SYOK ANAFILAKTIK OLEH KARENA OBAT OLEH: I G N Paramartha W P (0702005123) Pembimbing : dr. Tjok Istri Anom Saturti , Sp.PD DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DEPARTEMEN/KSM PENYAKIT DALAM FK UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP SANGLAH 2018
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
RESPONSI KASUSPembimbing :
DEPARTEMEN/KSM PENYAKIT DALAM
Atas berkat rahmaTuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan
responsi
yang berjudul “Syok Anafilaksis Oleh Karena Obat” tepat pada
waktunya.
Tugas ini merupakan salah satu syarat didalam mengikuti Kepanitraan
Klinik
Madya di bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
Banyak berbagai pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan
tugas
ini. oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih
kepada:
1. dr. Tjok Istri Anom Saturti , Sp.PD, selaku pembimbing dan
penguji.
2. Dr.dr.Ketut Suega,SpPD-KHOM, selaku kepala bagian di bagian
Ilmu
Penyakit Dalam.
3. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas
ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh
karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan.
Denpasar, Oktober 2018
2.1 Identitas Pasien
...........................................................................
2
3.2 Patofisiologi…………………………………………………… 16
I. Pendahuluan
secara mendadak sebagai akibat perubahan permeabilitas vaskuler
dan
hiperaktivitas bronkial karena kerja dari mediator – mediator
endogen yang
dihasilkan oleh sel – sel mast dan basofil akibat stimuli antigen.
Jadi anafilaksis
merupakan reaksi antigen – antibodi ( reaksi hipersensitivitas ).
Penderita yang
terlambat mendapat penanganan reaksi anafilaksis akan berlanjut ke
fase syok
anafilaksis. Syok anafilaksis termasuk dalam kegawatan medis dan
harus
segera ditangani karena dapat segera jatuh ke situasi yang
membahayakan
bahkan fatal. 1
Angka kejadian yang pasti sukar diperoleh karena sering tidak
dilaporkan. Di
Amerika Serikat diperkirakan 1-2% pasien yang disuntik dengan
antibiotik
mengalami reaksi anafilaksis dan 400-800 di antaranya meninggal per
tahun.
15% dari populasi Amerika Serikat mempunyai risiko untuk reaksi
anafilaksis. 2
Sampai 500-1,000 kasus fatal anafilaksis per tahun diestimasi akan
terjadi di
Amerika Serikat. 3
Reaksi ini lebih sering terjadi pada mereka yang mempunyai riwayat
atopi atau
reaksi alergi sebelumnya. Umumnya tidak ditemukan predisposisi ras,
jenis
kelamin, umur atau musim. Reaksi anafilaksis karena obat lebih
sering pada
mereka yang sudah menggunakan obat yang sama berulang-ulang
.2,3
II. Laporan Kasus
2.1 Identitas Pasien
Pekerjaan : Lain- lain
Pendidikan : Tamat SD
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh sesak napas sejak ± 17 jam sebelum masuk rumah
sakit
setelah disuntik obat. Sesak dirasakan timbul secara tiba-tiba
seperti sulit
untuk mengambil napas dan tidak membaik dengan perubahan posisi.
Sesak
awalnya terasa ringan, namun dalam setengah jam semakin
memberat.
Pasien mengatakan sesak napas muncul ± 30 menit setelah
perawat
memasukkan obat.
Pasien juga mengeluh bengkak di kedua mata dan bibirnya sejak ± 30
menit
setelah perawat memasukkan obat. Mata dirasakan semakin bengkak
dan
kemerahan. Sensasi seperti terbakar juga dirasakan pada bibir
pasien.
Pasien juga mengeluh gatal dan kemerahan pada seluruh tubuhnya
sejak ±
30 menit setelah perawat memasukkan obat terutama pada tangan
dan
kakinya. Gatal tidak berkurang dengan garukan.
Pasien juga mengeluh mual setelah timbul kemerahan pada seluruh
tubuh ±
40 menit setelah memasukkan obat. Mual tidak disertai dengan
muntah.
Mual dirasakan terus menerus, disertai rasa tidak enak pada
tenggorokan.
Pasien dikatakan oleh penunggunya sempat dikatakan seperti orang
bingung.
Keluhan bingung tersebut terjadi sesaat setelah pasien mengeluh
bengkak
pada bibir dan mual. Pasien sempat tidak mengenali penunggunya
untuk
beberapa saat.
Pasien juga mengeluhkan mencret sudah sebanyak dua kali sejak tadi
pagi
(6/9/2012), dengan konsistensi cair, ampas dikatakan sedikit,
berwarna
kuning, volume ±200 cc. Darah segar dikatakan tidak ada. BAB
berwarna
coklat juga disangkal oleh pasien.
Pasien mengeluh batuk darah 1 hari SMRS dengan frekuensi 1 kali
dan
dengan volume ± 200 cc. Keluhan sesak dan nyeri dada yang
menyertai
batuk disangkal. Pasien juga mengeluh demam sejak 5 hari
berturut-turut
SMRS. Demam dikatakan berupa rasa panas pada seluruh tubuh
namun
pasien tidak sempat mengukur suhu tubuhnya. Demam dirasakan
menetap
hingga mengganggu aktivitas sehari-hari dan menyebabkan nafsu
makan
menurun. Demam dikatakan membaik setelah minum obat penurun
panas
namun muncul kembali beberapa jam kemudian. Demam dirasakan
tiba-tiba
dan terus menetap. Demam tidak disertai menggigil. Inilah sebab
pasien
dibawa berobat ke RSUP Sanglah pada tanggal 5 September 2012.
Keluhan
sesak dan nyeri dada yang menyertai batuk disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien dikatakan menderita penyakit HIV Stadium IV diketahui sejak
± 5
bulan yang lalu dan TB paru yang diketahui ± 2 bulan yang lalu .
Namun
pasien tidak rutin meminum obat yang diberikan oleh dokter dan
jarang
sekali untuk kontrol ke dokter. Riwayat OAT kategori I selama 1
minggu
SMRS.
Diberikan obat Codein, paracetamol, asam tranexamat,
ceftazidine,
ciprofloxacin, ambroxol, OAT kategori I dilanjutkan.
Saat di ruangan tanggal 06/09/2012 jam 08.30 pasien diberikan obat
codein,
paracetamol, asam tranexamat, ceftazidine, ciprofloxacin, ambroxol,
dan
cotrimoxasol, ± 30 menit kemudian pasien mengeluh timbul
kemerahan
pada wajah dan tangan, disertai rasa tertekan didada.
Pasien menyangkal memiliki keluhan yang sama sebelumnya.
Pasien
menyangkal memiliki penyakit asma dan menyangkal mengkonsumsi
obat-
obatan untuk asma. Pasien menyangkal memiliki alergi terhadap
obat-
obatan maupun debu.
Tabel 1. Kronologis pasien datang, obat yang diberikan, dan
keluhan
Tanggal Jam Keluhan Obat Masuk
05/09/2012
06/09/2012
23.15
01.00
08.00
08.30
yang lalu
Pasien kemudian
Ambroxol 3 x CI
Codein 3x10 mg
Asam tranexamat 3x500
Ambroxol 3 x CI
OAT kategori I
penderita. Tidak ada riwayat asma, gatal-gatal berulang pada kulit,
maupun
bersin-bersin berulang pada keluarga penderita.
Riwayat Sosial :
Pasien adalah seorang perokok berat sejak usia remaja. Pasien dalam
sehari
bisa menghabiskan hingga 1-2 bungkus rokok. Pasien berhenti
bersekolah
setelah tamat SD dan sejak itu sering melakukan berbagai kerja
sementara
seperti bartender di tempat- tempat hiburan dan sering
mengkonsumsi
alkohol di tempat kerja. Riwayat penggunaan jarum suntik disangkal
oleh
penderita.
Pernafasan : 24 x/menit
Pemeriksaan Umum :
Kepala : Normocephali
+/+
Edema bibir (+)
Thorax : Inspeksi : Simetris, tidak tampak pulsasi iktus
kordis
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, Vokal fremitus N / N
Perkusi : Batas atas jantung setinggi ICS II
Batas bawah jantung setinggi ICS V
Batas kanan jantung pada PSL kanan
Batas kiri jantung pada MCL kiri
Auskultasi : Cor: S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo: Vesikuler +/+, Ronkhi -/- , Wheezing -/-
(-)
2.3 Pemeriksaan Penunjang
Parameter Nilai Unit Remarks Nilai Normal
WBC 10,02 10 3 /μL 4,10-11,00
#Ne 9,33
(93,1%) 10
3 /μL
2,50 -7.50
#Mo 0,34 (3,3%) 10 3 /μL 0,10-1,20
#Eo 0,15(1,5%) 10 3 /μL 0,00 – 0,50
#Ba 0,01 (0,0%) 10 3 /μL 0,00 – 0,10
RBC 4,07 10 3 /μL Rendah 4,50 – 5,90
HGB 9,40 g/dl Rendah 13,50 – 17,50
HCT 29,00 % Rendah 41,00 – 53,00
MCV 71,20 fl Rendah 80,00 – 100,00
MCH 23,00 pg Rendah 27,00 – 31,20
MCHC 32,30 g/dl 31,80 – 35,40
PLT 141 K/ul Rendah 150,00 – 440,00
Analisa gas darah ( 6 September 2012)
06/09/2012 Nilai normal
pH 7,44 7,35-7,45
H CO3 - 17,7 mmol/L 22,00-26,00 ( mmol/L)
T CO2 18,5 mmol/L 24,00-30,00 (mmol/L)
BE -3,10 -2-2 (mmol/L)
S O2 99,00 95,00-100,00 (%)
05/09/2012 Nilai normal
S-T change (-)
Cor : Besar dan bentuk normal
Pulmo :
- Sinus pleura kanan kiri tajam
- Diafragma kanan/kiri normal
2.4 Diagnosis Kerja
- Hemoptisis ec. TB Paru on treatment
- Infeksi HIV st IV (WHO)
- Anemia hipokromik mikrositer oleh karena perdarahan kronis
2.5 Penatalaksaan
Planning Terapi
- Adrenalin 0,3 cc IM
- Methylprednisolone 2 x 62,5 mg IV
- Stop obat-obat yang dicurigai (Codein, paracetamol, asam
tranexamat,
ceftazidine, ciprofloxacin, ambroxol, cotrimoxasol, dan OAT)
- Kompres hangat
Planning Diagnostik
Reaksi anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 atau tipe
cepat,
sistemik, mengancam hidup pada orang yang sensitif terhadap antigen
tertentu,
yang timbul dalam beberapa menit setelah terpapar antigen tersebut.
1 Menurut
kriteria Sampson HA, et al. JACI 2006 ada tiga kriteria klinis
dalam
mendiagnosis anafilaksis yaitu : 1
1. Onset yang akut (terjadi dalam beberapa menit sampai jam)
dengan
melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya. Contoh gatal
diseluruh
permukaan kulit, pembengkakan di bibir, lidah, atau uvula.
Dengan disertai satu dari dua kelainan dibawah :
a. Kelainan sistem respirasi ( dyspnea, wheeze-bronchospasm,
stridor,
hypoxemia).
(hipotonia, pingsan, inkontinensia).
2. Dua atau lebih gejala dibawah yang terjadi setelah terpapar
alergen yang
terjadi dalam beberapa menit sampai jam :
a. Keterlibatan kulit dan mukosa (contoh gatal diseluruh
permukaan
kulit, pembengkakan di bibir, lidah, atau uvula )
b. Kelainan respirasi (dyspnea, wheeze-bronchospasm, stridor,
hypoxemia).
(hipotonia, pingsan, inkontinensia).
atau muntah)
3. Penurunan tekanan darah setalah terpapar alergen dalam beberapa
menit
atau jam :
a. Bayi dan anak-anak : tekanan darah sistolik yang rendah atau
dibawah
30% dari darah sistolik normal
b. Dewasa : tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan
tekanan darah dibawah 30% dari tekanan darah ormal orang
tersebut.
Pada kasus diatas memenuhi ketiga kriteria Sampson HA, et al. JACI
2006.
Pasien terjadi keluhan di kulit dan mukosa seperti gatal-gatal dan
kemerahan
diseluruh tubuh, disertai bengkak pada kelopak mata dan bibir.
Pasien
diinjeksikan obat secara intravena ± 30 menit yang lalu. Pasien
terpapar allergen
dari suntikan tersebut dan keluhan yang terjadi dalam ± 30 menit.
Yang artinya
memenuhi kriteria, kejadian terpapar allergen dalam beberapa menit
sampai jam.
Pasien juga mengeluhkan adanya sesak nafas yang terjadi bersamaan
dengan
keluhan yang lain. Selain itu, terjadi penurunan tekanan darah,
saat diperiksa
tekanan darah pasien 80/60 mmHg. Tekanan darah sistolik pasien
80mmHg,
menurut salah satu kriteria Sampson HA, et al. JACI 2006 tekanan
darah sistolik
dibawah 90 mmHg, yang artinya pada kasus ini sudah memenuhi salah
satu
kriteria. Jadi pada pasien ini memenuhi kriteria Sampson HA, et al.
JACI 2006
untuk mendiagnosis anafilaksis secara klinis.
Reaksi anafilaksis terjadi akibat pajanan ulang alergen yang sama
yang dimediasi
oleh Ig E spesifik yang melekat pada dinding mastosit dan basofil.
Reaksi ini
dapat diperberat dan diperpanjang oleh mediator sekunder yang
dikeluarkan oleh
sel-sel radang yang tertarik ke lokasi reaksi. 2 Manifestasi klinis
yang terjadi
merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan Ig E
yang telah
terbentuk yang menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatnya
permeabilitas
kapiler serta hipersekresi kelenjar mucus. 2,3
Kejang bronkus gejalanya berupa
sesak. Kadang-kadang kejang bronkus disertai kejang laring. Bila
disertai edema
laring keadaan ini bisa sangat gawat karena pasien tidak dapat atau
sangat sulit
bernapas. Manifestasi klinis renjatan anafilaksis dapat terjadi
dalam waktu 30
menit setelah pemberian obat. Karena hal tersebut mengenai beberapa
organ dan
secara potensial membahayakan, reaksi ini sering disebut sebagai
anafilaksis.
Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu: 2,5
a) Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
IgE
b) Fase aktivasi, yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang
antigen
spesifik. Akibat aktivasi ini sel mast/basofil mengeluarkan
kandungan
yang berbentuk granul yang dapat menimbulkan reaksi.
c) Fase efektor, yaitu fase terjadinya respons imun yang kompleks
akibat
pelepasan mediator.
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis
adalah sifat
alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan
paparan
alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi
anafilaksis adalah
makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang,
kepiting, kerang,
ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu
adalah
makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis.
Obat-obatan
yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya
penisilin, obat
anestesi intravena, relaksan otot, aspirin,, NSAID, opioid, vitamin
B1, asam
folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah,
latihan fisik, dan
cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis. 1,2,3
Gambar 1. Faktor-faktor yang bisa mencetuskan anafilaksis
pada
pasien. 1
Reaksi hipersensitivitas pada pasien HIV sering terjadi dan umumnya
berkaitan
dengan obat-obatan. Reaksi hipersensitivitas yang berlanjut ke
reaksi
anafilaksis, bahkan sampai menimbulkan syok anafilaksis juga
dilaporkan
terus meningkat. Daftar obat-obatan yang diketahui menimbulkan
reaksi
hipersensitivitas pada infeksi HIV semakin lama semakin bertambah.
Kejadian
hipersensitivitas terhadap obat jauh lebih tinggi pada infeksi HIV
dibandingkan
non-HIV. Misalnya hipersensitivitas terhadap
trimetropin-sulfametokzasol
dosis tinggi untuk mengobati PCP terjadi antara 27%-64%,
dibandingkan 3%
pada orang imunokompeten atau imunodefisiensi karena non HIV.
Kejadian
hipersensitivitas terhadap obat ini lebih buruk lagi karena selalu
diperlukan
obat pengganti dimana obat ini mempunyai efekstivitas kurang
atau
mempunyai efek yang lebih toksik. 4
Pada kasus diatas pasien dengan infeksi HIV mengalami anafilaksis
diduga
karena pemberian obat-obatan seperti Codein, Paracetamol, Asam
Tranexamat,
Ceftazidine, Ciprofloxacin, Ambroxol, Cotrimoxasol, dan OAT.
Faktor
pencetus anafilakasis karena pasien terinfeksi HIV, yang dikatakan
sesuai
dengan epidemiologi lebih banyak terjadi pada pasien HIV
dibandingkan yang
non HIV. Pasien juga diberikan antibiotik, menurut kepustakaan,
antibiotik
sering dilaporkan merupakan penyebab terjadinya reaksi anafilaksis.
Selain itu
pasien juga mendapat NSAID, yaitu paracetamol, golongan NSAID
merupakan
salah satu faktor yang bisa mencetuskan terjadinya reaksi
anafilaksis.
3.2 Patofisiologi
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam
hipersensitivitas
tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2
fase, yaitu: 5
1. fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan Ig
E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit
dan
basofil.
2. fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan
antigen yang sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut
kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang
menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma
(Plasmosit). Sel
plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian
terikat
pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. 5
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula
yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk
alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh
Ig E
spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan
mediator
vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa
bahan
vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed
mediators. 5
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran
sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang
terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly
formed
mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang
kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau
basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin
memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang
nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot
polos.
Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan
meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa
faktor
kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin
leukotrien yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi. 5
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan
penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang
diikuti
dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan
perfusi
yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang
berimplikasi pada
keaadan syok yang membahayakan penderita. 5
Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis 5
Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis 5
3.3 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan
lamanya reaksi
maupun luas dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa
detik
atau menit sesudah terpajan allergen dan gejala ringan dapat
menetap sampai
24 jam meskipun diobati. Gejala dapat dimulai dengan gejala
prodormal baru
menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. Berikut adalah
gejala dan
tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran: 1,2,5
Sistem Gejala dan Tanda
dilukiskan, rasa tak enak di dada dan
perut, rasa penuh dalam mulut dan
tenggorokan, rasa gatal di hidung dan
palatum
Pernapasan
Hidung
Laring
Lidah
Bronkus
Rasa tercekik, suara serak, sesak napas,
stridor, edema, spasme
hipotensi sampai syok, aritmia.
terbalik atau tanda-tanda infark
yang kadang-kadang disertai darah,
Kulit Urtika, gatal, angioedema di bibir,
Gambar 4. Kriteria Sampson HA, et al. JACI 2006. Diagnosis
anafilaksis
secara klinis. 1
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat,
tetapi
kadang-kadang langsung berat. Brown SGA et.al membagi berdasarkan
derajat
keluhan, dalam derajat ringan, sedang, dan berat. 6
1. Ringan (keterlibatan kulit dan jaringan mukosa)
muka atau ekstremitas.
mata bengkak.
Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi
hangat,
rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti
hidung,
pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair.
Awitan
gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.
2. Sedang (keterlibatan sistem respirasi, kardiovaskuker, dan
gastrointestinal)
Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan
ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea,
batuk dan
mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga
sering
terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.
3. Berat (hypoxia, hipotensi, deficit neurologis)
Sianosis (SpO2≤ 92%, hipotensi (pada dewasa tekanan darah ≤ 90
mmHg),
konfusi, penurunan kesdaran, inkontinesia. Derajat berat
mempunyai
awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala
yang
sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang
pesat
kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis.
Bisa
diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan
kejang-
kejang.
sedangkan nomor dua dan tiga adalah anafilaksis. 6
Pada pasien diatas sesuai dengan kriteria Brown SGA et.al termasuk
dalam
anafilaksis berat. Pasien dikelompokkan dalam anafilaksis berat
karena pada
pasien ditemukan adanya keluhan di kulit dan mukosa seperti
gatal-gatal dan
kemerahan diseluruh tubuh, disertai bengkak pada kelopak mata dan
bibir.
Kemudian keterlibatan sistem respirasi, yang pada pasien ditemukan
adanya
keluhan sesak nafas yang timbul segera setelah terpapar alergen.
Selain sistem
respirasi, ditemukan juga keluhan pada sistem gastrointestinal,
yaitu pasien
mengeluhkan mencret sudah sebanyak dua kali, dengan konsistensi
cair, ampas
dikatakan sedikit, berwarna kuning, volume ±200 cc. Darah segar
dikatakan
tidak ada. BAB berwarna coklat juga disangkal oleh pasien. Pada
pasien juga
ditemukan hipotensi. Pasien saat diperiksa tekanan darah didapatkan
80/60
mmHg.
diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan
digunakan
untuk memonitor hasil pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut.
Hitung
eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya
dengan IgE
total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna
untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu
keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih
bermakna yaitu
IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA
(Enzym
Linked Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang
mahal. 1,2
3.5 Diagnosis
Menurut kriteria Sampson HA, et al. JACI 2006 ada tiga kriteria
klinis dalam
mendiagnosis anafilaksis yaitu : 1
a. Onset yang akut (terjadi dalam beberapa menit sampai jam)
dengan
melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya. Contoh gatal
diseluruh
permukaan kulit, pembengkakan di bibir, lidah, atau uvula.
Dengan disertai satu dari dua kelainan dibawah :
1. Kelainan sistem respirasi ( dyspnea, wheeze-bronchospasm,
stridor,
hypoxemia).
(hipotonia, pingsan, inkontinensia).
b. Dua atau lebih gejala dibawah yang terjadi setelah terpapar
alergen yang
terjadi dalam beberapa menit sampai jam :
1. Keterlibatan kulit dan mukosa (contoh gatal diseluruh
permukaan
kulit, pembengkakan di bibir, lidah, atau uvula )
2. Kelainan respirasi (dyspnea, wheeze-bronchospasm, stridor,
hypoxemia).
(hipotonia, pingsan, inkontinensia).
atau muntah)
c. Penurunan tekanan darah setalah terpapar alergen dalam beberapa
menit
atau jam :
1. Bayi dan anak-anak : tekanan darah sistolik yang rendah atau
dibawah
30% dari darah sistolik normal
2. Dewasa : tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan
tekanan darah dibawah 30% dari tekanan darah normal orang
tersebut.
Pada kasus diatas memenuhi ketiga kriteria Sampson HA, et al. JACI
2006.
Pasien terjadi keluhan di kulit dan mukosa seperti gatal-gatal dan
kemerahan
diseluruh tubuh, disertai bengkak pada kelopak mata dan bibir.
Pasien
diinjeksikan obat secara intravena ± 30 menit yang lalu. Pasien
terpapar
allergen dari suntikan tersebut dan keluhan yang terjadi dalam ± 30
menit.
Yang artinya memenuhi kriteria, kejadian terpapar allergen dalam
beberapa
menit sampai jam. Pasien juga mengeluhkan adanya sesak nafas yang
terjadi
bersamaan dengan keluhan yang lain. Selain itu, terjadi penurunan
tekanan
darah, saat diperiksa tekanan darah pasien 80/60 mmHg. Tekanan
darah
sistolik pasien 80mmHg, menurut salah satu kriteria Sampson HA, et
al. JACI
2006 tekanan darah sistolik dibawah 90 mmHg, yang artinya pada
kasus ini
sudah memenuhi salah satu kriteria. Jadi pada pasien ini memenuhi
kriteria
Sampson HA, et al. JACI 2006 untuk mendiagnosis anafilaksis secara
klinis.
Karena pasien sempat seperti orang bingung. Keluhan bingung
tersebut terjadi
sesaat setelah pasien mengeluh bengkak pada bibir dan mual. Pasien
sempat
tidak mengenali penunggunya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
tekanan
darah pasien 80/60 mmHg disertai nadi yang cepat 112x/menit maka
diagnosis
pasien adalah syok anafilaksis oleh karena obat.
3.6 Penatalaksanaan
Reaksi anafilaksis harus ditanggulangi secara cepat dan tepat.
Pasien dengan
simptom anafilaksis yang berat harus diberikan intervensi yang
standar.
Intervensi tersebut antara lain pemberian oksigen, cardiac
monitoring dan
akses IV. 1,2
Langkah-langkah pengobatan :
2. Baringkan pasien dengan kaki lebih tinggi daripada kepala.
1,2,3
3. Segera suntikkan adrenalin 0,3-0,5 ml intramuscular di lengan
atas atau
paha depan. Bila anafilaksis oleh sengatan serangga, ikan atau
binatang
lain atau suntikan pada ekstremitas, absorpsi allergen dapat
dihambat
dengan turniket di proksimal tempat masuknya antigen. Di tempat
tersebut
diinfiltrasi dengan 0,2 ml adrenalin. Suntikan adrenalin kalau
perlu dapat
diulang setiap 5-15 menit, biasanya cukup 1-4 kali suntikan.
1,2,7
4. Dengan segera evaluasi saluran nafas karena kemungkinan bisa
terjadi
edema atau bronkospasm. Apabila pasien tidak sadar dilakukan
ekstensi
kepala, dorong mandibula ke depan dan buka mulut. Pada keadaan
reaksi
anafilaksis yang berat sampai terjadi edema laring,
krikotireodotomi atau
catheter jet ventilation bisa menyelamatkan nyawa pasien. 7
5. IV line harus kaliber yang besar karena diperlukan volume cairan
IV yang
banyak untuk resusitasi cairan. Cairan kristaloid yang isotonis
seperti
larutan salin atau Ringer lactate bisa digunakan. 7
6. Jika hipotensi tidak membaik dengan adrenalin intramuscular,
dapat
diberikan adrenalin intravena 1-5ml larutan 1:10000 dengan
cairan
fisiologis + 1 liter dalam 15-30 menit pertama dan seterusnya bisa
sampai
6 liter dalam 12 jam. Apabila renjatan belum teratasi dapat
diberikan
vasopressor seperti dopamine 2-20mg/kgBB per menit untuk
mempertahankan tensi di atas 80mmHg. 7
7. Antihistamin pada fase akut dapat menghilangkan pruritus.
Urtikaria dan
angioedema dapat ditanggulangi dengan memberikan 10-20 mg
diphendhidramin intravena secara perlahan-lahan. Jika pasien
mengalami
syok, pemberian antihistamin diberikan setelah keadaan pasien
mulai
stabil.
8. Kortikosteroid tidak bermanfaat pada fase akut tapi diberikan
untuk
mengurangi insiden dan bahaya dari reaksi biphasic atau reaksi
lambat.
Dapat diberikan metilprednisolon 125 mg secara intravena. 2,7
9. Observasi harus dilakukan 2-4 jam, oleh karena ada 20% kasus
muncul
kembali setelah beberapa jam. 7
10. Konsultasi kepada ahli allergi immunologi jika perlu dan untuk
follow-up
seterusnya. 7
IV Kesimpulan
Pasien dengan inisial PK, 24 tahun mengeluh sesak nafas 6 September
2012
setelah dinjeksikan obat secara intravena di ruangan Nusa Indah
RSUP
Sanglah. Sesak dirasakan timbul secara tiba-tiba seperti sulit
untuk
mengambil napas dan tidak membaik dengan perubahan posisi.
Sesak
awalnya terasa ringan, namun dalam setengah jam semakin
memberat.
Pasien mengatakan sesak napas muncul ± 30 menit setelah
perawat
memasukkan obat.
Pasien juga mengeluh bengkak di kedua mata dan bibirnya sejak ± 30
menit
setelah perawat memasukkan obat. Mata dirasakan semakin bengkak
dan
kemerahan. Sensasi seperti terbakar juga dirasakan pada bibir
pasien.
Pasien juga mengeluh gatal dan kemerahan pada seluruh tubuhnya
sejak ±
30 menit setelah perawat memasukkan obat terutama pada tangan
dan
kakinya. Gatal tidak berkurang dengan garukan.
Pasien juga mengeluh mual setelah timbul kemerahan pada seluruh
tubuh ±
40 menit setelah memasukkan obat. Mual tidak disertai dengan
muntah.
Mual dirasakan terus menerus, disertai rasa tidak enak pada
tenggorokan.
Pasien dikatakan oleh penunggunya sempat dikatakan seperti orang
bingung.
Keluhan bingung tersebut terjadi sesaat setelah pasien mengeluh
bengkak
pada bibir dan mual. Pasien sempat tidak mengenali penunggunya
untuk
beberapa saat.
Pasien juga mengeluhkan mencret sudah sebanyak dua kali sejak tadi
pagi
(6/9/2012), dengan konsistensi cair, ampas dikatakan sedikit,
berwarna
kuning, volume ±200 cc. Darah segar dikatakan tidak ada. BAB
berwarna
coklat juga disangkal oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik general dan tanda vital ditemukan edema
palpebra
pada pemeriksaan mata. Pada pemeriksaan telinga,hidung dan
tenggorokan,
didapati edema pada bibir. Juga didapati pada inspeksi eritema pada
seluruh
tubuh pasien. Nadi pasien lemah, regular dan tidak kuat
angkat.Temparatur
aksilla pada saat pemeriksaan menunjukkan pasien febris (39,1
C).
Pada pemeriksaan laboratorium Darah Lengkap yang dilakukan
pada
tanggal 6 September 2012 ditemukan bahawa pasien mengalami
Anemia Ringan Hipokromik-Mikrositer dan Trombositopenia.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang
lain,
pasien didiagnosis sebagai pasien Syok Anafilaksis oleh karena
obat
(Codein/Paracetamol/Asam
Tranexamat/Ceftazidine/Ciprofloxacin/Ambroxol/Cotrimoxasol/OAT),
Hemoptisis ec. TB Paru on treatment dan Infeksi HIV st IV (WHO)
yang
disertai Anemia Ringan Hipokromik-Mikrositer oleh karena
suspek
pendarahan kronis on HIV.
- Adrenalin 0,3 cc IM
- Methylprednisolone 2 x 62,5 mg IV
- Stop obat-obat yang dicurigai (Codein, paracetamol, asam
tranexamat, ceftazidine, ciprofloxacin, ambroxol,
cotrimoxasol,
dan OAT)
- Kompres hangat
Planning Diagnostik
- Keluhan
- Tanda-tanda alergi
DAFTAR PUSTAKA
1. Estelle F. et all. 2011. World Allergy Organization Guidelines
for the
Assessment and Management of Anaphylaxis. 2011 American
Academy of Allergy, Asthma & Immunology. WAO Journal
2011;
4:13–37
2. Estelle F. et all. 2011. World Allergy Organization
anaphylaxis
guidelines: Summary. 2011 American Academy of Allergy, Asthma
&
Immunology. J Allergy Clin Immunol 2011;127:587-93.
3. Jirapongsananuruk O, et all, 2007. Features of Patients
with
Anaphylaxis Admitted To a University Hospital. Ann Allergy
Asthma
Immunol, 2007 Feb; 98(2):157-62
4. Merati T. P., Djauzi S. Respons Imun Infeksi HIV; Buku Ajar
Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat; Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006; 272-276
5. Haupt M. T. ,Fujii T. K. et al (2005) Anaphylactic Reactions. In
:Text
Book of Critical care. Eds : Ake Grenvvik, Stephen M.
Ayres,Peter
R,William C.Shoemaker 4th edWB Saunders company. Philadelpia-
Tokyo.pp246-56.
6. Brown S.G. . Clinical features and severity grading of
anaphylaxis J.
Allergy Clin Immunol 2004, 114(2) : 371-6.
7. Soar Jasmeet, et all. 2008. Emergency Treatment of
Anaphylactic
Reactions : Guidelines for Health Care. 2008 January. P 1-50.