Susu formula dengan DHA dan AHA belum tentu berefek maksimal
untuk pertumbuhan otak. Istilah DHA (Docosahexaenoic acid) dan ARA
(arachinoid acid) memang tak asing di telinga para ibu. Dalam iklan
di televisi, terlihat sejumlah perusahaan susu berlomba-lomba
menawarkan produk yang mengandung DHA dan ARA. Biasanya, susu jenis
ini harganya lebih mahal dibanding susu formula tanpa asam lemak
esensial itu. Si ibu yang langsung kepincut dua komponen tersebut
dan berkantong tebal langsung berburu produk itu. Padahal, menurut
Dr Hardiono D. Pusponegoro, SpA (K), meskipun banyak susu formula
mengklaim mengandung DHA dan ARA, belum tentu semuanya akan memberi
dampak yang baik dan maksimal untuk pertumbuhan otak anak. "Hampir
semua produsen susu formula memasukkan berbagai benda dalam
produknya, tapi jumlahnya sedikit-sedikit. Padahal, bila
perbandingan DHA dan ARA dalam susu formula tak tepat, hasilnya tak
akan baik bagi anak. Kecerdasannya tak akan meningkat," ucap
Hardiono, Selasa lalu di Jakarta, dalam konferensi pres mengenai
kadar asupan DHA ARA yang tepat dan stimulasi sejak dini untuk
nilai IQ anak lebih baik. Hardiono juga menjelaskan, DHA dan ARA
sebenarnya terdapat secara alami dalam air susu ibu (ASI).
Konsultan anak bidang neurologi dari Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, itu menambahkan, dibandingkan dengan susu
formula yang diperkaya DHA dan ARA, kandungan kedua asam lemak yang
terdapat dalam ASI masih jauh lebih baik segi kualitas ataupun
kuantitasnya. Ini berbeda dengan ASI, kandungan DHA dan ARA secara
alami memiliki komposisi yang tepat bagi tumbuh-kembang bayi. DHA
dan ARA merupakan asam lemak yang sangat dibutuhkan bayi untuk
pembentukan otak, jaringan saraf, jaringan penglihatan, dan
membantu pembentukan sistem imun pada bayi. Melalui ASI, bayi akan
mendapatkan DHA dan ARA yang diperlukan sebagai komponen utama
lemak membran sel dan merupakan asam lemak tak jenuh dalam rantai
panjang utama sistem saraf pusat. DHA juga merupakan komponen utama
membran sel fotoreseptor retina. Otak tumbuh maksimal sejak 3 bulan
terakhir dari masa kehamilan sampai kurang lebih usia 2 tahun.
Karena itu, dalam periode tersebut, bayi sebaiknya mendapat DHA dan
ARA dalam jumlah cukup, yang tentunya dapat diperoleh dari ASI.
Agar mendapatkan kandungan DHA dan ARA yang tinggi dalam ASI-nya,
ibu hamil bisa mengkonsumsi makanan yang menjadi sumber DHA,
seperti ikan laut (contohnya salmon), minyak ikan, daging, dan
telur. Dari suatu penelitian, Dr Craig Jensen dari Departemen
Pediatrik pada Baylor College of Medicine Houston, Texas,
menyebutkan ibu-ibu di setiap negara memiliki kandungan DHA dan ARA
dalam ASI berbedabeda. Perbedaan ini lantaran asupan makanan yang
dikonsumsi sehingga dapat mempengaruhi kadar kedua komponen
tersebut. Walau tak ada angka yang pasti, Craig mengatakan DHA dan
ARA yang terdapat dalam ASI wanita Indonesia tak jauh berbeda
dengan negara tetangga, seperti Malaysia, yaitu sekitar 0,4 atau
0,5 persen dari total asam lemak. "? Ya, sekitar 0,4 atau 0,5
persen dari total asam lemak. Tapi, meski jumlahnya sedikit, DHA
dan ARA penting dalam perkembangan
intelektual dan daya penglihatan anak,?ujar Craig. Dia
melanjutkan, dari beberapa hasil studi memperlihatkan asupan DHA
dan ARA, baik bagi bayi prematur maupun bayi yang lahir normal,
bermanfaat untuk perkembangan fungsi penglihatan dan perkembangan
saraf otak pada bayi dan balita. Selain itu, penelitian yang
dilakukan Dr E. Birch menunjukkan, anakanak berusia 4 tahun yang
mendapatkan asupan DHA dan ARA dengan kadar 0,36 persen DHA (90
miligram DHA/100 gram) dan 0,72 persen ARA (180 miligram ARA/100
gram) selama 4 bulan pertama memiliki tingkat IQ lebih tinggi 7
poin dibanding mereka yang tak mendapat asupan DHA dan ARA dalam
kadar tersebut. Di samping itu, studi lain menunjukkan bahwa skor
IQ pada anak usia 4 tahun berkorelasi kuat dengan skor IQ pada usia
17 tahun. "Hal ini menunjukkan adanya stabilisasi dalam jangka
waktu panjang dan mengindikasikan nilai skor IQ yang kurang lebih
sama tingginya pada usia dewasa," Craig Jensen menjelaskan. Namun,
selain asupan DHA dan ARA dalam kadar yang tepat, Hardiono
mengingatkan perlunya stimulasi tepat yang diterapkan sejak dini
untuk melatih kecerdasan anak. Menurut Hardiono, kecerdasan anak
sangat dipengaruhi oleh rangsangan yang diterimanya pada
tahun-tahun awal kehidupannya, terutama dua tahun pertama yang
sering disebut dengan the golden years. Stimulasi yang tepat, baik
jenis maupun frekuensinya,akan melatih pancaindra anak dan akan
mempengaruhi kecerdasan. Nah, jangan sia-siakan masa keemasan anak
Anda. Sebab, bila terlambat, akan sulit memperbaikinya. Marlina
Marianna Siahaan Sumber : Tempo Perlukah Suplementasi AA/DHA dalam
Susu Formula? Ditulis Oleh Arifianto MD Mohon maaf kalau tulisan
ini jadinya seperti artikel semi ilmiah. Hanya berusaha
menyumbangkan sedikit informasi yang saya punya sebelum
meninggalkan Jakarta menuju lokasi tanpa koneksi internet sama
sekali (listrik dan telepon saja belum tahu ada/tidaknya) .
Maraknya iklan susu formula di mana-mana: TV, majalah, koran
mendorongku menelusuri lebih lanjut, perlukah suplementasi AA/DHA
dalam susu formula. Tujuan tulisan ini adalah menekankan tidak ada
yang mampu menggantikan ASI dalam enam bulan pertama kehidupan
bayi. Susu formula dibuat dengan berusaha meniru semirip mungkin
kandungan yang ada dalam ASI, untuk memenuhi segala kebutuhan
nutrisi bayi: karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan
air. Sebagian besar formula ini diambil dari susu sapi, yang
dinilai kandungannya hampir menyerupai air susu manusia, dan mampu
memenuhi kebutuhan gizi bayi. Sebagian kecil adalah susu kedelai.
Ada satu kandungan dalam ASI yang tidak terdapat dalam susu formula
kebanyakan, yaitu AA/DHA. Berbagai penelitian menunjukkan bayi yang
mendapatkan ASI sampai usia satu tahun memiliki perkembangan otak
lebih baik dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan ASI. Kandungan
yang menentukan ini adalah asam arakidonat (arachidonic acid/AA)
dan asam dokosaheksaenoat (docosahexaenoic acid/DHA), suatu asam
lemak tak jenuh ganda rantai panjang (long chain polyunsaturated
fatty
acids/PUFA), yang merupakan batu bata utama pembangun jaringan
saraf di retina (saraf mata) dan otak. Mengetahui hal ini, para
peneliti biokimia berlomba-lomba memasukkan AA dan DHA dalam
kandungan susu formula, dan melihat dampaknya apakah menyerupai
keuntungan bayi yang mendapatkan ASI. Sebuah tulisan dalam jurnal
Nutrition Noteworthy tahun 2002 yang berjudul: "Finding the Magic
Formula: Should Polyunsaturated Fatty Acids be Used to Supplement
Infant Formula" yang ditulis Mailan Cao menjelaskan tiga hal utama
yang menjadi indikator utama outcome (keluaran) suplementasi AA/DHA
ini, mengingat tidak semua hal yang terbukti di laboratorium (in
vitro) atau hewan percobaan, lantas sama efeknya ketika diterapkan
pada manusia. 1.. Suplementasi AA/DHA dan kadarnya dalam asam lemak
plasma (darah) Setelah dibuktikan aman untuk dikonsumsi tubuh
manusia, peneliti ingin membutikan apakah suplementasi AA/DHA dapat
diserap tubuh sama halnya kandungan dalam ASI, melihat bukti kadar
AA/DHA dalam tubuh bayi yang mendapatkan susu formula tanpa
suplementasi AA/DHA lebih rendah dibandingkan dengan yang
mendapatkan ASI.Ternyata terbukti, suplementasi AA/DHA meningkatkan
kadarnya dalam plasma darah, membran sel darah merah (eritrosit),
dan jaringan korteks otak, dalam jumlah menyerupai yang mendapatkan
ASI. ARTINYA: suplementasi AA/DHA mampu diserap tubuh dengan baik.
NAMUN ini sama sekali tidak menunjukkan dampaknya dalam
perkembangan saraf otak dan ketajaman penglihatan. 1.. Suplementasi
AA/DHA dan Pengaruhnya dalam (Fungsi) Ketajaman Penglihatan Sebuah
penelitian 'meta-analisis' menunjukkan adanya peningkatan fungsi
penglihatan pada bayi yang mendapatkan susu formula dengan
suplementasi AA/DHA dibandingkan yang mendapatkan susu formula
biasa, dengan melihat indikator perilaku dan elektrofisiologi mata
pada bayi berumur 2 dan 4 bulan. Beberapa penelitian terdahulu
tidak menunjukkan adanya perbedaan. 1.. Suplementasi AA/DHA dan
Perkembangan Kecerdasan/Perilaku Inilah KUNCI dari impian semua
peneliti mengenai suplementasi AA/DHA: mampukah menyamai dampaknya
dalam meningkatkan kecerdasan bayi, layaknya bayi yang mendapatkan
ASI? Ternyata dari berbagai penelitian: belum terbukti. Bayi yang
mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupannya, dan
diteruskan sampai usia 1 tahun, memiliki kecerdasan lebih daripada
yang mendapatkan susu formula dengan AA/DHA sekalipun.Beberapa
kendala juga menghadang model penelitian ini. Antara lain jenis uji
yang digunakan untuk mengukur tingkat kecerdasan adalah: Bayley
Mental Development Index (MDI) dan the Psychomotor Developmental
Index (PDI). Berbagai penelitian menunjukkan hasil berbeda-beda,
ada yang menggambarkan hasil signifikan pemberian suplementasi
AA/DHA, dan sebagian lain tidak ada bedanya. Belum lagi pengaruh
sosioekonomi responden yang mempengaruhi uji statistik. Kadar AA,
DHA, dan asam lemak lain semacam ALA dan LA juga bervariasi antar
penelitian. Sampai perbedaan genetik dan lingkungan di berbagai
belahan dunia tempat penelitian dilakukan (Amerika Utara,
Australia, dan Eropa). Juga terkadang jumlah sampel terlalu
sedikit, umur bayi yang terlalu dini untuk dilakukan pengujian, dan
jangka waktu penelitian yang seharusnya cukup panjang, sehingga
dapat dilihat dampaknya hingga usia remaja dan dewasa.Pada akhirnya
penelitian
mengenai dampak suplementasi AA/DHA masih terus dikembangkan,
dan belum berakhir. Bagaimana dengan pemasarannya di negara kita?
Berbagai iklan dan informasi yang tidak jarang datang dari dokter
spesialis anak sendiri seolah-olah mengklaim perannya signifikan
dalam meningkatkan kecerdasan bayi.Di AS, Food and Drug
Administration (FDA) atau serupa Badan POM-nya Indonesia,
memberikan ijin kepada dua perusahaan: Abbott Laboratories dan Mead
Johnson Nutritionals untuk mengedarkan susu formula dengan
suplementasi AA/DHA kepada khalayak sejak awal 2002. Harganya
15-20% persen lebih mahal dibandingkan dengan susu formula tanpa
suplementasi, dan ini pun memberikan keuntungan kepada dua
perusahaan tersebut untuk membiayai penelitian mengenai
AA/DHA.American Council on Science and Health memiliki pandangan
"the current data has not consistently shown that supplementation
of formulas with DHA and AA has a lasting beneficial effect on
infant development" juga hal lain seperti keamanan menambahkan asam
lemak dalam susu formula belum teruji. Pada akhirnya keputusan
berpulang pada tangan si konsumen. Apakah akan memberikan susu
formula dengan suplementasi AA/DHA atau tidak. Yang penting adalah
memberikan ASI Eksklusif selagi mampu. Sejak masa kehamilan,
persiapkan diri sebaik mungkin dengan pengetahuan menyusui bayi
secara optimal. Menjelang persalinan, jika Anda berencana
melahirkan di Rumah Bersalin atau Rumah Sakit, bukan di rumah,
mintalah kamar rawat gabung. Anda bisa bersama bayi Anda sejak
lahir hingga saatnya pulang, tanpa dipisahkan sedikit pun dari sisi
sang ibu. Satu hal yang sangat sulit dilakukan di kota besar
seperti Jakarta. Begitu bayi lahir, segera dekatkan ke payudara
ibu, untuk early latch-on-menyusui dini-dengan teknik yang telah
Anda ketahui baik. Sehingga dipastikan kemampuan Ibu untuk menyusui
bayinya penuh sangat baik. Maka tidak ada alasan lagi: "ASI saya
tidak keluar", dan harus memberikan susu formula pada bayi.
Dukungan dari keluarga juga sangat penting. Tidak sedikit alasan
ibu memberikan susu formula pada bayinya yang mendapatkan ASI
dengan baik adalah: khawatir ASI tidak cukup. Pembahasan ASI sangat
panjang, tidak dalam bahasan ini. Kecerdasan bayi tidak hanya
monopoli ASI dengan AA/DHA-nya saja. Tapi juga stimulasi eksternal,
dari lingkungan, melalui rangsangan yang diberikan Papa-Mamanya,
dengan percakapan verbal, pengenalan media visual, dan perhatian
penuh orangtua terhadap perkembangan kecerdasan anak. Apalah
artinya anak dengan asupan AA/DHA baik, tapi tidak pernah
dirangsang kemampuan verbal dan visual oleh orangtuanya. Bisa jadi
akan lebih buruk dibandingkan dengan anak yang tidak pernah
mendapatkan ASI atau susu formula, tetapi ibunya mampu memberikan
perhatian penuh terhadap stimulasi kecerdasan buah hatinya. Sumber
: http://arifianto . blogspot. com
Pengaruh Negatif Susu AA dan DHA Tingkat konsumsi Docosahexanoic
Acid (DHA) yang berlebihan akan membahayakan metabolisme tubuh.
Sebab tubuh terpaksa dibebani pekerjaan yang lebih berat untuk
mengeluarkan asam lemak esensial
tersebut. Spesialis penyakit anak Dr. Utami Roesli MBA, mengutip
hasil penelitian yang dilaksanakan di Australia, Amerika Serikat
maupun Eropa, bahwa di tiga kawasan negara maju ini, belum
dihasilkan efektifitas dari penambahan DHA dalam produk susu maupun
makanan bayi dan anak anak termasuk untuk ibu hamil. "Jadi belum
ada anjuran untuk menambahkan unsur asam linoleat dan asam
linolenat itu ke dalam susu", ujarnya kepada Media, kemarin di
Jakarta. Lebih jauh ditegaskan, seperti juga lemak susu sapi, maka
asupan DHA tersebut bukan merupakan ikatan rantai panjang, sehingga
masih sulit diserap oleh pencernaan bayi. Terlebih lagi, katanya,
karena susu yang akan dikonsumsi ini harus dibuat dengan
menggunakan air panas hingga mengalami proses pemanasan. Akibatnya,
aktifitas enzim desaturase dan elongase yang memfasilitasi
pembentukan DHA dalam tubuh secara otomatis hancur. Karena itu,
Utami, sebagai pakar air susu ibu (ASI) mengingatkan kepada
masyarakat, khususnya kaum ibu, supaya jangan terpengaruh terhadap
iklan susu dan makanan pendamping ASI yang mengandung DHA dengan
iming-iming mampu meningkatkan kecerdasan bayi. "Asam lemak
esensial tersebut justru cukup terkandung dalam ASI, bahkan unsur
DHA nya tergolong ikatan rantai panjang yang sangat mudah diserap
pencernaan bayi", ujarnya. Karena itu dia menganjurkan agar bayi
diberikan ASI sejak lahir sampai umur 4 bulan, karena asam lemak
ASI juga terdiri dari asam arakidonat. "Berarti, kandungannya
melebihi unsur asam linoleat dan asam linolenat". Setelah empat
bulan, katanya, bayi dapat di berikan tempe yang mengandung pula
asam linoleat maupun asam linolenat karena lemaknya termasuk ikatan
rantai panjang. Utami menjelaskan, setelah mencapai umur enam
bulan, bayi juga dapat diberikan ikan laut, yang secara alami
mengandung pula kedua asam lemak itu tanpa harus mengonsumsi susu
formula. Menyesatkan Ketua Lembaga Peningkatan Penggunaan ASI Rumah
Sakit Saint Carolus ini mengakui, semboyan "Empat Sehat Lima
Sempurna" yang berlaku sejak dulu dinilai telah menyesatkan
masyarakat. "Orang beranggapan konsumsi makanan sehari hari belum
sempurna jika tidak minum susu. Susu bukan berarti tidak penting,
namun bukan segala galanya", tegasnya lagi. Dia bahkan melihat
iklan susu maupun makanan bayi dan anak anak yang diimplementasi
dengan DHA cenderung menyesatkan masyarakat, karena produsen
memanfaatkan kebodohan konsumen yang tak memahami manfaat
sesungguhnya dari unsur tambahan tersebut. Sementara, kalangan
spesialis gizi di Indonesia umumnya menyatakan masih awam terhadap
kandungan DHA dalam susu. Karena sampai sejauh ini, belum pernah
dilakukan penelitian tentang manfaatnya. Dokter Soebagyo
Sumodihardjo MSc, pakar gizi dari bagian Ilmu Gizi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, mengungkapkan pihaknya baru
mengetahui hal itu dari media massa. Ketika ditemui Media usai
pembukaan lokakarya "Pemerataan serta Peningkatan Pemanfaatan
Lulusan Pendidikan Tenaga Kesehatan di Sektor Non Departemen
Kesehatan dan Kesejahteraaan Sosial" kemarin di Jakarta, dia belum
bersedia dimintai komentarnya. "Saya baru mengkliping dan belum
membaca literatur", ujarnya. Dia berjanji memberitahukan hal
tersebut seminggu kemudian setelah segala informasi dikumpulkan
dari berbagai sumber. Spesialis Anak Dr. Sri S. Nasar sebelumnya
menginformasikan bahwa
overdosis DHA pada manusia, sejauh ini baru terlihat dialami
orang Eskimo yang banyak mengkonsumsi ikan laut. Dikatakan bahwa
gejalanya berupa perdarahan, mirip flek flek berwarna kebiruan di
kulit. "Efek yang lain baru ditemukan pada monyet maupun tikus,
tapi gejalanya berbeda". [sumber: Harian MEDIA INDONESIA, Jum'at 22
September 2000]
Waspadai Promosi Susu Formula Dewasa ini makin banyak pilihan
produk dan merek susu formula untuk bayi berusia di bawah enam
bulan. Meski begitu, sebaiknya orangtua yang memiliki bayi pada
usia tersebut harus ekstra hati-hati saat hendak memutuskan memilih
susu formula. Sudah sangat sering diulas oleh dokter anak maupun
ahli gizi anak bahwa satu-satunya makanan terbaik untuk bayi
berusia 0 hingga 6 bulan adalah air susu ibu (ASI). Bahkan para
ahli sangat menyarankan agar para ibu memberikan ASI eksklusif atau
tak memberi asupan makanan apa pun kepada bayi kecuali ASI selama
enam bulan pertama sejak bayi lahir. "Sayangnya, pemberian ASI
eksklusif ini belum jadi gaya hidup keluarga di berbagai lapisan
masyarakat. Padahal, menyusui merupakan cara terbaik dan paling
ideal dalam pemberian makanan bayi baru lahir dan bagian tak
terpisahkan dari proses reproduksi," kata Ketua Ikatan Dokter Anak
Indonesia DKI Jakarta (IDAI Jaya) dr Badriul Hegar SpA (K) (Kompas,
1 April 2006). Ada berbagai macam alasan yang dikemukakan para ibu
untuk tidak memberikan ASI eksklusif, misalnya karena sang ibu
bekerja sehingga tidak sempat menyusui bayi secara teratur. "Saya
sengaja memberi susu formula sejak awal, karena nanti setelah cuti
hamilnya habis kan saya enggak bisa memberi ASI secara teratur
lagi," ujar Dewi (31), pialang saham, yang baru saja melahirkan
anak pertamanya sebulan lalu. Belum terbiasanya masyarakat
memberikan ASI eksklusif kepada bayi ini menjadi celah pemasaran
yang bisa dimanfaatkan produsen susu formula. Selain itu, para
produsen juga memberi iming-iming berbagai vitamin dan zat gizi
tambahan ke dalam produk mereka, seperti DHA dan AA, yang sering
diklaim dapat membantu perkembangan otak bayi.
Ada dalam ASI Menurut dr IG Ayu Pratiwi Surjadi SpA,MARS,
anggota Satuan Tugas ASI IDAI Jaya, DHA (docosahexaenoic acid) dan
AA (arachidonic acid/asam arakidonat) memang sangat dibutuhkan
bayi, khususnya dalam dua tahun pertama perkembangannya. "Otak
manusia sebenarnya sudah terbentuk 90 persen saat lahir. Setelah
kelahiran kemudian terjadi mielinisasi dan sinaptogenesis dalam
otak," papar dokter yang akrab dipanggil Tiwi ini. Proses
mielinisasi adalah pembentukan selaput mielin atau selimut serabut
saraf yang membutuhkan laktosa atau zat gula dari susu. Sementara
proses sinaptogenesis adalah proses pembentukan susunan sistem
saraf pusat yang membutuhkan DHA dan AA.
"Namun, zat-zat tersebut baru aktif bila ada enzim yang
menyertai. Laktosa baru aktif dalam proses mielinisasi jika ada
enzim laktase yang menyertai, sementara DHA/AA baru aktif dalam
sinaptogenesis saat ada enzim lipase karena DHA/AA pada dasarnya
adalah asam lemak," ungkap Tiwi. Tiwi menambahkan, baik laktosa
maupun DHA/AA hanya hadir lengkap dengan enzim-enzimnya dalam ASI.
"Susu formula jenis apa pun, semahal apa pun, meski dibuat semirip
mungkin dengan ASI, tetap saja tak ada enzimnya. Jadi, satu-satunya
nutrisi terbaik untuk bayi memang hanya ASI," katanya. Tiwi
menambahkan, akibat gencarnya promosi susu formula, banyak anggota
masyarakat yang mengira DHA/AA tak terkandung dalam ASI. "Jadi,
tolong tekankan DHA/AA yang terbaik itu justru ada di dalam ASI.
Komponen apa pun yang dipromosikan ada di dalam susu formula,
semuanya sudah ada di ASI," kata Tiwi. Mitos dan promosi Ketua
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Husna Zahir juga
mengatakan, pihaknya sama sekali tidak merekomendasikan pemberian
susu formula kepada bayi. "Susu formula hanya diberikan dalam
kondisi-kondisi tertentu yang sangat darurat. Di luar itu,
pemakaian susu formula hanya pemborosan belaka," tandasnya. Husna
juga mengungkapkan adanya mitos bahwa bayi sehat adalah bayi yang
gemuk. Sementara bayi yang diberi ASI eksklusif memang cenderung
tidak menjadi gemuk. "Mereka kemudian menambahkan susu formula agar
bayinya gemuk. Padahal, bayi sehat tidak harus gemuk. Itu cuma
mitos," ujar Husna. Husna mengingatkan, kondisi bayi baru lahir
masih sangat rentan sehingga harus ekstra hati-hati saat memberi
zat makanan dari luar. "Klaim-klaim dari produsen bahwa susu
formulanya dapat memberi berbagai dampak positif bagi bayi perlu
dipertanyakan lebih lanjut. Misalnya, informasi dosis atau jumlah
yang tepat supaya dampak tersebut akan terjadi. Selama ini banyak
orang merasa aman apabila sudah mengonsumsi susu tersebut karena
termakan promosi," tambah Husna. Di atas semuanya, ia juga
menyarankan agar masyarakat waspada terhadap penawaran-penawaran
susu formula di tempat-tempat pelayanan kesehatan. "Sekarang ini
banyak rumah bersalin yang menawarkan susu formula kepada orangtua
bayi yang baru lahir. Itu sebenarnya melanggar kode etik," katanya.
Kode etik yang dimaksud Husna adalah Kode Internasional Pemasaran
Produk Pengganti ASI (International Code of Marketing of
Breast-milk Substitutes) yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) tahun 1981 lalu. "Pemasaran produk susu formula untuk
bayi berusia di bawah enam bulan seharusnya diatur secara tegas.
Kalau perlu ada pelarangan
promosi susu formula di tempat-tempat pelayanan medis resmi,"
ujarnya tegas. Sumber: Kompas Arsip milis sehat Di dunia ini,
apalagi di dunia media informasi - termasuk milis tidak ada yang
benar-benar bebas nilai. Semua memiliki tujuan, memiliki
target,termasuk memiliki "iklan". Begitu juga, tidak semua hal bisa
kita pandang sebagai hitam-putih. Artinya, iklan itu baik atau
buruk, itu dipengaruhi juga oleh cara pandang kita. Ad Epx Med Biol
jurnal tahun 2001 menuyusun review, bahwa memang bayi dengan ASI
menunjukkan perkembangan syaraf lebih baik daripada bayi dengan
susu formula. Satu parameter yang utama adakah adanya Long-chain
PUFA pada ASI yang tidak didapatkan pada susu formula, sehingga zat
ini yang dianggap berpengaruh signifikan. Ini didukung pula oleh
Jurnal Family Health Care tahun 2002. Jurnal Lipids 2001
melaporkan, penambahan DHA dan AA pada susu formula standar
meningkatkan proporsi antigen yang mature (matang), memperbaiki
produksi IL-10 dan mengurnagi produksi IL-2 (semua ini bersifat
memperkuat sistem imun) sampai pada tingkatan yang tidak berbeda
signifikan dengan yang dicapai pada bayi-bayi dengan ASI. Jurnal
Ann N Y Acad Sci June 2002 melaorkan, pemberian supplementasi DHA
dan AA berpengaruh positif terhadap kemampuan penglihatan sampai
usia 1 tahun segra fungsi-fungsi kognifif syaraf. Penelitian ini
pada bayi prematur ataupun yg matur. Ini didukung Eur J Clin Nutr
2003 yang melaporkan khususnya pada bayi prematur. Memang, kita
sulit mendapatkan hasil penelitian di bidang ini yang bersifat
randomized double-blind placebo-controll karena hambatan etik.
Tidak mungkin kita meminta subyek penelitian untuk menentukan jenis
susu apa yg diminum, ataupun memberikan placebo secara random.
Begitu juga, penelitian hanya bisa terbatas pada jangka pendek,
perlu waktu lama untuk menentukan apakah riwayat minum ASI dan susu
formula membedakan tingkat IQ (apalagi EQ dan SQ) setelah 30 tahun
kemudian misalnya. Yang jelas, hasil-hasil penelitian tersebut
mendorong usaha untuk membuat susu formula yang makin mendekati
struktur dan fungsi ASI. Caranya dengan ditambahkan beberapa
komponen : long-chain polyunsaturated fatty acids (LCPUFA) untuk
komposisi otak dan perkembangan syaraf (seperti disoroti dalam
artikel dimaksud), prodan prebiotik untuk flora normal dan
pertahanan lokal di saluran pencernaan, serta nukleotida untuk
memacu respon imun. Dilakukan juga perubahan kuantitas dan kualitas
protein untuk mendekati pola keseimbangan asam amino darah sehingga
cocok untuk perkembangan otak dan fungsi neurotransmitter tahap
dini, mencegah asupan protein berlebih yang bisa menimbulkan
obesitas, serta menggunakan protein terhidrolisa untuk mencegah
gangguan atopik (Minerva Pediatric Jurnal Juni 2003). Yang ingin
saya tekankan, para pembicara itu tidak salah, mereka bicara
berdasarkan data, berdasarkan penelitian. Kita tidak selayaknya
tergesa-gesa menilai mereka sebagai "disusupi" iklan.
Membaca artikel tersebut, kita seperti melihat sebuah gelas
berisi air setengahnya. Kita bisa katakan "setengah kosong" bisa
juga "setengah isi" tergantung darimana kita memandangnya. Tidak
selayaknya kita tergesa-gesa melakukan judgement. Sebagai SP kita
harus mampu berpikir komprehensif, bukan hitam-putih. Penambahan
suplemen dalam susu formula tersebut ditujukan pada bayi dari Ibu
yang oleh karena suatu hal tidak mampu memberikan ASI ekslusif
sampai 6 bulan. Susu formula tidak pernah ditargetkan untuk mampu
menyamai ASI,targetnya hanya sebisa mungkin mendekatinya. Artinya,
kita harus memahami artikel tersebut dengan lengkap. Semua
penelitian yang saya kutip diatas selalu diakhiri dengan penekanan
bahwa : 1. ASI tidak ada tandingannya. ASI adalah pilihan
satu-satunya untuk masa menyusui ekslusif. Hal ini tidak ada
penelitian yang menentangnya. 2. Pemberian susu formula dengan
suplementasi DHA dan AA adalah sebagai substitusi BILA memang Ibu
tidak dapat memberikan ASInya oleh suatu hal (*). Usaha maksimal
harus dilakukan agar Ibu dapat memberikan ASI-nya. 3. Suplementasi
terhadap susu formula tidak pernah dimaksudkan untuk bisa menyamai
ASI, hanya berusaha menirunya bila memang terpaksa harus diberikan
sebagai pengganti ASI. 4. Supplementasi terhadap susu formula tidak
pernah bisa memenuhi keuntungan-keuntung an lain dalam pemberian
ASI (terutama keuntungan non-fisik/hubungan psikologis) yang juga
berperan besar terhadap perkembangan anak (**). Tanda (*) dan (**)
ini saya berikan untuk menunjukkan, bidang inilah yang menjadi
salah satu "iklan" penting dari milis ini (semoga saya tidak salah
menangkap nuansa ini). Tidak dapat memberikan ASI sebabnya bisa
banyak tetapi yang paling sulit diatasi adalah : kesadaran Ibu
sendiri. Untuk itulah giat dilakukan kampanye untuk menyadarkan
para Ibu agar bisa memenuhi ASI ekslusif, agar tidak patah
semangat, agar tidak khawatir anaknya kurang gizi, agar Ibu ASI
ekslusif diterima oleh lingkungan keluarga dan lingkungan kerjanya,
agar suami dan keluarga mendukung, terutama agar yakin bahwa SEMUA
ibu pasti mampu melakukan ASI ekslusif .... Semua itu bertujuan
baik. Apakah lantas kita mau kalau ada yang menganggap kita telah
"menutupi fakta" bahwa memang ada saja Ibu yang benar-benar tidak
atau sangat sedikit memproduksi ASI atau oleh karena suatu hal
tidak dapat memberikannya (for whatever the reason is) ? Bukankah
memberi susu formula juga tidak berarti "ibu itu tidak cinta pada
anaknya" ? Mau kalau kita dianggap "disusupi" iklan sehingga
menutupi fakta itu ? Tentu saja tidak demikian. Kita kampanyekan
ASI ekslusif dengan kencang, karena itulah "iklan" kita. Iklan itu
baik karena didasari kepentingan sebagian terbesar masyarakat,
mewakili manfaat yang jauh lebih besar daripada kerugiannya. Bahwa
ada satu dua yang tidak sesuai, satu dua yang "meleset", itulah
kenyataan, tidak ada yang sempurna.
Hal ini juga saya tekankan untuk menunjukkan tidak selamanya
"iklan" itu buruk. Kita yang harus mampu memilah dan memilih agar
mengerti dan menangkap yang positif dari iklan itu. Menjadi
pembicara di suatu forum oleh dukungan suatu sponsor, tidak serta
merta menjadikan pembicara itu harus dianggap "disusupi" iklan.
Dalam forum seperti itulah, seorang "ilmuwan" diuji TIDAK sekedar
keilmuannya tetapi rasa kemanusiaannya agar mampu memetakan
pengatahuannya pada tempat yang pas untuk kepentingan sebagian
terbesar masyarakat. Bagaimana dengan klaim bahwa "tidak selamanya
makanan bisa memenuhi kebutuhan DHA" ? Memang benar ! Benar kalau
kita tidak tahu apa piramida makanan, tidak tahu caranya membuat
balita kita mendapatkan makanan sehat, tidak tahu bagaimana
memaknai ungkapan "empat sehat lima sempurna", tidak tahu bahwa
"susu adalah pelengkap, tetapi bukan segalanya". Itu pula "iklan"
lain yang tidak kalah penting dari milis ini. Bahwa ada saja satu
dua anak dengan gangguan saluran cerna, sehingga memerlukan
treatment diet khusus, sekali lagi, itulah kenyataan, tidak ada
yang sempurna. Bagaimana dengan informasi "DHA dan AA malah bisa
merugikan". Di dunia ini, semuanya sebenarnya berguna, asal dalam
takaran yang pas. Masalah utama yang dihadapi dalam menyusun susu
formula yang mendekati komposisi ASI adalah menentukan konsentrasi
ini. Kadar DHA dan AA dalam ASI sangat dipengaruhi oleh asupan diet
dan kondisi metabolisme tubuh Ibunya. Artinya apa ? Kadar itu
berubahubah setiap waktu. Berarti yang diterima anak juga
berubah-ubah. Apalagi antara Ibu satu dengan Ibu yg lain, berarti
bayi satu tidak sama dengan bayi lain. Tentu masih ingat kan
penjelasan Ahli Laktasi betapa "ASI itu bisa berubah-ubah setiap
jam-nya" ? Hal ini menyulitkan menyusun patokan seberapa kadar
suplementasi DHA dan AA ke dalam susu formula. Patokan yang dipakai
sekarang didasarkan pada penelitian sekian ribu sampel Ibu-ibu
menyusui yang sehat badannya. Namun betapapun, tetap saja variasi
akan ada, padahal tidak mungkin membuat susu formula dengan sekian
banyak variasi kadar suplementasi DHA dan AA. Bagaimana soal
informasi "DHA dan AA buatan itu malah bikin anak hiperaktif"? Saya
tidak memiliki data pasti karena kalau informasi yang saya dapat
tidak menunjukkan hubungan. Jurnal of Pediatry Agustus 2001,
kemudian Lipids jurnal Oktober 2003 serta Eur Jurnal of Clinical
Nutrition Maret 2004, tidak mendapatkan hasil signifikan dari
suplementasi DHA terhadap anak-anak dengan attention-deficit/
hyperactivity disorder. Artinya, tidak ada perbaikan nyata
dibandingkan anak-anak yang tidak mendapatkan suplementasi. Justru
catatan yang beberapa kali dilontarkan adalah hubungannya dengan
risiko perdarahan. Dalam tubuh manusia, asam lemak tak jenuh
termasuk DHA dan AA - bersifat bi-fasic, bisa bersifat anti bisa
juga bersifat pro-oxidant. Ada uraian biokimiawi cukup rumit dalam
hal ini, tetapi intinya berpengaruh terhadap keseimbangan trombosit
darah. Tubuh memiliki mekanisme keseimbangan agar darah tidak
mudah
membeku di dalam tubuh tapi di sisi lain segera berhenti bila
terjadi perdarahan. Trombosit adalah salah satu yang berperan di
dalamnya, dan ini menjadi perhatian penting dalam menetapkan kadar
suplementasi DHA dan AA.