BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangDalam keadaan sehat biasanya
kita merasa bahwa sehat itu adalah sesuatu yang wajar. Namun ketika
dalam keadaan sakit betapa kita sangat mendambakan kesehatan yang
selama ini di sia-siakan, berbagai upaya dilakukan berapapun biaya
rela kita keluarkan untuk memperoleh kesembuhan sehingga mendorong
kita untuk melakukan pengobatan sendiri. Untuk meningkatkan
kemampuan kita dalam menolong dirinya sendiri dalam mengatasi
masalah kesehatan maka perlu ditunjang sarana yang dapat
meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional.
Dan sebagai penyumbang omzet terbesar di apotek selain resep adalah
dengan pelayanan swamedikasi.Swamedikasi berarti mengobati segala
keluhan pada diri sendiri dengan obat-obatan yang dapat dibeli
bebas di apotek atau toko obat dengan inisiatif atau kesadaran diri
sendiri tanpa nasihat dokter. Beberapa keuntungan swamedikasi
adalah memberikan tuntunan dan informasi yang jelas dan tepat
penggunaan obat, dimana obat ini biasanya tersedia di rumah tangga,
selanjutnya bagi masyarakat di daerah terpencil swamedikasi akan
menghemat banyak waktu yang diperlukan untuk ke kota mengunjungi
seorang dokter (Tan & Rahardja, 1993).Acne vulgaris adalah
peradangan folikel sebasea yang ditandai oleh komedo, papula,
pustula, kista, dan nodulus di tempat predileksinya, yaitu wajah,
leher, badan atas, dan lengan atas. Penyakit ini terutama terjadi
pada remaja dan biasanya berinvolusi sebelum usia 25 tahun namun
bisa berlanjut sampai usia dewasa. Akne vulgaris terutama timbul
pada kulit yang berminyak berlebihan akibat produksi sebum
berlebihan di tempat dengan glandula sebasea yang banyak.Acne
vulgaris dianggap penyakit kulit fisiologis karena hampir semua
orang pernah menderita penyakit ini. Berdasarkan penelitian Goodman
(1999), prevalensi tertinggi yaitu pada umur 16-17 tahun, dimana
pada wanita berkisar 83- 85% dan pada pria berkisar 95-100%.
Meskipun demikian, akne vulgaris dapat pula terjadi pada usia lebih
muda atau lebih tua dari pada usia tersebut.BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Akne Vulgaris Acne vulgaris adalah penyakit peradangan
menahun folikel pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja
dan dapat sembuh sendiri (Wasitaatmadja, 2007). Defenisi lain akne
vulgaris atau disebut juga common acne adalah penyakit radang
menahun dari apparatus pilosebasea, lesi paling sering di jumpai
pada wajah, dada dan punggung. Kelenjar yang meradang dapat
membentuk papul kecil berwarna merah muda, yang kadang kala
mengelilingi komedo sehingga tampak hitam pada bagian tengahnya,
atau membentuk pustul atau kista; penyebab tak diketahui, tetapi
telah dikemukakan banyak faktor, termasuk stress, faktor herediter,
hormon, obat dan bakteri, khususnya Propionibacterium acnes,
Staphylococcus albus, dan Malassezia furfur, berperan dalam
etiologi. 2.1.1 Klasifikasi Akne
Menurut Plewig dan Kligman (1975) dalam Djuanda (2003) akne
diklasifikasikan atas tiga bagian yaitu:
a. Akne vulgaris dan varietasnya yaitu akne tropikalis, akne
fulminan, pioderma fasiale, akne mekanika dan lainnya. b. Akne
venenata akibat kontaktan eksternal dan varietasnya yaitu akne
kosmetika, akne pomade, akne klor, akne akibat kerja, dan akne
diterjen.c. Akne komedonal akibat agen fisik dan varietasnya yaitu
solar comedones dan akne radiasi. 2.1.2 Epidemiologi Akne
Vulgaris
Karena hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini, maka
sering dianggap sebagai kelainan kulit yang timbul secara
fisiologis. Baru pada masa remajalah akne vulgaris menjadi salah
satu problem. Umumnya insiden terjadi pada umur 14-17 tahun pada
wanita, 16-19 tahun pada pria dan masa itu lesi yang pradominan
adalah komedo dan papul dan jarang terlihat lesi beradang.
Diketahui pula bahwa ras Oriental (Jepang, Cina, Korea) lebih
jarang menderita akne vulgaris dibanding dengan ras Kaukasia (Eropa
dan Amerika), dan lebih sering terjadi nodulo-kistik pada kulit
putih daripada Negro (Wasiaatmadja, 2007).
2.1.3 Etiologi dan Patogenesis Akne Vulgaris
Akne vulgaris adalah penyakit yang disebabkan multifaktor,
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya akne adalah:
1) Faktor genetik.
Faktor genetik memegang peranan penting terhadap kemungkinan
seseorang menderita akne. Penelitian di Jerman menunjukkan bahwa
akne terdapat pada 45% remaja yang salah satu atau kedua orang
tuanya menderita akne, dan hanya 8% bila ke dua orang tuanya tidak
menderita akne.
2) Faktor ras.
Warga Amerika berkulit putih lebih banyak menderita akne
dibandingkan dengan yang berkulit hitam dan akne yang diderita
lebih berat dibandingkan dengan orang Jepang.
3) Hormonal.
Hormonal dan kelebihan keringat semua pengaruh perkembangan dan
atau keparahan dari jerawat. Beberapa faktor fisiologis seperti
menstruasi dapat mempengaruhi akne. Pada wanita, 60-70% akne yang
diderita menjadi lebih parah beberapahari sebelum menstruasi dan
menetap sampai seminggu setelah menstruasi.
4) Diet.
Tidak ditemukan adanya hubungan antara akne dengan asupan total
kalori dan jenis makanan, walapun beberapa penderita menyatakan
akne bertambah parah setelah mengkonsumsi beberapa makanan tertentu
seperti coklat dan makanan berlemak.
5) Iklim.
Cuaca yang panas dan lembab memperburuk akne. Hidrasi pada
stratum koreneum epidermis dapat merangsang terjadinya akne.
Pajanan sinar matahari yang berlebihan dapat memperburuk akne.
6) Lingkungan.
Akne lebih sering ditemukan dan gejalanya lebih berat di daerah
industri dan pertambangan dibandingkan dengan di pedesaan.
7) Stres.
Akne dapat kambuh atau bertambah buruk pada penderita stres
emosional. Mekanisme yang tepat dari proses jerawat tidak
sepenuhnya dipahami, namun diketahui dicirikan oleh sebum berlebih,
hiperkeratinisasi folikel, stres oksidatif dan peradangan.
Androgen, mikroba dan pengaruh pathogenetic juga bekerja dalam
proses terjadinya jerawat. Perubahan patogenik pertama dalam akne
adalah:
Keratinisasi yang abnormal pada epitel folikel, mengakibatkan
pengaruh pada sel berkeratin di dalam lumen. Peningkatan sekresi
sebum oleh kelenjar sebasea. Penderita dengan akne vulgaris
memiliki produksi sebum yang lebih dari rata-rata dan biasanya
keparahan akne sebanding dengan produksi sebum. Proliferasi
proprionebacterium akne dalam folikel. Radang.
Gambar 1. Pengaruh utama dalam pembentukan jerawat lesi . ( P.
acnes , Propionibacterium acnes . ) (Dipiro, 2008)Lesi akne
vulgaris tumbuh dalam folikel sebasea besar dan multilobus yang
mengeluarkan produknya ke dalam saluran folikel. Lesi permukaan
akne adalah komedo, yang merupakan kantong folikel yang berdilatasi
berisi materi keratinosa berlapis, lipid dan bakteri. Komedo
sendiri terdiri atas dua jenis yaitu:
a. Komedo terbuka, dikenal sebagai kepala hitam, memiliki
orifisium pilosebasea patulosa yang member gambaran sumbatan.
Komedo terbuka lebih jarang mengalami radang. b. Komedo tertutup
atau kepala putih.
Papula radang atau nodula tumbuh dari komedo yang telah rupture
dan mengeluarkan isi folikel ke dermis bawahnya, menginduksi radang
neutrofilik. Jika reaksi radang mendekati permukaan, timbul papula
dan pustule, jika infiltrat radang terjadi pada dermis lebih dalam,
terbentuk nodula. Supurasi dan reaksi sel raksasa yang
kadang-kadang terjadi pada keratin dan rambutdi sebabkan oleh lesi
nodulokistik. Nodulokistik bukan merupakan kista yang sesungguhnya
tetapi massa puing-puing radang yang mencair (Darmstadt dan Al Lane
dalam Nelson 1999).
2.1.4 Gejala Klinis Akne Vulgaris
Akne vulgaris ditandai dengan empat tipe dasar lesi : komedo
terbuka dan tertutup, papula, pustula dan lesi nodulokistik. Satu
atau lebih tipe lesi dapat mendominasi; bentuk yang paling ringan
yang paling sering terlihat pada awal usia remaja, lesi terbatas
pada komedo pada bagian tengah wajah. Lesi dapat mengenai dada,
punggung atas dan daerah deltoid. Lesi yang mendominasi pada
kening, terutama komedo tertutup sering disebabkan oleh penggunaan
sediaan minyak rambut (akne pomade). Mengenai tubuh paling sering
pada laki-laki.
Lesi sering menyembuh dengan eritema dan hiperpigmentasi pasca
radang sementara; sikatrik berlubang, atrofi atau hipertrofi dapat
ditemukan di sela-sela, tergantung keparahan, kedalaman dan
kronisitas proses (Darmstadt dan Al Lane dalam Nelson 1999).
Akne dapat disertai rasa gatal, namun umumnya keluhan penderita
adalah keluhan estetika. Komedo adalah gejala patognomonik bagi
akne berupa papul miliar yang di tengahnya mengandung sumbatan
sebum, bila berawarna hitam mengandung unsure melanin disebut
komedo hitam atau komedo terbuka (black comedo, open comedo).
Sedang bila berwarna putih karena letaknya lebih dalam sehingga
tidak mengandung unsure melanin disebut komedo putih atau komedo
tertutup (white comedo, close comedo) (Wasitaatmadja, 2007). 2.1.5
Pengobatan Akne Vulgaris
Pengobatan akne dapat dilakukan dengan cara memberikan
obat-obatan topikal, obat sistemik, bedah kulit atau kombinasi
cara-cara tersebut.
a) Pengobatan topikal.
Pengobatan topikal dilakukan untuk mencegah pembentukan komedo,
menekan peradangan, dan mempercepatpenyembuhan lesi. Obat topikal
terdiri atas: bahan iritan yang dapat mengelupas kulit; antibiotika
topikal yang dapat mengurangi jumlah mikroba dalam folikel akne
vulgaris; anti peradangan topikal; dan lainnya seperti atil laktat
10% yang untuk menghambat pertumbuhan jasad renik.
b) Pengobatan sistemik.
Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan pertumbuhan
jasad renik di samping juga mengurangi reaksi radang, menekan
produksi sebum, dan mempengaruhi perkembangan hormonal. Golongan
obat sistemik terdiri atas: anti bakteri sistemik; obat hormonal
untuk menekan produksi androgen dan secara kompetitif menduduki
reseptor organ target di kelenjar sebasea; vitamin A dan retinoid
oral sebagai antikeratinisasi; dan obat lainnya seperti anti
inflamasi non steroid.
c) Bedah kulit.
Tindakan bedah kulit kadang-kadang diperlukan terutama untuk
memperbaiki jaringan parut akibat akne vulgaris meradang yang berat
yang sering menimbulkan jaringan parut (Wasitaatmadja, 2007).
Gambar 2. Algoritma Pengobatan Acne Vulgaris (Dipiro, 2008)2.1.6
Pencegahan Akne Vulgaris
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari jerawat adalah
sebagai berikut:
Menghindari terjadinya peningkatan jumlah lipis sebum dengan
cara diet rendah lemak dan karbohidrat serta melakukan perawatan
kulit untuk membersihkan permukaan kulit dari kotoran. Menghindari
terjadinya faktor pemicu, misalnya : hidup teratur dan sehat, cukup
berolahraga sesuai kondisi tubuh, hindari stres; penggunaan
kosmetika secukupnya; menjauhi terpacunya kelenjar minyak, misalnya
minuman keras, pedas, rokok, dan sebagainya. Memberikan informasi
yang cukup pada penderita mengenai penyebab penyakit, pencegahan
dan cara maupun lama pengobatannya serta prognosisnya. Hal ini
penting terhadap usaha penatalaksanaan yang dilakukan yang
membuatnya putus asa atau kecewa (Wasitaatmadja, 2007). 2.2
Pelayanan Obat Non Resep (Swamedikasi)Pelayanan obat non resep
merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan
sendiri atau swamedikasi. Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat
yang dapat digunakan tanpa resep yang meliputi obat wajib apotek
(OWA), obat bebas terbatas (OBT) dan obat bebas (OB). Obat wajib
apotek terdiri dari kelas terapi oral kontrasepsi, obat saluran
cerna, obat mulut serta tenggorokan, obat saluran nafas, obat yang
mempengaruhi sistem neuromuskular, anti parasit dan obat kulit
topikal.
Pelayanan obat non resep merupakan pelayanan yang penting di
apotek sehubungan dengan perkembangan pelayanan farmasi komunitas
yang berorientasi pada asuhan kefarmasian. Pasien mengemukakan
keluhan atau gejala penyakit, apoteker hendaknya mampu
menginterpretasikan penyakitnya kemudian memilihkan alternatif obat
atau merujuk ke pelayanan kesehatan lain.
Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya
sendiri dan untuk mengatasi masalah kesehatan perlu ditunjang
dengan sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri secara
tepat, aman dan rasional. Sarana penunjang berupa obat yang
dibutuhkan untuk pengobatan sendiri dan peningkatan peran apoteker
di apotek dalam pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi.
Apoteker dalam melayani OWA diwajibkan memenuhi ketentuan dan
batasan tiap jenis obat per pasien yang tercantum dalam daftar OWA
1 dan OWA 2 serta wajib pula membuat catatan pasien serta obat yang
diserahkan. Apoteker hendaknya memberikan informasi penting tentang
dosis, cara pakai, kontra indikasi, efek samping dan lain-lain yang
perlu diperhatikan oleh pasien.
MenurutWorld Health Organization(WHO) swamedikasi adalah
pemilihan dan penggunaan obat baik obat modern maupun obat
tradisional oleh seseorang untuk melindungi diri dari penyakit dan
gejalanya (WHO,1998). Sedangkan menurutThe International
Pharmaceutical Federation(FIP) yang dimaksud dari swamedikasi
atauself medicationadalah penggunaan obat non resep oleh seseorang
atas inisiatif sendiri (FIP,1999).Pengobatan sendiri atau
swamedikasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah
kesehatan dengan menggunakan obat-obatan yang dapat dikonsumsi
tanpa pengawasan dari dokter. Obat-obatan yang digunakan untuk
pengobatan sendiri atau swamedikasi biasa disebut dengan Obat Tanpa
Resep (OTR) / Obat Bebas / obat OTC (Over The Counter). Biasanya
obat-obat bebas tersebut dapat diperoleh di toko obat, apotik,
supermarket hingga di warung-warung dekat rumah. Sedangkan
obat-obat yang dapat diperoleh dengan resep dokter biasa disebut
dengan obat resep.
Menurut situs.wsmi (world self-medication industry), pengobatan
sendiri atau swamedikasi yang bertanggung jawab (responsible
self-medication) biasa digunakan untuk menegaskan penggunaan obat
bebas yang tepat oleh pasien atau konsumen, dengan bantuan tenaga
kesehatan bila diperlukan. Sebaliknya, untuk peresepan sendiri
(self-prescription), mengacu pada penggunaan yang tidak tepat dari
obat resep oleh pasien atau konsumen karena tanpa pengawasan dari
dokter. Sayangnya hingga saat ini peresepan sendiri masih banyak
terjadi di banyak negara, terutama di negara berkembang termasuk
Indonesia.Swamedikasi berarti mengobati segala keluhan pada diri
sendiri dengan obat-obat yang dibeli bebas di apotek atau toko obat
atas kemauan sendiri tanpa nasehat dokter. Keuntungan swamedikasi
adalah tersedia obat yang dapat digunakan di rumah kita dan akan
menghemat waktu yang diperlukan untuk pergi ke dokter yang jauh
dari tempat tinggal. Kerugiannya bila keluhan yang dialami dinilai
salah dan bila penggunaan obat kurang tepat, terlalu lama, atau
dalam dosis yang terlalu besar.
2.2.1 Alasan Melakukan Swamedikasi Selain pengobatan sendiri
atau swamedikasi, saat ini juga berkembang perawatan sendiri (self
care). Perawatan sendiri ini lebih bersifat pencegahan terjadinya
penyakit atau menjaga supaya penyakitnya tidak bertambah parah
dengan perubahan pola hidup, menjaga pola makan, menjaga kebersihan
dan lain-lain.Menurut WHO, peningkatan kesadaran untuk perawatan
sendiri ataupun pengobatan sendiri (swamedikasi) diakibatkan oleh
beberapa faktor berikut ini:
a. Faktor sosial ekonomiDengan meningkatnya pemberdayaan
masyarakat, berakibat pada semakin tinggi tingkat pendidikan dan
semakin mudah akses untuk mendapatkan informasi. Dikombinasikan
dengan tingkat ketertarikan individu terhadap masalah kesehatan,
sehingga terjadi peningkatan untuk dapat berpartisipasi langsung
terhadap pengambilan keputusan dalam masalah kesehatan.b. Gaya
hidupKesadaran mengenai adanya dampak beberapa gaya hidup yang
dapat berakibat pada kesehatan, membuat semakin banyak orang yang
lebih perduli untuk menjaga kesehatannya daripada harus mengobati
bila terjadi penyakitnya kelak.
c. Kemudahan memperoleh produk obatSaat ini pasien dan konsumen
lebih memilih kenyamanan membeli obat yang bisa diperoleh dimana
saja, dibandingkan harus menunggu lama di rumah sakit atau
klinik.d. Faktor kesehatan lingkunganDengan adanya praktek sanitasi
yang baik, pemilihan nutrisi yang tepat serta lingkungan perumahan
yang sehat, meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat menjaga
dan mempertahankan kesehatan serta mencegah terkena penyakit.e.
Ketersediaan produk baruSaat ini, semakin banyak tersedia produk
obat baru yang lebih sesuai untuk pengobatan sendiri. Selain itu,
ada juga beberapa produk obat yang telah dikenal sejak lama serta
mempunyai indeks keamanan yang baik, juga telah dimasukkan ke dalam
kategori obat bebas, membuat pilihan produk obat untuk pengobatan
sendiri semakin banyak tersedia.
2.2.2 Peran Farmasis/Apoteker dalam SwamedikasiPengobatan
sendiri atau swamedikasi semakin banyak dilakukan masyarakat,
sehingga informasi mengenai obat yang tepat dan sesuai dengan
kebutuhan mereka juga semakin diperlukan. Berdasarkan hal itulah
maka apoteker mempunyai peranan penting untuk memberikan informasi
yang tepat tentang obat kepada pasien atau konsumen.Pelayanan
kefarmasian saat ini telah bergeser orientasinya dari drug oriented
menjadi klien oriented/patient oriented yang berdasarkan pada
konsep Pharmaceutical Care . Yang dimaksud denganPharmaceutical
careadalah tanggung jawab farmakoterapi dari seorang farmasis untuk
mencapai dampak tertentu dalam meningkatkan kualitas hidup klien
(ISFI, 2004). Peran farmasis diharapkan tidak hanya menjual obat
tetapi lebih kepada menjamin tersedianya obat yang berkualitas,
mempunyai efikasi, jumlah yang cukup, aman, nyaman bagi
pemakaiannya dan harga yang wajar serta pada saat pemberiannya
disertai informasi yang cukup memadai, diikuti pemantauan pada saat
penggunaan obat dan akhirnya di evaluasi. Pekerjaan kefarmasian
dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan,
keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan klien atau
masyarakat yang berkaitan dengan sediaan farmasi yang memenuhi
standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan.
MenurutWorld Health organization(WHO),peran farmasis atau apoteker
dalam pengobatan sendiri (swamedikasi) yaitu (WHO,1998) :a. Peran
apoteker sebagai komunikator (Communicator)1) Apoteker harus
menginisiasi dialog dengan pasien atau dokter pasien tersebut bila
diperlukan, untuk memperoleh riwayat pengobatan pasien
sebelumnya.2) Untuk dapat memberikan saran mengenai obat bebas yang
sesuai, maka apoteker harus bertanya pertanyaan yang sesuai kepada
pasien dan juga mampu memberikan informasi penting yang dibutuhkan
(seperti cara konsumsi obat atau indeks keamanan obat).3) Apoteker
juga harus mempersiapkan diri dan dilengkapi dengan peralatan yang
memadai untuk melakukan skrining terhadap kondisi atau penyakit
tertentu, tanpa melampaui kewenangan seorang dokter.4) Apoteker
juga harus menyediakan informasi yang objektif tentang obat.5)
Apoteker juga harus dapat menggunakan dan mengartikan sumber
informasi lain, untuk dapat memenuhi kebutuhan pasien atau
konsumen.6) Apoteker harus dapat membantu pasien melakukan
pengobatan sendiri atau swamedikasi yang tepat dan bertanggung
jawab, atau memberikan saran ke pasien untuk konsultasi lebih
lanjut ke dokter bila diperlukan.7) Apoteker harus dapat menjamin
kerahasiaan informasi tentang keadaan kesehatan pasien.b. Peran
apoteker sebagai penyedia obat yang berkualitas (quality drug
supplier)1) Apoteker harus dapat menjamin, bahwa obat-obatan yang
disediakannya berasal dari sumber resmi yang dapat dipercaya serta
mempunyai kualitas yang baik.2) Apoteker juga harus menyediakan
penyimpanan yang tepat untuk obat-obatan yang ada.c. Peran apoteker
sebagai seorang pengajar dan pengawas (trainer and supervisor)Untuk
dapat memberikan pelayanan yang terbaik, maka apoteker juga
disarankan untuk membekali diri dengan ilmu-ilmu terbaru dan
berpartisipasi dalam kegiatan peningkatan kemampuan diri
(profesionalisme) yang berkelanjutan, seperti misalnya melanjutkan
pendidikannya lagi. Selain itu, apoteker biasanya juga didampingi
oleh staf non-apoteker lain, yang perlu untuk diawasi dan diberikan
pelatihan yang sesuai. Farmasis harus menjamin bahwa pelayanan yang
dilakukan oleh staf-staf yang bukan farmasis memiliki kualitas yang
sama. Oleh karena itu, apoteker juga sebaiknya membuat :
a) Pedoman penyerahan ke apoteker (protokol sebagai referensi
bagi farmasis).b) Pedoman untuk tenaga kesehatan lainnya yang
terlibat dalam hal penanganan obat (protokol bagi pekerja kesehatan
masyarakat yang terlibat dengan penyimpanan dan distribusi obat).d.
Peran apoteker sebagai rekan setara (collaborator)Untuk dapat
memberikan informasi yang tepat, maka sangat penting bagi apoteker
untuk dapat memiliki kerja sama dan membangun hubungan professional
yang baik dengan berbagai kalangan, seperti :1) Tenaga kesehatan
(professional) lainnya.2) Perkumpulan seprofesi (asosiasi profesi
nasional).3) Industri farmasi.4) Pemerintahan (baik lokal maupun
nasional).5) Pasien/klien & masyarakat umum.
Pada akhirnya hubungan yang baik ini dapat digunakan untuk
meningkatkan kualitas dalam swamedikasi.e. Sebagai promotor
kesehatan (Health promotor)Sebagai seorang anggota atau bagian dari
tenaga kesehatan, maka apoteker juga harus dapat :
1) Berpartisipasi dalam skrining masalah kesehatan untuk dapat
mengidentifikasi adanya masalah kesehatan dan resikonya bagi
masyarakat.2) Berpartisipasi dalam hal promosi masalah kesehatan
dan pencegahan penyakit serta memberikan saran secara individual
untuk membantu dalam menentukan pilihan informasi tentang
kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kesadaran mengenai masalah
kesehatan ataupun pencegahan penyakit.3) Menyediakan saran kepada
individu untuk membantu mereka membuat pilihan yang tepat.
2.2.3 Tanggung Jawab dalam Swamedikasi Tanggung jawab dalam
swamedikasi menurutWorld Health Organization(WHO) terdiri dari dua
yaitu (WHO,1998) :a. Pengobatan yang digunakan harus terjamin
keamanan, kualitas dan keefektifannya.b. Pengobatan yang digunakan
diindikasikan untuk kondisi yang dapat dikenali sendiri dan untuk
beberapa macam kondisi kronis dan tahap penyembuhan (setelah
diagnosis medis awal). Pada seluruh kasus, obat harus didesain
spesifik untuk tujuan pengobatan tertentu dan memerlukan bentuk
sediaan dan dosis yang benar.c. Masalah-masalah yang umum dihadapi
pada swamedikasi antara lain sakit kepala, batuk, sakit mata,
konstipasi, diare, sakit perut, sakit gigi, penyakit pada kulit
seperti panu, sakit pada kaki dan lain sebagainya (Edwards &
Stillman, 2000).FIP juga merumuskan empat tanggung jawab farmasis
dalam swamedikasi yang dituangkan dalam kesempatan bersama asosiasi
industri obat (WSMI). Empat tanggungjawab tersebut yaitu (FIP,1999)
:a. Tanggungjawab profesional farmasis untuk memberi informasi dan
saran yang objektif tentang swmedikasi dan obat-obatan yang
tersedia untuk swmedikasi.b. Tanggungjawab profesional farmasis
untuk melapor kepada pemerintah dan industri farmasi apabila
ditemukan adanya efek samping yang muncul pada individu yang
melakukan swamedikasi dengan menggunakan obat produk dari industri
farmasi tersebut.c. Tanggungjawab profesional farmasis untuk
merekomendasikan rujukan kepada dokter apabila swamedikasi yang
dilakukan tidak tepat.d. Tanggungjawab profesional farmasis untuk
memberi penjelasan kepada masyarakat bahwa obat adalah produk
khusus dan harus disimpan serta diberi perhatian khusus. Farmasis
juga tidak diperbolehkan melakukan hal yang dapat memicu masyarakat
membeli obat dalam jumlah banyak sekaligus.2.2.4 Hal yang Harus
Diperhatikan Pasien Saat Melakukan SwamedikasiKetika pasien atau
konsumen memilih untuk melakukan pengobatan sendiri atau
swamedikasi, ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan supaya
pengobatan sendiri tersebut dilakukan dengan tepat dan bertanggung
jawab, seperti dari situs chpa (consumer healthcare products
association) berikut ini :a. Pada pengobatan sendiri, individu atau
pasien memegang tanggung jawab utama terhadap obat yang digunakan.
Oleh karena itu, sebaiknya baca label obat dengan seksama dan
teliti. Kemudian perhatian khusus perlu diberikan bagi penggunaan
obat untuk kelompok tertentu, seperti pada anak-anak., lanjut usia
ataupun wanita hamil dan menyusui.b. Jika individu atau pasien
memilih untuk melakukan pengobatan sendiri, maka ia harus dapat :1)
Mengenali gejala yang dirasakan.2) Menentukan apakah kondisi mereka
sesuai untuk pengobatan sendiri atau tidak.3) Memilih produk obat
yang sesuai dengan kondisinya.4) Mengikuti instruksi yang tertera
pada label obat yang dikonsumsi.c. Pasien juga harus mempunyai
informasi yang tepat mengenai obat yang dikonsumsi, dengan cara
membaca label obat dengan teliti. Berkonsultasi ke dokter bila
perlu, hal ini terutama bila dirasakan bahwa pengobatan sendiri
atau swamedikasi yang dilakukan tidak memberikan hasil seperti yang
diharapkan.d. Setiap orang yang melakukan pengobatan sendiri atau
swamedikasi juga harus menyadari kelebihan ataupun kekurangan dari
pengobatan sendiri yang dilakukan. Dengan mengetahui manfaat dan
resikonya, maka pasien atau konsumen tersebut juga dapat melakukan
penilaian apakah pengobatan sendiri atau swamedikasi tersebut perlu
dilakukan atau tidak.2.2.5 Penggunaan Obat yang Rasional dalam
SwamedikasiSwamedikasi memberikan kontribusi yang sangat besar bagi
pemerintah dalam pemeliharaan kesehatan secara rasional. Namun bila
tidak dilakukan secara benar justru menimbulkan bencana yaitu tidak
sembuhnya penyakit atau munculnya penyakit baru karena obat dengan
segala konsekuensinya. Untuk melakukan swamedikasi secara aman,
efektif dan terjangkau, masyarakat perlu melakukan bekal
pengetahuan dan ketrampilan. Masyarakat mutlak memerlukan informasi
yang jelas dan terpecaya agar penentuan kebutuhan jenis atau jumlah
obat dapat diambil berdasarkan alasan yang rasional
(Suryawati,1997).Untuk mengetahui kebenaran swamedikasi
(menggunakan obat secara rasional) dapat digunakan indikator sebagi
berikut (Depkes RI, 1996) :a. Tepat obatPelaku swamedikasi dalam
melakukan pemilihan obat hendaknya sesuai dengan keluhan yang
dirasakannya dan mengetahui kegunaan obat yang diminum.b. Tepat
golonganPelaku swamedikasi hendaknya menggunakan obat yang termasuk
golongan obat bebas dan bebas terbatas.c. Tepat dosisPelaku
swamedikasi dapat menggunakan obat secara benar meliputi cara
pemakaian, aturan pakai dan jumlah obat yang digunakan.d. Tepat
waktu Lama pengobatan terbatas, pelaku swamedikasi mengetahui kapan
harus menggunakan obat dan batas waktu menghentikannya untuk segera
meminta pertolongan tenaga medis jika keluhannya tidak berkurang.e.
Waspada efek sampingPelaku swamedikasi mengetahui efek samping yang
timbul pada penggunaan obat sehingga dapat mengambil tindakan
pencegahan serta mewaspadainya.2.2.6 Hal yang Harus Dikuasai oleh
Seorang FarmasiTerdapat beberapa hal yang harus di kuasai oleh
seorang farmasis pada pelayanan swamedikasi, yaitu (Blenkinsopp
& Paxton,2002) :a. Membedakan antara gejala minor dan gejala
yang lebih serius.Triagingadalah istilah yang diberikan untuk
membedakan tingkat keseriusan gejala penyakit yang timbul dan
tindakan yang harus di ambil. Farmasis telah memiliki prosedur
untuk mengumpulkan informasi dari klien, sehingga dapat memberikan
saran untuk melakukan pengobatan atau menyarankan rujukan ke
dokter.b. Kemampuan mendengarkan (Listening skills)Farmasis
membutuhkan informasi dari klien untuk membatu membuat keputusan
dan merekomendasikan suatu terapi. Proses ini dimulai dengan suatu
pertanyaan pembuka dan penjelasan kepada klien kemungkinan
diajukannya pertanyaan yang bersifat lebih pribadi. Hal ini
diperlukan agar farmasis dapat mengenali gejala lebih jauh,
sehingga dapat merekomendasikan terapi yg benar.c. Kemampuan
bertanya (Questioning skills)Farmasis harus memiliki kemampuan
untuk mengajukan pertanyaan dalam usaha untuk mengumpulkan
informasi tentang gejala klien. Farmasi harus mengembangkan suatu
metode untuk mengumpulkan informasi yang terdiri dari
pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus diajukan. Ada dua metode
umum yang digunakan.1) Metode pertama disingkat sebagai WHAMW: Who
is the patient and what are the symptoms(siapakah klien dan apa
gejalanya)H :How long have the symptoms(berapa lama timbulnya
gejala)A :Action taken(Tindakan yang sudah dilakukan)M :Medication
being taken(obat yang sudah digunakan)2) Metode kedua dikembangkan
oleh Derek Balon, seorang farmasis di london yaitu ASMETHODA :Age /
appearance(Usia klien)S :Self or someone else(dirinya sendiri atau
orang lain yang sakit)M :Medication (regularly taken on
preskription or OTC)(Pengobatan yang sudah digunakan baik dengan
resep maupun dengan non resep)E :Extra medicine(Usaha lain untuk
mengatasi gejala sakit)T :Time persisting(lama gejala)H
:History(iwayat klien)O :Other symptoms(gejala lain)D :Danger
symptom(Gejala yang berbahaya).d. Pemilihan terapi berdasarkan
bukti keefektifanFarmasis memiliki dasar pengetahuan farmakologi,
terapeutik dan farmasetika yang dapat digunakan untuk memberikan
terapi yang rasional, didasarkan pada kebutuhan klien. Selain
melihat kefektifan bahan aktif suatu obat, farmasis juga harus
memperhatikan interaksi potensial, kontraindikasi, peringatan, dan
profil efek samping dari bahan-bahan tambahan yang
terkandung.Farmasis dapat menyarankan rujukan kepada dokter jika
gejala timbul dalam waktu yang lama, masalah berulang dan semakin
parah, timbul nyeri yang hebat, penggobatan gagal, timbul efek
samping, dan gejala yang berbahaya.2.2.7 Informasi Obat dalam
SwamedikasiSalah satu faktor penentu yang berperan dalam tindakan
pengobatan sendiri atauself medicationyaitu tersedianya sumber
informasi tentang obat dan pengobatan. Ketersedianya sumber
informasi tentang obat dapat menentukan keputusan dalam pemilihan
obat (Sukasedati, 1999). Informasi obat disini merupakan
tanggungjawab farmasis dan merupakan bagian dari
konseppharmaceutical Care.Seorang farmasis harus memberikan
informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak
bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi yang dapat diberikan
oleh seorang farmasis dalam pelayanan swamedikasi yaitu (Jepson,
1990; Rudd C.C, 1983; WHO, 1998; MENKES RI,2004 ; ISO, 2012) :a.
Nama obat dan kekuatannya, farmasis harus menjelaskan kesamaan
penggunaan obat paten dan obat generik, apabila suatu saat terjadi
penggantian obat.b. Indikasi dan aturan pakai (dosis, rute (oral,
topical), frekuensi penggunaan, waktu minum obat (sebelum/sesudah
makan, tidak bersama obat lain). Hal ini merupakan faktor penting
yang harus di ketahui klien saat menerima obat. Sehingga klien
benar-benar mengerti tentang waktu penggunaan obat dan instruksi
khusus yang harus di perhatikan oleh klien, misalnya kocok dahulu
atau harus diminum saat lambung kosong.c. Cara menggunakan:1.
Sediaan berbentuk sirup/suspense harus dikocok terlebih dahulu.2.
Antasida harus dikunyah terlebih dahulu.3. Tablet sublingual
diletakkan dibawah lidah, bukan ditelan langsung, tablet bukal
diletakkan diantara gusi dan pipi, bukan ditelan langsung.4. Teknik
khusus dalam menggunakan inhaler, obat tetes mata/telinga/hidung
dan suppositoria.5. Sediaan dengan formulasi khusus seperti tablet
lepas lambat (sustained-released (SR)/controlled release (CR) atau
sediaan tablet yang harus hancur di usus (Enteric-coated) harus
ditelan utuh dan tidak boleh digerus.d. Berapa lama obat harus
digunakan.e. Apa yang harus dilakukan jika terlupa minum atau
menggunakan obat.f. Mekanisme kerja obat, farmasis harus
menjelaskan kerja obat sesuai dengan gejala yang diderita klien.
Sebab beberapa obat memiliki mekanisme kerja yang berbeda, sesuai
dengan indikasi terapinya.g. Efek pada gaya hidup, beberapa terapi
dapat menimbulkan perubahan pada gaya hidup klien misalnya
mengurangi mengkonsumsi alkohol, merokok, mengurangi olah raga
berlebihan.h. Cara penyimpanan obat, informasi tentang cara
penyimpanan obat sangat penting terutama untuk obat-obat yang
memiliki aturan penyimpanan tertentu, misalnya harus di simpan di
lemari es, harus disimpan terlindung dari cahaya atau di jauhkan
dari jangkauan anak-anak.i. Kemungkinan terjadinya efek samping
yang akan dialami dan bagaimana cara mencegah atau
meminimalkannya/Efek samping potensial, klien harus diinformasikan
tentang efek samping yang mungkin timbul dalam penggunaan obat.
Efek samping tersebut dapat berupa efek samping ringan yang dapat
di prediksi, contoh perubahan warna urin, sedasi, bibir kering dan
efek samping yang perlu perhatian medis, misalnya reaksi alergi,
nausea, vomiting dan impotensi.j. Interaksi antar obat dan makan,
farmasis harus memberikan informasi tentang kemungkinan adanya
interaksi antar obat yang digunakan ataupun dengan makan yang di
konsumsi oleh klien, sehingga klien dapat mengetahui aturan pakai
yang benar dari masing-masing obat, contohnya pemberian
antikoagolan berinteraksi dengan pemberian aspirin.k. Informasi
tambahan lainya, yaitu pembuangan obat yang telah kadaluarsa dan
kapan saatnya berkonsultasi ke dokter.2.2.8 Bagaimana cara
menggunakan obat?Kapan dan dengan Apa Obat Harus Diminum?a. Sebelum
atau sesudah makan?Obat diminum sebelum makan, karena adanya
makanan di dalam lambung akan menghambat pelarutan dan
penyerapan/absorpsi obat. Obat diminum sesudah makan atau pada saat
makan, karena obat harus melarut dalam lemak agar dapat diserap
dengan baik. Jika obat ini diminum pada saat perut kosong, dapat
menimbulkan mual dan muntah serta akan mmengiritasi lambung.b.
Berapa kali sehari?Lama kerja obat berbeda-beda. Ada obat yang
diminum1, 2, 3, atau 4 kali sehari. Obat yang harus ditelan 1x
sehari umumnya ditelan pagi hari, bila tidak diberi petunjuk lain.
2 kali sehari artinya obat diminum tiap 12 jam, 3 kali sehari
artinya obat diminum tiap 8 jam dan 4 kali sehari artinya obat
diminum tiap 6 jam. Bila takaran 4 kali sehari sukar diwujudkaan,
sebaiknya obat diminum sebelum dan sesudah tidur pada malam hari,
serta 2 kali lagi dibagi rata sepanjang hari.c. Dengan air, limun,
atau susu?Sebaiknya obat diminum dengan air putih. Susu tidak
selalu layak diminum dengan obat, karena mengandung kalsium,
khususnya zat-zat antibiotik seperti halnya tetrasiklin. Ini karena
kalsium dapat mengikat tetrasiklin, sehingga obat dari usus/saluran
pencernaan tidak dapat diserap oleh darah.
2.2.8 Bagaimana Cara Menyimpan Obat?Semua obat sebaiknya
disimpan di tempat yang sejuk, dalam wadah asli dan terlindung dari
lembab cahaya.2.2.9 Tanda-tanda Kerusakan ObatSuatu obat telah
menjadi rusak bila terjadi perubahan warna, larutan yang bening
menjadi keruh atau berjamur, bentuk dan baunya berubah. Obat yang
rusak tidak boleh diminum, karena akan dapat membentuk zat-zat
beracun atau menjadi tidak berefek pada tubuh. Pada waktu membeli
obat, sebaiknya dilihat tanggal kadaluwarsanya, juga bungkusan
aslinya apakah masih dalam keadaan baik atau sudah rusak.
2.2.10 KonselingKonseling umumnya berlansung sangat kondisional
dan hasilnya sering kali juga tidak bisa kita nilai hanya dengan
benar salah. Satu hal yang paling penting dalam konseling
kefarmasian adalah mengamankan klien atau pasien dari ESO atau dari
bahaya penggunaan sediaan farmasi lain, juga mengamankan dari
bahaya penyakit yang diderita pasien atau klien. Oleh karena itu,
sebagian hasil konseling kefarmasian diapotek adalah rujukan ke
sarana kesehatan lain seperti praktek dokter atau rumah
sakit.Konseling tersebut juga kategori konseling efektif, karena
berjalan sangat singkat, mungkin cuma 2 atau 3 menit saja.
Konseling seperti ini dampaknya akan sangat besar bagi pasien dan
lingkungannya sendiri, karena manusia adalah makhluk sosial, yang
mana umumnya pasien akan mengabarkan hasil ini kepada siapa saja
yang ia kenal.Pada konseling seperti ini seringkali dibutuhkan
waktu lebih dari sekedar 2 atau 3 menit, dan kadang kala juga
membutuhkan 2 atau 3 kali pertemuan. Pada kasus konseling ini pesan
utamanya adalah pasien tidak memahami efek samping obat dan
kebutuhan pasien adalah obat yang manjur dan aman sesuai kondisi
pasien.2.2.11 Standar Operating Prosedur (SOP) Pelayanan
Swamedikasia. Apoteker tersenyum menberi salam, memperkenalkan
diri, menawarkan bantuan sebelum pasien mendahului.b. Apoteker
melakukan penggalian masalah yang dihadapi pasien, riwayat
penyakit, riwayat pengobatan dan memberikan alternative pilihan
obatnya dengan mempertimbangkan prinsip 4T (tepat obat, tepat
indikasi, tepat dosis, tepat pasien) 1W (waspada efek samping). c.
Apoteker menginformasikan harga yang harus dibayar pasien untuk
obatnya.d. Apoteker melakukan penyerahan obat ke pasien dengan
disertai informasi berkenaan dengan obat dan penyakitnya.e.
Apoteker melakukan dokumentasi meliputi identitas pasien, keluhan
pasien, obat yang diserahkan dan jumlahnya serta informasi. f.
Mengucapkan terima kasih dan memberi senyum.2.2.12 Memandu Pasien
dalam BerswamedikasiSaat ini masyarakat banyak melakukan pengobatan
sendiri (swamedikasi) dimana mereka langsung dating mencari obat
untuk mengatasi gejala penyakit yang dirasakan mereka.
Masalah-masalah dalam swamedikasi yang perlu menjadi perhatian kita
adalah: swadiagnosis yang keliru, penggunaan obat yang salah,
penggunaan obat yang berlebihan, anggapan obat bebas pasti aman,
dan anggapan swamedikasi saja sudah cukup. Oleh karena itu,
masyarakat perlu dipandu dalam melakukan swamedikasi, antara
lain:a. Mengenali gejala penyakit.b. Memilih obat bebas/bebas
terbatas yang tepat.c. Membaca dengan teliti informasi pada
kemasan: indikasi, kontraindikasi, aturan pakai, efek samping obat,
interaksi obat-obat, obat-makanan,keadaan/hal-hal yang harus
diwaspadai selama mengkonsumsi obat.d. Jika gejala menetap bahkan
memburuk, segera konsultasi ke dokter.e. Jika mengalami efek
samping obat, hentikan pengobatan dan konsultasi ke dokter.f. Ada
beberapa obat keras yang dapat diperoleh tanpa resep dokter yang
penyerahannya dilakukan oleh Apoteker (DOWA=Daftar Obat Wajib
Apotek).g. Jika ada keraguan dalam berswamedikasi, konsultasikan
kedokter/apoteker. (ISO, 2012)
2.3 Contoh KasusSusanti adalah seorang remaja berumur 17 tahun,
Pasien mengalami masalah jerawat (Acne vulgaris) pada bagian
wajahnya. Dengan ditandai adanya komedo serta pori-pori wajah yang
besar dan adanya pastula dan nodulus di wajahnya. Pasien diberikan
obat Verile Acne Gel yaitu obat jerawat yang dijual bebas tanpa
resep dokter dan yang sudah sering dipasarkan di masyarakat untuk
mengatasi masalah jerawat pada bagian mukanya, dan tidak memiliki
efek samping yang serius dan dijual dengan harga yang
terjangkau.
2.3.1 Analisis SOAP
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan :
Pasien datang dengan keluhan kulit berjerawat pada bagian
wajahnya. Kelainan awal adanya komedo pada bagian wajah, pori-poti
wajah membesar dan ditandai juga dengan adanya plastula dan nodulus
pada wajah dan kulit kemerahan pada wajah.
Faktor risiko :
a.Faktor hormone
b. Faktor makanan berlemak
c. Faktor tidur larut malam
d. Usia 17 tahun
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana
(Objective)Pemeriksaan Fisik :
-Tanda Patognomonis
a. Kulit berjerawat dengan adanya komedo dan pori wajah
membesar
Penegakkan Diagnosis (Assesment)
-Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemerisaan
fisik
-Diagnosis Banding
a. Akne Venenata ( berupa komedo atau papul dengan tempat
predileksi ditempat kontak zat kimia atau rangsangan fisik)
b. Adenoma Sebaseum ( papul merah muda sampai merah diwajah yg
timbul sejak usia anak-anak sampai puberitas)
c. Erupsi Akneiformis ( erupsi papulopustul mendadak tanpa
adanya komedo )
Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
a. Pasien diminta untuk memperhatikan faktor predisposisi
keluhan, misalnya mengkonsumsi makanan berlemak seperti coklat
dengan intensitas yang cukup sering . Diet juga disarankan untuk
mengkonsumsi makanan rendah lemak dan konsumsi buah-buah dan
sayuran yang lebih banyak.
b. Farmakoterapi dilakukan dengan :
1. Topikal
Penggunaan Verile Acne Gel yang mengandung komposisi Asam
Salisilat 0,5 %Asam Borat 1 %Resorsinol 2%Allantoin 0,1%Triklosan
0,1 %Alkohol 25 %, dengan indikasi mengobati acne vulgaris .
2.3.2 Konseling dan EdukasiMemberikan informasi dengan faktor
konstitusi bahwa penyakit ini dapat disembuhkan dengan mengontrol
makanan dan mengontrol waktu tidur .2.4 DialogPada suatu siang,
tepat jam 12.00, di apotek SEHAT terdapat satu orang apoteker yang
sedang bertugas. Pada saat itu datanglah Susanti, seorang seorang
remaja putri berusia 17 tahun mencari obat untuk jerawat yang
muncul di beberapa titik pada wajahnya.
(pasien memasuki apotek)
Apoteker:Selamat pagi mbak, ada yang bisa saya bantu?
Pasien :Iya selamat pagi bu, saya mau membeli obat untuk
mengobati jerawat yang muncul di wajah saya, ini muncul komedo
juga, yang bagus apa ya bu? (dengan muka sedih)
Apoteker :Mbak biasa pake obat apa?
Pasien:Saya lupa nama obatnya, bu.
Apoteker:Waduh, merah-merah gitu ya mbak. Ini muncul jerawatnya
udah dari kapan?
Pasien:Ini udah dari 3 hari yang lalu bu, tapi sih belum saya
kasih obat apa-apa.
Apoteker :Terasa gatal tidak mbak?
Pasien:Tidak, bu. Hanya jika ditekan terasa sakit. Ya, biasa bu
jerawat baru muncul begini (sambil menunjuk ke mukanya)
Apoteker : Oh, begitu. Ya sudah. Sebentar ya mbak, saya ambilkan
obatnya (tersenyum ringan)
Beberapa menit kemudian
Apoteker : Ini mbak obat yang bisa berguna untuk mengobati
jerawatnya. Namanya Verile Acne Gel. Harganya15.000 rupiah. Ini
obatnya digunakan sehari tiga kali: pagi, siang, dan malam hari.
Penggunaannya mudah kok, mbak, bisa langsung dioleskan di bagian
yang muncul jerawatnya. Tapi, ini obatnya digunakan setelah muka
dibersihkan dulu ya, mbak. Pasien: Tapi ini beneran bisa hilangin
jerawat-jerawatnya kan, bu?
Apoteker:InsyaAllah, yang penting mbak pakainya teratur dan
usahakan muka selalu dalam keadaan bersih. Oh iya mbak, Obat ini
hanya untuk pemakaian luar. Jadi, hindari kontak langsung dengan
mata. Apabila timbul gangguan pada kulit, kurangi pemakaian dan
jika gangguan pada kulit tetap ada, langsung hentikan pemakaian ya,
mbak.Pasien :Oh gitu ya mbak, terimakasih banyak atas informasinya
mbak, ini uangnya (menyerahkan Rp 15.000)
Apoteker : sama-sama ibu, saya terima uangnya, uangnya pas
15.000 rupiah, semoga lekas sembuh ibu (tersenyum).
BAB III
KESIMPULANPelayanan obat non resep merupakan pelayanan kepada
pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri atau swamedikasi.
Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat digunakan
tanpa resep yang meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas
terbatas (OBT) dan obat bebas (OB). Obat wajib apotek terdiri dari
kelas terapi oral kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut serta
tenggorokan, obat saluran nafas, obat yang mempengaruhi sistem
neuromuskular, anti parasit dan obat kulit topikal.Swamedikasi
berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obat
yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas kemauan sendiri
tanpa nasehat dokter. Keuntungan swamedikasi adalah tersedia obat
yang dapat digunakan di rumah kita dan akan menghemat waktu yang
diperlukan untuk pergi ke dokter yang jauh dari tempat tinggal.
Kerugiannya bila keluhan yang dialami dinilai salah dan bila
penggunaan obat kurang tepat, terlalu lama, atau dalam dosis yang
terlalu besar.
DAFTAR PUSTAKA
Darmstadt, L. Gary, Al Lane. 1999. Akne. Dalam: Wahab, Samik.,
ed. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Vol. 3. Jakarta: EGC,
2319-2323.Dipiro, J.T., et all, 2008, Pharmacotheraphy A
Phatophysiologic Approach, Ed 7, The McGraw-Hill Companies, New
York.
Plewig, Kliegman., 1975.Akne, Erupsi Akneiformis, Rosasea,
Rinofima. Dalam:Djuanda, Adhi, ed. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
ed.5. Jakarta: FK-UI, 256.Tan, H.T. & K. Rahardja, 1993,
Swamedikasi: Cara-cara Mengobati Gangguan Sehari-hari dengan
Obat-obat Bebas Sederhana, Edisi I, Cetakan I.Tim Editor, 2012,
MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 11 2001/2012, Jakarta:
PT. Bhuana Ilmu Populer.Tim Penyusun, 2012, ISO (Informasi
Spesialite Obat) Indonesia, Vol 46. Jakarta: P.T. ISFI Penerbitan.
Wasitaatmadja., 2007. Akne, Erupsi Akneiformis, Rosasea, Rinofima.
Dalam: Djuanda, Adhi, ed. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, ed.5.
Jakarta: FK-UI, 253263.