lagi ar-Râzî

tidak melakukan pembahasan lebih jauh, mungkin

karena ia penganut madzhab Syâfi’i sehingga urung

untuk melakukan perdebatan yang jauh menegnai hal

ini, sebagai bentuk ittiba’nya terhadap hasil ijtihad

Imam Syâfi’i, atau mungkin juga kondisi saat itu

belum memerlukan kajian yang jauh dari pada itu,

seandainya penafsiran ar-Râzî di sini menyentuh sisi

musyawarah di level pemerintahan saat itu, mungkin

akan menjadi hal yang sangat berguna bagi pengkaji

Islam di saat ini.

Kelima, ia mengkritik sebuah riwayat dari al-Wâhidî,

dari ‘Amru bin Dînâr dari Ibnu ‘Abbâs, bahwa apabila

yang dimaksud di dalamnya mengenai sahabat yang

diajak bermusyawarah olehnya adalah Abû Bakar dan

‘Umar bin Khattab merupakan sebuah kekeliruan, ia

menjelaskan bahwa para sahabat yang diajak

bermusyawarah saat itu adalah yang telah melakukan

kesalahan di dalam perang Uhud dan telah bertaubat,

sedangkan Abû Bakar dan ‘Umar tidak berada di

dalam golongan tersebut32

.

31

Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 60. 32

Ar-Râzi, At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Juz 5 hlm. 60.

Page 123: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

98

4. Al-Qurtubî ( W 671 H )

Ia juga dianggap sebagai seorang mufassir yang paling

berkehendak memahami syûrâ untuk umat Islam secara

keseluruhan khususnya para pemimpinnya. Melaluinya, konsep

syûrâ tidak hanya terbatas pembahasannya melulu soal konteks

turun ayat, dibandingkan beberapa pendahulunya, al-Qurtubî

cukup berani menafsirkan syûrâ masuk dalam sistem

pemerintahan33

.

Penulis mencoba menganalisa penjelasan al-Qurtubî

terkait konsep syûrâ, secara khusus ia membagi pembahasan

mengenai ayat ini menjadi 8 bagian, namun khusus mengenai

syûrâ, ia hanya memberi penjelasan ke dalam 6 bagian saja. Pada

bagian pertama, ia mengutip penjelasan Ulama mengenai konsep

syûrâ, secara umum pada bagian ini, ia masih berkutat

pembahasannya mengenai syûrâ seperti pendahulu-pendahulunya

di kalangan mufasir. Dia menjelaskan motif dan keutamaan

mereka, yaitu keutamaan mendapat ampunan dari Allah, atau

sebaliknya, perintah syûrâ kepada para sahabat merupakan

pertanda bahwa mereka bersegera meminta ampun kepada Tuhan

setelah melakukan kesalahan di dalam perang Uhud.

Pertama, al-Qurtubî juga mengutip sisi bahasa dalam

kata syûrâ, dia menjelaskan bagaimana orang-orang

Arab pada awalnya mengutip menggunakan kalimat

33

Abdullah saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm. 250.

Page 124: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

99

syûrâ ini34

. Pada akhir bagian ini, al-Qurtubî

mengutip sebuah syair arab dari ‘Udai bin Zaid, :

‚ Seorang Syaikh mendengar dari orang yang berbicara dengannya, perumpamaan itu bagaikan seorang yang berhasil mendapatkan madu yang berwarna putih ‛35.

Apa yang dijelaskan al-Qurtubî pada bagian ini, masih

sama seperti apa yang dilakukan pendahulunya para ahli tafsir,

yaitu fokus pada pembahasan bahasa.

Kedua, al-Qurtubî mengutip pendapat Ibnu ‘Atiyah,

yang dinukil olehnya melalui Tafsir Ibnû’Atiyah36.

Dia menuliskan : bahwa syûrâ termasuk bagian dari

pondasi atau prinsip utama syarî’ah, maka

barangsiapa yang tidak menjalankan konsep syûrâ ini,

untuk diasingkan—sebagaimana pelaku dari

pelanggaran prinsip dasar syar’î37. Dalam redaksinya,

ia menegaskan bahwa pendapat Ibnû ‘Atiyah tersebut

merupakan ijmâ’ sehingga harus diikuti oleh semua

umat Islam, sebagaimana Allah memuji orang-orang

yang berbuat musyawarah, tertulis dalam firmannya

34

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Ansari Al-Qurtubi, Al-

Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân ( Kairo: Maktabah Dar Al Hadis, 1994 ). jus 1. Hal

597-600.

35 Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 597-600.

36 Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 597-600.

37 Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 597-600.

Page 125: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

100

yaitu, wasyâwirhum fil amri. Selanjutnya ia mengutip

sebuah perkatan dari seorang arab, ia tidak

menuliskan sumber terkait penukilan perkataan

tersebut, yaitu :

‚ Bahwa aku tidak sekalipun merasa dizalimi hingga kaumku terzalimi, yaitu aku tidak akan pernah melakukan sesuataupun hingga aku bermusyawarah bersama-sama dengan rakyatku ‛.38

Selanjutnya ia mengutip pendpat dari Ibnu Khuwaiz

mandâd :

‚ Wajib bagi para penguasa untuk bermusyawarah dengan para Ulama mengenai hal yang tidak dia ketahui, juga mengenai hal-hal yang dia sendiri sulit untuk memahaminya terkait urusan agama, juga urusan peperanagan agar bermusyawarah dengan para bala tentaranya, urusan yang terkait kemaslahatan manusia bersama orang-orang yang berkompeten di bidangnya, juga bermusyawarah bersamapara menterinya dalam urusan yang berkaitan dengan kemajuan dan kesejahteraan negara, ia melanjutkan : tidaklah ada penyesalan dari orang-orang yang telah melakukan proses musyawarah, barangsiapa yang menganggap kebenaran mutlak adalah pendapatnya maka dia termasuk orang yang sesat‛39.

Sangat menarik apa yang telah disampaikan oleh al-

Qurtubî, dibagian ini dia benar-benar telah memberikan

penjelasan yang sangat maju melewati zamannya. Penulis

menganggap bahwa penjelasan al-Qurtubî di sini merupakan

sebagian kecil Ulama yang berani mengeluarkan pemikiran yang

38

Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 597-600.

39 Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 597-600.

Page 126: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

101

anti mainstream di zaman itu. Bagaiamana dia berani

mengatakan bahwa syûrâ merupakan sebuah kewajiban bagi

setiap individu muslim, lebih jauh, dia dengan menukil

pandangan dari Ibnu Khuwaiz Mandâd, mewajibkan para

pemimpin untuk melakukan musyawarah terhadap orang-orang

pilihannya dalam urusan-urusan yang dia sendiri sulit dalam

memahaminya.

Ketiga, al-Qurtubî mengawalinya dengan mengutip

ayat yang sedang dikaji yaitu wasyâwirhum filamri,

di bagian ini, al-Qurtubî menghimpun beberapa

pendapat Ulama terdahulu mengenai hukum dan latar

belakang pelaksanaan musyawarah, setelah mengutip

ayat musyawarah di atas, kemudian ia

mengemukakan pendapatnya, jika ayat tersebut

menunjukan mengenai kebolehan berijtihad pada

beberapa perkara-perkara dan merumuskan sebuah

ketetapan mengenai sebuah masalah yang masih

diperdebatkan keabsahanya meskintelah turun wahyu

kepada masalah tersebut, namun dalam wilayah

zanni, karena Allah mengizinkan kepada Rasul untuk

melakukan hal tersebut40. Kemudian ia mengutip

beberapa pendapat ahli ta’wîl mengenai maksud dari

perintah Allah kepada Nabi mengenai konsep syûrâ

tersebut, sebagian besar sudah dijelaskan oleh para

mufasir sebelumnya. Secara gairs besar, al-Qurtubî

40

Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 598.

Page 127: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

102

membagi kelompok ahli ta’wîl yang dimaksud di atas

menjadi dua golongan, pertama diwakili oleh

Qutâdah, Rabi’, Ibnu Ishâq dan Syâfi’î, yaitu konteks

perintah tersebut tidaklah dimaksudkan bahwa Rasul

yang membutuhkan hasil dari musyawarah tersebut,

karena dengan turunnya wahyu sejatinya Rasul akan

mendapat jawaban terbaik dari urusan yang sedang

menimpanya, namun palaksanaan musyawarah

tersebut adalah untuk menguatkan eksistensi para

sahabat Nabi, sehingga bertambahlah kemantapan

hati mereka dalam memeluk agama Islam. Dijelaskan

pula, bahwa pelaksanaan musyawarah dilakukan

dalam keadaan penguatan strategi dalam peperangan,

sehingga munculah pendapat Syâfi’î yang

mengatakan hukum pelaksanaan musyawarah adalah

sunah. Kemudian golongan yang kedua diwakili oleh

Hasan Basri dan ad-Dahâk, yaitu mengani perintah

bermusyawarah tentang sebuah perkara, yang tidak

ada padanya wahyu, keduanya berkata :

‚ Tidaklah Allah memerintahkan musyawarah

kepada Nabi, dalam kondisi Nabi yang membutuhkan

pendapat mereka, tetapi justru untuk mengajari

mereka mengenai keutamaan bermusyawarah, dan

juga sebagai contoh kepada umat setelahnya ‛41.

41

Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 598.

Page 128: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

103

Di akhir bagian ini, ia mengutip sebuah qiraah

yang berasal dari sahabat Ibnu ‘Abbâs, yaitu

wasyâwirhum fî ba’di al-amri.

Keempat, al-Qurtubî mengutip sebuah hadis dari

Sunan Abû Dâwud, diriwayatkan dari sahabat Abû

Hurairah, bahwa Rasul pernah bersabda :

‚ Seorang yang diajak bermusyawarah hendaknya adalah orang yang amanah‛ .

Ia kemudian mengutip penjelasan seorang

Ulama, bahwa sifat ataupun syarat orang yang diajak

bermusyawarah dalam urusan hukum-hukum syari’at,

orang tersebut haruslah sebagai seorang yang ‘alim

dan taat dalam beragama, disyaratkan pula pandai

dalam menulis, syarat tersebut tidaklah berlaku untuk

seorang yang masuk kategori cerdas, ia melanjutkan

dengan mengutip pendapat dari Hasan :

‚ Seorang tidak sempurna agamanya jika tidak sempurna

akalnya‛ .

Seorang yang diminta untuk bermusyawarah,

kemudian terdapat tanda-tanda atau karakter seperti

yang telah disebutkan, apabila ia berijtihad dalam

sebuah perkara yang baik, mengerahkan segala

kemampuanya, lalu mendapat sebuah kesimpulan

Page 129: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

104

musyawarah yang salah, maka orang tersebut tidaklah

mendapat hukuman, ini seperti yang dikatakan oleh al-

Khitâbî42 dan lain-lain.

Kelima, al-Qurtubî mengutip beberapa bait syair arab

yang mengarah pada penjelasan bahwa musyawarah

adalah suatu perkara yang senantiasa akan

mendatangkan kebaikan, jika dilakukan bersama

orang-orang yang mempunyai beberapa kriteria.

Seperti sebauh bait syair arab yang ia kutip dari

Zubair bin ‘Abdi al Mutallib :

‚ Jikalau telah bengkok pintu perkara

kepadamu, maka bermusyawarahlah menegnai

perkara tersebut bersama orang yang cerdik pandai,

dan janganlah engkau berpaling dari keputusan yang

telah kau tetapkan bersamanya ‛43.

Melaksanakan musyawarah baginya adalah

sebuah keberkahan, seperti sebuah hadis yang ia kutip

dalam penjelasannya, yaitu :

‚ Tidaklah seorang akan menyesal dengan melaksanakan musyawarah, dan tidak pula seseorang

42

Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 598.

43 Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 598.

Page 130: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

105

akan melakukan hal yang sia-sia dalam sebuah pilihan ‛44.

Hadis di atas telah ditakhrîj oleh Dr. Mahmûd

Hamîd ‘Utsmân, dosen ushulul fiqhi di Fakultas

Syarî’ah dan Undang-undang Universitas Al-Azhar

cabang Tanta. Hadis tersebut merupakan hadis

maudû’î yang ada dalam kitab Al-Ausat dari at

Tabrânî dari Anas, namun dalam kitab Al-Jâmi’ As-

Sagîr jus lima halaman 92, oleh Alba>ni> hadis tersebut

berderajat da’îf45. Al-Qurtubî juga mengutip beberapa

hadis lain yang menguatkan pentingnya pelaksanaan

musyawarah, seperti hadis yang diriwayatkan Sahal

bin Sa’d as-Sa’îdî dari Rasulullah :

‚ Tidaklah seorang hamba akan celaka sepanjang ia melaksanakan musyawarah, dan tidaklah seorang akan beruntung sepanjang ia kerasa kepaa terhadap pendapatnya ‛46.

Selain hadis-hadis lain yang ia kutip untuk

menguatkan eksistensi pelaksanaan musyawarah, ia

mengutip penjelasan Bukhârî yang berada dalam kitab

Al-I’tisâm :

44

Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 598.

45 Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 599.

46Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 600.

Page 131: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

106

‚ Para pemimpin di zaman setelah wafatnya Nabi, melakukan musyawarah bersama para ahli ilmu mengenai sebuah urusan, untuk memudahkan mereka mengambil keputusan ‛47.

Banyak kemudian kutipan-kutipan yang nukil

untuk menguatkan penjelasanya mengenai hal ini.

Dalam analisa penulis, bagian kelima ini

merupakan penjelasan mengenai karakter-karakter yang

harus melekat pada diri para peserta musyawarah, al-

Qurtubî mencoba menggabungkan dua hal sekaligus

dalam bagian ini, yaitu mengenai kebaikan pelaksanaan

musyawarah dan karakter yang menjadi syarat bagai

para peserta musyawarah, al-Qurtubî mencoba mengutip

beberapa hadis ataupun atsar yang terkadang bahkan

tidak bersumber dari sumber yang jelas. Namun seiring

berjalannya waktu, penjelasan al-Qurtubî tetaplah

memberikan pengaruh yang besar bagi para penikmat

tafsir sampai zaman ini, secara khusus dalam

menjelaskan materi mengenai konsep musyawarah ini.

Keenam, penjelasan al-Qurtubî pada bagian ini

menurut penulis cukup menggambarkan bagaiamana

ia terlepas dari bayang-bayang para mufasir

sebelumnya yang kurang berani menggambarkan

momen pelaksanaan musyawarah, sekaligus

47

Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 600.

Page 132: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

107

menegaskan bahwa ia memang seorang ahli fiqih

terkemuka di zamannya, dengan corak fiqih yang

melekat dalam kitab tafsir itu. al-Qurtubî

menanamkan sebuah pesan yang akan terus dihadapi

orang-orang yang melakukan musyawarah, yaitu

perbedaan pendapat, ia bahkan menggunakan sebuah

susunan kalimat yang menjelaskan unsur utama dalam

pelaksanaan musyawarah, yaitu :

‚ Musyawarah terbangun dengan adanya perbedaan pendapat di antara pesertanya, lalu seorang di antara mereka—merupakan seorang yang menggagas musyawarah, jika memang menungkinkan, akan melihat perbedaan tersebut, mana yang paling mendekati al-Qurân dan al-Hadîs, jika kemudian telah ditentukan keputusan yang diambil, maka kemudian akan berlanjut dengan berpasrah dan menyerahkan hasil tersebut kepada Allah, inilah yang kemudian disebut dengan tawakkal ‛48.

5. Ibnu Katsîr ( W 774 H )

Ibnu Katsîr banyak mengutip Hadis-hadis yang

menjelaskan soal musyawarah Nabi dan para sahabatnya. Pada

awalnya ia menjelaskan bahwa Nabi melakukan musyawarah

dengan para sahabatnya pada waktu-waktu peperangan49

. Seperti

dalam penafsiran-penafsiran klasik, Ibnu Katsîr menyorot proses

musyawarah sebagai sebuah ‚treatment‛ dari Nabi kepada para

48

Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Juz 1, hlm. 598.

49Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-„Azim. Maktabah Dâr At-Tayyibah.

Kairo. 1999, hlm. 150.

Page 133: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

108

sahabatanya, agar mendapatkan kepercayaan diri dan

ketenangan, utamanya saat menghadapi peperangan. Ia

mencontohkan bahwa Nabi malakukan musyawarah pada saat

perang Badar, Khandaq, perjanjian Hudaibiyah dan perang Uhud

bersama dengan sahabat-sahabatnya50

.

Ibnu Katsîr juga mengutip kejadian al-ifq yang menimpa

isteri Nabi yaitu Sayyidah ‘Âisyah, dengan melakukan

musyawarah terkait masalah tersebut. Dalam tafsir tersebut juga

dijelaskan bahwa di kalangan Ulama, terbagi menjadi dua

pendapat dalam menghukumi musyawarah, sebagian

mengatakan wajib sedangkan yang lain mengatakan sunnah51

.

Namun ia tidak menyebutkna siapa-siapa Ulama yang terbagi ke

dalam dua kelompok di atas. Dilanjutkan penafsirannya terhadap

ayat ini, ia juga tidak luput untuk menjelaskan beberapa kriteria

peserta musyawarah. Juga menjelasakan bahwa seorang yang

melakukan musyawarah adalah seorang yang akan mendapatkan

jalan keluar dan kedaiamaian, seperti saat ia mengutip sebuah

hadis yaitu :

‚Orang-orang yang diajak untuk melakukan proses musyawarah hendaknya adalah terpercaya‛52.

Ibnu Katsîr menutup ayat ini dengan mengatakan bahwa

para pelaku musyawarah hendaknya menyerahkan semua

ketentuan dan kepastian hasilnya dengan bertawakkal kepada

50

Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-„Azim., hlm. 150. 51

Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-„Azim., hlm. 150. 52

Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qurân Al-„Azim., hlm. 151.

Page 134: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

109

Allah SWT. Dalam menafsirkan Surat as-Syûrâ : 38 pun ia masih

tidak jauh pembahasannya mengenai konteks kewajiban

bermusyawarah ataupun hal-hal yang terkait dengan teknis

pelaksanaan musyawarah. Artinya, ia masih sama dengan para

penafsir-penafsir di masa klasik yang cenderung memahami

musyawarah sebagai sebuah ayat yang turun untuk mewajibkan

Nabi melakukan musyawarah, atau dalam beberapa kasus

memang dijelaskan bahwa Nabi tidak hanya melakukan

musyawarah saat terjadi peperangan, namun juga dalam

beberapa perjanjian dengan orang-orang musyrik dan bahkan

kasus-kasus yang menimpa keluarganya. Namun untuk mewakili

tema penelitian penulis, penafsirannya masih belum signifikan

untuk dijadikan rujukan.

6. Al-Baidâwî ( W. 791 H )

Al-Baidâwî menjelaskan makna perintah bermusyawarah

dalam surat ali-Imrân ayat 159 dengan sangat sederhana, masih

sama dengan pemaparan Ulama klasik, ia menjelaskan bahwa

ruang lingkup musyawarah dalam wilayah perang dan juga usaha

Nabi untuk meminta pendapat para sahabatnya dan sebagai

bentuk penghargaan kepada mereka sekaligus sebagai pelajaran

kepada umat bahwa musyawarah merupakan sunnah Nabi53

. Saat

menjelaskan musyawarah dalam surat as-Syûrâ ayat 38, ia

menjelaskan esesnsi syûrâ bagi para sahabat, bahwa pendapat

53

Al-Qâdî Al-Baidâwî, Anwâr At-Tanzîl wa Asrâr At-Takwîl, Maktabah Al-Usûlî, Damanhûr. 1418 H. Juz 1, hlm 466.

Page 135: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

110

yang digabungkan secara bersama-sama jauh lebih baik

ketimbang berpegang pada sebuah berpegang pada argumen saja,

hal itu dikarenakan pendapat kolektif lebih terverifikasi dan jauh

dari kesalahan-kesalahan fatal54

. Dari penjelasan al-Baidâwî di

atas, penulis beranggapan bahwa ia sama sekali tidak

menjelaskan syûrâ dalam konteks pemerintahan dan politik

secara luas, namun lebih kepada pemahaman syûrâ sebagai

sebuah solusi akan permasalahan yang menhinggapi kaum

muslimin dan keunggulan dari pelaksanaan musyawarah.

7. Al-Alûsî ( 1802-1854 M )

Secara periodik, Alûsî hidup di awal masa modern,

namun secara umum, karakter pemikirannya sangat condong

terhadap karakteristik Ulama klasik. Demikian halnya saat ia

menjelaskan ayat 159 dari surat ali-‘Imrân. Sebagaimana

penjelasan Ulama klasik lainnya, Alûsî menegaskan bahwa

musyawarah merupakan perintah yang saat adanya masa

peperangan. Namun Alûsî menjelaskan setelahnya bahwa

musyawarah merupakan kebiasaan yang dilakukan dalam hal-hal

yang semisal dengan peperangan, artinya ada potensi

musyawarah dilakukan di luar keadaan peperangan55

. Alûsî juga

menjelaskan mengenai batasan-batasan musyawarah, bahwa

musyawarah dilakukan pada hal-hal yang tidak ada ketetapan

wahyu di sebelumnya. Dalam penjelasan selanjutnya, ia

54

Al-Baidâwî, Anwâr At-Tanzîl wa Asrâr At-Takwîl, juz 5, hlm 63. 55

Mahmûd Al-Alusî, Rûh Al-Ma’ânî fi At-Tafsîr As-Sab’I Al-Matsânî, Dâr Al-Hadîts. Kairo, juz 4, hlm. 441.

Page 136: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

111

menegaskan bahwa musyawarah merupakan hal yang beruansa

mendidik dan sebagai contoh untuk umat, melihat kapasitas

Nabi, maka sebenarnya perintah bermusyawarah merupakan hal

yang ditujukan untuk menunjukan kedudukan tinggi para

sahabat Nabi, mereka para sahabat mempunyai derajat mujtahid

dan penegetahuan yang mendalam mengenai ajaran Islam, oleh

karena itu Nabi diperintahkan untuk berumsyawarah bersama

mereka. Hampir dalam setiap argumennya, ia menyelipkan

sumber dari hadits56

.

Penjelasannya mengenai musyawarah berlanjut dalam

penafsirannya terhadap surat as-Syûrâ ayat 38. Masih seperti

tradisi penafsiran klasik terhadap ayat ini, ia cenderung

menjelaskan syûrâ secara literal, segmen kebahasaan terasa

sangat dominan dalam penjelasannya, terlebih di awal bagian, ia

sedikit menyinggung konteks domain musyawarah, yaitu di

masa Nabi yang berkisar soal peperangan dan masa setelahnya

yang meluas ranahnya seperti memerangi orang murtad, orang

yang gagal mendapat waris dan lain sebagainya perihal hukum.

Di akhir penjelasannya, penulis mendapati bahwa ia sedikit

menyinggung soal musyawarah yang dikaitkan dengan pemimpin

yang ideal dengan mengutip sebuah hadis yang belakangan

diketahui da’îf57

.

8. Syekh Nawawî Al-Jâwî ( 1813-1897 M )

56

Mahmûd Al-Alusî, Rûh Al-Ma’ânî , juz 4, hlm. 446. Mahmûd Al-Alusî, Rûh Al-Ma’ânî, juz 25, hlm. 64.

Page 137: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

112

An-Nawawî sangat sederhana dalam menjelaskan

musyawarah dari surat ali-‘Imrân ayat 159. Di samping karakter

kitab tafsirnya yang memang cenderung sederhana, ia mengutip

bahwa proses musyawarah antara Nabi dan para sahabatnya

adalah bentuk perhatian dan kecintaannya kepada para sahabat,

sedangkan mengabaikan musyawarah merupakan bentuk

merendahkan terhadap para sahabat, ia juga menjelaskan tujuan

dari musyawarah di masa Nabi untuk mengangkat derajat para

sahabatnya dan menjadi sebuah sunnah yang bersumber langsung

dari Nabi. Penafsirannya di ayat ini menunjukan bahwa

pemikirannya cenderung dalam tipikal Ulama klasik, terlihat

bagaimana an-Nawawî sama sekali tidak menunjukan penafsiran

politik terhadap konsep syûrâ58

. Demikian juga dalam

menafsirkan surat as-Syurâ ayat 38, an-Nawawi juga hanya

menjelaskan sedikit mengenai musyawarah, dikatakan bahwa

kaum muslimin apabila memutuskan sebuah perkara maka

diperintahakan untuk melakukan musyawarah dan tidak tergesa-

gesa dalam keputusan tersebut, juga ada keterangan untuk tidak

berpegang hanya dalam satu pendapat saja tetapi merumuskan

semua pendapat yang ada59

. Secara umum, apa yang

disampaikan an-Nawawî tidak mewakili gagasan musyawarah

yang berkembang di masa modern, hal itu disebabkan karakter

penafsirannya sangat cenderung terhadap penafsiran klasik.

58

Syekh An-Nawawî Al-Jâwî, Marah Labîd. Maktabah Karya Tâhâ

Putera. Semarang. Juz 1, hlm, 127. 59

Syekh An-Nawawî Al-Jâwî, juz 2, hlm. 271.

Page 138: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

113

9. Hasan ‘Ali bin Muhammad Al-Mâwardî ( W 448H )

Al-Mâwardî tidak menyebut konteks pembicaraan

mengenai syûrâ secara khusus. Ia hanya menyampaikan beberapa

pelaksanaan dalam proses pemerintahan, mulai dari masa

pengangkatan pemimpin hingga dinamika-dinamika hukum yang

melekat pada pemimpin negara di waktu itu60.

Setelah membaca sebagian dari kitab tersebut, penulis

menganalisa bahwa kitab tersebut mempunyai hubungan dengan

tema yang sedang penulis kaji dalam bagian-bagian awal saja. Di

bab awal dalam kitabnya, al-Mâwardî telah menyinggung proses

pemilihan seorang pemimpin dalam sebuah negara. Ia mengutip

sebuah syair arab jahili dan beberapa ayat al-Qurân dan Hadîs

yang menegaskan bahwa posisi seorang pemimpin merupakan

sebuah keharusan, dengan level hukum fardhul kifayah.

Selanjutnya ia menjelaskan mekanisme pemilihan dalam

proses pengangkatan pemimpin, ia juga menjelaskan keberadaan

ahlu al-halli wa al-’aqdi sebagai sebuah lembaga yang

menginisiasi proses pemilihan pemimpin sekaligus sebagai

penentu, yang menarik di sini adalah, tercetusnya konsep ahlu al-

halli wa al-’aqdi adalah sebuah pilihan ketika sebuah negara

mengalami kekosongan kepemimpinan, di situ kemudian muncul

pilhan dalam diri masyarakat bahwa proses penentuan seorang

60

Aqdal Qudâh Abî Al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habîb Al-

Basrî Al-Baghdadî Al-Mâwardî, Al-Ahkâm As-Sultâniyyah, ( Indonesia: Al

Haramain Jaya . 2001).

Page 139: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

114

pemimpin ditentukan oleh dua golongan, yaitu golongan ahlu al-

halli wa al-’aqdi dan golongan yang memang dalam diri mereka

mempunyai kriteria seorang pemimpin sebuah negara61

. Di

golongan kedua inilah kemudian muncul ketetapan atas syarat-

syarat tersebut yang berjumlah tujuh, dimana salah satu

nasabnya yang berasal dari keturunan Quraisy menjadi

perdebatan panjang di kalangan umat Islam62

. Begitu seterusnya

al-Mâwardî menjelaskan konstelasi politik di zaman itu melalui

karyanya yang menjadi potret keadaan sosial budaya masyarakat

Islam masa lampau. Upaya penulis dalam melihat implementasi

konsep syûrâ di zaman itu agaknya cukup terpenuhi dengan

membaca karya al-Mâwardî ini, sebuah kesimpulan dari penulis

adalah, konsep syûrâ yang dijalankan oleh umat Islam di masa

itu memang sudah masuk dalam wilayah pemerintahan dan ikut

dilibatkan dalam sistem politik pemerintahan Islam. Al-Mâwardî

mengutip lembaga ahlu al-halli wa al-’aqdi dalam proses

penentuan seorang pemimpin negara yang menjadi bukti bahwa

konsep syûrâ sudah dijalankan dalam politik kenegaraan Islam

di waktu itu. Namun menurut penulis, karya tersebut belum

cukup mewakili konstelasi politik saat ini yang sudah jauh

berkembang dalam hal teknis pelaksanaan syûrâ, seperti

keberadaan DPR ( Dewan Perwakilan Rakyat ) yang juga pernah

berfungsi sebagai lembaga yang menentukan dalam proses

pemilihan pemimpin negara ataupun daerah, terlebih dengan

61

Al-Mâwardî, al-Ahkâm as-Sultâniyyah, hlm. 58. 62

Al-Mâwardî, Al-Ahkâm As-Sultâniyyah, hlm. 59.

Page 140: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

115

munculnya sistem demokrasi yang diadopsi oleh beberapa negara

muslim saat ini.

Kebanyakan Ulama di masa klasik tidak banyak

memberikan penafsiran politis yang dominan mengenai ayat ini,

jangankan membahas lebih jauh mengenai implikasi politik yang

terjadi dengan pelaksanaan syûrâ dalam sebuah sistem

pemerintahan, namun kebanyakan hanya berkutat pada implikasi

teologis atas pelaksanann sistem syûrâ, yaitu mengenai tujuan

Allah di balik perintah kepada Nabi dalam melaksanakan

musyawarah, ataupun mereka berbeda pendapat dalam wilayah

objek dari perintah ayat syûrâ tersebut, secara garis besar,

mereka hanya berdebat dalam masalah konteks ayat syûrâ

dengan latar belakang teologi yang sangat kuat, sehingga

menurut hemat penulis, apa yang sudah dilakukan oleh mereka

belum memberikan dampak yang signifikan dalam perspektif dan

konteks politik saat ini. Hal tersebut tentu didasari oleh kondisi

perpolitikan dan sistem bernegara yang berkembang di masa itu,

sehingga sama sekali penulis tidak berniat mengurangi

keagungan pemikiran para penafsir klasik tersebut.

B. Pandangan Ulama Kontemporer Mengenai Konsep Syûrâ

Masuk dalam masa kontemporer, terjadi perkembangan

yang sangat pesat mengenai pemahaman dan implementasi

konsep syûrâ. Hal itu terpengaruh dengan adanya konsep

demokrasi yang mulai digunakan oleh sebagian besar negara

Page 141: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

116

Islam63

. Di masa ini, al-Maudûdî dan Sayyid Qutb dianggap

mewakili pandangan para Ulama modern, sebagai Ulama yang

representatif, kaitannya dengan pembahasan konsep syûrâ64

.

1. Sayyid Qutb Ibrâhîm

Dalam tafsirnya atas ayat ini, Sayyid Qutb fokus pada

nasihat moral dan signifikansi perang Uhud bagi kaum beriman

dan pelajaran yang bisa diambil dalam perang tersebut dalam

rangka pembangunan umat65

. Di awal tafsirnya mengenai ayat

ini, ia menjelaskan mengenai sebuah konsep dasar dalam

kehidupan bermasayarakat umat Islam adalah musyawarah66

.

Lalu ia menjelaskan mengenai kejadian perang Uhud, asal mula

umat Islam mengalami kemunduran dalam perang tersebut

dikarenakan tidak satu komando, bagian awal dari penjelasan

Sayyid Qutb hanya menyinggung sedikit mengenai relevansi

syûrâ terhadap keberlangsungan dinamika sosial dan keagamaan

masyarakat muslim.

Apa yang disampaikan Sayyid Qutb di awal ayat ini

menunjukan bahwa ia mulai melihat kemungkin-kemungkinan

baru dalam sebuah sistem pemerintahan yang mampu diadaptasi

63

Abdul ‘Al-Ahmad ‘Utwah, Al-Madkhal ilâ Siyâsah As-Syar’iyah,

Al-Azhar Magazine, Kairo. 2013, hlm. 21. 64

Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 262.

65Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm 255.

66Sayyid Qutb Ibrâhîm, Fi> Zilâl Al-Qurân, ( Kairo : Dâr As-Syurûq ).

1989. Juz 1 hlm. 500.

Page 142: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

117

dalam sistem musyawarah Islam. Ia tidak menyinggung secara

eksplisit mengenai sistem demokrasi, dengan sebuah redaksi

yang ia tulis bahwa syûrâ merupakan sebuah sistem yang diserap

secara pemahaman dan dipraktekkan baik dalam kategori

kelompok besar maupun dalam diri muslim dalam kelompok

kecil. Ia menyinggung konsep-konsep baru yang dirasa relevan

untuk menjadikan makna syûrâ terus berkembang dan

dipraktekkan oleh umat Islam demi kemaslahatan bersama. Ia

menegaskan bahwa setiap konsep-konsep yang selaras dan

menguatkan eksistensi musyawarah adalah bagian dari Islam67

.

Menurut penulis, hal yang paling berbeda dari tafsir

Sayyid Qutb di banding dengan tafsir-tafsir masa klasik adalah

gagasannya yang berani mengenai konteks pelaksanaan konsep

syûrâ. Hal itu terpengaruh dengan kondisi politik di masanya, di

mana banyak dari pemerintahan Islam yang mengalami

perubahan dalam tata kelola pemerintahannya, sebut saja

misalkan dinasti Turki ‘Utsmâni yang beralih dari sistem

pemerintahan monarki ke dalam bentuk sistem pemerintahan

republik, atau negara-negara lain yang mulai beralih ke dalam

sistem pemerintahan modern dan transparan. Hal-hal semacam

itu dalam pandangan Sayyid Qutb masih termasuk ke dalam

konsep musyawarah, di mana keberadaan konsep-konsep baru

dalam Islam bertujuan untuk menguatkan eksistensi konsep

musyawarah, maka menurutnya hal tersebut merupakan prinsip-

prinsip kenegaraan Islam, kajiannya menyimpulkan bahwa syûrâ

67

Sayyid Qutb, Juz 1 hal 501.

Page 143: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

118

sangat dibutuhkan oleh umat untuk mencapai proses

pendewasaan dan tanggung jawab politik.

2. Ibnu ‘Âsyûr

Salah satu karya monumentalnya ialah tafsir At-Tahrîr

wa At-Tanwîr. Sebagai seorang pakar ilmu ushûl al-fiqh, ia juga

menjadi salah satu barometer dalam dunia tafsir kontemporer.

Karyanya kitab At-Tahrîr wa At-Tanwîr menjadi salah satu

kitab tafsir modern yang banyak menjadi rujukan68

.

Penafsirannya mengenai syûrâ terkonsentrasi pada Surat

Al-Imrân ayat 159. Ia mengutip bahwa syûrâ sejatinya berasal

dari bahasa Persia yaitu nasykhûrâ bisa berarti sisa makanan

binatang69

. Ibnu ‚Âsyûr menjelaskan bahwa apa yang disebut

dengan musyawarah sebenarnya adalah meminta pendapat

kepada para peserta musyawarah, hal itu sesuai dengan lanjutan

ayat setelah perintah bermusyawarah yaitu : ‚faiza ‘azamta

fatawakkal ‘allâh‛70. Salah satu yang membedakannya dengan

para penafsir klasik adalah ia menyatakan konsep musyawarah

merupakan perintah yang diturunkan kepada Rasul agar

melakukan musyawarah dengan para sahabatnya baik dalam

perkara peperangan ataupun yang lainnya71

.

68

Syaiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur'an, Yogyakarta:

Pustaka Insan Madani, 2008, hlm. 128. 69

At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr. Tunisia: Ad-Dâr At-Tûnisiyyah. 1984, hlm. 147.

70At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 147.

71At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 147.

Page 144: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

119

Ibnu ‘Âsyûr juga membahas mengenai konteks

pelaksanaan syûrâ, baginya, syûrâ merupakan pembahasan di

ranah ijtihâdî, hal tersebut dikarenakan perkara-perkara yang

dibahas dalam musyawarah merupakan urusan yang tidak

ditentukan secara pasti di dalam al-Qurân, kecuali seorang

mujtahid, seorang mujtahid tidak diwajibkan untuk melakukan

musyawara72

. Dia memberikan contoh bahwa musyawarah

adalah perkara-perkara yang dilakukan guna membahas

mengenai kemaslahatan dan urusan-urusan umat, bahkan ia

menjelaskan bahwa melakukan musyawarah terhadap masalah-

masalah seperti itu sangat dipuji Allah, seperti yang dilakukan

para sahabat Muhâjirîn dan Ansâr73, kemudian mengutip

potongan ayat 38 dalam Surat as-Syûrâ.

Apa yang menarik dari pembahasan Ibnu ‘Âsyûr adalah

mengenai konteks pembahasan syûrâ yang membentang dari

mulai urusan rumah tangga, suku, negara dan umat dengan status

hukum wajib dan sunnah. Ia mengutip pendapat dari Mazhab

M^âlikî, Syâfi’î dan Hanafî, dimana Mâlikî mengatakan bahwa

proses musyawarah merupakan hal yang wajib dan terbagi

menjadi empat bagian:

Pertama, diwajibkan bagi para Ulama untuk

melakukan musyawarah terkait perkara agama.

Kedua, diwajibkan bagi pemimpin tentara untuk

bermusyawarah terkait peperangan.

72

At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 147. 73

At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 147.

Page 145: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

120

Ketiga, diwajibkan pemimpin umat untuk

bermusyawarah terkait kemaslahatan.

Keempat, diwajibkan bagi para pemangku kebijakan

hukum, politik dan kesejahteraan dalam sebuah

negara untuk bermusyawarah74

.

Adapun dalam pandangan Mazhab Syâfi’î dan Hanafî

menjelaskan bahwa musyawarah merupakan perkara sunnah.

Dalam Mazhab Syâfi’î sendiri ia mengutip pendapat Imâm an-

Nawawî dalam Syarah Sahîh Muslim untuk menyanggah bahwa

musyawarah bukanlah perkara sunnah melainkan wajib,

begitupun dalam Mazhab Hanafî, ia juga menyanggah pendapat

Hanafiyyah dengan mengutip pendapat al-Jasâs bahwa

musyawarah merupakan hal yang wajib 75

.

Bagi penulis, penafsiran Ibnu ‘Âsyûr mengenai

musyawarah sudah menjelaskan bahwa musyawarah merupakan

hal yang juga melekat dalam konteks pemerintahan sebuah

negara, hubungan dengan demokrasi adalah musyawarah

merupakan salah satu unsur yang harus dijalankan dalam sebuah

sistem pemerintahan, untuk menghindari kesewang-wenangan

pemimpin dalam menentukan kebijakan, tentu semua itu disertai

dengan konsekuensi hukum agama yang menyertainya76

.

3. Rasyîd Ridâ

Dalam mengawali penafsirannya mengenai konsep

musyawarah, Rasyîd Ridâ langsung tertuju pada pembahasan

74

At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 148. 75

At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 149. 76

At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 149.

Page 146: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

121

ranah musyawarah, ia menjelaskan bahwa musyawarah

merupakan sebuah strategi yang digunakan oleh umat untuk

mencari solusi akan permasalahan yang menyangkut semua

urusan dunia dan tidak terbatas hanya dalam urusan peperangan,

ia juga mengutip pendapat ‘Abduh sebagai gurunya yaitu,

musyawarah merupakan perintah yang berat untuk dilakukan

oleh umat, dikarenakan menyatukan persepsi akan suatu masalah

karena perbedaan pendapat yang sangat mungkin timbul sebab

beragamnya peserta musyawarah, oleh karena hal tersebut Allah

memerintahkan Nabi untuk melakukan musyawarah bersama

dengan para sahabatnya77

.

Ia juga mengaitkan akan perintah musyawarah kepada

Surat As-Syûrâ ayat 38, bahwa musyawarah merupakan perintah

yang diturunkan untuk mencapai kesepakatan bersama dalam

urusan dunia, tidak berlaku untuk hal-hal yang memang sudah

ada ketentuannya dalam urusan selain itu, seperti aqidah dan hal

lain yang sudah ada ketentuannya dari Allah, selanjutnya ia

menjelaskan beberapa contoh musyawarah yang dilakukan di

masa Nabi, seperti saat berakhirnya perintah hijrah yaitu zaman

fath al-Makkah yang melibatkan para pemimpin kelompok untuk

bermusyawarah dalam sebuah masjid dan juga saat perang

Uhud78

. Demikianlah menurutnya Nabi melakukan musyawarah

dalam hal yang tidak ada ketentuan wahyu di dalamnya.

77

Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr. Kairo: Al-Hai´ah Al-Misriyah Al-

„Âmmah li Al-Kitâb. 1990. Jus 4, hlm. 164. 78

Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 165.

Page 147: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

122

Rasyîd Ridâ menegaskan bahwa sesuatu yang telah ada

ketentuannya dari teks Al-Qurân, maka sudah tidak diperlukan

lagi untuk dimusyawarahkan, hal tersebut berlaku baik di masa

Nabi atupun di masa-masa sesudahnya79

. Dalam perspektif fikih,

pendapat semacam itu merupakan hal yang pasti dilakukan setiap

pengkaji fikih, dari zaman dahulu hingga masa saat ini. Dalam

prosesnya, penggalian hukum Islam juga melahirkan disiplin

ilmu baru yaitu ilmu ushul fikih—sebuah ilmu yang difokuskan

untuk mengkaji bagaiamana seorang mujtahid memproses suatu

permasalahan agama hingga menjadi sebuah produk hukum

agama yang dinamai juga dengan produk fikih80

.

Salah satu penjelasan Rasyîd Ridâ mengenai batasan atau

kaidah dalam pelaksanaan musyawarah, ia menegaskan bahwa

Nabi sama sekali tidak memberikan ketentuan mengenai

bagaimana musyawarah itu dilaksanakan, melainkan Nabi

dengan keistimewaannya, telah memprediksi bahwa perkara-

perkara umat akan semakin kompleks dan diperlukan

penanganan yang berbeda dari zamannya, oleh karena itu Nabi

memberikan keleluasaan bagi umatnya untuk menentukan pola

musyawarah sesuai dengan zamannya, perlu diketahui di sini

bahwa, sunnah sebagai sumber hukum terbagi menjadi dua

bagian penting, yaitu sunnah yang temporer—artinya ia terikat

dengan suatau keadaan dari kaum atau lingkungan tertentu, juga

79

Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 165. 80

Ramadhan Muhammad Haitami, Al-Mursyid Al-Hâdi fi Usul Al-

Fiqh Al-Islâmi, Maktabah Al-Azhar, Kairo, 2010, hlm. 5.

Page 148: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

123

sunnah yang umum, yang berarti ia berstatus mengikat secara

universal dalam dimensi hukumnya81

.

ia menjelaskan hal tersebut dengan mengutip beberapa

kejadian di masa Nabi, salah satunya adalah sebuah hadis yang

diriwayatkan oleh Imam Muslim :

‚Engkau lebih mengetahui urusan duniamu‛82.

Penulis mendapati hal yang menarik dari penafsiran

Rasyîd Ridâ mengenai musyawarah, dengan cukup detail, ia

menceritakan proses musyawarah yang dilakukan sahabat

setelah masa Nabi untuk menentukan penggantinya, bagaimana

Abû Bakar, ‘Umar, ‘Utsmân dan ‘Alî kesemuanya dipilih

sejatinya melalui proses musyawarah, mereka berempat telah

disepakati untuk memimpin umat sepeninggal Nabi dalam

sebuah proses musyawarah, adapun bai’at dilakukan setelah

lebih dulu disepakati dalam proses musyawarah83

. Namun

berbeda saat masa Khulafâ ar-Râsyidîn telah lewat, di masa-

masa daulah Bani Umayah dan Bani ‘Abbâsyiah, kecuali dalam

masa pemerintahan beberapa khilâfah—seperti Abdul Mâlik bin

Marwân dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz—yang memimpin,

seringkali terjadi pemerintahan yang sewenang-wenang dan

otoriter, hal tersebut tentu jauh dari spirit pemerintahan yang

dibawa oleh Nabi dan generasi Khulafâ ar-Râsyidîn, sehingga

Rasyîd Ridâ menegaskan bahwa nilai syûrâ akan berlaku

81

Farid Abdul Khaliq, Fikih politik Islam, Kreasindo Media Cita,

Jakarta, 2005, hlm. 1. 82

Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 165. 83

Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 167.

Page 149: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

124

selamanya bersamaan dengan nilai-nilai al-Qurân yang lain,

sedangkan sistem pemerintahan merupakan hal subjekif dan

temporetatif, dikembalikan kepada zaman dan kondisi umat

yang akan menjalaninya84

, dalam hal ini, perjuangan umat

sejatinya adalah mempertahankan nilai-nilai syûrâ dan

memerangi pemerintahan yang otoriter, ia juga sempat

menyinggung Pemilihan Umum yang terjadi belakangan di

kalangan umat yang mendiami negara Republik, baginya saat

terjadi Pemilihan Umum, yaitu proses pemilihan pemimpin yang

meninggalkan elemen ahlu al-halli wa al-‘aqdi, hal tersebut tidak

membatalkan keabsahan pemimpin yang terpilih, karena

baginya, sejatinya esensi musyawarah adalah kesepakatan umat

dalam suatu keputusan untuk kebaikan dan kepentingan

bersama85

.

4. M. Quraish Shihâb

Quraish Shihâb membuka penafsiran pada Surat Al-Imrân

ayat 159 dengan fokus yang mengarah kepada perang Uhud, hal

tersebut ia arahkan untuk masuk dalam kajian yang menurutnya

menjadi pokok penekanan pada ayat ini yaitu musyawarah86

.

Quraish Shihâb menjelaskan bahwa musyawarah merupakan

perintah yang ditujukan kepada Nabi, hal tersebut didasari

dengan suatu petaka yang terjadi di dalam perang Uhud yang

didahului oleh musyawarah, karena hal tersebut lantas membuat

beberapa menganggap bahwa musyawarah merupakan hal yang

84

Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 168. 85

Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 166. 86

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 312., v.2.

Page 150: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

125

tidak perlu untuk diadakan, lalau dalam penjelasannya ayat ini

adalah sebuah penegasan yang dilakukan untuk menegaskan

bahwa musyawarah tetaplah penting untuk dilaksanakan87

.

Dalam penjelasan-penjelasan selanjutnya terkait tema

musyawarah, Quraish Shihâb seperti halnya para mufasir secara

umum, yaitu menjelaskan musyawarah dari segi bahasa,

konsekuensi hukum yang melekat dari musyawarah dan syarat

atau sifat yang harus ada pada diri peserta atau pelaku

musyawarah88

. Satu hal yang menjadi catatan penulis adalah

penafsirannya mengenai musyawarah yang menjelaskan bahwa

sebuah musyawarah haruslah dikaitkan dengan hubungan yang

tulus dengan Tuhan, ia menjelaskan bahwa dalam sebuah

musyawarah sangat dimungkinkan munculnya ‚sesuatu‛ yang

datangnya dari Tuhan untuk memberikan sebuah solusi,

‚sesuatu‛ tersebut datang secara tiba-tiba begitupun saat ia

pergi. Artinya, setiap pelaku musyawarah haruslah berhati suci

dan bersih dari dosa-dosa yang membutakan mata hatinya,

karena ‚sesuatu‛ di atas hanya mungkin mengilhami seseorang

yang bersih dari suatu dosa-dosa89

. Ia mengaitkan penafsirannya

tersebut dengan mengutip perkataan seorang filosof dari

Amerika yaitu William James, yang mereduksi otoritas akal

dalam memahami musyawarah, yaitu :

‚Akal memang mengagumkan, ia dapat membatalkan satu argument dengan argument lainnya. Akibatnya ia dapat

87

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 312., v.2.

88M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 313., v.2.

89M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 314., v.2.

Page 151: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

126

mengantarkan kita kepada keraguan yang mengguncangkan etika dan nilai-niai hidup kita‛.90

Dari pendapat James di atas, Quraish Shihâb kemudian

menjelaskan bahwa musyawarah merupakan sebuah hal yang

akan sempurna dan tuntas apabila dihubungkan dengan

perspektif ketuhanan, hal itu ia kuatkan dengan mengaitkan ayat

musyawarah ini dengan beberapa ayat al-Qurân yang

menjelaskan akan perbuatan dosa dan sia-sia91

. Dalam Surat As-

Syûrâ ayat 38, ia kemudian menjelaskan bahwa musyawarah

merupakan hal yang turun ketika periode Mekah, masa dimana

belum terbentuknya negara Madinah, hal itu kemudian dipahami

bahwa musyawarah merupakan kewajiban yang harus

dilaksanakan tanpa ketentuan yang mengikat secara pasti dari al-

Qurân ataupun Hadis92

.

5. ‘Alî As-Sabûnî ( 1930 M )

Tipikal tafsir as-Sabûnî cenderung kepada metodologi

tafsir maudû’î, ia mencoba menjelaskan ayat dengan munâsabah

ayat sebelumnya, terkait penafsirannya terhada surat Âli-‘Imrân

ayat 159, ia menjelaskan bahwaayat ini termasuk ayat yang

menjelaskan mengenai perang Uhud, bagaimana Nabi dnegan

kelembutan hatinya tidak membalas sahabatnya yang

menagabaiakan perintahnya dengan kekerasan melainkan justru

90

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 313., v.2. 91

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 314., v.2. 92

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volum, hlm. 179., v.12.

Page 152: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

127

melakukan musyawarah dengan para sahabatanya93

. ia hanya

menyinggung sedikit mengenai syûrâ, dengan menafsirkan

bahwa perintah musyawarah bersama para sahabatnya

dimaksudkan untuk membawa Nabi ke dalam jalan yang benar,

ia juga mengutip pendapat Hasan dari tafsir at-Tabarî yang

menyatakan bahwa seseorang akan selalu mendapat bimbingan

yangterbaik dari Allah selagi ia melakukan musyawarah, di akhir

penafsirannya, ia juga menyatakan bahwa nabi melakukan

banyak musyawarah dengan para sahabatnya94

.

Membuka penafsirannya mengenai surat as-Syûrâ ayat

38, ia menjelaskan kedudukan syûrâ, bahwa syûrâ merupakan

manhaj kaum muslimin dalam menrumuskan sebuah perkara

yang ada dalam kehidupan mereka, dimana syûrâ merupakan hal

yang sangat penting bagi kehidupan bersama kaum muslimin95

.

Dalam penegamatan penulis, penafsirannya terhadap konsep

musyawarah justru cenderung terhadap karakter pemikiran

klasik, dimana dalam hal ini, penjelasannya tidak mewakili syûrâ

sebagai sebuah konsep politik. Namun begitu, hal pailing

menarik dalam kajian tafsirnya adalah munâsabah ayat yang

menjadi ciri khas kitab tafsirnya.

6. Syekh Mutawalli as-Sya’rawî

93

‘Alî As-Sabûnî, Safwah At-Tafâsîr, Maktabah At-

Taufiqiyyah.Mesir. Juz 1, hlm. 219. 94

Alî As-Sabûnî, Safwah At-Tafâsîr ,hlm. 219. 95

Alî As-Sabûnî, Safwah At-Tafâsîr , hlm., juz 3, hlm 122.

Page 153: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

128

As-Sya’rawî menjelaskan syûrâ dalam surat Ali-‘Imrân ayat

159 dengan nuansa tasawufnya dan nilai sastra bahasanya yang

khas, seperti halnya para mufassir lain dalam menjelaskan syûrâ,

ia menjelaskan bahwa adanya musyawarah di masa itu tidak

berarti Nabi tidak mampu megatasi permasalahan yang ada saat

itu, melainkan sebagai bentuk penghargaan terhadap para

sahabatnya, namun as-Sya’rawi menambahkan bahwa perang

Uhud merupakan tempat untuk menempa umat Islam, bagaiman

umat dididik, ditempa dan dilatih dengan cobaan kala itu, namun

dari situlah kemudian Allah membrikan kaum muslimin solusi

berupa perintah musyawarah yang pada masa selanjutnya

menjadi hal yang dilakukan oleh umat Islam setelah masa Nabi.

Seperti yang dikutip oleh as-Sya’rawî mengenai tindakan Abu

Bakar dalam memerangi orang yang murtad, ia tidak luput dari

melakukan musyawarah bersama para sahabatnya, kesimopulan

dari tafsir as-Sya’rawî di sini adalah, ia menegaskan bahwa

musyawarah merupakan sebuah hasil dari tempaan kaum

muslimin bersama Nabi di dalam perang Uhud96

.

Pada bagian ini, penulis menangkap sebuah benang merah

antara para mufasir di masa klasik dan masa kontemporer.

Pertama, mereka sepakat dalam memaknai bahwa

syûrâ merupakan konsep yang berasal dari Tuhan

untuk Nabi Muhammad khususnya dan umat Islam

secara Umum agar bermusyawarah.

96

Muhammad Mutawalli As-Sya’rawî, Tafsîr As-Sya’rawî: Khawâtîr

Haul Al-Qurân, Akhbâr Al-Yaum. Kairo. Juz 3,hlm 1249.

Page 154: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

129

Kedua, latar belakang dari perintah pelaksanaan

musyawarah bukanlah disebabkan karena Nabi

Muhammad membutuhkan informasi lain dalam

melihat isu-isu yang berkembang di sekitarnya saat

itu97

.

Ketiga, tidak ada kepastian terkait teknis pelaksanaan

musyawarah.

Keempat, musyawarah dilakukan untuk mencapai

kesejahteraan umat dan terhindar dari hal-hal yang

menyebabkan keburukan.

Kelima, dalam melaksanakan musyawarah para

peserta diharuskan untuk memiliki sifat-sifat yang

relevan dengan persoalan yang dimusyawarahkan.

Keenam, menyerahkan hasil dalam musyawarah

tersebut kepada Allah, dengan kata lain, para peserta

musyawarah seyogyanya mempunyai hubungan hati

yang baik dengan Tuhan.

Penulis mengamati, di masa klasik hanya al-Qurtubî yang

mencoba membawa konteks pelaksanaan syûrâ ke dalam ranah

penguasa dan pemerintahan, al-Qurtubî berada satu langkah di

depan para mufasir lain di masa itu khusus mengenai

pembahasan konsep syûrâ. Di masa modern, pembahasan

mengenai konspen syûrâ telah jauh meninggalkan para Ulama

klasik terkait konteks penerapan, hal ini tentunya didorong oleh

kondisi politik yang berkembang di masa kontemprorer. Para

97

Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm. 255.

Page 155: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

130

Ulama di masa modern, banyak bergelut dengan situasi politik,

bahkan menjadi pelaku utama dalam konstelasi politik di

zamannya. Sebut saja misalkan Sayyid Qutb dan Abu al-A’lâ al-

Maudûdî, keduanya di samping mempunyai karya tafsir yang

utuh, juga menjadi pelaku utama di ranah politik, sehingga hal

itu mendasari perubahan-perubahan penafsiran dari penafsiran

ulama klasik yang sudah ada sebelumnya.

C. Sejarah dan Nilai Demokrasi

Seperti yang telah penulis jelaskan di awal bab ini, bahwa

penulis berusaha untuk menjelaskan asal usul demokrasi dengan

tujuan memberi keterangan yang seimbang antara konsep

demokrasi dan syûrâ.

Dari sisi bahasa, demokrasi berasal dari bahasa Yunani

dengan dua akar dua suku kata, yaitu ‚demos‛ yang berarti

rakyat dan ‚cretein‛ atau ‚cratos‛ yang berarti kekuasaan atau

kedaulatan. Jika dilihat dari asal kata tersebut, maka demos-

cretein atau demos-cratos adalah sebuah negara, dimana

kekuatan dan kedaulatan negara tersebut berada di tangan

rakyat, dilakukan oleh rakyat dan berasal dari komponen negara

yang bernama rakyat98

.

98

Dwi Sulisworo, Tri Wahyuningsih, Dikdik Baehaqi Arief, Hibah

Materi Pembelajaran Non Konvensional ‚Demokrasi‛, Yogyakarta:

Universitas Ahmad Dahlan. 2012, hlm. 2.

Page 156: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

131

Secara istilah ( terminologi )99

, demokrasi mempunyai

beberapa pengertian yang bersumber dari para ahli, yaitu :

a. Menurut Joseph A. Schemer

Demokrasi baginya dimaknai sebagai sebuah keputusan

politik yang bersifat institusional, dimana masing-masing

individu mempunyai peranan penting terkait gagasan-

gagasan yang melatar belakangi keputusan tersebut.

b. Sidney Hook

Demokrasi dimaknai olehnya sebagai sebuah ideology

yang dianut oleh sebuah negara, dimana keputusan-

keputusan penting di dalamnya, baik langsung ataupun

tidak langsung, berada sepenuhnya di tangan rakyat.

c. Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl

Demokrasi adalah sebuah sistem yang dianut oleh sebuah

negara, dimana pemangku kebijakan atau pemerintah

dimintai pertanggung jawaban oleh warganegara dalam

hal ini rakyat, terkait kebijakan-kebijakan yang mereka

lakukan di wilayah public, adapun proses pelaporan

tanggung jawab tersebut di lakukan melalui perwakilan-

perwakilan dari warganegara yang telah dipilih.

d. Henry B. Mayo

Demokrasi yang dimaknai sebagai sebuah sistem politik,

maka berarti pengawasan-pengawasan yang dilakukan

99

Dwi Sulisworo. Dkk, Hibah Materi Pembelajaran Non

Konvensional ‚Demokrasi‛ , hlm. 3.

Page 157: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

132

oleh rakyat kepada pemerintah, melalui sebuah lembaga

pengawas yang berisi wakil-wakil dari rakyat dimana

mereka dipilih melalui sebuah pemilihan berkala yang

diawasi langsung oleh rakyat secara efektif.

Berbeda dengan pengertian demokrasi yang ditulis di

atas, Arief Budiman memiliki pandangan lain terkat hal tersebut,

ia membedakan demokrasi menjadi tiga, yaitu : Pertama,

demokrasi terbatas; kedua, demokrasi pinjaman; ketiga,

demokrasi asli100

.

Pertama, yaitu demokrasi terbatas, demokrasi yang

mungkin terjadi apabila ada pluralisma di tingkat elit,

hal ini berfungsi untuk menguatkan posisi satu dan

lainnya, namun melemahkan pihak lain di kalangna

mereka.101

.

Kedua, demokrasi pinjaman, terjadi apabila ada

kebebasan yang berada di pihak rakyat, mereka bebas

untuk berpendapat, mengkritik, berorganisasi dan

sebagainya.

Ketiga, adalah demokrasi asli, demokrasi semacam ini

hanya akan terjadi dalam kondisi dimana masyarakat

sipil sudah mempunyai kekuatan mandiri dalam hal

mengawasi pemerintah dan bahkan menjatuhkan

100

Arief Budiman, Jalan Demokratis Ke Sosialis. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan. 1987, hlm. 20.

101Arief Budiman, Jalan Demokratis Ke Sosialis, hlm. 24.

Page 158: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

133

pemerintahan apabila sudah tidak memihak

kepentingan-kepentingan masyarakat kecil.

Penulis berpendapat bahwa demokrasi adalah menifestasi

dari semangat bermegara yang diusung oleh Nabi Muhammad

SAW. Demokrasi merupakan sebuah nilai, merujuk pada

pengertian bahwa nilai merupakan hal yang akan berujung pada

sifat baik ataupun sifat buruk, maka bagi penulis, demokrasi

adalah sebuah konsep yang bertujuan untuk mengarahkan civil

society dalam melakukan nilai-nilai yang membantu menuju

kepada kebaikan bersama.

Dari beberapa pengertian istilah di atas, dapat dikatakan

bahwa demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang berada

dalam sebuh negara, yang bertujuan untuk mengawasi lembaga

pembuat keputusan yang disebut penguasa, untuk menjalankan

pemerintahan dalam sebuah negara dengan sebaik-baiknya.

Pada prakteknya pelaksanaan demokrasi pada sebuah

negara mengenal istilah trias politica. Trias politica terdiri dari

eksekutif, yudikatif dan legislatif102

. Ketiganya berperan sangat

penting dalam menajalankan sebuah negara. Eksekutif berisi

pemimpin sebuah negara yang menjalankan tugasnya dibantu

oleh para menteri yang dipilih langsung oleh presiden. Yudikatif

adalah sebuah lembaga yang menjaga dan mengawal proses

hukum yang telah disepakati semua elemen bangsa termasuk

102

Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, BumiAksara. Jakarta. 2010, hlm.

85

Page 159: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

134

eksekutif dan legislatif. Sedangkan lembaga legislatif dari

sebuah negara berfungsi untuk mengawasi dan menajalankan

beberapa fungsi independen yang ada pada lembaga tersebut

yaitu, legalisator undang-undang, controller pemerintah, dan

pembuat kebijakan terkait budget keuangan negara.

Dari ketiga fungsi di atas, maka suara rakyat akan

terwakili oleh lembaga yang diistilahkan sebagai lembaga

legislatif, yaitu lembaga yang menampung keterwakilan dari

masyarakat, untuk menjalankan fungsi utama sebagai badan

pengawas pemerintah.

1. Sejarah Demokrasi

Dalam sejarahnya, demokrasi tampak sebagai sebuah

sistem pemerintahan yang mampu mengawal negara untuk

menuju kejayaan dan keadilan. Hukum, politik dan undang-

undang yang kredibel terangkum dalam demokrasi103

.

Herodotus, di Mesir kuno waktu itu, sekitar 3000 tahun

yang lalu telah memperkenalkan kepada dunia istilah demokrasi,

kemudian istilah tersebut dikembangkan oleh para pemikir

dariYunani kuno104

. Dalam sejarah, istilah demokrasi telah

dikenal sejak abad ke 5 SM, istilah itu timbul sebagai respon

103

David Held, Demokrasi dan Tatanan Global; Dari Negara Modern

Hingga Pemerintahan Kosmopolita. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004, hlm.

3.

104Muhammad Wahyuni Nafis dkk, (ed)., Konteksrtualisasi

Ajaran Islam: 70 tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta:

Paramadina, 1995), hal. 347

Page 160: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

135

terhadap bentuk pemerintahan kerajaan yang dianggap

melakukan tindakan semena-mena dalam kebijakan

pemerintahan dan juga pengalaman buruk atas penggunaan

sistem monarkhi di dalam pemerintahan waktu itu105

. Demokrasi

saat itu ditandai dengan adanya lembaga legislatif yang dibentuk

oleh seluruh rakyat dalam sebuah negara. Kondisi tersebut

dimungkinkan karena keseluruhan penduduk saat itu hanya

berkisar 10.000 jiwa, belum lagi wanita, anak-anak dan budak

tidak mempunyai hak politik waktu itu106

. Saat itu, tidak terjadi

pemisahan kekuasaan yang membedakan fungsi dan tugas

masing-masing pejabat, semua pejabat bertanggung jawab penuh

terhadap Majelis Rakyat yang mempunyai kewenangan dan

memenuhi syarat untuk menjalankan eksekutif, yudikatif dan

legislatif107

.

Selanjutnya, ide-ide demokrasi dalam istilah penggunaan

modern berkembang penggunaanya dengan lembaga dan ide

pencerahan yang dimulai pada abad ke 16 M108

. Ide-ide

demokrasi seperti yang telah ada saat ini, mulai bertahan sejak

105

Saifullah Idris, Islam dan Demokrasi; Respon Umat Islam

Indonesia Terhadap Demokrasi. Al-Fikr: Jurnal Pemikiran Islam. 1

September, 2011, hlm. 4.

106Saifullah Idris, Islam dan Demokrasi; Respon Umat Islam

Indonesia Terhadap Demokrasi, hlm. 3.

107Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, alih

bahasa: Wahib Wahab, (Yogyakarta: tiara Wacana Yogya, 1999), hal. 71.

108Saifullah Idris, Islam dan Demokrasi; Respon Umat Islam

Indonesia Terhadap Demokrasi, hlm. 4.

Page 161: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

136

masa revolusi Amerika pada tahun 1776 dan juga revolusi

Perancis pada tahun 1778109

.

Dari penjelasan di atas, perkembangan demokrasi di barat

dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, demokrasi zaman

Perikles; kedua, demokrasi zaman pencerahan atau Aufklarung;

ketiga, demokrasi masa perang dingin110

.

Pertama, yang dikenal di masa Perikles 495-429 SM,

ia banyak mengilhami teori-teri politik di masa

setelahnya. Pada masa itu, diketahui telah terdapat

majelis yang menampung anggota-anggota dari unsur

masyarakat, guna merumuskan kebijakan politik di

pusat pemerintahan, banyak dari anggota tersebut

dikatakan samapai 5000 hingga 6000 orang. Majelis

tersebut beranggotakan laki-laki dewasa tanpa

melibatkan wanita, anak-anak, orang asing dan budak.

Proses penentuan hukum yang ada dalam majelis

tersebut dilakukan menggunakan suara mayoritas dari

usulan para anggota tanpa dapat dibatai hukum

apapun, selain itu, di dalamnya juga terdapat

pengadilan, dimana prosesnya melibatkan sekitar 501

109

Harold H. Titus et.al., Persoalan-persoalan Filsafat, alih bahasa:

H. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal 45-46.

110Sri Rahayu Wilujeng, Meningkatkan Kualitas Kehidupan

Berbangsa Melalui Budaya Demokrasi. Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Diponegoro: HUMANIKA Vol. 19 No. 1. 2014, hlm. 147.

Page 162: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

137

anggota yang disebut dewan juri, mereka mengambil

keputusan suara mayoritas sebagai penentu vonis111

.

Kedua, Perkembangan demokrasi jenis kedua adalah

demokrasi yang mulai digagas oleh Aufklarung pada

sekitaran abad 17-18 M.

Ketiga, ditandai dengan selesainya perang dunia

kedua, atau demokrasi pasca perang dingin. Di masa

ini, demokrasi tidak hanya digunakan dalam konteks

politik semata, namun merasuki aspek-aspek lain

yang disebabkan banyaknya faktor-faktor lain di luar

pemerintahan negara yang ikut mengendalikan

demokrasi. Faktor-faktor semacam ekonomi sebagai

pertanda kemakmuran sebuah bangsa ikut berperan

besar dalam perkembangan demokrasi di masa itu, hal

ini karena demokrasi digunakan sebagai sebuah

sistem yang digunakan untuk sebuah kepentingan-

kepentingan tertentu, sehingga di masa ini, demokrasi

menuju kearah yang semakin rumit112

.

Penulis melihat perlu adanya pembenahan pada sebuah

bentuk pemerintahan di setiap periode tertentu, hal itu tentu

111

Sri Rahayu Wilujeng, Meningkatkan Kualitas Kehidupan

Berbangsa Melalui Budaya Demokrasi, hlm. 148.

112Sri Rahayu Wilujeng, Meningkatkan Kualitas Kehidupan

Berbangsa Melalui Budaya Demokrasi, hlm. 150.

Page 163: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

138

berdasarkan tolok ukur ataupun standar-standar tertentu yang

menjadi barometer keseimbangan sebuah negara.

Penulis sepakat bahwa, demokrasi sebagai sebuah sistem

pemerintahan yang digunakan bertahun-tahun atau bahkan

selamanya, berubah menjadi sebuah budaya, tidak seperti

konotasi makna budaya seni atau yang lainnya, namun

demokrasi berkembang menjadi sebuah budaya dikarenakan

penggunaannya yang berlangsung sangat lama dan

berkesinambungan untuk terus melakukan pembenahan dan

perbaikan terkait fungsinya sebagai sebuah bentuk

pemerintahan113

.

2. Nilai-nilai Demokrasi

Adapun beberapa praktek negara demokratis dapat dilihat

dari gaya hidup masyarakatnya serta tatanan hidup

msyarakatnya dalam menghadapi berbagai persoalan – persoalan

hidup, dalam hal ini suatau masyarakat demokratis mempunyai

nilai–nilai sebagai berikut114

:

a. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan

kelembagaan.

113

Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., Comprative Politics . Little and Brown Company; Boston dan Toronto. 1978, edisi kedua,

hlm.37-39. 114

Clifford Geertz, Local Knowledge: Further Essays in Interpretive

Anthropology. Basic Books. New York. 1993, hlm 222.

Page 164: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

139

b. Pemerintah mampu menjamin terjadinya perubahan tanpa

konflik dan gejolak, dalam mengeluarkan kebijakan –

kebijakannya.

c. Melakukan pergantian pemimpin secara teratur dalam

waktu – waktu yang telah ditentukan.

d. Meminimalisir terjadinya kriminalisasi atau kejahatan

kemanusiaan.

e. Adanya pengakuan dari keanekaragaman dalam

berbangsa dan bernegara.

f. Menjamin tegaknya keadilan.

Kehidupan negara demokratis yang dijelaskan di atas

merupakan hal yang seharusnya diupayakan oleh pemerintah

dalam rangka untuk mewujudkan negara yang demokratis, agar

setiap elemen negara mampu untuk menjalankan nilai–nilai

tersebut. Dari pengamatan penulis, terdapat keselarasan nilai-

nilai yang terkandung dalam penerapan konsep dmeokrasi dan

konsep syûrâ.

D. Islam dan Demokrasi

Sistem politik ataupun tata kelola pemerintahan yang

Islami telah dicontohkan oleh Nabi di masa awal Islam,

kemudian diteruskan oleh masa al-Khulafâ ar-Râsyidîn115.

115

Nasaruddin Umar, ‚Kata Pengantar Editor‛ dalam Abd. Muin

Salim, Fikih Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qurân

Jakarta: LSIK, 1994, hlm. 5.

Page 165: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

140

Memang ada aliran yang mengatakan bahwa Islam adalah murni

ajaran agama yang mengatur hubungan manusia denga

Tuhannya, tidak ada di dalamnya hal-hal yang mengajarakan

kepada pemeluknya urusan tata pemerintahan dan politik. Hal ini

adalah perspektif pemerintahan Islam yang sama seperti

pandangan pemikir Barat terhadap ajaran Islam, Muhammad

dianggap hanya sebagai penyampai ajaran Tuhan. Tokoh-tokoh

pemikir Islam di kelompok ini anatar lain; ‘Alî ‘Abd ar-Râziq

dan Taha Husein, aliran ini disebut juga sebagai aliran

sekularis116

.

Namun Islam sebagai sebuah ajaran agama juga

mengajarakan pemeluknya dalam menjalankan roda

pemerintahan, guna membentuk sebuah negara yang mampu

memberikan dampak kebaikan bagi rakyatnya secara luas117

. Al-

Qardâwî mengatakan dalam sebuah bukunya bahwa islam

apabila diterapkan dalam penerapan dan pemaknaan yang benar

tidak akan mengenal istilah kaum agamawan118

. Baginya setiap

individu muslim adalah seorang agamawan.

Dalam konteks kenegaraan, keberadaan tanah air atau

wilayah adalah sebuah keniscayaan yang harus menjadi bagian

dari sebuah tatanan negara119

. Di dalam al-Qurân, kata balad

116

Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran dan Sejarah

Pemikirannya. Jakarta: UI Press, 1993, hlm. 1.

117Yusuf Qardhawy, Fiqih Negara. Jakarta: Robbani Press. 1997, hlm.

24.

118Yusuf Qardhawy, Fiqih Negara, hlm. 29.

119Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik, hlm. 38.

Page 166: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

141

terulang sebanyak 19 kali, termasuk derivasi makna yang ada

kesamaan makna dengannya120

. Dari berbagai macam

penyebutan kata balad di dalam al-Qurân, kesemuanya

mempunyai makna yang menjelaskan bahwa balad atau baldah

berarti negeri, tanah air, atau wilayah yang didiami oleh

komunitas manusia yang secara bersama-sama membangun

peradaban atau disebut dengan masyarakat. Melihat sisi bahasa

yang terkandung dari penjelasan di atas, maka setiap yang

berhubungan dengan wilayah yang ditinggali, yaitu sebuah

wikayah yang berupa tanah, yang dijadikan temapt tinggal oleh

manusia disebut dengan baldah atau balad121

.

Negara dengan ciri kekuasaan politik, dibagi menjadi

tiga bagian, pertama, negara hukum atau nomokrasi Islam; kedua

yaitu negara sekuler; ketiga yaitu negara republik122

. Tipe negara

hukum nomokrasi Islam diartikan sebagai negara yang

menggunakan al-Qurân dan al-Hadîs menjadi dasar pembentukan

nilai dari negara tersebut disamping akal untuk memahami

keduanya.

120

Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jâm Al-Mufahras Li Al-

Faz Al-Qurân, Beirut: Dar al-Fikr. 1981, hlm. 134.

121Ibnu Fâris, Mu’jam Maqâyîs fî Al-Lughah. Beirut: Dar al-Ihya

al-Turats al-‘Arabi 2001, hlm. 136-137.

122Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum, Suatu Studi tentang

Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada

Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Prenada Media. 2004, hlm.

15.

Page 167: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

142

Dalam sejarahnya, Islam telah menggunakan berbagai

macam sistem pemerintahan, seperti khilâfah ( model

pemerintahan Sunnî ), Imâmah ( Syî’ah ) dan juga monarki atau

sistem kerajaan123

. Dalam dunia Islam, terdapat istilah lain yang

digunakan dalam rangka menjalaskan sistem pemerintahan,

semacam Daulah, Hukûmah dan Khilâfah124

. Di dalam kosakata

umat Islam, daulah memang telah dikenal sebagai kata yang

menunjukan negara, dala bahasa Arab kontemporer, kata daulah

bahkan diartikan sebagai negara, maka dari itu, negara Islam

disebut di dalam bahasa Arab dengan Ad-Daulah Al-Islâmiyyah

dan negara Arab disebut dengan Ad-Daulah Al-’Arabiyah125

.

Dalam sebuah penjelasannya mengenai khalîfah, Mahfud

MD pernah mengatakan bahwa makna khalîfah bukan hanya

sebagai wakil, namun juga berarti amanah, artinya, manusia

bukan hanya dimaknai sebagai seorang yang menjadi wakil

Tuhan di bumi, akan tetapi sebagai pembawa amanah Allah yang

ada di bumi, oleh sebab itu, perwujudan khalîfah tidak hanya

diperuntukan bagi seorang pemimpin atau raja, tetapi untuk

123

Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu

Taymiyah tentang Pemerintahan Islam, terj. Masrohin. Surabaya: Risalah

Gusti. 1995, hlm. 1-8.

124Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik, hlm. 40.

125Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Siyasah dalam Konteks

Perubahan Menuju Masyarakat Madani, Jurnal Ilmu Sosial Keagamaan,

Vol.1, No. 1, Juni 1999, hlm. 19

Page 168: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

143

setiap manusia mempunyai tanggung jawab dalam mengemban

amanah126

.

Dalam diskursus politik Islam kontemporer, terdapat

perbedaan antara konsep syûrâ dan demokrasi seacara diametral,

beberapa Ulama menganggap keduanya memiliki pola penerapan

politik yang sama dalam sebuah negara.

Pertama, dari Syarqawi Dhafir, ia mengatakan bahwa

di antara demokrasi dan syûrâ bukanlah sesuatu yang

berbeda, keduanya dalam pandangannya merupakan

hal yang pada hakikatnya sama.

Kedua mengatakan bahwa dalam sistem demokrasi

sangat jauh dari nilai-nilai spiritual, sedangkan syûrâ

merupakan konsep politik yang sarat akan nilai-nilai

spiritual, peerbandingan anatar keduanya tidaklah

akan menemui titik temu.

Ketiga, sebuah pendapat yang dikemukakan oleh

Hasbi as-Shiddieqy, baginya syûrâ dan demokrasi

memiliki persamaan, sehingga menurutnya,

pemahamaan yang tepat mengenai keduanya adalah,

demokrasi memang tidak sama dengan syûrâ, namun

dianatara keduanya terdapat unsur-unsur kemiripan

yang membuat keduanya terlihat sama127

.

126

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan

Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo, 2010, hlm. 276.

127Ahmad Sukardja dan Ahmad Sudirman Abbas, Demokrasi

dalam Perspektiif Islam: Studi Perbandingan Antara Konsep Syura dan

Page 169: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

144

Di saat gema dan semangat demokratisasi yang melanda

hampir di seluruh wilayah di dunia, ada beberapa pemikir Barat

yang mengatakan bahwa dunia Islam tidak mempunyai prospek

yang cukup handal untuk menjadi bagian dalam proses

demokratisasi dunia128

.

Hal yang patut untuk diingat akan proses pelaksanaan

demokrasi adalah mengenai keseimbangan yang terjadi antara

rakyat dan pemerintah, kesadaran rakyat dalam proses

partisipasi, dan kesadaran pemerintah dengan otoritasnya

merupakan hubungan yang disebut dengan power sharing,

kontrol penengah di antara keduanya itulah yang disebut dengan

demokrasi. Demokrasi yang diiringi dengan destabilisasi rakyat

dalam proses partisipasi akan menimbulkan anarkisme yang

cenderung pada tindak kriminal, bahkan lebih jauh, akan terjadi

kudeta yang mampu untuk menjatuhkan pemerintahan dengan

mosi tidak percaya dan kudeta konstitusional129

. Demokrasi

telah dianggap sebagai sebuah sistem negara yang akan

mengantarkan kepada keadilan, kebebasan, kesamaan hak,

keamanan dan pertumbuhan ekonomi. Demokrasi dianggap yang

paling menekankan kepada kepentingan rakyat secara bersama-

Demokrasi Barat dalam Kaitannya Dengan Demokrasi Pancasila. Jakarta:

Pedoman Ilmu Jaya. 2005, hlm. 136.

128A. Ubaedillah dan Abdul Rozak: Pendidikan Kewarganegaraan

Edisi Ketiga Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.

Jakarta: Penerbit Prenada Media Group. 2008, hlm. 85.

129Muhajir Efendi, Masyarakat Equiblirium. Yogyakarta: Bintang

Budaya. 2002, hlm. 21.

Page 170: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

145

sama karena di dalamnya terdapat prinsip partisipatif,

representatif dan akuntabel130

.

Dalam dunia pemikiran Islam, pembahasan mengenai

Islam dan demokrasi dapat dibedakan menjadi tiga bagian.

Pertama, Islam dan demokrasi merupakan dua konsep

politik kenegaraan yang berbeda131

. Di sini Islam

dianggap sebagai sebuah konsep yang berdiri sendiri

dan mempunyai keterkaitan hubungan eksklusif

dengan demokrasi. Pada kelompok yang memahami

Islam dan demokrasi seperti ini, maka demokrasi

diposisikan sebagai sebuah konsep kenegaraan yang

lebih unggul dari pada Islam, Integrasi keduanya

menempatkan Islam yang harus menyesuaiakan

dengan keberadaan konsep demokrasi.

Kedua, kelompok ini menyetujui adanya prinsip-

prinsip di dalam demokrasi yang sesuai dengan nilai-

nilai Islam, namun kelompok ini masih tetap

menganggap adanya perbedaan antara konsep

demokrasi dan nilai-nilai dalam sistem pemerintahan

Islam. Dalam pandangan kelompok ini, demokrasi

merupakan sebuah sistem yang sesuai dengan nilai-

130

Haryatmoko, Etika Politik dan Kebebasan. Jakarta: Kompas. 2003,

hlm. 91.

131A. Ubaidillah dan Abdul Rrozak Hak Asasi Manusia dan

Masyarakat Madani, hlm. 158.

Page 171: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

146

nilai Islam apabila telah diadakan penyesuaian

penafsiran dan pemahamaan132

. Tokoh-tokoh yang

mewakili kelompok ini seperti Maudûdi, Rasyid al-

Ghanaousi, Abdul Fattah Morou dan Taufiq as-

Syâwi. Di Indonesia diwakili oleh Moh. Natsir dan

Jalaluddin Rahmat.

Ketiga, kelompok ini mengatakan bahwa, Islam

menerima dan menjalankan sistem politik demokrasi

sebagaimana yang telah dipraktekan di negara

maju133

. Di dalam Islam, terdapat sebuah prinsip dan

ketentuan-ketentuan yang sangat demokratis, bukan

hanya karena Islam mengusung nilai musyawarah

sebagai pondasi sistem politik, namun karena di

dalam Islam juga terdapat ijma’ ( konsensus ) dan

ijtihad yang merupakan sumber penggalian hukum di

dalam Islam134

. Di Indonesia dan negara-negara

muslim lainnya kelompok ketiga tampaknya lebih

dominan dikarenakan sudah digunakan dan menjadi

bagian integral dalam sistem pemerintahan. Di antara

tokoh muslim yang mendukung pandangan ini adalah

Fahmi Huwaidi, al-‘Aqqad, M. Husain Haikal,

132

Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik.

ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Volume 14, Nomor 1, Juni 2014, hlm.

44.

133A. Ubaidillah dan Abdul Rrozak Hak Asasi Manusia dan

Masyarakat Madani, hlm. 158.

134Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik, hlm. 44.

Page 172: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

147

Zakaria Abdul Mun’im Ibrahim, Hamid Enayat,

Muhammad Abduh dan Jamaluddin al Afghani. Di

Indonesia diwakili oleh Nurcholis Madjid, Amin

Rais, Munawir Syadzali, Ahmad Syafi’i Ma’rif dan

Aburrahman Wahid135

.

Demokrasi dapat bermakna variatif karena sifatnya yang

interpretatif, setiap negara berhak untuk mengklaim bahwa

negara tersebut menggunakan sistem demokrasi, meskipun

pemerintahan yang dijalankan sangatlah jauh dari prinsip-prinsip

dasar demokrasi itu sendiri. Karena sifat dari demokrasi itu

sendiri yang interpretatif, maka munculah tipologi-tipologi

demokrasi yang berkembang di berbagai negara seperti

demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi proletar,

demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi

pancasila, demokrasi parlementer dan lain-lain136

. Dalam sebuah

negara penganut sistem demokrasi, demokrasi akan dikatakan

berjalan dengan baik apabila memenuhi tiga kriteria sebagai

berikut137

:

Pertama, adanya persaingan yang meluas, baik dari

golongan maupun individu, untuk mewujudkan

135

Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik, hlm. 45.

136Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat Kajian sejarah

Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama. 2001, hlm. 297.

137Mohtar Mas’ud, Negara Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. 1991, hlm. 12.

Page 173: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

148

prinsip kebebasan tanpa adanya paksaan yang

mempengaruhi penempatan jabatan-jabatan

pemerintahan yang strategis.

Kedua, terwujudunya partisipasi politik yang tinggi

dalam memilih pemimpin dan kebijakan-kebijakan hal

itu terjadi dengan adanya pemilihan yang adil dan

berkala, serta tidak adanya kelompok lain yang

dikucilkan.

Ketiga, adanya kebebasan sipil dan politik yang itu

terwujud melalui adanya kebebasan dalam pers,

kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat

yang itu menjamin integritas kompetisi dan

partisipasi pollitik.138

.

138

Mohtar Mas’ud, Negara Kapital dan Demokrasi., hlm. 12.

Page 174: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

149

BAB IV

INTEGRASI SYÛRÂ DALAM DEMOKRASI

Kali ini penulis berusaha menyajikan bagian inti dari

penelitian yang dilakukan. Pada bab ini, penulis membahas

mengenai materi utama yang berkaitan dengan integrasi antara

sistem musyawarah dan demokrasi. Sebelumnya, penulis

berusaha untuk menjelaskan penerapan sistem demokrasi dan

musyawarah dalam sebuah negara yang mayoritas muslim.

A. Integrasi Musyawarah Dengan Demokrasi dan Penerapannya

Dalam Sebuah Negara

Seperti yang telah penulis kemukakan pada awal bab ini,

syûrâ biasa diartikan dengan memaparkan atau menjelaskan, bisa

juga diartikan dengan mengambil sesuatu. Dalam kamus al-

Munjid, syûrâ diartikan sama dengan tasyâwara, yang berarti

saling bermusyawarah antara satu pihak dengan pihak lain1. Dari

sisi bahasa, demokrasi berasal dari bahasa Yunani dengan dua

akar dua suku kata, yaitu ‚demos‛ yang berarti rakyat dan

‚cretein‛ atau ‚cratos‛ yang berarti kekuasaan atau kedaulatan.

Jika dilihat dari asal kata tersebut, maka demos-cretein atau

demos-cratos adalah sebuah negara, dimana kekuatan dan

kedaulatan negara tersebut berada di tangan rakyat, dilakukan

1Subhi Hamawi, Al-Munjid fî al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’âshirah.

Beirut: Dar Al-Masyriq. 2001, hlm. 806.

Page 175: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

150

oleh rakyat dan berasal dari komponen negara yang bernama

rakyat2.

Dari segi bahasa, dapat dikatakan bahwa demokrasi dan

syûrâ merupakan dua hal yang berbeda , namun begitu, penulis

menganggap bahwa keduanya mempunyai persamaan dalam

pengertian etimologis, dilihat dari konteks bahwa keduanya

merupakan upaya yang dilakukan oleh sejumlah orang, untuk

memutuskan sebuah perkara. Maka di sini dapat dikatakan

persamaan demokrasi dan musyawarah adalah keduanya

merupakan upaya untuk mencari solusi terhadap suatu masalah

yang dilakukan oleh sejumlah atau sekelompok orang, dalam

konteks negara, syûrâ telah dianggap sebagai sebuah ideologi

negara seperti demokrasi.

No

. Syûrâ Demokrasi Integrasi

1

Sebagai ideologi

Negara

Sebagai ideologi

negara

Dalam

perkembangann

ya sama-sama

sebagai ideologi

negara

2

Pengawasan yang

melibatkan semua

unsur negara

termasuk oleh

rakyat sebagai

Pengawasan yang

berpusat pada

rakyat, dengan

melibatkan

instrumen negara

Sama-sama

melibatkan

rakyat sebagai

bagian penting

dalam

2Dwi Sulisworo, Tri Wahyuningsih, Dikdik Baehaqi Arief, Hibah

Materi Pembelajaran Non Konvensional ‚Demokrasi‛, Yogyakarta:

Universitas Ahmad Dahlan. 2012, hlm. 5.

Page 176: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

151

bagian dari negara yang lain seperti

hukum dan

pemerintahan

menjalankan

roda

pemerintahan,

3

Dalam memilih

pemimpin,

menentukan

hukum dan

meminta

pertanggungjawab

an penguasa, syûrâ

memilih beberapa

perwakilan dari

rakyat yang

berstatus orang-

orang dengan

syarat-syarat

tertentu dan

berfungsi

melakukan

musyawarah dan

mengontrol

penguasa yang

disebut ahlu al-halli wa al-‘aqdi

Dalam prakteknya

beberapa negara

yang menganut

asas demokrasi

memilih pemimpin

secara langsung,

namun untuk

menentukan

kebijakan hukum

dan meminta

pertanggungjawab

an penguasa,

mereka

mempunyai

perwakilan rakyat

yang disebut

dengan DPR yang

dipilih secara

langsung guna

mengontrol dan

bermusyawarah

dengan penguasa

Sama-sama

mempunyai

lembaga

perwakilan

rakyat yang

berfungsi

mengontrol

pemerintahan

serta melakukan

proses

musyawarah

untuk

menentukan

arah kebijakan

pemerintah

terkait hukum,

sosial dan

ekonomi negara

4

Mayoritas Ulama

mengatakan bahwa

musyawarah dalam

pemerintahan

hukumnya wajib

guna mencegah

pemerintahan yang

diktator dan zalim

dari pemerintah,

terlepas dari

pendapat sebagian

Ulama yang

mengatakan

musyawarah

Kesewenag-

wenangan

pemerintah akan

berujung pada

kediktatoran

pemerintahan, hal

ini yang sangat

ditentang oleh

demokrasi, oleh

sebab itu, dalam

negara demokrasi,

kebijakan

pemerintah yang

tidak didahului

Dalam syûrâ dan

demokrasi,

terdapat sebuah

proses yang

sama-sama

dilakukan

sebelum

menentukan

sebuah

kebijakan yaitu

proses

musyawarah

Page 177: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

152

adalah sunnah oleh proses

musyawarah

dengan lembaga

terkait atau rakyat

melalui perwakilan

dianggap sebagai

kebijakan yang

inkonstitusional

5

Batasan

musyawarah tidak

dijelaskan secara

tekstual dari al-

Qurân atupun

Hadîs, namun para

ulama sepakat

bahwa

musyawarah dapat

dilakukan dalam

konteks apapun

termasuk di

dalamnya konteks

pemerintahan

negara, selagi

tidak membahas

hal yang sudah ada

ketentuannya dari

al-Qurân dan

Hadîs

Demokrasi

memang berasal

dari hal yang

dikaitkan dengan

asas pemerintahan,

sehingga dalam

konteks ini,

demokrasi jelas

masuk di

dalamnya

Keduanya sama-

sama berfungsi

sebagai konsep

yang ditawarkan

untuk

pemerintahan

sebuah negara,

terlepas dalam

konsep syûrâ

terdapat hal-hal

krusial yang

tidak bisa

dirubah

kepeutusannya

6

Syûrâ tidak

terpaku pada pola

pemerintahan

sebelumnya, yang

berarti ia akan

terus berkembang

sesuai dengan

perubahan zaman

dan menyesuaikan

kebutuhan suatu

negara agar

Dalam demokrasi

tidak bisa

dipahami sebagai

sebuah konsep

baku

pemerintahan, ia

dipahami sebagai

budaya

pemerintahan yang

terus berkembang

untuk mendorong

Keduanya sama-

sama tidak

terpaku oleh

pola

pemerintahan

yang sudah ada

sebelumnya,

melainkan terus

berkembang

menyesuaiakan

zaman dan

Page 178: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

153

menjadi negara

yang lebih baik

sebuah negara

dengan

pemerintahan yang

maju dan

berperadaban

budaya negara

tersebut, tentu

dengan prinsip-

prinsip baku

yang tidak boleh

dihilangkan

dalam proses

perkembangann

ya

B. Syûrâ Dalam Pandangan Ulama Klasik dan

Integrasinya Dengan Demokrasi

Praktis dalam kajian sarjana muslim klasik tidak ada

satupun yang mencoba membandingkan antara syûrâ dan

demokrasi, rata–rata mereka hanya mencoba mamahami

pengertian syûrâ bahkan tanpa menyinggung ranah politik

kecuali beberapa saja, hal ini terutama dalam spesifikasi kajian

tafsir klasik. At-Tabarî, Zamakhsyarî, ar-Râzî, Ibnu Katsîr dan

al-Qurtubî, praktis hanya al-Qurtubî yang penafsirannya

mengenai ayat syûrâ menyinggung ranah politik, selebihnya,

hanya memahami syûrâ dalam hal yang bersifat perintah pada

saat peperangan saja, al-Qurtubî dalam penjelasannya mengenai

syurâ di dalam kitab tafsirnya, dianggap sebagai penafsir klasik

yang paling mendekati implementasi konsep syûrâ di masa

sekarang3.

3Al-Qurân Abad 21: Tafsir Kontekstual/karya Abdullah Saeed;

penerjemah, Evan Nurtawab; editor, Ahmad Baiquni ( Bandung: PT Mizan

Pustaka, 2015), hlm. 250.

Page 179: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

154

Al-Qurtubî menjelaskan bahwa terdapat kebolehan untuk

lentur dan membuka ruang diskusi terhadap suatu permasalahan

yang meski telah terdapat teks dari al-Qurân dengan syarat

bersifat zanni dan bukan teks qath’î, namun di satu sisi juga

harus keras terhadap suatu permasalahan yang memang telah ada

wahyu qath’i untuk tidak kembali mendiskusikannya, hal ini

sebenarnya menggambarakan al-Qurtubî yang mengimani

kedua–keduanya, di sini penulis al-Qurtubî melakukan hal yang

demokratis, artinya ia mengemukakan pendapat yang selaras

dengan salah satu prinsip demokrasi seperti yang telah penulis

jelaskan yaitu musyawarah.

Al-Qurtubî menanamkan sebuah pesan yang akan terus

dihadapi orang-orang yang melakukan musyawarah, yaitu

perbedaan pendapat, ia bahkan menggunakan sebuah susunan

kalimat yang menjelaskan unsur utama dalam pelaksanaan

musyawarah, yaitu :

‚ Musyawarah terbangun dengan adanya perbedaan pendapat di antara pesertanya, lalu seorang di antara mereka—merupakan seorang yang menggagas musyawarah, jika memang menungkinkan, akan melihat perbedaan tersebut, mana yang paling mendekati al Qura>an dan al Hadis, jika kemudian telah ditentukan keputusan yang diambil, maka kemudian akan berlanjut dengan berpasrah dan menyerahkan hasil tersebut kepada Allah, inilah yang kemudian disebut dengan tawakkal ‛4.

Hal ini selaras dengan salah satu prinsip demokrasi dalam

melaksanakan musyawarah, bahwa dalam rangka mencapai

4Al-Qurtubi, Al-Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân ( Kairo: Maktabah Dar Al

Hadis, 1994 ), jus 1, hlm. 598.

Page 180: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

155

keberhasilan dalam musyawarah diperlukan pemufakatan yang

jujur dan sehat, upaya untuk menjalankan pemufakatan yang

jujur dan sehat di awal juga merupakan hal yang harus dilakukan.

Sebuah pemufakatan yang dijalankan dengan kesadaran akan

kecurangan, kebobrokan nilai, cacat atau sakit justru bisa disebut

sebagai sebuah penghianatan dalam sebuah proses demokrasi dan

musyawarah. Ide demokrasi dan musyawarah hanya akan

tercapai apabila dalam diri masing-masing tertanam rasa yang

mengedepankan bahwa orang lain benar dan diri sendiri salah,

bahwa pada setiap orang terdapat nilai-nilai kebenaran dan

kebaikan. Dengan hal itulah rasa saling menghargai pendapat

orang lain akan tertanam dan tumbuh dengan baik.

Keberadaan ide musyawarah dalam praktek demokrasi

terdapat pada kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi yaitu

apa yang disebut dengan ‚partial finctioning of ideals‛, yaitu

sebuah pandangan belum tentu, tidak harus dan seluruh

keinginan sepenuhnya. Prinsip yang menyatu antara demokrasi

dan musyawarah terletak pada bagian dimana usulan atau

pendapat yang dikemukakan tidak bersifat dan mengikat secara

pasti5.

Kemudian al-Mâwardî tidak secara khusus menyebut

konteks pembicaraan mengenai syûrâ. Ia hanya menyampaikan

beberapa pelaksanaan dalam proses pemerintahan, mulai dari

masa pengangkatan pemimpin hingga dinamika-dinamika hukum

5Dwi Sulisworo. Dkk, Hibah Materi Pembelajaran Non Konvensional

‚Demokrasi‛ , hlm. 5.

Page 181: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

156

yang melekat sekaligus akan dilalui seorang pemimpin negara di

waktu itu. Al-Mâwardî telah menyinggung proses pemilihan

seorang pemimpin dalam sebuah negara. Ia mengutip sebuah

syair arab jahili dan beberapa ayat al-Qurân dan al-Hadîts yang

menegaskan bahwa posisi seorang pemimpin merupakan sebuah

keharusan, dengan level hukum fardhu al-kifâyah.

Selanjutnya ia menjelaskan mekanisme pemilihan dalam

proses pengangkatan pemimpin, ia juga menjelaskan keberadaan

ahlu al-halli wa al-’aqdi sebagai sebuah lembaga yang

menginisiasi proses pemilihan pemimpin sekaligus sebagai

penentu, yang menarik di sini adalah, tercetusnya konsep ahlu al-

halli wa al-’aqdi adalah sebuah pilihan ketika sebuah negara

mengalami kekosongan kepemimpinan, di situ kemudian muncul

pilhan dalam diri masyarakat bahwa proses penentuan seorang

pemimpin ditentukan oleh dua golongan, yaitu golongan ahlu al-

halli wa al-’aqdi dan golongan yang memang dalam diri mereka

mempunyai kriteria seorang pemimpin sebuah negara. Di

golongan kedua inilah kemudian muncul ketetapan atas syarat-

syarat tersebut yang berjumlah tujuh, dimana salah satunya

nasab yang berasal dari keturunan Quraisy menjadi perdebatan

panjang di kalangan umat Islam. Di sini terdapat pula nilai–nilai

demokrasi yang terkandung di dalamnya dari sudut pandang

penyaluran kehendak rakyat, demokrasi dapat diidentifikasikan

kedalam tiga macam bagian, yaitu demokrasi langsung,

demokrasi perwakilan atau demokrasi representatif dan

demokrasi perwakilan sistem referendum.

Page 182: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

157

Demokrasi langsung merupakan sebuah paham

demokrasi yang dilihat dari sudut pandang perwakilan rakyat,

demokrasi ini bermakna bahwa rakyat menyampaikan

pendapatnya di hadapan seluruh rakyat yang hadir dalam waktu

penyampaian pendapat tersebut. Demokrasi jenis ini pernah

digunakan di Athena pada zaman Yunani kuno ( abad IV M )6.

Dalam demokrasi perwakilan, rakyat berperan untuk memilih

para wakil mereka di dewan perwakilan, sehingga terjadi proses

demokrasi yang melibatkan rakyat secara langsung dalam tahap

pemilihan wakil rakyat. Model demokrasi perwakilan saat ini

sangat banyak digunakan oleh negara–negara pengusung konsep

demokrasi dikarenakan jumlah penduduk yang bertambah

banyak dan luas wilayah suatu negara yang jauh lebih luas dari

pada masa lampau. Demokrasi perwakilan sistem referendum

merupakan gabungan antara demokrasi langsung dan demokrasi

perwakilan. Dalam demokrasi perwakilan sistem referendum,

rakyat berpartisipasi untuk menentukan para wakil mereka

dengan memilih secara langsung melalui mekanisme pemilihan

yang telah diatur oleh undang–undang, tidak hanya sampai di

situ, dalam jenis demokrasi ini, rakyat mempunyai kontrol penuh

terhadap para wakil mereka di parlemen dan juga berhak untuk

memberhentikan mereka melalui sistem referendum.

Di sini dapat dikaitkan pemahaman al-Mâwardî dengan

nilai demokrasi yaitu fakta mengenai praktek dan nilai

6Fuad Hasan, Bab Pengantar, dalam Plato, Apologia: Pidato Socrates

yang Diabadikan Plato. Bulan-Bintang. Jakarta.1986, hlm. 29-31.

Page 183: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

158

demokrasi yang memiliki kesepahaman ide dengan nilai–nilai

syûrâ, saat ide musyawarah oleh al-Mâwardî menyuguhkan dua

hal yang terjadi dalam demokrasi, dilihat dari sudut pandang

penyaluran rakyat. Al-Mâwardî menjelasakan pemilihan

pemimpin dengan menggunakan konsep ahlu al-halli wa al-‘aqdi

atau menggunakan konsep pemilihan langsung dengan kriteria

yang telah ditentukan, meskipun secara praktek masih terdapat

perbedaan, namun tetap harus dipahami di sini bahwa ide dasar

sistem syûrâ dan demokrasi dalam menentukan pemimpin

mempunyai kesamaan, yaitu sama–sama mengusung pemimpin

dengan konsep pemilihan yang melibatkan rakyat atau

keterwakilan yang berasal dari rakyat, atau bahkan yang

melibatkan seluruh rakyat tanpa perwakilan.

Dari penelitian penulis mengenai integrasi nilai syûrâ dan

demokrasi dalam pandangan ulama klasik, maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat nilai dan ide yang setara dalam

pamahaman ulama klasik mengenai syûrâ dan demokrasi, yaitu

nilai musyawarah, pemufakatan untuk menuju proses

musyawarah yang jujur dan adil, kebebasan berpendapat dengan

taat aturan dan di luar konteks pembahasan yang prinsipil atau

hal di luar ketentuan qat’î ( harus dilaksanakan perintahnya ).

Adapun ide yang selaras yaitu mengenai ide pemilihan

pemimpin, keduanya sama–sama mengusung konsep pemilihan

yang melibatkan rakyat sebagai konstituen, adapun syarat dan

ketentuan kriteria seorang pemimpin telah ditentukan terlebih

dahulu.

Page 184: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

159

NO Syûrâ Demokrasi Integrasi

1

Pada masa awal

Islam, syûrâ

banyak dipahami

sebagai media

meminta

pendapat dalam

konteks

peperangan saja

Demokrasi di

masa awal sudah

dirumuskan

sebagai sebuah

konsep yang

dilaksanakan

dalam prosedur

pemerintahan

Tidak terdapat

integrasi antara

syûrâ dan

demokrasi secara

konteks

pelaksanaan,

tetapi secara

nilai, keduanya di

masa sama-sama

dipahami sebagai

media untuk

meminta

pendapat

2

Syûrâ pada masa

awal melakukan

proses

pengambilan

pendapat dari

orang lain untuk

mencapai

kesepakatan

bersama, dengan

mengedepankan

nilai-nilai

kepercayaan dan

kemufakatan

Demokrasi

mengedepankan

prinsip partial finctioning of ideals, yang

berarti sesuatu

yang belum tentu,

bisa baik dan bisa

buruk, artinya

untuk

menghindari

keburukan

tersebut dalam

demokrasi selalu

mengedepankan

proses

musyawarah yang

diiringi dengan

pemufakatan

Keduanya sama-

sama

mengedepankan

proses

musyawarah

untuk mecapai

pemufakatan

bersama dan

menghindari

keburukan yang

terjadi tanpa

melakukan proses

musyawarah

3

Konsep

pengangkatan

pemimpin telah

dibahas di masa

awal Islam

Melalui demokrasi

langsung,

demokrasi

perwakilan dan

demokrasi

syûrâ dan

demokrasi dalam

menentukan

pemimpin

mempunyai

Page 185: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

160

dengan lembaga

ahlu al-halli wa al-‘aqdi sebagai

inisiatornya dan

juga kriteria

kepemimpinan

yang melekat

dalam diri

seseorang akan

membuatnya

dicalonkan

sebagai

pemimpin

referendum,

konsep

pengangkatan

wakil rakyat dan

pemimpin sudah

dilakukan di masa

awal demokrasi

kesamaan, yaitu

sama–sama

mengusung

pemimpin dengan

konsep pemilihan

yang melibatkan

rakyat atau

keterwakilan

yang berasal dari

rakyat, atau

bahkan yang

melibatkan

seluruh rakyat

tanpa perwakilan.

4

Terdapat hal-hal

yang tidak bisa

dimusyawarahkan

dikarenakan telah

ditentukan

melalui teks suci

al-Qurân dan

Hadîs

Dalam

melaksanakan

musyawarah,

tidak terikat hal-

hal tertentu

kecuali proses

musyawarah

dijalankan oleh

muslim, proses

musyawarah

dalam demokrasi

akan terikat

pembahasannya

dengan

kesepakatan

peserta

musyawarah

mengenai hal-hal

yang fundamental

seperti ketetapan

agama, hukum

adat dan

sebagainya

Mempunyai

batasan-batasan

tertentu perihal

sesuatu yang

dibolehkan untuk

dimusyawarahkan

Page 186: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

161

C. Syûrâ dan Demokrasi Dalam Pandangan Sarjana

Muslim Kontemporer

Di masa ini, al-Maudûdî dan Sayyid Qutb dianggap

mewakili pandangan para Ulama modern, sebagai Ulama yang

representatif, kaitannya dengan pembahasan konsep syûrâ7.

1. Sayyid Qutb

Apa yang disampaikan Sayyid Qutb di awal bagian

penjelasannya dalam ayat ini menunjukan bahwa ia mulai

melihat kemungkin-kemungkinan baru dalam sebuah sistem

pemerintahan yang mampu diadaptasi dalam sistem

musyawarah Islam. Ia menyinggung konsep-konsep baru

yang dirasa relevan untuk menjadikan makna syûrâ terus

berkembang dan dipraktekkan oleh umat Islam demi

kemaslahatan bersama. Ia menegaskan bahwa setiap

konsep-konsep yang selaras dan menguatkan eksistensi

musyawarah adalah bagian dari Islam8.

Menurut penulis, hal yang paling berbeda dari tafsir

Sayyid Qutb di banding dengan tafsir-tafsir masa klasik

adalah gagasannya yang berani mengenai konteks

pelaksanaan konsep syûrâ. Keberadaan ide demokrasi yang

juga mengusung dan selaras dengan gagasan – gagasan

Sayyid Qutb mengenai prinsip kenegaraan Islam

menandakan bahwa para pemikir kontemporer Islam

7 Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm. 262.

8 Sayyid Qutb, Fî Zilâli Al-Qurân, (Kairo: Dar As-Syûrûq 1978), juz

1, hlm. 501.

Page 187: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

162

sebagian menganggap demokrasi merupakan bagian dari

Islam itu sendiri.

2. Ibnu ‘Âsyûr

Karyanya kitab At-Tahrîr wa At-Tanwîr menjadi

salah satu kitab tafsir modern yang banyak menjadi

rujukan9. Ia mengawali tafsirnya mengenai konsep syûrâ di

ayat tersebut dengan penjelasan bahasa dari kata syûrâ itu

sendiri. Ia mengutip bahwa syûrâ sejatinya berasal dari

bahasa Persia yaitu nasykhûrâ bisa berarti sisa makanan

binatang10

. Ibnu ‘Âsyûr menjelaskan bahwa apa yang

disebut dengan musyawarah sebenarnya adalah meminta

pendapat kepada para peserta musyawarah, hal itu sesuai

dengan lanjutan ayat setelah perintah bermusyawarah yaitu

: ‚faiza ‘azamta fatawakkal ‘allâh‛11. Salah satu yang

membedakannya dengan para penafsir klasik adalah ia

menyatakan konsep musyawarah merupakan perintah yang

diturunkan kepada Rasul agar melakukan musyawarah

dengan para sahabatnya baik dalam perkara peperangan

ataupun yang lainnya12

.

Ibnu ‘Âsyûr juga membahas mengenai konteks

pelaksanaan syûrâ, baginya, syûrâ merupakan pembahasan

9Syaiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur'an, Yogyakarta:

Pustaka Insan Madani, 2008, hlm. 128. 10

At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr. Tunisia: Ad-Dâr At-Tûnisiyyah. 1984, hlm. 147.

11At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 147.

12At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 147.

Page 188: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

163

ranah ijtihâdî, hal tersebut dikarenakan perkara-perkara

yang dibahas dalam musyawarah merupakan urusan yang

tidak ditentukan secara pasti di dalam al-Qurân, kecuali

seorang mujtahid, seorang mujtahid tidak diwajibkan untuk

melakukan musyawara13

. Dia memberikan contoh seperti

yang dilakukan para sahabat Muhâjirîn dan Ansâr14,

kemudian mengutip potongan ayat 38 dalam Surat as-Syûrâ.

Apa yang menarik dari pembahasan Ibnu ‘Âsyûr

adalah mengenai konteks pembahasan syûrâ yang

membentang dari mulai urusan rumah tangga, suku, negara

dan umat dengan status hukum wajib dan sunnah. Ia

mengutip pendapat dari Mazhab M^âlikî, Syâfi’î dan Hanafî,

dimana Mâlikî mengatakan bahwa proses musyawarah

merupakan hal yang wajib dan terbagi menjadi empat

bagian: pertama, diwajibkan bagi para Ulama untuk

melakukan musyawarah terkait perkara agama, kedua,

diwajibkan bagi pemimpin tentara untuk bermusyawarah

terkait peperangan, ketiga, diwajibkan pemimpin umat

untuk bermusyawarah terkait kemaslahatan, keempat,

diwajibkan bagi para pemangku kebijakan hukum, politik

dan kesejahteraan dalam sebuah negara untuk

bermusyawarah15

.

Bagi penulis, penafsiran Ibnu ‘Âsyûr mengenai

musyawarah sudah menjelaskan bahwa musyawarah

13

At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 147. 14

At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 147. 15

At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 148.

Page 189: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

164

merupakan hal yang juga melekat dalam konteks

pemerintahan sebuah negara, hubungan antara demokrasi

dan musyawarah adalah, bahwa keduanya merupakan salah

satu unsur yang harus dijalankan dalam sebuah sistem

pemerintahan, untuk menghindari kesewang-wenangan

pemimpin dalam menentukan kebijakan, tentu semua itu

disertai dengan konsekuensi hukum agama yang

menyertainya16

.

3. Rasyîd Ridâ

Seorang Ulama yang mampu menggabungkan

khasanah keislaman klasik dan kontemporer dengan

baik17

. Dalam mengawali penafsirannya mengenai konsep

musyawarah, Rasyîd Ridâ langsung tertuju pada

pembahasan ranah musyawarah, ia menjelaskan bahwa

musyawarah merupakan sebuah strategi yang digunakan

oleh umat untuk mencari solusi akan permasalahan yang

menyangkut semua urusan dunia dan tidak terbatas hanya

dalam urusan peperangan, ia juga mengutip pendapat

‘Abduh yaitu, musyawarah merupakan perintah yang berat

untuk dilakukan oleh umat, dikarenakan menyatukan

persepsi akan suatu masalah karena perbedaan pendapat

yang sangat mungkin timbul sebab beragamnya peserta

16

At-Tâhir bin ‘Âsyûr, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, hlm. 149. 17

Abdurrahmân „Utbah, Mausû‟ah Al-Masâdir wa Al-Marâji‟, hlm.

297.

Page 190: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

165

musyawarah, oleh karena hal tersebut Allah

memerintahkan Nabi untuk melakukan musyawarah

bersama dengan para sahabatnya18

.

Ia juga mengaitkan akan perintah musyawarah

kepada Surat As-Syûrâ ayat 38, bahwa musyawarah

merupakan perintah yang diturunkan untuk mencapai

kesepakatan bersama dalam urusan dunia, tidak berlaku

untuk hal-hal yang memang sudah ada ketentuannya

dalam urusan selain itu, seperti aqidah dan hal lain yang

sudah ada ketentuannya dari Allah, Demikianlah

menurutnya Nabi melakukan musyawarah dalam hal yang

tidak ada ketentuan wahyu di dalamnya.

Rasyîd Ridâ menegaskan bahwa sesuatu yang telah

ada ketentuannya dari teks Al-Qurân, maka sudah tidak

diperlukan lagi untuk dimusyawarahkan, hal tersebut

berlaku baik di masa Nabi atupun di masa-masa

sesudahnya19

. Ia menegaskan bahwa Nabi sama sekali

tidak memberikan ketentuan mengenai bagaimana

musyawarah itu dilaksanakan, melainkan Nabi dengan

keistimewaannya, telah memprediksi bahwa perkara-

perkara umat akan semakin kompleks dan diperlukan

penanganan yang berbeda dari zamannya, oleh karena itu,

Nabi memberikan keleluasaan bagi umatnya untuk

menentukan pola musyawarah sesuai dengan zamannya, ia

18

Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr. Kairo: Al-Hai´ah Al-Misriyah Al-

„Âmmah li Al-Kitâb. 1990. Jus 4, hlm. 164. 19

Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 165.

Page 191: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

166

menjelaskan hal tersebut dengan mengutip beberapa

kejadian di masa Nabi, salah satunya adalah sebuah hadis

yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :

‚Engkau lebih mengetahui urusan duniamu‛20.

Dengan cukup detail, ia menceritakan proses

musyawarah yang dilakukan sahabat setelah masa Nabi

untuk menentukan penggantinya, bagaimana Abû Bakar,

‘Umar, ‘Utsmân dan ‘Alî kesemuanya dipilih sejatinya

melalui proses musyawarah, mereka berempat telah

disepakati untuk memimpin umat sepeninggal Nabi dalam

sebuah proses musyawarah, adapun bai’at dilakukan

setelah lebih dulu disepakati dalam proses musyawarah21

.

Berbeda saat masa Khulafâ ar-Râsyidîn telah lewat, di

masa-masa daulah Bani Umayah dan Bani ‘Abbâsyiah,

kecuali dalam masa pemerintahan beberapa khilâfah—

seperti Abdul Mâlik bin Marwân dan ‘Umar bin ‘Abdul

‘Azîz—yang memimpin, seringkali terjadi pemerintahan

yang sewenang-wenang dan otoriter, hal tersebut tentu

jauh dari spirit pemerintahan yang dibawa oleh Nabi dan

generasi Khulafâ ar-Râsyidîn, sehingga Rasyîd Ridâ

menegaskan bahwa nilai syûrâ akan berlaku selamanya

bersamaan dengan nilai-nilai al-Qurân yang lain,

20

Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 165. 21

Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 167.

Page 192: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

167

sedangkan sistem pemerintahan merupakan hal subjekif

dan temporetatif, dikembalikan kepada zaman dan kondisi

umat yang akan menjalaninya22

, dalam hal ini, perjuangan

umat sejatinya adalah mempertahankan nilai-nilai syûrâ

dan memerangi pemerintahan yang otoriter, ia juga

sempat menyinggung Pemilihan Umum yang terjadi

belakangan di kalangan umat yang mendiami negara

Republik, baginya saat terjadi Pemilihan Umum, yaitu

proses pemilihan pemimpin yang meninggalkan elemen

ahlu al-halli wa al-‘aqdi, hal tersebut tidak membatalkan

keabsahan pemimpin yang terpilih, karena baginya,

sejatinya esensi musyawarah adalah kesepakatan umat

dalam suatu keputusan untuk kebaikan dan kepentingan

bersama23

.

4. M. Quraish Shihâb

Quraish Shihâb menjelaskan bahwa musyawarah

merupakan perintah yang ditujukan kepada Nabi, hal

tersebut didasari dengan suatu petaka yang terjadi di

dalam perang Uhud yang didahului oleh musyawarah,

karena hal tersebut lantas membuat beberapa menganggap

bahwa musyawarah merupakan hal yang tidak perlu untuk

diadakan, lalau dalam penjelasannya ayat ini adalah

sebuah penegasan yang dilakukan untuk menegaskan

22

Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 168. 23

Rasyîd Ridâ , Tafsîr Al-Manâr, hlm. 166.

Page 193: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

168

bahwa musyawarah tetaplah penting untuk

dilaksanakan24

.

Dalam penjelasan-penjelasan selanjutnya terkait

musyawarah, Quraish Shihâb seperti halnya para mufasir

secara umum, yaitu menjelaskan musyawarah dari segi

bahasa, konsekuensi hukum yang melekat dari

musyawarah dan syarat atau sifat yang harus ada pada diri

peserta atau pelaku musyawarah25

. Satu hal yang menjadi

catatan penulis adalah penafsirannya mengenai

musyawarah yang menjelaskan bahwa sebuah musyawarah

haruslah dikaitkan dengan hubungan yang tulus dengan

Tuhan, ia menjelaskan bahwa dalam sebuah musyawarah

sangat dimungkinkan munculnya ‚sesuatu‛ yang

datangnya dari Tuhan untuk memberikan sebuah solusi,

‚sesuatu‛ tersebut datang secara tiba-tiba begitupun saat

ia pergi. Artinya, setiap pelaku musyawarah haruslah

berhati suci dan bersih dari dosa-dosa yang membutakan

mata hatinya, karena ‚sesuatu‛ di atas hanya mungkin

mengilhami seseorang yang bersih dari suatu dosa-dosa26

.

Ia mengaitkan penafsirannya tersebut dengan mengutip

perkataan seorang filosof dari Amerika yaitu William

James, yang mereduksi otoritas akal dalam memahami

musyawarah, yaitu :

24

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 12, Jakarta: Lentera

Hati. 2002, hlm. 312.

25M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume, hlm. 313., v.2.

26M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume, hlm. 314., v.2.

Page 194: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

169

‚Akal memang mengagumkan, ia dapat membatalkan satu argument dengan argument lainnya. Akibatnya ia dapat mengantarkan kita kepada keraguan yang mengguncangkan etika dan nilai-niai hidup kita‛.27

Dari pendapat James di atas, Quraish Shihâb

kemudian menjelaskan bahwa musyawarah merupakan

sebuah hal yang akan sempurna dan tuntas apabila

dihubungkan dengan perspektif ketuhanan, hal itu ia

kuatkan dengan mengaitkan ayat musyawarah ini dengan

beberapa ayat al-Qurân yang menjelaskan akan perbuatan

dosa dan sia-sia28

. Dalam Surat As-Syûrâ ayat 38, ia

kemudian menjelaskan bahwa musyawarah merupakan hal

yang turun ketika periode Mekah, masa dimana belum

terbentuknya negara Madinah, hal itu kemudian dipahami

bahwa musyawarah merupakan kewajiban yang harus

dilaksanakan tanpa ketentuan yang mengikat secara pasti

dari al-Qurân ataupun Hadis29

.

5. Syekh Mutawalli as-Sya’rawî

As-Sya’rawî menjelaskan syûrâ dalam surat Ali-‘Imrân ayat

159 dengan nuansa tasawufnya dan nilai sastra bahasanya yang

khas, seperti halnya para mufassir lain dalam menjelaskan syûrâ,

ia menjelaskan bahwa adanya musyawarah di masa itu tidak

berarti Nabi tidak mampu megatasi permasalahan yang ada saat

itu, melainkan sebagai bentuk penghargaan terhadap para

27

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume, hlm. 313., v.2. 28

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume, hlm. 314., v.2. 29

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume, hlm. 179., v.12.

Page 195: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

170

sahabatnya, namun as-Sya’rawi menambahkan bahwa perang

Uhud merupakan tempat untuk menempa umat Islam, bagaiman

umat dididik, ditempa dan dilatih dengan cobaan kala itu, namun

dari situlah kemudian Allah membrikan kaum muslimin solusi

berupa perintah musyawarah yang pada masa selanjutnya

menjadi hal yang dilakukan oleh umat Islam setelah masa Nabi.

Seperti yang dikutip oleh as-Sya’rawî mengenai tindakan Abu

Bakar dalam memerangi orang yang murtad, ia tidak luput dari

melakukan musyawarah bersama para sahabatnya, kesimopulan

dari tafsir as-Sya’rawî di sini adalah, ia menegaskan bahwa

musyawarah merupakan sebuah hasil dari tempaan kaum

muslimin bersama Nabi di dalam perang Uhud30

.

6. Pemikir Politik Muslim Kontempoer

Penulis mencantumkan beberapa tokoh muslim yang

concern terhadap perkembangan politik dan pemerintahan Islam,

bagi penulis pemilihan tokoh-tokoh berikut cukup untuk

mewakili beberapa pemikir yang pro dan kontra dengan gagasan

demokrasi sebagai kepanjangan dari konsep musyawarah.

Sebelum membedah pemikiran mereka mengenai syûrâ dan

demokrasi, acuan penulis adalah prinsip-prinsip yang menjadi

dasar Islam dalam mengadopsi sebuah konsep yang dianggap

masuk dalam standar konsep keislaman adalah prinsip keadilan,

30

Muhammad Mutawalli As-Sya’rawî, Tafsîr As-Sya’rawî: Khawâtîr

Haul Al-Qurân, Akhbâr Al-Yaum. Kairo. Juz 3,hlm 1249.

Page 196: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

171

kebebasan, ketaatan, persamaan dan musyawarah, adapun tokoh-

tokohnya yaitu :

a. Al-Maudûdî, dilahirkan pada 1903 M dan

wafat pada tahun 1979 M31

. Ia mengarahkan

diskusi mengenai syûrâ dalam kitabnya ke

dalam surat as-Syûrâ ayat 38. Penafsirannya

atas ayat al-Qurân tersebut dikategorikan

sangat politis32

. Al-Maudûdî cenderung

kepada sebuah pendapat yang mengatakan

bahwa syûrâ merupakan sebuah kewajiban

untuk kaum beriman, bahkan ia mengatakan

pengindahan terhadap konsep syûrâ

merupakan sebuah penyelewengan atas hukum

yang sudah dititahkan oleh Tuhan. Ia

mendasari argumen atas pendapatnya tersebut

dengan pandangan; Pertama, ia menjelaskan

bahwa keputusan satu orang merupakan

bentuk dari sebuah ketidakadilan saat

berhubungan dengan kepentingan umum.

Kedua, ia menjelaskan bahwa keputusan yang

hanya melibatkan satu orang saja merupakan

sebuah kesewenang-wenangan dan gambaran

nyata dari degradai moral yang sangat

menjijikan. Ketiga, memberi sebuah

31

Barsihannor, Pemikiran Abû Al-A’lâ Al-Maudûdî, UIN Alauddin:

Jurnal Abadiyah Volume. XIII, 2/2013, hlm. 139. 32

Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm. 254.

Page 197: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

172

keputusan ataupun kebijakan mengenai hal-hal

besar yang menyangkut kepentingan umum

adalah sebuah hal penting, oleh karena itu

harus ditentukan melalui proses

musyawarah33

.

Saat al-Maudûdî menolak mengatakan

bahwa demokrasi adalah bagian dari sistem

syûrâ, ia menjelaskan bahwa penerimaan umat

Islam akan demokrasi meupakan sebuah

kemunduran yang dialami muslim setelah ada

teori yang jelas dari sunni pra modern terkait

demokrasi. Menurutnya, setiap konsepsi Islam

mengenai demokrasi menjadi antitesis dengan

demokrasi barat yang sekuler, yang berusaha

mentransfer kedaulatan Tuhan berpindah ke

tangan rakyat34

.

Menurut penulis, demokrasi yang ada saat itu tidak

seperti demokrasi masa sekarang yang banyak

mengakomodir nilai–nilai atau budaya dari suatau daerah,

dimana hal itu berarti demokrasi telah mampu

menjembatani kekurangan–kekurangan yang belum ada di

masa Maudûdî, terlebih masalah mengenai kedaulatan yang

ia anggap berpindah dari tangan Tuhan menuju rakyat,

33

Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm. 254. 34

Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm.257.

Page 198: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

173

namun dalam demokrasi terkini, anggapan tersebut dapat

disangkal dengan adanya prinsip dan nilai demokrasi yang

jua mengusung ide musyawarah dan pemerintah yang

berdasarkan hukum.

b. Syaikh Ahmad Tayyib, dalam sebuah

pernyataannya yang dikeluarkan pada tahun

2011, mengenai maqâsid al-asyarî’ah, salah

satu poinnya menyatakan untuk

mempraktikan demokrasi, ia menganggap

bahwa demokrasi melindungi martabat semua

pihak. Syaikh menentang kepada yang

mengatakan bahwa demokrasi akan

menimbulkan permasalahan sosial35

. Hal ini

selaras dengan prinsip demokrasi yang

mengedepankan pembangunan ekonomi dan

menjunjung tinggi status masyarakat serta

berusaha mengatasi permasalahan–

permasalahan sosial dengan landasan

penegakan hukum yang seadil-adilnya.

c. Muhammad ‘Imârah, Seorang pemikir Mesir

mengatakan bahwa syûrâ adalah sebuah

konsep yang sebentuk dengan demokrasi. Ia

mengatakan bahwa seorang pemimpin

seharusnya diangkat, diawasi dan diturunkan

35

Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm.257.

Page 199: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

174

apabila tidak menjalankan tugas–tugasnya36

.

Hal ini menegaskan bahwa ia sepakat dengan

keterlibatan rakyat dalam proses menentukan

kebijakan, hal ini juga selaras dengan nilai

syûrâ yang mengusung proses musyawarah

dan pembentukan ahlu al-halli wa al-‘aqdi

dalam perkembangannya.

d. Hasan Turabi Ia menjelaskan bahwa syûrâ

bukanlah persamaan dari demokrasi, baik

secara konseptual atau praktikal. Namun lebih

lanjut, dia berpendapat bahwa pemikir muslim

seharusnya mengaitkannya kembali kepada al-

Qurân dan Sunnah sebagai fondasi. Ia

membuat perbedaan antara empat jenis syûrâ;

pertama, syûrâ universal, merupakan bentuk

syûrâ yang paling tinggi dan kuat, misalnya,

dalam berbagai referendum dan pemilihan

umum, jenis syûrâ semacam ini baginya

semacam konsensus di dalam sebuah bangsa

yang terikat secara hukum, sepanjang tidak

bertentangan dengan al-Qurân dan Sunnah.

Kedua, syûrâ yang di dasarkan pada

perwakilan rakyat di pemerintahan. Ketiga,

syûrâ yang di dasarkan oleh para ahli.

Keempat, syûrâ yang didasarkan pada jajak

36

Abdullah Saeed, Al-Qurân Abad 21, hlm.258.

Page 200: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

175

pendapat37

. Dalam analisa penulis, apa yang

disampaikan olehnya sebenarnya untuk

menjelaskan bahwa secara sumber dan

pengertian, demokrasi dan syûrâ merupakan

hal yang berbeda, namun dalam beberapa teori

dan praktik, ada banyak nila–nilai syûrâ yang

terintegrasi dengan sistem demokrasi, seperti

yang telah ia jelaskan dalam syûrâ universal,

bahwa demokrasi dalam teori dan praktiknya

pun mengusung syûrâ universal tersebut,

dengan catatan, hukum yang mengikat

tersebut bagi para negara praktisi demokrasi

yang non muslim kadang bertentangan dengan

al-Qurân dan Sunnah, namun sebaliknya, para

praktisi demokrasi dalam negara yang

mayoritas muslim, punya kewenangan untuk

menyelaraskan hukum pengikat dengan nilai

al-Qurân dan Sunnah, dengan prinsip

keterwakilan rakyat di dalam pemerintahan,

yang dijelaskan oleh Hasan Turabi pada

klasifikasi di atas.

e. Sadek. J. Sulaiman, seorang sarjana Oman, ia

mengatakan bahwa demorasi dan syûrâ adalah

sinonim dalam hal konsep dan prinsip.

37

Hasan Turabi, Nazrât fî al-fiqh al-Siyâsî , Um Al-Fahim: Markaz

al-Dirasat Al-Mu’asirah, 1997, hlm. 117 – 118.

Page 201: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

176

Meskipun dia juga menambahkan bahwa, ada

kemungkinan keduanya berbeda dalam

bagaimana konsep tersebut dilaksanakan.

Dalam catatanya yang penulis anggap paling

penting adalah kesamaan antara syûrâ dan

demokrasi terletak pada pernyataan bahwa

keduanya sama–sama menolak akan

pemerintahan yang tidak mempunyai

legitimasi dari pemilihan umum yang bebas,

bertanggung jawab dan kekuatan rakyat38

.

Dan jelas bahwa, gagasan-gagasannya

mengenai syûrâ dan demokrasi selaras dengan

prinsip demokrasi yang juga menentang

bentuk pemerintahan yang otoriter.

f. Abû al-Kalâm Azad, ia mengidentifikasikan

kompabilitas antara demokrasi dan

musyawarah, yang merupakan konsep–konsep

syûrâ yang utama. Ia menjelaskan bahwa

kualitas atau sifat terbaik umat Islam adalah

tendensi mereka untuk saling bermusyawarah.

Dia menjelaskan bahwa Nabi Muhammad

sendiri terbiasa bermusyawarah dengan para

sahabatnya mengenai masalah–masalah yang

berkaitan dengan negara dan tata kelolanya39

.

38

Hasan Turabi, Nazrât fî al-fiqh al-Siyâsî, hlm. 260. 39

Mawla Abû al-Kalâm Azad, Tarjaman Al-Qurân, New Delhi:

Sahitya Academy, 1966, hlm. 334 – 335.

Page 202: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

177

Bagi penulis, hal ini tentu selaras dengan

prinsip syûrâ dan demokrasi yang sudah

penulis jelaskan sebelumnya yaitu

musyawarah, keberadaan ide musyawarah

dalam praktek demokrasi terdapat pada

kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi,

prinsip yang menyatu antara demokrasi dan

musyawarah terletak pada bagian dimana

usulan atau pendapat yang dikemukakan tidak

bersifat dan mengikat secara pasti.

Integrasi syûrâ dan demokrasi dalam pandangan

Islam kontemporer :

No Syûrâ Demokrasi Integrasi

1

Para pemikir

kontemporer

sepakat bahwa

syûrâ dapat

berkembang dan

mengadopsi

beberapa

ideologi lain

dengan syarat

mempunyai

spirit dan filosofi

yang sama

Demokrasi

merupakan bagian

dari sistem syûrâ,

dengan syarat

mampu

berkembang dan

melebur dengan

ketentuan-

ketentuan prinsipil

dalam Islam

Keduanya dalam

prakteknya

mampu melebur

dalam sebuah

kearifan lokal

dengan tetap

memegang

prinsip

filosofinya yang

saling terintegrasi

2

Musyawarah

adalah hal yang

berorientasi pada

sebuah

kesepakatan

untuk menuju

Demokrasi

berorientasi pada

sebuah kebijakan

bersama yang

didasari keadalian,

tranparansi dan

Keduanya sama-

sama berorientasi

pada hal yang

bertujuan untuk

kemajuan

bersama dengan

Page 203: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

178

kebaikan dengan

proses yang

melibatkan

seluruh unsur

negara

kekuatan rakyat,

yang oleh sebagian

Ulama dipahami

sebagai kehendak

Tuhan, dikarenakan

rakayat merupakan

jumlah mayoritas

didasari prinsip-

prinsip yang

selaras

3

Syûrâ dalam

pemerintahan

secara umum

bertujuan untuk

membangun

sebuah

peradaban yang

lebih baik

dengan

pembahasan

yang meliputi

kemajuan

ekonomi, sosial

dan keamanan

Demokrasi

dianggap selaras

dengan syûrâ

dengan sebuah asas

yang melekat di

dalamnya yaitu

mengenai

kestabilan

pemerintahan

dalam ranaha

sosial, ekonomi,

keamanan dan

kebebasan

berpendapat

warganya dijamin

oleh hukum

Dalam syûrâ dan

demokrasi sama-

samabertujuan

membangun

struktur sosial,

ekonomi dan

menjamin

keamanan

rakyatnya

4

Terdapat prinsip

pengawasan

kepada

pemerintah

untuk

menjalankan

pemerintahan

dengan baik dan

mampu

memberhentikan

pemeirntahan

dengan sebuah

lemabaga

perwakilan dari

rakyat

Rakyat sebagai

sentral dalam

sebuah

pemerintahan

negara, dalam

prakteknya fungsi

rakyat tidak jauh

sebagai unsur

negara yang

mampu untuk

mengontrol

pemerintahan

Sama-sama

menempatkan

rakyat sebagai

pengontrol

pemerintahan,

meskipun dengan

mekanisme yang

berbeda

Page 204: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

179

5

Dalam proses

pemilihan

pemimpin tidak

harus ditentukan

oleh lembaga

ahlu al-halli wa al-‘aqdi, melainkan

menerima

mekanisme-

mekanisme lain

yang masih

selaras dengan

prinsip

kemaslahatan

bersama dan

tidak melanggar

teks agama

Menggunakan

Pemilihan Umum,

baik langsung

ataupun tidak

langsung untuk

mengangkat

pemimpin

Sama-sama

memilih

pemimpin dengan

melibatkan rakyat

untuk menjadi

penguasa

6

Muncul beberapa

alternatif dalam

konsep syûrâ,

artinya dalam

menentukan

sebuah kebijakan

atau menentukan

pemimpin, bisa

dilakukan

dengan berbagai

cara yang diikuti

oleh semua unsur

negara, atau

hanya

perwakilan dari

masing-masing

unsur tersebut

dengan syarat

harus selaras

dengan al-Quran

dan Hadîs

Demokrasi di

negara-negara

muslim menjalani

proses

pengangkatan

pemimpin dengan

langsung yang

melibatkan seluruh

unsur negara,

kecuali beberapa

lembaga yang

diharuskan netral,

ataupun secara

tidak langsung

yang dipilih

melalui lembaga

perwakilan, adapun

dalam proses

menentukan

kebijakan,

demokrasi

Dalam syûrâ dan

demokrasi sama-

sama mempunyai

alternatif dalam

proses

pengangkatan

pemimpin

ataupun

menentukan

kebijakan negara

yang berorientasi

untuk

kemaslahatan

bersama

Page 205: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

180

melakukan proses

musyawarah yang

melibatakan

seluruh unsur

negara dalam

sebuah sidang, atau

jajak pendapat yang

melibatakan

seluruh komponen

negara secara

langsung

7

Menolak

pemerintahan

yang tidak

mempunyai

legitimasi dari

pemilihan yang

tanpa paksaan,

bertanggung

jawab dan tidak

berasal dari

keterlibatan

berbagai elemen

negara termasuk

rakyat dan

menolak

pemerintahan

yang zâlim

Tidak menerima

pemerintahan tanpa

legitimasi yang

bersumber dari

rakyat dan tanpa

asas jujur dan adil

dalam proses

pelaksanaannya,

juga menolak

bentuk

pemerintahan yang

otoriter

Sama-sama

mensyaratkan

pemerintahan

yang sah dengan

asas kejujuran,

keadilan dan

keterbukaan dan

juga menolak

sebuah

pemerintahan

yang sewenang-

wenang

D. Syûrâ dan Demokrasi Dilihat Dari Prinsip Keduanya

Pembahasan mengenai prinsip demokrasi dan syûrâ

menjadi sebuah hal yang sangat penting mengingat tolok ukur

kesuksesan negara dilihat dari seberapa kuat negara tersebut

menerapkan prinsip-prinsipnya. Oleh kiranya perlu bagi penulis

Page 206: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

181

menjelaskan beberapa prinsip–prinsip keduanya yang berlaku

secara umum :

a. Syûrâ dalam prinsipnya, bisa dipahami dengan sebuah

upaya untuk membentuk negara yang mempunyai

pemerintahan yang penuh dengan tanggung jawab bersama,

juga menekankan adanya tindak pengawasan untuk

menjaga penguasa dari berbuat sewenang-wenang, ataupun

penyalahgunaan kekuasaan dari sebuah pengawasan yang

dilakukan oleh rakyat dalam penentuan kebijakan, karena

pada dasarnya, pemerintah mempunyai kekuasaan yang

evaluatif dalam hal-hal yang menyangkut tata kelola

pemerintahan secara luas, sehingga apabila tidak diawasi

dengan pengawasan yang berkesinambungan maka akan

mengabaikan prinsip ataupun kedudukan musyawarah40

,

dalam hal ini demokrasi juga mengusung prinsip yang

mampu untuk melaksanakan keinginan ataupun maksud

dari syûrâ secara lebih detail, yaitu mencoba untuk

mengontrol pemerintahan dengan :

1) Melakukan pergantian pemimpin secara teratur dalam

waktu–waktu yang telah ditentukan.

2) Adanya pengakuan dari keanekaragaman dalam

berbangsa dan bernegara, keberagaman yang masih

dalam keragka persatuan dan kesatuan berbangsa dan

40

Farid Abdul Khaliq, Fikih politik Islam, Jakarta: Kreasindo Media

Cita, 2005, hlm.39.

Page 207: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

182

bernegara, hal ini juga sesuai dengan nilai persatuan dan

kesatuan yang diusung pemerintahan Islam.

3) Menjamin tegaknya keadilan.

b. Syûrâ menjadi salah satu prinsip yang terus dipegang

umat Islam dalam menjalankan pemerintahan secara

konstitusional41

. Dalam kaitanya mengatur sistem

pemerintahan, Islam menganggap bahwa ada unsur hak-

hak Allah yang harus dilibatkan dalam setiap keputusan

poitik, hak-hak itu menjadi semacam prinsip

konstitusional dalam berpolitik dan bernegara42

. Adapun

dalil-dalil prinsip konstitusional Islam yang pertama

adalah al-Qurân, Kemudian dalil selanjutnya adalah

Sunnah, hadis yang menjelaskan mengenai prinsip-prinsip

konstitusional terdapat begitu banyak43

. Musyawarah

dianggap oleh sebagian Ulama berada pada ruang lingkup

yang terdapat pada hal-hal yang tidak terkait dengan

teks. Lalu bagaimana dengan demokrasi?, meski

demokrasi tidak sekalipun disebut di dalam al-Qurân

secara eksplisit, namun bukan berarti Islam secara mutlak

menolak demokrasi sebagai sistem pemerintahan dalam

sebuah negara, terdapat nilai kejujuran, keadilan,

keterbukaan dan ketaatan pada sebuah kepemimpinan

41

Farid Abdul Khaliq, Fikih politik Islam, hlm. 1. 42

Farid Abdul Khaliq, Fikih politik Islam, hlm. 1. 43

Farid Abdul Khaliq, Fikih politik Islam, hlm. 3.

Page 208: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

183

yang sah yang sama persis dengan prinsip syûrâ dalam

Islam.

c. Poin inti dalam proses musyawarah adalah melakukannya

bersama dengan para ahli dan tidak melakukan hal-hal

lain di luar musyawarah tersebut. Dari sini dapat

diketahui bahwa musyawarah merupakan dasar dalam

pengaturan urusan publik dan sistem hukum. Asas dalam

musyawarah adalah menjamin kebebasan sempurna

dalam mengutarakan pendapat, selagi tidak melanggar

batas-batas akidah atau ibadah44

. Sesuai dengan faktor

kemunculan pertama demokrasi yang mengarah kepada

kepada ide atau sistem yang tertanam dalam sebuah

negara. Dalam upaya untuk menyatakan pendapat di

muka umum, baik dalam bentuk lisan ataupun tulisan,

maka negara perlu untuk menjamin kebebasan di

dalamnya. Kebebasan rakyat untuk menyatakan pendapat

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan

syarat yang harus dipenuhi oleh negara yang menuju

untuk menjadi negara demokratis dan selaras dengan

nilai–nilai Islam.

Dimulai dari abad ke 20, umat Islam mengkaji ulang

konsep syûrâ dengan pertimbangan–pertimbangan yang

membuat para sarjana muslim kontemporer menerima sistem

demokrasi sebagai salah satu alternatif untuk melanggengkan

44

Imam Muhammad Syaltut, Al-Islam ‘Aqidatan wa Syari’atan ,

Mesir: Dar As-Syuruq. 1966, hlm. 440.

Page 209: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

184

sistem syûrâ. Mereka mengkaji syûrâ dari sudut pandang politik,

ekonomi, sosial dan budaya yang berkembang dengan

pendekatan tafsir kontekstual. Integrasi prinsip syûrâ dan

demokrasi :

No Syûrâ Demokrasi Integrasi

1

Syûrâ dalam

prinsipnya, bisa

dipahami dalam

sebuah

pengertian, yaitu

upaya

membentuk

negara agar

mempunyai

pemerintahan

yang penuh

dengan tanggung

jawab bersama,

juga menekankan

akan adanya

tindak

pengawasan

untuk menjaga

penguasa dari

berbuat

sewenang-

wenang, dari

sebuah

pengawasan

melibatkan

rakyat sehingga

apabila tidak

diawasi dengan

pengawasan yang

berkesinambunga

Demokrasi

mengusung prinsip

untuk melaksanakan

keinginan ataupun

maksud dari syûrâ

secara lebih detail,

demokrasi mencoba

untuk mengontrol

pemerintahan

dengan :

- Melakukan

pergantian

pemimpin secara

teratur dalam

waktu–waktu yang

telah ditentukan.

- Adanya pengakuan

dari

keanekaragaman

dalam berbangsa

dan bernegara,

keberagaman yang

masih dalam

keragka persatuan

dan kesatuan

berbangsa dan

bernegara, hal ini

juga sesuai dengan

nilai persatuan dan

Dalam

demokrasi

ataupun syûrâ

sama-sama

mengususng

sebuah prinsip

yang

menjunjung

tinggi

pemerintahan

yang

bertanggung

jawab dan

penuh tanggung

jawab dengan

sebuah

pengawasan

yang

melibatakan

rakyat, adapun

demokrasi

dalam

prakteknya,

mampu

menjabarkan

ide-ide syûrâ

dengan konsep

yang lebih

detail untuk

menjabarkan

Page 210: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

185

n maka akan

mengabaikan

prinsip ataupun

kedudukan

musyawarah

kesatuan yang

diusung

pemerintahan Islam.

- Menjamin tegaknya

keadilan.

prinsip syurâ

seperti;

pergantian

pemimpin

secara teratur,

unity in

diversity dan

jaminan untuk

tegaknya

keadilan

2

Syûrâ menjadi

salah satu prinsip

yang dipegang

umat Islam untuk

menjalankan

pemerintahan

secara

konstitusional.

Islam

menganggap

bahwa ada unsur

hak-hak Allah

yang terekam

dalam teks-teks

al-Qurân dan

Hadîs yang harus

dilibatkan dalam

setiap keputusan

poitik, hak-hak

itu menjadi

semacam prinsip

konstitusional

dalam berpolitik

dan bernegara,

namun

musyawarah

dianggap oleh

sebagian Ulama

berada pada

Meski demokrasi

tidak sekalipun

disebutkan di dalam

al-Qurân, namun

bukan berarti Islam

menolak demokrasi

sebagai sistem

pemerintahan dalam

sebuah negara,

terdapat nilai

kejujuran, keadilan,

keterbukaan dan

ketaatan pada sebuah

kepemimpinan yang

sah dengan paying

hukum, hal tersebut

sama persis dengan

prinsip syûrâ dalam

Islam.

Syûrâ dan

demokrasi

sama-sama

menjadi prinsip

yang dipegang

untuk

menjalankan

pemerintahan

secara

konstitusional,

keduanya

dalam

bernegara

berpegang

kepada hukum

yang mengatur

pola dan

mekanisme

pemerintahan

negara yang

telah disepakati

Page 211: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

186

ruang lingkup

yang terdapat

pada hal-hal yang

tidak terkait

dengan teks.

3

Poin inti dalam

proses

musyawarah

adalah

melakukannya

bersama dengan

para ahli dan

tidak melakukan

hal-hal lain di

luar musyawarah

tersebut. Asas

dalam

musyawarah

adalah menjamin

kebebasan

sempurna dalam

mengutarakan

pendapat, selagi

tidak melanggar

batas-batas

akidah atau

ibadah

Sesuai dengan faktor

kemunculan

demokrasi yang

mengarah kepada ide

atau sistem yang

tertanam dalam

sebuah negara.

Dalam upaya untuk

menyatakan

pendapat di muka

umum, baik dalam

bentuk lisan ataupun

tulisan, maka negara

perlu untuk

menjamin kebebasan

di dalamnya.

Kebebasan rakyat

untuk menyatakan

pendapat dalam

kehidupan berbangsa

dan bernegara

merupakan syarat

yang harus dipenuhi

oleh negara yang

bertujuan untuk

menjadi negara

demokratis dan

selaras dengan nilai–

nilai Islam.

Syurâ dan

demokrasi

menjamin

kebebasan

berpendapat,

untuk menuju

sebuah negara

baik, diperlukan

sebuah

kebebasan

berpendapat,

tentu kebebasan

tersebut

mengarah

kepada

kepentingan

negara secara

luas ataupun

parsial, dalam

hal ini sebuah

negara akan

dikatakan

sebagaisebuah

negara yang

demokratis dan

islami apabila

mampu untuk

menjamin

kebebasan

berpendapat

Page 212: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

187

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Syûrâ dianggap sebagai konsep utama dalam

pemerintahan Islam. Telah banyak ulama dari masa ke masa

yang menjelaskan mekanisme syûrâ, seperti halnya al-Mâwardî (

w. 450 H/1058 M ) dan al-Ghazâlî ( w. 505 H/1111 M ), apa

yang dilakukan oleh Ulama di zaman tersebut, tidak

menjabarkan konsep syûrâ ke dalam konstelasi politik di

kehidupan berbangsa dan bernegara bagi umat muslim pada saat

ini.

Menurut hemat penulis, perlu ada kajian ulang mengenai

konsep syûrâ, untuk direlevansikan dengan kondisi politik

masyarakat muslim di masa ini. Pada mulanya, sebelum penulis

melakukan kajian tafsir tematik yang berhubungan dengan ayat–

ayat syûrâ, penulis tertarik dengan perkembangan penafsiran

mengenai ayat–ayat syûrâ yang ada di dalam al-Qurân.

Pada masa–masa awal penafsirannya, para Ulama sepakat

untuk mengatakan bahwa syûrâ merupakan tema yang berasal

dari al-Qurân secara mutlak. Ia dijelaskan dan bahkan disebut

beberapa kali di dalam al-Qurân, adapun kata syûrâ, musyawarah

dan derivasinya al-Qurân terdapat empat bagian. Ayat- ayat al-

Qurâan yang menjelaskan secara eksplisit mengenai padanan

kata-kata tersebut pertama dimulai dari Surat al-Baqarah : 233,

Page 213: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

188

188

kemudian ali-‘Imran : 159, Maryam : 29 dan yang terakhir ada

pada surat as-Syûrâ : 38.

Bersumber dari empat ayat di atas yang secara khusus

membahas mengenai syûrâ, kemudian penulis beranjak

melakukan penelitian mengenai ayat–ayat syûrâ yang ada di

dalam al-Qurân, dalam penelitian ini, penulis berusaha

membuktikan dua hipotesa yaitu:

Pertama, pemahaman tafsir pra-modern atau tafsir

klasik terkait konsep syûrâ untuk konteks politik

negara muslim modern tidak relevan sepenuhnya,

karena dalam penelitian yang penulis dapatkan,

kebanyakan Ulama di zaman klasik tidak menjelaskan

syûrâ sebagai sebuah dasar sistem Negara, penulis

meneliti dalam kajian tafsir turâts ( tafsir klasik ),

tercatat hanya al-Qurtubî dan al-Mâwardî yang

menjelaskan syûrâ dalam konteks yang lebih luas,

yaitu ranah negara dan politik.

Menurut penulis, penjelasan Ulama klasik belum cukup

mewakili konstelasi politik saat ini yang sudah jauh berkembang

dalam hal teknis pelaksanaan syûrâ, seperti keberadaan DPR (

Dewan Perwakilan Rakyat ), yang juga pernah berfungsi sebagai

lembaga yang menentukan dalam proses pemilihan pemimpin

negara ataupun daerah, terlebih dengan munculnya sistem

demokrasi yang diadopsi oleh beberapa negara muslim dewasa

ini, namun tentu pemikiran cemerlang dari al-Qurtubî dan al-

Page 214: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

189

Mâwardî telah memberikan sumbangsih yang besar bagi dunia

politik Islam pada masa – masa setelahnya.

Kedua, adalah sistem demokrasi beserta prinsip-

prinsip di dalamnya mempunyai relasi dengan syûrâ.

Hal yang kemudian menjadi sebab perbandingan antara

demokrasi dan musyawarah adalah, karena keduanya merupakan

sebuah konsep tata kelola pemerintahan yang memang datang

dari dua sumber yang berbeda. Berawal dari hal tersebut,

kemudian muncul dikotomi di antara keduanya, syûrâ dianggap

mewakili Islam, sedangkan demokrasi mewakili Barat, sebagian

opini yang berkembang saat ini adalah perbedaan diametral,

keduanya di tempatkan untuk saling berhadap–hadapan sehingga

tidak bertemu titik persamaannya.

Berangkat dari fenomena di atas, penulis mencoba untuk

menjelaskan bahwa demokrasi dapat diamati dengan dua dimensi

yang saling menguatkan :

Pertama, yaitu dimensi epistimologi, yang dipahami

bahwa demokrasi merupakan sebuah ide

kebersamaan dalam upaya membentuk sebuah sistem

bernegara suatu masyarakat tertentu, yang kemudian

ia menjadi sebuah ilmu tatanegara yang

dikembangkan di Barat, guna mengatur kepentingan

kekuasaan secara bersama-sama dalam unsur utama

sebuah negara yaitu keterlibatan rakyat, hukum dan

penguasa terhadap berlangsungnya sebuah sistem dan

era pemerintahan.

Page 215: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

190

Kedua. yaitu dimensi praktek, di sini demokrasi

dipahami sebagai sebuah budaya, sehingga dalam

pelaksanaannya, demokrasi mampu untuk melebur

dan menjadi pondasi sistem pemerintahan dalam

sebuah negara. Tanpa mendahulukan demokrasi yang

dipahami sebagai sebuah budaya, maka aktualisasi

demokrasi dari sebuah ide menuju sebuah sistem yang

dilaksanakan akan mustahil untuk terwujud, hal itu

dikarenakan demokrasi akan terbatas pada hal-hal

teoritis dan bahkan terkungkung dari ide-ide atau

budaya demokrasi yang berasal dari Barat, yang

terkadang sama sekali berbeda dengan budaya Timur

atau yang lainnya, sehingga benturan-benturan yang

berakar dari perbedaan budaya akan sangat sukar

untuk ditolelir.

Penulis mencoba menjadikan Indonesia sebagai contoh

dalam penelitian ini yang mengusung konsep Pancasila sebagai

dasar ideologinya. Oleh karena itu, sebagai sebuah dasar ideologi

negara, Pancasila ditempatkan dalam pandangan bahwa ia adalah

dasar ideologi negara yang terbuka dalam menerima konsep

terhadap sistem negara yaitu konsep demokrasi. Dalam

menempatkan Pancasila sebagai sebuah dasar ideologi negara

yang besifat terbuka, kita harus melakukan langkah coba dan

gagal ( try and error ), yang berfungsi untuk membuka

kemungkinan–kemungkinan terbaik untuk diterapkan di dalam

negara Indonesia, baik dalam hal tatanan pemerintahan ataupun

Page 216: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

191

yang bersinggungan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan

budaya. Menurut hemat penulis, keterbukaan Pancasila sebagai

ideologi negara yang mempunyai filter melalui karakter bangsa

menjadi sebuah ‚rem‛ agar tidak terjadi penyimpangan budaya.

Dengan masuk melalui pemahaman bahwa demokrasi

merupakan budaya, yang berarti demokrasi adalah sebuah sistem

pemerintahan negara yang muncul dan berkembang dari tempat

di mana demokrasi itu dilaksanakan, dan kita juga harus sepakat

untuk bersama–sama menerima, bahwa demokrasi merupakan

sebuah sistem pemerintahan yang mengusung nilai–nilai yang

juga menjadi spirit dari syûrâ itu sendiri.

B. Saran dan Rekomendasi Penelitian Lanjutan

Ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan kepada

para pembaca studi syûrâ dan demokrasi, juga para peneliti

selanjutnya yang berkeinginan untuk meneliti syûrâ dan

demokrasi :

1. Syûrâ dalam prakteknya dewasa ini telah berkembang

menjadi konsep utama sistem pemerintahan Islam, dimana

hal yang paling diusung olehnya adalah proses

musyawarah, untuk menuju sebuah pemerintahan yang

penuh dengan nilai–nilai luhur al-Qurân, seperti keadilan,

kemakmuran, keterbukaan, kesejahteraan dan prinsip–

prinsip persamaan hak dan kewajiban, oleh karena itu,

keberadaan proses musyawarah dalam sebuah negara

muslim—negara yang mengusung nilai–nilai keislaman

Page 217: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

192

atau negara dengan mayoritas penduduknya adalah

muslim— merupakan keharusan.

2. Penerapan syûrâ dalam sebuah negara muslim sebagai

sebuah konsep pemerintahan harus dipahami sebagai hal

yang ijtihâdi, hal itu berarti penerapan syûrâ dalam sebuah

negara berkonsekuensi bahwa ia juga harus menerima ide

atau konsep lain yang lebih berguna untuk membangun

sebuah peradaban kemanusiaan yang lebih baik, seperti

nilai–nilai atau prinsip demokrasi.

3. Kajian tafsir tematik dan juga penelitian terhadap konsep

demokrasi yang penulis lakukan membuktikan bahwa,

adanya nilai–nilai syûrâ yang terdapat dalam konsep

negara demokrasi, hal itu menunjukan adanya integrasi

antara konsep demokrasi dengan nilai–nilai syûrâ, yang

keduanya harus saling dikuatkan bagi negara yang saat ini

sedang menjalankan konsep negara demokrasi.

4. Perbedaan yang paling mendasar antara konsep demokrasi

dan konsep syûrâ adalah pada tataran pengertian

etimologis dan terminologis, pada tahap prinsip dan

implementasi, keduanya merupakan hal yang saling

berintegrasi, bahkan sebagian kalangan pemikir

kontemporer mengatakan keduanya merupakan satu

kesatuan teori, oleh karena itu, upaya integrasi konsep

demokrasi dengan nilai–nilai syûrâ harus sampai pada

pembahasan prinsip nilai dan implementasi.

Page 218: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

193

5. Indonesia sebagai sebuah negara yang mengusung konsep

demokrasi, namun dalam ideologi kenegaraannya tetap

mengusung nilai–nilai Islam, yang tertuang dalam

Pancasila dan UUD, untuk negara–negara yang

berpemahaman bahwa syu>ra> dan demokrasi adalah dua

konsep negara yang saling berintegrasi, maka sangat layak

untuk mencontoh penerepan keduanya seperti di Indonesia.

Untuk para pengkaji studi syûrâ dan demokrasi

selanjutnya, penulis memberikan beberapa rekomendasi yaitu :

1. Meneliti negara–negara pengusung konsep demokrasi,

kemudian membuat analisa mengenai implementasi

demokrasi dalam negara tersebut apakah terintegrasi

dengan konsep syûrâ?

2. Membuktikan bahwa negara demokratis adalah negara

ideal yang dimaksud di dalam Islam, atau oleh bahasa al-

Qurân dikenal dengan baldatun thayyibatun wa rabbun

ghafûr.

3. Membuktikan bahwa konsep demokrasi merupakan konsep

negara yang paling dekat secara prkatek dengan nilai–nilai

syûrâ ketimbang konsep–konsep negara yang lain yang

telah digunakan di negara–negara Islam di zaman dulu atau

yang saat ini masih bertahan.

Page 219: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

194

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna. Penerjemah: Wahib Wahab. Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogya, 1999.

Abdul Baqi, Muhammad Fuad. Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Faz Al-Qurân . Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Abul Majdi . Ahmad Kamal. Hiwâr lâ Muwâjahah. Kairo : Dar

As-Syuruq, 1988.

Ahmad ,Mumtaz (ed). State, Politics, and Islam. Indianapolis :

American Trust Publication, 1986.

Al-‘Asqalânî, Ibnu Hajar. Fathu Al-Bârî Syarhu As-Sahîh Al-Bukhârî. Dâr Al-Ma’rifah. Beirut. 1379 H.

Al-Alusî, Mahmûd, Rûh Al-Ma’ânî fi At-Tafsîr As-Sab’I Al- Matsânî. Dâr Al-Hadîts. Kairo. 2005.

Al-Ansâri Al-Qurtubî, Abû Abdillah Muhammad bin Ahmad. Al Jâmi’ Liahkâm Al-Qurân. Kairo: Maktabah Dar Al Hadis,

1994.

Al-Asfahânî, Ar-Râghib. Al-Mufradât Fî Gharîb Al-Qurân. Dâr

Al-Kutub Al-„Arabî, Mesir. 1972,

Al-Awa, Muhammad Salim. Fî An-Nizâm As Siyasi li Ad Daulah Al Islamiyah. Kairo: Dar Syuruq Ad-Dauliyah,

1975.

‘Audah, ‘Abdu Al-Qâdir. Al-Islâm wa Awdâ’una As-Siyâsah.

Kairo: Al-Mukhtar Al-Islam, 1978.

At-Tabarî, Abu Ja’far Ibn Jarir. Jâmi’u Al-Bayân ‘An Takwîl Al-Qurân Tafsîr At-Tabarî. Kairo: Dar Al Hadis, 2010 .

Azad, Mawla Abû al-Kalâm. Tarjaman Al-Qurân. New Delhi:

Sahitya Academy, 1966.

Page 220: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

195

Azhari, Muhammad Tahir. Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta : Prenada Media, 2004.

Al-Bahnasawi, Salim. Makânatul Mar’ah Bainal Islam wal Qawânîn Al-‘Âlamiyah, Darul Al-Wafâ. 2003.

Al-Baidâwî, Al-Qâdî, Anwâr At-Tanzîl wa Asrâr At-Takwîl, Maktabah Al-Usûlî. Damanhûr. 1418 H..

Barsihannor. Pemikiran Abû Al-A‟lâ Al-Maudûdî. UIN Alauddin:

Jurnal Abadiyah. Volume. XIII, 2/2013.

Al-Mâwardî. Al-Ahka>m As-Sultâniyyah. Indonesia: Al

Haramain Jaya, 2001.

Budiman, Arief. Jalan Demokratis Ke Sosialis. Pustaka Sinar

Harapan. Jakarta: 1987.

Busroh, Abu Daud, Ilmu Negara. BumiAksara. Jakarta. 2010.

Departemen Agama, RI. Al-Qurân dan Terjemahanya, Al-

Jumanatu Al-‘Ali, Bandung, 2007.

Efendi, Muhajir. Masyarakat Equiblirium . Yogyakarta: Bintang

Budaya, 2002.

Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta : Paramadina, 1998.

Elmansyah, Kuliah Ilmu Kalam Formula Meluruskan Keyakinan Umat di EraDigital..IAIN Pontianak Press. Pontianak.

2017.

Fâris , Ibnu. Mu’jam Maqâyis fî Al-Lughah. Beirut: Dar al-Ihya

al-Turas al‘Arabi 2001.

Page 221: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

196

Geertz, Clifford, Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology. Basic Books. New York.

1993.

Ghofur, Syaiful Amin. Profil Para Mufasir Al-Qur'an.

Pustaka Insan Madani. Yogyakarta. 2008.

Al-Ghulayyîni, As-Syaikh Musthafa. Jâmi’u Ad-Durûs Al- ‘Arabiyah, Beirut : Al-Maktabah Al ‘Ashriyah. 1984.

Al-Gorshy, Salah Eldeen. Deepening Democracy: A New Mission ahead of Islamic Thought. Al Arabi, 1997.

Haitami, Ramadhan Muhammad. Al-Mursyid Al-Hâdi fi Usul Al-Fiqh Al-Islâmi, Kairo: Maktabah Al-Azhar. 2010.

Hamawi, Subhi. Al-Munjid fî al-Lughah al-‘Arabiyah al-Mu’âshirah. Beirut: Dar Al-Masyriq. 2000.

Haryatmoko. Etika Politik dan Kebebasan. Jakarta: Kompas,

2003.

Hasan, Fuad, Bab Pengantar, dalam Plato, Apologia: Pidato Socrates yang Diabadikan Plato. Bulan-Bintang.

Jakarta.1986.

Held, David. Demokrasi dan Tatanan Global; Dari Negara Modern Hingga Pemerintahan Kosmopolitan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Ibnu „Âsyûr, At-Tâhir. At-Tahrîr wa At-Tanwîr. Tunisia: Ad-Dâr

At-Tûnisiyyah. 1984.

Ibrâhîm, Sayyid Qutb. Fî Zilâli Al-Qurân. Kairo: Dar As-Syûrûq

1978.

Idris, Saifullah. Islam dan Demokrasi; Respon Umat Islam Indonesia Terhadap Demokrasi. Al-Fikr: Jurnal

Pemikiran Islam. 1 September, 2011.

Page 222: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

197

Al-Jâwî, Syekh An-Nawawî, Marah Labîd. Maktabah Karya

Tâhâ Putera. Semarang. Tt.

Jindan, Khalid Ibrahim. Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taymiyah tentang Pemerintahan Islam, terj. Masrohin.

Surabaya: Risalah Gusti, 1995.

Jurnal CITA HUKUM VOL. I NO. 2 DESEMBER 2013

Diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta bekerjasama dengan Pusat Studi Konstitusi dan

Legislasi Nasional (POSKO-LEGNAS) UIN Jakarta.

Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik. Jakarta :

Perpustakaan Nasional, 2013.

Katsîr, Ibnu. Tafsîr Al-Qurân Al-„Azim. Maktabah Dâr At-

Tayyibah. Kairo. 1999.

Al-Khâliq, Abdurrahmân Abdu. As-Syûrâ fî Zilli al-Hukmi Al-

Islâmi. Kuwait: Dar Al-Qalam. 1997.

Khaliq, Farid Abdul. Judul Asli Fî Al-Fiqh Al-Islâmî Mabâdi’ Dustûriyyah As-Syûrâ Al-‘Adl Al-Musa>wah, Dâr As-Syurûq, penerjemah Faturahman A.Hamid, Lc. Jakarta:

Penerbit Amzah, 2005.

Lajnah Min Qismi Ad-Da’wah Kairo, Dirâsât fî An-Nudzum Al- Islâmiyah, Kairo: Maktabah Rasywan. 2012.

Mas’ud, Mohtar. Negara Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1991.

Al-Mâwardî. Al-Ahkâm As-Sultâniyyah, Indonesia: Al

Haramain Jaya . 2001.

MD, Moh. Mahfud. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo, 2010.

Page 223: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

198

Al-Munawar, Said Agil Husin. Fikih Siayasah dalam Konteks Perubahan Menuju Masyarakat Madani. Jurnal Ilmu

Sosial Keagamaan. Vol.1, No. 1, Juni 1999.

Mustofa, Kyai Bisyri. Al-Ibrîz Li Ma’rifti Al-Qurân Al-‘Aziz bi Al-Lughah Al-Jawiyah. Wonosobo: Lembaga Kajian

Strategis ( LKS ), 2013.

Nafis, Muhammad Wahyuni dkk, (ed).,‚Konteksrtualisasi Ajaran Islam: 70 tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA.‛ Jakarta: Paramadina, 1995.

Nasution , Adnan Buyung. Demokrasi konstitusional, editor : Tri

Agung Kristianto. Jakarta: Kompas ISBN, 2010.

Penyusun ,Tim. Pedoman Penulisan, Skripsi, Tesis, Disertasi. Jakarta: UIN Jakarta, 2000.

Powell, Gabriel A. Almond dan G. Bingham, Jr., Comprative Politics. Little and Brown Company; Boston dan

Toronto. 1978.

Qardâwy, Yusuf . Fiqih Negara. Jakarta: Robbani Press, 1997.

Ar-Râzî As-Syâfi’î, Al-Imâm Fakhru Ad-Dîn Muhammad bin

‘Umar bin Husain bin Hasan bin ‘Ali At-Tamîmî Al-

Bakri. At-Tafsîr Al-Kabîr au Mafâtîhu Al-Ghaib. Kairo: Al-Maktabah At-Taufîqiyah, 2003.

Ridâ, Rasyîd. Tafsîr Al-Manâr, Al-Hai´ah Al-Misriyah Al-

„Âmmah li Al-Kitâb: Kairo. 1990.

Rozak, A. Ubaedillah. dan Abdul. Pendidikan Kewarganegaraan Edisi Ketiga : Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta :Penerbit Prenada Media

Group , 2008.

As-Sabûnî, ‘Alî, Safwah At-Tafâsîr, Maktabah At-Taufiqiyyah.

Mesir.2009.

Page 224: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

199

As-Sya’rawî, Muhammad Mutawalli. Tafsîr As-Sya’rawî: Khawâtîr Haul Al-Qurân. Akhbâr Al-Yaum: Kairo. 1411

H/1991 M.

Saeed, Abdullah. Al-Qurân Abad 21: Tafsir Kontekstual. Penerjemah, Evan Nurtawab; editor, Ahmad Baiquni.

Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah Volume 12. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat Kajian sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001).

Sukardja, Ahmad dan Ahmad Sudirman Abbas. Demokrasi dalam Perspektiif Islam : Studi Perbandingan Antara Konsep Syura dan Demokrasi Barat dalam Kaitannya Dengan Demokrasi Pancasila. Jakarta : Pedoman Ilmu

Jaya, 2005.

Sulisworo, Dwi. Dkk. Hibah Materi Pembelajaran Non Konvensional ‚Demokrasi‛. Universitas Ahmad Dahlan.

Yogyakarta: 2012.

Syadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara; Ajaran dan Sejarah Pemikirannya. Jakarta: UI = Press, 1993.

Syaltut, Imâm Muhammad. Al-Islâm ‘Aqîdatan wa Syarî’atan .

Mesir : Dâr As-Syurûq, 1966.

As-Syâwî, Taufîq Muhammad. Fiqhu as-Syûrâ Wal Istisyârat. Penerjemah Djamaludin. Jakarta: Gema Insani Press,

1997.

Titus, Harold H. et.al. Persoalan-persoalan Filsafat. Penerjemah:

H. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Turabi, Hasan. Nazrât fî Al-fiqh Al-Siyâsî. Um al-Fahim:

Markaz al-Dirâsat al-Mu’âsirah, 1997.

Page 225: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

200

Umar, Nasaruddin. ‚Kata Pengantar Editor‛ dalam Abd. Muin

Salim. Fikih Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qurân. Jakarta: LSIK, 1994.

„Utbah, Abdurrahmân. Mausû‟ah Al-Masâdir wa Al-Marâji‟.

Syiria : Maktabah Al-„Arabiyah. 2007.

Wilujeng, Sri Rahayu. Meningkatkan Kualitas Kehidupan Berbangsa Melalui Budaya Demokrasi. Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Diponegoro: HUMANIKA Vol. 19

No. 1. 2014.

Zakariya, Abû Al-Husein Ahmad bin Fâris bin. Mu‟jam Al-

Maqâyîs Al-Lughah. Beirut: Dar Al-Fikr. 1981.

Az-Zamakhsayari. Al-Kasyâf ‘An Haqâiqi At-Tanzîl wa ‘Uyûni Al-Aqâwîl fî Wujûhi At-Takwîl . Mesir: Maktabah

Mashr, 2000.

Zuhraini. Islam: Negara, Demokrasi, Hukum dan Politik. ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Volume 14, Nomor

1, Juni 2014.

Page 226: SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51542...SYÛRÂ DALAM AL-QURÂN DAN INTEGRASINYA DENGAN DEMOKRASI : Studi Tafsir Klasik

201

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Attabik Hasan Ma’ruf lahir di desa

Parakancanggah, Banjarnegara Jawa

Tengah, tepatnya pada tanggal 16

Desember 1989. Riwayat pendidikan

penulis, RA Al-Fatah 1992-1995, MI Al-Fatah1995-2002, MTs

Al-Fatah 2002-2005 kemudian melanjutkan pendidikan

Madrasah Aliyahnya di MAKN Yogyakarta I 2005-2008. Setelah

lulus Aliyah, penulis melanjutkan pengembaraan studinya ke

negeri seribu menara Mesir, untuk melanjutkan kuliah di

Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dari tahun 2009-2014. Lalu

penulis melanjutkan pendidikan S2 di Magister UIN Jakarta

2016-2020.

Selama menjalani studi sampai sekarang, penulis aktif di

berbagai organisasi sekolah, kampus dan organisasi afiliatif.

Menjabat sebagai Ketua Osis Mts Al-Fatah 2003-2004, sebagai

Bendahara Majelis Permusyawaratan Siswa MAN Yogyakarta I,

sebagai Qismu al-Lughah Organisasi Santri Ma’had Al-Hakim

Yogyakarta, sebagai Koordinator Pendidikan & Kebudayaan

KSW Mesir, sebagai anggota LTNU PCINU Mesir, sekarang

sebagai Ketua Rijalul Ansor PC. GP Ansor Kab. Banjarnegara

dan juga Wakil Ketua LDNU PC. NU Kab Banjarnegara.